Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 02

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 02

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 02

Mendengar kata2 itu, semua pendeta kaget tercampur heran. Boe sek Siansoe adalah seorang yang mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam Siauw lim sie. Bahwa ia sudah berlaku begitu hormat terhadap seorang gadis remaja, adalah suatu kejadian luar biasa.

"Taysoe, janganlah kau berlaku begitu sungkan," kata sinona de ngan perasaan jengah." Aku menyesal bahwa barusan dengan semberono aku sudah melakukan perbuatan sangat tak pantas terhadap beberapa Sueheng. Aku memohon Taysoe sudi menyampaikan maafku kepada mereka.

Biarlah kita berpisahan disini saja dan dilain hari, kita pasti akan bertemu pula." Sehabis berkata begitu, ia segera memberi hormat, lalu memutar dapan dan mulai bertindak turun dari tanjakan itu.

"Nona kecil, mengapa kau menolak tawaranku yang diajukan dengan setulus hati?" kata Boe sek sambil tertawa. "Beberapa tahun berselang, karena sedang repot, aku tak bisa menghadiri pesta hari ulang tahunmu, sehingga sampai sekarang hatiku masih merasa tak enak. Kalau hari ini aku tidak mengatarkan kau sampai 30 li, aku seperti juga tidak mengenal peraturan untuk melayani tamu terhormat."

Mendengar kata2 itu yang tulus iklas dan juga karena merasa senang dengan cara2 si tua yang polos, Kwee Siang segera berpaling dan berkata sambil bersenyum."Marilah."

Dengan berendeng pundak mereka turun dari tanjakan itu dan tak lama kemudian, tibalah mereka di pendopo Lip swat teng. Tiba2 mereka mendengar suara tindakan kaki dan waktu menengok, mereka melihat, bahwa orang yang membuntuti adalah Thio Koan Po.

" Saudara Thio," menegur Kwee Siang." Apakah kau juga ingin mengantarkan tamu?"

Paras muka pemuda itu lantas saja berubah merah. "Benar!" jawabnya.

"Pada saat itulah, se-konyong2 dari jauh mereka melihat seorang pendeta bertindak keluar dari pintu kuil dan kemudian lari turun sekeras kerasnya dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Alis Boe sek berkerut. "Ada apa begitu ter-buru2 ?" tanyanya.

Begitu berhadapan dengan Boe sek, pendeta itu memberi hormat dan lalu bicara bisik2. Paras muka si tua lantas saja berubah. "Apa benar ada kejadian begitu?" teriaknya.

"Loo hong-thio (pemimpin kuil) mengudang Sioe-co (kepala bagian) untuk berdamai." jawabnya.

Melihat paras muka Boe-sek. Kwee Siang mengerti, bahwa Siauw-lim-sie sedang menghadapi urusan sulit. Maka itu, ia lantas saja berkata: "Loo-sian-soe, dalam persahabatan yang paling penting adalah kecintaan hati. Segala adat istiadat tiada sangkut pautnya dengan persahabatan. Jika Loo-sian-soe mempunyai urusan, uruslah saja. Di lain hari, kita masih mempunyai banyak kesempatan untuk makan minum sepuas hati."

"Tak heran Yo Tay hiap begitu menghormatimu," memuji Boe sek. "Kau benar2 seorang gagah, seorang jago betina. Aku merasa girang bisa bersahabatan dengan seorang seperti kau."

Kwee Siang bersenyum deagan paras muka ke-merah2 an dan sesudah mereka saling memberi hormat, si pendeta tua segera kembali kekuil Siauw-lim-sie.

Sinona lalu meneruskan perjalanannya dengan dibuntuti Thio Koen Po dari belakang. Pemuda itu tak berani berjalan berendeng, ia mengikuti dalam jarak lima-enam tindak.

"Saudara Thio, mengapa mereka menghinakan gurumu ?" tanya nona Kwee sambil menengok ke belakang. "Dengan memiliki kepandaian begitu tinggi, gurumu sebenarnya boleh tak usah takuti mereka."

Koen Po mempercepat tindakannya. "Mereka bukan sengaja menghina Soehoe," jawabnya. "Peraturan di dalam kuil selalu dipegang keras sehingga siapapun juga membuat pelanggaran, tak akan terluput dari hukuman."

Kwee Siang jadi heran. "Gurumu adalah seorang kesatria dan dalam dunia jarang terdapat manusia yang hatinya begitu mulia," katanya. "Kedosaan apakah yang telah di perbuatnya ?"

Pemuda itu menghela napas panjang. "Latar belakang kejadian ini sebetulnya sudah diketahui nona," jawabnya. "Yang menjadi gara-gara adalah kitab Leng-keh-keng."

"Ah ! Kitab yang dicuri Siauw Siang Coe dan In Kek See ?" menegas si nona.

"Benar," jawabnya. "Hari itu, waktu berada di puncak Hwa-san, atas petunjuk Yo Tay hiap, aku telah menggeledah badan kedua orang. Sesudah turun gunung, mereka tak kelihatan mata hidungnya lagi. Dengan apa boleh buat, Soesoe dan aku segera kembali ke kuil dan melaporkan kepada Sioe co dari Kay-loet-ton. Leng keh keng adalah kitab yg di tulis oleh Tatmo Couwsoe sendiri dan merupakan salah sebuah barang berharga dalam Siauw-lim-sie. Maka itu dapatlah dimengerti, jika Soehoe tak bisa terlolos dari hukuman.

"Gurumu dihukum tak boleh bicara ?" tanya pula si nona.

"Ya, menurut peraturan yang sudah turun temurun," sahutnya. Menurut peraturan itu, seorang yang dihukum harus memikul air dengan kaki tangan dilibat rantai dan tak boleh bicara".

"Menurut katanya para tetua hukuman memikul air malahan ada baiknya untuk yang terhukum. Dengan membungkam, ia mendapat kemajuan dalam latihan rokhani dan dengan memikul air tangannya akan bertambah besar."

