-------------------------------
-----------------------------
Bagian 16
"Kalau mau mencari tempat
yang jauh dari pergaulan manusia, tempat inilah yang paling baik!" Kata
sang kakak. "Eh, katakan saja, apa kamu mau pergi atau tidak?"
"Tanpa kau, kami tak akan
berangkat," jawab So So dan Boe Kie dengan berbareng.
Cia Soen menghelas napas
"Baiklah"' katanya "kita semua jangan pergi. Sesudah aku mati,
kamu masih mempunyai banyak tempo untuk pulang ke Tiong goan."
"Benar, kita sudah
berdiam disini sepuluh tahun dan tak usah kita tergesa-gesa." kata Coei
San.
"Bagus!" bentak Cia
Soen. "Sesudah aku mampus, aku mau lihat apa kamu masih mau berdiam
disini." Seraya berkata begitu, mendadak ia menghunus To liong to dan
mengayun kelehernva.
Semangat Coei San terbang.
"Jangan celakakan Boe Kie!" teriaknya. Ia mengerti, bahwa ia tak akan
mampu mencegah niat kakaknya sehingga jalan satu-satunya adalah berteriak
begitu.
Benar saja Cia Soen terkejut.
Goloknya berhenti ditengah udara dan ia, bertanya: "Apa?"
"Toako jika kau sudah
mengambil keputusan pasti siauwtee tidak dapat berbuat lain dari pada meminta
diri," katanya dengan suara parau dan lalu berlutut dihadapan sang kakak.
"Giehoe!" teriak Boe
Kie. "Jika kau tidak pergi akupun tidak pergi. "Kalau kau bunuh diri,
akupun bunuh diri"
Cia Soen kaget. Ia tahu, bocah
yang luar biasa pincar itu sekarang balas menggeretaknya. Buru buri ia
memasukan To liong to kedalam sarung dan membentak: "Setan kecil! Jangan
ngaco kau!"
Tiba tiba, ia mencengkeram
punggung Boe Kie dan melemparkannya kegetek dan kemudian melontarkan juga Coei
San dan So So. "Ngotee! So moay! Boe Kie!" teriaknya dengan suara
duka. "Semoga perjalananmu diiring dengan angin baik dan siang-siang
kembali di Tiong goan."
Melihat majikannya sudah
berada digetek, si kera putihpun buru-buru melompat kegetek itu.
"Giehoe! Giehoe!"
sesambat Boe Kie.
Cia Soen mencabut pula To
liong to dengan membentak dengan suara angker: "Jika kamu turun lagi, Kamu
akan temukan mayatku!"
Karena terpukul arus air,
perlahan lahan getek itu meninggalkan pulau. Makin lama bayangan Cia Soen jadi
makin kecil. Coei San dan So So mengerti bahwa keputusan kakak mereka sudah tak
dapat diubah lagi. Mereka tak bisa berbuat lain daripada nengulap-ulapkan
tangan dengan rasa sedih dan berterima kasih tak habisnya.
Sesudah berada dilautan
terbuka Coei San bertiga tidak mengenal arah dan membiarkan getek itu berlayar
semau maunya. Apa yang diketahui
mereka, ialah setiap pagi
matahari naik dari sebelah kiri dan setiap sore, turun dari sebelak kanan.
Saban malam, mereka bisa melihat bintang Pak kek dibelakang getek. Siang malam,
dengan perlahan getek itu bergerak maju.
Selama kurang lebih dua puluh
hari, Coei san tak berani memasang layar sebab kuatir getek itu membentur
dengan gunung es. Tanpa layar, walau pun terbentur, benturan itu tidak keras,
dia tak akan mencelakakan. Sesudah berpisahan dengan gunung es, barulah mereka
menaikkan layar.
Dengan bantuan angin utara
yang meniup tak henti-hentinya, getek itu mulai maju kearah selatan dengan
pesat sekali. Dasar nasib baik, ditengah parjalanan mereka tidak pernah bertemu
dengan badai dan dilihat tanda tandanya, mungkin mereka akan bisa pulang dengan
selamat.
Selama sebulan Coei San dan So
So tak pernah menyebut-nyebut Cia Soen, karena kuatir menbangkitkan kedukaan
Boe Kie. Pada suatu hari sambil mengawasi permukaan air, tanpa merasa So So
berkata "Toako benar-benar seorang luar biasa. Ia bukan saja tinggi ilmu
silat nya, tapi juga paham lain-lain ilmu "
"Ibu, menurut katanya
Giehoe, selama setengah tahun angin meniup keselatan dan setengah tahun lagi
meniup ke utara," kata Boe Kie. "Biarlah lain tahun kira kembali ke
Peng hwee to untuk menengok Giehoe."
"Benar," kata Coei
San "Sesudah kau besar, kita beramai-rarnai mengunjungi lagi pulau
itu."
"Apa itu?" So So
memutuskan perkataan suaminya seraya menuding keselatan.
Jauh-jauh, digaris pertemuan
antara angit dan laut, terlihat dua titik hitam.
Coei San terkesiap. "Apa
ikan paus ?" katanya dengan suara ditenggorokan.
Susudah mengawasi beberapa
lama, So So ber kata: "Bukan, bukan ikan paus. Aku tak lihat semburan
air."
Dengan hati berdebar-debar,
mereka terus memperhatikan kedua titik hitam itu. Berselang kurang lebih satu
jam, tiba tiba Coei San berseru dengan suara girang: "Perahu ! Perahu
!" Bahna girangnya, ia melompat bangun dan berjungkir balik. Boe Kie
tertawa terbahak-bahak dan lalu mengikuti ayahuya yang sedang kegirangan. So So
sendiri buru buru mengambil kayu bakar, menuang minyak ikan diatasnya dan lalu
menyulutnya.
Sesudah lewat kira-kira satu
jam lagi, sedang matahari mulai mendoyong kebarat, mereka sudah bisa melihat
tegas dua buah perahu diatas permukaan air. Mendadak So So kelihatan menggigil
dan paras mukanya berubah pucat.
"Ibu, ada apa ?"
tanya Boe Kie dengan perasaan heran.
Sang ibu tidak menjawab, tapi
bibirnya bergemetar. Dengan paras muka kuatir, Coei San mencekal kedua tangan
isterinya. So So menghela napas. "Baru pulang, sudah bertemu,"
katanya.
"Apa?" menegas sang
suami.
"Lihat layar itu,"
jawabnya sambil menuding kesebuah perahu.
Coei San mengawasi keperahu
yang berada di sebelah kiri. Ia mendapat kenyataan, bahwa pada layarnya terpeta
sebuah tangan berdarah dengan lima jeriji yang terpentang lebar. "Layar
itu aneh sekali, apa kau tahu perahu siapa?" tanyanya.
"Perahu Peh bie kauw dari
ayahku !" jawabnya dengan suara perlahan.
