Rahasia Ciok Kwan Im (Da Sha Mo) Bab 21: Musuh lama ternyata belum mati

Rahasia Ciok Kwan Im (Da Sha Mo) Bab 21: Musuh lama ternyata belum mati
Rahasia Ciok Kwan Im
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 21: Musuh lama ternyata belum mati

Rona muka Coh Liu-hiang sudah berubah tapi kejap lain mendadak dia tertawa besar, serunya: "Kepandaian usang dipakai lagi, bukankah ini kurang cerdik, di pesisir Toa-bing ouw tempo dulu, dengan cara ini kau berhasil meloloskan diri, memangnya kali ini kau hendak lolos pula dengan cara yang sama? Kau kira aku tak punya cara untuk menghadapi permainanmu ini?"

Ditengah tawanya tiba-tiba badan Coh Liu-hiang melambung tinggi mengikuti asap tebal yang mengepul naik menjulang ke angkasa. Bahwasanya Coh Liu-hiang memang sudah berhasil mendapatkan cara untuk mengatasi atau memecahkan cara melarikan diri dengan menghilang meminjam asap tebal sesuai ajaran Jinsut seperti ini, asal meleset terbang lebih tinggi dari tabir asap yang berkembang dan bergulung gulung di udara, perduli ke jurusan lawan melarikan diri, jangan harap bisa mengelabuhi sepasang matanya.

Walau cepat sekali asap tebal ini berkembang, tapi dalam waktu singkat itu, melebarpun tidak begitu luas, begitu badan Coh Liu-hiang melayang ke atas, tampak tiga tombak di luar gulungan asap tebal itu, pasir kuning terbentang kosong, ternyata bayangan Go Kiok kan tidak dilihatnya sama sekali, malah ditengah asap yang tebal itu mendadak kedengaran gelak tawanya yang pongah.

Sebaliknya tenaga Coh Liu-hiang seolah-olah seketika itu juga sirna dan badan menjadi lemas, badannya yang melambung terbang ke angkasa seperti burung itu, seberat batu besar yang jatuh dari angkasa terus anjlok dan terbanting keras di atas pasir.

Terdengar Go Kiok-kan terloroh-loroh:
"Kepandaian usang dilancarkan lagi memang kurang cerdik, tapi aku yakin otakku ini tidak sampai sedemikian goblok, apalagi di hadapan Coh Liu-hiang si Maling Romantis yang serba pintar ini, masakah aku bakal menggunakan cara yang sama untuk kedua kalinya?"

Hembusan angin malam di padang pasir amat santer, meski asap ini amat tebal, tapi sekejap saja sudah tersapu bersih oleh deru angin yang menghembus kencang, samar-samar kabur semakin menipis, dan melihat sesosok bayangan berdiri diantara keremangan malam, dia bukan lain adalah Go Kiok-kan.

Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Benar, soalnya asap tebalmu tempo dulu tidak beracun, kali ini aku tidak berjaga-jaga. Sungguh tidak pernah terpikir olehku bahwa kau bagai mencampurkan obat bius yang dapat melemaskan tulang dan menyedot sukma itu di dalam asap tebalmu ini.

"Sudah tentu kau tidak akan menduganya." ujar Go Kiok-kan tertawa senang, "Karena setiap orang menghadapi sesuatu yang sudah amat dipahaminya, pasti tidak akan bersikap berwaspada seperti dulu, nah disitulah letak kelemahan watak manusia..." sampai di sini dia tertawa geli, katanya lebih lanjut: "Setiap orang mempunyai titik kelemahannya sendiri, dan kelemahanmu ialah keyakinanmu terhadap dirimu sendiri terlalu tebal, hatimupun terlalu lemah.

Oleh karena faktor-faktor inilah maka berulang kali terjungkal di tanganku. Hari ini bila kau mau menusuk ulu hatiku atau menggorok leher ini, hari ini aku tidak akan dan tidak mungkin merangkak keluar dari liang kubur dan hidup kembali."

Coh Liu-hiang tertawa getir, ujarnya: "Akupun tahu akan kelemahan ini, yakni aku terlalu serius dan terlalu berat menilaimu! Oleh karena itu meski aku tahu dalam dunia ini ada manusia rendah dan lemah yang hina dina, demi menyelamatkan jiwa sendiri tidak segan-segan dia pura-pura menemui ajalnya di bawah tusukan belatinya sendiri, tapi mimpipun tak pernah terpikir olehku, seorang beribadat yang romantis hidup bebas disegani seperti Biau-ceng Bu Hoa yang punya kepandaian silat sedemikian tingginya, ternyata juga sudi melakukan serendah ini".

Go Kiok-kan mandah tertawa, katanya: "Aku tahu hatimu amat mendelu sedih, karena Coh Liu-hiang si Maling Romantis yang malang melintang tiada tandingan di kolong langit, hari ini kena diingusi dan kecundang habis-habisan, demi membalas kebaikanmu dulu kepadaku, hari ini akan kuberi kesempatan kepadamu untuk mengundal memakimu sesuka hatimu, berapa banyak kata-kata makian di dalam perbendaharaan hatimu boleh kau limpahkan sesukamu untuk melampiaskan kemendongkolanmu, perduli apapun makian kepadaku, sebelum selesai cacimu, aku pasti tidak akan turun tangan."

Sembari bicara, pelan-pelan dia tanggalkan topinya, dengan gerakan yang amat hati-hati mencopot rambut palsunya, lalu dengan kedua tangannya pelan-pelan kembali dia mengelotok selapis kedok muka yang amat tipis dan berwarna kuning.
Maka Biau keng si padri saleh Bu Hoa yang gagah cakap dan berwajah halus putih itu kembali terpampang di hadapan Coh Liu-hiang.

Coh Liu-hiang hanya mengawasinya diam dan tenang-tenang saja, sepatah katapun tak bersuara lagi.

Bu Hoa tertawa pongah, katanya: "Agaknya kepandaian memalsu diri Cahye meski tidak lebih unggul dari Coh Liu-hiang si Maling Romantis yang serba pandai merobah bentuk badan dan mukanya, namun cukup baik dan patut dipuji juga, yang terang aku sudah berhasil mengelabuimu bukan?"

"Masih terlalu jauh kepandaianmu yang satu ini!" kata Coh Liu-hiang tawar.

"Kalau masih ketinggalan jauh, masakah bisa mengelabui sepasang matamu?"

"Bahwasanya kau tidak pernah mengelabui aku, waktu pertama kali berhadapan dengan kau aku sudah tahu dan merasakan bahwa Go Kiok-kan adalah samaran orang lain, cuma dalam waktu selama ini tidak pernah terpikir olehku bahwa kaulah yang membawa gara-gara ini."

Bu Hoa menghela napas, ujarnya: "Semula kukira selamanya kau tidak akan pernah curiga kepadaku, karena aku betul-betul sudah berjerih payah dan memeras keringat dalam usahaku ini.

Setitik Merah ku undang datang tujuanku supaya kau mengira Mutiara hitamlah yang menjadi biang keladi dalam peristiwa ini dengan tindakan ini bukan saja supaya kau betindak keliwat hati-hati dan selalu was-was tidak berani sembarangan bertindak lagi, sekaligus dapat mengelabui kau sehingga persoalan kau kira semakin rumit dan berliku-liku, tanpa sadar kau akan tersesat ke jalan samping dan selamanya takkan berhasil kau ketahui seluk beluk persoalannya."

Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Caramu ini memang pintar, sebetulnya memang aku sudah tersesat ke jalan buntu dan hampir saja tak bisa berpaling, untunglah lekas sekali kau menyadari bahwa Ciok Tho ternyata adalah salah satu dari Hoa san chit-kiam dulu, dari sini pula baru aku sadar dan terpikir bahwa Ciok-koan-im ternyata bukan lain adalah nona Li dari Ui san-si keh (Keluarga besar dari Ui san)".

Mendengar uraian Coh Liu-hiang ini, seketika muka Bu Hoa membeku kaku, senyum tawanya yang manis welas asih seketika sirna tak membekas lagi.

Dulu Hoa-san-kiam-pay dan Ui-san-si-keh bertempur mati matian sampai kedua belah pihak jatuh korban yang tak terhitung banyaknya, pihat Ui San-si-keh hanya tinggal nona Li saja yang berhasil melarikan diri, beruntung lolos dari malapetaka, namun nona Li merasa tidak bisa bercokol hidup lagi di Tiong-goan, maka dia melarikan diri keluar lautan dan akhirnya tiba di Hu siang.

Disana bertemu dengan Thian-long-cap si long yang jatuh cinta kepadanya, disana mereka hidup bersuami istri selama beberapa tahun, malah melahirkan dua orang putra. Namun tatkala secara diam-diam dia berhasil meyakinkan ilmu silat mujijat yang tiada taranya, lantas dia tinggalkan suami, meninggalkan anak, minggat dan pulang kembali ke Tiong goan, beruntun dia berhasil membunuh Hoa-san-chit-kiam dan berhasil menuntut balas sakit hati Ui-san-si keh.

"Sejak itu nona Li tiba-tiba menghilangkan jejaknya secara misterius, tiada seorangpun dalam kalangan Kang-ouw yang tahu kemana jejaknya. Tak lama kemudian meski di dalam Bulim muncul gembong iblis perempuan Ciok-koan-im yang berkepandaian tinggi tiada bandingannya serta bersepak terjang aneh serta serba misterius, tapi siapapun tiada yang mengira bahwa gembong iblis yang jahat dan laknat seperti Ciok-koan-im itu ternyata bukan lain adalah nona Li dari keluarga besar Ui-san satu-satunya yang masih hidup."

"Latar belakang yang terahasia ini sebetulnya takkan ada orang yang bisa membongkarnya, dan sayang sekali nona itu justru meninggalkan hidup jiwa salah satu dari Hoa san-chit-kiam itu... sampai disini Coh Liu-hiang, tertawa tawar lalu melanjutkan:

"Ini kemungkinan dia terlalu takabur dan merasa dirinya terlalu ampuh, betapapun derita siksa yang pernah dia alami, tidak dia pandang tidak sudi berlutut dan menyerah kepada nona Li itu, sebaliknya bila nona Li itu sudah jatuh hati kepada seseorang, bagaimanapun dan apapun yang akan terjadi dia harus mencapai dan melaksanakan keinginannya, maka selama ini dia tidak pernah membunuhnya, tak pernah pula terpikir olehnya, orang yang sudah tidak menyerupai manusia itu bakal dapat melarikan diri"

Rona muka Bu Hoa kini seperti dilapisi tabir dingin katanya ketus dingin: "Teruskan!"

"Tapi hanya sumber ini saja, masih tidak mungkin membongkar rahasia Ciok-koan-im, dan harus disayangkan pula pada dua puluh tahun kemudian, dalam dunia ini justru muncul manusia bawel dan rewel macam Coh Liu-hiang yang suka mencampuri urusan orang lain. Kebetulan Coh Liu-hiang cukup intim dan bersahabat baik serta amat mencocoki dengan kedua putra putranya nona Li itu yang sudah menanjak dewasa, lebih celaka lagi dari teman karib mereka akhirnya berubah jadi musuh yang berlawanan muka dan tujuan. Maling Romantis yang suka petingkah itu kembali menggali peristiwa besar di Bulim masa silam yang sudah dilupakan orang. Sudah tentu hal ini sekali kali tidak akan pernah terpikir atau diduga oleh nona Li alias Ciok-koan-im itu."

"Lanjutkan." desak Bu hoa pula dengan kaku dan ketus.

"Walau Coh Liu-hiang sudah tahu kisah kehidupan Thian Hong-cap-si-long ayah beranak namun tidak pernah terbayang olehnya bahwa mereka bisa mungkin punya sangkut paut yang begitu erat dengan Ciok-koan-im.

Kedua persoalan ini hakikatnya satu sama lain tidak boleh dibicarakan secara bergandengan.

Sampai pada waktu salah satu murid Hoa-san-pay yang sudah lama lenyap atau mengasingkan diri tiba-tiba muncul, dari mulut murid Hoa-san-pay ini baru diketahui rahasia Coik-koan-im yang sebenarnya, maka kedua persoalan ini mau tidak mau harus dibereskan bersama"

Dengan tajam dia pandang Bu hoa lekat-lekat, lalu berkata pula dengan tersenyum:
"Kalau kedua persoalan ini harus digandeng dan punya ikatan yang erat, persoalan apa pula yang tidak akan dapat kupikirkan dan takkan jelas seluruhnya?"

Sejenak Bu Hoa menepekur, lalu katanya kalem: "Benar, kalau kau sudah tahu Ciok-koan-im sebetulnya adalah ibuku, maka dengan sendiri bisa kau bayangkan pula", setelah kekalahannya secara mengenaskan di Tionggoan, sudah tentu Bu Hoa malu bercokol di sana, maka terpaksa dia mundur keluar perbatasan, di sini dia dapat bersandar kepada kekuatan ibunya: Bahwa ambisi Bu Hoa selama di Tionggoan sudah kau bikin tercerai berai dan gagal total, maka terpaksa dia harus menarik diri untuk bekerja lagi mulai dari permulaan di padang pasir ini.

Biji mata Bu Hoa tiba-tiba menyorotkan sinar terang, ujung mulutnya mengulum senyum lagi, katanya: "Tapi cara bagaimana Bu Hoa bisa tahu bila Ciok-koan-im adalah ibu kandungnya? Bukan mustahil Bu Hoa sendiripun tidak tahu menahu akan hal ini, tentunya Coh Liu-hiang sendiripun kebingungan dan tak habis mengerti bukan?"

Tak kira tanpa banyak berpikir, Coh Liu-hiang segera menjawab: "Itulah lantaran ada hubungan erat dengan Jun-hujin Chiu Ling -siok !"

"Chiu Ling-siok?" Bu Hoa mengerut kening.

"Apa pula sangkut pautnya dengan persoalan ini?"

"Ciok-koan-im tidak akan mau terima bila didalam dunia ini ada perempuan yang berparas lebih cantik melebihi dirinya, maka karena jelusnya itu dia merusak wajah Chiu Ling siok, sehingga Chiu Ling-siok merana dalam hidupnya, menderita siksaan batin selama hidup"

"Tak nyana Jim pangcu justru jatuh hati dan mencintainya setulus hatinya, bukan lantaran rusaknya wajahnya yang cantik itu cintanya berubah, malah dia mempersuntingnya sebagai istrinya.

Orang yang hendak dirusak dan disingkirkan oleh Ciok-koan-im, Jim-pangcu justru menolongnya, sudah tentu hal inipun tidak bisa diterima oleh Ciok-koan-im, sudah tentu dia pantang membiarkan orang-orang yang dirasakan mengganggu dan menghalangi keinginannya."

Sungguh tak nyana Thian-hong-cap-si-liong ternyata bertindak satu langkah lebih cepat dari dia, sang suami itu sudah menemui Jim-pangcu lebih dulu, setelah dia tahu bahwa suaminya atau Thian hong cap-si-long menitipkan putranya kedua-duanya, segera dia batalkan niatnya untuk membunuh Jim-Jip, karena dia sudah dapat satu akal yang jauh lebih baik daripada membunuhnya, tapi bukan saja dia tetap menginginkan kematiannya, malah dia akan memberantas sampai keakar akarnya."

Sampai di sini kembali Coh Liu-haing menghela napas, lalu meneruskan pula:
"Perempuan lain tentu tidak akan sabar menunggu sedemikian lamanya, tapi demi menjatuhkan seseorang, tidak sayang dia menghabiskan wektu puluhan tahun, setelah kedua putra-putranya itu sudah tumbuh dewasa, baru dia pergi mencari dan menemui mereka."

Tak urung Bu Hoa ikut menghela napas panjang pula, katanya: "Semua hal ini, cara bagaimana kau bisa memikirkan dan menduganya?"

"Coba kau pikir jikalau bukan dia yang memberi kepada Lamkiong Ling, bahwa Jim Jip hakekatnya bukan orang yang berbudi luhur, malah tua bangka ini tak lain tak bukan adalah musuh bebuyutan pembunuh ayahnya. Kalau tidak masakah Lamkion Ling tega bertindak sekejam itu kepada Jim Jip gurunya yang mengasuh dan mendidiknya sejak kecil seperti anak kandungnya sendiri?"

"Waktu kau masuk perguruan Siau Lim pay, boleh dikata sudah tahu urusan, tapi waktu itu Lamkiong Ling masih merupakan bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa, seumpama sejak dilahirkan dia bawa bakat dan kecerdikan yang luar biasa, tapi karena diasuh dan dibesarkan oleh Jim Jip, sedikit banyak dalam jiwanya sudah kelunturan watak kesatria dan pribadinya yang luhur dan bajik, memangnya mungkin dia tak segan-segan melakukan perbuatan rendah yang dicela itu? Untuk hal ini sejak mula aku sudah merasa heran dan tak habis mengerti bahwa si belakang persoalan justru terselip seluk beluk yang rumit ini."

"Jadi sekarang kau sudah paham keseluruhannya, ya? jengek Bu Hoa.

"Sekarang sudah tentu kupahami seluruhnya, lantaran dia menceritakan riwayat hidup kalian, barulah mereka sadar dan mengetahui bahwa kalian sebetulnya adalah saudara sepupu, oleh karena itu pula rasa dendam dan ingin membalas sakit hati kematian ayah kalian dalam sanubari masing-masing terhadap orang-orang yang menanam budi besar kepada kalian. Kalian melakukan perbuatan itu, bukan saja punya ambisi hendak merajai Bulim, tujuan yang utama adalah hendak menuntut balas."

Bu Hoa menarik napas, katanya: "Kau betul maha cerdik dan selalu pintar, cuma sayang kau terlampau dan kelewatan pandai." "Pujianmu ini entah sudah berapa kali perbah kudengar dari mulutmu."

"Tapi kali ini, mungkin adalah penghabisan dan yang terakhir kali."

Bercahaya biji mata Coh Liu-hiang, katanya: "Sekarang aku terkena obat biusmu, tenaga untuk melawanpun tiada lagi, memangnya kau sudi turun tangan terhadap seseorang yang sudah mati kutu dan tidak mampu melawan lagi?"

"Sebetulnya aku boleh tidak tega membunuhmu, tapi dari sepak terjangmu selama ini aku berhasil mempelajari dan menyadari sesuatu."

"Sesuatu apa?"

Patah demi patah kata Bu Hoa menjelaskan dengan tandas: "Yaitu jiwa seseorang apalagi dia seorang laki-laki, sekali-kali tidak boleh lemah hati, kalau sebaliknya dia bakal mampus ditangan orang lain! Dan lantaran kelemahan hatimu pula, maka hari ini kau bakal terbunuh oleh kedua tanganku ini."

Lama Coh Liu-hiang berdiam diri, lalu katanya rawan: "Bu Hoa, Bu Hoa, sungguh salah dan keliru benar pandanganku selama ini."

"Sreng" terdengar golok terlolos dari sarungnya, ternyata Bu Hoa sudah menenteng senjata siap memenggal kepalanya. Begitu tajam dan mengkilap golok di tangannya itu. Dengan nanar Bu Hoa pandang goloknya sebentar serta katanya: "Tentunya kau masih ingat akan jurus Ni-hun it-to-jan itu bukan?"

"Masakah aku bakal melupakan kejadian yang bersejarah itu?" Coh Liu-hiang balas mengolok dengan sinis.

"Kalau aku membunuh orang dengan jurus itu, pasti tidak akan membawa derita dan siksaan bagi si korban, malahan kau tidak akan merasa bahwa tajam golokku ini sudah memenggal kepalamu, aku boleh memberi garansi, dalam dunia ini pasti takkan ada cara kematian yang begitu menyenangkan dari pada tebasan golok ini..." dia menghela napas pula, katanya: "Inilah dharma baktiku yang terakhir yang bisa kulakukan demi sahabat baikku seperti kau ini, bolehlah kau anggap sebagai pembalasan budiku kepada kebaikanmu terhadapku selama ini."

Maka batang golok yang tajam dan berkilauan itu pelan-pelan terayun, mendadak bergerak bagaikan kilat menyambar turun membacok kepala Coh Liu-hiang.

xxx

Dalam lembah sunyi yang mengandung kesesatan itu sudah tiada ketinggalan seorangpun hidup, sampaipun laki-laki yang terima diperbudak seperti mayat hidup dan kerjanya cuma menyapu pasir selama hayatnya itu pun tiada satupun yang ketinggalan hidup, di Burung Kenari ternyata tidak memberi ampun juga kepada mereka.

Kini mayat-mayat yang malang melintang terkapar dimana-mana itu satu persatu sudah ditutupi dengan kain panjang, yang tak sedikit jumlahnya didalam gedung sarang Ciok-koan-im ini, tapi hawa dalam lembah masih diliputi bau amis yang memualkan.

Hanya Ciok-koan-im seorang saja yang berada didalam kamar tidurnya yang serba rahasia itu, suasana tetap hangat dan romantis di bawah sinar api yang remang-remang tampak betapa cantik jelita serta memabukkan dan merangsang birahi setiap laki-laki normal yang melihatnya.

Kini Ciok-koan-im sudah kembali di dalam kamar pribadinya, agaknya tetap begitu tenang rupawan dan tentram, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu atau dilihatnya perobahan di sekelilingnya tiada suatu peristiwa betapapun besarnya yang dapat membuatnya kaget dan berobah.

Di pojok tembok sana tergantung kain gordyn yang menjuntai turun, bila kain gordin ini ditarik ke samping maka terlihatlah sebingkai kaca atau cermin yang besar dan jernih kemilau, sedemikian besar dan mahalnya cermin bundar ini karena sekeliling bundarannya dihiasi batu-batu jambrud dan mutiara, dipelihara dan dijaga sedemikian berharganya laksana benda mestika yang tiada taranya.

Seandainya batu-batu jambrud dan mutiara itu berbanding dengan sebuah kota, kemegahan dan kebagusan dari pada cermin itu sendiri seolah-olah mengandung kekuatan iblis yang misterius.

Siapapun yang berhadapan di depan cemin ini tak tertahan lagi pasti akan tekuk lutut dan menyembah kepadanya. Seolah-olah kena daya sihir.

Kini Ciok-koan-im sedang berdiri dan bersolek di depan cermin besar ini, entah berapa lama sudah dia bergaya di depan cemin ini, dengan mendelong dan kesima dia mengawasi bayangan diri sendiri di dalam kaca. Rona wajahnya yang pucat lambat laun mulai bersemu merah laksana buah yang mulai masak, mungil sekali.
Lalu pelan-pelan satu persatu dia mulai menanggalkan pakaian yang melekat di atas badannya, maka sekujur badannya yang putih halus, montok berisi dengan telanjang bulat terpampang didalam cermin besar itu keseluruhannya.

Cahaya api kelap-kelip menyoroti badannya, kulit badannya selicin sutra mengkilap dan halus, kedua bukit montok nan kenyal laksana batu jade, dengan bangga tegak menonjol di dalam hangat nan kering ditengah padang pasir ini, kedua pahanya yang tinggi membundar rata lekuk-lekuk badannya nan semampai dan gemulai laksana hembusan angin musim semi di Kanglam.

Ciok-koan-im berdiri tegak lurus laksana tonggak, dengan mendelong mengawasi bayangan bentuk badan sendiri di dalam kaca, sorot matanya itu, begitu bergairah dan menunjukkan nafsu birahi yang menyala, berkobar lebih memuncak dari seorang laki-laki yang ketagihan sex, sampaipun letak-letak yang sangat tersembunyipun tidak terlepas dari pandangan dan jamahan jari-jarinya.

Entah berapa lamanya, akhirnya dia menarik napas dengan puas, katanya seorang diri: "Seorang perempuan sebaya aku ini masih bisa mempertahankan kecantikan badannya sedemikian rupa, kecuali aku, mungkin tiada orang keduanya dalam dunia ini."

Ciok-koan-im didalam kacapun ikut tersenyum, agaknya seperti berkata: "Ya, takkan ada orang kedua dalam dunia ini."

Pelan-pelan Ciok-koan-im melangkah mundur lalu duduk di sebuah kursi besar dan nyaman yang berada tepat di depan kaca itu, agaknya memang badannya rada letih, namun sikapnya kelihatannya begitu riang gembira. Dengan puas dia menarik napas, katanya: "Aku amat penat! Tahukah kau, hari ini berapa banyak urusan yang sudah kubereskan?"

Bayangan Ciok-koan-im di dalam cerminpun menjadi ikut girang, seperti berkata: "Urusan apapun yang kau kerjakan tentu beres dan tak perlu disangsikan lagi."

Ciok-koan-im tertawa, katanya pula: "Kui-je-ong itu ternyata tidak ceroboh dan bodoh seperti yang kukira semula, tapi aku tetap membunuhnya juga, sekaligus akupun bunuh putrinya yang menganggap dirinya teramat cantik, racun di dalam cangkir arak itu, sekarang tentunya sudah mulai bekerja."

"Soal Ki Ping-yan dan Oh Thi-hoa itu, sebetulnya aku tidak ingin selekas itu membunuh mereka siapa nyana, malah berebutan meneguk dulu arak di dalam cangkir yang kuberi racun itu."

Kembali ia menghela napas, katanya lebih lanjut: "Aku memang tahu orang macam Oh Thi-hoa, lebih baik membunuh diri daripada disiksa atau terbunuh orang lain. Tapi tak pernah terpikir olehku bahwa Ki Ping-yan bakal bertindak seperti itu pula, sungguh suatu hal yang harus dibuat sayang, ya toh?"

Bayangan di dalam cermin itu juga ikut menghela napas, seolah-olah ikut merasa sayang dan gegetun.

Setelah berdiam diri beberapa kejap, Ciok-koan-im tertawa riang pula, katanya: "Tapi bagaimana juga rencana terhitung sudah terlaksana dengan baik, tua bangka yang suka mengagulkan diri itu membunuh An Tek-san, hal ini memang mencocoki seleraku, memangnya cepat atau lambat aku sendiripun melenyapkan mereka semua."

Bayangan dalam cermin kembali ikut tersenyum, seolah-olah diapun berkata: "Tidak salah, perduli siapa saja yang mampus, tidak akan menjadi ganjalan hatimu, hakikatnya tiada satu orangpun dalam dunia ini yang benar-benar menarik perhatianmu, termasuk putri-putri dan suami sendiri."

Ciok-koan-im cekikikan geli, ujarnya: "Mereka membunuh semua orang yang menghuni lembahku ini, disangkanya aku bakal bersedih dan marah, di luar tahu mereka bahwa aku memang sedang memikirkan untuk mengganti suasana yang lain, pergi ke negeri Kui je untuk menikmati jadi seorang permaisuri yang disanjung puji, kalau orang-orang ini tidak mampus, mungkin kelak bakal menjadi beban diriku, sekarang mereka sudah ajal seluruhnya, untuk ini aku terus berterima kasih kepada mereka."

Bayangan dalam cermin juga sedang tertawa besar, seperti berkata: "Seharusnya memang mereka sudah tahu, terhadap siapa dan mengenai persoalan apa, kau tidak akan pernah sayang dan berkesan dalam sanubarimu."

"Cuma kau, isi hatiku, hanya kau yang tahu, hanya kau yang memarahiku, dikala aku berduka, hanya kau yang menemani aku ikut sedih, bila aku riang gembira, hanya kau pula yang mengiringi kegembiraanku juga."

Senyuman muka berubah sedemikian mekar, manis dan hangat, sepasang jari-jari tangannya yang runcing-runcing dan indah, lambat-lambat mulai bergerak, mencomot, mencubit, meremas dan menggosok setiap jengkal kulit-kulit dagingnya, sorot matanya yang semula dingin beku, kini mulai berubah menjadi panas membara dan begitu bergairah, Laksana mengigau dalam mimpi mulutnya mendesis: "Dalam dunia ini hanya kau satu-satunya yang dapat menghibur dan membuatku senang, gembira dan puas, semua laki-laki itu ....... seluruh laki-laki itu sudah memualkan seleraku."

Bayangan dalam cermin itu juga mulai menggeliat dan meraba-raba badan sendiri dengan nafsu.

Ciok-koan-im mengawasi tangan si "dia" bergerak pelan-pelan mengelus di atas kedua puncak dadanya, pelan-pelan turun ke perut, ke paha lalu mendatangi hutan roban dan menyusup ke lembah basah, bergerak pelan-pelan, terlihat olehnya jari-jari tangan itu bergerak semakin cepat merangsang, napasnya menjadi tersengal-sengal.

Kini kedua sorot matanya sudah membara laksana terbakar, kerongkongannya mengeluarkan rintihan kenikmatan yang tiada taranya, seperti ketagihan, badannya yang montok semampai itupun mulai gemetar, menggeliat dan bergelinjang, meliuk-liuk. Terdengar mulutnya merintih penuh kenikmatan, "Kau sungguh baik, baik sekali ...... tiada laki-laki di dunia ini yang sebanding kau, selamanya tak ada orang yang menandingi kau ...."

Pada saat itulah di luar teras diambang pintu, terdengar helaan napas orang yang amat lirih.

Helaan napas lirih, namun didalam keheningan kedengarannya laksana bunyi cemeti, yang meledak di tengah udara, seolah-olah melecut di atas badan Ciok-koan-im, yang telanjang bulat itu, rona muka Ciok-koan-im yang merah membara itu seketika seperti membeku kering, rintihan bergetar tadipun seketika sirap, sepasang paha yang tertekuk dan bertimpah itupun pelan-pelan mulai mengendur dan terpentang lebar.

Akan tetapi badannya masih duduk setengah rebah di atas kursi menghadap ke arah cermin, nafsu birahinya yang sudah berkobar dan memuncak seketika berobah menjadi amarah yang tak terkendali lagi laksana kobaran api yang tak bisa dipadamkan lagi. Kedua jari-jari tangannya terkepal kencang dan terangkat tinggi, setelah amarah yang memuncak ini mulai mereda dan kembali tenang baru dia menghela napas dan katanya: "Orang yang berada di luar apakah Coh Liu-hiang?"

Orang yang berada di luar kerai menghela napas pula, sahutnya: "Ya, memang Cayhe adanya!"

Ciok-koan-im tertawa tawar, ujarnya: "Kalau kau sudah datang, kenapa tidak masuk kemari?"

Ternyata Coh Liu-hiang menurut, pelan-pelan dia muncul di pintu dan terus beranjak ke dalam. Dengan kesima tajam dia pandang bayangan Ciok-koan-im di dalam cermin, berselang lama juga, baru Coh Liu-hiang membuka kesunyian dengan menghela napas: "Aku tahu selama hidupmu kau sedang menganggap dan mencari, ingin menemukan seseorang yang benar-benar dapat kamu cintai, dapat memuaskan seleramu, sebetulnya aku ikut mengharapkan semoga kau lekas mendapatkan, tapi baru sekarang aku sadar, bahwa selamanya kau tidak akan pernah mendapatkan lagi."

"O? Kenapa begitu?" tanya Ciok-koan-im.

"Karena kau jatuh cinta pada dirimu sendiri, hanya dirimu sendiri yang kau cintai, maka terhadap siapapun tidak pernah kau menaruh perhatian, sampaipun suami dan anak-anakmu."

Ciok-koan-im mendadak berjingkrak bangun dari kursinya serta berteriak marah: "Kau... kenapa kau mencuri lihat rahasia pribadiku?"

Walau sedang marah dan mencak-mencak namun tindak tanduknya tetap gemulai dan indah, perempuan yang selamanya halus lembut kini ternyata berubah menjadi perempuan jalang yang galak dan buas, tak ubahnya seperti seekor binatang liar. Sepasang matanya yang indah itu, menyorotkan sinar kebencian yang meluap-luap. Coh Liu-hiang ditatapnya sedemikian rupa, seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat. Tanpa sadar Coh Liu-hiang bersitegang leher dibuatnya, dengan waspada dan siaga selangkah demi selangkah dia menyurut mundur.

Tak kira tiba-tiba Ciok-koan-im menghentikan langkahnya, kembali senyuman manis mulai menghias wajahnya nan cantik melebihi bidadari dengan pandangan sayu dia awasi Coh Liu-hiang. Katanya lembut: "Kau harus memaafkan kepanikanku barusan, bukan sengaja aku hendak berlaku sekasar tadi, tentunya kau cukup tahu, jikalau rahasia pribadiku sampai diketahui orang lain, bukan mustahil dari rasa malu menjadi marah dan penasaran, benar tidak?"

Lama juga Coh Liu-hiang menjublek, sahutnya tertawa getir: "Aku sendiri bukan sengaja hendak mencuri dengar dan mengintip rahasiamu, semoga kaupun suka memaafkan kesalahanku ini."

Ciok-koan-im tersenyum ujarnya; "Kau berani berkata demikian,aku sungguh amat girang, soalnya..." Kembali dia menyurut mundur dan duduk ke kursi kebesarannya, katanya lebih lanjut: "Tak perlu dipersoalkan, apakah aku yang akan membunuh kau, atau kau yang ingin membunuhku, adalah pantas kalau diantara kami masing-masing meninggalkan kesan yang mendalam. Seumpama disaat ajalmu tiba tidak kuharapkan kau anggap aku ini sebagai perempuan galak yang buruk dan jelek, oleh karena itu, andaikata kau hendak membunuh aku, paling tidak sukalah kau duduk-duduk dulu mengobrol dengan aku!" mendadak dia berubah menjadi tuan rumah, perempuan yang genit centil dan serba halus dan pakai tata krama lagi. Menghadapi permintaan tuan rumah yang sedemikian cantik dan lemah lembut ini, siapapun takkan sampai hati menolaknya.

Terpaksa Coh Liu-hiang menempati sebuah kursi dan duduk dengan kaki terpentang, katanya: "Adakah kau mempunyai pertanyaan apa-apa yang hendak aku ajukan kepadaku?"

"Benar, sudah tentu aku punya omongan yang perlu kutanyakan kepada kau, tapi sebagai Maling Romantis, sebagai laki-laki sejati yang patuh adat dan sopan terhadap kaum hawa, maka kau beri kesempatan lebih dulu, kepadaku untuk mengajukan pertanyaan." Dia berhenti untuk menghiasi senyuman pula pada wajahnya, lalu menyambung: "Kalau begitu baiklah aku mulai bertanya, adakah kau sudah bertemu dengan Bu Hoa?"

"Sudah bertemu," sahut Coh Liu-hiang, sikapnya terlalu baik kepadaku, begitu besar keyakinannya dan berkukuh untuk membalas budi kebaikanku dulu."

Agaknya Ciok-koan-im melengak heran dan tak mengerti, teriaknya kaget: "Apa, membalas budimu? Cara bagaimana kita hendak membalas budi kebaikanmu?"

Coh Liu-hiang tersenyum, katanya kalem: "Dia hendak menggunakan jurus Hi bun-it to-jan, sekali bacok memenggal batok kepalaku."

Ciok-koan-im tertawa cekikikan, katanya: "Cara membalas budi kebaikan seperti itu sungguh baik dan teristimewa sekali, lucu dan menarik pula."
"Ya, memang lucu dan menarik. Cuma harus disayangkan karena batok kepalaku ini hanya satu, tidak lebih, terpaksa dengan lemah lembut aku tampik maksud baiknya."

Ciok-koan-im menghela napas, katanya: "Kalau begitu, bukankah membuatnya amat kecewa?"

"Hujin sendiri, memang kau tidak ikut kecewa?" Kerlingan mata Ciok-koan-im berputar-putar diatas badan Coh Liu-hiang, katanya tertawa: "Aku sih tidak begitu kecewa, tapi rada merasa heran saja."

"Heran? Apa yang kau buat heran?"

Ciok-koan-im menuding sebuah botol yang terletak diatas meja kecil tinggi yang berada di pinggir cermin berwarna hijau pupus, katanya kalem: "Sudahkah kau melihat botol itu, kusimpan obat bius yang tak berwarna, tak berbau, obat bius ini mempunyai namanya sendiri yang enak didengar Gan-ji-bi atau “kerlingan mata genit”, karena untuk membius pingsan seseorang, semudah gadis-gadis jelita yang mengerling matanya, lebih nikmat lagi karena bisa bikin orang merasa dirinya seperti terbang ke awang-awang, sedikit tenagapun takkan kuasa kau kerahkan.

Coh Liu-hiang bertanya: "Apakah Bu Hoa menggunakan obat bius semacam ini untuk menghadapi Cayhe?"

"Benar obat bius ini biasanya selalu menunjukkan khasiatnya yang luar biasa, namun kenapa tidak berguna untuk menghadapi kau?"

Coh Liu-hiang mengorek-ngorek lobang hidungnya, katanya dengan tersenyum: "Selama hidup, entah berapa kali Cayhe pernah ditipu mentah-mentah, tapi selama itu juga tidak pernah aku kepecundang oleh segala macam obat bius yang lihaipun".

Agaknya Ciok-koan-im heran dan tertarik, katanya: "Kenapa begitu?"

"Apakah Hujin pernah memperhatikan Cayhe sering menggosok-gosok hidung!"

"Bila kau menggosok-gosok hidung tampangmu kelihatan menarik sekali, aku percaya banyak gadis-gadis remaja yang kepincut dan jatuh hati melihat gerak-gerikmu ini, tapi apa pula hubungannya menggosok hidung ini, dengan obat bius itu?"

"Karena kalau aku sering dan harus menggosok-gosok hidung bukan lantaran ingin pamer, dan hendak memelet gadis, adalah karena hidungku ini sejak lama terserang penyakit, penyakit yang luar biasa dan tak mungkin diobati, sampai tabib sakti yang kenamaan di Kanglam Kim-ciam toh-wi Yap Thian cu, juga berkata bahwa penyakit hidungku ini sudah tak bisa disembuhkan dengan macam obat apapun,"

Sampai disini Coh Liu-hiang menghela napas, lalu katanya lebih lanjut: "Seseorang bilamana pernapasannya terganggu, setiap hari pasti akan merasa pening dan mata berkunang-kunang, boleh dikata jauh lebih menderita dari terjangkit penyakit kronis apapun, oleh karena itu Cayhe lantas bersumpah untuk meyakinkan semacam Lwekang yang istimewa, ajaran Lwekang yang lain dari pada yang lain, Lwekang semacam ini tiada manfaat lain yang khusus, tapi bagi orang yang mempelajarinya sampai matang, pori-pori kulit di badannya bisa dipakai untuk bernapas. Lama kelamaan menjadi kebiasaan, maka hidungku ini menjadi benda yang tak berguna yang tercantel di mukaku sebagai hiasan belaka, tapi karena kupandang orang tanpa hidung tentu jelek mukanya, maka hidung ini tidak kucopot."

Baru sekarang Ciok-koan-im benar-benar takjub, sekian lama dia duduk terlongong, akhirnya tertawa getir: "Kalau hidungmu itu hiasan tidak berguna diatas mukamu, sudah tentu tiada sesuatu obat bius yang betapappun lihay dan kerasnya dapat membikin kau roboh pingsan, kulit dan pori-pori badanmu bisa kau gunakan untuk bernapas, hakikatnya tidak perlu ganti napas segala, sudah tentu Ginkangmu jauh lebih hebat dari orang lain, tak heran sering orang bilang hati dan perasaan seorang picak jauh lebih peka dari orang lain, agaknya ada kalanya sesuatu hal dalam dunia ini, memang betul-betul lantaran kecelakaan lantas ketiban rejeki nomplok."

"Sekarang aku sudah memberi tahu rahasia diriku yang orang lain tidak mungkin tahu kepada Hujin, Hujin masih ada pertanyaan apa lagi?"

"Lalu bagaimana dengan Bu Hoa? Apa kau gunakan juga cara yang dia praktekkan atas dirimu untuk membalas kebaikannya?" tanpa menunggu jawaban Coh Liu-hiang, kembali dia tertawa dan menambahkan pula: "Sudah tentu tidak akan bertindak demikian, kaum persilatan dalam Kangouw sama tahu sepasang tangan si Maling Romantis, selamanya tidak pernah berlepotan darah, benar tidak?"

Sikap Coh Liu-hiang mendadak berubah serius katanya: "Ya, memang begitulah. Jiwa manusia atas karunia Thian Yang Maha Esa, siapapun tiada hak untuk merenggut jiwa orang lain, sudah tentu Bu Hoa tidak akan mati di tanganku, dia sekarang berada di suatu tempat yang tak jauh dari sini, apa Hujin ingin menjenguknya?"

Ciok-koan-im menatap hidung Coh Liu-hiang katanya: "Jikalau aku ingin melihatnya tentunya ada syaratnya bukan?"

"Sebetulnya sih tiada syarat istimewa apa-apa, cuma Cayhe ingin bertemu dengan beberapa orang saja."

"Apakah Oh Thi-hoa, Ki Ping-yan, dan Kui je-ong ayah beranak?"

"Benar, masih ada lagi Liu Yan hwi, Ki Bu yong dan Setitik Merah."

"Nasib Setitik Merah dan Ki Bu-yong memang sedang mujur, waktu aku tiba disana mereka sudah berlalu, malah meninggalkan sepucuk surat untuk kau. Walau aku tidak pantas membuka surat orang lain, tapi apa boleh buat tak terkendali aku untuk tidak membacanya."

Coh Liu-hiang menahan sabar, katanya: "Setelah kau baca tentunya lantas kau sobek?"

"Tapi apa yang tertulis dalam surat itu, masih segar kuingat dalam benakku!" dia tertawa menggiurkan, surat itu terang adalah tulisan Ki Bu-yong, katanya: "Walaupun mereka sudah cacat, namun mereka tidak ingin minta perlindungan kalian, kelak masih banyak waktu, mereka malah mengharap bisa melindungi dirimu."

Coh Liu-hiang tahu tentulah ucapan Ki Ping-yan yang sedang muring-muring itu amat mengetuk sanubari mereka, tak tertahan dia menghela napas, namun tak tahan untuk tidak tersenyum, katanya: "Kedua orang ini memang dibekali watak yang keras dan sama-sama kukuh, sama-sama angkuh dan sombong pula.
Bahwa mereka dapat rukun bersama, memang merupakan pasangan setimpal, harus dipuji dan dibuat girang, tentunya Hujin ikut bergirang bagi keberuntungan dan nasib mujut nona Ki itu."

"Soal Liu Yan-hwie bersaudara yang kau katakan, hakikatnya aku tidak pernah melihat mereka, tentunya diapun sudah pergi."

Coh Liu-hiang menghela napas lega, tanyanya: "Lalu bagaimana dengan Oh Thi-hoa dan lain-lain?"

"Mereka sih masih berada di suatu tempat tak jauh dari sini, cuma sekarang mungkin sudah rada terlambat bila kau susul mereka kesana."

Tersirap darah Coh Liu-hiang, teriaknya tersekat: "Mereka... apakah mereka... !" tenggorokannya seperti mendadak kejang sampai tidak dapat bersuara lagi.

"Biasanya aku tidak suka menggunakan obat racun karena aku masih punya banyak cara untuk membunuh orang, jauh lebih mudah dan cepat dari menggunakan racun, maka bicara soal menggunakan racun, terus terang aku bukan tandingan Chiu Ling Siok , jikalau kau datang setindak lebih cepat, mungkin masih bisa menolong mereka, tapi sekarang... sekarang siapapun takkan dapat menolongnya."

Sepertinya bercerita atau mendongeng saja mulutnya menerocos tanpa perdulikan perasaan Coh Liu Hiang, jantung orang, terasa ditusuk sembilu, benaknya seperti digerogoti lalu dibanting berkeping keping, serasa pecah Coh Liu hiang, darah panas seketika memuncak ke atas kepalanya.

Tapi dia cukup tahu, di hadapan seorang musuh tangguh seperti Ciok Koan-im, sekali kali tidak boleh terburu nafsu dan emosi, sekali naik pitam, kematian bakal lebih cepat terpaksa sedapat mungkin dia tekan dan menahan gejolak hatinya. Sungguh bukan soal mudah dapat mengendalikan perasaan hati, jarinya terkepal kencang, kuku jarinya malah sudah menusuk amblas ke dalam daging kulitnya, seluruh gigi dalam mulutnya serasa hampir remuk gemeretak.

Satu hal harus diakui, bahwa hal ini merupakan kekalahan Coh Liu-hiang yang paling besar dan paling mengenaskan selama hidupnya, merupakan pukulan yang teramat berat untuk diterima!. Seumpama sekarang dirinya berhasil membunuh Ciok Koan-im, takkan mungkin dua hindarkan lagi selama hidup ini bakal menyesal dan gegetun sepanjang masa. Apalagi sekarang, hakikatnya dia tidak punya pegangan dan tidak yakin dengan bekal kepandaian dan perbendaharaan silatnya belum tentu dia bisa mengalahkan Ciok-Koan-im atau merobohkannya.

Sinar lilin masih tetap redup dan hangat. Dibawah penerangan sinar api seperti ini, meski dia seorang perempuan biasa, apa lagi dalam keadaan polos tanpa selarik benang menutupi badannya yang montok menggiurkan dengan gaya dan sikap merangsang lagi, kelelaki-lakian siapa yang tidak akan bangkit dan menggelora mengkili-kili hati, apalagi keayuan dan kecantikan Ciok-koan-im melebihi bidadari dan diakui sebagai perempuan tercantik di seluruh jagat, ratu duniapun takkan bisa menandinginya, dengan berani dan meliuk-liuk badan dia bergaya di hadapan Coh Liu-hiang seperti ratu kecantikan sedang memperagakan keindahan badannya juri yang bakal menilai dirinya, kuatir sang juri tidak bisa memberi penilaian tinggi, maka dia terus bergerak berganti gaya dengan gerakan gemulai.

Tapi sorot mata Coh Liu-hiang mendelong lempang ke depan, seolah-olah apapun tidak terlihat olehnya.

Mungkin keletihan atau putus asa dan kecewa, akhirnya Coik-koan-im menghela napas, katanya: "Aku tahu kau tentu ingin menuntut balas bagi kematian mereka, teman-teman baikmu, tapi kuperingatkan kepada kau lebih baik batalkan saja niatmu itu, karena meski ilmu silatmu amat tinggi, tetap dalam seratus jurus aku mampu mengalahkan kau, merenggut jiwamu kau percaya tidak?"

"aku percaya!" sahut Coh Liu-hiang mengangguk.

"Tapi aku sekarang belum ingin membunuhmu, asal kau tidak memaksa aku, selamanya mungkin aku tidak akan tega membunuhmu, sekarang, boleh dikata aku sudah kehilangan apa-apa, termasuk tiada seorangpun yang berada di dekatku, asal kau suka, bukan saja sembarang waktu aku bisa menjunjungmu menjabat kedudukan kerajaan di negeri Kui-je, malah boleh juga kubiarkan kau... " jari-jari tangannya kembali bergerak pelan-pelan mengelus kedua bukit montok di depan dadanya, dengan gerakan tanpa suara mewakilkan pernyataan sanubarinya, memang suatu pernyataan yang jauh lebih termakan oleh lawannya dari pada bujuk rayu dan ajakan-ajakan manis dengan mulut.

Paras cantik, gengsi dan pamor serta kedudukan tinggi, kekuasaan tak terbatas serta kekayaan harta benda... perduli satu diantaranya cukup merupakan daya tarik yang tak terlawan oleh laki-laki siapapun, apalagi ke empatnya ditumplek jadi satu.

"Jikalau kau mau terima saranku, hidupmu bakal senang dan foya-foya sepanjang umur, kalau kau menolak, kematianlah yang mengakhiri kehidupanmu. Memangnya sukar kau memilih satu diantaranya, atau kau sendiri belum bisa berketetapan hati?"

Tiba tiba Coh Liu-hiang tersenyum lebarnya: "Sebetulnya memang aku ingin menerima anjuranmu, cuma sayang sekali kau benar-benar terlalu tua bagi aku, andai kata kau memang pandai dan sudah berpengalaman menjual lagak, dan bergaya cabul di depanku, tapi bila kau teringat bahwa putra putramu sudah sebaya dan mungkin malah lebih tua dari aku, seleraku seketika menjadi dingin dan mual rasanya."

Bagi seorang perempuan yang mampu mempertahankan kecantikannya atau perempuan yang mati-matian ingin merenggut kembali masa remajanya, umpama kata menggunakan caci maki yang paling kotor dan rangkaian kata kata yang paling rendah di seluruh dunia ini takkan terasa menusuk dan melukai sanubari orang yang bersangkutan seperti apa yang terucapkan oleh Coh Liu-hiang. Kata kata ini laksana martil besar yang telak sekali menghujam diborok kaki Cioh-koan-im yang paling vital.

Memang dia giat berusaha untuk mempertahankan kecantikan dan kemudaannya, senyuman manis yang menggiurkan seketika tersapu bersih tak berbekas lagi, seluruh badan bergetar dan keringat gemrobyos membasahi badan, suaranya mulai serak, dan menakutkan:

"Kau memaksaku untuk membunuhmu?"

"Benar, aku lebih rela mati, betapapun aku tidak sudi tidur seranjang dengan nenek tua seperti musang berbulu merak yang suka mempersolek diri, masih mending kalau kau memakai pakaian, lebih enak dipandang mata, dengan telanjang sebulat ini sungguh membuat aku mual dan ingin muntah muntah rasanya."

Kuatir tidak bisa memancing kemarahan Ciok-koan-im, maka kata demi katanya semakin kotor dan rendah, karena dia sadar hanya membakar kemarahan Ciok-koan-im serta membikinnya mencak-mencak gila baru kemungkinan dia bisa mencari kesempatan untuk mengalahkannya.

Ternyata tujuan dan usahanya tak sia-sia. Saking marah selebar muka sampai dada Ciok-koan-im merah padam meski dia sadar bahwa kata-kata Coh Liu-hiang memang sengaja hendak memancing kemarahannya tapi tak kuasa dia mengendalikan perasaan hatinya yang sudah memuncak ini.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar