Jilid 3
"Setelah mendapat petuah
Suhu tadi, Tecu merasa dosa sendiri sudah kelewat takaran dan malu untuk hidup
di dunia ini, Tecu rela menerima hukuman badan disayat pisau perak untuk
menebus dosa" demikian ratap Siang Ji-long sambil mendekam di tanah.
Ucapan ini membuat semua orang
terkejut dan bertambah heran.
Thian can kaucu juga berkerut
kening, katanya, "Tentunya kau tahu hukuman badan disayat pisau termasuk
hukuman mati agama kita?"
"Ya, Tecu tahu,"
jawab Siang Ji-long.
"Padahal sudah kuampuni kau,
kenapa kau minta dihukum?"
Dengan pedih Siang Ji-long
menjawab, "Hal ini dilakukan Tecu dengan sukarela, sebab Tecu merasa
berhutang budi kepada Suhu dan tidak dapat membalas, terpaksa menggunakan jiwa
Tecu sebagai teladan bagi para Sute agar mereka bisa lebih prihatin."
Sikap Thian can kaucu tambah
lunak, ucapnya, "Tak tersangka kau mempunyai rasa kesadaran demikian,
tidak percumalah ajaranku selama ini. Persoalan hari ini mestinya akan kuberi
hukuman setimpal padamu, tapi karena kau sudah menyadari akan kesalahanmu, maka
sudahlah, berdirilah kau."
Diam-diam Cu Lui-ji merasa
geli, pikirnya "Kiranya Siang Ji-long menggunakan akal 'Ko-bak-keh' (akal
menyiksa diri sendiri) untuk menghindarkan hukuman berat....."
Tak terduga, tiba-tiba Siang
Ji-long berkata pula dengan menyesal, "Meski Kaucu telah mengampuni Tecu,
tapi Tecu tak dapat mengampuni dirinya sendiri, Tecu mohon sebelum ajal
diperkenankan mengutarakan segenap dosanya supaya Tecu bisa merasa
tenteram."
"Kesalahan apa yang telah
kau lakukan sudah kuketahui seluruhnya, kukira tidak perlu lagi kau
katakan," ujar Thian can kaucu.
Dengan pedih Siang Ji-long
berkata, "Meski pandangan Kaucu maha tajam, tapi ada pula perbuatan Tecu
yang kulakukan di luar tahu Kaucu, sekarang setelah Tecu mengetahui betapa
luhur budi Kaucu terhadap Tecu, bilamana perbuatan Tecu itu tidak kubeberkan di
depan Kaucu, sekalipun hidup Tecu akan merasa tidak aman, mati pun akan merasa
tidak tenteram."
Mau tak mau Thian can kaucu
terkesiap oleh permintaan Siang Ji-long yang ngotot itu, Cu-lui ji juga
terheran-heran, ia pikir, "Kalau Siang Ji-long ini menggunakan akal
Ko-bak-keh, tentu sekarang sudah cukup baginya, mengapa dia masih terus ngotot
begini, apakah dia memang sudah bosan hidup? Sesungguhnya apa maksud tujuannya?"
Selang sejenak, terdengar
Thian can kaucu berkata. "Jika demikian, bolehlah kau uraikan."
"Selama ini Kaucu
memandang Tecu seperti anak sendiri," demikian Siang Ji-long mulai
menutur. "Kim-hoa, Gin-hoa dan Thi-hoa bertiga nona juga memandang Tecu
sebagai saudara, akan tetapi Tecu ternyata tidak tahu budi, sebaliknya malah
timbul napsu binatang...." dia melirik sekejap ke arah Gin hoa nio, lalu
menyambung, "lima tahun yang lalu, pada suatu malam di musim panas di
bawah sinar bulan purnama, ketika Ji kohnio sedang mandi di sungai, waktu itu
usianya masih kecil sehingga tidak menaruh prasangka apa pun terhadap Tecu,
tapi demi melihat tubuh Ji kohnio yang putih mulus, tubuhnya yang sudah tumbuh
cukup masak itu, mendadak timbul pikiran busuk Tecu dan
hendak...hendak...memperkosanya...."
Cara bicara Siang Ji-long
ternyata terang-terangan, bahkan melukiskan kejadian itu dengan gerakan nyata.
Geli dan juga gemas Lui-ji, ia
merasa biarpun ingin mengaku dosa, mestinya juga tidak perlu bergaya sejelas
itu.
Tak tahunya Thian can kaucu
ternyata tidak menganggap berlebihan uraian Siang Ji-long itu. sebaliknya malah
memuji akan kejujurannya. katanya dengan perlahan. "Untuk kesalahanmu itu
kau sudah dihukum dengan ulat menggeragoti badan, maka tidak perlu kau merasa
menyesal."
"Namun sejak itu, bila
Tecu teringat kepada kejadian itu, segera nafsu birahi Tecu akan
terangsang," tutur Siang Ji-long pula. "Dari sini terbuktilah bahwa
tecu sesungguhnya bukan manusia, bahkan lebih kotor daripada hewan."
Bicara sampai di sini, agaknya
saking menyesal dan malunya, mendadak ia mencabut pisau mengkilap itu terus
menikam pahanya sendiri.
Thian can kaucu mengernyitkan
dahi, tanyanya," Selain itu, ada hal lain apa lagi?"
"Tecu tidak percuma tidak
setia terhadap Kaucu, juga tidak berbudi terhadap sesama saudara seperguruan,
demi merebut kedudukan ahli-waris Tecu, Tecu telah menggunakan segala tipu daya
untuk memfitnah Toa-suheng sehingga akhirnya Toa-suheng dihukum mati oleh
Suhu."
"Siang Tay-long memang
bermaksud jahat, sudah lama ada maksud hendak menghukum dia menurut penuturan
rumah tangga kita, hal ini pun tidak dapat menyalahkan kau," kata Thian
can kaucu.
"Tapi apapun juga jalan
pikiran Tecu memang jahat, apa lagi setelah Tecu menggantikan Toa-suheng
menjadi Ciangbun suheng (murid pertama ahli-waris), terhadap para Sute tidak
pernah Tecu memperlihatkan kasih sayang, sebaliknya malah, memperlakukan mereka
dengan kasar, mencaci mereka dan memukul mereka dengan cara sadis...."
"Sebagai To-asuheng, kan
pantas juga jika kau memberi hajaran terhadap para Sute, ini bukan sesuatu yang
luar biasa," ujar Thian can Kaucu.
Tadinya dia mendamprat Siang
Ji long dengan kata-kata keras, tapi sekarang keadaannya telah berubah. Siang
Ji-long seolah-olah sedang mencaci maki dirinya sendiri dan Thian can kaucu
berbalik menjadi pembelanya.
Terdengar Siang Ji-long
berkata pula," Suheng memberi hajaran kepada sute memang pantas, tapi Tecu
bertindak kelewat batas, untuk ini silahkan Kaucu tanya kepada Jisute, tentu
Kaucu akan tahu betapa keji tindakan Tecu."
Pandangan Thian can kaucu
lantas beralih ke arah si jerangkong hidup, lalu bertanya, "Apakah betul
tindakan Toa-suhengmu agak kelewat batas?"
"Oo....ti.....tidak.....Tecu.....Tecu....."
si jerangkong hidup menjadi gelagapan dan sukar untuk menjawab.
"Coba, sampai sekarang
dia masih ketakutan dan tidak berani bicara terus terang, dari sinipun terbukti
betapa dia merasa segan kepada Tecu," kata Siang Ji-long pula. Dia
menghela nafas, lalu menyambung, "Ji-sute, sungguh banyak tindakanku yang
tidak pantas terhadapmu, sekarang aku bertekad untuk menebus dosaku itu,
hendaklah kau bicara terus terang, caci-makilah diriku, makin keras kata-katamu
makin tenteram perasaanku."
Si jerangkong hidup
memandangnya sekian lama, mendadak ia berseru, "Betul, biasanya Toa-suheng
memang tidak menganggap Tecu sebagai manusia, tidak cuma main pukul dan caci
maki saja padaku, bahkan....bahkan Tecu dipaksa melakukan hal-hal yang tidak
berperikemanusiaan. Pernah satu kali tanpa sengaja Tecu telah memukul anjing
kesayangan Toa-suheng, tapi Toa-suheng lantas paksa Tecu menyembah dan minta
maaf kepada anjingnya, bahkan Tecu dipaksa makan kotoran anjing dan....."
"Sudahlah, cukup, tidak
perlu dilanjutkan lagi," kata Thian can kaucu dengan kereng.
Siang Ji-long menghela nafas,
"Apa yang dikatakan Ji-sute memang benar, jika Tecu pikir sekarang, apa
yang kulakukan itu memang....." sampai di sini ia mencabut lagi sebilah
pisau dan menikam pula paha sendiri. Thian can kaucu termenung sejenak, ucapnya
kemudian. "Apa pun yang telah kau lakukan, sekarang kau telah mengaku
secara terus terang di hadapanku, ini membuktikan kau masih sangat setia
padaku, asalkan selanjutnya jangan lagi berbuat kesalahan demikian, maka anggap
selesaikan urusan ini."
Mendadak Siang Ji-long
mengucurkan air mata, katanya, "semakin baik Kaucu terhadap Tecu, semakin
pedih hati Tecu. Budi kebaikan Kaucu tak dapat kubalas lagi selama hidup ini
terpaksa kutunggu sampai titisan yang akan datang."
Suaranya menjadi tersendat
mendadak ia mencabut pula sebilah pisau terus menikam ke ulu hatinya sendiri.
Akan tetapi gerakan Thian can
kaucu terlebih cepat, belum lagi ujung belati mengenai hulu hatinya, tahu-tahu
Thian can kaucu sudah mencengkeram tangannya sambil membentak, "Ku larang
kau mati. maka kau tidak boleh mati, jika tidak berarti kau membangkang
perintah guru."
Sembari bicara ia terus hendak
merampas belati Siang Ji-long. Sebaliknya Siang Ji-long seperti sudah nekat dan
masih meronta sekuatnya.
Siapa tahu, pada saat itu juga
mendadak dari gagang belati itu terpancar keluar selarik sinar perak, langsung
menyambar ke muka Thian can kaucu.
Betapapun Thian can tidak
menyangka akan terjadi perubahan demikian, meski ilmu silatnya maha tinggi juga
sukar mengelak. Ia meraung keras-keras satu kali, tangannya membalik untuk
menghantam Siang Ji-long.
Namun Siang Ji-long sempat
menjatuhkan diri dan menggelinding jauh kesana, serunya dengan tertawa latah,
"Siang Bok-kong, sekarang barulah kau tahu akan kelihaianku bukan?"
Apa yagn terjadi ini sungguh
terlalu mendadak di luar dugaan siapapun juga, Gin hoa nio sampai menjerit
kaget, bahkan Oh-lolo yang ulung itu pun terkejut.
Terlihat Thian can kaucu
menutup mukanya dengan kedua tangan, teriaknya dengan suara parau,
"Binatang, kau..... keji amat kau!”- Sambil memaki tempaknya ia hendak
menubruk maju.
Tapi siang Ji-long lantas
berseru dengan menyeringai, "Apa yang tersembunyi di dalam gagang belatiku
tentunya sudah kau ketahui, sekarang tidakkah lebih baik lekas kau duduk saja
di situ, memangnya kau kuatir bekerjanya racun kurang cepat?"
Thian can kaucu Siang Bok kong
benar-benar tidak berani bergerak lagi, kini langkahnya juga sempoyongan,
berdiri saja tidak kuat, ia bergeliat sejenak, akhirnya jatuh terkulai.
Terdengar Siang Ji-long
tertawa latah hingga lama sekali, jelas senangnya tidak kepalang. Sebaliknya
beberapa murid THian can kau yang berseragam hitam tampak ketakutan dengan muka
pucat, bergerak sedikit saja tidak berani.
"Wahai Siang
Bok-kong," demikian Siang Ji long berteriak pula dengan tertawa, "apa
kau kira tadi aku memang tidak mengenali dirimu? Haha, bicara terus terang,
sejak mula, begitu kau masuk ke sini segera ku tahu siapa kau, hanya saja aku
pura-pura tidak kenal padamu agar aku dapat turun tangan padamu, dengan
demikian seumpama aku gagal membunuhmu kan ada alasan yang dapat kugunakan
untuk membela diri."
Sambil mendekap mukanya, tubuh
Thian can kaucu tampak berkejang, jelas sedang menahan kesakitan yang luar
biasa, bahkan ia terus bergulingan di tanah dan tidak sanggup bicara lagi.
Cu Lui-ji merasa penasaran,
katanya "Baru sekarang ku tahu kau memang hebat , tapi mengapa kau berbuat
seperti tadi?"
"Setelah ku serang dia
tadi baru kuketahui tua bangka ini masih mempunyai ilmu simpanan yang tidak
pernah diajarkan kepadaku, bila bertempur jelas aku bukan tandingannya,
terpaksa ku robohkan dia dengan akal," tutur Siang Ji-long.
Pada umumnya seorang kalau
berhasil berbuat sesuatu yang menyenangkan, maka sedapatnya ia ingin pamer
supaya orang lain tahu akan kehebatannya. Kalau tidak maka sama halnya orang
berpakaian perlente berjalan pada malam gelap. kurang mentereng. Siang Ji long
juga demikian.
Begitulah dia berseri-seri dan
sangat bangga, dengan tertawa ia lantas menyambung pula, "Sudah belasan
tahun ku tinggal bersama tua bangka ini, setiap ciri kelemahannya sudah
kupahami. Ku tahu dia sok anggap awak paling pintar, urusan apa pun tak dapat
mengelabui dia. Orang yang berbuat salah asalkan mau mengaku terus terang
padanya, maka dia akan gembira mengira orang tidak berani berdusta
padanya."
Makin omong makin bangga dia,
setelah terbahak-bahak lebih keras, lalu berkata pula, "Terhadap titik
kelemahannya itulah ku turun tangan dan ternyata dapat ku jebak dengan
baik."
"Lantas apa tujuanmu
dengan berbuat demikian? Apakah karena kau ingin membalas dendam lantaran kau
dihukum ulat menggeragoti badanmu?" tanya Lui-ji pula.
Siang Ji-long menyeringai,
katanya, Budak cilik, terlalu banyak kau bertanya."
Lui-ji tertawa, ucapnya pula
dengan tertawa, "Seumpama kemudian kau dapat naik tahta sebagai Kaucu,
mungkin orang lain juga takkan takluk padamu."
Mendadak sorot mata Siang
Ji-long yang tajam itu menyapu pandang sekejap ke arah para sutenya, lalu
mendengus. "Kalian takluk padaku tidak!"
Serentak beberapa orang itu
menyembah di atas tanah dan menjawab dengan suara gemetar, "Siaute takluk
lahir batin!"
"Bagus, kalian ikut
padaku, kelak kalian tentu akan mendapat pahala yang pantas," kata Siang
Ji-long dengan tertawa. "Sebelum ini, meski orang Kangouw sama jeri
terhadap Thian can kau kita, tapi diam-diam mereka sama bilang Kau kita adalah
agama jahat, tapi selanjutnya nama Thian can kau pasti akan berdiri sejajar
dengan Bu-tong pay dan Siau lim pay, Kau kita akan menjadi suatu aliran besar
yang diagungkan di Bu-lim dan tak ada orang yang berani memandang hina lagi
kepada kita."
"Hm, mungkin kau lagi
mimpi," jengek Lui ji tiba-tiba.
"Oo, kau tidak percaya?"
tanya Siang Ji-long "Baik, akan ku beri waktu satu jam lebih banyak, biar
kau saksikan apa yang terjadi."
Lui-ji tidak menanggapi lagi,
tapi diam-diam bertambah heran, pikirnya, "Dia ingin kusaksikan kejadian
apa? Lewat satu jam lagi berdasarkan apa Thian can kau bisa mendadak berubah
menjadi suatu aliran besar yang diagungkan?"
Dalam pada itu terdengar si
Jerangkong hidup juga sedang menyembah dan berkata, "Toa-suheng maha
bijaksana dan gagah perkasa, sudah lama juga Siaute bermaksud mendukung Toa-suheng
sebagai Kaucu."
"Oo? Apa betul?"
Siang Ji-long menegas.
"Mana Siaute berani
berdusta di hadapan Toa-suheng." jawab si jerangkong hidup.
Siang Ji-long mendengus,
"Aku ini orang yang kejam dan buas, tidak menganggap kalian sebagai
manusia, mengapa kau masih tetap hendak mendukung aku menjadi Kaucu? Apakah kau
ini sakit ingatan?"
Seketika wajah si jerangkong
hidup yang kelabu itu bertambah pucat, tapi setiap cuil kulit daging mukanya
seolah-olah gemetar.
Siang Ji-long tidak memberi
kesempatan bicara padanya dengan menyeringai ia menyambung pula, "Ya, kau
pasti mempunyai penyakit tertentu, atau mungkin kau ini sakit jiwa, kukira
benakmu perlu direparasi."
Mendadak si jerangkong hidup
membalik tubuh terus menerobos keluar gua.
Akan tetapi Siang Ji-long
sudah memperhitungkan kemungkinan ini, begitu si jerangkong bergerak, segera ia
mendahului menghadang di depannya sambil mengejek, "Hm... kau ingin
lari?"
"Tadi.....tadi Siaute
sembarangan mengoceh seperti kentut anjing, mohon....mohon Toa-suheng......"
demikian si jerangkong menjadi ketakutan. Namun dia masih berusaha mencari
hidup sambil bicara mendadak berpuluh bintik perak terpancar dari kedua
tangannya.
Padahal jarak kedua orang
sedemikian dekatnya, bintik perak itu terpancar dengan cepat lagi mendadak, ia
yakin Siang Ji-long sukar menghindar.
Siapa tahu antara dia dan
Siang Ji-long serupa juga Siang Ji-long menghadapi Thian can kaucu, serangan
mautnya dianggap seperti permainan anak kecil saja, dengan perlahan Siang
Ji-long mengebaskan kipasnya, tahu-tahu berpuluh bintik perak itu menyambar ke
arah si jerangkong sendiri.
Kontan dia menjerit dan roboh
terjengkang menyusul lantas berguling-guling di tanah sambil menjerit dengan
suara parau, "Toa-suheng, mohon....mohon kau bunuh saja diriku, supaya....
ku mati dengan cepat!"
Jelas pada senjata rahasia itu
terdapat racun yang maha lihay, begitu mengenai tubuh manusia akan menimbulkan
rasa sakit yang lebih baik mati daripada hidup, maka dapat dibayangkan betapa
tersiksanya si jerangkong.
Tapi sama sekali Siang Ji-long
tidak menghiraukannya, ia berpaling ke arah para Sute yang lain dan membentak
dengan bengis, "selanjutnya barang siapa berani bersikap kurang sopan
padaku, inilah contohnya!"
Di dalam gua itu seketika
penuh diliputi suara keluhan dan rintihan yang membuat orang merinding. Siang
Ji-long mengerling sekelilingnya, tiba-tiba pandangannya berhenti pada wajah
Gin-hoa-nio.
Seketika otot daging di wajah
Gin hoa nio juga berkejang.
Sambil menggoyangkan kipasnya
dengan pelahan. Siang Ji-long mendekati Gin hoa nio, ucapnya dengan perlahan,
"Kejadian lima tahun yang lalu itu tentunya masih kau ingat dengan baik,
bukan?"
Gin hoa nio mengangguk.
"Waktu itu kau tahu aku
sedang berlatih di dalam gua di tepi sungai sana, tapi kau sengaja membuka baju
di luar gua, bahkan memperagakan tubuhmu dengan macam-macam gaya merangsang
untuk memikat diriku. Ketika aku tidak tahan dan menerjang keluar untuk
mencarimu, tapi kau lantas menolak malah, bahkan mengadukan diriku di depan si
tua bangka, katanya kuperkosa dirimu, sesungguhnya sebabnya kau sengaja
membikin susah padaku?"
Saking emosi otot daging pada
mukanya tampak ikut bergerak-gerak, dengan suara parau ia berteriak,
"Selama beberapa tahun ini senantiasa kupikirkan sebab apakah kau berbuat
demikian padaku, tapi sukar kudapatkan jawabannya, dan baru sekarang ku tahu
sebabnya kau berbuat begitu, hanya ingin membikin orang lain menjadi gila
bagimu, menderita bagimu."
"Bu....bukan begitu
maksudku, Toa-suheng." kaa Gin hoa nio.
"Habis apa maksud
tujuanmu?" tanya Siang Ji-long.
"Seb.....sebenarnya sudah
lama ku jatuh cinta padamu," tutur Gin hoa nio. "Waktu itu sebenarnya
aku pun ingin dipeluk olehmu, tapi caramu terlalu kasar, terlalu buas, padahal
waktu itu aku masih terlalu muda, melihat sikapmu itu aku menjadi takut."
Mendadak suaranya berubah
menjadi penuh daya pikat, dada pun naik turun, dada yang montok itu tampaknya
seakan-akan meledakkan bajunya yang singsat itu.
Siang Ji-long melototi dada
orang, sinar matanya seperti api yang berkobar-kobar, ucapnya sambil
menyeringai "Sekarang kau masih takut atau tidak?"
Gin hoa nio menggigit bibir
dan menjawab, "Sekarang aku..." dia tidak melanjutkan, sebab dia
dapat bicara dengan matanya.
Tapi mendadak Siang Ji-long
bergelak tertawa, ditengah tertawa latah itu mendadak ia menubruk maju,
ditariknya baju Gin hoa nio hingga hancur seluruhnya dan tertampaklah badannya
yang indah dan bernas.
Beberapa orang berseragam
hitam itu sama melotot menyaksikan tubuh yang menggiurkan itu, meski tidak
berani memandang terlalu lama, tidak jarang mereka main lirik lagi, semuanya
bernapas terengah-engah seperti kerbau.
"Selama beberapa tahun
ini senantiasa kuharapkan akan dapat melihat tubuhmu dalam keadaan telanjang
bulat, ingin kulihat apakah tubuhmu berubah atau tidak," demikian Siang
Ji-long berteriak sambil tertawa latah.
Gin hoa nio menghela nafas
panjang-panjang sehingga dadanya semakin membusung dan perutnya mengecil,
ucapnya dengan lirih, "Kau lihat aku berubah atau tidak?"
"Tidak, kau tidak
berubah," gumam Siang Ji-long, sama sekali tidak berubah, tidak
berubah..." satu kalimat itu diulanginya hingga beberapa kali, suaranya
berubah rada gemetar mukanya berkerut-kerut dan butiran keringat menghiasi
dahinya.
Melihat wajahnya yang beringas
itu, Cu Lui ji merasa kuatir juga, dilihatnya sinar mata Siang Ji-long itu
makin membara, seakan-akan sudah gila benar-benar.
Tapi Gin hoa nio tidak melihat
apa pun, sebab sejak tadi dia sudah memejamkan matanya, ucapnya dengan suara
memikat, "Jika benar senantiasa kau pikirkan diriku, kenapa sekarang tidak
kau......
Mendadak Siang Ji-long meraung
satu kali, teriaknya dengan suara parau, "Kau tidak berubah tapi...tapi
aku sudah berubah!"
Sekonyong-konyong ia membuang
kipasnya dan menubruk maju pula, tubuh Gin hoa nio dipukulnya, dicubit, digigi,
dicakar, dan dijilatnya, napasnya ngos-ngosan, keadaannya mirip seekor anjing
gila,
Lelaki macam apa pun pernah
dilihat Gin hoa nio, tapi tidak pernah melihat orang gila begini, keruan ia
ketakutan dan menjerit, "He, apa yang kau lakukan? Apa-apaan kau
ini?"
Dengan napas terengah-engah
Siang Ji-long berkata, "Tahukah kau seorang lelaki akan berubah bagaimana
setelah diganjar hukuman ulat menggeragoti badan? Ketahuilah, dia akan berubah
menjadi bukan lelaki lagi. Dan karena gara-garamu sehingga aku bukan lagi
seorang lelaki, maka aku pun akan membikin kau bukan lagi perempuan."
Gin hoa nio melenggong,
tanyanya dengan terputus-putus, "Masa....masa kau tidak...tidak
dapat....."
"Ya, aku tidak dapat, aku
tidak ......tidak mampu....tidak mampu lagi." demikian Siang Ji-long
meraung kalap.
Kini sampai-sampai nenek reyot
macam Oh-lolo juga tidak tega menyaksikan gerakan tangan Siang Ji-long itu. Apa
yang diperbuatnya sudah bukan lagi seorang lelaki, bahkan boleh dikatakan bukan
perbuatan manusia, sebab kalau dia manusia tidak nanti melakukan perbuatan
sadis semacam itu.
Terdengar Gin hoa nio
merintih, "O, kumohon...am..puni diriku, lebih...lebih baik kau bunuh saja
diriku."
Semula dia masih memohon agar
diampuni tapi akhirnya dia meminta agar lebih baik Siang ji-long membunuhnya
saja, nyata penderitaannya sudah sukar untuk dibayangkan.
Namun Siang Ji long belum lagi
berhenti ucapnya sambil menyeringai, "Hm, kau ingin mati? Mana boleh
semudah ini? Akan kubikin kau...."
Tubuh Gin hoa nio yang tadinya
putih mulus itu kini sudah berlumuran darah, akhirnya ia tidak tahan dan jatuh
pingsan.
Sekujur badan Siang Ji-long,
mukanya dan tangannya juga berlepotan darah, gerak tangannya juga mulai lambat
dan akhirnya berhenti, napsunya yang terengah-engah lambat laun juga mereda.
