Jilid 4
Melihat tekad Ji Pwe-giok,
pemuda baju hitam itupun menghela napas, ucapnya: "Sayang, sungguh
sayang!"
Sejak tadi Pwe-giok juga
memperhatikannya, dilihatnya usia orang ini masih muda, tapi berdirinya setegak
gunung Thay yang kukuh, tampaknya bahkan lebih mantap daripada Lo cinjin.
Dia hanya berdiri begitu saja,
tanpa pasang kuda-kuda, namun seluruh badannya seolah-olah terjaga rapat,
sedikitpun tiada peluang yang dapat diserang musuh.
Diam-diam Pwe-giok mengerahkan
tenaga, ia merasa jalan darahnya sudah lancar, tidak ada lagi rasa kaku, ia
tahu khasiat obat bius sudah punah.
Akan tetapi setelah bekerja
keras tiga hari tiga malam tanpa istirahat dan tidur, betapapun badan terasa
pegal dan linu.
Dalam keadaan demikian
sebenarnya bukan waktunya untuk berkelahi dengan orang, tapi musuh sudah berada
di depan, terpaksa Pwe-giok membangkitkan semangat, ucapnya sambil memberi
hormat, "Silahkan!"
"Awas, sekali turun
tangan biasanya aku tidak kenal ampun, kau harus hati-hati," kata pemuda
baju hitam dengan suara kereng.
Di tengah bentakan, langkah
kedua orang saling bergeser, dalam sekejap keduanya sama-sama menyerang tiga
kali.
Begitu menyerang segera
keduanya sama menarik kembali serangannya, nyata mereka sama hendak menguji
kekuatan lawan. Memang beginilah sikap prihatin pada waktu bertempur antara
tokoh terkemuka.
Baru sekarang Pwe-giok tahu
pemuda angkuh ini tidaklah meremehkan dia.
Meski sejak mula Pwe-giok
sudah merasakan orang pasti bukan lawan empuk, akan tetapi ia sendiri pun cukup
bergaya dan berwibawa, kukuh laksana gunung.
Meski kedua orang ini
sama-sama masih muda, tapi sekali bergebrak jelas kelihatan luar biasa,
lamat-lamat sudah menyerupai gaya seorang pemimpin besar suatu aliran.
Dalam pada itu di sekeliling
kereta tadi kecuali beberapa orang berseragam hitam, mendadak dari tempat gelap
melompat keluar pula belasan orang sehingga mereka terkepung di tengah.
Sorot mata orang-orang ini
menampilkan rasa cemas dan benci, namun sikap mereka tidak tegang, jelas mereka
cukup yakin akan kemampuan si pemuda baju hitam. Semuanya percaya betapa hebat
lawannya akhirnya si pemuda baju hitam pasti akan menang.
Hanya sekejap saja kedua orang
sudah saling labrak belasan jurus, namun tiada sesuatu jurus serangan yang
istimewa. Lebih-lebih si pemuda baju hitam, meski tenaganya kuat dan
serangannya mantap, tapi jurus serangannya sangat umum.
Namun jurus-jurus serangannya
yang umum itu justeru tidak sama dengan ilmu silat golongan manapun di dunia
ini.
Biasanya ilmu silat dari suatu
aliran tersendiri tentu ada jurus serangan istimewa yang diandalkannya, akan
tetapi kungfu pemuda ini justeru begitu-begitu saja, tidak sedahsyat ilmu
pukulan Siau-lim-pay, juga tidak selincah kungfu Bu-tong-pay. Jadi tidak ada
sesuatu yang aneh, malahan sepintas pandang seperti tidak ada gunanya sama
sekali.
Diam-diam Lui-ji juga heran,
belum pernah dilihatnya seorang yang bertenaga dalam sehebat ini justeru
menggunakan jurus serangan tak becus begini. Tanpa terasa ia bergembira.
Ia pikir kalau pemuda ini
bukan belajar kepada guru yang bodoh seperti kerbau, tentunya dia berlatih
sendiri secara ngawur, maka hasilnya juga kungfu kampungan seperti cakar
kucing.
Ia pun heran mengapa Ji
Pwe-giok tidak mengeluarkan Kungfu lihai seperti apa yang digunakan untuk
menghadapi Lo-cinjin itu. Padahal bertarung dengan lawan bodoh seperti pemuda
baju hitam ini cukup dua-tiga jurus saja tentu Pwe-giok dapat merobohkannya,
adalah kejadian aneh bila lawan dapat menangkis atau menghindar.
Saking tidak sabar, hampir
saja Lui-ji berteriak, "Orang sudah menyatakan tak kenal ampun padamu,
mengapa Sicek sungkan padanya, memangnya kau hanya main-main saja dengan
dia?"
Ia tidak tahu bahwa saat itu
sama sekali Pwe-giok tidak bermaksud main-main, bahkan serba susah, malahan
hampir saja dia menyerah kalah.
Kungfu pemuda baju hitam itu
tampaknya bergaya kampungan, bodoh seperti kerbau, tapi bagi pandangan
Pwe-giok, kungfu lawan justeru tiada tandingannya di dunia ini. Hanya dia saja
yang tahu betapa lihainya jurus serangan lawan.
Hal ini seperti halnya orang
main catur, setiap langkah seorang master catur mungkin dianggap jamak oleh
orang awam, tapi setelah pihak lain bergilir melangkah barulah dirasakan
langkah lawan itu ternyata sangat hebat, hanya satu langkah itu saja telah
membikin buntu semua jalannya sehingga sukar berkutik.
Pwe-giok sendiri tidak
menyangka jurus serangan lawan yang kelihatan biasa itu bisa menimbulkan daya
tekanan sekuat itu. Melawan jurus serangan demikian, segala jurus serangan
aliran dan golongan lain di dunia ini menjadi tidak ada nilainya lagi. Sungguh
ia tidak tahu apakah di dunia ini ada orang lain yang mampu mematahkan jurus
serangan pemuda baju hitam ini?
Dalam pertempuran, bilamana
setiap gerakannya telah tertutup buntu oleh lawan, maka baginya tidak ada jalan
lain kecuali mandah disembelih orang saja. Pantas pemuda baju hitam itu yakin
pasti menang, sebab dia memang tidak mungkin terkalahkan.
Tiba-tiba pemuda baju hitam
itu berkata, "Apabila kau mendapat petunjuk guru pandai, kau memang bibit
pilihan yang dapat dipupuk, cuma sayang guru yang kau temukan kebanyakan cuma
tukang gegares belaka!"
Hati Pwe-giok menjadi panas,
serunya dengan mendongkol, "Kukira belum tentu tukang gegares
semuanya!"
"Memangnya kau masih
mempunyai jurus simpanan yang belum pernah kau keluarkan?" ejek pemuda
baju hitam.
Darah Pwe-giok menjadi
mendidih, ejekan lawan telah mendorongnya mengeluarkan segenap tenaga yang
masih tersisa padanya.
Sebenarnya dia merasa lemas,
kepala juga terasa pening, hakekatnya tidak tahu jurus serangan bagus apa yang
harus digunakannya, malahan ia pun malas untuk memikirkannya.
Tapi kata-kata pemuda baju
hitam itu telah menyinggung perasaannya, timbul sifatnya yang tidak mau tunduk
biarpun mati sekalipun, bergolak darah keangkuhannya dan membangkitkan semangatnya
yang gagah berani, maju terus pantang mundur.
Kini darah yang bergolak telah
menyadarkan benaknya yang pening tadi, mendadak ia setengah berputar, kedua
tangan menyerang bergantian.
Serangan berantai ini sambung
menyambung, sekilas pandang kedua tangan seperti lagi membuat lingkaran demi
lingkaran, tanpa putus dan tanpa berhenti.
Agaknya pemuda baju hitam itu
pun menyangka perubahan serangan Pwe-giok itu, cepat ia menyurut mundur, ia
tidak balas menyerang lagi, melainkan terbelalak mengikuti setiap jurus
serangan Pwe-giok.
Bahwa pemuda baju hitam itu
tidak menyerang lagi, sekarang Lui-ji malah dapat melihat kelihayannya.
Tangannya tidak bergerak, bahunya tidak bergoyang, tidak menangkis dan juga
tidak balas menyerang. Tapi betapa Pwe-giok berganti jurus serangan tetap tak
dapat menyenggol seujung bajunya.
Jurus serangan Pwe-giok masih
terus memburu laksana air raksa tertumpah, setiap lubang dimasukinya. Tapi
pemuda baju hitam itu tetap tenang-tenang saja, dia hanya menggeser dengan
enteng saja dan entah cara bagaimana, tahu-tahu ia sudah meluncur ke bagian
luang serangan Pwe-giok itu.
Jelas-jelas Lui-ji menyaksikan
serangan Pwe-giok kacek beberapa senti saja pasti dapat mengenai sasarannya,
tapi entah mengapa, tenaga Pwe-giok seolah-olah hanya sampai di situ saja dan
sukar ditambah lagi sehingga sukar bergerak lebih jauh.
Setelah mengikuti sejenak pula
pertarungan mereka itu, akhirnya tangan Lui-ji berkeringat dingin, diam-diam ia
terkejut, "Tak tersangka orang yang kelihatannya bodoh dalam gerakan dan
lambat serangan ini, kakinya selincah ini?"
Ia tidak tahu bahwa pondasi
ilmu silat justeru terletak pada kedua kai, betapa lihaynya sesuatu serangan,
bilamana tidak disertai langkah kaki yang kuat dan tepat, maka percumalah
serangannya bahkan untuk bertahan juga memerlukan langkah kaki yang kuat.
Dan langkah kaki pemuda baju
hitam ini justeru tiada bandingannya, langkah kaki yang khas.
Dalam sekejap saja Pwe-giok
sudah menyerang belasan jurus. Mendadak terdengar pemuda baju hitam itu
membentak, "Berhenti!"
Begitu terdengar suaranya,
mendadak tubuhnya melayang ke atas, sekali loncat setinggi empat tombak. Dalam
keadaan demikian, sekalipun Pwe-giok tidak mau berhenti terpaksa juga harus
berhenti.
Dari bawah memandang ke atas,
tubuh pemuda baju hitam itu seolah-olah berhenti mengapung di udara dan tak
bergerak lagi. Ginkang sehebat ini, sungguh belum pernah dilihat Lui-ji selama
ini.
Terdengar pemuda itu bertanya
dengan suara kereng, "Apakah kau anggota keluarga Hong dari Kanglam?"
Sebelum Pwe-giok bersuara,
cepat Lui-ji mendahului, "Apakah kau kenal sacekku?"
Belum habis ucapannya si
pemuda baju hitam sudah hinggap di depannya, matanya yang terbelalak itu
menampilkan rasa kejut dan heran, tanyanya, "Apakah Hong sam adalah
Sacekmu?"
"Hm, jika kau tahu nama
beliau, kenapa bicaramu sekasar ini?" dengus Lui-ji.
Pemuda baju hitam memandang
Pwe-giok sekejap, lalu berkata, "Kau panggil dia sicek, jangan-jangan dia
....."
"Sicek dengan sendirinya
adalah saudara sacek," tukas Lui-ji.
"Masa kau ini adiknya
Hong sam?" seru si pemuda baju hitam.
Ucapan ini ditujukan kepada
Pwe-giok, tapi Lui-ji telah mendahului menjawab, "Ya, dengan
sendirinya."
Sejenak pemuda itu melototi
Pwe-giok, lalu menghela napas gegetun dan berkata, "Adik Hong sam ternyata
mau menjual nyawa bagi Oh-lolo, pantas anggota keluarga Hong makin hari makin
merosot." Lui-ji tidak tahan, serunya, "Sebabnya Sicek bergebrak
denganmu bukan lantaran membela Oh-lolo, tapi demi diriku."
"Demi dirimu?"
pemuda baju hitam itu menegas dengan melengak.
"Tentunya kau tahu betapa
kemahiran menggunakan racun Oh-lolo yang tiada bandingannya," kata Lui-ji.
"Huh, kepandaian rendahan
begitu apa artinya bagiku?" jengek pemuda baju hitam.
"Bilamana kau sendiri
terkena racunnya baru kau tahu rasa dan tidak dapat omong lagi," Lui-ji
balas mengejek.
"Hah, untuk bisa meracuni
diriku, mungkin dia harus bertambah lagi sepuluh buah kepala." seru pemuda
baju hitam dengan tertawa pongah. Mendadak ia pandang Lui-ji dengan bertanya,
"Jangan-jangan kau terkena racunnya?"
"Betul, saat ini kami
sedang menggiring dia pulang ke rumah untuk mengambil obat penawar. Orang mati
tentunya tak dapat mengambil obat penawar, makanya kami merintangi maksudmu
akan membunuhnya."
"Jika demikian, mengapa
tidak sejak tadi kau katakan?" kata si pemuda dengan berkerut kening.
"Bilamana kami katakan
tadi apakah kau percaya?" tanya Lui-ji.
Pemuda itu termenung sejenak,
jawabnya kemudian, "Ya, tentu aku tidak percaya. Bila kalian katakan tadi,
tentu kukira kalian adalah sanak keluarga Oh-lolo dan hendak membelanya, mana
bisa ku lepas kalian pergi."
"Jujur juga kau
ini," ujar Lui-ji.
"Apalagi, seumpama kau
percaya keteranganmu dan memberi kesempatan kepada kalian untuk mengambil obat
penawar, habis itu baru ku turun tangan, tapi kukira kalian pun takkan
mendapatkan obat penawarnya, sebab kalau Oh-lolo tahu akhirnya dia tetap akan
mati, tidak nanti dia rela menyerahkan obat penawarnya kepada kalian."
"Betul, makanya sicekku
terpaksa harus bergebrak denganmu," kata Lui-ji, "sebab Sicek sudah
memperhitungkan dengan baik, bila ingin Oh-lolo menyelamatkan diriku, lebih
dulu Oh-lolo harus diselamatkan."
Sorot mata si pemuda baju
hitam pelahan bergeser ke arah Ji Pwe-giok, katanya, "Telah bersusah payah
juga kau demi untuk menolong dia."
Pwe-giok tersenyum hambar,
ucapnya, "Jika kau jadi diriku, kau pun akan berbuat demikian."
Mendadak pemuda baju hitam
berkata dengan suara bengis, "Tapi apakah kau tahu berapa banyak orang
yang telah menjadi korban keganasan Oh-lolo, tahukah kau bila dia tidak mati,
selanjutnya entah berapa lagi orang yang akan terbunuh olehnya. Hanya demi
menyelamatkan jiwa nona ini, jiwa orang lain lantas tak terpikir olehmu?"
"Hal ini sudah
kupikirkan," jawab Pwe-giok sambil menghela napas.
Gemerdep sinar mata pemuda
baju hitam, katanya, "Apakah maksudmu setalah Oh-lolo menyerahkan obat
penawarnya, lalu akan kau serahkan dia kepada kami?"
Pwe-giok membungkam tanpa
menjawab.
Memang begitulah maksudnya,
tapi hal ini tidak boleh diutarakannya, sebab kalau sampai Oh-lolo tahu jalan
pikirannya, tentu dia takkan menolong Cu Lui-ji.
"Tapi seumpama begitulah
jalan pikiranmu, sekarang kau tetap akan menggempur mundur kami, begitu
bukan?" tanya pula si pemuda baju hitam.
Pwe-giok tetap tutup mulut
tanpa menjawab. Diam sama dengan mengiakannya.
"Jadi, apapun juga kau
bertekad akan duel denganku?" pemuda baju hitam itu menegas pula.
Pwe-giok menghela napas
panjang, jawabnya "Ya, memang begitulah!"
"Tapi sekarang tentunya
kau tahu, paling sedikit pada saat ini kau masih bukan tandinganku, jika kau
ingin menggempur mundur kami, bisa jadi kau yang akan kubunuh lebih dulu."
"Sekalipun begitu, tetap
akan kulakukan dan tiada pilihan lain," jawab Pwe-giok.
"Kau pandang jiwa orang
lain sedemikian pentingnya, mengapa memandang enteng jiwanya sendiri?"
tanya pemuda baju hitam.
"Bagiku, ada yang tidak
perlu kulakukan, tapi ada pula yang harus kulakukan, terhadap mati an hidup
tidak terlalu kuperhatikan." jawab Pwe-giok hambar.
Mendadak pemuda baju hitam
bergelak tertawa, serunya, "Bagus, bagus! Sudah lama kata 'ada yang tak
perlu kulakukan dan ada pula yang harus kulakukan' tidak pernah kudengar,
sekarang dapat ku dengar lagi, sungguh terasa menyegarkan."
Di tengah suara tertawanya ia
terus mendekati kereta dengan langkah lebar.
Cepat Pwe-giok menghadang di
depan orang, ucapnya dengan suara berat, "Bila saat ini hendak kau bunuh
dia, terpaksa harus kau bunuh diriku lebih dulu."
"Aku hanya ingin minta
obat penawar padanya," kata pemuda baju hitam dengan tertawa.
Pwe-giok melengak, ucapnya,
"Mana dia mau memberikan obat penawarnya kepadamu?!"
Kembali pemuda baju hitam
tersenyum, katanya, "Orang lain tak dapat menyuruh dia menyerahkan obat
penawar, aku mempunyai caraku sendiri."
"Kau sanggup?" tanya
Pwe-giok ragu.
"Kau tidak percaya?"
Belum lagi Pwe-giok
menanggapi, pemuda it telah menyambung, "Bila aku tidak dapat menyuruh dia
menyerahkan obat penawarnya, biarlah kepalaku ini kuberikan padamu."
Dengan suatu gerakan enteng,
tahu-tahu ia telah menyelinap lewat disamping Pwe-giok.
Keadaan di dalam kereta sunyi
senyap, agaknya, Oh-lolo ketakutan setengah mati sehingga bernapas saja tidak
berani keras-keras. Sesungguhnya siapakah gerangan pemuda baju hitam ini
sehingga membuat Oh-lolo ketakutan setengah mati?
Apakah dia benar-benar sanggup
menyuruh Oh-lolo menyerahkan obat penawarnya?
Dalam pada itu kelihatan pintu
kereta telah ditarik oleh pemuda baju hitam sambil berkata, "Kau
....." hanya satu kata saja terucapkan, seketika ia melenggong dan tidak
dapat bersuara pula.
Cahaya sang surya menembus ke
dalam kabin kereta melalui pintu yang sudah terpentang itu sehingga kelihatan
gemerlapan jok yang berlapiskan kain sutera emas itu.
Terlihat Oh-lolo berduduk
setengah berbaring di atas jok yang bergemerlapan itu, dari lubang hidung, mata,
mulut dan telinga mengalirkan darah hitam sehingga wajahnya yang sudah buruk
itu bertambah menakutkan.
Akan tetapi pada ujung mulut
nenek itu masih menampilkan secercah senyuman keji, senyuman mengejek
seakan-akan berkata. "Obat penawar takkan kau peroleh, siapapun tak mampu
menyuruhku serahkan obat penawar. Aku mati, terpaksa Cu Lui-ji harus mengiringi
kematianku!"
Darah dalam tubuh Pwe-giok
serasa membeku, butiran keringat merembes keluar di dahinya.
Keji amat nenek ini, mati pun
dia tetap membikin celaka orang lain.
Tiba-tiba si pemuda baju hitam
berpaling dan bertanya kepada Lui-ji, "Racun yang mengenai dirimu ini
apakah benar tak dapat dipunahkan dengan cara lain kecuali obat
penawarnya?"
Air mata Lui-ji
berlinang-linang, ia seperti tidak mendengar apa yang dikatakannya.
Pwe-giok juga sangat berduka,
ucapnya, "Sekalipun masih dapat dipunahkan dengan obat penawar lain juga
waktunya mungkin tidak keburu lagi."
"Sebab apa?" tanya
si pemuda baju hitam.
"Bilamana fajar
menyingsing, tentu racun akan bekerja," tutur Pwe-giok.
"Sampai fajar menyingsing
nanti masih ada berapa jam lagi," tanya pemuda baju hitam dengan suara
parau.
Pwe-giok tidak menjawab, tapi
diantara orang yang berseragam hitam ada yang berseru, "Saat ini baru
lewat tengah malam, sampai fajar menyingsing nanti masih ada tiga-empat jam
lagi."
"Tiga-empat jam!"
pemuda baju hitam bergumam sambil termangu-mangu.
Mendadak Pwe-giok membalik
tubuh dan berteriak dengan suara serak, "Sekarang sakit hati kalian sudah
terbalas, bilamana kalian merasa belum cukup, boleh silahkan kalian mencacah
mayatnya pula, dengan demikian barulah akan terbukti kalian adalah laki-laki
sejati yang tidak lalai menuntut balas."
Karena emosi, cara bicaranya
menjadi beringas, seakan-akan rasa duka dan marah yang memenuhi rongga dadanya
itu hendak ditumpahkan seluruhnya.
Orang-orang berseragam hitam
itu sama menunduk. Pada dasarnya mereka adalah orang baik-baik, demi menuntut
balas mereka bisa berubah sangat buas, tapi sekarang dalam hati mereka menjadi
tidak tenteram bagi Pwe-giok, belasan orang itu memberi hormat kepada si pemuda
baju hitam, lalu sama mengundurkan diri dan menghilang dalam kegelapan.
Tanpa terasa Pwe-giok juga
menunduk, air mata pun bercucuran.
Mendadak Lui-ji menubruk ke
dalam pangkuan Pwe-giok sambil menangis keras-keras, ratapnya, "O, Sicek,
aku... aku bersalah padamu...."
"Dalam hal apa kau
bersalah padaku?" ujar Pwe-giok dengan pedih. "Hanya akulah yang
ber... bersalah padamu."
"Sicek, kau.... kau tidak
tahu akan diriku," kata Lui-ji dengan tersedu-sedan.
Tiba-tiba Pwe-giok berkata,
"Kau tidak perlu panggil Sicek lagi padaku."
Tergetar tubuh Lui-ji,
"Seb... sebab apa?"
Pwe-giok tersenyum pedih,
katanya, "Sesungguhnya tidak seberapa banyak aku lebih tua dari padamu,
pantasnya kau panggil kakak padaku, bukankah sejak mula kau tidak ingin menjadi
keponakanku melainkan berharap akan menjadi adik perempuanku?"
Lui-ji menengadah dan
memandang Pwe-giok dengan termangu-mangu, entah kejut, entah girang? Meski di
tengah air mata yang berlinang itu sekilas terunjuk rasa girangnya, tapi dalam
sekejap ia menjadi berduka pula.
Memandangi wajah yang cantik
bak bunga yang sedang mekar, memandangi kerlingan mata si nona yang menggetar
sukma itu, dalam hati Pwe-giok juga berduka dan menyesal tak terkatakan.
Diam-diam ia memaki dirinya
sendiri: "Sudah jelas kutahu isi hatinya, mengapa baru sekarang kuterima
permintaannya? Dan sekarang jiwanya tinggal tiga empat jam lagi, kehidupannya
yang singkat ini boleh dikatakan tidak pernah merasakan bahagia, mengapa tidak
sejak dulu-dulu kuterima kehendaknya agar dia mendapat kesempatan lebih banyak
untuk bergembira?"
Si pemuda baju hitam seperti
menghela napas panjang dan berkata, "Sayang!" lalu berpaling lagi ke
sana, pandangannya tertuju lagi ke dalam kabin kereta, baru sekarang dilihatnya
di dinding kabin ada beberapa baris huruf.
Jelas huruf itu digores dengan
kuku jari Oh-lolo yang mirip cakar burung itu, dengan sendirinya tulisannya
tidak begitu jelas, namun masih dapat terbaca, begini bunyinya :
Di belakang ada Thian-sip. di
depan ada Thian-long. Dunia seluas ini, tapi tiada tempat untuk bersembunyi;
Dengan kematian terbebaslah segalanya, hendaklah kalian jangan cemas; Pulangkan
jenazahku, akan kuhadiahi....
Segera Lui-ji dapat melihat
tulisan tersebut, ia membacanya beberapa kali, tiba-tiba ia bergumam
"Thian-long (serigala langit)? Siapakah Thian-long?"
"Aku inilah
Thian-long." kata si pemuda baju hitam.
Lui-ji memandangnya sekejap,
lalu berkata, "Orang baik-baik, kenapa mesti memakai nama buas begitu?"
"Nama ini tidak buas,
tapi melambangkan sebuah bintang besar," tutur si pemuda berbaju hitam.
"Bintang besar?"
Lui-ji menegas.
"Ya," jawab si
pemuda baju hitam dengan angkuh. "Menurut catatan kuno, di sebelah timur
ada bintang besar mirip serigala. Bintang ini sukar terlihat dengan mata
telanjang, sebab bintang ini selalu muncul dan menghilang bersama
matahari."
"Kecuali itu apakah kau
tidak mempunyai nama lain?" tanya Lui-ji sambil mengernyitkan kening.
"Ada, namaku yang lain
ialah Hay Tong-jing," tutur pemuda itu.
"Hay Tong-jing?"
Lui-ji mengulang nama tersebut.
Pemuda berbaju hitam alias Hay
Tong-jing itu tersenyum. Ia berpaling memandang Pwe-giok yang lagi dirundung
kesedihan itu. Katanya kemudian, "Kulihat kau ini seorang pemuda yang
berbudi. Tapi kalian tidak perlu murung, kuyakin obat penawar yang dikatakan
nenek celaka ini masih ada harapan untuk diperoleh, terutama bila melihat
tulisan yang ditinggalkannya ini, di sini jelas dia menyatakan, asalkan
jenazahnya dipulangkan ke rumahnya, maka dia akan menghadiahkan.... Hadiah apa
tidak sempat ditulisnya, tapi kukira yang dimaksudkan adalah obat
penawarnya."
"Walaupun begitu, kemana
lagi harus kita kembalikan jenazahnya?" ujar Lui-ji
"Kutahu, tempat
tinggalnya tidak terlampau jauh dari sini, tentu masih keburu, tanggung
beres," kata Hay Tong-jing. "Marilah kalian ikut padaku."
Segera ia angkat mayat Oh-lolo
dan melompat ke atas kudanya, ia memberi tanda agar Pwe-giok dan Lui-ji
mengikutinya.
Tanpa ragu lagi Pwe-giok dan
Lui-ji mengeluarkan Ginkang mereka mengintil di belakang kuda Hay Tong-jing.
Kira-kira dua-tiga jam mereka
menempuh perjalanan, diam-diam Pwe-giok dan Lui-ji merasa gelisah mengingat
waktu bekerjanya racun sudah sangat dekat.
"Apakah masih jauh?"
tanya Lui-ji sambil berlari.
"Sudah dekat, itu, di
dinding benteng sana," jawab Hay Tong-jing.
Waktu mereka memandang ke
muka, terlihatlah tembok benteng membentang megah di depan sana, dari tembok
bentengnya yang tinggi besar itu dapat dibayangkan kota ini pasti sangat ramai
dan makmur. Cuma sekarang sudah jauh malam, bahkan dekat pagi, suasana sunyi
senyap, pintu gerbang benteng tampak tertutup rapat.
"Apakah Oh-lolo tinggal
di kota ini?" tanya Pwe-giok.
"Ya, tak tersangka olehmu
bukan?" ujar Hay Tong-jing.
Pwe-giok menghela napas.
Katanya, "Melihat tindak-tanduknya, selama hidup ini tentu tidak sedikit
dia bermusuhan dengan orang, tadinya kukira tempat tinggalnya pasti di suatu
tempat yang sangat terpencil dan dirahasiakan, tak tersangka dia justeru
berdiam di dalam kota yang ramai."
"Tempat tinggalnya
justeru sengaja diatur sehingga sukar diduga orang." tutur Hay Tong-jing.
"Bagaimana, sanggupkah kalian melintasi tembok kota ini?"
"Jangan kuatir,"
kata Lui-ji, "Biarpun lebih tinggi lagi tembok ini juga kami sanggup
melintasinya, hanya kawanmu yang berkaki empat ini mungkin...."
"Kau pun tidak perlu
kuatir baginya, ia pun sanggup manjat ke atas," jengek Hay Tong-jing.
"Baik, kau sendiri yang
bicara demikian, justeru kami ingin menyaksikan cara bagaimana dia akan naik ke
atas tembok, memangnya mendadak dia akan tumbuh sayap?" jengek Lui-ji.
Sambil bicara diam-diam ia
menghimpun tenaga, tapi mendadak ia berkata kepada Pwe-giok, "Wah,
kepalaku terasa agak pening, bagaimana kalau kau pegang diriku?"
Meski demikian ucapnya, sesungguhnya
dia kuatir Pwe-giok kekurangan tenaga, maka diam-diam ingin membantunya.
Pwe-giok menepuk tangan si
nona, ucapnya dengan suara lembut, "Orang lain menganggap kau ini nakal
dan jahil, padahal kau adalah nona yang halus budi, anak perempuan yang lemah
lembut."
Muka Lui-ji menjadi merah,
tapi hangat pula perasaannya, ia tidak tahu bahwa apa yang diucapkan Pwe-giok
itu bukan ditujukan kepadanya.
Tiba-tiba terdengar suara
kesiur angin seperti anak panah terlepas dari busurnya, tahu-tahu Hay Tong-jing
sudah melayang ke atas tembok benteng, kedua tangannya terangkat lurus ke atas
dengan menyanggah mayat Oh-lolo.
Lui-ji mencibir, jengeknya,
"Coba kau lihat lagaknya yang sombong itu, dimana dan kapanpun ia selalu
ingin pamer kepandaiannya, mirip seorang yang kaya mendadak, sedapatnya ingin
orang lain mengetahui akan kekayaannya."
Pwe-giok tersenyum, katanya,
"Orang muda yang sudah menguasai kungfu setinggi itu, seumpama agak
sombong kan juga pantas, apalagi, orang sombong biasanya tentu dapat dipercaya,
sebab dia pasti tidak sudi berbuat sesuatu yang memalukan." "Tapi
usiamu sendiri juga belum tua, kungfumu juga hebat, mengapa kau tidak sombong
sedikitpun?" "Sebab... sebab aku memang tidap dapat dibandingkan
dia" "Siapa bilang kau tidak dapat dibandingkan dia ?" ujar
Lui-ji dengan suara lembut. "Dalam pandanganku, biarpun sepuluh orang
lihay Tong-jing juga tak dapat membandingi kau seorang."
Dia tidak memberi kesempatan
bicara kepada Pwe-giok, segera ia menariknya dan melompat bersama ke atas
tembok benteng.
Tatkala itu suasana aman
sentosa, penjaga benteng sudah tertidur, sejauh mata memandang didalam benteng
hanya berkelipnya lampu yang jarang, seluruh kuta sudah tenggelam di dalam
tidur.
Lui-ji memandang Hay Tong-jing
sekejap, ia bertanya, "Mengapa cuma kau saja yang naik ke sini, kenapa
kawanmu itu tidak kau ajak?" "Bilakah pernah kulihat kuda yang main
ginkang?" jawab Hay Tong-jing dengan tertawa.
"Tapi baru saja kau
bilang kudamu dapat naik ke sini ?" kata Lui-ji dengan melengak.
"Kata kataku tadi hanya
untuk mengapusi anak kecil saja." ujar Hay Tong-jing dengan tak acuh.
Sungguh tidak kepalang gemas
Cu Lui-ji, tapi tidak mampu balas mendebat, sebab kalau dia mendebat, sama
halnya dia mengakui dirinya adalah anak kecil.
Untuk pertama kalinya Cu Lui-ji
benar-benar ketanggor alias ketemu batunya.
* * *
Di bawah sinar bulan, wuwungan
rumah yang berderet deret itu laksana perak yang berserakan. Dari kejauhan
terkadang "berkumandang suara kentongan peronda sehingga bumi raya ini
terasa semakin hening.
Setelah meraka melintasi
beberapa jalan raya, samar-samar terdengar suara orang yang ramai. Suara orang
yang sedang memanggil kereta, ada yang sedang mengantar tamu dan ada yang
sedang membual seperti orang mabuk.
Terdengar suara nyaring
seorang gadis sedang berkata dengan tertawa, "Ci-siauya dan Thio-siauya,
besok malam hendaknya kalian datang agak siangan, akan ku turun ke dapur dan
mengolah sendiri beberapa macam masakan lezat untuk dahar kalian."
Suara seorang lelaki menjawab
dengan bergelak tertawa, "Haha, bagus, bagus, bagus, asalkan si macan
betina di rumah si Ci ini tidak meraung, tentu kami akan datang
sedininya."
Lalu suara seorang nenek
menukas dengan tertawa, "Sebaiknya Tan-siauya juga kalian ajak sekalian,
katakan kepadanya Bun-bun sudah sangat rindu padanya."
Seorang lelaki lain terkekeh
kekeh dan berkata, "Hehe, yang dirindukan Bun-bun kalian mungkin bukan
orangnya melainkan fulusnya!"
"Ai, CI-siauya, janganlah
kau sembarangan menuduh," kata nenek itu. "Nona kami mungkin tidak bersungguh
sungguh kepada orang lain, tapi terhadap kalian bertiga, sungguh kalau bisa
para nona kami ingin memperlihatkan isi hatinya kepada kalian."
"Hiang-hiang, apakah
benar kaupandang diriku tidak sama dengan orang lain?" tanya Tio-siauya
kepada gadis langganannya.
"Sungguh mati, tentu saja
lain," jawab si nona yang bernama Hiang-hiang. "Memangnya perlu ku
korek keluar hatiku untuk membuktikan kesungguhanku ?"
Maka bergelak tertawalah
Thio-siauya dan Ci-siauya, lalu berangkatlah keretanya.
Sejenak kemudian terdengar
suara si nenek mengomel. "Sialan dasar pelit, kedua bocah ini
paling-paling cuma habis satu cawan saja, tapi selalu ngendon hingga lewat
tengah malam, hanya mengganggu langganan lain saja."
Si Hiang-hiang juga mengomel,
"memang, kalau datang lagi besok, bila gelang emas yang dia janjikan tidak
terbukti, tentu akan kukerjai dia!"
* * *
Lui-ji melenggong setelah
mengikuti percakapan meraka itu, tanyanya, "Wah, apa pekerjaan orang-orang
ini ?" "Masa kau tidak tahu?" kata Hay Tong-jing. "Kecuali
kaum bandit, di dunia ini hanya pekerjaan inilah yang tidak memakai
modal."
Lui-ji ingin bertanya pula,
tapi mendadak ia paham apa arti ucapan Hay Tong-jing itu, dengan muka merah
iapun mengomel, "He. ken... kenapa kau bawa kami ke tempat setan ini
?" "Kalau tidak kubawa kalian ke sini habis kubawa kemana?"
jawab Hay Tong-jing.
Pwe-giok terkejut, katanya,
"Masa di sinilah ru... rumah Oh-lolo ?" "Ya, tak tersangka
bukan?" kata Hay Tong-jing.
Pwe-giok tertegun, ucapnya
kemudian, "Memang betul juga, tempat tinggalnya ini justru sengaja
membikin orang tidak pernah menyangkanya, sebab siapa pun yang akan mencari dia
untuk menuntut balas, tentu tiada seorang pun yang berpikir dia adalah germo
rumah pelacuran ini."
"Bahkan, siapa saja yang
masuk rumah pelacuran, tentu akan lupa daratan, apalagi kalau akar sudah masuk
perut dan berhadapan dengan si cantik, maka sukarlah untuk menjaga rahasia,
sebab itulah segala apa yang terjadi di dunia Kangouw, hampir semuanya
diketahui oleh Oh-lolo," demikian tutur Hay Tong-jing.
Tiba tiba Lui-ji menjengek,
"Hm, tampaknya banyak sekali pengetahuanmu mengenai tempat beginian,
tentunya pengalamanmu juga sangat luas" "Betul, pengalamanku memang
sangat banyak," Jawab Hay Tong-jing tak acuh, "melulu 'Bong-hoa lau'
ini saja, sedikitnya ada tujuh orang nona cantik langgananku, salah satu
diantaranya adalah Hiang-hiang (si harum) yang disebut sebut tadi."
Lui-ji mencibir. Baru saja ia
hendak berkata pula, cepat Pwe-giok menyeletuk, "Bila Hay-heng tidak apal
dengan tempat ini, mana tahu bahwa Bong-hoa-lau inilah serangnya Oh-lolo."
Sembari bicara mereka sudah
belok ke jalan raya di depan sana, tertampaklah sebuah rumah dengan pintu
bercat merah, di depan pintu tergantung sebuah lampu merah berkerudung, ada
papan nama yang bertuliskan "Bong-hoa-lau" (Rumah memandang bunga).
Saat itu ada dua lelaki
berbaju cekak sedang berbenah di luar pintu, tampaknya sebentar lagi rumah
hiburan ini akan tutup pintu. Terlihat ada seorang berjubah panjang warna hijau
berdiri diambang pintu dan sedang mengamat-amati lampu berkerudung itu sambil
memberi pesan kepada kedua pekerja tadi agar kerudung lampu yang sudah hangus
itu besok diganti yang baru.
Agaknya ia pun merasakan ada
orang mendekatinya, mendadak ia berpaling.
Di bawah cahaya lampu terlihatlah
usia orang ini antara 40-an, tapi masih kelihatan gagah, rambut tersisir licin,
jenggot juga terpelihara, bajunya juga perlente, tampaknya seorang yang biasa
hidup senang-senang dan ongkang-ongkang, tapi juga mirip seorang ahli pelesir.
Orang macam begini ternyata berdiri diambang pintu rumah pelacuran, bahkan
berlagak seperti germonya, hal ini sungguh sangat aneh.
Baru saja Hay Tong-jing
mendekati, kedua lelaki berbaju cekak tadi lantas menyongsong kedatangannya
sambil memberi hormat serta menyapa, "Ah, kiranya Hay-siauya! Sudah lebih
dua bulan anda tidak pernah berkunjung kemari, hari ini entah angin apa yang
meniup anda ke sini ? Tapi mengapa Hay-siauya datang begini malam ?"
"untung nona Hiang-hiang
belum lagi tidur, dia seolah-olah mengetahui akan kedatangan Hay-siauya, maka
sejak petang tadi dia sudah duduk menunggu di kamarnya dan tidak mau terima
tamu manapun juga," demikian tukas seorang lagi.
Hay Tong-jing tidak
menghiraukan mereka, dia hanya terbelalak menatap orang berbaju hijau tadi.
Terpaksa orang itu memberi
hormat, katanya dengan mengiring tawa, "Sudah jauh malam, rumah hiburan
ini baru saja akan kami tutup, tapi lantaran anda adalah langganan, maka...
" "Kau inikah tuan rumahnya ?" potong Hay Tong-jing sebelum
lanjut ucapan orang.
Orang itu mengiakan dengan
tertawa. "Kenapa tidak pernah kulihat kau sebelum ini?" taka Hay
tong-jing pula.
"Cajhe orang awam,
bilamana sering muncul di depan umum, bukankah akan mengganggu kesenangan para
tuan tamu ?" jawab orang itu dengan tertawa.
"Betul juga," dengus
Hay Tong-jing. "Orang yang datang ke sini bertujuan mencari perempuan,
bila mana dihadapi adalah lelaki, tentu seleranya akan berkurang. Tapi kukira
sebabnya kau bersembunyi mungkin bukan lantaran kau kuatir akan menghilangkan
selera langgananmu, betul tidak?"
Wajah lelaki perlente itu
tadinya berseri seri, makin bicara makin terasa tidak klop. maka senyum
simpulnya perlahan lantas berubah menjadi menyengir dan akhirnya dia hendak
angkat langkah seribu.
Akan tetapi sudah terlambat,
mendadak Hay Tong0jing membentak. "Berhenti!"
Orang itu menyengir dan
berkata, "Cayhe akan memanggil Hiang hiang untuk... " "Tidak
perlu kau panggil Hiang-hiang, yang kucari ialah dirimu," kata Hay
Tong-jing.
"Diriku?" orang itu
menegas.
"Ya, meski kau tidak
kenal aku, namun kukenal kau," ujar Hay Tong-jing.
Air muka orang itu berubah
pucat, jawabnya sambil menyengir, "Wah, jangan-jangan nona di sini telah
berbuat kesalahan apa-apa sehingga membikin marah tuan tamu."
"Memang betul ada orang
di sini yang bersalah padaku," kata Hay Tong-jing.
"O, siapa dia? Apakah
Hiang-hiang?" cepat orang itu bertanya.
"Bukan!" jawab Hay
Tong jing.
"Apakah....apakah
Siau-siau(si kecil)?"
"Bukan Siau-siau, tapi
Lolo (situa)!"
Kembali air muka orang itu
berubah, ia terkekeh dan berkata, "Ai tuan sungguh suka bergurau."
Dalam pada itu Lui-ji juga
sudah mendekat ucapnya dengan tidak sabar, "Untuk apa banyak omong dengan
orang macam begini? Suruh dia memanggil lakinya Oh-lolo keluar saja!"
"Tahukah kau siapa orang
ini?" tanya Hay Tong-jing tiba-tiba.
Luiji terkejut, serunya,
"Apakah.....apakah dia inilah lakinya Oh-lolo?"
oO0Oo
Bahwa nenek jompo itu ternyata
bersuamikan seorang lelaki necis begini, sungguh mimpi pun tak pernah terbayang
oleh Cu Lui-ji.
Didengarnya Hay Tong-jing
berkata pula, "Apakah kau tahu sebabnya dia senantiasa bersembunyi dan
tidak berani menemui orang luar?"
"Tidak tahu," jawab
Lui-ji.
"Sebabnya di masa lampau
ia pun seorang tokoh yang cukup ternama di dunia Kangouw. tapi sekarang dia
telah menjadi germo, bilamana hal ini diketahui oleh sahabatnya, bukankah pamor
nenek moyangnya akan runtuh habis-habisan?"
Lui ji berkedip-kedip,
tanyanya kemudian, "Apakah dia cukup terkenal di dunia Kangouw?"
"Ya, lumayan," jawab
Hay Tong-jing.
"Siapa namanya?"
tanya Lui ji.
"Dia inilah tuan muda
Bau-bok-sam-ceng dari Hong-san, di dunia Kangouw terkenal dengan julukan
'Ji-hoa-kiam-khek' (pendekar pedang laksana bunga), namanya Ji Yak ih."
"Ji-hoa-kiam-khek? Hah,
boleh juga julukan ini," ujar Lui ji dengan tertawa. "Cuma sayang,
hasratnya sekuntum bunga ditancapkan pada satu onggok kotoran sapi, orang
ganteng begini ternyata beristerikan seorang nenek jompo sejelek siluman."
"Masakah kau tidak pernah
melihat seorang nona cilik belasan tahun diperistri oleh seorang kakek
jompo?" tanya Hay Tong-jing.
"Itu tidak dapat
dipersamakan..."
"Kenapa tidak sama?"
tukas Hay Tong-jing. "Nona cilik menjadi isteri kakek jompo, tujuannya
tentu ingin mendapat warisan si kakek. Tapi orang ini mengawini Oh-lolo bukan
kemaruk kepada harta, melainkan mengincar ilmu silat Oh-lolo."
Wajah Ji Yak-ih sebentar merah
sebenar pucat, Lui-ji menduga bilamana orang tidak kalap dan menyerang, tentu
juga akan gemas setengah mati.
Siapa tahu, sampai sekian
lamanya dia tetap diam saja, bahkan air mukanya berseri-seri pula, katanya,
"Jika kalian hendak mencari diriku, kenapa tidak berduduk di dalam
saja!"
"Hm, seumpama tidak kau
undang juga kami akan masuk sendiri ke situ," jengek Hay Tong-jing.
Kedua lelaki berbaju cekak
yang sedang membersihkan lantai tadi sampai terkesima mengikuti percakapan
mereka, mendadak mereka hendak mengeluyur pergi, tapi mendadak Hay Tong-jing
membalik tubuh dan menyerahkan barang yang dijinjingnya kepada mereka sambil
berkata, "Gotong masuk ke dalam sana!"
Kedua orang itu takut-takut
untuk menerimanya, tapi juga tidak berani menolak. Mereka merasa tangan agak
lemas, baru saja barang yang disodorkan itu mereka angkat, hampir saja terjatuh
ke tanah.
Syukur Hay Tong-jing keburu
menyanggah dengan tangannya, lalu berkata dengan bengis, "Apakah kau tahu
barang apa ini?"
"Ti… tidak tahu,"
jawab lelaki perlente tadi.
Belum Hay Tong-jing berkata
pula, tiba-tiba Lui-ji menyela dengan tertawa, "Barang ini tak ternilai
harganya, jika terbanting rusak, tentu celakalah kalian!"
Lelaki perlente tadi
berkedip-kedip, tanyanya, "Apakah hadiahnya Hay-siauya untuk nona
Hiang-hiang (si harum)?"
"Betul, memang hadiah
yang sengaja kami antar kemari," tukas Lui-ji. "Tapi bukan untuk si
nona harum, melainkan untuk si bau."
Orang itu melengak, dengan
menyengir ia berkata, "Ah, nona ini suka bergurau, di sini mana ada nona
yang bernama si bau?"
"Sekuntum bunga
ditancapkan di atas kotoran sapi, masakah tidak berbau?" ujar Lui-ji
sambil mengikik tawa.
Kedua orang berbaju cekak tadi
tidak berani bersuara lagi, mereka angkat lonjoran barang antaran itu dan
digotong ke dalam. Butiran keringat tampak menghiasi muka mereka.
Lelaki perlente alias Ji
Yak-ih itu masih tersenyum simpul dan menyambut tamunya dengan ramah, namun
biji matanya terus berputar, tiada sesuatu gerak-gerik orang yang dapat lolos
dari pengawasannya.
oooXoooXooo
Mereka dibawa menyusuri dua
halaman rumah, namun belum lagi kelihatan Bong-hoa-lau ini ada bedanya dengan
rumah pelacuran lain. Kedua halaman rumah ini jelas hanya untuk menyambut
tetamu biasa saja.
Tapi setiba di taman bunga
belakang barulah mereka tahu tempat ini memang surga dunia yang lain daripada
yang lain. Meski sekarang sudah buntut musim rontok, tapi di dalam taman
beraneka warna bunga masih mekar semerbak.
Harum bunga yang memabukkan
itu bercampur dengan bau pupur orang perempuan, di sekitar pertamanan itu ada
belasan paviliun indah.
Waktu itu semua pavilliun itu
sudah tutup pintu, cahaya lampu juga sudah guram, tapi terkadang masih
terdengar suara tertawa dan keluhan yang menggetar sukma.
Lui-ji memandang Hay Tong-jing
sekejap, katanya, "Yang tinggal di rumah-rumah itu mungkin adalah
kenalanmu bukan?"
"Ehmm!" Hay
Tong-jing bersuara singkat.
"Sekarang mereka sedang
sakit, kenapa tidak kau jenguk mereka?" kata Lui-ji pula.
"Sakit?" Hay
Tong-jing jadi melengak.
"Kalau tidak sakit,
mengapa mengeluh begitu?" kata Lui-ji.
Hay Tong-jing tidak tahan rasa
gelinya, ia mengakak tawa.
"Kau tertawa apa? Apanya
yang menggelikan?" semprot Lui-ji dengan mendelik.
Sekejap Hay Tong-jing
memandang si nona, entah mengapa ia tidak dapat tertawa lagi.
Anak perempuan yang pintar dan
cantik ini walaupun dibesarkan di tengah siksa derita, tapi hatinya masih suci
bersih, mulus seperti sehelai kertas putih, masih kekanak-kanakan.
Apa yang diketahuinya
terkadang memang jauh lebih banyak daripada orang tua yang sudah kenyang asam
garam, tapi terkadang juga tidak lebih paham daripada anak yang sebaya dengan
dia.
Diam-diam Pwe-giok menggeleng
sambil menghela nafas gegetun.
Melihat sikap mereka, Lui-ji
merasa apa yang diucapkannya tadi tentu ada yang keliru, tapi ia tidak berani
bertanya, terpaksa ditahan di dalam hati dengan mendongkol.
Mendadak Ji Yak-ih tersenyum,
katanya, "Di sini memang ada beberapa orang lagi sakit, sebentar tentu
akan kusampaikan maksud baik nona kepada mereka."
"Akupun tidak bermaksud
baik apa-apa, kau pun tidak perlu sok menjadi orang baik hati, memangnya kau
kira aku tidak tahu bahwa mereka tidak sakit?" seru Lui-ji. Walaupun
demikian, dalam hati ia merasa berterima kasih kepada Ji Yak-ih yang berusaha
menghilangkan rasa canggungnya itu.
Di ujung taman sana ada sebuah
pintu berbentuk bulan sabit, setelah melalui pintu itu, sampailah mereka di
sebuah taman kecil yang lebih indah, di tengah taman itu juga ada sebuah
paviliun berloteng, di atas loteng cahaya lampu masih terang benderang, jelas
di sinilah tempat tinggal tuan rumahnya.
Setiba di sini, segera kedua
orang tadi menaruh barang yang mereka gotong itu, tapi baru saja mereka mulai
berjongkok, segera Hay Tong-jing membentak, "Kenapa tidak kalian gotong ke
dalam rumah?"
"Tapi... tapi disinilah
tempat kediaman Thay-hujin (nyonya besar), hamba tidak berani masuk ke
situ," kata salah seorang itu dengan tergagap.
Ji Yak-ih menepuk bahu mereka
dan berkata, "Gotong masuk saja, tidak apa-apa."
Kedua orang itu mengusap
keringatnya, terpaksa mereka menurut dan menggotong lonjoran barang itu ke
dalam rumah.
Tiba-tiba Pwe-giok menghela
nafas, ucapnya, "Keji amat tangan Anda!"
Ji Yak-ih terkesiap, ucapnya
sambil menyengir, "Tajam amat pandangan Anda!"
Pwe-giok tidak menanggapinya,
tapi ia lantas tanya kedua lelaki berbaju cekak itu, "Di rumah kalian
masing-masing masih ada anggota keluarga siapa lagi?"
Salah seorang itu menjawab
setelah menaruh barang yang digotong itu ke atas meja, "Khu Sam masih
bujangan, hanya hamba saja yang sudah beristri."
"Jika begitu, lekas kau
pulang untuk menyampaikan pesan terakhir padanya, kalau tertunda mungkin tidak
keburu lagi," ujar Pwe-giok.
Orang itu terperanjat,
serunya, "Pes... pesan terakhir apa? Hamba... hamba belum lagi mati."
"Setelah kau tahu
rahasianya, apakah kau pikir dapat hidup lebih lama lagi?" ujar Pwe-giok
dengan menyesal.
Orang itu memandang Ji Yak-ih
sekejap, serunya kuatir, "Hah, ap... apa artinya ini?"
"Buka bajumu dan
periksalah tempat yang ditepuknya tadi, lalu kau akan tahu apa artinya,"
kata Pwe-giok pula sambil menghela nafas.
Belum habis ucapannya, kedua
orang itu cepat menarik bajunya sehingga telanjanglah tubuh bagian atas. Ternyata
bahu mereka yang ditepuk perlahan oleh Ji Yak-ih tadi telah meninggalkan bekas
telapak tangan yang biru, malahan di bagian tengah bekas telapak tangan itu ada
sebuah lubang kecil seperti bekas ditusuk jarum. Dari lubang kecil itu tadinya
ada darah segar yang merembes keluar, tapi sekarang warna darah sudah berubah
hitam dan dari jauh dapat tercium bau amis busuk seperti bau ikan mati.
Kedua orang itu saling pandang
sekejap dengan muka pucat seperti mayat.
"Begitu dia menepuk bahu
kalian, kulihat pada jarinya terjepit jarum, tapi kalian sama sekali tidak
merasa sakit meski tertusuk jarumnya, nyata pada jarumnya itu pasti terdapat
racun yang jahat," tutur Pwe-giok.
Diam-diam Hay Tong-jing memuji
akan kesabaran dan ketelitian Pwe-giok, betapapun ia harus mengakui dirinya
tidak secermat anak muda itu.
Serentak kedua orang itu
berlutut dan memohon ampun dengan meratap.
Tapi Ji Yak-ih lantas
tersenyum terhadap Pwe-giok, katanya, "Ketajaman pandangan saudara ini
sungguh sangat mengagumkan, cuman sayang Anda telah salah omong sesuatu."
"Oo? Sesuatu apa?"
tanya Pwe-giok.
"Biarpun kulepaskan
mereka pulang sekarang, tetap mereka tak mampu melangkah keluar halaman
ini," tutur Ji Yak-ih dengan tenang.
Kedua orang tadi lantas
berteriak-teriak sambil merangkak bangun, mereka berlari dan terjatuh,
merangkak bangun pula dan berlari lagi, tapi kembali jatuh dan setiba di luar
pintu lalu tiada sesuatu suara apa pun.
"Pergilah kalian dengan
tenang, tentu akan kubereskan segala urusan kalian," gumam Ji Yak-ih,
sekalian ia lantas menutup pintu, lalu berpaling dan berkata dengan tertawa,
"Eh, silahkan duduk, silahkan duduk!"
Meski ucapannya itu adalah
basa-basi yang sangat umum, tapi tercetus dari mulut seorang yang baru saja
mencabut nyawa dua orang, betapapun membikin orang mengkirik.
Sejak tadi Lui-ji melototi Ji
Yak-ih, baru sekarang ia menghela nafas, lalu berkata, "Kini baru ku tahu
bahwa kau dan Oh-lolo memang suatu pasangan yang sangat setimpal."
Ji Yak-ih tersenyum, jawabnya,
"Sudah sekian tahun kami menjadi suami-isteri, sedikit banyak
kepandaiannya tentu sudah kupelajari."
Lui-ji hampir tidak percaya
bahwa kata-kata itu keluar dari mulutnya, kembali ia menghela nafas gegetun,
ucapnya, "Tapi kalau bicara tentang tebalnya kulit muka, kukira dia harus
belajar kepadamu."
"Ah, nona terlalu
memuji," jawab Ji Yak-ih tanpa malu.
"Tapi kalau benar
tujuanmu hendak menutup mulut mereka, hanya mereka yang dibunuh saja masih
belum cukup, kau masih harus pula membunuh kami bertiga," kata Lui-ji.
Sekali ini Ji Yak-ih tidak
omong apa-apa lagi. Tapi Hay Tong-jing lantas mendengus, "Bila dia sudah
menyilakan kita masuk ke sini, apakah kau kira dia akan membiarkan kita keluar
lagi dengan hidup?"
"Oo… kiranya dia memang
berniat membunuh kita?" Lui-ji terbelalak.
"Ya, cuman sayang dia
belum lagi mampu," jengek Hay Tong-jing.
Ji Yak-ih tersenyum tanpa
menanggapi.
Mendadak Hay Tong-jing
berpaling dan mendelik padanya, tanyanya, "Apakah kau tahu barang apa yang
kami antarkan kepadamu ini?"
"Jika tidak salah ku
terka, mungkin mayat isteriku yang baik itu," jawab Ji Yak-ih dengan
tersenyum.
Kata-kata ini ternyata keluar
dari mulutnya dan air mukanya tidak berubah sedikitpun, bahkan mata pun tidak
berkedip, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Lui-ji jadi terkejut malah,
serunya, "Kau sama sekali tidak merasa heran?"
"Kalau terlalu sering
naik gunung, akhirnya pasti ketemu harimau. Selama hidup isteriku terlalu
banyak mengikat permusuhan dengan orang, sudah ku perhitungkan cepat atau
lambat dia pasti akan mengalami nasib seperti sekarang ini."
"Dan... dan kau tidak
berduka?" tanya Lui-ji pula.
Kembali Ji Yak-ih tersenyum,
jawabnya, "Jika kalian sudah tahu tujuanku menikah dengan dia adalah ingin
mendapatkan kungfunya. Bila sekarang kuperlihatkan rasa berduka, bukankah akan ditertawakan
kalian malah?"
"Jika demikian, kami jadi
seperti telah membantu kehendakmu malah," kata Lui-ji.
Ji Yak-ih hanya tersenyum saja
tanpa menjawab, seperti membenarkan secara diam.
"Demi belajar kungfunya,
maka kau mengawini dia, hal ini dapatlah dimengerti, dan bila sudah cukup,
bolehlah kau angkat kaki meninggalkan dia, tapi... tapi mengapa kau justeru
berharap dia lekas mati?" bicara sampai di sini, suara Lui-ji menjadi
parau, begitu habis ucapannya itu, mendadak ia menerjang maju, sekaligus ia
menyerang tiga kali, semuanya serangan maut.
Kaget juga Ji Yak-ih, cepat ia
melompat ke samping, serunya dengan heran, "He, mengapa nona malah
membelanya?"
"Manusia tidak setia dan
tidak berbudi macam kau ini setiap orang boleh membinasakan kau!" bentak
Lui-ji dengan gusar, berbareng ia hendak menerjang maju pula, tapi Pwe-giok
keburu menarik tangannya.
Hay Tong-jing tidak tahu bahwa
Lui-ji teringat kepada nasib malang ibunya yang dikhianati suaminya sendiri,
maka anak dara ini membenci setiap lelaki yang tidak setia di dunia ini.
Melihat Lui-ji masih berusaha
melepaskan diri dari pegangan Pwe-giok, Hay Tong-jing juga mencegahnya, katanya
dengan mengernyitkan dahi, "Obat penawar, jangan lupa!"
"Aku lebih suka mati
keracunan dan tetap akan kubinasakan dia!" teriak Lui-ji dengan histeris.
Pada saat itulah mendadak
terdengar suara papan loteng berdetak, suara seorang sedang mengomel,
"Siapa lagi yang terkena racun gendukku yang celaka itu, lekas bawa kemari
biar kuperiksa dia!"
Oh-lolo yang sudah tua renta
itu di mulut orang ini telah berubah menjadi 'genduk', maka siapapun dapat
menerka orang ini pasti ibu Oh-lolo meski belum kelihatan orangnya.
Terdengarlah suara
'dak-duk-dak-duk', seorang nenek yang bertubuh sehat dan berdandan anggun
dipapah turun oleh dua orang pelayan muda, tangan kiri nenek membawa tasbih dan
tangan kanan memegang tongkat, meski rambutnya ubanan seluruhnya, tapi giginya
masih rajin, tampaknya masih jauh lebih muda daripada Oh-lolo yang keriput itu.
Malahan kelihatan anggun seperti nyonya keluarga pembesar, mana ada tanda-tanda
mirip ibu orang macam Oh-lolo yang jahat itu.
Sampai Lui-ji juga melenggong
melihat orang tua ini.
Ji Yak-ih menyongsong
kedatangan si nenek dengan hormat, lalu bisik-bisik entah omong apa. Maka bergemetarlah
tangan si nenek, ucapnya dengan terputus-putus, "Yang di ... di atas meja
itu?"
"Ya," jawab Ji
Yak-ih.
"Pantas mati, pantas
mampus!" seru Oh-lohujin atau nyonya besar Oh, "entah sudah berapa
kali kukatakan padanya agar jangan membikin celaka orang, ku tahu pada suatu
hari dia pasti akan telan hasil perbuatannya sendiri, dan sekarang... sekarang
hal itu benar-benar terjadi..." sambil berkata air mata pun meleleh, ia
menghentakkan tongkatnya dan berseru pula, "Lekas gotong keluar sana dan
tanam saja di tempat sejauh-jauhnya, anggaplah aku tidak... tidak pernah
mempunyai anak seperti dia, selanjutnya kalian jangan menyebut dia lagi di
depanku."
Pwe-giok tidak menduga bahwa
ibu Oh-lolo adalah seorang nenek yang bijaksana demikian, meski bencinya
terhadap Oh-lolo merasuk tulang, tapi sekarang ia menjadi ikut sedih bagi si
nenek.
Dilihatnya nenek itu
memejamkan matanya sambil terengah-engah sejenak, lalu berkata dengan perlahan,
"Siapa yang keracunan?"
"Nona cilik itu,"
kata Ji Yak-ih.
Oh-lohujin membuka matanya
sedikit dan memandang Lui-ji sekejap, ucapnya dengan menyesal, "O, kasihan
nona cilik secantik ini masa dia tega meracuninya... Anak Ih, lekas kau periksa
racun apa yang mengenai dia?"
Baru saja Ji Yak-ih hendak
mendekat, Lui-ji lantas berseru, "Tidak perlu kau periksa segala, racun
yang mengenai diriku berasal dari kukunya."
"O, masa kulit badanmu
tergores luka oleh kukunya?" tanya Oh-lohujin.
Lui-ji mengiakan.
"Di bagian mana lukamu
itu?" tanya si nenek.
"Tangan," jawab
Lui-ji.
Oh-lohujin berkerut kening,
ucapnya kemudian, "Bilakah dia melukai kau?"
"Bilamana fajar
menyingsing, maka genaplah tiga hari," tutur Lui-ji.
Nenek itu memandang cuaca di
luar jendela, lalu menghela nafas panjang, katanya, "Syukur Thian
memberkati kau, kedatanganmu ini ternyata belum terlambat!"
"Saat ini masih dapat
ditolong?" cepat Pwe-giok bertanya.
"Nona cilik secantik ini,
Thian juga tidak nanti mencabut nyawanya, kau tidak perlu kuatir," kata
Oh-lolo dengan suara halus.
Baru sekarang Pwe-giok dapat
menghela nafas lega, penderitaan lahir batin selama beberapa hari ini baru
sekarang mendapatkan imbalannya, tapi kelelahannya selama beberapa hari ini
sekarang pun rasanya seakan-akan membanjir seluruhnya.
Ia merasa sekujur badan lemas
lunglai dan hampir saja roboh, namun sedapatnya ia berkata, "Meski
Thayhujin sedemikian bijaksana, namun masih ada sesuatu persoalan terpaksa
harus kukatakan."
"Soal apa?" tanya
Oh-thayhujin.
"Kematian Oh-lolo bukan
karena dibunuh orang lain, tapi dia membunuh diri karena putus asa, di dinding
kabin kereta terukir tulisan tinggalannya, di situ juga disinggung tentang obat
penawarnya," tutur Pwe-giok.
Oh-thayhujin menghela nafas
panjang, ucapnya dengan muram, "Jika bukan begini, apakah kau kira aku
sampai hati tidak menolong nona cilik ini?"
Pwe-giok juga menghela nafas,
katanya, "Apapun juga, budi pertolongan Thay hujin tentu takkan kami
lupakan."
"Tampaknya kalian sama
lelah sekali, silahkan duduk dan istirahat sejenak, sekarang juga kuambil obat
penawarnya," kata si nenek.
Sambil bicara, dengan
terhuyung-huyung ia pun melangkah keluar. Kedua pelayan yang memapahnya tadi
sudah pergi dengan menggotong mayat Oh-lolo. Maka Ji Yak-ih lantas memburu maju
untuk memayang ibu mertuanya itu.
Pwe-giok seperti ingin bicara
apa-apa, tapi ia tidak tahan lagi, ia jatuh terkulai di atas kursinya.
"Jangan kuatir, sebentar
saja tentu dia akan membawakan obat penawarnya," ujar Hay Tong-jing.
"Tapi kalau dia sengaja
tidak mau memberikan obat penawarnya?" kata Lui-ji dengan mencibir.
Hay Tong-jing menjengek,
"Dia cukup maklum bagaimana akibatnya apabila obat penawar tidak
diserahkan... mungkin dia tidak seberani itu."
"Hm, dia kan tidak tahu
siapa kau? Kenapa musti takut padamu?" kembali Lui-ji membantah.
"Begitu dia membaca
tulisan di kabin kereta itu, segera dia tahu siapa diriku," kata Hay
Tong-jing dengan angkuh.
Pada saat itu juga, mendadak
terdengar suara 'cret' satu kali, menyusul lantas berbunyi pula 'trang' yang
nyaring. Semua pintu dan jendela telah terkurung oleh sebuah papan besi.
Pwe-giok terkejut hingga
melonjak bangun, serunya, "Wah, celaka! Akhirnya kita tetap
terjebak!"
Air muka Hay Tong-jing juga
berubah, ucapnya dengan melotot. "Tidak tersangka nenek ini jauh lebih
keji dan licin daripada anak perempuannya.
"Ya, nyalinya juga sangat
besar, sampai-sampai Thiang long-sing juga tidak ditakutinya," jengek
Lui-ji.
Wajah Hay Tong-jing yang hitam
itu jadi kehijau-hijauan saking gusarnya, mendadak ia meraung, ia menerjang ke
depan pintu dan menghantam sekuatnya, kuda saja binasa oleh sekali pukulannya,
maka betapa dahsyat pukulannya dapatlah dibayangkan.
Terdengar suara getaran keras,
botol dan cangkir di atas meja terguling ke lantai dan hancur berantakan.
Lukisan yang digantung di dinding juga tergetar hingga jatuh, akan tetapi pelat
besi yang membuntu pintu itu tidak bergeming sedikitpun.
Waktu diperiksa, kiranya kusen
pintu dan jendela semuanya terbuat dari besi, lantaran diberi cat maka sukar
diketahui.
Hay Tong-jing berdiri kesima,
wajahnya juga pucat.
Lui-ji lantas menubruk ke
dalam pelukan Pwe-giok, ratapnya dengan parau, "Semuanya gara-gara diriku,
aku... aku..."
Belum habis ucapannya,
menangislah dia tergerung-gerung, dia seperti ingin bicara apa-apa, tapi setiap
kali sebelum kata-katanya terucap, setiap kali keburu menangis lebih dulu
sehingga sukar bicara.
Pada saat itulah, tiba-tiba
terdengar suara mendesis, di atas dinding mendadak tersembur asap. Cepat
Pwe-giok menyurut mundur sambil berseru, "Awas, gas racun, tutup
nafas!"
Padahal tanpa diberitahu juga
Hay Tong-jing dan Cu Lui-ji sudah menahan nafas, tapi berapa lama mereka
sanggup bertahan? Betapapun batas waktu tahan nafas seseorang kan terbatas.
Gas racun itu terus menguap
dari kanan kiri dinding kamar itu, sekalipun mereka dapat tahan nafas lebih
lama daripada orang biasa juga takkan lebih dari setengah jam.
Hay Tong-jing mengertak gigi,
dengan nekat ia menghantam dinding, tenaga pukulannya maha dahsyat, semua meja
kursi yang mepet dinding sama bergetar roboh. Tapi dinding tetap tak bergerak,
retak sedikit saja tidak ada.
Sejenak kemudian, seluruh
ruangan berubah seperti sebuah anglo, panas dan menyesakkan nafas. Luka Lui-ji
belum sembuh, dahinya penuh butiran keringat.
Baru saja Pwe-giok hendak
mengusapkan keringat si nona, tiba-tiba dilihatnya lengan baju sendiri penuh
kapur putih, padahal dia berdiri di dalam ruangan itu, darimana datangnya kapur
itu?
Waktu ia menengadah, terlihat
atap rumah merekah satu garis. Pwe-giok terkejut dan bergirang, mendadak ia
melompat ke atas, sepenuh tenaga ia menumbuk atap kamar.
"Blang", kapur
dinding berhamburan seperti hujan gerimis, garis retakan atap rumah juga
bertambah lebar. Kalau sekeliling ruangan ini terkurung dengan dinding besi,
hanya atap rumah saja yang bukan.
Tanpa disuruh, sebelum tubuh
Pwe-giok anjlok ke bawah, serentak Hay Tong-jing juga menumbuk ke atas.
Getaran sekali ini terlebih
keras, bubuk kapur beterbangan, di tengah kabut asap tebal itu bayangan Hay
Tong-jing sudah menghilang, di atap rumah juga bertambah sebuah lubang besar.
Segera Cu Lui-ji dan Ji
Pwe-giok ikut menerobos keluar melalui lubang atap itu. Tertampaklah di atas
juga sebuah ruangan yang indah. Terdapat tempat tidur dengan kelambu terurai,
agaknya disitulah kamar tidur Oh-lolo.
Kamar itu tidak ada orangnya,
Hay Tong-jing sudah melompat keluar, di atas loteng ini seluruhnya ada enam
kamar, tapi tiada satupun berpenghuni.
Setiap kamar yang mungkin
dibuat sembunyi sudah mereka cari dan geledah, tapi tidak diketemukan
seorangpun, baik di atas loteng maupun di bawah.
"Apakah orang she Ji dan
nenek celaka itu sudah tahu kita bakal menerjang keluar, maka mereka telah
kabur lebih dulu?" ujar Lui-ji sambil berkerut kening.
"Mereka takkan kabur,
tempat ini adalah hasil jerih payah mereka. Mana bisa mereka tinggalkan begitu
saja," jengek Hay Tong-jing sambil bicara secepat terbang ia terus
melayang keluar.
Memandangi bayangan punggung
orang, Lui-ji juga mengejek, "Hm, cara bicara bocah hitam ini seolah-olah
segalanya serba tahu, padahal segala apa sebenarnya dia tidak tahu."
"Tapi kau pun jangan lupa
akan kebaikannya," ujar Pwe-giok dengan suara lembut, "Sekali ini,
kalau tidak ada dia, mungkin kita akan terkurung dan mati sesak nafas di
ruangan ini."
Lui-ji tidak dapat menerima
alasan Pwe-giok itu, katanya, "Jelas kau yang menolong dia, mengapa kau
bilang dia yang menolong kita? Jika kau tidak menemukan retakan atap kamar ini,
jiwanya kan sudah amblas sejak tadi?"
Pwe-giok tertawa, perlahan dia
menghapus kapur yang mengotori rambut si nona, ucapnya, "Kau tunggu di
sini, akan coba kucari ke atas sana."
"Cari apa?" tanya
Lui-ji.
Pwe-giok tidak menjawab, sebab
ia kuatir bilamana menjawab 'obat penawar', hal ini tentu akan menimbulkan rasa
cemas dan duka anak dara itu. Tapi biarpun dia dapat berpikir dengan cermat dan
bertindak halus, meski dia sama sekali tidak menyebut lagi hal yang menyangkut
racun di tubuh Lui-ji, tapi tidak berarti Lui-ji tidak tahu apa yang hendak
dicarinya.
Setelah menghela nafas lalu
Lui-ji berkata, "Kukira tidak perlu dicari lagi, mereka sudah kabur, mana
bisa meninggalkan obat penawar di sini. Apalagi, hakekatnya kita pun tidak tahu
macam apakah obat penawar yang dimaksud."
Pwe-giok termenung sejenak,
katanya kemudian, "Kupikir bilamana mereka sudah berhasil mengurung kita,
tentunya mereka takkan lari. Mereka pasti baru lari setelah mengetahui kita
berhasil menerjang keluar."
"Ya, akupun berpikir
demikian," kata Lui-ji.
"Sebab itulah mereka
pasti belum kabur jauh, bisa jadi masih bersembunyi di salah satu tempat
rahasia di atas loteng, tidak ada ruginya jika kucoba mencari lagi," kata
Pwe-giok.
Tapi Lui-ji lantas menarik
tangannya dan berkata, "Tidak, jangan kau pergi!"
Pwe-giok melengak, tanyanya
dengan suara lembut, "Sebab apa?"
Lui-ji tidak menjawab, ia
memandang jauh ke luar sana sambil termangu-mangu.
Pwe-giok juga ikut memandang
menurut arah pandangan si nona, hanya sekejap saja ia memandang dan tanpa
terasa tangannya berkeringat dingin, selangkah pun tidak sanggup bergeser lagi.
Ternyata di ufuk timur nun
jauh di sana, lamat-lamat sudah muncul cahaya terang.
Fajar sudah menyingsing.
Pada saat yang sama inilah
tiga hari yang lalu Lui-ji keracunan, jadi sekarang sudah genap tiga hari
persis, racun dapat mendadak bekerja setiap saat.
Dan setiap detik pula si nona
dapat roboh binasa.
Dengan sedih Lui-ji berkata,
"Sekarang tentunya kau tahu sebab apa kularang kau pergi meninggalkan
diriku. Sisa waktuku sudah tidak banyak lagi, masakah kau tega meninggalkan
aku?"
"Ti.. tidak, aku
takkan... takkan pergi," kata Pwe-giok dengan tersendat, tenggorokannya
seakan-akan tersumbat, matanya sudah basah, yang diharapkannya kalau-kalau bisa
terjadi keajaiban, umpamanya kalau Hay Tong-jing berhasil membawa kembali Ji
Yak-ih dan nenek itu.
"Selamanya aku tidak...
tidak pernah minum arak, sekarang aku ingin minum sepuas-puasnya, maukah kau
mengiringi aku minum?" kata Lui-ji.
"Arak...?" Pwe-giok
merasa bingung. "Mana ada arak?"
"Di tempat begini masakah
tidak ada arak?" ujar Lui-ji dengan tersenyum, ia tarik tangan Pwe-giok
dan mengajaknya keluar dari taman mini itu. Taman di luar penuh dengan bunga
yang mekar semerbak dengan warna-warni yang cemerlang. Akan tetapi jiwa Cu
Lui-ji sudah mendekati layu.
Terdengar suara jeritan kaget,
suara bentakan serta suara orang ditempeleng di berbagai paviliun sana. Menyusul
dari setiap rumah itu lantas berlari keluar seorang lelaki dalam keadaan
kedodoran, rambut kusut, muka bengap, lari ketakutan seperti anjing digebuk
dengan menjinjing celana yang tidak keburu dipakai.
"Lagi kerja apa si setan
hitam tadi?" tanya Lui-ji heran.
Meski merasa geli juga, dengan
sendirinya Pwe-giok tidak dapat tertawa.
Lui-ji berkata pula,
"Jangan-jangan dia sedang mencari nenek tadi? Jika nenek itu mau
bersembunyi di sini, kan sama bodohnya seperti dia. Caranya mengobrak-abrik
tempat ini tentu sudah membikin orang yang hendak dicarinya kabur sejak
tadi-tadi.
Tiba-tiba bayangan orang
berkelebat, tahu-tahu Hay Tong-jing sudah berdiri di depan Lui-ji, mukanya yang
hitam itu penuh keringat dan juga berlepotan kapur sehingga kelihatan lucu.
"Eh, apakah kau lagi main
sebagai badut?" tegur Lui-ji dengan tertawa.
Sekali ini Hay Tong-jing hanya
memandangnya sekejap dan tidak omong apa pun. Siapa lagi yang sampai hati
bicara kasar terhadap seorang nona jelita yang sudah dekat ajalnya?
Melihat sikap Hay Tong-jing
itu, Pwe-giok tahu sudah tidak ada harapan lagi, namun ia tetap juga bertanya,
"Tidak kau temukan?"
"Mereka tak dapat lari,
akan kucari lagi, kalian jangan meninggalkan tempat ini," kata Hay
Tong-jing.
Sudah begini, cara bicaranya
masih penuh kepercayaan kepada kemampuan sendiri, bahkan hakekatnya tidak perlu
mendengar pendapat orang lain, begitu habis omong, segera ia melayang pergi.
"He, tunggu!" seru
Lui-ji.
Tubuh Hay Tong-jing yang sudah
mengapung ke atas itu hinggap di dahan pohon dan bertanya, "Ada apa?"
"Nona Hiang-hiang itu
tinggal di loteng mana, akan kujenguk dia," kata Lui-ji.
Hay Tong-jing berkerut kening,
tapi ia tidak menolak, ia menuding ke salah sebuah paviliun itu lalu melayang
pula lebih tinggi, sekali berkelebat menghilanglah bayangannya.
Lui-ji tarik Pwe-giok ke depan
sana, katanya dengan tertawa, "Marilah, kita ke sana untuk minum arak.
Arak di tempat si Harum tentu juga harum."
oooX000Xooo
Di serambi bawah paviliun
berloteng itu tergantung sebuah kurungan burung, ada seekor beo besar dengan
paruhnya yang merah kekuning-kuningan, begitu melihat orang datang seketika
burung itu berkaok-kaong, "Hiang-hiang! Hiang-hiang! Lekas keluar
menyambut tamu, kalau tidak awas, ku pukul pantatmu!"
Lalu suara seorang perempuan
mengomel sambil tertawa di balik ruangan yang berkerai sana, "Beo
sialan!" â€" Lalu keluarlah si nona Harum.
Nona ini memang cantik, raut
muka potongan daun sirih, belum bersuara sudah tertawa. Rambutnya digelung
tinggi, langkahnya lemah gemulai, gayanya menggiurkan.
Semalam waktu mengantar pulang
tamunya, perempuan ini sudah dilihat oleh Pwe-giok dan Lui-ji, waktu itu dia
bersolek berlebih-lebihan, tapi sekarang dia sudah berubah sama sekali, tidak
lagi kelihatan dandanan sebagaimana perempuan nakal umumnya. Sebaliknya
sikapnya kelihatan anggun, gerak-geriknya sopan, tiada sedikitpun tanda genit.
Terhadap apa yang terjadi di dalam taman ini seolah-olah tidak tahu sama
sekali.
Dengan lembut nona Harum itu
memberi hormat dan menyambut kedatangan Lui-ji berdua, sikapnya yang simpatik
ini jauh melebihi siapa pun yang menyambut kedatangan kawan karib sendiri.
Tiba-tiba Lui-ji bertanya,
"Apa yang terjadi di sini tadi, masakah kau tidak dengar sama
sekali?"
"Seperti mendengar suara
apa-apa," jawab Hiang-hiang atau si Harum dengan biji mata berputar.
"Tahukah kau apa yang
terjadi sebenarnya?" tanya Lui-ji pula.
"Ya, seperti tahu
sedikit," jawab Hiang-hiang dengan tertawa.
"Kau tidak kaget? Dan
juga tidak takut?"
Hiang-hiang menghela nafas
perlahan, ucapnya dengan tak acuh, "Orang seperti kami ini, biarpun kaget
dan takut di dalam hati, tapi kalau kedatangan tamu, lebih dulu kami harus
melaksanakan tugas menyambut tamu, kalau sudah berada sendirian barulah boleh
kaget dan takut."
"Tapi tentunya kau tahu bahwa
kami bukanlah tamumu dan juga tidak akan memberi gelang emas segala," ujar
Lui-ji.
Hiang-hiang tersenyum,
jawabnya, "Bagiku, siapa saja yang berkunjung ke sini adalah tamu
agungku..."
"Tamu seperti diriku juga
kau terima?" tanya Lui-ji.
"Nona cantik seperti
engkau, mengundang saja sukar, masa tidak ku sambut dengan senang hati?"
ujar Hiang-hiang dengan tertawa.
Lui-ji memandangnya sejenak,
tiba-tiba iapun tertawa, katanya, "Sebenarnya hendak kucari perkara
padamu, tapi setelah mendengar katamu yang manis ini, biarpun dada hampir
meledak juga akan lenyap rasa gusarku. Pantas kaum lelaki suka datang ke sini,
orang cantik seperti kau, aku saja suka, umpama aku disuruh memberi seratus
pasang gelang emas padamu juga ku rela."
"Apabila nona suka
sering-sering kemari, biarpun lelaki seluruh dunia ku tutup di luar pintu juga
tidak menjadi soal bagiku," kata Hiang-hiang dengan tertawa.
"Jika demikian, hendaklah
kau sediakan arak bagiku."
"Kedatangan nona sungguh
sangat kebetulan, di sini memang tersedia sebotol Li-ji-hong (nama arak), cuma
sayang tidak ada santapan enak, biarlah kubuatkan sendiri ayam rebus untuk
teman arak nona," kata Hiang-hiang.
Kepandaian perempuan hiburan
demikian memang luar biasa, cukup beberapa patah kata saja, Lui-ji sudah terbujuk
hingga tunduk dan menurut. Padahal dia cuma seorang anak perempuan, apalagi
kalau seorang anak muda, kalau masuk ke tempat beginian, mustahil kalau tidak
terus terjerumus.
Waktu santapan dan arak sudah
disediakan, Lui-ji berbalik ingin menyuruh Hiang-hiang lekas pergi, cuma ia
merasa serba susah untuk berkata.
Tapi tanpa Lui-ji bicara,
Hiang-hiang cukup memandang sinar matanya saja sudah tahu apa kehendaknya,
dengan tertawa ia berkata, "Nona tumben kemari, seharusnya kuiringi minum
satu dua cawan di sini, tapi... tapi tanpa kehadiranku tentu nona akan minum
terlebih gembira, begitu bukan?"
Tanpa menunggu jawaban Lui-ji
ia terus melangkah keluar dengan tertawa, bahkan pintu lantas dirapatkan dengan
perlahan.
"Kita datang bersama,
kukira yang akan dilayaninya tentu hanya kau saja, dan aku takkan
dihiraukannya. Siapa tahu dia seperti tidak melihat kehadiranku, bahkan satu
kata saja tidak mengajak bicara padamu," kata Lui-ji dengan tersenyum.
Pwe-giok hanya tertawa saja
tanpa menanggapi.
Dengan tertawa Lui-ji berkata
pula, "Bisa jadi dia dapat menduga aku ini tidak boleh direcoki, bila aku
tidak dihiraukan, tentu akan kucari perkara padanya. Sebaliknya kalau tidak
menghiraukan kau, tentu aku akan senang dan juga takkan marah."
Ia tidak tahu bahwa perempuan
dari kalangan hiburan seperti Hiang-hiang ini, sekalipun ada 200 tamu datang
sekaligus, cukup sekali pandang saja dia dapat mengetahui siapa diantaranya
yang berkantong tebal dan kepada siapa dia harus merayu. Dan kalau lelaki itu
mengira si Harum telah jatuh cinta padanya, maka dia harus siap untuk menjual
rumah, menjual tanah, bahkan bisa jadi bercerai dengan isterinya.
-o0o- ooOoo -o0o-
Arak Li-ji-hong memang harum
dan sedap, cuman sayang dalam keadaan demikian, biarpun arak enak juga terasa
hambar diminum Pwe-giok.
IP04P6667
Setelah minum dua-tiga cawan,
muka Lui-ji sudah merah, ucapnya sambil tertawa mengikik, "Tak tersangka
arak adalah minuman sebaik ini, waktu kuminum cegukan pertama, kurasakan tidak
lebih enak daripada air jeruk, tapi setelah minum secawan barulah kurasakan
arak memang minuman paling bagus di dunia ini. Apabila ada orang bilang air
jeruk lebih enak daripada arak, maka orang itu pasti maha tolol."
"Ya, mi... minumlah
beberapa cawan lagi," kata Pwe-giok.
Mestinya dia bermaksud
mencegahnya agar jangan minum terlalu banyak, tapi setelah dipikir lagi, ia
merasa keadaan Lui-ji sekarang memang perlu minum arak lebih banyak, kalau
tidak minum arak, urusan apa lagi yang dapat dikerjakannya?
Dengan tertawa Lui-ji
menjawab, "Baik, dan kau harus ikut minum."
"Berapa banyak kau minum
tentu akan kuiringi," kata Pwe-giok dengan tertawa.
Lui-ji menatapnya lekat-lekat,
sampai sekian lamanya barulah ia dapat berkata pula dengan kepala tertunduk,
"Kau tidak suka mengiringi aku minum?"
"Masa aku tidak suka
mengiringi kau minum?" ujar Pwe-giok.
"Jika begitu... mengapa
kau murung?"
"Aku..." sungguh
Pwe-giok tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Dalam keadaan demikian dan
pada saat begini, mana dia dapat bergembira?
"Ku tahu engkau lagi sedih
bagiku," ucap Lui-ji dengan muram. "Padahal, kaupun tidak perlu
berduka. Aku hanya anak perempuan yang tidak ada artinya, mestinya tidak perlu
kau pikirkan diriku."
"Meng... mengapa kau
bicara demikian, kau..." suara Pwe-giok menjadi serak.
"Habis, apa yang harus
kukatakan? Sedangkan aku tidak tahu apakah engkau benar-benar baik padaku atau
tidak?"
"Sudah tentu benar-benar
aku baik padamu."
Lui-ji menunduk dan memainkan
ujung bajunya, katanya, "Sebab apa kau baik terhadapku?"
Pwe-giok jadi melenggong,
jawabnya tergagap, "Sebab... sebab..."
"Memang sudah kuketahui
tak dapat kau jawab," tukas Lui-ji, "sebab hakekatnya kau memang
tidak suka padaku."
Belum habis ucapannya, air
mata sudah bercucuran.
Pwe-giok tidak tega, ia
mendekati si nona dan membelai dengan perlahan, ucapnya, "Siapa bilang aku
tidak suka padamu?"
Mendadak Lui-ji mendongak, air
mata yang mengembeng di kelopak matanya mencorong terang.
"Kau... benar-benar kau
suka padaku?" ia menegas dengan pandangan lekat-lekat.
"Sudah tentu benar,"
jawab Pwe-giok.
"Jika begitu, apakah kau
sudi... sudi memperisterikan diriku?"
Kembali Pwe-giok melenggong,
benar-benar melenggong.
Dengan suara halus Lui-ji
berucap pula, "Meskipun aku sudah hampir mati, tapi asalkan aku masih
hidup sejenak di dunia ini, dengan sepenuh hati aku akan menjadi istrimu.
Sesudah ku mati, biarpun seketika kau kawin lagi dengan perempuan lain juga aku
takkan menyalahkan kau."
Tak terkatakan rasa pilu hati
Pwe-giok, setiap kata si nona seolah-olah jarum yang menusuk hulu hatinya.
Lui-ji memandangnya dengan air
mata berderai pula, ucapnya sambil menunduk, "Jika kau tidak... tidak
menerima, akupun tidak menyesalimu, aku toh..." ia tidak meneruskan
ucapannya.
Tapi mendadak Pwe-giok
berseru, "Kuterima permintaanmu."
Kejut dan girang Lui-ji,
sekujur badannya bergemetaran, katanya, "Dengan se... setulus hatimu atau
karena terpaksa?"
"Mana bisa
terpaksa," ujar Pwe-giok dengan suara lembut. "Lelaki manapun juga,
kalau dapat mempersunting isteri seperti kau, maka beruntung dan bahagialah
dia."
Dengan termangu-mangu Lui-ji
memandangi Pwe-giok, mendadak ia merangkulnya erat-erat sambil berteriak,
"Oo, alangkah gembiranya aku! Ku ingin agar setiap orang di dunia ini
mengetahui betapa gembira hatiku! Ingin kusuruh setiap orang di dunia ini ikut
merasakan kegembiraanku!"
Lalu ia berlari keluar, sambil
mementang kedua tangannya ia berteriak, "Hiang-hiang! Hiang-hiang!...
maukah kau undang semua kawanmu ke sini? Akan ku jamu mereka makan minum,
perjamuan hari bahagiaku..."
-oOo-
Harapan Lui-ji benar-benar
telah dipenuhi oleh Hiang-hiang, ia telah mengumpulkan segenap nona yang
menghuni Bong-hoa-lau ini.
Mungkin di dunia ini jarang
ada tamu sebaik kawanan nona penghuni Bong-hoa-lau ini. Betapa tidak, makan
mereka tidak banyak, tapi sanjung puji mereka tidak sedikit, semuanya pintar
omong yang baik dan mahir berdoa bagi yang empunya hajat. Bahkan setiap orang
membawa kado, biarpun cuma sekotak pupur, setangkai bunga mutiara goyang, atau
sepotong sapu tangan bersulam.
Semua kado itu tidak tinggi
nilainya, tapi dalam pandangan Lui-ji terasa sedemikian berharga dan
menyenangkan, padahal barang-barang itu hampir dimiliki oleh setiap anak
perempuan. Tapi bagi Lui-ji yang malang ini, selama hidupnya belum pernah
mendapatkan benda semacam itu.
Di ruangan tamu yang sempit
itu pun sudah dipajang dengan semarak, dinyalakan pula sepasang lilin merah
tanda bahagia.
Tidak kepalang gembira Lui-ji,
dia seperti seekor burung kecil, mengoceh dan berkitaran di antara tetamunya,
terkadang ia pun mendekati Pwe-giok dan bisik-bisik dengan asyik dan masyuk.
Setiap orang sama kagum
padanya, bahkan ada yang iri. Hanya Pwe-giok saja yang penuh rasa duka dan
pedih. Sorot matanya sedetikpun tidak pernah meninggalkan Lui-ji, ia kuatir
setiap saat anak dara itu akan roboh mendadak.
Dilihatnya Lui-ji sedang
menarik Hiang-hiang ke samping sana dan entah apa yang dibisikkannya.
Dengan tertawa Hiang-hiang
lantas berkata, "Baik, akan kubawa kau ke sana."
Lui-ji memandang sekejap ke
arah Pwe-giok, ucapnya dengan tersenyum, "Tunggu sebentar, segera ku
kembali!"
"Hendak kemana kau?"
tanya Pwe-giok.
Muka Lui-ji tampak merah,
jawabnya, "Urusan anak perempuan, jangan tanya!"
"Tapi sekarang dia sudah
boleh mulai belajar bukan?" ujar Hiang-hiang.
Sambil mengikik tawa Lui-ji
lantas mendorong keluar Hiang-hiang.
Kusut pikiran Pwe-giok
memandangi kepergian Lui-ji.
Terdengar seorang nona bermuka
bulat seperti apel berkata dengan tertawa, "Ini namanya cinta sejati, satu
detik saja merasa berat untuk berpisah. Sungguh entah betapa bahagianya nona Cu
ini mendapatkan jodoh sebaik ini."
Meski Pwe-giok juga ingin
berkelakar dengan mereka, tapi hatinya penuh rasa duka, apalagi ia memang
sangat lelah, setelah minum arak tubuh bertambah lemas, benaknya juga terasa
gelap, rasanya ingin tidur sekenyangnya.
Entah berapa lama pula, hati
Pwe-giok tambah gelisah karena Lui-ji belum nampak kembali. Syukurlah pada saat
itu juga di luar terdengar suara langkah orang, ia merasa lega.
Siapa tahu yang muncul hanya
Hiang-hiang saja seorang.
Seketika berubah air muka
Pwe-giok, serunya, "Dimana dia?"
"Kongcu jangan
kuatir," jawab Hiang-hiang dengan tertawa, "tidak nanti pengantin
perempuannya lari."
Meskipun agak rikuh, kembali
Pwe-giok bertanya pula, "Mengapa dia tidak ikut kembali?"
"Dia berada di
loteng," tutur Hiang-hiang dengan tertawa. "Ada kerjaan di loteng, ia
kuatir terlalu lama kau menunggu, maka aku disuruh menyampaikan sepucuk
surat."
Para nona kembali tertawa
cekakak dan cekikik lagi.
Si muka apel berkata pula
dengan tertawa, "Orang bilang sehari tidak bertemu laksana berpisah tiga
tahun. Tapi mereka baru berpisah sejenak sudah lantas main surat-suratan. Kalau
sehari tidak bertemu, wah, entah bagaimana jadinya?"
Waktu Lui-ji masih berada di
sini, memandang Pwe-giok sekejap saja mereka tidak berani. Tapi setelah Lui-ji
pergi, beramai-ramai mereka lantas berkerumun di sekitar Pwe-giok.
Dengan sendirinya Pwe-giok tak
dapat mengusir mereka, juga malu untuk membaca surat di depan mereka. Ia
menjadi gelisah dan serba salah.
Akhirnya dia tidak tahan, ia
membuka surat itu. Dilihatnya surat itu berbunyi,
Kakak Giok sayang, Ada suatu
hal sudah lama ingin kukatakan padamu, tapi sebegitu jauh sukar terucapkan
olehku, sebab ku kuatir akan didamprat olehmu. Sesungguhnya aku tidak keracunan.
Hanya sedikit racun pada kuku Oh-lolo itu mana mampu mencelakai diriku?
Sebabnya aku pura-pura keracunan, tujuanku hanya ingin menguji hatimu, ingin ku
tahu apakah kau akan cemas bagiku, apakah kau benar-benar memperhatikan diriku.
Sungguh tak terpikir olehku bahwa urusan ini akan mengakibatkan kau menderita
sehebat ini, sampai jiwa pun hampir melayang.
Sudah berapa kali hendak
kukatakan padamu bahwa aku tidak keracunan, tapi demi melihat penderitaanmu
bertambah hebat, semakin tak berani kukatakan terus terang. Ku tahu sekarang
kau pasti sangat benci padaku, tapi terserahlah padamu. Sebab akhirnya aku toh
sudah menjadi istrimu. Inilah cita-citaku yang paling utama selama hidupku,
setelah cita-cita ini tercapai, urusan lain pun tidak kupikirkan lagi.
Kupikir, agar kegembiraan dan
kebahagiaan hari ini dapat dipertahankan selama-lamanya jalannya hanya ada
satu, yaitu mati. Hanya dengan kematianlah dapat kubalas kebaikanmu, dan
barulah hatiku dapat tenteram.....
Tulisan dalam surat itu makin
lama makin tak keruan dan sukar dibaca, pandangan Pwe-giok juga tambah lama
tambah kabur.
Nyata air matanya sudah
berlinang linang dan sukar ditahan lagi.
Ketika membaca sampai dengan
huruf "mati", serentak ia menerjang keluar, melompat ke atas loteng
sambil berteriak, "Lui-ji! Tunggu dulu! Harus kau tunggu dulu ...."
Tapi Lui-ji tidak mendengar
lagi suaranya.
Sesudah Pwe-giok mendobrak
pintu, Lui-ji sudah rebah di lantai, tangannya yang pucat itu memegang pisau,
baju dibagian dadanya berlepotan darah.
Apabila Pwe-giok tak dapat
menguasai emosinya, saat ini tentu dia akan menubruk ke atas tubuh Lui-ji dan
menangis sekeras-kerasnya, dengan demikian sedikit banyak akan mengurangi rasa
dukanya.
Tapi sekarang dia hanya
berdiri kaku di situ, hatinya telah mati rasa oleh duka nestapanya, meski sudah
banyak ia belajar menahan rasa duka, tapi sekarang seluruh badannya serasa
runtuh habis-habisan.
Mendadak terdengar Hiang-hiang
mendengus, "Dia sudah mati, apakah kau hanya memandangnya begini saja? Kau
tahu, meski bukan tanganmu sendiri yang membunuhnya, tapi dia tiada ubahnya
seperti mati di tanganmu."
"Kutahu," jawab
Pwe-giok dengan hati remuk redam.
"Kalau sudah tahu,
mengapa kau dapat hidup lagi?....." kata Hiang-hiang. "Bila dia dapat
membalas kebaikanmu dengan mati, mengapa tidak dapat kau balas cintanya dengan
kematian pula?"
Pwe-giok masih berdiri seperti
patung, sampai lama sekali tetap tidak bersuara.
"Hm, baru sekarang ku
tahu apa sebabnya dia ingin mati," jengek Hiang-hiang pula. "Sebab
dia tahu lantaran dia sudah dekat ajalnya, maka kau mau menikahi dia. Kalau dia
tidak mati, mungkin kaupun takkan mengakui dia sebagai istrimu. Betul
tidak!"
Pwe-giok tambah bingung dan
tidak tahu apa yang harus diucapkannya.
Tiba-tiba suara Hiang-hiang
berubah beringas, katanya, "Mengapa kau diam saja? Tidakkah diam berarti
mengakui? Hm, lelaki tidak berbudi dan tidak setia semacam kau, sungguh ingin
ku....ingin kuhajar kau!"
Sambil bicara, tangannya terus
menggampar ke muka Pwe-giok.
Sama sekali Pwe-giok tidak
mengelak, ia masih memandangnya dengan termangu-mangu.
Maklumlah, setiap orang tentu
berpendapat bahwa derita badaniah akan dapat meringankan siksaan rohaniah. Dan
beginilah jalan pikiran Pwe-giok.
Di luar dugaan, tangan
Hiang-hiang yang putih dan lemas seperti tak bertulang itu, ketika mengenai
badan Pwe-giok mendadak berubah menjadi keras seperti baja, bahkan tepat
menghantam pada Hiat-tonya.
Seketika Pwe-giok merasa badan
kaku kesemutan, kontan ia roboh terkulai, dengan terbelalak ia pandang
Hiang-hiang, sorot matanya jelas menunjukkan rasa kaget dan tidak percaya.
Pelahan Hiang-hiang meraba
muka Pwe-giok, ucapnya dengan terkikik, "Dia sudah mati, ku tahu kau pasti
tidak mau hidup sendiri, maka biarlah kupenuhi kehendakmu......"
oOo -o- oOo
Waktu Hay Tong-jing datang
lagi, ia merasa tempat Hiang-hiang itu terang benderang dengan cahaya lilin,
sisa makanan dan minuman masih berserakan, muka setiap nona merah, tampaknya
kebanyakan sudah hampir mabuk disertai suasana gembira.
Tapi Pwe-giok dan Lui-ji tidak
berada di sini lagi, baru saja Hay Tong-jin hendak bertanya, dilihatnya
Hiang-hiang telah menyongsongnya. Dengan riang gembira setengah mengomel
Hiang-hiang tarik lengan baju Hay Tong-jing, "O, sayang, sudah lebih
sebulan tidak berjumpa, tampaknya kau sudah banyak berubah. Tadi para Taci sama
ketakutan karena tindakanmu, sekarang kaupun sedingin ini padaku."
Ia tertawa genit sambil
menggigit bibir, lalu berkata pula, "Dan sesudah kau geledah, tentunya kau
percaya bahwa di tempatku ini tidak menyembunyikan lelaki lain, bukan?"
Hay Tong-jing memandangnya
dengan dingin, mendadak ia mengipatkan tangan Hiang-hiang yang memegangnya,
lalu menuding lilin dan bertanya, "Apa-apaan ini? Kau main gila apa
lagi?"
Dengan muka merah dan mata
basah Hiang-hiang menjawab dengan menunduk: "Orang hina semacam kami ini
dengan sendirinya tidak perlu kenal lilin merah dan perjamuan segala... Ku tahu
kau pandang rendah diriku ini, tapi kan tidak perlu melukai perasaan orang
dengan ucapan yang kejam ini?"
"Melukai perasaanmu? Jika
kaupun punya perasaan, wah, boleh juga" dengus Hay Tong-jing.
Mendadak ia menelikung tangan
Hiang-hiang dan berkata dengan suara bengis: "Hendaknya kau tahu,
kedatanganku ini bukan untuk pelesir, kaupun tidak perlu merayu diriku.
Tentunya kau kenal diriku, aku ini bukan orang yang kenal kasihan kepada
siapapun"
Agaknya Hiang-hiang kesakitan
sekali sehingga mengeluarkan air mata, jawabnya dengan suara gemetar:
"Ya,ku...ku tahu"
"Baik, sekarang harus kau
jawab sejujurnya semua pertanyaanku, jangan coba-coba main gila, paham?"
"Ya, pah...paham"
"Nah, katakan,
sesungguhnya apa yang terjadi di sini?"
"Ada orang kawin"
"Siapa yang kawin?"
"Siapa lagi, tentunya
kedua kawanan itu, Ji-kongcu dan Cu-kohnio (nona Cu)"
Melengak juga Hay Tong-jing,
serunya: "Mereka kawin di sini? Kau kira aku percaya?"
Berbareng ia memencet
sekerasnya sehingga Hiang-hiang menjerit kesakitan, serunya: "Untuk apa ku
bohong? Kuharap kau lepaskan tanganku! Jika tidak percaya, bolehlah kau tanya
mereka saja!"
Pelahan Hay Tong-jing
melepaskan genggamannya dengan hati bimbang.