Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 08

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 08

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 08

Sesudah lewat sekian jurus tagi, tiba tiba pemuda itu menyerang dengan pukulan huruf "Liong" (naga). Mendadak satu tangannya menangkap San-thung Goan giap yang dengan menggunakan ilmu meminjam tenaga, memukul tangan lalu disentaknya kearah toya Goan im. "Trang !"Hebat sungguh bentrokan kedua toya itu. Tenaga kedua pendeta itu yang sudah cukup hebat, ditambah lagi dengan tenaga Thio Coei San. Telapak-tangan Goan im dan Goan giap terbeset dan mengeluarkan darah. Lengan mereka kesemutan, sedang kedua Sian thung itu melengkung.

Dengan kaget, Goan sim menubruk untuk memberi pertolongan. Melihat serangan nekat, Coei San mengengos sambil mengggaet dengan kakinya dan menepuk punggung pendeta itu. Tepukan itupun dikirim dergan ilmu "Meminjam tenaga, memukul tangan" yaitu memukul dengan menuruti tenaga Goan sim sendiri. Tanpa ampun, pendeta itu terjungkel.

Sambil tertawa dingin, Thio Coei San lantas saja berjalan pergi,

"Jangan lari kau!" terial Goan sim seraya melompat bangun dan terus mengudak diikuti oleh kedua saudara seperguruannya.

Melihat pengejaran nekat, Coei San jadi bingung juga. Tentu saja sama sekali bukan maksudnya untuk mencelakakan mereka. Maka itu, ia segera mengempos semangat dan lari dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Tapi ketiga pendata itu terus mengubar sambil berteriak-berteriak.

Sembari lari Thio Coei San merasa geli didalam hati, karena bagaimanapun juga, ketiga pangejar itu tak akan bisa menyandak dirinya. Selagi enak lari, tiba-tiba terdengar teriakan kaget dan kesakitan dan begitu menengok, ia lihat ketiga pendeta itu menutupi mata kanan mereka dengan kedua tangan, seperti kena senjata rahasia. "Orang she Thio!" Hoan giap mencaci. "Jika kau mempunyai nyali, butakanlah lagi mata kiriku!"

Coei San kaget bukan main. "Apa mata kanannya dibutakan orang dengan senjata rahasia?"tanyanya didalam hati.

"Siapa yang sudah membantu aku. Mendadak ia ingat sesuatu dan lantas saja berteriak! "Cit tee !Cit tee! Dimana kau?" Ia berteriak begitu karena ingat bahwa diantara saudara-saudara seperguruannya Boh Seng Kok lah yang paling pandai dalam ilmu menggunakan senjata rahasia. Boh Cit hiap mahir menggunakan piauw, panah tangan, paku, jarum, batu, Hoei hong sek dan lain-lain. Maka itu, ia menduga, bahwa orang yang telah menimpuk mata ketiga pendeta itu adalah adiknya yang paling kecil

Tapi sesudah memanggil beberapa kali, ia tak mendapat jawaban, ia melompat masuk kegerombolan pohon-pohon dipinggir telaga, tapi disitu pun ia tak lihat bayangan manusia.

Dilain pihak, sesudah seluruh matanya terluka, Goan giap jadi kalap dan sambil berteriak-teriak ia melompat untuk mengubar lagi. Tapi Goan im buru-buru menarik tangan Soeteenya. ia mengerti, bahwa meskipun belum terluka, mereka bertiga belum tentu dapat melawan musuh. Sekarang, sesudah terluka, apapula luka itu dirasakan gatal seperti kena senjata beracun keadaan mereka jadi lebih jelek lagi dan tak usah harap bisa memperoleh kemenangan. "Giap Soetee, " katanya dengan suara menghibur. "Dalam usaha membalas sakit hati, orang tak perlu terlalu bernapsu. Dalam urusan ini, andai kata kita bertiga mau menyudahi saja, Hong thio dan kedua Soepeh sudah pasti tak akan tinggal diam."

Sementara itu, sesudah ternyata pengubaran atas dirinya dihentikan, Coei San mulai memikiri kejadian barusan dengan rasa heran yang sangat besar. "Aku suka mengunggulkan ilmu mengentengkan badanku, tapi kepandaian orang itu kelihatannya banyak lebih tinggi dari padaku. Tapi siapa dia!"

Ia tak berani berdiam lama-lama lagi dipinggir telaga dan lantas berjalan pulang kerumah penginapan. Tapi baru saja berjalan puluhan tombak, sekonyong-konyong ia lihat bergoyang-goyangnya rumput tinggi ditepi telaga. Ia tahu bahwa disitu bersembunyi orang dan dengan hati-hati ia mendekati. Baru saja ia ingin menegur, dari antara rumput-rumput melompat keluar seorang yang terus membacok kepalanya dengan golok sambil membentak: "Kalau bukan aku, kau yang mampus!"

Dengan cepat Coei San mengegos dan mengirim tendangan yang mengenakan jitu pergelangan tangan kanan orang itu sehingga goloknya terbang dan jatuh diatas air. Orang itu yang gundul kepalanya dan mengenakan jubah pertapaan. Lagi-lagi seorang pendeta Siauw lim sie "Bikin apa kau di sini?" bentak Coei San.

Tiba-tiba ia lihat 3 sosok tubub yang menggeletak tanpa bergerak, entah sesudah mati, entah terluka berat didalam rumput-rumputan tinggi. Tanpa menghiraukan lawannya ia segera mendekati dan membungkuk. Begitu lihat, ia terkesiap karena ketiga orang itu bukan lain daripada pemimpin-pemimpin Liong boen Piauw kiok, yaitu Touw Tay Kim, Ciok dan Soe Piauw tauw. "Touw Cong piauw tauw!" serunya. "Kau !.... kau ..... " Perkataannya diputuskan oleh melompatnya Touw Tay Kim yang seperti orang edan lalu menyengkeram bajunya didada dan mencaci:"Bangsat ! Aku hanya simpan tiga ratus tahil perak, tapi kau sudah lantas berlaku begitu kejam."

"Ada apa?" tanya Coei San. Baru saja ia ingin memberontak, mendadak ia melihat darah di ujung mata dan mulut Cong Piauw tauw itu. Ia kaget bukan main. "Kau mendapat luka dalam?" tanyanya.

Touw Tay Kim menengok ke pendeta itu dan berkata dengan suara parau: "Soetee, kenalilah Orang ini Gin Kauw Tiat hoa Thio Coei San. Dia.... dialah pembunuhnya. Lekas kau pergi ! . . lekas ! jangan kena dicandak olehnya . .".

Mendadak kedua tangannya membetot keras dan kepalanya dibenturkan ke dada Thio Ngo hiap dengan tujuan untuk mati bersama. Coei San mengangkat kedua tangannya dan mendorong. "Bluk!", badan Touw Tay Kim terpental dan jatuh terjengkang tapi bajunya sendiripun menjadi robek.

Thio Coei San adalah seorang yang tidak mengenal takut. Tapi kejadian-kejadian malam itu dan paras muka Touw Tay Kim adalah sedemikian menyeramkan, sehingga bulu romanya bangun semua. Dengan hati berdebar-debar, ia membungkuk untuk coba menolong, tapi Touw Tay Kim sudah melepaskan napasnya yang penghabisan. Sesudah mendapat luka berat, dorongan Coei San dan jatuhnya ditanah telah menghabiskan jiwanya.

"Bangsat!" teriak sipendeta. "Kau!..... kau binasakan Soe hengku !" Ia memutar badan dan terus kabur sekeras-kerasnya.

Coei San menghela napas panjang dan menggeleng gelengkan kepalanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa Ciok dan Soe Piauw tauw, yang kakinya masuk kedalam air, sudah mati lebih dulu.

Bukan main rasa dukanya pemuda itu. Dengan Touw Tay Kim, ia tak mempunyai permusuhan apapun juga. Ia hanya merasa jengkel karena dalam mengantar Jie Thay Giam, Cong piauw tauw itu sudah diabui orang dan menyerahkan samkonya kepada kawanan orang jahat. Tapi sekarang melihat kebinasaan yang begitu menyedihkan, ia merasa sangat terharu dan kasihan. Untuk beberapa saat, ia berdiri bengong. Tiba-tiba ia ingat perkataan Cong piauw tauw itu yang mengatakan, "aku hanya menyimpan tigaratus tahal emas, tapi aku sudah lantas berlaku begitu kejam".

Sebenar-benarnya, jangankan ia tak tahu hal itu, sekalipun tahu, ia pasti tak akan sembarangan membunuh orang. Ia segera membungkuk daa membuka buntalan yang diikat dipunggung Cong piauw tauw itu. Benar saja, dalam buntelan itu kedapatan beberapa potongan emas.

Coei San jadi bertambah duka. Ia ingat kesukaran dan penderitaan seorang piauw tauw yarg mencari sesuap nasi dengan melakoni perjalanan li (peep: ???) dan setiap hari hidup diujung senjata. Tujuan satu-satunya adalah mengumpul sedikit uang untuk berjaga-jaga keperluan dihari tua. Uang itu sekarang menggeletak disamping Touw Tay Kim, tapi ia sudah tak dapat menggunakannya. Mengingat begitu, ia menghela napas. Ia ingat pula, bahwa ini malam, seorang diri ia telah mengalahkan tiga pendeta Siauw lim sie sehingga namanya naik tinggi dalam Rimba Persilatan. Tapi apa artinya itu semua? Pada akhirnya ia dan Tuow Tay Kim tidak banyak bedanya, yaitu berpulang ketempat baka.

Tanpa merasa, sekali lagi ia melamun ditengah telaga. Mendadak terdengar suara khim. Ia mengawas kearah suara itu dan mendapat kenyataan, bahwa sastrawan yang tadi minum arak seorang diri di dalam perahu, yang sekarang yang menetik khim. Sesaat kemudian, dengan menuruti irama tabuh-tabuhan itu, ia menyanyi:

"Mendapat ilham, tenaga pit seolah olah menggetarkan Ngo gak,

Syair rampung suara bersyair mencapai Ciang Cioe.

Kalau nama dan kemuliaan terus berdiri tegak,

Sangai Han soei seharusnya mengalir balik ke barat laut."

Coei San terkejut. Suara itu yang merdu dan nyaring, seperti juga suara seorang wanita, sedang sajak mengenakan jitu isi hatinya. Dilain saat, ia segera mengangkat kaki uatuk meninggalkan tempat itu, karena, jika perahu itu mendekati dan si sasterawan melihat ketiga mayat yang menggeletak disitu, dia mungkin berteriak dan mengakibatkan datangnya serdadu peronda. Tapi baru ia bertindak, sastrerawan itu sekonyong-konyong menepuk khim dan berkata dengan suara nyarirg: "Jika Heng tay (saudara) merasa senang untuk pelesir diatas telaga, mengapa Heng tay tak mau naik kesini?". Sambil berkata begitu, ia mengebas tangannya dan tukang perahu yang duduk dikemudi lantas saja menggayu perahu itu ketepi telaga.

"Orang itu sedari tadi sudah belada diatas telaga sehingga mungkin sekali aku akan bisa mendapat keterangan berharga dari mulutnya," pikir Coei San yang lalu turun dipinggir air. Begitu perahu itu datang dekat, ia segera melompat kekepala perahu.

Dengan ilmu mengentengkan badannya yang sangat tinggi, lompatannya itu sedikitpun tidak menggoncangkan badan perahu. Sisasterawan bangun berdiri dan sambil tersenyum, ia menyoja, akan kemudian menunjuk kursi supaya tamunya duduk.

Dengan pertolongan sinar tengtoleng Coei San mendapat kenyataan bahwa sastrawan itu kulitnya putih bagaikan susu dan pantasnya cantik ayu, sedang waktu ia bersenyum pada pipi kirinya yang agak kurus tertampak sebuah sujen. Dipandang dari jauh, ia kelihatannya seperti seorang tongcoe yang tampan, tapi dilihat dari dekat, ia adalah seorang wanita muda belia yang mengenakan pakaian lelaki.

Sebagai murid Thio Sam Hong, Coei San telah diajar untuk mentaati sopan santun dan memegang keras peraturan pada jaman itu, mengenai pergaulan antara pria dan wanita.

Selama malang melintang dalam dunia Kangouw, Butong Cit hiap belum pernah dibikin mabok oleh kecantikan wanita.

Maka itulah, setelah mengetahui, bahwa sasterawan itu adalah seorang wanita, parasnya lantas saja berubah merah dan begitu bangun berdiri, ia segera melompat balik kedaratan. Sambil menyoja ia berkata dengan sikap menghormat: "Aku yang rendah tak tahu, bahwa nona adalah seorang wanita yang menyamar sabagai pria. Untuk kelancanganku, harap nona sudi memaafkan."

Tanpa menjawab, nona itu memetik khin seraya bernyanyi

"Kejengkelan menghilangkan kegembiraan,

kesepian menimbulkan kedukaan.

Terbang berputaran, memandang ketempat jauh.

Mencekal pedang, melompat ke atas perahu."

Mendengar nyanyian itu, yang mengundangnya untuk kembali keperahu, Coei San berkata di dalam hati: "Malam ini aku telah bertemu dengan banyak soal sulit. Nona itu rupanya dapat membantu aku dalam usaha mencuci bersih segala tuduhan yang tidak-tidak." Memikir begitu ia lantas saja bergerak untuk melompat kembali ke perahu.

Tapi ia lantas mendapat lain ingatan. "Ah! Aku belum mengenalnya dan ia begitu cantik," pikirnya. "Jika aku membuat pertemuan di tengah malam buta, namanya yang suci bersih bisa ternoda."

Selagi bersangsi, tiba-tiba ia dengar suara penggayu memukul air, dan perahu itu sudah bergerak ketengah telaga. Dilain saat terdengar bunyi khim yang diiring dengam nyanyian seperti berikut;

"Malam ini kuhilanag kegembiraan,

Besok malam, belum ada ketentuan.

Dibawah Liok ho tah,

Yanglie melambai, perahu menunggu,

Pemuda kesatria,

Apa sudi datang kesitu ?"

Semakin lama perahu jadi semakin jauh, sedang nyanyian itu pun semakin sayup kedengarannnya, sinar tengloleng kelihatan seperti sebutir kacang dan kemudian menghilang dari pemandangan.

Pengalaman Thio Coei San pada malam itu sungguh-sungguh luar biasa. Disaat ini, dia menghadapi pembunuhan, mayat dan pertempuran disaat lain, ia bertemu dangan wanita cantik, khim dan nyanyian merdu. Lama juga ia berdiri ditepi telaga, seperti orang hilang ingatan. Kemudian sambil menghelan napas, dengan tindakan lesu ia kerumah penginapan.

