Jilid 1
Sang surya memancarkan
cahayanya yang cerlang cemerlang, akan tetapi Li-toh-tin, kota kecil dengan
hotel satu-satunya, Li-keh-can serta bangunan berloteng kecil di seberangnya
telah berubah menjadi tumpukan puing.
Saat itu Ji Pwe-giok dan Cu Lui-ji
bersembunyi di dalam tungku Li keh-can yang tidak terbakar dan asyik
mengisahkan pengalaman masing-masing pada masa lampau.
Melalui lubang tungku yang
biasanya digunakan untuk menambah kayu bakar itu dapatlah mereka melihat segala
apa yang terjadi di luar.
Tiba-tiba mereka mendengar
suara langkah orang. Empat lelaki berbaju hitam tampak masuk ke Li keh-can yang
sudah hancur ini.
Ke empat orang ini semuanya
tegap dan kekar, langkahnya cepat, tapi kaki dan tangan kelihatan kasar dan
besar, kulit badannya hitam, sekali pandang saja dapat diketahui mereka pasti
sudah biasa bekerja kasar. Meski tubuh mereka kasar dan kuat, namun soal ilmu
silat pasti tidak tinggi, bisa jadi belum lama mereka ikut berkecimpung di
dunia Kangouw.
Untuk memimpin orang-orang
semacam ini sudah tentu jauh lebih mudah daripada memerintah orang Kangouw
kawakan.
Seorang yang berjalan paling
depan membawa sebuah tombak, di belakangnya seorang membawa sejenis senjata
garpu, dua orang lagi membawa golok dan perisai.
Begitu masuk ke hotel yang
sudah berbentuk puing itu, mereka lantas membacok dan menabas kian kemari di
sekeliling tumpukan puing itu, kelakuan mereka seperti ingin tahu kalau kalau
di dalam tumpukan puing itu tersembunyi orang.
Lui-ji memandang Pwe-giok
sekejap, meski tidak bersuara, namun dalam hati jelas si nona sangat memuji
tindakan Pwe-giok yang teliti dan hati hati.
Apabila mereka bersembunyi di
tempat lain, bukan mustahil saat ini sudah dipergoki orang.
Terdengar orang yang membawa
tombak tadi tertawa dan berkata, "Tindakan Tongcu terasa agak berlebihan.
Setelah pembakaran ini, mana ada orang yang bersembunyi di sini?"
Orang yang membawa garpu
menanggapi dengan tertawa, "Apakah kau kira tindakan Tongcu ini adalah
kehendaknya sendiri?"
"Bukan kehendaknya sendiri,
memangnya kehendak siapa?" tanya orang yang membawa tombak.
Tiba-tiba orang yang membawa
garpu itu mendesis, "Akan kuceritakan, tapi kalian tidak boleh bilang lagi
kepada orang lain. Keluarnya Tongcu sekali ini konon hanya karena ingin
membantu orang she Ji yang menjabat Bu-lim-bengcu itu."
"Masa membakar juga atas
kehendaknya?" ujar yang membawa tombak.
"Dengan sendirinya juga
kehendaknya," kata yang membawa garpu. "Kalau tidak untuk apa
jauh-jauh Tongcu datang ke kota kecil ini untuk membakar?"
Baru sekarang Pwe-giok dan
Lui-ji mengetahui ke empat orang ini bukan anak buah Ji Hong-ho. Bahwa orang
lain yang disuruh membakar oleh Ji Hong-ho, maka selanjutnya tanggung jawab ini
dapat dibebankan kepada orang itu.
Sambil bicara, beberapa orang
itu lantas menuju keluar.
Lui-ji menghela napas gegetun,
ucapnya dengan suara tertahan, "Ji Hong-ho benar-benar licik, berbuat
apapun selalu mengatur jalan mundur dengan rapi, jika orang lain yang
menanggung dosanya, tentu kedudukan Bu-lim-bengcunya takkan terganggu
sedikitpun."
"Ya, memang," tukas
Pwe-giok, "perbuatan apapun, baik membunuh atau membakar, dia selalu
mendalangi di belakang layar, apabila terbongkar tentu juga orang lain yang
menanggung dosanya."
"Kalau untuk membunuh dia
mencari Lo-cin-jin, lalu siapa yang dia cari untuk membakar?" kata Lui-ji.
"Dan ... siapa pula 'Tongcu' yang disebut-sebut tadi?"
Pwe-giok berpikir, lalu
berkata, "Mungkin pemilik 'Pi-lik-tong' dari Kang-lam yang terkenal
sebagai ahli dan pembuat mesiu yang tiada bandingnya di dunia ini, kalau bukan
dia yang membakar, tidak mungkin api menjalar secepat ini."
"Tahukah kau siapa
pemilik Pi-lik-tong itu?" tanya Lui-ji.
"Lui Hong," jawab
Pwe-giok.
"Pi-lik-tong, Lui Hong
... Pi-lik-tong, Lui Hong ... " Lui-ji berguman mengulangi nama itu hingga
belasan kali seolah-olah kuatir akan lupa lagi.
"Akan kau tuntut balas
padanya?" ucap Pwe-giok sambil berkerut kening.
"Meski dia bukan biang
keladi dalam persoalan ini, tapi apapun juga dia yang turun tangan membakar
rumahku," kata Lui-ji dengan perlahan. "Apabila tidak kubalas bakar
ludes rumahnya, kan kurang adil."
Pwe-giok termenung sejenak,
tanpa terasa ia menghela napas panjang.
Perangai anak dara ini
ternyata sedemikian keras dan tinggi hati, bilamana orang berbuat salah
padanya, maka akan terukir dalam lubuk hatinya. Usianya sekarang masih kecil,
bila dia mengembara seorang diri, betapapun membuat orang kuatir.
Dalam pada itu, tiba-tiba di
kejauhan sana ada seorang bergelak tertawa dan berseru, "Aha,
Lui-cu-sin-hwe (api sakti mutiara geledek) dari Pi-lik-tong memang tidak
bernama kosong, baru hari ini terbuka mataku, sungguh sangat mengagumkan...”.
Jelas itulah suara Lim
Soh-koan, dia sengaja bicara dengan suara keras seperti orang berteriak,
seakan-akan kuatir bilamana orang tidak tahu bahwa Lui Hong yang telah membakar
Li-toh-tin ini.
Lalu seorang terbahak-bahak
dan menanggapi. "Hanya setitik apa ini saja mungkin sudah meludeskan bahan
berlaksa tahil perak kami"
Suara tertawa ini penuh rasa
bangga dan senang, jelas dia inilah Lui Hong, pemilik pabrik mesiu Pi-lik-tong
di Kang-lam yang terkenal.
Lui-ji mendengus, omelnya:
"Orang she Lui ini ternyata maha tolol, orang lain memperalat dan
menonjolkan dia kepada musuh, tapi dia malah merasa bangga."
"Sssst," desis
Pwe-giok, "mata-telinga orang-orang itu sangat tajam, hendaklah jangan
bersuara"
Sementara itu kelihatan
beberapa orang sedang melangkah ke sini sambil bersenda-gurau.
Terlihat Ji Hong-ho berjalan
di depan bersama seorang tua yang gagah berjubah merah tua. Lim Soh-koan dan
beberapa orang lagi mengintil di belakang.
Kakek berjubah merah ini
melangkah dengan lagak tuan besar, seolah-olah dia yang paling jempolan di
dunia ini.
Hendaklah diketahui bahwa
Pi-lik-tong sangat terkenal di dunia persilatan, bukan saja senjata rahasianya
yang berwujud mesiu sangat ditakuti, bahkan juga berusaha menjual bahan peledak
dan sebagainya sehingga mengeduk keuntungan yang tidak sedikit, kekayaan
keluarga Lui yang memiliki pabrik mesiu itu sudah sukar dihitung. Sebab itulah
Lui Hong yang sudah biasa hidup senang dan dihormati itu merasa dirinya sebagai
seorang tokoh jempolan.
Ke empat orang berseragam
hitam yang masuk ke Li-keh-can tadi kini berdiri di tepi jalan dan menyambut
kedatangan sang majikan dengan hormat.
"Diketemukan orang atau
tidak?" tanya Lui Hong sambil mengerling anak buahnya.
"Kecuali perempuan tadi
tidak diketemukan orang lain lagi" jawab orang yang memegang tombak tadi.
"Bagus, mundur saja
kalian" kata Lui Hong.
Diam-diam Pwe-giok menghela
napas menyesal, perempuan yang dimaksudkan mereka itu tidak perlu disangsikan
lagi pasti Gin-hoa-nio adanya. Meski sejak semula ia sudah tahu Gin-hoa-nio
tentu sukar meloloskan diri, kini setelah terbukti benar, hatinya tetap merasa
tidak enak dan rada menyesal. Betapapun juga kedatangan Gin-hoa-nio ini kan
bersama dengan dirinya?
Dilihatnya ke empat lelaki
berseragam hitam tadi masih berdiri dengan kepala tertunduk di tepi jalan,
sedangkan rombongan Lui-hong sudah lalu ke sana.
Lim-Soh-koan yang membuntuti
paling akhir mendadak tersenyum dan berkata kepada ke empat orang itu,
"kalian tentunya sama lelah" "Ah, biasa." ucap salah
seorang itu dengan hormat.
"Melihat cara kalian yang
cekatan, tampaknya kalian tidak cuma sekali dua kali saja membereskan tempat
kebakaran, makanya pengalaman kalian sedemikian banyak," kata Lim-Soh-koan
pula.
"Betul," jawab orang
tadi. "Pekerjaan ini bagi kami boleh dikatakan pekerjaan biasa, pekerjaan
rutin."
Mendadak Lim Soh-koan menarik
muka, katanya dengan pelahan, "Perbuatan membakar dan membunuh begini
kalian anggap pekerjaan rutin?"
Orang itu jadi melengak, baru
air mukanya berubah, "Creng", tahu-tahu Lim Soh-koan sudah lolos
pedangnya dan secepat kilat menusuknya.
Leng-hoa-kiam andalan Lim
Soh-koan terkenal cepat luar biasa, mana bisa ke empat orang itu berkelit,
apalagi mimpi pun mereka tidak menyangka akan diserang oleh Lim soh-koan.
Maka terlihatlah sinar pedang
berkelebat, "sret-sret-sret-sret" empat kali, susul menyusul
terdengar, empat kali jeritan disertai berhamburnya darah. Ke empat orang itu
sudah menggeletak tak bernyawa dan menjadi setan penasaran karena tidak tahu
sebab apa mereka terbunuh.
Keruan Lui Hong terkejut, ia
berpaling dan berteriak, "he, Lim Soh-koan. ap... apa yang kau
lakukan?"
Lim soh-koan mengeluarkan sapu
tangan putih dari bajunya dan pelahan mengusap darah yang mengotori pedangnya,
lalu berkata dengan suara bengis, "Di hadapan Bengcu, orang-orang ini
berani main bakar rumah rakyat yang tak berdosa, maka dapat dibayangkan betapa
sewenang-wenangnya di hari-hari biasa. Kalau tidak dibinasakan mereka, apakah
mereka harus dibiarkan membikin celaka rakyat jelata lebih banyak lagi?!"
"Apa... apa maksudmu
ini?" teriak Lui Hong dengan gusar.
"Bengcu, coba... coba
dengarkan apa ucapannya itu?"
Dengan tak acuh Ji Hong-ho menjawab.
"Ucapannya memang betul, setiap pengganas yang suka main bunuh dan bakar
pantas dibinasakan oleh siapa pun jua"
Lui Hong menyurut mundur dua
tindak, serunya dengan wajah pucat, "Tapi... tapi engkau sendiri yang
merencanakan pembakaran Li-toh-tiu ini, kau yang mengupahi Pi-lik-tong kami
dengan lima laksa tahil perak dan menyuruh kami meledakkan tempat ini,
mengapa... mengapa sekarang kau malah menuduh kami yang bersalah?'
Ji Hong-ho tampak berkerut
kening dan mendamprat pelahan, "Huh, tindakan orang she Ji selamanya
terang-terangan, mana bisa jauh-jauh mengundang kau ke sini untuk melakukan hal
yang tak terpuji ini, Kau sembarangan menuduh orang, jangan menyesal kalau
Bengcumu ini terpaksa bertindak untuk menumpas kejahatan bagi dunia Kangouw"
Air keringat tampak memenuhi
kepala Lui Hong, teriaknya dengan suara parau, "Kau... kau... manusia
munafik, bangsat yang berlagak kesatria, meng... mengapa kau sengaja menjebak
diriku? kau... "
Belum habis ucapannya, sinar
pedang sudah bergulung menyambar tiba. Dengan suara bengis Lim-Soh-koan
mendamprat, "Kau berani bicara kotor kepada Bengcu, melulu dosamu ini saja
harus dihukum mati" hanya dua tiga kalimat ia bicara, tapi pedangnya sudah
menyerang tujuh atau delapan kali.
Meski pinggang Lui Hong juga
bergantung sebatang golok, namun kesempatan menghunus golok saja tidak ada,
tahu-tahu pundaknya sudah terluka, sembari berkelit ia terus berteriak teriak,
"Kalian semua yang hadir di sini apakah cuma menyaksikan aku dibinasakan
secara begini? Dimana lagi letak keadilan dunia Kangouw?"
Namun orang-orang yang ikut
datang bersama meraka itu semuanya berlagak memandang ke langit seolah-olah
tidak melihat dan mendengar apapun.
Sementara itu jubah merah Lui
Hong sudah terkoyak-koyak, sebuah kopiah emas pengikat rambut juga sudah
terbatas putus, rambutnya semrawut seperti orang gila.
Meski nama Pi-lik-tong sangat
terkenal, tapi bukan unggul dalam hal ilmu silat melainkan karena mesiunya.
Dari orang tua Lui Hong menerima warisan yang sangat besar, sejak kecil ia sudah
hidup senang, hampir tidak pernah berlatih silat dengan sungguh-sungguh,
sebaliknya Lim Soh-koan adalah ahli pedang yang berpengalaman, hakekatnya tidak
memberi kesempatan kepada Lui Hong untuk mencabut goloknya.
Setelah terserang belasan kali
lagi, napas Lui Hong sudah megap-megap dan mandi keringat, mendadak ia tertawa
latah dengan suara serak, teriaknya. "Bagus orang she Ji, kau hendak
membunuhku untuk menghilangkan saksi, biarlah kusempurnakan niatmu ini !"
- habis berkata, segera ia menubruk maju menyongsong ujung pedang li, Soh-koan.
Rupanya ia tidak tahan
serangan lawan dan menjadi nekat, tanpa ampun lagi pedang menembus dadanya.
Waktu Lim Soh-koan menarik pedangnya, seketika darah segar menyembur seperti
air mancur.
Sambil mendekap dadanya Lui Hong
lantas terhuyung huyung, matanya yang merah menyapu pandang sekejap semua
orang, teriaknya pula dengan suara pedih, "Bagus, bagus akhirnya baru
kukenal betul kalian yang sok mengaku pendekar berbudi ini !"
Sedemikian seram tertawanya
hingga membuat orang merinding.
Tanpa terasa Lui-ji
menggenggam tangan Pwe-giok dengan telapak tangan berkeringat dingin.
sebaliknya tangan Pwe-giok juga dingin seperti es.
Dalam pada itu dari jauh
tampak berlari datang dua orang, meski kedua orang ini pun memakai baju hitam
ketat, namun air mukanya kaku dingin, sorot matanya lebih lebih dingin sehingga
mirip orang yang memakai topeng. Tampaknya mereka bukan anak buah Pi-lik-tong
melainkan begundal Ji Hong-ho sendiri, tampaknya mereka pun membawa semacam
senjata, sesudah dekat baru diketahui masing-masing membawa sebuah cangkul.
Lim Soh-koan menyimpan kembali
pedangnya, lalu berkata, "Beberapa mayat ini tidak perlu dikubur, bawa
saja dan perlihatkan kepada segenap penduduk Li-toh tin, katakan Bengcu kita
telah menjatuhkan hukuman setimpal kepada penjahat yang main bakar. Namun
segala kerugian Li-toh-tin tetap akan diusut oleh Bengcu untuk mendapatkan
ganti rugi sepenuhnya."
Kedua orang tadi mengiakan
sambil memberi hormat.
Tiba-tiba dari balik tumpukan
puing sana ada orang berkeplok tertawa, "Ha ha, bagus, bagus, bagus
sekali! kata 'usut' ini sungguh istilah yang sangat indah!"
Berubah air muka Lim Soh-koan,
sambil meraba pedangnya, ia membentak, "Siapa itu?'
"He he , Lim-tayhiap
tidak perlu terkejut, aku tidak lebih hanya setengah potong nenek yang sudah
hampir masuk liang kubur," ucap orang itu dengan terkekeh kekeh.
"Jika Lim-Tayhiap juga ingin membunuh diriku sekalian untuk melenyapkan
saksi hidup, kukira mudah daripada memites mati seekor semut."
Dari suaranya tahulah Pwe-giok
dan Lui-ji bahwa pembicara itu ialah Oh-lolo.
Lui-ji menggertak gigi hingga
gemerutuk, badan pun terasa gemetar.
Pwe-giok tahu anak dara ini
membenci nenek keji itu sampai merasuk ke tulang, pelahan ia menepuk tangan
Lui-ji agar anak dara ini bersabar.
Tangan yang kecil ini terasa
dingin sekali, tanpa terasa timbul pula rasa kasihan Pwe-giok sehingga
dipegangnya hingga lama.
Lui-ji lantas menunduk malah
dan tidak memandangnya, entah mengapa tangan kecil yang dingin itu mendadak
berubah menjadi panas membara.
Namun Pwe-giok tidak lagi
memperhatikan perubahan ini, sebab waktu itu Oh lolo kelihatan muncul dengan
langkahnya yang reyot, dari mulutnya terdengar suara "krat-krut"
seperti lagi makan kacang goreng.
Sembari berjalan nenek itu pun
berkeluh kesah, "Ai, semakin ompong seseorang semakin suka makan kacang.
Sesuatu yang tak dapat dilakukan, semakin menarik pula untuk dikerjakan.
Tampaknya setia orang memang mempunyai bakatnya sendiri-sendiri, betul tidak
menurut kalian?"
Tadinya Lim Soh-koan bermaksud
memburu maju, tapi demi melihat pendatang ini benar-benar seorang nenek yang
sudah hampir masuk liang kubur, ia batal mendekatinya dan menantikan
perkembangan selanjutnya dengan tenang.
Betapapun dia seorang Kangouw
kawanan, ia tahu semakin aneh seseorang, semakin tidak boleh diremehkan dan
direcoki, terutama sebangsa nenek-nenek dan kakek-kakek.
Air muka Ji Hong-ho tampak
berubah juga, tapi sedapatnya ia tersenyum dan menyapa, "Cianpwe ini
apakah..."
Belum selesai ia berucap,
berulang Oh-lolo menggoyang tangannya dan berseru, "Wah, janganlah
Ji-Tayhiap menyebut Cianpwe padaku, Nenek konyol macam diriku ini mana ada
rejeki untuk menjadi Cianpwe seorang Bu0lim-bengcu. Sebutan Cianpwe barusan ini
sedikitnya akan mengurangi umurku sepuluh tahun, bilamana kau panggil sekali
lagi, bisa jadi nenek reyot ini akan menghadap Giam-lo-ong (Raja
Akhirat)."
Meski bicaranya sangat
pelahan, tapi ia seperti sengaja tidak memberi kesempatan bicara bagi orang
lain. belum habis ucapannya tadi tatapannya sudah beralih lagi ke arah Lim
Soh-koan, lalu menyambung, "Nama besar Leng-hoa-kiam Lim-tayhiap sudah
lama kukagumi, tapi yang keketahui adalah ilmu pedang Lim-tayhiap maha cepat,
sama sekali aku tidak tahu bahwa Lim-tayhiap juga seorang ahli bahasa. Istilah
'usut' tadi sungguh sangat tepat dan sukar dicari dalam kamus."
Sudah tentu Lim Soh-koan
merasakan kata yang bernada menyindir itu, terpaksa ia hanya menyengir dan
menjawab, "Tapi Cayhe tidak merasakan ada keistimewaan pada istilah
itu."
"Hanya istilah yang tepat
saja baru kelihatan keindahannya meski istilah itu cuma satu kata yang
biasa," ucap Oh-lolo dengan tertawa. Dia tunjuk puing yang masih mengepul
itu dengan menyambung pula, "Di situ tadinya adalah sebuah toko kelontong,
meski tidak besar, tapi persediaan barangnya cukup banyak dan beraneka
ragamnya, nilainya paling tidak ada beberapa ribu tahil perak, betul
tidak?"
"Perkiraan Cianpwe
tentunya tidak salah," ujar Lim soh-koan dengan mengiring tawa.
"Dan toko yang serupa ini
kukira ada belasan buah di Li-toh-tin ini, ada pula beberapa keluarga hartawan
disekitar sini, maka kobaran api sedikitnya telah meludeskan beberapa puluh
laksa tahil perak, betul tidak?"
"Taksiran Cianpwe
tentunya benar," kembali Lim Soh-koan mengiakan.
"Dan beberapa puluh laksa
tahil perak yang ludes terbakar itu seharusnya adalah menjadi tanggung-jawab
paduka tuan Bengcu kita untuk menggantinya, tapi anda tadi cuma menyatakan akan
'usut' kejadian ini, maka tanggung-jawab memberi ganti rugi ini lantas kau
bebankan kepada orang lain," sampai di sini Oh-lolo tertawa terkekeh-kekeh
pula.
"Lantas cara bagaimana
akan kau usut? siapa yang harus diusut? Kukira tidak perlu ditanyakan lagi,
dengan sendirinya adalah Pi-lik-tong di Kang-lam sana. Harta kekayaan
Pi-lik-tong sudah tentu tidak cuma berpuluh laksa tahil perak saja, sepuluh
kali lipat kukira juga lebih, setelah mengganti kerugian Li-toh-tin yang
terbakar ini tentu masih tersisa sebagian besar. Dengan demikian paduka tuan
Bengcu kita tidak saja sudah menjadi orang yang maha bijaksana dan berbudi
luhur telah membela penduduk Li-toh-tin yang menjadi korban, beliau sendiri
juga akan mendapat rejeki nomplok. Hehe, jual beli cara begini sungguh nenek
reyot macam diriku ini pun ingin melakukannya."
Air muka Lim Soh-koan dan
lain-lain sudah sama berubah, tapi Ji Hong-ho masih tetap tak acuh, dengan
tersenyum ia berkata, "Jika demikian, bolehlah kuserahkan jual-beli ini
kepada Hujin (nyonya)."
"Hujin?" Oh-lolo
menegas. "Hehe, mengapa kau sebut Hujin padaku? Padahal selama hidupku ini
belum pernah kawin. tahu tidak bahwa sampai saat ini aku ini masih perawan
tulen. Ya, apa boleh buat, sudah tua begini, ingin menjadi Hujin rasanya juga
sudah tidak ada yang mau lagi."
Ji Hong-ho tersenyum dan
berkata pula, "Kalau begitu, ada keperluan apakah kedatangan nona? Katakan
saja terus terang, tentu akan kupenuhi,"
"Nona? Hahahaa!
Nona?!" Oh-lolo tertawa terpingkal-pingkal. "Sedikitnya sudah 50
tahun tidak ada yang memanggil nona padaku. Panggilanmu ini membuat seluruh
ruas tulangku seolah-olah lepas semua. cukup dengan panggilanmu ini maka nenek
tak tega lagi mencari perkara padamu, kau tidak perlu kuatir."
Meski Ji Hong-ho masih tetap
tersenyum, namun beberapa begundalnya sudah tidak tahan.
Seorang bernama
"Bu-eng-cu" To hui, si tanpa bayangan, segera membentak dengan gusar,
"Kalau Bengcu bersikap baik hati padamu, hendaklah kau pun jangan terlalu
latah, biarpun benar kau mempunyai sejurus dua, kukira Bengcu dan Lim-tayhiap
juga tidak pandang sebelah mata, hendaklah kau tahu diri sedikit."
"Hehe, nenek reyot
biasanya cukup tahu diri," ujar Oh-lolo dengan tertawa, "Jangankan di
sini masih berkumpul sekian banyak kesatria dan pahlawan besar, melulu seorang
Bu-eng-cu To Hui saja sudah lebih dari cukup untuk membereskan nenek reyot macam
diriku ini."
To Hui hanya mendengus saja.
Oh-lolo menghela napas,
katanya pula, "Cuma nenek reyot mungkin sudah bosan hidup, makanya berani
datang ke sini. Ku harap To-toaya sekalian sempurnakan harapanku saja, berikan
sekali bacok padaku."
Tanpa terasa To Hui memandang
sekejap ke arah Ji hong-ho, seperti ingin tanya apakah sang Bengcu tahu
asal-usul nenek ini. Tapi wajah Ji hong-ho tidak memperlihatkan sesuatu
perasaan pun mulut juga membungkam tanpa komentar.
dalam pada itu si nenek terus
berjongkok malah sibuk makan kacangnya, tampaknya tiada sesuatu yang
ditakutinya, seperti juga memang sudah bosan hidup dan menunggu orang
membunuhnya.
To hui berdehem dua kali, lalu
tertawa dan berkata, "Jika kau kenal namaku, tentunya kau tahu orang she
to takkan sembarang menyerang kau. Bila ku bunuh seorang nenek macam kau ini,
kalau tersiar, bukankah akan ditertawakan oleh kawan dunia Kangouw?"
Oh-lolo terkekeh-kekeh,
katanya, "Hehe, tadinya kukira To-toaya ini seorang tokoh yang
gilang-gemilang, siapa tahu kau tidak lebih hanya seekor beruang yang main
gertak saja. Jika seorang nenek saja tidak berani kau hadapi, bila kelak
tersiar, tidakkah kau akan lebih-lebih ditertawakan?"
Lim Soh-koan dan si berewok
she Hiang saling pandang sekejap dan sama tersenyum. Senyuman mereka inilah
yang membikin panas hati To Hui.
Ia menjadi murka sekalipun
tahu si nenek pasti bukan orang yang mudah direcoki, biarpun diketahuinya orang
lain ingin menggunakan dia sebagai batu penguji untuk menjajal kemampuan si
nenek.
Tapi ia tidak tahan lagi,
mendadak ia meraung terus menerjang si nenek, bentaknya, "Kau sendiri yang
cari mampus, jangan kau sesalkan orang she To!"
Kalau dia berjuluk
"Bu-eng-cu" atau si tanpa bayangan, maka Ginkangnya pasti tidak
rendah.
Di tengah berkelebatnya
bayangan, serentak golok juga sudah di cabutnya, baru lenyap suaranya,
tahu-tahu ia pun sudah berada di depan Oh-lolo, kegesitannya memang cocok
dengan julukannya sebagai "si tanpa bayang".
Orang hanya sempat melihat
sinar golok berkilat dan membacok Oh-lolo, tidak juga kelihatan si nenek
berdiri, bahkan tidak nampak dia melakukan sesuatu gerakan. Tapi mendadak suara
raungan To Hui berhenti ditengah jalan, sambil berjumpalitan di udara To Hui
lantas melompat mundur dengan tangan mencengkeram leher sendiri dan mat melotot
besar seperti mata ikan mas. Dada juga naik-turun, napasnya seperti mau putus.
Tiada seorangpun yang tahu
mengapa mendadak To hui bisa berubah menjadi demikian, semua orang saling
pandang dengan bingung dan terkejut.
Waktu memandang Oh-lolo, nenek
itu masih tetap berjongkok di tempatnya dan asyik makan kacang, sambil
menggeleng kepala ia berkata, "Ai, dasar anak rakus, hanya kuberi persen
satu biji kacang goreng, lalu dia tidak sampai hati membunuhku. Agaknya kacang
goreng si nenek sangat enak sekali rasanya."
Baru sekarang semua orang tahu
bahwa pada saat To hui meraung tadi, si nenek telah menjentik satu biji kacang
ke mulutnya. Sampai-sampai tokoh semacam Lim soh-koan juga tidak melihat cara
bagaimana Oh-lolo mengerjai To Hui.
Diam-diam Pwe-giok membatin,
"Sungguh luar biasa, cara menyambitkan senjata rahasia begini mungkin Tong
Bu-siang pun akan mengaku tidak sanggup."
Berpikir demikian baru
sekarang dia ingat kepada Tong Bu-siang gadungan yang ternyata tidak ikut serta
dalam rombongan Ji Hong-ho ini. Apa yang terjadi selama dua hari ini sungguh
terlalu banyak sehingga membuatnya hampir lupa segalanya. Padahal Tong Bu-siang
gadungan itu satu-satunya petunjuk baginya untuk menyelidiki seluk beluk
muslihat keji komplotan jahat yang menghancurkan keluarganya itu. Lantaran ikut
campur urusan orang lain sehingga melupakan urusan penting pribadi.
Lui-ji merasa kedua tangan
Pwe-giok mendadak berubah lebih dingin, mukanya juga penuh keringat yang
menghiasi dahinya.
Tapi Pwe-giok masih menatap ke
depan sana, seperti tidak merasakan apa yang dilakukan anak dara itu.
Dalam pada itu butiran
keringat yang memenuhi jidat To hui jauh lebih banyak daripada keringat yang
diusap Lui-ji tadi. Sekarang golok pun sudah dibuangnya, kedua tangan mencekik
leher sendiri dan berteriak dengan suara parau, "Kacang ..... ka
....."
"Ai, apakah barang kali
kacangku telah membikin To-tayhiap keselak?" tanya Oh-lolo dengan tertawa.
"Kenapa tidak To-tayhiap tumpahkan keluar?"
Tapi mendadak To Hui meraung
murka, seperti orang gregetan, tangannya dimasukan ke dalam mulut, tampaknya
seperti hendak mengorek keluar kacang yang menyangkut di kerongkongannya, tentu
saja ia terbatuk-batuk dan muka pun merah padam seperti orang yang tak dapat
bernapas.
Maklum, tangannya terlalu
besar, meski ia mengorek sebisanya, tetap sukar mengeluarkan biji kacang yang
sudah tertelan itu, suara batuknya makin kerap dan tambah keras, air muka dari
merah berubah menjadi biru, air matanya dan ingus juga bercucuran.
sekonyong-konyong tubuhnya mengejang, habis itu mendadak ia meraung
keras-keras.
"Krek-krek, berbareng
dengan suara gemertak di mulutnya ini, ia terus roboh terlentang. Darah segar
muncrat dari mulutnya, kedua tangannya bergerak-gerak seperti orang gila, darah
lantas terpercik dari jarinya seperti hujan gerimis.
Ternyata tangan kanannya
tersisa dua buah jari saja, rupanya ketiga jari yang digunakan mengorek
kerongkongan tadi telah dikertaknya hingga putus.
Si berewok she Hiang bermaksud
membangunkan rekannya itu, tapi baru dua tindak ia malah terus menyurut mundur
lagi tiga tindak, sebab mendadak ia teringat sesuatu, tanyanya kepada Lim
Soh-koan, "Apakah ..... apakah kacang itu beracun?..."
Lim Soh-koan hanya mengangguk
saja tanpa menjawab.
Tiba-tiba terdengar suara
krak-kruk orang yang mengunyah sesuatu, rupanya To Hui sedang mengganyang
jarinya sendiri. Mungkin saking tersiksanya sehingga dia tidak sanggup bertahan
lagi.
Melihat racun si nenek
sedemikian keji dan lihay, semua orang sama berkeringat dingin dan tiada satu
pun berani bicara.
Dengan adem-ayem Oh-lolo
lantas berkata dengan tertawa, "Wah, kacang goreng dimakan bersama jari,
rasanya pasti lain daripada yang lain. Bagus juga caramu makan enak ini, selama
hidup nenek justeru tidak pernah makan cara begini."
Melihat muka To Hui penuh
berlumuran darah, mendengar pula suaranya mengganyang jari sendiri, tentu saja
semua orang merasa mual, kini Oh-lolo menambahi lagi kata-kata demikian, si
berewok Hiang yang tidak tahan, mendadak ia berlari ke pinggir dana dan
tumpah-tumpah.
Waktu dia berpaling kembali,
tangan To hui sudah tidak bisa bergerak lagi, suara mengunyah juga tidak
terdengar, yang masih terdengar hanya suara napasnya yang lemah.
Sejenak kemudian, suara napas
itupun lenyap, darah yang mengalir dari ujung mulut dan dari jari putus to Hui
telah berubah juga menjadi warna hitam seperti tinta.
Oh-lolo menghela napas,
gumamnya "Tak tersangka seorang jago ternama seperti Bu-eng-cu To Hui juga
tidak tahan keselak satu biji kacang goreng!"
Tiba-tiba Ji Hong-ho menghela
napas panjang dan berucap, "Kiranya Oh-lolo yang tiba!"
Mendengar nama
"Oh-lolo" disebut, seketika semua orang berteriak kaget.
Sebaliknya Oh-lolo sendiri
lantas terkekeh-kekeh, katanya, "Dari ucapanmu ini, agaknya baru sekarang
kau kenal aku ini Oh-lolo?"
"Hendaknya Lolo sudi
memaafkan bilamana kami punya mata tapi tak bisa melihat," ucap Ji
Hong-ho.
Oh-lolo menatapnya
lekat-lekat, seperti baru pertama kali melihatnya. Wajahnya yang penuh keriput
tapi bersifat licin itu pun menampilkan rasa kejut dan heran.
Meski Ji hong-ho masih tetap
tersenyum, tapi jelas juga merasa tidak tenteram karena dipandang setajam itu
oleh si nenek, siapa pun akan merasa tidak enak dipandang oleh mata yang licik
dan licin seperti mata rase tua itu.
Akhirnya Oh-lolo menghela napas,
katanya sambil menggeleng, "Sungguh kau seorang yang hebat, sampai si
nenek juga tidak dapat memahami dirimu. Jika tadi kau pinjam tanganku untuk
membunuh To hui, sekarang To hui sudah mati, kenapa kau masih berlagak tidak
kenal padaku?"
Ji Hong-ho tersenyum,
jawabnya, "Cayhe memang ........."
"Kau kan kenal
diriku," jengek Oh-lolo. "Sudah 20 tahun lamanya kau kenal nenek ini.
Setiap orang yang berjumpa satu kali saja dengan ku, selama hidup pula takkan
kulupakan. Apalagi antara kau dan aku kan juga ada sedikit hubungan, masakah
kau lupa."
Senyuman yang selalu menghiasi
wajah Ji Hong-ho itu seketika beku, perubahan ini mungkin tidak diperhatikan
oleh orang lain, tapi tidak terlepas dari pengamatan Ji Pwe-giok.
Lui-ji merasakan tangan
Pwe-giok sedingin es, tapi mendadak berubah panas membara, bahkan dapat
dirasakannya denyut jantung dan gemetar tubuhnya.
Dalam pada itu terdengar
Oh-lolo lagi berkata, "Jelas kau kenal padaku, mengapa berlagak tidak
kenal?"
Hampir saja berteriak,
"Dia tidak berlagak, tapi dia memang tidak kenal padamu, sebab dia bukan
Ji Hong-ho yang kau temui 20 tahun yang lalu itu, dia ini Ji Hong-ho
gadungan."
Terpaksa Pwe-giok menggertak
gigi sekuatnya sehingga tidak sampai bersuara. Otot daging mukanya sampai
berkerut-kerut saking menahan derita perasaannya.
Melihat wajah yang demikian
ini, Lui-ji ikut merinding, tak tersangka olehnya wajah Pwe-giok dapat berubah
sedemikian menakutkan.
Mendadak terdengar Ji Hong-ho
bergelak tertawa, serunya. "Kejadian 20 tahun yang lalau sudah lama
kulupakan, untuk apa Lolo mengingatnya?"
"Tapi urusan demikian
selamanya takkan kulupakan," jengek Oh-lolo.
Ji Hong-ho bermaksud menutupi
kecanggungannya dengan suara tertawanya, tapi demi mendengar ucapan si nenek
yang terakhir ini, seketika suara tertawanya berubah lebih kasar daripada suara
kayu digergaji. Tanyanya kemudian dengan suara serak "Jadi kedatanganmu
ini bermaksud menuntut balas?"
Gemerdep sinar mata Oh-lolo,
dipandangnya sejenak pula, lalu menjawab dengan perlahan, "Betul, tentunya
kau tahu cara bagaimana si nenek akan menuntut balas. Barang siapa pernah
bersalah padaku, si nenek pasti akan membalasnya dengan berlipat ganda, kalau
ditambah lagi dengan rente selama 20 tahun, maka ..... hahaha ....."
Dia jejalkan dua biji kacang
ke dalam mulut dan dikunyahnya dengan bernapsu seakan-akan kacang goreng itu
adalah Ji hong-ho yang sedang diganyang.
Tiba-tiba Lim Soh-koan
berteriak, "Sekalipun Cianpwe adalah orang kosen dunia persilatan, tapi
hendaklah jangan kau lupa akan kedudukan Ji-tayhiap sekarang!"
"Kedudukan apa?"
tanya Oh-lolo dengan mendelik.
"Jika Cianpwe melakukan
sesuatu tindakan terhadap Bengcu, maka sama halnya Cianpwe memusuhi segenap
orang Bu-lim," ucap Lim Soh-koan dengan bengis.
Oh-lolo tetap tertawa,
katanya, "Apakah seluruh orang Bu-lim berada di sini? Eh, kenapa tidak
kulihat. Yang terlihat oleh nenek hanya kalian berlima, kalau cuma kalian
berlima saja rasanya nenek masih sanggup melayani."
Lim Soh-koan menggenggam
pedangnya erat-erat, butiran keringat sudah merembes di jidatnya. Si berewok
Hiang berdehem sambil menyurut mundur dua tindak, lalu berkata, "Jika
Cianpwe ada permusuhan lama dengan Bengcu, sudah tentu Cayhe takkan ikut
campur."
"Nah, tinggal empat orang
sekarang," ucap Oh-lolo dengan tenang.
Seorang di sebelah si berewok
Hiang berwajah kuning, ia pun berdehem dan berkata, "Orang she Song
biasanya tidak suka ikut campur urusan orang lain, apalagi urusan para
Bu-lim-cianpwe. cayhe lebih-lebih tidak berani ikut campur."
"Nah, tinggal tiga,"
tukas Oh-lolo pula.
Seorang lagi berbadan
jangkung, segera ia pun berseru, "Selamanya Cayhe maju atau mundur bersama
Song-heng, apa yang menjadi pikiran Song-heng juga menjadi pikiranku."
"Bagus, tinggal
dua," kata Oh-lolo dengan tertawa. "Wah, tampaknya sahabat orang she
Ji rata-rata memang kaum pendekar sejati, kalau mereka memang kaum pendekar
sejati, kalau mereka bukan orang semacam ini, tentunya kau takkan mencari
mereka, betul tidak ?"
"Creng", Lin
Soh-koan meloloskan pedangnya, tapi baru saja terlolos separuh, mendadak Ji
Hong-ho memegang tangannya.
Lim Soh-koan terkesiap,
tanyanya dengan suara tertahan, "Apakah Bengcu ingin menunggu dia turun
tangan lebih dulu?"
Ji Hong-ho tersenyum hambar,
ucapnya, "Dia takkan turun tangan, jika dia bermaksud bertindak sesuatu,
tentu dia takkan bicara seperti ini."
Lim Soh-koan merasa sangsi,
tapi Oh-lolo sudah lantas berkeplok tertawa, katanya, "Betul juga,
tampaknya orang yang bisa menduduki singgasana Bengcu memang lain daripada yang
lain.
Apa yang kukatakan ini hanya
sebagai pemberitahuan saja bahwa sekarang kalian sudah berada dalam
genggamanku, makanya kalau nenek bertanya hendaklah kalian menjawab
sejujur-jujurnya."
"Apa yang hendak kau
tanyakan" kata Ji hong-ho.
Oh-lolo menuding si berewok
bertiga, lalu berkata, "Meski nama ketiga orang ini cukup terkenal di
dunia Kangouw, tapi kalau dijumlahkan rasanya tidak laku satu tahil perak. Tapi
sekarang kau sengaja membohongi Ang-lian-hoa dan lain-lain sehingga mereka
telah pergi dari sini, sebaliknya kau malah membawa orang-orang ini ke sini,
sesungguhnya apa maksud tujuanmu di balik semua perbuatanmu ini ?"
Ji hong-ho berdiam sejenak,
jawabnya kemudian, "Apa yang hendak kulakukan masakah Lolo tidak
tahu?"
"Mungkin ku tahu, tapi
juga mungkin tidak tahu," uajr Oh-lolo. "Pendek kata ingin kudengar
dari mulutmu sendiri, dengan begitu barulah hati nenek bisa tenteram."
Ji Hong-ho berpikir sejenak,
katanya kemudian: "Tujuanku adalah ingin mencari sesuatu barang di sini,
nilai barang ini tidak dapat ditaksir oleh siapa pun, tapi nenek sendiri
tentunya sudah tahu."
Mencorong sinar mata Oh-lolo,
ucapnya, "Dan kalau barang itu ditemukan, apakah nenek juga akan mendapat
bagian?"
Hong-ho tersenyum, jawabnya ,
"Setiap orang yang gadir disini akan mendapatkan bagiannya."
Serentak Oh-lolo melompat
bangun, ia melemparkan sebuah cangkul kepada si Hiang berewok dan berseru,
"Jika demikian, kalian menunggu apa lagi?"
-ooOoo ooOoo-
Pondasi bangunan berloteng
kecil itu ternyata sangat kuat, ketika dicangkul, rasanya seperti mencangkul
papan besi saja, selain menerbitkan suara nyaring memekakkan telinga, bahkan
memercikkan lelatu api.
Lelaki jangkung tadi
berpakaian yang terbuat dari bahan sutera, baju yang mentereng itu sekarang
sudah basah kuyup oleh air keringat,. Sembari ayun cangkulnya ia menggerundel,
"Cong-piauthau dari Tin-wan-piaukiok, Thi-kim-kong Han Tay-goan dan tuan
muda dari Ban-bok-ceng Song In-seng, kini telah menjadi kuli penggali tanah,
coba, apakah tidak runyam?"
Kawannya yang bernama Song
Ing-seng yang berwajah kuning itu menyengir, katanya, "Ini kan kita
lakukan dengan sukarela, bukan?"
"Betul", kata si
jangkung, Han Tay-goan, "kita memang sukarela, demi mendapatkan barang
itu, jangankan cuma menggali tanah, sekalipun aku disuruh menguras kakus juga
tidak menjadi soal. Yang kukuatirkan hanya kalau nanti barang ini sudah
ditemukan, lalu mereka akan melupakan kita."
Sembari bicara ia pun melirik
ke sana, dilihatnya Ji Hong-ho, Oh-lolo dan Lim Soh-koan berdiri cukup jauh,
maka beranilah dia bicara tanpa takut.
Song Ing-seng menjawab,
"Jika mereka tidak mau memberi bagian pada kita, untuk apa pula kita
didatangkan ke sini?"
"Justeru ku kuatir kita
hanya akan dijadikan kuli belaka," ujar Han Tay-goan.
Sambil mengusap keringat song
Ing-seng berkata, "Kuyakin Ji Hong-ho bukan manusia demikian."
"Hm, semula akupun
percaya dia bukan orang demikian, tapi sekarang ...." Han Tay-goan
mendengus, "coba kau lihat nasib Lui Hong atau tidak? Bisa jadi nasib kita
nanti juga tidak berbeda banyak dengan mereka."
Mendadak ia berpaling ke sana
dan bertanya kepada si Hiang berewok, "He. hiang-lotoa, kau dengar
percakapan kami tidak?"
Cambang Hiang berewok juga
penuh butiran keringat, dengan suara parau ia menjawab, "Biarpun dengar
lantas mau apa? Memangnya sekarang kita dapat berhenti?"
Tiba-tiba terdengar Lim
soh-koan berteriak kepada mereka. "Apakah kalian menemukan sesuatu?"
"Tidak, tidak menemukan
apa-apa," jawab si berewok Hiang.
Oh-lolo lantas menjengek,
"Hm, hendaklah kalian kerja segiatnya, kalau tidak menemukan apa-apa tentu
kalian yang akan menerima akibatnya."
"Tapi ..... tapi kalau
barang itu tidak berada di sini?" tanya si berewok.
"Kalau barang itu tidak
berada di situ, kalian lantas ku pendam hidup-hidup," kata Oh-lolo.
Dalam pada itu Lui-ji tidak
tahan lagi, ia membisiki Pwe-giok "sekarang mereka tentu tak mendengar
suara kita."
Pwe-giok mengangguk.
"Sesungguhnya barang apa
yang ditanam ibu di situ? Setahuku, kedatangan ibu di sini bertekad akan
menjadi nyonya yang baik, ingin hidup bahagia berumah tangga, maka barang perhiasan
sedikit pun tidak dibawanya ke sini."
"Yang hendak mereka cari
sekarang pasti bukan barang sebangsa perhiasan," ujar Pwe-giok.
"Masa?" tanya Lui-ji
"Tapi batu permata yang
kau keluarkan itu kan tidak disimpan kembali, setiap orang yang naik ke loteng
sana tentu juga melihatnya," kata Pwe-giok.
"Ya, tapi kan terbungkus
rapat dengan kain?"
"Biarpun terbungkus
rapat, orang yang berpengalaman seperti mereka itu tentu dapat melihat apa yang
terbungkus di dalamnya. apalagi dalam kegelapan, cahaya batu permata tetap
dapat tembus keluar. Sebab itulah, bilamana yang mereka kehendaki adalah batu
permata, tentu bungkusan benda berharga itu takkan dibiarkan ikut
terbakar."
"Habis apa yang mereka
cari?" ucap Lui-ji sambil berkerut kening.
Pwe-giok tidak menjawabnya,
sebab ia sendiri pun tidak tahu.
Sementara itu lubang galian si
Hiang berewok sudah cukup dalam, pondasi loteng kecil itu sudah berubah menjadi
sebuah kubangan beberapa meter persegi.
Ketiga orang itu berada di
dalam kubangan, dipandang dari tempat persembunyian Pwe-giok kepalanya saja
tidak kelihatan, hanya terkadang terlihat ada sepotong dua potong batu atau
kayu dilempar ke atas.
Kini Oh-lolo, Ji hong-ho dan
Lim Soh-koan juga sudah berdiri di tepi kubangan itu, mereka kelihatan mulai
gelisah. Akhirnya suara galian itu berubah menjadi lunak, tiada batu kerikil
lagi yang terlempar ke atas. Nyata batu koral yang digunakan sebagai pondasi
pun sudah tergali keluar semua dan telah menembus ke bagian yang cuma tanah
liat melulu.
Sejenak kemudian, Lim Soh-koan
berkata, "Mungkin Siau-hun-kiongcu tidak menyembunyikan barang itu di
sini, bisa jadi memang tidak dibawanya kemari."
"Dibawanya kemari, bahkan
disembunyikan di sini," ucap Oh-lolo.
"Darimana Cianpwe
tahu?" tanya Soh-koan.
"Sudah tentu ku tahu,
bilamana kau mau menggunakan otakmu tentu juga kau akan tahu," jawab
Oh-lolo dengan dingin.
"Ya, tentunya Tonghong
Bi-giok mengetahui dengan pasti bahwa barang itu disembunyikan di sini, makanya
dia tidak mau pergi," kata Ji Hong-ho. "Dengan sendirinya pula
Tonghong-sengcu menggunakan barang itu sebagai syarat pertukaran, makanya
Li-thian-ong dan lain-lain mau diundang ke sini."
Lim Soh-koan menggigit bibir,
ucapnya, "Tapi kalau Siau-hun-kiongcu sudah memiliki barang ini, mengapa
dia tidak memanfaatkannya, sebaliknya malah dipendam di bawah tanah?"
"Hal ini disebabkan dia
sudah bertekad akan menjadi seorang nyonya rumah tangga yang baik, tapi ia pun
tidak ingin barang itu jatuh ditangan orang lain, maka....." sampai di
sini Oh-lolo mendengus lalu menyambung, "itulah akibatnya kalau seorang
perempuan sudah jatuh cinta, seringkali dia dapat bertindak sesuatu yang aneh
dan lucu."
Pada sat itulah,
sekonyong-konyong terdengar suara ringkik kuda disusul dengan suara
menggelindingnya roda kereta.
Oh-lolo, Ji Hong-ho dan Lim
Soh-koan sama kaget dan cepat berpaling.
Pada kesempatan itulah Lui-ji
lantas membisiki Pwe-giok pula, "Tahulah aku barang apa yang hendak mereka
cari!"
"Oo?" Pwe-giok
merasa heran.
"Yang ingin mereka
temukan pastilah sejilid kitab pusaka ilmu silat yang sangat hebat." bisik
Lui-ji. "Entah darimana ibu mendapatkan kitab pusaka itu, tapi sebelum
beliau sempat berlatih sudah keburu bertemu dengan Tonghong Bi-giok, oleh
karena ibu bertekad akan hidup berumah tangga dengan baik, maka segala macam
ilmu silat sudah tidak ada gunanya lagi baginya. Sebab itulah ibu lantas
menyembunyikan kitab pusaka itu. Celakanya, apa yang dilakukan ibu itu justeru
diketahui oleh Tonghong Bi-giok."
Sembari mendengarkan, berulang
Pwe-giok mengangguk, sebab penuturan anak dara itu memang sangat masuk di akal,
betapapun Pwe-giok tidak menemukan jawaban lain yang melebihi cerita Lui-ji
itu.
Ketika Lui-ji selesai
bercerita, tertampak sebuah kereta kuda telah menerobos ke tengah kota yang
sudah berwujud puing itu.
Daripada dikatakan sebuah
kereta, akan lebih tepat kalau dikatakan sebuah rumah yang dapat bergerak.
Sebuah rumah yang dipasangi roda kereta dan ditarik oleh enam belas ekor kuda.
Jika tetap dikatakan sebuah
kereta kuda, maka di dunia ini mungkin tidak ada kereta kuda yang lebih besar
daripada kereta ini. Mungkin ruang kereta ini cukup untuk memuat ratusan
penumpang.
Ji Hong-ho mengernyitkan
kening, tanyanya kepada Lim Soh-koan, "Apakah sudah kau pasang penjaga di
sekitar sini?"
"Sudah," jawab
Soh-koan.
"Jika begitu, apakah
mereka semuanya tertidur, masa kereta ini dibiarkan menerobos ke sini, seumpama
mereka tidak merintanginya, paling tidak kan mesti memberi tanda bahaya,"
kata Ji Hong-ho pula.
Dalam pada itu kereta tadi
sudah berhenti di kejauhan, mereka mengira percakapan mereka pasti tidak
didengar oleh lawan.
Tak terduga, baru habis ucapan
Ji Hong-ho, mendadak di dalam kereta itu ada orang menanggapi dengan tertawa,
"Hal ini pun tak dapat kau salahkan mereka, sebab mereka memang sudah siap
hendak melepaskan panah api, tapi sayang sebelum sempat berbuat begitu kepala
mereka sudah terpenggal lebih dulu," orang itu tertawa terkikik-kikik,
lalu menyambung, "Tentunya dapat kau bayangkan seorang kalau sudah
kehilangan kepala, lalu apa lagi yang dapat dibuatnya?"
Kata-kata ini sebenarnya
berlebihan, tapi orang itu justeru menganggap sebagai lelucon yang paling lucu
dan tertawa terkial-kial, seakan-akan di dunia ini tiada lelucon lain yang
lebih lucu.
Begitulah sembari bicara
sambil tertawa, suaranya kecil, tertawanya juga renyah, kedengarannya seperti
suara anak perempuan yang belum akil balik, yang suka merasa geli terhadap
kebanyakan kejadian di dunia ini, misalnya orang kentut saja dapat membuatnya
tertawa terpingkal-pingkal.
Orang semacam ini kebanyakan
bersifat periang, ramah tamah, bila dapat bertemu dengan orang seperti ini
kebanyakan orang akan merasa senang. Akan tetapi, sekarang Oh-lolo justeru
tidak merasa senang sedikit pun.
Begitu mendengar suara tertawa
orang, segera nenek ini seperti mau mengeluyur pergi, tapi ketika ia memandang
kubangan sana, tampaknya merasa berat pula untuk pergi.
Selagi ragu-ragu, mendadak
pintu kereta raksasa itu terbuka, belasan lelaki kekar dengan setengah badan
telanjang, hanya memakai celana satin merah, menggotong keluar sebuah ranjang
besar.
Ukuran ranjang ini pun sangat
mengejutkan, di atas ranjang penuh tertimbun beraneka macam barang, ada ayam
dan babi panggang yang lezat, ada buah-buahan yang warnanya segar, ada manisan
dan nyamikan, ada pula berbagai minuman botol dan kaleng, pokoknya makanan dan
minuman enak apapun yang kau bayangkan pasti terdapat di tempat tidur itu.
Dan di tengah-tengah barang
makanan dan minuman itulah berduduk seorang dengan setengah berbaring.
Melihat orang ini, sampai Ji
Hong-ho juga hampir saja tertawa geli.
Sebab yang berbaring itu
daripada dikatakan sebagai manusia, akan lebih tepat kalau dikatakan cuma
seonggok daging. Onggokan daging yang ditumpuk dengan beberapa ratus kati
daging gemuk pilihan.
Badannya hampir tidak memakai
kain apapun, ini pun tak dapat menyalahkan dia. Bayangkan saja, kalau perutnya
yang gendut itu sudah melambai sampai dengkul, cara bagaimana pula dia akan
memakai celana? Kalau dua orang menyunggih perutnya dengan kepala, bisa jadi
sekadarnya dapat memberinya pakai sebuah cawat.
Waktu itu si Hiang berewok,
Song Ing-seng dan Hay Tay-goan baru saja melompat naik dari dalam kubangan,
ketika mendadak melihat makhluk seaneh itu, mereka terkejut dan juga geli.
Tapi orang gendut itu sudah
mendahului tertawa terkikik-kikik, katanya, "Orang suka bilang An Lok-san
(seorang panglima perang di jaman dinasti Tong) gemuk seperti babi, tapi
menurut keyakinanku, dua orang An-Lok-san juga tidak segemuk diriku. Di dunia
ini kalau ada lomba orang gemuk, aku pasti akan ikut dan aku pasti akan keluar
sebagai juara. Betul tidak?"
Makhluk raksasa begini suara
bicaranya ternyata lirih rendah seperti anak perempuan kecil, maka si Hiang
berewok dan lain-lain tidak tahan lagi, mereka sama tertawa geli.
Si gendut juga ikut tertawa,
bahkan terlebih riang daripada siapa pun juga, sampai-sampai wajah Lim Soh-koan
yang tadinya tampak tegang juga mengendor.
Di antara mereka hanya seorang
saja yang sama sekali tidak menampilkan senyuman setitik pun, orang itu ialah
Oh-lolo. Dia berdiri kaku seperti patung.
Pada saat itulah si gendut
telah memandangnya, ucapnya dengan tertawa terkikik-kikik, "He, orang lain
sama tertawa, mengapa kau malah tidak tertawa-tawa? Melihat orang gendut
semacam diriku, masa kau tidak merasa geli?"
Muka Oh-lolo yang penuh
keriput itu terpaksa menampilkan secercah senyuman, sudah tentu senyuman yang
lebih tepat dikatakan menyengir.
Hal ini membuat si nenek
tambah tua, mestinya dia kelihatan berusia 80-an tahun, kini tampaknya sudah
160 tahun. Dengan menyengir ia berusaha mengumpak, "Gendut? Mana ada orang
gendut? kenapa nenek tidak melihatnya?"
"Kan jelas aku berada di
depanmu, masa tidak kau lihat? kata si gendut.
"Ah, Cianpwe cuma
bertubuh sangat kekar mana bisa dihitung gendut? ujar Oh-lolo sambil menyengir.
Mendadak si gendut menarik
muka, katanya dengan gusar, "Kau kira setiap orang gemuk pantang dikatai
oleh orang lain, makanya kau hendak menjilat pantatku?"
Melihat wajah orang yang
menampilkan rasa marah, Oh-lolo berbalik merasa lega, dengan mengiring tawa ia
menjawab, "Tetapi yang kukatakan adalah sesungguhnya."
"Tidak, kau tidak omong
sesungguhnya," ujar si gendut. "Mestinya akan ku potong
lidahmu."
Mendadak ia menghela napas
panjang, lalu menggeleng dan menyambung, "Tapi aku benar terlalu gemuk, saking
gemuknya sehingga bergerak saja malas, untuk itu hendaklah kau suka bantu aku,
sudilah kau potong lidahmu sendiri? Kalau tidak potong lidah, potong hidung
juga bolehlah!"
Dia bicara dengan serius,
tentu saja orang lain akan tertawa geli, bahwasanya dia minta bantuan orang
lain, yang diminta justeru agar orang lain suka memotong hidungnya sendiri.
Di dunia ini mungkin tiada
sesuatu yang lebih mustahil daripada hal ini.
Siapa tahu, Oh-lolo tidak
banyak cingcong lagi, "sret", mendadak ia lolos pedang yang
tergantung di pinggang Lim Soh-koan, kontan dia benar-benar memotong hidung
sendiri.
Baru saja hidung yang
berlumuran darah itu jatuh, segera Oh-lolo membuang pedang dan berlari pergi
dengan mendekap mukanya.
Keruan Lim Soh-koan dan
lain-lain sama melenggong dan tiada satupun yang sanggup tertawa lagi.
Si gendut lantas berkeplok dan
tertawa gembira, teriaknya, "Haha, di dunia ini ternyata ada orang yang
mengiris hidungnya sendiri, masa kalian tidak tertawa?"
Tapi semua orang hanya saling
pandang saja betapapun mereka tidak sanggup tertawa.
Si gendut menghela napas,
katanya, "Ai, kenapa kalian sama sekali tidak tahu hal-hal yang menarik,
sungguh sangat mengecewakan aku," Mendadak ia tuding Song Ing-seng dan
bertanya, "Eh, siapa namamu."
"Cay ... Cayhe Song ...
Song Ing-seng."
"Tadi kulihat kau tertawa
dengan riang gembira mengapa sekarang kau tidak tertawa lagi?" tanya si
gendut.
Sebisanya Song Ing-seng ingin
tertawa, akan tetapi wajahnya ternyata lebih buruk daripada menangis.
"Sudahlah, jika kau tidak
paham akan kesenangan, apa gunanya kau mempunyai telinga, kumohon tolong
padamu, sudilah kau bantu memotong kupingmu sendiri!" demikian pinta si
gendut.
Jika kata-kata ini diucapkan
orang lain, mungkin gigi Song Ing-seng akan copot saking tertawa geli. Tapi
sekarang dia tidak lagi merasakan lucu, bahkan ketakutan setengah mati.
Dia pandang perut si gendut
yang kedodoran itu, pikirnya, "Oh-lolo saja takut terhadap orang gemuk
ini, tentunya dia memang sangat lihay. Tapi umpama aku tidak sanggup melawannya,
masa aku tak dapat lari saja secepatnya?"
Berpikir demikian, tanpa
bersuara lagi segera ia membalik tubuh dan angkat langkah seribu.
Si gendut bergelak tertawa,
katanya, "Coba kalian lihat, orang ini telah lari, sebab apakah dia
lari?"
Ilmu silat Song In-seng
terhitung kelas tinggi juga di dunia Kangouw, kini dia lari dengan ketakutan,
sudah tentu cepatnya seperti burung terbang, hanya sekejap saja, selagi si
gendut bicara, dia sudah berlari berpuluh tombak jauhnya.
Semua orang merasa yakin si gendut
pasti tak mampu mengejarnya.
Tak terduga, pada saat itulah
sekonyong-konyong terdengar suara "wuut", selarik cahaya perak terus
meluncur ke sana secepat meteor jatuh, hanya sekejap saja sinar perak itu sudah
menyusul Song In-seng, sekali berputar mengelilingi badan Song In-seng, segera
cahaya perak itu melayang kembali ke tangan si gendut.
Waktu semua orang mengawasi,
kiranya cuma sebuah piring perak tempat buah-buahan.
Song In-seng kelihatan masih
terus berlari ke depan, tapi baru dua-tiga langkah, setengah badan bagian atas
mendadak menekuk patah ke belakang, darah pun menyembur ke udara seperti air
mancur. Kedua kakinya masih sempat berlari lagi tiga langkah ke depan, habis
itu barulah ambruk.
Hiang berewok dan lain-lain
tergolong kaum pembunuh kejam, tapi adegan ngeri begini selama hidup pun belum
pernah mereka lihat.
Hanya dengan sebuah piring
perak si gendut sanggup menabas badan seorang sebatas pinggang hingga putus
menjadi dua, kungfu sehebat ini sungguh dengar saja mereka belum pernah dengar.
Sekali ini mereka baru
benar-benar melenggong ketakutan.
Tapi si gendut lantas
berkeplok tertawa pula, serunya "Coba kalian lihat orang mati masih dapat
berlari, lucu atau tidak? Apakah kalian tidak merasa geli, mengapa tiada
seorang pun yang tertawa?"
Tanpa disuruh lagi, sekali ini
Han Tay-goan mengerahkan segenap tenaganya dan bergelak tertawa sekerasnya.
"Nah, tertawa, ada orang
tertawa!" seru si gendut dengan senang, "Eh siapa namau?"
"Cayhe Han .... Han
Tay-goan!"
"Kau tertawa segembira
ini, apakah karena kau merasa aku si gendut ini sangat lucu?"
"Ya, sangat lucu, kau si
gendut ini benar-benar sangat lucu dan menggelikan."
"Haha, tampaknya cuma kau
saja yang tahu hal-hal yang lucu, kuyakin kau pasti suka menolong berbuat
sesuatu bagi si gendut."
Seketika Han Tay-goan seperti
tercekik lehernya, dengan suara parau ia berkata, "Aku sudah bicara
demikian dan kau masih.... masih hendak...."
"Habis kalau bukan kau
yang menolong diriku, siapa lagi yang akan menolong?"
Seketika Han Tay-goan melonjak
dan meraung murka, "Kau si gendut jahanam, kau babi mampus, biar ku adu
jiwa denganmu!"
Di tengah raungannya, segera
ia angkat cangkulnya dan menerjang ke sana.
Si gendut benar-benar seperti
tidak mampu bergerak sedikitpun, sama sekali ia tidak mampu mengelakkan
serangan Han Tay-goan, cangkul itu dengan tepat memacul di atas perutnya. Orang
segendut itu, perut sebesar itu, bilamana tercangkul, perut tentu akan robek
dan darah pasti akan mengalir lebih banyak daripada orang biasa.
Siapa tahu, ketika pacul itu
mengenai perutnya, badan si gendut sama sekali tidak terluka, apalagi
mengucurkan darah. Sebaliknya cangkul itu seolah-olah terisap oleh gumpalan
daging, meski Han Tay-goan sudah mengerahkan segenap tenaganya tetap tak dapat
menariknya kembali.
Si gendut masih tetap tertawa
gembira, ketika sebelah tangannya menampar muka Han Tay-goan, kontan sesosok
tubuh mencelat seperti layangan yang putus benangnya, melayang ke udara dan
berjumpalitan beberapa kali, habis itu baru terbanting ke bawah. Namun kepalanya
sudah hancur seperti buah tomat lalu yang pecah.
Hiang berewok terkesima
ketakutan, dia berjuluk "Sin-kun-bu-tek" atau pukulan sakti tanpa
tandingan, dengan sendirinya tenaga pukulannya maha dahsyat, tapi tenaga
pukulan si gendut ternyata berpuluh kali lipat lebih kuat daripadanya. Sungguh
tak pernah terpikir olehnya bahwa di dunia ini ada orang bertenaga sebesar ini.
Dalam pada itu sorot mata si
gendut sudah beralih ke arahnya dan bertanya dengan tertawa, "Eh, siapa
namamu?"
Kedua kaki si berewok terasa
lemas seluruhnya, tanpa disuruh, "brek", ia terus berlutut dan
berkata dengan suara gemetar, "Siaujin (hamba) she Hiang, jika Cianpwe
suruh hamba potong hidung, segera hidung akan kupotong, bila hamba disuruh
potong kuping, segera pula hamba akan potong kuping, pasti takkan lari dan juga
pasti takkan melawan."
Si gendut menghela napas,
katanya, "Aku sangat tertarik oleh cambangmu yang lebat ini, sebenarnya
aku cuma ingin memotong cambangmu saja, tapi kau sendiri rela memotong hidung
dan mengiris kuping, ya, apa boleh buat?"
Seketika Hiang berewok jadi
melenggong sendiri, ya takut ya menyesal.
Si gendut berkata pula,
"Nah, kalau kau sendiri sudah sukarela, mengapa tidak lekas kau
kerjakan?"
Terpaksa Hiang berewok nekat,
golok dicabutnya, ia pikir seorang biarpun kehilangan hidung dan kuping kan
jauh lebih baik daripada kepalanya hancur.
Akibatnya, dia menjerit terus
jatuh pingsan.
Lalu si gendut berkata pula
dengan tertawa. "Konon di sini ada seorang yang menjabat Bu-lim-bengcu
segala, siapakah gerangan sebenarnya?"
"Ialah diriku."
jawab Ji Hong-ho.
Sampai sekarang dia masih
tetap tenang dan sabar, sampai Pwe-giok dan Lui-ji diam-diam merasa kagum juga.
"Ehm, tampaknya hanya kau
yang menyerupai seorang Bu-lim-bengcu." ucap si gendut dengan tertawa.
"Eh, maukah kau menolong diriku?"
Akhirnya tiba juga giliran Ji
Hong-ho!
Pwe-giok genggam kencang
tangan Lui-ji, entah girang, tegang. Meski dalam hatinya sangat ingin
menyaksikan iblis jahat ini dibinasakan orang, tapi ia pun tidak menghendaki
dia mati sekarang, lebih-lebih tidak ingin dia dibunuh oleh orang lain.
Betapapun Pwe-giok bertekad akan membunuh musuh ini dengan tangan sendiri untuk
mencuci bersih nama kotor dan dendam keluarga Ji.
Akan tetapi, biarpun dia tidak
rela, apa daya? Jika kepandaiannya dibandingkan si gendut ibaratnya capung
hendak menggoyangkan cagak.
Tiba-tiba terdengar Ji Hong-ho
berkata dengan suara tertahan, "Apabila sang Thian-cia-sing ada perintah,
mana Cayhe berani membangkang?"
Seketika wajah si gendut
memperlihatkan rasa kejut, tanyanya, "Kau tahu namaku?"
Ji Hong-ho tersenyum, ia
menjawab seperti berpantun, "Thian-cia-sing (bintang pemakan),
liang-cing-cing (terang benderang), semua dimakan habis tanpa tandingan,
sepuluh laksa prajurit dapat mengisi perutnya.... Sudah lama kudengar
keperkasaan Cianpwe, selama ini pula tidak pernah kulupakan."
"Dari siapa kau dengar
cerita mengenai diriku?" kembali si gendut atau Thian-cia-sing, menarik
muka pula.
Ji Hong-ho tidak bersuara,
tapi memberi isyarat tangan. Cuma sayang, dipandang dari tempat sembunyi
Pwe-giok, gerak tangan Ji Hong-ho itu teraling tubuhnya sehingga tidak
kelihatan.
Yang jelas air muka si gendut
lantas rada berubah dan bertanya pula, "O, kau kenal dia?"
Dengan tersenyum Ji Hong-ho
menjawab, "Berkat kebijaksanaan beliau, Cayhe tidak dipandangnya sebagai
orang luar."
Thian-cia-sing tidak bicara
lagi, tapi terus menerus mencomot makanan dan dijejalkan ke dalam mulut, entah
makanan itu babi atau ayam panggang, buah-buahan, manisan atau asinan, semuanya
di makan, seperti mesin pabrik, giling terus.
Baru sekarang Pwe-giok melihat
makanan yang tertimbun di atas tempat tidur itu sekarang sudah lebih separuh
dimakan oleh si gendut. Nyata julukan "makan habis seluruh dunia tanpa
tandingan" memang tidak bernama kosong.
Selang agak lama, terlihatlah
Thian-cia-sing tersenyum pula dan berkata, "Jika kau ada hubungan dengan
si makhluk tua aneh itu, maka aku pun takkan minta tolong lagi padamu. Tapi ada
beberapa soal tidak boleh tidak harus kutanyai kau."
"Apa yang Cayhe ketahui
pasti kukatakan, apa yang kukatakan pasti jelas," jawab Ji Hong-ho
"Konon demi membantu Cu
Bi, si Hong Sam telah ngendon beberapa tahun di sini, apakah betul keterangan
ini?" tanya Thian-cia-sing.
"Memang betul,"
jawab Hong-ho.
"Dan di manakah mereka
sekarang? Apakah mati terbakar?"
"Waktu api berkobar
mereka masih berada di sini, sesudah api padam, ternyata tiada ditemukan
mayatnya."
"Darimana kau tahu tiada
terdapat mayatnya?"
Ji Hong-ho menghela napas,
ucapnya, "Sebab tidak terlihat sepotong tulang belulang apapun di
sini."
Thian-cia-sing berkerut
kening, tiba-tiba ia tertawa dan berkata pula, "Konon entah dari siapa Cu
Bi mendapatkan sesuatu barang, kabarnya barang siapa mendapatkan barang ini
akan bisa malang melintang di dunia ini, entah berita ini betul atau
tidak?"
"Sumber berita Cianpwe
ternyata sangat tajam, berita ini memang betul" jawab Ji Hong-ho dengan
tertawa.
"Jika demikian, tadi
kalian sedang menggali di sini, agaknya kalian sedang mencari barang
tersebut?"
"Memang begitulah."
kata Hong-ho.
"Dan sudah kau temukan
belum?" tanya Thian-cia-sing.
Jawab Hong-ho sambil
menyengir, "Sudah dua tiga tombak dalamnya kami menggali tempat kediaman
Cu Bi ini, makin lama makin basah tanahnya, jelas sudah hampir mencapai mata
air di bawah tanah, tapi secarik kertas saja tidak diketemukan."
Thian-cia-sing terkikik-kikik,
katanya, "Bekerja harus sampai akhirnya, mana boleh kepalang tanggung,
kenapa tidak kau gali lagi lebih dalam?"
Ji Hong-ho tidak bicara lagi,
ia mengedipi Lim Soh-koan, keduanya mengangkat cangkul terus melompat ke dalam
kubangan tadi. Tidak lama kemudian, terlihatlah sumber air muncrat ke atas
dengan kerasnya.
Dengan basah kuyup Ji Hong-ho
dan Lim Soh-koan lantas melompat ke atas.
"Tetap tidak ditemukan
apa pun." tutur Hong-ho sambil menyengir.
Thian-cia-sing berpikir
sejenak, katanya kemudian, "Jika demikian, tampaknya Cu Bi tidak
menyembunyikan barang itu di sini."
"Tampaknya memang
demikian." ujar Ji Hong-ho dengan menyesal.
"Sudahlah, barang begini,
tidak ketemu akan lebih baik, supaya tidak membikin celaka orang," ujar
Thian-cia-sing dengan tertawa. Makin riang tertawanya sehingga terkial-kial,
bernapas saja kelihatan sesak.
Ji Hong-ho berdehem, lalu
berkata, "Jika Cianpwe tidak ada pesan lain, Cayhe ingin mohon diri
saja."
Thian-cia-sing tertawa sambil
memberi tanda, "Ya, pergilah, pergi lekas! Makin cepat makin baik.
Selanjutnya sebaiknya juga jangan sampai kulihat kau lagi. Bila melihat kau,
segera kuingat kepada si makhluk tua aneh itu, dan bila teringat kepada si
makhluk tua aneh kepalaku lantas pusing."
Dan Ji Hong-ho dan Lim
Soh-koan lantas pergi dengan sangat cepat.
Melihat kedua orang itu dapat
lolos dengan selamat, diam-diam Pwe-giok menggeleng dan menghela napas gegetun.
Seperginya Ji Hong ho dan Lim
Soh koan, terdengar Thian cia sing berseru pula dengan tertawa, "Di dalam
sana kan panas dan tak tembus hawa, lebih baik keluar saja lebih nyaman."
Kecuali anak buahnya yang
menggotong ranjang besar itu, kini di sekitar situ tidak ada orang lain lagi.
Selagi Pwe giok heran dengan
siapakah THian cia sing berbicara, tiba-tiba dilihatnya orang gendut itu lagi
menggapai-gapai ke arahnya.
Baru sekarang Pwe giok tahu
tempat sembunyinya telah diketahui Thian cia sing. Keruan ia terkejut dan
keluar keringat dingin.
Lui ji menghela napas,
gumamnya, "Lihai amat orang gendut ini."
Habis berkata, segera ia
mendahului menerobos keluar. Pwe-giok ingin mencegahnya, tapi sudah terlambat.
Nyata keberanian anak dara ini tidak kalah dari siapapun juga.
Agaknya Thian cia sing juga
tidak mengira orang yang mengintip di tempat gelap itu adalah seorang nona
cilik cantik dan kelihatan lemah lembut, tanpa terasa ia pun memperlihatkan
rasa heran.
Dalam pada itu Lui ji sudah
berhadapan dengan dia, ucapnya sambil berkeplok dan tertawa, "Wah, makanan
enak sebanyak ini kenapa kau makan sendiri, bolehkah bagi sedikit padaku? Ai,
hampir saja aku mengiler!"
Sembari bicara, tanpa permisi
lagi ia terus mencomot sebuah apel besar dan digeragori dengan lahapnya.
Sampai sekian lama Thian cia
sing melototi Lui ji, tegurnya kemudian, "Kau tidak takut padaku?"
"Ai, melihat orang ramah
dan baik hati serta lucu seperti kau, hatiku justeru sangat gembira, kenapa ku
takut padamu?" jawab Lui ji dengan tertawa.
"Tidakkah kau lihat caraku
membunuh orang tadi?"
"Ah, ksatria besar
seperti dirimu itu mana bisa membunuh seorang nona cilik, aku tidak perlu
kuatir."
"Hahahaha, menarik,
sungguh menarik!" seru Thian cia sing dengan tertawa, "Tak tersangka
anak dara sekecil ini ternyata bermulut lebih manis dari pada Oh lolo yang
licin melebihi rase tua itu. Bahkan kaupun gemar makan, tampaknya seperti anak
perempuanku malah."
"Menjadi anakmu juga
boleh, setiap hari bisa makan enak, juga tidak takut dihina orang, cuma
sayang..."
"Cuma sayang, tiada
gunanya biarpun kau mengumpak diriku," tukas Thian cia sing dengan
tertawa, "sebab sejak tadi sudah kulihat masih ada orang lain yang
sembunyi bersamamu di sana. Kenapa dia belum lagi keluar, apakah takut?"
"Takut? Kau kira dia
takut padamu?" tukas Lui ji dengan tertawa, "Apakah kau tahu siapa
dia?"
Tiba-tiba si gendut tersenyum
penuh arti dan memicingkan sebelah matanya, ucapnya, "Hahahaha, sekecil
ini kau sudah punya pacar barangkali?"
Seketika Lui ji mendelik,
omelnya, "Jangan kau sembarang omong, meski sicekku orangnya tampan dan
halus, tapi kalau marah, wah, sampai sacek juga rada takut padanya."
"Sacekmu? Siapa
dia?" tanya Thian cia sing.
"Kau kenal dia,"
jawab Lui ji dengan perlahan. "Tadi baru saja kau sebut namanya."
"O, maksudmu Hong Sam?"
si gendut jadi melengak.
"Betul, betapa lihaynya
sacek tentunya kau tahu dengan jelas," kata Lui ji dengan tertawa.
"Aha, sungguh lucu dan
menggelikan," seru Thian cia sing sambil berkeplok tertawa,
"Saudaranya Hong Sam ternyata main sembunyi di dalam tungku dan takut
dilihat orang, tapi malah menyuruh seorang nona cilik untuk membual baginya,
hahahaha, sungguh perutku bisa meledak saking gelinya."
Bahwa sampai saat ini Pwe giok
masih tetap bersembunyi di sana, diam-diam Lui ji juga merasa heran. Betapapun
Ji Pwe giok pasti bukan seorang penakut, kalau dia tidak mau keluar tentu ada
alasannya.
Tapi Lui ji juga tidak dapat
menerka apa alasannya, terpaksa ia melototi Thian cia sing lagi dan mengomel,
"Kenapa kau berani bersikap kasar terhadap sacek dan sicekku?"
Si gendut tertawa
terkial-kial, katanya, "Hahaha, apakah kau kira aku takut kepada Hong
Sam?.. Sungguh lelucon besar jika kutakut padanya.."
Lui ji memang belum pernah
melihat ada orang tidak gentar terhadap Hong Sam. Selagi dia melenggong,
tiba-tiba didalam tungku sana seorang berteriak dengan tertawa, "Hahaha,
apakah kau kira aku takut kepada Hong Sam?.. Sungguh lelucon besar jika kutakut
padanya.."
Suara tertawa itu kecil
melengking, serupa suara Thian cia sing, bila didengarnya sepintas lalu rasanya
mirip gema suara Thian cia sing.
Keruan Lui ji sangat terkejut,
sebab diketahuinya orang yang bersuara itu pasti bukan Ji Pwe giok, lalu siapa?
padahal di dalam tungku sana jelas-jelas cuma tinggal Pwe giok seorang saja.
Tampaknya Thian cia cing juga
terkejut demi mendengar suara tertawa tadi, ia berkata pula, "Jika kau
tidak keluar, mengapa kau menirukan cara bicaraku?"
Kembali orang di dalam tungku
juga berkata, "Jika kau tidak berani keluar, mengapa kau menirukan cara
bicaraku?"
"Se.... sungguhnya siapa
kau?" tanya Thian cia sing, ia tak dapat tertawa lagi, bahkan suaranya
sudah rada serak.
Tiba-tiba orang di dalam
tungku juga mengeluarkan suara serak yang sama dan menirukan, "Se...
sungguhnya siapa kau?"
Sampai sekian lamanya Thian cia
sing tertegun, mendadak ia tertawa pula dan berseru, "Aku keparat,
jahanam, sontoloyo, selain menirukan orang bicara, kepandaian lain sama sekali
tidak punya."
Kontan orang di tungku meniru
pula, Aku keparat, jahanam, sontoloyo, selain menirukan orang bicara,
kepandaian lain sama sekali tidak punya."
Si gendut berseru pula,
"Manusia paling tidak tahu malu, paling rendah di dunia ialah Eng seng
diong (si kutu peniru suara) dari Hwe seng kok (lembah gema suara)!"
Orang itu menirukan,
"Manusia paling tidak tahu malu, paling rendah di dunia ialah Eng seng
diong (si kutu peniru suara) dari Hwe seng kok (lembah gema suara)!"
Apa pun yang dikatakan Thian
cia sing selalu ditirukan orang itu, satu kata saja tidak kurang bahkan suara
tiruannya juga persis.
Lui ji merasa heran, kejut dan
juga geli, terbayang olehnya apabila dirinya bicara apapun dan selalu ditirukan
orang, maka betapa rasa dongkol dan gemas sungguh sukar dilukiskan.
Dilihatnya Thian cia sing
telah mandi keringat, dengan suara serak ia menjerit, "Jika kau berani
menirukan suaraku lagi, segera kubunuh kau!"
Tapi orang itu pun menirukan
lagi dengan suara serak, "Jika kau berani menirukan suaraku lagi, segera
kubunuh kau!"
"Kau.. kau.." Thian
cia sing jadi gelagapan sendiri, tubuhnya yang menyerupai gumpalan daging
raksasa itu mendadak melejit ke udara, seperti angin puyuh saja ia terus
menyusup ke dalam kereta raksasa tadi.
Menyusul kereta itu lantas
dilarikan dengan cepat, belasan lelaki telanjang dada itupun berlari kesana
dengan menggotong tempat tidur itu, begitu cepat seolah-olah diuber setan.
Lui ji terkesima menyaksikan
itu, dari tungku sana juga tiada kumandang suara lagi. Ia termangu-mangu
sejenak, lalu melangkah kembali ke tungku dan memanggil dengan suara perlahan,
'Sicek, adakah kau berada di dalam?"
Namun tiada jawaban. Pwe giok
seperti sudah pergi dari situ.
Keruan Lui ji kaget, cepat ia
memburu kesana dan melongok ke depan tungku, dilihatnya Pwe giok masih berada
di situ, dengan mata melotot memandangnya.
Lui ji
menghela napas lega, ucapnya dengan tertawa, "Tadi kukira orang lain,
kiranya sicek masih mempunyai kepandaian simpanan, caramu menirukan suaranya
telah membuat si gendut ketakutan dan kabur seperti melihat setan.