Si nona tertawa geli. "Kalau begitu, gurumu sebetulnya bukan menjalani hukuman, tapi sedang melatih badan." katanya. "Ah ! Memang aku yang terlalu rewel dan suka mencampuri urusan orang lain."

"Bukan, bukan begitu," kata Koen Po dengan cepat, "Untuk kebaikan nona, Soehoe merasa sangat berterima kasih dan tak akan melupakannya."

Kwee Siang menghela nafas. "Lain orang sudah melupakan aku sama sekali," katanya didalam hati.

Sesaat itu, tiba2 terdengar suara bunyi keledai yang sedang makan rumput didalam hutan. "Saudara Thio, tak usah kau mengantar lebih jauh lagi." katanya sambil bersiul dan tunggangannya segera menghampiri.

Koen Po mengawasi dengan sorot mata duka. Ia kelihatannya merasa berat untuk berpisahan, tapi ia tak mengeluarkan sepatah kata, Kwee Siang yang dapat membaca jalan pikiraannya, segera merogoh saku dan mengeluarkan sepasang Lo han besi. "Kau ambilah ini" katanya seraya mengangsurkannya.

Koen Po terkejut, ia tak berani menyambutinya. "Ini . ini . ." katanya ter-putus2.

"Aku berikan ini kepadamu," kata si nona , "Kau ambil lah."

Pemuda itn tergugu: "Aku . . aku .."

Si Nona segera memasukkan sepasang lo han besi itu kedalam saku Koen Po dan kemudian melompat naik keatas punggung keledai.

Tapi, sebelum ia berangkat, di atas tanjakan se konyong2 terdengar teriak: "Kwee Jie-bouwnio! Tahan!"

Si nona menengok dan melihat Boe Sek Siansoe sedang mendatangi dengan ber-lari2.

"Pendeta tua itu ternyata kukuh sekali," pikirnya. "Perlu apa ia mengatarkan aku?"

Begitu berhadapan dengan si nona, Boe Sek segera berkata pada Koen Po: "Lekas kau kembali kekuil. Kau tak boleh berkeliaran lagi di gunung ini."

Pemuda itu mengangguk sambil melirik si nona, ia segera mendaki tanjakan.

Sesudah Koen Po berada jauh. Boe sek segera mengeluarkan selembar kertas dari dalam lengan jubahnya dan berkata: "Kwee Jie-kauw nio, apa kau kenal tulisan siapa ini ?"

Sinona menyambuti dan membaca dua baris huruf yang tertulis diatasnya. "Sepuluh hari kemudian, Koen-leon Sam seng (Tiga nabi gunung Koen-loen san) akan datang berkunjung ke Siauw lim-sie untuk meminta pelajaran,"

"Siapa Koen loen Sam seng ?" tanya sinona "Suaranya sombong sekali!"

"Kalau begitu nona pun tak mengenal mereka katanya." Situa berdiri bengong. "Urusan ini benar benar mengherankan," katanya dengan suara perlahan.

"Mengapa mengherankan ?" tanya Kwee Siang.

"Biarpun baru pernah bertemu, aku menganggap nona sebagai seorang sahabat lama dan aku bersedia untuk menerangkan se-jelas2nya kata Boe-sek. "Apa nona tahu dari mana datangnya kertas ini ?"

"Diantarkan oleh suruhan Koe-loen Sam-seng." Jawabnya.

"Jika disampaikan oleh seorang suruhan, kami tentu tak menjadi heran." kata si Pendeta.

"Orang sering mengatakan, bahwa pohon yang tinggi selalu mengundang serangan angin. Dan sudah sejak lama, selama beberapa ratus tahun, Siauw lim sie dikenal sebagai sumber pelajaran ilmu silat dan oleh karena demikian, banyak sekali ahli silat datang berkunjung untuk menjajal kepandaian kami. Hal ini adalah hal yang lumrah. Dipihak kami, setiap kali orang menantang, kami selalu coba membujuknya, supaya ia membatalkan niatan itu. Sedapat mungkin, kami coba mengelakkan pertandingan. Kami sungkan merebut kemenangan. Orang2 yang masih suka berkelahi, mana boleh jadi murid Budha

"Benar, perkataan Taysoe benar sekali," kata sinona sambil mengangguk.

"Akan tetapi, pada umumnya, seorang ahli silat yang datang berkunjung, masih penasaran jika belum memperlihatkan kepandaiannya," kata pula Boe sek. "Maka itu, dalam kuil kami dibentuk bagian Lo han tong yang bertugas untuk melayani para tamu itu."

Si nona tertawa-tawa geli. "Aha ! Kalau begitu Taysoe bertugas sebagai tukang berkelahi," katanya.

Si tua tertawa getir. "Sebagian besar ahli ahli silat yang datang kemari dapat dilayani oleh para murid dan aku tak usah turun tangan sendiri," katanya. "Tapi hari ini karena melihat gerakan2 nona yang luar biasa, aku terpaksa turun tangan sendiri."

"Terima kasih banyak2 atas pujian Toahweeshio," kata sinona sambil membungkuk dan tertawa manis.

"Ah, aku sudah melantur kelain tempat," kata Boe sek. "Sekarang kita kembali pada surat tantangan itu. Untuk bicara sejujurnya kertas ini diambil dari dalam tangan patung Hang-liong Lo-han yang terdapat didalam kamar Lo-han-tong."

"E eh! Siapa yang menaruhnya?" tanya si nona.

Sipendeta meng garuk2 kepala. "Kami tak tahu, inilah justru yang mengherankan," jawabnya. "Dalam Siauw lim-sie terdapat ratusan pendeta, sehingga seorang luar tak mungkin menyelinap masuk, tanpa diketahui. Apa pula kamar Lo han tong siang malam dijaga oleh delapan murid dengan bergantian. Barusan, mendadak saja seorang murid melihat kertas itu didalam tangan Hang liong Lo han dan ia segera melaporkan kepada Loo-hong-thio. Semua orang jadi heran tak habisnya dan mereka lalu memanggil aku untuk diajak berdamai."

Mendengar sampai disitu, Kwee Siang lantas saja dapat menebak jalan pikiran sipendeta. "Bukankah kau merasa curiga terhadapku?" tanyanya. "Kalian menganggap, bahwa aku mempunyai hubungan dengan manusia2 yang menamakan dirinya sebagal Koen-loen Sam-seng. Aku mengacau diluar dal mereka diam2 masuk ke Lo han-tong untuk menaruh surat itu. Bukankah begitu dugaanmu?"

"Aku sendiri tidak, hatiku bebas dari segala prasangka," sahutnya. "Tapi nona tentu bisa mengerti, jika Loo-hong-thio dan Boe siang Soe-heng agak curiga. Secara kebetulan, surat itu muncul pada waktu nona mau berangkat."

"Sekali lagi aku memastikan, bahwa aku tidak mengenal tiga manusia itu," kata Kwee Siang.

"Toa-hweeshio, apa yang mesti ditakuti? Jika mereka benar2 berani menyateroni, iringlah segala kemauannya."

"Takut kami tentu tak takut," kata situa. "Jika nona tidak bersangkut paut dengan mereka, aku boleh tak usah berkuatir lagi."

Kwee Siang mengerti, bahwa maksud si pendeta tua adalah baik sekali. Boe sek rupanya menyangka tiga orang itu ada berhubungan dengan dirinya, sehingga jika sampai bergerak ketiga orang itu sampai terluka, si pendeta akan merasa tak enak hati terhadapnya. Maka itu, ia lantas saja berkata. "Toa hweesio, jika mereka datang baik2 dan bicara baik2, kau boleh menyambutnya secara baik2 pula. Tapi kalau mereka kurang ajar, hajarlah, supaya mereka tahu lihaynya Siauw lim-sie. Dilihat dari suratnya, mereka kelihatannya sombong luar biasa."

Bicara sampai di situ, dalam otaknya mendadak berkelebat serupa pikiran dan ia lalu berkata pula: "Toa, hweeshio, apa tak mungkin didalam kuil terdapat konconya yang diam2 sudah menaruh kertas itu di tangan Hang liong Lo han?"

"Kemungkinan ini sudah direnungkan oleh kami," sahutnya. "Tapi rasanya tak mungkin terjadi. Tinggi tangan Hang liong Lo han da ri lantai ada tiga tombak lebih dan murid yang membersihkannya, selalu harus menggunakan tangga. Orang yang memiliki ilmu mengentengkan badan sangat tinggi, belum tentu bisa mencapainya. Andaikata benar ada pengkhianat, dia pasti tak mempunyai ilmu yang begitu tinggi."

Penuturan yang sangat manarik itu sudah nembangkitkan rasa kepengin tahu dalam hati Kwee Siang. Ia kepingin tahu, bagaimana macamnya Koen loen Sam Seng dan kepingin tahu pula bagaimana kesudahan pertemuan itu. Hanya sayang, tak mungkin ia menyaksikan itu semua dengan mata sendiri, karena Siauw lim-sie tak bisa menerima tamu wanita.

Melihat si nona ter-menung2. Boe sek menduga, bahwa nona itu sedang memikiri daya upaya untuk mengelakkan ancaman bahaya. Maka dari itu, sambil tersenyum ia berkata. "Kwee Jie kouwnio, selama ribuan tahun Siauw-lim-sie telah mengalami banyak gelombang dan taufan, tapi begitu jauh, belum pernah dirusak orang. Jika Koen loen Sam sang sungkan diajak berunding, kamipun tak akan mengorbankan keangkeran Siauw lim sie dengan begitu saja. Kwee Jie kouwnio, setengah bulan kemudian, kau boleh men-dengar2, apa Koen loen Sam seng sudah berhasil menghancurkan kuil kami" Waktu mengucapkan kata2 yang paling akhir, muncullah kembali keangkeran Boe sek di jaman muda, suaranya nyaring dan berpengaruh, sedang kedua matanya ber-kilat2.

"Toa hweeshio, jangan kau gampang2 naik darah," kata sinona sambil tertawa geli. "Cara2 yang berangasan tak sesuai dengan kedudukanmu sebagai murid Sang Buddha. Baiklah setengah bulan lagi, aku menunggu warta menggirangkan." Sehabis berkata begitu, ia mengedut les keledai dan lalu mulai turun gunung. Diam2 ia mengambil keputusan, bahwa sepuluh hari kemudian ia akan kembali untuk menonton keramaian.

Sambil jalankan keledai perlahan2, rupa2 pikiran ber-kelebat2 dalam otak si nona. "Mungkin sekali Koen loen Sam seng tak mempunyai kepandaian berarti, sehingga aku tak bakal menyaksikan keramaian, yang menarik nati," pikirnya.

"Ah jika di antara mereka terdapat orang2 yang memiliki kepandaian kira2 seperti kakek, ayah, ibu atau Yo Toa koo, peritiwa Sam seng mengacau Siauw lim sie barulah sedap ditonton."

Mengingat Yo Ko, hatinya lantas saji berduka. Selama tiga tanun, ia telah menjelajahi berbagai tempat, tapi selalu menubruk angin. Ciong lim -san Kuburan Mayat Hidup sunyi-senyap, dilembah Ban hoa kok hanya terdapat rontokan laksaan bunga, Coat ceng kok hanya penuh dengan tampukan puing, sedang di Hong leng touw pun, ia tidak bisa menemukan tapak2 Yo Ko dan Siauw Long Lie. Ia menghela napas ber-ulang2 dan berkata dalam hatinya.

"Andaikata, kubisa bertemu dengan dia nya, apa artinya pertemuan itu ? Bukan kah akan hanya menambah luka yang pedas perih ? Bukankah hanya menyingkirnya dia ke tempat jauh banyak baiknya untuk diriku ? Hai ! Terang2an kutahu, bahwa apa yang kupikir adalah bayangan bunga di kaca atau bayangan rembulan di muka air. Tapi. . . aku tak berkuasa untuk menindas dorongan hati . .untuk menindih keinginan mencari dia."

Sambil melamun, la membiarkan keledainya jalan sejalan-jalannya. Diwaktu lohor ia sudah terpisah agak jauh dari Siau sit san, Disepanjang jalan, ia menikmati pemandangan yang sangat indah dan dari jauh ia memandang puncak timur dari Siauw sit san yang menjulang kelangit. Mendadak, dari antara pohon-pohon siong yang sudah ribuan tahun tuanya, lapat-lapat terdengar suara khim. "Si apa yang menaruh khim ditengah gunung yang sunyi ini ?" tanyanya didalam hati. Karena kepingin tahu, ia melompat turun dari keledainya dan berjalan kearah suara tetabuhan itu,

===========================================

Sesudah datang lebih dekat, ia mendapat kenyataan, bahwa suara khim itu diiringi dengan suara lain, seperti semacam nyanyian.

Semenjak kecil, di bawah pimpinan ibunya Kwee Siang telah mempelajari berbagai ilmu sehingga, walaupun tidak terlalu mendalam, ia mengenali baik ilmu menabuh khim, ilmu main tiokie ( catur Tioaghoa ) , Unit surat dan melukis yang umumnya di miliki oleh orang2 terpelajar pada jaman itu, di tambah dengan otaknya yang sangat cerdas, ia tak usah kalah dari orang2 biasa dan malahan ia masih sanggup menimpali kakeknya dalam ilmu musik dan melayani Coe Coe Lioe dalam ilmu surat. Sekarang mendengar suara tabuh tabuhan yang agak aneh itu, ia segera mendekati dengan indap-indap.

Dalam jarak belasan tombak, barulah terang baginya, bahwa suara khim itu diiringi oleh suara ratusan burung. Dengan rasa heran, ia lalu mengintip dari belakang satu pohon besar dan terlihat seorang lelaki yang mengenakan baju putih sedang duduk di bawah tiga pohon siong sambil menabuh khim. Di dahan2 ketiga pohon itu terdapat ratusan ekor burung besar dan kecil yang menyanyi menurut irama tabuh2an itu. Suara khim dan bunyi burung adalah sedemikian akur sehingga didengar dari jauh, sukar sekali orang dapat membedakan, yang mana suara khim, yang mana suara burung.

Kwee Siang terpesona dan dengan hati ber debar2, ia mendengari musik luar biasa itu, yang semakin lama jadi semakin keras. Tiba2 di sebuah kejauhan terdengar ramai suara gerakan sayap burung yang mendatangi dengan cepat sekali dan di lain saat ratusan burung gereja tiba di situ, sebagaian segera hinggap di cabang2, sebagian pula terbang ber-putar2. Tiba-tiba Kwee Siang ingat suatu hal. "Ah" katanya di dalam hati. "Apakah lagu ini bukan lagu Pek niauw hong (

Ratusan burung menghadap kepada burung Hong) yang sudah tak dikenal lagi dalam dunia ? Menurut katanya kakek, dalam lagu tersebut suara khim menyerupai bunyi burung Hong yang bisa menyebabkan kedatangan ratusan burung. Tapi, apa benar dalam dunia terdapat ilmu memetik khim yang begitu tinggi?"

Berapa lama kemudian, suara itu berubahlah perlahan, kawanan burung mulai meninggalkan dahan2 dan lalu terbang berputaran diatas pohon. Mendadak terdengar suara "ting" dan orang ita berhenti memetik alat musiknya. Setelah terbang memutar beberapa kali lagi, ratusan burung itupun turut bubar.

Orang itu dongak dan sesudah menghela napas, dari mulutnya terdengar nyanyian seperti berikut.

Mengapa siang hari begitu cepat saatnya

Ratusan tahun lewat dalam sekejap mata

Langit yang luas tiada batasnya.

Takdir mendurita tak bisa dibantah.

Lihatlah rambut si Niekauw suci.

Sebagian sudah seperti salju yang putih.

Thian kong bertemu dengan Gioklie

Tertawa ter-bahak2 laksana kali.

Aku ingin mengeluarkan kereta.

Dan mendorongnya pulang kekampung halaman.

Pak tauw menuang air kata2.

Dan mengajak semua orang minum secawan.

Kekayaan dan, kemewahan tak jadi idam-idaman.

Yang diharapkan ialah awet muda sepanjang jaman.

Suara orang itu sedih sekali, seperti juga ia merasakan, bahwa penghidupan manusia dalam dunia ini diliputi dengan kesengsaraan yang tidak habis2nya. Kwee Siang jadi turut merasa terharu, tanpa merasa dua butir air mata mengalir turun kedua pipinya. Ia mendongak seraya berkata.

"Memutar pedang!

Mengangkat alis!

Air bening, batu putih, mengapa bersimpang siur?

Manusia hidup tanpa sahabat sejati.

Hidup ribuan tahun, tiada berarti."

Tiba2 dari bawah khim, orang itu menghunus sebatang pedang bersinar hijau. "Aha Kalau begitu, dia seorang Boe boe coan cay (pandai ilmu surat dan ilmu perang)" pikir si nona. "Coba kulihat ilmu silatnya.

Perlahan2 orang itu berjalan kesebidang tanah lapang. Tapi sebaliknya dia bersiasat, ia menggores tanah dengan pedangnya, segaris demi segaris.

"E eh? Kiam hoat apa itu?" tanya sinona dalam hatinya. "Benar2 dia manusia aneh."

Orang itu terus memcuat garisan2 melintang, sesudah menggores sembilan belas kali ia berhenti dan lain mulai membuat garisan2 membujur, yang jaraknya bersamaan satu sama lain, yaitu kurang lebih satu kaki. Seperti juga garisan melintang, ia membuat sembilanbelas garisan membujur.

Dengan menuruti caranya orang itu, Kwee Siang meng-garis2 tanah dengan telunjuknya.

"Wah! Kurang ajar!" katanya didalam hati, "Papan Wie-kie !" ( Wie kie semacam catur yang menggunakan biji putih dan biji hitam).

Sesudah selesai, dengan ujung pedang ia membuat bundaran disudut kiri atas dan sudut kanan papan catur itu. Kemudian ia membuat tanda silang, juga disudut kiri atas dan sudut kanan bawah.

Kwee Siang yang mengintip dari sebelah kejauhan, mengerti, bahwa orang itu sedang mengatur biji Wie kie, tanda bundar mewakili biji putih, tanda silang merupakan biji hitam.

Orang itu lalu mulai jalankan biji2nya. Sesudah jalan enambelas biji, ia kelihatan bersangsi. Apakah biji putih harus bergulat terus atau mengambil sikap membela diri disepanjang pinggiran papan? la menancap pedangnya ditanah dan mengawasi papan dengan berpikir keras.

"Dilihat begini, dia seorang yang hidup kesepian," pikir sinona: "Ia memetik khim sendirian dan berkawan dengan burung." Ia tak punya kawan untuk main Wie kie dan harus main seorang diri"

Sesudah memikir beberapa saat, orang itu lalu mulai jalankan lagi biji2 Wie kie. Ternyata, biji putih sungkan mengalah dan sa tu pertempuran hebat lantas saja terjadi disudut kiri atas. Putih dan hitam lantas ber gerak2 dan saling makan dengan serunya sama2 coba merebut kedudukan Tionggoan (tengah2). Tapi, biar bagaimanapun, karena memang sudah kalah setingkat, biji putih terus berada dibawah angin. Sesudah jalan 93 kali, biji putih sudah terjepit, tapi masih ber gulat terus sedapat mungkin.

Si nona menonton pertempuran itu dengan hati berdebar. Tiba2 tanpa merasa ia berteriak. "Mengapa tak mau meninggalkan Tiong goan dan mundur ke See ek (sebelah barat)"

Orang itu terkejut. Ia melihat bahwa bagian barat papan catur itu memang terdapat sebidang tanah yang kosong, dan jika biji putih menerjang kesitu, masih bisa dipertahankan keadaan seri."

"Bagus ! Bagus!" serunya dan lalu menjalankan biji putih kejurusan barat. Sesudah jalan beberapa kali, barulah ia ingat kepa da orang yang memberi tunjuk. Ia melemparkan pedangnya diatas tanah dan memutar tubuh. "Orang yang berilmu siapakah yang memberi pelajaran ?" teriaknya. "Aku sungguh merasa berterima kasih." Sehabis berkata begitu ia mengoya kearah Kwee Siang.

Si nona mendapat kenyataan, bahwa orang itu, yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun, bermuka lonjong panjang dan bermata dalam, sedang badannya jangkung kurus. Sebagai seorang jago betina yang tak menghiraukan perbedaan antara lelaki dan perempuan, perlahan-lahan Kwee Siang berjalan keluar dari tempat sembunyinya dan berkata seraya tertawa. "Barusan aku merasa kagun waktu mendengar Sian-seng memetik khim dengan diiring nyanyian dari ratusan burung. Sesudah itu, dengan tak kurang rasa kagumku, kumelihat Sianseng membuat papan Wie kia dengan menggaris tanah dan main Wie xie dengan menggunakan pedang, Karena itu, aku jadi banyak mulut dan aku harap Sianseng sudi memaafkan."

Mendengar perkataan sinona, orang itu kelihatan girang sekali. "Dari kata2mu. nona ternyata mahir dalam ilmu memetik khim," katanya sambil bersenyum. "Jika sudi, aku memohon nona suka perdengarkan satu dua lagu."

"Memang benar aku pernah belajar menabuh dari ibuku, tapi jika dibandingkan dengan kepandaianmu, aku masih kalah jauh sekali," kata sinona.

"Tapi jika menolak terlalu keras, aku merasa tak enak hati. Biarlah aku akan mendengarkan sebuah lagu. Tapi jangan tertawa."

"Bagaimana aku berani ?" kata orang itu sambil mengangsurkan khimnya dengan kedua tangan.

Khim itu sudah berusia tua dan enteng se kali. Sesudah mengakurkan tali2nya. Kwee Siang segera memetik lagu Kho phoa. Kepandaian sinona memang tidak seberapa tinggi dan lagu yang didengarnya tidak luar biasa. Tapi walaupun begitu, pada paras muka orang itu terlukis rasa kaget tercampur girang. Mengapa? Karena lagu Kho phoa mengenakan jitu pada apa yang dipikirnya, sehingga ia merasa amat girang dan berterima kasih ter hadap sinona. Sesudah selesai Kwee Siang menabuh, untuk beberapa saat ia masih bengong dengan mata mengawasi ketempat jauh.

Syair lagu Ko phoa diambil dari Sie keng (Kitab Syair). Itulah sebuah nyanyian dari seorang Tay soa, seorang yang mengasingkan diri dari pergaulan umum.

Dalam syair itu dikatakan bahwa cita2 yang luhur dari seorang laki2 sejati yang berkelana sebatangkara di daerah pegunungan tidak akan berubah, biarpun pada mukanya terlihat sinar kedukaan dan didalam hatinya terdapat rasa kesepihan.

Perlahan2 si nona menaruh khim diatas tanah dan tanpa mengeluarkan sepatah kata lalu barjalan pergi, akan kemudian melompat keatas punggung keledai dan meneruskan perjaanan yang tak tentu rimbanya.

Siang dan malam lewat dengan cepatnya dan dalam sekecap tibalah hari kesepuluh, yaitu hari yang dijanjikan Koen loen Sam seng untuk menyataroni Siauw lim sie. Sudah berapa hari Kwee Siang mengasah otak untuk mencari daya guna masuk kekuil Siauw lim sie, tapi ia belum juga berhasil." Sungguh malu aku menjadi anak ibuku", pikirnya dengan mendongkol.

"Ibuku begitu pintar, anaknya sedemikian tolol. Biarlah aku datang saja diluar kuil dan menunggu kesempatan. Mungkin sekali, selagi repot berkelahi, mereka tak sempat merintangi aku."

Pagi itu sudah menangsal perut dengan makanan kering, ia tujukan keledainya ke Siauw lim sie. Waktu berada dalam jarak kurang lebih sepuluh li dari kuil, tiba2 ia mendengar suara kaki kuda dan dari jalanan gunung di sebelah kaki kelihatan mandatangi tiga penunggang kuda. Ketiga ekor kuda itu satu bulu dauk, satu kuning dan satu lagi putih bertubuh tinggi besar dan cepat sekali larinya. Dalam sekejap, mereka sudah melewati sinona dan menuju kearah kuil. Ketiga penunggang kuda itu rata2 berusia kira2 limapuluh tahun. Mereka mengenakan baju pendek warna hijau dan diatas pelana masing2 tergantung kantong kain yang berisi alat senjata. " Ah! Mereka tentulah Koen loen Sam seng, " pikir Kwee Siang. "Jika terlambat, bisa2 aku ketinggalan nonton."

Ia segera menjepit perut keledai dengan lututnya dan menepuk leher binatang itu. Sambil berbunyi kerena, keledai itu lantas saja lari congklang. Biarpun kurus kecil, dia ternyata kuat sekali dan cepat larinya. Tak lama kemudian, dia sudah bisa menyusul dan membuntuti ketiga penunggang kuda itu.

Sekarang si nona bisa melihat lebih tegas. Penunggang kuda dauk bertubuh kate kecil, Penungggang kuda kuning berpotongan badan sedang dan penungggang kuda putih seorang jangkung kurus. Selanjutaya ia pun mendapat kenyataan, bahwa ketiga binatang itu berbulu sangat panjang sampai dikakinya sehingga berbeda sekali dengan kuda di wilayah Tiong goan.

Begitu tahu ada yang membututi, ketiga orang itu segera menggeprak tunggannya yg lantas saja kabur sekeras-kerasnya sehingga Kwee Siang lantas saja ketinggalan jauh sekali.

Sesudah me]alui dua-tiga-li, si nona belum juga melihat bayangan2 ketiga penunggang kuda itu. Biarpun kuat, tenaga keledai kecil kurus itu, sangat terbatas.

Napasnya sudah tersengal-sengal dan dia kelihatannya sudah lelah sekali. "Binatang tak punya guna!" bentak sinona. "Biasanya kau banyak lagak dan selalu mau lari cepat cepat. Tapi waktu aku justeru memerlukan tenagamu kau lantas saja keok." Melihat tak gunanya coba menyusul lagi, ia lalu melompat turun dari punggung si kurus dan duduk mengaso di sebuah pendopo batu dipinggir jalan dan membiarkan keledai makan rumput.

Belum lama ia duduk mengaso sekonyong konyong terdengar pula suara kaki kuda dan ketiga penunggang kuda yg tadi sesudah male wati satu lembah, kelihatan mendatangi.

"Eh, mengapa mereka kembali begitu cepat? tanyanya di dalam hati.

Setibanya dipendopo satu itu, mereka segera melomat turun dari tunggangan mereka dan lalu duduk mengaso bersama-sama si nona. Orang yang bertubuh kate kecil, bermuka merah dan yang paling menyolok adalah hidungnya yang merah mengkilap seolah olah bara.

Ia mempunyai paras yang selalu tersungging senyuman. Si tua yang bertubuh jangkung kurus, pucat sekali mukanya, di antara warna putih pias terdapat sinar

biru, seolah olah ia tak pernah kena sorotan matahari. Dengan demikian, warna kedua orang itu bertentangan satu sama lain: yang satu merah membara, yang lain pucat pias. Orang ketiga, yang badannya sedang sedang saja, tidak mempunyai ciri ciri luan biasa, kecuali mukanya yang berwarna kuning seperti orang sakitan.

Sesudah menyapu ketiga orang itu dengan matanya yang bening tajam, Kwee Siang ber senyum seraya menanya: "Samwe Loosian seng (ketiga tuan) apakah kalian barusan mengunjungi Siauw lim sie? Mengapa, baru naik kalian sudah turun kembali?"

Si muka pucat melirik seperti orang kekhi tapi si muka merah tertawa dan balas menanya dengan suara manis. "Bagaimana nona tahu, kami pergi ke Siauw lim-sie

?"

"Kalau bukan ke kuil kemana lagi?" kata Kwee Siang.

Si muka merah mengangguk. "Benar," katanya. "Kemana nona sendiri mau pergi?"

"Kalian pergi ke Siauw Lim sie, akupun mau kesitu," jawabnya.

Tiba2 simuka pucat menyelak:" Siauw lim sie tak pernah mempermisikan orang perempuan masuk kedalam kuil dan juga tak pernah mempermisikan masuknya orang yang membawa senjata."

Ia bicara dengan suara sombong, tanpa melirik kepada si nona.

Kwee Siang jadi mendongkol. "Tapi mengapa kalian sendiri membawa senjata?" tanyanya. "Bukankah dalam kantong dicelana, berisi senjata ?"

"Bagaimana kau bisa dibandingkan dengan kami," kata simuka pucat dengan suara tawar.

"Sombong sungguh! Siapa sebenarnya kalian?" tanya sinona dengan suara yang sama tawarnya. "Apa Koen loen Sam seng sudah bertempur dengan pendeta2 Siauw 1im sie?" "Bagaimana kesudahannya ?"

Mendengar kata2 Koen loen Sam sang," ketiga Orang itu jadi kaget bukan main dan paras muka mereka lantas saja berubah.

"Nona kecil," kata simuka merah.'"Bagaimana kau tahu hal Koen loen Sam seng ?'

"Tentu saja kutahu," jawabnya.

Mendadak simuka pucat maju setindak dan membentak: "She apa kau ? Siapa gurumu Ada urusan apa kau datang kesini ?'

"Bukan urusanmu," sinona balas membentak.

Simuka pucat yang sangat berangasan dan yang selama puluhan tahun selalu dihormati orang, lantas saja meluap darahnya. la segera mengangkat tangan untuk menggaplok si jelita yang dianggap sangat kurang ajar. Tapi sebelum tangannya melayang, tiba2 ia ingat kedudukannya yang sangat tinggi. la insyaf bahwa adalah sangat tidak pantas, jika sebagai seorang tua, ia menghina seorang muda, lebih2 seorang wanita. Mengingat begitu, ia mengurungkan niatnya untuk menggampar muka, tapi tangannya menyambar terus kepinggang sinona dan tiba2 pedang Kwee Siang bersama sarungnya sudah pindah tangan! Kecepatan orang tua itu, sungguh sukar dilukiskan.

Selama berkelana dalam dunia Kangouw kejadian getir itu belum pernah dialami oleh nona. Kepandaian yang dimilikinya memang belum cukup untuk malang melintang dengan leluasa. Akan tetapi, jago2 Rimba Persilatan sebagian besar tahu, bahwa ia adalah puteri Kwee Ceng, sedang pentolan2 dalam kalangan tersesat juga banyak sekali mengenalnya karena atas undangan Yo Ko, mereka pernah datang di Siang yang untuk memberi selamat panjang umur kepadanya. Maka itu semua orang berlaku sungkan terhadap si nona, jika tidak memandang muka Kwee Ceng, memandang Yo Ko. Di samping itu si nona mempunyai paras yang cantik dan adat yang polos terbuka. Ia tidak pernah bersikap sombong dan memandang siapapun juga sebagai sesama manusia. Bukan jarang ia mengajak buaya2 kecil minum arak ber-sama2. Dengan demikian, biarpun dunia Kang ouw penuh dengan duri dan bahaya, sebegitu jauh ia berkelana dengan tak kurang suatu apa. Belumm pernah ada

orang yang berani mengnina padanya.

Ia kemekmek waktu mendapat kenyataan bahwa pedangnya telah dirampas si tua. Ia angin coba merebut kembali, tapi ia tahu ke pandaiannya masih kalah terlalu jauh. Tapi kalau menyudahi saja, hatinya sangat penasaran.

Sementara itu, sambil megang pedang orang dalam tangan kirinya, si muka pucat berkata dengan suara dingin: "Aku akan menyimpan pedangmu ini untuk sementara waktu. Bahwa kau sudah berani berlaku begitu karang ajar terhadapku, adakah karena seorang tua dan gurumu kurang mengajarmu. Beritahukanlah, supaya mereka datang kepadaku untuk meminta pulang pedangmu ini. Dengan baik2 aku akan menasehati ayah ibu dan gurumu, supaya mereka lebih memperhatikan kau."

Paras muka si nona lantas saja berubah merah. Si tua seolah2 memandangnya sebagai bocah nakal yang kurang ajar. Dengan gusar, ia berkata dalam hatinya.

"Bagus! Kau mencaci aku seperti juga mencaci kakek, ayah dan ibuku. Apa benar kau punya kepandaian begitu tinggi sehingga kau begitu sombong?" Sesudah dapat menenteramkan hatinya yang bergoncang keras, sambil menahan amarah ia menanya, "siapa namamu ?"

Si muka pucat mengeluarkan suara di hidung. "Apa? Kau berani menanya siapa nama ku?" bentaknya. "Kau sungguh-sungguh tak tahu adat. Kau harus mengatakan begini, Bolehkah aku mendapat tahu, she dan nama Loo cianpwee yang mulia ?" Mengerti ?"

"Jangan rewel!" bentaknya. "Aku merdeka untuk menggunakan kata apapun juga. Berapa harganya pedang itu? Kau seorang tua, tapi tidak menghargai usiamu yang tua. Tak malu mencuri pedang orang! Sudahlah ! Aku tak mau pedang itu" Sambil berkata begitu, ia bertindak keluar dari pendopo.

Se-konyong2 satu bayangan berkelebat dan simuka merah menghadang didepannya. "Seorang gadis remaja tak boleh gampang marah," katanya saraya ber-senyum2.

"Kalau sudah menikah, apa kau boleh marah2 seperti anak kecil dihadapan mertua? Baiklah, sekarang aku memberitahukan kau. Dalam beberapa hari sesudah melalui

perjalanan berlaksa kami bertiga saudara seperguruan baru saja tiba di Tionggoan dari daerah See ek (daerah sebelum barat) . ..."

"Aku sudah tahu," memotong sinona sambil monyongkan mulutnya. Didaerah Tiong-goan memang tidak terdapat namamu bertiga.

Ketiga orang itu saling meagawasi.

"Nona, bolehkah aku mendapat tahu siapa gurumu ?" tanya si muka merah.

Sebenarnya Kwee Siang tak suka memberi tahu nama ayah dan ibunya, tapi sekarang, karena sudah jengkel, ia lantas saja menjawab: "Ayah she Kwee bernama Ceng. Sedang ibuku she Oey bernama Yong. Aku tak punya garu, hanya kedua orang tuaku yang menurun kan sedikit ilmu silat."

Ketiga kakek itu saling mengawasi. Saaat kemudian barulah simuka pucat berkata. "Kwee Ceng? Oey Yong? Dari partai mana mereka ? Murid siapa ?"

Dengan pertanyaan itu sinona jadi gusar. Nama kedua orang tuanya tersohor dikolong langit, jangankan orang2 dari Rimba Persilatan, sedangkan rakyat jelatapun mengenal Kwee Tay hiap, seorang pendekar yang telah bantu membela kota Siang-yang.

Tapi, melihat paras sungguh2 dari ketiga orang itu, Kwee Siang segera mendapat lain ingatan. "Koen-loen-san terletak didaerah barat dan terpisah jauh dari wilayah Tionggoan" pikirnya. "Ketiga orang lihai memiliki ilmu ilmu silat yang sangat tinggi, tapi ayah dan ibu belum pernah me-nyebut2 nama mereka. Maka itu, memang mungkin sekali, mereka belum pernah mendengar nama kedua orang tuaku." Mengingat begitu darahnya yang barusan sudah meluap, mereda kembali. "Aku sendiri she Kwee bernama Siang," katanya pula. "Siang adalah Siang dari Siang yang. Nah sesudah memperkenalkan diri, bolehkah menanya she dan nama kalian yang mulia ?"

Si muka merah tertawa hahahihi. "Bocah perkataanmu tepat sekaii, " katanya. "Dengan jawabanmu itu, kau menghormati orang yang lebih tua," Sambil menunjuk si muka kuning, ia berkata pula: "Itulah Tosoeko (kakak seperguruan yang paling tua) kami. Ia she Phoa bernama Thian Keng. Aku sendiri adalah Jie soe heng (kakak kedua),aku she Phoe, namaku Thian Loo" la menuding pada si muka pucat dan melanjutkan perkataannya. "Yang itu adalaa Sam soetee( adik ketiga), she Wie, bernama Thian Bong. Kau lihat! Kami bertiga saudara seperguruan masing2 mengambil huruf "Thian (Langit) untuk nama kami."

"Hm!" Kwee Sing mengeluarkan suara dihidung dan berdiam sejenak mengingat2 tiga nama itu. "Tapi apakah kalian sudah bertanding dengan pendeta2 Siauw lim se?

Kalau sudah, siapa yang lebih unggul?" tanyanya kemudian.

Si muka pucat Wie Thian Bong lantas saja menjadi gusar dan membentak dengan suara keras. "Eh, bagaimana kau tahu? Bahwa kami ingin menjajal ilmu dengan Siauwlim sie hanya diketahui oleh beberapa orang saja. Bagaimana kau bisa tahu? Lekas bilang! " Seraya berteriak ia mendekati Kwee Siang dan menatap wajah si-nona dengan mata melotot.

Tentu saja Kwee Siang jadi dongkol. Jika mereka menanya baik2 mungkin sekali ia akan memberitahukan dengan segala senang hati. Tapi dengan cara yang kasar itu, ia lantas saja mengambil putusan untak menutup rahasia. "namamu bertiga sebenarnya kurang tepat. " katanya dengan suara tawar "Mengapa tak dirubah menjadi Thian Ok (Ok berarti jahat)?"

"Apa kau kata?" bentak Thian Bong.

"Kwee Siang menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku sungguh jarang lihat manusia yang begitu galak seperti kau" katanya dengan adem.

"Sesudah merampas barangku, kau masih bersikap begitu ganas. Bukankah kau seperti juga penitisan dari binatang jahat dilangit?"

Tiba2 tenggorokan Wie Thian Bong mengeluarkan suara aneh, se olah2 menggaungnya binatang buas dan dadanya lantas saja melembung keatas, sedang rambut dan alisnya bangun serentak.

"Samtee!" kata Phoei Thian Loo simuka merah dengan cepat. "Jangan kau naik darah."

Sanbil berkata begitu, ia menyeret tangan Kwee Siang kebelakangnya, sehingga badannya sendiri berada diantara kedau orang itu, Melihat hebatnya gerak gerik Wie Thian Bong sehingga jika ia turun tangan, pukulannya tentu hebat luarbiasa, hati si nona jadi keder juga.

Sementara itu, dengan tangannya Wie Thian Bong mencabut pedang Kwee Siang, sedang jariji tangan kirinya mementil badan pedang. "Cring!" pedang itu patah dua.

Kemudian ia memasukkan pedang buntung itu ke dalam sarungnya seraya berkata dengan suara mengejek: "Siapa yang kepingin senjata yang tak gunanya ini ?"

Bukan main kagetnya si nona. Biarpun kepandaian itu belum bisa menandingi Ian cia San thong (ilmu mementil) dari kakeknya tapi tenaga Lwee kang yang begitu dahsyat sungguh jarang terlihat dalam Rimba persilatan

Melihat perubahan pada paras muka si nona, Wie Thian Bong jadi bungah hatinya. Ia dongak dan tertawa ter-bahak2. Suara tertawa itu, yang disertai Lwee kang sangat menusuk kuping dan malahan menggoncangkan juga genteng2 di atas pendopo batu itu.

Se-konyong2, berbareng dengan suara gedbrakan, atap pendopo berlubang besar dan dari lubang itu jatuh serupa benda yang sangat besar.

Semua orang terkejut, terhitung Wie Thian Bong sendiri. Ia sama sekali tak pernah menduga, bahwa suara tertawanya biarpun di sertai Lwee kang bisa merusakkan atap pendopo batu.

Waktu orang tahu, benda apa yaag jatuh itu, rasa kaget jadi semakin besar. Ternyata yang rebah di lantai adalah seorang lelaki yang mengenakan baju putih dan kedua tangannya memeluk khim. Ia rebah disitu sambil meramkan kedua matanya, se-olah2 sedang tidur pulas.

Mendadak terdengar teriakan Kwee Siang "Aha ! Kau berada di sini ?"

Orang itu bukan lain dari pada si pria yg pandai memetik khim dan yaag telah di temui si nona pada beberapa hari berselangi.

Per-lahan2 orang ita membuka matanya. Begitu melihat Kwee Siang, ia melompat bangun seraya berkata. "Nona, aku cari kau kesegala tempat. Tak tahunya kau berada disini."

"Perlu apa kau cari aku?" tanyanya. "Aku lupa menanya she nona yang mulia dan nama yang besar," jawabnya.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar