-------------------------------
----------------------------
Bab 3: Tiga sekawan berkumpul lagi
"Si-kong-ke Ayam jantan
mati."
Maksudmu Ki Ping-yan? Kau tahu
dimana ia berada?
"Dia berada di
Lan-ciu."
"Dia? memangnya dia amat
hapal dan sudah menjadi lurah di padang pasir?"
"Ketahuilah dia sudah
kaya raya, kekayaannya itu dia keduk dari padang pasir. Setelah dia berpisah
dengan kau, langsung dia menuju ke padang pasir, dan dalam lima tahun dia sudah
menjadi pedagang yang paling pintar dan cerdik, dia sekarang seorang hartawan
besar."
"Sebaliknya kau tetap laki-laki
yang paling rudin yang serba miskin!" Olok Coh Liu-hiang.
"Maka itulah pernah
kukatakan, laki-laki yang gagal dalam permainan bidang perempuan, dia akan
lebih sukses dalam usahanya."
Coh Liu Hiang terloroh-loroh
godanya: "Memangnya kau sendiri kira, kau seorang ahli dalam bidang
perempuan?"
Lan-ciu, merupakan kota besar
yang termasyhur, ramai, makmur dan pusat perdagangan yang terletak di
persimpangan jalan, pusat dari segala kekayaan alam, pusat perdagangan, pusat
berkumpulnya orang-orang kaya yang suka berpetualang.
Di tempat seperti ini,
kekayaan bukan apa-apa dalam pandangan manusia, tapi bila kau benar-benar
memiliki kekayaan yang berlimpah, masyarakat tetap akan bersikap hormat dan
tunduk kepadamu.
Ki Ping-yang adalah salah satu
dari sekian banyak hartawan yang menimbulkan hormat dan disegani, itu pertanda
hartawan seperti dia ini, dimanapun sukar dicari keduanya.
Sebetulnya dia tidak punya
usaha dagang yang menentu, setiap usaha dagang apapun asal mendatangkan
keuntungan uang, ia pasti sukar menanamkan modal dan kaki atau tangannya,
berbagai perdagangan didalam kota Lan cui kalau uang yang berputar sepuluh
prosen keuntungannya, satu persen adalah miliknya.
Orang yang begini luas
pergaulan dagangnya orangnya yang dihormati dan disegani, siapa pula yang tidak
mengenalnya? Oleh karena itu, dengan gampang
Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa
menemukan tempat tinggalnya.
Seorang laki-laki menyambut
tamu berbadan tegap kekar membawa mereka memasuki pekarangan yang lebat
ditumbuhi pepohonan dan pemuda berbaju putih bersih mengantar mereka memasuki
sebuah pendopo yang luas dan terpanjang mewah dan megah, dan setiap orang yang
mereka temui bersikap hormat dan sopan santun, walaupun mereka mengenakan
pakaian seorang penyambut tamu.
Ruang tamu yang besar terbuka
ini dilembari kerai-kerai bambu, sehingga terik matahari di musim kemarau ini,
teraling di luar angin lalu menghembus deras sehingga kerai bergoyang, selintas
pandangan didalam kerai seolah-olah ada burung walet sedang terbang bebas
diangkasa.
Oh Thi-hoa menghela napas
ujarnya: "Beginilah pamor seorang hartawan, umpama kacung-kacung itu sama
memandang rendah kami, mimik muka mereka masih hormat dan sopan. Jago Mampus
kita itu seperti ditakdirkan lahir untuk kaya, sedikitpun tidak memperlihatkan
sikap kasar sebagai tuan tanah atau keluarga penindas."
Sorot mata Co- Liu-hiang
mengawasi bayangan kembang di atas jendela, kupingnya mendengar suara air
gemerisik, tangannya menumpang secangkir air teh bening wangi merangsang
hidung, katanya tiba-tiba:
"Menurut hematku ini amat
sulit."
"Soal apa amat
sulit?" tanya Oh Thi-hoa.
"Memangnya kau belum
paham karakternya, ingin menariknya keluar dari tempat semewah ini ke padang
pasir yang terik dan sering terbit badai itu, kukira siapapun takkan mampu dan
sudi."
"Tepat! Memang dia
seorang laki-laki sejati, laki-laki yang keras kepala dan berhati baja
selamanya tak pernah minta bantuan orang lain, selamanyapun tiada maksud ingin
membantu kesulitan orang lain, tapi kau jangan lupa, betapapun dia adalah teman
karib kita."
Coh Liu-hiang tersenyum:
"Bagaimanapun teman takkan lebih baik daripada diri sendiri."
"Jangan masgul, aku pasti
punya akal untuk menyeretnya ikut kami, kalau terpaksa biar kita bakar saja
rumah mewah ini, coba lihat dia mau pergi tidak?'
Baru saja kata-katanya habis,
terdengar seorang batuk-batuk di luar kerai.
Dua gadis berpakaian serba
putih berparas elok dengan rambut tersanggul tinggi, pelan-pelan melangkah
masuk sambil memikul sebuah usungan kursi empuk, seseorang rebah semendeh di
atas kursi empuk ini, mulutnya terpentang lebar, serunya tertawa lebar:
"Coh Liu-hiang, Oh Hong
cu, tak nyana kalian setan arak ini, kiranya kalian belum lupa kepadaku."
Meskipun tertawa lebar dengan sikap gembira, namun kedua biji matanya tetap
dingin tajam laksana burung elang yang buas.
Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa
lekas menyongsong maju dengan tertawa besar pula.
Kata Oh Thi-hoa:
"Gengsimu semakin besar, berapa sih harga kebesaranmu ini, melihat kawan
lama, masih enak-enak rebah tak mau berdiri."
Ki Ping Yan tertawa-tawa,
sambutnya : "Jikalau kau bisa membuatku berdiri, seluruh milikku
kuhadiahkan kepadamu."
Oh Thi-hoa tertegun, matanya
mendelong mengawasi kedua kakinya yang tertutup selimut kain beludru, teriaknya
: "Kakimu?"
Ki Ping-yan menghela napas,
ujarnya : "Kedua kakiku ini sudah tak berguna lag."
Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa
seketika menjublek.
Tak tahan akhirnya Oh Thi-hoa
menjerit keras : "Sebetulnya kapan hal ini terjadi? Keparat siapa yang
melakukan Biar kupukul hancur kedua kaki keparat itu!"
"Kalau kau ingin bantu
aku menuntut balas agaknya harus bikin kau kecewa saja." ujar Ki Ping-yan.
Oh Thi-hoa gusar, serunya:
"Jikalau aku dan Coh Liu-hiang tidak mampu menuntaskan balas sakit hatimu,
dalam dunia ini mungkin tiada orang lain yang mampu menebus sakit hatimu."
"Memang tiada orang yang
bisa menuntut balas bagi sakit hatiku."
Ki Ping-yang menegaskan.
"Kenapa?" suaran Oh
Thi-hoa menjerit.
Ki Ping-yan geleng-gelengkan
kepala ujarnya :
"Yang bikin kedua kakiku
ini lumpuh, sebenarnya bukan manusia, tapi padang pasir! Matahari yang patut
mampus dan angin yang harus mati ditengah padang pasir… "
ia tertawa getir lalu
melanjutkan: "Selama lima tahun penuh kau mengembara dan keluntang-lantung
ditengah samudra padang pasir, bagaimana aku melewatkan kehidupan lima tahun
dipadang-padang pasir mungkin tiada orang yang bisa membayangkan. Suatu ketika
secara hidup-hidup aku terpendam di bawah tumpukan pasir dua hari kemudian baru
aku tertolong oleh rombongan unta yang kebetulan lewat.
Padang pasir yang harus mampus
itu memang memberikan berkah harta benda yang takkan habis kumakan selama
hidup, namun mendapatkan penyakit rematik di seluruh badanku, sekarang sudah
mending, tinggal kedua kakiku ini yang lumpuh dan tak mampu bergerak
lagi".
Oh thi-hoa melongo pula,
ujarnya:
"Ki Ping-yan, Ki
Ping-yan! kukira kau ini manusia besi bertulang baja, selama ini kukira tiada
sesuatu dalam dunia ini yang bisa membuatmu cidera atau luka-luka, siapa
tahu…" tiba-tiba ia sepak mencelat sebuah kursi disampingnya, suaranya
gemuruh:
"Padang pasir yang patut
mampus, kenapa dalam dunia ini terdapat tempat-tempat setan seperti itu? Kenapa
pula kita diharuskan meluruk kesana?'
Ki Ping-yan menjerit kaget dan
kuatir, tanyanya: "Kalianpun hendak pergi ke padang pasir?"
Dengan rasa berat Coh
Liu-hiang menganggukkan kepala, "benar." Sahutnya.
"Dengarlah nasehatku,
selama hidup ini jangan kalian pergi ke padang pasir, kau boleh percaya
kepadaku, tempat itu tidak patut didatangi oleh seorang manusia yang berotak
jernih dan sadar."
Coh Liu-hinag tersenyum
kecewa, ujarnya: "Siapa bilang sekarang aku ini orang yang berpikiran
jernih?"
Ki Ping-yang kaget katanya.
memangnya ada persoalan apa dalam dunia ini yang bisa bikin Maling Kampiun
pusing kepala?"
Kembali Oh Thi-hoa menyela
bicara : "Sebetulnya kami hendak ajak kau ikut serta, dari para pelancong
yang pulang dari padang pasir, kami mendengar pengalamanmu menjadi kaya. Kami
kira kau sudah menundukkan padang pasir, siapa tahu….sekarang kau…."
Mendadak Ki Ping-yan pegang
kedua kakinya yang terbungkus di bawah selimutnya, serunya serak: "Tapi
kini kedua kakiku ini, aku hanya mendelong awasi teman-teman baikku
pergi…pergi…" Orang yang biasanya bersikap dingin tenang ini, ternyata
terharu dan terbawa emosi, seperti hendak meronta bangun, tapi kedua kakinya
tak mampu bergerak seperti kayu, rasa sakit merangsang ulu hati lagi, akhirnya
ia meloso jatuh dari kursi empuknya.
Lekas Oh Thi-hoa memayangnya,
melihat keadaan temannya yang harus dikasihani ini hampir saja Oh Thi-hoa
mengucurkan air mata saking kasihan, tapi mulutnya tertawa lebar serunya:
"Kaupun tak perlu
bersedih, tanpa kau, aku dan ulat busuk tetap bisa bikin padang pasir porak
poranda. Tunggulah saja kabar baik di sini sekaligus kami akan lampiaskan
penasaranmu."
Matanya sudah berkaca-kaca.
Setelah mengucek matanya kembali ia berkata tertawa besar "Jikalau kau
sangka tanpa kau ikut, kami berarti mengantar kematian, tentulah otakmu ini
perlu disikat dan diperbaiki lagi. Aku dan ulat busuk bukan nona besar yang
lemah takut dihembus angin besar."
Dengan kedua tapak tangan Ki
Ping-yan dekat mukanya. Seluruh badan bergetar menahan emosi dan gejolak
hatinya.
Coh Liu-hiang menyela:
"Tapi kalau kau tidak lekas sediakan arak seumpama aku menggendongmu pergi
kau akan ku seret pergi ke padang pasir pula."
Pelan-pelan Ki Ping-yan
kembali tenang. Iapun tertawa besar, serunya: "Sudah sekian lama Coh
Liu-hiang dan Oh Thi-hoa datang kemari kenapa tidak lekas kusiapkan arak bagus
dan hidangan lezat, memang aku pantas mampus…."
Piring, mangkok dan cangkir
serta perabotan-perabotan antik yang berisi hidangan lezat memenuhi meja besar,
cangkir arak terbuat dari batu pualam hijau, berisi arak warna merah jambrud,
dalam pandangan seorang penggemar arak, merupakan suatu perjamuan yang paling
mewah dalam dunia ini, apalagi yang melayani mereka makan minum adalah dua
gadis cantik rupawan yang bisa membuat laki-laki ngiler dan terpesona.
Tapi kali ini Coh Liu-hiang
tidak perlihatkan sikap biasanya untuk menikmati hidangan dihadapannya, menikmati
kecantikan kedua pelayan ini, karena sikap mesra kedua gadis rupawan ini adalah
sedemikian keluar batas terhadap Ki Ping yan, umpama seorang anakpun bisa
merasakan keganjilan ini. Memang diapun sedang menikmati arak bagus temannya
ini, tapi ia cukup sadar, jangan sekali-kali kau bikin teman lamanya ini merasa
jelus.
Demikian juga Oh Thi-hoa, dia
melirikpun tidak kepada mereka, yang dia ingat hanya gegares sekenyang dan
sepuas hatinya, memang kebanyakan orang bilamana hati sedang risau dan kusut,
sering mereka lampiaskan gejolak hatinya dengan makan minum sebanyak banyaknya.
Bukan saja dia mengisi perut
sendiri secangkir demi secangkir, diapun cekoki kepada Ki Ping-yan, dia
berpendapat asal seseorang masih bisa minum makan dan minum, seumpama kaki
sudah buntung, juga tidak menjadi soal.
Sekonyong-konyong Oh Thi-hoa
bergelak tertawa, serunya: "Ki Ping yan legakan saja hatimu kau pasti
takkan mati seseorang yang masih bisa minum begini banyak, paling cepat masih
bisa hidup tiga puluh tahun"
Ki Ping yan tersenyum,
sahutnya: "Arak kau bukan diminum dengan kaki, benar tidak?"
"Benar! Seumpama kedua
kakimu sudah rusak anggota badanmu yang lain masih segar bugar baru sekarang
aku bisa berlega hati."
Tiba-tiba Ki Ping yan menarik
napas panjang, katanya pula: "Tapi aku rada kuatir."
"Apa pula yang masih kau
kuatirkan?"
"Begini saja kalian
hendak pergi ke padang pasir?"
"Setelah perutku kenyang!
Segera kami berangkat!"
"Kalian hendak pergi ke
padang pasir, aku berani tanggung kalian takkan kuat menahan hidup sepuluh
hari."
Coh Liu-hiang tersenyum,
timbrungnya: "Berapa lama orang lain bisa hidup disana, berapa lama pula
kami harus hidup, kecuali semua manusia dipadang pasir sudah mampus seluruhnya
kalau tidak, kitapun tetap akan bertahan hidup."
"Itu berlainan, manusia
yang hidup ditengah padang pasir, mereka sudah digembleng sekeras baja,
sedemikian keras dan kuat pertahanan mereka sampai kalianpun takkan pernah bisa
membayangkan, sebaliknya kalian…"
Oh Thi-hoa marah, semprotnya:
"Memangnya kau kira aku dan Coh Liu-hiang tidak ungkulan dibanding
mereka?"
"Kepandaian silat kalian
dan kecerdikan otak sudah tentu jauh lebih unggul dari orang lain, tapi hati
kalian, tulang dan anggota badan kalian, sudah lama terendam oleh arak,
permainan perempuan, dan menjadi lemas oleh kehidupan yang foya-foya. Jadi
kehidupan di padang pasir jauh sekali tidak mencocoki selera dan kondisi
kalian."
Coh Liu-hiang tersenyum pula,
katanya: "Kau kira kami hidup foya-foya dan serba kesenangan?"
"Paling tidak sepuluh
kali lebih senang dari kehidupan manusia ditengah padang pasir, karena kuatir
air dalam badan mereka terkuras dan menguap, mereka boleh seharian tidak
bicara, tidak bergerak, apa kalian mampu? Dikala perut mereka lapar, mereka
bisa tangkap kadal dan dibakar, gegares kadal sebagai ganti paha ayam, apa
kalian sudi? Bila mulut dahaga, mereka menggali pasir sampai beberapa tombak
dalamnya hanya dengan kedua tangan saja, tujuannya hanya sekedar menghisap air
di bawah pasir, dengan mengandal setitik air itu, mereka kuasa bertahan hidup
tiga hari lagi, apakah kalian bisa minum kencing unta, apa kalian mau? Cukup
asal kalian mengendus baunya yang sedap saja perut kalian pasti berontak dan
muntah-muntah, dan sekali kalian muntah, elmaut sudah menunggu, ajal kalian
akan semakin cepat."
Ki Ping-yan menghela napas,
katanya pula: "Manusia ditengah padang pasir, apa saja yang mereka lakukan
demi bertahan hidup, bukan saja kalian takkan mampu melakukan, malah
berpikirpun tentu takkan berani."
Oh Thi-hoa tertawa getir,
katanya: "Memang paling tidak aku takkan berani minum kencing, apalagi
kencing unta!"
"Disaat perlu kalau kau
tidak berani minum, jiwamu akan mampus, sebaliknya mereka berani minum, maka
mereka kuat bertahan hidup, oleh karena itu, mereka jauh lebih kuat dari kalian,
ini persoalan tentang hidup, jauh bedanya dengan kepandaian ilmu silat dan
tiada hubungan kepintaran otak lagi."
Sekian lama Coh Liu-hiang
menepekur lalu katanya sepatah demi sepatah: "Ada kalanya menghadapi
sesuatau urusan, meski kau tahu bakal mati, tapi kau tetap akan melaksanakan
juga."
"Sudah tentu akupun
tahu" ujar Ki-Ping yan menghela napas "Bila Coh Liu-hiang
berketetapan hendak melaksanakan suatu urusan, siapapun takkan bisa
menghalanginya, tapi kalau kalian berkukuh hendak pergi, janganlah pergi
demikian saja."
"Bagaimana kita harus
berangkat?"
"Kalian harus
mempersiapkan banyak perbekalan."
"Apa saja yang harus kami
persiapkan?"
"Paling sedikit kalian
harus membawa lima ekor unta, air yang banyak, makanan dan banyak pula
barang-barang keperluan lainnya.Kelihatannya memang tak berguna, tiba saatnya
semua itu adalah barang-barang yang amat berguna dan besar manfaatnya,
disamping harus mencari seorang tukang yang ahli dalam memelihara binatang
tunggangan."
"Barang-barang itu."
katanya lebih lanjut dengan tertawa: "Sudah tidak perlu kalian sendiri
berjerih payah, besok sore sebelum magrib aku akan siapkan seluruhnya dengan
lengkap dan sempurna."
Coh Liu-hiang tertawa ujarnya:
"Tapi tujuan kami kesana bukan hendak melancong atau ingin hidup
foya-foya, jangan kau bikin kita hidup kemewahan di sana. Soal binatang
tunggangan aku bisa mempersiapkan sendiri dua ekor kuda, beberapa kantong air
dan ransum, kukira sudah berkecukupan. Jikalau kau bisa siapkan beberapa arak
untuk si gila she Oh ini sudah tentu lebih baik!"
