-------------------------------
----------------------------
Bab 7: Awal masalah
Dari tempat mereka sekarang
kira-kira memakan waktu setengah jam perjalanan ke arah tenggara, terdapat
beberapa petak rumah yang dibangun dari kayu, disini dulu merupakan
perkampungan kecil, salah satu pos di luar tapal batas untuk mengawasi
gerak-gerik musuh dan pengamatan perubahan cuaca. Sekarang berubah menjadi
sarang berkumpul kawanan perampok yang berkuasa di gurun pasir.
Rumah kayu itu sudah reyot dan
keropos, beberapa jendela di antaranya terpentang lebar. Sejak tadi pelita sudah
dipasang di dalam rumah, tentunya di dalam rumah selalu dihuni dan ditunggu
orang.
Coh Liu-hiang bertiga berhenti
di belakang tiga pucuk pohon berjarak sepuluh tombak di luar jendela,
dilihatnya rombongan orang banyak itu sambil tertawa-tawa berbondong-bondong
masuk ke dalam rumah kayu. Tapi begitu berada di dalam rumah, suara tawa dan
senda gurau mereka seketika silap dan berhenti.
Dari jendela yang terbuka itu,
jelas kelihatan sikap mereka amat hormat dan jeri, semuanya tundukkan kepala
dan berdiri tegak tak berani bergeming, jangan kata bicara, nafaspun
ditahan-tahan.
Oh Thi-hoa berkata senang,
"Dari keadaan mereka itu, jelas pemimpin mereka memang berada di dalam
rumah ini."
Ki Ping yan mengiakan dengan
manggut-manggut.
"Mari sekarang juga kita
terjang ke dalam, ingin aku melihat macam apa sebenarnya iblis durjana
itu?"
"Tunggu lagi
sebentar," sela Ki Ping-yan.
"Apa lagi yang harus
ditunggu?" desak Oh Thi-hoa.
"Keadaan kelihatan rada
ganjil."
"Kau sendiri yang
mengusulkan, kenapa sekarang kau merasa rada ganjil?"
"Setelah melihat rumah
kayu itu baru aku melihat adanya keganjilan… coba kau pikir, dengan kekuasaan
si iblis yang besar, memangnya dia sudi tinggal di tempat yang jorok dan
keropos seperti itu?"
Baru saja Oh Thi-hoa melengak
dan belum bersuara, dari dalam rumah kayu tiba-tiba berkumandang irama musik
yang mengalun halus, serasa menyedot semangat dan mencabut sukma, sehingga
pendengarnya menjadi lemas dan seperti hendak melayang jiwanya.
Begitu irama musik itu
mengalun, para laki-laki baju hitam yang berdiri tegak itu kelihatan badannya
melingkar dan bergetar, seolah-olah mereka ingin menari-nari menurut alunan
lagu nan merdu menyedot sukma ini. Tapi sekonyong-konyong mereka serempak roboh
saling tindih. Nada lagi yang menyedot sukma itu masih terus mengalun, cuma
lama kelamaan suaranya datar dan rendah. Orang-orang yang roboh itu tiada
satupun yang bangkit berdiri.
Mendengar irama musik ini,
seketika Oh Thi-hoa rasakan mukanya panas dan jantung berdebar keras, namun
kejut dan aneh pula ia melihat adegan-adegan yang seram itu, katanya sember,
"Apa pula yang terjadi?"
Membeku dingin muka Ki Ping
yan, mulutnya terbungkam kencang. Roman muka justru tiba-tiba berubah hebat,
teriaknya tertahan, "Celaka!" belum hilang suaranya, badannya bagaikan
burung walet sudah melesat ke arah rumah kayu itu.
Sudah tentu Oh Thi-hoa tidak
mau membuang waktu, sigap sekali ia pun memburu maju dengan kencang. Coh
Liu-hiang masih melongok-longok di jendela, Oh Thi-hoa langsung tendang daun
pintu terus menerjang masuk seraya membentak keras, "Jangan harap
kau…!"
Hanya tiga patah kata yang
terucapkan, tiba-tiba mulutnya terpentang lebar tak kuasa meneruskan
kata-katanya. Ternyata rumah kayu seluas ini tak kelihatan bayangan seorangpun.
Kalau mau dikatakan sesungguhnya,
rumah kayu ini sudah tak dihuni oleh seorang manusia yang masih hidup segar
bugar. Dua puluhan laki-laki yang masuk kemari tadi kini sudah menggeletak
malang melintang saling tindih di atas tanah, tiada satupun yang ketinggalan
hidup.
Badan mereka sama melingkar,
seolah-olah ular yang saling belit membelit, namun roman muka mereka sama
menunjukkan cahaya cemerlang yang aneh, bukan saja mereka mampus tanpa
menunjukkan sesuatu derita, malah seperti suka rela dan senang hati menemui
ajalnya.
Lama sekali Oh Thi-hoa
terlongong, baru ia menarik nafas panjang, katanya, "Sungguh gila…
orang-orang inipun sudah gila."
Coh Liu-hiang membanting kaki,
katanya, "Seharusnya sejak tadi sudah kupikirkan bahwa mereka akan sama
bunuh diri."
Rumah kayu yang sudah bobrok
ini, boleh dikata tiada isi apa-apa, tapi tengah-tengah rumah sana berdiri
sebuah berhala pemujaan yang amat besar, ditengah-tengah berhala terdapat
sebuah patung Buddha, sehingga menambah seram dan serba aneh keadaan rumah ini.
Hembusan angin lalu membuat Oh
Thi-hoa bergidik seram dan sadar dari lamunannya. Serunya tak mengerti,
"Kenapa mereka suka bunuh diri?"
Kata Coh Liu-hiang menghela
nafas, "Gembong iblis itu tentu sudah tahu bahwa jejak mereka sudah
dikuntit oleh kita, kuatir kita mengudak tiba sampai di sini, terpaksa ia bunuh
mereka semua."
"Kalau toh mereka didesak
orang untuk bunuh diri, kenapa pula mereka menghadapi kematian ini dengan riang
hati?"
Terpancar rasa jeri dalam
sorot mata Coh Liu-hiang, mulut menggumam, "Dalam hal ini tentu ada latar
belakangnya yang amat misterius, musik kematian yang menyedot sukma itu
mungkin…" belum habis kata-katanya, tiba-tiba terdengar Siau-phoa
menjerit-jerit di luar rumah. "Ciok Tho menjadi gila… gila Ciok Tho
kumat…" jeritnya mengandung rasa ketakutan yang tak terperikan.
Di tengah gurun pasir yang tak
kenal kasihan di dalam rumah kayu yang menyendiri dan bobrok ini,
sekonyong-konyong mendengar jerit dan tangis yang begini mengerikan, sungguh
bikin bulu roma berdiri seram.
Oh Thi-hoa berjingkat kaget,
tanpa berjanji bersama Coh Liu-hiang, Ki Ping yan melesat keluar hampir
bersamaan. Tampak raut muka Siau-phoa berkerut-kerut seperti meringkel,
keringat membasahi seluruh kepala, mulutnya masih menjerit keras-keras,
"Ciok Tho gila."
Kontan Ki Ping-yan ayun tapak
tangan menggamparnya, bentaknya bengis, "Kau sendiri jangan menggila,
katakan apa yang terjadi."
Karena gamparan ini, Siau-phoa
melongo sesaat lamanya, lambat laun baru kembali ketenangan hatinya, katanya
dengan suara bergetar, "Setelah kalian masuk ke dalam rumah, tak tahan
lagi akupun ingin kemari melihat-lihat. Tapi Ciok Tho seorang diri kutinggal di
sana, hatiku jadi rada kurang tenteram. Lekas kutarik dia supaya ikut."
"Apa benar kau kuatir
meninggalkan dia sendirian? Kukira kau mengajak dia untuk membesarkan
nyalimu."
Tertunduk kepala Siau-phoa,
katanya lebih lanjut dengan suara tersendat, "Siapa tahu… setiba di depan
rumah ini Ciok Tho seolah-olah melihat setan, putar badan terus lari sipat
kuping. Sungguh betapa rasa takutnya waktu itu, meski aku tidak melihat
apa-apa, tapi aku sendiripun teramat kaget dan tak tertahan lantas berkaok-kaok
sekeras suaraku."
Orang yang punya mata tidak
melihat apa-apa, memangnya orang yang buta matanya melihat sesuatu yang
menakutkan? Tapi Coh Liu-hiang bertiga sudah tak sempat pikirkan hal ini lebih
lanjut, belum selesai keterangan Siao-phoa, serempak mereka sudah berlari
kencang mengundak ke arah mana tadi Ciok Tho melarikan diri.
Angin menderu kencang, pasir
berterbangan. Tabir malam di gurun pasir sudah mulai memperlihatkan kekuatannya
yang begitu menakutkan.
Akhirnya mereka melihat
bayangan Ciok Tho, yang sedang lari lintang pukang, seorang yang tak bisa
mendengar, terpaksa harus berlari jatuh bangun dengan setaker tenaganya di
gurun pasir yang tak kenal kasihan. Di tengah malam gelap yang pekat ini,
betapa takkan menyedihkan dan memilukan keadaan seperti ini.
Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan
berbareng melesat ke depan, keduanya berbareng mengempit badan orang, tapi Ciok
Tho seperti binatang buas yang terluka meronta dengan kekuatan yang besar luar
biasa, terus lari pula ke depan dengan lebih kencang.
Tenaganya yang begitu besar
dan kuat seperti orang gila benar-benar, sampaipun Coh Liu-hiang tak kuasa
menahannya.
Sementara itu Oh Thi-hoa pun
sudah mengundak tiba dari belakang. Langsung ia menubruk maju seperti harimau
menubruk mangsanya, ia sekap pinggang orang terus diajak berguling-guling di
tanah berpasir. Lekas Ki Ping yan memburu maju pula dan mendekap sebelah
pundaknya. Semula Ciok Tho masih hendak meronta, serta merta Ki Ping yan dengan
kencang menggenggam tangannya, baru lambat laun ia mulai tenang, tapi nafasnya
masih ngos-ngosan.
"Lekas kau tanya
dia," usul Oh Thi-hoa dengan memburu. "Sebetulnya apa yang dia
ketemukan."
Di bawah sinar bintang, tampak
raut muka Ciok Tho yang buruk dan kaku itu penuh dibasahi butiran keringat,
diikuti ketegangan dan kekuatiran. Jangankan Siau-phoa jadi ketakutan melihat
raut mukanya ini, sampai pun Oh Thi-hoa pun bergidik dan dingin hatinya.
Berselang cukup lama baru Ki
Ping yan angkat kepala, katanya, "Sudah kutanya dia, tapi apapun dia tidak
mau menjelaskan."
Pandangan mata Coh Liu-hiang
menatap ke tempat gelap nan jauh sana, katanya pelan-pelan, "Bukan
mustahil dia memiliki indera ke enam yang amat peka, terasa olehnya bahwa iblis
yang mencelakai dirinya itu berada di dalam rumah kayu itu."
"Tapi dalam rumah kayu
hakikatnya tiada ketinggalan orang hidup… boleh dikata tiada sesuatu benda
apapun dalam rumah itu, seumpama iblis itu menyembunyikan diri juga tak mungkin
lagi."
Berkata Coh Liu-hiang sepatah
demi sepatah, "Apa benar rumah itu tiada sesuatu apapun?"
"Kecuali meja kursi yang
sudah reyot, tinggal patung pemujaan itu."
"Sudahkah kau jelas
patung apa yang berada di tempat pemujaan itu?"
"Kalau tidak salah
seperti sebuah patung Kwan Im posat yang terbuat dari batu…"
sekonyong-konyong suaranya seperti membeku, badannya seolah-olah kena lecutan
cambuk bergetar keras. Lalu seperti kerasukan setan, tiba-tiba ia putar badan
berlari sekencang-kencangnya kembali ke rumah kayu itu.
Keadaan dalam rumah kayu telah
berubah. Angin menghembus kayu gorden yang menutupi ruang pemujaan itu. Tapi
ruang pemujaan ini kosong melompong. Patung batu yang berdiri di sana tadi kini
sudah lenyap tak keruan paran.
