-------------------------------
----------------------------
Bab 20: Rahasia Ki Loh Ci Sing
Padang pasir yang terbentang
tenang dan sepi itu, mendadak tampak dua gulungan debu kuning yang membumbung
tinggi ke angkasa panjang seperti naga yang sedang mengamuk, dua ekor kuda satu
di depan yang lain di belakang sedang dicongklang dengan kencang saling kejar,
yang depan adalah Go Kiok-kan yang sedang melarikan diri, yang di belakang dan
mengejar tentunya adalah Coh Liu Hiang.
Ternyata melihat gelagat jelek
Go Kiok-kan, lantas cari kesempatan untuk melarikan diri, tak kira sejak tadi
Coh Liu-hiang memang sudah perhatikan dirinya, setiap gerak-geriknya tak lepas
dari pengawasannya, begitu dia angkat langkah seribu, Coh Lui-hiang lantas
mengetahuinya. Begitulah mereka sudah larikan kuda masing-masing sekencang mungkin
dengan kecepatan maksimum.
Tapi Coh Liu-hiang tidak
menduga dan tidak mempersiapkan diri untuk saling udak begini, maka kuda
tunggangannya sembarangan saja dia terima asal untuk tunggangan belaka pula
kesempatan tiada waktu untuk dirinya memilih tunggangan, sebaliknya kuda
tunggangannya Go Kiok-kan adalah kuda keluaran dunia barat yang jempolan.
Mula-mula mengandal tehnik Coh Liu-hiang menunggang kuda, dia masih mengudak
dengan kencang dalam jarak tertentu, tapi lama kelamaan, kekuatan kedua menjadi
berbeda, jarakpun diulur semakin berselisih panjang, badannya mencelat tinggi
dari punggung kudanya. Mengandal kepandaian ginkangnya yang tinggi tiada
bandingan diseluruh kolong langit dia mengejar dengan tancap gas, sekaligus
untuk mengadu kekuatan dengan kuda pilihan tunggangan Go Koik-kan itu.
Tampak gerak bayangan badannya
laksana bintang meteor meluncur ditengah angkasa. kuda tunggangan GO Kiok-kan
yang pilihan itu ternyata tidak ungkulan dibandingkan lari kedua kaki Coh
Liu-hing, sebentar saja, dia sudah hampir menyandaknya.
Go Kiok-kan segera keprak
kudanya semakin kencang, semakin kencang mulutpun berteriak teriak.
"Coh Liu-hiang kau tidak
bermusuhan tiada dendam dengan kau, kenapa kau mendesakku begitu rupa?"
Coh Liu-hiang tak bicara, ia
tahu Go Kiok-kan hendak memancing bicara, karena begitu dia buka suara, hawa
murni yang terhimpun di pusar seketika akan buyar, dengan sendiri gerakan
badannya menjadi kendor dan lamban.
Dengan ketajaman kupingnya
meski Go Kiok-kan tak berpaling tapi ia dengar suara lambaian pakaian Coh
liu-hiang semakin dekat, jidatnya sudah dibasahi oleh keringat yang
berketes-ketes sekonyong-konyong dia melambung tinggi meninggalkan pelana
kudanya, ditengah udara bersalto beberapa kali, melampaui Coh Liu-hiang, terus
berlari ke arah yang berlawanan dengan luncuran tubuh Coh Liu-hiang.
Sebetulnya sudah dia
perhitungkan dengan seksama, saat itu Coh Liu-hiang sedang tancap gas mengejar
dengan kecepatan maksimum, terang tak mungkin bisa mengerem luncuran badannya
yang melesat bagai anak panah itu, bila Coh Liu-hiang berhasil kendalikan
gerakan badannya dan putar balik mengejar dirinya pula, tentu dia sudah
berhasil melarikan diri dalam jarak yang cukup jauh.
Diluar perhitungannya bahwa
puncak kepandaian enteng tubuh Coh Liu-hiang benar benar sudah tak ada taranya
di jagat ini malah jauh lebih tinggi dari apa yang dia bayangkan, belum lagi
dia lari tak berapa jauh, kembali didengarnya lambaian pakaian yang mengejar
datang dari belakang. Angin kencang menerjang muka serasa seperti diiris pisau,
ternyata mereka berdua berlari melawan angin.
Sekonyong konyong Go Kiok-kan
kipatkan sebelah tangannya, maka terdengarlah suara "Blup!" suatu
ledakan yang cukup nyaring juga, seketika selulung asap tebal berkembang
melebar dengan cepat bergulung terhembus angin menyongsong kedatangan Coh
Liu-hiang.
****
Baru sekarang Oh Thi-hoa sadar
bahwa Coh Liu-hiang sedang pergi mengajar Go Kiok-kan, jelas pula bahwa intrik
atau tugas rahasia si Jambang Bauk yang sedang dia perankan adalah harus
melenyapkan atau menumpas kaum pemberontak di negeri Kui-je.
Waktu itu Kui-je-ong sudah
membuka suara jamuan makan minum yang meriah untuk merayakan kemenangan yang
gilang gemilang ini.
Melihat Oh Thi-hoa seperti
tidak tenang atau sedang memikirkan sesuatu, segera dia menegur dengan tertawa:
"Buat apa kau kuatir bagi temanmu itu, dalam dunia ini siapa pula yang
kuasa menandingi segebrak serangannya?"
Oh Thi-hoa menghela napas,
katanya: "Justru Cayhe merasa hal hal ini terlalu aneh, biasanya peduli
siapa saja yang dia kejar, tentulah dengan mudah dapat dia ringkus kembali
tanpa mendapat perlawanan yang berarti, tapi sekarang, dia sudah pergi sekian
lamanya."
Kui je-ong tertawa katanya
menghibur:
"Pun-ong berani tanggung,
dia pasti takkan mengalami apa-apa, jangan kuatir, minumlah dan habiskan arakmu
dengan lega hati."
Sekilas Oh Thi-hoa melirik
kepada Pipop Kongcu, mendadak dia berbisik kepada Ki Ping yan: "Apakah
bocah itu tidak dipelet dan dipecut oleh tuan puteri yang genit ini maka tanpa
pamit terus tinggal pergi?"
Ki Ping-yan mengerut alis,
sahutnya: "Kau menilai orang lain seperti tampangmu?"
"Hm !" Oh thi-hoa
mendengus, "Kukira tidak akan meleset, perbuatan apapun berani dia
lakukan, lebih baik mari kita keluar mencarinya !"
Mau tidak mau goyah juga
keyakinan Ki Ping-yang, katanya berbisik juga: "Kita membolos keluar
terpencar, nanti kita bertemu di luar !"
"Baik, begitu saja kita
atur" sahut Oh Thi-hoa.