Ki Ping-yan menghela napas,
gumannya: "Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang! Tak nyana watak kerbaumu tak
berubah selama sepuluh tahun ini!"
Oh-Thi hoa bercokol di atas
kudanya, kuda ini merupakan tunggangan yang terpilih diantara ribuan kuda yang
lain, tapi tindak tanduknya seperti jeri mendekati kuda tunggangan Coh
Liu-hiang, kuda hitam milik Hek-tin-cu itu, meski Oh-Thi hoa sudah melecut dan
mengepraknya sampai jengkel, kuda itu tetap tak berani lari berendeng.
Terpaksa Oh-Thi hoa hanya
mengintil di belakang Coh Liu-hiang, karena kurang senang mulutnya terus
mengoceh dan menggerundel.
Sebaliknya sikap Coh Liu-hiang
biasa saja, sedikitpun ia tidak memperhatikan sesuatu gejala, cuma sejak
berpisah dengan Ki-Ping yan sampai sekarang dia tak pernah buka suara.
"Coh Liu-hiang!"
seru Oh-Thi hoa tak tahan, "Tahukah kau, sekarang aku mulai curiga apakah
kau begitu setia kawan seperti yang pernah kubayangkan dulu."
"O? Kenapa?"
"Kedua kaki Jago Mampus
putus, ternyata sedikitpun kau tidak memperlihatkan prihatin dan simpatik atas
kesengsaraannya, aku tahu kau dulu bukan orang macam begituan."
Sesaat Coh-Liu hiang berdiam
diri, tiba-tiba ia berpaling dan tertawa, katanya: "Berapa lama kau kenal
baik dengan Ki-Ping yan?"
"Walau tidak selama kau,
sedikitnya ada sepuluh tahun!"
"Pernahkah kau dengar dia
suka omong begitu panjang lebar?"
Tanpa pikir Oh-Thi hoa segera
menjawab: "Sudah tentu tidak! Siapapun tahu kalau ingin Jago Mampus bicara
jauh lebih sukar untuk mengundangnya makan minum."
"Pernahkah kau dulu
melihat sikap sedih dan emosinya seperti itu?"
"Kemarin waktu aku lihat
dia jatuh dari atas kursi hampir saja ingin aku menangis sepuas-puasku, tapi
kau… matamu berkedip pun tidak, kau malah masih tertawa geli."
"Sudah belasan tahun kau
mengenalnya, masakah kau belum tahu akan wataknya, jikalau kedua kakinya itu
benar-benar putus, masakah dia suka omong sedemikian panjang lebar, dipengaruhi
emosinya lagi?"
Oh-Thi hoa tertegun, mendadak
ia berjingkrak dengan berteriak keras: "Apakah maksud ucapanmu ini?"
"Kau belum paham apa
maksudku?"
"Apakah kau maksudkan,
bahwa apa yang dia lakukan itu hanyalah pura-pura untuk dipertontonkan kepada
kita?"
"Pernahkah kau perhatikan
kedua nona jelita yang melayani kita itu?"
"Maksudmu Ing-yan dan Poan-ping
kedua gadis ayu itu?"
"Benar, pernahkah kau
perhatikan sikap dan tindak-tanduk mereka terhadap Ki Ping-yan?"
Oh Thi-hoa bergelak tertawa,
serunya: "Apa kau merasa jelus? Perempuan dikolong langit ini, kan tidak
semua baik terhadap Coh Liu-hiang, ada kalanya ada satu dua orang yang pandang
sepele kepada Coh Liu-hiang."
"Kau lihat sikap mesra
mereka terhadap Ki Ping-yan, apakah sikap terhadap seorang laki-laki yang sudah
cacat badannya? Pernahkah kau perhatikan kerlingan mata mereka, serta sorot mata
mereka bila mengawasi Ki Ping-yan?"
Tiba-tiba lenyap tawa Oh
Thi-hoa, mulutnya melongo.
Berkata Coh Liu-hiang lebih
lanjut: "Kaupun seorang yang cukup berpengalaman menghadapi perempuan,
tentunya kaupun bukan seorang picak."
"Benar!" gumam Oh
Thi-hoa mendelong. "Seorang laki-laki bila tidak bisa memuaskan perempuan,
tiada perempuan yang bersikap seperti itu terhadapnya, apalagi seorang
laki-laki cacat, selamanya takkan bisa membuat puas orang lain…" mendadak
ia menjerit keras: "Kenapa waktu itu kau tidak katakan kepadaku?"
"Kalau toh dia tidak mau
pergi, buat apa aku harus memaksanya?"
"Jago Mampus yang pantas
mati, bukan saja menipuku, malah membuat hatiku ikut pilu dan kasihan, berani
dia gunakan akal liciknya ini terhadap kawan karib yang sudah dikenalnya
belasan tahun."
"Terhadap kita, dia tidak
perlu dicela."
"Kau masih
memujinya?"
"Dia bicara panjang
lebar, itu pertanda bahwa sanubarinya terketuk, pertanda dia masih pandang kita
sebagai temannya, kalau tidak bisa saja dia menolak terus-terang "tidak
mau ikut", memangnya kita bisa menelikung dia serta menggusurnya pergi,
benar tidak?"
Melotot mata Oh Thi-hoa,
serunya: "Begitu tercela sikapnya terhadapmu, sedikitpun kau tidak
marah?"
"Kalau kau ingin
berkenalan dengan seorang teman, kau harus paham dan menyelami wataknya,
jikalau dia punya kekurangan, kau harus memaafkan dia, waktu aku mengenalnya
dulu, aku sudah tahu memang begitulah wataknya, buat apa aku harus
marah…."
Coh Liu-hiang terloroh-loroh,
katanya lebih lanjut: "Apalagi bisa membuat seorang teman baik, aku sudah
amat puas."
Oh Thi-hoa gusar, serunya:
"Tapi aku tidak sebaik dan sesabar kau, memberi maaf apalagi, aku…"
"Memangnya kau sendiri
kira sudah setia kawan? Beberapa teman baik kumpul bersama, tapi kau tega
tinggal pergi begitu saja tanpa pamit, minggat sampai tujuh delapan tahun,
memangnya orang lain tidak marah kepada kau?"
"Tapi aku… aku tidak
seperti dia…"
"Benar! Kau tidak seperti
dia, dikala teman menghadapi kesulitan kau takkan mundur, tapi kaupun punya
kekurangan sendiri, seperti pula Ki Ping-yan mempunyai kebaikannya
sendiri."
Oh Thi-hoa mengelus hidung,
tanpa bicara lagi. Betapapun tak malu dia menjadi kawan dekat Coh Liu-hiang,
penyakit Coh Liu-hiang yang suka mengelus hidung, dia bisa mempelajarinya
begitu mirip dan persis.
Menjelang lohor, mereka
menemukan suatu tempat untuk istirahat, ingin Coh Liu-hiang membuat suatu
rencana untuk mempermudah perjalanan ini, siapa tahu waktu ia berpaling,
ternyata Oh Thi-hoa sudah menghilang.
Terpaksa Coh Liu-hiang hanya menyengir
tawa getir, terpaksa dia harus menunggu.
Seumpama hatinya gelisah dan
gugup, apa pula gunanya, perangai Oh Thi-hoa yang melebihi bara panasnya, lebih
liar dari kuda binal, lebih dogol dan bandel dari keledai, memangnya dia belum
bisa memahaminya selama ini.
Sudah tentu cepat sekali ia
sudah dapat meraba kemana tujuan Oh Thi-hoa. Terbukti dia pulang tidak
sendirian.
Tampak di belakangnya kuda
pilihannya itu, mengintil pula seekor kuda lain, seorang diri dia menarik dua
tali kekang, kuda di sebelah belakangnya ternyata dinaiki dua orang. kedua
orang ini bukan lain adalah Ing-yan dan Poan-ping.
Rambut sanggul mereka yang
mengkilap sudah buyar terhembus angin, kulit mukanya yang halus jelita diliputi
rasa kaget, ketakutan jari-jari tangan mereka yang halus mungil diikat kencang
oleh Oh Thi-hoa.
Selama itu Coh Liu-hiang tetap
menunggu di luar pintu kedai kecil sambil memandang ke tempat jauh, tapi
setelah melihat bayangan mereka mendatangi segera ia kembali masuk ke dalam
kedai, duduk membelakangi pintu di luar.
Setelah kudanya tiba di depan
pintu baru Oh Thi-hoa lompat turun lalu iapun tarik tali kekang kuda di
belakangnya, pelan-pelan satu persatu ia tolong kedua gadis di punggung kuda
itu melompat turun.
Kuda mereka kuda jempolan,
perbawa Oh Thi-hoa sedemikian gagah dan kereng, ditambah dia menggusur dua nona
jelita yang terikat kedua tangannya lagi. Semua orang di pinggir jalan sama
melotot matanya mengawasi mereka, jikalau mereka tidak gentar menghadapi sikap
Oh Thi-hoa yang garang itu, mungkin mereka sudah merubung maju.
Tapi Coh Liu-hiang sebaliknya
tidak berpaling muka, bahwasanya melirikpun dia tidak memandang kepada Oh
Thi-hoa.
Dengan langkah gemulai Oh
Thi-hoa datang menghampiri, katanya tawar : "Aku kembali!"
"Ehm!" Coh Liu-hiang
bersuara dalam mulut.
"Akupun bawa dua orang
tamu kemari." Oh Thi-hoa menambahkan.
Coh Liu-hiang berdiri, menarik
dua kursi dengan senyum manis ia persilahkan kedua gadis yang ketakutan itu
duduk, lalu ia menarik muka pula dan duduk kembali ditempatnya tanpa hiraukan
Oh Thi-hoa.
O
h Thi-hoa minta sepoci arak,
dia tuang dan tenggak sendiri, mulutnya mengerundal : "aku tahu kau tidak
senang, tapi Ki Ping-yan memang keterlaluan terhadap teman, jikalau aku tidak
bongkar permainan sandiwaranya ini, mungkin seumur hidupku takkan bisa tidur
nyenyak."
Akhirnya Coh Liu-hiang
menghela napas, katanya : "Tapi kenapa kau menghadapi mereka? Kaum wanita
tiada sangkut pautnya dengan persoalan ini!"
Hanya cara ini yang bisa
kukalukan! kata Oh Thi-hoa sejujurnya.
Disaat kau pergi, apakah Ki
Ping-yan sedang tidur siang? tanya Coh Liu-hiang.
"Aku tahu penyakit
lamanya itu takkan bisa berubah, maka kuperhitungkan tepat pada waktunya aku
meluruk kesana, ternyata benar dia sedang tidur, coba kau pikir, asal kuundang
kedua nona ini kemari dalam jangka satu jam, dia pasti sudah menyusul
tiba."
Saking senang ia bergelak tawa
serunya pula : "Seperti juga diriku karena orang membawa Soh Yong-yong
melancong, tidak segan-segan kau hendak mengejarnya ke padang pasir. Bicara
terus terang, cara yang kugunakan ini aku menelat perbuatan Hek-tio-cu."
"Tapi cara ini betapapun
terlalu rendah dan memalukan."
"Menghadapi orang seperti
dia itu, kalau tidak menggunakan cara yang rendah seperti ini kau mampu
menghadapinya?" Oh Thi-hoa berdiri, lalu pelan-pelan menjura kepada kedua
nona jelita yang pentang kedua matanya lebar-lebar, katanya tertawa :
"Kali ini meski bikin susah kedua nona, tapi dari kejadian hari ini
dapatlah membuktikan rasa cintanya terhadap nona berdua, sedikit banyak kalian
mendapat hasil juga"
Ong yan membuka mulut tertawa
lebar, katanya : "Kalau demikian kami berdua malah harus berterima kasih
kepada Kongcu."
"Memang kalian harus
berterima kasih kepadaku, kalau tidak jangan mengharap seumur hidup kalian
melihat sikap Ki Ping-yan yang gelisah dan gugup lantaran kalian berdua…"
tak tertahan dia terloroh-loroh geli.
Tak urung Coh Liu-hiang ikut
tertawa pula, ujarnya : "Bicara soal tebalnya muka, mungkin aku tidak akan
ungkulan dibanding kau."
Poan Ping cekikikan, katanya :
"Kalau demikian, mohon Kongcu suka membuka belenggu kedua tangan kami,
jikalau kami tidak meladeni Kongcu berdua makan minum, mana kami bisa
perhatikan betapa besar rasa terima kasih kepada Kongcu."
Tapi satu jam telah berselang,
dua jam telah berlalu, bayangan Ki Ping-yan belum juga kunjung tiba setelah
hari menjelang tengah malam, Ki Ping-yan masih belum menyusul datang, lambat
laun Poan ping dan Ing-yan sudah tak bisa tertawa pula.
Poan-ping berkata hampir
menangis : "Mungkin rekan kongcu melesat, mungkin dia tidak begitu
prihatin akan diri kami seperti yang Kongcu bayangkan."
Oh Thi-hoa pun mulai gundah,
namun mulutnya masih tertawa lebar katanya : "Tak usah kuatir, dia pasti
datang."
"Kalau dia tidak
datang?" tanya In-yan, Oh Thi-hoa tertegun. lekas ia berpaling kepada Coh
Liu-hiang.
"Sudah tentu ini urusanku
kau kira kau gelisah dan gugup? Sudah kuperhitungkan dengan tepat, dia pasti
akan datang…"
"Kalau dia mau datang,
sejak tadi tentu sudah berada di sini…" sela Poan-ping.
Oh Thi-hoa tak bisa tertawa
pula katanya tergagap-gagap : "Mungkin… mungkin dia kesasar ke lain
tempat."
"Dia sendiri yang
mengantar kami berangkat, masakan dia tidak tahu jalan di daerah ini?
"Memangnya?"
"Kecuali dia tidak menduga bila kaulah yang melakukan gara-gara ini."
"Aku sengaja meninggalkan
beberapa tanda yang mencolok, seumpama orang lain tidak kenal tanda khasku itu,
tapi Ki Ping-yang usia lima tahun, mungkin dia sudah bisa membedakannya."
Berkerut alis Coh Liu-hiang,
katanya : "Kalau demikian, kenapa sampai sekarang dia tidak kunjung
datang?"
Poan-ping menyela pula :
"Jikalau dia benar-benar tidak kemari, apa yang Kongcu hendak lakukan
terhadap kami?"
"Ini…" Oh Thi-hoa
menyengir kecut. "Ini… aku…"
Berputar biji mata Ing-yang,
tiba-tiba ia tertawa cekikikan katanya : "Dia tak datang tak menjadi soal,
biar kami berdua ikut Kongcu saja.
Oh Thi-hoa menjingkrak seperti
disengat kala, teriaknya : "itu tidak mungkin!"
"Kongcu anggap kami jelek
dan tidak setimpal?" desak Ing-yan.
"Aku… bukan begitu
maksudku, cuma tapi…"
"Memangnya apa maksud
Kongcu sebenarnya?" desak Ing-yan pula.
Timbrung Poan-ping :
"kongcu menggusur kami kemari tidak sudi bawa kami sekalian! kami… apakah
selanjutnya kami bisa berhadapan muka dengan orang lain?" suaranya semakin
pilu matapun merah berkaca-kaca.
Sembarang waktu air mata dapat
bercucuran.
"Nona-nona baik, kumohon
kalian sekali-kali jangan merengek dan menangis. Setiap kali melihat anak
perempuan nangis hatiku jadi bingung dan tak bisa berketetapan !"
Kata Poan-ping dengan mata merah
: "Lalu kenapa Kongcu tidak mau terima kami?"
Kembali Oh Thi-hoa melompat
sambil berteriak : "Maksudmu cuma supaya Jago Mampus itu kehilangan
orangnya, sekali-kali tiada maksudku hendak merebut bininya, aku… walau aku
amat suka kepada kalian tapi…"
Seketika berseri tawa muka
Ing-yan, katanya nyaring: "Jikalau Kongcu suka kepada kami, kami berjanji
akan ikut setia kepada Kongcu."
Poan-ping ikut menyela bicara:
"Kalau toh dia tidak perhatikan kami berdua kenapa kami harus ikut
dia?"
Saking gugup Oh Thi-hoa
menggosok-gosok kedua tapak tangannya. Coh Liu-hiang sebaliknya duduk
ongkang-ongkang di tempatnya, dengan tersenyum geli ia habiskan araknya. Oh
Thi-hoa menerjang maju merebut cawan araknya, suaranya menggembor gusar:
"Coh Liu-hiang masih tidak lekas kau bantu mencari akal?"
"Sejak tadi sudah
kukatakan, urusanmu sendiri apalagi dua gadis cantik rupawan seperti mereka
janji setia hendak ikut kau, aku harus memberi selamat dan ikut senang bagi
rejekimu yang besar, sekaligus mendapat dua bini."
Oh Thi-hoa berteriak aneh,
dampratnya: "Coh Liu-hiang kau ulat busuk ini, perduli apa yang sedang kau
pikirkan dalam benakmu, jika tidak temani aku antar mereka pulang, biar aku adu
jiwa dengan kau!"
Sepanjang jalan, tak
henti-hentinya Poan-ping dan Ing-yan cekikikan geli.
Berkata Ing-yan: "Kalau
kami harus diantar pulang, kenapa pula semula kami direbut dan digusur pergi
secara kekerasan?"
Poan-ping ikut tertawa,
katanya: "Kalau aku tidak kasihan melihat sikap gugup dan gelisahmu ini,
bagaimanapun juga aku tidak mau pulang."
Menghadapi raut muka Oh
Thi-hoa yang bersungut-sungut ini, tak terasa Coh Liu-hiang terkial-kial geli,
katanya: "Oh Thi-hoa kuharap selanjutnya kau tahu diri perempuan dalam
dunia ini, tidak semuanya sama seperti Ko Ah-nam gampang dihadapi, kau merasa
Ko-Ah nam enak dihadapi lantaran kau menyukainya."
"Benar," ujar Oh
Thi-hoa getir: "selanjutnya aku tak berani bilang aku pandai menghadapi
perempuan, sekarang ingin rasanya aku berlutut di hadapan Ko Ah-nam, mencium
kakinya yang bau."
Coh Liu-hiang terbahak-bahak,
"Kau bisa paham akan pengertian ini, terhitung kau masih bisa
ditolong."
"Kalau kau begitu pintar,
tentu kau tahu kenapa Ki Ping-yan tidak menyusul kemari?" tanya Oh Thi-hoa
sambil mendekap mulut.
"Jikalau dia sudah
memperhitungkan kau pasti akan mengantar mereka pulang, buat apa dia susah
menyusul sejauh ini?"
Oh Thi-hoa tidak bicara,
sesaat kemudian ia berkata pelan: "Jikalau dia berpikir demikian tentu dia
salah! Tiada manusia bodoh sebanyak itu dalam dunia ini, cuma ada kalanya
sementara orang tidak mau melakukan sesuatu urusan yang memperlihatkan
kecerdikan otaknya."
"Disitulah letaknya
kenapa Ki Ping-yan bisa menjadi kaya raya dalam waktu yang begitu singkat, dan
sebab kenapa kau selamanya takkan punya uang, lantaran setiap orang suka bilang
kenapa kau ini mungil dan jenaka."
"Ternyata apa aku ini
mungil jenaka? Baru hari ini aku tahu…" gelak tawanya mendadak berhenti,
karena dilihatnya jauh di depan sana mendatangi sebuah barisan, ada kereta, ada
kuda, agaknya masih terdapat tujuh delapan ekor unta.
Tatkala itu sudah tengah
malam, sepanjang jalan ini boleh dikata bayangan setanpun tak kelihatan, kenapa
rombongan besar manusia dan binatang ini melakukan perjalanan ditengah malam
buta rata?
Bertaut alis Oh Thi-hoa, dalam
tubuhnya mengalir darah yang suka turut campur urusan orang lain, setiap
menghadapi kejadian ganjil, jikalau kau melarang dia pergi melihatnya biar
jelas, boleh dikata jauh lebih menderita daripada kau gorok lehernya.
Kata Coh Liu-hiang tertawa
sambil mengawasinya: "Apa pula yang tengah kau pikir dalam benakmu?"
Alis berkerut, tangan meraba
dagu, mengumam mulut Oh Thi-hoa: "Tengah malam buta rata, menggiring
kereta dan binatang kuda dan unta sedemikian banyaknya, sudah tentu bertujuan
mengelabui mata kuping orang lain, menurut hematku, jikalau orang-orang itu
bukan brandal, tentu kawanan perampok."
"Apa kau ingin hitam
mencaplok hitam?"
Oh Thi-hoa tertawa senang.
"Kau lho yang mengusulkan." segera dia keprak kuda terus memapak ke
depan.
Tampak rombongan yang berbaris
panjang ini terdapat kereta, kuda dan unta, tapi hanya terdapat dua orang saja,
seorang adalah kusir kereta yang duduk bercokol di tempatnya, seorang lagi
adalah laki-laki kekar yang berkulit hitam. Laki-laki ini mencekal seutas
cambuk panjang setombak lebih, mengenakan kaos yang terbuat dari kulit kambing,
nampak jelas otot-otot dan daging badannya yang kekar sekeras baja.
Laki-laki hitam ini berjalan
di barisan paling belakang, meski hanya satu orang, kuda dan unta dapat ia
kendalikan dengan baik dan rapi, satu demi satu berbaris memanjang menelusuri
jalan menuju ke depan, tiada seekor kuda yang binal, tiada seekor untapun yang
meninggalkan barisan, seolah-olah mereka ini pasukan besar yang sudah dapat
gemblengan dalam latihan berat.
Bentuk kereta besar itupun
amat ganjil, empat persegi, mirip benar dengan sebuah peti mati, pintu jendela
tertutup rapat, entah apa yang berada didalamnya.
Semakin dipandang dan ditegasi
Oh Thi-hoa semakin merasa aneh dan janggal, bukan saja tidak mirip rombongan
brandal atau perampok dan begal, tidak mirip pedagang, atau suatu perusahaan
ekspedisi segala.
Tak tertahan ia lecut kudanya
menghampiri laki-laki kekar yang bertubuh keras seperti menara itu, sapanya
tertawa lebar: "Saudara tengah malam buta rata tergesa-gesa menempuh
perjalanan, masakah tidak letih?"
Laki-laki besar kekar itu cuma
melirik kepadanya tanpa bersuara.
Baru sekarang Oh Thi-hoa
melihat jelas raut muka orang seperti kulit jeruk yang dikeringkan, kulit
dagingnya lekak-lekuk tiada sesentipun kulit mukanya yang bersih dan mengkilap.
Mengawasi sepasang matanya
bersinar guram remang-remang hampir putih hitam biji matanya susah dibedakan
siapapun takkan pernah membayangkan dalam dunia ini ada manusia yang memiliki
sepasang mata begini rupa.
Biji matanya melotot kepada Oh
Thi-hoa, namun seolah-olah tidak melihat Oh Thi-hoa, dulu jelas sorot matanya
mengandung hawa ganjil namun seperti kosong melompong dan hampa.
Ditengah malam buta rata,
bertemu dan berhadapan dengan manusia seperti ini, sungguh bukan suatu kejadian
yang menarik, ingin ketawapun Oh Thi-hoa tak kuasa mengeluarkan suaranya.
Dasar wataknya memang kukuh,
namblek, kalau orang tidak hiraukan dirinya, semakin getol dia mengganggu
orang, ingin dia bertanya biar jelas, lekas kudanya ia putar balik mengejar ke
depan, katanya keras: "Hanya orang yang ada setannya, tidak mau menjawab
pertanyaan orang, saudara apakah ada setan dalam hatimu?"
Kali ini melototpun tidak
laki-laki ini kepadanya, hakekatnya orang tidak perdulikan dirinya.
Oh Thi-hoa tertawa dingin,
jengeknya: "Sementara orang boleh kau tak usah hiraukan mereka, meski dia
marah, apa boleh buat orang toh tak dapat berbuat apa-apa terhadap kau, tapi
aku ini bukan orang macam begituan, jikalau aku sampai marah…"
Dari dalam kereta tiba-tiba
menongol keluar sebuah kepala manusia, katanya sambil tertawa tawar: "Kau
tidak perlu marah, hakekatnya dia tidak mendengar ocehanmu, dia seorang
tuli."
Hampir saja Oh Thi-hoa
terjungkal roboh dari atas tunggangannya, teriaknya keras: "Ki Ping-yan,
kaukah itu! Kau Jago Mampus ini, sebetulnya permainan apa yang sedang kau
lakukan?"
Orang yang berada di dalam
kereta ternyata adalah Ki Ping-yan.
Dari dalam kereta itu ulurkan
sebuah tangannya memberi ulapan tangan sebagai isyarat, barisan segera
berhenti, lalu ia buka pintu kereta, pelan-pelan melangkah turun.
Hampir gila Oh Thi hoa saking
marahnya, dampratnya menggembor: "Bukankah kedua kakimu sudah buntung?
Sekarang kenapa bisa berjalan?"
Seolah-olah Ki Pin-yang tidak
pernah mendengar ocehannya, langsung dia memapak ke arah Coh Liu-hiang yang
kebetulan sedang mendatangi. Coh Liu-hiang lekas lompat turun dan memapak maju
pula.
Mereka berpandangan sambil
tertawa lebar, kata Ki Ping-yan: "Aku sudah datang."
"Bagus sekali!"
"Karena aku harus mempersiapkan
diri dalam perjalanan keluar perbatasan, sehingga aku datang terlambat."
Sekilas Coh Liu-hiang pandang
barisan ini, katanya tersenyum: "Terlalu banyak persiapanmu."
"Kebanyakan lebih mending
daripada kekurangan."
"Pengalamanmu jelas lebih
luas daripadaku, aku dengar petunjukmu."
"Kereta itu boleh untuk
istirahat, besok pagi saja boleh kau periksa segala keperluan kita ini
ya."
"Baik." Coh
Liu-hiang tidak banyak komentar.
Keduanya tak pernah
menyinggung soal kaki putus, tidak bicarakan Ing-yan dan Poan-ping seolah-olah
peristiwa hakekatnya tidak pernah terjadi.
Saking gusar dan menahan
amarahnya Oh Thi-hoa sampai memburu napasnya, raut mukanya membesi hijau, tak
tahan ia memburu maju.
Ki Ping-yan menyambutnya
dengan tawa tawar, katanya: "Di atas kereta ada arak, jikalau kau belum
mabuk, mari silahkan minum beberapa cangkir lagi!"
Sekian lama Oh Thi-hoa melotot
mengawasinya, akhirnya ia bergelak tertawa, serunya:
"Bagus! Meski kau buat
aku tertipu mentah-mentah, tapi aku tidak boleh bersikap kasar terhadap teman
baik, kami boleh terhitung seri, mari naik, kuhaturkan tiga cangkir kepada
kau!"
Setelah berada di atas kereta,
baru Oh Thi-hoa mengerti, kenapa Ki Ping-yan membuat petak kereta ini mirip
dengan peti mati, karena dengan bentuk seperti ini, ruangan kereta ini menjadi
lebar dan nyaman. Boleh dikata bukan kereta tapi sebuah petak rumah yang
berjalan.
Dalam kereta terdapat beberapa
balai besar yang empuk, beberapa kain beludru tebal sebuah meja, setiap benda
yang berada di sini agaknya sudah diatur sedemikian rupa setelah
dipertimbangkan dengan masak, meski banyak jumlah barang, kelihatannya tidak
saling berdesakan.
"Mana araknya?" baru
saja Oh Thi-hoa hendak bertanya.
Ki Ping-yan sudah ulur tangan
menekan sesuatu di bawah balai-balai, dari kolong balai-balai mendadak meluncur
keluar sebuah laci terdapat enam gelas perak yang mengkilap dan sepuluh botol
persegi yang terbuat dari perak pula.
Kata Ping-yan: "Di sini
terdapat sepuluh macam arak, dari Motai, Toabin, Bu-yap ceng sampaipun arak
susu kambing dari luar perbatasanpun ada, kelihatannya botol ini tidak begitu
besar, namun isinya tiga kati duabelas tahil. Kau ingin minum apa?
katakan!."
Oh Thi-hoa sudah terbelalak
mengawasi laci itu. lama baru dia berkata menghela napas: "Sekali rekan
berbagai macam arak sudah diantar keluar seolah-olah sebuah khayalan indah bagi
seorang setan pemabuk, tak heran manusia siapa saja ingin punya harta kaya
memang banyak manfaatnya."
Tiga orang sudah menghabiskan
tiga botol arak Oh Thi-hoa tak tahan lagi katanya :
"Kini kalau ada udang
besar dari Kangpak cakar merak dan pupu menjangan dari Kim-hoa untuk teman
arak, tempat ini boleh dikata menyerupai sorga, cuma sayang… "
Belum habis ia bicara dari
kolong selimut tebal itu mencelat keluar pula laci yang lain, dimana bukan saja
terdapat udang besar dari Kang-pak, cakar merak dan pupu menjangan dari
Kim-hoa, malah ada ikan rendam arak dari Hikian angsa panggang ulat laut dari
Hayling, daging tulang dari bagi tapak biruang dari Tiang pek san dan lain-lain
pendek kata setiap makanan yang paling lezat untuk teman sudah lengkap tersedia
didalam laci ini.
Kontan Thi-hoa berjingkrak
girang teriaknya : "E, eh, apa kau sekarang sudah pandai main
sulapan!"
"Manusia hidup sedapat
mungkin harus menikmati segala kesenangan terutama orang yang punya dosa dan
banyak membuat kesukaran orang lain, pernah suatu ketika, aku kelaparan sampai
rasanya aku kupas kulit dagingku sendiri untuk isi perut, oleh karena itu,
sekarang dimanapun aku berada, lebih dulu aku tumpuk berbagai macam makanan,
sampaipun kolong ranjang, tempat tidurku ada arak ada daging.
Ingin rasanya Oh Thia-hoa
tertawa mendengar omongan lucu ini, tapi setelah ia pikir kan secara seksama,
bukan saja tak bisa tertawa, malah ingin rasanya ia menangis. Katanya yang
datar dan tawar ini, bahwasanya mengandung penderitaan pahit getir, dikala
manusia ketakutan menghadapi kelaparan perutnya, maka boleh kau bayangkan
betapa besar derita dan kesengsaraan yang pernah dialaminya.
Lama Oh Thi Hoa melongo,
bergegas dia tenggak habis tiga cangkir arak, lalu ia katanya menghela napas
dengan menengadah: "Mungkin memang tidak pantas aku paksa kau
kemari."
Ki ping-yan berkata dingin:
"Kau tidak paksa aku, jikalau aku benar-benar tak sudi datang, siapapun
jangan harap bisa paksa aku kemari."
Oh Thi-hoa tertawa kecut,
tiba-tiba ia bertanya:
"Bagaimana dengan kedua
nona jelita itu?"