Keringat segede kacang
bercucuran di atas kepala Oh Thi-hoa, lama sekali dia menjublek di tempatnya,
baru didapatinya di atas meja ketambahan sebuah wajan besi. Wajan yang masih
panas mengepulkan asap dan bebauan sedap, bau daging rebus yang enak rasanya. Di
bawah wajan terselip selembar kertas yang ada tulisannya berbunyi,
"Tuan-tuan datang dari
tempat ribuan li jauhnya, seharusnya aku sendiri harus menyambut dengan sebuah
meja perjamuan besar. Sayang anak buahku bodoh dan tak becus bekerja, bikin
malu dan menusuk perasaan belaka. Maka akan aku siapkan sewajan daging rebus
sekedar sebagai pernyataan maksud baikku. Untung menghilangkan rasa lelah dan
kelaparan serta dahaga, harap tuan-tuan tidak menampik maksud baik kami!"
Hormat,
Orang dalam pemujaan
Orang dalam ruang pemujaan?
Siapa pula orang di dalam pemujaan?
Oh Thi-hoa berpaling, maka
dilihatnya Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan sama s edang menatap kertas yang
berada di tangannya, agaknya mereka pun melongo dan tertegun.
Sesaat lamanya, baru Ki
Ping-yan bersuara dengan tertawa getir, "Jejak kami bertiga, toh konangan
juga oleh si dia!"
"Tapi siapakah orang
dalam ruang pemujaan ini? Bayangannya saja toh tidak kita lihat."
Dengan nanar Coh Liu-hiang
memandang ke arah ruang perjamuan yang sudah kosong itu, katanya sepatah demi
sepatah, "Itulah Ciok-koan im."
Berjikat merinding bulu kuduk
Oh Thi hoa, serunya, "Ciok koan im? Maksudmu adalah perempuan yang diakui
umum sebagai orang yang paling cantik, paling galak dan tak mengenal kasihan,
tapi ilmu silatnya amat tinggi dan sudah diakui kawanan Kangouw pada masa lalu
itu?"
Coh Liu-hiang tertawa getir,
"Kecuali dia, siapa pula yang mampu membuat alat rahasia yang begitu lihay
dan baik? Siapa pula yang punya kepandaian ilmu rias yang begitu hebat? Siapa
pula yang kuasa mengatur tipu daya yang begitu sempurna dan seksama?"
Ki Ping yan menyambung dengan
suara kalem, "Kecuali dia, siapa pula yang bisa mengheningkan cipta atau
semedi merubah diri seperti patung-patung tulen, sehingga dengan mudah
mengelabui pandangan mata kita?"
Oh Thi-hoa melongo dan
menjublek, meski ia belum pernah melihat Ciok-koan-im, tapi berbagai dongeng
dan cerita yang sering tersiar di kalangan Kangouw mengenai manusia yang satu
ini, boleh dikata dapat membuat setiap orang yang mendengar merasa bergidik
seram dan dingin dari kepala sampai ke kaki.
Bau asap mengepul dari wajan
semakin tebal, daging yang sudah matang dan dilapisi kuah berminyak kelihatan
begitu sedap dan lezat, inilah hidangan yang sedang mereka harapkan selama ini.
Mendadak Oh Thi-hoa bergelak
tawa, katanya, "Katanya yang tersiar di kalangan Kangouw memang tidak
keliru, Ciok-koan-im memang siluman tukang mencelakai jiwa orang. Apapun tiada
yang dia tinggal di sini, kecuali wajan dan daging rebus ini, supaya kita hanya
melihatin saja, dengan mengalirkan air liur tanpa berani menyentuhnya."
Tiba-tiba seekor anjing
menerobos masuk ke dalam rumah, langsung lompat naik ke atas meja, kepala
dijulurkan lidah menjilat seperti sedang mencicipi, lalu mulut terpentang
menggigit sekerat daging bertulang.
Maki Oh Thi-hoa dengan
tertawa, "Anjing ini sudah gila lantaran kelaparan? Memangnya dia tidak
takut keracunan?" segera ia menghampiri dan menjinjing anjing itu lalu
diturunkan ke atas tanah, tapi dengan lahap dan tergesa-gesa anjing itu sudah
melalap sekerat daging bertulang itu ke dalam perutnya. Oh Thi hoa, Coh
Liu-hiang, Ki Ping yan, tiga orang enam biji mata dengan mendelong mengawasi
reaksi perubahan anjing ini. Tapi setelah ditunggu-tunggu setengah jam, Ki Ping
yan membalik mata anjing untuk diperiksa, lalu memeriksa lidahnya lagi, katanya
perlahan, "Masakan dalam wajan ini tak beracun."
Dengan keras Oh Thi-hoa
menggebrak meja, teriaknya, "Siluman jahat itu sudah perhitungkan kita
takkan berani makan daging rebus itu, malah antar seekor anjing untuk membuat
jengkel. Dia kira kita sudi memakan daging rebus sisa dari anjingnya ini."
"Daging yang sudah
dimakan anjing, masakah orang tidak boleh memakannya?" kata Ki Ping-yan
tawar. Matanya mengawasi Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang tidak memberi komentar.
Oh Thi-hoa sudah jinjing wajan
itu terus dilempar keluar jendela, mulut masih berkaok-kaok, "Kita tidak
boleh makan makanan sisa anjing, seumpama harus mati kelaparan, jangan kita
bikin malu diri."
Ki Ping yan menghela nafas,
jengeknya, "Jikalau aku bisa pulang dengan selamat, di dalam rumah akan
kudirikan sebuah tugu peringatan untuk mengingat budi keluhuranmu ini, dimana
akan ku ukir, 'Kelaparan sampai mati urusan kecil, bikin malu muka orang urusan
besar!'”
Oh Thi-hoa bergelak tertawa,
serunya, "Jikalau aku bisa pulang dengan jiwa masih hidup akan ku… akan
ku…" ingin dia mencari kata-kata yang setimpal untuk balas mengolok Ki
Ping yan, dalam waktu dekat mulutnya justru tak kuasa mengeluarkan
kata-katanya.
