-------------------------------
----------------------------
Bab 6: Para perampok ganas
Hari kedua, Ki Ping-yan
membagi rata sisa air yang ada menjadi lima bagian, katanya tawar: "Inilah
sisa air yang terakhir, kita boleh sekarang meminumnya sampai habis, juga boleh
disimpan untuk diminum perlahan-lahan. Yang terang sisa air ini paling lama
hanya bisa bertahan selama dua tiga hari."
Mengawasi kantong yang kosong
itu, berkata Oh Thi hoa: "Itulah air tinggalanmu sendiri, aku tak mau
minum. Putar badan lekas ia hendak tinggal pergi.
Coh Liu-hiang menariknya, katanya
tertawa: "Jangan kau main purian dengan Ping-yan, kau bisa tertipu bila
marah-marah kepadanya."
Tiba-tiba Oh Thi hoa pun
tertawa lebar, ujarnya: "Hal apa yang kubuat marah sama dia, kemarin
malam, aku sudah dengar nanti sore dia sudah akan bisa mendapatkan air, cuma
aku sendiripun masih punya sepoci arak, kenapa aku harus minum airnya yang
hitam berlumpur itu?"
Tak terasa Ki Ping-yan ikut
tertawa, mengawasi ketiga sahabat karib yang sama terpingkal-pingkal sambil
bergandengan lengan ini, seketika bangkit semangat Siau-phoa, lenyap rasa
takutnya. Ikut bersama tiga orang-orang gagah seperti mereka ini, apa pula yang
perlu ditakuti? Cuma raut muka Ciok Tho yang semakin lama semakin guram, kaku,
orang satu yang punya mata ini, seolah-olah sudah melihat malapetaka yang tak
terlihat oleh orang lain bakal menimpa mereka.
Ki Ping-yan hanya mengulap
sebelah tangannya, Ciok Tho segera menghentikan barisan ini, unta-unta sama
mendekam rebah, lekas Oh Thi hoa lompat turun dari punggung unta, langsung lari
mencari Ki Ping yan, tanyanya: "Kau yang menyuruh Ciok Tho menghentikan
barisan, benar tidak?"
"Memangnya kenapa?"
balas tanya Ki Ping yan.
Oh Thi hoa heran, tanyanya:
"Asal kau mengulap tangan, dia lantas tahu akan maksudmu?"
"Ya, begitulah!" Ki
ping-yan mengiakan.
Semakin keras suara Oh
Thi-hoa: "Tapi kau katakan dia seorang bisu, tuli dan buta, darimana dia
bisa melihat tanda ulapan tanganmu?"
Ki Ping-yan tertawa tawar,
katanya, "sudah tentu aku punya caraku sendiri sehingga dia bisa menangkap
maksudku."
"Kau punya setan apa?
Kenapa tidak mau kau jelaskan?"
"Apa benar kau sendiri
tidak mengetahui?"
"Hanya sundel bolong saja
yang bisa melihatnya."
Ki Ping-yan berputar kearah
Coh Liu-hiang, tanyanya: "Bagaimana kau?" berkata
Coh Liu-hiang pelan-pelan:
"Kau gunakan sebuah krikil untuk menyampaikan perintahmu, jikalau kau
ingin barisan berhenti, maka kau timpuk pundak kiri Ciok Tho, jikalau ingin
barisan berangkat, kau timpuk pundak kanannya." lalu sambil tersenyum ia
berpaling kearah Oh Thi hoa, katanya: "Cara ini kukira bukan hanya sundel
bolong saja yang bisa melihatnya, benar tidak?"
Oh Thi hoa angkat kedua
tangannya datar ke depan, katanya tertawa kecut: "Kau bukan sundel bolong,
baru sekarang aku menyadari bahwa diriku ternyata tidak lebih pandai dari
sundel bolong itu."
Tempat itu merupakan salah
satu bagian dari padang rumput yang ditaburi pasir-pasir kuning juga, tiada
bedanya dengan tempat-tempat lain ditengah gurun pasir ini, cuma ada sesuatu
yang menyolok mata, adalah ditempat itu terdapat sepucuk pohon. Pohon yang
tumbuh di pinggir sebuah batu cadas yang sudah mengering juga, pohon itupun
sudah layu dan kering.
Setengah harian Oh Thi hoa
celingukan kian kemari, tanyanya tak tahan: "Di sini ada air?"
"Em!" sahut Ki Ping-yan
manggut-manggut.
Kata Oh Thi hoa sambil
mengelus batok kepalanya: "Dimana airnya, kenapa tidak kulihat? Apakah
otakku ini sudah tak mampu untuk bekerja, matakupun sudah lamur?" lalu ia
pegang lengan Coh Liu-hiang, tanyanya: "Bicaralah terus terang kau sudah
melihatnya belum?"
Coh Liu-hiang ragu-ragu,
katanya: "Konon didalam gurun pasir terdapat sumber air yang tersembunyi,
di dasar pasir yang cukup dalam."
"Tidak salah kau…"
Ki Ping-yan urung bicara. Matanya memandang Oh Thi-hoa ingin bicara, apa yang
dia hendak ucapkan tentunya bukan omongan yang enak didengar kuping, tapi belum
lagi kata-katanya selesai, Oh Thi-hoa sudah angkat kedua tangannya pula,
tukasnya: "Tak usah kau katakan bicara kuakui aku tidak tahu
apa-apa?" lalu ia mengelus batok kepalanya pula, sambungnya: "Bukan
semula aku cukup pintar? kenapa begitu bergaul sama kalian, aku lantas jadi
pikun, memangnya aku ketularan penyakit linglung orang lain?"
Tak tertahan Siau-phoa tertawa
geli, timbrungnya: "Jikalau benar-benar Oh-ya ketularan penyakit linglung,
tentulah aku yang menulari kau."
Ki Ping-yan menarik muka,
jengeknya: "Mana mungkin kau menulari dia, dia malah jauh lebih goblok
dari kau." belum habis ucapannya tak tertahan diapun tertawa keras.
Tapi tak lama mereka
tertawa-tawa sudah satu jam mereka membuang waktu jerih payah mengeduk pasir
mencari sumber air, siapa tahu setitik airpun tidak mereka ketemukan. Ki
Ping-yan menjublek duduk lemas di tempatnya seperti patung batu.
Oh Thi-hoa menyeka keringat di
atas kepalanya, seperti hendak mengucapkan kata-kata lelucon yang menggelikan,
serta melihat keadaan Ki Ping-yan, seketika terpikir juga olehnya mara bahaya
yang segera akan menimpa mereka. Mana mulutnya bisa berkelakar lagi. Mana bisa
ia tertawa.
Sedapat mungkin Coh Liu-hiang bikin
suaranya datar dan wajar, katanya :
"Coba kau pikir lebih
seksama, adakah salah pilih tempat?"
Ki Ping-yan melompat bangun,
teriaknya : "Kau tidak percaya kepadaku?"
Coh Liu-hiang tahu saat ini
hatinya tentu berpuluh lipat lebih pedih dari orang lain, tak diduga ia
melanjutkan kata-katanya, Ki Ping-yan sebaliknya seperti mendadak luluh dan
lemas, badannya menggelendot di batang pohon yang kering itu.
Siau-phoa tertawa dibuat-buat,
katanya : "Sumber air di bawah pasir, ada kalanya bisa juga menjadi
kering, adakalanya pula nyasar ke jurusan lain, anggap saja yang berkuasa
sedang main-main dengan kita, siapapun takkan bisa menentukan nasib
sendiri."
"Aku tahu." ujar Coh
Liu-hiang maklum.
Berkata Ki Ping-yan sambil
mengawasi Coh Liu-hiang : "Jangan kau salahkan aku, aku… "
"Aku dapat merasakan
perasaanmu, kalau aku jadi kau, bukan saja bisa marah-marah kepadamu, mungkin
sumbarku lebih besar."
"Benar!" tukas Oh
Thi-hoa riang : "Diwaktu seseorang sedih hati, kalau tidak marah-marah
kepada teman sendiri, kepada siapa dia harus marah? Jikalau teman baik itu
tidak mau memahami perasaannya, siapa yang mau memberikan pengertian ini?"
Menghadapi ketiga orang ini,
Siau-phoa merasa seakan-akan tenggorokannya tersumbat sesuatu, katanya hambar
serak : "Siaujin memberanikan diri turut bicara…, siapapun bila bisa
berkenalan dengan Coh-ya, dan Oh-ya berdua dialah seorang yang paling bahagia
dan mendapat rejeki dalam dunia ini."
Tetapi pada saat itulah, dari
kejauhan terdengar derap kaki kuda yang dilarikan kencang.
Oh Thi-hoa terperanjat, sigap
sekali reaksinya secara reflek dia bergerak hendak memapak kesana. Lekas Coh
Liu-hiang menarik pundaknya, katanya kereng : "Pada saat seperti ini
ditempat ini pula, jangan sekali-kali kita gegabah sembarangan bertindak, tenangkan
dulu hatimu menunggu perubahan apa yang akan terjadi Di sana, Ki Ping-yan,
siau-phoa dan Ciok Tho sedang repot menarik unta-unta itu masuk ke dalam
galian, karena mencari sumber air tadi, maka galian pasir yang mereka kerjakan
cukup lebar dan dalam. Di depan galian ini terdapat batu cadas itu yang
menutupi pandangan dari arah yang berlawanan sana, di gurun pasir nan luas tak
berujung pangkal ini, sungguh tiada tempat lain yang lebih daripada galian ini
untuk menyembunyikan diri.
Baru saja Coh Liu-hiang dan Oh
Thi-hoa menyembunyikan diri, lantas dilihatnya beberapa ekor kuda gagah yang
sedang berlari kencang bagai terbang, lambat laun bayangan mereka semakin jelas
ditengah pasir-pasir kuning yang berterbangan ditengah angkasa.
Beberapa ekor kuda itu berlari
kencang ke arah mereka, orang-orang yang bercokol di punggung kuda mendekam
rata di punggung kuda, seolah-olah sedang lari dari sesuatu yang menakutkan
sedang mengejar mereka.
Tapi selepas mata memandang ke
gurun pasir nan luas dan datar ini, matahari sudah mulai doyong ke arah barat,
memancarkan cahaya kuning yang cemerlang, kecuali beberapa ekor kuda itu, di
belakang mereka tak terlihat bayangan manusia atau kuda yang mengejar datang.
"Apakah yang
terjadi?" teriak Oh Thi-hoa tertahan. "kenapa mereka lari menyingkir
seperti dikejar setan?"
Rona muka Ki Ping-yang membeku
kaku amat menakutkan, katanya serak :
"Dalam gurun pasir sering
terjadi peristiwa yang seram dan menakutkan serba misterius lagi, asal urusan
tidak menyangkut kami berlima, lebih baik kita anggap mata sendiri buta, anggap
kau tidak pernah melihatnya."
Tapi kuda-kuda itu berlari
langsung menuju ke arah mereka.
"Jikalau menyangkut ke
diri kita bagaimana?" tanya Oh Thi-hoa.
Belum lagi Ki Ping-yan buka
suara, kuda-kuda itu sudah kehabisan tenaga dan sama-sama terjungkal roboh,
orang-orang yang duduk dipunggungnya seketika berguling-guling, namun cepat
sekali mereka sudah berlompatan bangun.
Seluruhnya ada lima ekor kuda,
tapi hanya ada empat orang, ke empat orang ini sama berseragam sebagai Busu
dari Tionggoan, pakaian ketat bergaman golok pendek, dari gerak-gerik mereka
kelihatan kepandaian mereka tentu tidak lemah.
Selama hidup Oh Thi-hoa boleh
belum pernah dia melihat orang yang begitu mengenaskan serba runyam lagi. Ke
empat orang seluruh kepala dan badan sama berlepotan pasir dan debu, sama-sama
melototkan mata mengawasi teman-teman sendiri dengan napas ngos-ngosan, tampak
betapa takut dan jeri hati mereka yang membayang pada raut muka mereka, penulis
yang paling pintar menggoyangkan penapun takkan bisa melukiskan keadaan mereka
saat itu.
Mengawasi tingkah laku dan
keadaan ke empat orang ini, hati Oh Thi-hoa dan lain-lain menjadi tegang.
Bahwasanya sesuatu apakah yang begitu menakutkan pernah dilihat oleh ke empat
orang ini? Kenapa kelihatan begitu ketakutan?
Sekonyong-konyong terdengar
lolong panjang dan jeritan yang menyakitkan hati, tahu-tahu ke empat orang itu
sama mencabut golok terus ditarikan saling bacok membacok seperti orang gila
yang kesurupan setan! Masing-masing orang keluarkan seluruh kepandaian
permainan goloknya, sampaipun setaker tenaga merekapun sudah diboyong keluar.
