Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 27
Gie Coen menjadi girang dan
lalu melakukan apa yang diminta. Di luar dugaannya begitu kedua tulang
punggungnya diketuk, si bocah lantas saja menggerakkan kedua kakinya. Ia bangun
berdiri seraya berkata kepadanya "Siang Toako. Kau telah berbuat apa yang
kau bisa. Dibelakang hari Thay Soehoe tak bisa menyesalkan kau." Ia
memutar badan dan berjalan keluar dengan tindakan lebar.
Si brewok kaget. "Mau
kemana kau?" teriaknya.
"Kalau aku mati di Ouw
tiap kok, bukankah nama Tiap kok Ie sian akan menjadi rusak?" jawabnya.
Sambil berkata begitu, ia kabur dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.
Ouw Ceng Goe tertawa dingin.
"Nama Kian sie Poet kioe Ouw Ceng Goe sudah kesohor di kolong
langit." katanya. "Bukan baru satu orang yang roboh binasa diluar rumahnya."
(Kian sie Poet kioe artinya Melihat kebinasaan tetap tidak menolong).
Tanpa menghiraukan perkataan
Soepehnya, Gie Coen segera mengubar. Mereka kedua duanya sama sama mendapat
luka, tapi luka Cie Goan banyak lebih enteng dan tenaganya pun banyak lebih
besar. Maka itu, dalam beberapa saat saja ia sudah bisa menyandak Boe Kie yang
lalu dipeluknya dan dibawa balik kerumah paman guruya.
Dengan kedua tangan belum bisa
bergerak, si bocah tidak berdaya lagi.
"Ouw Soepeh apa benar
benar kau tidak mau menolong?" tanya Gie Coen dengan napas tersengal
sengal.
"Apa kau tidak tahu,
bahwa aku bergelar Kian sie Poet kioe?" Sang paman balas menanya.
"Perlu apa kau melit melit?"
"Tapi apakah Soepeh
bersedia untuk mengobati luka didalam tubuhku?" tanya pula Siang Gie Coen.
"Tentu." jawabnya.
"Bagus!" kata si
brewok girang. "'Teecoe telah berjanji kepada Thio Cinjin nntuk menolong
saudara kecil ini. Sesudah memberi janji itu, tee coe tak mau orang-orang
partai sana mengatakan bahwa murid-murid Mo kauw tidak boleh dipercaya. Maka
itu, begini saja, Teecoe tak usah di obati oleh Soepeh, tapi teecoe memohon
supaya Soepeh sudi mengobati saudara kecil dengan demikian, satu ditukar dengan
satu dan Soepeh tidak jadi rugi."
"Kau tahu bagaimana
hebatnya Ciat sim ciang ?" tanya sang paman guru dengan paras
sunguh-sungguh. "Sesudah kena pukulan itu, jika didalam tempo tujuh hari,
kau mendapat pertolongan seorang tabib kelas satu, maka lukamu akan menjadi
sembuh. Sesudah lewat tujuh hari, hanya jiwamu yang dapat ditolong, sedang ilmu
silatmu akan musna seanteronya. Sesudah lewat empat belas hari, tak satu
tabibpun yang akan bisa menolong jiwamu."
"Ya, itulah karena
meskipun melihat kebinasaan, Soepeh tidak sudi menolong," jawabnya,
"Teecoe rela mati dan takkan merasa menyesal."
"Aku tak sudi ditolong
olehmu!" teriak Boe Kie. "Tak sudi! Kau mengerti?" la menengok
kearah siberewok dan berkata: "Siang Toako, apa kah kau rasa Boe Kie
manusia rendah? Kau menukar jiwamu dengan jiwaku. Andaikan aku hidup, aku akan
hidup menderita. Tak bisa ada kejadian begitu !"
Gie Coen adalah laki-laki
tulen. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia membuka tali pinggangnya yang
lalu digunakan untuk membelenggu kaki tangan Boe Kie dan kemudian mengikatkan
kesebuah kursi.
"Lepas ! Lepas !"
teriak bocah itu. "Kalau kau tidak lepas, aku akan mencaci."
Si berewok tidak menggubris.
"Kian sie Poet kioe Ouw
Ceng Goe!" teriak Boe Kie. "Kau sungguh seperti kerbau tolol! Kau
lebih rendah daripada binatang. Aku sedih, bahwa didalam Mo kauw terdapat
manusia yang tidak bersifat manusia. Dan kau masih begitu tak mengenal malu,
kau masih ada muka untuk membujuk aku masuk kedalam agamamu. Entah dosa apa
yang ditumpuk oleh delapan belas leluhurmu, sehingga pada akhirnya, mereka
mendapat turunan seperti kau, manusia yang lebih rendah dari pada anjing dan
babi !"
Sesudah selesai mengikat Boe
Kie, Gie Coen segera berkata : "Ouw Soepeh, saudara Thio, selamat tinggal!
Aku sekarang ingin mencari tabib."
"Di seluruh propinsi An
hoei tidak terdapat tabib yang pandai," kata Ceng Goa. "Dan didalam
tujuh hari, belum tentu kau bisa keluar dari propinsi ini."
Si brewok tertawa
terbahak-bahak. "Aku mempunyai Soepeh melihat kebinasaan, tak sudi
menolong," katanya. "Dan kau mempunyai Soetit (keponakan murid) yang
tidak mengenal mampus." Seraya berkata begitu, dengar tindakan lebar ia
berjalan keluar.
"Ouw Ceng Goe !"
bentak Boe Kie. "Kalau kau tidak mengobati Siang Toako, satu hari kau
pasti akan binasa didalam tanganku ! Aku...aku.."
Ia tidak dapat meneruskan
perkataannya, karena ia sudah pingsan.
Ceng Goe mengeluarkan suara
dihidung. "Tak perlu kau mampus diluar rumahku," katanya seraya
mengambil sebatang daun obat yang lain di timpukkan kearah Gie Coen. Batang
daun obat itu menyambar bagaikan kilat dan mengenakan tepat dilutut si berewok,
yang tanpa mengeluarkan suara, segera roboh terguling dan tidak bisa bangun
lagi.
Memang aneh sungguh adat Ouw
Ceng Coe. Kalau dia kata "tidak" tetap tidak, kalau dia
"mau", dia tetap mau. Perkataan Boe Kie yang paling belakang, yakni
aneaman "kalau kau tidak mengobati Siang Toako, satu hari kau pasti akan
binasa didalam tanganku", agak mengejutkan hatinya. Melihat kegagahan Boe
Kie dan mengingat bahwa anak itu murid Thio Sam Hong, ia merasa bahwa ancaman
itu bukan ancaman kosong. Ia seorang yang sangat berhati-hati. Sesudah memikir
sejenak berkata dalam hatinya: "Biarlah, kedua-duanya tidak ditolong
olehku. Perduli apa jika di Ouw tiap kok bertambah dengan dua setan
penasaran"
Sesudah menimpuk Gie Coen, ia
segera membuka ikatan Boe Kie dan mencekal kedua pergelangan tangan anak itu
untuk dilontarkan sejauh jauhnya keluar.
Mendadak Ceng Goe terkejut,
karena denyutan nadi si bocah sangat luar biasa. Ia segera memeriksa lebih
teliti dan rasa kagetnya bertambah tambah.
"Apakah bocah sekecil dia
sudah bisa membuka Kie keng Pat meh" tanyanya dalam hati. "Puluhan
tahun aku berlatih, tapi belum dapat aku membuka pembuluh darahku. Oh, aku
tahu! Tak salah lagi, inilah akibat bantuan Thio Sam Hong. Dia rupanya sangat
sayang bocah itu dan rela mengorbankan sebagian Lweekangnya."