"Watak manusia berangasan
seperti anjingmu ini, mungkin takkan bisa pulang dengan hidup segar,"
jengek Ki Ping yan pula.
"Itupun belum…"
belum lagi Oh Thi-hoa berkata lebih lanjut, tiba-tiba terdengar jeritan
mengerikan di luar rumah, tiga orang serempak melesat keluar, tampak Siau-phoa
yang tadi menjagai Ciok Tho kini sudah terguling-guling di atas tanah.
Wajan yang berisi daging itu
berada di sisinya, ujung mulutnya masih berlepotan kuah berminyak, roman
mukanya pun putih halus dan jenaka itu, kini sudah merah abu-abu dan berkerut-kerut
mengejang, mulutnya mendesis dan megap-megap, ingin berteriak keras, namun yang
terdengar hanya suara lirih, "Daging beracun…"
Ternyata di luar rumah ia
mendengar percakapan di dalam yang mengatakan daging dalam wajan ini tak
beracun, maka sisa kuah yang tidak tertumpah di dalam wajan ia hirup
seluruhnya.
Lekas Coh Liu-hiang memburu ke
samping badannya, baru saja ingin memeriksa keadaannya, badan Siau-phoa sudah
kelejetan dan mengejang, sebentar saja jiwanya tahu-tahu sudah melayang
gara-gara minum sisa kuah daging dalam wajan itu.
Di tengah gurun pasir yang
luas ini, jiwa manusia ternyata sedemikian rendah dan tak berharga sama sekali.
Pelan-pelan Coh Liu-hiang
katupkan kelopak matanya, katanya prihatin, "Racun yang hebat, keras benar
kadar racunnya sampai tak sempat ditolong lagi."
"Orang lihay benar,"
ujar Ki Ping yan. "Dia sembunyikan kapsul beracun itu di mulut anjing,
begitu anjing menjilat kuah kapsul beracun itu lantas jatuh ke dalam wajan
karena masih panas cepat sekali kapsul itu lantas mencair dan kuah yang semula
tidak beracun menjadi mengandung racun yang begitu jahat."
Tersirap darah Oh Thi-hoa,
"Apakah anjing itupun sudah dilatihnya sedemikian rupa?"
Ki Ping -yang manggut-manggut
sebagai jawaban.
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya
: "Agaknya berkat watak anjing Oh Thi-hoa tadi sehingga aku dan kau tidak
kena tertipu oleh Ciok-koan im."
Membayangkan tipu muslihat
berantai yang berhubungan satu sama lain secara licik dan licin ini, boleh
dikata jiwa mereka tadi sudah diambang kematian… tak terasa tapak tangan mereka
berkeringat dingin.
***
HARI KEDUA, air tetap tak
mereka dapatkan.
Mereka tak mau membiarkan sisa
air didalam badan mereka terjemur kering oleh terik matahari, maka setelah sang
surya terbenam, baru mereka bergerak lagi.
Giok Tho, laki-laki misterius
dan harus dikasihani ini, kini sudah memperoleh kembali tenaga dan
keberaniannya yang tak terhingga sebaliknya Oh Thi-hoa bertiga sudah semakin
loyo dan lemas. Betapapun tinggi kepandaian seseorang didalam dunia ini, masa kuasa
memerangi kekuatan kebesaran alam semesta.
Sang surya sudah terbenam,
sering Ciok Tho Mendekam di atas pasir, menggunakan hidungnya mengendus dan
membaui pasir, seperti srigala yang mengejar jejak mangsanya merangkak di atas
pasir, Oh thi-hoa menjilat bibirnya yang sudah kering dan pecah, tanyanya tak
sabar : "apa yang sedang dia lakukan?"
"Dia sedang mencari
sumber air di bawah tanah."
"Apa dia bisa mengendus
dengan hidungnya?"
"Kalau ada air, tentu ada
suhunya, suhu panas tertentu itu dapat terendus oleh hidung yang
berpengalaman."
Oh Thi-hoa masih ingin bicara,
tapi orang sudah tak perdulikan dia lagi. Karena ditempat seperti ini dalam
keadaan seperti ini pula bicara mengeluarkan tenaga dan membuang-buang energi,
mengeringkan ludah lagi, disaat-saat seperti ini, kedua macam keperluan ini
hampir senilai dan semahal jiwa mereka.
Setelah malam mendatang,
tiba-tiba seperti kumat gilanya Ciok Tho menggali pasir dengan kedua tangannya.
"ada Air!" seketika Oh Thi-hoa berjingkrak kegirangan.
Serempak mereka lompat turun
dari punggung unta, menggunakan segala alat apa saja yang mereka ketemukan,
beramai-ramai mereka menggali pasir sekuat tanag, tapi dengan susah payah
mereka bekerja satu jam lamanya, akhirnya tetap kecewa, tiada air.
Oh Thi-hoa menyengir sedih :
"Hidungnya itu mungkin sudah tak berguna lagi."
Ki Ping-yan membenamkan
mukanya tak menanggapinya. Cuma Ciok Tho masih belum putus asa, dia tetap
mengeruk dan menggali. Mendadak ia mencelat bangun mencomot segenggam pasir
diangsurkan kepada Ki Ping-yang.
Ki Ping-yan jejalkan pasir itu
ke dalam mulut, seketika mukanya berseri girang.
Pasir ini terasa hangat.
Beramai-ramai mereka masukkan pasir ke dalam mulutnya, sekuatnya menghisap air
yang terkandung didalam pasir. Air, memang terlalu minim, tapi bagi seseorang
yang sudah dekat ajal karena dahaga sudah cukup untuk merenggut pulang jiwanya
dari cengkeraman elmaut. mereka mengeduk lebih giat, lebih keras dan
mati-matian, menghisap sekeras kerasnya.
Malam itu mereka lelap dalam
impian didalam galian pasir yang bersuhu hangat ini, saking bernapsu menghisap
air tadi, lidah Oh Thi-hoa terasa linu kemeng, tak tertahan ia mengumpat caci :
"Boleh dikata seluruh tenaga untuk menghisap sudah kukerahkan, namun belum
bisa kulihat setetes air yang berhasil keperas dari pasir setan yang keparat
ini, menghisap dengan cara begini terus apakah tidak bikin lidah putus dan
leher kejang?"