Coei San tertegun. Sesaat itu
rupa-rupa pikiran berkelebat-kelebat diotaknya. "Ayah So So seorang jahat
dan kejam, bagaimana aku harus berbuat jika bertemu dengannya ? Bagaimana si
Insoe terhadap pernikahanku ini tanyanya di dalam hati. Kedua tangan isterinya
yang dicekelnya agak bergemetar. Ia mengerti, bahwa sang isteripun sedang
memikiri berbagai soal yang tengah dihadapi mereka.
"So So," katanya
dengan suara membujuk. "Kita sudah menikah dan anak kita sudah begini
besar. Langit diatas, bumi dibawah apapun yang akan terjadi kita tak akan
berpisah lagi. Kau tak usah kuatir."
So So mengangguk dan
bersenyum. "Aku ha nya mengharap kau tidak menyesalkan aku," katanya
dengan suara perlahan.
Boe Kie yang belum pernah
melihat perahu, tidak menghiraukan pembicaraan antara ayah darn ibunya dan
matanya terus mengawasi kedua perahu itu, yang kelihatannya sangat berdekatan,
seolah-olah menempel satu sarna lain. Jika tidak ada perobahan arah, getek
mereka akan perpapasan dengan kedua perahu itu dalam jarak puluhan tombak.
"Apa kita perlu memberi
isyarat ?" tanya Coei San.
"Tak perlu" jawab So
So. "Susudah tiba di Tiong goan, aku akan mengajak kau, dan Boe Kie pergi
menemui ayah."
"Baiklah," kata sang
suami.
Mendadak Boe Kie berteriak:
"Hei! Lihat! Orang-orang itu sedang berkelahi!"
Coei San dan So So terkejut
dan lalu melihat kedua perahu itu. Benar saja mereka melihat
berkelebat-kelebatnya senjata dan empat lima orang sedang bertempur.
"Apa ayah berada disitu
?" kata So So dengan rasa kuatir.
"Sesudah terlanjur
bertemu, ada baiknya kita menengok sebentar," kata Coei San. Ia segera
mengubah kedudukan layar dan membelokan kemudi sehingga getek mmbelok kekiri,
menuju ke arah kedua perahu itu.
Berselang kira-kira setengah
jam barulah getek mendekati kedua perahu itu. "Pelancong yang tidak ada
urusan jangan datang dekat !" demikian terdengar terlakan dari perahu Peh
bie kauw.
"Aku adalah Hio coe dari
Congto !" teriak So So. "Tocoe dari bagian mana yang sedang memasang
hio?"
Mendengar teriakan itu yang
menggunakan istilah rahasia dari Peh bie kauw, orang yang barusan berteriak
lantas saja berubah sikapnya'. "Maaf! Kami tak tahu, bahwa yang datang
adalah Hio coe dari Congto," katanya dengan sikap hormat. "Kami
adalah rombongan Lie Hio coe dari Thian sie tong yang memimpin Hong Tan coe
dari Sin
coa tan dau Thia Tancoe dari
Ceng liong tan. Bolehkah kami mendapat tahu, Hio coe dari mama yang, datang
kesini ?"
"Hio coe dari Cie wie
tong," jawab So So.
Hampir berbareng dengan
jawaban So So, keadaan diperahu Peh bie kauw menjadi kalut. Beberapa orang
berlari-lari, rupanya untuk memberitahukan pemimpin mereka, sedang belasan
orang berteriak dengan suara kaget dan girang: "In Kouwnio pulang ! In
Kouwnio pulang !"
Biarpun sudah menjadi suami
isteri sepuluh tahun, So So belum pernah membicarakan Peh bie kauw dengan
suaminya. Sedang Coei San pun belum pernah menanyakan. Sesudah mendengar tanya
jawab itu, barulah Coei San tahu, bahwa kedudukan Hio coe dari Cie wie tong
lebih tinggi dari pada kedudukan Tancoe. Waktu berada di pulau Ong poan san, ia
pernah menyaksikan kepandaian Tancoe dari Hian boe tan dan Coe ciak tan yang
lebih unggul dari pada ilmu silat So So. Ia mengerti bahwa isterinya bisa
menjadi Hiocoe adalah karena So So puteri pemimpin besar dari Peh bie kauw. Maka
itu, dapatlah diduga, bahwa Lie Hiocoe dart Thian sie tong seorang yang
berkepandaian sangat tinggi.
Tiba-tiba dari perahu Peh bie
kauw terdengar suara seorang tua: "Menuiut laporan, In Kauw nio sudah
kembali. Bagaimana kalau kita menghentikan pertempuran untuk sementara waktu?
"
"Baiklah !" jawab
seorang yang suaranya nyaring bagaikan genta. "Hentikan Pertempuran!"
Dengan serentak suara
beradunya senjata terhenti dan semua orang melompat keluar dari gelanggang
pertempuran.
Mendengar suara yang nyaring
itu, jantung Coei San memukul keras. "Apa Jie Lian Cioe Soeko?"
teriaknya.
Jawab orang itu: "Aku Jie
Lian Cioe. Ah...... Kau .... Kau ..."
"Siauwtee ..Coei
San..." jawabnya dengan suara terputus-putus bahna terharunya. Sesaat itu
jarak antara getek dan perahu Jie Lian Cioe belasan tombak. Dengan tergesa-gesa
Coei San menyambar sepotong papan yang lalu dilontarkan keatas air, akan
kemudian ia melompat kepapan itu dan sekali menotol dengan satu kakinya untuk
meminjam tenaga, tubuhnya sudah melesat kekepala perahu Jie Lian Cioe.
Jie Lian Cioe menubruk dan
memeluk Soeteenya. Sesudah mereka berpisahan sepuluh tahun dapat dimengerti
perasaan mereka pada sesaat itu. Si adik berseru dengan suara parau:
"Jieko'" Sang kakak berbisik "Ngotee!" Mata mereka basah.
Dilain pihak, orang-orang Peh
bie kauw menyambut In So So dengan segala upacara. Empat buah terompet yang
dibuat dari keong laut raksasa ditiup dengan serentak. Li Hiocoe berdiri paling
depan dengan Hong Tancoe dan Thia Tancoe di belakangnya, dan dibelakang ketiga
pemimpin itu berdiri kurang lebih seratus pengikut Peh bie kauw.
Diantara perahu besar dan
getek dipasang selembar papan dan getek itu digaet dengan gala gaetan oleh
beberapa anak buah perahu, supaya tetap pada tempatnya. Sambil menuntun Boe Kie,
So So menyeberang perahu dengan melewati papan itu.
Didalam kalangan Peh bie kauw,
orang yang berkedudukan paling tinggi ialah Kauwcoe (pemimpin agama), Peh bie
Eng ong In Thian Ceng. Di bawah Kauwcoe terdapat Lwee sam tong (Tiga
"Tong" Dalam) dan Gwa ngo tan (Lima "Tan" Luar) yang bantu
pemimpin para pengikut Peh bie kauw.
Lwee sam tong terdiri dari
Thian-wie tong, Cia wie tong dan Thian sie tong, sedang Gwa ngo tan yalah Sin
coa tan, Ceng liong tan, dan (peep: the other three not specified )
Hiocoe (pemimpin) Thian wie
tong yalah putera sulung In Thian Ceng yang bernama In Ya Ong. Hiocoe Thian sie
tong yalah Lie Thian Hoan, Soetee (adik seperguruan) In Thian Ceng. Walau pun
berkepandaian sangat tinggi dan tingkatannya lebih tua daripada So So, dengan
memandang muka Kauwcoe, ia berlaku sangat hormat terhadap nyonya muda itu.
Melihat So So menuntun seorang
bocah dan pakaiannya, yang terbuat daripada kulit binatang, mesum dan compang
campicg. Lie Thian Hoan terkejut. Tapi dengan paras muka berseri, ia tertawa
neraya berkata: "Terima kasih kepada Langit, terima kasih kepada Bumi,
akhirnya kau pulang juga. Selama sepuluh tahun, bukan main jengkelnya
ayahmu."
So So memberi hormat dengan
berlutut. "Soe siok selamat bertemu pula!" katanya. Ia menengok kepada
puteranya dan berkata pula: "Lekas berlutut dihadapan
Soe-siok-couwmu." Boe Kie buru buru menekuk kedua lututnya dengan mata
mengawasi Lie Thian Hoan dan ratusan orang yang berdiri dibelakang kakek paman
guru Soe siok couw itu.
"Soesiok," kata So
So sambil bangun berdiri. "anak ini adalah anak tit lie (keponakan
perempuan) bernama Boe Kie."
Lie Hiecoe terkesiap, tapi
sejenak kemudian, tertawa terbahak-bahak. "Bagus ! Bagus!" serunya.
"Ayah mu pasti akan kegirangan. Bukan saja puterinya pulang dengan selamat,
tapi juga sudah mendapatkan sang cucu yang tampan dan pintar."
Melihat noda-noda darah dan
beberapa mayat yang menggeletak digeledak perahu, So So bertanya dengan suara
perlahan: "Perahu siapa itu? Mengapa kalian berkelahi?"
"Orang-orang Boe tong pay
dan Koen loan pay," jawab Thian Hoen.
Melihat suaminya sedang
berpelukan dengan salah seorang dari perahu itu, So So mengerutkan alis dan
berkata pula: "Lebih baik kita menghentikan dulu pertempuran ini dan
tit-lie akan berusaha untuk mendamaikan!"
"Baiklah," jawab
sang Soesiok.
Walaupun secara pribadi,
tingkatan Lie Thian Hoan sebagai Soesiok (paman guru) lebib tinggi daripada So
So, akan tetapi secara resmi, didalam kalangan Peh bie kauw, kedudukannya lebih
rendah daripada nyonya muda itu, karena is memimpin "tong" ketiga,
sedang So So menjadi Hiocoe "tong" kedua.
"So So, Boe Kie kemari!
Temui Soekoku !" demikian terdengar teriakan Coei San.
Sambil rnenuntun Boe Kie, So
So segera pergi keperahu Boe tong. Lie Thian Hoan, Hong dan Thia Tancoe bingung,
tapi tanpa merasa mereka lalu mengikuti nyonya muda itu.
Diatas geladak perahu Boetong
terdapat tujuh delapan orang dan salah seorang yang berusia kira kira
empatpuluh tahun dan bertubuh jangkung kurus sedang berpegangan tangan dengan
Coei San. "So So, inilah Jie Soeko yang namanya sering di sebut-sebut
olehku," kata Coei San sambil bersenyum, "Jieko, inilah teehoemu
(teehoe isteri dari adik lelaki) dan keponakanmu Boe Kie."
Semua orang kaget bukan main.
Peh bie kauw dan Boe tong pay sedang bertempur mati-matian. Tak nyana, dua
orang penting dari kedua belah pihak telah terangkap menjadi suami isteri
dengan sudah mempunyai seorang putera.
Jie Lian Cioe mengerti, bahwa
kejadian itu banyak latar belakangnya dan penjelasannya meminta tempo. Secara
bijaksana, ia lebih dahulu memperkenalkan kawan kawsnnya kepada Coei San dan So
So.
Seorang Toosoe tua yang
berbadan kate gemuk yalah See hoa coe dari Koen loan pay, sedang seorang wanita
setengah tua yang masih berparas cantik diperkenalkan sebagai Soemoay (adik
seperguruan) dari Soe hoa coe. Ia itu bukan lain dari pada San tian chioe (si
Tangan kilat) Wie Soe Nio, yang dalam kalangan kang ouw dikenal sebagai Son
tian Nio. Beberapa orang lainnya juga jago jago kosen Koen loan pay, hanya nama
mereka tidak begitu terkenal seperti See hoa coe dan Wie Soe Nio.
Meskipun sudah berusia lanjut,
See hoa coe masih berangasan. "Thio Ngohiap, dimana adanya bangsat jahat
Cia Soen?" tanyanya. "Kau mesti tahu!"
Coei San bingung tak kepalang.
Sebelum mendarat, ia sudah menghadapi dua soal sulit. Pertama partainya sendiri
bermusuhan dengan Peh bie kauw dan kedua, begitu membuka mulut, orang
sudah menanyakan tempat
bersembunyinya Cia Soen. Ia merasa sukar untuk menjawab pertanyaan imam itu dan
segera berkata sambil berpaling kepada Jie Lian Coe: "Jieko ada apakah
sehingga kalian mesti bertempur?"
See hoa coe mendongkol.
"Hai ! Apa kau tak dengar pertanyaanku?" bentaknya. "Di mana
adanya bangsat Cia Soen ?" Sebagai seorang yang gampang marah, dalam Koen
loan pay Soe hoa coe berkedudukan tinggi dan lihay ilmu silatnya, sehingga ia
sudah biasa main bentak-bentak terhadap orang-orang separtainya.
Hong Tancoe, pemimpin Sin coa
tan, adalah seorang yang sangat "berbisa". Dalam pertempuran tadi dua
orang muridnya telah binasa dibawah pedang See hoa coe, sehingga ia merasa
sangat sakit hati.
Maka itu, begitu mendengar
bentakan si Toosoe, ia lantas saja menggunakan kesempatan baik itu. "Huh !
Jangan banyak lagak kau !" katannya deagan suara dingin. "Thio
Ngohiap adalah menantu dari Peh bie kauw. Tidak boleh kau bicara begitu kasar
terhadapnya"
Soe hoa coe lantas saja meluap
darahnya. "Tutup rnulutmu !" bentaknya. "Mana bisa seorang baik
baik menikah dengan perempuan siluman dari agama yang menyeleweng ? Dalam
pernikahan itu pasti terdapat latar belakarg yang busuk."
"Jangan mengacao kau
!" Hong Tancoe tertawa dingin. "Buktinya Kauwcoe kami sudah mempunyai
cucu."
Dengan kalap See hoa coe
berteriak: "Perempuan siluman itu ... "
"Soeheng jangan tarik
urat dengan manusia itu" memotong Wie Soe Nio. "Dalam urusan ini kita
menyerahkan saja kapada Jie hiap." Ia sudah melihat maksud Hong Tancoe
untuk mengadu domba Boe tong pay dengan Koen loan pay.
