Tang San Siansu sudah berada
di depan Giak Han, yang telah bersiap-siap dengan hati agak berdebar, karena
yakin sipendeta akan menggunakan Liong-beng-kun yang diketahuinya sangat
dahsyat.
Tapi Tang San Siansu tidak
segera menyerangya, cuma mengawasi dengan sorot mata tajam, seakan mata selaksa
golok ingin menusuk dari mata Giok Han ke hatinya.
"Siapa gurumu !"
tegur Tang San Siansu. "Dan, siapa yang memberikan kau gelaran
Liong-kak-sin hiap ?"
"Kau pasti kenal dengan
guruku, karena kau memang pernah ada hubungan dengan guruku. Tapi waktu turun
gunung, guruku pernah berpesan, kau tidak pantas lagi mendengar nama guruku.
Gelaran yang kupakai bukan diberikan oleh orang lain, tapi oleh guruku
sendiri!" Giok Han menyahut tawar dia tahu si pendeta lihai, dia
berwaspada, matanya tetap mengawasi Tang San Siansu, terutama sekali tangannya.
Muka Tang San Siansu berobah,
kuning kehijauan, urat-uratnya di kening dan pelipis tampak meringkel menonjol
keluar. Menahan kegusarannya, sampai ruas-ruas jari tangannya pucat kehijauan,
jari-jari tangannya itu terkepal kuat-kuat.
"Baik, aku akan memaksa
kau memberitahukan siapa gurumu lewat ilmu silatmu !" kata Tang San
Siansu, Dia bukan cuma bicara, tangan kanannya yang terkepal keras terangkat
perlahan-lahan siap menyerang.
Giok Han tak berani
meremehkan, diapun berwaspada mengerahkan tenaga dalamnya pada lengan, ia
bersiap-siap menyambuti serangan Tang San Siansu, karena memang pendeta bekas
tokoh Siauw Lim Si yang telah melupakan pintu perguruan dan berbuat murtad itu
memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
Tangan kanan Tang San Siansu
sudah terangkat melewati kepalanya, waktu itulah jari-jari tangarnya terbuka,
seperti cengkeraman, sikapnya angker, benar-benar seperti seekor naga yang siap
menerjang mematikan lawan. Rupanya, Tang San Siansu sudah mempersiapkan Liong
beng-kun untuk menyerang.
Hati Giok Han agak berdebar,
dia mengawasi tangan Tang San Siansu melayang menyambar mengeluarkan suara
keras menderu "syuuuutttt...." dan jari-jari tangan yang siap
mencengkeram itu sudah menyambar ke arah kepala Giok Han, tapi belum lagi Giok
Han menyambuti, jari-jari tangan itu sudah berobah arah sasaran, di mana
tahu-tahu sudah berada di depan dada Giok Han.
Dari Tai Giok Siansu Giok Han
pernah mempelajari Liong beng-kun, juga pernah melatihnya dengan giat. Dia tahu
bahwa yang sedang dipergunakan Tang san Siansu adalah Liong
sin-kong-ciang" (Tangan sinar Sakti Naga) Jurus ini memusatkan tenaga
lengan seluruhnya pada ruas-ruas jari tangan, dan kelima jari tangan itu akan
kuat sekali melebihi baja, terlebih lagi bagi mereka yang memiliki sinkang
tinggi, pukulan dengan jurus ini bisa mematikan.
Yang luar biasa dan membuat
Giok Han kaget, dari jari-jari tangan Tang San Siansu mengeluarkan uap tipis
kebiru-biruan ini yang tak pernah diketahui Giok Han. Sebagai orang yang
mempelajari dan mahir mempergunakan juga jurus-jurus Liong-beng kun, Giok Han
tahu, jika jurus ini dipergunakan dengan mempergunakan tenaga berlebihan, bisa
mencelakai dirinya sendiri dan tampaknya memang Tang San Siansu mempergunakan
jurus itu dengan pemusatan tenaga dalam sepenuhnya, bahkan berlebihan, pada
kelima jari tangan, sehingga mengeluarkan asap biru.
Cuma saja Tang San Siansu tak
kekurangan suatu apapun, malah waktu menyerang angin pukulannya begitu tajam
seperti ingin merobek badan Giok Han, biarpun kelima jari tangan itu belum Ingi
menyentuh badannya.
Giok Han tak mengetahui bahwa
Tang San Siansu sudah melatih Liong-heng-kun hampir pada puncak kesempurnaan
juga memang untuk menambah lihainya Liong-beng-kun sengaja Tang San Siansu
teiah merobah cara-cara pernapasannya, sehingga dapat memusatkan tenaga dalam
sepenuhnya pada ke lima ruas jari-jari tangannya tanpa mencelakainya.
Tapi cara berlatih Tang San
Sian su sudah menjurus ke jalan yang sesat, itulah sebabnya mengapa waktu dia
memusatkan tenaga dalamnya pada kelima ruas jari-jari tangannya, keluar asap
yang tipis, kebiru-biruan.
Tanpa membuang waktu Giok
Han-menyambuti pukulan itu dengan mempergunakan tangan kirinya, tangan kanannya
seperti seekor naga mencengkeram dada Tang San Siansu.
"Ihh...!" Tang San
Siansu menjerit kaget, karena Giok Han mempergunakan jurus dari Liong-beng-kun.
Dia bahkan melompat mundur dengan berputar, mengawasi Giok-Han dengan biji mata
yang seperti mau meloncat keluar dari rongga mata.
"Siapa yang mengajarkan
Lioug beng-kun padamu?" Bentaknya bengis.
Giok Han sudah berdiri tegak
lagi, sengaja ia bersikap meremehkan Tang San Siansu, walaupun sebetulnya dia
tetap waspada tak lengah sedikitpun juga.
"Sudah kukatakan, guruku
cukup kau kenal, tapi sayangnya aku tak boleh memberitahukan nama guruku
padamu, kau tak pantas mendengar nama guruku!"
Bagaikan seekor naga yang
meraung murka, kedua tangan Tang San Siansu bergerak-gerak sehingga terdengar
suara: "Syuutttt, kelebak... wuttttt, kelebuk..." disusul dengan
suara tulang-tulang berkerotok di sekujur tubuh Tang San Siansu.
"Beritahukan nama gurumu,
jika memang kau tak mau mati dengan tubuh hancur luluh seperti pasir!"
Teriak Tang San Sjainu penasaran campur murka. Dia menduga-duga, apakah Giok
Han murid gurunya. Tai Giok Siansu ?
Tapi tak mungkin. Usia Giok
Han masih terlalu muda. Juga gurunya tak mungkin menerima murid baru. Apakah
Giok Han murid pendeta-pendeta Siauw Lim Si? Juga tak mungkin. Murid-murid Tai
Giok Siansu. cuma Tang San yang menerima warisan ilmu pukulan Liong beng-kun,
karena itu, dia jadi bingung, siapa guru pemuda ini.
Melihat keringat mengucur
deras dan kulit muka yang merah seperti kulit kepiting direbus, Giok Han tahu
Tang San Siansu dalam keadaan murka dan akan menggunakan seluruh tenaga sakti
dari pukulan Liong beng-kunnya, apa lagi suara kerotokan tulang-tulang di tubuh
Tang San Siansu semakin lama semakin terdengar jelas.
Cu Lie Seng mengawasi dengan
mata terbuka lebar, dia juga heran mengapa gurunya bisa murka begitu, sedangkan
biasanya Tang San Siansu sangat tenang dan meremehkan lawan. Sekarang
gurunyapun tampaknya mempergunakan serta mengerahkan sebagian terbesar tenaga
dalamnya untuk menggunakan pukulan sakti Liong-beng-kun.
Segera Cu Lie Seng tahu akan
terjadi pertempuran yang seru. Tidak urung diapun heran. Mengapa Giok Han bisa
menggunakan jurus Liong-beng kun. Dia yang menerima warisan ilmu pukulan
Liong-beng-kun dari Suhunya, baru memiliki kulitnya saja, belum berhasil
menguasai semua jurus pukulan-pukulan sakti itu, mungkin tak akan sanggup
menyambuti pukulan yang tadi dilakukan Suhunya.
Kenyataannya Giok Han berhasil
memunahkan tenaga pukulan itu seningga Suhunya harus memusatkan pengerahan
tenaga sakti pada lengannya bertambah besar.
Giok Han sendiri sudah
memusatkan tenaga singkangnya, dia tahu sinkangnya belum bisa mengimbangi
sinkang Tang San Siansu, tapi dia sudah diberitahukan oleh gurunya, bagaimana
menghadapi Tang San Siansu.
Dia bersiap-siap dengan mata
awas. Sengaja dia tak menjawab perkataan Tang San Siansu yang mendesak agar dia
mum beri tahukan siapa gurunya, untuk memancing kemarahan Tang San Siansu.
Memang akhirnya Tang San
Siansu tak bisa menahan kemarahan hatinya, kedua tangannya seperti kaki naga
yang mengandung kekuatan mematikan menyerang Giok Han berulangkali.
Sekitar arena perkelahian
tersebut seperti dikuasai oleh deru angin yang bisa mematikan, seperti jerit
hantu dan iblis, yang bisa membikin telinga jadi tuli dan syaraf jadi rusak.
Suara itu keluar dari kedua tangan Tang San Siansu, yang sudah menggunakan
sebagian terbesar tenaga Liong-beng-kunnya.
Jika seseorang berkepandaian
biasa-biasa saja, dalam waktu satu dua jurus saja pasti sudah akan, roboh
dengan syaraf yang jadi rusak. Tapi Tang San Siansu mengalami kesulitan untuk
menjatuhkan Giok Han, sebab tetap saja ia tak berhasil mendesak apa lagi
merobohkan Giok Han.
Pukulan-pukulannya yang
mematikan hanya mengenai tempat-tempat kosong. Jika tak tertangkis oleh tangan
Giok Han, juga hanya mengenai bagian yang lunak seperti kapas, membuat tenaga
pukulan Tang San Siansu tak berdaya menerobos keluar.
Butir-butir keringat
membanjiri muka Tang San Siansu, dia kaget dan penasaran campur marah. Kaget
karena melihat Giok Han seperti memiliki semacam ilmu pukulan yang setiap
jurusnya bagaikan mengimbangi dan mengiringi Liong-beng-kun, sehingga setiap
pukulan Liong-heng-kunnya seperti lenyap tak berarti apa-apa.
Juga, sinkang pemuda yang
masih berusia sangat muda ini, tidak rendah. Ini yang mengherankan Tang San
Siansu, Penasaran karena dia tak bisa mendesaknya dengan Ltong-beng-kun pada
pemuda ini dan di saat itu sekali-sekali Giok Han malah bisa membuat Tang San
Siansu harus menarik pulang tenaga pukulannya sebab tenaga pukulan Giok Han
juga tak kalah mematikan dari sinkang yang dipergunakannya.
Tergoncang hati Tang San
Siansu. Dia kuatir bukan main, kalau-kalau pemuda ini memiliki semacam ilmu
yang merupakan tumbal dan penangkis Liong-beng-kunnya. Tapi, dia juga semakin
bertekad hendak membinasakan Giok Han. Kalau pemuda ini tak dibunuhnya, kelak
merupakan duri yang bisa mencelakai dirinya. Sekarang saja dalam usia demikian
muda Giok Han bisa menerima dan menyambuti pukulan-pukulan Liong-beng-kunnya
tanpa kurang suatu apapun juga, bahkan masih sempat balas menyerangnya, kalau
sepuluh tahun lagi, niscaya Giok Han menjadi seorang yang bisa saja mengatasi
Liong-beng-kun serta memiliki kepandaian yang lebih dahsyat dari Tang San
Siansu.
Suara berkesiutan tenaga dalam
dari kedua tangan Tang San Siansu memenuhi arena perkelahian tersebut, bumi
bergoncang seperti ada gempa bumi, juga hawa udara jadi panas, karena dari
kedua tangan Tang San Siansu memancarkan hawa panas, karena cepatnya berputar
kedua tangan itu, hawa panas itu seperti memenuhi arena pertempuran tersebut.
Giok Han sendiri kaget dan
kagum tidak terkira. Kaget melihat tingkat latihan Tang San Siansu sudah
demikian tinggi. Kagum karena Liong-beng-kun benar-benar merupakan jurus
pukulan yang dahsyat, setiap pukulannya mengandung maut.
Karena usianya yang masih
muda, juga kalah pengalaman maupun latihan tenaga dalam, Giok Han merasa
tertekan berat sekali menghadapi Liong-beng-kun lawan. Cuma saja, berkat
petunjuk-petunjuk yang diberikan Tai Giok Siansu yang khusus harus dipergunakan
kalau menghadapi Liong beng-kun, sejauh itu Giok Han masih sanggup menghadapi
Tang San Siansu.
Kedua orang itu bertempur
semakin lama meningkat pada keadaan yang menentukan. Kedua kaki Tang San Siansu
sudah tak menggeser lagi, dia hanya berdiri tegak diam di tempatnya, kedua
tangannya yang menyerang beruntun dan gencar sekali, dengan tekanan tenaga
dalam yang semakin lama semakin ganas.
Telapak kakinya semakin lama
semakin melesat masuk ke dalam setiap kuda-kuda kakinya sudah menggempur tanah,
dan masuk ke dalam perlahan-lahan.
Giok Han sendiri, biarpun
kalah lwekang, tapi karena dia memang sudah mempelajari jurus-jurus pukulan
untuk memunahkan Liong-beng-kun, berhasil menghadapi terus, kakinya tak urung
ikut melesat juga, sebab tenaga kuda-kuda kedua kakinya tak kalah dahsyatnya
dari Tang San Siansu.
Semakin lama kedua orang itu
berdiri semakin rendah, tenaga yang mereka pergunakan sangat menentukan sekali.
Sedikit saja mereka kalah tenaga ataupun juga lengah menghindar, niscaya akan
menemui kematian di saat itu juga.
"Pendeta busuk tak tahu
malu!"
Tiba-tiba terdeagar suara nyaring
yang disusul dengan tersiarnya bau harum yang menusuk hidung. Tang San Siansu
dan Giok Han mencium harum semerbak itu, mereka merasakan kepala masing-masing
pusing. Tang San Siansu kaget tak terkira. Dia sedang memusatkan delapan bagian
tenaga dalamnya, jika menarik kembali tenaga dalamnya dengan tiba-tiba, dirinya
bisa celaka, tenaga dalamnya akan berbalik mencelakai dirinya.
Tapi jika dia tak melompat
mundur, harum semerbak itu semakin santer menerjang hidungnya, dia tahu itu
adalah asap beracun, yang akan menyebabkan dia celaka juga.
Giok Han sendiri tak kurang
kagetnya, karena merasakan kepalanya pusing, matanya berkunang kunang. Dirinya
tengah dilibat oleh pukulan-pukulan Tang San Siansu. Dia berusaha untuk menahan
napas, tapi hawa udara beracan telah sempat tersedot masuk hidungnya.
Dalam keadaan seperti itu,
tampak rlua butir benda bulat menyambar ke muka Tang San Siansu, meledak di
depan muka- pendeta itu. Tak ada pilihan lain buat Tang San Siansu, dia harus
lompat menjauhi diri, karena ledakan itu mengandung asap beracun. Semula, kedua
benda itu sebelum meledak, menyambar akan menghantam mukanya, tapi terhalang
oleh kekuatan tenaga Liong-beng kun Tang San Siansu, mukanya seperti dilapisi
oleh sebidang dinding yang tak tampak oleh penglihatan, dan seperti juga
membentur sesuatu yang keras tapi tak terlihat, menyebabkan kedua benda itu
meledak.
Cepat-cepat Tang San Siansu
meloncat ke belakang, kedua tangannya telah ditarik mundur, Liong-beng-kunnya
dipergunakan untuk menyerang ke tengah udara, menyalurkan tenaga dalam yang
ditarik pulang itu agar tak berbalik menyerangnya, dibuang ke tengah udara.
Giok Han sendiri merasakan
tubuhnya bergoyang-goyang hampir tak bisa mempertahankan diri berdiri terus
menghadapi tenaga Liong beng-kun Tang San Siansu, tiba-tiba merasakan tenaga
menekan yang semula begitu menyesakkan napas, telah lenyap. Tak buang waktu
lagi dia loncat menjauhi diri dari Tang San Siansu. Tidak urung tubunnya
terhuyung ketika kedua kakinya hinggap di tanah.
Di tempat tersebut sudah tambah
seseorang. Tubuhnya kurus semampai, mukanya cantik, kunnya terbuat dari sutera
ungu, dengan rambut yang disanggul rapi. Dia seorang gadis yang matanya sangat
jeli dan berbulu mata lentik. Sikapnya gagah sekali.
"Pendeta jahat, ilmumu
terlalu ganas dan sesat." Menggumam gadis itu dengan sikap seenaknya.
"Coba kau terima lagi peluru-peluru asapku!"
Sambil berkata begitu tangan
si gadis memang sudah bergerak melontarkan belasan butir benda bulat ke arah
muka Tang San Siansu, sehingga si pendeta mengibaskan lengan jubahnya untuk
menghalau benda-benda bulat itu, yang meledak setiap kali kena dikibas lengan
jubah si pendeta, keluar asap yang tebal dan berbau harum semerbak: merupakan
asap beracun.
Cu Lie Seng dan yang lainnya
ke:ika melihat munculnya gadis itu yang demikian tiba-tiba mereka, segera
bergerak hendak mengepung gadis itu. Tapi gadis cantik jelita tersebut sudah
melepaskan belasan butir benda bulat itu, yang meledak dan mengeluarkan asap
beracun yang sangat tebal. Untuk sejenak Cu Lie Seng tak berani menorobos
gumpalan asap beracun itu, demikian juga halnya dengan Tong-mo dan yang
lainnya.