"Didalam gurun pasir,
bila setiap hari kau dapatkan pasir hangat seperti ini, sudah terhitung kau
beruntung, meski amat minim air dalam pasir ini, tanpa dia kau takkan bisa
hidup"
Memang tidak salah ucapannya,
hari ketiga jangan kata air, pasir hangat seperti itupun tak berhasil mereka
temukan, tenaga untuk berjalan pun sudah tiada, untunglah hari ke empat, Ciok
Tho berhasil menemukan lagi. Pasir di sini lebih banyak mengandung air.
Berkata Ki Ping-yan
menerangkan : "Ciok Tho menyelusuri jalur-lajur urat air bawah tanah baru
berhasil menemukan yang ini, dilihat keadaan tempat ini, tak jauh dari sini
tentu kita bisa menemukan sumber iar yang lebih besar."
Dengan badan lebih segar,
mereka kerahkan tenaga dan menghimpun semangat bergerak maju lebih lanjut.
Sekonyong-koyong dikejauhan sana mereka melihat pemandangan serba hijau,
seperti permadani terbentang luas kehijauan itulah oase, tanah subur yang
banyak air dan tetumbuhan yang hidup subur di gurun pasir.
Dengan sekuat tenaganya Oh
Thi-hoa kucek-kucek matanya, katanya : "Apakah mata ku sudah lamur?"
"Semoga ini bukan
pandangan didalam khayalan kita." Coh Liu-hiang tertawa getir.
Setelah dekat, terdengar
diantara pepohonan yang menghijau subur ditengah-tengah oase sana, kumandang
gelak tawa orang-orang yang riang gembira. Tapi bagi seseorang yang baru saja
lolos dari cengkeraman mara bahaya ditengah gurun pasir yang tak kenal kasihan
ini, gelak tawa riang gembira itu kedengaran amat menusuk dan seram menakutkan.
Oh Thi-hoa dilliputi
ketegangan pula katanya: "apa disinikah sarang rahasia Ciok-koan im?
Kecuali siluman jatah itu, siapa pula yang masih bisa begitu riang gembira ditengah
gurun pasir yang tengah sengsara ini?"
Ditunggu-tunggu tak terdapat
reaksi teman-temannya, lalu ia menyambung perkataan sendiri: "apalagi dua
hari ini, dia tidak mencari kesulitan kita, bukan mustahil dia sudah
memperhitungkan kita akan bisa menemukan tempat ini?"
Sekian lama Coh Liu-hiang
tidak berkutik, tiba-tiba ia bangkit berdiri katanya : "Kalian tunggu aku
di sini biar kuperiksa keadaan di sana."
Oh Thi-hoa ikut berdiri
serunya : "Aku ikut."
"Aai, ginkangmu lebih
tinggi dari maling kampiun?" olok Ki Ping-yang.
Oh Thi-hoa meloso duduk pula,
mulutnya terkancing.
Bukan saja oase ini amat
indah, ternyata cukup luas pula, ditengah gurun pasir yang serba buruk ini,
mendadak muncul tempat seindah ini boleh dikata seperti dalam dongeng saja.
Ditangah rimbunnya dedaunan,
sering terdengar tawa cekikikan medru bagai kelintingan.
Apa benar ini alam khayal
didalam dongengan itu? atau alam iblis? dan yang tersembunyi didalam rumpun
dedaunan itu, apakah bukan siluman perempuan yang suka memincut dan akhirnya
memakan orang-orang pelancongan yang kesasar jalan?
Setelah menarik napas dengan
hati-hati Coh Liu-hiang meluncur kesana walau ginkangnya sekarang jauh
berkurang dari keadaan biasa, tapi tak perlu disangsikan masih termasuk tingkat
tinggi jarang ditemukan tandingannya.
Dengan ringan seperti burung
ia hinggap di puncak pohon. Dari sela-sela dedaunan yang rimbun ini, seketika
ia melihat suatu pemandangan yang bisa bikin hati kebat-kebit, membuat orang
linglung dan sukar dipercaya.
Disana terdapat dua empang
besar kecil yang berair bening menghijau. Di sini empang yang rada besar
ditempat yang rada jauh sana terdapat tiga bangunan kemah yang indah dan mewah,
di depan kemah berdiri tegak beberapa Busu yang bersenjata tombak mengkilap
berpakaian serba berkilauan pula. Sementara empang kecil itu dipagari beberapa
lembaran kain sari sehingga keadaan di sini tertutup dan teraling tak kelihatan
seorang gadis jelita berambut panjang sedang mandi di dalam empang.
Berat dan hampir berhenti
napas Coh Liu-hiang. Dalam keadaan seperti ini, malah tiada seleranya menikmati
kecantikan seorang gadis, tapi gadis telanjang dengan lekak-lekuk badannya yang
berisi montok basah dengan hiasan butiran-butiran air dipaparkan di depan mata,
mau tidak mau matanya jadi melotot dan tergerak hatinya.
Begitu indah tubuh semampai
yang halus putih itu, di bawah pancaran sinar sang surya yang mulai terbenam di
ufuk barat, mirip benar sebentuk patung dewi yang sempurna tiada cacatnya,
butiran air yang berkilauan kekuningan, berderet di atas jidatnya yang bidang
terus mengalir turun ke tengah dua bukit menonjol yang putih menyusul suara
tawanya semerdu kicauan burung senyaring kelintingan, tak ubahnya laksana
ratusan kuntum kembang mekar bersama.
Masih ada tiga empat gadis
lainnya pula yang bersanggul berdiri berjajar di pinggir empang, ada yang
membawa handuk, ada yang membawa kain sari panjang, ada pula yang membawa
alat-alat mandi, mereka sama cekikikan riang gembira, mereka bersenda gurau
saling mendulang air dicipratkan ke muka teman temannya.
Coh Liu-hiang yang baru saja
keluar dari siksaan derita kekeringan di tengah padang pasir, perut kelaparan,
mulut kekeringan badan terlalu letih, lolos dari mara bahaya lagi, mendadak
terhadap adegan atau tontonan yang begini mengasyikkan, sungguh sukar dia
percaya atas pandangannya sendiri bahwa dirinya sudah berada di kahyangan di
sorga. Dalam keadaan seperti ini Coh Liu-hiang lupa akan tugasnya, lupa apa
yang harus dia lakukan, lupa bahwa teman-temannya masih menunggu kabar di gurun
pasir sana.
Semula raut muka gadis mandi
itu tertuju ke arah sana, kini kerlingan matanya tiba tertuju ke arah tempat
persembunyian Coh Liu-hiang, insaf bahwa jejaknya sudah diketahui oleh orang.
Gadis lain bila ketahuan ada orang apalagi laki-laki dewasa sedang mengintip
dirinya sedang mandi, tentu menjerit dan lekas-lekas berusaha mengenakan
pakaian, tapi gadis ini mengerling, lambat-lambat dia malah berdiri dan tegak
laksana sekuntum kembang teratai yang baru saja mekar dan menongol dari
permukaan air.
Muka Coh Liu-hiang serasa
panas malah, sekilas ia melihat kesempurnaan seluruh badan si gadis yang
semampai dan montok itu, lekas sekali orang sudah sembunyi dalam libatan kain
sarinya yang panjang. Lalu memutar badan ke arah Coh Liu-hiang, katanya kalem:
"Orang yang mengintip itu memangnya kau belum puas?" suaranya memang
merdu dan halus mengalun, seperti kicauan burung kenari, cuma logat bicaranya
kedengaran rada kaku dan sember, seperti gadis gunung yang baru saja belajar
bahasa kota.
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela
napas dengan tertawa getir, dia lompat turun dari pucuk pohon, selama hidupnya,
boleh dikata belum pernah dia mengalami keadaan serunyam seperti hari ini.
Sungguh ia tidak suka kalau dirinya disangka dan dimaki sebagai pemuda
pemogoran yang mata keranjang, lebih baik tak ia harapkan di dalam keadaan
seperti ini dia harus menemui dan berhadapan dengan gadis jelita bagai bidadari
ini. Tapi dia tak mungkin lari terpaksa ia keluar dengan mengeraskan kepala.
Dari atas ke bawah gadis ini
mengamat-amati dirinya, sorot matanya yang semula ditandai kobaran api dalam
hatinya, lambat laun seperti berubah menjadi tenang, katanya melompat kepada
Coh Liu-hiang "Tidak kecil ya, nyalimu, tidak kau melarikan diri."
Coh Liu-hiang unjuk tawa
getir, sahutnya :" meskipun cayhe tidak sengaja, tapi aku harus menyatakan
penyesalan yang luar biasa, jikalau mau lari, masakah tidak memalukan?"
Berkilat kerlingan mata si
gadis, katanya: "Jadi kau mengakui salah dan kemari mau terima
hukuman?"
"Ya begitulah " Coh
Liu-hiang mengiakan. Terunjuk senyuman geli pada sorot mata si gadis, katanya
pelan-pelan :" Kau berani mengakui kesalahan, memang tidak malu kau jadi
laki-laki sejati, tapi tahukan kau dosa apa yang telah kau perbuat?"
Coh Liu-hiang menghela nafas,
katanya "seharusnya nonapun harus menutup sebelah sini dengan kain panjang
itu."
Melotot lagi mata si gadis,
semprotnya "kau mengintip aku mandi, memang masih menyalahkan
diriku?"
"Cayhe kemari tanpa
sengaja, mana aku tahu bahwa di tempat ini ada gadis jelita sedang mandi?"
"Kalau kau tahu?"
"Kalau aku tahu di sini
ada seorang gadis secantik nona sedang mandi di sini, tahu pula bila sebelah
sini tidak tertutup dengan kain panjang"
"Memangnya kau tidak akan
datang kemari?" tukas si gadis.
Coh Liu-hiang tertawa sahutnya:
"seumpama kedua kaki ini putus, meski merambat akupun akan kemari dengan
merangkak."
Jawaban ini seketika membuat
si gadis menjublek. Laki-laki keparat, mana ada laki-laki yang punya muka
begini tebal, tidak tahan malu dan punya nyali besar? Sungguh mimpipun tak
pernah terpikir olehnya ada laki-laki yang berani bicara begitu dihadapannya.
Hatinya memang dongkol, tapi
ia tak kuasa mengumbar amarahnya, ingin tertawa, tapi ia tahan-tahan.
Sebaliknya gadis-gadis disampingnya tertawa cekikikan geli sambil mendekap
mulut. Setelah tertawa baru mereka sadar tidak pantas mereka tertawa. Serempak
mereka menarik muka, dan melotot marah, dampratnya: "Laki-laki yang
bernyali besar, berani kau bicara begituan terhadap Tuan Putri?"
"Tuan putri"
panggilan ini sungguh membuat Coh Liu-hiang menjura, katanya: "Sebetulnya
Cayhe tak perlu berkata demikian, tapi sebagai laki-laki sejati apalagi selama
hidup aku tidak pernah berbohong!"
"Tak nyana diantara
bangsa Han kalian ada juga laki-laki yang berani bicara sejujurnya, aku pernah
dengar, ditempat kalian itu orang yang punya nyali bicara terus terang malah
sering dipandang rendah dan hina oleh orang lain."
Diam-diam Coh Liu-hiang
menarik napas, sudah tentu diapun tahu bahwa banyak manusia dalam dunia ini
yang sering bermuka-muka dan bermulut manis, yang suka bohong dan mengelabui
orang dengan lidahnya yang lihai, memang jarang ada orang yang suka menghargai
orang yang mau bicara jujur dan terus terang, mereka memang sering dipandang
sebagai Siau-jin 'orang kecil'. Tapi Coh Liu-hiang hanya tertawa tawar,
katanya: "Jadi ditempat tuan putri ini, paling suka menghargai orang yang
suka bicara jujur dan terus terang?"
"Ya, begitulah!"
sahut tuan putri.
"Kalau demikian
seharusnya tuan putri memaafkan kesalahanku yang tak disengaja ini."