Tiba tiba teringat olehnya
bahwa Ki loh-ci sing masih berada di tangannya, Kui-je-ong memandang mestika itu
begitu berharga, mana boleh dia bawa benda mestika ini pergi begitu saja.
Apalagi diapun pernah berjanji kepada permaisuri yang cantik jelita itu, untuk
menanyakan rahasia yang terkandung didalam mestika ini, Segera ia merogoh
keluar Ki-loh ci-sing lalu diangsurkan dengan kedua tangannya, katanya tertawa:
"Cayhe beruntung tak mengecewakan harapan Baginda raja, Cayhe berhasil
merebut mestika ini pulang, harap Baginda raja suka menerima balik."
Tak Nyana Kui-je-ong cuma
tertawa tawa saja katanya: "Congcu mendirikan pahala terbesar, Siao ong
tiada sesuatu barang yang dapat kuhadiahkan kepadamu sebagai tanda
kenangan." seolah-olah dia sudah melupakan bahwa Ki-loh-ci-sing ini sudah
mengorbankan berapa banyak jiwa manusia, betapa besar imbalan yang dipertaruhkan
bisa merebutnya kembali, tapi sekarang royal dan sembarangan saja ia hadiahkan
mestika ini pada Oh Thi-hoa.
Saking kaget mulut Oh Thi-hoa
sampai melongo dan tak bisa bicara, sekian lamanya baru dia tertawa dibuat
buat, katanya: "Jikalau Baginda rasa merasa Cayhe ada sedikit mendirikan
jasa asal cukup memberikan beberapa poci arak padaku saja, Ki-loh ci-sing ini
sekali kali aku tak berani terima."
"Kenapa?" tanya
Kui-je ong melengak keran malah.
OH Thi-hoa menyengir tawa
dengan memencet hidung katanya: "Anak melarat seperti aku bila membawa
bawa mestika yang tak ternilai harganya ini, selanjutnya jangan harap bisa
makan kenyang dan tidur nyenyak?"
Kui-je ong tersenyum ujarnya:
"Kalau dua tiga hari yang lalu nilai dari jambrut ini memang tak bisa
diukur dengan apapun juga, Pun ong juga tak akan sembarangan menghadiahkannya
padamu: Tapi sekarang, nilainya sudah jauh merosot sekali, batu jambrut seperti
ini, entah masih berapa banyak dalam gudang istana bolehlah legakan saja hatimu
menerimanya."
Seketika Ki Ping-yan dan
Pipop-Kongcu pun ikut tertegun mendengar urusan kata kata yang susah dimengerti
ini.
Oh Thi-hoa membelalakkan mata,
tanyanya kebingungan: "Bukan kah batu jambrut ini ada menyangkut suatu
rahasia yang besar?"
"Itu hanya kabar angin
yang sengaja disiarkan oleh Pun-ong sendiri, supaya orang lain sama menyengka
bahwa batu jamrut ini betul mengandung suatu rahasia besar yang amat ingin
diketahui oleh siapapun juga, hanya mengandal muslihat dari benda inilah
Pun-ong baru bisa merebut tahta kembali. Diwaktu mereka tumplek seluruh
perhatiannya untuk memperebutkan batu jambrut ini, Pun-ong sebaliknya secara
diam diam sudah menggunakan harta peninggalan ayah Baginda yang diwariskan
kepadaku, dan membeli lima barisan pasukan besar, tanpa diketahui oleh malaikat
dan tidak dilihat oleh setan, tahu-tahu dengan gemilang aku berhasil merebut
tahtaku kembali dari tangan kaum pemberontak" sebentar dia berhenti dengan
mengelus jenggotnya, lalu menambahkan: "Inilah yang dinamakan tipu
bersuara di timur menggempur di barat."
Ki Ping-yan dan Oh Thi-hoa
sama beradu pandang, bukan saja kaget, dan heran, merekapun amat kagum dan
tunduk lahir batin akan kepintaran dan kecerdikan sang raja. Semula mereka
mengira raja tambun yang suka air kata-kata dan senang main perempuan ini, tak
lebih hanyalah lelaki brutal dari suatu kerajaan asing yang terpencil saja.
Baru sekarang mereka tahu bahwa kepintaran dan kelihayannya, ternyata tidak
lebih asor dari raja-raja dari dinasti yang sudah almarhum dulu. Sengaja dia
membentuk diri didalam pelukan perempuan-perempuan cantik, sudah tentu
perbuatannya ini hanya memancing dan mengelabui mata kuping orang lain belaka.
Entah berapa lama kemudian
baru Oh Thi-hoa menghela napas katanya tertawa getir: "Tak heran selama
ini Coh Liu-hiang selalu merasa keheranan, kalau toh Ki-loh-ci-sing ini
menyangkut rahasia tahta kerajaan Kui-je, kenapa malah diberikan kepada para
piausu dari Tionggoan untuk melindungi, dari dalam perbatasan diantara keluar
perbatasan? Jikalau dia hadir disini dan mendengar uraian Sri Baginda, tentulah
dia teramat kagum dan memuji Baginda."
Sementara Pipop-kongcu malah
bersungut-sungut, tanyanya aleman: "Tapi ayah kenapa kaupun mengelabui
aku? Masakah seorang ayah juga harus main rahasia atau tidan mempercayai
putrinya sendiri?"
"Bukan aku tidak percaya
kepada putri mesti aku ini." ujar Kui-je-ong, "Soalnya bila rahasia
ini kerahasiakan dengan ketat, orang lain pasti akan berusaha mencari bocoran
dengan berbagai daya upaya, asal sehari aku tak membocorkan rahasia ini, sehari
nyawaku akan lebih panjang hidupnya dan orang-orang yang betul betul mengincar
mestika ini dan hendak mengorek keterangannya mengenai rahasia ini, tentu dia
berusaha pula melindungi jiwaku secara pelan-pelan."
Pipop kongcu menghela napas,
ujarnya: "Agaknya seorang gadis bila dia menjadi putri seorang raja,
ternyata bukan suatu yang harus dibuat girang dan membahagiakan hidupnya, tak
heran tuan putri dari dinasti yang terdahulu sebelum ajal dia menangis berkeluh
kesah menutupi dukanya katanya: "Semoga selama hidupnya kelak dalam
penitisan yang akan datang dirinya tidak dilahirkan dalam keluarga
kerajaan."
Tak tertahan Kui-je-ong pun
menghela napas, ujarnya: "Benar, seseorang bila ingin menjadi Baginda raja
yang baik, maka belum tentu dia bisa menjadi ayah yang baik."
Apa yang dia ucapkan ini
memang benar dan kenyataan, maklumlah seorang raja harus selalu ribut
mementingkan urusan negara, mana ada waktu senggang untuk menunaikan tugas
dirinya sebagai ayah bunda dari anak anaknya yang baik.