Pada esok harinya, pembunuhan hebat digedung Liong boen Piauw kiok dan ditepi telaga telah menggemparkan seluruh kota Lim an. Thio Coei San yang gerak geriknya lemah lembut seperti seorang sasterawan tentu saja tidak dicurigai. Hari itu, dari pagi sampai sore, ia berputar-putar dipasar pasar dikelenteng-keleteng dalam usaha mencari Jie Lim Coe dan Boh Seng Kok. Tapi jangankan orangnya, sedangkan tanda tandanyapun yang biasa ditaruh disepanjang jalan jika Boe tong Cit hiap sedang manjalankan tugas tak kelihatan.

Sesudah mata hari mendoyong kebarat, mau tak mau, ia ingat nyanyian nona cantik itu yang selalu terbayang didepan matanya. "Jika aku berlaku sopan, halangan apa aku menemuinya?" katanya di dalam hati, "Memang alangkah baiknya jika Jieko dan Cit tee berada disini dan bisa turut serta. Ya, aku mesti bertemu dengan nona itu. Dia adalah orang satu-satunya yang bisa ditanyakan olehku." Sesudah mengambil keputusan, buru-buru ia menangsal perut dan lalu berangkat kepagoda Liok ho tah.

Liok ho tah berada ditepi Sungai Cian tongkang dan tempat itu terpisah agak jauh dari kota Lim an sehingga walaupun Thio Coei San menggunakan ilmu mengentengkan badan, waktu tiba di Liok ho tan, siang sudah terganti dengan malam.

Dari jauh ia sudah lihat, bahwa disebelah timur pagoda itu terdapat tiga pohon yanglioe dan dibawah pohon tertambat sebuah perahu kecil. Perahu perahu disungai itu kebanyakan menggunakan layar dan bentuknya banyak lebih besar daripada perahu pelesir ditelaga See ouw. Tapi perahu yang berada di bawah pohon yanglioe, tiada bedanya dengan perahu semalam dan dikepala perahu tergantung sebuah tengloleng.

Jantung pemuda itu, memukul keras dan sesudah dapat menenteramkan hatinya, barulah ia mendekati pohon yanglioe itu. Dikepala perahu kelihatan berduduk seorang wanita yang mengunakan baju muda. Ternyata nona itu tidak menyamar lagi sebagai pria.

Waktu berangkat dari rumah penginapan, Coei San bertekad untuk menemui sinona dan menanyakan urusan semalam. Tapi sekarang, melihat nona itu memakai pakaian perempuan, hatinya bersangsi lagi.

Sekonyong-konyong sinona mendongak dan mengucapkan sebuah sajak:

"Memeluk lutut dikepala perahu,

Sambil menunggu seorang tamu.

Angin meniup, ombak bergoyang.

Duduk melamun, pikiran meiayang."

"Aku yang rendah, Thio Coei San, ingin menanyakan sesuatu kepada nona," kata pemuda itu dengan suara nyaring.

"Naiklah keperahu," mengundang Sinona.

Dengan gerakan yang indah Coei San melompat ke atas

"Kemarin awan hitam menutupi langit dan bulan tak muncul," kata nona itu. "Malam ini langit bersih, lebih menyenangkan daripada kemarin." Suaranya merdu dan nyaring tapi ia bicara sambil mengawasi langit.

"Apakah boleh ku tahu she nona yang mulia?" tanya Coei San sambil membungkuk.

Mendadak Sinona menengok dan matanya kedua yang bening menyapu muka itu. Tapi ia tak menjawab pertanyaan orang.

Pemuda itu jadi kemalu-kemaluan. Tanpa berani mengeluarkan sepatah kata lagi, ia memutar badan dan lalu melompat kedaratan dan berlari-lari. Sesudah lari beberapa puluh tombak, ia menghentikan tindakannya. "Coei San! Coei San !'" Ia mengeluh "Kau dikenal sebagai seorang gagah yang selama sepuluh tahun didunia Kang ouw tidak mengenal apa artinya takut. Tapi mengapa begitu berhadapan dangan seorang wanita, kau lari terbirit birit ?" Ia menengok dan melihat perahu si nona maju perlahan-lahan disepanjang pingiran sungai, dengan menuruti aliran air. Dengan hati ber debar-debar, ia lalu berjalan disepanjang gili gili, berendeng dengan perahu, sedang nona itu sendiri masih tetap duduk dikepala perahu sambil memandang langit.

Jilid 7

Sesudah berjalan beberapa lama, tanpa merasa Coei San dongak mengawasi rembulan yang sedang dipandang sinona. Tiba-tiba di sebelah timur laut muncul segumpal awan hitam. Benar juga orang kata, angin dan awan tak dapat ditaksir kedatangannya. Dengan cepat, awan itu bergerak dan meluas. Tak lama kemudian, rembulan sudah tertutup awan hitam dan berbareng dengan turunnya angin, hujan gerimis mulai turun.

Ketika itu, Coei San sedang berjalan digili-gili yang berdampingan dengan sebidang tanah lapang dan disekitar itu tak ada tempat meneduh. Tapi pemuda yang sedang was-was itu pun tidak ingin cari tempat meneduh. Walaupun yang turun hanya gerimis, lama-lama pakaian Coei San basah juga. Ia melirik sinona yang juga masih tetap duduk dikepala perahu, dengan tak menghiraukan serangan hujan. Tiba-tiba ia tersadar.

"Nona, masuklah! Apa kau tak takut basah?" teriaknya.

"Ah!" nona itu mengeluarkan seruan tertahan sambil bangun berdiri. "Eh, apa kau juga tak takut basah ?"

Sehabis berkata begitu, ia masuk kegubuk perahu dan keluar pula dengan tangan mencekal payung, yang lalu dilontarkan kearah pemuda itu. Coei San menyambuti dan lalu membukanya. Diatas payung terdapat lukisan pemandangan alam yang sangat indah: gunung, air dan beberapa pohon yanglioe, sedang diatas gambar terdapat huruf-huruf seperti berikut: "Sia hong see ie poet hie kwi."

Payung Hangcioe memang biasa ada lukisannya. Tapi tulisan seperti itu, yang banyak terdapat pada barang pecah belah keluaran Kangsay, adalah sedikit luar biasa. Dengan rasa kagum, Coei San membaca huruf-huruf itu, yang walaupun masih kurang bertenaga sangat indah ayu dan mengunjuk jelas sebagai buah kalam seorang wanita. Dengan mata mengawasi tulisan itu, ia berjalan terus sehingga ia tak lihat sebuah solokan kecil yang melintang ditengah jalan. Tiba-tiba saja kakinya menginjak tempat kosong dan jika ia seorang biasa, ia pasti terjungkal kedalam solokan itu. Tapi Thio Coei San bukan orang biasa. Sedang kaki kanannya kejeblos, kaki kirinya sudah menotol pinggir solokan dan badannya meleset kedepan, sehingga ia hinggap diseberang dengan selamat.

"Bagus!" memuji sinona.

Coei San menengok dan melihat nona itu berdiri di kepala perahu dengun memakai tudung. Pakaiannya berkibar-kibar ditiup angin dan disambar hujan gerimis, sehingga dipandang dari kejauhan, ia seolah-olah seorang dewi.

"Apakah tulisan dan lukisan diatas payung itu cukup berharga untuk dilihat oleh Thio Sianseng?" tanya sinona.

"Huruf-huruf ini ditulis menurut Soe hoat (sari menulis) dari Wie Hoejin," jawabnya. "Biarpun coretannya agak pendek, artinya panjang. Huruf huruf ini sudah cukup indah".

Mendengar pengertian pemuda itu akan seni menulis dan pujian yang diberikan kepadanya, sinona jadi girang. "Dalam tujuh huruf itu, huruf 'poet' yang paling jelek." katanya.

Coei San mengawasi pula tulisan itu seraya berkata: "Tulisan cukup wajar, hanya kurang memperlihatkan arti yang tergenggam dalam huruf itu. Berbeda dengan enam huruf lainnya yang sangat indah dan tidak membosankan."

"Benar," kata sinona "Sudah lama aku merasa bahwa dalam huruf itu terdapat kekurangan itu. Sesudah Sianseng menjelaskan, barulah aku mendusin."

Perahu terus laju kealiran sebelah bawah, sedang Thio Coei San terus mengikuti sambil omong omong tentang seni menulis. Tanpa merasa mereka sudah melalui belasan li dan siang sudah terganti dengan malam. Tiba-tiba sinona berkata: "Benar juga dikatakan orang, bahwa bicara semalaman dengan seorang pandai, banyak lebih berfaedah daripada membaca buku sepuluh tahun. Terima kasih banyak untuk keteranganmu, dan di sini saja kita berpisahan," Sehabis berkata begitu, ia memberi isyarat dengan tangannya dan layar perahu lantas saja naik dengan perlahan. Sesudah layar terpentang perahu itu lantas saja laju dengan pesatnya. Dengan mata mendelong, Coei San mengawasi perahu sinona yang semakin lama jadi semakin jauh. Sekonyong konyong, sayup-sayup ia dengar teriakan sijelita: "Aku she In. Dilain hari, aku akan meminta pelajaran lagi."

Mendengar kata kata "aku she In", pemuda itu terkesiap. Ia ingat keterangan Touw Tay Kim, bahwa orang yang menyuruhnya untuk mengantar kan Jie Thay Giam ke Boe tong san adalah seorang sasterawan tampan yang mengaku she In. Apakah sasterawan she In itu sinona adanya?

Memikir begitu, tanpa memperdulikan lagi soal pembatasan pergaulan antara pria dan wanita, ia segera mengempos semangat dan mengubar dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan. Ia sudah menyandak. "In Kouwnio!" teriaknya. "Apakah kau kenal Jie Samko Jie Thay Giam?"

Nona itu menengok tanpa menjawab. Lapat-lapat Coei San seperti mendengar suara hela napas panjang. "Nona ada beberapa soal yang kuingin tanya," teriaknya pula.

"Soal apa?" sinona balas tanya.

"Apakah kau yang sudah minta Liong boen Piauw kiok mengantar Jie Samko ke Boe tong san?", tanya Coei San. "Tapi apa Kouwnio tahu, bahwa sesudah tiba di Boe tong san, Jie Samko telah dianiaya orang ?"

"Untuk kejadian itu, aku sungguh merasa sangat menyesal," jawabnya.

Sedang mereka tanya jawab, angin turun semakin besar dan perahu laju semakin cepat. Tapi dengan memiliki Gin kang yang sangat tinggi, Coei San tetap bisa lagi berendeng.

Dilain pihak, setiap perkataan sinona yang di ucapkan secara biasa diantara hujan dan angin, dapat didengar tegas oleh Thio Coei San dan hal itu membuktikan bahwa iapun mempunyai Lwekang yang tinggi.

Semakin jauh, permukaan Sungai Cian tongkang kang jadi semakin luas dan hujan angin pun turun semakin hebat. "In Kouwnio, puluhan jiwa dalam Liong boen Piauw kiok telah dibinasakan orang." teriak Coei San. "Apa kau tahu siapa pembunuhnya?"

"Aku telah memberitahukan Touw Tay Kim bahwa dia harus hati hati mengantar Jie Samhiap pulang ke Boe tong." sahutnya. "Kalau dia gagal...."

"Kau akan membasmi seluruh keluarge piauw kiok, sekalipun ayam dan anjing tidak diberi ampun." menyambung pemuda itu.

"Benar." katanya. "Dia tak bisa melindungi Jie Samhiap dan segala kejadian berikutnya adalah salahnya sendiri."

Coei San mencelos hatinya. Ia menggigil seperti disiram air es. Dengan mata membelalak, ia berteriak: "Kalau begitu, semua orang digedung itu telah.... telah...."

"Dibunuh olehku," menyambungi si nona.

Mata pemuda itu ber-kunang2. Mimpi pun ia tak pernah mimpi, bahwa wanita yang begitu cantik ayu adalah si pembunuh kejam. Lewat beberapa saat, sesudah menenteramkan hatinya, barulah ia dapat membuka suara lagi: "Siapa yang bunuh dua hweeshio Siauw lim sie itu?"

"Aku," jawabnya dengan tenang. "Sebenarnya aku tidak berniat menanam bibit permusuhan dengan Siauw lim sie, akan tetapi karena mereka berlaku kurang ajar, aku tak dapat mengampuninya.."

"Tapi.... tapi kenapa semua kesalahan ditumpuk diatas pundakku?" tanya pula pemuda itu.

Si nona be-senyum. "Akulah yang sengaja mengatur begitu!" jawabnya.

Darah Thio Coei San bergolak-golak, ia merasa dadanya seperti mau meledak "Kau yang sengaja mengatur begitu? Supaya mereka sakit hati kepadaku?" teriaknya dengan suara kalap.

"Tak salah," jawabnya sambil tertawa.

"mengapa kau berbuat begitu, sedang kau dan aku sama sekali tidak bermusuhan?" Coei San berteriak pula.

Si nona tidak menjawab. Tiba-tiba sambil mengebas tangan bajunya, ia melompat masuk dalam gubuk parahu.

Coei San tentu saja tak mau mengerti. Ketika itu perahu terpisah belasan tombak dari tepi sungai dan ia tak dapat mencapainya dengan satu lompatan. Dengan kegusaran meluap-luap, ia menghantam satu pohon dan mematahkan dua cabang yang agak besar. Sambil melontarkan satu antaranya ketengah sungai kearah perahu itu, kakinya menotol tanah dan badannya melesat bagaikan anak panah. Begitu hinggap, kaki kirinya menotol cabang itu dan tubuhnya kembali melesat beberapa tombak jauhnya, sembari melontarkan cabang yang satunya lagi. Seperti tadi, kaki kanannya menotol cabang itu dan bagaikan seekor burung, ia hinggap diatas kepala perahu. "Hei !" bentaknya. "Bagaimana kau melakukan perbuatanmu itu?"

Tapi dari dalam gubuk itu tidak terdengar jawaban. Ia sangat ingin menerjang masuk, tapi sebisa-bisa ia menahan sabar, karena merasa, bahwa perbuatan itu adalah tidak sopan.

Sekonyong-konyong lilin dalam gubuk menyala terang. "Masuklah!" undang si nona.