Lama tuan putri ini menatap
Coh Liu-hiang, tiba-tiba terkulum senyum mekar di wajahnya yang cantik rupawan
ini, katanya : "Mungkin bukan saja aku menjatuhi hukuman kepadamu, malah
kupandang kau sebagai tamu agung, tapi ini harus kulihat dulu, kecuali
keberanianmu tadi, apakah kau memiliki suatu kepandaian yang lainnya?"
lalu dengan jari tangannya yang halus dan bening ia membetulkan letak
rambutnya, katanya sambil berputar badan :" Tadi karena kau tidak
melarikan diri, sekarang bolehlah kau mengikut padaku?"
Didalam perkemahan yang indah
dan megah ini, tak henti-hentinya terdengar irama musik dan gelak tawa yang
riang gembira. Para busu yang berjaga di luar kemah justru melotot seperti mata
elang mengawasi Coh Liu-hiang.
Saat mana tuan putri yang
cantik molek ini sudah langsung beranjak ke dalam kemah dan sedang melambaikan
tangan padanya.
Dengan tersenyum Coh Liu-hiang
menepuk pundak kedua busu yang garang ini, dengan langkah lenggang kangkung ia
beranjak masuk. Sejak tadi dalam hati diam-diam ia sudah persiapkan diri,
betapapun bahaya yang menunggu dirinya didalam kemah ini dia tidak akan kaget
dibuatnya, didalam gurun pasir yang kejam dan serba seram ini terhadap apapun
yang bakal dihadapinya, dia sudah mempersiapkan diri untuk menerima segala
akibat yang paling buruk.
Tapi didalam kemah ini,
sedikitpun ia tidak mendapatkan tanda-tanda sesuatu yang melambangkan keganasan
dan mara bahaya, bahwasanya didalam kemah ini boleh dikata sebagai tempat yang
paling aman dan tak mengenal mara bahaya di seluruh dunia.
Di luar kemah terbentang tanah
rerumputan yang menghijau elok dan empuk, didalam kemah sebaliknya justru
dilapisi permadani yang puluhan kali lebih empuk dan puluhan kali lebih elok
dari sesuatu yang empuk dan elok. Di atas permadani berjajar beberapa meja
pendek, di atas meja ini bertumpuk berbagai macam buah-buah, arak dan sayur
mayur yang serba lezat dan nikmat, beberapa orang yang mengenakan pakaian serba
mewah perlente sedang riang gembira mengelilingi meja-meja pendek itu, makan dan
minum sepuas-puasnya.
Yang kelihatan paling riang
adalah seorang laki-laki jubah merah yang mengenakan topi kebesaran berkilauan,
bermuka lebar cambang bauk lagi, dia duduk di atas kursi pendek yang tepat
berada ditengah-tengah, tangan kiri memegang cangkir emas, sementara tangan
kanan sedang memeluk pinggang seorang gadis cantik, serunya dengan tertawa
riang :" Silahkan kalian lihat, Pipop kongcu 'tuan putri pipop' setelah
mandi, bukankah lebih cantik molek?" sorot matanya berputar dan beralih
kearah Coh Liu-hiang, katanya pula dengan tertawa :" Tapi putriku yang
baik, siapa pula tamu yang kau bawa kemari ini? Kuingat disekitar sini sejauh
ratusan li, tiada seorang laki-laki yang lebih tampan seperti dia?"
Pipop kongcu unjuk tawa manis,
selincah burung walet ia menghampiri ayahnya dan duduk disampingnya dengan
membungkukkan badan, dia berbisik-bisik dipinggir telinga ayahnya. Mendengar
entah apa yang dikatakan putrinya, laki-laki jubah merah itu manggut-manggut,
sorot matanya tetap berputar-putar mengawasi Coh Liu-hiang, memang roman
mukanya mengulum senyum mekar, tapi sorot matanya mengandung wibawa besar yang
menundukkan hati orang lain.
Dengan tersenyum Coh Liu-hiang
balas menatap orang, hatinya ikut riang, terasa olehnya arak di sini cukup
wangi, sayur mayurnya lezat, gadis-gadis disinipun sama elok dan mungil, orang
jubah merah ini kelihatannya pasti bukan orang jahat.
Sekonyong-konyong empat batang
tombak gantolan tanpa suara menusuk datang dari belakang punggungnya. empat
batang tombak gantol, dua di atas dan dua di bawah, masing-masing panjangnya
dua tombak, bagi busu yang bersenjata tombak gantolan umumnya berkepandaian
rendah, tapi bertenaga raksasa, tusukan tombak gantolan ini laksana ular
beracun menerjang keluar dari sarangnya.
Seorang yang tiga hari tak
pernah berkenalan dengan sebutir nasi dan minum setetes air, ingin berkelit
dari bokongan keji dan telengas seperti ini boleh dikata tak mungkin terjadi,
tragedi mengenaskan dengan banjir darah agaknya bakal terjadi, tapi orang-orang
yang duduk berjajar makan minum itu, satupun tak ada yang melirik ke arah sini.
Seolah-olah perduli kejadian apapun, takkan bikin hati mereka tertarik.
Hanya biji mata tuan putri
Pipop saja terbelalak lebar, dengan jelas ia melihat keempat ujung tombak
gantolan itu hampir sudah mengenai punggung Coh Liu-hiang, sedikitpun Coh
Liu-hiang tidak memberikan reaksi apa-apa, serta merta sorot matanya mengunjuk
rasa ngeri, gugup dan menyesal, tubuh yang semampai itupun bergegas hendak
bangkit dan terhuyung.
"Creng," terdengar
benturan senjata keras yang nyaring berkumandang menusuk telinga. Coh Liu-hiang
tetap berdiri di tempatnya tanpa bergeming, juga tidak berpaling, tapi entah
apa yang terjadi, ke empat ujung tombak gantolan itu, tahu-tahu sudah terkempit
di bawah ketiaknya. Ke empat busu itu sampai terperosok ke depan dan saling
bertumbuk, saking kuat getarannya, tangan mereka tak bisa terangkat lagi.