Mendadak Giok Han merasa
tangannya ditarik seseorang, dan mendengar gadis itu berbisik di dekatnya:
"Ayo cepat menyingkir!" Dia juga merasakan ada sesuatu yang
dimasukkan ke dalam mulutnya, sejuk sekali, dan lenyap perasaan pusing dan
mualnya. Dia merasa tangannya itu ditarik terus, sehingga dia seperti terseret.
Rupanya mempergunakan
kesempatan waktu asap beracun itu bergumpal tebal, si gadis berusaha menyelamatkan
Giok Han yang ditariknya agar meninggalkan tempat tersebut. Giok Han yang
pikirannya waktu itu melayang layang setengah sadar karena terpengaruh asap
beracun, hanya ikut berlari saja.
Setelah beberapa saat lamanya,
rupanya obat pulung yang sejuk yang tadi masuk ke dalam mulutnya mulai bekerja,
dia baru bisa mengerahkan tenaga dalamnya, untuk berlari lebih cepat.
Tang San Siansu marah-marah
mengibas-ngibaskan lengan jubahnya, guna membuyarkan gumpalan asap beracun. Dia
batuk-batuk, berusaha menahan pernapasannya. Sempat juga Tang San Siansu
memperingatkan murid dan kawan-kawannya; "Tahan pernapasan, asap ini
beracun!"
Angin telah membuat asap itu
semakin lama buyar semakin tipis, akhirnya tempat itu bersih dari pengaruh asap
dan mereka bisa melihat lagi dengan jelas.
Namun di situ sudah tak tampak
Giok Han maupun si gadis yang pandai melontarkan peluru berasap yang mengandung
racun. Bukan kepalang marahnya Tang San Siansu.
"Kejar dan bekuk
mereka!" Serunya. Dia juga jadi kuatir, merasakan hatinya dingin sekali,
ada perasaan aneh yang menakutkan, kalau dia berpikir Giok Han bisa lolos dari
tangannya. Dia tahu, ancaman sangat menakutkan kalau pemuda itu bisa lolos dari
tangannya. Keringat dingin mengucur dari kening Tang San Siansu. Belum pernah
dia merasa gentar seperti saat itu. Karena dia menyadari bahwa Giok Han
menguasai semacam ilmu yang tampaknya untuk menindih dan mengatasi
Liong-beng-kun !
Cu Lie Seng dan yang lainnya
sudah berusaha mencari Giok Han dan gadis itu, tapi mereka tak berhasil menemui
kedua orang itu. Orang yang mereka kejar seperti lenyap ke dalam perut bumi,
tak kelihatan bayangannya lagi. Lama juga setengah harian Cu Lie Seng, Tong mo.
Pak mo, Lam-mo dan See-mo mencari Giok Han dan gadis yang menolonginya, tapi
usaha mereka gagal.
Dengan uring-uringan Tang San
Siansu mengajak mereka pulang, tapi sepanjang perjalanan pendeta ini
marah-marah tak sudah-nya, Cu Lie Seng dimaki terus menerus dengan keras, dan
diperintahkan mencari jejak Giok Han dan gadis itu.
ooo)0(ooo
Setelah berlari cukup lama,
kesadaran Giok Han pulih kembali. Pengaruh asap beracun yang tadi sempat
terhisap olehnya kini sudah berkurang. Dia merasa malu tangannya digenggam oleh
gadis cantik disebelahnya, yang mengajaknya berlari. Ditarik tangannya, tapi
gadis itu menggenggam kuat.
Karena Giok Han menarik
tangannya, gadis itu menghentikan larinya. "Kita sudah lolos dari mereka !
Tempat ini jarang didatangi manusia ! "Menjelaskan si gadis.
Giok Han menoleh kekiri kanan.
Ternyata dia berada di sebuah lembah, yang memiliki pemandangan sangat indah.
Sejenak Giok-Han terpukau oleh pemandangan yang ada di sekitar tempat itu. Tadi
dia tak memperhatikan sekelilingnya, karena dia dalam keadaan terpengaruh astp
beracun. Sekarang setelah pengaruh asap beracun itu lenyap, dia baru menyadari
bahwa dirinya berada di suatu tempat yang demikian indah dan tertutup oleh
tebing-tebing yang sangat tinggi menjulang ke langit.
"Telanlah pil penawar
racun." kata gadis itu sambil mengulurkan tangannya memberikan dua butir
pil pada Giok Han. "Tadi sudah kau telan dua butir pil sehingga
kesehatanmu tak perlu dikuatirkan lagi, tak membahayakan asap beracun yang
sudah kau hirup bersama dengan napasmu. Tapi, untuk membersihkan badanmu dari
pengaruh racun itu, kau harus menelan lagi dua butir. Hayo, telanlah."
Giok Han menelan pil itu,
tanpa ragu-ragu menelannya. Kemudian dia merangkapkas tangannya mengucapkan
terima kasih. Hatinya waktu itu sedang coba mengmgat-ingat, karena rasanya dia
sering mendengar suara sepeti si-gadis, suara yang sering didengarnya, nadanya
maupun irama kata-katanya.
Dia juga seakan-akan merasa
pernah bertemu dengan gadis ini, namun dia tak ingat entah di mana pernah
bertemu dengan ; adis di depannya, yang demikian cantik, berpakaian mentereng
dan mewah, manis senyumnya, tajam matanya berbulu lentik serta memiliki bentuk
yang menarik.
Rambutnya yang hitam digelung
dua merupakan sanggul yang sangat rapi. Bibir-nya yang tipis selalu tersenyum
manis. Canggung buat Giok Han berhadapan dengaa gadis secantik ini, kulitnya begitu
putih mulus dan seperti lapisan salju di musim dingin saja. Suara gadis itu
merdu, tapi suara itu serasa dikenalnya, sering mendengarnya, tapi di mana ?
Waktu dia memberi hormat, dia diam-diam memperhatikan wajah si gadis.
Gadis itu tersenyum. "Kau
masih pusing?" tanyanya, halus.
"Terima kasih, nona. Pil
penawar racun yang diberikan nona ternyata bekerja cepat sekali, sekarang rasa
pusing dan mual sudah lenyap, tapi . . . mengapa nona menempuh bahaya
menolongiku ?"
Gadis itu tersenyum. "Kau
kira, hanya engkau yang bermusuhan dengan Tang San si pendeia jahat itu ? Kau
tahu, dia merupakan musuh besarku. Kau mungkin saja memiliki dendam yang besar
padanya, tapi justeru dendamku melebihi besarnya dari dendammu pada si pendeta
jahat itu !"
Giok Han mengawasi gadis ini.
Usianya masih muda. Cantik jelita. Biasanya wanita cantik paling pantang
mempelajari ilmu silat. Giok Han tak percaya bahwa gadis semuda ini memiliki
kepandaian tinggi, karena wanita paling kuatir kalau tangan dan kakinya berobah
jadi berotot-otot besar dan kasar.
Kenyataannya justeru gadis ini
memiliki kepandaian tinggi, ginkangnya juga cukup tinggi, karena waktu tadi dia
menyeretnya, dia bisa membawanya lari begitu cepat, buat menyingkir dari Tang
San Siansu dan anak buahnya. karenanya, diam-diam Giok Han merasa kagum pada
gadis ini.
Sekali lagi kuucapkan terima
kasih atas pertolongan nona Terlepas apakah nona juga menaruh dendam pada Tang
San Siansu, aku telah menerima pertolongan nona sehingga terlepas dari kepungan
mereka."
"Jangan selalu bilang
terima kasih! Ka-lau memang tidak memiliki tujuan yang sama, yaitu sama-sama
memusuhi Tang San si pendeta jahat apakah kau kira aku mau menempuh bahaya
menolongi kau?" bilang gadis itu sungguh-sungguh. "Karena memiliki
tujuan yang sama, maka aku bersedia bersahabat dengan kau."
"Baiklah nanti kita
menghadapi Tang San Siansu bersama-sama. Dengan bekerja sama tentu kita bisa
menghadapi Tang San Siansu dan orang-orangnya jauh lebih baik! Sebetulnya,
bicara soal dendam, aku tak mem punyai dendam apa-apa padanya, cuma mempunyai
tugas untuk membasmi dia karena sepak terjangnya yang ganas dan ini atas
perintah guruku, sebab Tang San Siansu merupakan murid murtad dari salah
seorang di antara murid murid guruku."
"Tapi kau juga mau
membantuku untuk menghadapinya, bukan?"
"Tentu saja, sudah
kuberitahukan bahwa aku juga mempunyai tugas yang diberikan guruku untuk
membasminya. Kalau kau memang tak keberatan nona, bolehkah kuketahui namamu?
"
"Aku she Cang. Ayahku
Cang O Han." menjelaskan si gadis.
Giok Han jadi merasa lucu,
karena ditanya nama kok malah memberi tahukan nama ayahnya. Mungkin gadis ini
keberatan buat memberi tahukan namanya padanya. Dia tidak memaksa terus.
"Oya, kau belum lama yang
lalu mempunyai sahabat, bukan?" tanya gadis ini sambil memperhatikan Giok
Han yang tersenyum senyum mengawasinya. Giok Han jadi heran, lenyap senyumnya,
"siapa sahabatku yang kau maksudkan?" tanyanya.