Sesudah merapikan pakaiannya, Coei San bertindak masuk. Mendadak ia kaget, karena dalam gubuk itu kelihatan berduduk seorang pemuda yang mengenakan thungsha hijau dan topi empat persegi, sedang tangan kanannya menggoyang-goyang kipas. Ternyata, dalam sekejap si nona sudah menukar pakaian lelaki dan dalam pakaian begitu, ia kelihatannya mirip sekali dengan Thio Ngohiap.

Tadi Coei San menanya, bagaimana ia telah berlaku sehingga, pendeta-pendata Siauw lim sie menduga, bahwa pembunuhan itu dilakukan olehnya. Tanpa menjawab, nona In telah memberi jawaban. Dengan mengenakan pakaian sasterawan, ditempat yang agak gelap, sukar sekali akan orang membedakan yang mana si wanita. Maka itu tidaklah heran jika Hoei hong dan Touw Tay Kim menuduh padanya.

"Thio Ngohiap, duduklah," mengundang si nona sambil menuang teh disebuah cangkir. Ia mengangsurkan cangkir itu seraya berkata: "Sungguh menyesal aku tak punya arak untuk disuguhkan kepada Ngohiap."

Penyambutan yang sangat ramah tamah itu memaksa Coei San menahan hawa amarahnya. "Terima kasih," katanya sambil membungkuk.

Melihat pakaian pemuda itu basah kuyup sinona berkata pula: "Dalam perahu ini aku masih mempunyai seperangkat pakaian laki-laki. Ngohiap boleh pergi kebelakang untuk menukar pakaian yang basah itu."

"Tak usah," sahutnya sambil menggelengkan kepala. Ia lantas saja mengerahkan Lweekang dan hawa panas segera mengalir di seluruh badannya, sehingga tak lama kemudian pakaian yang basah itu menjadi kering.

"Aku tak ingat, bahwa Lweekang Boe tong pay luar biasa tinggi," kata si nona sembari bersenyum. "Dengan menyuruh menukar pakaian, siauw moay benar-benar berpandangan sempit."

"Bolehkah aku mendapat tahu partai nona?" tanya Coei San.

Mendengar pertanyaan itu, si nona memandang keluar jendela, alisnya berkerut dan pada paras mukanya tertampak sinar kedukaan.

Melihat perubahan itu, Coei San tidak berani mendesak lagi. Lewat beberapa saat, barulah ia berkata pula: "Nona, siapakah yang menganiaya Jie Samko? Bolehkah kau memberitahukan aku?"

"Bukan saja Tauw Tay Kim, tapi akupun sudah kena diakali," jawabnya, "Sebetulnya aku mengingat bahwa Boe tong Cit hiap adalah pendekar-pendekar yang gagah tampan dan tidak bisa jadi beroman begitu kasar."

Mendengar jawaban yang menyimpang, yang menyebut-nyebut "gagah tampan", Coei San mengerti bahwa sinona tengah memuji dirinya dan hatinya lantas saja berdebar-debar, sedang mukanya berubah merah.

Sesaat kemudian, nona In menghela napas sambil menggulung tangan baju kirinya. Coei San buru buru menunduk, ia tak berani mengawasi lengan yang putih itu.

"Apa kau kenal senjata rahasia ini?" tanya si nona.

Mendengar perkataan "senjata rahasia", Coei San mengangkat kepala dan melihat tiga batang piauw baja kecil yang menancap dilengan kiri dan

diseputar senjata rahasia itu terlihat warna hitam seperti air bak.

Panjangnya piauw itu hanya satu setengah dim dan kira-kira satu dim masuk kedalam daging sedang buntut piauw yang menonjol keluar berbentuk bunga bwe. Coei San terkejut dan berseru sambil bangun berdiri: "Ah ! Bweehoa piauw dari Siauw limsie. Mengapa berwarna hitam?"

"Tak salah," kata sinona. "Bwee hoa piauw dari Siauw lim sie. Piauw itu mengadung racun."

"Siauw lim sie adalah partai persilatan yang ternama, sehingga menurut pantas tak mungkin orang Siauw lim sie menggunakan senjata rahasia beracun." kata Coei San. "Tapi piauw itu adalah senjata yang hanya dapat digunakan oleh orang Siauw lim sie."

"Aku juga merasa sangat heran," kata nona itu. "Sebagaimana dikatakan oleh gurumu, hancurnya tulang tulang Soehengmu juga adalah akibat cengkeraman Kim kongcie, yaitu ilmu istimewa dati Siauw limsie."

Coei San terkejut. Keterangan gurunya hanya didengar oleh saudara-saudara seperguruannya. Bagaimana nona itu dapat mengetahuinya? "Nona, apakah kau pernah bertemu dengan Jie Soeko Jie Lian Cioe dan Cit tee Boh Seng Kok?" tanyanya dengan tergesa-gesa.

Sinona menggelengkan kepala. "Aku hanya bertemu satu kali dengan mereka di Boe tong," jawabnya.

Bukan main rasa herannya Coei San, "Apa nona pernah datang di Boe tong?" tanyanya. "Mengapa aku tak tahu? ... Nona, sudah berapa lama kau kena piauw itu? Kau harus cepat cepat mencari obat." Waktu berkata begitu, paras mukanya mengunjuk rasa kuatir

"Sudah duapuluh hari lebih," jawabnya dengan suara berterimakasih, "Aku sudah menggunakan obat untuk menahan mengamuknya racun itu, sehingga untuk sementara waktu, aku masih dapat mempertahankan diri. Tapi aku tidak berani mencabutnya, sebab kuatir, begitu tercabut, racun akan menjalar kelain bagian tubuh dengan mengikuti aliran darah."

Pemuda itu mengerti, bahwa dalam usaha menahan menjalarnya racun, seseorang bukan saja harus menelan obat mustajab, tapi juga harus memiliki Lweekang yang sangat tinggi. Dilihat romannya, nona itu baru berusia kira-kira delapanbelas tahun dan bahwa ia sudah mempunyai Lweekang yang sedemikian tinggi, adalah kenyataan yang sangat mengagumkan. Tanpa merasa ia berkata dengan suara terputus-putus "Nona .... sesudah duapuluh hari lebih .... kukuatir. .dibelakang hari, pada kulitmu akan terdapat .... terdapat bekas-bekas yang tak akan hilang....." Sebenarnya apa yang dikuatirinya yalah: jika, racun itu mengeram terlalu lama, sinona mungkin tak akan dapat menggunakan tangan kirinya lagi.

Mendengar perkataan Coei San, air mata sinona berlinang-linang dikedua matanya. "Aku sudah berusaha sedapat mungkin...." - katanya dengan suara peralahan "Semalam aku sudah menggeledah badannya pendeta pendeta Siauw lim itu, tapi tak bisa mendapatkan obat pemunah.... Lengan ini tak akan dapat digunakan lagi." Sambil berkata begitu perlahan-lahan ia menurunkan tangan jubahnya.

"Rasa kesatrian Thio Coei San lantas saja tampil kemuka. "In Kouwnio," katanya dengan suara tetap. "Apakah kau percaya aku? biarpun Lwee kangku masih sangat cetek. kupercaya masih dapat membantu kau dalam usaha mengeluarkan racun itu diri dalam lenganmu."