Lima orang yang duduk makan
minum di pinggir meja itu baru sekarang bersama angkat kepala mengawasi Coh
Liu-hiang, sorot mata mereka menunjukkan rasa keheranan. Sementara laki-laki
jubah merah itu sudah bertepuk tangan dan memuji : "Kepandaian bagus.
Memang hebat kepandaianmu! Putriku memang tidak salah pandang."
Berkata Coh Liu-hiang dengan
tawar : "Tapi Cayhe justru salah lihat orang, sungguh Cayhe tidak menduga
bahwa tuan seorang yang pandai membokong orang lain."
Laki-laki jubah merah itu
terbahak-bahak, serunya : "Jangan kau salahkan aku, kejadian itu tiada
sangkut pautnya dengan aku," lalu ditariknya tangan tuan putri Pipop,
sambungnya dengan tertawa : "Putriku inilah yang ingin mencoba kau,
katanya asal kau bisa terhindar dari sergapan ini, kau adalah tamu
agungnya."
Pipop kongcu tersenyum manis,
selanya : "Bagaimanapun juga, kau sudah berhasil meluputkan diri, itu terhitung
kau sebagai tamu agungku, seorang tamu tidak pantas marah kepada tuan rumah
bukan?"
Coh Liu-hiang menghela napas,
katanya tertawa : "Memang Cayhe tidak patut marah."
Seorang laki-laki yang duduk
di sebelah kiri berwajah pucat, berbaju hijau dan berhidung melengkung seperti
paruh burung, tiba-tiba berkata dengan menjengek dingin : "Saudara hebat
benar kepandaianmu. entah tokoh sakti darimana kau?"
Coh Liu-hiang mengelus hidung,
sahutnya tertawa : "Cayhe Lau Hiang, tidak lebih hanya seorang keroco tak
bernama."
"O……." Laki-laki
baju hijau bersuara lesu, badannya kembali rebah, melirikpun tidak kepada Coh
Liu-hiang. Memang nama 'Lau Hiang' biasa dan tabu, dia merasa tak perlu dirinya
ikat hubungan atau berkenalan dengan orang yang tak bernama.
Tapi sejak tadi Pipop kongcu
selalu mengawasi Coh Liu-hiang, kembali ia unjuk tawa manis dan berkata :
"Kalau kau sudah diterima sebagai tamu agung disini, kenapa tidak mau
duduk?"
"Kalau Cayhe berdiri,
nyaliku rada besar," ujar Coh Liu-hiang tertawa.
Pipop kongcu cekikikan,
katanya : "Jikalau tadi kau merasa kaget, bagaimana kalau sekarang kuberi
sekedar hiburan?" lalu dia bersimpuh, seorang gadis sudah mengangsurkan
sebuah rebab kepadanya, terus diletakkan di atas kedua pahanya, dimana jari-jarinya
bergerak halus gemulai. Seketika mengalun irama harpa nan merdu mengasyikkan,
seperti dewi kahyangan sedang menari, laksana mutiara berdering di atas piring
pualam. Seluas alam semesta di sekeliling oase ini tak terdengar suara apapun
kecuali petikan lagu-lagu yang kumandang dari senar-senar rebab.
Sejak dinasti Tong, tak
sedikit jumlah tokoh ahli seni musik yang suka menggunakan rebab lurus berdiri,
kalau dipetik senarnya harus dipeluk didepan dada, lain justru cara Pipop
kongcu ini memainkan rebabnya, orang justru merebahkan rebabnya di atas kedua
lututnya, semula Coh Liu-hiang tidak mengharap bisa mendengarkan petikan
lagu-lagu dari rebab yang mengasyikkan ini. Saking asyiknya hampir saja dia
kehilangan semangat, lupa lapar, lupa dahaga dan penat, lupa segalanya. Setelah
irama rebab berhenti, dia masih terlongong tanpa bergerak.
"Bagaimana?" tanya
Pipop kongcu tertawa lebar.
Coh Liu-hiang tersentak sadar
oleh pertanyaan ini, katanya menghela napas : "Tak nyana di tanah gersang
nan jauh ini, aku masih sempat mendengar suguhan yang luar biasa."
"Kenapa harus dibuat
heran?" ujar laki-laki jubah merah, "Seni rebab memang berasal dari
sini, terus diajarkan ke tanah bangsa Han kalian."
"O….?" Coh Liu-hiang
bersuara dalam mulut.
Tanya laki-laki jubah merah :
"Pernahkah dengar nama Soh-ci-po!"
Coh Liu-hiang mendadak maju
selangkah dan berdiri tegak, katanya dengan hati bergetar : "Apakah tuan
ini Kui-je-ci-ong?"
Bersinar tajam mata laki-laki
jubah merah, serunya sambil mengelus cambang bauknya :" Akhirnya kau tahu
juga siapa aku, sungguh aku nyana hari ini seni rebab yang asli kebentur kepada
seorang ahli, mari, mari, mari biar ku suguh tiga cangkir kepadamu."
Sekonyong-konyong terdengar
seseorang berkaok-kaok di luar: "Ulat busuk! Dimana kau?" disusul
suara bentakan dan caci maki yang riuh rendah, disusul suara jeritan kesakitan
dan suara sesuatu yang tercebur ke dalam air. Coh Liu-hiang tahu pasti ada
orang yang dibuang masuk ke dalam air oleh Oh Thi-hoa.
Laki-laki baju hijau bermuka
pucat penyakitan itu mendadak bangkit, katanya mengerut alis : "Siapa
bernyali besar berani bertingkah di sini, biar kulihat."
"Sungguh maaf, itulah
temanku," lekas Coh Liu-hiang berkata.
Dari atas ke bawah dan
sebaliknya laki-laki baju hijau ini mengamati dirinya sekian lamanya, akhirnya
pelan-pelan orang itu duduk kembali di tempatnya.
Kui-ji-ong tertawa pula
katanya : "Keledai bagus takkan tercampur dengan kuda jelek, temanmu itu
tentunya seorang seniman pula, silahkan mereka masuk saja!"
Sebaliknya Pipop kongcu
tertawa sambil mendekap mulut, katanya : "Kelak kau harus beritahu padaku,
kenapa orang lain panggil kau ulat busuk?"