"Hemm" sigadis
tersenyum sinis "Kau mengakui seseorang sebagai sahabatmu, tapi baru
berpisah beberapa hari saja sudah kau lupakan!"
"Maaf nona Cang, kalau
kau tak memberitahukan siapa sahabatku yang kau maksudkan, bagaimana mungkin
aku mengetahui siapa yang kau maksudkan ?"
Gadis itu tak berkata apa-apa,
dia memutar tubuhnya, memandang tebing yang tinggi menjulang ke langit, dia
menggumam: "Benar. lidah tak bertulang dan manusia selalu bicara manis.
Sahabat, sahabat, sahabat, tapi itu di mulut dan merupakan kata-kata basa-basi
sebagai pemanis. Sesungguhnya, sulit sekali mencari sahabat sejati didalam
dunia ini !"
Giok Han tambah heran
menyaksikan kelakuan nona Cang, dia mengawasi dengan hati merasa tak enak,
karena itu mungkin menyangka dia berpura-pura.
Tiba-tiba nona Cang memutar
tubuhnya mengawasi tajam pada Giok Han. "Sekarang kau mempunyai sahabat
berapa orang?" tanyanya.
"Tidak banyak. Hanya
beberapa orang."
"Hanya beberapa orang ?
Tapi yang belakangan ini orang yang menjadi sahahatmu itu ada beberapa orang ?
Maksudku selama beberapa bulan terakhir ini ?"
Giok Han coba ingat-ingat.
Kemudian: "Ada beberapa orang."
"Siapa-siapa ?"
tanya gadis itu, wajahnya berobah.
"Sahabatku yang pertama
adalah seorang yang sulit diketahui siapa dia sebenarnya, dia tak pernah mau
memberitahukan namanya dia juga berpakaian kurang rapi, sebagai pengemis."
menjelaskan Giok Han.
Si gadis memotong:
"Seorang pengemis kotor mesum mengapa harus kau akui sebagai sahabat ? Apa
lagi kau bilang dia berpakaian jorok dan tidak rapi, mesum sekali tentunya,
mana pantas menjadi sahabatmu ?"
Giok Han cepat menggeleng.
"Sahabat sejati tidak melihat kaya-miskin, biar dia berpakaian tidak rapi,
tapi dia mempunyai pendirian dan sifat yang gagah yang patut dikagumi. Tapi...
tapi akhirnya kuketahui dia seorang gadis...!"
Berkata sampai di situ,
mendadak Giok-Han menepuk tangannya dan berjingkrak seperti kaget campur
girang- "Ahhh. . Sekarang aku tahu ! Aku tahu !"
Gadis itu menatapnya heran,
dia bertanya ragu-ragu :"Apa yang kau ketahui?"
"Aku sudah ketahui
!" menyahut Giok-Han sambil mengawasi gadis di depannya sambil
tersenyum-senyum. Kau adalah sahabatku itu ! Kaulah.. si pengemis itu"
Tapi berkata begitu Giok Han menyesal sendirinya. Mana mungkin dia si pengemis
merupakan nona secantik dan berpakaian demikian mewah? Tapi waktu menyebut si
pengemis diketahui pada akhirnya adalah seorang wanita, dia jadi teringat akan
suara si pengemis, yang nada dan suaranya sama dengan nada suara gadis
didepannya.
Memang waktu pengemis itu
melarikan diri ketika kopiahnya terpukul jatuh sehingga rambutnya turun beriap,
Giok Han tak bisa melihan jelas. Justru merasa suara nona Cang sama dengan
suara si pengemis, dia jadi menduga begitu, namun dia jadi menyesal serdiri.
Tak mungkin gadis secantik nona Cang mau berpakaian sebagai pengemis yang kotor
mesum seperti itu.
Gadis itu sudah memandangnya
sambil tersenyum. "Kau bilang aku si pengemis sahabat itu!"
Giok Han memandang ragu-ragu,
namun akhirnya dia bilang bimbang: "Nona jangan marah, tapi. .... suaramu
sangat sama seperti sahabatku itu !"
"Coba kau perhatikan
baik-baik, apakah aku mirip sahabatmu itu ?"
Giok Han memperhatikan si
gadis. Diiihatnya pipi si gadis memerah malu, berwarna dadu, menambah mukanya
semakin cantik saja. Dia ragu-ragu. Gadis ini demikian cantik jelita, tak
mungkin menganut penghidupan sebagai pengemis. Pakaiannya demikian mewah dan mentereng,
memakai perhiasan bermacam-macam berkilauan. Tapi, bentuk dan tinggi tubuhnya
memang hampir sama dengan sipengemis. Dia jadi semakin ragu-ragu.
"Bagaimana? Miripkah aku
dengan sahabatmu itu ?* tanya gadis itu lagi.
"Bentuk badan nona memang
mirip dengan bentuk badannya, juga tinggi tubuh nona... suara nona juga sama,
tapi.... mana mungkin sahabatku itu adalah kau... kalian merupakan langit dan
bumi, satu dengan yang lainnya sangat berbeda. Sahabatku itu adalah pengemis
yang berpakaian tak rapi, muka yang selalu kotor, sedangkan kau adalah gadis...
gadis yang cantik jelita dan... dan berpakaian demikian bagus."
Pipi nona Cang berobah
mendengar kata-kata Giok Han yang secara tak langsung memujinya. Dia sampai
mendehem sambil menunduk. "Apakah sahabatmu itu... secantik... secantik
aku ?" tanya nona Cang kemudian, suaranya perlahan.
"Aku tak melihat jelas
mukanya, karena mukanya sangat kotor corang-coreng oleh debu dan diapun memakai
kopiah. Waktu bertempur dengan orang-orang Cu Lie Seng, kopiahnya jatuh dan
tampak rambutnya panjang, tapi aku tak keburu melihat jelas, dia sudah pergi
meninggalkan aku. Sejak saat itu kami tak pernah bertemu lagi."
"Bagaimana kalau
sahabatmu itu sekarang datang lagi, apakah setelah kau ketahui dia seorang
gadis, maka masih tetap akan menganggapnya sebagai sahabatmu ?" tanya nona
Cang sambil mengawasi Giok Han sungguh-sungguh.
Giok Han bukan seorang yang
tolol. Dia bahkan seorang pemuda yang cerdas. Cuma saja, dia sering merasa
kikuk kalau berhadapan dengan seorang gadis, apa lagi gadis yang cantik jelita.
Dugaannya semakin keras bahwa gadis ini adalah si pengemis.
Cuma dia masih ragu ragu belum
berani memastikannya. Dia mengawasi gadis ini tajam dan cermat, sampai akhirnya
dia bilang: "Seorang sahabat sejati tentu tak melihat apakah dia kaya
miskin atau dia pria dan wanita, yang terpenting adalah pengertian dan
persahabatan yang murni, karenanya kalau memang sahabatku itu datang dan kami
bertemu, tetap saja dia sahabatku."
Si gadis tersenyum. Manis
senyum nona Cang, dia bilang: "Kalau begitu kita tetap bersahabat. Akulah
si pengemis kotor mesum itu !"
Walaupun sejak tadi sudah
memiliki dugaan bahwa gadis didepannya ini, yang mempunyai suara sama seperti
suara si pengemis juga bentuk tubuhnya, adalah sahabatnya itu, tapi tak urung
Giok Han jadi kaget juga. "Kau... kau benar sahabatku itu ?"
Si gadis tersenyum. "Kau
tunggu di sini." Dia kemudian berlari-lari menyelinap ke balik sebungkah
batu dipinggir tebing. Giok Han menunggu dengan hati bertanya-tanya entah apa
yang hendak dilakukan nona Cang. Tak lama kemudian nona Cang telah keluar
kembali, tapi sekarang keadaannya sudah berobah benar, karena yang muncul bukan
nona Cang yang cantik jelita dan berpakaian mewah, melainkan seorang pengemis!
Pengemis yang jadi sahabatnya, yang selama ini telah menghilang tak diketahui
jejaknya.
Mukanya kotor, kopiahnya
dibeleseki sampai menutupi keningnya, pakaiannya compang-comping. Dia berjalan
berlenggang lenggok menghampiri Giok Han. "Nah, aku sahabat mu, bukan
?"
Giok Han mengawasi tertegun
sejenak, tapi tertawa keras. Dia girang bisa bertemu lagi dengan sahabatnya
ini, cuma yang tak disangkanya justeru sahabatnya itu adalah seorang gadis yang
cantik jelita menawan hati yang disembunyikan di balik pakaian yang
compang-camping dan muka yang kotor.
"Nona Cang, kau rupanya
selama im mempermainkan aku !" kata Giok Han tertawa.
"Jangan memanggilku nona
Cang, bukankah biasanya kau memanggilku dengan sebutan "sahabat"?
Mengapa sekarang kau robah cara memanggilmu, apakah aku sudah tak menganggap
aku sebagai sahabatmu lagi ?"