Ia lalu membuka pakaian Boe
Kie dan memeriksa seluruh badannya. Sesudah itu, ia menekan tantian, dada,
embun-embunan dan hati si bocah. Akhirnya ia tertawa dingin seraya berkata :
"Thio Sam Hong berlagak pintar, tapi dia jadi bodoh. Lantaran menyayang,
dia mencelakakan cucu muridnya. Jikalau Kie keng Pat meh anak ini belum
terbuka, jiwanya masih dapat ditolong. Tapi sekarang, racun dingin sudah buyar
dan masuk ke dalam isi perutnya. Kecuali dewa, manusia biasa tak berdaya lagi.
Huh huh! Kata orang, Boe tong Thio Sam Hong berkepandaian luar biasa tinggi.
Tapi menurut penglihatanku, dia goblok berlapis dungu."
Beberaga saat kemudian, Boe
Kie tersadar, dan melihat Ouw Ceng Goe sedang mengawasi api dapur obat dengan
mata membelalak, sedangkan Siang Gie Coen masih juga menggeletak di jalanan
berumput, diluar rumah. Keadaan begitu sunyi senyap untuk beberapa lama, tak
seorangpun membuka mulut.
Ouw Ceng Goe adalah seorang
tabib yang telah mencurahkan seluruh penghidupannya untuk mempelajari ilmu
ketabiban. Kalau dia senang dengan mudah dia dapat menyembuhkan penyakit yang
aneh-aneh. Oleh karena itu, ia mendapat gelaran "Ie sian," atau
"Tabib Dewa."
Tapi, ia sekarang menghadapi
racun yang sangat langka, yaitu racun dingin dari pukulan Hian beng Sin ciang.
Apa yang lebih luar biasa lagi, yalah pembuluh darah dari orang yang terkena
racun itu, terbuka semuanya, sehingga racun tersebut sudah masuk kedalam
perutnya.
Sebagaimana diketahui, dalam
dunia ini, orang orang sangat sukar mendapat lawan yang setimpal. Seorang ahli
catur jempoan sukar mendapat lawan yang seimbang. Jika menemui lawan begitu, ia
bisa lupa makan dan lupa tidur. Seorang ahli hitung juga pasti tak akan
menyerah kalah sebelum dapat memecahkan teka teki hitungan yang sulit. Hal yang
sama sekarang dihadapi oleh Ouw Ceng Coe. Penyakit Boe Kie merupakan tantangan
baginya. Ia sungkan mengobati Boe Kie tapi tantangan itu terlalu hebat untuk
bisa dielakkan dengan begitu saja.
Tanpa merasa, ia mengasah
otak, Beberapa lama, ia mengasah otak, tanpa berbasil. Akhirnya dengan
geregetan, ia berkata didalam hatinya: "Baiklah. Lebih dulu aku akan
menyembuhkan penyakitnya. Aku pasti bisa menyembuhkannya. Sesudah dia sembuh,
masih banyak tempo untuk membinasakannya."
Sesudah memeras pikiran sejam
lebih, ia mengeluarkan dua belas kepingan kecil tembaga dari sakunya. Sambil
mengerahkan Lweekang, ia menancapkan kepingan-kepingan logam tembaga itu di
Tiongkie hiat (sebelah bawah tantian), di Thian touw hiat (sebelah bawah
leher), di Cian keng hiat (dipundak) dan dilain lain jalan darah disekujur
badan Boe Kie. Sesudah kepingan tembaga itu ditancapkan, maka duabelas Keng
siang meh terputus hubungannya dengan Kie keng Pat meh. Keng siang meh ialah
hati, paru paru, nyali ginjal, usus besar, usus kecil dan lain lain, ialah dua
belas macam isi perut dalam tubuh manusia.
Sesudah Keng siang meh
terputus hubungannya dengan Kie keng Pat meh, maka racun dingin yang sudah
masuk kedalam isi perut Boe Kie tidak bisa naik lagi kepembuluh darah dan untuk
sementara, tidak berbahaya lagi.
Sesudah membuka semua jalanan
darah yang tertotok di kaki tangan Boe Kie, dengan menggunakan batang rumput
Tin ngay, Ouw Ceng Goe lalu membakar In boen hiat dan Tiang hoe hiat dipundak
sibocah. Kemudian, ia lalu membakar berbagai jalanan darah dari lengan sampai
dijempol tangan, seperti Thian hoe hiat, Hiap pek hiat, Cek tek hiat dan
sebagainya. Setiap pembakaran disaban jalanan darah mengurangi racun dingin
yang mengeram dalam isi perut Boe Kie. Tapi cara itu, yaitu menggunakan hawa
panas untuk melawan hawa dingin, menimbulkan kesakitan luar biasa dan
penderitaan Boe Kie lebih hebat dari pada waktu mengamuknya racun dingin itu.
Tanpa mengenal kasihan, si
tabib malaikat membakar terus dengan batang Tin ngay yang menyala nyala. Sesudah
selang beberapa lama, tubuh si bocah penuh dengan totol totolan hitam akibat
pembakaran itu.
Boe Kie yang keras kepala
sedikitpun sungkan memperlihatkan kelemahannya. Jangankan berterlak kesakitan,
merintihpun tidak. Sebaliknya dari itu, ia masih bisa bicara dengan sang tabib
sambil bersenyum senyum.
Meskipun tidak mengerti ilmu
ketabiban, tetapi sesudah belajar ilmu Tiam hiat dari Cia soen, ia paham akan
letaknya berbagai jalanan darah disekujur badan manusia. Maka itu, waktu Ouw
Ceng Goe bicara tentang soal ketabiban sambil membakar jalanan darahnya,
sedikit-sedikit ia masih bisa melayaninya, Kadang kadang berdasarkan
pengetahuannya akan ilmu Tiam hiat, ia malah memberi tafsiran atau mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang tepat. Hal ini menggembirakan sangat hati Tiap kok
Ie sian. Sebagaimana diketahui, ia hidup menyendiri disebuah selat yang
terpencil dari dunia luar. Manusia yang mengawaninya hanya kacung kacung yang
membantunya mencari daun obat atau memasak obat. Maka dapatlah dimengerti kalau
sekarang kegembiraannya timbul sebab ia bisa bicara dengan seorang yang
kelihatannya mengerti akan apa yang dibentangkan olehnya.
Setelah beberapa ratus jalanan
darah yang bersangkut paut dengan Keng sian meh selesai di bakar, siang sudah
berganti dengan malam. Tak lama kemudian, seorang kacung membawa nasi dan sayur
yang lalu ditaruh diatas meja dan kemudian ia membawa juga barang santapan
keluar rumah untuk diberikan kepada Siang Gie Coen yang masih terus menggeletak
diatas rumput.
Malam itu si berewok tidur
diudara terbuka. Waktu tiba temponya untuk mengaso, tanpa mengeluarkan sepatah
kata, Boe Kie berjalan keluar rumah dan membaringkan dirinya diatas rumput,
disamping Toako, sebagai tanda bahwa ia bersamaan nasib dengan si berewok.
Ouw Ceng Goe tidak memperdulikan,
ia malah berlagak tidak melihat perbuatan Boe Kie. Tapi didalam hati, diam-diam
ia merasa heran dam kagum akan cara-caranya bocah cilik Itu.
Pada keesokan harinya, si
tabib malaikat menggunakan tempo setengah hari untuk membakar "hiat"
dari Kie keng Pat meh. Keng siang meh adalah seperti sungai yang terus mengalir
tak henti-hentinya, sedang Kie keng Pat meh seolah-olah telaga atau lautan yang
menerima semua aliran itu. Maka itu, usaha untuk mengusir racun dingin yang
berkumpul di Kie keng Pat meh banyak sukar daripada usaha mengusir racun itu
dari Keng Pat meh.
Sesudah selesai membakar
berbagal "hiat" dari Kie keng pat meh, Ceng Goe segera memerintahkan
kacungnya memasak semacam ramuan obat yang kemudian lalu diberikan kepada Boe
Kie. Obat itu dingin sifatnya dan dalam usaha babak kedua itu ia menggunakan
dingin membasmi dingin. Sehabis makan obat itu, Boe Kie mengigil hebat, tapi
sesudah serangan itu mereda, ia merasakan badannya banyak lebih baik, lebih
nyaman dan lebih segar.
Di waktu lohor si tabib
malaikat meneruskan usahanya dengan menusuk berbagai jalanan darah Boe Kie
dengan mengunakan jarum emas. Selagi diobati dengan rupa rupa daya Boe Kie coba
membujuk Ceng Goe, supaya dia suka mengobati Gie Coen, tapi orang aneh itu
tidak meladeni dan hanya berkata: "Gelar Tiap kok ie sian untukku
sebenarnya kurang tepat dan aku tidak menyuka julukan itu. Gelar Kian sie Poet
kioe barulah menyenangkan hatiku."
Sambil berkata begitu, ia
menusuk Ngo kit hiat, diantara pinggang dan paha dengan jarum emas nya. Jalanan
darah itu adalah tempat bertemunya Siauw yang dan Tay yang.
"Tay meh dalam tubuh
manusia merupakan pembuluh darah yang paling aneh," kata Boe Kie.
"Ouw Sinshe, apa kau tahu bahwa ada beberapa orang yang tidak mempunyai
Tay meh ?"
Ceng Goe kaget. "Omong
kosong ! Tak bisa jadi!" bentaknya.
Memang benar, Boe Kie hanya
bicara sembarangan. Tapi ia berkata pula. "Ouw Sinshe, dunia ini luas
sekali dan didalam dunia terdapat banyak yang aneh aneh. Apalagi menurut
katanya orang, Tay meh sebenarnya tidak memegang peranan penting dalam tubuh
manusia."
"Aku mengakui, bahwa Tay
meh adalah pembuluh darah yang agak aneh," kata sitabib. "Tapi jutsa
besar, jika orang mengatakan, babwa Tay meh tidak berguna besar. Dalam dunia
terdapat banyak tabib tolol yang tidak mengerti kegunaan dan pentingnya Tay
meh. Aku mempunyai sejilid Kitab Tay meh. Kau bacalah sendiri,"
Ia segera masuk kedalam dan
keluar lagi dengan membawa sejilid Buku tipis yang ditulis dengan tulisan
tangannya sendiri, dan lalu menyerabkan kepada si bocah.
Boe Kie membuka halaman yang
pertama, dimana tertulis seperti berikut: "Dua belas Keng siang meh dan
Kie keng cit meh semua mengalir dari atas kebawah. Hanya Tay meh yang terletak
di samping kempungan, mengalir dengan memutari pinggang, seperti juga sehelai
ikatan pinggang. Dalam beberapa kitab pengobatan terdapat keterangan, bahwa Tay
meh mempunyai empat hiat atau enam hiat. Itu semua salah. Tay meh sebenarnya
mempunyai sepuluh hiat, dua di antaranya kadang kadang muncul, kadang kadang menghilang,
sehingga sukar sekali dapat diraba"
Boe Kie membaca terus dengan
teliti dan diam diam mengingat-ingat semua apa yang dibacanya.
Tiba-tiba ia teringat
peristiwa Tan Yoe Liang yang coba mengabui kakek gurunya. Kitab Tay meh itu
tidak seberapa banyak isinya dan apa yang tertulis didalamnya ternyata sangat
mudah dimengerti, sehingga jika dibandingkan dengan Kouw koat ilmu silat, kitab
tersebut sepuluh kali lebih mudah dihafal.
Sesudah selesai membaca, si
bocah lalu mengembalikan kitab itu kepada Ouw Ceng Gee. "Kitab itu sudah
pernah dibaca olehku," katanya dengan suara tawar. Pada waktu berusia
tigapuluh tahun, Thay soehoe pernah menulis Coe hak Tay meh Jip boen Cian swee,
yang bersamaan isinya dengan hubungan itu. Entah Thay soehoe yang menelad
(peep: what is menelad?") keteranganmu atau kau yang menyontoh gubahan
Thay soehoe,"
Ouw Ceng Goe tercengang, akan
kemudian marah besar. "Tahun ini aku baru berusia lima puluh satu tahun,"
katanya didalam hati. "Kau mengatakan, bahwa Thio Sam Hong menulis buku
itu waktu ia berusia tiga puluh tahun dan karena ia sekarang sudah berumur
seratus tahun lebih, maka ia menulis itu pada tujuhpuluh tahun berselang.
Dengan lain perkataan lagi, akulah yang sudah mencuri buah kalamnya Thio Sam
Hong. Kurang ajar! Kitab Tay-meh itu adalah hasil jerih-pajahku dan belum
pernah didapat oleh siapapun jua dalam dunia ini. Kurang ajar ! Kau mengatakan
Coe hak Tay meh Jip boen Cian swee, sudah 'Coe hak', 'Jip boen', sudah 'Jip
boen', 'Cian swee' lagi! Kunyuk kecil ini benar-benar kurang ajar!" (Coe
hak, artinya pelajaran permulaan, Jip boen adalah pendahuluan, Cian swee
berarti perundingan yang cetek, tidak mendalam).
Dalam gusarnya, ia menancapkan
jarum emas dalam-dalam di pinggir jalanan darah, sehingga darah lantas saja
keluar berketel ketel. Boe Kie kesakitan, hampir-hampir ia berteriak, tapi
sambil menggigit bibir, ia menahan rasa sakit itu. "Kalau kau tidak
percaya, biarlah aku menghafal Coe hak Tay meh Jip boen Cian swee itu, yang
digubah oleh Thay Soehoe," katanya dengan tenang.
"Baiklah !" bentak
Ceng Goe. "Kalau salah sehuruf saja, tahu sendiri, aku akan segera
mengambil jiwamu "
Selama di Pheng hwee to,
semenjak berusia tima tahun, Boe Kie telah dipaksa menghafal Kouw koat ilmu
silat oleh ayah angkatnya. Salah sedikit saja, ia digaplok oleh ayah angkat
yang galak itu. Maka itulah, sesudah berlatih selama lima tahun, ia boleh
dikatakan sudah menjadi ahli dalam ilmu menghafal. Akan tetapi, mendengar ancaman
Ouw Ceng Goe in keder juga. Ia yakin, bahwa orang aneh itu dapat membuktikan
ancamannya. Diam diam ia merasa menyesal, bahwa ia berguyon guyon secara
melampaui batas. Tapi sekarang ia sudah tidak bisa mundur lagi. Sambil
mengempos semangat untuk mengumpulkan semua tenaga otak nya, ia mulai menghafal
dengan suara nyaring :
"Duabelas Keng siang meh
dan Kie keng Cit meh semua mengalir dari atas kebawah. Hanya Tay meh, yang
terletak disamping kempungan, mengalir memutari pinggang, seperti sehelai
ikatan pinggang..."
Makin lama, ia makin
bersemangat dam akhirnya ia mendapat menyelesaikan hafalan itu dengan sempurna.
Bukan main kagetnya Ceng Goa.
Untuk beberapa saat, ia mengawasi si bocah dengan mata membelalak.
"Sungguh luar biasa" pikirnya. "Anak itu mempunyai bakat Kwee
bak poet bong, Manusia yang seperti dia sukar dicari keduanya didalam
dunia," Kwee bak poet bong artinya begitu melihat tidak bisa lupa Iagi.).
Ia tak tahu, bahwa dalam kuil Siauw lim sie terdapat Tan Yoe Liang yang
kecerdasannya tidak berada di sebelah bawah Boe Kie.
Sesudah hilang kagetnya, tanpa
merasa ia memuji: "Pintar! Kau sungguh pintar !" Sehabis berkata
begitu, ia segera menusuk sepuluh "hiat" dari Tay meh Boe Kie dengan
jarum emasnya.
Sehabis mengaso sebentar, Ceng
Goe mendapat ingatan untuk mencoba lagi. "Disamping kitab Tay meh, aku
memiliki kitab Coe ngo Ciam cie keng," katanya. "Coba kau lihat.
Apakah Thio Sim Hong juga sudah pernah menggubah kitab yang seperti itu ?"
Ia segera masuk kedalam dan
keluar lagi dengan membawa 12 jilid kitab tulisan tangan.
Boe Kie segera membalik-balik
lembarannya. Setiap halamannya penuh huruf-huruf kecil yang menerangkan
kedudukan jalanan darah, beratnya timbangan obat, waktu dan cetek dalamnya
tusukan jarum emas. Semua diterangkan dengan jelas sekali, "Untuk membaca
dua belas jilid sedikitnya memerlukan tempo tiga atau empat hari,"
pikirnya.
"Bagaimana aku dapat
menghafal dalam tempo cepat? Biarlah aku coba saja mencari ilmu untuk mengobati
luka Siang Toako." Dengan cepat ia membalik-balik lembaran kitab-kitab itu
dengan hanya memperhatikan judulnya. Waktu memeriksa jilid kesembilan, dibagian
Ciang siang Cie hoat (Cara mengobati luka pukulan telapak tangan), ia melihat
petunjuk-petunjuk untuk mengobati luka Tiat see ciang, Tok ciang, Kay san ciang
dan sebagainya. Waktu ia meneliti lagi sampai di halaman seratus delapanpuluh,
barulah ia bertemu dengan cara pengobatan luka terkena pukulan Ciat sim ciang.
Ia jadi sangat girang. Ia lalu
membaca dan mempelajari apa yang tertulis disitu. Ia mendapat kenyataan bahwa
keterangan mengenai pukulan itu diberikan jelas sekali, tapi cara mengobatinya
sangat sederhana dan ringkas. Mengenai itu hanya ditulis seperti berikut
"Turun tangan mulai dari Cie kiong hiat, Tiong tseg hiat. Koan goan hiat
dan Thian tie hiat. Sesudah itu, memberi obat dengan melihat perubahan Im yang
dan Ngoheng, meninjau lima hawa udara yaitu: dingin, panas, kering, basah dan
angin dan memperlihatkan lima perasaan girang, gusar, jengkel, banyak pikiran
dan bersemangat dari si sakit."
Dalam ilmu pengobatan Tionghoa
terdapat banyak perubahan dan tidak ada peraturan yang tentu. Untuk mengobati
serupa penyakit si tabib biasa memberi obat dengan memperhatikan hawa udara,
siang atau malam, lelaki atau perempuan, besar atau keci dan sebagainya.
Sementara itu, sesudah membaca
beberapa kali, Boe Kie berkata dalam hatinya: "Yang paling penting yalah
coba menolong Siang Toako. Aku tidak boleh mengejek tabib malaikat ini."
Di bagian terakhir Ciang siang
Cie hoat, ada tertulis Hian beng Sin ciang. Kehebatan pukulan itu diterangkan
jelas, tapi dibagian cara pengobatan tertulis: "Tidak ada."
Ia lalu menutup kitab itu dan
dengan sikap hormat menaruhnya diatas meja. "Dalam ilmu silat, Ouw Sinshe
tidak dapat menandingi Tay soehoe, tetapi di dalam ilmu ketabiban, Tay Soe hoe
tidak bisa melawan Ouw Sinshe," katanya, "Coe ngo ciam cie keng luas
dan dalam, Tay Soehoe tak akan dapat menggubah kitab seperti itu. Akan tetapi,
mengenai pengobatan pukulan telapak tangan, apa yang dipelajari Ouw Sinshe
belum dapat melampaui pelajaran Tay Soehoe."
Sehabis berkata begitu, ia
segera menghafal Ciang Siang Cie hiat yang terdiri dari mengobati seratus lebih
macam pukulan telapak tangan, dan dalam menghafal itu, tidak sehuruf pun yang
salah atau ketinggalan. Akhirnya ia berkata: "Luka boanpwee akibat pukulan
Hian beng Sin ciang tak dapat diobati oleh Tay soehoe. Mungkin sekali Ouw
Sinshepun tidak berdaya"
Ouw Ceng Goe tertawa dingin.
"Tak usah kau memanaskan hatiku," katanya. "Kau saksikan saja
sendiri apa benar aku tidak berdaya. Tapi sesudah aku menyembuhkan kau, belum
tentu kau bisa hidup lama."
Walaupun Boe Kie pintar luar
biasa, ia tidak mengerti maksud sebenarnya dari perkataan si tabib yang ingin
membinasakannya sesudah menyembuhkannya, supaya sesuai dengan kebiasaannya,
bahwa ia tidak pernah menolong orang yang diluar lingkungan "agama"
sesat.
Dengan tujuan satu-satunya
untuk menolong Siang Gie Coen. sibocah lantas saja berkata: "Ouw Sinshe,
jika boanpwee tidak bisa hidup lama, boanpwee ingin sekali bisa membaca lagi
kitab Coe ngo Ciam cie keng yang sangat luar biasa itu."
Ouw Ceng Goe tidak lantas
menjawab. Sesudah menimbang sejenak, ia menganggap tidak halangan jika ia
meluluskan permintaan itu, sebab biar bagaimana juapun, bocah itu tidak akan
bisa keluar dari Ouw tiap kok dengan masih bernyawa.
Ia mengangguk seraya berkata
"Boleh, kau boleh membaca sesukamu."
Biarpun adatnya aneh, tidak
dapat disangkat lagi bahwa Ouw Ceng Goe adalah salah seorang manusia luar biasa
yang berkepandaian tinggi dan berpengetahuan luas. Hanya sesudah masuk kedalam
"agama" sesat, ia membenci manusia biasa dan lebih membenci lagi
orang orang Rimba Persilatan yang menjadi anggauta dari partai-partai lurus
bersih. Makin lama, adatnya jadi makin aneh dan ia hidup menyendiri ditempat yang
terpencil. Tapi, sebagai manusia biasa kadang-kadang ia merasa manyesal, bahwa
ia tidak mempunyai kawan untuk bersama-sama merundingkan atau mempelajari ilmu
ketabiban dan iapun merasa sangat kesepian. Oleh sabab itu, maka kedatangan Boe
Kie, yang sangat pintar dan yang kagum akan kepandaiannya, pada hakekatnya
menyenangkan hatinya yang kosong sunyi.
Sesudah mendapat perkenan,
siang malam Boe Kie mempelajari isi kitab-kitab Ceng Goe. Sering sering ia lupa
makan dan lupa tidur. Ia bukan saja membaca belasan macam kitab yang ditulis
oleh Ouw Ceng Goe sendiri, tapi juga banyak kitab lain, sepetti Oay Tee
Lweekang, Hoa To, Lwee ciauw touw, Cian kim ek dan sebagainya. Tujuan si bocah
yang sesungguhnya, tidak dapat ditebak oleh Ouw Ceng Gee yang menganggap, bahwa
karena tidak mengerti kitab gubahannya sendiri, maka Boe Kie yang sungkan
menanya secara langsung, sudah membongkar kitab-kitab ketabiban kuno untuk
mencari penjelasannya.
Beberapa hari telah lewat.
Selama beberapa hari itu, Boe Kie telah bisa menghafal banyak kitab, akan
tetapi, ilmu pengobatan yang dalam dan luas mana bisa dipahamkannya dalam
beberapa hari saja? Ia menghitung hitung dan ternyata ia sudah berdiam di Ouw
tiap kok enam hari lamanya.
Ia jadi bingung. Menurut
katanya Ouw Ceng Goe, jika didalam tempo tujuh hari, Cie Coen bisa mendapat
pertolongan tabib yang pandai, maka lukanya akan sembuh seanteronya. Jika lewat
tujuh hari, andaikata bisa sembuh, ilmu silat Gie Coen akan musnah semuanya.
Dan sekarang, si berewok sudah menggeletak diluar rumah enam hari enam malam
lamanya. Apakah ia akan bisa menolong jiwa Siang Toako?
Jilid 23
Hari itu turun hujan besar dan
Gie Coen separuh terendam diair, tapi sang paman guru tak menghiraukannya.
Melihat begitu, Boe Kie mendongkol bukan main dan didalam hati, ia mencaci si
tabib malaikat yang berhati kejam.
Malamnya hujan turun makin
besar. Kilat menyambar nyambar, diiringi guntur dan petir yang menggetarkan
bumi. Boe Kie tak bisa mempertahankan diri lagi. Sambil mengertak gigi, ia
berkata dalam hatinya. "Biarpun aku mesti membunuh Siang Toako, tak dapat
aku mengawasi penderitaannya dengan berpeluk tangan." Dari laci obat Ouw
Ceng Goe, ia segera mengambil delapan batang jarum emas dan lalu menghampiri
Gie Coen.
"Siang Toako,"
katanya dengan suara parau, "Selama beberapa hari siauwtee telah
mempelajari kitab-kitab Ouw Sinshe dan biarpun belum mengerti benar, tapi
karena keadaan memaksa, siauwtee ingin coba menggunakan jarum untuk mengobati
Toako. Andaikata terjadi kejadian yang tidak di harapkan, siauwteepun tidak
bisa hidup sendirian dalam dunia ini."
Gie Coen tertawa terbabak
bahak. "Saudara kecil jangan kau mengatakan begitu," katanya.
"Lekas gunakan jarum itu. Kalau kau berhasil, Soe peh akan merasa malu
sekali. Andaikata aku mati, aku memang lebih suka mati daripada berendam
dikobakan ini."
Dengan tangan gemetar Boe Kie
mencari jalan darah Gie Coen dan kemudian menancapkan sebatang jarum emas di
Koan goan hiat. Tapi, begitu ditacapkan, jarum itu bengkok dan tidak bisa masuk
terus ke dalam daging.
Hal ini bisa dimengerti,
karena bukan saja si bocah belum pemah menggunakan jarum tersebut, tapi jarum
itupun lemas luar biasa, sehingga untuk memasukkannya ke dalam daging, orang
harus menggunakan Lweekang yang tinggi. Boe Kie terpaksa mencabutnya lagi.
Menurut biasa, jika jarum masuk tepat di jalanan darah, darah tidak keluar.
Tapi sekarang, sebab si bocah menusuk salah, maka begitu jarum tercabut, darah
Gio Coen lantas saja keluar berketel-ketel. Koan goan hiat yang terletak
dikempungan manusia, merupakan salah satu "hiat" yang paling
berbahaya. Melihat darah merembas keluar tak hentinya, Boe Kie jadi bingung.
Sekonyong-konyong di
belakangnya terdengar suara orang tertawa berkakakan. Ia menengok dan melihat
Ouw Ceng Goe yang berdiri sambil menggendong tangan, dengan paras muka berseri
seri.
"Ouw Sinshe," kata
Boe Kie dengan suara bingung. "Koan goan hiat Siang Toako mengeluarkan
darah. Bagaimana baiknya ?"
"Tentu saja aku tahu
bagaimana baiknya," jawabnya. "Tapi perlu apa aku memberitahukan kau
?"
"Ouw Sinshe, mengapa kau
begitu kejam?" kata Boe Kie dengan suara keras: "Begini saja. Satu
jiwa ditukar dengan satu jiwa. Tolonglah Siang Toako. Sesudah kau menolong, aku
akan segera binasa dihadapanmu."
"Kalau aku kata tidak,
tetap tidak," kata Ceng Goe dengan suara tawar. "Aku hanya Kian sie
Poet kioe Ouw Ceng Goe. Aku bukan Boe siang (setan yang biasa membetot jiwa
orang). Kalau kau mampus, sedikitpun tiada sangkut pautnya dengan aku.
Andaikata sepuluh Boe Kie mati, akupun tidak akan menolong satu Siang Gie
Coen."
Boe Kie mengerti, tiada
gunanya ia memohon mohon lagi. Ia tahu, bahwa ia tak akan bisa menggunakan
jarum emas itu yang terlampau lemas. Mencari jarum baja atau jarum besi sudah
tidak keburu lagi.
Sesudah memikir sejenak, buru
buru ia mematahkan sebatang bambu. Dengan menggunakan pisau, ia membuat
beberapa biting bambu dan kemudian, tanpa memikir lagi ia menancapkannya di Cie
kiong, Siong tong, Koen goan dan Tian tie hiat.
Sesaat kemudian Gie Coen
muntahkan darah hitam beberapa kali.
Boe Kie jadi bingung. Sesudah
menusuk jalanan darah orang, ia tak tahu apa penyakitnya jadi lebih enteng atau
lebih berat. Ia mengawasi muka Ouw Ceng Goe dan melihat, bahwa, meskipun
sikapnya acuh tak acuh, paras muka sitabib malaikat menunjuk rasa kagum. Ia sekarang
tabu, bahwa usahanya yang pertama telah berhasil dan hatinya girang.
Buru-buru ia masuk kedalam
rumah dan sambil membaca beberapa kitab, ia mengasah otak untuk coba menulis
surat obat. Ia tahu obat apa bisa digunakan untuk menyembuhkan penyakit apa,
tapi ia belum pemah melihat macamnya obat itu dan juga tidak mengerti, berapa
banyak si sakit barus diberikan. Sesudah berpikir beberapa lama dengan nekat ia
lalu menulis surat obat yang lalu diserahkan kepada sikacung tukang masak obat
dengan berkata: "Masaklah obat ini"
Si kacung membawa surat obat
itu kepada majikannya dan menanya, apakah ia boleh turut perintah Boe Kie. Ceng
Goe mengeluarkan suara dihidung dan berkata pada dirinya sendiri: "Hmm !
Benar benar gila !" Ia berpaling kepada kacungnya dan berkata:
"Boleh. Masaklah obat menurut timbangannya. Kalau dia tidak mati,
benar-benar rejekinya besar."
Boe Kie mongerti apa maksudnya
perkataan itu.
Cepat-cepat ia merebut pulang
surat obat itu, mengurangkan timbangannya dan kemudian baru menyerahkannya
kembali kepada si kacung.
Sesudah dimasak, Boe Kie
membawa obat itu kepada Gie Coen dan berkata dengau air mata berlinang-linang:
"Siang Toako, minumlah obat ini. Apa untung, apa celaka, siauwtee sendiri
tak tahu"
"Bagus! Bagus!" kata
siberewok sambil tertawa "Inilah yang dikatakan, tabib buta mengobati kuda
picek." Sambil meramkan mata ia segera minum habis semangkok obat itu.
Malam itu Gie Coen
menggelisah. Ia merasa perutnya seperti disayat pisau dan dari mulutnya terus
mengeluarkan darah. Tanpa menghiraukan hujan dan hawa dingin, semalaman suntuk
Boe Kie menemani sisakit. Pada esokan paginya, hujan berhenti dan darah yang
dimuntahkan Gie Coen makin lama jadi makin sedikit. Warna darah juga berubah,
dari hitam menjadi ungu, dari ungu berubah merah.
"Saudara kecil,"
kata Siang Gie Coen dengan girang. "Obatmu teryata tidak membinasakan
manusia. Aku merasa badanku banyak lebih enak, lebih nyaman."
"Bagaimana? Obat siauwtee
boleh juga bukan?" kata sibocah sambil menyengir.
"Lebih dari boleh
juga!" memuji Gie Coen. "Hanya obatmu mungkin terlalu keras, perutku
seperti diiris-iris pisau."
"Ya, mungkin terlalu
keras," kata Boe Kie dengan rasa jengah.
Sebenarnya, obat yang
diberikan oleh Boe Kie kepada Gie Coen bukan hanya terlalu keras, tapi beberapa
lipat kali terlalu keras. Kalau Gie Coen tidak mempunyai badan yang sangat
kuat, siang siang ia sudah binasa.
Sesudah membersihkan badan,
Ouw Ceng Goe berjalan keluar. Melihat paras muka Siang Gie Coen ia terkesiap.
Ia tak nyana, bahwa Boe Kie benar-benar sudah berhasil menyembuhkan luka si
borewok.
Sementara itu, sibocah sudah
menulis surat obat untuk menguatkan badan dan lain menyerahkannya kepada
sikacung untuk dimasak.
Ia memasukkan segala macam
obat kuat, seperti Jinsom, Lok jiong, Souw ouw dan sebagainya. Dalam rumah Ouw
Ceng Goe terdapat rupa rupa obat, dari yang paling murah sampai yang paling
mahal harganya. Sesudah minum obat kuat enam tujuh hari beruntun, bukan saja
kesehatannya, tapi kepandaian silat Gie Coen juga sudah pulih kembali.
Beberapa hari kemudian, ia
berkata begini kepada Boe Kie: "Saudara kecil, lukaku sudah sembuh
Sekarang saja kita berpisahan "
Selama kurang lebih sebulan
Boe Kie telah berkawan dengan pemuda itu dan mereka berdua sama-sama merasakan
banyak penderitaan. Mereka telah menjadi seperti saudara kandung dan dapatlah
dimengerti, jika sibocah merasa sedih waktu mendengar perkataan sang kakak. Ia
tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Ia hanya mengangguk dengan air mata
berlinang-linang.
"Saudara kecil, jangan
kau bersusah hati," membujuk Gie Coen. "TIga bulan kemudian, aku akan
kembali untuk menengokmu. Kalau racun dingin sudah diusir bersih dari badanmu,
aku akan segera mengantarkan kau pulang ke Boe tong."
Ia masuk kedalam rumah dan
berlutut dihadapan Ouw Ceng Goe. "Ouw Soepeh," katanya,
"sekarang teecoe sudah sembuh sama sekali. Biarpun benar saudara Thio yang
mengobati, akan tetapi, pengobatan itu diberikan berdasarkan petunjuk kitab
kitab Ouw Soepeh. Disamping itu, teecoe juga telah menghabiskan banyak sekali
obat-obatan Soepeh yang berhanga mahal. Untuk itu semua, teecoe hanya bisa
menghaturkan banyak-banyak terima kasih."
Sang paman guru manggut
manggutkan kepalanya. "Tak apa," katanya. "Lukamu memang sudah
sembuh, hanya sayang, usiamu berkurang dengan tigapuluh tahun."
Gie Coen tidak mengerti.
"Apa yang dimaksudkan Soepeh ?" tanyanya,
"Dilihat dari kekuatan
badanmu, paling sedikit kau bisa hidup sampai usia delapanpuluh tahun,"
menerangkan sang paman guru. "Tapi karena bocah itu membuat kesalahan
dalam memberi obat dan membuat kesalahan pula waktu menusuk jalanan darahmu,
maka, setiap kali bertemu delapan musim hujan angin, sekujur badanmu akan
dirasakan sakit. Menurut taksiranku, kau hanya bisa berusia sampai lima puluh
tahun."
Si berewok tertawa
terbabak-bahak. "Ouw Soe peh," katanya dengan suara lantang,
"jika seorang laki-laki bisa menolong sesama manusia dan mengabdi kepada
negara, berusia sampai empat puluh tahun saja kurasa sudah cukup. Jika seorang
hidup tanpa tujuan, maka biarpun ia bisa berumur seratus tahun, hidupnya
percuma saja."
Ceng Goe tidak mengatakan
suatu apa, ia hanya mengangguk beberapa kali.
Boe Kie mengantar Gie Coen
sampai dimulut selat Ouw tiap kok den kemudian mereka berpisahan sesudah
memeras banyak air mata. Sambil mengawasi bayangan si barewok yang makin lama
jadi makin jauh, Boe Kie bertekad untuk mempelajari ilmu pengobatan, supaya
dibelakang hari ia dapat memulihkan usia Gie Coen, yang menurut katanya Ouw
Ceng Goa, akan berkurang tigapuluh tahun.
Setiap hari dengan telaten,
Ceng Goe menggunakan jarum emas dan memberi obat untuk mengusir semua racun
dingin yang masih mengeram dalam tubuh sibocah. Sementara itu, diwaktu luang,
Boe Kie tidak menyia-nyiakan tempo. Tanpa kenal capai, ia membaca dan
mempelajari kitab kitab ketabiban. Jika ada bagian yang tidak dimengerti, ia
memohon petunjuk dari Ouw Ceng Goe yang memberinya dengan segala senang hati.
Perlahan-lahan tabib malaikat itu mulai merasa suka terhadap sibocah pintar
itu. sekali hatinya terbuka, tanpa sangsi-sangsi, ia memberi segala pelajaran
yang dimilikinya.
Kadang-kadang bocah itu
mengajukan pertanyaan mengenai hal-hal yang belum pemah dipikir olehnya
sendiri. Rasa kagum orang tua itu terhadap Boe Kie jadi makin besar.
Semula, ia berminat
membinasakan Boe Kie begitu lekas lukanya sembuh. Tapi sekarang ia merasa,
bahwa jika sibocah binasa, ia akan hidup kesepian. Maka itulah, waktu memberi
obat, ia sengaja mengurangkan timbangannya untuk menunda penyembuhan dan
penunda pula kebinasaan anak itu.
Sesudah lewat satu dua bulan,
dengan rasa heran Ceng Goe mendapat kenyataan, bahwa sesudah menggunakan
rupa-rupa cara, ia masih belum juga bisa mengusir racun dingin yang berkumpul
di Sam cauw. Belasan hari ia memeras pikiran dan bekerja keras, tapi hasilnya
nihil sehingga rambutnya bertambah uban. ( Samcouw -Hormon).
Pada suatu hari, sambil
menghela napas ia berkata: "Ilmu silat Thay soehoemu sangat tinggi, tapi
dalam ilmu ketabiban, ia mencelakakan kau. Sesudah kau kena pukulan Hian beng
Sin ciang, ia membuka Kie keng Pat mehmu. Betul-betul gila!"
"Bukan, bukan Thay soehoe
yang membuka pembuluh darahku,"membantah Boe Kie. Sesudah berkumpul dengan
Ouw Ceng Goe beberapa bulan, ia merasa bahwa meskipun beradat aneh, tabib
melaikat itu bukan manusia jahat. Maka itu, tanpa diminta, ia lantas saja
meneceritakan riwayat hidupnya. Ia juga menuturkan pengalamannya dikuil Siauw
lim sie, ketika ia datang untuk belajar Siauw lim Kioe yang kang.
Sesudah menunduk beberapa
saat, tiba-tiba saja Ceng Goe menepuk paha dan berkata: "Boe Kie, pendeta
Siauw lim itu pasti dengan sengaja mencelakakan kau !"
Si bocah terkejut. "Aku
belum pernah mengenalnya, ada perlu apa dia harus mencelakakan aku?"
tanyanya.
"Hal........ hal ini
sungguh aneh," kata pula Ceng Goa. "Coba kau ceritakan terlebih jelas
semua pengalamanmu di Siauw sit san."
Boe Kie menurut dan lantas
saja mengulang penuturannya secara lebib jelas.
Tiap kok Ie sian tampak
berjalan mundar mandir sambil menggendong kedua tangannya. Sekonyong konyong ia
berteriak: "Tidak bisa salah lagi. Pendeta itu memang sengaja mencelakakan
kau. Thay soehoemu tidak mengerti ilmu ketabiban dan juga ia adalah seorang
yang sangat percaya segala manusia. Maka itu, ia tidak bercuriga. Coba kau
pikir, Goan tin adalah seorang yang mahir dalam ilmu Siauw lim Kioe yang kang
dan ia juga bisa membantu kau dalam membuka Kie keng Pat mehmu. Dengan lain
perkataan, ia sudah memiliki Lweekang sangat tinggi. Maka itu, begitu lekas
kedua telapak tangannya menempel dengan telapak tanganmu, ia pasti tahu, bahwa
dalam tubuhmu mengeram racun dingin. Tapi, ia malah sengaja membuka pembuluh
darahmu. Apakah, dengan begitu, ia bukan sengaja mencelakakan kau?"
"Tapi, dari sebelum
menobloskan tembok, ia memang sudah berniat untuk bantu membuka Kie keng pat
mehku," kata Boe Kie. "Waktu ia belum tahu, bahwa aku kena pukulan
Hian beng Sin ciang."
Ceng Goe geleng gelengkan
kepalanya. "Sebab apa Goan tin mau mencelakakan kau, aku masih belum
tahu," katanya. "Kau mengatakan, bahwa sebab belum pernah kenal satu
sama lain, maka tak mungkin ia mencelakakan kau. Akan tetapi, kau harus ingat,
bahwa kau sudah belajar Siauw Lim Kioe yang kang, yang mungkin dianggap olehnya
sebagai miliknya sendiri. Hal ini sudah cukup untuk menimbulkan niatan membunuh
kau di dalam hatinya"
"Menurut katanya Thay
Soehoe Siauw lim sie dan Boe tong adalah pemimpin dari partai partai yang lurus
bersih" kata Boe Kie. "Menurut pendapatku biarpun dalam kuil Siauw
lim sie terdapat orang orang yang berpemandangan sempit, akan tetapi, mereka
pasti tidak akan bertindak secara begitu hina dina. Apa pula Thay soehoe
sendiri telah menyerahkan Thay kek Sip sam sit dan Boe tong kioe yang kang
kepada mereka sebagai penukaran. Dalam hal ini pada hakekatnya pihak Siauw lim
yang lebih untung."
Ouw Ceng Goe tertawa dingin.
"Lurus bersih!", menegasnya. "Apakah ayah dan ibumu bukan
didesak sehingga binasa oleh orang orang dari partai lurus bersih? Dengan
menganggap, bahwa mereka putih bersih, mereka berlaku sangat kejam terhadap
orang orang dari partai yang dianggapnya sesat. Padahal, orang orang partai
lurus bersih belum tentu baik semuanya, sedang orang dari partai sesat belum
tentu jahat seanteronya."
Kata kata itu menyentuh hati
Boe Kie. Ia ingat, bahwa yang mendesak hebat sehingga mengakibatkan binasanya
kedua orang tuanya, sebagian besar terdiri dari orang orang partai lurus
bersih, seperti Siauw lim, Koen loan dan Khong tong pay. Bahkan paman pamannya
dari Boe tong pay telah menyaksikan pembunuhan diri kedua orang tuanya dengan
berpeluk tangan. Memang benar mereka berduka, akan tetapi, didalam hati
menganggap bahwa binasanya kedua orang tuanya adalah kebinasaan yang
sepantasnya. Pendapat itu sudah lama sekali terkandung dalam lubuk hatinya,
tapi sebegitu jauh, ia belum pernah berani mengatakan secara terang terangan.
Sekarang, begitu mendengar perkataan Ouw Ceng Goe, ia menggigil dan menangis
keras.
"Ya, dunia memang
begitu," kata Ceng Goe dengan suara tawar. "Baru menemui satu soal
saja, kau sudah menangis. Jika kau tidak mati hari ini, dihari kemudian kau
bakal mengalami banyak sekali kejadian kejadian yang dapat mengucurkan air
matamu.
Boe Kie buru buru menyusut air
matanya: "Kau mengatakan, bahwa kau belum pernah melihat muka Goan
tin," kata pula si tabib malaikat "Tapi bagimana kau tahu, bahwa dia
tidak mengenal kau? Suara orang dapat diubah bahkan muka masih bisa diubah. Dia
tidak mau menemui kau. Hal ini saja sudah menerbitkan kecurigaan. Kau
mengatakan, bahwa tanpa sebab, seseorang pasti takkan mencelakakan kau. Apa kau
tahu pasti, bahwa aku tidak ingin membunuh kau? Biarlah aku berterus terang.
Karena melihat penyakitmu sangat aneh, maka aku sudah mau berusaha untuk
mengobati kau. Tapi berbareng dengan itu, akupun telah mengambil keputusan,
bahwa begitu lekas kau sembuh, aku akan segera mengambil jiwamu!"
Boe Kie bergidik. Ia mengerti,
bahwa apa yang dikatakan oleh si orang aneh tidak mudah dapat dirubah lagi. Ia
menghela napas seraya berkata. "Racun dingin dalam tubuhku tak dapat
diusir keluar lagi seanteronya. Tanpa kau turun tangan, aku akau mati sendiri.
Hai! Manusia di dunia agaknya merasa senang jika melihat orang lain celaka atau
mati. Bukankah orang yang belajar silat bertujuan untuk membunuh sesama
manusia?"
Ouw Ceng Goe mendongak dan
dengan mata membelakak ia mengawasi langit. Sesudah lewat kian lama, ia berkata
dengan suara parau: "Di waktu masih muda aku mempelajari ilmu ketabiban
dengan tekad untuk menolong sesama manusia. Akan tetapi, orang-orang yang
ditolong berbalik mencelakakan aku. Aku pernah menolong jiwa seorang yang
mendapat tujuhbelas lubang luka bacokan. Dia sebenarnya sudah mesti mati. Tiga
hari tiga malam aku tidak tidur dan dengan seantero kepandaian, aku berhasil
menyembuhkannya. Belakangan aku mengangkat saudara dengannya. Tak dinyana, ia
akhimya membinasakan adik perempuanku, adik kandungku. Siapa dia? Dia sekarang
seorang tokoh besar yang namanya besar pula dari sebuah partai lurus
bersih."
Dengan rasa kasihan, Boe Kie
mengawasi muka Ceng Goe yang diliputi dengan sinar kedukaan. "Kalau begitu
ia mendapat gelaran Kian sie poet kioe karena ia telah mengalami kejadian
hebat," katanya didalam hati. Darahnya lantas saja meluap dan ia menanya:
"Siapa adanya manusia binatang itu? Mengapa kau tidak cari padanya untuk
membalas sakit hati?"
"Pada waktu mau meninggal
dunia, "adikku telah memaksa aku bersumpah, bahwa aku tak akan coba
membalas sakit hati," jawabnya, "Lebih gila lagi, ia minta aku
berjanji bahwa kalau manusia itu berada dalam bahaya, aku mesti menolong. Dapat
dimengerti jika aku menolak tuntutan itu. Tapi, sebelum aku meluluskan adikku
tidak akan mati dengan mata meram. Hati Adikku....hatinya terlalu mulia.
Akhirnya aku tak dapat tidak meluluskan permintaannya yang paling penghabisan
itu." Sehabis berkata begitu air matanya berlinang-linang.
Baru sekarang Boe Kie insyaf,
bahwa Ouw Ceng Goe bukan manusia yang tak punya perasaan. Tak bisa salah,
antara saudara angkatnya dan adik perempuannya mempunyai hubungan yang sangat
erat, kalau bukan suami isteri, tentulah juga sepasang kecintaan.
Tiba-tiba Ceng Goe berkata
dengan suara keras "Ingatlah apa yang dikatakan olehku, tak boleh kau
menyebut-nyebut lagi dihadapanku. Jika kau membocorkan pembicaraan ini kepada
orang lain, aku akan membuat kau hidup tidak, matipun tidak."
Boe Kie sebenarnya ingin
menjawab dengan beberapa perkataan tajam, tapi ia segera mengurungkan niatnya,
karena ia merasa bahwa pada hakekatnya Ouw Ceng Goe adalah seorang yang harus
dikasihani. "Baiklah, aku berjanji tak akan bicara lagi mengenai hal
itu." katanya.
Tabib malaikat itu kemudian
mengusap-ngusap rambut si bocah dan berkata sesudah menghela napas
berulang-ulang: "Kasihan! Kasihan!" Sehabis berkata begitu, ia masuk
keruang dalam.
Sesudah terjadi pembicaraan
diatas, berulang kali Ceng Goe memeriksa tubuh Boe Kie dan siang malam is
mengasah otak, tapi ia tidak mendapat jalan untuk membasmi racun dingin yang
sudah masuk kedalam Sam ciauw. Ia sekarang yakin, bahwa biarpun ia berusaha
sebisa bisa dengan menggunakan ilmu pengobatan yang paling tinggi, paling
banyak ia bisa-bisa memperpanjang umur si bocah dengan beberapa tahun saja.
Sementara itu, karena berada
dipergunungan yang sepi, Boe Kie merupakan seorang kawan yang sangat
menyenangkan, maka diwaktu-waktu luang Ceng Goe memberi petunjuk dan pelajaran
ilmu ketabiban kepada si bocah yang terus belajar dengan rajin dan tak mengenal
capai.
Melihat kecerdasan bocah itu
yang dalam tempo singkat sudah dapat memahami kitab-kitab Oey te Ha mo keng,
See hong Coe beng tong Cie keng, Tay peng seng Hoei hong dan sebagainya, Ceng
Goe menghela napas seraya berkata: "Dengan kecerdasanmu, dibantu olehku
sendiri, sebelum berusia duabelas tahun, kau sudah akan hisa merendengi Hoa To
atau Pian Ciak. Hanya sayang ....sungguh sayang!"
Ia merasa sayang, karena
dengan berusia pendek, semua kecerdasan dan kepandaian itu, tiada gunanya. Tapi
Boe Kie mempunyai lain tujuan. Ia belajar ilmu ketabiban dengan tekad untuk
memulihkan usia Siang Gie Coen yang menurut Ouw Ceng Goe, akan berkurang dengan
tigapuluh tahun.
Hari berlalu laksana terbang
dan tanpa terasa, dua tahun sudah berselang, Boe Kie sekarang sudah berusia
empat belas tahun. Selama dua tabuh itu beberapa kali Gie Coen datang
menengoknya. Ia memberitahukan, bahwa Thio Sam Hong memperkenankannya, untuk
berdiam lebih lama di Ouw tiap kok, sampai racun dingin dalam tubuhnya dapat
dibasmi seluruhnya. Ia juga menyampaikan warta bahwa makin lima orang Mongol
jadi ganas, bahwa rakyat menderita dan permusuhan antara partai lurus bersih
dan partai sesat makin menghebat dan jumlah manusia yang menjadi korban makin
meningkat.
Setiap kali datang di Ouw tiap
kok, Siang Gie Coen berdiam beberapa hari dan kemudian pergi lagi. Pada
kedatangannya yang terakhir, Boe Kie telah mendapat kemajuan pesat dalam
pelajaran ilmu ketabiban. Ia memeriksa nadi Siang Gie Coen dan kemudian menulis
obat yang lalu diberikan kepada si berewok dengan pesanan bahwa ia harus
sering-sering minum obat itu. Gie Coen menghaturkan banyak terima kasih dan
lalu memasukkan surat obat itu kedalam sakunya.
Kali ini, dalam kamar paman
gurunya, Gie Coen beromong-omong dengan orang tua itu sehingga jauh malam.
Malam itu dia tidak bisa tidur dan gelisah. Boe Kie merasa heran. Si berewok
tidak begitu akur dengan paman gurunya. Mengapa ia bicara begitu lama? Boe Kie
menduga, bahwa didalam kalangan Mo kauw timbul gelombang dan sebab ia sendiri
bukan anggauta "agama" itu, maka ia tidak mau menyelidiki.
Esok paginya, Gie Coen
berpamitan dan Boe Kie mengantarnya sampai dimulut selat. "Saudara."
kata si berewok waktu mereka berpisahan, "dalam beberapa hari ini seorang
musuh yang sangat lihay akan menyateroni Ouw Soepeh. Sebenarnya aku ingin
mengajak kau pergi kelain tempat untuk sementara waktu, akan tetapi Ouw Soepeh
mengatakan, bahwa musuh itu tak akan bisa berbuat banyak. Ia mengatakan, aku
tak usah takut. Tapi aku harap, kau suka berlaku hati-hati."
"Musuh siapa?" tanya
Boe Kie.
"Akupun tak tahu,"
jawabnya. "Aku mendengar Warta itu ditengah jalan dan buru-buru aku datang
kemari untuk memberitahukan Ouw Soepeh. Saudara, Ouw Soepeh seorang pintar yang
sangat berhati-hati. Kalau ia mengatakan tak usah kuatir, ia tentu sudah
mempunyai pegangan. Hanya aku yang masih berkuatir."
Melihat kecintaan si berewok
terhadap dirinya, Boe Kie merasa sangat terharu dan sesudah beromong-omong lagi
beberapa lama, mereka lalu berpisahan.
Sekembalinya dirumah Ceng Goe,
ia melihat orang tua itu tenang tenang saja. Beberapa kali ia coba menanya,
tapi pertanyaan selalu diputuskan ditengah jalan.
Enam tujuh hari telah lewat
dengan tenang. Malam itu, selagi Boe Kia membaca sejilid kitab obat, mendadak
ia merasa kepalanya berat dan badannya lelah. Ia lantas saja naik
kepembaringan. Esok harinya, ketika tersadar, ia merasa kepalanya sakit sekali.
Ia segera pengi kebelakang untuk mengambil obat. Tapi, baru berjalan puluhan
tindak, ia mendapat kenyataan, bahwa ia baru tersadar diwaktu lohor.
"Mengapa aku tidur begitu lama? Apa aku sakit?" tanyanya didalam
hati.
Ia segera memegang nadi, tapi
ketukan nadi tidak mengunjuk hal yang luar biasa. ia jadi semakin kaget. Apakah
racun dingin itu mengamuk dan ia sudah mendekati ajalnya?
Buru buru ia mencari Ouc Ceng
Goe, tapi orang tua itu tidak kelihatan hidungnya. Selama beberapa hari ia
selalu berkuatir dan sekarang karena orang tua itu tidak berada didalam rumah,
sambil berlari lari i apergi kekebun untuk mencarinya. Di kebun ia bertemu
dengan seorang kacung yang sedang mencangkul tanah. "Mana Ouw
Sinshe?" tanyanya.
"Apa ia tidak berada
dikamarnya?" si kacung balas menanya. "Baru saja aku membawa teh. Ouw
Sinshe memesan supaya ia tidak diganggu". Boe Kie tertawa. "Aku benar
tolol." katanya didalam hati dan lalu kembali kerumah.
Waktu tiba di depan kamar Ceng
Goe, ia melihat pintu dikunci. Mengingat perkataan sikacung ia tidak berani
mengetuk dan hanya batuk-batuk beberapa kali.
"Boe Kie," kata
orang tua itu, "hari ini badanku kurang enak. Leherku sakit. Kau belajar
saja sendiri."