Nona In tertawa dan pada pipinya terlihat sujen yang sangat manis. Ia kelihatan girang dan paras mukanya berseri-seri. "Thio Ngo hiap," katanya, "Dalam hatimu terdapat banyak sekali pertanyaan dan kesangsian. Biarlah lebih dulu aku memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya, supaya sesudah menolong aku, kau tidak akan merasa menyesal."

"Mengobati sakit dan menolong manusia adalah tugas orang-orang Rimba Persilatan," kata Coei San dengan suara nyaring. "Bagaimana aku bisa menyesal?"

"Sudah duapuluh hari lebih racun itu mengeram dalam badanku, sehingga sekarang kita tak perlu terlalu tergesa-gesa," kata sinona sambil tersenyum. "Biarlah kau dengar dulu penuturanku. Hari ini sesudah menyerahkan Jie Sam hiap kepada Liong boen piauw kiok, aku sendiri diam-diam menguntit dari belakang. Benar saja, disepanjang jalan beberapa orang ingin turunkan tangan jahat terhadap Jie Sam hiap, tapi semuanya sudah dipukul mundur olehku. Kejadian itu sama sekali tidak diketahui oleh Tauw Tay Kim."

Thio Coei San lantas saja mengangkat kedua tangannya "Budi nona yang sangat besar tak akan dilupakan

oleh segenap murid Boe tong pay," katanya sambil menyoja.

"Jangan terburu napsu menghaturkan terimakasih kepadaku," kata nona In sambil bersenyum. "Sebentar kau bisa membenci aku."

Coei San terkejut, Ia tak mengerti apa yang dimaksudkan sinona.

"Sepanjang jalan," ia melanjutkan penuturannya "Hari ini aku menyamar sebagai petani, lain hari sebagai saudagar dan terus membuntuti dari belakang. Tak dinyana, sesudah tiba di Boe tong baru terjadi peristiwa yang menyedihkan"

"Apakah nona lihat enam penjahat itu?" tanya Coei San sambil mengertak gigi. "Touw Tay Kim benar-benar tolol. Dia tak dapat memberikan keterangan apapun jua tentang asal usul enam penjahat itu."

"Bukan saja lihat, aku malah sudah bertempur dergan mereka," jawabnya. "Tapi akupun tolol. Aku juga tak tahu asal usul mereka." Sesudah mengirup teh, ia berkata pula: "Pada waktu enam orang itu turun dari atas gunung dan bicara dengan Touw Tay Kim, aku mengawasi dari sebelah kejauhan. Kudengar Cong piauw tauw itu menggunakan istilah Boe tong Liok hiap dan merekapun menerima baik panggilan itu. Sesudah mereka menerima kereta Jie Sam hiap, dari tangan rombongan piauw kiok, aku anggap, urusan sudah selesai dan aku menahan kuda dipinggir jalan, membiarkan lewatnya rombongan Touw Tay Kim,

Tapi dilain saat, aku terkesiap karena melihat sesuatu ang tidak masuk di akal. Siauw moay menganggap Boe tong Cit hiap saling menyintai seperti saudara saudara kandung sendiri. Menurut pantas, mereka ramai-ramai harus menengok Jie Sam hiap yang rebah di kereta dengan terluka berat. Tetapi kenyataannya, hanya seorang yang melongok kedalam kereta, sedang yang lainnya tidak mau mengambil perduli. Bukan saja begitu, paras muka mereka malahan menggunjuk perasaan girang dan sambil berteriak teriak, mereka mengikuti di belakang kereta. Itulah kejadian yang sangat mencurigakan sebab sangat tidak masuk akal.

"Tidak salah pendapat noda" kata Coei San sambil mengangguk beberapa kali.

"Semakin lama, hatiku jadi semakin tak enak," si nona berkata pula. "Aku segera mengubar dan menanyakan nama mereka. Mereka ternyata mempunyai mata yang cukup tajam. Sekelebatan, mereka sudah tahu, bahwa aku adalah seorang wanita yang menyamar sebagat pria. Aku mencaci mereka sebagai manusia rendah yang sudah menggunakan nama Boe tong Cit hiap dan merampas Jie Sam hiap dengan tipu busuk. Aku segera menerjang dan dilayani oleh seorang pemuda kurus yang berusia kurang lebih dua puluh tahun dengan dikawani oleh seorang too soe yang berdiri dipinggiran sedang empat kawannya yang lain berjalan sambil menggiring kereta.

Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata lagi

"Diluar dugaan, pemuda kurus itu sangat lihay dan dalam tigapuluh julUs, aku belum dapat menjatuhkannya. Mendadak imam yang berdiri di pinggiran mengayun tangan kirinya dan tiga batang piauw menancap ditanganku.

"Begitu kena, lenganku sakit sakit gatal. Aku gusar dan kegusaranku di tambah dengan perkataan sikurus yang sangat kurang ajar, yang sesumbar ingin menangkap aku. Aku segera membalas dengan tiga batang jarum dan ahirnya berhasil meloloskan diri" Berkata sampai disitu, muka sinona bersemu merah. Mungkin sekali sikurus yang dikatakan kurang ajar telah mengeluarkan kata-kata yang tak sopan.

"Melepaskan Bwee hoa piauw dengan tangan kiri banyak lebih sukar daripada dengan tangan kanan," kata Coei San, "Tapi mengapa murid Siauw lim pay mengenakan pakaian toosoe? Apa dia menyamar?"

Nona In tersenyum. "Kalau toosoe mau menyamar sebagai hweeshio, dia harus menyukur rambut," katanya. "Banyak lebih mudah kalau hwee shio menyamar sebagai toosoe. Sudah cukup jika dia memakai topi toojin"

Pemuda itu mengangguk sambil bersenyum.

"Aku mengerti, bahwa pada waktu itu aku tak bisa berbuat banyak," kata pula nona In. "melawan pemuda kurus itu saja, aku belum bisa menang, apalagi jika ditambah dengan siimam, yang kelihatannya lebih lihay lagi. Aku yakin, biar bagaimanapun aku tak akan dapat melawan enam orang itu."

Coei San membuka mulutnya, tapi ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata.

"Aku tahu apa yang dipikir olehmu," kata sinona. "Kau tentu ingin mengatakan mengapa kau tak mau naik ke Boe tong dan memberitahukan hal itu pada kami ? Bukankan kau ingin menanya begitu ? Hai! Sebabnya adalah karena aku tak boleh naik ke Boe tong! Kalau dapat maju sendiri, perlu apa aku minta bantuan Touw Tay Kim untuk mengantar Jie Samhiap ? Aku merasa sangat bingung dan tak tahu harus berbuat bagaimana. Selagi berjalan dengan rasa sangsi, mendadak aku lihat kau yang sedang bicara dengan Touw Tay Kim. Belakangan, dengan mengikuti rombongan piauwkiok itu aku turut naik ke Boe tong. Dalam kekalutan dan kedukaan, orang tidak memperhatikan diriku. Kalian menganggap aku sebagai anggauta piauw hang, sedang rombongan Liong boen Piauw kiok menganggap aku sebagai orang Boe tong pay."

Tiba-tiba sipemuda ingat sesuatu "Aha!" serunya. "Hari itu kau menyamar sebagai tukang kereta, bukan? Tudungmu ditekan kebawah sampai hampir menutupi muka."

"Sungguh lihay mata Thio Ngo hiap," jawab si nona sambil tertawa. "Jika waktu itu kau tidak dilipati kegusaran dan kesedihan, mungkin sekali rahasiaku sudah diketahui olehmu. Tapi aku tak dapat mengabui mata Song Toa hiap?"

"Toa soeko kenali kau?" menegas Coei San dengan rasa heran. "Tapi ia tak mengatakan apapun jua kepada kami,"

"Song Toahiap sangat sopan dan luhur pribudinya." memuji sinona In. "Kepadakupun ia tidak megatakan sesuatu apa. Hanya pada waktu memberikan kamar-kamar kepada rombongan piauw kiok, ia sengaja menunjuk sebuah kamar terpisah untukku sendiri."

"Ya, Toa soeko memang begitu", kata Coei San dengan rasa hormat terhadap kakak seperguruannya itu.

"Belakangan, bersama rombongan Touw Tay Kim aku turun gunung" kata sinona: "Aku telah menyaksikan, cara bagaimana kau sudah paksa mereka muntahkan lagi duaribu tahil emas itu, untuk menolong rakyat yang tertimpa bencana alam. Thio ngohiap, kau royal sekali dengan orang lain. Uang itu adalah uangku,"

Coei San tertawa geli. "Biarkan atas nama rakyat yang menderita, aku menghaturkan banyak banyak terima kasih kepadamu," katanya.

"Hm ! Kalau uang sudah berada dalam tangan orang-orang temaha, mana mereka sudi muntahkan seanteronya?" kata pula nona In. "Hanya karena nama Thio Ngohiap terlalu besar, maka mereka tidak berani tidak muntahkan. Aku tahu diam diam mereka menyimpan tigaratus tahil. Sesudah kembali kesini aku segera minta pertolongan orang untuk memeriksa luka ini. Ada yang kata, bahwa Bwee hoa Piauw adalah senjata rahasia istimewa dari Siauw lim sie sehingga jika tidak mendapat obat dari mereka, racun itu sukar dipunahkan. Dalam kota Lim an, kecuali di Liong boen Piauw kiok, tak ada orang lain yang berasal dari Siauw lim sie. Maka itu aku telah menyatroni untuk memaksa supaya mereka mengeluarkan obat pemunah itu. Tapi di luar dugaan, bukan saja mereka tidak memberikan, tapi juga sudah mempersiapkan kawan-kawannya dan begitu aku tiba, mereka lantas menyerang."

"Tapi nona bukankah tadi kau mengatakan, bahwa kaulah yang sudah sengaja mengatur, sehingga mereka menuduh aku?" kata Coei San.

Nona In kelihatan kemalu-maluan dan sambil menundukkan kepala, ia berkata dengan suara perlahan: "Melihat kau ke toko dan membeli pakaian, aku .... aku merasa pakaian itu bagus sekali. Maka itu, aku juga turut membelinya,"

"Hal itu tidak mengapa." kata Coei San "Tapi dengan membunuh beberapa puluh orang kurasa kau terlalu kejam. Dengan orang-orang Liong boen Piauw kiok kau sebenarnya tidak mempunyai permusuhan suatu apa."

Mendengar teguran itu, paras muka si nona lantas saja berubah. Ia tertawa dingin seraya berkata "Kau ingin memberi pelajaran kepadaku ? Hm! Aku sudah hidup sembilan belas tahun, tapi belum pernah ada yang mengajar aku. Thio Ngo hiap adalah seorang yang sangat mulia dan aku mempersilahkan kau berlalu saja. Manusia kejam tidak perlu berhubungan dengan seorang mulia."

Paras muka pemuda itu lantas saja berubah merah. Ia segera bangun berdiri. Baru saja mau bertindak keluar, tiba-tiba ingat janjinya untuk bantu mengobati luka-luka si nona.

"Gulung tangan bajumu," katanya.

Alis nona In berdiri dan kedua matanya melotot. "Aku tak perlu diobati olehmu!" katanya.

"Lenganmu sudah terluka lama sekali dan jika tidak segera diobati, aku kuatir .... aku kuatir akan keselamatan jiwamu," kata Coei San.

"Memang paling baik jika aku mampus," kata nona In dengan suara ketus "Kalau jiwaku melayang, kaulah yang sudah mencelakakan aku"

Mendengar kata-kata yang tidak beralasan itu, Coei San jadi heran "Eeh!" katanya "Kau telah dilukakan oleh orang Siauw lim sie, mengapa kau menyalahkan aku?"

"Kalau aku tidak melakoni perjalanan ribuan lie untuk mengantar Jie Samkomu ke Boe tong san, aku tentu tak akan bertemu dengan enam penjahat itu," kata si nona.

"Sesudah enam bangsat itu merampas Jie Samkomu, kalau aku berpeluk tangan, lenganku tentu takkan terluka. Dan jika kau datang terlebih siang dan memberi bantuan, aku pasti tidak akan sampai terluka."

Coei San lantas saja mengangkat kedua tangan nya dan berkata: "Benar. Aku yang rendah menawarkan bantuan kepada nona, untuk membalas sebagian kecil saja dari budimu yang sangat besar."

Nona In melengos, "Apa kau mengaku bersalah ?" tanyanya.

"Bersalah apa ?" menegas Coei San.

"Kau mengatakan aku kejam, pernyataan itu salah sama sekali," katanya dengan suara mendongkol. "Hweeshio-hweeshio Siauw lim sie, Touw Tay Kim dan kawan kawannya semua pantas dibunuh."

Coei San menggelengkan kepala. "Biarpun lengan nona terkena piauw tapi kau masih dapat ditolong," katanya. "Samsoeko terluka berat, tapi is masih hidup. Andaikan ia tak dapat diobati, paling banyak kita cari biang keladinya. Biar bagaimana pun juga, tidak pantas nona membunuh puluhan orang."

Si nona mendelik dan parasnya berubah gusar. "Kau tetap menyalahkan aku ?" bentaknya. "Apakah yang menimpuk lenganku dengan Bweehoa piauw bukan orang Siauw lim sie? Apakah Liong boen Piauw kiok bukan dibuka oleh orang orang Siauw lim sie?"

"Murid-murid Siauw lim sie tersebar di kolong langit, jumlahnya ribuan, malah mungkin laksaan orang," kata Coei San dengan suara sabar.

"Nona hanya diserang dengan tiga batang piauw. Apakah untuk membalas sakit hati itu kau ingin menbunuh semua murid Siauw lim sie?"

Karena kalah bicara, si nona jadi semakin gusar. Mendadak ia mengangkat tangan kanannya dan menghantam tiga piauw yang tertancap di lengan kirinya. Keruan saja ketiga senjata rahasia itu amblas kedalam daging dan luka jadi bertambah hebat.

Coei San terperanjat. Ia tak pernah menduga bahwa si nona mempunyai adat yang seaneh itu. Sedikit saja tak senang, ia lantas mempersakiti dirinya sendiri. Dipandang dari sudut itu, tidaklah heran jika dia bisa membunuh orang secara mem buta tuli.

"Mengapa kau berbuat begitu?" tanyanya dengan mata membelalak. Dengan hati berdebar-debar ia lihat tangan baju si nona yang mulai basah dengan darah hitam. Ia mengerti bahwa luka itu sudah terlalu berat dan Lweekang si nora tidak akan dapat menahan lagi naiknya racun sehingga jika tidak lantas ditolong, jiwanya bisa melayang. Maka itu tanpa mengeluarkan sepatah kata, tangan kirinya menyambar dan menyekal lengan kiri nona In, sedang tangan kanannya merobek tangan baju orang

Mendadak, Coei San dengar bentakan dibelakangnya: "Bangsat! Jangan kurang ajar kau!" Hampir berbareng, sebilah golok menyambar ke punggungnya. Ia tahu, bahwa yang menyerang adalah si tukang perahu. Dalam keadaan genting, tanpa menengoknya ia menendang dan orang itu terpental keluar dari gubuk perahu.