Mendengar perkataan Soe
moaynya, See hoa coe juga tersadar dan sambil menahan amarah, ia menutup mulut.
Sambil mengawasi Coei San dan
So So, Jie Lian Coe merasa bingung dan didalam otaknya berkelebat-kelebat
banyak pertanyaan. "Paling baik kita bicara digubuk perahu," katanya
sesudah memikir beberapa saat. "Saudara-saudara kedua pihak yang mendapat
luka harus ditolong terlebih dahulu."
Dalam perahu Jie Liam Coe, Peh
bie kauw merupakan tamu dan orang yang berkedudukan paling tinggi dalam
"agama" itu ialah In So So, Hio coe Cie wie tong. Maka itu, sambil
menuntun Boe Kie, So So masuk paling dulu kedalam gubuk perahu, diikuti oleh
Lie Hiocoo dan kedua Tancoe. Selagi Hong Tancoe baru mau masuk, mendadak ia
merasakan kesiuran angin yang menyambar pinggangnya.
Sebagai seorang yang
berpengalaman, ia tahu bahwa dirinya dibokong See hoa coe. Sebaliknya dari
menangkis, ia menubruk kedepan seraya berteriaknya: " Celaka! Aku
dibokong!" Dengan gerakannya itu, ia sudah mempunahkan pukulan Sam in Coat
houw chioe dari See hoa coe. Mendengar teriakan itu, semua orang menengok
mengawasi Hong Tancoe dan See hoa coe yang muka nya berubah marah seperti
kepiting direbus.
Dengan rasa jengah, Wie Soe
Nio deliki Soe hengnya. Pada saat itu, Hong Tancoe ialah seorang tamu terhormat
dan bokongan terhadapnya bukan saja melanggar peraturan, tapi juga memalukan.
Didalam gubuk perabu, So So
menduduki kursi tamu yang pertama dengan Boe Kie berdiri didampingnya, sedang
Jie Lian Cioe duduk dikursi pertama dari pihak tuan rumah. Sambil menunjuk
sebuah kursi disebelah belakang kursi Wie Soe Nio, Jie Lian Cioe berkata:
"Ngotee, kau duduk disitu." Coei San mengangguk dan lalu duduk di
kursi yang ditunjuk, sehingga kedua suami isteri duduk sebagai tuan rumah dan
tamu.
Selama sepuluh tahun, sesudah
Thio Coei San menghilang dan Jie Thay Giam tidak pernah keluar karena lukanya,
yang bergerak dalam Rimba Persilatan haayalah lima pendekar Boe tong pay dan
selama sepuluh tahun itu, nama mereka jadi makin cemerlang. Biarpun kedudukan
mereka adalah murid turunan kedua dari Boe tong pay, tapi dalam Rimba
Persilatan mereka sudah bisa berendeng dengan pendeta-pendeta Siauw lim sie
yang berkeduduka n tinggi. Selama tahun-tahun yang belakangan, orang- orang
Kangouw makin menghargai dan menghormati Boe tong Ngo hiap. Maka itu lah,
biarpun tingkatannya tinggi. Soe hoa coe dan Wie Soe Nio mempersilahkan Jie
Liam Cioe duduk dikursi utama.
Beberapa murid segera menyuguhkan
teh dan sambil mengundang para tamunya minum teh. Jie Lian Cioe
menimbang-nimbang perkataan apa yang harus diucapkannya terlebih dahulu.
Perangkapan jodoh antara Coei San dan puteri In Kauwcoe adalah kejadian yang
sangat diluar dugaan dan ia merasa bahwa jika ia menanyakan langsung persoalan
itu dihadapan orang banyak. Coei San tentu akan merasa jengah dan tidak akan
mau bicara seterang-terangnya.
Memikir begitu ia lantas saja
berkata dengan suara nyaring: "Sebagnimana kita tahu, Siauw lim, Koen loen.
Go bie, Khong thong dan Boe tong, lima "pay". Sin koen, Ngo hong to
dan lain lain, berjumlah sembilan "boen", Hay see, Kie keng dan
sebagainya, tujuh "pang", sehingga semuanya duapuluh satu partai atau
golongan, telah salah mengerti dengan Peh bie kauw karena usaha kita untuk
mencari Cia Soen. In Kouwnio dan Soeteeku, Coei San. Salah mengerti itu telah
berbuntut dengan bentrokan, sehingga selama telah bertahun tahun jatuh banyak
korban yang binasa dan terluka . . ."
Ia berhenti sejenak dan
kemudian berkata pula: "Sungguh syukur, secara tidak diduga duga, In
Kouwnio dan Thio Soetee pulang dengan selamat. Peristiwa yang sudah terjadi
selama sepuluh tahun itu tidak dapat dibereskan dalam tempo pendek. Maka itu
menurut pendapatku, sebaiknya kita menunda dulu permusuhan dan pulang
kemasing-masing tempatnya. Biarlah In Kouwnio melaporkan segala pengalamannya
kepada In Kauw coe, sedang Thio Soetee memberi pertanggungan jawab dihadapan
guru kami. Sesudah itu, kita boleh mengadakan pertemuan pula untuk coba membereskan
soal-soal kita. Adalah kejadian yang sangat di harap-harapkan, jika dalam
pertemuan itu kita dapat menyudahi permusuhan yang sudah berlarut-larut ini
"
"Dimana adanya bangsat
Cia Soen ?" See-hoa coe memutus perkataan Lian Cioe. " Tujuan kita
yang terulama adalah mencari bangsat Cia Soen." Coei San kelihatan berduka
sekali. Ia merasa sangat tidak enek, karena, gara-gara mencari orang yang
hilang dalam Rimba Persilatan telah muncul gelombang yang begitu besar dan yang
sudah meminta sangat banyak korban. Mendengar pertanyaan See hoa coe, ia jadi
serba salah. Jika ia memberitahukan terang-terangan, sejumlah besar pentolan
Rimba Persilatan sudah pasti akan meluruk ke Pang hwee to untuk mencari
kakaknya. Jika ia membungkam ..... bagaimana ia dapat membungkam?
Selagi ia bimbang, tiba-tiba
terdengar suara So So: "Bangsat Cia Soen yang jahat dan membunuh manusia
secara serampangan sudah mampus sembilan tahun yang lalu,"
Semua orang kaget. "Sudah
mati ?" mereka menegas serentak.
"Benar," jawabnya.
"Pada suatu malam, yaitu ketika aku melihatnya anakku, bangsat Cia Soen
mendadak kalap. Selagi mau membunuh Ngoko dan aku, tiba-tiba dia dengar suara
tangisan bayi ku. Penyakitnya kambuh dan bangsat itu mati dengan
mendadak."
Coei San mengerti maksud
isterinya. Dengan, mengatakan, bahwa "Cia Soen yang jahat sudah.
mati." So So tidak berdusta, karena, bagai mendengar tangisan Boe Kie,
kekalapan dan kekejaman "Cia Soen yang jahat" menghilang dan mulai
dari detik itu, ia berubah menjadi seorang baik, dengan demikian, dapatlah
dikatakan bahwa sembilan tahun berselang , "Cia Soen yang jahat"
sudah mati dan Cia Soen yang baik menjelma dalam dunia.
See hoa coe mengeluarkan suara
dihidung. Ia tidak percaya keterangan So co yang dianggapnya sebagai perempuan
menyeleweng dari "agama,
yang menyeleweng pula.
"Thio Ngohiap, apa benar
bangsat Cia Soen sudah mampus?," tanyanya dengan suara keras.
"Benar, bangsat Cia Soen
yang jahat sudah mati pada sembilan tahun berselang," jawab Coei San
dengan suara sungguh-sungguh.
Sekoyong-konyong Boe Kie
menangis keras "Giehoe bukan bangsat jahat!" teriaknya. "Giohoe
tidak mati! Giehoe tidak mati! "
Biarpun berotak sangat cerdas,
Boe Kie masih terlalu kecil dan belum berpengalaman. Rasa cintanya terhadan Cia
Soen tidak kurang dari rasa cintanya terhadap kedua orang tuanya sendiri.
Maka itu, dapatlah dimengerti,
jika ia tidak tahan mendengar tanya jawab itu dan cacian-cacian yang ditujukan
terhadap ayah angkatnya.
Semua orang terkesiap dan
tertegun. Dalam gusarnya. So So menggapelok muka puteranya. "Diam!"
bentaknya dengan bengis. "Ibu, mengapa kau mengatakan Giehoe sudah
mati?" tanya bocah itu dengan suara serak "Bukankah ia masih hidup
segar bugar?"
"Jangan campur-campur
urusan orang tua !" bentak sang ibu "Yang sudah mati adalah Cia Soen,
si penjahat jahat, bukan Giehoemu."
Boe Kie bingung, tapi ia tidak
berani membuka rnulut lagi.
See hoa coe tertawa dingin.
"Saudara kecil," katanya kepada Boe Kie. "Cia Soen ayah angkatmu
bukan? Dimana dia sekarang ?"
Si bocah mengawasi muka kedua orang
tuanya. Sekarang ia mengerti, bahwa perkataan yang tadi dikeluarkanuya
mempunvai arti yang sangat penting. Ia menggelengkan kepala seraya menjawab:
"Tidak, aku akan beritahukan kau." Dengan tidak sengaja, jawaban itu
merupakan bukti yang lebih kuat, bahwa Cia Soen sebenarnya belum mati .
Sambil mengawasi Coei San
dengan mata men delik, See hoa coe membentak: "Thio Ngohiap! Apa benar In
Kouwnio isterimu ?"
"Benar, dia
isteriku!" jawabnya dengan suara nyaring.
"Dua orang murid partai
kami telah celaka dalam tangan isterimu." kata pula See hoa coe sambil
menahan amarah. "Mereka mati tidak, hidup pun tidak. Bagaimana kita harus
memperhitung kan perhitungan ini ?"
Coei San dan So So terkejut.
"Jangan ngaco!"
bentak nyonya muda itu.
"Dalam hal ini mungkin
terselip salah mengerti," kata Coei San, "Sudah sepuluh tahun karni
berdua meninggalkan wilayah Tionggoan. Cara bagai man kami bisa mencelakakan
murid partai kalian"'
"Huh huh! " See hoa
coe menggeram. "Memang.....memang Ko Cek Seng dan Chio Tauw sudah
menderita lebih dari sepuluh tahun lamanya."
"Ko Cek Seng dan Chio
Tauw ?" menegas So So.
"Apa Thio Hoejin masih
ingat kedua orang itu?" ejek See hoa coe. "Aku kuatir kau sudah tidak
ingat lagi karena kau telah membunuh ter lalu banyak manusia."
"Mengapa mereka?"
bentak So So. "Mengapa kau menuduh aku secara membuta tuli ?"
"Menuduh membuta tuli!
Membuta tuli...!" teriak Soe hoa coe. "Ha ha ha ! .... Mereka se
karang sudah jadi gila..... sudah hilang ingatan.. Tapi mereka masih ingat
namanya satu manusia. Mereka masih ingat, bahwa yang mencelakakan mereka adalah
In So So!" Seraya mengatakan begitu, ia menatap wajah nyonya Coei San
dengan mata beringas.
"Tutup mulutmu !"
bentak Hong Tancoe. "Kau tidak berhak untuk menyebutkan nama terhormat
dari Hiocoe Cie wie tong kami. Apakah kau tidak tahu adat-istiadat Rimba
Persilatan? Cian pwee apa kau ? Thia Hiantee, apakah dalam dunia ini ada hal
yang lebih memalukan dari pada itu?"
"Tak ada," jawab
Thia Tancoe. "Aku sungguh tak mengerti, mengapa sebuah partai yang begitu
tersohor mempunyai murid ugal-ugalan seperti dia. Sungguh memalukan ?"
Di ejek begitu, See hoa coe
jadi kalap. "Binatang ! Siapa yang memalukan ?" teriaknya seraya
mencekal gagang pedangnya.
Hong Tancoe tetap tenang,
bahkan melirikpun tidak. "Thia hiantee," katanya pula.
"Seseorang yang sudah memiliki beberapa jurus ilmu pedang kucing kaki tiga
sebenarnya harus mengenal kesopanan manusia. Bagaimana pendapatmu ?"
Thia Tancoa mengangguk seraya
menjawab "Benar. Semenjak Giok hie Too tiang meninggal dunia, makin lama
mereka makin tidak keruan macam."
Giok hie Too tiang adatah Soe
peh (paman guru) See hoa coe. Imam yang beribadat itu bukan saja tinggi ilmu
silatnya, tapi juga sangat mulia hatinya, sehingga ia dihormati sangat dalam
Rimba Persilatan.
Paras muka See hoa coe berubah
merah padam. Tak dapat ia menjawab sindiran itu. Jika ia membantah. bukankah ia
jadi menhina Soe pehnya sendiri yang namanya telah menggetarkan seluruh negeri
?
Tiba tiba ia bangun, badannya
berkelebat dan ia sudah berdiri diluar pintu gubuk perahu, "Srt!" Ia
menghunus pedang. "Bangsat!" teriaknya. "Kalau kau mempunyai
nyali, keluarlah!"
Ejekan kedua pemimpinan Peh
bie kauw itu terhadap See hoa coe adalah untuk menolong in So So dari desakan.
Mereka menganggap. bahwa dengan pernikahan Coei San dan So So, perhubungan
antara Boe tong pay dan Peh bie kauw sudah berubah. Meskipun Jie Lian Cioe dan
Thio Coei San tidak sampai turun tangan untuk membantu pihaknya, kedua orang
itu juga pasti tidak akan menyerang Peh bie kauw. Menurut perhitungan mereka,
tanpa campur tangannya pihak Boe tong, mereka akan dapat mengalahkau orang
orang Koen loan pay yang hanya terdiri dari tujub delapan orang.
Perhitungan Peh bie kauw itu
sudah dapat ditebak oleh Wie Soe Nio yang bisa berpikir dengan otak dingin.
"Soeko!" teriaknya. "Mereka yang berada diperahu ini adalah tamu
tamu kita. Kita harus turut segala keputusan Jie Jie hiap "
Dengan berkata bergitu,
San-tian Nio nio telah berlaku bijaksana. Jie Lian Cioe adalah seorang pendekar
yang tulus bersih, sehingga ia pasti tidak akan berlaku curang.
Tapi diluar dugaan dalam
gusarnya, See-hoa coe yang tolol tidak mengerti maksud Soe-moay nya.
"Omongan kosong!" teriaknya. "Boe tong pay dan Peh bie kauw
sudah terikat famili. Mana bisa dia berlaku sama tengah lagi!"
Jilid 14
Jie Lian Cioe adalah seorang
yang sabar dan panjang pikirannya. Ia jarang memperlihatkan rasa girang atau
gusar pada paras mukanya. Perkataan See hoa coe yang sangat menusuk tidak
dijawab olehnya dan ia mengasah otak untuk mencari jalan keluar.
"Soeka, jangan kau
menggoyang lidah sembarangan," kata Wie Soe Nio cepat-cepat dengan rasa
mendongkol. "Semenjak dulu, Boe tong dan Koen loan mempunyai hubungan yang
sangat erat. Dalam sepuluh tahun, dengan bahu membahu kita bersama sama melawan
musuh. Jie Jiehiap alalah seorang jujur yang sangat dihormati dalam kalangan
Kang-ouw, sehingga tidak mungkin ia mengeloni pihak yang salah."
See hoa coe mengeluarkan suara
dari hidung, "Belum tentu," katanya
Bukan main rasa mendongkolnya
Wie Soe Nio yaag diam diam mencaci kakak yang tolol itu: "Soeko!"
bentaknya. "Jika tanpa sebab kau cari cari urusan dengan Boe tong Ngohiap
dan kau di gusari oleh Ciangboen soesiok, aku tak akan campur campur lagi
urusanmu."
Mendengar ancaman itu, barulah
See hoa coe menutup mulut.
"Urusan ini telah
menyeret berbagai partai dan golongan dalam Rimba Persilatan," kata Jie
lian Coe. "Aku seorang bodoh maka tidak berani mengambil keputusan
sendiri. Apa pula, karena sudah berlarut larut selama sepuluh tahun, persoalan
ini tentu sukar dibereskan dalam tempo pendek. Aku telah mengambil keputusan
untuk pulang ke Boe tong bersama-sama Thio Soe tee guna memberi laporan kepada
Insoe dan Toa soeheng dan meminta petunjuk Insoe."
See hoa coe tertawa dingin,
"Sungguh lihay pukulan Jie hong Soo pit Jie Jiehiap." ejeknya.
"Jie-hong Soe-pit,"
(Seperti tutupan seperti kurungan) adalah serupa pukulan Boe-tong-pay untuk
membela diri yang sangat terkenal dalam Rimba Persilatan. Dengan berkata begitu
See hoa coe bukan saja mengejek Jie Lian Cioe pribadi tapi juga menghina
pukulan Boe tong pay itu yang digubah oleh Thio Sam Hong sendiri. Biarpun
sabar, darah Jie Lian Cioe meluap juga. Syukur sebelum mengumbar napsu, ia
keburu ingat segala akibatnya, sehingga, sambil menarik napas, ia menindih hawa
amarahnya dan hanya menyapu muka See hoa coe dengan sinar mata berkilat-kilat.
"Jika See hoa Toheng mempunyai pendapat lain, aku bersedia untuk
mendengamya." katanya dengan suara dingin.
Setelah disapu dengan sorot
mata gusar, See hoa coe jadi keder. "Soemoy," katanya,
"bagaimana pendapatmu? Apakah sakit hati Ko Cek Seng dan Chio Tauw boleh
disudahi dengan begitu saja ?"
Sebelum Wie Soe Nio menjawab,
disebelah selatan sekonyong-konyong terdengar suara terompet dan sesaat
kemudian seorang murid Koen Loen masuk seraya berkata: "Kawan-kawan dari
Khong tong pay dan Go bie pay sudah tiba untuk menyambut kita."
Lie Thian Hoan dan dua
kawannya saling melirik. Paras muka mereka agak berubah.
Dilain pihak, See hoa coe dan
Wie Soe Nio jadi girang. "Jie Jiehiap." kata San tian Nionio,
"kurasa kita sebaiknya minta pendapat pihak Khong tong dan Gobie."
"Baiklah," jawab
Lian Cioe.
Kedatangan orang orang Khong
tong dan Go bie menambah kejengkelan Coei San. Partai Go bie masih tidak apa,
tapi Khong tong pay mempunyai permusuhan yang sangat hebat dengan kakaknya,
yang sudah melukakan Khong tong Ngoloo dan merampas kitab Cit siang koen. Ia
merasa pasti, bahwa orang-orang Khong tong tak akan mau mengerti jika ia tidak
memberitahukan di mana adanya Cia Soen.
Sementara itu, So So memikir
dari yang lain. Disatu pihak ia mendongkol terhadap puteranya, tapi dilain
pihak ia ingat, bahwa anak itu belum mengerti kejustaan dan rasa cintanya
terhadap Cia Soen tak dapat diukur dalamnya. Maka itu, bahwa dia menangis dan
membantah pernyataan orang tentang kematian ayah angkatnya adalah hal yang
sangat dapat dimengerti. Memi kirbegitu, ia merasa menyesal sudah menggaploknya
begitu keras dan lalu memeluk Boe Kie sambil mengusap-usap pipi sibocah.
"Ibu. Giehoe tidak mati,
bukan?" bisik Boe Kie dikuping ibunya.
"Tidak, tidak mati, aku
hanya mempedayai mereka," jawab sang ibu "Mereka adalah orang orang
jahat yang ingin mencelakakan Giehoemu."
Boe Kie tersadar. Dengan mata
gusar, ia me nyapu Jie Lian Coei dan semua orang yang berada disitu, Mulai hari
itu, kedua kakinya menginjak dunia Kangouw dan mulai saat itu, ia mengerti akan
kekejaman manusia.
Beberapa saat kemudian,
orang-orang Khongtong dan Go bie masing-masing pihak berjumlah enam tujuh orang
sudah masuk kegubuk perahu. Pemimpin rombongan Khong tong adalah Kat-ie Loojin,
seorang tua yang bertubuh kurus kering, sedang kepala rombongan Go bie adalab
seorang Niekouw (pendata wanita) setengah tua. Melihat Lie Thian Hoan dan
kawan-kawannya, mereka kaget dan heran.
"Tong Samko! Ceng hie Soe
thay!" teriak See hoa coe. "Boe tong pay dan Peh bie kauw sudah
bergandengan tangan. "Kali ini kita rugi besar."
Orang yang dipanggil
"Tong Samko" adalah Kat-ie Loojin Tong Boe Liang, salah seorang dari
Khong thong ngoo loo, sedang Ceng hie
Soethay yalah murid turunan
keempat dari Go bie pay dan dalam Rimba Persilatan, pendeta wanita itu
mempunyai nama yang cukup besar.
Mendengar teriakan See hoa
coe, mereka tercengangang, Ceng hie Soethay yang berpikiran panjang dan
mengenal adat See hoa coe tidak mau lantas percaya. tapi Tong Boen Liang lantas
saja naik darahnya, "Jie Jie hiap, apakah benar begitu?" tanyanya
dengan suara keras.
Sebelum Jie Lian Cioe keburu
menjawab, See hoa coe sudah mendahului: "Boe tong pay dan Peh bie kauw sudah
jadi cinkee (besan). Thio Coei San, Thio ngohiap, sudah menjadi menantu In
Toakauwcoe..."
"Thio Ngohiap yang sudah
menghilang sepuluh tahun yang lalu?" tanya Tong Boen Liang dengan heran.
"Benar, itulah adikku
Coei San," jawab Lian Cioe seraya menunjuk Ngohiap. "Ngotee, inilah
Tong Boen Liang, Tong Samya, seorang Cianpwee dari Khong tong pay."
Boe Liang dan Coei San saling
membungkuk dan mengucapkan kata-kata merendahkan diri.
See hoa coe yang sudah tak
dapat menahan sabar lagi, lantas saja berkata pula: "Thio Ngo hiap dan In
Kauwnio tahu tempat persembunyiannya Kim mo Say ong Cia Soen, tapi mereka
menolak untuk memberitahukannya kepada kami. Mereka malah berdusta dan
mengatakan, bahwa bangsat Cia Soen sudah mampus."
Begitu mendengar nama Kim mo
Say ong Cia Soen, darah Tong Boen Liang meluap. "Dimana dia sekarang
?" tanyanya dengan suara keras,
"Dalam urusan ini, lebih
dulu aku harus melaporkan kepada In soe dan aku mohon maaf karena tak dapat
segera memberitahukan kepada kalian." jawab Coei San.
Kedua mata Tong Boen Liang
seolah-olah mengeluarkan api. "Dimana adanya bangsat Cia Soen?"
teriaknya. "Dia telah membinasakan keponakanku. Aku tak mau hidup
bersama-sama dia dalam dunia. Dimana dia? Katakan saja! Kau mau memberitahukan
atau tidak?"
Perkataan-perkataan itu yang
dikeluarkan tanpa sungkan-sungkan dan tanpa mengenal kesopanan sudah
menggusarkan So So yang lantas saja
berkata dengan suara dingin :
"Mengapa kau tidak menceritakan juga, bahwa dia sudah melukakan Kong tong
Ngoolo dan merampas kitab Cit siang Koen?"
Dalam melukakan Ngoolo dan
merampas kitab Cit siang koen, Cia Soen telah menggunakan nama Seng Koen. Hal
yang sebenamya baru diketahui Khong tong pay pada kira-kira lima tahun
berselang. Tapi, karena kejadian tersebut menodai nama partay maka orang-orang
Khong tong pay selalu meenutupkan rapat. Bagaimana nyonya muda itu bisa tahu
rahasia tersebut?
Paras muka Kat-ie Loojin
lantas saja berubah pucat dan sambil mementang sepuluh jarinya, ia mengangkat
kedua tangannya untuk menyerang. Tapi dilain detik, ia ingat, bahwa sebagai
seorang tua, tak pantas ia turun tangan lebih dahulu terhadap seorang wanita
muda yang kelihatannya begitu lemah lembut sehingga tangan yang sudah terangkat
itu berhenti ditengah udara.
Sambil menahan amarah, ia
berpaling kepada Coei San dan bertanya: "Siapa dia ?"
"Isteriku,"
jawabnya.
"Puterinya In Toakauwcoe
dari Peh bie kauw," menyelak See hoa coe.
Peh bie Eng ong In Thian Ceng
memiliki ilmu silat yang tidak dapat diukur tingginya dan sehingga waktu itu,
seorangpun belum pemah dapat melayaninya dalam sepuluh jurus. Mendengar, bahwa
nyonya Coei San adalah puteri In Thian Ceng, Tong boen Liang lantas saja merasa
keder dan berkata dengan suara terputus-putus : "Oh!... begitu"
Sesaat itu, Ceng hie Soethay
yang sedang masuk kegubuk perahu belum pemah bicara, baru membuka mulut.
"Sebaiknya kita minta Jie Jiehiap menerangkan seluk beluk kejadian
ini," katanya.
"Urusan ini berbelit
belit dan sudah menyeret banyak sekali orang," kata Lian Cioe.
"Disamping itu, permusuhan sudah berjalan lama sekali, sudah kurang lebih
sepuluh tahun, sehingga dapatlah dimengerti, jika kita tak akan dapat
mengupasnya dalam tempo pendek. Begini saja, tiga bulan kemudian partai kami
akan mengadakan perjamuan di Hong ho lauw dan mengundang wakil-wakil berbagai
partai serta golongan. Dalam pertemuan itu, kita akan merundingkan persoalan
ini sedalam-dalamnya. Bagaimana pendapat kalian ?"
"Aku setuju," jawab
Ceng hie seraya mengangguk.
"Siapa benar, siapa
salah, boleh dibicarakan tiga bulan lagi," kata Tong Boen Liang.
"Tapi tempat sembunyinya Cia Soen harus diberitahukan sekarang juga."
Coei San menggelengkan kepala.
"Sekarang tidak bisa," katanya dengan suara tetap. Tong Boen Liang
gusar tak kepalang, tapi sebisa bisanya ia menahan sabar, karena ia mengerti
bahwa jika Boe tong pay sampai bersatu padu dengan Peh bie kauw, akibat bakal
hebat sekali. Maka itu, dengan muka merah padam, ia bangun berdiri dan
mengangkat kedua tangannya: "Baiklah. Kita akan bertemu kembali tiga bulan
kemudian."
"Tong Samya, bolehkah
kami menumpang di perahumu ?" tanya See hoa coe.
"Mengapa tidak ?"
jawabnya.
"Bagus! Soemoay, ayolah
!" mengajak See hoa coe. Orang orang Koen loan datang ketempat pertempuran
dengan menggunakan perahu Boe tong dan dengan sikapnya itu, terang terang See
hoa coe sudah memandang Boe tong pay sebagai lawan.
Tapi Jie Lian Cioe tetap
bersikap tenang. Dengan manis budi ia mengantar semua tamu kekepala perahu.
"Sepulangnya kami ke Boe tong dan sesudah kami memberi laporan kepada
Insoe, kami akan segara mengirim surat undangan," katanya sambil
membungkuk.
Baru saja See hoa coe mau
menyebrang keperahu Khong tong, tiba-tiba So So berkata: "See hoa
Tootiang, tahan dulu! Aku mau menanyakan serupa hal."
"Ada apa ?" tanya
siberangasan sambil memutar tubuh.
"Tootiang," kata
pula si nyonya sambil bersenyum. "tak henti-hentinya kau mengatakan, bahwa
agama kami agama menyeleweng, agama sesat. sedang aku sendiri perempuan
siluman. Bolehkah aku tahu dimana sesatnya dan dimana sifat silumannya?"
Untuk sejenak See hoa coe
tertegun. Sesudah menenteramkan hati, ia menjawab: "Agamamu bukan agama
tulen, tapi menyeleweng dan tersesat dari jalan yang lurus. Kecantikanmu
seperti kecantikan siluman rase yang jahat dan cabul. Itu jawabanku. Perlu apa
kau rewel rewel. Kalau kau bukan siluman, bagaimana seorang laki laki sejati
Thio Ngohiap bisa terpincuk ! Hu-hu !"
"Terima kasih untuk
penjelasan itu," kata So So.
See hoa coe girang dan bangga,
menganggap nyonya muda itu sudah dijatuhkan dengan kata katanya yang tajam.
Sambil bersenyum, ia menindak kepapan untuk menyeberang keperahu Tong Boen
Liang.
Perahu Boe tang dan Khong tong
adalah perahu perahu besar dengan tiga layar sehingga walaupun berdempetan,
jarak antara kedua perahu itu, yang dihubungkan dengan papan masih kira kira
dua tombak.
Karena harus bicara dulu
dengan So So, See hoa coe jadi ketinggalan dan sesudah semua orang berada
diperahu Tong boen Liang, ia sendiri baru mulai menyeberang. Baru berjalan
beberapa tindak, mendadak ia merasakan kesiuran angin luar biasa dibelakangnya.
Meskipun berangasan dan pendek pikiran, ia berkepandaian tinggi dan
berpengalaman luas. In tahu dirinya dibokong dan begitu memutar badan,
tangannya sudah mencekal pedang.
Mendadak, mendadak saja, ia
merasa kedua kakinya menjeblos kebawah. Papan penyeberangan putus jadi dua!
Sebisa-bisanya ia berusaha untuk menolong diri, tapi karena jarak keperahu
Khong tong masih agak jauh, maka tanpa ampun lagi ia tercebur kedalam air.
Sial sungguh, ia tidak bisa
berenang, sehingga dalam sekejap, ia sudah minum beberapa ceguk air asin.
Selagi ia kebingungan dan memukul serta menendang air dengan tangan dan
kaki,tiba-tiba melayanglah seutas tambang. Cepat cepat ia mencekalnya dan
dilain saat, ia merasa badannya terangkat naik keatas permukaan air.
Ia menengadah dan melihat
bahwa yang mengangkatnya adalah Thia Tancoe yang paras muka nya seperti
tertawa, tapi bukan tertawa.
Tak usah dikatakan lagi, itu
semua kerjaan So So. Karena mendongkol, diam-diam ia memerintahkan Hong dan
Thia Tancoe "mengerjakan." si berangasan itu. Tigapuluh enam golok
terbang dari Hong Tancoe terkenal dalam kalangan Kang ouw. Golok itu yang tipis
dan tajam luar biasa, jarang meleset dari sasarannya. Selagi So So bicara
dengan See hoa coe, dengan sekali menimpuk, Hoag Tancon telah memotong papan
itu dengan hoei to nya dan meninggalkan sebagaian kecil supaya tidak lantas
jatuh kedalan air dan baruakan patah jika diinjak.Thia Tancoe sendiri siapa
sedia deagan seutas tambang, tapi pertolongannya baru diberikan sesudah See hoa
coe minum banyak air.
Wie Soe Nio, Tong Boen Liang
dan yang lain lain menyaksikan itu dengan mata membelalak, tapu mereka tidak
dapat segera menolong, karena berada dalam jarak yang agak jauh.
See hoa coe merasa dadanya
seperti mau meledak, tapi dalam keadaan tidak berdaya, sedapat dapatnya ia
menahan amarah. Celaka sungguh, baru mengangkat kira kira satu kaki dari
permukaan air, Thia Tancoe berseru. "Toheng," katanya, "jangan
kau bergerak. Tenagaku tidak cukup. Jika kau bergerak tambang ini bisa terlepas
!"
See hoa coe bingung bukan
main. Kalau dilepas, ia bisa celaka, atau sedikitnya bakal minum lebih banyak
air asin.
Tiba tiba Thia Tancoe
berteriak: "Hati hati!" Dengan sekali menyentak, tubuh See hoa coe
terayun kebelakang tujuh delapan kaki dan kemudian, ia melemparkan bandulan
manusia itu keperahu seberang.
Begitu kedua kakinya hinggap
diatas geladak perahu Khong tong, See hoa coe kalap bahna gusarnya.
Kegusarannya lebih meluap-luap, karena orang-orang Peh bie kauw dengan serentak
bersorak-sorai. Karena pedangnya sendiri sudah hilang didalam air, bagaikan
kilat ia menghunus pedang Wie Soe Nio dan melompat kekepala perahu untuk
menerjang musuh. Tapi, jarak antara kedua perahu itu sudah sangat jauh,
sehingga apa yang dapat dibuatnya hanyalah mencaci habis-habisan.
Semua perbuatan So So telah
dilihat oleh Jie Lian Cioe, yang diam-diam mengakui, bahwa wanita itu benar
mempunyai sifat-sifat yang sesat dan kurang tepat untuk menjadi pasangan
adiknya. Maka itu, ia lantas saja berkata. "In Hio coe dan Lie Hio coe,
kuharap kalian suka menghadapi pertemuan di Oey ho lauw pada tiga bulan
kemudian. Sekarang kita berpisah saja. Ngotee, mari ikut aku pergi menemui
Insoe."
"Baiklah," kata Coei
San dengan perasaan tidak enak.
So So mengerti, bahwa dengan
berkata begitu. Lian Cioe berusaha untuk memisahkan diri dari sang suami.
Dengan paras muka duka, ia mendongak mengawasi langit dan kemudian menunduk,
memandang geladak perahu.
Coei San lantas saja mengerti
maksud isterinya, yang ingin mengingatkan sumpahnya sendiri yaitu "Langit
diatas. Bumi dibawah, kita tak akan berpisahan lagi."
Maka itu, ia lantas saja
berkata: "Jieko, aku ingin sekali mengajak teehoemu dan anakku pergi
menemui Insoe lebih dulu dan sesudah mendapat perkenan beliau, barulah aku
mengunjungi Gakhoe (mertua). Bagaimana pendapatmu?"
"Begitupun baik,"
jawab sang kakak sambil pengangguk.
So So girang.
"Soesiok", katanya kepada Lie Thian hoan, "aku mohon kau suka
memberitahu kan Thia thia (ayah), bahwa anaknya yang tidak berbakti telah bisa
pulang kebali, dan didalam beberapa hari, kami akan pulang ke Cong to untuk
menemui beliau."
"Baiklah." kata Lie
Hiocoe seraya manggutkan kepala. "Kami akan menunggu kalian di Cong
to." Ia bangun berdiri dan berpamitan.