Pipi Giok Han merah, dia
tertawa. "Kau jangan salah paham...aku...aku semula tak tahu siapa namamu,
maka aku menyebutmu dengan "sahabat" selalu, sekarang setelah
kuketahui namamu..."
"Sekarangpun kau belum
mengetahui namaku." Memotong si gadis.
Giok Han tertegun, namun dia
tertawa dan mengangguk.
"Benar, sampai sekarang
aku belum mengetahui namamu. Tapi.... namaku tentu kau sudah tahu. Sekali lagi
dalam kesempatan ini kuperkenalkan diri, namaku Giok Han."
"Namamu sudah kuketahui,
berapa kali sudah kau beritahukan padaku ! Sampai bosan mendengarnya ! Dengan
bicara seperti itu kau hendak memancingku, agar memberitahukan namaku. Kau
jangan mimpi ! Aku tak mungkin dapat kau pancing dengan cara seperti itu."
"Nona manis, jangan
bilang begitu. Tentu saja sebagai sahabat, aku harus mengetahui namamu."
Kata Giok Han tertawa.
Pipi nona Cang berobah merah,
dia menunduk malu mendengar Giok Han memanggilnya dengan sebutan nona manis.
Apa lagi didengarnya Giok Han sudah bilang lagi:
"Kalau kau tak mau
memberitahukan namamu, biarlah selanjutnya aku memanggilmu nona manis, Nona
manis yang baik, kemana saja selama ini kau pergi, sampai aku mencari-carimu ke
penjuru tempat bercapai lelah tanpa menemukan jejakmu."
"Ihhh, mulutmu ternyata
ceriwis. Kalau kau tetap bersikap ceriwis, aku tak sudi bersahabat denganmu
lagi !" kata si gadis seperti mengambek.
"Nah, kalau kau tak mau
aku memanggilmu dengan sebutan nona manis, beritahukan dong namamu."
"Namaku jelek, nanti kau
mentertawakan."
"Jelek atau bagus, tetap
nama dari sahabatku. Kalau ada orang yang berani mengejek dan menghina nama
sahabatku, pasti akan kuhajar orang itu agar kapok!" kata Giok Han
bersemangat.
Pipi si gadis berobah merah,
biarpun mukanya sudah dikotori oleh debu dan tanah tetap saja masih tampak
kecantikannya. Dia melirik dan berkata malu: "Namaku .... In Bwee."
Perlahan sekali suaranya, hampir tak terdengar.
Mendadak si nona Cang jadi
kaget, karena Giok Han menjura berkali-kali padanya sambil berkata:
"Terima kasih nona Cang... terima kasih, kau sudah mau memberitahukan
namamu, itu tandanya kau memang mau bersahabat denganku !"
Cepat-cepat Cang In Bwee
menyingkir ke samping tak mau menerima hormat Giok Han. "Jangan begitu
akh, seperti anak nakal saja kau...!" Mulutnya cemberut, tapi hatinya
senang sekali.
"Aku senang sekali
mempunyai sahabat yang cantik seperti kau !" bilang Giok Han polos, namun
pemuda ini cepat jadi menyesal, karena dia kuatir nanti kata-katanya yang
diucapkan setulus hati itu bisa menyebabkan nona Cang salah paham dan
menganggapnya dia seorang yaug ceriwis dan kurang ajar.
"Bohong !" kata nona
Gang sambil geleng-kan kepala, "Aku tak percaya kau cuma bersahabat
denganku. Buktinya, kau mempunyai sahabat lain, yang cantik manis, yang telah
mentraktir kau makan minum, yang tampaknya... tampaknya begitu sayang padamu
!"
Berkata sampai di situ muka si
gadis berobah merah. Tampaknya malu dan sudah terlanjur berkata demikian.
Cepat-cepat da meneruskan: "Perduli apa sahabatmu itu denganku... cuma aku
ingin mengingatkan padamu, bahwa kau juga mempunyai sahabat-sahabat lain selain
diriku."
"Maksudmu . . . nona Cu
?" tanya Giok Han.
"Ya, bukankah dia sangat
cantik ? Sangat manis sikapnya padamu ?"
"Dia memang sangat baik,
tapi aku kurang... kurang menyukainya."
"Mengapa ? Dia sangat
baik dan manis budi, juga sangat cantik jelita."
"Dia she Cu, sama dengan
she musuh besarku."
"Oooo ..." si gadis
tak menggoda lebih jauh... Siapa musuh besarmu itu ?"
"Cu Bian Liat..."
menyahuti Giok Han dengan sikap sengit, mukanya jadi bersungguh-sungguh dan
keras, matanya bersinar tajam, karena waktu itu hatinya bergolak marah teringat
keluarganya telah dibinasakan dan dimusnahkan oleh orang she Cu tersebut.
"Oooo, Cu-kongkong itu ?" tanya Cang In Bwee kaget.
Giok Han mengangguk. Giginya
berkeretekan, karena dia gegetun sekali, "Benar, dia musuh besarku. Dalam
waktu dekat aku akan mengadakan perhitungan dengannya !"
"Mengapa kau bermusuhan
dengan orang kepercayaan Kaisar ?" tanya Cang In Bwee tertarik.
Giok Han menghela napas, dia
ragu-ragu, tapi kemudian menceritakan apa yang telah menimpah keluarganya. Cang
In Bwee sekarang tak bersikap ugal-ugalan seperti tadi, karena dia sekarang
memandang iba dan kasihan kepada Giok Han. Dia juga kaget mengetahui Giok Han
adalah satu satunya keturunan Jenderal Giok Hu yang sangat terkenal dan telah
menjadi korban fitnah itu.
"Kalau begitu kita
senasib. Keluargaku juga telah dihancurkan tangan bengis seorang manusia sadis.
Aku pun sudah yatim piatu sejak kecil." Muka nona Cang berubah muram dan
sedih.
"Keluargamu juga
dihancurkan seseorang ?" tanya Giok Han yang sekarang jadi kaget.
Cang In Bwe mengangguk.
"Ya, keluargamu dihancurkan oleh Cu kongkong, keluargaku juga dihancurkan
tapi oleh orang lain, yaitu Tang San si pendeta jahat itu ! Ayah ibuku
dibinasakannya, beberapa orang saudara ku, dua kakak laki-laki dan tiga orang
adik perempuanku telah dibinasakan juga. Cuma aku seorang yang berhasil lolos
dari kematian, itupun berkat pertolongan guruku..."
"Keluargamu dihancurkan oleh
Tang San Siansu?" tanya Giok Han menegasi.
"Ya. karenanya aku
sekarang hendak membalas sakit hatiku padanya!" Mengangguk nona Cang.
"Kau... kau tentu mau membantuku menghadapinya, bukan?"
Dengan bersemangat segera Giok
Han menyahuti. "Tentu saja aku mau membantumu. Biarpun keluargamu
dihancurkan Tang San-Siansu, tapi yang harus bertanggung jawab adalah Cu Bian
Liat. Bukankah Tang San Siansu juga bekerja pada keluarga Cu itu, menghamba dan
menjadi guru puteranya Cu Bian Liat, yaitu Cu Lie Seng."
Cang In Bwee berjingkrak
dengan muka merah padam, dia berseru bersemangat. "Tang San si pendeta
jahat dan Cu Bian Liat memang harus dibasmi, mereka berdua sama-sama manusia
berhati iblis, yang selalu mencelakai orang lain!"
Kemudian dia menoleh pada Giok
Han, katanya lagi: "Kalau begitu, kita akan bekerjasama untuk membasmi
kedua orang itu."
Giok Han mengangguk
bersemangat sekali menghampiri si gadis, menggenggam tangan Cang In Bwee.
katanya dengan gagah: "Ya aku akan bekerjasama dengan kau untuk membasmi
Tang San Siansu dan Cu Bian Liat."
Mendadak Giok Han ingat dia
telah memegang tangan si gadis, mukanya jadi merah dan cepat-cepat melepaskan,
Sedangkan Cang In Bwee waktu dipegang tangannya, pipinya terasa panas, dia malu
bukan main, tapi tak ditariknya tangannya dibiarkan si pemuda memegangnya,
sampai akhirnya si pemuda melepaskan genggamannya itu. Tangan yang sangat
hangat sekali.
"Maaf," kata Giok
Han sambil menunduk malu. "Aku terlalu lancang dan kurang ajar berbuat tak
sopan."
Cang In Bwee menggeleng.
"Kau adalah sahabatku," katanya menghibur. "Kau seorang sahabat
yang baik, aku percaya kau tak mempunyai tujuan-tujuan yang buruk, sejak
pertama kali kulihat segera kutahu kau adalah seorang yang baik hati seorang
laki-laki jantan! Tapi aku menyesal telah mempermainkanmu, aku ingin minta maaf
padamu."
"Mempermainkan aku? Kapan
dan bagai mana kau mempermainkan aku?" tanya Giok Han heran.
"Aku pernah membuat kau
pusing dan terheran-heran, karena pelayan rumah penginapan telah kuberikan
sejumlah uang dan membayarkan semua makan dan menginapmu di rumah penginapan
tersebut, dengan demikian selalu membuat kau heran karena selalu ada orang yang
telah membayarkan makanmu."
"Oooooh kalau begitu yang
selama ini mempermainkanku adalah kau!" berseru Giok Han. Meudadak dia
tertawa dan menepuk jidatnya. "Benar-benar aku tolol!"
"Apa yang kau
tertawakan?" tanya Cang In Bwee.
"Aku benar-benar tolol!
Kalau siang-siang aku tahu yang membayarkan makanku dan juga mengaku sebagai
calon... calon isteriku adalah kau, tentu aku tidak akan... tidak akan
repot-repot menyelidiki, akan menerimanya dengan girang!"
Setelah berkata begitu Giok
Han nyengir.
Muka Cang In Bwee berobah
merah, dia melengos. "Kalau mulai ceriwis, kalau kau berani ceriwis lagi,
aku tak akan meladenimu !"
"Tidak berani lagi, nona
manis. Kau adalah sahabatku, bukankah wajar seorang sahabat membayarkan makan
sahabatnya?" kata Giok Han cepat, karena dia tahu si gadis merasa malu dan
canggung. "Aku berterima kasih sekali padamu karena telah membayarkan
semua makanku. Sayangnya waktu itu aku tak mengetahui, sehingga tak bisa
cepat-cepat mengucapkan terima kasih padamu."
"Sudah jangan menggodaku
terus. Sekarang kita harus memikirkan dengan cara apa harus menghadapi Tang San
si pendeta jahat. Dia memiliki ilmu yang sangat tinggi dan bukan lawan yang
mudah dihadapi."
"Nanti akan kita
rundingkan caranya yang terbaik. Sekarang kau ceritakan dulu mengapa keluargamu
dicelakai Tang San Siansu?""
Muka si gadis berobah murung,
namun dia menceritakan juga riwayatnya. Sambil bercerita, air matanya sudah
berlinang membasahi pipinya dan jatuh tetes demi tetes.
Ternyata Cang Ing Bwee puteri
Cang Ce Han, seorang tokoh persilatan yang sudah menyimpan pedang dan
mengundurkan diri. Tetapi siapa tahu, pada malam malapetaka itu, muncul Tang
San Siansu dengan anak buahnya membasmi keluarga Cang.
Sebagai seorang kiam-kek (ahli
pedang) tentu saja Cang Ce Han tak mau berdiam diri begitu saja, segera
memberikan perlawanan dan dia terbinasa di tangan Tang San Siansu. Sedangkan
isterinya dan lima orang anaknya dibinasakan oleh anak buah Tang San-Siansu.
Dari keenam orang anaknya,
hanya Cang Ing Bwee yang berhasil lolos, karena waktu terjadi keributan dan
malapetaka yang menimpa keluarga Cang, kebetulan Toat-beng-sinciang berada di
situ, dan segera melarikan Cang In Bwee, lolos dari tangan maut Tang-San
Siansu.
Toat-beng-sin-ciang berada di
rumah keluarga Cang karena sedang bertamu, dia sahabat Cang Ce Han. Dia rasa
tak sanggup menghadapi Tang San Siansu, dia segera meloloskan diri bersama Cang
In Bwee. Hal inilah yang seringkali disesalkan oleh Toat-beng-sin ciang karena
dia menyesal tak bisa membantu temannya menghadapi rombongan Tang San Siansu
yang begitu banyak dan semuanya memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
Berhasilnya lolos Cang In Bwee
menyebabkan keluarga Cang tak putus keturunan, dia dirawat oleh
Toat-beng-sinciang, yang sejak terjadi peristiwa itu telah menyembunyikan diri
dan tak muncul lagi dalam rimba persilatan, karena seluruh perhatian dicurahkan
buat mendidik Cang In Bwee.
Dia juga telah menciptakan
beberapa jurus pukulan baru, untuk muridnya ini. Waktu itu Cang In Bwee baru
berusia 8 tahun, selama delapan tahun dia belajar di bawah gemblengan gurunya.
Kemudian dia turun gunung, selama dua tahun dia menyelidiki jejak Tang San
Siansu, akhirnya berhasil.
Dia seorang gadis yang nakal,
dia sengaja berpakaian sebagai pengemis untuk mencegah kerewelan karena dia
memiliki wajah sangat cantik dan bentuk tubuh sangat bangus. Gurunya yang
perintahkan dia selama mengembara agar menyamar sebagai pengemis kotor dan
mesum.
Dengan cara demikian memang
Cang In Bwee tak pernah bertemu kerewelan. Sebagai pengemis kotor dan mesum
tentu saja tak ada pemuda-pemuda atau laki-laki mata keranjang yang
menggodanya.
Namun. kalau memang ada juga orang
yang berbuat kurang ajar dan tak pantas padanya. Cang In Bwee sendiri tidak
gentar, dia sudah memiliki kepandaian tinggi, baru jago-jago tanggung pasti
dapat dirobonkannya. Apa lagi gurunya telah mengajarkan padanya berbagai cara
mempergunakan racun, sehingga dia selamat tak pernah memperoleh kesulitan !
Justeru di saat dia mengendus
dan mulai munemukan jejak Tang San Siansu. ia berkenalan dengan Giok Han,
dengan cara perkenalan yang aneh, di mana Cang In Bwee mempermainkan Giok Han.
Senang si gadis melihat Giok
Han kepusingan dan bingung mencari-cari orang yang telah mempermainkannya.
Sampai akhirnya dia melihat Giok Han bentrok dengan Siangkoan Giok Lin, dia
segera mengajak si pemuda untuk memberitahukan apa yang selama ini dilakukan
Siangkoan, Giok Lin.
Siapa nyana belum lagi dia
sempat menjelaskan, telah datang Cu Lie Seng dan anak buahnya yang semuanya
berkepandaian tinggi, sampai akhirnya Cang In Bwee berpisah dengan Giok Han.
Sekarang urusan telah jadi jelas dan terang, dia melihat juga Giok Han memang
seorang yang baik dan jujur.
Dia sempat mengawasi secara
diam-diam waktu Giok Han ditraktir makan oleh Cu Siauw Hoa. Hatinya mendongkol
dan diam-diam merasa ada sesuatu perasaan aneh yang tak diketahuinya apa
namanya padahal perasaan cemburu, yang sempat bersemayam di hatinya. Entah
mengapa pemuda itu sangat mengusik hatinya, diam-diam dia menyukai Giok Han.
Justeru perasaan menyukai
seperti itulah yang akhirnya timbul sifat-sifat kewanitaan Cang In Bwee. Setiap
wanita tentu akan berusaha sekuat tenaga agar ia sangat cantik jelita dan
menonjolkan kelebihan-kelebihannya di mata orang yang disukainya, dan demikian
juga dengan Cang In Bwee.
Karenanya dia telah melepaskan
pakaian yang selama ini dipakainya dalam menyamar sebagai pengemis, dia berpakaian
rapi sebagai seorang gadis, yang memang cantik jelita dan muncul di depan Giok
Han sebagai gadis jelita !
Sambil menyusut air matanya
Cang In Bwee menyudahi ceritanya. Tentu saja dia tak menceritakan apa yang
dirasakannya terhadap Giok Han, cerita tentang keluarganya itulah yang
menimbulkan kesedihan hatinya Giok Han jadi sibuk menghiburnya. Tapi semakin
dihibur oleh Giok Han, bukannya berhenti air mata si gadis, bahkan jadi semakin
deras mengucur keluar, karena dia jadi semakin sedih menerima perlakuan yang
sedemikian manis dari sahabatnya, pemuda yang disukainya.
Giok Han sampai bingung dan
kelabakan sendiri, karena semakin dihiburnya gadis uu jadi semakin sedia saja
tangisnya, karena bingungnya Giok Han sampai diam dan bengong saja, mengawasi
si gadis menangis.
Justeru Giok Han bengong
mengawasi dengan mata terbuka lebar-lebar karena kebingungan, mendadak Cang In
Bwee mengangkat kepalanya dan tertawa, padahal air matanya masih mengucir
keluar dan pipinya masih basah. Dia merasa lucu melihat sikap Giok Han.
"Kenapa kau bengong
seperti patung saja ?!" tanya si gadis lucu campur mendongkol. Apakah ada
yang aneh di tubuhku ? Atau ada yang tak lengkap di badanku ? Mataku mungkin
picek sebelah, atau mulutku tak benar letaknya miring ke samping ?"
Giok Han kaget cepat-cepat
menggeleng. "Bukan... bukan begitu. Aku bingung kau menangis terus
menerus. Rasanya aku jadi ingin ikut menangis."
"Kalau kau mau ikut
menangis, mengapa tak ikut menangis?"
"tanya sigadis bertambah
lucu. "Ayo. menangislah!"
"Dan dia jadi tertawa
sendirinya setelah mengajurkan begitu.
Giok Han juga tertawa
"Air mataku tapi tak mau keluar." justeru karena tertawa geli terus
menerus, malah air mata Giok Han sampai keluar !
Mereka jadi merasa dekat dan
senasib, merekapun jadi akrab di waktu itu, karena, mereka segera tahu bahwa
mereka mempunyai musuh yang sama yaitu Cu-kongkong Cu Bian Liat dan Tang San
Siansu.
