Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 46-48 (Tamat)

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 46-48 (Tamat) Dalam pada itu terdengar Thio Sam telah berkata pula kepada Boh-thian, “Samte, tampaknya para tamu agung tidak menyukai bau jenang Lap-pat-cok ini,
 
Jilid 46

Dalam pada itu terdengar Thio Sam telah berkata pula kepada Boh-thian, “Samte, tampaknya para tamu agung tidak menyukai bau jenang Lap-pat-cok ini, jika kau suka boleh silakan tambah lagi beberapa mangkuk!”

Sesungguhnya Ciok Boh-thian memang sudah kelaparan, hanya semangkuk jenang encer saja sudah tentu tidak cukup untuk menyamak perutnya. Ia pikir minum semangkuk atau dua mangkuk toh tiada bedanya andaikan kalau memang betul bubur itu beracun. Maka tanpa merasa ia lantas melirik meja di sebelahnya.

Melihat pemuda itu mengincar jenang bagian mereka, segera beberapa orang di sebelah Boh-thian mengangkat mangkuk dan menawarkan padanya, “Ya, bau bubur ini terlalu keras, aku tidak berani makan. Jika Siauenghiong suka boleh silakan ambil saja, jangan sungkan-sungkan!”

Bahkan khawatir kalau bagian mereka tidak diambil oleh Ciok Boh-thian, tanpa diminta lagi mereka terus membawa jenang mereka dan ditaruh ke atas meja Ciok Boh-thian.

“Terima kasih! Terima kasih!” berulang-ulang Boh-thian menyambut “kebaikan hati” orang-orang itu dan sekaligus ia terus menghabiskan dua mangkuk Lap-pat-cok pula.

Kedua tocu tampak tersenyum menyaksikan apa yang terjadi itu. Lalu Liong-tocu melanjutkan ucapannya tadi, “Apa yang dikatakan Kay-enghiong memang tidak salah, pulau karang tak bernama yang terlukis di dalam peta itu memang betul adalah Liong-bok-to yang dipijak para hadirin sekarang ini. Cuma saja nama Liong-bok-to baru dipakai setelah kami berdua datang ke sini. Kami telah mencari sampai belasan hari lamanya menurut petunjuk dalam peta, akhirnya dapatlah kami menemukan bu-kang-pit-koat yang dimaksudkan itu. Kiranya itu cuma sebuah lukisan bersyair kuno yang mengandung arti yang sangat dalam dan ruwet. Saking girangnya kami berdua lantas melatihnya menurut keterangan di dalam lukisan.

“Akan tetapi, ai, untung atau malang sukar diramal! Dengan giat kami berdua berlatih sampai beberapa tahun, tiba-tiba timbul perselisihan pendapat kami terhadap ilmu silat menurut petunjuk lukisan itu. Aku bilang begini seharusnya cara melatih, tapi Bok-hiante bilang pendapatku itu salah dan harus cara begitu melatihnya. Sampai beberapa hari kami berdebat dan tetap tidak diperoleh suatu rumusan yang cocok. Akhirnya kami berjanji untuk melatih menurut caranya sendiri-sendiri, sesudah berhasil baru diadakan kompetisi lagi untuk melihat siapa yang betul melatihnya.

“Dengan tekun kami melatih pula secara sendiri-sendiri. Kira-kira setengah tahun pula, kami berdua coba-coba saling bergebrak. Tapi hanya beberapa jurus saja kami menjadi terperanjat, kiranya... kiranya....” sampai di sini wajahnya menjadi muram dan terdiam. Bok-tocu juga kelihatan rada kikuk. Selang sejenak barulah Liong-tocu menyambung, “Kiranya kami berdua telah salah latih semua!”

Mendengar itu, hati para hadirin tergetar semua. Hendaklah diketahui bahwa kepandaian Liong dan Bok-tocu bukan ilmu silat pasaran saja, yang dilatihnya tentu adalah lwekang yang paling tinggi, dan sekali salah melatih lwekang, biasanya kalau tidak lumpuh dan cacat untuk selamanya, lebih berat lagi adalah binasa. Soal ini tidak boleh dibuat gegabah.

Maka terdengar Liong-tocu telah menyambung, “Begitu merasa tidak betul, seketika kami berdua berhenti dan saling berdebat untuk menganalisis pula di mana letaknya kesalahan. Mungkin karena bakat kami terlalu rendah, sebaliknya ilmu yang terdapat di lukisan itu teramat dalam sehingga kami tetap susah memecahkannya biarpun kami sudah mempelajari pula beberapa bulan lamanya. Kebetulan pada waktu itu ada sebuah kapal bajak laut yang terdampar ke pulau ini, kami telah membunuh gembong-gembong bajak itu serta memeriksa anak buahnya, yang terlalu banyak melakukan kejahatan lantas dihukum mati, sisanya yang hanya ikut-ikutan saja sesudah kami memberi peringatan dan ancaman, lalu ditahan di atas pulau ini.

“Sesudah berunding pula, kami berdua menganggap sebabnya tidak dapat memecahkan rahasia lukisan dan syair kuno itu boleh jadi lantaran kami sudah lebih dulu melatih ilmu silat lainnya, jadi jalan permulaan sudah menyimpang sehingga sukar menyelami ilmu di dalam lukisan itu. Kami pikir lebih baik mengambil beberapa orang murid saja dan suruh mereka belajar dari permulaan.

“Begitulah kami lantas memilih enam murid yang kami ambil dari kawanan bajak itu, tidak kami ajarkan dasar lwekang kepada mereka, hanya kami memberi petunjuk sedikit pengetahuan umum tentang ilmu pukulan dan ilmu pedang, lalu kami menyuruh mereka menyelami pelajaran di dalam lukisan itu. Siapa duga hasilnya ternyata sangat mengecewakan. Bukan saja ketiga muridku berlainan pendapat dengan ketiga murid Bok-hiante, bahkan di antara ketiga muridku sendiri juga mempunyai pikiran yang berbeda. Dan begitu pula dengan tiga murid Bok-hiante.

“Setelah kami berunding pula, kami anggap lukisan yang bersyair kuno buah kalam Li Tay-pek itu mungkin terlalu dalam artinya, kami hanya jago silat kasaran, dalam hal kesusastraan tentu tidak lebih pandai dari kaum cendekia dan sastrawan, tampaknya kalau bukan orang yang serbapintar, baik ilmu silat maupun sastra, tentu sukar memahami rahasia lukisan itu. Maka aku dan Bok-hiante lantas kembali ke Tionggoan, kami mengembara dengan perjanjian dalam setahun masing-masing harus menerima empat orang murid yang pandai, terutama dalam hal kesusastraan kuno.”

Sampai di sini tiba-tiba ia menunjuk tujuh-delapan murid di sebelahnya yang berbaju kuning dan hijau, lalu sambungnya pula, “Terus terang saja beberapa murid ini bukan orang biasa, kepandaian mereka jika mau digunakan untuk menempuh ujian cinsu atau hanlim (nama pangkat kesusastraan) boleh dikata semudah membalik telapak tangan sendiri. Waktu mula-mula datang ke sini mereka pun ogah-ogahan, tapi sekali sudah kenal ilmu silat, pula setelah mempelajari lukisan aneh itu, mereka menjadi lupa daratan dan rela tinggal di sini, mereka merasa melatih ilmu silat jauh lebih menyenangkan daripada sekolah dan menjadi amtenar. Mereka benar-benar telah keranjingan ilmu silat.

“Namun sesudah kedelapan murid cerdik pandai ini mempelajari isi lukisan kuno itu, akhirnya mereka berbeda pendapat pula. Bukan saja tidak memberi manfaat dan pemecahan yang kami harapkan, sebaliknya malah membikin kami berdua semakin bingung. Karena kehabisan akal, kami menjadi kesal dan penasaran. Jika dilupakan begitu saja, rasa kami tidak rela pula.

“Pada suatu hari Bok-hiante telah mengusulkan sebaiknya kami mengundang Biau-ti Taysu saja dari Siau-lim-si mengingat padri tersebut boleh dikata adalah guru besar ilmu silat pada zaman ini. Aku mengatakan Biau-ti Taysu sudah berpuluh tahun mengasingkan diri, mungkin sukar mengundangnya turun gunung. Namun Bok-hiante mengusulkan pula agar lukisan itu diturun dan diperlihatkan kepada Biau-ti Taysu, tentu beliau akan tertarik dan mau berkunjung kemari. Bilamana beliau tidak tertarik pada lukisan itu, maka tentu lukisan ini pun tiada sesuatu yang berguna dan kami pun boleh tak usah memusingkan soal lukisan ini. Aku menyatakan akur atas usul Bok-hiante itu, bahkan aku menganjurkan turunan lukisan itu diperbanyak sehelai lagi untuk diperlihatkan kepada Gu-teh Totiang dari Bu-tong-pay. Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay adalah dua aliran terkemuka di dunia persilatan, kedua orang kosen itu pasti akan dapat memberi pandangan yang tajam.

“Begitulah kami lantas berangkat ke Siau-lim-si. Setiba di sana kami lantas menyampaikan sampul yang berisi turunan lukisan itu kepada padri penyambut tamu agar diteruskan kepada Biau-ti Taysu. Akan tetapi padri penyambut tamu itu semula menolak, katanya Biau-ti Taysu sudah lama mengasingkan diri dan tiada berhubungan lagi dengan khalayak ramai. Kami juga tidak memaksa, tapi kami lantas duduk bersila di depan pintu gerbang Siau-lim-si sehingga merintangi jalan keluar-masuk mereka. Selama tujuh-hari-tujuh-malam kami duduk di situ. Akhirnya padri-padri Siau-lim-si itu merasa kewalahan sehingga mau menerima sampul surat kami untuk disampaikan kepada ketuanya.”

Diam-diam para hadirin dapat membayangkan walaupun cerita Liong-tocu itu seperti enteng saja, tapi sebenarnya selama mereka merintangi pintu gerbang Siau-lim-si sampai tujuh-hari-tujuh-malam, selama itu tentu sudah terjadi pertarungan sengit dan tentu pula padri-padri Siau-lim-si merasa kewalahan sehingga akhirnya mau terima sampul suratnya.

Begitulah maka Liong-tocu telah melanjutkan, “Begitu sampul surat itu diterima padri penyambut tamu, segera juga kami berbangkit dan meninggalkan Siau-lim-si, kami menunggu di kaki gunung Siau-sit-san. Tidak sampai setengah jam, tertampaklah Biau-ti Taysu sudah menyusul tiba dan tanya kepada kami, ‘Di mana tempatnya?’ — Bok-hiante telah menjawab, ‘Masih harus mengundang seorang lagi!’ — ‘Benar, Gu-teh harus diundang sekalian!’ ujar Biau-ti.

“Kami bertiga lantas menuju ke Bu-tong-san. Sebagai ketua Siau-lim-si yang tersohor, tanpa permisi lagi Biau-ti langsung terus masuk ke tempat semadi Gu-teh Totiang yang telah dikenalnya dengan baik, kami mengikutnya dari belakang, anak murid Bu-tong-pay juga tidak berani merintangi. Setiba di kamar semadi Gu-teh, tanpa bicara apa-apa lalu Biau-ti terus pasang kuda-kuda dan memainkan ilmu silat menurut gaya di dalam lukisan yang kami sampaikan padanya itu. Habis itu tanpa bicara pula ia terus putar tubuh dan tinggal pergi. Gu-teh terkejut dan bergirang pula, tanpa bertanya ia lantas berbangkit dan ikut ke Liong-bok-to sini.

“Bahwasanya Biau-ti adalah tokoh utama Siau-lim-pay dan Gu-teh adalah jago nomor satu Bu-tong-pay, mereka telah diakui sebagai tokoh terkemuka dunia persilatan pada zaman ini. Begitu sampai di Liong-bok-to sini mereka lantas mulai menyelami rahasia ilmu silat di dalam lukisan itu. Bulan pertama pendapat mereka berdua boleh dikata hampir sama, bulan kedua sudah mulai timbul pendapat yang berbeda. Sampai bulan ketiga, ternyata dua tokoh yang biasanya sudah tidak pikirkan soal-soal duniawi juga timbul percekcokan lantaran ketidakcocokan pandangan masing-masing atas keterangan lukisan itu. Bahkan... bahkan sampai-sampai kedua orang saling gebrak.”

Para kesatria menjadi heran dan tertarik, beramai-ramai mereka menegas, “Lalu bagaimana hasil pertandingan itu, siapa yang menang dan siapa yang kalah?”

“Kedua orang sama-sama tokoh terkemuka pada zaman ini, mereka telah saling ukur kepandaian berdasarkan paham yang mereka dapatkan dari lukisan itu. Sampai dengan jurus kelima mereka mempunyai persamaan paham, kedua orang sama-sama tersenyum puas dan berhenti bertanding. Tapi pada jurus keenam tiba-tiba timbul lagi perselisihan paham. Dengan demikian mereka sebentar bertanding dan sebentar berhenti, selama beberapa bulan keadaan itu terus berlangsung, sampai akhirnya apa yang dapat mereka selami tetap sama saja, tapi sebenarnya siapa yang lebih pandai juga sukar dikatakan.

“Dalam perundinganku dengan Bok-hiante, kami merasa isi yang terkandung di dalam lukisan itu terlalu luas dan dalam sehingga sukar dijajaki, sampai-sampai tokoh-tokoh terkemuka sebagai Biau-ti dan Gu-teh juga cuma satu-dua bagian saja yang dapat dipahami, untuk bisa memperoleh saripati seluruh lukisan itu rasanya perlu menghimpun orang-orang cerdik pandai. Untuk ini kita dapat mengundang kaum cendekia di seluruh jagat untuk datang ke pulau ini dan bersama-sama mempelajarinya.

“Kebetulan pada waktu itu ‘Toan-jong-sit-kut-hu-sim-khau’ di pulau ini sedang berbunga, rumput ini bila dicampur dengan obat-obatan lain dan dibuat bubur, sesudah dimakan akan sangat bermanfaat bagi kaum kita yang belajar ilmu silat. Maka kami berdua lantas mengirimkan utusan-utusan untuk mengundang setiap tokoh yang terkenal di zaman ini, segenap ketua atau pemimpin dari berbagai golongan dan aliran persilatan telah kami undang ke pulau ini untuk mencicipi Lap-pat-cok, habis itu kami lantas minta mereka ikut mempelajari rahasia lukisan itu.”

Semua orang merasa setengah percaya dan setengah sangsi atas cerita Liong-tocu itu. Segera Ting Put-si berseru, “Jika demikian, jadi maksud kalian mengundang para tamu ke sini untuk makan Lap-pat-cok adalah karena bermaksud baik?”

“Maksud baik seluruhnya sih tidak,” sahut Liong-tocu. “Sudah tentu aku dan Bok-tocu juga berkepentingan, yaitu dengan harapan dengan himpunan orang-orang pandai di sini akan dapat membantu kami memecahkan rahasia lukisan untuk selanjutnya mengembangkan ilmu silat pada umumnya. Sebaliknya jika kami dianggap bermaksud jahat kepada para tamu, hal ini pun bukan tujuan kami.”

“Hm, ucapanmu ini apa bukan dusta belaka?” jengek Ting Put-si. “Jika betul kalian tidak bermaksud jelek, mengapa orang yang tidak mau terima undanganmu, lantas kalian main membunuh tanpa kenal ampun? Apakah di dunia ini ada cara mengundang tamu sekasar demikian?”

“Ya, beralasan juga teguranmu ini,” sahut Liong-tocu sambil manggut-manggut. Mendadak ia tepuk tangan dan berseru, “Bawakan buku-buku ganjaran dan hukuman!”

Segera delapan muridnya menuju ke belakang, sejenak kemudian lantas keluar kembali dengan membawa delapan tumpuk buku-buku, setiap tumpuknya ada belasan senti tingginya.

“Pertunjukkan buku-buku itu kepada para hadirin,” kata Liong-tocu.

Berturut-turut anak muridnya itu lantas memperlihatkan buku-buku yang mereka bawa itu kepada masing-masing tamu. Ternyata di setiap jilid buku itu tertulis nama golongan atau aliran persilatan yang bersangkutan.

Waktu Ting Put-si mendapat gilirannya, segera ia membaca buku yang diperlihatkan padanya itu. Ternyata kulit buku itu tertulis “Keluarga Ting di Liok-hap”.

Seketika Ting Put-si terkesiap, “Kami bersaudara memang betul adalah orang dari Liok-hap, hal ini jarang diketahui orang luar, sebaliknya Liong-bok-to yang terpencil di luar lautan sini kok malah tahu? Sungguh tajam benar sumber berita mereka.”

Setelah halaman-halaman buku itu dibalik-balik, terbaca di situ tercatat tanggal kapan, bulan apa dan berapa, di mana Ting Put-sam telah berbuat apa, dan begitu pula Ting Put-si dan saudaranya yang lain, segala gerak-geriknya ternyata tercatat semua di situ. Walaupun tidak sangat lengkap, tapi pada garis besarnya apa yang telah diperbuatnya selama 20-an tahun ini boleh dikata tercatat cukup jelas di dalam buku itu.

Dahi Ting Put-si sampai berkeringat. Waktu ia melirik orang lain, ternyata semua juga mengunjuk rasa serbakikuk. Hanya Ciok Boh-thian saja yang masih enak-enak makan jenang sendiri tanpa peduli buku yang mencatat atas nama “Tiang-lok-pang” itu. Maklum dia memang buta huruf, apa yang tertulis di dalam buku itu hakikatnya dia tidak tahu.

“Simpan kembali buku-buku ganjaran dan hukuman itu,” perintah Liong-tocu kemudian. Sesudah itu, dengan tersenyum lalu ia menyambung, “Kami telah mengirimkan orang-orang untuk menyelidiki dan mencari berita dunia Kangouw, bukanlah maksud kami sengaja mencari-cari rahasia pribadi orang lain, hanya saja bila mendapat berita sesuatu, segera kami mencatatnya. Setiap golongan dan klik yang pernah ditumpas oleh Liong-bok-to semuanya adalah manusia-manusia terkutuk yang kejahatannya sudah tak terampunkan. Untuk mana boleh silakan para hadirin merenung sendiri, adakah sesuatu golongan atau aliran yang baik atau pendekar budiman siapa yang telah dicederai Liong-bok-to lantaran menolak untuk menerima medali undangan?”

Ternyata tiada seorang pun yang dapat memberi bantahan pertanyaan itu. Maka sejenak kemudian Liong-tocu lantas menyambung pula, “Sebab itulah, sesungguhnya orang yang pernah kami bunuh itu boleh dikata adalah orang yang telah menerima ganjarannya yang setimpal....”

“Liap-lokunsu dari Thongciu, Hopak, toh tiada mempunyai sesuatu dosa, mengapa kalian telah membunuh seluruh keluarganya?” tiba-tiba Pek Cu-cay berseru.

Liong-tocu tidak menjawab, mendadak ia melorot sejilid buku di antara tumpukan-tumpukan itu dan didorong perlahan ke depan sambil berkata, “Silakan Wi-tek Siansing membacanya sendiri.”

Aneh juga, buku itu perlahan-lahan lantas melayang sendiri ke depan. Segera Pek Cu-cay hendak memegangnya, tak terduga ketika buku itu sudah dekat mendadak merandek di tengah udara, lalu anjlok lurus ke bawah, ke atas meja Pek Cu-cay.

Lekas-lekas Cu-cay meraup secepatnya, syukur buku itu masih keburu dipegang olehnya dan tidak sampai jatuh di atas mangkuk jenang. Ia merasa buku yang terpegang di tangannya itu masih membawa tenaga tekanan yang cukup berat, mau tak mau ia terkejut, “Tenaga dalam orang ini benar-benar luar biasa, sejilid buku yang enteng saja dapat didorong ke depan dengan membawa tenaga sekuat ini, apalagi kalau dia menyambitkan senjata rahasia, rasanya sukar untuk dihindari oleh siapa pun juga. Agaknya gelarku ‘Jago senjata rahasia nomor satu’ harus dihapus menghadapi orang ini.”

Dilihatnya di muka buku itu tertulis “Liap-keh-kun, Thongciu, Hopak”. Waktu ia membuka halaman pertama, baris pertama saja sudah tercatat hal-hal yang mengejutkan. Di situ tertulis hari apa, bulan dan tahun apa Liap Cong-tay telah memerkosa dan membunuh dua jiwa di Congciu, tapi memfitnah kawanan bandit Hok-hou-khe yang berbuat. Baris kedua juga tercatat kapan Liap Cong-hiap hanya dengan persoalan kecil telah melukai putra sulung Lau Bun-cit dari Celamhu, malamnya segenap keluarga sebanyak 13 jiwa telah dibunuh habis olehnya.

Liap Cong-tay dan Liap Cong-hiap itu adalah putranya Liap-lokunsu (jago silat tua she Liap), namanya cukup terkenal baik di dunia Kangouw, siapa duga diam-diam banyak melakukan kejahatan.

Pek Cu-cay merasa ragu-ragu, katanya, “Kejadian-kejadian ini tiada bukti dan tanpa saksi, entah betul atau tidak. Walaupun Cayhe tidak berani menuduh kedua Tocu sengaja membunuh orang berdosa, tapi kesalahan info yang diterima utusan-utusan Liong-bok-to yang dikirim ke Tionggoan itu bukannya tidak mungkin terjadi.”

Mendadak Thio Sam menanggapi, “Jika Wi-tek Siansing tidak percaya, bolehlah coba melihat benda ini.”

Segera ia menuju ke ruangan belakang, waktu keluar kembali, sedikit tangannya bergerak, sejilid buku tipis perlahan-lahan melayang ke arah Pek Cu-cay. Setiba di depan Cu-cay buku itu pun mendadak anjlok ke bawah. Gerakan dan caranya ternyata serupa dengan Liong-tocu tadi.

Sekali ini Pek Cu-cay sudah siap sedia, sekali sambar buku itu lantas kena ditangkapnya. Waktu ia membalik halaman buku itu, kiranya adalah sejilid buku kas keluarga Liap.

Karena sewaktu mudanya Pek Cu-cay pernah bergaul akrab sekali dengan Liap-lokunsu, maka Cu-cay kenal baik gaya tulisan jago tua itu. Ia lihat buku kas itu memang benar tulisan tangan Liap-lokunsu sendiri, seluruhnya berisi tentang masuk-keluarnya keuangan. Satu baris di antaranya tertulis: “Tanggal delapan, dibeli 83,2 bau sawah dari keluarga Ciu, harga 70 tahil perak”. Lalu di atasnya diberi tanda tulisan tinta merah: “Patut dibunuh”.

Diam-diam Cu-cay membatin, “83,2 bau sawah dengan harga 70 tahil perak, sawah ini benar-benar teramat murah. Di dalam perkara ini tentu ada gejala-gejala paksaan.”

Pada rekening lain dilihatnya tertulis pula: “Tanggal 15, diterima dari paduka tuan bupati Thongciu sebanyak 2.500 tahil perak”. Di atas rekening ini pun diberi catatan: “Patut dibunuh” dengan tinta merah.

Pek Cu-cay menjadi heran, Liap Lip-jin, Liap-lokunsu itu adalah seorang pendekar berbudi luhur, mengapa dia terima uang dari kaum pembesar? Besar kemungkinan dia bersekongkol dengan pembesar-pembesar korup dan menindas rakyat jelata yang lemah.

Ia coba membalik-balik terus halaman buku itu, tertampak rekening-rekening yang diberi catatan “patut dibunuh” itu tidak kurang dari 60-70 buah. Ia tahu yang memberi catatan itu tentu adalah Thio Sam dan Li Si. Tanpa merasa ia menghela napas gegetun, katanya, “Kenal orangnya dan kenal mukanya, tapi tidak tahu hatinya! Liap Lip-jin memang benar-benar patut dibunuh. Sesudah melihat catatan buku kas ini, andaikan Liong-bok-to mau mengampuni dia, orang she Pek juga pasti akan membunuh segenap keluarganya.”

Sembari berkata ia terus berbangkit dan mendekati Thio Sam, ia kembalikan buku kas itu dan berkata, “Kagum, kagum sekali!”

Waktu berpaling, ia pandang Liong dan Bok-tocu dengan rasa penuh kekaguman yang tak terkatakan. Pikirnya, “Anak murid Liong-bok-to bukan saja tinggi ilmu silatnya, bahkan caranya bekerja sangat rapi, penegak keadilan dan kebenaran, aku tidak tahu cara bagaimana mereka memberi ganjaran pada yang bajik, tapi betapa adil caranya memberi hukuman kepada kaum jahat dapat pula mencerminkan tepatnya memberi ganjaran. Ya, ‘rasul pengganjar dan penghukum’, benar-benar tidak bernama kosong. Betapa banyaknya anak muridku, tapi siapakah yang dapat menandingi Thio Sam dan Li Si ini? Ai, sungguh memalukan saja selama ini aku menganggap diriku sebagai ‘Jago nomor satu’, ‘guru besar nomor satu’ segala.”

Rupanya Liong-tocu dapat menerka perasaan Pek Cu-cay itu, dengan tersenyum ia berkata, “Silakan duduk, Wi-tek Siansing. Sudah lama Wi-tek Siansing hidup terpencil di wilayah barat, terhadap perbuatan-perbuatan kawanan binatang yang berbaju manusia di daerah Tionggoan sudah tentu kurang jelas sehingga tak dapat menyalahkan Wi-tek Siansing.”

Pek Cu-cay hanya geleng-geleng kepala saja, lalu kembali ke tempat duduknya.

Sekonyong-konyong Ting Put-si berseru, “Jika demikian, jadi selama ini orang-orang yang dibunuh oleh Liong-bok-to itu adalah manusia-manusia yang patut menerima hukumannya yang setimpal? Dan tentang diundangnya para kawan Bu-lim ke sini adalah bermaksud saling belajar ilmu silat?”

“Benar!” sahut Liong dan Bok-tocu berbareng.

“Jika begitu, mengapa para kawan Bu-lim yang pernah berkunjung kemari itu kok juga dibunuh semua, sampai-sampai mayat mereka pun tidak pernah pulang kampung?” seru Ting Put-si pula.

“Ai, salahlah ucapan Ting-siansing ini!” sahut Liong-tocu sambil menggeleng. “Desas-desus demikian mana boleh dipercaya sepenuhnya?”

“Habis, kalau menurut Liong-tocu, jadi para kawan Bu-lim itu semuanya belum mati? Hahaha, menggelikan, sungguh menggelikan!”

“Haha! Menggelikan, sungguh menggelikan!” Liong-tocu juga ikut bergelak tawa.

Ting Put-si berbalik melengak. “Apanya yang menggelikan?” tanyanya.

“Ting-siansing adalah tamu agung kami, jikalau Ting-siansing bilang menggelikan, terpaksa Cayhe harus mengiringi menyatakan geli,” sahut Liong-tocu dengan tertawa.

“Selama 30-an tahun ini para kawan Bu-lim yang pernah diundang ke Liong-bok-to sini sedikitnya ada beberapa ratus orang andaikan tidak lebih dari seribu orang,” ujar Ting Put-si. “Tapi Liong-tocu mengatakan mereka masih hidup dalam keadaan sehat walafiat, hal ini bukankah cukup menggelikan?”

“Usia manusia sudah ditakdirkan Ilahi, jika sudah sampai ajalnya, siapa yang mampu mengelakkannya?” sahut Liong-tocu. “Asalkan Liong-bok-to kami tidak merasa menewaskan mereka, rasanya cukuplah bagi hati nurani kami.”

Ting Put-si berpikir sejenak, tiba-tiba ia bertanya, “Jika demikian, Cayhe ingin mencari kabar seseorang kepada Liong-bok-to. Orang itu adalah wanita, namanya... namanya Hong-koh. Konon 19 tahun yang lalu telah berkunjung kemari, apakah orang ini sampai sekarang masih hidup sehat?”

“Siapakah she pendekar wanita itu, berapa umurnya dan pemimpin dari golongan mana?” tanya Liong-tocu.

“She apa... ini agak kurang jelas, tapi... tapi seharusnya she Ting....”

Sekonyong-konyong si wanita berkerudung muka tadi berseru melengking, “Wanita itu adalah putrinya yang diperoleh dari hubungan gelap. Nona itu tidak ikut she ayahnya, tapi pakai she ibunya, nama lengkapnya ialah Bwe Hong-koh.”

Muka Ting Put-si tampak berubah merah, katanya, “She Bwe juga boleh, buat apa mesti geger. Tentang umurnya tahun ini kurang lebih kurang lebih 40 tahun....”

“Kurang lebih 40 tahun apa? 39 tahun tepat!” teriak pula si wanita.

“Baik, baik! Umurnya 39 tahun,” sambung Ting Put-si. “Tapi dia bukan pemimpin dari sesuatu golongan persilatan apa, lebih-lebih bukan pangcu atau kaucu dari sesuatu perkumpulan. Cuma Bwe-hoa-kun yang dia yakinkan itu di dunia ini cuma keluarganya yang memiliki, besar kemungkinan dia pun telah diundang ke Liong-bok-to sini.”

“Bwe-hoa-kun? Belum memenuhi syarat untuk diundang kemari,” sahut Bok-tocu sambil geleng kepala.

“Mengapa Bwe-hoa-kun belum memenuhi syarat?” teriak si wanita berkerudung. “Ini dia... bukankah aku juga sudah menerima medali undangan kalian?”

“Kami mengundang kau bukan lantaran Bwe-hoa-kun,” sahut Bok-tocu.

“Bwe-lihiap,” cepat Liong-tocu menambahkan, “maksud Bok-hiante sebabnya kami mengundang kau ke sini bukanlah karena Bwe-hoa-kun dari keluarga Bwe kalian, tapi adalah karena kiam-hoat (ilmu pedang) yang baru kau ciptakan dalam dua tahun terakhir ini.”

“He, ilmu pedangku yang baru itu? Selamanya belum pernah kutunjukkan kepada orang lain, dari mana kalian mengetahui?” tanya wanita she Bwe itu dengan heran.

Liong-tocu tidak menjawab, dengan tersenyum ia menuding kepada dua orang muridnya. Segera seorang murid berbaju kuning dan seorang berbaju hijau tampil ke muka sambil membungkuk untuk menerima perintah lebih lanjut.

“Coba kalian pertunjukkan ilmu pedang aneh ciptaan Bwe-lihiap yang baru itu, jika ada bagian-bagian yang kurang sempurna biarlah nanti minta nasihat kepala Bwe-lihiap,” kata Liong-tocu.

Kedua murid itu mengiakan. Mereka lantas mendekati sebuah meja di pojok ruangan sana, masing-masing mengambil sebatang pedang kayu, lalu sama-sama memberi hormat kepada wanita she Bwe dan berkata, “Harap Bwe-lihiap suka memberi petunjuk seperlunya.”

Habis berkata, mereka lantas pasang kuda-kuda dan mulai bertanding sendiri.

Para hadirin termasuk tokoh-tokoh persilatan kelas tinggi, mereka melihat ilmu pedang yang dimainkan itu memang benar luar biasa. Bahkan si wanita she Bwe tiada hentinya menggumam, “Aneh, sungguh aneh! Bilakah kalian telah mengintip ilmu pedangku ini?”

Sesudah mengikuti beberapa jurus, hati Ciok Boh-thian juga tergerak, pikirnya, “Ilmu pedang yang dimainkan orang baju hijau itu bukankah Swat-san-kiam-hoat?”

Beberapa jurus pula, tak tahan lagi Pek Cu-cay juga lantas berseru, “He, Bwe-lihiap, Swat-san-pay toh tiada permusuhan apa-apa dengan kau, mengapa kau menciptakan ilmu pedangmu ini yang khusus dipakai melawan Swat-san-kiam-hoat kami?”

Kiranya ilmu pedang yang dimainkan orang baju hijau itu memang benar adalah Swat-san-kiam-hoat, tapi setiap gerakan dan setiap jurus selalu kena diatasi oleh ilmu pedang yang baru dan aneh yang dimainkan kawannya si baju kuning itu.

Maka terdengar si wanita she Bwe hanya tertawa dingin saja tanpa menjawab.

Pek Cu-cay menjadi gusar. Bentaknya, “Hm, hanya ilmu pedang begini saja hendak digunakan untuk melawan Swat-san-kiam-hoat kami? Rasanya masih jauh daripada cukup!”

Tapi baru habis ucapannya, sekonyong-konyong serangan si baju kuning lantas berubah, setiap jurusnya sangat aneh dan keji, tapi juga kasar dan kurang sopan.

“Gila, gila! Ilmu pedang macam apa itu?” omel Pek Cu-cay, Tapi diam-diam ia pun terkejut, pikirnya, “Jika benar-benar melawan dia, sekonyong-konyong aku diserang dengan cara-cara aneh dan kasar ini mungkin aku bisa termakan juga.”

Namun diam-diam ia pun merasa syukur telah dapat menyaksikan tipu-tipu serangan keji dan kotor itu, untuk selanjutnya tentu tidak sukar melawannya jika ketemukan ilmu pedang yang hanya cocok digunakan untuk menyergap secara rendah itu.

Sebelum si murid baju hijau menyelesaikan permainan Swat-san-kiam-hoat, mendadak ia menegakkan pedang kayu, lawannya si baju kuning juga lantas berhenti menyerang. Lalu si baju hijau mengganti pedang kayu dengan sebatang golok kayu. Kemudian mereka mulai bertanding lagi.

Setelah mengikuti belasan jurus lagi, Pek Cu-cay bertambah gusar. Teriaknya murka, “He, orang she Bwe, sebenarnya apa maksud tujuanmu terhadap kami suami-istri? Padahal kita tidak kenal-mengenal, sungguh aneh?”

Kiranya yang dimainkan si murid baju hijau sekarang justru adalah ilmu golok keluarga Su-popo alias Su Siau-jui. Sedangkan si baju kuning tetap menggunakan cara-cara keji dan kasar untuk menyerang sehingga si baju hijau berulang-ulang terancam bahaya. Hanya saja pada detik-detik yang menentukan selalu si baju kuning menahan serangannya dan tidak diteruskan.

Sesudah lebih 30 jurus, ketika Liong-tocu memberi tanda dengan tepukan tangan, kedua murid itu lantas berhenti bermain, mereka membungkuk tubuh ke arah Pek Cu-cay dan si wanita she Bwe serta berkata, “Harap Pek-locianpwe dan Bwe-lihiap membetulkan kesalahan kami.”

Lalu mereka pun memberi hormat kepada kedua tocu, habis itu barulah mereka kembali ke barisan masing-masing tadi.

Si wanita she Bwe menjerit melengking lagi, “Jadi diam-diam kau mampu mempelajari tujuh bagian ilmu pedang ciptaanku itu, hebat juga ya kau!”

“Huh, kepandaian yang kasar dan rendah begitu, apanya yang sukar dipelajari?” jengek Pek Cu-cay dengan gusar.

“Apanya yang kasar dan rendah?” sela Ting Put-si. “Jika kebentur dengan ilmu pedang itu, seketika kau tentu kelabakan dan bukan mustahil tubuhmu sudah ditembus beberapa lubang.”

“Hayolah boleh kau coba,” teriak Cu-cay dengan gusar.

“Ah, pendek kata kau pasti bukan tandingan Bwe-lihiap,” kata Put-si.

“Siapa yang sudi disanjung olehmu?” jerit si wanita she Bwe. “Jika aku bertanding dengan Su Siau-jui, lalu bagaimana?”

“Ini... ini....” Ting Put-si menjadi gelagapan.

“Nyonyaku tiada berada di sini, tapi muridnya sebaliknya berada di sini,” kata Cu-cay. “Nah, cucu menantuku, boleh coba kau bertandingan dengan dia.”

“Kukira tak perlu bertanding lagi,” sahut Boh-thian.

“Kau ini muridnya Su Siau-jui?” si wanita she Bwe menegas.

“Benar!” sahut Boh-thian.

“Tapi mengapa kau adalah cucu menantunya pula? Huh, jungkir balik tak keruan, dasar sekeluarga adalah turunan anjing (Kau-cap-ceng) semua!” jengek si wanita she Bwe.

“Ya, aku memang Kau-cap-ceng?” kata Boh-thian.

Wanita itu sampai melengak. Ia menjadi geli dan tertawa terpingkal-pingkal dengan suaranya yang tajam melengking.

“Sudahlah, cukup!” kata Bok-tocu.

Meski singkat saja ucapannya, tapi suaranya keras berwibawa, si wanita she Bwe tertegun dan bungkam seketika.

“Ilmu pedang ciptaan Bwe-lihiap secara jujur memang harus diakui masih kalah bagus daripada Swat-san-kiam-hoat,” kata Liong-tocu kemudian. “Cuma Bwe-lihiap dapat menciptakan ilmu pedang baru, bakat dan kecerdasan Bwe-lihiap tentunya lain daripada yang lain pula. Sebab itulah kami telah mengundangnya datang kemari untuk ikut menyelami rahasia lukisan aneh itu.”

“Jika demikian, jadi Bwe Hong-koh tidak pernah datang ke Liong-bok-to sini?” tanya pula si wanita she Bwe.

“Ya, tidak,” sahut Liong-tocu.

Seketika Bwe-lihiap menjadi lesu, ia duduk kembali dengan lemas dan menggumam sendiri, “Cici... ciciku telah meninggalkan pesan agar... mencarikan putrinya itu.”

“Coba kau selidiki untuknya,” tiba-tiba Liong-tocu berkata kepada murid baju kuning nomor satu yang berdiri di barisan kanan.

Murid itu mengiakan dan segera menuju ke belakang. Sebentar saja ia sudah keluar kembali dengan membawa beberapa jilid buku. Setelah membalik-balik beberapa halaman, tiba-tiba ia menunjuk suatu catatan dan membacanya, “Bwe Hong-koh, ciangbunjin dari Bwe-hoa-kun. Ayah she Ting, sejak kecil ikut ibu belajar ilmu silat akhirnya tinggal mengasingkan diri di bukit Koh-chau-nia, di Him-ni-san wilayah Provinsi Holam....”

“Hah! Jadi dia tinggal di Him-ni-san? Dari mana kau mendapat tahu?” tanya Ting Put-si dan si wanita she Bwe berbareng.

“Aku sih tidak tahu, tapi beginilah apa yang tercatat di dalam buku ini,” sahut murid baju kuning itu.

“Sampai aku sendiri pun tidak tahu, mengapa buku ini dapat mencatat seluk-beluknya?” ujar Put-si dengan sangsi.

“Liong-bok-to selamanya membela keadilan dan menegakkan kebenaran, menghukum dan mengganjar secara adil dan bijaksana,” kata Liong-tocu, “Untuk mana setiap gerak-gerik kawan Bu-lim dengan sendirinya harus kami catat seperlunya dengan sejelas-jelasnya untuk diperiksa dan dibuat bukti bilamana perlu.”

“O, kiranya demikian,” ujar Bwe-lihiap. “Jadi sudah terang Bwe Hong-koh berdiam di... di bukit Koh-chau-nia di lereng Him-ni-san?”

“Ya, jika di antara para hadirin masih ada pertanyaan-pertanyaan boleh silakan lagi,” sahut Liong-tocu.

“Bicara ke sana kemari, tegasnya maksud undangan Liong-tocu kepada kami adalah untuk mempelajari lukisan bersyair kuno itu. Sebenarnya barang apakah itu? Bolehkah kita melihatnya?” kata Pek Cu-cay.

Serentak Liong dan Bok-tocu berbangkit, sahut mereka, “Ya, justru kami ingin minta bagian para hadirin yang cerdik pandai.”

Segera empat murid Liong-bok-to menuju ke samping, mereka memegang tepi pintu angin dari kanan dan kiri, ketika mereka tarik perlahan, mendadak di belakang ruangan gua itu terlihat ada sebuah jalan lorong yang panjang.

“Silakan semua!” kata Liong-tocu. Segera bersama Bok-tocu mereka mendahului jalan ke depan dengan diikuti oleh para kesatria.

Setelah belasan meter jauhnya, sampailah mereka di depan sebuah pintu batu. Seorang murid baju kuning lantas mendorong buka pintu batu itu. Lalu Liong-tocu berkata, “Di dalam gua ini ada 24 kamar batu, para hadirin boleh mengunjungi dan menelitinya secara bebas, jika merasa jemu boleh silakan jalan-jalan keluar gua. Tentang makanan dan minuman seluruhnya sudah tersedia lengkap di dalam kamar-kamar itu. Bila perlu silakan makan-minum sesukanya dan jangan sungkan?”

“Hm, segala apa boleh sesukanya dan bebas, sungguh sangat ramah sekali. Tapi hanya ‘tidak bebas untuk meninggalkan pulau ini’ saja, bukan?” jengek Ting Put-si.

“Hahahaha! Mengapa Ting-siansing bicara demikian?” sahut Liong-tocu dengan terbahak-bahak. “Kunjungan kalian ke sini adalah sukarela, jika mau pergi, siapa lagi yang berani menahan kalian? Di pantai sudah siap perahu kecil dan kapal besar, setiap saat bila dikehendaki kalian boleh berangkat dengan bebas.”

Jilid 47

Para kesatria melengak, sama sekali mereka tidak menduga pihak Liong-bok-to ternyata sedemikian baik hati. Segera ada beberapa orang mengajukan pertanyaan, “Dan kalau saat ini juga kami hendak berangkat, boleh atau tidak?”

“Tentu saja boleh!” sahut Liong-tocu. “Memangnya kalian anggap aku dan Bok-hiante orang macam apa? Pelayanan kami yang kurang sempurna ini sudah membikin kami malu, masakan sekarang kami berani menahan para tamu?”

Perasaan semua orang menjadi lega. “Jika pihak Liong-bok-to sudah menyatakan demikian, rasanya tidak mungkin mereka menjilat ludahnya sendiri. Macam apakah lukisan kuno yang dimaksudkan itu agaknya tiada halangannya ikut melihatnya.”

Begitulah beramai-ramai mereka lantas memasuki ruangan gua itu. Pada kamar pertama mereka melihat dinding batu di sebelah timur tergosok dengan halus dan licin, di atas dinding itu ada ukiran lukisan dan tulisan. Di dalam kamar itu sudah ada belasan orang, ada yang sedang merenung, ada yang lagi semadi, ada pula yang memejamkan mata sambil komat-kamit entah apa yang sedang digumamkan sendiri. Malahan ada tiga-empat orang lagi yang sedang berdebat.

Tiba-tiba Pek Cu-cay mengenali seorang di antaranya, serunya terkejut, “Un-samko, kiranya kau... kau berada di sini?”

Yang ditegur itu adalah seorang kakek berbaju hitam yang sedang mondar-mandir di depan lukisan dinding itu. Namanya Un Jin-ho, Ketua Pat-sian-kiam di Soatang. Dia adalah sahabat karib Pek Cu-cay. Dengan tersenyum ia hanya menjawab, “Ya, mengapa baru sekarang kau ia datang?”

“Belasan tahun yang lalu kudengar engkau telah diundang ke Liong-bok-to sini, kukira engkau sudah... sudah wafat, siapa duga....”

“Aku tetap sehat walafiat dan sedang meyakinkan ilmu silat tertinggi di sini, siapa bilang aku sudah mati?” sahut Un Jin-ho. “Sungguh sayang kau datang terlambat. Coba lihat, lukisan ini menurut keterangan yang tercatat di sini mengatakan....”

Begitulah sambil bicara ia terus menunjukkan huruf-huruf kecil yang terukir di atas dinding itu kepada Pek Cu-cay.

Namun Pek Cu-cay buru-buru ingin tanya keadaan sang sahabat yang berpisah sekian lamanya itu, maka kembali ia tanya, “Un-samko, bagaimana hidupmu di sini selama sepuluh tahun ini? Mengapa sama sekali kau tidak mengirim kabar ke rumah? Eh, Un-samko, ini adalah cucu menantuku. Coba lihat, lumayan bukan orangnya? Hayo, cah, lekas memberi hormat kepada Un-samyaya.”

Ciok Boh-thian lantas melangkah maju dan menjura kepada Un Jin-ho sambil menyapa.

Un Jin-ho hanya menjawab acuh tak acuh saja, memandang saja sungkan, dia masih terus sibuk merenungkan arti lukisan dinding sambil bergaya dengan tangannya. Mendadak ia memukul ke depan sambil berseru, “Pek-heng, mungkin beginilah caranya menurut lukisan ini....”

Pek Cu-cay menjadi ikut-ikut memerhatikan lukisan dinding itu dengan catatan-catatan di pinggirnya. Setelah komat-kamit membaca sendiri, ia merenung sejenak, kemudian berkata, “Un-samko, menurut pendapatku seharusnya begini....”

“Tidak bisa,” mendadak Un Jin-ho membantah, “di situ tertulis....”

Begitulah Ciok Boh-thian menjadi kesal karena tidak paham apa yang didebatkan kedua orang tua itu, memangnya ia pun buta huruf sehingga tidak dapat membaca apa yang tertulis di dinding. Saking isengnya ia coba mendatangi kamar batu kedua. Begitu masuk segera terasalah sambaran angin senjata yang tajam, ternyata ada tujuh pasang orang sedang bertanding pedang. Semuanya belum dikenalnya, terang bukan orang-orang yang ikut dalam perjamuan tadi, ia menduga tentu tokoh-tokoh persilatan yang diundang datang pada perjamuan yang lebih dahulu. Ilmu pedang yang dimainkan orang-orang itu tiada yang sama, tapi semuanya sangat bagus dan aneka macam perubahannya.

Tertampak dua orang di antaranya telah bergebrak beberapa jurus pula, lalu berhenti. Seorang tua berjenggot putih lantas berkata, “Laute, jurus pemikiranmu tadi apa tidak keliru? Hendaklah ingat inti kekuatan ilmu pedang terletak pada....”