Kedua matanya yang merah
membara tadi mendadak berubah menjadi buram seperti ikan mati. sekujur badan
serasa kehabisan tenaga, ia berdiri mematung tanpa bergerak sedikitpun. Nyata
napsu birahinya yang gila tadi akhirnya telah mendapatkan pelampiasan.
Didalam gua itu menjadi sunyi
senyap, hening seperti kuburan.
Tiba-tiba di luar gua bergema
pula detak kaki binatang tunggangan, tapi sekali ini Siang Ji-long tidak lagi
membentak dan bertanya, air mukanya yang menyerupai orang mati itu berbalik
menampilkan rasa girang, agaknya sejak tadi dia sedang menantikan kedatangan
seseorang, dan sekarang, orang yang di tunggu-tunggu itu telah tiba.
Diam-diam Lui-ji membatin,
"Jangan-jangan sudah lama dia berkomplot dengan orang luar, makanya berani
bertindak terhadap Thian can kaucu. Tadi dia suruh aku menunggu lagi barang
satu jam, apakah maksudnya akan menunggu kedatangan orang ini?
Tapi siapakah gerangan orang
yang datang ini? siapa pula yang bisa berkomplot dengan Siang Ji-liong yang menyerupai
binatang buas dan gila ini?
Mau tak mau Lui-ji menjadi
tegang, ia tahu sekarang sudah tiba pula saat yang menentukan mati dan
hidupnya, kalau tidak mencari akal untuk bertindak, bilamana orang ini sudah
datang, maka baginya hanya ada satu jalan saja, yaitu mati.
Akan tetapi berada dalam
cengkeraman orang gila semacam ini apa pula yang dapat dilakukannya? Berada di
tempat begini tentunya juga takkan datang orang yang akan menolong mereka.
Lalu, apakah mereka harus pasrah nasib dan mati di tangan orang gila ini?
Suara detak kaki kuda di luar
semakin dekat, sekonyong-konyong seekor kuda berlari masuk secepat terbang,
pelana kuda ini tampak mengkilat, seekor kuda yang bagus dan gagah.
Penunggangnya seorang lelaki kekar juga berbaju mentereng walaupun wajahnya
tidaklah menarik.
"Apakah kau kenal orang
ini?" tanya Lui ji kepada Oh-lolo dengan suara bisik-bisik.
"Tidak," jawab si
nenek.
"Tampaknya tokoh Bu-lim
kelas tinggi tidak banyak yang kau kenal," ujar Lui-ji.
"Kalau orang inipun tokoh
Bulim kelas tinggi biarlah nenek mencungkil mataku sendiri." kata Oh-lolo.
"Hidungmu sudah hilang,
kalau matamu dicungkil lagi, kan tambah buruk?" ujar Lui-ji.
Meski dimulut ia berucap
begitu, tapi sesungguhnya ia pun percaya pendatang ini memang bukan tokoh Bu-lim
segala, kepandaiannya menunggang kuda tampaknya lumayan, tapi matanya tidak
bersinar. Dari gerakannya waktu turun dari kudanya juga dapat diukur ilmu
silatnya pasti tidak tinggi.
Namun begitu air muka Siang
Ji-long tetap kelihatan bergirang, sama sekali tidak terasa kecewa akan
kedatangan orang.
Apakah memang orang inilah
yang ditunggunya? Masa orang ini dapat diandalkan untuk menjunjung nama Thian
can kau sehingga diagungkan di dunia persilatan?
Tapi apapun juga, yang jelas
orang yang di tunggu-tunggu Siang Ji-long kini sudah datang, jiwa Cu Lui-ji
bertiga sudah terancam, betapapun mereka harus cepat mencari akal.
Terlihat orang berbaju
mentereng itu memberi hormat kepada Siang Ji-long setelah melompat turun dari
kudanya, katanya, "Numpang tanya adakah di sini seorang Siang
Ji-long?"
"Aku inilah Siang
Ji-long, sudah lama kutunggu kedatanganmu," jawab Ji long.
Orang itu seperti merasa lega
karena dapat menemukan orang yang dicari ucapnya pula dengan tertawa,
"Hamba ditugaskan kemari untuk....."
Belum lanjut ucapannya,
secepat kilat tangan Siang Ji-long sudah bekerja, seperti pisau saja ujung
jarinya sudah menusuk tenggorokan orang itu.
Lelaki itu cuma sempat
menjerit setengah suara, lalu kedua matanya melotot seperti mau melompat keluar
dari kelopak matanya, ia tatap Siang Ji-long dengan rasa kejut dan sangsi,
nyata sampai ajalnya ia belum lagi paham mengapa Siang Ji-long bisa mendadak
menyerangnya dan membinasakan dia. Sampai mati pun dia dapat menjadi penasaran
yang tidak tahu sebab apa dia dibunuh.
Cu Lui-ji dan lain lain juga
terkejut. Mereka pun tidak mengerti sebab apa Siang Ji-long membunuh orang itu.
Kalau yang di tunggu Siang
Ji-long adalah orang ini, mengapa mendadak dibunuhnya pula ? seumpama orang ini
hanya pengantar saja dan Sian Ji-long harus membunuhnya untuk ditanyai dahulu
keterangan yang diperlukan, mengapa sebelum orang itu habis bicara terus
dibinasakannya?
Sekalipun Oh lolo adalah rase
tua yang paling licin juga merasa bingung melihat kejadian itu.
Diam-diam Lui-ji membatin,
"Jangan-jangan Siang Ji-long tahu orang itu membawa sesuatu dokumen yang
sangat penting dan harus dirahasiakan, maka lebih dulu membunuhnya untuk
menghilangkan saksi hidup."
Hanya demikianlah
kesimpulannya, sebab selain ini hakekatnya tidak ada alasan lain.
Tak terduga, mendadak Siang
Ji-long mendepak sehingga mayat lelaki itu terpental jauh ke sana, tanpa
memandangnya lagi Siang Ji-long terus melompat ke sana dan memegang tali
kendali kuda tunggangan orang tadi. pelahan ia mengelus bulu suri kuda itu, katanya
dengan tertawa, "Ha ha, apakah kalian kira orang itu yang kutunggu? Ha ha,
kalian salah sangka semua, yang kutunggu justeru adalah kuda ini."
Lui-ji dan lain-lain sama
melenggong.
Bahwa yang di tunggu-tunggu
Siang Ji-long adalah seekor kuda! apa apaan ini? sudah gilakah dia ?
Lui-ji menghela napas, ucapnya
sambil menyengir, "Tampaknya hanya kuda saja yang dapat bergaul dengan
anjing gila semacam kau ini." Siapa tahu, belum lenyap suaranya, mendadak
tangan Siang Ji-long begitu keras seolah-olah terbuat dari baja.
Kuda itu meringkik kaget,
kontan kepalanya pecah berantakan dan roboh.
Bukan cuma penunggang kuda
saja yang dibinasakan, kudanya juga telah dibunuh Siang-Ji-long.
Sampai di sini semua orang
tahu Siang Ji-long benar-benar telah gila, sebab selain orang gila, siapa lagi
yang dapat melakukan hal hal yang aneh dan membingungkan ini?"
Sungguh Cu Lui-ji tak berani
membayangkan tindakan keji apa pula yang akan dilaksanakan si gila ini terhadap
dirinya.
Didengarnya Ji Pwe-giok lagi
menghela napas, ucapnya dengan rawan, "Maaf, bukan saja aku tidak dapat
menjaga dirimu, sebaliknya... sebaliknya kau..."
"Mana boleh sicek yang
disalahkan?" ujar Lui-ji dengan pedih, "Justeru salahku sendiri yang
telah membikin susah Sicek."
Pwe-giok menggeleng dan tidak
tahu apa yang harus diucapkan lagi.
Oh-lolo lantas mengejek,
"Kalau kau sendiri toh selekasnya akan mati, untuk apa kau bersedih bagi
orang lain?"
"Jalan pikiran orang
seperti sicek, selama hidupmu tak mungkin dapat memahaminya." kata Lui-ji.
"Sebab orang semacam kau, yang selalu kau perhatikan hanya dirimu sendiri,
sedangkan sicekku, dia... dia selalu memperhatikan kepentingan orang
lain.." "Hm, dia selalu memikirkan kepentingan orang lain?"
jengek Oh-lolo. "Mengapa dia tidak memperhatikan kepentinganmu?"
Lui-ji tidak menanggapinya
lagi, tapi di dalam hati terasa manis dan bahagia.
Sekarang meski diketahui
dirinya pasti akan mati, namun dia tidak takut, sebab ia tahu di dunia ini
sedikitnya ada seorang yang dapat memperhatikan keselamatannya.
PWe-giok sama sekali tidak
paham perasaan anak gadis semacam ini, sudah tentu, seumpama dia paham, dalam
keadaan demikian dan pada saat begini, tentu pula dia tidak tega melukai
perasaannya.
Dalam pada itu Siang Ji-long
telah menyeret kuda mati itu ke tengah dan mulai menyembelih perutnya. Isi
perut kuda itu dibetotnya keluar semua.
Hampir tumpah Lui-ji, Tadinya
ia mengira makhluk yang paling berbisa di dunia ini adalah ular dan yang paling
keji adalah serigala, tapi sekarang ia baru tahu bilamana seorang sudah gila,
terkadang manusia jauh lebih menakutkan daripada ular berbisa dan serigala
kelaparan.
Pwe-giok dapat merasakan tubuh
anak dara itu lagi gemetar, dengan suara lembut ia menghiburnya, "terhadap
orang gila begini, asalkan kau tutup mata dan tidak memandangnya, tentu kau
takkan merasa takut."
"Aku tidak takut, aku
cuma merasa sedih." Kata Lui-ji dengan menghela napas pelahan, lalu
menyambung pula sambil menunduk, "Mestinya ada kesempatan lari bagiku,
tapi sayang, kini kesempatan itu sudah ku bikin runyam."
Seketika Oh-lolo melotot,
hampir saja ia berteriak, "Apa katamu?"
"Tadi waktu kalian
terbius dalam kereta, aku sendiri masih sadar, dari atap kereta dapat kutemukan
sepotong dupa bius, sisa setengah potong lidi dupa itu telah
kusembunyikan."
Mencorong terasa sinar mata
Oh-lolo, ia menegas dengan suara tertahan, "Dan setengah potong lidi dupa
itu kini berada padamu? Alangkah bagusnya jika dapat kita lemparkan lidi dupa
itu ke gundukan api unggun, orang-orang itu sedang gila tentu takkan memperhatikan
hal ini,:
"aku pun sudah memikirkan
hal ini," kata Lui-ji. "Kupikir, sekalipun kau dan... dan Sicek juga
roboh terbius bersama mereka, tentu aku pun dapat meloloskan diri, sebab pada
waktu mereka meringkus tanganku dengan tali, aku pura-pura tak sadar, tapi
diam-diam kugunakan tenaga sehingga tanganku tidak terikat dengan erat."
Dia berhenti sejenak dan
menghela napas, lalu menyambung pula, "Tapi sekarang, semua itu tak ada
gunanya lagi."
"Sebab apa?" desis
Oh-lolo dengan suara parau. "Sebab pada waktu si gila bicara dengan
Thian-can-kaucu tadi, di luar tahu mereka telah kulemparkan setengah potong
lidi itu ke sana, kukira akan dapat mencapai gundukan api unggun itu, siapa
tahu..."
"Masa lemparanmu tidak
mencapai tempat tujuan? Oh-lolo menegas dengan suara serak.
"Betul, sebab waktu itu
aku terlalu tegang, ketika melempar, tanganku terasa kejang dan..."
"Lalu terlempar kemana
setengah potong lidi dupa itu?" tanya Oh-lolo.
"Dapatkah kau lihat
sepotong benda yang serupa tusuk kundai di depan kepala Thian-can-kaucu itu?
Nah, itulah dupa bius tersebut." jawab Lui-ji.
Waktu itu Thian-can-kaucu
Siang Bok-kong telah terkulai di tanah seperti orang mati, persis di depan
kepalanya memang betul ada setengah potong dupa warna perak, kira-kira satu
meter jauhnya dari gundukan api unggun.
Dengan gemas Oh-lolo mengomel,
"Kau budak mampus, kalau kau sendiri tidak becus, mengapa kau sok pintar
sendiri, tapi tanganmu ternyata lebih goblok daripada kaki keledai, lebih baik
kau potong saja tanganmu."
Sekali ini Lui-ji diam saja
manda dimaki. Tapi Pwe-giok lantas berkata dengan lembut.
"Padahal kalau kau
serahkan lidi dupa bisu itu kepadaku, mungkin satu jengkal saja tidak kuat
kulemparkan."
Lui-ji menunduk, katanya,
"Omelan Oh-lolo memang tidak salah, sesungguhnya aku memang sok pintar,
sebab maksudku ingin membikin ... dan girang Sicek, agar Sicek tahu aku juga
mampu berbuat sesuatu, siap tahu... "
"Siapa tahu kau ini
seorang tolol, gadis goblok." Oh-lolo mencaci maki pula, "kau tidak
cuma membikin celaka orang lain, juga membikin susah dirinya sendiri. Yang kau
pikirkan hanya ingin pamer di depan Ji Pwe-giok, kau kira dia akan suka padamu?
Huh, kau cuma dianggapnya seperti anak kecil saja, apalagi kekasihnya yang jauh
lebih cantik tak terhitung banyaknya, mana dia bisa menyukai budak cilik
ingusan macam kau ini."
Seketika Lui-ji menggigil
pula, ucapnya dengan suara terputus, "Kau... kau tua... tua bang..."
Belum lanjut umpatannya,
mendadak seorang menjerit ngeri, "Aduh tanganku... tanganku...
tanganku..."
Sejak Ji-suhengnya, yaitu si
jerangkong hidup dirobohkan Siang Ji-long, ke enam murid Thian-can-kau yang
lain sama berdiri mematung di pojok sana, tidak berani bergerak, bahkan
bernapas pun tidak berani keras-keras. Tapi sekarang salah seorang di antaranya
dengan mengangkat kedua tangannya ke atas, di bawah cahaya api kedua tangannya
kelihatan hitam dam bengkak.
Siang Ji-long tidak
menggubrisnya, seperti orang gila dia masih terus mengaduk isi perut kuda mati
itu.
Pwe-giok memandang Lui-ji
sekejap. "Kembali kau lagi?"
Lui-ji menggigit bibir,
katanya, "Habis siapa suruh dia sembarangan menggerayangi tubuhku, dia
yang mencari mampus sendiri."
Kembali mencorong mata
Oh-lolo, tanyanya, "Jadi orang itu hanya meraba sekali di tubuhmu lalu
tangannya berubah begitu?" Lui-ji mengiakan.
Wajah Oh-lolo tampak
berseri-seri dan gembira ria, katanya, "Ai, nona yang baik, bilamana kau
pun dapat memancing Siang Ji-long merabai tubuhmu, maka dapatlah kita
tertolong."
Seketika Lui-ji menarik muka
dan tidak menanggapinya.
Dengan suara tertahan Pwe-giok
lantas berkata, "Mati atau hidup sudah suratan nasib, sekalipun kita harus
mati juga si gila itu tidak boleh menyentuh seujung jarinya."
Lui-ji menunduk dengan penuh
rasa terima kasih.
Oh-lolo melirik ke arah Siang
Ji-long, ucapnya dengan tertawa terkekeh, "Tapi kalau dia berkeras akan
merabanya, apa daya kita?"
"Jika dia berani berbuat,
tentu akan kuberitahukan bahwa di tubuh Lui-ji terdapat racun," kata
Pwe-giok.
"Jadi kau lebih suka
mati?" tanya Oh-lolo dengan melengak.
"Daripada hidup terhina,
kan lebih baik mati, pantang menyerah," jawab Pwe-giok hambar.
Oh-lolo melenggong sejenak,
katanya kemudian sambil menyengir, "Siang Ji-long orang gila, tapi Ji
Pwe-giok orang maha goblok, sungguh sial tujuh turunan dapat kutemui dua orang
macam begini."
Pada saat itulah mendadak
terdengar Siang Ji-long bersorak gembira, teriaknya, "Aha, ini dia, di
sini, sudah kutemukan!"
Semua orang jadi
terheran-heran, entah si gila itu menemukan apa didalam perut kuda. Hanya
Pwe-giok saja yang segera melihat tangan Siang Ji-long memegang satu biji
mutiara yang mengkilat.
Dalam pada itu murid
berseragam hitam yang tangannya hitam bengkak tadi lantas menyembah kepada
Siang Ji-long sambil berteriak, "Tangan ... tanganku, Toa-suheng, mohon
.... mohon belas kasihan Toa-suheng, tolong .... tolonglah ...."
Gemerdep sinar mata Siang
Ji-long, tanyanya, "Tanganmu keracunan?"
Orang itu menyembah pula
berulang-ulang, ratapnya. "Selamanya Siaute taat dan setia terhadap
Toa-suheng, mohon .... mohon Toa-suheng suka ...."
"Apakah kau kira aku yang
meracuni kau?" bentak Siang Ji-long dengan gusar.
"Siaute pantas mampus,
mohon belas kasihan Toa-suheng," demikian orang itu masih terus meratap
dan memohon.
Siang Ji-long menyeringai,
ucapnya, "Kau sendiri keracunan, tapi tidak tahu siapa yang meracuni kau,
untuk apa orang macam begini dibiarkan hidup, hanya bikin malu Thian-can-kau
saja ..."
Wajah murid itu menjadi pucat,
serunya dengan gemetar, Toasuheng, engkau ....."
Belum habis ucapannya,
mendadak Siang Ji-long menyayat perutnya dengan pisau yang dibuatnya menjagal
kuda tadi. Seketika darah segar terpancur keluar dan membasahi tubuh Siang
Ji-long.
Tanpa berkedip dan juga tidak
mengusap darah yang membasahi wajahnya, dengan tertawa siang Ji-long berkata pula,
"Sekarang tahukah kau untuk apa kusuruh kau menunggu lagi satu jam?"
Ucapannya ini jelas ditujukan
kepada Cu Lui-ji.
Mau-tak-mau Lui-ji berkata,
"Memangnya apa yang kau temukan di dalam perut kuda?"
"Ini!" seru Siang
Ji-long sambil membuka telapak tangannya, maka dapatlah Lui-ji melihat satu
biji benda kecil terbuat dari perak, mirip sebuah bola kecil.
"Mainan apakah itu
?" tanya Lui-ji sambil berkerut kuning.
"Lihat!" kata Siang
Ji-long sambil mengekeh tertawa, dengan dua jarinya dia putar bola kecil itu,
mendadak bola perak itu terbelah dua dan menggelinding keluar sebutir Lakwan
(bola malam) ketika Lakwan itu dipecah, terdapat secarik sutera putih
didalamnya.
Pada kain putih itu tertulis
huruf kecil, kiranya sepucuk surat.
"Sekarang kau paham tidak?"
tanya Siang Ji-long sambil tertawa.
"Demi sepucuk surat,
begini besar tenaga yang dikeluarkan, kukira agak kurang setimpal," uajr
Lui-ji dengan tak acuh. Meski begitu ucapannya, namun di dalam hati sebenarnya
sangat heran dan terkesiap.
Jelas pengirim surat itu
kuatir si pengantar surat akan membocorkan rahasia isi surat itu, maka surat
itu sengaja disembunyikan di dalam perut kuda, kecuali si penerima surat, siapa
pun takkan menyangka di dalam perut kuda ada surat penting dan sukar ditemukan
oleh siapa pun juga.
Jadi pengirim surat itu
sengaja mengorbankan seekor kuda sebagai alat pengirim surat, bahkan sebelumnya
jelas sudah ada janji dengan Siang Ji-long agar nanti membunuh orang yang
datang dengan menggunakan kuda ini.
Demi keamanan sepucuk surat,
orang itu tidak sayang mengorbankan nyawa satu orang dan seekor kuda, betapa
hati-hati tindak-tanduknya dan betapa keji caranya, sungguh jarang ada
bandingannya di dunia ini.
Begitulah Lui-ji memandang
kain surat itu dengan cermat, sedapatnya ia ingin menemukan sesuatu rahasia
pada benda itu, ingin diketahuinya sesungguhnya gerangan siapakah pengirim
surat itu?
Berbeda dengan Oh-lolo, nenek
itu sejak tadi terus menerus mengawasi setengah potong lidi dupa, dia hanya
berharap hendaknya setengah potong lidi dupa itu bisa mendadak bergeser ke
tengah gundukan api unggun sana.
Cuma sayang, tiada terdapat
embusan angin di dalam gua ini sehingga lidi dupa itu tidak mungkin berjalan
sendiri. Oh-lolo pun tahu harapannya itu hanya mimpi belaka.
Siang Ji-long sedang
membolak-balik membaca surat itu, tampaknya dia sangat gembira, setiap kali
habis membaca tentu dia tertawa.
Tidak kepalang gemas CU Lu-ji,
kalau bisa ingin dirampasnya surat itu.
Tiba-tiba didengarnya Siang
Ji-long berkata: "Apakah kau ingin membaca surat ini?".
Lui-ji terkesiap dan juga
bergirang, tapi ia sengaja menjawab dengan hambar, "Ah, untuk apa kubaca
surat yang tiada menyangkut kepentinganku?"
"Akan kuperlihatkan surat
ini padamu," kata Siang Ji-long dengan menyeringai. "Sebab ku tahu kau
pasti akan menjaga rahasia bagiku. Di dunia ini hanya orang mati saja yang
dapat menjaga rahasia".
Lalu dia membentang kain surat
itu di depan mata Cu Lui-ji.
Surat itu tertulis:
Siang-kaucu yang mulia.
Apabila surat ini anda terima,
tentu pula tepat pada saat Anda naik tahta. Mengingat bakat dan kepandaian Anda
yang tiada taranya kejayaan Kau kalian jelas akan berkembang dalam waktu
singkat ini. Untuk itu kami tidak saja ikut merasa bahagia bagi kejayaan Kau
kalian, tapi juga merasa bersyukur bagi sesama umat persilatan.
Adapun urusan yang pernah kita
rundingkan sudah tidak menjadi persoalan lagi, kujamin sepenuh tenaga bahwa
pada pertemuan besar Hong-ti yang akan datang pasti akan kuserahkan kedudukanku
ini kepada pihak yang lebih berwenang, kami pasti akan mendukung Kau sekalian
sebagai pejabat Bengcu.
Setelah Anda memegang pucuk
pimpinan, maka baik Bu-tong maupun Siau-lim harus tunduk juga di bawah pimpinan
Anda. Hanya saja urusan ini masih perlu dirundingkan lagi dengan lebih
terperinci, untuk ini diharapkan dalam waktu 10 hari Anda dapat berkunjung
kemari.
Demikian hendaknya Anda maklum
dan kami menantikan kedatangan Anda.
Di bawah surat ini tidak ada
nama terang si pengirim surat, hanya ada tanda tangan saja.
Siang Ji-long menengadah dan
bergelak tertawa, katanya kemudian: "Nah, sudah kau baca? Selanjutnya
Thian-can-kau kami tidak akan bersaing dengan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay,
bahkan mereka harus tunduk di bawah pimpinanku"
Sekujur badan Pwe-giok terasa
gemetar sehabis membaca surat itu, dengan suara serak ia bertanya:
"Siapakah yang menulis surat ini?"
"Siapa lagi yang berhak
menulis surat ini kecuali Bu-lim-bengcu saat ini, Ji Hong-ho, Ji-tayhiap!"
seru Siang Ji-long.
Pwe-giok menghela napas
panjang-panjang dan tidak bicara lagi.
Gemerdep sinar mata Lui-ji,
ucapnya: "Pantas kau kegirangan setengah mati sehabis membaca surat ini,
kiranya Ji Hong-ho berjanji akan mendukung kau ke singgasana
Bu-lim-bengcu!"
"Ya, selain dia, siapa
lagi yang mempunyai kemampuan demikian?" ujar Siang Ji-long dengan riang
gembira.
"Betul, kecuali dia,
sekalipun orang lain bicara demikian juga takkan kau percayai" tukas
Lui-ji.
"Memang begitulah"
sambung siang Ji-long
"Kalau dia sudah menyebut
kau sebagai Kaucu, agaknya sebelum ini kalian sudah bersepakat asalkan mampu
membunuh Siang Bok-kong maka dia akan mengangkat kau sebagai Bu-lim-bengcu pada
pertemuan Hongti yang akan datang. Sebaliknya jika kau tidak mampu membunuh
Siang Bok-kong, tapi malahan terbunuh, maka Siang Bok-kong juga takkan tahu ada
surat tersembunyi di dalam perut kuda, rahasia ini selamanya juga takkan
diketahui oleh siapapun"
"Betul, justeru di
sinilah kecermatan cara bekerja Ji-tayhiap" ujar Siang Ji-long.
"Dan karena sebelumnya
antara kalian sudah ada perjanjian rahasia, maka dia membiarkan kau mengintai
gerak-gerik Gin-hoa-nio di Li-toh-tin, sebab itu pula tanpa susah payah dapat
kau bawa pulang Gin-hoa-nio ke sini" kata Lui-ji pula.
"Betul, kau memang
pintar, sekarang segalanya tentu sudah jelas bagimu" ujar Siang Ji-long
dengan gelak tertawa.
"Tapi apakah benar-benar
kau percaya kepada janji Ji Hong-ho?" jengek Lui-ji. "Berdasarkan apa
dia mau mendukung kau menjadi Bu-lim-bengcu?"
Siang Ji-long menyeringai,
ucapnya: "Ini adalah urusanku, kau tidak perlu ikut campur. Aku cuma ingin
tanya padamu, kau suka mati digeragoti Thian-can atau lebih suka badan
disayat-sayat oleh pisau?"
"Aku lebih suka digigit
mati oleh anjing gila," jawab Lui-ji tiba-tiba dengan tertawa.
"Cara mati demikian cukup
menarik juga, cuma sayang di sini tak ada anjing gila," kata Siang Ji-long
dengan tertawa, ia tidak sadar bahwa yang dimaksudkan anjing gila oleh Cu
Lui-ji justeru adalah dia sendiri.
Maka Lui-ji lantas berkata,
"Siapa bilang di sini tidak ada anjing gila? Bukankah di depanku sekarang
ada seekor?"
Saking gusarnya muka Siang
Ji-long berubah pucat, segera ia tertawa latah pula, katanya, "Bagus,
bagus sekali caci-makimu, bilamana nanti kalian tidak kusuguhi rasanya 10 macam
hukum siksa agama kami, anggaplah aku tidak menghormati kau!"
Sambil tertawa seperti orang
kalap, ia membalik ke sana untuk mengambil kotak perak berisi ulat buas tadi.
Meski merasa merinding, tapi
dalam keadaan demikian Cu Lui-ji sama sekali tidak berdaya. Selagi ia hendak
mencaci-maki pula sepuasnya dari pada cuma mati konyol, pada saat itulah
tiba-tiba Oh-lolo mendesis padanya, "Ssst, tahan napas dan jangan buka
mulut!"
Lui-ji melengak, waktu ia
pandang setengah potong lidi dupa tadi, ternyata sudah hilang.
Ia terkejut dan bergirang,
sungguh tak dapat dibayangkan cara bagaimana sisa lidi dupa bius itu dapat lari
ke gundukan api unggun. Segera ia ingin bertanya, tapi Oh-lolo sudah mendahului
memberi keterangan, "Siang Bok-kong belum mati, dia masih dapat
bernapas."
Dilihatnya Siang Ji-long telah
berpaling lagi ke sini, cepat nenek itu tutup mulut. Tapi sekarang Lui-ji sudah
tahu Siang Bok-kong yang meniup sisa lidi dupa itu ke gundukan api unggun.
Saat itu dupa bius itu tentu
sudah mulai terbakar, saking senangnya Lui-ji merasa jari sendiri sama kaku,
cepat ia menahan napas dan juga memejamkan mata, ia berlagak seperti orang yang
pasrah nasib dan menanti ajal.
Di dengarnya Siang Ji-long
lagi berkata, "Apakah kau ingin melihat bagaimana bentuk Thian-can? Inilah
makhluk yang paling cantik di dunia ini, beruntunglah kalian dapat
melihatnya."
Sekuatnya Lui-ji mengigit
bibir, seperti menahan perasaannya agar tidak bicara.
Siang Ji-long terkekeh-kekeh,
katanya pula, "Biarpun kau memejamkan mata juga tiada gunanya, sebentar
bila Thian-can sudah merayapi tubuhmu, ingin memejamkan mata saja mungkin tidak
bisa."
Meski yakin dirinya bakal
selamat, tapi bila membayangkan makhluk kecil yang lemas dan berkelogat-keloget
merayap di atas tubuhnya, seketika bulu roma Lui-ji sama berdiri.
Melihat anak dara itu
mengkirik, Siang Ji-long bertambah senang.
Tiba-tiba Pwe-giok menjengek,
"Hm, banyak juga orang gila yang pernah kulihat, tapi orang gila semacam
kau sungguh jarang ada."
"Apa katamu?" teriak
Siang Ji-long, dengan murka.
Pwe-giok menyambung pula.
"Di dunia ini ada dua macam orang gila. Yang semacam adalah lelaki gila
dan yang lain perempuan gila. Tapi kau ini orang gila yang bukan lelaki dan
juga bukan perempuan, orang gila semacam kau mungkin di dunia ini hanya kau
seorang saja."
Saking gusarnya sehingga gigi
Siang Ji-long gemerutuk.
Memakinya dengan kata-kata
"bukan lelaki dan bukan perempuan" rasanya jauh lebih sakit daripada
menyabetnya dengan cemeti.
Pwe-giok lantas menjengek
pula, "Dan lantaran kau sendiri merasa tidak mampu berbuat terhadap
perempuan, maka sedapatnya kau berusaha menyiksa mereka, sampai-sampai anak
dara ini pun tak kau lewatkan, mengapa kau tidak berani mencari diriku
saja?"
Orang berhati mulia seperti
Pwe-giok juga dapat mengucapkan kata-kata yang menyakitkan seperti ini, heran
juga Cu Lui-ji. Tapi setelah berpikir segera ia tahu maksud tujuan Pwe-giok.
Jelas dia kuatir sebelum dupa bius itu mulai bekerja dan Siang Ji-long lantas
menganiaya terhadap Lui-ji, maka dia sengaja memancing rasa marah Siang Ji-long
agar orang bertindak lebih dulu kepadanya.
Terharu Lui-ji, entah
bergirang, entah berterima kasih atau sakit? Tanpa terasa air matanya
berlinang.
Terdengar Siang Ji-long
berkata dengan menggreget." Baik, mestinya akan ku kerjai dulu nona cilik
ini, karena ucapanmu ini, boleh juga kuladeni kau lebih dulu. Bila dalam
sepuluh hari ku bikin kau putus napas, biarlah aku tidak she Siang."
"He, nanti dulu!"
mendadak Oh-lolo berteriak.
"Nanti apa?" bentak
Siang Ji-long dengan gusar.
"Jika sedikitnya akan kau
siksa dia sepuluh hari, tentunya kau pun tidak perlu terburu-buru, marilah
dengarkan dulu suatu ceritaku yang sangat menarik."
Maksud Oh-lolo bukanlah ingin
menolong Pwe-giok, sebab ia tahu apabila dia tidak berusaha mencegahnya, tentu
tanpa menghiraukan akibatnya Cu Lui-ji akan bicara juga, terpaksa ia mendahului
anak dara itu.
Siapa tahu Siang Ji-long cuma
menyeringai saja dan berkata, "Kukira akan lebih asyik dan menarik
bilamana sambil mendengarkan ceritamu kita juga mendengarkan rintihannya."
"Tunggu sebentar,"
kata Oh-lolo, "jika dia ribut di sebelah, cara bagaimana kau dapat
mengikuti ceritaku dengan jelas. Padahal ceritaku ini sangat erat hubungannya
dengan pertemuan besar Hongti itu"
Dia mengira kata
"pertemuan Hongti" pasti akan menarik perhatian Siang Ji-long, siapa
tahu orang justru tidak menggubrisnya sama sekali, apa pun yang diucapkannya
tiada yang menarik hati baginya. bahkan siang Ji-long lantas menaruh dua kotak
perak berisi ulat buas di atas tubuh Pwe-giok, sebelah tangannya sudah mulai
membuka tutup kotak.
Entah bagaimana perasaan
Pwe-giok memandangi tangan yg cacat dan berlumuran darah, kurus seperti cakar
setan itu, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa dirinya akan mati di bawah
tangan semacam ini.
Dia yang sudah kenyang
menghadapi detik-detik yang gawat, soal mati dan hidup baginya tidak lagi
merupakan sesuatu yang penting, akan tetapi setiap kali bila menghadapi
kematian mau-tak-mau timbul juga rasa takutnya.
Tapi sekarang tangan yang
menyerupai cakar setan ini rada menimbulkan rasa mualnya.
Tiba-tiba ia melihat
"cakar setan" ini rada gemetar, pandangan sendiri mulai samar-samar
sampai rasa mualnya juga tidak dapat dirasakan lagi .....
Waktu ia siuman kembali,
dilihatnya Cu Lui-ji berdiri di depannya dengan wajah berseri-seri gembira,
malahan anak dara itu memegang kipas lempit milik Siang Ji-long.
Pwe-giok tahu di dalam kipas
itulah tersimpan obat penawarnya, ia pun tahu segala mara bahaya sudah
dilampauinya, ia menghela napas panjang dan bertanya, "Kau .... kau tidak
apa-apa, bukan?"
IP03P4849
"Mestinya akulah yang bertanya
demikian padamu," ucap Lui-ji dengan tersenyum. Ia memayang bangun
Pwe-giok, lalu berkata pula, "Akupun tidak menyangka dupa bius itu dapat
bekerja secepat itu, selagi gelisah, tahu-tahu Siang Ji-long menguap terus
roboh terkapar."
"Hanya ujung dupa saja
yang menyala sudah mempunyai daya bius yang sangat kuat, apalagi seluruh lidi
dupa dibakar, tentu saja bekerjanya jauh lebih cepat," ucap Pwe-giok
dengan tersenyum.
Mendadak ia melihat
pergelangan tangan Cu Lui-ji terluka, "He, tanganmu ....."
Lui-ji tertawa, tuturnya,
"Tidak apa-apa, karena tali pengikat tanganku tadi terlalu kuat dan sukar
dibuka, terpaksa ku geser ke gundukan api unggun sana dan membakarnya dengan
api." Dia pandang Pwe-giok lekat-lekat, lalu bertanya dengan menggigit bibir.
"Kau ... kau benar-benar tidak apa-apa?"
"Hanya kaki dan tangan
terasa agak lemas, tak dapat mengeluarkan tenaga," jawab Pwe-giok.
"O, tidak menjadi soal
kalau begitu, selang sebentar lagi tentu akan pulih kembali," kata Lui-ji
dengan wajah cerah. "Masih untung dupa bisa semacam ini, ada dupa bius
jenis lain, biarpun mendapatkan obat penawarnya, sedikitnya perlu rebah
beberapa hari lagi baru dapat bergerak."
Lalu ia mendekati Oh-lolo
untuk menolongnya, melihat keadaan Gin-hoa-nio yang mengenaskan itu, tanpa
terasa ia menghela napas, katanya sambil menoleh kepada Pwe-giok, "Meski
dia tidak tergolong orang baik, tapi nasibnya harus dikasihani juga, biarlah
kita membawanya pergi saja"
"Ya, boleh," kata
Pwe-giok. Lalu ia meronta dan bergeser kesana, ia goyangkan tubuh Oh-lolo
dengan keras sambil berteriak, "Sesungguhnya dimana kau simpan obat
penawarmu, kalau diambil sekarang keburu tidak?"
Oh-lolo membuka matanya,
ucapnya dengan tertawa, "Busyet, rupanya kau belum lupa ......"
"Mana bisa lupa,"
kata Pwe-giok dengan gusar. "Pendek kata, bila kau tak dapat menawarkan
racun Lui-ji, segera ku ....."
"Kalau tidak keburu lagi
waktunya, biar kau bunuh diriku juga tidak ada gunanya," ucap Oh-lolo
dengan adem-ayem. "Tapi kau pun tidak perlu gelisah, kalau sekarang juga
kita berangkat, ku jamin dia masih dapat tertolong."
Pwe-giok menghela napas lega,
katanya, "Jika demikian, ayolah lekas berangkat!"
"Dan bagaimana dengan
Thian-can-kaucu ini?" tanya Lui-ji tiba-tiba.
Pwe-giok berpikir sejenak,
katanya kemudian, "Betapapun orang ini adalah seorang pemimpin suatu
aliran besar, sepantasnya kita menolong dia. Cuma sayang, racun yang biasa
digunakan Thian-can-kau mereka tidak dapat kita punahkan."
"Kalau begitu, sekalian
kita tambahi saja sekali bacok," usul Oh-lolo sambil berkerut kening.
"Melihat orang tertimpa
bahaya tanpa menolong sudah mengingkari jiwa kaum pendekar, mana boleh kita
mencelakai orang yang tidak mampu melawan." kata Pwe-giok.
"Sekarang tidak kau bunuh
dia, bisa jadi kelak kau yang akan mati di tangannya," ujar Oh-lolo.
"Apa yang akan terjadi
kelak adalah urusan kelak," jawab Pwe-giok.
"Inikah yang kau anggap
perbuatan kaum pendekar?" jengek Oh-lolo. "Hun, ini tidak lebih
adalah jalan pikiran kaum perempuan."
"Jalan pikiran kaum
perempuan yang bajik lebih baik daripada jalan pikiran yang tidak berbudi dan
busuk," jawab Pwe-giok acuh.
Oh-lolo menghela naps,
gumamnya, "Tahukah kau orang seperti dirimu ini makin sedikit di dunia
ini, sebab orang semacam dirimu ini tentu takkan berumur panjang."
Mendadak Cu Lui-ji menjemput
sebilah belati terus mendekati Siang Ji-long.
"He, mau apa kau?"
tanya Pwe-giok.
"Apa pun yang dikatakan
Sicek pasti kuturuti," ucap Lui-ji dengan menunduk, "tapi orang ini
tidak boleh tidak harus kubunuh, sebab kelak kuingat dia ini masih ada seorang
macam dia ini, mungkin tidur saja tidak dapat nyenyak."
Sekonyong-konyong suara
seorang menanggapi dengan perlahan, "Kukira lebih baik orang ini
diserahkan saja kepadaku dan akan kubereskan dia, tidak perlu nona ikut
membuang tenaga dan pikiran baginya."
Suara ini perlahan dan seperti
timbul dari samping mereka.
Padahal di dalam gua ini
sekarang hanya terdapat Ji Pwe-giok, Cu Lui-ji dan Oh-lolo bertiga, orang lain
sudah lama menggeletak tak berkutik.
Lalu suara siapakah dan terucap
darimana ?
Di bawah cahaya api yang
gemerdep, tonggak-tonggak batu itu seolah-olah akan terbang ke atas, Lui-ji
merasa sekujur badan menggigil, ia menyurut mundur dan memegang tangan Pwe-giok
erat-erat, tanyanya dengan lirih, "Siapa kau? Dimana kau?"
Dengan tertawa suara itu
menjawab," Aku ada di depan nona, masakah nona tidak melihatnya?"
Di tengah suara gelak tertawa,
seorang berbangkit perlahan dari atas tanah. Nyata dia adalah Thian-can kaucu
Siang Bok-kong yang sudah sekarat tadi.
Cahaya api unggun seketika
guram dan mengepulkan asap hijau sehingga suasana bertambah seram, ditengah
kepulan asap itu wajah Siang Bok-kong kelihatan sudah membusuk, sampai mata
hidungnya juga sukar dibedakan lagi, mukanya sekarang lebih mirip buah tomat
yang membusuk.
Namun kedua matanya masih
tetap bersinar gemerdep seperti cahaya kilat.
"Aha, kukira siapa, tak
tahunya kau!" seru Lui-ji dengan tertawa. Meski dia lagi bicara dan
tertawa, tapi kedua tangganya sudah mulai bergerak.
Pwe-giok tahu anak dara itu bermaksud
menubruk maju selagi Siang Bok-kong tidak berjaga-jaga, ia tidak mampu mencegah
lagi, sebab dalam keadaan demikian terpaksa ia harus membiarkan Lui-ji
mempertaruhkan segalanya.
Tak terduga Siang Bok-kong
lantas menjengek, "Kau masih kecil nona, tapi kau sudah boleh dikatakan
pintar dan tangkas, namun semua ini tetap tiada gunanya, biarpun sepuluh tahun
lagi kau masih tetap bukan tandinganku. Kalau ditambah Ji-kongcu dan Oh-lolo
ini mungkin kalian dapat menandingi diriku, cuma sayang untuk kedua kalinya
mereka telah terkena Cu-bong-hiang (dupa wangi mimpi), dalam waktu tiga jam
jangankan hendak bertempur denganku, bahkan mengangkat pedang saja tidak
kuat."
Dia bicara dengan sangat
lambat, bicara sampai di sini, keringat dingin sudah membasahi baju Cu Lui-ji,
sebab ia tahu apa yang dikatakan Siang Bok-kong itu memang bukan bualan belaka.
Terdengar Siang Bok-kong
mengekek tawa, lalu berkata pula, "Apalagi sudah kuselamatkan jiwa kalian,
pantasnya kalian berusaha membalas budi, kenapa malah hendak menyerang
diriku?"
"Kau ... kau
menyelamatkan jiwa kami?" Lui-ji menegas dengan melengak.
"Memangnya nona mengira
setengah potong lidi dupa itu dapat melompat sendiri ke dalam gundukan api
unggun?" jawab Siang Bok-kong.
"Masa engkau yang
....." Lui-ji melengak.
"Kalau tidak kutiup
dengan hawa murniku, mana bisa dupa wangi itu bekerja secepat ini?" tukas
Siang Bok-kong.
Berputar biji mata Lui-ji,
serunya, "Sekalipun benar kau yang meniup lidi dupa itu ke dalam api,
kukira kami pun tidak perlu berterima kasih padamu, sebaliknya kau yang harus
berterima kasih kepada kami."
"Sebab apa?" Siang
Bok-kong juga melengak.
"Sebab kalau aku tidak
melemparkan setengah potong lidi dupa itu ke depanmu, maka riwayatmu pasti
tamat."
Mendadak Siang Bok-kong
menengadah dan terbahak-bahak, katanya, "Hahahaha! Betapapun nona memang
masih anak kecil."
Lui-ji menarik muka, omelnya,
"Huh, tidak perlu berlagak tua, kalau bukan ....."
Suara tertawa Siang Bok-kong
memutus ucapan anak dara itu, katanya, "Haha, apakah kau kira aku
benar-benar telah terjebak oleh murid murtad ini?"
Kembali Lui-ji melenggong,
tanyanya, "Masa dalam hal inipun kau juga main sandiwara?"
"Betul," tutur Siang
Bok-kong. "Sebab sebelumnya ku tahu murid murtad ini akan berbuat sesuatu
khianat, tapi aku pun tahu dia pasti tidak berani begitu apabila tidak ada yang
mendalanginya secara diam-diam."
"Oo, maka kau ingin
menyelidiki sesungguhnya siapa dalang di belakang layar, begitukah?" tanya
Lui-ji.
"Betul," jawab siang
bok-kong.
Rupanya kau tahu biarpun d
siksa juga Siang Ji-long takkan mengaku, maka kau sengaja pura-pura mati untuk
menunggu munculnya orang itu, betul atau tidak?"
"Ya, tapi aku juga tidak
menyangka bahwa orang di belakang layar itu ialah Hong-ho Lojin yang termasyhur
sebagai seorang yang berbudi luhur." ujar Siang Bok-kong dengan gegetun.
Tubuh Pwe-giok tergetar,
teriaknya mendadak, "jang ......" karena mendadak mendengar nama
ayahnya dinista orang, dengan sendirinya ia berduka dan marah, ingin dia
membantahnya, namun urusan ini terlalu pelik, terlalu majemuk dan teramat aneh,
seumpama diuraikannya juga Siang Bok-kong takkan percaya, bahkan mungkin akan
membikin urusan tambah runyam.
Untung Siang Bok-kong tidak
memperhatikan perubahan sikap dan air mukanya itu, ia berkata pula, "Murid
murtad itu memang berhati keji, di dalam gagang belatinya tersimpan
Thian-can-seng-cui (air suci ulat langit) yang sangat berbisa, satu tetes saja
mengenai tubuh, ketika seluruh badan akan membusuk, tidak sampai setengah jam
tulang pun akan rapuk dan hancur menjadi onggokan daging cacah."
Lui-ji menarik napas dingin,
katanya, "Jelas kulihat air berbisa itu menyemprot ke mukamu, kenapa kau
tidak mati?"
"Murid durhaka ini pun
tahu akan kelihaian air ini, maka dia yakin aku pasti mati, dia menjadi gembira
dan lupa daratan, lalai sesuatu hal."
"Hal apa? tanya Lui-ji.
Siang Bok-kong tidak
menjawabnya, tapi tangannya terus mengusap muka sendiri, wajahnya yang semula
tampak membusuk itu seketika berubah secara ajaib.
Baru sekarang Pwe-giok dapat
melihat wajah asli Thian-can-kaucu Siang Bok-kong.
Terlihat wajahnya yang putih
bersih, cerah dan simpatik, pada waktu mudanya dia pasti pemuda yang cakap.
Tapi sekarang tiada tampak sifat aneh "si kakek cahaya perak" seperti
apa yang dilihatnya di istana bawah tanah tinggalan Siau-hun kiongcu dahulu,
juga tidak kurus kering dan jompo seperti waktu datang tadi. Sungguh Pwe-giok
tak mengerti mengapa orang ini suka menyamar dalam bentuk yang aneh-aneh,
sampai muridnya sendiri juga tidak kenal wajah aslinya.
Cu Lui-ji melenggong sejenak,
ucapnya kemudian dengan gegetun, "Kiranya dia tidak tahu kau memakai
topeng."
Siang Bok-kong tertawa,
katanya, "Topeng ini adalah hasil buatanku sendiri secara cermat, kedap
air dan tidak mempan dibakar. Sebab itulah, meski air berbisa ini sangat lihay
juga tidak dapat meresap ke balik topeng ini dan merusak wajahku."
Tiba-tiba Lui-ji tertawa dan
bertanya, "Wajahmu sebenarnya sangat bagus, mengapa kau memakai topeng
bermuka buruk begitu?"
"Sebab setiap orang yang
melihat wajah asliku, dia harus mati!" jengek Thian-can-kaucu Siang
bok-kong.
Kalau kata-kata ini tercetus
dari mulut orang lain mungkin tidak begitu menakutkan, tapi dalam keadaan dan
suasana seperti sekarang ini, mau-tak-mau ucapan orang tua itu membuat Lui-ji
bergidik, tanyanya dengan gemetar, "Masa kau ......."
"Tapi kau jangan kuatir,
ini pun bukan wajahku yang asli," tukas Siang Bok-kong dengan tertawa.
Keruan Lui-ji bertambah heran,
mestinya ia ingin tanya sesungguhnya bagaimana wajah aslinya, tapi pertanyaan
itu urung diucapkan. Ia cuma bertanya, "Lalu cara bagaimana akan kau
perlakukan kami?"
Gemerdep sinar mata Siang
Bok-kong, katanya perlahan, "Aku bukan orang yang berhati welas asih,
terlalu banyak pula rahasia yang kalian ketahui, apapun juga tidak boleh
kulepaskan kalian."
Cara bicaranya memang tidak
cepat, sekarang kata-katanya itu semakin lambat, hal ini makin menambah rasa
tegang Lui-ji, jantungnya serasa mau melompat keluar.
Bicara sampai di sini,
mendadak Siang Bok-kong melototi Pwe-giok sekejap, lalu berucap pula dengan
perlahan. "Namun kau tidak mau mencelakai diriku tatkala aku sedang
sekarat, maka sekarang aku pun takkan mencelakaimu pada waktu kalian tak
berdaya. Mulai sekarang perhitungan kita sudah lunas, tidak ada utang piutang
lagi, entahlah kelak bila bertemu lagi, entah kawan entah lawan, sukar
kukatakan!"
Oh-lolo bergirang,
timbrungnya, "Siang Kaucu memang tidak malu disebut sebagai seorang lelaki
sejati yang tegas membedakan budi dan benci."
Mendadak Siang Bok-kong
mendelik dan menyemprotnya, "Lebih baik kau tutup mulut saja, kalau tidak
mengingat bocah she Ji ini, umpama tidak kubunuh kau, sedikitnya akan kupotong
kedua tanganmu."
Seketika Oh-lolo kep-klakep
dan tidak berani bersuara lagi.
Dilihatnya Ji Pwe-giok seperti
mau omong apa-apa lagi, kuatir anak muda itu bicara lagi hal-hal yang tidak
perlu dan mendadak Siang Bok-kong berubah pikiran, cepat Oh-lolo berkata,
"Marilah kita lekas berangkat, bila terlambat tak berani ku jamin akan
keselamatan nona cilik ini."
oOo
Kereta yang membawa mereka ke
sini itu masih berada di luar gua, kuda-kuda itu sudah terlatih meski lari
terkejut, tetapi tidak jauh larinya, maka dengan mudah dapatlah kawanan kuda
itu dikumpulkan kembali.
Meski belum pernah mengendarai
kereta, tapi setelah dicoba sebentar, dapatlah Pwe-giok sekedar menjadi kusir
pocokan, ia ayun cambuk dan mempercepat lari kuda, rasa sedih bertumpuk-tumpuk
di dalam hati.
Mendadak didengarnya Lui-ji
menegurnya, "Sicek, ap .... apa yang kau pikirkan?"
Rupanya dari kabin kereta itu
ada sebuah jendela kecil yang menembus ke bagian tempat duduk kusir di depan,
maka jendela itu lantas digunakannya untuk berbicara dengan Pwe-giok.
"Aku sedang berpikir ...
" tutur Pwe-giok sambil menghela naps. "Thian-can-kaucu ternyata
seorang yang demikian, hal ini sungguh sangat di luar dugaanku. Tampaknya
selanjutnya dia pasti takkan melepaskan orang ..... orang she Ji itu."
"Perbuatan orang she Ji
itu pun terlampau keji," kata Lui-ji "kukira Siang Bok-kong juga tak
dapat berbuat apa-apa terhadapnya, sebab surat itu tidak diberi nama terang
pengirimnya, bisa jadi bukan ditulis oleh orang she Ji itu, sekalipun Siang
Bok-kong memperlihatkan bukti surat itu kan dapat disangkalnya dengan tegas,
betul tidak ?
"Biarpun begitu, kalau
Siang Bok-kong sudah bertekad akan memusuhi dia, tentu dia akan banyak
menghadapi kesulitan," ujar Pwe-giok.
"Orang she Ji itu
menghendaki Siang Ji-long mengunjunginya dalam sepuluh hari, sekarang Siang
Ji-long jelas tak dapat memenuhi undangan itu, apakah kau pikir siang Bok-kong
akan menggunakan kesempatan itu untuk mencari perkara padanya?"
"Bukan mustahil,"
jawab Pwe-giok.
"Kupikir dia pasti akan
pergi ke sana," kata Lui-ji. "Meski dalam surat itu tidak disebutkan
nama tempatnya, kalau siang Ji-long tahu, pasti Siang Bok-kong dapat memaksanya
mengaku."
"Ya, memang betul."
kata Pwe-giok.
Mendadak Lui-ji menghela
napas, katanya, "Sicek, seharusnya kau tanya lagi beberapa hal kepada
Siang Bok-kong, tentang urusan ... urusanku, biarpun lewat lagi satu-dua jam
juga tidak menjadi soal"
"Ya, memang betul,"
kata Pwe-giok.
Pwe-giok tertawa hambar,
ucapnya, "Sebenarnya tiada persoalan yang perlu kutanyai dia."
Gemerdep sinar mata Lui-ji,
katanya, "Masa Sicek tidak ingin tanya tempat pertemuan yang dijanjikan Ji
hong-ho dengan Siang Ji-long itu ?"
Pwe-giok berpikir agak lama,
lalu menjawab sekata demi sekata, "Tidak, aku tidak ingin tanya."
"Sebab apa?" Lui-ji
menegas.
Tapi sama sekali Pwe-giok
tidak menjawabnya.
"Biarpun Sicek tidak
menjawab juga ku tahu sebabnya," Lui-ji dengan rawan, "sebab Sicek
kuatir bilamana tempat pertemuan diketahui, tentu Sicek akan pergi ke sana,
padahal Sicek perlu menolong diriku, terpaksa menyampingkan urusan lain."
Tiba-tiba Pwe-giok tertawa,
katanya, "Maukah kau berbuat sesuatu bagiku?"
"Tentu saja mau,"
seru Lui-ji dengan terbelalak.
"Jika begitu, hendaknya
lekas kau tidur saja." kata Pwe-giok.
oOo oOo
Kereta itu dilarikan terlebih
cepat, berulang Oh-lolo memberi petunjuk arahnya dari kabin kereta, tapi sejauh
itu tidak mau menjelaskan nama tempat tujuan mereka. Rupanya ia kuatir bilamana
tempat tujuan sudah diketahui Pwe-giok, bisa jadi dia akan ditinggal di tengah
jalan. Terhadap nenek yang licin dan licik dan juga banyak curiga ini, Pwe-giok
benar-benar tidak berdaya.
Hari sudah gelap, tapi kereta
itu masih terus dilarikan sepanjang malam, entah sudah berapa jauhnya
perjalanan itu, tanpa kenal lelah Pwe-giok terus mengendarai kereta kuda itu,
sebab ia tahu sisa waktunya sudah tidak banyak lagi.
Sampai esok paginya sudah
genap tiga hari sedangkan jalan yang harus ditempuhnya entah masih berapa
jauhnya. Meski sangat lelah, terpaksa Pwe-giok bertahan sekuatnya.
Mereka hanya membeli makanan
sekadarnya ketika lalu di suatu kota kecil, Lui-ji membeli satu keranjang
jeruk, sepanjang jalan ia mengupas jeruk dan diberikan kepada Pwe-giok.
Anak dara itu kelihatan tidak
tentram, dia tidak sedih karena keselamatannya sendiri, tapi seperti ada
sesuatu rahasia yang tersimpan dalam lubuk hatinya, beberapa kali tampaknya ia
hendak bicara, tapi ditahan sebisanya.
Sesungguhnya rahasia apa yang
tersembunyi di dalam hati nona cilik itu?
Terhadap anak dara yang pintar
dan juga pengasih itu, Pwe-giok benar-benar tak berdaya apa pun.
Petangnya, sampailah mereka di
suatu kota yang tidak terlalu kecil.
Penduduk kota ini tentunya
bukan orang udik, tapi ketika melihat munculnya sebuah kereta kuda yang
dilarikan secepat ini, mau-tak-mau semua orang sama berpaling.
Orang berlalu lalang di jalan
raya cukup ramai, terpaksa lari kereta dilambatkan.
Di kedua tepi jalan terdapat
beraneka macam toko, tapi secara keseluruhan, rumah minum dan restoran
terhitung paling banyak. Rupanya penduduk kota ini pun serupa penduduk di
tempat lain, terhadap urusan lain boleh dikesampingkan, tapi terhadap perut
sendiri harus diperlakukan dengan istimewa.
Saat itu belum waktunya orang
makan malam, tapi di rumah makan sudah ramai terdengar bendo mencacah daging,
bau arak dan bau sedap masakan menimbulkan selera makan.
"He, berhenti,
berhenti!" seru Oh-lolo mendadak.
Pwe-giok terkejut dan cepat
menarik tali kendali, sebab tidak tahi apa yang terjadi, ia menoleh dan
bertanya, "Ada apa?"
"Sudah dua-tiga hari yang
dimakan hanya jajanan belaka, mumpung sekarang ada santapan lezat, kita harus
makan minum sepuasnya untuk memuaskan selera yang kutahan sekian lama,"
kata Oh-lolo.
"Kau ingin masuk
restoran?" Pwe-giok menegas.
"Betul," jawab
Oh-lolo dengan tertawa. "Baru saja ku cium bau sate kambing, tampaknya
restoran masakan khas utara yang bernama Ti-bi-lau itu lumayan juga."
Pwe-giok hampir tidak percaya
kepada telinga sendiri. Demi menempuh perjalanan dan memburu waktu, sudah
dua-tiga hari dia tidak bisa tidur dan tidak istirahat, tapi sekarang nenek
celaka ini justeru ingin masuk restoran untuk makan enak dan minum arak.
Kalau orang lain, bukan
mustahil nenek itu akan diberi suatu gamparan keras, paling sedikit juga akan
berjingkrak dan mencaci-maki.
Akan tetapi Pwe-giok memang
pemuda yang sabar, ia cuma diam sejenak, lalu berucap dengan tak acuh,
"Baiklah, mari kita ke sana."
Lui-ji melenggong, serunya.
"He, kau terima permintaannya?"
Pwe-giok mengiakan.
Oh-lolo tertawa, katanya,
"Jangan kau kira bocah ini hanya menurut saja setiap kehendakku, padahal
ia cukup maklum persoalannya, ia tahu biarpun berbantah denganku juga tiada gunanya,
toh akhirnya tetap harus memenuhi permintaanku."
-oOo oOo-
Masakan restoran Ti-bi-lau
memang harus dipuji. Selain daging kambing panggang atau sate kambing, bebek
panggangnya juga empuk dan lezat. Lui-ji merasa heran ketika melihat Oh-lolo
melalap sepotong kulit bebek panggang, dimakan dengan saus manis dan acar, ia
tanya, "Kenapa kau tidak makan dagingnya?"
Hampir saja makanan di dalam
mulut Oh-lolo tersembur keluar, ia tertawa dan menjawab, "Budak bodoh,
makan bebek panggang harus makan kulitnya, hanya orang tolol yang berebut makan
dagingnya."
"Masa?" kata Lui-ji
dengan ragu.
"Ya, masa belum pernah
kau makan bebek panggang?" tanya Oh-lolo.
Lui-ji terdiam sejenak,
ucapnya kemudian dengan hambar, "Apanya yang aneh kalau tidak pernah makan
bebek panggang? Bubur asin masakanku juga belum pernah kau rasakan!"
Oh-lolo terpingkal-pingkal
saking gelinya. Sedangkan Pwe-giok merasa terharu. Anak dara yang bersifat
keras ini ternyata tidak pernah makan bebek panggang yang sangat umum ini,
padahal di dunia ini masih banyak santapan enak lain yang tentu saja belum
pernah dilihatnya. Nyata dia belum lagi merasakan kesenangan orang hidup, tapi
kesengsaraan orang hidup sudah terlalu banyak dirasakannya.
Karena rasa haru dan duka itu
sehingga Pwe-giok tidak melihat ada seorang yang baru saja naik ke loteng
restoran itu, tapi mendadak mundur lagi ke bawah, hanya setengah kepalanya saja
menongol di ujung tangga untuk mengintip.
Setelah memandang sejenak,
lalu orang itu berlari pergi secepat terbang.
Tidak lama kemudian, di tengah
remang senja itu mendadak ada selarik sinar api hijau menjulang tinggi ke
udara.
oooX-0000-Xooo
Malamnya, udara ternyata jauh
lebih terang daripada waktu senja, sebab kini bulan sudah menghias di tengah
cakrawala. Sinar bulan di musim rontok biasanya memang lebih cemerlang. Jalan
raya yang rata membentang panjang itu seperti berlapiskan perak.
Pada waktu mereka makan,
Pwe-giok telah minta pegawai restoran agar berusaha mencarikan ganti dua ekor
kuda.
Kuda baru sudah tentu tidak
segagah kuda semula, tapi kuda yang gagah bagaimana pun kalau sudah berlari
terus menerus dua tiga hari tentu juga hampir roboh terkulai. Sebaliknya kuda
baru dengan tenaga baru tentu masih dapat berjalan cepat.
Begitulah Pwe-giok terus
mengendarai keretanya dan dilarikan lebih cepat, ia pikir waktu makan yang
terbuang itu harus dikejar kembali.
Sementara itu sudah larut
malam, jalan raya tidak nampak orang maupun kereta berlalu lalang.
Oh-lolo meraba perutnya yang
terisi penuh itu, katanya dengan tertawa, "Jangan gelisah, jangan
tergesa-gesa, kalau kubilang masih keburu tentunya tidak perlu kau
kuatir."
"Apakah tempat tinggalmu
sudah dekat?" tanya Lui-ji.
"Ya, tidak jauh
lagi" jawab Oh-lolo.
"Masih ada siapa lagi di
rumahmu?" tanya Lui-ji pula.
"Sudah tentu masih ada
sanak keluargaku, tidak banyak, juga tidak sedikit...." tapi nenek itu
tidak menjelaskan lagi.
Lui-ji ingin bertanya pula,
tapi segera terpikir olehnya umpama mau bicara tentu juga jangan harap akan
dapat memancing keterangan dari rase tua yang licin ini.
Mendadak terdengar suara
"serrrr" bergema di udara. Dari tempat kegelapan di tepi jalan
kembali ada selarik sinar api biru menjulang tinggi ke angkasa.
Oh-lolo tidak dapat melihat,
tapi dapat didengarnya, sambil berkerut kening ia bertanya: "Suara apakah
itu?"
"Tidak ada apa-apa"
jawab Pwe-giok, walaupun demikian ucapnya, di dalam hati iapun rada curiga.
Panah berapi yang biasanya
digunakan sebagai tanda bahaya itu tentunya takkan dilepaskan tanpa sebab
musabab. Sekarang panah berapi itu dilepaskan ketika kereta mereka lewat, jelas
yang dituju adalah mereka.
Lantas siapakah gerangannya?
Apakah Ji Hong-ho telah dapat mengetahui pula jejak mereka?
Makin cepat Pwe-giok melarikan
kudanya, tangan yang memegang tali kendalipun berkeringat dingin.
Pada saat itulah, mendadak ada
bayangan orang berkelebat di depan, seperti mau menghadang jalan mereka.
Pwe-giok menggreget, dengan
nekat ia cambuk kudanya dan menerjang terus ke depan.
Orang-orang itu tidak bersuara
menyuruh berhenti, tapi berbaris di tengah jalan sehingga kereta itu tampak
akan menubruk mereka.
Tubrukan keras begitu sungguh
luar biasa, sekalipun orang-orang itu adalah jago silat kelas tinggi, betapapun
badan mereka juga terdiri dari darah daging, mana sanggup tahan diterjang
sedahsyat itu oleh kereta yang dilarikan sedemikian cepatnya.
"Minggir! Kalau
tidak..." bentak Pwe-giok sambil ayun cambuknya.
Tapi belum lanjut ucapannya,
sekonyong-konyong dari tepi jalan melayang tiba dua batang tombak dan tepat
menyelonong masuk ke tengah ruji roda kereta, maka terdengarlah serentetan
suara "krek-krek" yang keras, ruji kereta sama patah, tapi roda juga
lantas terkunci oleh batang tombak sehingga tidak dapat menggelinding lagi.
Namun lari kuda tadi terlalu cepat sehingga kereta masih terseret maju cukup
jauh.
Suara roda kereta yang
menggosok tanah itu menimbulkan suara gemericit laksana jeritan binatang buas
yang sedang sekarat.
Dahi Pwe-giok penuh air
keringat dan sebagian sudah membasahi matanya, tapi dia masih terus berusaha
melarikan kudanya, namun karena roda kereta sudah terkunci sehingga seperti
direm tentu saja kereta tak dapat bergerak lagi.
Segera terdengar seorang
membentak dengan bengis, "Hm, ikan di dalam jaring masa ingin lari
lagi?"
Di tengah suara bentakan itu,
seorang lelaki berbaju hitam lantas tampil ke muka dan tepat menghadang di
depan kereta, tatkala mana lari kuda sudah berkurang karena roda kereta tak
dapat berputar, tapi kalau sampai tertumbuk, sedikitnya akan mencelat dan
menggeletak.
Namun lelaki itu tak gentar
sedikitpun, kedua matanya mencorong terang dan melototi kepala kuda dengan
gusar, mendadak kedua kepalan menghantam sekaligus, terdengar suara
"prak-prek" dua kali kereta pun tergetar.
Belum sempat kedua ekor kuda
itu meringkik, tahu-tahu sudah roboh terkulai, kepala kuda hancur memar terkena
hantaman lelaki itu.
Pwe-giok sendiri bertenaga
raksasa pembawaan, tapi tak terpikir olehnya bahwa di dunia ini benar-benar ada
orang yang mampu membinasakan kuda yang sedang lari. Seketika ia tercengang.
Di dalam kereta Oh-lolo dan Cu
Lui-ji tidak tahu apa yang terjadi di luar, mereka cuma merasa kereta itu
bergetar keras, lalu berhenti sama sekali.
"Ji-kongcu ini sungguh
banyak aral rintangannya, tidak sedikit orang yang selalu mencari perkara
padanya," ujar Oh-lolo dengan menghela nafas.
Lui-ji menggigit bibir, ia
membuka pintu kereta dan melompat keluar, tanpa memandang orang yang menghadang
di depan sana, ia menengadah dan tanya Pwe-giok yang nongkrong di atas
"Sicek, apakah kau kenal orang-orang ini?"
"Tidak." jawab
Pwe-giok.
Lui-ji berkedip-kedip, katanya
pula "Apakah mereka bukan anak buah orang itu (maksudnya Ji
Hong-ho)?"
"Tampaknya bukan,"
ujar Pwe-giok.
Lui-ji juga rada tercengang,
katanya pula, "Kalau begitu, jangan-jangan mereka adalah kaum bandit?"
"Juga bukan," jawab
Pwe-giok.
Baru sekarang Lui-ji
berpaling, memandang orang berbaju hitam itu.
Di bawah sinar bulan,
terlihatlah perawakannya yang ramping, tinggi semampai, berwajah hitam
mengkilat, kedua matanya yang besar jeli itu juga sedang memandangi Lui-ji
dengan rada terkesiap juga, agaknya orang itupun tidak menduga bahwa dari dalam
kereta akan keluar seorang nona cilik secantik ini.
Segera Lui-ji menjengek,
"Hm, tampaknya kau masih muda, kenapa tidak belajar yang baik, masih
banyak pekerjaan halal, kenapa sengaja menjadi bandit yang membegal dan
merampok?"
Pemuda baju hitam itu berkerut
kening, ia tidak menanggapi teguran Lui-ji, tapi berpaling dan tanya
orang-orangnya, "Apakah kalian tidak keliru?"
Salah seorang berseragam hitam
dibelakangnya cepat menjawab, "Tidak, tidak mungkin keliru, kulihat dengan
mata kepalaku sendiri."
Sinar mata pemuda baju hitam
yang mencorong itu segera beralih pula kearah Lui-ji, tanyanya dengan bengis,
"Kau she Oh?"
"Kau sendiri she Oh,
namamu Oh-soat-pat-to (ngaco-belo)," jawab Lui-ji.
Kembali pemuda baju hitam
mengernyitkan kening, ia berpaling dan tanya Pwe-giok, "Kau lebih tua,
kenapa kau tidak bicara?"
Pwe-giok tertawa hambar,
jawabnya, "Tengah malam buta begini kalian merintangi perjalanan orang lain,
membinasakan kuda orang, tidak tanya dulu juga tidak menjelaskan alasanmu, lalu
apa yang perlu kubicarakan?"
"Betul," tukas
Lui-ji, "jangan kaukira karena tenagamu besar, lalu kau akan berlagak
kereng didepan Sicekku. Orang semacam kau ini, sekali hantam saja Sicek akan
membikin kau mencelat lima tombak jauhnya."
Sekonyong-konyong pemuda baju
hitam menengadah dan bergelak tertawa, katanya, "Nona cilik, besar amat
nyalimu, dikolong langit ini, kecuali kau mungkin tiada orang kedua yang berani
bicara padaku seperti ini."
"Oo, jika demikian,
agaknya kau ini bukan sembarangan orang," ujar Lui-ji.
"Boleh kau tanya Oh-lolo
yang sembunyi didalam kereta itu, saat ini dia pasti sudah tahu siapa
diriku," kata pemuda baju hitam.
"Apakah kedatangan kalian
ditujukan kepada Oh-lolo?" tanya Pwe-giok.
Pemuda baju hitam berhenti
tertawa mendadak dan menjawab dengan kereng, "Betul, dan ada hubungan apa
antara kau dan dia?"
Pwe-giok menghela napas,
katanya, "Cayhe tidak ada hubungan apa apa dengan Oh-lolo, kalian hendak
mencari dia, sebenarnya Cayhe tidak boleh ikut campur, tapi sekarang
....."
"Dan sekarang kau pasti
akan ikut campur, begitu?" pemuda baju hitam menegas dengan bengis.
Pwe-giok tidak menjawab, ia
termenung sejenak, lalu bertanya pula, "Entah kalian ada permusuhan apa
dengan dia?"
Tiba-tiba pemuda baju hitam
bergelak tertawa pula, serunya, "Kau tanya ada permusuhan apa antara kami
dengan dia? Haha, bagus!" - Mendadak ia berpaling ke belakang dan
bertanya, "Ong-jiko, coba katakan, ada permusuhan apa antara kau dengan
Oh-lolo?"
Dengan suara parau seorang
berseragam hitam yang berdiri di ujung sana berkata, "Segenap keluargaku
yang terdiri dari 19 jiwa, seluruhnya mati di tangannya, istriku berlutut di
depannya dan memohon dengan sangat agar dia suka mengampuni ibuku yang sudah
berusia lebih 70 tahun itu, tapi dia ... dia tidak .... " sampai di sini
ia tidak sanggup meneruskan lagi karena air mata telah bercucuran.
"Dan kau, Tio-toako, ada
permusuhan apa antara kau dan Oh-lolo?" kembali pemuda baju hitam berseru.
Dengan suara gemetar Tio-toako
yang disebut itu lantas menutur "Meski bukan ibuku tapi .... tapi kelima
anakku, yang paling ... paling kecil baru berumur satu tahun, hanya disebabkan
mendiang ayahku pernah berbuat salah padanya, lalu dia ....dia membunuh
anak-istriku tanpa sisa seorang pun."
"Dan kau bagaimana,
Sun-heng?" tanya pula si pemuda baju hitam.
Orang she Sun itu tidak segera
menjawab, tapi dengan sisa sebelah tangannya dia menarik baju sendiri hingga
robek, tertampaklah sekujur badannya hitam hangus, kulit daging sukar dibedakan
lagi.
Dengan suara kereng pemuda
baju hitam tadi lantas berteriak, "Nah, sudah kau lihat bukan? Sun-heng
ini dahulu pernah bersalah kepada seorang anggota keluarganya, lalu dia
mengikat Sun-heng pada sebuah pilar dan memanggangnya selama tiga jam"
Pwe-giok tidak tega lagi
melihat dan mendengar, ia menghela napas panjang, katanya, "Sudahlah
kalian tidak perlu omong lagi, Cayhe sudah paham."
"Untuk menuntut balas
padanya, orang-orang ini telah mengorbankan jiwa enam orang dan akhirnya dapat
menemukan sarangnya, mereka bersembunyi disekitar daerah ini, sudah lebih
setahun mereka menunggu, dan baru sekarang orangnya diketemukan," tutur
pemuda itu. "Nah, coba kau pikir, apakah lantaran kau akan ikut campur
urusan ini, lalu orang-orang ini akan mundur dan melepaskan nenek celaka
itu?"
Pwe-giok jadi melenggong dan
tidak sanggup bicara lagi.
Bicara sejujurnya, betapapun
dia tidak pantas ikut campur urusan ini. Apalagi saat ini tenaganya juga belum
pulih, umpama ingin ikut campur juga bukan tandingan pemuda baju hitam ini.
Tapi kalau dia membiarkan orang-orang ini menuntut balas dan membunuh Oh-lolo,
akibatnya Lui-ji akan ikut menjadi korban, sebab obat penawar racunnya tentu
sukar diperoleh lagi. Ia menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus
dilakukannya.
Didengarnya pemuda baju hitam
berkata pula, "Ku bicara sebanyak ini padamu, bukan disebabkan ku takut
kau akan ikut campur urusan ini, soalnya kulihat kalian adalah orang yang
baik-baik dan tentunya bukan manusia yang tidak tahu aturan".
"Tapi kalau Cayhe pasti
akan ikut campur, lalu bagaimana?" jawab Pwe-giok kemudian sambil menghela
napas menyesal.
Dengan angkuh pemuda baju
hitam menjawab "Asalkan kau mampu mengalahkan aku dengan sekali pukul atau
setengah tendangan, akan kulepaskan dia!"
"Baik, aku setuju!"
jawab Pwe-giok, serentak ia terus bergerak hendak menubruk maju.
"Nanti dulu"
tiba-tiba Lui-ji berteriak. "Ingin ku bicara dulu dengan Sicek!"
"Ku tahu apa yang hendak
kau katakan," ujar Pwe-giok dengan rawan. "Kukira tidak.....tidak
perlu kau omong lagi!"
Tapi Lui-ji lantas menarik
tangannya dan berkata, "Tidak, harus ku bicara padamu, Sicek, maukah kau
kemari sebentar!"
Pwe-giok memandang Lui-ji dan
pemuda baju hitam sekejap, katanya, "Kau......"
"Jangan kuatir,"
jengek pemuda itu, "Jika sudah kusanggupi kau, sebelum diketahui kalah
atau menang antara kita, tidak nanti kuganggu seujung jari Oh-lolo."
Lui-ji lantas menarik Pwe-giok
ke samping, katanya, "Sicek, untuk apa kau meng....mengadu jiwa bagi
Oh-lolo?"
Pwe-giok diam saja tanpa
menjawab.
"Ku tahu tindakan Sicek
ini adalah demi diriku," kata Lui-ji pula. "Tapi orang ini jelas
bukan orang yang ngawur, kenapa Sicek tidak bicara baik-baik dengan dia dan
suruh dia menunggu satu hari."
Pwe-giok menghela napas,
katanya, "Apabila Oh-lolo tahu sehari lagi dia tetap akan mati, mana dia
mau melepaskan dirimu. Apalagi orang-orang itupun belum tentu mau percaya
kepada keterangan kita, mana mereka mau melepaskan harimau kembali ke gunung
membiarkan Oh-lolo pulang dulu ke rumah?"
Lui-ji melenggong, ucapnya
kemudian sambil menunduk. "Cara berpikir Sicek kukira terlalu jelimet,
tapi aku....."
"Sudahlah, jangan kau
bicara lagi, sekali ku kehendaki Oh-lolo menolong kau, maka dia harus ku tolong
lebih dulu, diantara kedua hal ini tiada pilihan lain, tiada gunanya kau omong
lagi."
"Akan tetapi Sicek
sendiri....."
"Tidak perlu kau kuatir
diriku," kata Pwe-giok dengan tertawa, "betapapun kuat kepalan pemuda
baju hitam itu juga belum tentu mampu mengalahkan aku, sekarang kurasakan
tenagaku sudah pulih sebagian besar."
Pelahan ia lantas melepaskan
pegangan Lui-ji dan menuju ke sana dengan langkah lebar.
Memandangi bayangan punggung
Pwe-giok, majemuk benar perasaan Lui-ji, ya girang, ya sedih, ya terharu, ya
sesal, ya gelisah, ya kuatir.
Ia tahu bilamana Ji Pwe-giok
sudah bertekad akan bertindak sesuatu, maka siapapun tidak mampu
menghalanginya. Kini dia hanya berharap semoga Pwe-giok akan menangkan
pertandingan itu.
Tapi pemuda baju hitam yang
angkuh itu tampaknya juga yakin pasti akan menang, jelas dia memiliki kungfu
maha tinggi dan asal usul yang mengejutkan orang. Dapatkah Pwe-giok mengalahkan
dia?
Lui-ji menunduk sedih, tanpa
terasa air matanya bercucuran pula.
Sejak tadi pemuda baju hitam
selalu menatap Pwe-giok, mengawasi sikapnya waktu bicara, mengamati
gerak-geriknya. Ketika Pwe-giok mendekatinya, segera ia tanya: "Kau akan
mulai?"
"Ya boleh kita mulai
sekarang" jawab Pwe-giok tegas.