Tapi mereka seperti sedang
latihan, hakekatnya di hadapan mereka seperti tiada orang. Yang dibabat,
dibacok golok-golok itu hanyalah pasri kuning yang beterbangan membumbung ke
angkasa. mereka sudah tumplek seluruh kekuatannya, ternyata bertempur melawan
debu dan pasir yang kosong, sudah tentu musuhnya itu selamanya takkan kena
dibacoknya roboh.
Tak tertahan Oh Thi-hoa
bersuara pula, "Apakah orang-orang itu melihat setan?"
Ki Ping-yan membenamkan
mukanya, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Siau Phoa bergidik, katanya
gemetar, "Konon di gurun pasir terdapat iblis jahat yang tak kelihatan
bentuknya, suka makan jantung dan empedu manusia, mungkin mereka… mereka…"
"Jangan cerewet!"
sentak Ki Ping-yan.
Siau Phoa kontan tutup mulut,
badan semakin gemetar, gigipun beradu keras.
Dengan pandangan mohon
pendapat, Oh Thi-hoa melirik kepada Coh Liu-hiang. Coh Liu-hiang sebaliknya
sedang arahkan pandangannya kepada Ciok Tho.
Orang yang sudah buta dan tuli
ini, saat itu badannya sedang melingkar seperti ular, sedang gemetar tak
hentinya, memangnya kenapa pula dia?
Oh Thi-hoa merasa tapak
tangannya berkeringat dingin, tak terasa keringat dingin membasahi seluruh
badan, gurun pasir nan luas tak kenal kasihan ini, ternyata benar-benar sering
terjadi banyak peristiwa-peristiwa yang begini seram menakutkan.
Waktu ia berpaling kesana, dua
orang yang sudah roboh terkapar, dua orang yang lainpun sudah hampir kehabisan
tenaga, suara nafasnya yang memburu keras seperti kerbau hampir disembeleh.
Tapi asal sisa tenaga terakhir masih ada, mereka takkan berhenti, tarian golok
mereka semakin kencang.
Sekonyong-konyong Ki Ping-yan
bersuara dengan suara dalam, "Itulah Peng-keng to-hoat."
"Akupun sudah melihatnya,
orang dari keluarga Peng mana mungkin bisa menjadi begitu rupa?"
Setelah mengamati dengan
seksama, Oh Thi-hoa ikut teriak tertahan, "Tidak salah! Itulah Ngo
hou-om-bun to tulen! Malah dinilai dari permainan ilmu golok dan lwekang ke
empat orang ini pastilah mereka terdiri dari murid-murid pandai yang punya nama
dan tingkatan tinggi dalam keluarga Peng itu."
"Ngo-hou-toan-bun-to
biasanya tidak diajarkan kepada orang luar," ujar Ki Ping yan prihatin.
"Ke empat orang ini kebanyakan adalah putra atau keponakan Peng Hou, empat
bersaudara dari Peng-bun-hoat-hou (tujuh harimau dari perguruan Peng).
Laki-laki berewok itu mungkin adalah Peng It-hou."
"Apakah Peng-bun-chit-hoa
sekarang sudah mewarisi Pian-kiok milik Peng-hun?" tanya Coh Liu-hiang.
"Ya!" Ki Ping-yang
mengiakan sambil manggut-manggut.
"Kalau demikian, tentu
mereka kemari melindungi sesuatu."
"Tentu begitulah,"
timbrung Siau-phoa. "Hanya orang-orang kalangan Piau-kiok yang sedang
melakukan tugasnya saja tidak menunggang unta di padang pasir.
Terdengar lolong jeritan
seperti harimau kelaparan sebelum ajal, satu orang kembali terjungkal
terguling-guling.
Mendadak Oh Thi-hoa bangkit,
serunya keras, "Peng Hun si tua itu orangnya tidak jelek, tak bisa aku
menonton putranya mati konyol seperti orang edan, aku hendak menolongnya."
"Cara bagaimana kau
hendak menolong dia?" tukas Ki Ping-yan. "Kau mampu menolong
mereka?"
Oh Thi-hoa sudah siap melompat
dan kulit daging badannya sudah mengejang tegang itu, seketika menjadi kendor.
Sesaat melongo, belum lagi bersuara pula, orang ke empat itu sudah kejungkal
juga.
Berkata Coh Liu-hiang dengan
suara dalam tenggorokan, "Kalau ke empat orang ini hanya roboh karena
kehabisan tenaga, tentu jiwanya belum ajal. Cuma mungkin…"
"Peduli mereka bakal mati
atau tidak, paling tidak kita sekarang harus menengoknya kesana."
"Sekarang belum boleh ke
sana," Ki Ping yan tidak setuju.
"Kenapa?" teriak Oh
Thi-hoa, matanya bersungut, tanyanya, "Memangnya keempat orang itupun
pura-pura?"
Sudah tentu keempat orang ini
takkan bisa bermain sandiwara, karena keadaan seperti itu siapapun takkan bisa
melakukan dengan pura-pura.
Kali ini Oh Thi-hoa sudah
memperhitungkan dengan masak, hatinya punya keyakinan dan punya pegangan, cuma
ingin dia menunggu reaksi dan jawaban Ki Ping yan.
"Tentunya ke empat orang
ini takkan jadi begini bila tanpa sebab, benar tidak?"
"Sudah tentu ada orang
yang mencelakai mereka!" ujar Oh Thi-hoa.
"Orang mencelakai mereka
tentunya dengan suatu sebab, ya tidak?"
"Besar kemungkinan hendak
merebut barang yang mereka lindungi."
"Kalau demikian, sekarang
mereka sudah roboh semua, masakah orang-orang itu tidak akan datang mengambil
buruannya itu? Jikalau sekarang satu diantara kita keluar, bukankah bakal
menjadi musuh dan sasaran empuk mereka?"
"Tapi selepas pandang
matamu, bayangan setanpun kau tidak melihatnya, memangnya orang-orang itu
betul-betul bisa menghilang?"
Belum habis ucapan Oh Thi-hoa,
tiba-tiba ia merasa sebuah bayangan hitam melayang di atas kepalanya. Disusul
angin kencang menderu, seekor elang besar terbang mendatangi dengan cepat
sekali, berputar sekali di atas sekeliling kuda dan orang-orang yang roboh itu,
tiba-tiba sayapnya kuncup. Elang itu menukik turun bagai meteor jatuh, dari
punggung sebuah kuda ia mematuk sebuah kotak, waktu pentang sayap terbang lagi,
hanya sebentar saja kedua sayapnya itu mengebas di angkasa. Bayangannya sudah
semakin jauh dan menghilang di kejauhan sana.
Cepat sekali kedatangan elang
ini, perginya pun mendadak, belum lagi Oh Thi-hoa menginsafi apa yang terjadi,
elang itu sudah terbang tak kelihatan lagi bayangannya.
"Suatu rencana yang amat
sempurna," puji Coh Liu-hiang, "cara kerja yang cepat, cekatan dan
lihay pula. Tanpa menggunakan tenaga seorangpun, sebuah kotak barang kawalan
Peng-bun-chit-houw dengan gampang mereka rebut dan digondol pergi oleh seekor
burung elang."
"Kau kira barang mestika
yang berada di dalam peti itu?" tanya Oh Thi-hoa.
"Kalau bukan mestika,
memangnya kau kira daging babi?" Coh Liu-hiang tertawa.
"Kalau daging babi sih
rada logis, kalau tidak umpama elang tadi utusan orang-orang itu, memangnya dia
bisa tahu kalau dalam peti itu berisi barang-barang mestika?"
Coh Liu-hiang geleng-geleng
kepala, ujarnya, "Sudah tentu di atas peti itu sudah diberi tanda khusus
supaya elang itu mengenalinya. Sudah tentu elang itupun sudah mendapat latihan
yang amat baik. Masakah kau tidak bisa pikirkan hal ini?"
"Agaknya penyakit pikunku
memang bertambah berat."
"Orang-orang itu sudah
berhasil dengan tujuannya," timbrung Ki Ping-yan tiba-tiba, "tentu
takkan datang lagi. Kau ingin lihat keadaan mereka, sekarang boleh kau
kesana."
Tiga diantara empat orang itu
sudah meninggal, hanya laki-laki berewok yang roboh terakhir, dadanya masih
bergerak turun naik, namun denyut jantungnyapun sudah amat lembah, sembarang
waktu bisa berhenti mendadak.
Oh Thi-hoa cekal mulutnya
sampai terbuka, setengah botol sisa araknya dia tuang masuk ke dalam mulutnya,
jantung orang yang sudah hampir berhenti, baru mulai bekerja dan berdetak rada
keras.
Lekas Oh Thi-hoa bertanya,
"Apakah kau Peng Ti hou? Sebetulnya kejadian apa yang telah kalian
alami?"
Pelan-pelan orang itu membuka
kelopak mata, tampak oleh Oh Thi-hoa mata orang masih menyorotkan rasa
ketakutan, sebaliknya Coh Liu-hiang mendapatkan, kelopak mata orang secara aneh
dan luar biasa sudah membesar satu kali lipat dari biasanya.
Lama kelamaan nafas orang
mulai keras dan memburu pula, sekuat tenaga meronta, agaknya hendak berdiri,
namun jari tangannya saja ia tak kuasa bergerak, seluruh badannya sudah lemah
lunglai, tak punya sedikitpun tenaga.
Oh Thi-hoa menyeka keringat di
atas jidatnya, tanyanya keras, "Katakan, kau masih bisa bicara
tidak?"
Kalamenjing orang itu turun
naik, akhirnya dari bibirnya yang sudah pecah kekeringan itu, tercetus suara
yang lirih, suara yang tidak mirip dikeluarkan dari mulut manusia. Itulah suara
teriakan kosong dan hambar, gemboran lirih yang putus asa. "Iblis jahat…
setan iblis! Ribuan ratusan iblis… bunuh!"
Keringat Oh Thi-hoa
bercucuran, tanyanya pula lebih keras, "Mana ada iblis jahat? Iblis jahat
dimana?"
Biji mata orang ini melotot
lempang ke arah depan, katanya dengan suara serak, "Jangan harap kau bisa
merebutnya! Kau… kau…" tiba-tiba ia meronta dan melompat dari pelukan Oh
Thi-hoa, terus menerjang ke depan, tapi hanya dua langkah, kembali terangsur
jatuh, selamanya takkan bergerak lagi.
Arak Oh Thi-hoa membangkitkan
sisa tenaganya yang masih terpendam dalam badannya. Kini sisa tenaga yang
bangkit itupun sudah habis dipakainya.
Siau-phoa meloso lemas di atas
tanah, katanya gemetar, "Dia sudah melihat iblis yang tak kelihatan itu,
disinilah tempatnya. Lari… tidak lekas kita melarikan diri, mungkin bisa
terlambat."
Oh Thi-hoa tahu mulut orang
hanya mengoceh belaka, namun tak urung bergidik bulu kuduknya waktu ia melihat
muka Ciok Tho yang buruk seperti batu-batu keramik itu, ternyata kinipun
dihiasi butir-butir keringat segede kacang.
Di sana Ki Ping-yan sedang
berjongkok memeriksa salah satu mayat, lama juga dia telah memeriksa. Baru
sekarang pelan-pelan ia berdiri, namun lama juga dia tidak bisa buka suara.
"Kau sudah menemukan
sebab musabab kematian mereka?" tanya Coh Liu-hiang.
Berkata Ki Ping-yan
pelan-pelan, "Kehabisan tenaga, lapar dan dahaga, agaknya terkena pula
semacam racun yang amat aneh. Kadar racun itu agak mirip ganja, tidak
membahayakan jiwa, tapi cukup membuat pikiran orang gila seperti kerasukan
setan."
"Orang yang mencelakai
mereka, mungkin pula orang yang hendak mencelakai kita. Cara yang digunakan
sama, dibuatnya dulu mereka kehabisan air, seorang yang lekas mati kekeringan
sering timbul bayangan khayal dalam pandangannya. Tapi sebelum mereka tiba di
sini, mereka sudah terkena semacam racun, maka khayal yang terbayang dalam
pandangan mereka seperti ada ribuan dan ratusan iblis jahat sedang mengepung
dan menyerang mereka, maka mereka lari terbirit-birit. Setelah tidak bisa
melarikan diri, kemudian melawan mati-matian sampai titik tenaga terakhir
merekapun habis baru berhenti."
"Kita… kalau kita selalu
tak punya air minum, apakah juga bisa berubah seperti mereka?" tanya Oh
Thi-hoa terbelalak.
Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan
tidak menjawab pertanyaan ini. Oh Thi-hoa pandang mereka bergantian, lalu
mengawasi mayat di tanah, akhirnya iapun tak bicara lagi. Selepas mata
memandang pasir kuning melulu. Tak berujung pangkal, takkan habis-habis dicapai.
Tiada air, tiada kehidupan, juga tiada harapan.
Siang hari yang membara itu
akhirnya sudah silam.
Mereka angkut mayat-mayat kuda
dan manusia ke dalam galian besar itu, dengan pasir pula mereka dipendam begitu
saja. Lalu mereka duduk di atas batu cadas, menghabiskan waktu sambil menunggu
munculnya sinar bintang.