“Ah, rupanya Toako terlalu berat sebelah dan melupakan titik lain yang lebih penting,” demikian bantah kakek lain yang berjenggot hitam. “Bukankah di situ tertulis....”

Begitulah kembali Boh-thian mendengar perdebatan sengit karena selisih paham tentang arti lukisan di dinding. Ia coba mendekati dua orang yang lain. Tertampak kedua orang ini bertarung dengan cepat sekali, tapi sejenak kemudian mereka pun lantas berhenti dan mulai berbantahan seperti pasangan-pasangan tadi.

Sesudah dekat dinding, Boh-thian melihat di atas dinding itu penuh terukir huruf-huruf kecil. Memangnya dia buta huruf, maka ia pun tidak ambil pusing huruf apakah itu. Hanya di antara huruf-huruf itu terukir pula beberapa puluh pedang. Bentuk pedang-pedang itu ada yang panjang, ada yang pendek, ada yang ujungnya mengacung ke atas dan ada yang mengarah ke bawah, ada yang miring seakan-akan sedang melayang, ada yang melintang seperti jatuh ke bawah.

Untuk membaca dia tidak dapat, tapi melihat gambar tidaklah sukar bagi Ciok Boh-thian. Ia coba melihat terus sampai pedang ke-12, sekonyong-konyong “ki-kut-hiat” di bahu kanan terasa “nyos” panas, suatu arus hawa panas seakan-akan bergolak. Waktu ia memerhatikan pedang ke-13, arus hawa panas itu lantas menyalur ke “ngo-li-hiat”, ketika memandang pedang ke-14, arus panas itu terus menyusur ke “kiok-ti-hiat”. Begitulah hawa panas itu makin lama makin bergolak dan terus membanjir dari dalam perut.

Diam-diam Boh-thian merasa heran, “Sejak aku berlatih menurut garis urat nadi yang terlukis di boneka kayu itu, tenaga dalamku lantas tambah kuat, tapi selamanya tidak pernah bergolak seperti sekarang ini, entah apakah sebabnya? Rasa perutku panas seperti dibakar, besar kemungkinan racun di dalam Lap-pat-cok itu telah mulai bekerja.”

Teringat akan racun di dalam jenang itu, mau tak mau ia menjadi khawatir. Tapi waktu dia pandang ukiran pedang di atas dinding pula, segera tenaga dalamnya lantas berjalan menurut urat nadinya, hawa panas dalam perutnya lambat laun tersebar merata di seluruh hiat-to tubuhnya. Segera ia mengulangi lagi mulai dari ukiran pedang yang pertama dan ternyata tenaga dalam itu lantas berjalan dengan lancar menurutkan garis hiat-to secara teratur dan berakhir sampai di siang-yang-hiat di bagian tangan.

Ia pikir ukiran pedang itu kiranya ada hubungannya dengan cara menyalurkan tenaga dalam, cuma sayang aku tidak bisa baca, kalau tidak tentu aku akan dapat meyakinkan semacam ilmu pedang menurut keterangan di atas dinding ini. Ah, benar, Pek-yaya sedang berlatih di kamar pertama sana, biarlah kuminta penjelasan padanya.

Berpikir begitu ia lantas datang kembali ke kamar batu pertama. Dilihatnya Pek Cu-cay dan Un Jin-ho masih asyik bergebrak dengan menggunakan pedang kayu, setiap berapa jurus lalu berhenti dan saling berdebat menurut pendapat masing-masing.

Pada suatu kesempatan Ciok Boh-thian coba menarik-narik lengan baju Pek Cu-cay dan bertanya, “Yaya, apakah arti tulisan-tulisan itu?”

Dengan acuh tak acuh Pek Cu-cay memberi penjelasan beberapa kalimat. Tapi Un Jin-ho lantas menyela, “Salah, salah! Pek-heng, meski ilmu silatmu cukup tinggi, tapi aku sudah tinggal belasan tahun di sini, masakah sia-sia saja latihanku selama ini? Beberapa bagian di antaranya pastilah kau belum bisa memahaminya. Coba lihat ini....”

Boh-thian menjadi kesal lagi melihat mereka berdebat terus-menerus. Pikirnya, “Rupanya tulisan yang terukir di dinding ini sedemikian sukarnya untuk dipahami sehingga selama berpuluh tahun orang-orang kosen dan kaum cerdik pandai yang telah diundang kemari oleh Liong dan Bok-tocu toh masih belum dapat memecahkan arti yang sebenarnya. Aku sendiri buta huruf, buat apa aku mesti ikut pusing-pusing memikirkan seperti mereka?”

Ia coba mengelilingi ruangan itu, dilihatnya orang-orang yang berada di situ semuanya lagi berbantahan dan saling mempertahankan pandangannya sendiri-sendiri. Karena iseng, ia coba melihat gambar yang terukir di atas dinding. Ternyata lukisan di kamar pertama ini bukan dalam bentuk pedang, tapi adalah seorang pelajar muda, lain tidak. Ia merasa gambar itu sangat indah sehingga tanpa merasa ia memandangnya beberapa kali. Tapi mendadak “yan-ek-hiat” di lambung kanan mendadak berdenyut, suatu arus hawa panas lantas timbul dari siau-yang-keng, urat nadi di bagian kaki, terus menyalur ke atas tubuh.

Boh-thian menjadi girang. Ia coba meneliti pula lukisan dinding itu, ternyata setiap garis dan setiap gores lukisan itu satu sama lain berhubungan. Ia pikir goresan lukisan ini kiranya sesuai dengan jalan nadi di dalam tubuh manusia, biarlah aku melatihnya menurut garis-garis yang pernah aku hafalkan dari boneka kayu dahulu. Nanti kalau Pek-yaya sudah berhasil meyakinkan ilmu silat yang tinggi segera kami dapat pulang bersama.

Begitulah ia lantas mengikuti goresan-goresan gambar itu, yang seluruhnya meliputi 9x9=81 garis. Tapi baru 30-an gores saja Boh-thian sudah merasa lapar. Ia istirahat sejenak, dilihatnya di atas meja di pojok kamar situ ada disediakan penganan dan minuman, segera ia menggasaknya hingga kenyang. Kemudian meneruskan latihannya pula menurut garis-garis lukisan. Bila lelah ia lantas mengaso, kalau mengantuk lantas tidur, jika lapar sudah ada makanan, ia tidak tahu sudah lewat beberapa hari, namun akhirnya 81 garis lukisan itu benar-benar telah dilatihnya dengan masak. Waktu ia pergi mencari Pek Cu-cay, ternyata kakek itu sudah tiada di dalam kamar.

Ia berlari ke kamar kedua, ternyata Pek Cu-cay sedang bertanding pedang di situ dengan seorang tosu tua. Tampaknya ilmu pedang mereka sangat lamban dan jelek, tapi membawa suara angin yang mendesis-desis, nyata mereka telah mencurahkan lwekang ke batang pedang. Suatu ketika, terdengar suara “krek”, pedang kayu di tangan Pek Cu-cay telah patah menjadi dua.

“Bagaimana?” ujar si tosu tua dengan tersenyum.

Namun Pek Cu-cay masih penasaran, jawabnya, “Gu-teh Totiang, ilmu pedangmu memang lebih mahir daripadaku, sungguh aku merasa kagum. Cuma jurus ini adalah ajaran asli Bu-tong-pay kalian dan bukan ilmu pedang yang dimaksudkan lukisan dinding ini.”

“Habis bagaimana menurut pendapatmu?” tanya Gu-teh Totiang.

“Menurut kalimat syair itu....” begitulah Pek Cu-cay mulai membantah pula sehingga kembali terjadi perdebatan yang bertele-tele.

Ciok Boh-thian merasa lega karena dapat menemukan sang kakek, ia coba menyela, “Yaya, marilah kita pulang saja?”

“Apa katamu?” tanya Pek Cu-cay dengan aseran.

“Menurut Liong-tocu, katanya setiap saat bila mau kita boleh pergi dari sini,” kata Boh-thian. “Di pantai sana sudah tersedia kapal, marilah kita berangkat saja.”

“Ngaco-belo! Kenapa mesti buru-buru?” bentak Cu-cay dengan gusar.

Boh-thian menjadi takut melihat sang kakek marah-marah. Tapi ia berkata pula, “Nenek sedang menunggu engkau, katanya akan menunggu sampai tanggal 8 bulan satu nanti. Jika sampai harinya Yaya belum pulang juga segera beliau akan membunuh diri dengan terjun ke dalam laut.”

“Hah, tanggal delapan bulan satu?” Pek Cu-cay menegas dengan melenggong. Tapi ia lantas menyambung, “Ah, kita baru beberapa hari berada di sini, kita mempunyai waktu satu bulan lamanya, biarlah kita tinggal lagi beberapa hari, kenapa mesti khawatir?”

Mestinya Boh-thian sudah rindu kepada A Siu, kalau bisa sungguh ia ingin terbang kembali ke tepi pantai sana. Tapi rupanya Pek Cu-cay benar-benar sudah tenggelam dalam ilmu silat dan ingin menyelami rahasia lukisan dinding itu, sebelum berhasil rasanya sukar disuruh berhenti. Terpaksa Boh-thian tidak berani bicara lagi, ia coba menuju ke kamar batu ketiga.

Ternyata di situ sudah ada tiga orang tua dengan dandanan yang ringkas kencang dan lagi berlari-lari dengan menggunakan ginkang yang tinggi. Sambil berlari ketiga orang tiada hentinya berbicara pula, yang dibicarakan rupanya adalah pendapat masing-masing tentang lukisan dinding di situ. Tapi rupanya ketiga orang itu pun tiada mendapatkan kesatuan paham.

Boh-thian coba melihat lukisan apa di dinding kamar itu. Kiranya adalah gambar seekor kuda bagus dengan gayanya yang gagah dan tangkas sedang berlari, di bawah telapak kaki terlukis pula garis-garis yang menandakan mega sehingga binatang itu seakan-akan sedang melayang di angkasa. Waktu dia mengamat-amati lebih lanjut goresan-goresan gambar kuda itu, sekonyong-konyong tenaga dalamnya bergolak lagi, tanpa kuasa ia lantas angkat kaki dan ikut berlari-lari.

Begitulah berturut-turut Ciok Boh-thian lantas mendatangi kamar batu keempat, kelima, keenam dan seterusnya sehingga semua lukisan di dinding kamar-kamar itu dapat diselaminya semua.

Kiranya lukisan-lukisan dinding dari 24 kamar batu itu masing-masing diberi penjelasan dengan 24 bait syair kuno. Tapi semuanya sebenarnya merupakan rumus-rumus ilmu pedang, ginkang, lwekang dan sebagainya yang sangat tinggi.

Terkadang Ciok Boh-thian dapat memahami dengan sangat cepat, tapi sering juga macet dan makan waktu. Namun demikian tanpa merasa akhirnya lukisan dari 23 kamar batu itu sudah dapat dilatihnya dengan baik. Ia sendiri tidak ingat sudah lewat berapa hari, cuma setiap dua-tiga hari sekali tentu dia pergi mendesak Pek Cu-cay untuk pulang. Akan tetapi Pek Cu-cay merasa makin besar hasil pelajarannya terhadap rumus ilmu silat di dinding itu, maka makin lama makin keranjingan. Bila Ciok Boh-thian mengganggunya, sering kali ia lantas mendamprat, sampai akhirnya ia menjadi gemas, bila pemuda itu mendekat terus dihantam dan ditendangnya supaya enyah.

Terpaksa Ciok Boh-thian pergi mencari Hoan It-hui, Ko Sam-niocu, dan lain-lain untuk berunding. Tak terduga orang-orang itu pun sudah keranjingan semua asyik menyelami ilmu silat menurut ukiran di dinding batu, bahkan mereka lantas minta penjelasan dan petunjuk kepada Ciok Boh-thian tentang di mana letak rahasia pelajaran yang belum juga diketemukan itu.

Diam-diam Boh-thian terkesiap, pikirnya, “Meski Liong dan Bok-tocu telah mengundang tokoh-tokoh persilatan ke sini untuk menyelami ilmu silat lukisan dinding ini, ternyata selama puluhan tahun ini tiada seorang pun yang meninggalkan pulau ini dan pulang ke Tionggoan, hal ini menandakan ilmu silat di atas lukisan dinding ini benar-benar membikin setiap orang menjadi keranjingan dan lupa daratan. Untunglah kepandaianku rendah, pula buta huruf, tentu aku takkan keranjingan seperti mereka sehingga lupa untuk pulang.”

Maka ketika ia, hendak diajak tukar pikiran oleh Hoan It-hui dan lain-lain, cepat saja ia meninggalkan mereka. Ia pikir sedikitnya sudah lebih 20 hari tinggal di Liong-bok-to, lewat beberapa hari lagi tidak boleh tidak harus lekas-lekas berangkat pulang. Dari 24 kamar batu itu sudah dikunjungi 23 kamar, hanya tinggal satu kamar terakhir saja belum didatangi, bila ukiran dinding kamar terakhir itu pun sudah dilihatnya dan jika Pek Cu-cay masih tetap tidak mau pulang, terpaksa ia sendiri akan berangkat lebih dulu supaya Su-popo dan lain-lain mendapat tahu apa yang terjadi di atas pulau.

Begitulah ia lantas menuju ke kamar ke-24. Begitu masuk ke situ lantas tertampak Liong-tocu dan Bok-tocu sedang duduk bersila di atas kasuran kecil dengan menghadap dinding dan lagi merenung dengan segenap pikiran.

Boh-thian sangat menghormat kepada kedua tocu itu, ia berdiri saja dari jauh. Waktu ia pandang dinding kamar itu, ia menjadi kecewa. Jika dinding kamar-kamar yang lain di samping tulisan-tulisan tentu ada lukisan pula, ternyata dinding kamar terakhir ini tiada sesuatu lukisan apa-apa melainkan tulisan melulu.

“Jika tiada sesuatu lukisan yang dapat dilihat, biarlah sekarang juga aku permisi kepada Pek-yaya dan segera berangkat pulang saja,” demikian pikirnya. Teringat beberapa hari lagi sudah dapat bertemu kembali dengan Su-popo, Ciok Jing dan istrinya, terutama A Siu yang sudah dirindukannya itu, maka ia menjadi sangat senang. Segera ia memberi hormat kepada Liong dan Bok-tocu dan mohon diri, “Banyak terima kasih atas pelayanan kedua Tocu selama ini, biarlah hari ini juga hamba ingin permisi untuk pulang.”

Namun Liong dan Bok-tocu tetap memusatkan perhatian mereka ke arah dinding dan seperti tidak mendengar ucapannya.

Waktu Boh-thian ikut memandang ke arah dinding, sekonyong-konyong ia merasa huruf-huruf di atas dinding itu seperti berputar-putar sehingga kepalanya merasa pusing. Ia coba pejamkan mata dan tenangkan pikiran, lalu memandang lagi, tapi kembali kepala terasa pusing. Ia merasa heran, aneh benar huruf-huruf ini, bila dipandang lantas kepala terasa puyeng.

Karena rasa ingin tahu, ia tidak kapok, kembali ia memandang pula. Ia lihat setiap garis, setiap gerakan huruf itu seakan-akan berubah semua menjadi beradu atau cebong dan sedang bergerak di atas dinding. Tapi bila cuma diperhatikan satu garis saja, maka cebong itu lantas tidak bergerak lagi.

Di waktu kecilnya Ciok Boh-thian tinggal di atas gunung yang sunyi, di musim semi ia suka menangkap cebong di sungai pegunungan, lalu dipiara di empang kecil yang dibuatnya sendiri untuk melihat cara bagaimana cebong itu berubah menjadi katak. Sekarang dapat melihat lagi barang mainan di waktu kanak-kanak dulu, saking senangnya ia lantas memerhatikan setiap gerak-gerik cebong itu.

Setelah memerhatikan sejenak, mendadak “ci-yang-hiat” di bagian punggung terasa berdenyut. Ia sampai terkejut, “Eh, kiranya cebong-cebong di atas dinding ini sebenarnya ada hubungannya dengan saluran tenaga dalam.”

Waktu ia memandang cebong yang kedua, kembali “koan-ki-hiat” di bagian punggung berdenyut pula. Cuma saja tenaga dalam antara ci-yang-hiat dan koan-ki-hiat itu sukar dihubungkan. Ketika ia memerhatikan cebong ketiga, tapi sampai sekian lamanya hawa murni di dalam tubuh sama sekali tiada bergerak.

“Ciok-pangcu memerhatikan ‘Thay-hian-keng’ ini, kiranya adalah seorang ahli huruf cebong,” demikian tiba-tiba tegur seorang dengan nada dingin.

Waktu Boh-thian menoleh, kiranya adalah Bok-tocu yang sedang memandangnya dengan sorot mata yang tajam. Muka Boh-thian menjadi merah, jawabnya dengan tergagap, “O, ti... tidak, hamba sama sekali tidak bisa membaca. Cuma gambar cebong-cebong kecil ini tampaknya sangat menyenangkan, maka aku telah memandanginya.”

“Ya, memangnya aku pun merasa heran masakah Ciok-pangcu yang masih begini muda dapat memahami huruf kuno yang amat sukar dipelajari ini,” kata Bok-tocu.

“Jika demikian biarlah aku takkan memandangnya lagi, supaya tidak mengganggu kedua Tocu,” sahut Boh-thian.

“Tidak, kau tidak perlu pergi, boleh kau melihat sesukamu di sini dan juga takkan mengganggu kami,” ujar Bok-tocu. Lalu matanya terpejam pula.

Mestinya Boh-thian hendak meninggalkan kamar batu itu, tapi khawatir Bok-tocu merasa kurang senang. Ia pikir biarlah kupandang sebentar lagi baru keluar dari sini.

Tak terduga waktu dia memandang ukiran cebong lagi, mendadak “tiong-cu-hiat” di bagian perut berdenyut dengan keras seperti ada kodok melompat di dalam perut, Pikirnya, “Aneh, cebong-cebong kecil ini benar-benar aneh, belum menjadi katak sudah lantas melompat-lompat.”

Karena tertarik, ia lantas memerhatikan lagi setiap cebong itu, berulang-ulang hiat-to di tubuhnya juga lantas bergerak-gerak dan melonjak-lonjak aneh, terkadang dua-tiga tempat hiat-to bisa bertembusan dan hawa murni lantas berjalan dengan lancar, rasa badan menjadi segar sekali. Saking kesengsemnya ia sampai lupa daratan, tak kenal lelah dan waktu. Asal merasa lapar ia lantas makan penganan yang tersedia di situ, habis itu lantas berlatih pula. Makin berlatih makin banyak hiat-to di dalam tubuhnya yang dapat dihubungkan. Ia merasa cebong-cebong kecil itu telah berpindah semua ke dalam urat nadinya dan seperti sudah berubah menjadi katak dan melompat-lompat di dalam tubuhnya.

Untuk selanjutnya ia benar-benar seperti kesurupan setan, dia hanya memandangi huruf-huruf cebong di atas dinding. Jika lelah ia mengaso sebentar, lalu berlatih lagi. Ia benar-benar sudah keranjingan terhadap beribu-ribu dan berlaksa-laksa cebong kecil di atas dinding itu.

Entah sudah lewat berapa hari lagi, sekonyong-konyong hawa murni di dalam tubuh terasa bergolak hebat dan berturut-turut telah menembus beberapa bagian yang tadinya macet. Habis itu lantas bergerak dengan dahsyatnya laksana air bah melanda, dari perut hawa murni itu lantas menerjang ke ubun-ubun kepala, lalu dari ubun-ubun turun kembali ke perut, makin mengalir makin cepat.

Terkejut dan girang pula Ciok Boh-thian, seketika ia menjadi bingung pula cara bagaimana harus diperbuatnya. Ia merasa sekujur badannya penuh tenaga yang tak tersalurkan. Tanpa merasa kaki dan tangannya lantas bergerak-gerak, ia mainkan ilmu pukulan dari garis-garis lukisan yang dilihatnya di kamar batu pertama itu, lalu memainkan ilmu pedang menurut goresan gambar di kamar kedua dan begitu seterusnya, sekaligus ia telah keluarkan segenap ilmu yang telah dilihatnya, baik ilmu pedang, ilmu pukulan, ginkang, lwekang dan sebagainya.

Habis itu bahkan tenaga dalamnya masih terus bergolak, tanpa merasa ia terus mainkan segenap kepandaian yang dipelajarinya sebelumnya, baik ilmu pukulan jahat ajaran ibunya, Yam-yam-kang ajaran Cia Yan-khek, lwekang yang diperolehnya dari boneka kayu, kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong, Swat-san-kiam-hoat, Kim-oh-to-hoat dan ilmu golok campur pedang ciptaannya sendiri, semuanya dikeluarkan. Di mana dia ingat, di situ juga lantas dimainkan, semuanya timbul sendiri tanpa banyak pikir dan dapat dilakukannya dengan bebas sesukanya.

Makin main makin senang, sampai akhirnya Ciok Boh-thian terbahak-bahak sendiri dan berteriak, “Hahahaha! Bagus!”

“Ya, memang bagus!” tiba-tiba ada orang ikut menanggapi.

Boh-thian terkejut dan cepat berhenti main. Dilihatnya Liong-tocu dan Bok-tocu masing-masing sudah berdiri di pojok ruangan dan sedang memandangnya dengan rasa kejut dan girang.

Cepat Boh-thian minta maaf, “Hamba telah berlaku sembrono, harap kedua Tocu jangan marah.”

Ternyata kedua tocu itu penuh air keringat, bajunya basah kuyup, tempat di mana mereka berdiri juga penuh tetesan air.

Maka Liong-tocu telah berkata, “Bakat Ciok-pangcu yang aneh, sungguh harus dipuji. Terimalah ucapan selamat kami!”

Habis berkata dia lantas menjura. Cepat Bok-tocu ikut memberi hormat.

Keruan Ciok Boh-thian terkejut, lekas-lekas ia pun berlutut dan balas menjura. Katanya, “Mengapa kedua Tocu menjalankan penghormatan se... setinggi ini, mana hamba berani terima!”

“Ciok-pangcu sil... silakan bangun!” kata Liong-tocu.

Boh-thian menurut dan merangkak bangun. Dilihatnya Liong-tocu juga hendak berbangkit kembali, tapi mendadak tergeliat dan jatuh terduduk di atas lantai. Begitu pula kedua tangan Bok-tocu tampak menahan tanah dan juga tidak kuat berbangkit.

“He, kenapakah kalian?” seru Boh-thian dengan khawatir. Cepat ia memayang bangun Liong-tocu. Lalu membangunkan Bok-tocu pula.

Liong-tocu tampak goyang-goyang kepala dan tersenyum. Lalu pejamkan mata dan mengumpulkan tenaga. Bok-tocu juga lantas semadi mengumpulkan semangat.

Boh-thian tak berani mengganggunya. Selang agak lama barulah terdengar Bok-tocu menghela napas lega terus melompat bangun dan mendekati Liong-tocu serta merangkulnya.

Liong-tocu juga lantas membuka mata, kedua orang lantas saling berpelukan sambil bergelak tertawa, tampaknya girang tak terhingga.

Sudah tentu Boh-thian tidak tahu apa sebabnya kedua orang itu sedemikian riang gembira, dia hanya ikut menyengir saja.

Perlahan-lahan Liong-tocu lalu berdiri, katanya, “Ciok-pangcu, sudah berpuluh tahun kami berdua dirundung oleh suatu pertanyaan besar, tapi hari ini engkau telah dapat memecahkannya, sungguh kami merasa sangat berterima kasih.”

“Aku... aku memecahkan apa?” tanya Boh-thian dengan bingung.

“Buat apa Ciok-pangcu mesti merendah hati?” ujar Liong-tocu dengan tersenyum. “Engkau sudah berhasil menyelami lukisan bersyair Hiap-khek-heng yang terukir di dinding batu ini, bukan saja engkau adalah orang pertama di dunia persilatan dewasa ini, bahkan selain orang kosen angkatan tua yang mengukirkan lukisan ini sendiri, mungkin sejak dulu kala hingga sekarang jarang ada orang lain yang mampu memadai Ciok-pangcu.”

“Ah, mana hamba berani menerima pujian setinggi itu?” sahut Boh-thian dengan gugup. “Ucapan Liong-tocu ini bila didengar oleh Pek-yaya, tentu beliau akan sangat marah.”

“Apakah sebabnya?” tanya Liong-tocu dengan tertawa.

“Sebab Pek-yaya ingin disebut sebagai ‘jago pedang nomor satu, jago lwekang nomor satu, pendek kata serbanomor satu’, sebaliknya hamba sedikit pun tidak becus apa-apa, mana dapat dibandingkan dengan Pek-yaya?”

“Haha, jadi ‘tokoh nomor satu’ dunia persilatan selama ini adalah Pek Cu-cay dari Swat-san-pay? Hahahaha!” tukas Liong-tocu dengan tertawa. Dan sesudah saling pandang sekejap dengan Bok-tocu, lalu ia tanya kepada Boh-thian, “Tapi bagaimana menurut anggapan Ciok-pangcu sendiri?”

Boh-thian merenung sejenak, kemudian menjawab, “Ilmu silat Pek-yaya sudah tentu sangat tinggi, tapi kalau mengaku sebagai jago nomor satu rasa rasanya sih belum dapat.”

“Ya, memang,” kata Liong-tocu. “Melulu bicara tentang ilmu pedang, ilmu pukulan dan lwekang saja Ciok-pangcu sendiri sudah sepuluh kali lebih tinggi daripada Pek-yayamu. Tentang huruf cebong di atas dinding ini, apa yang kami ketahui boleh dikata belum ada satu bagian daripada seluruhnya, entah Ciok-pangcu sudi memberi petunjuk atau tidak?”

Untuk sejenak Ciok Boh-thian memandangi Liong-tocu, lalu memandang Bok-tocu pula. Wajah kedua orang itu tampak sangat serius, sangat sungguh-sungguh, tapi mengandung rasa khawatir-khawatir cemas pula seakan-akan takut kalau dirinya tak mau menerangkan rahasia rumusan lukisan itu. Maka ia lantas menjawab, “Tentu saja akan kuterangkan seluruhnya kepada kalian. Mula-mula aku memerhatikan cebong ini, seketika ‘tiong-cu-hiat’ lantas berdenyut, waktu kupandang pula cebong yang itu, kontan ‘ci-yang-hiat’ lantas melonjak....” Begitulah ia terus memberi penjelasan sambil menunjuk gambar-gambar berudu itu.

Keruan Liong dan Bok-tocu merasa bingung dan tidak mengerti.

Melihat kedua orang tua itu mengunjuk rasa heran, segera Boh-thian bertanya, “Bagaimana, apakah uraianku salah?”

“Kiranya apa yang dilihat oleh Ciok-pangcu adalah... adalah gambar-gambar cebong belaka, jadi engkau tidak membaca tulisannya? Tapi mengapa Ciok-pangcu dapat pula mengerjakan seluruh ‘Thay-hian-keng’ ini?” tanya Liong-tocu.

“Tidak, hamba tidak membacanya, sejak kecil hamba tidak sekolah, sampai sekarang masih buta huruf, sungguh sangat memalukan,” sahut Boh-thian dengan wajah merah jengah.

“Hahh, kau... kau buta huruf?” tanya Liong-tocu dan Bok-tocu sambil melonjak berbareng.

“Ya, aku tidak dapat membaca,” jawab Boh-thian. “Tapi sesudah pulang nanti tentu aku akan... akan minta A Siu mengajar membaca padaku. Kalau tidak tentu aku akan selalu ditertawai orang.”

Melihat sikap pemuda itu sangat jujur dan tulus, sedikit pun tiada tanda-tanda membohong mau tak mau kedua tocu itu harus percaya juga. Sungguh mereka tidak habis mengerti mengapa bisa terjadi demikian. Segera Liong-tocu bertanya pula, “Jika kau buta huruf, mengapa kau dapat menyelami catatan-catatan di dalam ke-23 kamar batu sana, siapakah yang menjelaskan artinya kepadamu?”

“Tiada orang yang menjelaskan padaku,” sahut Boh-thian. “Kudengar Pek-yaya membaca beberapa kalimat dan Hoan-toaya dari Kwantang itu pun mengucapkan beberapa kalimat, begitu pula paman-paman dan mamak-mamak yang lain, tapi semuanya aku tidak paham, maka aku tidak menaruh perhatian. Aku... aku hanya melihat gambarnya saja, dalam keadaan ruwet mendadak hawa murni dalam tubuhku lantas bergolak dan berjalan menurut setiap goresan gambar yang kuperhatikan.”

“Kau buta huruf, tapi dapat membaca rumusan dalam lukisan itu, ini mana... mana bisa?” ujar Bok-tocu.

“Ya, jangan-jangan sudah suratan takdir atau Ciok-pangcu ini memiliki pembawaan yang genius?” kata Liong-tocu.

Sejenak kemudian mendadak Bok-tocu membanting kaki sambil berseru, “Aha, tahulah aku, pahamlah aku! Toako, kiranya demikianlah halnya!”

Untuk sejenak Liong-tocu tertegun. Tapi segera ia pun paham duduknya perkara. Seketika mereka berdua saling rangkul lagi, air muka mereka tampak cemas-cemas girang tercampur gegetun.

Liong-tocu lantas menoleh dan tanya Ciok Boh-thian pula, “Ciok-pangcu, untunglah engkau tidak bisa membaca, maka dapatlah memecahkan persoalan yang penuh teka-teki ini. Sekarang mati pun kami dapat tenteram dan takkan menyesal di alam baka.”

“Mati pun dapat ten... tenteram apa maksud kedua Tocu?” tanya Boh-thian dengan bingung.

Liong-tocu menghela napas perlahan, katanya, “Kiranya tulisan-tulisan yang begitu banyak sesungguhnya tiada gunanya semua, setiap kalimatnya sengaja menyesatkan bagi siapa pun yang membacanya. Akan tetapi setiap orang yang ingin memahami arti lukisan-lukisan itu sudah tentu ingin mempelajari arti daripada keterangan-keterangan yang tercatat di situ.”

“Jadi engkau maksudkan tulisan-tulisan itu sebenarnya tiada gunanya?” Boh-thian menegas dengan heran.

“Ya, bukan saja tak berguna, bahkan bisa bikin celaka,” sahut Liong-tocu. “Jika tidak demikian, tentu tidak percumalah jerih payah selama ini.”

“Ternyata tulisan yang kita anggap sebagai kitab ‘Thay-hian-keng’ ini sebenarnya bukan huruf cebong, tapi hanya... hanya garis-garis yang menunjukkan tempat hiat-to yang bersangkutan,” kata Bok-tocu. “Ai, empat puluh tahun, empat puluh tahun telah lalu dengan percuma.”

Begitulah kedua tocu itu saling pandang dengan penuh penyesalan, lesu sekali semangat mereka, sedikit pun tiada sikap kereng dan berwibawa seperti waktu perjamuan Lap-pat-cok tempo hari.

Sebaliknya Ciok Boh-thian masih merasa bingung, ia tanya pula, “Orang itu sengaja menulis sebanyak ini di atas dinding untuk menyesatkan orang, entah apa tujuannya?”

“Apa maksud tujuannya memang sukar dikatakan,” ujar Liong-tocu. “Boleh jadi Locianpwe itu tidak ingin angkatan muda dapat mempelajari ilmu tinggalannya secara mudah, atau catatan-catatan itu sengaja ditambahkan lagi oleh seorang lain, mungkin juga Locianpwe itu tidak suka orang sekolahan, maka sengaja memasang perangkap demikian supaya orang yang jujur dan polos sebagai Ciok-pangcu mendapatkan pusaka tinggalannya ini.”

“Ya, maksud tujuan Locianpwe itu benar-benar sangat mendalam dan sukar diterka,” tukas Bok-tocu.

Melihat kedua tocu itu sangat lesu dan gegetun, Boh-thian menjadi rikuh, katanya segera, “Kedua Tocu, jika ilmu yang kuperoleh ini memang berguna, biarlah seluruhnya akan aku uraikan kepada kalian. Marilah kita kembali ke kamar batu pertama, tentu akan kujelaskan tanpa merahasiakannya sedikit pun.”

“Maksud baik Ciok-pangcu kami terima di dalam hati saja,” sahut Liong-tocu dengan tersenyum getir. “Seorang muda yang berjiwa tulus sebagai saudara cilik memang sudah sepantasnya mendapatkan ganjaran baik pula, perkembangan dunia persilatan di kemudian hari tentu pula akan banyak diharapkan tenagamu. Dengan demikian jerih payah kami selama ini tidaklah menjadi sia-sia.”

“Benar, teka-teki rumusan lukisan dinding ini sekarang sudah terpecahkan, cita-cita kami sudah terkabul. Baik saudara cilik yang berhasil meyakinkan atau kami adalah sama saja,” demikian Bok-tocu menambahkan.

“Jika begitu, apakah seluk-beluk gambar-gambar cebong ini saja yang kuterangkan pada kalian?” kata Boh-thian dengan sungguh-sungguh.

“Ilmu sakti ini toh sudah mendapatkan ahli warisnya yang sejati, gambar-gambar itu sudah waktunya untuk berakhir,” kata Liong-tocu dengan tersenyum haru. “Saudara cilik, cobalah lihat lagi.”

Waktu Boh-thian berpaling dan memandang ke dinding, seketika ia terperanjat. Ternyata bubuk batu tampak rontok sedikit demi sedikit dari dinding batu itu, huruf-huruf cebong yang memenuhi dinding itu sekarang sudah tak keruan jadinya dan hanya tinggal sebagian kecil saja yang masih jelas.

“He, meng... mengapa bisa demikian?” serunya kaget.

“Soal ini biarlah kita bicarakan nanti,” ujar Bok-tocu. “Sekarang marilah kita menemui dulu para kesatria untuk mengumumkan kejadian ini.”

Segera mereka bertiga keluar dari kamar batu itu dan menuju ke ruangan depan. Liong-tocu lantas memerintahkan para muridnya berkumpul dan mengundang para kesatria yang tersebar di berbagai kamar batu itu.

Kiranya tadi sesudah Ciok Boh-thian berhasil memecahkan rumus ilmu sakti menurut lukisan dinding, tanpa merasa ia lantas mulai main. Liong dan Bok-tocu menjadi terkejut dan heran, segera Liong-tocu maju mencobanya. Tapi saat itu Boh-thian sudah seperti keranjingan setan, begitu merasa diserang orang secara otomatis ia lantas melayani. Hanya beberapa jurus saja Liong-tocu sudah merasa kewalahan, cepat Bok-tocu ikut maju mengerubut. Namun dengan ilmu silat kedua orang yang sudah tiada bandingannya di dunia persilatan itu ternyata masih tidak mampu melawan ilmu sakti yang baru saja dipahami Ciok Boh-thian. Semakin dahsyat mereka menyerang, semakin hebat pula perlawanan Ciok Boh-thian. Angin dan tenaga pukulan mereka bertiga semuanya tersampuk ke atas dinding kamar sehingga permukaan dinding yang berukiran itu tergetar sehingga ambrol.

Begitulah sesudah mereka bertiga sampai di ruangan depan dan ambil tempat duduk masing-masing, para tamu dan muridnya berturut-turut juga sudah kumpul, Sekarang di ruangan besar itu telah berjubel-jubel dengan tokoh-tokoh Bu-lim yang pernah mengunjungi Liong-bok-to selama 30-an tahun ini, selain sebagian kecil yang telah wafat karena usia lanjut, sisanya kini sudah ikut hadir di situ.

Jilid 48 Tamat

Setelah para hadirin sudah datang semua, Liong-tocu lantas bisik-bisik memberi pesan kepada murid pertamanya, begitu pula Bok-tocu. Kedua murid pertama mereka tampak tercengang sambil mendengarkan perintah sang guru. Dan sesudah minta penjelasan pula seperlunya, kemudian kedua murid pertama itu lantas menuju ke belakang bersama belasan orang sute mereka.

Liong-tocu lantas mendekati Ciok Boh-thian, katanya dengan suara tertahan, “Adik cilik, tentang kejadian di kamar batu terakhir tadi janganlah sekali-kali kau katakan kepada orang lain. Kalau tidak, sepanjang hidupmu tentu akan timbul macam-macam kesukaran dan macam-macam bahaya.”

Ciok Boh-thian mengiakan saja walaupun tidak mengerti sebab musababnya.

Namun Liong-tocu lantas menerangkan, “Kau telah memiliki ilmu sakti yang tiada taranya di dunia ini, orang Bu-lim tentu ada yang kagum dan ada yang iri, dari iri menjadi benci, atau ada pula yang datang minta belajar padamu, mungkin pula dengan macam-macam akal kau akan dipaksa mengaku rahasia kepandaianmu, pendek kata macam-macam kesukaran akan menimpa dirimu. Sebab itulah pengalamanmu tadi jangan sekali-kali diketahui oleh orang luar.”

“Ya, banyak terima kasih atas petunjuk Tocu ini,” sahut Boh-thian.

Selesai memberi pesan seperlunya, kemudian Liong-tocu kembali ke tempat duduknya semula. Lalu berkata kepada para kesatria, “Sobat-obat sekalian, kita dapat berkumpul di pulau ini, betapa pun dapatlah dianggap kita ini ada jodoh. Tapi sampai sekarang masa berkumpul kita sudah berakhir dan terpaksalah kita harus berpisah.”

Para kesatria tercengang heran, beramai-ramai mereka bertanya, “He, ada apakah?” — “Telah terjadi apakah, Tocu?”

Di tengah suara berisik itu, sekonyong-konyong dari ruangan belakang sana terdengarlah suara letusan yang gemuruh. Seketika para kesatria terdiam, mereka melenggong karena tidak tahu apa yang terjadi.

“Para sobat, kalian berkumpul di sini adalah dengan harapan dapat memecahkan rahasia ilmu sakti lukisan dinding itu, namun sayang waktunya sudah tidak mengizinkan lagi, Liong-bok-to ini dalam waktu singkat sudah akan tenggelam,” kata Liong-tocu pula.

“Hah, sebab apa? Apakah gempa bumi? Atau ada gunung berapi akan meletus? Dari mana Tocu mendapat tahu?” demikian beramai-ramai para kesatria menjadi ribut.

“Ya, tadi aku dan Bok-hiante telah melihat pusar pulau ini mulai bergolak dan segera akan terjadi letusan gunung berapi, bila meletus tentulah pulau ini akan menjadi lautan api. Sekarang suara gemuruh sudah mulai dahsyat, para sobat silakan lekas pergi dari sini.”

Namun para kesatria itu masih ragu-ragu. Ada yang sudah terlalu keranjingan ilmu silat yang terukir di dinding itu, maka mereka lebih suka menghadapi bahaya daripada tinggal pergi begitu saja.

“Jika kalian tidak percaya, boleh silakan kalian periksa lagi kamar-kamar batu yang sudah retak dan runtuh itu, andaikan gunung berapi tidak jadi meletus juga tiada gunanya lagi kalian tinggal di sini,” ujar Liong-tocu.

Mendengar itu, para kesatria benar-benar terkejut, beramai-ramai mereka berlari ke kamar batu masing-masing, begitu pula Boh-thian ikut lari ke belakang. Benar juga kamar-kamar batu itu sudah retak, ukiran di dinding itu sudah ambrol semua.

Boh-thian tahu ukiran dinding itu tentu dirusak atas perintah kedua tocu, diam-diam ia merasa dirinya yang bersalah sehingga menimbulkan gara-gara ini.

Para kesatria itu pun menganggap rusaknya kamar-kamar batu itu tidak wajar, terang dilakukan oleh manusia dan bukan lantaran gempa bumi. Beramai-ramai mereka lantas berlari kembali ke ruangan depan dengan maksud menegur kedua tocu. Tapi baru saja sampai di ambang pintu lantas terdengar suara tangis orang yang ramai dan sedih. Keruan para kesatria tambah kaget, Tertampak Liong-tocu dan Bok-tocu berduduk di tempatnya dengan mata terkatup. Para muridnya berlutut di sekelilingnya sambil menangis.

Seketika jantung Ciok Boh-thian seakan-akan terbetot keluar. Cepat ia menyusup maju di antara orang banyak sambil berseru, “Liong-tocu, Bok-tocu, ken... kenapakah kalian?”

Tapi air muka kedua orang tua itu tampak sudah pucat kaku, nyata sudah meninggal dunia. Boh-thian menoleh dan coba tanya Thio Sam dan Li Si, “Kedua Tocu baru saja masih baik-baik, mengapa dalam sekejap saja sudah wafat?”

“Waktu wafat, kedua Suhu menyatakan cita-cita beliau sudah terkabul, walaupun meninggalkan dunia fana ini, namun tenanglah ha... hati beliau-beliau itu,” sahut Thio Sam sambil terguguk-guguk.

Karena terharu, Boh-thian sampai ikut menangis. Ia tidak tahu bahwa sesudah pertarungan di dalam kamar batu tadi kedua tocu itu sudah kehabisan tenaga seperti pelita kehabisan minyak. Ditambah lagi usia mereka memang sudah lanjut, sekarang cita-cita sudah terkabul, maka mereka lantas mangkat dengan tenang.

Si murid utama baju kuning segera berseru, “Para tamu yang mulia, menurut pesan Suhu, kalian disilakan lekas meninggalkan pulau ini. Tentang medali wasiat yang pernah diterima kalian itu boleh disimpan baik-baik, boleh jadi kelak masih ada gunanya. Bila di kemudian hari kalian ada sesuatu kesukaran, silakan datang ke kampung nelayan di pantai selatan itu dengan membawa medali wasiat, mungkin kami akan dapat memberi bantuan seperlunya. Sekarang kapal-kapal sudah siap di tepi pantai, silakan kalian lantas berangkat saja.”

Mendengar itu para kesatria yang merasa kecewa itu menjadi terhibur. Beramai-ramai mereka lantas memberi penghormatan terakhir kepada jenazah Liong dan Bok-tocu.

“Selamat jalan, Samte,” kata Thio Sam dan Li Si kepada Boh-thian. “Semoga kita akan berjumpa pula.”

Setelah mengucapkan selamat tinggal, dengan rasa berat Boh-thian lantas mohon diri dan beramai-ramai ikut Pek Cu-cay, Hoan It-hui, dan lain-lain menuju ke pantai.

Pulangnya sekarang mereka menggunakan kapal layar yang besar, sebuah kapal dapat memuat ratusan orang. Maka hanya lima-enam buah kapal saja para kesatria itu sudah terangkut semua. Segera mereka mengangkat sauh dan berlayar meninggalkan Liong-bok-to.

Makin lama pulau itu makin kecil kelihatannya. Sekonyong-konyong Ciok Boh-thian teringat sesuatu sehingga berkeringat dingin. Teriaknya sambil membanting-banting kaki, “Wah, celaka, celaka! He, Yaya, hari ini tang... tanggal berapakah?”

Pek Cu-cay juga lantas terkejut. Ia pun berteriak, “Wah, celaka! Aku ti... tidak tahu hari ini tanggal be... berapa?”

Sekilas Ciok Boh-thian melihat Ting Put-si lagi tertawa mengejek di sebelah sana, cepat ia tanya, “Ting-siyaya, apakah engkau ingat sudah berapa lama kita datang ke Liong-bok-to sini?”

“Mungkin 70 hari, mungkin 99 hari, siapa ambil pusing?” sahut Put-si.

Boh-thian menjadi kelabakan dan hampir-hampir menangis. Ia coba tanya Ko Sam-niocu, “Kita sampai di sini pada tanggal 8 bulan 12, hari ini tentunya baru tanggal muda bulan satu bukan!”

Ko Sam-niocu lantas menekuk jari dan berhitung, “Kita sudah tinggal 57 hari di pulau ini. Hari ini kalau bukan tanggal 6 tentulah tanggal 7 bulan dua.”

“Hahhhh, bulan dua?” jerit Pek Cu-cay dan Ciok Boh-thian berbareng.

“Ya, terang sudah bulan dua,” sahut Ko Sam-niocu.

“Wah, celaka, celaka!” teriak Pek Cu-cay sambil memukul-mukul dadanya sendiri.

“Wah, untung, untung!” timbrung Ting Put-si dengan bergelak tertawa malah.

“Ting-siyaya, mengapa engkau malah tertawa,” omel Boh-thian. “Kata nenek, jika sampai tanggal 8 bulan satu Yaya belum pulang, maka beliau akan bunuh diri dengan terjun ke laut. Ya, malahan A Siu… A Siu juga akan terjun ke laut.”

“Dia akan terjun ke laut?” Ting Put-si melengak. “Dia akan tunggu sampai tinggal 8 bulan satu? Tapi... tapi sekarang sudah bulan dua....”

“Ya, makanya... bagaimana baiknya ini?” kata Boh-thian sambil menangis.

“Watak Siau-jui sangat keras, jika dia bilang menunggu sampai tinggal 8 bulan satu, maka pasti dilakukannya pada hari itu, padahal sekarang sudah lewat lebih 20 hari, tentu sudah lama dia membunuh diri,” kata Put-si dengan gusar. “Dasar kau, Pek Cu-cay, kau bangsat keparat piaraan biang anjing kau... kau kenapa tidak pulang sejak dulu-dulu? Bangsat!”

“Ya, benar, aku memang bangsat keparat!” teriak Pek Cu-cay sambil tiada hentinya menghantam dada sendiri.

“Su Siau-jui adalah istri orang, apakah dia masih hidup atau sudah mampus peduli apa dengan kau, mengapa kau ikut ribut dan memaki orang?” tiba-tiba suara seorang wanita yang tajam melengking mendamprat Ting Put-si. Itulah suara si wanita she Bwe.

Mendengar itu seketika Ting Put-si menjadi bungkam.

Sebaliknya Pek Cu-cay lantas menyalahkan Ciok Boh-thian, “Jika sudah tahu nenekmu akan terjun ke laut pada tanggal 8 bulan satu, mengapa tidak kau beri tahukan padaku sejak dulu?”

Karena hatinya sedih, Boh-thian tidak ingin membantahnya, ia biarkan orang tua itu mengomel sesukanya.

Dalam pada itu kapal mereka telah laju dengan pesatnya karena mendapat angin buritan, Pek Cu-cay masih terus mencaci maki Ciok Boh-thian, sedangkan Ting Put-si suka mengolok-oloknya, beberapa kali mereka hampir-hampir berkelahi, tapi dapatlah dilerai oleh kawan-kawan sekapal. Sampai petang hari ketiga, dari jauh tertampaklah daratan pantai selatan, seketika bersoraklah semua orang. Namun Pek Cu-cay masih terus melotot memandangi ombak laut yang mendebur-debur seakan-akan mencari jenazah Su-popo dan A Siu.

Makin lama makin dekatlah, Boh-thian melihat pemandangan pantai itu masih tetap sama seperti waktu dia berangkat. Di tepi pantai berderet-deret pohon nyiur. Pada puncak tebing karang yang menonjol di sebelah kiri sana tumbuh tiga batang pohon kenapa.

Ia masih ingat waktu itu Su-popo, A Siu dan lain-lain mengantar kepergiannya dengan berdiri di tepi pantai, sekarang dirinya pulang dengan selamat, namun gurunya dan A Siu itu sudah menjadi isi perut ikan laut, sampai jenazah pun tak tertinggal lagi. Teringat demikian, tanpa merasa air matanya lantas meleleh.

Kapal mereka masih terus laju menuju ke tepi pantai. Pada waktu sudah dekat, sekonyong-konyong terdengar suara jeritan orang, dari atas tebing karang itu tampak melayang ke dalam laut dua sosok tubuh orang. Mata Ciok Boh-thian cukup jeli, sekilas dikenalnya orang-orang yang terjun ke laut itu tak-lain-tak-bukan adalah Su-popo dan A Siu.

Kecut dan girang Ciok Boh-thian sungguh tak terhingga. Pada saat demikian sudah tentu tak terpikir olehnya mengapa kedua orang itu belum mati. Segera ia angkat sepotong papan terus dilemparkan sekuatnya ke arah tempat jatuhnya kedua orang, menyusul ia kumpulkan segenap tenaga ke ujung kaki, sekali loncat, seketika tubuhnya melayang ke depan secepat anak panah.

Di sinilah dia telah perlihatkan manfaat ilmu sakti yang diperolehnya dari lukisan dinding batu di Liong-bok-to itu. Ketika melayang turun, sebelah kakinya tepat menginjak di atas papan yang terapung di permukaan air sehingga meluncur ke depan dengan lebih cepat. Pada saat itu dengan cepat sekali tubuh A Siu sedang terjun ke bawah dan tepat berada di sampingnya.

Tanpa pikir lagi tangan kiri Ciok Boh-thian lantas menjulur, pinggang nona itu tepat kena dirangkul olehnya. Karena bobot kedua orang ditambah daya terjun si A Siu, seketika papan yang diinjak Boh-thian itu tertekan ke bawah. Pada waktu itu juga Su-popo tampak jatuh ke bawah tepat di sebelah kanannya, untuk menyambar tubuh nenek itu terang tidak dapat, terpaksa tangan kanan Boh-thian meraih punggung Su-popo dan sekalian didorong ke atas, kembali ia keluarkan ilmu sakti lukisan dinding Liong-bok-to, segera tubuh Su-popo melayang ke arah kapal.

Orang-orang di atas kapal sama berteriak-teriak. Pek Cu-cay dan Ting Put-si lantas memburu ke haluan kapal, melihat Su-popo melayang tiba, berbareng kedua orang menjulurkan tangan hendak menangkapnya.

“Enyah kau!” bentak Pek Cu-cay sambil memukulkan sebelah tangan kepada Ting Put-si.

Mestinya Ting Put-si hendak menangkis, tak terduga si wanita she Bwe mendadak mendorongnya dari belakang, tanpa ampun lagi ia lantas kecebur ke dalam laut.

Pada saat itu juga Pek Cu-cay sudah dapat menangkap badan Su-popo. Namun melayang datangnya itu membawa tenaga dorongan Ciok Boh-thian yang mahakuat, Cu-cay tidak dapat berdiri tegak, ia terhuyung-huyung ke belakang dan jatuh terduduk dengan masih tetap memeluk Su-popo sekencang-kencangnya.

Dalam pada itu Ciok Boh-thian sambil memondong A Siu dengan pinjam daya luncur papan juga sudah mendekati kapal, sekali lompat ia sudah berada kembali di atas kapal.

Untung juga Ting Put-si mahir berenang sehingga tidak sampai mati tenggelam. Segera kelasi-kelasi kapal melemparkan tambang ke bawah untuk mengereknya naik ke atas. Di sebelah sana orang ribut membicarakan kejadian-kejadian yang mendadak itu, di sebelah sini dengan basah kuyup Ting Put-si sedang memandangi si wanita berkerudung she Bwe dengan kesima, tiba-tiba ia berseru, “Kau... kau bukan adik perempuannya, tapi kau adalah dia, adalah dia sendiri!”

Wanita itu tertawa dingin dan menjawab, “Hm, asal kau tahu saja. Sungguh besar amat nyalimu, di hadapanku kau masih berani memeluk Su Siau-jui?”

Ketika mendadak ia menyingkap kerudungnya, maka tertampaklah mukanya yang penuh keriput dan amat pucat, mungkin lantaran terlalu lama diberi kurudung dan tidak pernah terkena cahaya matahari.

“O, Bun-sing, ternyata memang betul adalah kau,” kata Ting Put-si dengan terharu. “Mengapa kau mem... membohongi aku bahwa kau sudah meninggal dunia?”

Kiranya wanita berkerudung muka itu bernama Bwe Bun-sing, bekas kekasih Ting Put-si di masa mudanya. Namun Ting Put-si tergila-gila kepada Su Siau-jui dan meninggalkan dia, tak terduga sesudah beberapa puluh tahun kemudian bisa berjumpa pula.

Sekonyong-konyong tangan kiri Bwe Bun-sing menyambar ke depan, seketika telinga Ting Put-si kena dijewer olehnya, jeritnya melengking, “Kurang ajar! Jadi kau berharap-harap agar aku lekas mati saja supaya kau bisa bebas dan senang, ya?”

Karena merasa berdosa, Ting Put-si tidak berani melawan, jawabnya dengan meringis kesakitan, “E-e-eh, lekas lepas tangan! Kan malu dilihat para kesatria itu!?”

“Biarkan kau tahu rasa!” sahut Bun-sing dengan menjewer semakin keras. “Di manakah Hong-koh, hayo kembalikan dia!”

“Lekas, lekas lepaskan tanganmu!” seru Ting Put-si.

“Liong-tocu mengatakan dia tinggal di Koh-chau-nia di lereng Him-ni-san, marilah sekarang juga kita pergi mencarinya.”

“Ya, marilah kita pergi mencarinya, jika tidak ketemu biar kujewer putus kedua kupingmu!” omel Bwe Bun-sing.

Di tengah ribut-ribut itu kapal pun sudah menepi. Ciok Jing dan istrinya, Pek Ban-kiam dan orang-orang Swat-san-pay sama menyambut kedatangan mereka dengan girang. Hanya Seng Cu-hak, Ce Cu-le, dan Nio Cu-cin bertiga yang merasa kecewa, tapi terpaksa mereka harus mengucapkan selamat juga atas pulangnya ciangbunjin.

“Ayah, seperti sudah dinyatakan oleh ibu, hari ini adalah Cia-gwe Je-pek (bulan satu tanggal , karena ayah belum kelihatan pulang, pada waktu anak sedikit lena, kesempatan itu lantas digunakan oleh ibu dan A Siu untuk terjun ke laut. Tapi syukurlah akhirnya mereka telah dapat diselamatkan, coba kalau ayah datang terlambat sedikit saja tentu takkan berjumpa lagi dengan ibu untuk selamanya,” demikian tutur Pek Ban-kiam.

“Apa katamu? Kau bilang hari ini adalah Cia-gwe Je-pek?” Cu-cay menegas.

“Benar, hari ini memang Je-pek,” sahut Ban-kiam.

Cu-cay menggaruk-garuk kepala dengan bingung. Ia menggumam sendiri, “Pada Cap-ji-gwe Je-pek (bulan 12 tanggal kami sampai di Liong-bok-to. Kami tinggal lebih 50 hari di sana, mengapa hari ini baru Cia-gwe Je-pek?”

“Aha, agaknya ayah sudah lupa bahwa tahun yang lalu adalah Lun-cap-ji-gwe, bulan panjang, bulan kabisat ke-12,” kata Ban-kiam.

Mendengar itu barulah Pek Cu-cay sadar. Segera ia rangkul Ciok Boh-thian dan berseru, “Hahaha, mengapa tidak kau katakan sejak dulu-dulu, cah? Hahahaha, Lun-cap-ji-gwe ini benar-benar sangat bagus!”

“Apakah Lun-cap-ji-gwe itu?” tanya Boh-thian.

“Lun-cap-ji-gwe artinya dalam setahun ada dua bulan ke-12,” sahut Pek Cu-cay dengan tertawa. “Tapi peduli apa dengan lun segala, asal bini tidak mati sudahlah cukup!”

Maka bergelak tertawalah semua orang.

Waktu Cu-cay menoleh, mendadak ia berseru pula, “He, di manakah tua bangka Ting Put-si itu, mengapa menghilang?”

“Kau peduli apa dengan dia?” semprot Su-popo. “Dia telah dijewer Bwe Bun-sing dan diajak pergi mencari putrinya yang bernama Bwe Hong-koh!”

“Hahhh, kau bilang Bwe Hong-koh?” demikian Ciok Jing Bin Ju menegas berbareng dengan terkejut. “Ke manakah mereka hendak mencarinya?”

“Waktu di atas kapal tadi kudengar wanita she Bwe itu bilang akan mencari putri mereka ke Koh-chau-nia di lereng Him-ni-san,” jawab Su-popo.

“O, Thian, akhirnya dapatlah kami mengetahui jejak orang itu, Engkoh Jing,” kata Bin Ju dengan suara gemetar. “Ma... marilah sekarang juga kita susul ke sana.”

“Baik,” sahut Ciok Jing dan segera mereka berdua mohon diri kepada Pek Cu-cay dan lain-lain.

“Kita sedang ramai-ramai bergembira ria, sedikitnya kita harus merayakannya barang beberapa hari, kalian jangan pergi dulu,” ujar Pek Cu-cay.

“Agaknya Pek-supek tidak tahu bahwa Bwe Hong-koh itu adalah musuh pembunuh anak kami yang telah lama kami cari itu,” tutur Ciok Jing. “Syukurlah sekarang kami telah mengetahui tempat sembunyinya, kami harus lekas-lekas menyusul ke sana. Jika terlambat bukan mustahil dia akan melarikan diri dan sembunyi pula di lain tempat.”

“Kau bilang wanita itu telah membunuh putramu?” Cu-cay menegas. “Hah, kurang ajar! Ya, dia harus dicincang untuk menebus dosanya. Urusanmu adalah urusanku, hayo berangkat, kita semua ikut berangkat. Tentu tua bangka Ting-Put-si dan Bwe Bun-sing itu akan membantu putri mereka, kalian juga harus membawa bala bantuan supaya dapat menuntut balas.”

Karena dapat bertemu dan kumpul kembali dengan Su-popo dan A Siu sesudah mengalami macam-macam rintangan, maka perasaannya menjadi amat gembira. Dalam keadaan demikian apa pun yang orang minta padanya tentu akan diluluskan olehnya. Maka tanpa diminta juga secara sukarela dia menyatakan ingin membantu Ciok Jing.

Mengingat Bwe Hong-koh tentu akan dibela oleh Ting Put-si, sakit hatinya memang sukar dibalas, maka Ciok Jing dan Bin Ju merasa kebetulan juga jika Pek Cu-cay suka membantunya. Segera mereka mengucapkan terima kasih.

Ketua Siang-jing-koan sebenarnya belum tiba karena rombongan mereka berada di kapal yang lain, namun Ciok Jing dan istrinya buru-buru ingin menuntut balas, maka tanpa menunggu lagi segera mereka berangkat lebih dulu. Ciok Boh-thian dengan sendirinya juga ikut bersama mereka.

Sepanjang jalan tiada mengalami aral rintangan, akhirnya sampailah mereka di lereng Him-ni-san. Pegunungan itu seluas beberapa ratus li sehingga sukar dicari di manakah letak Koh-chau-nia, bukit rumput kering.

Sampai beberapa hari lamanya mereka mencari kian-kemari di lereng-gunung itu, lama-lama Pek Cu-cay menjadi kesal, ia mengomeli Ciok Jing, “Ciok-laute, kalian Hian-soh-siang-kiam kan bukan kaum keroco biarpun bukan tandinganku, masakah putranya sendiri juga tidak mampu menjaga sehingga kena dibunuh oleh bangsat perempuan itu? Ada permusuhan apakah antara bangsat wanita itu dengan kau, sampai-sampai anakmu juga dibunuh olehnya?”

“Ai, urusan ini mungkin sudah suratan nasib sehingga sukar diterangkan,” sahut Ciok Jing sambil menghela napas.

“Engkoh Jing, jangan-jangan kau seng... sengaja menyesatkan kita supaya tidak menemukan dia untuk membalas sakit hati Anak Kian?” tiba-tiba Bin Ju berkata dengan air mata berlinang-linang.

“Aneh, mengapa suamimu sengaja menyesatkan kita supaya tidak menemukan musuh kalian?” Cu-cay menegas dengan heran. Tapi ia lantas berseru, “Ah, tahulah aku! He, Ciok-laute, tentunya bangsat wanita itu sangat cantik dan dahulu pernah... pernah main gila dengan kau, betul tidak?”

Ciok Jing menjadi kemalu-maluan, sahutnya, “Pek-supek suka berkelakar ini!”

“Tapi tentu begitulah halnya,” kata Cu-cay pula sambil menatap Ciok Jing. “Tentu disebabkan bangsat wanita itu cemburu padamu, maka sengaja membunuh putra dari perkawinanmu dengan Bin-lihiap.”

Jika mengenai urusannya sendiri Pek Cu-cay suka angin-anginan dan linglung, tapi kalau mengulas urusan orang lain ternyata sangat jitu, sekali tebak lantas kena.

Maka Ciok Jing menjadi bungkam. Namun Bin Ju lantas menyela, “Pek-supek, bukanlah Engkoh Jing mempunyai hubungan gelap dengan dia, tapi... tapi perempuan she Bwe itulah yang rindu sepihak dan tergila-gila kepada Engkoh Jing, dari cinta timbul cemburu dan menjadi dendam pula, akhirnya putra kami menjadi korban keganasannya.”

“Hehhh!” pada saat itulah mendadak Ciok Boh-thian berteriak heran. Lalu katanya, “Aneh, mengapa... mengapa kita bisa sampai di sini?”

Habis berkata ia terus angkat kaki dan berlari-lari ke atas bukit yang berada di sebelah kiri sana.

Kiranya mendadak dia merasa pemandangan di sekitar bukit situ sudah sangat hafal baginya, ternyata bukan lain adalah tempat kediamannya sejak kecil. Cuma dahulu dia turun dari balik bukit sebelah sana, maka dia tidak bisa lantas mengenal keadaan bukit itu.

Dengan ginkangnya yang mahahebat sekarang, dalam sekejap saja ia sudah sampai di atas bukit itu. Sesudah memutar ke sebelah hutan sana, sampailah dia di depan sebuah rumah gubuk. Segera terdengar suara anjing menyalak, seekor anjing kuning telah berlari keluar dari rumah gubuk itu terus menubruk padanya.

Cepat Boh-thian merangkul anjing itu sambil berteriak girang, “Kuning, si Kuning! Kiranya kau sudah pulang lebih dulu! Di manakah ibuku? He, ibu, ibu!”

Maka tertampaklah dari dalam rumah gubuk itu muncul tiga orang. Seorang yang berdiri di tengah itu berwajah sangat buruk dan aneh, siapa lagi dia kalau bukan ibunya Ciok Boh-thian. Sedangkan kedua orang yang berdiri di kanan-kirinya adalah Ting Put-si serta Bwe Bun-sing.

“Ibu!” sapa Boh-thian dengan girang sambil mendekatinya dengan memondong si Kuning.

“Ke mana perginya kau, sampai sekarang baru pulang?” semprot wanita jelek itu.

Baru saja Boh-thian hendak menjawab, sekonyong-konyong suara Bin Ju telah menyela di belakangnya, “Bwe Hong-koh, biarpun kau menyamar dan ganti rupa juga takkan dapat mengelabui mataku! Sekalipun kau lari sampai di ujung langit juga akan... akan....”

Boh-thian terperanjat, cepat ia berpaling dan berseru, “He, Ciok-hujin, ke... kelirulah kau! Dia adalah ibuku dan bukan musuh pembunuh putramu itu.”

Ciok Jing dan Bin Ju juga terperanjat sekali demi mendengar Ciok Boh-thian mengatakan wanita jelek itu adalah ibunya, “Wanita ini benar-benar ibumu?” Ciok Jing menegas.

“Ya,” sahut Boh-thian tegas, “Sejak kecil aku hidup bersama ibu. Mendadak pada hari itu ibu telah hilang, aku lantas pergi mencarinya bersama si Kuning, tapi akhirnya aku kesasar dan si Kuning juga hilang. Coba lihat, bukankah si Kuning itu berada di sini!”

Segera ia angkat anjing kuning itu ke atas dengan gembira.

Namun Ciok Jing lantas berkata kepada wanita bermuka jelek itu, “Hong-koh, jika kau sendiri juga punya anak, mengapa dahulu kau tega membunuh putraku?”

Wanita bermuka jelek itu memang betul Bwe Hong-koh adanya. Dia tertawa-tawa dingin. Sebelum menjawab, tiba-tiba Boh-thian menyela, “Ibu, apakah betul putranya Ciok-cengcu dan Ciok-hujin telah... telah kau bunuh? Apa... apa sih sebabnya?”

“Hm, aku suka membunuh siapa segera kubunuh, peduli sebab apa segala?” jawab Hong-koh dengan mendengus.

Perlahan-lahan Bin Ju lantas melolos pedang, katanya kepada sang suami, “Engkoh Jing, aku tidak ingin mempersulit dirimu, silakan kau berdiri di samping saja. Jika aku tidak mampu membunuh dia, hendaklah kau pun tidak perlu membantu padaku.”

Ciok Jing mengerut kening, ia merasa serbasusah dan runyam.

“Ting-losi,” tiba-tiba Pek Cu-cay menimbrung, “biarlah kita bicara di muka dulu. Jika kalian suami-istri diam-diam menonton saja di samping, maka kita semua pun akan menonton saja. Tapi kalau kalian akan membantu putri mestikamu itu, maka biarlah kalian mengetahui bahwa kedatangan kami ke sini ini tidak cuma untuk melancong saja.”

Melihat jumlah pihak lawan sangat banyak, mendadak Ting Put-si mendapat akal, jawabnya, “Baik, kita boleh berjanji untuk tidak saling membantu. Biarlah kedua pihak sama-sama terdiri dari satu lelaki dan satu perempuan untuk menentukan kalah atau menang. Di pihak kalian adalah suami-istri Ciok-cengcu, di sebelah sini biar mereka ibu dan anak yang maju.”

Sudah beberapa kali ia bergebrak dengar Ciok Boh-thian, ia tahu ilmu silat pemuda ini jauh lebih tinggi daripada Ciok Jing berdua, dengan bantuan Ciok Boh-thian pastilah Bwe Hong-koh akan dapat mengalahkan lawannya.

Bin Ju memandang sekejap kepada Boh-thian, tanyanya, “Adik cilik, apakah kau tidak mengizinkan aku menuntut balas?”

“Ciok-hujin, aku... aku....” kata Boh-thian dengan tergagap-gagap. Mendadak ia berlutut dan menjura kepada nyonya Ciok sambil berkata, “Biarlah aku meminta maaf padamu, hendaklah kau jangan mencelakai ibuku.”

“Berdiri, Kau-cap-ceng! Siapa yang suruh kau mintakan ampun kepada perempuan hina itu?” bentak Bwe Hong-koh dengan bengis.

Mendadak hati Bin Ju tergerak. Ia tanya, “Mengapa kau memanggil demikian kepadanya? Kan dia adalah putra kandungmu? Jangan-jangan... jangan-jangan....” Ia menoleh kepada sang suami dan berkata, “Engkoh Jing, adik cilik ini mirip benar dengan anak Giok, jangan-jangan dia adalah putramu dari hubungan gelap dengan Bwe-siocia?”

Dasarnya dia memang ramah tamah dan halus budi, walaupun menghadapi perkara besar demikian bicaranya tetap sopan santun.

Maka cepat Ciok Jing menjawab, “Tidak, tidak! Mana bisa terjadi demikian?”

Namun Pek Cu-cay sudah lantas terbahak-bahak, katanya, “Hahaha, kau tidak perlu mungkir lagi. Sudah tentu dia adalah putra haram kalian berdua ini, kalau tidak masakah ada seorang ibu tega menyebut putranya sendiri sebagai ‘Kau-cap-ceng’? Rupanya Nona Bwe ini teramat benci padamu!”

Mendadak Bin Ju menaruh pedangnya ke atas tanah, lalu berkata, “Baiklah, silakan kalian bertiga berkumpul kembali. Aku... aku akan pergi saja.”

Habis berkata ia terus putar tubuh hendak berangkat.

Cepat Ciok Jing menarik tangannya, serunya cemas, “Adik Ju, jika kau juga menyangsikan diriku, biarlah kubunuh dulu perempuan hina ini untuk membuktikan kemurnian hatiku.”

“Tapi... tapi anak ini memang sangat mirip dengan anak Giok, bahkan juga sangat mirip engkau,” sahut Bin Ju dengan suara lembut.

Tanpa bicara lagi pedang Ciok Jing terus menusuk ke arah Bwe Hong-koh. Tak tersangka Bwe Hong-koh itu sama sekali tidak berkelit, bahkan membusungkan dada menerima ajal.

Tampaknya tusukan itu segera akan menembus dadanya, mendadak jari Ciok Boh-thian menyelentik, “cring”, pedang Ciok Jing tergetar patah menjadi dua.

“Bagus, Ciok Jing, kau sengaja hendak membunuh aku, ya?” tanya Bwe Hong-koh dengan tersenyum pedih.

“Benar, Hong-koh,” kata Ciok Jing tegas. “Biarlah kukatakan sekali lagi secara blakblakan bahwa di dunia ini hatiku hanya terisi Bin Ju seorang. Selama hidupku ini tiada pernah mempunyai perempuan yang kedua. Jika kau suka padaku, itu berarti pula kau membikin susah diriku. Ucapanku ini sudah kukatakan pada 22 tahun yang lalu, hari ini tetap demikian ucapanku.”

Sampai di sini mendadak suaranya berubah menjadi ramah, katanya, “Hong-koh, putramu sendiri pun sudah begini besarnya. Adik cilik ini adalah seorang baik, seorang jujur, ilmu silatnya tiada bandingannya, dalam waktu beberapa tahun namanya tentu akan mengguncangkan Kangouw dan menjagoi Bu-lim. Sebenarnya siapakah ayahnya, mengapa tidak kau terangkan padanya?”

“Ya, ibu, sebenarnya siapakah ayahku?” segera Boh-thian menyela. “Aku she apa? Ka... katakanlah padaku. Mengapa engkau selalu memanggil aku sebagai ‘Kau-cap-ceng’?”

“Siapakah ayahmu, di dunia ini hanya akulah yang tahu,” sahut Hong-koh dengan tersenyum pilu. Lalu ia berpaling kepada Ciok Jing, “Ya, sudah lama aku pun tahu bahwa di dalam hatimu hanya terdapat Bin Ju seorang. Maka dari itu dahulu aku telah merusak wajahku sendiri.”

“Kau... kau merusak wajah sendiri, buat apa sih?” Ciok Jing menggumam haru.

“Buat apa? Buat apa? Wajahku dahulu dengan wajah Bin Ju sebenarnya siapa lebih cantik?” tanya Bwe Hong-koh.

Untuk sejenak Ciok Jing menjadi ragu-ragu sambil memegangi tangan sang istri, akhirnya ia menjawab, “Pada 20 tahun yang lalu engkau adalah wanita cantik yang termasyhur di dunia persilatan. Meski wajah istriku tidaklah jelek, tapi tak dapat menandingi kau.”

Bwe Hong-koh tersenyum dan mendengus satu kali.

Sebaliknya Ting Put-si lantas berteriak, “Itu dia, dasar kau Ciok Jing ini memang anak bergajul, sudah tahu wajah Hong-koh kami sangat cantik dan jarang ada bandingannya, mengapa kau tidak suka padanya?”

Ciok Jing tidak menjawab, ia pegang tangan Bin Ju dengan lebih kencang seakan-akan khawatir sang istri menjadi marah dan hendak tinggal pergi lagi.

“Lalu tentang ilmu silatku dahulu kalau dibandingkan Bin Ju siapa yang lebih tinggi?” tanya Hong-koh pula.

“Bwe-hoa-kun keluargamu ditambah dengan macam-macam ilmu silat aneh dari keluarga Ting sudah tentu kepandaian istriku yang belum sempurna waktu itu tak dapat menandingi engkau,” sahut Ciok Jing.

“Dan tentang ilmu kesusastraan siapa lagi yang lebih pandai?” tanya Hong-koh lagi.

“Engkau pandai mengarang dan mahir bersyair, kami suami-istri mana dapat menandingi kau,” sahut Ciok Jing.

Diam-diam Boh-thian sangat heran. Jika sang ibu sedemikian serbapandai, mengapa sedikit pun tidak pernah mengajarkan padanya?

Dalam pada itu dengan tertawa dingin Bwe Hong-koh telah berkata, “Jika begitu, mungkin pekerjaan tangan dan kepandaian di dapur adik Bin ini lebih mahir daripada diriku.”

“Tidak, memegang jarum saja istriku tak bisa, menggoreng telur saja dia juga tidak mahir, mana dia dapat menandingi keterampilanmu,” sahut Ciok Jing sambil menggeleng.

“Habis apa sebabnya bila bertemu dengan aku sedikit pun kau tidak memperlihatkan sikap yang ramah, sebaliknya jika berada bersama Bin-sumoaymu lantas banyak omong banyak tertawa? Sebab apa... sebab apa...?” sampai di sini suara Hong-koh sampai gemetar.

“Aku sendiri pun tidak tahu, Nona Bwe,” sahut Ciok Jing perlahan. “Segala apa engkau melebihi Bin-sumoay, bahkan melebihi aku. Bila berada bersama kau aku merasa rendah dan merasa tidak sesuai mempersunting dikau.”

Untuk sekian lamanya Bwe Hong-koh termangu-mangu, mendadak ia menjerit terus berlari ke dalam rumah gubuk. Cepat Bwe Bun-sing dan Ting Put-si menyusul ke dalam.

“Engkoh Jing,” kata Bin Ju sambil menggelendot di tubuh sang suami. “Nona Bwe seorang yang bernasib malang, biar dia sudah membunuh anakku, namun aku masih lebih bahagia daripada dia. Aku tahu di dalam hatimu selalu hanya terisi diriku seorang. Marilah kita pergi saja, sakit hati ini tak perlu dibalas lagi.”

“Kita tidak menuntut balas?” Ciok Jing menegas.

“Ya, sekalipun kita membunuh dia juga Anak Kian tak dapat hidup kembali,” kata Bin Ju.

Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar teriakan Ting Put-si, “Anak Hong, mengapa kau membunuh diri? Biar kulabrak keparat she Ciok itu!”

Ciok Jing dan lain-lain sama terkejut. Tertampaklah Bwe Bun-sing berjalan keluar dengan memondong tubuh Bwe Hong-koh. Lengan baju kiri Hong-koh tampak tersingsing tinggi sehingga kelihatan kulit badannya yang putih halus. Di atas lengan terdapat setitik andeng-andeng merah. Itulah “siu-kiong-seh” (merah cecak) pertanda masih perawan (menurut cerita kuno, cecak diberi makan obat-obat tertentu sehingga sekujur badan berubah menjadi merah, diambil darahnya dan dicocokkan di atas badan anak gadis dan jadilah setitik andeng-andeng merah. Jika hilang kesucian perawannya, lenyap pula andeng-andeng merah itu).

“Ini bukti Hong-koh masih suci bersih, sampai sekarang masih tetap perawan, dengan sendirinya Kau-cap-ceng ini bukanlah anaknya,” demikian Bwe Bun-sing berteriak.

Serentak sorot mata semua orang beralih ke arah Ciok Boh-thian, pikir mereka, “Ya, jika Bwe Hong-koh masih perawan suci, dengan sendirinya bukan ibu pemuda ini. Lalu siapakah ibunya dan siapa pula ayahnya? Mengapa Bwe Hong-koh mau mengaku sebagai ibunya?”

Ciok Jing dan Bin Ju sama berpikir, “Jangan-jangan mayat Anak Kian yang dikirim kepada kami oleh Hong-koh itu bukanlah Anak Kian yang sesungguhnya, tapi adalah mayat anak orang lain, sebaliknya Anak Kian telah dibesarkan oleh Hong-koh dan jadilah pemuda ini? Kalau tidak, buat apa Hong-koh memanggilnya sebagai ‘Kau-cap-ceng’, apalagi mukanya juga sangat mirip sekali dengan anak Giok?”

Ciok Boh-thian sendiri pun merasa bingung dan penuh pertanyaan, “Siapakah ayahku? Siapakah ibuku? Siapa pula diriku sendiri?”

Tapi karena Bwe Hong-koh sudah mati membunuh diri, dengan sendirinya pertanyaan-pertanyaan itu tiada seorang pun dapat memberi jawaban. Hanya para pembaca yang cerdik kami yakin telah dapat menduga dan memberi jawaban yang tepat.....

TAMAT

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

1 komentar

  1. Cerita yang sangat bagus. Terimakasih Chin Yung