Oleh karena itu didalam gubuk
liar, sering dilahirkan putra-putra bangsa yang berbakti. Sebaliknya didalam
keluarga kerajaan sering melahirkan putra-putra yang durhaka.
Mendadak Ki Ping-yan menjengek
dingin: "Ongya ternyata memang jenius dan berpambek besar, jarang orang
yang bisa menandingi, cuma harus dibuat sayang dan kasih para Piausu yang mati
secara konyol itu, demi terima bayaran beberapa keping yang perak berarti harus
mengorbankan jiwa dan raga di padang pasir tanpa mendapat liang kubur yang
layak."
Sikap KU-je ong berubah
prihatin, katanya tawar: "Politik negara, memangnya adalah sesuatu yang
amat menakutkan. Bagi seorang panglima besar yang sukses besar, tulang tulang
manusiapun bakal bertumpuk laksana gunung, apalagi bagi seorang raja dari suatu
negara? Memangnya sejak dahulu kala, merupakan tragedi yang tak mungkin
dielakkan".
"Umpamanya cikal bakal
dinasti Song merekapun tak terhindar dari perbuatan tercela karena dipaksa oleh
keadaan kenapa pula tuan tumplekan kesalahn ini kepada Pan-ong saja?"
Ki Ping-yan tertunduk dan
menepekur sesaat lamanya, katanya kemudian: "Ya, Cayhe yang kelepasan
omong, harap Ongya maafkan kesalahan ini."
OH Thi-hoa ulurkan lehernya,
terus menuang sepoci arak sedalam mulutnya, tumben bergelak tawa, serunya:
"Oleh karena itu, kunasehati kepada hadirin, cepatlah habiskan saja
arakmu, tak usah banyak melibatkan diri mengenai segala tetek bengek ini, sejak
dahulu kala betapa keluarga kerajaan tidak kesepian, memangnya bisa lebih
unggul dari aku anak rudin yang senang dan hidup bahagia dan bebas ini."
Sekonyong-konyong seseorang
menanggapi dengan tertawa merdu:
"Betul, minumlah arak
dalam cangkirmu, jangan urusi segala tetek bengek. Tapi betapapun licik dan
licinnya akhirnya mampus juga anjing menjadi daging panggang, burung terbangpun
terjaring seluruhnya, busur sakti tersembunyi lagi, apakah kau belum pernah
mendengar kata-kata ini?"
Bau harum seketika merangsang
hidung setiap hadirin, sehingga semua orang merasa pikiran melayang dan seperti
hampir mabuk, entah kapan tahu-tahu juwita yang tiada bandingannya
kecantikannya, di bawah penerangan api yang kelap kelip benderang ini kelihatan
seolah-olah bak bidadari turun dari khayangan.
Siapapun takkan menduga sang
juwita yang rupawan dan molek di bawah penerangan api obor laksana bidadari ini
ternyata tak lain tak bukan adalah permaisuri Kui-ji yang selalu dikatakan
berpenyakitan dan berbadan lemah selalu di pembaringan.
Tampak mukanya tetap
mengenakan cadar dari kain sari yang halus, bentuk mukanya yang cantik jelita
laksana bayangan didalam asap, seperti kembang mawar didalam kabut, begitu
cantik dam moleknya sampai siapa saja yang memandangnya pasti menahan napas.
Sungguh girang dan kejut pula
Kui je-ong dibuatnya, sampai dia lupa bahwa sang permaisuri yang biasa
berpenyakitan, entah cara bagaimana secara tiba-tiba bisa muncul di sini dengan
gerakan badan nan aneh dan begitu menakjubkan, bergegas dia bangkit dan
menyongsong maju sambil menyapa:
"Kenapa kau datang
kemari?"
Permaisuri Kui-je tertawa,
sahutnya: "Aku sudah datang, apa kau kurang senang?"
"Tapi... badanmu terlalu
lemah, masakan kau kuat menahan panas dan dingin yang begitu menyiksa di
perjalanan nan jauh ini?"
Tiba-tiba Ki Ping-yan menyela
pula dengan suara dingin:
"Jangan kata hanya cuaca
buruk andaikan hujan golok angin panah juga tidak terpandang dalam mata
permaisuri bukan?"
"Ya ... benar!"
sahut permaisuri Kui-je tertawa.
Berkilat sorot mata Ki
Ping-yan, katanya pula:
"Memangnya permaisuri
hendak membunuh kita semuanya?"
Kui-je-ong bergelak tawa
ujarnya:
"Pun-ong sekali kali
tiada maksud ini kalian jangan kuatir dan banyak curiga."
Permaisuri justru mengejek
dingin: "Kau memang tiada maksud itu, sebaliknya aku yakin dapat
melaksanakannya."
"Kau..." baru
sekarang Kui je-ong benar-benar tertegun.
Pelan-pelan permaisuri
tinggalkan cadar mukanya, maka terlihatlah sepasang matanya nan bening tajam
laksana air, dengan nanar dia tatap Kui-je-ong, katanya: "Kau kenal tidak
padaku, karena setiap orang yang mengenalku, jiwanya sudah menghadap kepada
raja akhirat, sudah tentu dia tidak akan bisa hidup lagi."
Suasana hangat dalam kemah
ini, seketika seperti digulung angin badai yang dingin dan membekuknya darah,
kaki tangan setiap hadirin menjadi gemetar dingin dan berkeringat.
Karena saat mana, dalam benak
setiap orang lapat-lapat sudah menebak, siapa perempuan yang tengah mereka
hadapi ini.
"Ciok koan-im! Kau adalah
Ciok-koan-im !" tapi tiada seorangpun yang berani membuka mulut.
Kui-je ong melosot duduk di
atas kursinya, katanya dengan tertawa sedih:
"Akupun tidak perduli kau
siapa, tapi permaisuriku... masakah kau sudah membunuhnya?"
Suara Ciok-koan-im semakin
merdu halus. "Kaupun tak perlu bersedih, meskipun dia sudah meninggal,
tapi aku masih hidup, aku tidak sebanding dia? Memangnya kau tidak puas?"
"Kau?" Kui-je ong
berjingkat kaget. "Kalau toh aku sudah mewakili dia, maka selamanya aku
tetap dalam kedudukanku seperti sekarang ini".
Mengawasi badan yang ramping
semampai dan montok berisi ini, lama kelamaan mata Kui-je ong mendelong
memudar.
Mendadak Ki Ping-yan tertawa
dingin, katanya: "Tidak salah, akupun tahu kau selamanya akan
mewakilinya!"
"Kau... kau tahu?"
teriak Kui-je-ong pula.
Kata Ki Ping-yan:
"Baginda tak punya anak cuma seorang putri, jikalau Baginda dan tuan putri
mengalami sesuatu, sebaliknya dalam negeri tak boleh sehari tanpa ada yang
memerintah, sudah tentu memilih junjungan yang baru, demi memperebutkan
kedudukan agung ini, semua orang betapa sudah berusaha dan berjerih payah
memeras keringat, tapi tanpa mengeluarkan sedikit tenaga, ia sudah berhasil
merebutnya, harus dibuat kasihan Ang-Hak-han, An Teksan orang-orang dogol itu
sia-sia saja mereka dijadikan alat bonekanya, setelah mampus mereka bakal jadi
setan penasaran"
Dengan dingin Ciok-koan-im
tatap Ki Ping-yan dengan nanar, setelah kata-kata orang selesai, baru dia unjuk
senyuman mekar, katanya: "Tak nyana begitu tepat kau bisa mengorek isi
hatiku, agaknya selama ini aku terlalu pandang rendah dirimu."
"Kau hendak bunuh
aku?" suara Kui-je-ong mulai ngeri.
Ciok-koan-im tersenyum,
ujarnya: "Sejak dahulu kala seorang raja mempunyai tradisi cara
kematiannya sendiri, akupun tidak akan melanggar undang-undang ini cukup asal
kau minum arak dalam cangkir di depanmu itu, selanjutnya kau tidak perlu
merisaukan segala persoalan dalam dunia ini."
"Kau... kau sudah menaruh
racun di dalam arak cangkirku ini?"
"Tidak terlalu banyak,
tapi lebih dari cukup untuk kalian ayah beranak."
Mengawasi arak dalam cangkir
di depan mejanya ini, mata Kui-je-ong mendelik, keringat dingin gemerobyos membasahi
kepala dan mukanya.
Si Jambang bauk malam ini juga
hadir dalam perjamuan minum arak dalam kemah ini selama ini dia tidak pernah
buka suara, cuma dia selalu pasang mata menunggu kesempatan melihat
Ciaok-koan-im tidak memperhatikan dirinya, secara diam-diam, segera dia
menggeremet mundur hendak melolos keluar.
Siapa tahu ciok-koan-im justru
seperti benar-benar mempunyai ribuan tangan dan ribuan mata, segala gerak gerik
siapapun, jangan harap bisa lepas dari pengawasan matanya yang tajam.
Tanpa berpaling tiba-tiba dia
menjengek dingin: "Apa engkau ingin keluar mengundang bala bantuan?"
Si Jambang bauk kaget,
bentaknya bengis: "Benar, jangan kau lupa anak buahku ada delapan ratus
banyaknya, semuanya sudah gemblengan di medan laga, semuanya adalah laki-laki
sejati yang tiada satupun yang takut mati. mengandal tenagamu seorang, jangan
harap kau mampu membunuh kita semuanya, cukup asal satu diantara kita ada yang
ketinggalan hidup, melihatmu jangan harap bisa terlaksana maka kuperingatkan
kepadamu, jangan kau lakukan perbuatan gila-gilaan ini."
Mendadak Ciok-koan im berkata:
"Bagus sekali ucapanmu, anak buah Ca Bok-hap memang kesatria-kesatria
gagah yang tidak takut mati, cuma sayang jamuan kemenangan yang kalian adakan
sekarang masih terlalu pagi waktunya, para saudara-saudaramu yang gagah perwira
itu sekarang sudah sama mabok dan roboh tak sadarkan diri semuanya.
Berubah rona muka si Jambang
bauk, serunya: "Memangnya kaupun memberi racun dalam arak mereka?
Memangnya tiada satupun diantara mereka yang sadar?"
"Barusan aku sudah
menebarkan racun di hadapanmu, apa kaupun melihat kapan aku turun tangan?"
ujar Ciok-koan-im tersenyum manis.
Tiba-tiba Jambang bauk
menggembor kalap seperti orang gila, golok diayun segera dia menubruk maju.
Kepandaian silatnya memang belum boleh dipandang sebagai tokoh kelas satu, tapi
sudah gemblengan di medan laga kiranya tidak berkelebihan untuk memujinya,
terang serangan bacokan goloknya ini amat sederhana tanpa mengandung variasi
apa-apa, tidak mengandung tipu-tipu perubahan, cuma dengan seluruh kekuatan dan
tumpuan dari semangatnya, besar hasratnya hendak memenggal kepala musuh.
Karena dia cukup insyaf hanya
dengan kekuatan diri sendiri hendak melawan Ciok-koan-im, sungguh jauh sekali
jaraknya, seumpama telur beradu dengan batu, jikalau serangannya ini gagal,
maka tak berguna meneruskan serangannya, malah bukan mustahil jiwa sendiri uang
konyol. Maka dia sudah bertekad mempertaruhkan jiwa raganya dalam serangan
dahsyat ini, kalau gagal dia siap berkorban.
Memangnya sudah menjadikan
kebiasaan bagi ksatria-ksatria gagah yang hidupnya sudah dipasrah demi
kehidupan kemiliteran yang selalu mempertaruhkan jiwa di medan perang, apapun
yang dia lakukan, selalu senang beres dan menyeluruh, mati ya mati, tak perlu
sampai berbuntut panjang. Oleh karena itu, bacokan goloknya itu, memang gaya
dan permainannya tidak enak dipandang mata tapi pembawaannya sungguh-sungguh
mengandung daya kekuatan yang bisa menciutkan nyali orang yang diincarnya.
Tepat pada saat goloknya
terayun ditengah udara, Pipok-kongcupun membarengi bergerak laksana burung
walet enteng dan cepatnya badannya melesat terbang menubruk ke arah
Ciok-koan-im pula.
Selama ini diapun bungkam
saja, karena diam-diam dia sudah mempersiapkan diri untuk bertindak, maka
begitu dia menggertakkan badannya tahu-tahu, tangannya sudah menggenggam
sebilah badik yang putih kemilau laksana perak. Tampak dimana sinar perak itu
berkelebat, laksana bintik bintang beterbangan ditengah angkasa, sekali turun
tangan beruntun tiga jurus serangan dia lontarkan, masing-masing mengincar tiga
Hiat-to besar dipunggung Ciok-koan-im.
Cara turun tangannya justru
berlawanan dengan di Jambang bauk, lincah dan gesit tapi kekuatannya tidak
mantap dan sedahsyat itu, dan lagi setiap jurus tipunya mengandung perubahan
yang susul menyusul, sekali tidak kena perubahan serangan yang segera
memberondong datang pula. Kalau dinilai secara keseluruhannya, meskipun jurus
permainannya ini sangat bagus dan menakjubkan, tapi bila sungguh-sungguh
berhadapan dengan tokoh tangguh, hakekatnya tak membawa manfaat besar yang
benar-benar berarti.
Akan tetapi, Pipop Kongcu dan
si Jambang bauk punya permusuhan dan tujuan yang sama untuk mengganyang musuh
mesti kepandaian silat mereka berlainan biasanya tiada pengalaman bersama
mengeroyok musuh namun keduanya seakan akan seia sekata, oleh karena itu meski
kepandaian mereka yang satu lemah dan yang lain keras, namun tanpa disadari
mereka bisa bekerja sama dengan baik dan kebetulan.
Tampak titik perak laksana
hujan deras memenuhi angkasa, selarik lembayung berkelebatan melintang, satu di
depan yang lain di belakang bersama sama menungkup ke arah Ciok-koan-im.
Ciok-koan-im ternyata mandah berdiri di tempatnya sambil menggendong tangan
tanpa bergeming. Dalam kilasan kilat nan pendek itu sanubari Pipop-kongcu dan
si Jambang bauk sama dilintasi perasaan kegirangan yang luar biasa disaat saat
biasa golok dan badik mereka hampir mengenai sasaran itulah sekonyong-konyong
suatu hardikan keras bagai guntur menggelegar, tahu-tahu Oh Thi-hoa sudah menerjang
maju.
Gerakan Oh Ti-hoa laksana anak
panah cepatnya, bergerak belakangan tapi mencapai tujuan lebih dulu. Waktu si
Jambang bauk turun tangan, masih belum menunjukkan gerakan apa-apa, tapi belum
golok si Jambang bauk terayun turun, Oh Thi-hoa tahu-tahu sudah berada
disamping Jambang bauk dimana kepalan tangan kirinya menjotos, kontan di
Jambang bauk dihantamnya mencelat terbang, berbareng tangan kanannya tertekuk
dan memuntir, seperti membagi cahaya menangkap bayangan, pergelangan tangan
Pipop Kongcu tahu-tahu sudah terjepit oleh jari jarinya seketika seluruk dengan
separo badannya, terasa linu dan kemeng.
Kui Je ong menjerit kaget,
serunya: "Oh Kongcu, kenapa kau malah memberontak juga?"
Pipop Kongcupun menjerit
gusar: "Kau sudah gila ya?"
Oh Thi-hoa tidak menjawab,
ketika ia tarik Pipo Kongcu mundur tujuh delapan langkah baru berdiri tegak
pula, ternyata Ciok-koan-im masih tetap berdiri di tempatnya tanpa bergerak,
mukanya berseri tawa lebar.
Sebelah tangan Pipop Kongcu
masih dapat bergerak, kontan dia ayun tangannya, menggampar muka Oh Thi-hoa,
tak nyana baru saja tangannya bergerak tahu-tahu tangannya yang satu inipun
tahu tahu tertelikung ke belakang.
Pukulan yang mengenai jambang
bauk cukup berat, baru sekarang dia pelan pelan merangkak bangun, serunya
dengan murka: "Apa kau bukan teman baik Siao ongya kita? Kenapa kau pukul
aku malah !"
Oh Thi-hoa menghela napas
katanya tertawa getir: "Sebetulnya aku tidak berniat memukul kau,
menyakiti kau, tapi barusan waktu sudah terlalu mepet kuatir kehilangan
kesempatan lagi sehingga tanganku kurang terkontrol sehingga jotosanku terlalu
berat. Maaf !"
Pipop kongcu membanting kaki,
serunya meronta-ronta: "Kenapa Kau turun tangan kepada kami malah?
Memangnya kau komplotannya? Atau kau ini melihat gelagat tidak menguntungkan,
hendak menyerah dan menjadi kaki tangannya?"
Karena tangan tak bisa
bergerak, segera dia menggerakkan kedua kakinya, sambil menendang kembali,
mulutnya mengumpat caci: "Kau binatang, sungguh tak nyana kau serendah dan
sehina ini !"
Ciok-koan-im mendadak tertawa,
ujarnya: "Kau menolong mereka malah dicaci maki, buat apa kau petingkah
lagi?"
Pipop kongcu beringas,
dampratnya: "Kau lah yang ditolong olehnya, bukan aku, kalau dia tidak
bertingkah, sekarang jiwamu sudah ajal?"
"Kau kira dengan kedua
jurus serangan kalian tadi lantas hendak mencabut jiwaku?" jengek
Ciok-koan-im.
"Kenapa tidak bisa
melukai kau?" damprat Pipop kongcu pula, dengan pongah segera dia
menambahkan dengan suara lebih keras: "Jurus kita tadi boleh dikata titik
kelemahannya sekujur badanmu justru sudah terancam dalam kurungan serangan
kita, akibatnya berkelitpun kau sudah tidak mampu lagi."
Ciok-koan-im lain menghela
napas katanya: "Kau memang tidak tahu betapa tingginya langit dan tebalnya
bumi kenapa tidak kau pikir, bila benar seranganmu tadi hebat dan lihay serta
jempolan, kenapa sekali gebrak sekali raih Oh Thi-hoa tahu-tahu sudah berhasil
membekuk dan menundukkan kalian?"
Seketika Pipop-kongcu
menjublek di tempatnya dengan mata terbelalak dan mulut melongo sungguh
mulutnya tak kuasa berdebat lagi.
"Biar kuberi tahu
sejujurnya kepadamu," ujar Ciok-koan-im lebih lanjut: "Jikalau
serangan kalian tadi diteruskan, kalian berdua bakal terkapar tak berjiwa lagi,
jurus serangan yang kalian anggap rapat dan ketat tiada titik kelemahannya,
bahwasanya menunjukkan banyak lobang kelemahannya, sedikit ada tujuh delapan
sasaran yang dapat kugunakan untuk balas menyerang kalian sampai mampus."
tiba-tiba lengan bajunya itu beterbaran bagai gumpalan awan bergulung-gulung mengembang
dengan enteng dan lincah, dalam sekejap mata, beruntun berubah tujuh delapan
macam gaya dan gerakan, terdengar mulutnya berkata pula tawar: "Coba
lihat, jurus yang kumainkan ini tadi kulancarkan, apa kalian masih bisa
hidup?"
Pipop-kongcu mengawasi dengan
mendelong, terasa olehnya dari arah mana saja jurus permainan Ciok-koan-im ini
dilancarkan, jelas dirinya takkan mungkin bisa melawan atau menandinginya,
jikalau Ciok-koan-im mau merenggut jiwanya, sungguh segampang orang merogoh
kantong mengambil sesuatu. Kejap lain rona mukanya sudah pucat pias, keringat
dingin bertetes-tetes menghiasi jidatnya.
"Sekarang kau sudah
mengerti bukan, jurus serangan yang betul-betul ampuh dan tak terlawan oleh
musuh, bukan kalian tidak mampu menggunakannya, malah berani kukatakan
melihatpun mereka belum pernah." sorot matanya mendadak ke arah Oh Thi-hoa
Katanya dingin: "Kau tolong mereka, memangnya kau hendak turun tangan
sendiri melawan aku?"
Oh Thi-hoa mematung
ditempatnya, seolah-olah dia tidak mendengar pertanyaan orang bahwasanya diapun
terkejut dan melenggong oleh pertunjukan kepandaian lengan baja Ciok-koan-im
barusan.
Seolah-olah barusan dia
melihat seorang penari jelita yang sedang menarikan selendang panjang dengan
gemulai, disaat hati riang dan gembira, diiringi musik nan merdu menarik dengan
asyik. Siapapun dia, melihat tarian yang gemulai indah ini, umpama hati sedang
gundah dan merana, seketika hatipun akan riang gembira, maka disaat hatimu
ketarik dalam suasana riang gembira itu tanpa sadar jiwanya sudah terenggut
konyol.
Cepat sekali otak Oh Thi-hoa
bekerja pulang pergi, pikir punya pikir tetap tak tersimpul olehnya dengan
perbendaharaan kepandaian silatnya sekarang, dengan jurus apa baru dia kuasa
memecahkan serangan lengan baju yang hebat tadi, kalau Ciok-koan-im menggunakan
jurus tadi menyerang dirinya, mungkin sendiripun bakal terkapar mampus.
Tidak perlu dia banyak
bertanya kepada Ciok-koan-im apakah orang masih mempunyai simpanan jurus yang
lebih lihay lainnya, karena bagi seorang tokoh kelas wahid, sekali gebrak dia
cukup menentukan mati hidup jiwa seseorang.
Dilihatnya sikap Ki Ping yang
masih tetap tenang dan mantap, tapi butiran keringat kecil mulai merembes di
ujung hidungnya, terang bahwa diapun sedang mencari daya untuk berusaha memecahkan
jurus serangan Ciok-koan-im yang didemontrasikan baru.
Lama suasana hening mencekam
perasaan semua hadirin, akhirnya Oh Thi-hoa tak tahan lagi, katanya: "Ilmu
apakah yang barusan kau mainkan?"
"Tidak menjadi soal
kuberitahu kepada kau jurus tadi kunamakan laki-laki tak boleh lihat!"
Oh Thi-hoa melengak,
"Laki-laki tidak boleh lihat? Ilmu silat apa kah itu?"
"Sebetulnya bukan
termasuk ilmu silat lihay tapi siapapun asal dia seorang laki-laki setiap kali
berhadapan dengan jurus ini, dia pasti mengantar jiwa, oleh karena itu, oleh
karena itu laki-laki sekali-sekali dilarang melihatnya."
Berkerut alis Oh Thi-hoa,
tanyanya: "Ilmu silat dari golongan atau dari perguruan manakah itu?"
"Di kolong langit ini
golongan atau perguruan silat mana yang mampu menciptakan jurus silat seperti
itu? Umpama kata dua aliran perguruan silat yang paling ternama sekarang
kepandaian silat Siau lim pay terlalu kental terlalu goblok, seperti semangkok
besar lima macam daging panggang, mesti penuh dan cukup mengencangkan perut,
tapi paling-paling hanya bisa memuaskan kaum kuli dan serdadu rendahan belaka
bagi seseorang yang benar-benar tahu menikmati masakan lezat, sekali-kali dia
tidak sudi memakan hidangan serba minyak, sampai di sini dia tertawa geli, lalu
melanjutkan: "Ilmu silat Bu tong pay sebaiknya malah terlalu tawar,
seumpama sepiring masakan sayur hijau campur tahu yang lupa dibumbui garam,
kelihatannya warnanya memang enak dan indah, tapi setelah kau gares,
selanjutnya pasti tidak akan menambah selera makan orang, benar tidak?"
Betapa tinggi dan hebat
kepandaian silat dari aliran Siau lim pay dan Bu tong pay yang dipandang
sebagai puncak persilatan oleh seluruh kaum Kang ouw, tapi didalam pandangan
Ciok-koan-im ternyata sedemikian rendah dan tak berharga sepeserpun, sungguh
komentar yang terlalu pongah dan takabur kelewat batas.
Akan tetapi perumpamaan yang
diucapkan memangnya tepat dan serasi, Oh Thi-hoa membayangkan ilmu silat Siau
lim pay dan Bu tong pay, lalu membayangkan pula apa yang dikatakan barusan,
hampir tak tertahan dia tertawa geli.
Terdengar Ciok-koan-im berkata
pula: "Kalau kepandaian silat mereka sudah begitu jelek kalau tidak mau
dikata celaka, namun justru menggunakan nama-nama yang indah dan merdu
kedengarannya, dinamakan apa Lik-pit-sam-gak atau membelah gunung,
Kiang-liong-hu-hou atau menaklukan naga menundukkan harimau. Bahwasanya dinilai
dari apa yang mereka mainkan, seharusnya pantas kalau dinamakan Pit bok cai
atau membelah kayu dan Kiang mao hu kau atau menaklukan kucing menundukkan
anjing tepatnya. Akan tetapi nama yang kucantumkan dalam jurus ciptaanku ini
meski tidak enak didengar, namun betul-betul merupakan barang tulen harga pas,
kalau kukatakan laki-laki tidak boleh lihat, maka setiap laki-laki jangan harap
bisa melihatnya."
Oh Thi-hoa menghela napas,
ujarnya: "Kalau demikian, jadi jurus tadi adalah hasil ciptaanmu
sendiri?"
"Untuk menciptakan jurus
permainan seperti ciptaanku tadi, bukan saja harus benar-benar hapal dan
menyelami seluk beluk ilmu silat dari seluruh aliran silat yang ada di kolong
langit ini, lebih penting pula harus mengetahui dimana titik kelemahan
seseorang laki-laki, maka jurus silat seperti itu, kecuali aku siapa pula yang
mampu menciptakannya?"
Lama pula Oh Thi-hoa menjublek
pula, katanya dengan tertawa getir kemudian: "Benar kenyataan memang kau
amat mendalami dan cukup mendalam menyelidiki jiwa laki-laki."
"Sekarang kalian masih
tetap berani turun tangan melawan aku?"
Tanpa janji Ki Ping-yan dan Oh
Thi-hoa berbareng menghela napas, berbareng menjawab: "Tidak berani
lagi."
Begitu mendengar jawaban
"Tidak berani lagi!" dari mulut Oh Thi-hoa dan Ki Ping-yan seketika
pucat pias Kui je ong, badik ditangan Pipop-kongcupun jatuh.
Siapa nyana justru pada saat
itu pula. Tanpa berjanji namun Oh Thi-hoa dengan Ki Ping-yan tahu-tahu melejit
secepat anak panah, gerakan kudanya begitu serasi dan seperti sudah
direncanakan bersama, bukan saja bicara bersama, gerakan merekapun dimulai
dalam waktu yang sama pula.
Sudah tentu jauh berbeda
gerakan Ki-ping yan dan Oh Thi-hoa yang menyerang serempak ini dibanding dengan
serangan si Jambang Bauk dan Pipop-kongcu tadi. Waktu si Jambang Bauk dan Pipop
kongcu menyerang tadi udara seolah-olah disinari cahaya perak, yang berkunang
kunang, perbawanya kelihatannya amat dahsyat, tapi berbeda pula waktu Oh
Thi-hoa dan Ki Ping-yan turun tangan ini, orang lain tidak melihat sesuatu yang
ganjil, menyolok mata atau menakjubkan.
Cuma terlihat dalam gerakan
bayangan orang yang bergerak secepat kilat itu, beruntun kedua orang sudah
sama-sama melontarkan tiga jurus serangan, tentang bagaimana dan cara apa
mereka menyerang, hakekatnya tiada orang yang melihat dengan jelas, namun
paling tidak dalam tiga jurus permulaan ini, orang-orang diluar gelanggang
sama-sama masih melihat gerakan bayangan mereka, tapi tiga jurus kemudian,
jangan kata bayangan mereka sampaipun yang mana Oh Thi-hoa dan siapa Ki
Ping-yan orang sudah tidak bisa membedakan lagi.
Terasa dalam kemah mendadak
seperti terbit angin badai yang meniup kencang laksana angin puyuh, piring mangkok
dan cangkir yang berada di atas meja sampai tersapu jatuh berkelontangan,
pakaian Pipop kongcu, Kui-je-ong dan si Jambang Bauk melambai berkibar bersuara
seperti dihembus angin lalu.
Pucat pasi selembar muka
Kui-je-ong, seolah-olah sembarang waktu bisa jatuh semaput, lekas Pipop-kongcu
memapah ayah bagindanya yang terhuyang mundur, tapi tangannya sendiripun
gemetar keras. Sementara dengan kencang si Jambang Bauk pegang goloknya dengan
kedua tangan berdiri jauh diambang pintu kemah, meski dia tak bisa melihat
apa-apa namun kedua matanya menatap tajam seperti biji mata ikan mas yang
melotot hampir mencotot keluar.
Entah berapa kali dia pernah
mengadu jiwa dengan musuh selama hidupnya ini, entah berapa banyak sudah
luka-luka yang melekat di atas badannya karena luka-luka bacokan atau tusukan
senjata lawan, umpama musuh menghujamkan senjatanya ke dalam badannya, diapun
tidak setakut seperti hari ini. Tapi sekarang dia justru malah lebih tegang
dari pada waktu dirinya waktu mengadu jiwa dulu.
Sudah tentu lingkungan kemah
ini tidak begitu besar dan luas, ketiga orang yang bergebrak bergerak begitu
cepat lagi, namun ketiganya cukup hanya berkutet ditempat itu-itu saja, sampai
kursi meja tidak sempat tersentuh oleh mereka.
Tak kurang diam-diam mencelos
dan menarik napas panjang si Jambang Bauk dan Pipop-kongcu dibuatnya, setelah
melihat pertarungan sengit ketiga orang ini baru mereka benar-benar sadar dan
insaf bahwa kepandaian silat sendiri hakikatnya berbeda laksana langit dan bumi
dibandingkan ketiga orang ini.
Jikalau mereka sendiri
sekarang yang bergebrak, bukan mustahil meja kursi sudah keterjang sungsang
sumbal, kemungkinan dinding kemah disekelilingnyapun sudah berlobang dan sobek
dimana mana.
Sekonyong-konyong angin puyuh
sirap dan segala sesuatunya menjadi berhenti. Ternyata tiga orang yang serang
menyerang secepat kilat itu tahu-tahu pergi dan berdiri pada posisi mereka
semula.
Jari jari Oh Thi-hoa terkepal
kencang raut mukanya merah padam, begitu menakutkan tampangnya. Sebaliknya muka
Ki Ping-yan pucat lesi, keduanya sama mendelong mengawasi Ciok koan-im tanpa
berkesir. Sebaliknya tulang ujung mulut Ciok koan-im tetap menyungging senyuman
manis, kelihatan masih begitu cantik jelita dan tentram, sampaipun sungguh
kepalanya yang diikat tidak kelihatan mawut atau berubah.
Selintas pandang, seolah baru
saja mentas dari peraduan, baru saja berdandan hendak keluar menemui tamu, mana
ada tanda-tanda baru saja mengadu jiwa dan berkelahi dengan orang. Tapi
ketiganya berdiri mematung tanpa bergeming sedikitpun mulutpun terkancing
rapat.
Bukan saja tidak tahu kenapa
mendadak berhenti, Pipop kongcu dan lain lainnya tidak tahu kalau Thi Hoa dan
Ki Ping-yan tidak bergerak, maka Kui-je-ong, Pipop kongcu dan si Jambang bauk
serasa jantung mereka hampir berhenti, merekapun tak berani bergeming.
Beberapa kejap kemudian,
tampak sejalur darah mengalir keluar dari ujung mulut Oh Thi-hoa.Walaupun
badannya tegak berdiri di tempatnya seperti tonggak, sebaliknya melihat darah
di ujung mulut orang, seketika Pipop-kongcu rasakan kedua belah lututnya lemas
dan hampir tak kuat berdiri, karena sekarang dia sudah tahu pikah mana yang
telah dikalahkan. Kekalahan ini boleh dikata merupakan kegagalan total dan tak
mungkin ditolong kembali, bukan saja jiwa mereka berenam takkan tertolong.
Beribu berlaksa rakyat Kui-jie bakal tenggelam kehidupan kekejian dan keganasan
oleh cengkeraman elmaut yang beracun.
Terdengar Ciok-koan-im menarik
napas panjang, katanya: "kalau kalian sudah tahu bukan tandinganku, kenapa
masih ingin jajal dan minta digebuk?"
Oh Thi-hoa kertak gigi,
bentaknya bengis: "Seorang laki-laki berani berbuat berani tanggung jawab
! Ada kalanya sesuatu jelas memang tak mungkin kita capai, namun kita tetap
berusaha akan mencapainya juga."
Maklumlah istilah "Bu Hiap"
atau pendekar silat selalu mempunyai arti yang berlainan satu sama lain, namun
arti daripada masing-masing dari kedua kata-kata itu sendiri jauh sekali
bedanya. Untuk menempuh ke jalan Bu atau silat bukan persoalan yang sukar,
cukup asal kaki tangan bertenaga, bisa main berapa jurus Kung Fu, bolehlah
dianggap Bu. Tapi Hiap atau pendekar itu sendiri amat sulit pula
pelaksanaannya, didalam praktek sepak terjang seseorang di dalam kehidupan
Kang-ouw, memang enteng kedengarannya dan gampang diucapkan kata "berani
berbuat, berani bertanggung jawab", namun kalau tidak dilandasi keteguhan
hati, keberanian yang luar biasa serta jiwa yang luhur dan bajik, seseorang
Tidak mungkin bisa mendapatkan gelar atau julukan "Pendekar" yang
amat berat pula arti dan kenyataannya.
Karena seorang kalau hanya
malang melintang dan bersimaharaja dengan begal kepandaian silatnya saja,
membunuh orang semena-mena, tak ubahnya perbuatannya itu menyerupai binatang
liar, hukum rimba selalu menjadikan penengah nuraninya, memang dia setimpal
dianggap sebagai "pendekar"?
Ki Ping yan mendadak berkata:
"Tadi sebetulnya ada dua kali kesempatan kau dapat merenggut jiwaku,
kenapa kau tidak turun tangan?"
Ciok-koan-im tertawa tawar,
ujarnya, "Hampir dua puluh tahun aku tidak pernah bergebrak dengan
seseorang yang benar-benar berani melawan aku, masakah begitu gampang aku harus
membunuhmu?"
Tanpa berjanji Oh Thi-hoa dan
Ki Ping-yan sama menghela napas, batinnya: "Kenapa sampai sekarang Coh
Liu-hiang belum kembali? Jikalau dia datang membantu, dengan kekuatan kita
bertiga, walaupun ilmu silat Ciok-koan-im nomor satu di seluruh kolong langit,
tiada bandingannya sepanjang jaman, dia pasti dapat kita kalahkan.? kalau Ki
Ping-yan hanya membatin dalam hati, Oh Thi-hoa justru tidak sabar lagi, Katanya
setelah menarik napas panjang: "Sayang Coh Liu-hiang tidak disini, kalau
tidak... "
"Memang harus disayangkan
sudah lama kudengar kepandaian silat Coh Liu-hiang, biasanya jarang terlihat
kebolehannya yang menonjol, tapi musuh yang dia hadapi semakin tangguh, maka
diapun bisa lebih mengembangkan perbawa kepandaiannya, sayang sekali aku justru
tidak bisa menjajal kepandaiannya, memang harus disayangkan, suatu yang harus
kusesalkan seumur hidup !"
"Kau tidak perlu
menyesal." Oh Thi-hoa mengolok, "Cepat atau lambat dia pasti akan
membuat perhitungan kepada kau."
"Mungkin sudah tiada
kesempatan lagi, kalianpun tak perlu menunggunya." Kata Coik-koan-im
kalem.
Oh Thi-hoa terloroh-loroh:
"Kau kira kepergiannya kali ini tidak akan kembali pula? Kau kira hanya
mengandal Go Kiok-kan bocah ingusan itu, lantas dapat membunuhnya?"
"Ya, dalam dunia ini yang
betul-betul dapat membunuh Coh Liu-hiang si Maling Romantis, mungkin juga cuma
Go Kok kan saja. Karena dia juga sedemikian mendalamnya menyelidiki seluk beluk
luar dalam Coh Lui-hiang dari kepalanya sampai ke ujung kakinya, dalam dunia
ini tiada orang kedua yang jauh lebih paham akan kepandaian silat Coh Liu-hiang
dan kelemahannya... " tertawa tawar, lalu meneruskan:
"Coba pikir, bilamana aku
punya anggapan Coh Liu-hiang si Maling Romantis masih ada harapan pulang dengan
masih hidup, buat apa dan kenapa aku harus membuang buang waktu di sini
bercengkerama dengan kalian?"
Oh Thi-hoa menyeka keringat di
atas jidatnya, mendadak tertawa besar, serunya: "Dalam dunia ini tiada
seorangpun yang betul betul bisa memahami Coh Liu-hiang, jangan kata luar
dalamnya, kulitnya sajapun jangan harap kau mengerti, sampaipun aku yang sejak
kecil bersahabat selama dua tiga puluh tahun sama dia, tidak mampu memahami
dirinya, apa lagi Go Kiok-kan!"
Ciok-koan-im mencibir, katanya
sinis:
"Sudah tentu kau tidak
akan bisa memahami dia, karena kau tiada dendam, permusuhan dengan dia,
hakikatnya kau tidak perlu memahaminya: "bila kau terlalu memahami dari
jiwa karakter lahir batin seseorang, kan malah tidak akan bisa bersahabat
dengan dia. Dan lagi, perlu kuberi tahu kepada kau, orang yang paling
memahamimu dalam dunia ini, jelas bukan sahabat atau istrimu, tapi pasti adalah
musuh besarmu, karena hanya musuhmu yang benar-benar mau menyelidiki dengan
segala susah payah untuk titik kelemahanmu."
Meski tangan Oh Thi-hoa sedang
kerepotan menyeka keringat, tapi air keringat seolah-olah sengaja main-main
dengan dia selamanya takkan habis-habis dia seka, keringat yang gemerobyos
sudah menghanyutkan noda-noda darah diujung mulutnya yang meleleh keluar tadi.
Tanyanya dengan suara serak dan sangsi:
"Memangnya orang she Go
itu punya dendam permusuhan apa dengan Coh Liu-hiang?"
Ternyata Ciok-koan-im tidak
hiraukan pertanyaannya lagi, pelan-pelan dia putar badan lalu melangkah ke
depan Kui-je-ong, dengan kedua tangannya dia angkat cangkir arak di atas meja,
senyuman mekar yang terkulum di wajahnya, begitu rupawan dan mempesonakan
dengan suaranya yang paling halus, lembut mulutnya berkata: "Kuperingatkan
supaya secangkir arak ini lekas diminum, supaya lekas bertemu dengan banyak
sahabat di neraka. Bin Hong-wa, Ang Hak-han dan Ang Tek san sedang menunggumu
di sana, tentu kau tidak akan kesepian."
Tabir malam di padang pasir
terasa teramat panjang, namun datangnya terlalu pagi. Waktu itu kira-kira baru
jam enam sore, namun kabut sudah mulai mendatang dan tabir malampun sudah
membikin jagat raya serasa gelap pekat, didalam keremangan malam yang
samar-samar ini, asap ungu yang tebal itu kelihatannya menjadi begitu menyolok
laksana merah darah.