Tiada yang bicara, mereka sama
segan menggerakkan mulut.
"Sekarang apa yang harus
kita lakukan? Kemana mencari air?" pertanyaan ini selalu bergolak dalam
relung hati Oh Thi-hoa, namun ia dalam hati tak diutarakan karena ia tahu
umpama dia utarakan isi hatinya, belum tentu ia mendapat jawaban.
Lapar dan dahaga, letih…
berbagai macam perasaan yang bisa mengetuk hati, sekaligus merangsang datang
mengikuti datangnya tabir malam.
Siau-phoa ingin makan ransum
kering, tapi disampuk jatuh oleh Ki Ping-yan. "Jangan makan, setelah makan
kau akan lebih dahaga dan tak tahan lagi."
Oh Thi-hoa mengelus dada,
mendadak tertawa, katanya, "Tadi waktu aku memboyong Peng-It-hou, terasa
olehku bagian pundaknya menonjol keluar sesuatu yang bundar dan keras,
bentuknya seperti telur ayam. Coba katakan, aneh tidak?" ucapannya ini
sebetulnya cuma mengada-ada saja, dia sendiri tahu kata-katanya ini terlalu
iseng.
Ki Ping-yan mendadak bergegas
bangkit, langsung ia menghampiri Ciok Tho dan duduk di sebelahnya, kedua tangan
mereka saling genggam dengan erat, duduk berhadapan, siapapun tak bergerak.
Di tengah tabir malam yang
semakin gelap ini, kelihatan rona muka Ciok Tho semakin seram menakutkan.
"Coba lihat, apa yang sedang
mereka lakukan?" tercetus pertanyaan dari mulut Oh Thi-hoa yang suka usil
ini.
"Mereka sedang
bercakap-cakap," sahut Coh Liu-hiang.
"Bicara?" Oh Thi-hoa
menegas heran.
"Kalau ingin bicara
dengan seorang yang buta, tuli dan bisu, sudah tentu harus menggunakan cara
yang aneh, mungkin mereka sedang menulis sesuatu dengan gerak cepat di tengah
tapak tangan masing-masing, untuk tukar pikiran masing-masing!"
"Betapapun memang otak
malingmu itu lebih cerdik, agaknya apa saja sudah kau ketahui ya!"
"Aku hanya ingin tahu apa
yang sedang mereka perbincangkan sekarang," ujar Coh Liu-hang tertawa
getir.
Tampak akhirnya Ki Ping-yan
berdiri dan jalan kembali. Sikapnya lebih prihatin, ia duduk di pinggir Coh
Liu-hiang, lama juga dia menunggu, baru berkata tiba-tiba, "Orang yang
hendak mencelakai kita adalah orang yang dulu mencelakai Ciok Tho sampai dia
cacat begitu rupa."
Tersirap darah Oh Thi-hoa. Coh
Liu-hiang malah berkata, "Hal ini semalam sudah pernah kupikirkan."
"Siapakah dia
sebenarnya?" tanya Oh Thi-hoa.
Ki Ping-yan menghela nafas,
ujarnya, "Ciok Tho pun tak mau menyebut nama orang itu."
"Menurut apa yang
kuketahui, bukan saja ilmu silat orang ini amat tinggi, malah dia pun punya
ratusan anak buah yang setia dan berani mati demi kepentingannya."
"Ilmu silatnya tinggi,
aku tidak takut. Anak buahnya banyak akupun tak takut. Tapi tipu muslihatnya
yang sembunyi-sembunyi ini, sungguh membuat aku tak tahan lagi." Mendadak
Oh Thi-hoa berjingkrak bangun, teriaknya, "Sekarang bukan saja cara apa
pula yang hendak dia gunakan untuk menghadapi aku, aku tidak tahu, malah tidak
tahu orang macam apa pula dia sebenarnya, jikalau jiwaku sampai melayang secara
sia-sia, sungguh penasaran sekali!"
Ki Ping-yan menjengek dingin,
"Jikalau kau kuat tahan diri dan bertindak melihat gelagat, mungkin jiwamu
takkan mati."
Dengan lesu Oh Thi-hoa
mendeprok duduk kepala di dekapnya, katanya, "Agaknya akupun bisa gila,
jangan kalian pedulikan aku."
Hening sejenak, tiba-tiba Ki
Ping-yan berkata dengan suara berat, "Kesulitan yang kita hadapi sekarang
bukan air, adalah orang itu! Ada Ciok Tho dan aku berada di sini, air itu pasti
akan bisa kita temukan, tapi orang itu…" Sampai di sini ia menghela nafas,
sambungnya, "Kalau orang itu sudah mengincar kita, pasti takkan lepas
tangan, situasi sekarang adalah kalau bukan kita yang bunuh dia, kitalah yang
akan dibunuh."
Coh Liu-memberikan saran,
"Apa kita sementara tak bisa menyingkir dulu, setelah menemukan Hek-tin-cu
baru kita luruk dia."
"Tiada orang yang bisa
menyingkir dari pandangan matanya, sebelum persoalan ini kita selesaikan
berhadapan dengan dia, segala urusan lain jangan harap kau bisa selesaikan
lebih dulu, kemungkinan Hek-tin cu lah yang mengutus orang ini menghadapi
kau."
Coh Liu-hiang menarik nafas,
sesaat ia termenung, katanya tertawa, "Kalau begitu mari kita adu jiwa
sama dia, kukira tidak perlu kita gentar menghadapinya. Betapapun lihay musuh
kita, kita sudah sering menghadapinya, benar tidak?"
Oh Thi-hoa angkat kepala
sambil bertepuk tangan, serunya, "Nah, baru mirip kata-kata yang harus
diucapkan oleh Maling Kampiun, selama dua hari ini boleh dikata baru pertama
kali ini aku benar-benar mendengar ucapan seorang manusia tulen."
"Cuma, bagaimana
harus…" berkerut alis Ki Ping-yan, Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa pun bungkam.
Ketiganya duduk tak bergerak namun seperti tiga batang golok yang sudah keluar
dari serangkanya, seluruh badan diliputi mara bahaya, sembarang waktu kuasa
menghabisi jiwa seseorang. Dalam keadaan seperti ini, seseorang yang berotak
cerdik, lebih baik jangan mengganggu usik mereka.
Ada orang datang.
Dua puluhan bayangan orang,
serempak merubung maju dari berbagai penjuru, langkah mereka seenteng kucing,
beranjak di atas pasir sedikitpun tak mengeluarkan suara.
Tapi gerak-gerik mereka tidak
bisa mengelabui mata Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa dan Ki Ping-yan. Lekas sekali
tiga orang ini sudah saling tukar pandangan, tanpa bersuara mereka
masing-masing sudah berketetapan, "Tenang mengatasi aksi, lihat situasi
dan bergerak menurut gelagat dan perubahannya."
Meski tak bicara, ketiga orang
ini dulu entah pernah mengalami perjuangan berapa banyaknya, berdampingan di
medan laga, gerak gerik mereka seolah-olah mempunyai semacam tata tertib yang
ketat satu sama lain dan tak mungkin bisa diselami orang lain. Maka mereka sama
menundukkan kepala, seperti orang lelah dan ngantuk.
Lekas sekali kedua puluhan
orang itu sudah mengepung mereka di tengah-tengah lingkaran, namun mereka tetap
berdiam diri seolah-olah tidak tahu dan merasakan kedatangan mereka. Sudah
tentu kedua puluhan orang ini menjadi was-was dan heran sendiri.
Orang-orang ini semuanya
mengenakan pakaian ketat warna hitam, kepalanya digubat handuk hitam pula,
gerak-gerik mereka rata-rata cekatan dan tangkas, lincah lagi jelas semuanya
merupakan musuh-musuh berbahaya. Dalam jarak tertentu mereka berhenti dan
menunggu lama, akhirnya satu sama lain menggerakkan tanda memberi isyarat.
Maka berkatalah seseorang
diantara mereka dengan suara kereng, "Jikalau kalian cukup cerdik, lebih
baik duduk saja jangan bergerak. Tanganpun jangan terangkat. Aku tidak ingin
menggertak kalian, tapi asal jari-jari kalian bergerak, jiwa kalian akan kita
habisi," kata-katanya diucapkan begitu kalem, seperti tidak ingin menakuti
orang lain. Tapi justru itulah cara yang lihay, kawanan Kangouw pasti maklum
hanya dengan cara begitulah baru bisa benar-benar menggertak orang.
Sudah tentu Ki Ping-yan, Coh
Liu-hiang dan Oh Thi-hoa tidak bergerak, Ciok Tho lebih tak bisa bergerak lagi,
cuma Siau-phoa yang benar-benar menjadi ketakutan sampai tak bisa bergerak.
Dalam kegelapan malam
samar-samar kelihatan tangan masing-masing orang ini sama membawa sesuatu benda
yang mengeluarkan sinar mengkilap hitam, sudah tentu benda-benda itu adalah
bumbung-bumbung alat senjata rahasia yang mematikan itu.
Orang yang bicara melangkah
lebar ke depan, katanya pula, "Baik sekali, kalian memang tahu diri,
sekarang serahkan barang itu!"
Baru sekarang Coh Liu-hiang
angkat kepala, katanya tersendat, "Barang-barang kita semua berada di
punggung unta, silahkan tuan-tuan mengambilnya sendiri."
Orang itu tertawa dingin,
"Jangan pura-pura pikun, tentunya kau sudah tahu barang apa yang kami
inginkan?"
"Aku… sungguh aku tidak
tahu."
"Masih berani pura-pura
bodoh," damprat orang itu, tahu-tahu tapak tangannya melayang menampar ke
muka Coh Liu-hiang. Mengikuti gerakan tangan orang, Coh Liu-hiang roboh ke
belakang, tapi orang yang memukulnya itu malah melongo dan terkesima. Terang
tapak tangannya seperti mengenai muka orang, tapi seperti memukul tempat kosong
pula, jelas muka orang kena digamparnya, tapi tapak tangan sendiri seperti
tidak pernah menyentuh sesuatu sehingga tenaganya amblas begitu saja.
Melihat sikap kaget orang,
sungguh geli dan dongkol pula hati Oh Thi-hoa. "Kau kira bisa mengenai Coh
Liu-hiang? Jika kau benar-benar memukulnya sampai rubuh, jiwamu tentu sudah
melayang."
Laki-laki hitam ini agaknya
juga tahu gelagat ganjil, cepat ia merubah sikap. Katanya rada sabar,
"Tugas penting dari rombongan kita, asal barang itu kita dapatkan berarti
kita sudah menunaikan tugas dengan baik. Kita segera berlalu, sekali-kali
takkan mengganggu seujung rambut kalian." Tiba-tiba ia terloroh tawa,
sambungnya, "Coba lihat, jikalau kami ingin membunuh kalian, bukankah
sejak tadi kita sudah turun tangan."
Coh Liu-hiang tahu omongan
orang bukan gertakan belaka, tentunya tugas mereka terpecah, mereka hanya
bertugas menghadapi Peng-bun-chit-hou, sebelum mendapat perintah pasti takkan
berani mencelakai orang lain. Jelas sudah bahwa diri mereka terang sementara
takkan menghadapi bahaya, maka legalah hatinya.
Setelah menunggu sesaat
lamanya, melihat tidak mendapat reaksi, laki-laki baju hitam itu berkata,
"Asal kalian serahkan barang itu, bukan saja aku sudah berjanji takkan
mengganggu usik kalian, tidak mengambil barang milik kalian lainnya, malah…
bolehlah kita berikan sekantong air kepada kalian." Waktu mengutarakan
kata-katanya ini, agaknya dia sudah berkeputusan dalam hati, ini bukan gertak
atau ancaman, tapi menyerah secara tidak disadari pancingan belaka. Terang
barang yang mereka incar itu tentu teramat penting artinya. Jikalau mereka
tidak bisa mendapatkan barang itu, terang mereka bakal mendapat hukuman yang
setimpal bila pulang nanti.
Arti daripada air dalam
situasi seperti ini sungguh amat besar sekali. Coh Liu-hiang, Ki Ping-yan dan
Oh Thi-hoa jikalau mereka tahu dimana barang itu berada, mungkin mereka
benar-benar mau menukar dengan air mereka. Cuma sayang mereka benar-benar tidak
tahu apa-apa.
Oh Thi-hoa menghela nafas,
tanyanya, "Sebenarnya barang apa yang kalian inginkan? Asal kau katakan
pasti kuserahkan kepadamu sekarang. Barang mestika betapapun banyaknya yang kau
inginkan untuk menukar sekantong air dengan senang hati akan kuberikan
kepadamu."
Laki-laki baju hitam melotot,
tanyanya menegas, "Kau benar-benar tidak tahu?"
"Siapa tahu barang setan
apa itu, dialah kurcaci," sahut Oh Thi-hoa.
Diam-diam Coh Liu-hiang geli,
batinnya, "Dalam keadaan seperti ini, bocah ini tak lupa memaki orang
juga."
Laki-laki baju hitam belum
menyadari bahwa orang anggap dirinya kurcaci, seketika ia menarik muka,
katanya, "Masakah kalian belum menggeledah dan mendapatkan barang itu dari
mayat-mayat itu?"
"Aduh. Tidak percaya
lagi." Oh Thi-hoa berkeluh kesah. "Umpama kita ini benar-benar
bedebah, sekali-kali kita takkan mencuri barang milik orang yang sudah
ajal." Kembali kata-katanya memaki dengan kata-kata yang cukup sopan.
Baru sekarang laki-laki hitam
seperti menyadari kata-kata orang berarti sedang memaki dirinya,
"Bedebah," keruan ia naik pitam. Dampratnya, "Kau masih tidak
mau mengaku, baik, hayo kawan-kawan geledah mereka!"
Seluruh badan Oh Thi-hoa sudah
mengejang keras, hampir saja ia sudah mengumbar adat. Lekas Coh Liu-hiang
menangkisnya, katanya tawar, "Biar mereka menggeledah, toh mereka takkan
mendapatkan apa-apa."
Tatkala itu dari kegelapan
kembali menerobos maju beberapa bayangan berseragam hitam, dengan cekatan
seluruh badan mereka sudah digeledah. Oh Thi-hoa menahan amarah yang hampir
meledak, sungguh ia tidak habis mengerti, kenapa Coh Liu-hiang harus menahan
sabar.
Ki Ping-yan justru tahu maksud
temannya, pikirnya, "Coh Liu-hiang mulai kumat lagi penyakit lamanya,
agaknya iapun mulai ketarik kalau belum melihatnya sendiri, dengan
bukti-buktinya yang nyata, mana dia mau lepas tangan begini saja."
Peduli dimana, terhadap
siapapun, jikalau tidak terpaksa Coh Liu-hiang pasti takkan mau sembarangan
turun tangan. Memang dia bukan seorang yang suka berkelahi.
Setelah menggeledah
orang-orangnya kembali laki-laki seragam hitam itu menggeledah unta, sudah tentu
mereka tak berhasil menemukan barang yang mereka cari. Salah satu di antaranya
tiba-tiba berpikir, kataya, "Bukan mustahil barang itu masih berada di
atas badan Peng-keh-chit-hou!"
Maka kembali mereka gali
mayat-mayat yang sudah terpendam di bawah pasir itu, dengan golok mereka
telanjangi pakaian mayat-mayat itu. Oh Thi-hoa kertak gigi, lekas ia berpaling
muka tak tega melihat kelakuan mereka.
Terdengar seseorang berkata
pula, "Di atas badan merekapun tiada."
Laki-laki pemimpin itu mulai
gelisah, katanya membanting kaki, "Tidak mungkin tiada. Cari lagi lebih
teliti, kalau tidak ketemu, bagaimana tanggung jawab tugas kita terhadap
beliau?"
Sorot mata laki-laki baju
hitam itu kini sudah memancarkan rasa takut dan gelisah, setelah mencari
ubek-ubekan tetap tidak berhasil, keruan mereka semakin ribut dan sibuk, gugup
lagi. Hampir boleh dikata mereka sudah lupa mengawasi Coh Liu-hiang beramai.
Berkilat biji mata Ki
Ping-yan, tiba-tiba ia berkata kalem, "Barang apakah yang sebenarnya
kalian cari? Kalau dikatakan, mungkin kami bisa bantu kalian mencarinya."
Karena sudah gugup dan
gelisah, seperti sudah kehilangan kontrol dan kepercayaan kepada diri sendiri,
tanpa banyak pikir laki-laki baju hitam itu menjawab,
"Ki-loh-ci-sing."
"Apa itu
Ki-loh-ci-sing?" tanya Oh Thi-hoa keheranan. Ki-loh-ci-sing maksudnya
bintang di surga.
"Akupun kurang
jelas," sahut laki-laki baju hitam. "Aku hanya tahu diantara
barang-barang kawalan mahal dari Peng-keh-chit-hou, diantaranya ada benda
mestika yang tak ternilai harganya bernama Ki-loh-ci-sing."
Oh Thi-hoa menghela nafas
dengan kecewa, katanya, "Kukira sih barang mestika apa sampai diributkan,
ternyata tidak lebih hanya sebutir benda mestika." Memang mestika
betapapun tinggi nilainya, tak terhitung apa dalam pandangan mereka.
Berkata laki-laki baju hitam
lebih lanjut, "Kita kemari lantaran perintah. Menurut rencana dengan
gampang kita pasti berhasil memperoleh seperti mestika itu, tak nyana
Ki-loh-ci-sing yang menjadi sasaran utama justru tak berada di dalam peti itu…"
saking gelisah, tanpa sadar mulutnya mengoceh sendiri.
Tiba-tiba Ki Ping-yan berkata,
"Jikalau aku tahu dimana Ki-loh-ci-sing itu berada, apa kalian sudi
menukar dengan air?"
Sungguh kaget, gugup dan
kegirangan pula laki-laki baju hitam, teriaknya, "Tentu!"
"Kalian betul-betul punya
air?" tanya Ki Ping-yan menegas.
"Sudah tentu punya!"
"Dimana? Keluarkan dulu
supaya kulihat."
Berubah air muka laki-laki
baju hitam, katanya kasar, "Kau tidak percaya kepadaku?"
Ki Ping-yan berpikir sebentar,
katanya, "Baik, sekali ini aku biar percaya kepadamu. Ki-loh-ci-sing boleh
kuserahkan dulu kepadamu, tapi air…"
Laki-laki baju hitam girang,
tukasnya, "Asal Ki-loh-ci-sing kau serahkan, soal air tidak menjadi
soal."
Dari samping Oh Thi-hoa sedang
menonton dan mendengarkan dengan perasaan heran. Sungguh ia tidak habis
mengerti kenapa Ki Ping-yan mau percaya begitu saja akan omongan orang, lebih
tak mengerti kenapa Ki Ping yang mau mengeluarkan Ki-loh-ci-sing, hakekatnya
dimana Ki-loh-ci-sing belum diketahui.
Tampak Ki Ping-yan sudah
berpaling kemari, roman mukanya menunjukkan keyakinan, demikian pula roman muka
Coh Liu-hiang sembari tersenyum, sedikitpun tidak kelihatan gugup.
Tak tahan Oh Thi-hoa memapak
maju, katanya berbisik, "Kau benar tahu dimana Ki-loh-ci-sing itu
berada?"
Berkata Ki Ping-yan
pelan-pelan, "Tadi waktu kau memayang Peng It-hou, katamu kau rasakan
bagian pundaknya seperti menonjol bundar keras, benar tidak?"
Oh Thi-hoa keheranan,
sahutnya, "Tapi…"
Belum sempat dia bicara lebih
lanjut, Ki Ping-yan sudah menghampiri ke samping Peng It-hou. Pakaian orang ini
sudah ditelanjangi. Badan yang sudah telanjang bulat ini, dimana ada
Ki-loh-ci-sing segala. Tapi Ki Ping-yan segera jongkok, dengan ujung jarinya ia
menggores sekali diikuti daging pundaknya Peng It-hou, tabir malam sangat
gelap, di bawah penerangan bintang kelap-kelip, tahu-tahu terlihat dari pundak
orang memancarkan cahaya kemilauan terang benderang.
Disusul sebutir jamrud sebesar
telur burung dara yang memancarkan cahaya kemilau cemerlang menggelinding
keluar dari kulit daging di pundak Peng It-hou, jatuh di tapak tangan Ki
Ping-yan.
Ternyata Ki-loh-ci-sing yang
dimaksud terjahit oleh Peng It-hou di kulit daging pundaknya.
Semua orang sama melongo dan
tertegun melihat kejadian yang tak terduga ini.
Di atas cakrawala memang tak
dapat tak terhitung banyaknya bintang-bintang, tapi pancaran Ki-loh-ci-sing di
atas bumi ini, sungguh membuat sinar bintang-bintang di langit menjadi guram
dan kelelap dibuatnya. Ki Ping-yan sendiripun tak terasa terkesima, katanya,
"Kim-kong-ciok yang amat bagus, tak heran sedemikian banyak jiwa manusia
yang siap berkorban demi kau."
Seperti serigala kelaparan
laki-laki baju hitam itu segera menubruk maju, sekali raih ia rebut
Ki-loh-ci-sing di tangan Ki Ping-yan. Ki Ping-yan diam saja seperti orang
linglung berdiri menjublek di tempatnya, dengan mendelong ia awasi benda
mestika itu direbut orang lain dari tangannya. Agaknya laki-laki baju hitam
itupun tak mengira urusan dapat dicapainya demikian gampang dan tak terduga,
sungguh senang bukan main sampai mulut serasa sulit dibuka.
Sungguh heran, jengkel pula
hati Oh Thi-hoa, untung sebelum dia mengumbar adatnya terdengar Ki Ping-yan
sudah bicara, "Ki-loh-ci-sing sudah kuberikan kepadamu, mana airnya?'
Laki-laki baju hitam terloroh
kesenangan, serunya, "Tuan-tuan besar ini keluar menunaikan tugas, mana
membawa air sebanyak itu? Kau ingin air, tidak bisa kau cari sendiri? Tuan-tuan
besar hari ini tidak menggorok lehermu, sudah terhitung sungkan terhadap
kalian, tahu!"
Sembari tertawa tangan dia
ulapkan, segera ia pimpin anak buahnya tinggal pergi dengan masih terkial-kial.
Sungguh hampir meledak perut Oh Thi-hoa. Dia sudah siap bergerak melabrak
orang-orang itu, tapi keburu ditarik oleh Coh Liu-hiang. Ingin mengejar, sudah
dirintangi pula oleh Ki Ping-yan. Sungguh dia tak habis paham, kenapa kedua
teman baiknya ini kini menjadi sedemikian pengecut dan penakut? Mengawasi
orang-orang itu pergi begitu saja, sedikitpun Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan
tidak menunjukkan kemarahan sama sekali.
Sungguh Oh Thi-hoa tak tahan
lagi, jengeknya dingin dengan keras, "Menggelikan, sungguh menggelikan!
Maling kampiun yang bernama besar, ternyata menjadi pengecut dan bernyali kecil
seperti tikus. Sungguh menggelikan Ki Ping-yan yang biasanya mengagulkan
kepintarannya, hari ini dengan mentah-mentah sudi ditipu orang lain."
"Siapa yang ditipu
orang?" tanya Ki Ping-yan.
"Kau begitu pintar, tahu
bila Ki-loh-ci-sing tersembunyi di dalam badan Peng It-hou kenapa kau tidak
tahu bahwa para keparat itu terang takkan memberi air kepadamu!"
Ki Ping-yan tertawa tawar,
ujarnya, "Sejak pertama mereka datang, aku sudah melihat bahwasanya mereka
tiada yang membawa kantong air."
"Kalau kau sudah tahu
mereka tidak punya air, kenapa kau berikan Ki-loh-ci-sing kepada mereka? Kau
sedang kentut apa?"
Tanpa hiraukan ocehan orang,
Ki Ping-yan berkata kepada Coh Liu-hiang, "Orang yang kelana di gurun
pasir, ada dua barang tidak boleh kekurangan, pertama adalah air, kedua adalah
unta. Tanpa kedua barang-barang ini, jiwa sukar terlindungi, benar tidak?"
Coh Liu-hiang selalu unjuk
senyuman, sahutnya, "Tidak salah!"
"Tapi bukan saja
orang-orang itu tiada yang membawa air, malah meluruk kemari berjalan kaki, itu
pertanda bahwa tempat tinggal mereka sementara ini, tentu tidak jauh dari sini,
benar tidak?"
"Benar!" sahut Coh
Liu-hiang pendek.
"Setelah mereka
memperoleh barang yang dicarinya, tentu tak sempat memperdulikan kami pula,
yang terpikir hanya lekas-lekas pulang memperoleh jasa dan persen, ya
toh?"
Kali ini tanpa menunggu Coh
Liu-hiang buka suara, Oh Thi-hoa sudah menanggapi sambil tepuk tangan,
"Benar, asal kita kuntit mereka, langsung kita bisa meluruk ke sarangnya.
Daripada kita menunggu iblis durjana itu mencari perkara kepada kita, lebih
baik kita labrak dia dulu… benar tidak?"
"Benar," sahut Coh
Liu-hiang tersenyum. "Itu dinamakan menindak orang lebih dulu!"
Seketika Oh Thi-hoa
berjingkrak bangun, teriaknya, "Kalau begitu, apa pula yang harus kita
tunggu di sini?"
Berkata Ki Ping-yan
pelan-pelan, "Di tengah gurun pasir dilarang menguntit buruanmu terlalu
dekat, yang terang mereka toh takkan bisa melarikan diri," lalu ia
menengadah mendengarkan deru angin, tersenyum lebar dan berkata, "Kalau
kau sudah tak sabar lagi, sekarang boleh mulai berangkat."