Mereka berdua sudah bertekad
hendak bekerja sama untuk membasmi musuh guna membalas sakit hati mereka.
Kemudian kedua muda-muda ini meninggalkan lembah itu sambil merencanakan apa
yang hendak mereka lakukan terhadap musuh besar mereka...
ooo)0(ooo
Malam itu bulan bersinar cukup
terang berkilauan, sinarnya seperti cahaya yang membias ke sekitar tempat itu,
yaitu sebuah jalan raya yang cukup lebar ditengah-tengah kota, beberapa orang
penduduk kota ada juga yang tengah duduk-duduk di halaman depan rumah
masing-masing, untuk memperoleh hawa sejuk di malam yang kering tersebut.
sambil menggoyangkan perlanan-lahan kipasnya dan ada juga yang menikmati
keindahan bulan dan udara malam sambi! menghisap huncwenya.
Serombongan orang berkuda
tampak menyusuri jalan itu, jumlah serombongan itu cukup banyak, mungkin lebih
empat puluh, Dan pakaian mereka jelas semuanya tentara kerajaan. Tentu saja
beberapa orang penduduk yang sedang berangin-angin di muka halaman rumahnya
jadi kaget dan heran.
Mereka yang takut dan bernyali
lemah segera cepat-cepat masuk ke dalam rumah, sedangkan beberapa orang yang
agak berani, tetap di halaman rumahnya mengawasi bimbang entah apa yang hendak
dilakukan rombongan tentara kerajaan tersebut.
Rombongan tentara kerajaan itu
berhenti didepan sebuah rumah tak begitu besar, yang pintunya tertutup
rapat-rapat. Salah seorang dari rombongan pasukan kerajaan itu meloncat turun,
berbisik-bisik pada seorang bertubuh tinggi besar berpakaian sebagai perwira,
orang itu mengangguk angguk dan kemudian orang yang tadi meloncat turun dari
kudanya menghampiri pintu rumah. Menendang kuat-kuat pintu itu sambil berseru:
"Buka pintu, kami pihak berwajib"
Pintu terbuka dan keluar
seorang laki-Iaki tua berusia hampir enampuluh tahun dengan tubuh agak bungkuk
dan kumis jenggot yang sudah memutih, sikapnya takut takut dan gugup, dia
bertanya bingung: "Ada... ada apa, taijin ?"
Tentara kerajaan yang seorang
itu tak menyahuti, cuma mendorong kuat-kuat daun pintu sampai orang tua itu
ikut terdorong terhuyung hampir jatuh.
"Mana pemberontak itu?
Kau jangan menyembunyikannya kalau tak mau celaka!" bentaknya.
"Pemberontak ?
pemberontak apa taijin? Aku.... aku benar-benar tak tahu, taijin..." Tapi
dia tak bisa meneruskan perkataannya, karena tangan tentara itu sudah menghajar
mulutnya keras sekali sampai dia terhuyung. Tentara kerajaan tersebut melangkah
masuk, tapi waktu itulah dia menjerit kuat-kuat, tubuhnya mundur beberapa
langkah dengan mata terbuka lebar-lebar. Darah sudah menyembur dari perutnya
yang tertembus sebatang pedang, kemudian dia terjungkel rubuh tak bernapas
lagi.
Orang tua berjenggot dan kumis
sudah memutih itu, yang tadi tampak lemah dan ketakutan, sekarang justeru sudah
berdiri tegak di depan pintu dengan pedang tergenggam di tangannya, sikapnya
gagah sekali.
Tentara kerajaan yang lain
jadi kaget dan marah, mereka segera lompat turun dari kuda masing-masing
menyerbu ke pada kakek tua tersebut, dengan senjata telanjang siap mengeroyok.
Tapi waktu itu orang yang berpakaian sebagai perwira, yang tadi dibisiki oleh
tentara kerajaan yang sudah menggeletak tak bernyawa karena perutya dilobangi
oleh mata pedang kakek itu, sudah berseru:
"Biarkan aku yang
menghadapinya!" Suaranya belum habis tubuhnya sudah melayang di tengah
udara, dia bukan meloncat turun dari kudanya ke tanah, melainkan tubuhnya
melambung dari punggung kudanya dan hinggap di tanah tepat di depan pintu rumah
kakek itu, bahkan tangan kanannya menyambar dengan kecepatan luar biasa seperti
cakar naga yang hendak merampas pedang ditangan kakek tersebut.
Kakek tua itu ternyata
memiliki kepandaian yang tinggi, karena tadi dia cuma pura-pura ketakutan dan
bingung, waktu tentara kerajaan yang seorang hendak memaksa masuk rumahnya, dia
telah membarengi dengan tikaman pedang, pedangnya itu memang telah disimpannya
di balik jubahnya ketika hendak membukakan pintu.
Sekarang melihat perwira
kerajaan tersebut melompat menubruk ke arahnya sambil tangannya diulurkan untuk
merampas pedangnya, dia tidak tinggal diam. Gesit sambaran tubuh perwira
kerajaan tersebut tangannya juga sangat sebat.
Tapi pedang si kakek tua
inipun sangat cepat. Dia segera menggeser kedudukan pedangnya yang diturunkan
kebawah dengan pundak yang direndahkan mempergunakan jurus: "Seng Lo Ko
Goan" atau "Bintang jatuh ditanah Tinggi", kemudian pedangnya
ditegakkan dengan mata pedang menghadap keatas siap menerima perut si perwira
kerajaan tersebut.
Tapi perwira kerajaan itu
benar-benar sangat tangguh dan berkepandaian tinggi, karena dia tertawa dingin,
kemudian cepat sekali tangannya yang batal menyerang itu di tarik pulang,
tahu-tahu kaki kanannya menendang ke pergelangan tangan si kakek yang kena jitu
sekali, tampai kakek tua itu terkejut merasakan tangannya tergetar keras,
pedangnya seperti mau terlepas dari genggamannya.
Yang membuat kakek tua
tersebut lebih kaget lagi justeru pada saat itu tampak tangan kiri lawannya
sudah menyambar ke-arah dadanya. Dia tak bisa diam saja karena kagetnya, harus
menyelamatkan dadanya yang hendak dicengkeram.
Maka dengan jurus "Yauw
Cu Hoan Sin" atau "Elang Membalikkan Badan", dia segera
menggeser sambil memutar badan bagian atas, untuk menghindarkan cengkeraman
tangan lawan, Justeru apa yang dilakukannya itu melakukan kekeliruan yang tak
disangkanya, karena begitu dia memiringkan tubuhnya kesamping, saat itulah
tangan kanan lawannya bergerak lagi, tahu-tahu dia merasakan tenaga genggaman
pada pedangnya jadi lenyap, entah bagaimana caranya perwira kerajaan itu sudah
berhasil merampas pedangnya, yang pindah ke tangan si perwira tersebut.
Bahwa tangan kiri siperwira
kerajaan itu tahu-tahu berobah arah menyambar kesamping maka tak ampun lagi
dada kakek tua itu kena digempur keras, sampai dia terhenyak dan terpental
dengan punggung menghantam tembok dan benturan itu sangat keras sekali!
Darah segera terpancur keluar
dari mulutnya, muntah cukup banyak. Si perwira kerajaan yang berhasil merampas
pedang kakek itu berdiri mengejek, dia tak meneruskan serangannya,
membolang-balingkan pedang itu, kemudian "trskkknggg!" pedang itu
dipatahkan menjadi dua potong dan membuangnya ke tanah. Dengan sinis dia
berkata : "Apakah kau masih mau melindungi pemberontak itu ? Tidak mau cepat-cepat
mengeluarkan pemberontak itu ?"
Kakek tua itu biarpun sudah
tak bersenjata pedang, juga terluka cukup parah, dengan mulut berlumuran darah
memaksakan diri mengempos seluruh sisa tenaga yang masih ada, dia tahu-tahu
menubruk sangat cepat sekali, untuk menerjang kepada lawannya, dia bermaksud
untuk mengadu jiwa.
Sepasang tangannya diulurkan
untuk mencengkeram dada lawannya. Apa yang di lakukannya benar-benar merupakan
tindakan yang sangat nekad, karena dia tidak mengadakan perlindungan dan
penjagaan untuk dirinya, di mana dia rupanya memang bermaksud untuk mati
bersama dengan lawannya.
Cara mengadu jiwa seperti yang
dilakukan oleh kakek tua tersebut merupakan perbuatan yang sudah benar-benar
nekad, karena dalam berbagai hal umumnya seseorang yang nekad, masih melakukan
suatu gerak pukulan untuk melindungi juga tubuhnya dari kemungkinan serangan
lawan.
Si perwira kerajaan tak gentar
melihat kenekadan lawannya, karena dia hanya berdiri diam di tempatnya,
kemudian dengan cepat dia mempergunakan tangan kanannya untuk menyentil waktu
melihat serangan lawan sudah hampir tiba, di saat itulah terjadi suatu
peristiwa yang benar-benar mengejutkan.
Kakek tua yang nekad dan
hendak mengadu jiwa itu tak berhasil dengan serangannya, karena dia tak bisa
mendekati lawannya, sentilan jari tangan perwira kerajaan tersebut membuat dia
terjangkang rubuh, sebab yang disentil oleh perwira kerajaan tersebut adalah
titik jalan darah yang berbahaya di pelipisnya !
Tidak ampun lagi tubuh kakek
tua itu terjungkal rubuh terjengkang ke belakang, bersamaan dengan itu
berkelojotan di lantai dengan mata mendelik terbuka lebar-lebar, dadanya
bergerak-gerak keras, kemudian diam tak bergerak.
Si perwira kerajaan telah
memberi isyarat kepada beberapa orang tentara kerajaan yang sedang berdiri
menanti perintahnya. Tak ayal Iagi lima orang tentara kerajaan sudah menyerbu
masuk ke dalam rumah dengan senjata terhunus, bersamaan dengan itu mereka
menjerit, dua orang di antaranya terpental, karena dari dalam telah menerobos,
keluar seorang laki laki bertubuh tinggi tegap dengan lumuran darah di beberapa
tempat di anggota tubuhnya, menerjang keluar sambil mengayunkan goloknya ke
kiri kanan. Goloknya itulah yang menyebabkan beberapa orang tentara terjungkel
rubuh dan menjerit karena terluka pada lengannya.
Sisa tentara kerajaan yang
lain, tiga orang, cepat-cepat menerjang dengan senjata masing masing. Tapi,
orang bersenjata golok tersebut dapat menangkis dengan goloknya, sehingga
pedang ketiga orang tentara kerajaan itu terpental keras, berbareng dengan itu
golok orang tersebut telah menabas perut salah seorang tentara kerajaan yang
ada di sebelah kanan, seketika terjungkel dan mati tak bergerak.
Dua orang tentara kerajaan
yang lain segera meloncat ke samping. Orangbersenjati golok tersebut telah
meloncat menerjang ke pintu hendak menerobos keluar.
Di saat itulah tahu-tahu ada
tangan yang menyambar, dan golok ditangan orang itu kena dirampas dengan mudah.
Bahkan, sebelum orang bersenjata golok tersebut tahu apa-apa, tubuhnya
terpental karena dadanya terasa sakit kena digempur oleh tangan yang menyambar
sangat kuat, dia terjengkang dan terlempar.
Orang bersenjata golok itu,
walaupun sudah terampas goloknya dan dia sendiri kena dihajar terpental, cepat
bukan main dia telah meloncat berdiri lagi, dengan gesit menerjang kalap kepada
orang yang telah merubuhkannya tadi, yang tak lain adalah perwira kerajaan yang
tadi sudah merobohkan si kakek.
"Cun Siang... lari...
jangan layani. lari dari belakang ! "Kakek tua yang tadi telah dirobohkan
si perwira kerajaan, masih sempat berseru dengan suara perlahan lemah
menganjurkan kepada orang yang bersenjata golok itu agar melarikan diri.
Namun peringatannya itu sudah
terlambat, sebab waktu itu tampak si perwira kerajaan sudah meloncat ke depan,
ketika orang bersenjata golok itu henddk menerjang nekad, dia telah didahulukan
oleh perwira tersebut, yang mencengkram pundak orang tersebut, golok
rampasannya menabas lengan kanan orang itu yang seketika tertabas buntung
sebatas siku, pundaknya memperdengarkan suara "krekkkkkk . . .krakkkkkkk...
!" Tulang pipe (tulang selangkahnya) jadi hancur kena remasan tersebut,
dan orang itu lunglai rubuh di lantai. Tapi tidak terdengar suara jeritannya,
dia masih berusaha merangkak bangun untuk mengadu jiwa pada si perwira.
Tapi perwira itu tertawa
keras. "Kau masih penasaran dan hendak mengadakan perlawaran ?"
ejeknya. "Baik, aku ingin melihat sampai sejauh maca kenekadanmu.
"Berdirilah !"
Setelah mengejek begitu, si perwira kerajaan itu berdiri menantikan orang
tersebut, yang tadi dipanggil si kakek dengan sebutan Cun Siang.
Beberapa orang pasukan tentara
kerajaan sudah ada yang masuk, mereka bersiap sedia. Tapi tanpa perintah dari
perwiranya, mereka tak berani menyerbu untuk membekuk Cun Siang. Cuma berdiri
diam mengawasi saja.
Sedangkan Cun Siang sudah
merangkak berdiri, mukanya bengis penuh dendam, mukanya itu penuh luka-luka
goresan senjata, banyak mengeluarkan darah, begitu juga luka dibeberapa anggota
tubuh lainnya, ditambah oleh tangannya yang baru saja tertabas putus oleh
goloknya sendiri yang dirampas oleh si perwira kerajaan itu. maka darah yang
keluar terlalu banyak.
Biarpun hatinya tabah dan dia
nekad sekali, akibat kekurangan daran tenaganya sudah tak ada, dia cuma bisa
berdiri dengan kaki gemetar, mata seperti juga hendak meloncat keluar dari
rongga matanya dan mulutnya digigit kuat-kuat untuk menam m ^isa tenaganya.
Tapi tanpa si perwira kerajaan
turun tangan, dia sudah terjungkel rubuh kembali...
Si perwira kerajaan mendengus,
dia mengibaskan tangannya dan beberapa orang tentara kerajaan telah meloncat
maju untuk membekuk orang itu, yang diringkus kasar sekali.
Si perwira jalan berlenggang
keluar dari rumah itu. Namun waktu melewati si kakek tua, mendadak kakek tua
yang sudah payah keadaannya dan masih menyender di tembok, sudah menerjang
dengan sisa tenaga terakhir dia ingin mencekik batang leher si perwira, tapi
belum lagi kedua tangannya yang hendak mencekik itu mengenai leher si perwira
saat itulah mata si kakek mendelik, mulutnya terbuka dan mukanya memperlihatkan
kesakitan yang hebat, dia mengejang kaku dengan dengan kedua tangan terangkat
tinggi-tinggi, kemudian rubuh terkulai.
Rupanya golok di tangan si
perwira sudah menancap diperutnya... dia kalah cepat dengan si perwira, karena
sebelum bisa mencekik, justeru golok lawannya sudah menghunjam perutnya.
Napasnya seketika putus.
Si perwira melangkah keluar
tanpa menoleh kepada kakek tua yang sudah jadi mayat, dia meloncat ke atas
kudanya, sedangkan orang yang tadi bersenjata golok dan sekarang sudah jadi
tawanan sudah digusur oleh beberapa orang tentara kerajaan, keluar dari rumah
itu.
Orang itu, Cun Siang, masih
berusaha memberikan perlawanan Tangannya yang tinggal satu masih berusaha
memukul tentara yang menyeretnya, tapi tenaganya sudah habis, dia tidak bisa
berbuat apa-apa. karena tubuhnya diseret terus keluar... darah mengucur keluar
dari tangannya yang buntung... dan dia didorong terguling-guling di tanah.
"Ikat pinggangnya dan
seret oleh kuda!" Perintah si perwira.
Dua orang tentara kerajaan
segera meloncat ke dekat tawanan mereka, mengikat pinggang orang itu dengan
seutas tambang yang sangat besar dan panjang, juga kedua tangan Cun Siang. Cuma
kedua kaki Cun Siang yang dibiarkan tak terikat, karena dia mau diseret kuda
dan harus berlari-lari mengikuti kuda yang akan menyeretnya.
Keadaan Cun siang sudah lemah
terlalu banyak darah yang dikeluarkan. Hatinya pun sedih bukan main, karena
melihat kakek tua pemilik rumah itu sudah jadi korban keganasan si perwira
kerajaan, sehingga menemui kematian dengan cara yang begitu mengenaskan.
Dia sendiri memang dalam
keadaan luka parah waktu minta menumpang di rumah kakek itu, untuk berobat.
Tapi siapa tahu jejaknya sudah diendus oleh pasukan kerajaan yang memang hendak
menangkapnya, berakhir dengan kematian kakek itu.
"Geledah rumah ini
perintah perwira kerajaan itu sambil menghampiri kudanya dan meloncat naik
kepelana kudanya, duduk di situ mengawasi kerja anak buahnya. Enam orang
tentara kerajaan menyerbu ke dalam rumah untuk memeriksa. Akhirnya mereka
keluar kembali sambil menyeret seorang wanita yang dalam keadaan terluka parah
serta sudah tak bertenaga. Wanita itu baru berusia antara duapuluh empat atau
duapuluh lima tahun, dia dicampakkan sampai terjerambab di tanah dengan tubuh
berlumuran darah. Tapi, sedikitpun tak terlihat rasa takut di mukanya, karena
wanita itu mengawasi si perwira dengan sorot mata penuh kebencian.
"Hemmmm, dua penjahat
sudah berhasil ditangkap!" menggumam si perwira.
"Pemberontak-pemberontak yang pasti menerima hukuman mati! Ikat dan seret
juga wanita itu dengan seekor kuda!"