-------------------------------
----------------------------
Bab 21: Musuh lama ternyata belum mati
Rona muka Coh Liu-hiang sudah
berubah tapi kejap lain mendadak dia tertawa besar, serunya: "Kepandaian
usang dipakai lagi, bukankah ini kurang cerdik, di pesisir Toa-bing ouw tempo
dulu, dengan cara ini kau berhasil meloloskan diri, memangnya kali ini kau
hendak lolos pula dengan cara yang sama? Kau kira aku tak punya cara untuk
menghadapi permainanmu ini?"
Ditengah tawanya tiba-tiba
badan Coh Liu-hiang melambung tinggi mengikuti asap tebal yang mengepul naik
menjulang ke angkasa. Bahwasanya Coh Liu-hiang memang sudah berhasil
mendapatkan cara untuk mengatasi atau memecahkan cara melarikan diri dengan
menghilang meminjam asap tebal sesuai ajaran Jinsut seperti ini, asal meleset
terbang lebih tinggi dari tabir asap yang berkembang dan bergulung gulung di
udara, perduli ke jurusan lawan melarikan diri, jangan harap bisa mengelabuhi
sepasang matanya.
Walau cepat sekali asap tebal
ini berkembang, tapi dalam waktu singkat itu, melebarpun tidak begitu luas,
begitu badan Coh Liu-hiang melayang ke atas, tampak tiga tombak di luar
gulungan asap tebal itu, pasir kuning terbentang kosong, ternyata bayangan Go
Kiok kan tidak dilihatnya sama sekali, malah ditengah asap yang tebal itu
mendadak kedengaran gelak tawanya yang pongah.
Sebaliknya tenaga Coh
Liu-hiang seolah-olah seketika itu juga sirna dan badan menjadi lemas, badannya
yang melambung terbang ke angkasa seperti burung itu, seberat batu besar yang
jatuh dari angkasa terus anjlok dan terbanting keras di atas pasir.
Terdengar Go Kiok-kan
terloroh-loroh:
"Kepandaian usang
dilancarkan lagi memang kurang cerdik, tapi aku yakin otakku ini tidak sampai
sedemikian goblok, apalagi di hadapan Coh Liu-hiang si Maling Romantis yang
serba pintar ini, masakah aku bakal menggunakan cara yang sama untuk kedua
kalinya?"
Hembusan angin malam di padang
pasir amat santer, meski asap ini amat tebal, tapi sekejap saja sudah tersapu
bersih oleh deru angin yang menghembus kencang, samar-samar kabur semakin
menipis, dan melihat sesosok bayangan berdiri diantara keremangan malam, dia
bukan lain adalah Go Kiok-kan.
Coh Liu-hiang menghela napas,
ujarnya: "Benar, soalnya asap tebalmu tempo dulu tidak beracun, kali ini
aku tidak berjaga-jaga. Sungguh tidak pernah terpikir olehku bahwa kau bagai
mencampurkan obat bius yang dapat melemaskan tulang dan menyedot sukma itu di
dalam asap tebalmu ini.
"Sudah tentu kau tidak
akan menduganya." ujar Go Kiok-kan tertawa senang, "Karena setiap
orang menghadapi sesuatu yang sudah amat dipahaminya, pasti tidak akan bersikap
berwaspada seperti dulu, nah disitulah letak kelemahan watak manusia..."
sampai di sini dia tertawa geli, katanya lebih lanjut: "Setiap orang
mempunyai titik kelemahannya sendiri, dan kelemahanmu ialah keyakinanmu
terhadap dirimu sendiri terlalu tebal, hatimupun terlalu lemah.
Oleh karena faktor-faktor
inilah maka berulang kali terjungkal di tanganku. Hari ini bila kau mau menusuk
ulu hatiku atau menggorok leher ini, hari ini aku tidak akan dan tidak mungkin
merangkak keluar dari liang kubur dan hidup kembali."
Coh Liu-hiang tertawa getir,
ujarnya: "Akupun tahu akan kelemahan ini, yakni aku terlalu serius dan
terlalu berat menilaimu! Oleh karena itu meski aku tahu dalam dunia ini ada
manusia rendah dan lemah yang hina dina, demi menyelamatkan jiwa sendiri tidak
segan-segan dia pura-pura menemui ajalnya di bawah tusukan belatinya sendiri,
tapi mimpipun tak pernah terpikir olehku, seorang beribadat yang romantis hidup
bebas disegani seperti Biau-ceng Bu Hoa yang punya kepandaian silat sedemikian
tingginya, ternyata juga sudi melakukan serendah ini".
Go Kiok-kan mandah tertawa,
katanya: "Aku tahu hatimu amat mendelu sedih, karena Coh Liu-hiang si
Maling Romantis yang malang melintang tiada tandingan di kolong langit, hari
ini kena diingusi dan kecundang habis-habisan, demi membalas kebaikanmu dulu
kepadaku, hari ini akan kuberi kesempatan kepadamu untuk mengundal memakimu
sesuka hatimu, berapa banyak kata-kata makian di dalam perbendaharaan hatimu
boleh kau limpahkan sesukamu untuk melampiaskan kemendongkolanmu, perduli
apapun makian kepadaku, sebelum selesai cacimu, aku pasti tidak akan turun
tangan."
Sembari bicara, pelan-pelan
dia tanggalkan topinya, dengan gerakan yang amat hati-hati mencopot rambut
palsunya, lalu dengan kedua tangannya pelan-pelan kembali dia mengelotok
selapis kedok muka yang amat tipis dan berwarna kuning.
Maka Biau keng si padri saleh
Bu Hoa yang gagah cakap dan berwajah halus putih itu kembali terpampang di
hadapan Coh Liu-hiang.
Coh Liu-hiang hanya
mengawasinya diam dan tenang-tenang saja, sepatah katapun tak bersuara lagi.
Bu Hoa tertawa pongah,
katanya: "Agaknya kepandaian memalsu diri Cahye meski tidak lebih unggul
dari Coh Liu-hiang si Maling Romantis yang serba pandai merobah bentuk badan
dan mukanya, namun cukup baik dan patut dipuji juga, yang terang aku sudah
berhasil mengelabuimu bukan?"
"Masih terlalu jauh
kepandaianmu yang satu ini!" kata Coh Liu-hiang tawar.
"Kalau masih ketinggalan
jauh, masakah bisa mengelabui sepasang matamu?"
"Bahwasanya kau tidak
pernah mengelabui aku, waktu pertama kali berhadapan dengan kau aku sudah tahu
dan merasakan bahwa Go Kiok-kan adalah samaran orang lain, cuma dalam waktu
selama ini tidak pernah terpikir olehku bahwa kaulah yang membawa gara-gara
ini."
Bu Hoa menghela napas, ujarnya:
"Semula kukira selamanya kau tidak akan pernah curiga kepadaku, karena aku
betul-betul sudah berjerih payah dan memeras keringat dalam usahaku ini.
Setitik Merah ku undang datang
tujuanku supaya kau mengira Mutiara hitamlah yang menjadi biang keladi dalam
peristiwa ini dengan tindakan ini bukan saja supaya kau betindak keliwat
hati-hati dan selalu was-was tidak berani sembarangan bertindak lagi, sekaligus
dapat mengelabui kau sehingga persoalan kau kira semakin rumit dan
berliku-liku, tanpa sadar kau akan tersesat ke jalan samping dan selamanya
takkan berhasil kau ketahui seluk beluk persoalannya."
Coh Liu-hiang tertawa,
ujarnya: "Caramu ini memang pintar, sebetulnya memang aku sudah tersesat
ke jalan buntu dan hampir saja tak bisa berpaling, untunglah lekas sekali kau
menyadari bahwa Ciok Tho ternyata adalah salah satu dari Hoa san chit-kiam
dulu, dari sini pula baru aku sadar dan terpikir bahwa Ciok-koan-im ternyata
bukan lain adalah nona Li dari Ui san-si keh (Keluarga besar dari Ui san)".
Mendengar uraian Coh Liu-hiang
ini, seketika muka Bu Hoa membeku kaku, senyum tawanya yang manis welas asih
seketika sirna tak membekas lagi.
Dulu Hoa-san-kiam-pay dan
Ui-san-si-keh bertempur mati matian sampai kedua belah pihak jatuh korban yang
tak terhitung banyaknya, pihat Ui San-si-keh hanya tinggal nona Li saja yang
berhasil melarikan diri, beruntung lolos dari malapetaka, namun nona Li merasa
tidak bisa bercokol hidup lagi di Tiong-goan, maka dia melarikan diri keluar
lautan dan akhirnya tiba di Hu siang.
Disana bertemu dengan
Thian-long-cap si long yang jatuh cinta kepadanya, disana mereka hidup bersuami
istri selama beberapa tahun, malah melahirkan dua orang putra. Namun tatkala
secara diam-diam dia berhasil meyakinkan ilmu silat mujijat yang tiada taranya,
lantas dia tinggalkan suami, meninggalkan anak, minggat dan pulang kembali ke
Tiong goan, beruntun dia berhasil membunuh Hoa-san-chit-kiam dan berhasil
menuntut balas sakit hati Ui-san-si keh.
"Sejak itu nona Li
tiba-tiba menghilangkan jejaknya secara misterius, tiada seorangpun dalam
kalangan Kang-ouw yang tahu kemana jejaknya. Tak lama kemudian meski di dalam
Bulim muncul gembong iblis perempuan Ciok-koan-im yang berkepandaian tinggi
tiada bandingannya serta bersepak terjang aneh serta serba misterius, tapi
siapapun tiada yang mengira bahwa gembong iblis yang jahat dan laknat seperti
Ciok-koan-im itu ternyata bukan lain adalah nona Li dari keluarga besar Ui-san
satu-satunya yang masih hidup."
"Latar belakang yang
terahasia ini sebetulnya takkan ada orang yang bisa membongkarnya, dan sayang
sekali nona itu justru meninggalkan hidup jiwa salah satu dari Hoa
san-chit-kiam itu... sampai disini Coh Liu-hiang, tertawa tawar lalu
melanjutkan:
"Ini kemungkinan dia
terlalu takabur dan merasa dirinya terlalu ampuh, betapapun derita siksa yang
pernah dia alami, tidak dia pandang tidak sudi berlutut dan menyerah kepada
nona Li itu, sebaliknya bila nona Li itu sudah jatuh hati kepada seseorang,
bagaimanapun dan apapun yang akan terjadi dia harus mencapai dan melaksanakan
keinginannya, maka selama ini dia tidak pernah membunuhnya, tak pernah pula
terpikir olehnya, orang yang sudah tidak menyerupai manusia itu bakal dapat
melarikan diri"
Rona muka Bu Hoa kini seperti
dilapisi tabir dingin katanya ketus dingin: "Teruskan!"
"Tapi hanya sumber ini
saja, masih tidak mungkin membongkar rahasia Ciok-koan-im, dan harus
disayangkan pula pada dua puluh tahun kemudian, dalam dunia ini justru muncul
manusia bawel dan rewel macam Coh Liu-hiang yang suka mencampuri urusan orang
lain. Kebetulan Coh Liu-hiang cukup intim dan bersahabat baik serta amat
mencocoki dengan kedua putra putranya nona Li itu yang sudah menanjak dewasa,
lebih celaka lagi dari teman karib mereka akhirnya berubah jadi musuh yang
berlawanan muka dan tujuan. Maling Romantis yang suka petingkah itu kembali
menggali peristiwa besar di Bulim masa silam yang sudah dilupakan orang. Sudah
tentu hal ini sekali kali tidak akan pernah terpikir atau diduga oleh nona Li
alias Ciok-koan-im itu."
"Lanjutkan." desak
Bu hoa pula dengan kaku dan ketus.
"Walau Coh Liu-hiang
sudah tahu kisah kehidupan Thian Hong-cap-si-long ayah beranak namun tidak
pernah terbayang olehnya bahwa mereka bisa mungkin punya sangkut paut yang
begitu erat dengan Ciok-koan-im.
Kedua persoalan ini hakikatnya
satu sama lain tidak boleh dibicarakan secara bergandengan.
Sampai pada waktu salah satu
murid Hoa-san-pay yang sudah lama lenyap atau mengasingkan diri tiba-tiba
muncul, dari mulut murid Hoa-san-pay ini baru diketahui rahasia Coik-koan-im yang
sebenarnya, maka kedua persoalan ini mau tidak mau harus dibereskan
bersama"
Dengan tajam dia pandang Bu
hoa lekat-lekat, lalu berkata pula dengan tersenyum:
"Kalau kedua persoalan
ini harus digandeng dan punya ikatan yang erat, persoalan apa pula yang tidak
akan dapat kupikirkan dan takkan jelas seluruhnya?"
Sejenak Bu Hoa menepekur, lalu
katanya kalem: "Benar, kalau kau sudah tahu Ciok-koan-im sebetulnya adalah
ibuku, maka dengan sendiri bisa kau bayangkan pula", setelah kekalahannya
secara mengenaskan di Tionggoan, sudah tentu Bu Hoa malu bercokol di sana, maka
terpaksa dia mundur keluar perbatasan, di sini dia dapat bersandar kepada
kekuatan ibunya: Bahwa ambisi Bu Hoa selama di Tionggoan sudah kau bikin
tercerai berai dan gagal total, maka terpaksa dia harus menarik diri untuk
bekerja lagi mulai dari permulaan di padang pasir ini.
Biji mata Bu Hoa tiba-tiba
menyorotkan sinar terang, ujung mulutnya mengulum senyum lagi, katanya:
"Tapi cara bagaimana Bu Hoa bisa tahu bila Ciok-koan-im adalah ibu kandungnya?
Bukan mustahil Bu Hoa sendiripun tidak tahu menahu akan hal ini, tentunya Coh
Liu-hiang sendiripun kebingungan dan tak habis mengerti bukan?"
Tak kira tanpa banyak
berpikir, Coh Liu-hiang segera menjawab: "Itulah lantaran ada hubungan
erat dengan Jun-hujin Chiu Ling -siok !"
"Chiu Ling-siok?" Bu
Hoa mengerut kening.
"Apa pula sangkut pautnya
dengan persoalan ini?"
"Ciok-koan-im tidak akan
mau terima bila didalam dunia ini ada perempuan yang berparas lebih cantik
melebihi dirinya, maka karena jelusnya itu dia merusak wajah Chiu Ling siok,
sehingga Chiu Ling-siok merana dalam hidupnya, menderita siksaan batin selama
hidup"
"Tak nyana Jim pangcu
justru jatuh hati dan mencintainya setulus hatinya, bukan lantaran rusaknya
wajahnya yang cantik itu cintanya berubah, malah dia mempersuntingnya sebagai
istrinya.
Orang yang hendak dirusak dan
disingkirkan oleh Ciok-koan-im, Jim-pangcu justru menolongnya, sudah tentu hal
inipun tidak bisa diterima oleh Ciok-koan-im, sudah tentu dia pantang
membiarkan orang-orang yang dirasakan mengganggu dan menghalangi
keinginannya."
Sungguh tak nyana
Thian-hong-cap-si-liong ternyata bertindak satu langkah lebih cepat dari dia,
sang suami itu sudah menemui Jim-pangcu lebih dulu, setelah dia tahu bahwa
suaminya atau Thian hong cap-si-long menitipkan putranya kedua-duanya, segera
dia batalkan niatnya untuk membunuh Jim-Jip, karena dia sudah dapat satu akal
yang jauh lebih baik daripada membunuhnya, tapi bukan saja dia tetap
menginginkan kematiannya, malah dia akan memberantas sampai keakar
akarnya."
Sampai di sini kembali Coh
Liu-haing menghela napas, lalu meneruskan pula:
"Perempuan lain tentu
tidak akan sabar menunggu sedemikian lamanya, tapi demi menjatuhkan seseorang,
tidak sayang dia menghabiskan wektu puluhan tahun, setelah kedua putra-putranya
itu sudah tumbuh dewasa, baru dia pergi mencari dan menemui mereka."
Tak urung Bu Hoa ikut menghela
napas panjang pula, katanya: "Semua hal ini, cara bagaimana kau bisa
memikirkan dan menduganya?"
"Coba kau pikir jikalau bukan
dia yang memberi kepada Lamkiong Ling, bahwa Jim Jip hakekatnya bukan orang
yang berbudi luhur, malah tua bangka ini tak lain tak bukan adalah musuh
bebuyutan pembunuh ayahnya. Kalau tidak masakah Lamkion Ling tega bertindak
sekejam itu kepada Jim Jip gurunya yang mengasuh dan mendidiknya sejak kecil
seperti anak kandungnya sendiri?"
"Waktu kau masuk
perguruan Siau Lim pay, boleh dikata sudah tahu urusan, tapi waktu itu Lamkiong
Ling masih merupakan bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa, seumpama sejak
dilahirkan dia bawa bakat dan kecerdikan yang luar biasa, tapi karena diasuh
dan dibesarkan oleh Jim Jip, sedikit banyak dalam jiwanya sudah kelunturan
watak kesatria dan pribadinya yang luhur dan bajik, memangnya mungkin dia tak
segan-segan melakukan perbuatan rendah yang dicela itu? Untuk hal ini sejak
mula aku sudah merasa heran dan tak habis mengerti bahwa si belakang persoalan
justru terselip seluk beluk yang rumit ini."
"Jadi sekarang kau sudah
paham keseluruhannya, ya? jengek Bu Hoa.
"Sekarang sudah tentu
kupahami seluruhnya, lantaran dia menceritakan riwayat hidup kalian, barulah
mereka sadar dan mengetahui bahwa kalian sebetulnya adalah saudara sepupu, oleh
karena itu pula rasa dendam dan ingin membalas sakit hati kematian ayah kalian
dalam sanubari masing-masing terhadap orang-orang yang menanam budi besar
kepada kalian. Kalian melakukan perbuatan itu, bukan saja punya ambisi hendak
merajai Bulim, tujuan yang utama adalah hendak menuntut balas."
Bu Hoa menarik napas, katanya:
"Kau betul maha cerdik dan selalu pintar, cuma sayang kau terlampau dan
kelewatan pandai." "Pujianmu ini entah sudah berapa kali perbah
kudengar dari mulutmu."
"Tapi kali ini, mungkin
adalah penghabisan dan yang terakhir kali."
Bercahaya biji mata Coh
Liu-hiang, katanya: "Sekarang aku terkena obat biusmu, tenaga untuk
melawanpun tiada lagi, memangnya kau sudi turun tangan terhadap seseorang yang
sudah mati kutu dan tidak mampu melawan lagi?"
"Sebetulnya aku boleh
tidak tega membunuhmu, tapi dari sepak terjangmu selama ini aku berhasil
mempelajari dan menyadari sesuatu."
"Sesuatu apa?"
Patah demi patah kata Bu Hoa
menjelaskan dengan tandas: "Yaitu jiwa seseorang apalagi dia seorang
laki-laki, sekali-kali tidak boleh lemah hati, kalau sebaliknya dia bakal
mampus ditangan orang lain! Dan lantaran kelemahan hatimu pula, maka hari ini
kau bakal terbunuh oleh kedua tanganku ini."
Lama Coh Liu-hiang berdiam
diri, lalu katanya rawan: "Bu Hoa, Bu Hoa, sungguh salah dan keliru benar
pandanganku selama ini."
"Sreng" terdengar
golok terlolos dari sarungnya, ternyata Bu Hoa sudah menenteng senjata siap
memenggal kepalanya. Begitu tajam dan mengkilap golok di tangannya itu. Dengan
nanar Bu Hoa pandang goloknya sebentar serta katanya: "Tentunya kau masih
ingat akan jurus Ni-hun it-to-jan itu bukan?"
"Masakah aku bakal
melupakan kejadian yang bersejarah itu?" Coh Liu-hiang balas mengolok
dengan sinis.
"Kalau aku membunuh orang
dengan jurus itu, pasti tidak akan membawa derita dan siksaan bagi si korban,
malahan kau tidak akan merasa bahwa tajam golokku ini sudah memenggal kepalamu,
aku boleh memberi garansi, dalam dunia ini pasti takkan ada cara kematian yang
begitu menyenangkan dari pada tebasan golok ini..." dia menghela napas
pula, katanya: "Inilah dharma baktiku yang terakhir yang bisa kulakukan
demi sahabat baikku seperti kau ini, bolehlah kau anggap sebagai pembalasan
budiku kepada kebaikanmu terhadapku selama ini."
Maka batang golok yang tajam
dan berkilauan itu pelan-pelan terayun, mendadak bergerak bagaikan kilat
menyambar turun membacok kepala Coh Liu-hiang.
xxx
Dalam lembah sunyi yang
mengandung kesesatan itu sudah tiada ketinggalan seorangpun hidup, sampaipun
laki-laki yang terima diperbudak seperti mayat hidup dan kerjanya cuma menyapu
pasir selama hayatnya itu pun tiada satupun yang ketinggalan hidup, di Burung
Kenari ternyata tidak memberi ampun juga kepada mereka.
Kini mayat-mayat yang malang
melintang terkapar dimana-mana itu satu persatu sudah ditutupi dengan kain
panjang, yang tak sedikit jumlahnya didalam gedung sarang Ciok-koan-im ini,
tapi hawa dalam lembah masih diliputi bau amis yang memualkan.
Hanya Ciok-koan-im seorang
saja yang berada didalam kamar tidurnya yang serba rahasia itu, suasana tetap
hangat dan romantis di bawah sinar api yang remang-remang tampak betapa cantik
jelita serta memabukkan dan merangsang birahi setiap laki-laki normal yang
melihatnya.
Kini Ciok-koan-im sudah
kembali di dalam kamar pribadinya, agaknya tetap begitu tenang rupawan dan
tentram, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu atau dilihatnya perobahan di
sekelilingnya tiada suatu peristiwa betapapun besarnya yang dapat membuatnya
kaget dan berobah.
Di pojok tembok sana
tergantung kain gordyn yang menjuntai turun, bila kain gordin ini ditarik ke
samping maka terlihatlah sebingkai kaca atau cermin yang besar dan jernih
kemilau, sedemikian besar dan mahalnya cermin bundar ini karena sekeliling
bundarannya dihiasi batu-batu jambrud dan mutiara, dipelihara dan dijaga
sedemikian berharganya laksana benda mestika yang tiada taranya.
Seandainya batu-batu jambrud
dan mutiara itu berbanding dengan sebuah kota, kemegahan dan kebagusan dari
pada cermin itu sendiri seolah-olah mengandung kekuatan iblis yang misterius.
Siapapun yang berhadapan di
depan cemin ini tak tertahan lagi pasti akan tekuk lutut dan menyembah
kepadanya. Seolah-olah kena daya sihir.
Kini Ciok-koan-im sedang
berdiri dan bersolek di depan cermin besar ini, entah berapa lama sudah dia
bergaya di depan cemin ini, dengan mendelong dan kesima dia mengawasi bayangan
diri sendiri di dalam kaca. Rona wajahnya yang pucat lambat laun mulai bersemu
merah laksana buah yang mulai masak, mungil sekali.
Lalu pelan-pelan satu persatu
dia mulai menanggalkan pakaian yang melekat di atas badannya, maka sekujur
badannya yang putih halus, montok berisi dengan telanjang bulat terpampang
didalam cermin besar itu keseluruhannya.
Cahaya api kelap-kelip
menyoroti badannya, kulit badannya selicin sutra mengkilap dan halus, kedua
bukit montok nan kenyal laksana batu jade, dengan bangga tegak menonjol di
dalam hangat nan kering ditengah padang pasir ini, kedua pahanya yang tinggi
membundar rata lekuk-lekuk badannya nan semampai dan gemulai laksana hembusan
angin musim semi di Kanglam.
Ciok-koan-im berdiri tegak
lurus laksana tonggak, dengan mendelong mengawasi bayangan bentuk badan sendiri
di dalam kaca, sorot matanya itu, begitu bergairah dan menunjukkan nafsu birahi
yang menyala, berkobar lebih memuncak dari seorang laki-laki yang ketagihan
sex, sampaipun letak-letak yang sangat tersembunyipun tidak terlepas dari
pandangan dan jamahan jari-jarinya.
Entah berapa lamanya, akhirnya
dia menarik napas dengan puas, katanya seorang diri: "Seorang perempuan
sebaya aku ini masih bisa mempertahankan kecantikan badannya sedemikian rupa,
kecuali aku, mungkin tiada orang keduanya dalam dunia ini."
Ciok-koan-im didalam kacapun
ikut tersenyum, agaknya seperti berkata: "Ya, takkan ada orang kedua dalam
dunia ini."
Pelan-pelan Ciok-koan-im
melangkah mundur lalu duduk di sebuah kursi besar dan nyaman yang berada tepat
di depan kaca itu, agaknya memang badannya rada letih, namun sikapnya
kelihatannya begitu riang gembira. Dengan puas dia menarik napas, katanya:
"Aku amat penat! Tahukah kau, hari ini berapa banyak urusan yang sudah
kubereskan?"
Bayangan Ciok-koan-im di dalam
cerminpun menjadi ikut girang, seperti berkata: "Urusan apapun yang kau
kerjakan tentu beres dan tak perlu disangsikan lagi."
Ciok-koan-im tertawa, katanya
pula: "Kui-je-ong itu ternyata tidak ceroboh dan bodoh seperti yang kukira
semula, tapi aku tetap membunuhnya juga, sekaligus akupun bunuh putrinya yang
menganggap dirinya teramat cantik, racun di dalam cangkir arak itu, sekarang
tentunya sudah mulai bekerja."
"Soal Ki Ping-yan dan Oh
Thi-hoa itu, sebetulnya aku tidak ingin selekas itu membunuh mereka siapa
nyana, malah berebutan meneguk dulu arak di dalam cangkir yang kuberi racun
itu."
Kembali ia menghela napas,
katanya lebih lanjut: "Aku memang tahu orang macam Oh Thi-hoa, lebih baik
membunuh diri daripada disiksa atau terbunuh orang lain. Tapi tak pernah
terpikir olehku bahwa Ki Ping-yan bakal bertindak seperti itu pula, sungguh
suatu hal yang harus dibuat sayang, ya toh?"
Bayangan di dalam cermin itu
juga ikut menghela napas, seolah-olah ikut merasa sayang dan gegetun.
Setelah berdiam diri beberapa
kejap, Ciok-koan-im tertawa riang pula, katanya: "Tapi bagaimana juga
rencana terhitung sudah terlaksana dengan baik, tua bangka yang suka
mengagulkan diri itu membunuh An Tek-san, hal ini memang mencocoki seleraku,
memangnya cepat atau lambat aku sendiripun melenyapkan mereka semua."
Bayangan dalam cermin kembali
ikut tersenyum, seolah-olah diapun berkata: "Tidak salah, perduli siapa
saja yang mampus, tidak akan menjadi ganjalan hatimu, hakikatnya tiada satu
orangpun dalam dunia ini yang benar-benar menarik perhatianmu, termasuk
putri-putri dan suami sendiri."
Ciok-koan-im cekikikan geli,
ujarnya: "Mereka membunuh semua orang yang menghuni lembahku ini,
disangkanya aku bakal bersedih dan marah, di luar tahu mereka bahwa aku memang
sedang memikirkan untuk mengganti suasana yang lain, pergi ke negeri Kui je untuk
menikmati jadi seorang permaisuri yang disanjung puji, kalau orang-orang ini
tidak mampus, mungkin kelak bakal menjadi beban diriku, sekarang mereka sudah
ajal seluruhnya, untuk ini aku terus berterima kasih kepada mereka."
Bayangan dalam cermin juga sedang
tertawa besar, seperti berkata: "Seharusnya memang mereka sudah tahu,
terhadap siapa dan mengenai persoalan apa, kau tidak akan pernah sayang dan
berkesan dalam sanubarimu."
"Cuma kau, isi hatiku,
hanya kau yang tahu, hanya kau yang memarahiku, dikala aku berduka, hanya kau
yang menemani aku ikut sedih, bila aku riang gembira, hanya kau pula yang
mengiringi kegembiraanku juga."
Senyuman muka berubah
sedemikian mekar, manis dan hangat, sepasang jari-jari tangannya yang
runcing-runcing dan indah, lambat-lambat mulai bergerak, mencomot, mencubit,
meremas dan menggosok setiap jengkal kulit-kulit dagingnya, sorot matanya yang
semula dingin beku, kini mulai berubah menjadi panas membara dan begitu
bergairah, Laksana mengigau dalam mimpi mulutnya mendesis: "Dalam dunia
ini hanya kau satu-satunya yang dapat menghibur dan membuatku senang, gembira
dan puas, semua laki-laki itu ....... seluruh laki-laki itu sudah memualkan
seleraku."
Bayangan dalam cermin itu juga
mulai menggeliat dan meraba-raba badan sendiri dengan nafsu.
Ciok-koan-im mengawasi tangan
si "dia" bergerak pelan-pelan mengelus di atas kedua puncak dadanya,
pelan-pelan turun ke perut, ke paha lalu mendatangi hutan roban dan menyusup ke
lembah basah, bergerak pelan-pelan, terlihat olehnya jari-jari tangan itu
bergerak semakin cepat merangsang, napasnya menjadi tersengal-sengal.
Kini kedua sorot matanya sudah
membara laksana terbakar, kerongkongannya mengeluarkan rintihan kenikmatan yang
tiada taranya, seperti ketagihan, badannya yang montok semampai itupun mulai
gemetar, menggeliat dan bergelinjang, meliuk-liuk. Terdengar mulutnya merintih
penuh kenikmatan, "Kau sungguh baik, baik sekali ...... tiada laki-laki di
dunia ini yang sebanding kau, selamanya tak ada orang yang menandingi kau ...."
Pada saat itulah di luar teras
diambang pintu, terdengar helaan napas orang yang amat lirih.
Helaan napas lirih, namun
didalam keheningan kedengarannya laksana bunyi cemeti, yang meledak di tengah
udara, seolah-olah melecut di atas badan Ciok-koan-im, yang telanjang bulat
itu, rona muka Ciok-koan-im yang merah membara itu seketika seperti membeku
kering, rintihan bergetar tadipun seketika sirap, sepasang paha yang tertekuk
dan bertimpah itupun pelan-pelan mulai mengendur dan terpentang lebar.
Akan tetapi badannya masih
duduk setengah rebah di atas kursi menghadap ke arah cermin, nafsu birahinya
yang sudah berkobar dan memuncak seketika berobah menjadi amarah yang tak
terkendali lagi laksana kobaran api yang tak bisa dipadamkan lagi. Kedua
jari-jari tangannya terkepal kencang dan terangkat tinggi, setelah amarah yang
memuncak ini mulai mereda dan kembali tenang baru dia menghela napas dan
katanya: "Orang yang berada di luar apakah Coh Liu-hiang?"
Orang yang berada di luar
kerai menghela napas pula, sahutnya: "Ya, memang Cayhe adanya!"
Ciok-koan-im tertawa tawar,
ujarnya: "Kalau kau sudah datang, kenapa tidak masuk kemari?"
Ternyata Coh Liu-hiang
menurut, pelan-pelan dia muncul di pintu dan terus beranjak ke dalam. Dengan
kesima tajam dia pandang bayangan Ciok-koan-im di dalam cermin, berselang lama
juga, baru Coh Liu-hiang membuka kesunyian dengan menghela napas: "Aku
tahu selama hidupmu kau sedang menganggap dan mencari, ingin menemukan
seseorang yang benar-benar dapat kamu cintai, dapat memuaskan seleramu, sebetulnya
aku ikut mengharapkan semoga kau lekas mendapatkan, tapi baru sekarang aku
sadar, bahwa selamanya kau tidak akan pernah mendapatkan lagi."
"O? Kenapa begitu?"
tanya Ciok-koan-im.
"Karena kau jatuh cinta
pada dirimu sendiri, hanya dirimu sendiri yang kau cintai, maka terhadap
siapapun tidak pernah kau menaruh perhatian, sampaipun suami dan
anak-anakmu."
Ciok-koan-im mendadak
berjingkrak bangun dari kursinya serta berteriak marah: "Kau... kenapa kau
mencuri lihat rahasia pribadiku?"
Walau sedang marah dan
mencak-mencak namun tindak tanduknya tetap gemulai dan indah, perempuan yang
selamanya halus lembut kini ternyata berubah menjadi perempuan jalang yang
galak dan buas, tak ubahnya seperti seekor binatang liar. Sepasang matanya yang
indah itu, menyorotkan sinar kebencian yang meluap-luap. Coh Liu-hiang
ditatapnya sedemikian rupa, seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat. Tanpa
sadar Coh Liu-hiang bersitegang leher dibuatnya, dengan waspada dan siaga
selangkah demi selangkah dia menyurut mundur.
Tak kira tiba-tiba
Ciok-koan-im menghentikan langkahnya, kembali senyuman manis mulai menghias
wajahnya nan cantik melebihi bidadari dengan pandangan sayu dia awasi Coh
Liu-hiang. Katanya lembut: "Kau harus memaafkan kepanikanku barusan, bukan
sengaja aku hendak berlaku sekasar tadi, tentunya kau cukup tahu, jikalau
rahasia pribadiku sampai diketahui orang lain, bukan mustahil dari rasa malu
menjadi marah dan penasaran, benar tidak?"
Lama juga Coh Liu-hiang
menjublek, sahutnya tertawa getir: "Aku sendiri bukan sengaja hendak
mencuri dengar dan mengintip rahasiamu, semoga kaupun suka memaafkan
kesalahanku ini."
Ciok-koan-im tersenyum
ujarnya; "Kau berani berkata demikian,aku sungguh amat girang,
soalnya..." Kembali dia menyurut mundur dan duduk ke kursi kebesarannya,
katanya lebih lanjut: "Tak perlu dipersoalkan, apakah aku yang akan
membunuh kau, atau kau yang ingin membunuhku, adalah pantas kalau diantara kami
masing-masing meninggalkan kesan yang mendalam. Seumpama disaat ajalmu tiba
tidak kuharapkan kau anggap aku ini sebagai perempuan galak yang buruk dan
jelek, oleh karena itu, andaikata kau hendak membunuh aku, paling tidak sukalah
kau duduk-duduk dulu mengobrol dengan aku!" mendadak dia berubah menjadi
tuan rumah, perempuan yang genit centil dan serba halus dan pakai tata krama
lagi. Menghadapi permintaan tuan rumah yang sedemikian cantik dan lemah lembut
ini, siapapun takkan sampai hati menolaknya.
Terpaksa Coh Liu-hiang
menempati sebuah kursi dan duduk dengan kaki terpentang, katanya: "Adakah
kau mempunyai pertanyaan apa-apa yang hendak aku ajukan kepadaku?"
"Benar, sudah tentu aku
punya omongan yang perlu kutanyakan kepada kau, tapi sebagai Maling Romantis,
sebagai laki-laki sejati yang patuh adat dan sopan terhadap kaum hawa, maka kau
beri kesempatan lebih dulu, kepadaku untuk mengajukan pertanyaan." Dia
berhenti untuk menghiasi senyuman pula pada wajahnya, lalu menyambung:
"Kalau begitu baiklah aku mulai bertanya, adakah kau sudah bertemu dengan
Bu Hoa?"
"Sudah bertemu,"
sahut Coh Liu-hiang, sikapnya terlalu baik kepadaku, begitu besar keyakinannya
dan berkukuh untuk membalas budi kebaikanku dulu."
Agaknya Ciok-koan-im melengak
heran dan tak mengerti, teriaknya kaget: "Apa, membalas budimu? Cara
bagaimana kita hendak membalas budi kebaikanmu?"
Coh Liu-hiang tersenyum,
katanya kalem: "Dia hendak menggunakan jurus Hi bun-it to-jan, sekali
bacok memenggal batok kepalaku."
Ciok-koan-im tertawa
cekikikan, katanya: "Cara membalas budi kebaikan seperti itu sungguh baik
dan teristimewa sekali, lucu dan menarik pula."
"Ya, memang lucu dan
menarik. Cuma harus disayangkan karena batok kepalaku ini hanya satu, tidak
lebih, terpaksa dengan lemah lembut aku tampik maksud baiknya."
Ciok-koan-im menghela napas,
katanya: "Kalau begitu, bukankah membuatnya amat kecewa?"
"Hujin sendiri, memang
kau tidak ikut kecewa?" Kerlingan mata Ciok-koan-im berputar-putar diatas
badan Coh Liu-hiang, katanya tertawa: "Aku sih tidak begitu kecewa, tapi
rada merasa heran saja."
"Heran? Apa yang kau buat
heran?"
Ciok-koan-im menuding sebuah
botol yang terletak diatas meja kecil tinggi yang berada di pinggir cermin
berwarna hijau pupus, katanya kalem: "Sudahkah kau melihat botol itu,
kusimpan obat bius yang tak berwarna, tak berbau, obat bius ini mempunyai
namanya sendiri yang enak didengar Gan-ji-bi atau “kerlingan mata genit”,
karena untuk membius pingsan seseorang, semudah gadis-gadis jelita yang
mengerling matanya, lebih nikmat lagi karena bisa bikin orang merasa dirinya
seperti terbang ke awang-awang, sedikit tenagapun takkan kuasa kau kerahkan.
Coh Liu-hiang bertanya:
"Apakah Bu Hoa menggunakan obat bius semacam ini untuk menghadapi
Cayhe?"
"Benar obat bius ini
biasanya selalu menunjukkan khasiatnya yang luar biasa, namun kenapa tidak
berguna untuk menghadapi kau?"
Coh Liu-hiang mengorek-ngorek
lobang hidungnya, katanya dengan tersenyum: "Selama hidup, entah berapa
kali Cayhe pernah ditipu mentah-mentah, tapi selama itu juga tidak pernah aku
kepecundang oleh segala macam obat bius yang lihaipun".
Agaknya Ciok-koan-im heran dan
tertarik, katanya: "Kenapa begitu?"
"Apakah Hujin pernah
memperhatikan Cayhe sering menggosok-gosok hidung!"
"Bila kau menggosok-gosok
hidung tampangmu kelihatan menarik sekali, aku percaya banyak gadis-gadis
remaja yang kepincut dan jatuh hati melihat gerak-gerikmu ini, tapi apa pula
hubungannya menggosok hidung ini, dengan obat bius itu?"
"Karena kalau aku sering
dan harus menggosok-gosok hidung bukan lantaran ingin pamer, dan hendak memelet
gadis, adalah karena hidungku ini sejak lama terserang penyakit, penyakit yang
luar biasa dan tak mungkin diobati, sampai tabib sakti yang kenamaan di Kanglam
Kim-ciam toh-wi Yap Thian cu, juga berkata bahwa penyakit hidungku ini sudah
tak bisa disembuhkan dengan macam obat apapun,"
Sampai disini Coh Liu-hiang
menghela napas, lalu katanya lebih lanjut: "Seseorang bilamana
pernapasannya terganggu, setiap hari pasti akan merasa pening dan mata
berkunang-kunang, boleh dikata jauh lebih menderita dari terjangkit penyakit
kronis apapun, oleh karena itu Cayhe lantas bersumpah untuk meyakinkan semacam
Lwekang yang istimewa, ajaran Lwekang yang lain dari pada yang lain, Lwekang
semacam ini tiada manfaat lain yang khusus, tapi bagi orang yang mempelajarinya
sampai matang, pori-pori kulit di badannya bisa dipakai untuk bernapas. Lama
kelamaan menjadi kebiasaan, maka hidungku ini menjadi benda yang tak berguna
yang tercantel di mukaku sebagai hiasan belaka, tapi karena kupandang orang
tanpa hidung tentu jelek mukanya, maka hidung ini tidak kucopot."
Baru sekarang Ciok-koan-im
benar-benar takjub, sekian lama dia duduk terlongong, akhirnya tertawa getir:
"Kalau hidungmu itu hiasan tidak berguna diatas mukamu, sudah tentu tiada
sesuatu obat bius yang betapappun lihay dan kerasnya dapat membikin kau roboh
pingsan, kulit dan pori-pori badanmu bisa kau gunakan untuk bernapas,
hakikatnya tidak perlu ganti napas segala, sudah tentu Ginkangmu jauh lebih
hebat dari orang lain, tak heran sering orang bilang hati dan perasaan seorang
picak jauh lebih peka dari orang lain, agaknya ada kalanya sesuatu hal dalam
dunia ini, memang betul-betul lantaran kecelakaan lantas ketiban rejeki
nomplok."
"Sekarang aku sudah
memberi tahu rahasia diriku yang orang lain tidak mungkin tahu kepada Hujin,
Hujin masih ada pertanyaan apa lagi?"
"Lalu bagaimana dengan Bu
Hoa? Apa kau gunakan juga cara yang dia praktekkan atas dirimu untuk membalas
kebaikannya?" tanpa menunggu jawaban Coh Liu-hiang, kembali dia tertawa
dan menambahkan pula: "Sudah tentu tidak akan bertindak demikian, kaum
persilatan dalam Kangouw sama tahu sepasang tangan si Maling Romantis,
selamanya tidak pernah berlepotan darah, benar tidak?"
Sikap Coh Liu-hiang mendadak
berubah serius katanya: "Ya, memang begitulah. Jiwa manusia atas karunia
Thian Yang Maha Esa, siapapun tiada hak untuk merenggut jiwa orang lain, sudah
tentu Bu Hoa tidak akan mati di tanganku, dia sekarang berada di suatu tempat
yang tak jauh dari sini, apa Hujin ingin menjenguknya?"
Ciok-koan-im menatap hidung
Coh Liu-hiang katanya: "Jikalau aku ingin melihatnya tentunya ada
syaratnya bukan?"
"Sebetulnya sih tiada
syarat istimewa apa-apa, cuma Cayhe ingin bertemu dengan beberapa orang
saja."
"Apakah Oh Thi-hoa, Ki
Ping-yan, dan Kui je-ong ayah beranak?"
"Benar, masih ada lagi
Liu Yan hwi, Ki Bu yong dan Setitik Merah."
"Nasib Setitik Merah dan
Ki Bu-yong memang sedang mujur, waktu aku tiba disana mereka sudah berlalu,
malah meninggalkan sepucuk surat untuk kau. Walau aku tidak pantas membuka
surat orang lain, tapi apa boleh buat tak terkendali aku untuk tidak membacanya."
Coh Liu-hiang menahan sabar,
katanya: "Setelah kau baca tentunya lantas kau sobek?"
"Tapi apa yang tertulis
dalam surat itu, masih segar kuingat dalam benakku!" dia tertawa
menggiurkan, surat itu terang adalah tulisan Ki Bu-yong, katanya:
"Walaupun mereka sudah cacat, namun mereka tidak ingin minta perlindungan
kalian, kelak masih banyak waktu, mereka malah mengharap bisa melindungi
dirimu."
Coh Liu-hiang tahu tentulah
ucapan Ki Ping-yan yang sedang muring-muring itu amat mengetuk sanubari mereka,
tak tertahan dia menghela napas, namun tak tahan untuk tidak tersenyum,
katanya: "Kedua orang ini memang dibekali watak yang keras dan sama-sama
kukuh, sama-sama angkuh dan sombong pula.
Bahwa mereka dapat rukun
bersama, memang merupakan pasangan setimpal, harus dipuji dan dibuat girang,
tentunya Hujin ikut bergirang bagi keberuntungan dan nasib mujut nona Ki
itu."
"Soal Liu Yan-hwie
bersaudara yang kau katakan, hakikatnya aku tidak pernah melihat mereka,
tentunya diapun sudah pergi."
Coh Liu-hiang menghela napas
lega, tanyanya: "Lalu bagaimana dengan Oh Thi-hoa dan lain-lain?"
"Mereka sih masih berada
di suatu tempat tak jauh dari sini, cuma sekarang mungkin sudah rada terlambat
bila kau susul mereka kesana."
Tersirap darah Coh Liu-hiang,
teriaknya tersekat: "Mereka... apakah mereka... !" tenggorokannya
seperti mendadak kejang sampai tidak dapat bersuara lagi.
"Biasanya aku tidak suka
menggunakan obat racun karena aku masih punya banyak cara untuk membunuh orang,
jauh lebih mudah dan cepat dari menggunakan racun, maka bicara soal menggunakan
racun, terus terang aku bukan tandingan Chiu Ling Siok , jikalau kau datang
setindak lebih cepat, mungkin masih bisa menolong mereka, tapi sekarang...
sekarang siapapun takkan dapat menolongnya."
Sepertinya bercerita atau
mendongeng saja mulutnya menerocos tanpa perdulikan perasaan Coh Liu Hiang,
jantung orang, terasa ditusuk sembilu, benaknya seperti digerogoti lalu
dibanting berkeping keping, serasa pecah Coh Liu hiang, darah panas seketika
memuncak ke atas kepalanya.
Tapi dia cukup tahu, di
hadapan seorang musuh tangguh seperti Ciok Koan-im, sekali kali tidak boleh
terburu nafsu dan emosi, sekali naik pitam, kematian bakal lebih cepat terpaksa
sedapat mungkin dia tekan dan menahan gejolak hatinya. Sungguh bukan soal mudah
dapat mengendalikan perasaan hati, jarinya terkepal kencang, kuku jarinya malah
sudah menusuk amblas ke dalam daging kulitnya, seluruh gigi dalam mulutnya
serasa hampir remuk gemeretak.
Satu hal harus diakui, bahwa
hal ini merupakan kekalahan Coh Liu-hiang yang paling besar dan paling
mengenaskan selama hidupnya, merupakan pukulan yang teramat berat untuk
diterima!. Seumpama sekarang dirinya berhasil membunuh Ciok Koan-im, takkan
mungkin dua hindarkan lagi selama hidup ini bakal menyesal dan gegetun
sepanjang masa. Apalagi sekarang, hakikatnya dia tidak punya pegangan dan tidak
yakin dengan bekal kepandaian dan perbendaharaan silatnya belum tentu dia bisa
mengalahkan Ciok-Koan-im atau merobohkannya.
Sinar lilin masih tetap redup
dan hangat. Dibawah penerangan sinar api seperti ini, meski dia seorang
perempuan biasa, apa lagi dalam keadaan polos tanpa selarik benang menutupi
badannya yang montok menggiurkan dengan gaya dan sikap merangsang lagi,
kelelaki-lakian siapa yang tidak akan bangkit dan menggelora mengkili-kili
hati, apalagi keayuan dan kecantikan Ciok-koan-im melebihi bidadari dan diakui
sebagai perempuan tercantik di seluruh jagat, ratu duniapun takkan bisa
menandinginya, dengan berani dan meliuk-liuk badan dia bergaya di hadapan Coh
Liu-hiang seperti ratu kecantikan sedang memperagakan keindahan badannya juri
yang bakal menilai dirinya, kuatir sang juri tidak bisa memberi penilaian
tinggi, maka dia terus bergerak berganti gaya dengan gerakan gemulai.
Tapi sorot mata Coh Liu-hiang
mendelong lempang ke depan, seolah-olah apapun tidak terlihat olehnya.
Mungkin keletihan atau putus
asa dan kecewa, akhirnya Coik-koan-im menghela napas, katanya: "Aku tahu
kau tentu ingin menuntut balas bagi kematian mereka, teman-teman baikmu, tapi
kuperingatkan kepada kau lebih baik batalkan saja niatmu itu, karena meski ilmu
silatmu amat tinggi, tetap dalam seratus jurus aku mampu mengalahkan kau,
merenggut jiwamu kau percaya tidak?"
"aku percaya!" sahut
Coh Liu-hiang mengangguk.
"Tapi aku sekarang belum
ingin membunuhmu, asal kau tidak memaksa aku, selamanya mungkin aku tidak akan
tega membunuhmu, sekarang, boleh dikata aku sudah kehilangan apa-apa, termasuk
tiada seorangpun yang berada di dekatku, asal kau suka, bukan saja sembarang
waktu aku bisa menjunjungmu menjabat kedudukan kerajaan di negeri Kui-je, malah
boleh juga kubiarkan kau... " jari-jari tangannya kembali bergerak
pelan-pelan mengelus kedua bukit montok di depan dadanya, dengan gerakan tanpa
suara mewakilkan pernyataan sanubarinya, memang suatu pernyataan yang jauh
lebih termakan oleh lawannya dari pada bujuk rayu dan ajakan-ajakan manis
dengan mulut.
Paras cantik, gengsi dan pamor
serta kedudukan tinggi, kekuasaan tak terbatas serta kekayaan harta benda...
perduli satu diantaranya cukup merupakan daya tarik yang tak terlawan oleh
laki-laki siapapun, apalagi ke empatnya ditumplek jadi satu.
"Jikalau kau mau terima
saranku, hidupmu bakal senang dan foya-foya sepanjang umur, kalau kau menolak,
kematianlah yang mengakhiri kehidupanmu. Memangnya sukar kau memilih satu
diantaranya, atau kau sendiri belum bisa berketetapan hati?"
Tiba tiba Coh Liu-hiang
tersenyum lebarnya: "Sebetulnya memang aku ingin menerima anjuranmu, cuma
sayang sekali kau benar-benar terlalu tua bagi aku, andai kata kau memang pandai
dan sudah berpengalaman menjual lagak, dan bergaya cabul di depanku, tapi bila
kau teringat bahwa putra putramu sudah sebaya dan mungkin malah lebih tua dari
aku, seleraku seketika menjadi dingin dan mual rasanya."
Bagi seorang perempuan yang
mampu mempertahankan kecantikannya atau perempuan yang mati-matian ingin
merenggut kembali masa remajanya, umpama kata menggunakan caci maki yang paling
kotor dan rangkaian kata kata yang paling rendah di seluruh dunia ini takkan
terasa menusuk dan melukai sanubari orang yang bersangkutan seperti apa yang
terucapkan oleh Coh Liu-hiang. Kata kata ini laksana martil besar yang telak
sekali menghujam diborok kaki Cioh-koan-im yang paling vital.
Memang dia giat berusaha untuk
mempertahankan kecantikan dan kemudaannya, senyuman manis yang menggiurkan
seketika tersapu bersih tak berbekas lagi, seluruh badan bergetar dan keringat
gemrobyos membasahi badan, suaranya mulai serak, dan menakutkan:
"Kau memaksaku untuk
membunuhmu?"
"Benar, aku lebih rela
mati, betapapun aku tidak sudi tidur seranjang dengan nenek tua seperti musang
berbulu merak yang suka mempersolek diri, masih mending kalau kau memakai
pakaian, lebih enak dipandang mata, dengan telanjang sebulat ini sungguh
membuat aku mual dan ingin muntah muntah rasanya."
Kuatir tidak bisa memancing
kemarahan Ciok-koan-im, maka kata demi katanya semakin kotor dan rendah, karena
dia sadar hanya membakar kemarahan Ciok-koan-im serta membikinnya mencak-mencak
gila baru kemungkinan dia bisa mencari kesempatan untuk mengalahkannya.
Ternyata tujuan dan usahanya
tak sia-sia. Saking marah selebar muka sampai dada Ciok-koan-im merah padam
meski dia sadar bahwa kata-kata Coh Liu-hiang memang sengaja hendak memancing
kemarahannya tapi tak kuasa dia mengendalikan perasaan hatinya yang sudah
memuncak ini.