"Tak usah kau tolong, aku lebih baik mati!" teriak sinona. "Plok", muka pemuda itu digaplok keras-keras.

Rasa kaget dan sakit tercampur jadi satu. Tanpa merasa, Coei San melepaskan cekelannya.

"Pergi kau! Aku tak sudi lihat lagi mukamu," kata nona In.

Coei San malu dan gusar. "Baiklah," katanya. "Hmm! Betul-betul aku belum pernah lihat wanita yang begitu tak mengenal aturan." Sehabis mengomel, dengan tindakan lebar ia berjalan keluar.

Nona In tertawa dingin dan berkata: "Kau belum pernah lihat? Hari ini kau boleh lihat!" Coei San mengambil sepotong papan untuk digunakan sebagat papan loncatan untuk mendarat. Tapi baru saja ia mau melemparkan papan itu keair, hatinya merasa tidak tega karena ia yakin, bahwa perginya berarti binasanya nona kepala batu itu. Maka itu sambil menahan amarah, ia kembali kegubuk perahu. "Biar pun kau menggaplokku, aku tak jadi marah," katanya. "Gulung tangan bajumu. Apa kau mau mati ?"

"Aku mau mampus atau mau hidup, ada sangkut paut apa denganmu ?" tanya nona In dengan suara aseran. (peep: aseran=???)

"Dengan melalui perjalanan ribuan kau sudah mengantar Samko," kata Coei San. "Budi yang sangat besar itu tak bisa tidak dibalas."

Sinona tertawa dingin, "Bagus! Aku baru tahu, bahwa tujuanmu hanya untuk membayar hutang," katanya. "Kalau aku tidak mengantar Samko-mu, biarpun aku terluka lebih berat lagi, biarpun kau lihat aku sudah hampir menghembuskan napas penghabisan, kau tentu tak sudi menolong."

Mendengar perkataan itu, Coei Sin ternganga. "Ah!..... itu sih belum tentu ....." katanya tergugu. Tiba-tiba ia lihat sinona menggigil, sebagai tanda, bahwa racun sudah mulai naik ke atas "Kau sungguh gila!" katanya dengan suara berkuatir. "Janganlah kau main-main lagi dengan jiwamu sendiri."

Nona In menggigit gigi. "Kalau kau tidak mengaku bersalah. biar bagaimanapun juga, aku tak sudi ditolong olehmu," katanya. Kulit mukanya yang putih sekarang berubah pucat dan tubuhnya agak bergemetaran, sehingga pemuda itu jadi lebih tak tega lagi. Ia menghela napas seraya berkata: "Baiklah. Hitung-hitung aku yang salah dan kau tidak bersalah."

"Tak bisa!" kata sinona. "Kalau salah, ya salah. Mengapa kau menggunakan perkataan hitung-hitung? Mengapa sesudah menghela napas, baru kau mengaku salah? Hm! Pengakuanmu tidak keluar dari hati yang jujur."

Sebab perlu menolong jiwa, Coei San sungkan bertengkar lagi. "Kaizar Langit di atas, Malaikat Sungai dibawah, dengan hati yang setulus-tulusnya aku ingin menyatakan kepada nona In ....In ....." Ia tak dapat meneruskan perkataannya sebab belum tahu nama si nona.

"In So So," menyambungi nona itu.

"Hmm! .... kepada nona In So So, bahwa dalam segala hal, akulah yang bersalah, atau tegasnya, aku mengaku bersalah."

In So So bunga hatinya, ia tertawa dengan paras berseri seri. Tapi hampir berbareng, kedua lututnya lemas dan ia jatuh duduk dikursi. Buru-buru Coei San mengeluarkan sebutir Pek co Hoei sim tan, yaitu pel untuk melindungi jantung dari segala rupa serangan racun, yang lalu diberikan kepada So So. Sesudah ia menggulung tangan baju si nona dan mendapat kenyataan, bahwa separuh lengan itu sudah berwarna hitam ungu dan hawa racun terus naik keatas dengan cepatnya.

Sambil mencekel bahu si nona dengang tangan kirinya, la menanya: "Apa yang dirasakan oleh mu ?"

"Dadaku menyesak," jawabnya. "Mengapa kau tidak cepat-cepat mengaku salah? Kalau aku mati, kaulah yang berdosa."

Tentu saja Coei San tidak meladeni perkataan seperti anak kecil itu. "Tak apa-apa, legakanlah hatimu." katanya dengan suara lemah lebut. "Longgarkan semua otot-ototmu, jangan menggunakan tenaga sedikitpun, berbuatlah seperti kau sedang tidur pulas."

"Aku merasa seperti juga sudah mati," kata si nona.

"Hmm! Sesudah terluka begitu, dia masih begitu gila-gilaan," kata Coei San dalam hatinya. "Celaka sungguh orang yang jadi suaminya." Memikir begitu, jantungnya memukul keras, karena kuatir si nona dapat menebak apa yang dipikirnya. Ia melirik muka si nona yang kelihatan bersemu dadu, seperti orang kemalu-maluan. Tiba tiba kedua mata kebentrok dan mereka saling melengos. "Thio Ngo ko," tiba tiba So So berkata dengan suara perlahan. "Aku bicara sembarangan saja. Kuharap kau tidak gusar" Mendengar perubahan panggilan dari Thio Ngo hiap jadi Thio Ngo ko, hati Coei San berdebar-debar semakin keras. Tapi lain saat, ia segera menjernihkan pikiran dan mengempos semangat untuk mengarahkan Lweekang. Perlahan-lahan semacam hawa hangat naik dari perutnya keatas dan lalu berkumpul dikedua lengan tangannya.

Selang beberapa saat, dari kepala pemuda itu keluar uap putih, sedang keringatnya turun berketel-ketel, sebagai tanda, bawwa ia tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

Bukan main rasa terima kasihnya So So, ia mengerti, pada saat Coei San tak boleh diganggu maka ia pun segera meramkan kedua matanya dan tidak berani mengeluarkan sepatah kata.

Mendadak terdengar suara "plok". Sebatang piauw melompat keluar kira-kira setombak jauhnya dan menghantam dinding gubuk perahu, disusul dengan mancurnya darah hitam dari lubang luka. Lengan yang hitam itu perlahan-lahan berubah merah, Sesaat kemudian, piauw kedua melompat keluar.

Selagi Coei San mengempos semangat untuk mengeluarkan piauw yang terakhir sekonyong konyong terdengar seruan orang: "Hei! Apa In Kouw nio ada disitu?"

Coei San heran, tapi karena sedang mengerahkan tenaga, ia tidak menggubris.

"Siang Tay coe lekas kemari!" demikian terdengar teriakan si tukang perahu. "Ada orang jahat mau menganiaya In Kouwnio."


"Bangsat! Jangan kurang ajar!" demikian terdengar teriakan menggeledek dari sebuah perahu yang sedang mendatangi dengan cepatnya.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar