Jilid 5
Hiang-hiang memijit
pergelangan tangannya yang kesakitan sambil memandang Hay Tong-jing.
"Apa katamu?" tanya
Hay Tong-jing.
"Kulihat kau pasti juga
menyukai nona Cu itu, cuma sayang dia sudah...."
"Plak", belum habis
ucapan Hian-hiang, tahu-tahu Hay Tong-jing telah menggamparnya sehingga dia
mencelat jauh ke sana dan terbanting cukup keras.
Keruan nona yang lain menjadi
ketakutan dan tiada yang berani bergerak.
Hiang-hiang menangis sambil
mendekap mukanya, ratapnya: "Kejam amat kau, jika mau, bunuh saja diriku
sekalian!"
Dengan suara bengis Hay
Tong-jing membentak: "Supaya kau tahu, jangan kau main gila di depanku,
jika kau berani menangis lagi, bisa kubinasakan kau dahulu"
Hiang-hiang benar-benar tidak
berani menangis lagi, "Orang galak hanya takut pada orang yang lebih
galak", agaknya pepatah ini memang beralasan. Perempuan macam Hiang-hiang,
bilamana kau sungkan padanya, maka yang celaka adalah dirimu sendiri.
Hay Tong jing lantas berkata
pula, "Baik, sekarang berdirilah kau, tunjukkan padaku dimana
mereka."
Sambil menangis Hiang-hiang
menjawab, "Tidak perlu cari lagi, mereka... mereka sudah pergi sejak
tadi."
"Hm, memang sudah
kuketahui tiada sepatah katapun ucapanmu dapat dipercaya." jengek Hay
Tong-jing. Mendadak ia menyeret bangun Hiang-hiang, lalu membentak pula,
"Coba katakan, kemana mereka pergi? ...."
"Nona ... nona Cu itu
seperti mengidap penyakit berat apa, rupanya dia menyadari umurnya tidak
panjang lagi, maka Ji-kongcu didesak agar menikahi dia, bahkan kami dipaksa mengadakan
perayaan bagi perkawinannya," tutur Hiang-hiang.
Cerita ini mau tak mau harus
dipercaya oleh Hay Tong-jing, diam-diam ia seperti menghela napas, tanyanya
kemudian, "Lalu bagaimana?"
"Lalu merekapun masuk
kamar pengantin, malahan aku diminta menjadi pengapitnya, dengan sendirinya
akupun ikut bahagia bagi mereka, siapa tahu begitu masuk kamar pengantin,
mendadak ... mendadak nona Cu itu ...."
"Mendadak kenapa?"
Hay Tong-hiang menegas dengan terkesiap.
"Baru saja mereka masuk
kamar, seketika nona Cu roboh, tujuh lubang inderanya mengeluarkan darah,
keadaannya sungguh sangat mengerikan. Aku menjadi kaget dan ketakutan, hampir
saja ku jatuh pingsan. Kulihat Ji-kongcu itu menatap mayat nona Cu dengan
terkesima seperti orang linglung, mendadak ia memondong mayat nona Cu terus
dibawa keluar...." Hiang-hiang menghela napas panjang, lalu melanjutkan
dengan rawan, "Ketika kususul keluar, ternyata mereka sudah menghilang
entah kemana, sungguh cepat sekali lari Ji-kongcu itu seperti bisa terbang
saja, betapapun tak dapat kususul dia."
"Mengapa kejadian ini
tidak kau ceritakan sejak tadi?" bentak Hay Tong-jing.
"Karena...karena para
saudara di sini tidak ada yang tahu kejadian ini, maka sengaja ku tutup rahasia
ini," jawab Hiang-hiang dengan menunduk.
"Mengapa kau tutup
rahasia ini bagi mereka?" Dengan muka merah Hiang-hiang menjawab:
"Ku kuatir bilamana
diketahui di kamarku ada orang mati, kalau cerita ini tersiar dan diketahui
para tamu langgananku, bisa jadi semua langgananku akan meninggalkan diriku."
Cerita ini memang cukup
beralasan dan masuk akal, sedikitpun tidak ada titik kelemahannya.
Apalagi Hay Tong-jing juga
mengetahui Cu Lui-ji memang keracunan dan racun akan bekerja hari ini, bilamana
si nona mati keracunan, ia tahu Ji Pwe-giok pasti juga akan sangat berduka. Dan
seorang kalau terluka berduka, dengan sendirinya tindak-tanduknya akan luar
biasa dan tidak mengherankan jika mendadak ia lari pergi dengan membawa mayat
Cu Lui-ji.
Apalagi, para nona di rumah
hiburan demikian pada umumnya tentu bersaing berebut langganan, jik orang lain
mengetahui ada tamu mati di kamarnya Hiang-hiang, tentu mereka akan senang dan
bersyukur malah.
Dan para tamu yang biasa
berkunjung ke situ tentu juga tidak mau lagi datang lagi bila mengetahui kamar
Hiang-hiang pernah ada kematian tamu. Jadi hal ini tentu saja akan ditutupi
oleh Hiang-hiang dan takkan diceritakannya kepada siapapun juga bilamana tidak
terpaksa.
Mestinya Hay Tong-jing bukan
orang yang gampang ditipu, tapi sekarang dia memang tidak menemukan sesuatu
yang mencurigakan pada keterangan Hiang-hiang itu, mau tak mau ia harus
percaya.
Ia termangu-mangu sejenak,
katanya kemudian sambil melototi Hiang-hiang, "Untuk sementara ini biarlah
kupercaya keteranganmu ini, tapi kelak bila diketahui kau dusta padaku sekata
saja...Hmk!"
"Jika kelak diketahui ku
dusta padamu, boleh kau bunuh saja diriku dan takkan kusesali dirimu,"
jawab Hiang-hiang dengan menangis.
Hay Tong-jing tidak
memandangnya lagi, dengan langkah lebar ia terus tinggal pergi.
Tapi mendadak Hiang-hiang
memburu maju dan menarik lengan bajunya sambil berseru," Apa...apa betul
kau akan pergi begini saja?"
"Sudah tentu pergi begini
saja, ada apa lagi?" jawab Hay Tong-jing.
"Dengan setulus hati ku
cinta padamu, mengapa kau berbalik tidak setia dan tidak berbudi padaku?"
kata Hiang-hiang.
Hay Tong-jing mendengus.
"Hm, terhadap orang macam kau ini juga bicara tentang setia dan budi, hah,
mungkin kau ini seorang sinting."
Dengan keras ia kipatkan
tangan Hiang-hiang dan melangkah pergi tanpa menoleh.
Hiang-hiang tidak mencegahnya
pula, setelah Hay Tong-jing sudah pergi jauh barulah ia meludah ke lantai
sambil mencibir, "Cis memangnya kau kira dirimu sangat cerdik? Huh, masih
jauh! Biarpun kau pintar seperti setan juga dapat ku kerjai."
Baru sekarang si nona bermuka
apel tadi mendekati Hiang-hiang, katanya, "Bocah ini sudah buas lagi
kejam, kenapa tidak mencari akal untuk membinasakan dia, tapi malah kau biarkan
dia pergi?"
Hiang-hiang menghela napas,
katanya, "Meski bocah ini sok pintar. Namun kungfunya memang tidak boleh
diremehkan. Untuk membunuhnya mungkin tidak terlalu mudah, sebab itulah hanya
ku enyahkan dia dengan membohonginya.
"Dan kalau dia datang,
lalu bagaimana?" tanya si muka apel.
"Seumpama dia datang lagi
ke sini tentu juga dapat kuhadapi dia dengan akal lain. Apalagi jejak kita
sudah ketahuan, betapapun kita tidak bisa mengendon lebih lama lagi di
sini."
"Habis mau ke mana jika
tinggal di sini?" tanya si muka apel.
"Orang semacam kita,
kemanapun jadi," ujar Hiang-hiang. "Burung gagak di dunia ini sama
hitamnya, lelaki di dunia ini sama busuknya, rata-rata pasti gila perempuan.
Maka ke mana pun tidak menjadi soal bagi kita."
Si muka apel tertawa
terkikik-kikik, tiba-tiba ia bertanya pula, "Lantas kemanakah pengantin
baru lelaki kita yang cakap dan menyenangkan itu? Apakah telah kau antar dia
pulang ke rumah moyangnya?"
"O, belum," jawab
Hiang-hiang.
"Untuk apa menahannya
lebih lama?" ujar si muka apel.
"Soalnya, bocah she Ji
ini seperti orang yang hendak dicari oleh atasan kita. makanya Ji-lotoa
berulang memberi pesan agar menangkapnya hidup-hidup dan tidak boleh
dibunuh."
Si muka apel tertawa senang,
katanya, "Jika atasan menghendaki mereka, mustahil dia dapat hidup
lagi?"
--ooo--
Ji Pwe-giok tidak sadar sama
sekali, entah sudah berapa lamanya, ketika ia mendusin, di dalam rumah sudah
dinyalakan lampu, Ji Yak-ih sedang duduk sambil minim arak di depannya.
Seketika rasa duka membanjir
pula, hanya sekejap saja rasa duka itu telah menguasai seluruh jiwa-raganya
sehingga membuatnya lupa terkejut dan juga tidak tahut apapun.
Ji Yak-ih tersenyum, katanya.
"Tampaknya tidur Ji-heng cukup lelap, sudah cukup lama kutunggu di sini
dan tidak berani mengganggu tidur Ji-heng yang nyenyak."
Pwe-giok malas menggubrisnya,
dilihatnya orang mengangkat guci arak Li ji-hong yang belum habis terminum itu
dituangnya ke dalam poci, lalu isi guci arak lain jua dituangnya sebagian ke
dalam poci terus diaduknya dengan sumpit, kemudian dia menuang arak dalam poci
itu ke cawannya serta diminumnya seceguk.
"Apakah Ji-heng tahu,
untuk minum Li-ji-hong ini harus dicampur sebagian dengan arak baru supaya
rasanya sedap," kata Ji Yak-ih dengan tertawa. "Kalau tidak dicampur,
betapapun kuatnya seorang juga pasti akan tidur nyenyak seperti Ji-heng tadi."
Ia terbahak-bahak, lalu
menyambung pula "Melihat kegagahan Ji-heng, tadinya kukira Ji-heng adalah
seorang Kongcu keluarga bangsawan yang gemar minum arak dan suka pelesir. Siapa
tahu Ji-heng ternyata tidak paham cara bagaimana harus minum arak."
Supaya maklum, arak yang
diberi nama "Li-ji-hong" atau si merah anak perempuan, pada umumnya
arak ini adalah sulingan sendiri keluarga hartawan di daerah Kanglam, yaitu
dibuat pada waktu genap sebulan melahirkan anak perempuan, lalu arak baru itu
ditanam di bawah tanah, arak itu baru dikeluarkan lagi bila anak perempuan itu
sudah akil balig dan akan menikah. Pada waktu itu arak simpanan tersebut sudah
mengental dan tinggal setengah guci saja. Sari arak ini tidak boleh diminum
kalau tidak dicampur dengan arak sulingan baru.
Ji Pwe-giok sendiri meski
berasal dari keluarga terpelajar dan juga kuat minum arak, tapi lantaran
peraturan rumah tangganya sangat keras, mengenai hal-hal yang mengutamakan
kesenangan ini boleh dikatakan sama sekali asing baginya.
Dan baru sekarang ia tahu
sebabnya dia merasa pening dan ingin tidur tadi adalah karena pengaruh minum
arak Li-ji-hong.
Didengarnya Ji Yak-ih lagi
berkata pula dengan tertawa, "Untung juga lantaran Ji-heng tidak paham
cara minum arak sehingga sempat selamatkan jiwa seorang."
"Menolong jiwa
siapa?" tanya Pwe-giok.
"Boleh Ji-heng melihatnya
sendiri...." jawab Ji Yak-ih dengan tersenyum.
Tengah bicara, datanglah
Hiang-hiang dengan memapah satu orang.
Orang ini memakai baju baru,
walaupun tidak begitu cocok dengan ukuran badannya, tapi tetap tak dapat
menutupi garis tubuhnya yang ramping, dia menunduk, rambutnya yang panjang
terurai menutupi mukanya.
Siapa lagi kalau bukan Cu
Lui-ji.
"He...Kau...kau tidak
meninggal?" seru Pwe-giok terkejut dan girang.
Semakin rendah Lui-ji menunduk,
tidak berani menengadah dan juga tidak berani bersuara.
Dengan tertawa genit
Hiang-hiang berkata, "Dia sebenarnya ingin mati, cuma sayang terlanjur
mabuk, tangannya menjadi lemas, matanya menjadi kabur, pisau yang hendak
digunakannya untuk menggorok leher itu salah tempat sehingga menyayat dadanya
sendiri. Meski sekujur badan kelihatan berlumuran darah, padahal hanya terluka
ringan saja dan tidak berbahaya."
Segera Pwe-giok hendak memburu
maju, tapi segera diketahuinya bahwa kaki dan tangan sama sekali tak bisa
bergerak meski pikirannya sudah sadar, agaknya Hiat-to kelumpuhannya tertutuk.
Didengarnya Cu Lui-ji sedang
berkata dengan suara terputus-putus, "Hiang... Hiang-hiang, kumohon
sudilah kau bunuh saja ... bunuh saja diriku, sungguh aku... aku malu untuk
bertemu lagi dengan dia."
Dengan suara halus Pwe-giok
lantas berkata "Lui-ji, janganlah kau bicara demikian, sama sekali tidak
kusalahkan kau, asalkan kau masih hidup, sungguh aku sangat gembira."
"Tapi, meski tidak kau
salahkan diriku, padahal aku telah membikin susah padamu, mana... mana hatiku
bisa... bisa tenteram dan tidak berduka?" ujar Lui-ji dengan air mata
berderai.
Mendadak Ji Yak-ih bergelak
tertawa, katanya, "Haha. sungguh adegan sandiwara yang mengharukan,
sampai-sampai air mataku pun hampir bercucuran. Cuma sayang, sekarang bukan
waktu main roman bagi kalian."
Dengan suara parau Lui-ji
berseru, "Kumohon sudilah kau bebaskan dia, sejauh ini dia sangat baik
terhadap Oh-lolo, seumpama kau hendak membalas dendam, bagi Oh-lolo, jelas
sasaranmu bukanlah dia."
"Sebenarnya aku sangat
ingin membebaskan dia, cuma sayang aku tidak berkuasa." ujar Ji Yak-ih
dengan tersenyum.
"Jika demikian, kuharap
dapat bertemu dengan bunda Oh-lolo, akan ku bicara langsung dengan dia."
kata Lui-ji.
"Akupun ingin mencarinya,
cuma sayang, saat ini iapun tidak sanggup lagi mendengarkan uraianmu."
"Sebab apa?" tanya
Lui-ji.
"Sebab dia sudah
mati," tutur Yak-ih dengan tak acuh.
"Hah, dia sudah
mati?" tukas Lui-ji dengan melenggong. "Apakah Hay Tong-jing yang
membunuhnya?"
"Kukira Hay Tong-jing
juga tidak mempunyai kemampuan sebesar itu untuk membunuhnya," ujar Ji
Yak-ih dengan tersenyum, "Tadi waktu kulihat dia mengejar keluar untuk
mencari diriku, sungguh perutku hampir meledak saking gelinya."
"Waktu itu kau sembunyi
dimana?" tanya Lui-ji.
"Ketika kalian menjebol
langit-langit kamar dan lolos keluar, saat itulah kubuka pintu dari bawah
loteng dan sembunyi pula ke dalam kamar itu," jawab Yak-ih. "Kalian
hampir membongkar segenap pelosok rumah ini, hanya kamar yang telah kalian
bobol itulah yang kalian lewatkan."
Diam-diam Pwe-giok menghela
napas gegetun, mau tak mau ia harus mengakui langkah Ji Yak-ih yang cerdik itu.
Meski rada besar resikonya, tapi langkah itu memang benar tak terpikir oleh
siapapun.
"jika begitu, siapa pula
yang membunuh ibunda Oh-lolo?" tanya Lui-ji.
"Siapa lagi, ialah diriku
ini," kata Yak-ih.
Sekali ini Lui-ji benar-benar
terkejut, serunya "kau yang membunuh dia? Bilakah kau bunuh dia?"
"Pada waktu kalian datang
kemari, mungkin mayatnya sudah membusuk," tutur Yak-ih.
Kembali Lui-ji melengak,
ucapnya, "Habis, siapa pula nenek yang kami lihat itu?"
Hiang-hiang tertawa, mendadak
ia bicara dengan suara yang sudah berubah, ucapnya dengan terputus-putus,
"Biar... biarkan mati dia, entah sudah... sudah berapa kali kusuruh budak
itu jangan... jangan mencelakai orang lain, tapi dia tidak... tidak mau
menurut."
Seketika Lui-ji melongo,
serunya, "He, kiranya... kiranya nenek yang kami lihat itu ialah dirimu
ini."
"Betul, memang aku inilah
yang menyamarnya," jawab Hiang-hiang dengan tersenyum.
"O, rupanya sesudah gagal
mencelakai kami, segera kau kembali ke kamarmu sendiri dan cepat-cepat
berdandan untuk memulihkan wajahmu yang asli, begitu bukan?....Pantas Hay
Tong-jing tidak dapat menemukan dirimu."
"Ya, memang
begitulah," jawab Hiang-hiang.
"Jelas kalian berdua
sudah berniat mengkhianati Oh-lolo, maka pada waktu dia keluar rumah, lalu kau
sendiri menyamar sebagai orang tua itu, supaya penghuni rumah hiburan ini tidak
curiga. Apalagi orang tua ini juga jarang-jarang muncul di depan umum dan orang
luar pun tidak menaruh perhatian."
"Betul, cocok seperti apa
yang kalian katakan, lantaran mengincar kungfunya, maka kukawin dengan
Oh-lolo," ujar Ji Yak-ih dengan tersenyum. "Sekarang sudah hampir
seluruh kepandaiannya telah kukuasai, dengan sendirinya aku tidak memerlukan
dia lagi, malahan muak rasanya bila kulihat cecongornya itu, maka sudah lama
ingin kubunuh dia, cuma sayang belum ada kesempatan baik."
"Dan pada waktu dia
keluar rumah inilah lebih dulu kami membunuh ibunya," sambung Hiang-hiang.
"Kami sedang menunggu pulangnya untuk membereskan dia sekalian, siapa tahu
kalian sudah mendahului memberi bantuan kepada kami."
Lui-ji berdiam sejenak sambil
berkedip-kedip ucapnya kemudian, "Jika kami sudah membantu kehendak
kalian, mengapa kalian masih juga ingin mencelakai kami?"
"Kan sudah kukatakan
sejak tadi, semua ini adalah perintah atasan, kami sendiri tidak
berkuasa," ujar Ji Yak-ih.
"Perintah atasan apa?
Masakan kalian juga mempunyai cukong?" Lui-ji menegas dengan terkejut.
"Betul," sahut
Yak-ih.
"Siapa dia?" tanya
LUI-ji.
"Bila kalian bertemu
dengan beliau tentu kalian akan paham," ujar Hiang-hiang dengan tertawa.
Lui-ji tercengang sejenak,
ucapnya kemudian "Maksudmu, kami kenal dia?"
"Mungkin kenal,: kata
Hiang-hiang.
Lui-ji tidak bertanya lebih
lanjut, sebab ia memang tidak perlu tanya lagi. Diam-diam ia melirik Pwe-giok
sekejap, dalam hati mereka sudah tahu sama tahu, jelas orang yang mendalangi Ji
Yak-ih itu pasti Ji Hong-ho adanya.
Lebih dahulu Ji Yak-ih dan
Hiang-hiang dibeli dan mereka memperalat Oh-lolo, setelah Oh-lolo tiada gunanya
lagi, mereka lantas diperintahkan membunuhnya.
Inilah cara yang biasa
digunakan oleh Ji Hong-ho, dengan cara yang sama pula ia hendak menumpas Thian
can-kaucu, bahkan besar kemungkinan setiap tokoh Bu-lim terkemuka jaman ini
juga telah menjadi incarannya. Betapa luas dan rapi rencananya sungguh sukar
untuk dibayangkan.
"Kiranya dia juga yang
menyuruh kau mengerjai kami, jadi kalian bukan bertujuan menuntut balas bagi
Oh-lolo," kata Lui-ji.
Hiang-hiang menguap ngantuk,
sambil mengucek matanya yang sepat ia berkata :
"Bilamana kami hendak
membalaskan sakit hati Oh=lolo, yang akan kami kerjai lebih dulu tentu adalah
orang she Hay itu."
"Dan kalian tidak
mengapa-apakan dia ?" Pwe-giok ikut bertanya.
"Dia toh bukan sasaran
yang dikehendaki juragan kami, untuk apa kami bersusah payah mengeluarkan
tenaga percuma ?" jawab Hiang-hiang.
Entah sebab apa, Hiang-hiang
yang semula kelihatan lincah dan penuh gairah itu, sekarang kelihatan lesu,
sebentar-sebentar menguap seperti ingin tidur, sedikitpun tidak bersemangat
lagi.
Waktu Pwe-giok memandang Ji
Yak-ih, orang inipun berulang menguap, sampai-sampai air mata dan ingus juga
menetes, mukanya juga lesu seperti mendadak tambah tua belasan tahun. Melihat
keadaannya sekarang, siapa pun tidak percaya dia adalah lelaki cakap dan gagah
tadi.
Pwe-giok tidak dapat mengorek
keterangan lagi dari mereka, sebab tidak cuma malas bicara, bahkan mereka pun malas
mendengarkan, keadaan mereka lebih mirip mayat hidup belaka.
Sama sekali Lui-ji tidak paham
sebab apakah mereka bisa mendadak berubah menjadi begini ?.
Kedua orang yang tadinya masih
segar bugar, dalam waktu singkat bisa berubah menjadi layu.
Selang sejenak, sambil menguap
Hiang-hiang tanya Ji Yak-ih,
"Apakah kaupun kehabisan
rangsum ?"
"Ehm," Yak-ih
mengangguk.
"Huh, ku tahu kau pasti
ada simpanan, kalau tidak bagi sedikit, lihat saja nanti kalau tidak ku ganyang
kau." jengek Hiang-hiang mendadak.
Keadaan Yak-ih tambah lesu,
sampai matapun malas membentangkannya, jawabnya:
"Jika aku menyembunyikan
setitik saja, anggaplah aku ini piaraanmu."
Cara bicara mereka tadi selalu
sopan santun, tapi kata-kata mereka sekarang telah berubah kasar seperti
umpatan kuli dermaga atau bicokok ditempat judi.
malahan dari percakapan mereka
itu jelas diantara mereka berdua tiada tanda ada hubungan intim, semua ini
sungguh di luar dugaan dan sangat mengherankan.
Apalagi, dirumah hiburan ini
setiap saat dapat disediakan santapan lezat, mengapa mereka bilang kehabisan
"rangsum" segala ?
Selagi Pwe-giok merasa curiga,
mendadak di luar jendela sana ada orang mendesis:
"Ssst! Juragan datang
!"
Menyusul lantas terdengar
suara kresek-kresek orang berjalan melintasi halaman luar sana. Yang datang
agaknya ada tujuh atau delapan orang.
Seketika semangat Ji Yak-ih
dan Hiang-hiang terbangkit, mereka memburu ke dekat pintu dan berdiri dengan
tangan lurus ke bawah, kelihatannya tegang, tapi seperti juga bergembira.
Mungkin saking senangnya,
dengan mengikik tawa Hiang-hiang lantas berkata,
"Syukur kepada Thian yang
Maha Pemurah, akhirnya juragan datang juga, kalau tidak..."
"Tutup mulutmu !"
bentak Yak-ih mendadak dengan suara tertahan.
Sembari bicara ia terus
menyingkap kerai, dan masuklah berturut-turut delapan atau sembilan orang,
semuanya memakai mantel hitam panjang menyentuh tanah, memakai topi lebar
sehingga hampir menutupi seluruh wajah mereka. Ke sembilan orang ini seperti
berasal dari satu mesin cetak, serupa, tak terlihat ada suatu perbedaan.
Mendadak Lui-ji menjengek:
"Hm, tak tersangka
seorang Bu-lim-bengcu yang terhormat juga suka bertindak secara
sembunyi-sembunyi begini. Tapi biarpun kau terbakar menjadi abu juga tetap
dapat kukenali kau."
Tiba-tiba satu diantara ke
sembilan orang itu tertawa dan berkata:
"Kau kenal diriku ?
memangnya siapa aku ini ?"
Suaranya ternyata halus merdu,
jelas suara kaum wanita.
Lui-ji jadi tercengang,
ucapnya:
"Dengan sendirinya bukan
kau yang kumaksud, tapi ialah..."
"Ialah siapa ?"
orang itu menegas pula.
Sinar mata Lui-ji lantas
menyapu kian kemari diantara ke sembilan orang itu, tak terduga delapan
diantara sembilan orang itu lantas menanggalkan topinya dan membuka mantelnya.
Ternyata semuanya adalah anak
gadis yang masih sangat muda dan sangat cantik, semuanya berpakaian yang sangat
serasi dengan garis tubuhnya, garis tubuh yang pasti mendebarkan jantung lelaki
manapun juga. Biarpun orang buta sekarang juga dapat melihat bahwa mereka
bukanlah samaran lelaki.
Kembali Lui-ji melengak, sorot
matanya lantas hinggap pada tubuh orang terakhir.
Perawakan orang ini seperti
lebih tinggi sedikit daripada ke delapan orang yang lain, sikapnya juga lebih
mantap dan anggun.
Lui-ji mencibir, jengeknya,
"Sekarang tidak kau
perlihatkan wajahmu, Ji Hong-ho ?"
Mendadak orang itu tertawa,
ucapnya dengan pelahan:
"Ji Hong-ho ? kau kira
aku ini Ji Hong-ho ?"
Segera ia menanggalkan
topinya, segera ke delapan orang tadi berebut bantu membuka mantelnya.
Kini wajahnya dapat terlihat
dengan jelas. Mana bisa dia ini Ji Hong-ho ? Dia juga seorang perempuan muda,
bahkan terlebih cantik, lebih mempesona.
Baru sekarang Lui-ji
benar-benar melenggong dan tak dapat bicara lagi.
Tapi Ji Pwe-giok justru
sepuluh kali lebih terkejut daripada Lui-ji, sungguh tak terpikir olehnya bahwa
"juragan" yang disebut-sebut oleh Ji Yak-ih dang Hiang-hiang ternyata
bukan lain daripada Ki Leng-Hong dari Sat-jin-ceng.
Kini masih siang hari, cahaya
didalam rumah cukup terang, Pwe-giok dapat melihat jelas keadaan Ki Leng-hong.
Nyata nona ini sudah jauh lebih masak daripada dahulu, juga tambah cantik.
Namun sinar matanya terlebih tajam daripada dulu, sikapnya juga lebih dingin,
bahkan bertambah semacam wibawa yang membikin orang tunduk bila berhadapan
dengan dia.
Ki Leng-hong juga sedang
mengamat-amati Pwe-giok, ucapnya dengan tertawa hambar:
"Tampaknya kau sangat
terkejut, masa tak terpikir olehmu akan diriku ?"
Pwe-giok menghela nafas,
jawabnya:
"Ya, seharusnya sejak
tadi-tadi harus kuingat padamu."
Dia pandang Ji Yak-ih dan
Hiang-hiang sekejap, lalu menyambung pula,
"Setelah melihat
perubahan mereka tadi seharusnya kuingat akan dirimu."
"Oo ?" Ki Leng-hong
bersuara heran.
"Sebab hanya orang yang
terkena racunmu itulah dapat berubah secepat itu, berubah sedemikian memelas,
sebab aku sendiripun pernah merasakan penderitaan semacam itu," kata
Pwe-giok dengan menghela nafas.
Ki Leng-hong juga menghela
nafas, katanya:
"Cuma sayang, belum
sempat kau rasakan nikmatnya, kalau tidak tentu akan kau ketahui bahwa barang
siapa sudah merasakan kenikmatan semacam itu, maka penderitaan apapun juga akan
terasa setimpal."
Mendadak ia berpaling dan
tanya Ji Yak-ih: "Betul tidak?"
Cepat Ji Yak-ih dan
Hiang-hiang bertekuk lutut dan mengiakan.
Ki Leng-hong menuding mereka
berdua dan berkata pula:
"Coba kau lihat mereka
ini, yang lelaki tentu gemar main perempuan, yang perempuan juga bergairah dan
memerlukan lelaki. Kedua orang ini tinggal bersama dan boleh di ibaratkan kayu
kering dan api yang mudah menyala dan terbakar. Akan tetapi aku berani menjamin
bahwa diantara mereka berdua pasti tidak ada hubungan pribadi. Nah, apakah kau
tahu sebab apa mereka tidak berhasrat untuk mengadakan hubungan intim ?"
Pwe-giok tidak menjawab, tapi
Lui-ji segera bertanya: "Sebab apa ?"
"Sebab pada hakekatnya
mereka sudah tidak bergairah untuk berbuat begituan," tutur Ki Leng-hong.
"Padahal berbuat begituan
adalah hal yang paling menyenangkan di dunia ini, setiap lelaki maupun
perempuan tentu berhasrat ingin melakukannya. Tapi bagi mereka hal begitu
sedikitpun tidak ada artinya. Apakah kau tahu sebabnya ?"
Sekali ini Lui-ji juga tidak
bersuara lagi.
Maka dengan pelahan Ki
Leng-hong menjawabnya sendiri,
"Sebabnya adalah karena
kenikmatan yang kuberikan kepada mereka berpuluh kali lebih menyenangkan
daripada berbuat begituan. Setiap orang yang sudah merasakan nikmatnya
"Kek-lok-wan" (obat maha nikmat) yang kuberikan, terhadap urusan lain
akan dirasakan hambar dan tidak ada rasanya lagi."
"Kek-lok-wan apa yang kau
maksudkan ?" akhirnya Lui-ji tidak tahan dan bertanya juga.
Ki Leng-hong tersenyum,
jawabnya:
"Yaitu semacam obat dewa
yang paling ajaib di dunia ini. Kau ingin mencicipi atau tidak ?"
Lui-ji berkedip-kedip,
ucapnya:
"Mencicipi juga boleh.
Bagiku, semakin keras racun sesuatu benda, semakin ingin kucicipi."
"Kaupun ingin mencicipi
?" Mendadak Pwe-giok berteriak.
"Masakah tidak kau lihat
keadaan kedua orang ini ? memangnya kau kira mereka ini orang lemah seperti ini
? Apakah kau tahu lantaran Kek-Lok-wan yang disebut itulah maka mereka tidak
sayang menjual dirinya sendiri, tidak sayang dihina dan dianiaya orang, bahkan
rela melacurkan diri dan menjadi bandit."
Sudah cukup lama Lui-ji
berkumpul dengan anak muda itu dan tidak pernah melihat cara bicaranya yang
beringas seperti sekarang ini. Nyata dia sedemikian benci terhadap Kek-lok-wan
tersebut.
Waktu ia pandang Ji Yak-ih dan
Hiang-hiang, kedua orang sama menunduk malu karena cercaan Pwe-giok itu.
Dengan melotot Pwe-giok
berteriak pula:
"Tapi kecanduan
Kek-Lok-wan ini juga bukan tidak dipunahkan, aku justru pernah mengalami
sendiri, asalkan kalian mempunyai hati yang teguh, punya keberanian, sanggup
menahan siksaan untuk sementara waktu, maka kalian pasti dapat membebaskan diri
dari pengaruhnya. Dengan demikian kalian akan dapat bangkit kembali menjadi
manusia baru. Kalau tidak, kalian akan semakin tenggelam dan akan selamanya
diperbudak olehnya."
Air muka Ji Yak-ih dan
Hiang-hiang tampak terangsang, tapi Ki Leng-hong lantas mengeluarkan sebuah
kotak kecil dan menuang satu biji pil berwarna coklat tua, ucapnya dengan
pelahan:
"Satu kotak Kek-Lok-wan
ini mestinya ku sediakan untuk kalian, tapi sekarang kalian tidak ingin
menikmatinya lagi, biarlah kuberikan saja kepada orang lain."
Demi mengendus bau khas obat
itu, seketika rasa malu dan emosi yang bergejolak pada wajah Ji Yak-ih dan
Hiang-hiang tadi sirna seluruhnya. Seketika kedua orang berubah lagi menjadi
beringas, seperti anjing lapar yang melihat tulang, dengan pandangan rakus
mereka melototi kotak yang dipegang Ki Leng-hong itu.
Sekonyong-konyong kedua orang
berlutut dan menyembah, dengan suara gemetar mereka meratap:
"O, sama sekali tiada
maksud kami akan begitu, kata-kata tadi seluruhnya diucapkan oleh dia."
Ki Leng-hong memandang mereka
dengan dingin, dengusnya:
"Jika demikian, jadi
tiada maksud kalian hendak melepaskan diri dari Kek-lok-wan ?"
"Ya, ti...tidak !"
jawab Ji Yak-ih dan Hiang-hiang berbareng.
"Masa kalian rela
diperbudak olehnya selama hidup ?" tanya Ki leng-hong.
"Ya...ya..."
Hiang-hiang dan Ji Yak-ih berebut menjawab lebih dulu.
"Huh, manusia tak
berguna," omel Ki leng-hong: "Ini, ambil !"
Mendadak ia hamburkan isi
kotak kecil yang dipegangnya sehingga pil kecil-kecil itu bergelindingan
memenuhi lantai, serentak Ji Yak-ih dan Hiang-hiang merangkak dan berebut
memungutnya.
Pwe-giok menghela nafas,
sungguh ia tidak tega menyaksikan tingkah laku mereka.
"Nah, sekarang tentunya
kau tahu betapa besar kekuatan Kek-Lok-wan ini," kata Ki Leng-hong.
"Tentunya tidak setiap
orang dapat membebaskan diri dari kekuasaannya seperti kau."
Tiba-tiba ia tertawa, lalu
menyambung pula dengan pelahan:
"Terhadap tekad dan
keberanianmu, sungguh akupun sangat kagum."
Pwe-giok tidak menghiraukan
ocehannya.
Tapi Ki Leng-hong lantas
berkata pula,
"Mengapa kau tidak menggubris
diriku ? Apapun juga kita kan sahabat lama. Apalagi akupun pernah banyak
membantu kesukaranmu, mengapa begitu melihat diriku lantas ingin mengelak
seperti takut kepada ular berbisa."
Pwe-giok diam sejenak,
akhirnya menghela nafas dan berkata:
"Betul, memang banyak kau
bantu kesukaranku, akupun tahu harus membalas kebaikanmu, tapi...tapi..."
"Jangan kuatir, saat ini
belum tiba waktunya kuminta balas jasamu," kata Ki Leng-hong dengan
tertawa.
"Jika demikian, apakah
kau...kau ingin..."
"Aku hanya ingin
mengadakan suatu transaksi denganmu."
"Transaksi ?"
Pwe-giok menegas.
"Ya, transaksi,
persetujuan jual beli, bisnis kata orang !" Leng-hong mengitari Pwe-giok,
lalu menyambung,
"Tahukah kau bahwa
sesungguhnya kau ini seorang yang sangat aneh. sejak pertama kali kulihat kau
lantas kulihat pada dirimu terdapat banyak hal-hal yang aneh."
"Hal-hal yang aneh
bagaimana ?" tanya Pwe-giok.
"Di...dimana letak
keanehanku ?"
Mendadak Ki Leng-hong
berpaling, Ji Yak-ih dan Hiang-hiang diusirnya keluar, pintu kamar ditutupnya
rapat-rapat, lalu berkata dengan pelahan,
"Pertama, mestinya kau
ini putera tunggal Ji Hong-ho, tapi malah...."
Belum habis ucapannya,
berteriaklah Lui-ji dengan kaget:
"Apa katamu ? Dia putera
Ji Hong-ho ?"
Ki Leng-hong tersenyum, jawabnya
:
"Masa kau tidak tahu ?
ya, dia memang putera Ji Hong-ho, dengan sendirinya kau tidak tahu. Rahasia ini
selain aku dan Ko-lauthau memang tidak ada orang ketiga lagi yang tahu."
Lui-ji melototi Pwe-giok
dengan melongo, saking kejutnya hingga tidak sanggup bersuara pula.
"Dapat menjadi putera
Bu-lim-bengcu jaman inikan sesuatu yang membanggakan dan terhormat. Tapi dia
tidak sudi dan pura-pura mati agar orang mengira dia adalah seorang Ji Pwe-giok
yang lain."
"Se...sebab apakah dia
begitu ?" tanya Lui-ji.
"Bukan saja dia tidak mau
mengakui Ji Hong-ho sebagai ayahnya, tidak mau mengaku Lim Tay-ih sebagai bakal
istrinya, bahkan membiarkan Lim Tay-ih salah paham padanya dan lebih suka
dibunuh oleh nona Lim itu."
Dia tertawa, lalu melanjutkan:
"Hari itu kusaksikan
sendiri pedang Lim Tay-ih menusuk tubuhnya, aku menjadi rada sedih
baginya."
"Apa yang terjadi itu
mungkin disebabkan persoalan mereka terlalu membuatnya berduka, hanya aku saja
yang dapat memahami perasaannya sebab aku..akupun..." sampai di sini dia
tidak meneruskan lagi.
"Masa ayahmu juga berbuat
hal-hal yang membikin kau kecewa dan berduka, maka kaupun tidak sudi mengakui
dia sebagai ayahmu ?" tanya Ki Leng-hong.
Lui-ji menggigit bibir dan
tidak menjawabnya.
"Tapi keadaannya jelas
berbeda dengan keadaanmu," kata Leng-hong pula.
"Memangnya dia kenapa
?" tanya juga Lui-ji.
"Bukannya dia tidak sudi
mengakui Ji Hong-ho sebagai ayahnya, dia hanya menganggap Ji Hong-ho yang
sekarang ini adalah Ji Hong-ho palsu," tutur Ki Leng-hong.
Keterangan ini membuat Lui-ji
terkejut, bahkan air muka Pwe-giok sendiri juga berubah.
Leng-hong memandangnya dengan
tersenyum, katanya pula,
"Di dunia ini banyak
orang yang mengira rahasianya sendiri pasti takkan diketahui orang lain,
padahal sejak purbakala hingga kini tiada sesuatu rahasia yang mutlak dapat
mengelabui orang lain. Betul tidak ?"
Ia tahu tidak nanti Pwe-giok
menjawab pertanyaannya itu, maka ia lantas menyambung pula,
"Bahkan di dunia ini
banyak peristiwa yang sudah terjadi diluar dugaan orang. seperti kejadian
sekarang, kau kira sudah dapat menghindarkan diriku, tapi di sini justru
kupergoki kau lagi."
"Maksudmu..."
"Maksudmu kejadian tempo
hari," sela Leng-hong sebelum lanjut ucapannya Pwe-giok:
"Yaitu waktu berada di
kota kecil yang sepi itu, di sana kau kira takkan bertemu dengan siapapun, tak
kau duga orang yang melihat dirimu di sana waktu itu sesungguhnya jauh lebih
banyak daripada sangkaanmu."
Pwe-giok menghela nafas,
gumannya:
"Ya, memang jauh lebih
banyak daripada perkiraanku."
"Kau tahu, akupun
terkejut ketika melihat kau dan Lim Tay-ih masuk ke hotel itu..."
"Tapi sampai sekarang aku
tetap tidak paham, mengapa kau bisa berada di kota kecil itu ?" sela
Pwe-giok.
"Aku berada di sana
karena menguntit jejak Sebun Bu-kut," tutur Leng-hong.
"Sebab sejak ku pergoki
dia, terhadap tindak tanduk orang semacam itu aku lantas menaruh curiga, selalu
kurasakan mereka itu bukan manusia baik-baik."
Pwe-giok tersenyum getir,
ucapnya.
"Kami tidak mengira
karena menguntit jejak mereka sehingga kalian memergoki diriku di sana."
"Akupun tidak menduga
bahwa mereka sebenarnya sedang menguntit dirimu," kata Leng-hong.
"Lebih-lebih tak kuduga
Ang-lian-hoa juga akan muncul di kota kecil itu. Kemudian baru diketahui bahwa
hal itu disebabkan Kay-Pang akan mengadakan suatu pertemuan di daerah Sujwan,
maka Ang-Lian-hoa kebetulan lalu di sana."
"Ai, di dunia ini memang
terlalu banyak kejadian kebetulan," ujar Pwe-giok dengan gegetun.
"Ketika Ang-lian-hoa
melihat kalian, mungkin dia jauh lebih terkejut daripadaku," tutur
Leng-hong pula.
"Sebab sama sekali tak
terduga olehnya bahwa nona Lim yang dingin seperti es itu bisa masuk hotel
bersama seorang lelaki yang baru dikenalnya, bahkan tinggal didalam suatu kamar
yang sama."
Lui-ji seperti mau bicara apa-apa,
tapi urung setelah memandang Pwe-giok sekejap.
"Dengan sendirinya
Ang-lian-hoa ingin menyelidiki duduk perkaranya," kata Leng-hong pula.
"Tapi dia harus menjaga
gengsi, tidak nanti dia mengintip urusan pribadi orang lain secara diam-diam,
sebab itulah dia memerintahkan seorang anak buahnya yang bernama Song-losu agar
menyamar sebagai pelayan hotel."
"Hm, memang sudah
kuketahui gerak-gerik pelayan itu rada-rada tidak beres," jengek Pwe-giok.
"Begitu masuk kamarku dia
lantas...lantas memandang tubuh nona Lim, pelayan umumnya mana ada yang berani
begitu ?"
"Masa sudah kau ketahui
dia adalah anak buah Ang-lian-hoa ?" tanya Leng-hong.
"Meski tidak dapat
kupastikan, tapi ku tahu umumnya orang-orang yang bekerja sebagai pelayan dan
sejenisnya itu kalau tidak ada kontak dengan Kay-pang tentu sukar
mempertahankan profesinya itu."
Leng-hong tertawa, ucapnya:
"Dan mungkin tidak pernah
kau duga bahwa Song-losu itu diam-diam juga termasuk anak buahku."
"Hah, masa...masakah dia
juga sudah kecanduan Kek-lok-wan ?" seru Pwe-giok terkejut.
"Ya, begitulah,"
jawab Leng-hong.
"Makanya sebelum dia
menyampaikan laporan kepada Ang-lian-hoa, lebih dulu setiap gerak-gerikmu telah
dilaporkannya kepadaku. Menurut laporannya, katanya sikap kalian berdua sangat
aneh. Malahan waktu untuk kedua kalinya dia masuk kamarmu, dilihatnya nona Lim
sedang menangis dengan kepala tertutup selimut, sebaliknya kau berdiri termangu
menghadapi dinding seperti mau bertemu dengan orang lain."
"Apalagi yang
dilaporkannya ?" tanya Pwe-giok.
"Dia bilang, sebenarnya
dia kenal nona Lim, sebab dahulu waktu nona Lim mengalami kesulitan, dia juga
menyamar sebagai pelayan dan diam-diam meneruskan berita yang diselundupkan
nona Lim. Tapi sekali ini nona Lim seperti tidak kenal dia lagi."
Pwe-giok lantas teringat
kepada kejadian itu, sebab Ang-lian-hoa pernah bercerita padanya bahwa berita
yang diselundupkan Lim Tay-ih itu adalah pesan si nona agar Ang-lian-hoa
mempercayai si Ji pwe-giok.
Semua ini adalah kejadian
beberapa bulan yang lalu, tapi kalau terpikir sekarang rasanya seperti sudah
lama sekali, seolah-olah kejadian di jelmaan hidup yang lalu.
Ki Leg Hong bercerita lebih
lanjut,
"Setelah menerima laporan
Song-losu itu, aku juga merasa heran, timbul keinginanku untuk pergi kesana, siapa
tahu Sebun Bu-kut dan begundalnya sudah berada di sana lebih dulu, bahkan
Ang-lian-hoa juga ikut kesana."
"Ya, akupun tahu hotel
itu telah kedatangan tamu yang tidak sedikit," ujar Pwe-giok.
"Kemudian lantas kulihat
nona Lim mendadak menerjang keluar dari kamar sambil berkaok-kaok, menyusul kau
lantas ditusuknya dengan pedang, tampaknya tubuhmu hendak dilubanginya dengan
sekali tusuk," Leng-hong memandang Pwe-giok dengan terbelalak, lalu
bertanya, "Sebab apakah dia bertindak begitu?"
Pwe-giok termenung sekian
lamanya, jawabnya kemudian sambil menghela napas, "Seperti katamu tadi,
aku tidak memberitahukan padanya bahwa aku inilah.... Ji Pwe-giok yang bakal
suaminya itu. Dia.....dia menganggap aku berbuat sesuatu yang tidak baik
padanya, maka dia ingin membunuhku."
Ki Leng-hong tersenyum hambar,
katanya, "Melihat kejadian itu, Ang-lian-hoa, Sebun Bukut dan begundalnya
tentu juga mempunyai pikiran begitu, merekapun yakin kau telah berbuat tidak
senonoh kepada nona Lim, keteranganmu ini pasti akan dipercaya oleh mereka,
tapi aku..."
"Masa kau tidak
percaya?" tanya Pwe-giok.
"Ya, satu kata pun aku
tidak percaya," jawab Leng-hong.
"Memangnya kau kira apa
yang telah terjadi?" tanya Pwe-giok pula.
"Pertama, kuyakin dia
sudah tahu kau inilah Ji-Pwe-giok yang dahulu itu, kalau tidak, mana mungkin
dia masuk hotel bersamamu dan tinggal di dalam satu kamar....."
"Tapi mungkin....mungkin
dia sengaja mencari kesempatan untuk membunuhku," kata Pwe-giok.
Leng-hong tertawa, katanya,
"Jika dia ingin membunuhmu, dimana-mana kan terbuka kesempatan baginya,
mengapa mesti menunggu sampai berada dihotel? Sebabnya dia bertindak setelah
masuk hotel, tujuannya hanya untuk main sandiwara saja, kalau penontonnya sudah
hadir semua barulah dia mulai main."
Air muka Pwe-giok semakin
pucat, desisnya "Untuk apa dia main sandiwara?"
"Untuk para
penontonnya," kata Leng-hong dengan tertawa. "Sebab kalian sudah
melihat kedatangan Sebun Bu-kut dan begundalnya, bahkan tahu diam-diam mereka
sedang mengintai gerak-gerik kalian, maka si nona berlagak bertengkar dengan
kau dan seperti ingin membunuhmu, dengan demikian orang-orang itu tentu takkan
curiga bahwa kau adalah Ji Pwe-giok yang dahulu itu."
Dia tertawa dan berhenti
sejenak, lalu menyambung dengan perlahan, "Justeru lantaran kutahu
rahasiamu, makanya dapat ku terka semua ini, kalau aku sudah dapat menerkanya,
untuk apa lagi kau bohongi aku, kan tiada gunanya?"
Kembali Pwe-giok termenung
pula hingga lama, katanya kemudian, "Seumpama betul terkaanmu, lalu kau
mau apa?"
"Tidak mau apa-apa,"
jawab Leng-hong. "Aku cuma kagum dan iri padamu yang mempunyai bakal
isteri sedemikian pintar dan bijaksana...."
Mendengar kata "bakal
isteri" itu, tiba-tiba muka Lui-ji berubah merah padam, lalu mendadak
berubah pucat pula, sungguh ia ingin mendekap telinganya, tidak sudi
mendengarkannya.
Sementara itu Ki Leng-hong
telah menyambung, "Berbareng itu akupun sangat berkuatir bagimu, sebab
orang semacam Ji Hong-ho, sekalipun untuk sementara dapat kau tipu, lambat laun
rahasiamu tetap akan diketahui olehnya. Waktu itu ada maksudku hendak
memperingatkan dirimu, siapa tahu, begitu melihat diriku kau lantas ketakutan
seperti melihat setan dan lari terbirit-birit."
Sekali ini Pwe-giok termenung
hingga agak lama, katanya kemudian, "Lalu apa pula transaksi yang kau
sebut tadi?"
"Semua rahasiamu sudah
kuketahui," jawab Leng-hong." bilamana kubeberkan rahasiamu ini,
seketika akan mendatangkan malapetaka bagimu. Tapi kau tidak perlu kuatir,
bukan saja akan ku tutupi rapat rahasiamu ini, bahkan akan kubantu kau
pula."
"Membantuku
bagaimana?" tanya Pwe-giok.
"Dapat kubantu kau
menghancurkan Ji-Hong-ho gadungan itu, sebab aku sendiri pun ingin
menghancurkan dia," jawab Leng-hong sekata demi sekata.
Pwe-giok menghela nafas
panjang, katanya, "Betul, ku tahu ambisimu yang ingin menjadi
Bu-lim-bengcu, untuk itu kau harus menghancurkan dia lebih dahulu, dan untuk
menghancurkan dia, lebih dulu harus pula kau bongkar rahasianya, sebab itulah
kau lantas ingat kepadaku, daripada kau bilang akan membantu diriku, kan lebih
tepat jika dikatakan kau bantu dirimu sendiri."
Ki Leng-hong tertawa, katanya,
"Saat ini kita berdua mempunyai musuh yang sama, jadi bukan soal lagi
tentang siapa membantu siapa, kukira sama saja apakah kau bantu aku atau ku
bantu kau."
"Dan kalau aku tidak sudi
bekerja sama dengan orang macam kau ini!"
"Kan sederhana
saja...sekarang juga akan kubunuh kau..."
Pwe-giok menghela nafas,
katanya, "Ai, tampaknya aku sudah tidak mempunyai pilihan lain, begitu
bukan?"
"Ya, memang
begitulah." jawab Ki Leng-hong. Ia tertawa cerah, lalu menyambung,
"Tapi bila kau mau bekerja sama denganku, tahu akan kubantu kau dengan
sepenuh tenaga, mungkin tidak kau ketahui betapa kekuatanku, untuk itu dapat
kuberitahukan padamu bahwa di sekitar utara dan selatan sungai panjang
(Tiangkang atau Yang tze kiang), di sepanjang lembah Sungai Kuning, dari Saypak
(barat laut) sampai Saylam (barat daya), pada setiap kota besar yang penting
rata-rata terdapat anak buahku, asalkan kuberi perintah, tentu mereka akan
menjual nyawa bagimu."
"Jika benar sebesar ini
kekuasaanmu, mengapa kau masih ingin menjadi Bu-lim-bengcu, lalu apa manfaatnya
bagimu?"
Ki Leng hong tertawa, katanya,
"Setiap orang mempunyai hobinya sendiri, ada orang gemar minum arak, ada
yang kemaruk harta, ada pula yang suka main perempuan, dan hobiku adalah
kekuasaan."
"Kekuasaan?"
Pwe-giok menegas dengan melengak.
"Ya, kekuasaan,"
jawab Ki Leng-hong. "Orang yang tidak pernah berkuasa, selamanya tidak
akan tahu bagaimana rasanya kekuasaan, dan cita-citaku yang terbesar selama
hidupku ini adalah ingin melihat para ksatria Bu-lim di seluruh dunia ini sama
berlutut dan tunduk di hadapanku, tapi sekarang,.... sekarang aku hanya dapat
beraksi secara rahasia saja, apa bila gagal, maka selamanya akupun takkan
melihat matahari lagi."
"Ada sementara orang
bilang arak dapat mengacaukan watak dan perempuan bisa merugikan kesehatan,
tapi menurut pendapatku, yang paling celaka di dunia ini mungkin adalah
"kekuasaan" yang kau inginkan itulah," kata Pwe-giok dengan
menyesal.
Sorot mata Ki Leng-hong
mendadak berubah menjadi merah membara, ucapnya sekata demi sekata, "Tapi
kalau ada sesuatu yang paling menarik di dunia ini, maka hal itu adalah
kekuasaan. Betul tidak?"
"Tapi hendaklah kau
renungkan lagi, meski sekarang Ji Hong-ho jadi Bu-lim-bengcu, tapi kau kan
tidak pernah tunduk dan menyembah padanya, bila kau jadi Bengcu, darimana pula
kau tahu tiada orang lain yang secara diam-diam mengkhianat dan membangkang
padamu ?"
"Hal itu adalah
lumrah," ujar Ki Leng-hong:
"Sekalipun menjadi raja
juga pasti ada bawahan yang mengkhianat dan memberontak. Yang penting asalkan
setiap orang menghormat dan tunduk di hadapanku, biarpun ada yang secara
diam-diam membangkang juga tidak menjadi soal."
"Namun kedudukan
Bu-lim-bengcu macam begitu akan dapat bertahan berapa lama ?" tanya
Pwe-giok
"Asalkan dapat berkuasa
satu hari...biarpun cuma satu hari juga sudah puas bagiku," kata
Leng-hong.
Pwe-giok menghela nafas pula,
gumannya:
"Ai, kekuasaan,
kekuasaan! Tak tersangka kata-kata ini mempunyai daya tarik sebesar ini ?"
"Kau tidak perlu banyak
mempelajari urusan ini, cukup bagimu asalkan kau paham bahwa untuk menuntut
balas, jika ingin membongkar rahasia Ji Hong-ho itu, maka kau perlu bekerja
sama denganku, kalau tidak, jalan lain bagimu hanya ada satu, yaitu mati
!"
"Tapi akupun ada suatu
syarat, kalau tidak kau terima aku lebih suka mati saja," kata Pwe-giok.
"Syarat apa ?" tanya
Ki Leng-hong.
"Aku tidak ingin kau
sebut-sebut Kek-Lok-wan di hadapanku, bukan saja tidak ingin meminumnya, akupun
tidak sudi mendengarnya."
"Memangnya kau kira
barang ini tidak berharga ?" ujar Leng-hong dengan tertawa,
"Supaya kau tahu bahwa
barang ini terkadang jauh lebih bernilai daripada emas. Apalagi kalau kau sudah
terima kehendakku, untuk apa ku buang-buang percuma ransum yang sukar dicari
ini."
"Asal kuterima
permintaanmu dan kau lantas percaya ?" Pwe-giok menegas.
"Di dunia ini kalau masih
ada orang yang dapat kupercaya, maka orang itu adalah kau ! Apalagi..."
Ia tertawa, lalu menyambung:
"Masih cukup banyak
rahasiamu yang tergenggam di tanganku, aku tidak perlu kuatir kau akan ingkar
janji, lebih-lebih persekutuan kita inikan saling menguntungkan, mustahil
takkan kulaksanakan dengan baik."
"Wah, tampaknya bila
ingin ku bongkar rahasia mereka, terpaksa aku harus bekerja sama dengan
orang-orang seperti kalian ini."
"Betul," kata
Leng-hong,
"Sebab orang yang sok
anggap dirinya kaum pendekar budiman, pahlawan setia, semua itu sudah berdiri dipihak
Ji Hong-ho, jelas tiada seorang pun yang mau membantumu, sebab Ji Hong-ho kan
Bu-Lim-bengcu sekarang ?"
Di dunia ini memang banyak
hal-hal aneh dan ajaib.
Yang dilakukan Pwe-giok
sebenarnya pekerjaan yang luhur dan suci, tapi terpaksa harus dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, terpaksa harus berkumpul dengan manusia yang tidak luhur dan
juga tidak suci.
Demi hidup, terpaksa ia harus
mati lebih dulu.
Hal ini kedengarannya sangat
lucu dan sukar dipercaya, tapi faktanya memang demikian dan masuk diakal.
Memang, ada sementara urusan yang tampaknya benar dan masuk diakal, padahal
sebenarnya justru sangat janggal.
Betapapun Lui-ji tidak
menyangka kisah hidup Pwe-giok masih sedemikian banyak rahasianya yang
liku-liku. Baru sekarang ia tahu betapa malang nasib Pwe-giok dan ternyata jauh
lebih nelangsa daripadanya.
Kalau kemalangan Lui-ji
sendiri masih dapat diceritakan kepada orang lain, tapi kemalangan Pwe-giok
justru harus serba tertutup, sama sekali tidak boleh diceritakan kepada orang
lain. Pula kemalangannya masih dapat memperoleh simpatik dari orang lain,
sedangkan kemalangan Pwe-giok siapa yang tahu ?
Dia pandang Pwe-giok dengan
termangu-mangu, tanpa terasa air mata meleleh pula.
Tiba-tiba Ki Leng-hong berkata
dengan tertawa,
"Cu Lui-ji...Cu Lui-ji...Nama
ini memang sangat tepat bagimu, sesungguhnya kau memang seorang
"lui-ji" (anak suka menangis), mungkin cairan yang mengalir dalam
pembuluh darahmu juga terdiri dari air mata."
"Dan tahukah kau cairan
apa yang mengalir dalam pembuluh darahmu ?" jawab Lui-ji dengan gusar.
"Jika kau tidak tahu,
biarlah kuberitahukan padamu, yang mengalir dalam pembuluh darahmu itu adalah
air busuk, air got, air pecomberan. Nah, tahu ?"
Ki Leng-hong tidak marah, ia
tersenyum dan berkata pula,
"Umumnya orang berduka
tidak dapat marah-marah, tapi sambil mencucurkan air mata kau masih dapat
memaki orang, sungguh aneh."
"Kenapa mesti
heran," ujar Lui-ji.
"Ada sementara orang
sambil tersenyum malahan dapat membunuh orang sekaligus, inilah yang lebih
aneh."
"Tersenyum sambil
membunuh orang, kukira untuk kepandaian ini tiada orang yang mampu menandingi
Siau-hun-kiongcu ?"
Lui-ji terkejut,
"Hah, kau tahu
asal-usulku ?"
"Coba kau pikir, apabila
tidak kuketahui asal-usulmu, mana bisa kubeberkan rahasia besar ini di
hadapanmu ? masa aku tidak kuatir rahasia ini akan kau siarkan?"
"Darimana kau tahu
?" tanya Lui-ji dengan beringas.
"Jika sedikit urusan ini
saja tidak mampu kuketahui, masa aku berani berebut kuasa dengan Ji Hong-ho
?" jawab Ki Leng-hong.
"Ingin ku beritahu,
sekalipun aku masih jauh berpuluh li di sana, apa yang terjadi di sini pasti
kuketahui."
Tiba-tiba ia tertawa terhadap
Pwe-giok dan berkata pula:
"Ah, aku lupa mengucapkan
selamat kepadamu. Kau dapat mempersunting istri sepintar dan secantik ini,
sungguh mengagumkan dan menggirangkan."
Pwe-giok tidak berucap apapun,
tanpa terasa ia memandang Lui-ji sekejap, dilihatnya wajah Lui-ji pucat lesi,
air mata hampir bercucuran pula.
"Ti...tidak perlu kau
berolok-olok padaku dengan...dengan kata-kata demikian," ucap Lui-ji
dengan tersendat.
"Olok-olok ? Masa kau
anggap aku berolok-olok ?" kata Leng-hong.
Sambil menggigit bibir Lui-ji
menjawab dengan parau:
"Sudah jelas-jelas kau
tahu apa yang terjadi itu cuma...cuma gurauan saja."
Sehabis mengucapkan
"gurauan" itu sekujur badannya serasa kehabisan tenaga, akhirnya air
mata pun berderai tak tertahankan lagi.
"Gurauan ? Masa urusan
perkawinan boleh dibuat bergurau ?"
"Tapi...tapi
aku...."
"Jangan kuatir,"
ujar Leng-hong dengan suara lembut,
"Jika kau kira dia akan
menyangkal pernikahan ini, maka salahlah kau. Ji Pwe-giok pasti bukan manusia
rendah demikian. Tidak nanti dia mengingkari janji dan tidak mengakui kau
sebagai istrinya lantaran kau tidak jadi mati."
Tubuh Lui-ji bergemetar, sorot
matanya beralih pelahan ke arah Pwe-giok.
Mendadak Ki Leng-hong berkata
pula dengan tertawa:
"Tidak perlu kau tanya
dia. Malahan dapat kuajari suatu akal padamu, apabila dia tidak sudi mengakui
Cu Lui-ji sebagai istrinya, maka boleh kau mati dihadapannya."
Diam-diam Pwe-giok menghela
nafas, dilihatnya Lui-ji masih memandangnya dengan termangu-mangu.
Belum lagi tahu apa yang harus
diucapkannya, tiba-tiba Lui-ji berkata dengan sayu,
"Jangan kau kuatir,
betapapun tidak nanti kulakukan hal begitu, aku..."
"Mengapa tidak kau
lakukan ? Apa jeleknya tindakan begitu ?" sela Leng-hong mendadak.
"Seorang lelaki kalau
menyukai seorang perempuan segala jalan akan ditempuhnya untuk mendapatkan si
dia, dan orang takkan memaki dia, malahan orang akan memuji kepintarannya cara
mendapatkan perempuan itu. Sebaliknya kalau seorang perempuan menyukai seorang
lelaki, mengapa si perempuan tidak boleh main akal ?"
"Akan...akan
tetapi....perempuan kan tidak sama dengan lelaki," kata Lui-ji.
"Apanya yang tidak sama ?
lelaki adalah manusia, perempuan juga manusia bukan ? Selama beribu-ribu tahun
perempuan selalu tertindas oleh kaum lelaki, sebabnya si perempuan sendiri yang
memandang dirinya lebih rendah daripada lelaki. Sebab itulah aku harus berjuang
bagi kaum wanita."
Dia melototi Lui-ji, lalu
berkata pula,
"Coba, ingin kutanya
padamu, dalam hal apa kau lebih rendah daripada lelaki ? mengapa kau justru
memandang rendah dirimu sendiri ?"
Lui-ji menggigit bibir dan
tidak bersuara lagi, tapi air mata yang meleleh di pipi sudah mulai mengering,
wajahnya yang pucat juga mulai cerah, tidak putus asa lagi.
Leng-hong mendekatinya dan
memegang tangannya, ucapnya dengan suara lembut:
"Adik cilik, kita
sama-sama orang perempuan, sebab itulah kita juga harus bersatu padu dan
berjuang bagi kaum wanita yang tertindas selama beribu tahun ini, supaya lelaki
di dunia ini tidak berani menindas kita lagi, kita harus berbuat sesuatu agar
kaum lelaki tahu bahwa perempuan bukan dilahirkan sebagai barang permainan
lelaki."
Melihat air muka Lui-ji
tahulah Pwe-giok bahwa propaganda Ki Leng-hong itu bukan saja telah menggelitik
lubuk hati Lui-ji, hakekatnya dapat dikatakan Lui-ji telah terpikat olehnya.
Maklumlah apa yang diuraikan
Ki Leng-hong itu tentu cocok bagi telinga setiap perempuan di dunia ini. Ia
tahu sekarang Lui-ji pasti tidak lagi menganggap Leng-hong sebagai orang jahat.
Didengarnya Leng-hong lagi
pidato pula:
"Pernikahan diantara
lelaki dan perempuan memang serupa orang mengail, yang memegang alat pancing
biasanya adalah si lelaki, boleh juga sekali tempo perempuan juga memegang alat
pancingnya, toh yang mau terpancing hanya orang yang suka saja. Tapi pada saat
kau berhasil mengail seekor ikan, bisa jadi ikan itupun menyangka kau yang
terpancing olehnya."
Dalam pada itu ia sudah
membuka Hiat-to Lui-ji dan Pwe-giok yang ditutuknya tadi, lalu ia jejalkan
tangan Lui-ji pada tangan Pwe-giok, seperti benar seperti pura-pura, seperti
berkelakar tapi juga seperti bersungguh-sungguh ia berkata. "Sekarang
kuserahkan dia padamu, jika kau berani membikin susah dia. awas, pasti akan
kubikin perhitungan denganmu."
Tiba-tiba Pwe-giok tertawa dan
berkata, "Terima kasih!"
"Apa? Kaupun terima kasih
padaku?" Leng hong melenggong.
"Ya, tadinya ku kuatir
dia sukar diberi penjelasan, sekarang barulah merasa lega hatiku," kata
Pwe-giok.
"Ah, meski dimulut kau
bicara demikian, didalam hati mungkin kau caci-maki padaku karena aku telah
memberi kuliah pada binimu tadi,"
"Mana bisa ku caci-maki
padamu?" ujar Pwe-giok dengan tak acuh. "Aku cuma merasa rada heran
saja."
"Oo! Heran
bagaimana?" tanya Leng-hong.
"Ku heran, apa yang
terjadi di sini cara bagaimana dapat kau ketahui di kejauhan sana?"
Leng-hong tersenyum misterius,
ucapnya, "Masakah kau lupa pada dongeng tentang Kongsun Tiang yang mahir
bahasa burung itu?"
"O, maksudmu kau terima
berita melalui burungmu?" tanya Pwe-giok dengan rada geli. "Apakah
kau kira sekarang aku masih percaya tentang bahasa burung yang kau kuasai
itu?"
"Jika aku tidak paham
bahasa burung, waktu kau terjebak di kamar sumur hantu itu, siapakah yang dapat
menolong kau?"
"Yang.....yang menolongku
itu kan nona....nona Ki Leng-yan?" jawab Pwe-giok dengan ragu.
"Hahahahaha!"
mendadak Leng-hong tertawa.
"Cara bagaimana kau tahu
itu perbuatan Ki Leng-yan? Apakah dapat kau bedakan? Berapa banyak pula kau
memahami diri kami?"
Pwe-giok jadi melengak,
malahan terasa merinding.
Sebenarnya ia percaya penuh
nona yang berdiri di depannya ini Ki Leng-hong adanya, sebenarnya ia percaya
penuh Ki Leng-yan pasti tidak nanti berbuat demikian. Tapi sekarang, ia
benar-benar bingung.
Maklumlah, terhadap dua kakak
beradik itu memang tidak banyak yang diketahuinya. Meski Ki Leng-hong kelihatan
sangat pintar dan cekatan, tapi siapa pula yang tahu bahwa kelinglungan Ki
Leng-yan itu bukan pura-pura belaka?
Ki Leng-hong melototinya dan
berucap pula sekata demi sekata, "Sekarang dapatkah kau membedakan siapa
aku ini?"
Pwe-giok menghela nafas,
jawabnya sambil menyengir, "Mestinya dapat kubedakan, tapi tambah lama
tambah sukar bagiku untuk membedakannya."
Leng-hong bergelak tertawa,
katanya. "Dan sekarang tentunya kau tahu bahwa seorang yang menganggap
benar-benar menguasai sesuatu urusan terkadang justeru sangat sedikit yang
dikuasainya. Sebab bila dia merasa menguasai betul-betul, biasanya ia lantas
tidak mau memikirkannya lebih mendalam lagi."
Diam-diam Pwe-giok berusaha
mencerna makna yang terkandung dalam kata-kata Ki Leng-hong ini, tanpa terasa
ia jadi terkesima.
Pada saat itulah tiba-tiba ada
orang mengetuk pintu perlahan, terdengar suara orang, katanya ingin melapor
sesuatu.
Waktu Pwe-giok menengadah,
barulah diketahuinya cuaca sudah kelam, hari sudah petang.
Yang mengetuk pintu dan masuk
itu ialah Hiang-hiang, kini sudah bergairah lagi. Tentu berkat Kek-lok-wan
pemberian Ki Leng-hong tadi.
"Ada urusan apa?"
tanya Leng-hong.
"Di luar kedatangan tiga
orang....."
"Ku ahu bila malam tiba,
di sini akan banjir tamu," sela Leng0hong dengan dahi berkerut. "Tapi
hari ini..... kau tahu beberapa daripada hari-hari biasa, mengapa tidak kau tolak
mereka dan katakan tidak terima tamu."
"Sejak magrib entah sudah
berapa banyak tamu yang ditolak," turu Hiang-hiang, "tapi ketiga
orang ini tidak mau pergi meski sudah kukatakan hari ini Bong-hoa lau tidak
menerima tamu, mereka berkeras masuk."
Leng-hong menarik muka
katanya, "Oo.....Sudahkah kau periksa ketiga orang itu?"
"Siau Hong tidak berani
bertindak sendiri dan melapor padaku, maka ku keluar melihat mereka, kulihat
ketiga orang itu berdiri seperti patung didepan pintu dan tidak menerjang masuk
secara paksa," demikian tutur Hiang-hiang.
"Bagaimana bentuk
mereka?" tanya Leng-hong setelah termenung sejenak.
"Karena di depan pintu
malam ini tidak diberi lampu gantung, maka samar-samar hanya kelihatan usia
ketiga orang seperti tidak muda lagi, kuda tunggangan mereka kelihatan jenis
kuda terkenal dari Kwan-gwa, mulut kuda malahan masih berbusa, jelas baru saja
menempuh perjalanan jauh dan berlari cepat."
"Maka mereka tidak
terlihat?" tanya Leng-hong.
"Mereka sama memakai topi
pandan yang lebar dan buatan khas sehingga wajah mereka tidak jelas kelihatan,
hanya satu diantaranya seperti ada cirinya, yaitu lengan baju kanan seperti
kosong melompong, jelas seorang yang buntung tangannya."
Gemerdep sinar mata Ki
Leng-hong, ucapnya, "Jika demikian, ketiga orang ini jelas datang dari
tempat jauh, bahkan tidak suka wajah mereka dilihat orang."
"Ya, begitulah,"
kata Hiang-hiang.
Leng-hong termenung sejenak,
jengeknya kemudian, "Apakah diriku inilah sasaran mereka? Justeru akan
kulihat orang macam apakah mereka itu dan untuk apa mereka datang ke sini?
Apapun juga takkan ku kecewakan mereka."
Sebenarnya sikap Lui-ji sudah
kembali biasa, tapi begitu Ki Leng-hong keluar dan tertinggal dia dan Pwe-giok
saja, ia menjadi kikuk dan tidak tahu kemana tangannya harus ditaruh?
Iapun tidak tahu waktu itu
hati Pwe-giok sedang senang atau marah, juga tak dapat menerka apa yang sedang
dipikirnya, sebab anak muda itu selalu kelihatan tenang dan halus.
Ia tidak tahu bahwa hati
Pwe-giok saat itu juga tidak kurang kalutnya dan tidak tahu cara bagaimana
harus bersikap terhadap si nona serta apa pula yang harus dibicarakannya.
Pwe-giok hanya tahu dirinya
tidak boleh lagi menyinggung perasaan si nona. Sebab ia tahu, apapun juga,
seorang anak perempuan seusia Lui-ji tentu penuh dengan khayalan yang
muluk-muluk, mudah tersinggung dan juga gampang berduka, tapi juga paling kuat
akan harga diri sendiri.
Masa inilah masa paling
berbahaya bagi anak gadis, anak masa demikian inilah sering terjadi pergolakan
batin dan tidak mantap pendiriannya, cukup sesuatu urusan kecil saja dapat
menimbulkan petaka bagi mereka.
Namun Pwe-giok sesungguhnya
juga tidak dapat mengakui Lui-ji adalah isterinya, seumpama usia mereka tidak
selisih sebanyak itu, seumpama Lui-ji memang gadis yang sudah tumbuh cukup
masa, sekalipun Pwe-giok benar-benar suka padanya, rasanya juga tidak nanti dia
mengakui si nona sebagai isterinya.
Sebab, apapun juga tidak boleh
Pwe-giok meninggalkan Lim Tay-ih.
Sungguh ia tidak tahu cara
bagaimana dirinya harus menyelesaikan urusan ini, sebab itulah dia tidak berani
salah omong lagi, sebab itu pula mereka hanya duduk berhadapan saja dan tiada
yang dapat dibicarakan.
Selagi keadaan terasa
canggung, untunglah Ki Leng-hong telah kembali.
Serentak Pwe-giok dan Lui-ji
bangkit dan menyongsong kedatangan Ki Leng-hong, tapi baru satu-dua langkah,
keduanya lantas berhenti pula serentak, Lui-ji melirik Pwe-giok sekejap,
sebaliknya Pwe-giok juga sedang memandangnya.
Lui-ji berharap Pwe-giok tidak
jelas melihat air mukanya, siapa tahu Ki Leng-hong justeru menyalakan lampu
didalam ruangan.
Keruan muka Lui-ji menjadi
merah, ia menunduk dengan senyuman kikuk, cepat ia mundur dan duduk kembali.
Setelah mengerling sekejap.
Leng-hong mengikik tawa, katanya, "Baru ku tahu sekarang bahwa semua
pengantin di dunia ini ternyata sama, betapapun tabahnya seseorang, apabila
menjadi pengantin baru tentu juga akan merasa malu."
Makin rendah kepala Lui-ji
tertunduk, sampai dia sendiri tidak tahu mengapa mukanya bisa semerah itu.
Pwe-giok berdehem untuk
menghilangkan rasa canggung, lalu bertanya, "Sesungguhnya siapakah yang
datang itu?"
"Entah, aku tidak tahu
siapa mereka?" jawab Leng-hong.
"Bukankah baru saja kau
keluar melihat mereka?" tanya Pwe-giok.
"Tidak, hakekatnya aku
tidak keluar."
"Sebab apa?" tanya
Pwe giok pula.
"Sebab tanpa melihat
mereka pun ku tahu apa maksud tujuan kedatangan mereka," tanpa menunggu
pertanyaan Pwe-giok lagi, segera Leng-hong menyambung, "Rupanya mereka
telah berjanji dengan orang untuk bertemu di sini, makanya mereka buru-buru
datang kemari. Orang Kangouw mengadakan pertemuan dirumah pelacuran kan sesuatu
kejadian yang jamak."
"Jika demikian, mengapa
gerak gerik mereka sedemikian misterius seakan-akan kuatir dilihat orang?"
kata Pwe-giok.
"Bisa jadi mereka bersepakat
akan berbuat sesuatu yang tidak boleh dilihat orang," ujar Leng-hong.
"Kan banyak perbuatan yang tidak boleh dilihat orang di dunia
"Kangouw, asalkan tidak ada sangkut pautnya dengan kita, untuk apa kita
ikut campur."
Pwe-giok termenung sejenak,
katanya kemudian, "Aku menjadi tertarik untuk melihat bagaimana bentuk
ketiga orang itu."
Lenghong tertawa katanya,
"Tak tersangka kau ini juga suka ikut campur urusan orang lain, padahal
kau sendiri sedang dirundung macam kesulitan."
"Justeru lantaran cukup
banyak kesulitanku, maka biarpun ditambah lagi beberapa macam urusan lagi juga
tidak menjadi soal bagiku," jawab Pwe-giok dengan menyengir.
"Apalagi, bila kulihat seseorang yang suka main sembunyi-sembunyi dan
gerak-geriknya menimbulkan curiga, selalu kurasakan dia pasti ada sangkut
pautnya dengan diriku."
Mencorong sinar mata Ki Leng
hong, katanya, "Cukup leluasa jika kau ingin melihat mereka, cuma sekarang
Hiang-hiang sedang meladeni mereka, kuberani menjamin, darimana asal-usul
mereka pasti sukar lolos dasri pengamatan Hiang-hiang."
"Ah, kukira belum
tentu," mendadak Lui-ji menyeletuk.
Leng-hong tersenyum, katanya,
"Tampaknya kau belum paham urusan-urusan beginian. Seorang anak perempuan
yang sudah berkecimpung selama 3 tahun di rumah hiburan begini, maka matanya
akan berubah jauh lebih tajam daripada pisau. Misalnya terhadap seorang tamu,
betapa bobotnya, tebal atau tipis isi sakunya, begitu melangkah masuk rumah ini
segera akan dapat dilihat mereka. Di depan mereka, jangankan orang miskin sok berlagak
cukong, biarpun cukong sengaja pura-pura miskin juga akhirnya saku mereka akan
dikuras habis habisan oleh mereka."
Lui-ji tertawa, katanya,
"Berlagak cukong memang jauh lebih gampang daripada pura-pura
miskin."
Pada saat itulah mendadak
seorang menanggapi dengan mengikik tawa, "Hihihi, betul, orang yang
berlagak cukong memang tidak kutakuti, orang demikian biasanya berani buang
uang tanpa banyak yang mereka bawa. Sebaliknya orang miskin kebanyakan sukar
dilayani, apa bila tidak kau beri rasa enak dulu kepadanya, biarpun saat itu
saku mereka penuh duit juga jangan harap akan kau gaet sepeser pun."
Jelas Hiang-hiang telah datang
lagi.
"Bagaimana dengan ketiga
orang itu?" tanya Leng-hong.
"Berada di pavilyun
sana," lapor Hiang-hiang.
"Mengapa tidak kau temani
mereka?"
"Ketiga orang itu mirip
patung belaka, ku tertawa pada mereka, sama sekali mereka tidak menggubris, ku
bicara pada mereka juga tidak mereka dengarkan, hakekatnya aku ini tidak
dianggap sebagai perempuan. ingin kulihat apakah diriku ini mendadak telah
berubah tua atau buruk rupa, masa tiada orang yang tertarik lagi padaku."
Lui-ji berkedip-kedip
mendengarkan cerita Hiang-hiang itu, tiba-tiba ia berkata, "bisa jadi
mereka orang tuli."
Hiang-hiang bergelak tertawa,
"Mereka tidak tuli, sebaliknya pendengaran mereka sangat tajam,
lebih-lebih kakek itu, setiap kali ada orang berlalu diluar, segera ia melompat
ke jendela dan melongok keluar."
"Kakek?" gumam
Pwe-giok sambil berkerut kening. "Kakek macam apakah dia?"
"Tampaknya sudah 60 atau
70 tahun, jenggotnya sudah putih semua, gayanya juga bukan sembarang orang,
tidak saja kelihatan berduit, bahkan juga seperti cukup berpengaruh",
Hiang-hiang tertawa, lalu menyambung pula, "Tua bangka yang masih suka
pelesir demikian sebenarnya sudah cukup banyak kulihat, namun kakek yang satu
ini rada lain daripada yang lain."
"Apanya yang lain?"
tanya Pwe-giok.
"Orang yang datang
kesini, semakin tua usianya semakin gila perempuan, dan juga makin suka main
gerayang, tapi kakek ini senantiasa bersungut, seperti setiap saat siap
berkelahi dengan orang."
"Dia bicara dengan logat
daerah mana?" tanya Pwe-giok.
"Hakikatnya dia tidak
berucap satu katapun. hanya si buntung itu ketika menyeruhku menyediakan
makanan telah berucap beberapa kata padaku, logatnya seperti orang dari daerah
Kanglam."
"Bagaimana bentuk orang
ini?" tanya Pwe-giok tertarik.
Sikap Hiang-hiang seperti muak
dan ingin tumpah, tuturnya dengan rasa jiji, "Usia orang ini pun tidak
muda lagi, bukan saja sebelah tangannya buntung, bahkan mukanya penuh bekas
luka yang merah menakutkan sehingga lebih mirip orang sakit lepra."
Rada berubah air muka
Pwe-giok, ia termenung sejenak, tanyanya kemudian, "Lalu bagaimana bentuk
orang ketiga?"
Hiang-hiang tertawa cerah,
tuturnya, "Orang ini masih muda, antara tiga orang hanya dia saja yang
paling mirip manusia. Cuma tampaknya dia sudah beberapa hari tidak makan nasi,
kurusnya tidak kepalang, tinggal kulit membungkus tulang, sampai membuka mata
saja rasanya tidak sanggup."
Kembali Pwe-giok termenung sejenak,
ia berpaling dan berkata kepada Ki Leng hong. "Tadi kau bilang cukup
leluasa apa bila ingin melihat mereka."
"Betul," jawab
Leng-hong dengan tertawa, "di seluruh dunia, rumah pelacuran manapun, baik
besar maupun kecil, sedikit banyak tentu ada sesuatu yang aneh, apa lagi rumah
pelacuran ini adalah milik Oh-lolo."
"Sesuatu yang aneh? Apa
maksudmu?" tanya Lui-ji saking ingin tahu.
Leng-hong tidak menjawabnya,
tapi bertanya malah, "Menurut perasaanmu, adakah sesuatu perbedaan antara
cahaya lampu di sini dengan cahaya lampu di tempat lain?"
Lui-ji jadi melengak, ia
menggeleng dan menjawab, "Apa perbedaannya?"
"Tidakkah kau rasakan
cahaya lampu di sini lebih terang dan juga lebih lembut."
"Oooo...." Lui-ji
melongo.
"Tahukah kau apa
sebabnya?"
"Sebab...sebab di ruangan
ini tidak cuma dua buah lampu saja yang terletak di meja. Pada dinding juga
tergantung dua lampu lagi," jawab Lui-ji.
"Dan tahukah kau sebab
apa kedua lampu itu ditaruh dekat dinding?
Kembali Lui-ji melengak,
jawabnya, "Sebab apa? Sudah tentu untuk penerangan."
"Haha, salah kau!"
seru Leng-hong dengan tertawa. "Untuk mengintiplah maka kedua lampu itu
dipasang di dinding."
"Untuk mengintip?"
Lui-ji menegas.
"Ya, apa bila ada orang
mengintip di lubang kunci atau celah-celah jendela, bisa jadi akan dilihat
olehmu, tapi kalau orang mengintip dari balik lampu sana, tentu takkan kau
ketahui."
Terbeliak mata Lui-ji,
katanya,
"Betul juga, sebab pasti
tidak ada orang yang akan memandang ke arah cahaya lampu, seumpama memandang
kesana juga takkan jelas terlihat, sebab matanya pasti akan silau."
"Betapapun kau memang
pintar," ujar Leng-hong dengan tertawa.
"Pantas Oh-lolo
sedemikian banyak mengetahui segala seluk beluk kejadian di dunia kangow."
guman Lui-ji dengan gegetun.
"Tapi tujuan mengintip
bukanlah karena ingin tahu rahasia orang lain," kata Hiang-hiang
tiba-tiba.
"Habis apa tujuannya
?" tanya Lui-ji
Dengan gemas Hiang-hiang
menjawab,
"Dia tahu adat orang
lelaki, bila seorang lelaki masuk rumah pelacuran, maka segala tingkah lakunya
yang paling kotor dan rendah akan dikeluarkannya tanpa restan. Maka dia lantas
sembunyi dibalik dinding untuk mengintip semua tingkah olah kaum lelaki ini,
menyaksikan kami dipermainkan kaum lelaki, semakin senang hatinya. Terkadang
dia malah menyeret lakinya untuk menonton bersama. Sebab hanya dengan cara
inilah dia akan...akan mendapat kepuasan, sebab nenek jompo ini memang sudah
terlalu reyot dan tidak.. tidak bergairah untuk berbuat sendiri, terpaksa ia
harus main intip supaya...supaya dapat..."
"Cukup," sela
Leng-hong sambil berkerut kening.
"Memangnya perlu kau
ceritakan lebih jelas lagi ?"
Terbelalak mata Lui-ji,
ucapnya,
"Ceritanya memang belum
begitu jelas, sebab aku memang belum begitu jelas, sebab aku memang belum
begitu paham,"
Leng-hong tertawa geli,
katanya,
"Urusan beginian, akan
lebih baik jika kau jangan terlalu paham."
Dengan gemas Hiang-hiang
bertutur pula,
"Pendek kata, tujuan
nenek itu membuka rumah pelacuran ini sebagian besar juga untuk memenuhi
kepuasannya itu. Ya, nenek jompo ini bukan saja seorang perempuan yang keji dan
kejam, bahkan juga orang gila yang kotor dan cabul."
Pwe-giok menghela nafas,
katanya,
"Tapi sekarang dia sudah
mati. setiap orang mati adalah orang bajik, sebab dia takkan berbuat sesuatu
lagi yang merugikan orang lain. Lalu, untuk apa kau mencaci-maki dia ?"
Akhirnya Ki Leng-hong membawa
Pwe-giok ke suatu ruang rahasia yang berdinding rangkap.
Sudah tentu, didalam ruang
sempit berdinding rangkap demikian hawa sangat panas, hanya mengintip sebentar
saja mereka sudah sama berkeringat. Hanya Pwe-giok saja yang berkeringat
dingin.
Sebab akhirnya diketahuinya
bahwa si kakek yang berlagak tuan besar itu adalah Tong Bu-siang, sedangkan
orang buntung yang bermuka buruk itu adalah Ong Uh-lau.
Seperti diketahui. buntungnya
tangan dan rusaknya muka Ong Uh-lau itu adalah akibat terkena racun
Khing-hoa-samniocu di hotel kecil itu dahulu. Sejauh ini baru sekarang Ong
Uh-lau muncul lagi di depan umum.
Dengan sendirinya muka Ong
Uh-lau sekarang sudah berubah sama sekali. Dipandang dari balik gelas lampu
yang tembus cahaya, wajah Ong Uh-lau tampak beringas menakutkan, seolah-olah
benci dan memusuhi setiap manusia di dunia ini.
Tong Bu-siang kelihatan
berduduk tenang, lagaknya memang kereng sesuai seorang pemimpin suatu perguruan
ternama, hanya sikapnya saja kelihatan rada tegang, kedua tangannya tiada
hentinya mengutak-atik sebuah cawan teh di atas meja.
Masih ada seorang lagi yang
duduk membelakangi Pwe-giok. Dengan sendirinya Pwe-giok tak dapat melihat wajahnya,
hanya kelihatan bahunya sangat lebar, pinggang kecil.
Dengan menempelkan telinganya
ke dinding dapatlah Pwe-giok mendengar suara didalam ruangan itu. Saat itu
kedengaran ada langkah orang di luar.
Segera Tong Bu-siang melompat
bangun, "Trang", cawan sampai terjatuh ke lantai hingga pecah
berantakan.
Dengan mendongkol Ong Uh-lau
melototinya sekejap, meski tidak omong apa-apa, tapi Pwe-giok sudah dapat
memastikan bahwa TOng Bu-siang ini pasti gadungan.
Sebab, ahli senjata rahasia
seperti Tong Bu-siang, kedua tangannya pasti sudah sangat terlatih, kalau
memegang sebuah cangkir saja tidak mantab, lalu cara bagaimana akan sanggup
menyambitkan senjata rahasia keluarga Tong yang terkenal lihay itu ?
Wajah dan sikap orang ini
memang persis Tong Bu-siang yang asli, boleh dikatakan "barang
tiruan" yang sangat sempurna, kecuali kedua tangannya itu.
Maklumlah, tangan Tong
Bu-siang yang menjadi andalannya itu memang tidak dapat dipalsukan oleh
siapapun juga.
Terbeliak mata Pwe-giok,
seperti mendadak melihat setitik sinar dalam kegelapan, sebab sekarang
diketahuinya bahwa intrik busuk komplotan jahat itu toh tidak seluruhnya
sempurna, masih ada titik-titik kelemahan yang dapat digempur.
Ternyata yang masuk kemudian
tidak lain adalah Hiang-hiang dan beberapa genduk yang membawakan beberapa
nampan makanan. Tong Bu-siang itu menghela nafas panjang, lalu berduduk pula.
Di bawah cahaya lampu,
senyuman Hiang-hiang sungguh amat menggiurkan, setiap lelaki yang dilirik
dengan senyuman maut Hiang-hiang itu mustahil kalau tidak segera mengajaknya ke
dalam kamar.
Sekalipun senyuman maut
Gin-hoa-nio rasanya juga tidak sebesar ini daya tariknya, sebab, apapun juga
Gin-hoa-nio kan cuma "amatir" saja, sedangkan Hiang-hiang adalah
"professional", memang itulah pekerjaannya.
Cuma sayang, dia ketanggor,
Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang itu bahkan sama sekali tidak melirik padanya,
apalagi tertarik.
Sesudah para pelayan
menyiapkan makanan dan minuman, dengan goyang pinggul Hiang-hiang lantas
mendekati tamunya, ia angkat poci arak dan sengaja mempertontonkan tangannya
yang putih mulus itu ke depan mata orang.
Gelang kemala hijau yang
dipakainya sama berdentingan, suaranya juga halus merdu, biar tanpa arak juga
suara tertawanya cukup memabukkan tamunya. Tapi sayang, Ong Uh-lau dan Tong
Bu-siang tetap tidak menggubrisnya, seperti tidak melihatnya sama sekali.
Namun Hiang-hiang belum putus
asa, dengan suara nyaring seperti bunyi keleningan ia berkata,
"Silahkan tuan-tuan
mencicipi arak simpananku ini, biasanya arak ini tidak sembarangan kusuguhkan
kepada tamuku, hanya sekarang harus dikecualikan sebab hanya ketiga ksatria
ternama seperti kalian inilah yang..."
Belum habis ucapannya mendadak
Tong Bu-siang mendelik dan memotong ucapannya,
Darimana kau tahu kami ini
ksatria ternama ? siapa yang beritahukan padamu ?"
Hiang-hiang mengerling genit,
katanya dengan senyuman menggiurkan,
"Masa perlu diberitahu ?
Sekali melihat sikap kalian yang berwibawa ini, kalau bukan ksatria ternama
mana bisa sekereng ini ?"
Tong Bu-siang mendengus, katanya,
"Kami ini orang dagang,
kekayaan kami memang boleh diandalkan..."
"Creng", mendadak
Ong Uh-lau melemparkan sepotong emas murni diatas meja, katanya,
"Kau ingin memiliki emas
ini atau tidak ?"
Meski Bong-hoa-lau ini rumah
hiburan yang biasanya penuh tamu berduit, tapi emas seberat ini tidaklah mudah
diperoleh apabila tiada hubungan intim antara tamu dan langganannya.
Hiang-hiang pura-pura
menunduk, ucapnya dengan menggigit bibir,
"Apakah tuan
ingin...ingin..."
"Ku ingin kau keluar dari
sini !" tukas Ong Uh-lau,
"Keluar dengan membawa
emas ini, kalau tidak dipanggil sebaiknya jangan masuk kemari."
Lui-ji mengira sekali ini
Hiang-hiang pasti tidak dapat tertawa lagi. Siapa tahu, sambil mengerling
Hiang-hiang berkata pula dengan tertawa genit,
"Ai, jika demikian,
biarlah kuucapkan terima-kasih saja."
Habis berucap segera ia comot
emas itu dan benar-benar melangkah pergi.
Mendadak orang yang duduk
membelakangi Pwe-giok itu berseru,
"Nanti dulu !"
Hiang-hiang menoleh dan
tersenyum genit, tanyanya: "Ada apa lagi ?"
Tangan orang itu terjulur ke
depan, tahu-tahu setangkai bunga goyang berhias mutiara besar tersunggih di
tangannya.
Bunga goyang bermutiara ini
jelas jauh lebih berharga daripada sepotong emas tadi, seketika perhatian semua
orang tertarik oleh perhiasan ini, hanya Pwe-giok saja yang tetap memperhatikan
tangan orang itu.
Tangan itu tidak kasar, bahkan
jarinya halus dan lentik, tercuci sangat bersih, meski baru saja memegang tali
kendali kuda dan menempuh perjalanan jauh, tapi tangannya tetap tidak sekotor
sedikitpun.
Tangan ini tampaknya tidak
terlalu kuat, tapi sangat mantap, dengan menyunggih bunga mutiara dan terjulur
begitu tetap kelihatan mantap tidak bergoyang sedikitpun.
Dada Hiang-hiang tampak naik
turun, dengan terengah ia berkata:
"Selama hidup tidak
pernah kulihat mutiara seindah ini, bolehkah aku memegangnya ?"
"Untuk apa hanya memegang
saja ? Jika kau suka, boleh kuberikan padamu," kata orang itu.
Suaranya ternyata suara orang
muda, bahkan kedengarannya rada kemalas-malasan.
Hiang-hiang menjawab dengan
tersenyum senang:
"Jelas kau tahu tiada
seorang perempuan yang dapat menolak pemberian perhiasan sebagus ini. kenapa
kau perlu tanya lagi padaku."
"Tapi kalau kau suka pada
perhiasan ini, kau harus tinggal di sini dan mengiringiku minum arak,"
kata orang itu.
Seketika timbul rasa kejut dan
heran pada wajah Hiang-hiang, tanpa terasa ia pandang Tong Bu-siang dan Ong
uh-lau, dilihatnya air muka kedua orang itu bersungut menahan rasa marah, tapi
tidak berani menyatakan keberatannya.
Dengan sendirinya Pwe-giok
jauh lebih terkejut dan heran daripada Hiang-hiang.
Siapakah gerangan pemuda itu ?
mengapa dia sengaja memusuhi Ong Uh-lau ? terang-terangan Ong Uh-lau mengusir
Hiang-hiang, tapi dia minta Hiang-hiang menemaninya minum arak ?
Tampaknya Ong Uh-lau hanya
berani marah tapi tidak berani bicara, masa orang she Ong ini jeri terhadap
pemuda itu ?
Bahwa mereka adalah satu
rombongan dan datang bersama, jelas merekapun sedang melakukan sesuatu yang
penuh rahasia, agaknya pemuda itupun anak buah Ji Hong-ho.
JIka begitu, mengapa dia
memusuhi Ong Uh-lau dan mengapa Ong Uh-lau jeri padanya. Setahu Pwe-giok,
kedudukan Ong Uh-lau dalam komplotan Ji Hong-ho gadungan itu tidaklah rendah,
juga bukan seorang penakut, tapi mengapa mengalah kepada pemuda ini.
Tiba-tiba Pwe-giok merasakan
pemuda inilah betul-betul seorang tokoh yang misterius.....
Dengan sendirinya Hiang-hiang
menurut dan berduduk lagi di situ.
Malahan ia sengaja berduduk di
pangkuan pemuda itu, sekujur badannya terbenam dalam pelukan orang itu.
Ong Uh lau dan Tong Bu-siang
saling pandang sekejap, mereka berpaling ke arah lain dan tidak mau memandang
lagi rekannya.
"Huh, munafik,
hipokrit," ejek pemuda itu dengan bergelak tertawa.
"Sebabnya dunia ini kacau
balau begini adalah karena terlalu banyak manusia munafik."
Dia rangkul pinggang
Hiang-hiang yang ramping, lalu menyambung pula dengan tertawa,
"Tapi antara kau dan aku
tiada bedanya, sama-sama siaujin (manusia kecil, rendah) tulen, makanya kita
berdua jauh lebih gembira daripada orang lain, betul tidak ?"
Hiang-hiang terkikik-kikik di
tepi telinga pemuda itu, ucapnya:
"Ya, bukan saja jauh
lebih gembira daripada orang lain, bahkan juga jauh lebih menarik daripada
orang lain."
"Haha, ucapan bagus, ucapan
tepat ! Harus kuhormati kau tiga cawan !" seru pemuda itu sambil bergelak.
Dia benar-benar menuang tiga
cawan arak berturut-turut, sambil mengetuk poci arak iapun berdendang:
"Manusia hidup jarang
ketemu waktu gembira, mumpung ada kesempatan janganlah dilewatkan. Malam sejuk
dan indah begini, mana boleh tanpa minum arak. Marilah mari, akupun menyuguh
kalian tiga cawan arak !"
Sekali ini Ong Uh-lau dan Tong
Bu-siang ternyata sangat penurut, mereka benar-benar angkat cawan dan
menenggaknya hingga habis meski dengan ogah-ogahan dan berkerut kening, cara
minum arak mereka ini mengingatkan orang pada anak kecil yang dipaksa minum
obat.
Tapi pemuda itu masih terus
menenggak araknya secawan demi secawan, berbareng ia terus lalap santapan yang
tersedia, malahan seperti santapan itu kurang lezat, berulang ia menggigit
hidung Hiang-hiang pula.
Hiang-hiang tertawa cekakak
dan cekikik, mendadak ia menjerit.
"Sakit ?" tanya
pemuda itu.
Hiang-hiang membenamkan
kepalanya di dada orang sambil menjawab:
"O, tidak !"
"Hahahaha !" Pemuda
itu tertawa.
"Sudah kuberikan bunga
mutiara yang bernilai ribuan tahil emas tadi, maka akupun berhak menggigit kau
dan terpaksa kaupun menjawab tidak sakit, Inilah manusia, setiap manusia ada
harganya, ada tarifnya sendiri-sendiri, bedanya cuma tinggi atau rendah tarif
saja."
"Dan engkau sendiri
apakah pasang tarif ?" tanya Hiang-hiang dengan aleman.
"He, kau ingin membeli
diriku ?"
"Ehmm, akan ku beli kau
dan kubawa pulang dan kusembunyikan didalam kamar."
Pemuda itu tertawa keras,
ucapnya:
"Cuma sayang, harga
diriku terlalu tinggi, jika kau cari duit mati-matian seperti sekarang ini,
setiap tamu kau terima dan seluruh hasil pendapatanmu kau kumpulkan, setelah
menabung 30 atau 50 tahun, mungkin masih ada harapan."
"Wah, sementara itu
bukankah aku sudah menjadi nenek-nenek ?" ujar Hiang-hiang sambil mengikik
tawa.
"Asal ada duit, biarpun
nenek-nenek juga tidak menjadi soal."
Mendengar sampai di sini,
dibalik ruangan rahasia Lui-ji tidak tahan dan mendesis:
"Busyet, tampaknya orang
ini cocok menjadi saudara angkat Ji Yak-ih."
Ki Leng-hong menghela nafas
pelahan, katanya:
"Orang ini mungkin
sepuluh kali lebih pintar daripada Ji Yak-ih dan juga berpuluh kali lebih
menakutkan."
"Tapi juga orang semacam
dia inilah yang pantas disebut sebagai siaujin tulen." tukas Pwe-giok.
Dilihatnya pemuda itu
berturut-turut menghabiskan lagi tiga cawan arak, lalu memukul meja dan berseru
dengan tertawa:
"Meski sekarang kau tidak
mampu membeli diriku, tapi aku mampu membeli dirimu. Kau beli diriku atau aku
yang membeli dirimu, akhirnya kan juga sama saja?"
Mendadak ia berbangkit,
Hiang-hiang diseretnya sambil berguman:
"Wah, rasanya aku sudah
mabuk dan ingin bobok, marilah kita...."
Dengan sempoyongan ia terus
tarik Hiang-hiang ke kamar sebelah sana, terdengar suara tertawa Hiang-hiang
dan pintu kamar pun tertutup.
Selang sejenak, terdengar
pemuda tadi berdendang pula, dendangnya orang mabuk, suaranya semakin lirih dan
akhirnya tak terdengar lagi.
Mendadak seluruh rumah hiburan
itu berubah menjadi sunyi senyap, Lui-ji dan lain-lain yang mengintip dibalik
ruang rahasia sana juga tidak berani bersuara lagi.
Selang sejenak pula, Tong
Bu-siang menggeleng kepala dan berucap dengan menyesal:
"Sungguh aku tidak
mengerti, mengapa Bengcu menyuruh orang macam begini ikut ke sini bersama
kita."
Ong Uh-lau terpekur sejenak,
sahutnya:
"Perintah Bengcu, sudah
tentu cukup beralasan."
"Tapi orang sialan ini
sebenarnya orang macam apa, kau tahu ?" tanya Tong Bu-siang.
"Akupun tidak tahu."
jawab Ong Uh-lau.
"Yang jelas Bengcu
menaruh kepercayaan penuh kepadanya, sebab itulah beliau memberi pesan
wanti-wanti padaku agar kita tunduk kepada perintahnya, apapun juga kehendaknya
harus kita turuti."
Tong Bu-siang menghela nafas,
katanya,
"Tapi dalam keadaan
demikian orang ini hanya tahu makan minum dan berfoya-foya, urusan lain tidak
ambil pusing, malahan terus pergi tidur segala. Orang macam begini masa dapat
dipercaya?"
Ong Uh-lau termenung sejenak,
akhirnya tetap mengemukakan kata-kata yang sama, yaitu: "Atas pesan
Bengcu, tentu ada alasannya."
Baru sekarang Pwe-giok tahu
sampai Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang juga tidak tahu asal-usul si pemuda yang
misterius ini.
Sejak awal hingga akhir pemuda
itu tetap berduduk membelakangi Pwe-giok sehingga yang kelihatan hanya bayangan
samping saja, malahan hanya pandangan sekilas saja. Diketahuinya wajah pemuda
itu sangat cakap, tapi juga seperti pemalas, membuka mata saja rasanya enggan.
Sampai saat ini Pwe-giok dapat
memastikan sesuatu, yakni bukan saja ia tidak kenal pemuda ini, bahkan tidak
pernah melihatnya sebelum ini.
Dalam pada itu, Tong Bu-siang
dan Ong Uh-lau masih tetap duduk diam sana, arak setetespun tidak minum,
makanan setitik juga tidak disentuh.
Malahan keduanya kelihatan
rada tegang dan mulai gelisah.
Selang sekian lama lagi,
tiba-tiba Tong Bu-siang tertawa dan berkata: "Kuharap orang itu bisa lekas
datang, biarlah kita menyelesaikan urusan kita di luar dan biarkan dia
menikmati menjadi pengantin baru, coba nanti cara bagaimana dia akan bertanggung
jawab terhadap Bengcu"
Ong Uh-lau melotot lagi
padanya sambil menjengek: "Hm, caramu bicara ini apakah takkan ketahuan
belangmu?"
"Ketahuan belangku
apa?" jawab Tong Bu-siang dengan mendelik.
"Ingat, sekarang kau ini
dalam kedudukan apa?"
"Sudah tentu ku
tahu."
"Jika kau dalam kedudukan
sebagai seorang Ciangbunjin suatu perguruan ternama, caramu bicara hendaknya
juga berbau sebagai seorang berpengaruh. Tapi caramu bicara yang inginkan orang
lain tertimpa malang dan mengharapkan kekacauan dunia ini hanya memperlihatkan
kau ini berasal dari kaum rendahan"