Jilid 10
Tapi sayang, segala macam
senjata orang perempuan ternyata tidak mempan terhadap orang semacam Yang
Cu-kang. Lui-ji juga tahu bicaranya sia-sia belaka, maka akhirnya dia cuma
melotot doang dengan hati gemas.
"Baiklah, anggaplah aku
tak dapat mengungguli pembicaraanmu," kata Lui-ji akhirnya dengan tertawa,
"Jika kau jadi perempuan, tentu kaupun seorang perempuan bawel dan barang
siapa berhadapan dengan perempuan bawel, anggaplah dirinya sedang sial!"
Tiba-tiba Pwe-giok tertawa dan
berkata, "Eh, Yang-heng menunggu di sini sekian lama. Apakah tujuanmu
untuk bertengkar mulut dengan dia?"
Yang Cu-kang jadi melengak dan
tidak dapat menjawab untuk sekian lamanya, mendadak iapun tertawa dan berkata,
"Anjing yang menggigit orang biasanya tidak menggonggong, pameo ini
ternyata benar. Tampaknya selanjutnya harus kupandang Ji-heng dengan cara
lain."
Pwe-giok hanya tertawa saja
tanpa menjawab.
Terpaksa Yang Cu-kang berhenti
tertawa dan berucap dengan sungguh-sungguh. "Cayhe sengaja menunggu di
sini berhubung ku tahu Ji-heng adalah seorang Kuncu sejati."
"Ah, tidak berani,"
jawab Pwe-giok.
"Selama hidupku paling
benci kepada Kuncu palsu, manusia munafik," kata Yang Cu-kang pula.
"Tapi Kuncu sejati seperti Ji-heng ini, Cayhe tetap sangat kagum dan
hormat."
"Ah, tidak berani,"
ucap Pwe-giok pula.
"Lebih-lebih orang jujur
dan berpendirian teguh seperti Ji-heng, penuh rasa tanggung jawab dan sanggup
menderita..."
Lui-ji tidak tahan, ia
menyela, "Sesungguhnya apa keperluanmu, ingin bicara lekas bicara, ingin
kentut lekas kentut, tiada gunanya kau menyanjung puji belaka. Sebab cara
bagaimanapun kau jilat dia, jawabannya tetap kedua kata itu saja, yakni tidak
berani."
Yang Cu-kang terkekeh, katanya
lagi, "Cayhe hanya ingin minta petunjuk satu hal kepada Ji-heng, Kuncu
sejati seperti Ji-heng tentunya takkan berdusta padaku."
Benar juga seperti apa yang
dikatakan Lui-ji, dengan tersenyum Pwe-giok tetap menjawab, "Ah, tidak
berani!"
"Begini," ucap Yang
Cu-kang. "Cayhe hanya ingin tanya satu hal saja, sesungguhnya siapakah
yang membunuh Tong-Bu-siang itu? Apakah Tong-toakohnio yang membunuhnya? Untuk
apa dia membunuhnya? Apakah karena dia sudah mengetahui ayahnya itu barang
palsu? Darimana pula dia tahu akan hal ini?"
Pwe-giok termenung sejenak,
tiba-tiba ia berkata, "Soal ini bukan lagi satu hal, tapi meliputi lima
hal."
Mencorong sinar mata Yang
Cu-kang, katanya dengan melotot, "Baiklah, boleh dianggap Cayhe minta
petunjuk lima hal kepadamu."
Dengan perlahan Pwe-giok
menjawab, "Karena Yang-heng sudi bertanya, dengan sendirinya Cayhe tidak
berani memberi keterangan bohong. Hanya saja..."
"Hanya saja apa?"
tukas Yang Cu-kang.
Mendadak Pwe-giok tutup mulut
dan tidak bicara lagi.
Lui-ji bertepuk tangan dan
berkata dengan tertawa, "Hihi, masakah kau tidak paham maksudnya? Dia
tidak boleh membohongi kau, tapi juga boleh tutup mulut tanpa bicara. Baru
sekarang ku tahu cara inilah cara yang paling baik untuk menghadapi perempuan
bawel."
Mendadak Yang Cu-kang
berbangkit dan bertanya dengan suara bengis, "Jadi kau tidak mau
bicara?!"
Serentak Lui-ji juga melompat
bangun dan menjawab dengan mendelik, "Memangnya mau apa jika tidak
bicara?"
Kelam air muka Yang Cu-kang,
Lui-ji menyangka orang pasti akan turun tangan menyerangnya, mau-tak-mau tegang
juga hatinya. Sebab ia menyadari apabila orang mulai turun tangan maka
serangannya pasti maha dahsyat.
Tak terduga Yang Cu-kang
lantas tertawa malah, katanya, "Ya sudahlah! Kalau Ji-heng tidak mau
bicara, anggaplah aku tidak pernah bertanya."
Lui-ji jadi melengak sendiri,
tanyanya, "He, kenapa kau jadi sungkan?"
"Sebab sesungguhnya aku
ingin bersahabat dengan Ji-heng," jawab Yang Cu-kang. "Apabila
Ji-heng sudi mampir ke tempat tinggalku untuk minum barang satu-dua cawan, maka
hatiku akan sangat bergembira."
"Ke tempat tinggalmu? Kau
punya rumah?" tanya Lui-ji dengan terkejut.
"Setiap orang harus punya
rumah, masa aku dikecualikan?" jawab Yang Cu-kang dengan tertawa.
"Betul, tikus pun punya
liang, apalagi kau," ujar Lui-ji. "Eh, dimanakah letak liang
tikusmu?"
"Kediamanku terletak
tidak jauh dari sini," jawab Yang Cu-kang. "Biniku juga dapat
membuatkan dua-tiga macam santapan yang dapat sekedar untuk teman minum
arak."
Kembali Lui-ji terkejut, ia
menegas, "Hah, binimu? Kaupun punya bini?"
"Jika ada tikus jantan,
tentunya perlu tikus betina, kalau tidak darimana datangnya tikus anakan?"
ujar Yang Cu-kang dengan tertawa.
Lui-ji menghela nafas, katanya
kemudian, "Ai, sebenarnya permainan apa yang sedang kau lakukan? Sampai
akupun merasa bingung. Tapi aku pun benar-benar ingin tahu macam apakah binimu
itu, ternyata sudi diperistri oleh makhluk semacam kau ini."
"Entah Ji-heng sudi
mampir atau tidak?" tanya Yang Cu-kang.
Ji Pwe-giok tertawa, belum
lagi dia bersuara, Lui-ji telah mendahului, "Kuyakin dia juga ingin
melihat binimu itu, betul tidak?"
"Haha, bagus," seru
Yang Cu-kang sambil bertepuk tangan. "Bila nona sudah omong begini,
mau-tak-mau Ji-heng harus pergi."
Padahal Pwe-giok memang benar
ingin pergi juga, sebab kini diketahuinya Yang Cu-kang ini bukan saja
misterius, bahkan ajaib, bukan saja menakutkan, tapi juga sangat menarik.
Diundang orang macam begini mungkin sukar ditolak oleh siapapun juga.
Rumah Yang Cu-kang memang
betul terletak tidak jauh dari situ, setiba di sana fajar belum lagi
menyingsing. Terlihat di kaki gunung sana ada tiga atau lima buah rumah gubuk,
asap dapur kelihatan sudah mengepul keluar atap rumah.
"Wah, tampaknya binimu
sangat rajin," ujar Lui-ji sambil berkedip-kedip. "Sedini ini dia
sudah bangun dan menanak nasi."
"Hal ini dilakukannya
karena dia tahu bakal kedatangan tamu agung, maka perlu persiapan lebih
dulu," jawab Yang Cu-kang.
"Oo? Sebelumnya dia sudah
tahu akan kedatangan kami?" tanya Lui-ji heran.
"Betul," jawab Yang
Cu-kang dengan tertawa. "Terus terang apabila kalian tidak kubawa pulang
sekarang, pintu rumah itu tidak nanti akan terbuka lagi untukku."
Lui-ji bertambah bingung,
tanyanya, "He, sebab apa dia mengharuskan kau bawa pulang kami? Memangnya
dia kenal kami?"
Sekali ini Yang Cu-kang hanya
tertawa saja tanpa menjawab, tampaknya urusan menjadi semakin misterius.
"He, kutanya padamu,
mengapa tidak kau jawab?" kata Lui-ji pula.
"Sikapku ini kubelajar
dari Ji-heng," ujar Yang Cu-kang. "Ini namanya kulak kontan jual
tunai."
Dengan gemas Lui-ji berkata,
"Baik, sudahlah jika kau tidak mau bicara, toh sebentar juga akan
kuketahui."
Pagar bambu di luar rumah
gubuk itu penuh dirambati akar-akaran, pintu pagar setengah terbuka, kebun di
depan rumah penuh bunga seruni yang sedang mekar sehingga menambah keindahan suasana
subuh.
Yang Cu-kang menyilakan
tetamunya masuk ke rumah dengan mengulum senyum, sikapnya benar-benar seorang
tuan rumah yang simpatik, tapi sesungguhnya apa yang sedang dirancangnya
hanyalah Thian yang tahu.
Tepat di tengah ruangan rumah
ada sebuah meja sembahyang, yang dipuja adalah lukisan Tho-wan-sam-kiat-gi,
atau tiga bersaudara angkat di jaman Tho, yaitu gambar Lau Pi, Kwang Kong dan
Thio Hui. Di sebelahnya adalah gambar Kwan-im-posat. Di depan tempat pemujaan
ada sebuah meja besar.
Pajangan rumah ini adalah
model rumah petani asli. Dipandang dari depan, diamati dari samping, Lui-ji
merasa tidak melihat sesuatu yang luar biasa, tapi justeru karena tiada sesuatu
yang luar biasa, hatinya juga semakin heran.
Apapun juga Yang Cu-kang tidak
mirip petani atau orang yang mau tinggal di rumah gubuk begini.
Di atas meja besar itu
benarlah sudah disiapkan beberapa mangkuk santapan, ada mangkuk besar atau
mangkuk kecil, semuanya masih mengepulkan asap, jelas baru saja selesai diolah.
Di samping ada satu kuali nasi liwet dan satu guci arak.
Lui-ji tidak sungkan-sungkan
lagi, tanpa disuruh ia terus berduduk dan makan.
Setelah berjuang semalam
suntuk, dia memang sudah lapar. Sambil makan sembari berkata dengan tertawa,
"Hah, seni masak binimu memang boleh juga. Sungguh besar rejekimu berhasil
mendapatkan seorang bini yang pandai masak."
"Ah, beberapa macam
masakan udik ini mungkin tidak cocok dengan selera kalian," ujar Yang
Cu-kang dengan tertawa senang.
"Dan dimanakah Enso
(sebutan kepada isteri kawan)? Mengapa tidak kau undang keluar untuk
bertemu?" tanya Pwe-giok.
"Sebentar, mungkin dia
lagi sibuk di dapur," ujar Yang Cu-kang.
"Sudah sebanyak ini
santapan yang disediakan, apalagi Enso hendak menambahinya lagi, wah hati kami
menjadi tidak enak," kata Pwe-giok.
"Untuk tamu agung dengan
sendirinya dia bekerja gia," tukas Yang Cu-kang.
"Wah, apakah kalian ingin
membikin perut kami meledak? Sudahlah, lekas mengundang Enso keluar saja!"
pinta Pwe-giok dengan tertawa.
"Baik, baik," Yang
Cu-kang juga tertawa. "Jika demikian terpaksa ku turut perintah dengan
hormat."
Apabila ada orang lain
menyaksikan keadaan ini serta mendengar percakapan mereka, tentu akan disangka
sepasang suami-isteri desa ini sedang meladeni sanak famili kaya dari kota.
Mimpi pun takkan tersangka
oleh siapa pun bahwa apa yang diucapkan ketiga orang ini adalah basa-basi yang
sangat umum, tapi yang terpikir oleh mereka justeru hal-hal yang sangat rumit
dan misterius.
Dengan sendirinya lebih-lebih
tak terpikir oleh siapapun bahwa ketiga orang yang sedang duduk makan dan omong
iseng ini, yang seorang mengemban tugas berat keluarga yang mengalami musibah,
putera keluarga ternama dunia persilatan yang telah banyak menimbulkan
huru-hara. Seorang lagi adalah tokoh ajaib yang tindak-tanduknya sangat aneh,
sebentar baik, lain saat jahat, tapi memiliki ilmu maha sakti. Sedangkan orang
ketiga adalah puteri mendiang Siau-hun-kiongcu yang termasyhur dan disegani.
Apabila benar ada orang
melihat mereka sekarang dan mengetahui asal-usul mereka yang sesungguhnya, bisa
jadi siapapun akan ketakutan dan segera angkat langkah seribu, biarpun dibunuh
juga tak berani lagi kembali ke sini.
Begitulah terdengar Yang
Cu-kang lagi berseru dengan tertawa, "Ya, menantu buruk rupa akhirnya toh
harus menghadap mertua. Bolehlah kau keluar saja sekarang!"
Benarlah, di dapur lantas
terdengar seorang perempuan menjawab dengan suara merdu, "Setelah
Pak-lay-cah (goreng jerohan) ini selesai kubuat, segera ku keluar!"
Seketika Lui-ji melengong,
ucapnya, "He, suara siapa itu? Rasanya seperti sudah apal."
"Sudah tentu apal, masa
tak dapat kau kenal suaranya?" ujar Yang Cu-kang tertawa.
Pwe-giok juga merasa heran.
Pada saat itulah, tirai bambu
tersingkap dan muncul seorang nyonya muda berbaju hijau dengan membawa satu
piring Pak-lay-cah yang masih hangat.
Melihat nyonya ini, Pwe-giok
dan Lui-ji benar-benar melengong.
Isteri Yang Cu-kang ternyata
tak-lain tak bukan ialah Thi-hoa-nio.
Sungguh mimpi pun tak terpikir
oleh siapapun. Seumpama saat itu dari dapur mendadak muncul siluman yang
berkepala tiga dan berenam tangan takkan membuat mereka lebih kaget daripada
sekarang.
Mulut Lui-ji sampai melongo
seakan-akan sukar terkatup kembali. Karena terlalu lebar mulutnya melongo
sehingga sepotong Ang-sio-bak yang baru saja dimasukkan ke mulut itu hampir
jatuh keluar.
Dengan muka merah Thi-hoa-nio
berucap, "Masakanku kurang enak, hendaknya jangan kalian tertawai."
"Ah, janganlah... enso
merasa sungkan," kata Pwe-giok.
Betapapun sabarnya, kini iapun
harus melongo dan tergagap, sebutan "enso" itu harus diucapkannya
dengan sepenuh tenaga.
Muka Thi-hoa-nio bertambah
merah, katanya, "Pak-lay-cah ini harus dimakan selagi hangat-hangat,
hendaknya Ji-kongcu jangan sungkan."
"Ya, ya, aku tidak
sungkan," kata Pwe-giok.
Sungguh ia tidak tahu apa yang
dapat dikatakannya lagi, terpaksa mulutnya diisi saja dengan Pak-lay-cah.
Apapun juga Pwe-giok dapat
menahan perasaannya, tapi Lui-ji tidak sanggup bertahan lagi, mendadak ia
melonjak bangun dan berseru, "Jadi kau benar-benar telah menikah dengan
dia?"
Thi-hoa-nio menengadah,
ucapnya dengan tersenyum, "Seorang perempuan, lambat atau cepat kan harus
menikah, bukan?"
Cu Lui-ji duduk lagi di
kursinya, ia menggeleng kepada dan berkata, "Sungguh aku tidak paham,
mengapa kau bisa menikah dengan makhluk aneh ini?"
"Kau pandang diriku
sebagai makhluk aneh, tapi tidak aneh bagi pandangannya," ujar Yang
Cu-kang dengan tertawa. "Ini namanya lain ladang lain belalangnya, lain
pandang lain kesimpulannya. Kalau tidak, setiap perempuan di dunia ini kan
serupa nona Cu, hanya Ji-heng saja yang sedap dalam pandanganmu dan lelaki lain
tiada satupun yang cocok. Wah, bisa runyam kaum lelaki."
Mendadak ia angkat guci arak
dan bergumam, "Eh, entah betapa rasa guci arak ini dan entah siapa yang
beruntung dapat mencicipinya."
Lui-ji menarik nafas panjang,
"Tidak perlu kau pancing diriku, karena sudah kalah dengan sendirinya akan
kutelan guci arak ini. Hanya menelan guci arak sekecil ini apa artinya? Bagiku
rasanya lebih mudah daripada makan sayur."
"Ha, jika benar kau
sanggup barulah benar-benar ku kagum padamu," ujar Yang Cu-kang dengan
tertawa.
"Baik, boleh kau lihat
saja nanti," kata Lui-ji.
Dia benar-benar mengangkat
guci arak itu.
Seketika mata Yang Cu-kang
terbelalak, ia tahu bahwa segala sesuatu dapat diperbuat oleh anak dara ini,
bisa jadi dia benar-benar akan menelan guci arak itu, maka dia ingin tahu
dengan cara bagaimana guci itu akan ditelannya.
Dilihatnya Cu Lui-ji
mengangkat guci itu ke atas, lalu dipandang dari kiri dan diamati dari kanan,
mendadak ia menggoyang kepala dan berucap, "Ah, tidak, tidak benar."
"Apanya yang tidak
benar?" tanya Yang Cu-kang.
"Guci arak yang kukatakan
tadi bukanlah guci ini, hendaknya kau pergi ke kelenteng tadi dan mengambilkan
guci yang berada di sana," kata Lui-ji.
Saking geli, akhirnya Yang
Cu-kang bergelak tertawa.
"Apa yang kau tertawakan?
Pergilah ambil! Sudah lama ingin kucicipi rasanya guci arak, sungguh aku tidak
sabar menunggu lagi!" seru Lui-ji.
"Nona berkata demikian,
tentunya kau kira ku malas pergi ke sana," kata Yang Cu-kang dengan
perlahan. "Padahal jarak ke kelenteng itu tidak terlalu jauh dari sini,
apa halangannya kalau ku pergi lagi ke sana."
Sembari bicara ia lantas
berdiri sungguh-sungguh.
"Hm, kalau mau pergi
lekaslah pergi, aku tidak sempat menunggu terlalu lama di sini," jengek
Lui-ji.
Thi-hoa-nio tertawa, katanya,
"Jika benar dia pergi mengambil guci arak itu, biar kubantu kau makan
setengahnya."
"Huh, jika mau makan
harus kumakan satu guci bulat, kalau cuma setengah saja belum cukup kenyang
bagiku," ujar Lui-ji.
"Wah, apapun juga nona
memang tidak mau mengaku kalah," ujar Yang Cu-kang.
"Kenapa aku harus mengaku
kalah?" jawab Lui-ji dengan ngotot.
Yang Cu-kang tergelak,
ucapnya, "Tapi jangan kau kuatir, jika benar ku pergi ambil guci itu tentu
akan merusak suasana gembira ini. Mana berani ku bikin marah si cantik dan
mengharuskan nona menelan guci arak sungguhan."
"Nah, kau sendiri yang
tidak mau pergi mengambilnya dan bukanlah aku yang tidak berani makan
gucinya," kata Lui-ji.
"Ya, ya, jangankan cuma
sebuah guci arak, biarpun selusin juga kupercaya akan dilalap habis oleh
nona," seru Cu-kang dengan tertawa.
Tanpa terasa Cu Lui-ji tertawa
geli, ucapnya, "Ya, memang betul. Tampaknya kau cepat belajar menjadi
pintar."
Pada saat itulah,
sekonyong-konyong dari kejauhan ada suara ringkik kuda. Meski suaranya masih
sangat jauh, tapi terdengar sangat jelas pada waktu subuh di daerah pegunungan
yang sunyi ini.
Lui-ji berkerut kening,
ucapnya, "Jangan-jangan kalian kedatangan tamu pula."
"Ya, tampaknya memang
begitu," sahut Cu-kang.
"Siapakah yang
datang?" tertarik juga Lui-ji.
Yang Cu-kang tersenyum,
tanyanya, "Menurut pendapat nona, siapakah kiranya yang datang itu?"
"Tentunya tidak lain
daripada begundalmu itulah," jengek Lui-ji.
Mendadak Yang Cu-kang
menggebrak meja, serunya dengan bergelak tertawa, "Hahaha, sedikitpun
tidak salah, tampaknya nona cepat belajar menjadi pintar."
Terdengar suara derapan kaki
kuda semakin dekat, benar juga arahnya menuju ke rumah gubuk ini, bahkan derap
kaki kuda itu sangat kerap, agaknya yang datang ini berjumlah tidak sedikit.
Air muka Lui-ji rada pucat,
berulang ia mengedipi Pwe-giok, namun anak muda itu tetap mengulum senyum saja,
seolah-olah tidak mendengar apapun.
Mendadak Yang Cu-kang
menggebrak meja pula dan berkata, "Ji Pwe-giok, wahai Ji Pwe-giok, sekujur
badanmu sungguh nyali belaka, sampai aku mau-tak-mau harus kagum padamu."
"Ah, tidak berani,"
sahut Pwe-giok dengan tersenyum.
"Kalau nyalimu tidak
besar, mana kau berani ikut aku ke sini?"
"Pemandangan di sini
sangat indah, Enso juga pandai masak, masa aku tidak ikut ke sini?" kata
Pwe-giok.
Dengan sinar mata mencorong
Yang Cu-kang menatap anak muda itu, katanya, "Masakah tidak kau kuatirkan
kemungkinan ku pancing kau ke sarang harimau?"
"Ku tahu Anda bukanlah
manusia licik demikian," ujar Pwe-giok dengan tertawa.
"Tahu orangnya, kenal
mukanya, tapi tidak tahu hatinya, janganlah Ji-heng menganggap diriku ini orang
baik."
"Apabila Anda bermaksud
membikin celaka diriku, tentu tidak perlu menunggu sampai sekarang, lebih-lebih
tidak perlu banyak membuang tenaga percuma."
Sejenak Yang Cu-kang melototi
Pwe-giok, tiba-tiba ia menengadah dan terbahak-bahak, ucapnya, "Hahaha!
Ji-heng menggunakan hati Kuncu untuk menilai perut Siaujin (orang
kecil/rendah), mungkin kau akan menyesal kelak."
Terus menerus dia memaki dan
menjelekkan dirinya sendiri, tapi Pwe-giok berbalik memberi penjelasan baginya.
Lui-ji menjadi serba salah dan bingung, ia tidak tahu mengapa Pwe-giok
sedemikian mempercayai orang ini.
Sejak mula Lui-ji merasakan
orang she Yang ini tidak dapat dipercaya, tapi seumpama sekarang mau pergi pun
tidak keburu lagi, sebab ketika suara tertawa Yang Cu-kang telah berhenti,
tahu-tahu suara derapan kaki kuda yang ramai tadi pun berhenti di depan gubuk.
Segera terdengar seorang
berseru, "Sepada?!"
"Jelas kau tahu di dalam
sini ada orang, untuk apalagi bertanya?" jawab Yang Cu-kang.
"Setiba di tempat
kediaman Yang-kongcu mana kami berani sembarangan masuk ke situ," kata
orang di luar dengan mengiring tawa.
"Kau sudah cukup sopan,
lekaslah masuk kemari," kata Yang Cu-kang sambil berkerut kening.
Maka terdengarlah suara
langkah orang, sejenak kemudian tertampaklah tiga orang melangkah masuk ke
dalam gubuk.
Dua orang diantaranya masing-masing
membawa sebuah peti, ukuran peti cukup besar, tampaknya tidak ringan bobotnya.
Tapi kedua orang itu dapat mengangkatnya dengan enteng, sedikitpun tidak nampak
memakan tenaga.
Orang ketiga bermuka putih,
tidak jelek, malahan selalu tertawa, bajunya sangat serasi dengan potongan
badannya, golok yang tergantung di pinggangnya tampaknya bukan sembarangan
golok, sekujur badannya boleh dikatakan cukup sedap dipandang orang, tapi entah
mengapa Yang Cu-kang justeru merasa tidak cocok dengan orang demikian.
Lui-ji merasa orang ini sudah
dikenalnya, seperti pernah dilihatnya entah dimana, tapi Pwe-giok lantas
memberitahukan bahwa tempo hari orang inipun berada di Li-toh-tin dan
menyaksikan Ji Hong-hong main catur bersama Tong Bu-siang itu. Malahan kemudian
ketika Ji Hong-ho mengunjungi Hong-samsiansing di loteng kecil itu, rasanya
orang inipun ikut serta.
Begitu masuk segera orang ini
memandang sekejap Ji Pwe-giok dan Cu Lui-ji, seketika sikapnya rada berubah.
Pwe-giok diam saja dan
berlagak tidak mengenalnya.
"Barang yang ku hendaki
apakah sudah dibawa kemari?" tanya Yang Cu-kang.
Kedua orang yang membawa peti
itu menjawab, "Ya, berada di dalam peti ini."
"Tentunya tidak keliru,
bukan?" Cu-kang menegas.
"Barang pesanan Kongcu
mana bisa keliru?" ujar kedua orang itu dengan tertawa sambil melirik
Pwe-giok, tampaknya merekapun rada sirik padanya.
Mendadak Yang Cu-kang berseru,
"He, kiranya kalian saling kenal?"
Si muka putih bergolok tadi
terkejut, cepat ia berkata dengan tertawa, "O, ti... tidak kenal."
"Jika tidak kenal,
biarlah kuperkenalkan kalian," kata Cu-kang dengan tertawa. Lalu ia tuding
kedua orang yang menggotong peti itu dan menjelaskan, "Kedua orang ini
yang satu bernama Pi-san-to (golok pembelah gunung) Song Kang dan yang lain
bernama Pah-hou-kun (jago pukul harimau) Tio Kiang. Konon mereka adalah tokoh
terkemuka di sekitar utara Kangsoh."
Tio Kiang dan Song Kang
tertawa dan mengucapkan kata-kata rendah hati.
Yang Cu-kang lantas menyambung
lagi sambil mendengus, "Padahal, huh, golok pembelah gunungnya itu tidak
lebih banyak golok pembelah kayu, dan si jago pukul harimau itu, hahaha...
bukan saja harimau tak terpukul mati, bahkan kucing saja tak dapat dipukulnya
mati."
Keruan muka Tio Kiang dan Song
Kang sebentar merah sebentar pucat, mereka tidak berani marah, mau tertawa juga
tidak bisa, jadinya cuma menyengir.
Melihat keadaan mereka yang
serba salah itu, Lui-ji merasa kasihan kepada mereka.
Lalu Yang Cu-kang menuding
lagi si muka putih dan berkata, "Dan kungfu saudara ini jauh lebih tinggi
daripada kedua orang tadi, dia bernama Giok-bin-sin-to (si golok sakti bermuka
kemala) Co Cu-eng. Golok yang tergantung di pinggangnya itu meski tak dapat
memotong besi dan merajang baja seperti memotong sayur, tapi sedikitnya
berharga beberapa tahil perak untuk beli arak. Beberapa jurus permainan
goloknya juga cukup menarik untuk ditonton."
Tak tertahan tersembul juga
senyuman bangga Co Cu-eng, dengan tertawa ia berkata, "Ah, Kongcu terlalu
memuji."
Yang Cu-kang tidak
menghiraukannya, ia menyambung pula, "Cuma orang ini lebih tepat diberi
nama "macan ketawa" atau "Siau-li-cong-to" (di balik
senyuman tersembunyi pisau), perutnya penuh berisi air kotor, dia inilah model
orang munafik yang dimulut menyebut sayang, tapi sekaligus juga menikam."
Co Cu-eng masih juga tertawa,
cuma tertawa yang lebih tepat disebut menyengir.
"O, kagum," demikian
Pwe-giok memberi hormat.
"Kau tidak perlu sungkan
terhadap mereka," kata Cu-kang pula. "Ketiga orang ini adalah
begundal Ji Hong-ho, jika ada kesempatan setiap saat jiwamu diincar mereka,
tidak nanti mereka sungkan padamu."
Tiba-tiba Lui-ji menyeletuk,
"Ah, kalian datang dari jauh, jangan-jangan menghendaki jiwa kami?"
Co Cu-eng tertawa terkekeh,
katanya. "Untuk ini harus melihat bagaimana kehendak Yang-kongcu, sebab
kamipun termasuk begundal Yang-kongcu."
Serentak Lui-ji berdiri sambil
melototi Yang Cu-kang.
Namun dengan tenang Yang
Cu-kang berkata, "Siapa di antara kalian yang mengincar jiwa siapa,
semuanya aku tidak ambil pusing, terserah kepada kalian siapa yang lebih
tangguh." Mendadak ia berkata kepada Co Cu-eng dengan tertawa,
"Santapan sudah ku sediakan di atas meja, apakah kalian perlu menunggu ku
tuangkan ke dalam mulut kalian?"
Seketika semangat Co Cu-eng
terbangkit, mata Tio Kiang dan Song Kang juga terbeliak.
"Bagus, kiranya kau
pancing kami ke sini dan menganggap kami sebagai santapan lezat?" teriak
Lui-ji dengan gusar.
Yang Cu-kang menghela nafas,
katanya, "Kan sudah kukatakan padamu bahwa aku ini cuma seorang Siaujin,
siapa suruh dia mengukur diriku sebagai Kuncu. Dia sendiri yang mau masuk
perangkap, masakah menyalahkan orang lain?"
Pwe-giok tertawa hambar,
katanya, "Cayhe tidak pernah menyalahkan orang lain."
Segera Co Cu-eng memberi
isyarat kepada Tio Kiang dan Song Kang, lalu berkata, "Jika demikian, kami
akan..."
Mendadak Thi-hoa-nio
berteriak, "Aku tidak perduli apa kehendak kalian, yang pasti santapan
yang kubuat dengan susah payah ini tidak boleh disia-siakan, seumpama kalian
harus mengadu jiwa, sedikitnya harus tunggu dulu setelah mencicipi masakanku
ini."
"Dan nona ini siapa
lagi?" tanya Co Cu-eng dengan ketus.
"Ini bukan nona, tapi
nyonya isteriku," kata Cu-kang.
Co Cu-eng melengak, cepat ia
memuji dengan tertawa, "Wah, pantas masakan ini enak dipandang dan sedap
dimakan, kiranya adalah hasil karya nyonya."
"Belum kau makan,
darimana kau tahu rasanya masakan ini?" ujar Thi-hoa-nio.
"Biarlah kami
menyelesaikan urusan pokok dulu, habis itu barulah kami menikmati masakan enak
nyonya," kata Co Cu-eng dengan tertawa.
"Wah, akan terlambat
nanti, sebab masakan ini harus dimakan selagi panas," kata Thi-hoa-nio.
"Apalagi jika diantara kalian berlima ada dua yang mati, mungkin masakan
ini takkan habis termakan, kan sayang?"
Yang Cu-kang menghela nafas
pula, katanya, "Masakan lezat yang sudah disiapkan oleh orang perempuan,
kalau tidak ada yang makan, rasanya sakit seperti mukanya tertampar. Maka
kupikir kalian perlu makan lebih dulu."
"Betul, kenyang makan
barulah bertenaga, kalau mati juga tidak perlu menjadi setan kelaparan,"
tukas Thi-hoa-nio dengan tertawa.
Dengan simpatik ia
mengambilkan tiga pasang sumpit dan dibagikan kepada Co Cu-eng bertiga.
Kalau tangan sudah memegang
sumpit, dengan sendirinya tak dapat lagi memegang senjata.
Padahal setelah menempuh
perjalanan jauh, Song Kang dan Tio Kiang memang juga sudah lapar. Mula-mula
mereka merasa sungkan, tapi setelah menyumpit dua-tiga kali, akhirnya makan
mereka jadi bernafsu, kerja sumpit mereka seperti mesin saja cepatnya.
"Cara menyerang kalian
kalau bisa secepat sumpit kalian ini, maka Ji-heng pasti akan celakalah
nanti," kata Yang Cu-kang dengan tertawa.
"Plak," mendadak
Thi-hoa-nio menampar Yang Cu-kang dengan perlahan, omelnya dengan tertawa,
"Cis, coba kau lihat, sedikitpun kau tidak pantas menjadi tuan rumah, kan
seharusnya kau bujuk para tamu makan lebih banyak."
"Plok," Yang Cu-kang
juga membalas menamparnya perlahan serta menjawab dengan tertawa,
"Isteriku sayang, jangan kuatir, sebelum masakanmu ini dimakan habis,
siapapun dilarang turun tangan."
Di hadapan sekian orang, kedua
suami isteri ini ternyata bersenda gurau dengan mesranya. Melihat kedua orang
ini sedemikian mesra dan penuh kasih sayang, diam-diam Lui-ji merasa heran dan
dongkol pula.
Semula dia mengira sebabnya
Thi-hoa-nio memaksa Co Cu-eng bertiga makan dulu pastilah mempunyai maksud
tujuan tertentu, bisa jadi ingin membantu dirinya dan Pwe-giok, bahkan mungkin
sekali di dalam santapan itu sudah diberinya racun untuk mematikan Co Cu-eng
bertiga. Tapi sekarang tampaknya tidak demikian adanya.
Thi-hoa-nio benar-benar
seperti pengantin baru yang mulai belajar masuk dapur dan buru-buru ingin
memperlihatkan kemahirannya memasak, di dalam makanan ternyata tiada racun
sedikitpun.
Tampaknya Yang Cu-kang sudah
mengambil keputusan akan menjual Ji Pwe-giok kepada Ji Hong-ho, cuma dia
sendiri malas turun tangan. Meski Lui-ji tidak gentar menghadapi Co Cu-eng
bertiga, tapi kalau mereka tidak mampu mengatasi Pwe-giok, akhirnya Yang
Cu-kang juga akan turun tangan dan Pwe-giok tetap sukar lolos dari cengkeraman
mereka.
Makin dipikir makin kuatir
Lui-ji, dengan sendirinya dia tidak bernafsu makan, sungguh ia ingin mendepak
meja makan itu supaya jungkir balik, kalau bisa lari akan terus lari, kalau
tidak bisa lari harus turun tangan lebih dulu.
Tapi Pwe-giok kelihatan makan
dengan nikmatnya, bahkan ia sibuk menyumpit Pak-lay-cah yang masih hangat itu
dan dikunyah dengan perlahan.
Lui-ji sangat mendongkol, ia
tidak tahan, katanya, "Apakah selama hidupmu tidak pernah makan
Pak-lay?"
Lebih dulu Pwe-giok menelan
makanan yang memenuhi mulutnya itu dan didorongnya dengan seceguk arak, lalu
memejamkan mata dan menghela nafas lega, kemudian menjawab dengan tersenyum,
"Pak-lay-cah selezat ini, selanjutnya mungkin sulit untuk mencicipinya
lagi, kesempatan terakhir ini mana boleh dilewatkan secara sia-sia?"
Hampir saja Lui-ji berteriak,
tapi bila terpikir setelah mengalami perjuangan mati-matian, akhirnya Pwe-giok
tetap juga akan jatuh ke dalam cengkeraman Ji Hong-ho, tanpa terasa hatinya
menjadi pedih.
Pwe-giok menyumpit secuil daging
itik ke mangkuk Lui-ji, katanya, "Itik cah sayur Kay-lan ini adalah
masakan terkenal daerah Sujwan, meski tidak selezat bebek panggang Peking yang
termasyhur itu, tapi mempunyai cita rasa tersendiri, kau perlu
mencicipinya."
Lui-ji memandang sekejap,
tanpa omong apa-apa ia makan daging bebek itu.
Melihat Pwe-giok dan Lui-ji
juga makan dengan nikmatnya, Thi-hoa-nio berucap dengan tertawa, "Bebek
ini memang tidak selezat bebek panggang Peking, tapi cukup untuk meledakkan
perut orang yang makan terlalu bernafsu."
Saat itu Tio Kiang dan Song
Kang memang sudah penuh mengisi perut mereka, mendengar ucapan Thi-hoa-nio itu,
mereka menjadi melengak dan curiga.
Benarlah, ketika mereka
mengerahkan tenaga dalam, terasa perut seperti ditusuk jarum, sakit dan perih.
Mereka tahu gelagat jelek, segera Tio Kiang meraung, "Keparat orang she
Yang, sampai hati kau kerjai kawan sendiri dan mengkhianati perintah
Bengcu?!"
Co Cu-eng lebih cerdik, sejak
tadi dia belum sempat makan, demi melihat keadaan kedua rekannya itu, serentak
ia mendahului angkat langkah seribu.
Akan tetapi baru saja tubuhnya
melayang keluar gubuk, mendadak Yang Cu-kang membentak, "Lari
kemana!" Berbareng kedua tangannya bekerja dengan cepat, belum lagi Tio
Kiang dan Song Kang sempat melakukan perlawanan, tahu-tahu mereka tercengkeram
seperti anak ayam dicengkeram elang, sekali lempar kedua orang itu disambitkan
ke arah lari Co Cu-eng.
Sungguh dahsyat luar biasa
daya lempar kedua sosok tubuh itu, baru saja Co Cu-eng sempat melompat keluar
halaman, dua sosok tubuh kawan sendiri sudah menumbuk punggungnya, dia menjerit
ngeri dan roboh terkapar. Song Kang dan Tio Kiang juga terbanting dan tak bisa
bergerak lagi.
Rupanya pada waktu
mencengkeram mereka, sekaligus Yang Cu-kang telah meremas Hiat-to maut mereka
sehingga binasa seketika.
Selesai membereskan ketiga
orang itu, Yang Cu-kang tepuk-tepuk tangannya, lalu berduduk kembali, katanya,
"Aku ini memang orang busuk, jangan Ji Hong-ho harap akan dapat memperalat
diriku."
Lui-ji tertawa, katanya,
"Kau ini sungguh orang aneh. Kalau orang lain sedapatnya ingin orang lain
memujinya sebagai orang baik, hanya kau saja yang justeru lebih suka dimaki
orang sebagai telur busuk, makin sering dimaki orang makin senang kau."
"Aku ini memang telur
busuk, biarpun setiap orang bilang aku ini baik, memangnya aku dapat berubah
menjadi telur baik?" ujar Yang Cu-kang.
Dengan tertawa Thi-hoa-nio
ikut berkata, "Sejak kecil dia sudah biasa dimaki orang, kalau tiga hari
tidak dimaki, tentu tulangnya akan terasa gatal dan pegal, lantaran inilah aku
mau menjadi isterinya, sebab aku paling suka memaki orang dan sekarang setiap
hari aku dapat memaki dia secara gratis."
Lui-ji tertawa, "Wah,
tampaknya kau mendapatkan suami yang tepat, dapat memaki lakimu setiap hari dan
lakimu pasti tidak balas memaki, sungguh besar rejekimu dapat memperoleh laki
semacam ini."
"Eh, kalau nona merasa
iri, kenapa tidak menikah sekalian denganku," ujar Yang Cu-kang dengan
tertawa.
"Tapi sayang kau sudah
berbini, kalau tidak tentu aku..."
"Tambah bini tambah
rejeki, semakin banyak bini semakin baik," seru Yang Cu-kang sambil
terbahak.
"Akan tetapi sayang, aku
ini tidak suka memaki orang," kata Lui-ji.
"O, kiranya nona juga
serupa diriku, lebih suka dimaki orang," tanya Yang Cu-kang.
"Wah, baru saja kukatakan
kau ini seorang Kuncu, sekarang penyakitmu sudah kumat lagi?" omel Lui-ji.
"Aku memang bukan seorang
Kuncu, siapa bilang aku ini seorang Kuncu?" jawab Cu-kang dengan serius.
"Apabila aku ini seorang Kuncu, sekarang kuterima upah dari Ji Hong-ho,
seharusnya aku setia kepada perintahnya dan bekerja baginya. Tapi aku justeru
terima upah dari dia tapi bekerja bagi orang lain, apakah ini perbuatan seorang
Kuncu?"
"Jika demikian, bilamana
kami kau bunuh barulah kau terhitung seorang Kuncu?" tanya Lui-ji.
"Juga belum tentu,"
ujar Yang Cu-kang. "Cuma sedikitnya perlu ku tutuk Hiat-to kalian, ku
masukkan kalian ke dalam peti, lalu ku antarkan ke tempat Ji Hong-ho."
Bicara tentang peti, tanpa
terasa pandangan Lui-ji jadi tertarik kepada kedua peti yang dibawa datang oleh
Tio Kiang dan Song Kang tadi. Kedua peti itu berukuran cukup besar dan memang
dapat memuat satu orang.
"Eh, apakah isi kedua
peti itu?" tanya Lui-ji.
"Kedua peti adalah kado
Ji Hong-ho yang minta ku antarkan kepada Pek-hoa-pangcu Kun-hujin," tutur
Cu-kang.
"Kado? Kado apa?"
tanya Lui-ji pula.
"Apa salahnya jika nona
menerkanya?"
"Aku bukan Khong Beng,
mana dapat kuterka isi kedua peti ini?"
"Isi peti itu sudah lama
dilihat oleh nona..."
Tiba-tiba Pwe-giok menimbrung
dengan tertawa, "Eh, bagaimana kalau Cayhe ikut menebak teka-teki
ini?"
"Boleh saja," sahut
Yang Cu-kang.
"Isi peti itu adalah
manusia."
"Oo?!" Yang Cu-kang
bersuara singkat.
"Bahkan terdiri dari
seorang lelaki dan seorang perempuan."
"Oo?!" Yang Cu-kang
bersuara pula.
"Mereka adalah Kwe
Pian-sian dan Ciong Cing," demikian Pwe-giok menambahkan.
Gemerdep sinar mata Yang
Cu-kang, ia tatap Pwe-giok lekat-lekat, selang sejenak barulah ia menghela
nafas panjang, ucapnya, "Pantaslah Ji Hong-ho bertekad harus melenyapkan
dirimu, bilamana aku mempunyai musuh cerdik pandai semacam kau, mungkin akupun
tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur."
"O, jadi isi peti memang
betul orang she Kwe itu?" tanya Lui-ji.
"Ya, sedikitpun tidak
salah," sahut Cu-kang. "Tempo hari, ketika timbul kebakaran di
Li-toh-tin, akhirnya mereka jatuh pingsan di tengah lautan api, untung mereka
diselamatkan lalu diisi ke dalam peti seperti babi panggang."
Sembari mendengarkan cerita
Yang Cu-kang itu, segera Lui-ji mendekati peti dan bermaksud membukanya. Tapi
sekali berkelebat, tahu-tahu Yang Cu-kang sudah berduduk di atas peti, ucapnya
dengan perlahan, "Peti ini tidak boleh disentuh olehmu, kecuali Kun
Hay-hong sendiri, siapapun tidak boleh membukanya."
"Siapa bilang tidak
boleh?" teriak Lui-ji dengan mendelik.
"Janganlah nona mendelik
padaku, larangan ini bukan kehendakku," kata Yang Cu-kang dengan tertawa.
"Bukan kau, habis
siapa?" tanya Lui-ji.
"Siapa lagi, tentulah
Bu-lim Bengcu sekarang, Ji Hong-ho, Ji-losiansing," jawab Cu-kang.
"Hah... kenapa sekarang
kau tunduk lagi kepada perintahnya?"
"Ehmm!" Yang Cu-kang
hanya mengangguk.
Seketika Lui-ji melonjak
bangun, teriaknya, "Yang Cu-kang, coba jawab, sesungguhnya kau ini kawan
kami atau antek Ji Hong-ho?"
"Adakah faedahnya menjadi
kawan kalian?" tanya Yang Cu-kang acuh tak acuh.
"Sudah tentu banyak
faedahnya, misalnya..." tapi Lui-ji jadi sukar untuk menerangkan.
"Haha, jika nona tak
dapat menerangkan, biarlah ku wakili dirimu sebagai juru bicara," seru
Yang Cu-kang dengan tertawa sambil menekuk jarinya. "Pertama, kalian
sanggup membantu aku makan minum. Faedah kedua, jika aku lagi iseng, boleh ku
pergi kemanapun untuk menolong kalian. Faedah ketiga, haha... pokoknya banyak
sekali faedahnya dan sukar untuk diceritakan satu per satu. Akan tetapi aku
lebih suka tiada satupun mendapatkan faedah itu." "Jadi akhirnya kau
toh mengaku dirimu adalah antek Ji Hong-ho," ujar Lui-ji.
"Seorang baik-baik
seperti diriku menjadi bos besar saja cukup memenuhi syarat, untuk apa aku
menjadi antek orang lain?" jawab Cu-kang dengan tertawa.
"Habis, sesungguhnya apa
maksud tujuanmu?"
"Aku tetap aku, bukan
kawan siapapun, juga tidak menjadi antek siapapun. Apa yang kulakukan tanggung
jawabku sendiri, ingin berbuat apapun boleh kulakukan sesukaku."
"Jadi urusan apapun yang
berfaedah bagimu lantas kau lakukan, begitu?"
"Tepat! Sedikitpun tidak
salah, ucapan nona sungguh kena di dalam hatiku," seru Yang Cu-kang sambil
bergelak.
Lui-ji tidak sanggup berucap
pula saking dongkolnya.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar
suara roda kereta yang berkumandang dari kejauhan.
"Aha, meski aku tidak
punya kawan, tapi tidak sedikit tetamuku," kata Cu-kang dengan tertawa.
Sembari bicara ia terus melayang keluar, sekali mengitar hanya sekejap saja
ketiga sosok mayat di luar sana telah di depak ke tempat gelap, baru lenyap
suaranya dia sudah duduk kembali di tempat semula seperti tidak pernah bergerak
sedikitpun.
"Yang datang ini apakah
juga mengantarkan kado?" jengek Lui-ji, lalu sambungnya, "Tapi
sayang, seperti mak inang yang mengasuh anak, akhirnya anak itu tetap punya
orang."
Dia bicara sambil berdiri di
ambang pintu, kini dapat dilihatnya seorang muncul dengan mendorong sebuah
gerobak beroda satu dari liku jalan pegunungan sana. Di atas gerobak memang
betul termuat dua buah peti, pendorong gerobak itu hanya berlengan satu,
sebelah lengannya sudah buntung. Akan tetapi gerobak itu dapat dikuasainya
dengan stabil, bahkan cukup cepat lajunya.
Mendadak Thi-hoa-nio mengikik
tawa.
"Kenapa kau tertawa
gembira?" tanya Lui-ji dengan mendelik.
"Dia mendapatkan suami
semacam diriku, kalau dia tidak gembira lantas siapa yang akan gembira?"
ujar Yang Cu-kang.
"Hm, kukira terlalu dini
dia bergembira," jengek Lui-ji.
"Aku bukan gembira,
melainkan merasa rasa geli," kata Thi-hoa-nio.
"Apa yang
menggelikan?" tanya Lui-ji.
"Coba lihat," jawab
Thi-hoa-nio sambil mencibir keluar. "Kanglam-tayhiap Ong Uh-lau yang gagah
perkasa dan terhormat kini ternyata telah menjadi tukang gerobak, apakah tidak
lucu dan menggelikan?"
"Perbuatannya ini hanya
sekedar menebus dosa saja," ujar Yang Cu-kang.
"Menebus dosa?"
Thi-hoa-nio menegas.
"Ya, sebab dia suka
membual, tapi seorang anak ingusan seperti Tong Giok saja tak dapat dijaganya,
untuk kesalahannya itu mestinya akan kutabas pula sebelah tangannya," kata
Cu-kang.
Dalam pada itu gerobak dorong
satu roda itu sudah masuk halaman, Ong Uh-lau juga sudah melihat jelas Cu
Lui-ji dan Ji Pwe-giok yang berada di dalam rumah, seketika air mukanya berubah
pucat, tapi cepat pula ia tertawa, katanya, "Aha, tidak tersangka
Ji-kongcu juga berada di sini, selamat bertemu!"
Dengan tertawa genit
Thi-hoa-nio menegur, "Masakah yang kau kenal cuma Ji-kongcu saja dan tidak
kenal lagi padaku?"
Saat itu sebelah kaki Ong
Uh-lau baru melangkah masuk ke dalam rumah, ia memandang sekejap kepada
Thi-hoa-nio, seketika sebelah kakinya itu ditarik kembali keluar, mukanya juga
berubah pucat, serunya dengan parau, "Hah, Khing hoa-samniocu!"
"Hihi, boleh juga daya
ingatmu!" kata Thi-hoa-nio dengan tertawa.
Tanpa terasa Ong Uh-lau
memandang lengan baju sendiri yang kosong melompong itu, lalu berucap sambil
menyeringai, "Kebaikan nona terhadapku, selama hidup tentunya tak dapat
kulupakan, bukan?"
"Aku bukan nona lagi,
tapi nyonya," sahut Thi-hoa-nio.
"Oo, Ji-hujin?" ucap
Ong Uh-lau sambil mengerling ke arah Ji Pwe-giok.
Thi-hoa-nio menggeleng, dan
Yang Cu-kang lantas berkata dengan tertawa, "Bukan Ji-hujin melainkan
Yang-hujin."
Terbelalak mata Ong Uh-lau,
sampai sekian lama ia melenggong, mendadak ia membungkuk tubuh sebagai tanda
hormat dan berkata, "Kionghi, kionghi, selamat, selamat! Yang-Kongcu
menikah, kenapa tidak mengirim kartu undangan padaku? Wah, aku harus disuguh
arak bahagia kalian!"
"Arak bahagia baru saja
habis terminum, yang masih tersisa adalah satu porsi Ang-sio-pay-kut (tulang
iga saus manis), jika sudi, silahkan minum saja satu-dua cawan," kata Yang
Cu-kang, ia sendiri lantas mengambilkan sepasang sumpit dan ditaruh di depan
Ong Uh-lau.
Kalau Thi-hoa-nio yang
mengambilkan sumpit, mungkin matipun Ong Uh-lau tidak berani menggunakannya,
tapi Yang Cu-kang sendiri yang mengambilkan sumpitnya, Ong Uh-lau tidak curiga
sedikitpun, bahkan rada bangga karena dilayani tuan rumah sendiri. Berulang
kali ia mengucapkan terima kasih, katanya sambil tertawa, "Ehm,
Ang-sio-pay-kut adalah kegemaranku, satu macam makanan ini sudah cukup bagiku,
terima kasih. Aku tidak sungkan lagi."
Tadinya Lui-ji kuatir orang
tidak dapat dijebak, siapa tahu tanpa ragu ia terus pegang sumpit dan mulai
makan, diam-diam Lui-ji merasa girang dan juga heran.
Padahal Ong Uh-lau terkenal
licik dan licin, menghadapi keadaan yang lain daripada biasanya ini seharusnya
dia waspada dan berjaga-jaga, tapi sekarang dia sedemikian percaya kepada Yang
Cu-kang, hal ini menandakan hubungan antara Yang Cu-kang dan Ji Hong-ho pasti
lain daripada yang lain, tentunya sebelumnya Ji Hong-ho telah memberi pesan
padanya agar segala urusan harus tunduk kepada perintah Yang Cu-kang.
Ji Hong-ho sendiri juga sangat
licin dan sangat cermat memperhitungkan segala sesuatunya, kalau dia sedemikian
mempercayai Yang Cu-kang, tentu juga ada alasannya. Akan tetapi tindak tanduk
Yang Cu-kang justeru luar biasa, sebentar baik lain saat jahat sehingga sukar
diraba, sekarang bahkan Ong Uh-lau juga akan dibinasakan olehnya, sesungguhnya
apa maksud tujuannya dengan bertindak demikian?
Sesungguhnya ada hubungan apa
antara dia dengan Ji Hong-ho? Dan mengapa Ji Hong-ho sedemikian percaya
padanya?
Sungguh makin dipikir makin
bingung Cu Lui-ji.
Didengarnya Yang Cu-kang lagi
tanya kepada Ong Uh-lau, "Peti yang kau bawa kemari tentunya tidak keliru
bukan?"
"Kongcu jangan kuatir,
Cayhe sudah salah satu kali, masakah berani salah untuk kedua kalinya?"
jawab Ong Uh-lau. Ia menenggak araknya lalu menyambung pula, "Cayhe telah
melaksanakan pesan Kongcu dan menemui Hay-kongcu di tempat yang ditentukan,
lalu Hay-kongcu menyerahkan kedua peti ini kepadaku. Tanpa melihatnya terus
saja Cayhe mengangkutnya kemari."
"Apakah Hay-kongcu tidak
titip surat untukku?" tanya Yang Cu-kang. "Kata Hay kongcu, mendadak
ia melihat jejak seorang yang mencurigakan, maka harus diselidiki hingga jelas,
sebab itulah dalam beberapa hari ini mungkin Kongcu tak dapat bertemu dengan
beliau."
Yang Cu-kang berkerut kening
dan berpikir sejenak, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, "Pekerjaanmu
ternyata dapat kau laksanakan dengan cukup memuaskan, dan sekarang bilamana kau
ingin memberi pesan terakhir apa-apa boleh kau katakan saja padaku."
Ucapan ini membuat Ong Uh-lau
melengak, wajahnya yang berseri-seri tadi seketika lenyap, ia menegas dengan
suara parau, "Pesan terakhir?"
"Ya, setelah kau makan
racun dari Siau-hun-kiong, masa kau kira dapat hidup lebih lama lagi?"
sahut Yang Cu-kang dengan tak acuh.
Tubuh Ong Uh-lau bergetar
hebat, cawan arak yang dipegangnya hampir saja jatuh ke lantai, ucapnya dengan
terputus-putus, "Ah, jangan... janganlah Kongcu bergurau."
"Siapa bergurau dengan
kau?" jengek Yang Cu-kang sambil menarik muka.
Tubuh Ong Uh-lau menggigil dan
muka pucat seperti mayat, mendadak ia mendepak meja sehingga mangkuk piring
berantakan, teriaknya dengan suara parau, "Bengcu menaruh kepercayaan
penuh padamu, tapi kau... kau..." mendadak tenggorokannya seperti
tersumbat, sekonyong-konyong tangannya menghantam ke belakang, mengincar batok kepala
Cu Lui-ji.
Rupanya dia menyadari dirinya
bukan tandingan Yang Cu-kang, maka Lui-ji yang diincarnya. Serangan ini cukup
nekat, tujuannya hanya untuk mencari tumbal saja daripada mati konyol.
Sejak tadi dia melotot dan
menghadapi Yang Cu-kang, orang lain sama sekali tidak menyangka dia akan
menyerang Cu Lui-ji, apalagi serangan cepat dan keji, dapat dibayangkan betapa
bahayanya.
Pengalaman tempur Lui-ji juga
masih cetek, keruan ia terkejut akan serangan itu, tampaknya dia tidak sempat
berkelit. Syukurlah pada detik terakhir Pwe-giok telah melompat maju, sebelah
tangannya juga menghantam sekuatnya ke arah Ong Uh-lau.
Terdengarlah suara
"blang" yang keras, kedua tangan beradu, tubuh Ong Uh-lau tergetar
mencelat, waktu ia jatuh ke bawah, sementara itu racun dalam tubuhnya sudah
bekerja, mukanya kelihatan putih seperti perak laksana orang yang mendadak
berbedak.
Yang Cu-kang memandang
Pwe-giok sekejap, ucapnya dengan tersenyum, "Anda adalah seperti anak
panah yang hampir jatuh, tak tersangka masih menyimpan tenaga dalam sekuat ini,
tampaknya selama ini kami terlalu menilai rendah dirimu."
"Ya, jangan kau pandang
Ji-kongcu ini lemah lembut, padahal tenaga saktinya jarang ada bandingannya di
dunia Kangouw," sambung Thi-hoa-nio dengan tertawa.
Sementara itu Cu Lui-ji sudah
dapat menenangkan diri, cepat ia berkata, "Sesungguhnya apa isi peti yang
diantarnya kemari itu?"
Pertanyaan ini sudah lama
ditahannya di dalam hati, begitu ada kesempatan segera dilontarkannya.
Yang Cu-kang tertawa, katanya,
"Peti ini kalau tidak kubuka dan diperlihatkan padamu, mungkin selamanya
kau akan dendam padaku."
Sembari bicara peti pun sudah
dibuka olehnya.
Ketika melihat isi peti itu,
serentak Lui-ji menjerit kaget dan tidak dapat bicara lagi.
Yang terisi dalam peti
ternyata Ki Leng-hong adanya.
Betapapun sabar dan tenangnya,
tidak urung Pwe-giok juga terkejut.
Tertampak mata Ki Leng-hong
terpejam rapat, mukanya pucat, seperti kepiting saja dia diringkus dan
dimasukkan ke dalam peti, sampai saat ini dia masih dalam keadaan pingsan.
Padahal biasanya nona Ki ini
berkuasa dan suka memerintah, setiap orang di dunia ini seolah-olah dapat
dipermainkan olehnya. Sungguh tak tersangka oleh Pwe-giok bahwa Ki Leng-hong
juga bisa jatuh habis-habisan seperti sekarang ini.
Dengan sinar mata gemerdep
Yang Cu-kang bertanya, "Apakah Ji-kongcu kenal dia?"
Pwe-giok tersenyum getir dan
mengangguk, katanya, "Ya, kenal."
Lui-ji menghela nafas gegetun
dan berkata, "Mestinya dia berjanji dengan kami akan bertemu lagi di
Tong-keh-ceng, aku memang lagi heran mengapa dia tidak muncul, siapa tahu dia
telah berubah menjadi begini."
"Dengan ilmu silatnya
yang tinggi dan kecerdasannya, betapapun Ong Uh-lau pasti bukan tandingannya,
entah mengapa dia..."
Yang Cu-kang memotong sebelum
habis ucapan Pwe-giok itu, "Tidakkah Ji-heng dengar tadi bahwa peti ini
diterima oleh Ong Uh-lau dari seorang Hay-kongcu?"
Biji mata Cu Lui-ji berputar,
serunya, "He, Hay-kongcu? Maksudmu Hay Tong-jing?"
Yang Cu-kang seperti terkejut
dan heran, tanyanya, "Kaupun kenal Hay Tong-jing?"
"Dengan sendirinya
kukenal dia," jawab Lui-ji. "Dan kau sendiri, cara bagaimana bisa
kenal dia?"
"Sejak berumur satu sudah
kukenal dia," tutur Yang Cu-kang dengan tertawa.
Lui-ji melengak, "Sejak
umur satu? Apakah kalian...?"
"Dia adalah Suhengku,"
tukas Yang Cu-kang.
Untuk sejenak Lui-ji
melengong, katanya kemudian dengan tertawa, "Hah, pantas sifat kalian
rada-rasa sama, mata kalian seolah-olah tumbuh di atas kepala, siapapun
diremehkan oleh kalian, kiranya kalian memang berasal dari satu sarang..."
Dia mengikik tawa dan urung
mengucapkan "sarang anjing".
Pwe-giok menghela nafas,
"Ilmu silat Hay-heng pernah kulihat, pantaslah nona Ki bukan tandingannya.
Tapi ada permusuhan apa pula antara kalian dengan nona Ki ini?"
"Tidak ada permusuhan
apapun," jawab Yang Cu-kang. "Hanya saja Ji Hong-ho ingin mengantar
pulang dia ke Sat-jin-cengcu."
"Hm, orang semacam Hay
Tong-jing itu juga sudi menjadi antek Ji Hong-ho?" jengek Lui-ji.
"Jika kami berasal dari
satu sarang, dengan sendirinya kamipun bernafas dari satu lubang," ujar
Yang Cu-kang dengan tertawa.
"Bila kalian toh harus
tunduk kepada perintah Ji Hong-ho, mengapa pula kau bunuh Ong Uh-lau dan
lain-lain ini?" tanya Lui-ji.
"Sebab aku senang,"
sahut Cu-kang dengan tertawa. Baru habis ucapannya, mendadak air mukanya
berubah dan membentak perlahan, "Siapa itu?"
Setelah ucapan Yang Cu-kang
itu selesai barulah Lui-ji mendengar ada suara kesiur angin dari jauh telah
mendekat, hanya sekali melayang saja sudah tiba.
Selagi Lui-ji terkejut oleh ginkang
orang yang maha tinggi ini, "blang" tahu-tahu seorang menerjang masuk
dengan membobol jendela. Siapa lagi dia kalau bukan Hay Tong-jing.
Kejut dan girang Lui-ji,
serunya dengan tertawa, "Hah, baru saja dibicarakan, seketika orangnya
datang, apakah kau..." mendadak ucapannya terhenti, sebab baru sekarang
dilihatnya baju Hay Tong-jing yang hitam itu penuh berlepotan darah, sebaliknya
mukanya pucat pasi.
Yang Cu-kang tidak bicara
apa-apa, ia terus merobek baju orang, terlihat tubuh Hay Tong-jing juga
berlumuran darah, sedikitnya ada belasan tempat luka.
Padahal betapa tinggi ilmu
silat Hay Tong-jing sudah sama diketahui oleh Pwe-giok dan Lui-ji, sekarang dia
juga dilukai orang, sungguh Lui-ji hampir tidak percaya kepada matanya sendiri.
Mau-tak-mau berubah juga air
muka Yang Cu-kang, dengan suara tertahan ia tanya, "Siapa-siapa saja yang
melukaimu?"
Dia tidak bertanya
"siapa", melainkan "siapa-siapa", sebab ia yakin kalau
musuh cuma satu orang saja tidak mungkin mampu melukai Hay Tong-jing.
Kedua tinju Hay Tong-jing
terkepal erat-erat, sambil mengertak gigi ia berkata, "Ialah..."
Meski bibirnya bergerak, tapi
suaranya tak terdengar.
"Siapa? Siapa dia?"
desak Yang Cu-kang.
Bibir Hay Tong-jing tampak
bergerak lagi dua tiga kali, lalu "bluk", ia jatuh terkulai.
Maklumlah lukanya sangat
parah, sebenarnya sejak tadi tidak tahan lagi, hanya setitik tekadnya ingin
hidup itulah, dengan sisa tenaga terakhir dapatlah ia lari ke sini. Kini
setelah bertemu dengan sanak keluarga sendiri, lega perasaannya dan badan juga
tidak tahan lagi.
Cepat Thi-hoa-nio memapahnya
ke atas kursi dan memeriksa lukanya.
Sedangkan Yang Cu-kang hanya
berdiri terpaku di tempatnya, sampai sekian lamanya mendadak ia melotot dan
berteriak, "Tidak peduli siapa saja yang melukai dia, biarpun dia lari ke
ujung langit juga akan kususul ke sana."
"Aku sudah datang, untuk
apa disusul ke sana?!" mendadak seorang menanggapi.
Suaranya sangat dingin, tapi
juga tajam melengking sehingga membuat telinga orang yang mendengarnya merasa
tidak enak.
Umumnya suara orang tentu
bernada entah tinggi entah rendah, entah cepat entah lambat, tapi suara orang
ini kedengaran datar dan hambar saja, monoton begitulah, membuat pendengarnya
merasa kesal dan bosan.
Muka orang ini tidak terlalu
jelek, juga tidak terlalu buas, lebih-lebih tiada sesuatu cacat badaniah. Tapi
entah mengapa, siapapun yang melihatnya akan merasa ngeri dan menggigil.
Alisnya sangat tebal, matanya
sangat besar, bahkan boleh dikatakan cukup ganteng dan cakap, malahan ujung
mulutnya selalu mengulum senyum, sekilas pandang bahkan cukup menarik.
Tapi bila dipandang secara
cermat, sekujur badannya terasa kaku dan dingin, tiada rasa senyuman
sedikitpun. Jadi senyuman itu seolah-olah cuma dibuat-buat belaka, seperti
orang lain yang mengukir pada wajahnya. Sebab itulah senyuman aneh itu tetap
menghiasi mukanya, pada waktu marah tersenyum, pada waktu duka juga tersenyum,
waktu membunuh orang tersenyum, waktu makan juga tersenyum, di dalam kakus
jelas juga tersenyum, bahkan waktu tidur juga tetap tersenyum.
Jadi senyuman yang abadi, tak
berubah selamanya.
Dia memakai baju hitam yang
ketat, sangat pas dengan potongan tubuhnya, memakai ikat pinggang warna merah
darah, pada ikat pinggangnya terselip sebilah golok melengkung, golok sabit.
Bagian gagang golok juga terhias kain sutera merah, tapi batang goloknya
berwarna hitam pekat.
Meski terkejut, segera Yang
Cu-kang dapat menenangkan hatinya, katanya sambil melototi pendatang itu,
"Jadi kau yang melukainya?"
"Betul, Suhengmu dibunuh
oleh Lengkui (setan gaib)," jawab orang itu dengan tersenyum.
"Lengkui? Jadi kau inilah
Lengkui?" Tanya Yang Cu-kang menegas.
"Ya," orang itu
tersenyum.
"Bagus, suruh pembantumu
keluar semua," kata Cu-kang.
"Lengkui membunuh orang
tidak perlu pembantu," ucap orang itu dengan tersenyum.
"Melulu kau sendiri dapat
melukainya?" terkesiap juga Yang Cu-kang.
"Ya, cukup Lengkui
seorang saja."
Keterangan ini membikin semua
orang terkejut pula, bahwa orang ini dapat melukai Hay Tong-jing yang lihay,
betapa tinggi ilmu silatnya jelas sukar diukur.
Dalam keadaan demikian barulah
Lui-ji membuktikan ketenangan Yang Cu-kang juga luar biasa dan sukar dibandingi
siapapun.
"Siapa yang menyuruh kau
ke sini?" tanya Cu-kang pula.
"Lengkui sendiri,"
jawab orang itu.
"Ada permusuhan apa
antara kau dengan kami?"
"Lengkui tidak ada
permusuhan apapun dengan kalian."
Orang itu selalu menyebut
dirinya sebagai "Lengkui" dan tidak pernah menggunakan istilah
"aku".
"Sesungguhnya siapa
kau?" bentak Cu-kang.
Mendadak Lengkui menyebut dua
bait syair kuno yang sama sekali bukan merupakan jawaban atas pertanyaan tadi,
tapi setelah mendengar syair itu, air muka Yang Cu-kang berubah hebat.
"Lengkui melepaskan dia
lari ke sini, tujuannya justeru hendak membunuh kau," kata pula orang yang
mengaku sebagai Lengkui itu.
Habis berkata, mendadak
bayangan tubuhnya berkelebat, entah kapan golok yang terselip pada ikat
pinggangnya sudah terhunus, dan entah cara bagaimana ujung golok juga sudah
mengancam tenggorokan Yang Cu-kang.
Gerakan ini sungguh cepat luar
biasa dan sukar untuk dibayangkan. Tanpa terasa Thi-hoa-nio menjerit kaget.
"Creng," terdengar
suara nyaring berdenging memekak telinga. Entah sejak kapan Yang Cu-kang sudah
memegang dua batang pedang pendek dan tahu-tahu kedua pedang pendek itu
bersilang untuk menangkis tabasan golok sabit Lengkui.
Gerak tangkisan pedangnya juga
cepat luar biasa dan sukar dibayangkan.
Dalam sekejap sinar golok yang
hitam itu laksana gumpalan awan terus memburu ke arah Yang Cu-kang, di tengah
gumpalan awan hitam terkadang juga berkelebat cahaya kilat yang menyerang
Lengkui, meski golok seperti awan hitam dan pedang laksana kilat, namun langkah
kedua orang tidak bergeser, bahkan tidak terdengar lagi suara benturan senjata.
Bagi pandangan orang biasa, pertarungan
kedua orang itu lebih mirip orang yang lagi menari, hakikatnya bukan lagi
bertempur. Tapi Pwe-giok tahu telah terjadi pertarungan sengit, kecuali kedua
orang yang bersangkutan mungkin sukar dibayangkan orang lain betapa hebat
gerakan mereka.
Kini jarak kedua orang itu
tidak ada lima kaki jauhnya, dengan senjata mereka cukup untuk mencapai
sasarannya dan lawan dapat tertusuk tembus, tapi anehnya serang menyerang
mereka justeru tidak mengenai sasarannya.
Yang paling aneh adalah kaki
kedua orang sama-sama tidak menggeser sedikitpun, dari sini terbukti bahwa
setiap serangan kedua pihak sama-sama jitu dan cermatnya, asalkan ketinggalan
sedetik saja segera akan banjir darah dan terkapar.
"Mengapa kedua orang ini
hanya berdiri tanpa bergerak, sungguh sebal," kata Lui-ji tak sabar.
Tapi Pwe-giok sangat prihatin,
ucapnya, "Sebab serangan kedua orang sama-sama secepat kilat, begitu
Lengkui menebas dengan goloknya, kontak Yang Cu-kang balas menusuk dengan
pedangnya, terpaksa Lengkui ganti serangan untuk menyelamatkan diri, menyusul
ia terus menyerang lagi dan terpaksa Yang Cu-kang juga harus bertahan. Sebab
itulah meski keduanya kelihatan serang menyerang, tapi sebenarnya tak dapat
melukai lawan."
Lui-ji terkesiap, "Jika
demikian, asal lengah sedikit saja gerak serangan Yang Cu-kang, tentu dia akan
termakan oleh satu kali tabasan golok."
Pwe-giok memandang luka yang
memenuhi tubuh Hay Tong-jing, katanya, "Mungkin tidak cuma satu
kali."
Melihat luka Hay Tong-jing
itu, dapatlah Lui-ji membayangkan serang menyerang mereka pasti akan berbahaya,
tanpa terasa tangannya berkeringat dingin, ia tercengang sejenak, lalu berucap
pula dengan menarik nafas, "Darimanakah datangnya makhluk aneh ini,
mengapa kungfunya setinggi ini?"
"Ya, baru sekarang juga
ku tahu betapa luasnya dunia kangouw dan orang kosen macam apapun ada,"
ujar Pwe-giok dengan gegetun.
Tiba-tiba Lui-ji mendesis,
"Meski sekarang ku tahu Yang Cu-kang bukan orang baik, tapi jelek2 dia
pernah menolong kita. Bagaimana kalau kita juga membantunya sekarang?"
"Kaupun ingin turun
tangan?" tanya Pwe-giok.
"Makhluk aneh ini meski
berdiri di situ tanpa bergeser, dia hanya memperhatikan golok lawan di depan,
kalau kita mengitar ke belakangnya dan menyerangnya, tentu dia takkan tahu dan
tak berjaga," bisik Lui-ji.
Pwe-giok tidak bersuara, ia
memutar ke belakang Lengkui, dijumputnya sebatang sumpit, dengan cara
menyambitkan anak panah ia timpuk punggung Lengkui. Terdengar suara
"cring" pula, suara nyaring mendenging.
Entah sejak kapan Lengkui dan
Yang Cu-kang sudah bertukar tempat, waktu sumpit yang disambitkan Pwe-giok itu
dicari, ternyata sudah terputus-putus menjadi tujuh potong dan menancap di
tanah seperti paku.
Sama sekali Lui-ji tidak tahu
cara bagaimana sumpit itu bisa tertabas putus.
"Nah, bagaimana?"
tanya Pwe-giok sambil memandang Lui-ji.
Karuan Lui-ji hanya melongo
saja dan tak dapat menjawab.
Di tengah sinar pedang dan
cahaya golok, kelihatan air muka Yang Cu-kang semakin kelam, sebaliknya wajah
si Lengkui tetap mengulum senyum serupa waktu datang tadi, sedikitpun tidak
berubah.
Kini Pwe-giok dapat menilai
bila pertarungan ini berlangsung terus, jelas Yang Cu-kang lebih banyak celaka
daripada selamatnya.
Kalau bicara ilmu silat, kedua
orang kelihatan setali tiga uang alias sama kuatnya. Tapi bila pertarungan
berlangsung lama, betapapun hati Yang Cu-kang kurang mantap.
Betapapun tenangnya Yang
Cu-kang bukan orang tanpa perasaan, bila teringat olehnya Suheng sendiri
terluka parah, ilmu silat isterinya rendah, kalau dirinya kalah, akibatnya
sukarlah dibayangkan.
Dan kalau teringat hal-hal
demikian, tentu saja pikirannya rada terganggu, dan karena ketenangannya
terganggu, cara bertempurnya tentu saja terpengaruh, sedikit lambat saja gerak
serangannya akibatnya tentulah fatal.
Sebaliknya Lengkui tampaknya
cuma sebuah raga yang kosong, seperti cuma sesosok mayat hidup belaka, kalau
dia juga punya perasaan dan bisa gelisah, rasanya tidak ada yang mau percaya.
Mungkin lantaran demikian
inilah, maka Hay Tong-jing dapat dilukai oleh Lengkui.
Mendadak terdengar Yang
Cu-kang menarik nafas panjang, tahu-tahu ia melayang ke atas. Jelas iapun
menyadari bilamana pertarungan ini diteruskan pasti takkan menguntungkan, maka
sekarang ia hendak berganti siasat.
Siapa tahu, baru saja tubuhnya
mengapung ke atas, menyusul Lengkui juga melayang ke atas sehingga kedua orang
kembali saling serang beberapa kali di udara. Setelah turun ke bawah, kedua
orang tetap berhadapan dalam jarak dekat.
Yang Cu-kang ternyata tidak
dapat berbuat apa-apa, maklum golok lawan terlalu cepat, terpaksa ia menangkis
setiap serangan dan pada detik yang masih luang ia balas menyerang, dengan
demikian barulah ia dapat mematahkan serangan musuh, jadi sama sekali tidak ada
peluang lain baginya untuk bergerak.
Kini bukan hanya Yang Cu-kang
sendiri, sampai Lui-ji juga berkeringat saking tegangnya. Thi-hoa-nio juga
pucat dengan badan gemetar.
Pada saat itulah mendadak Ji
Pwe-giok melompat keluar rumah malah.
Meski Lui-ji yakin anak muda
itu bukan seorang pengecut yang mencari selamat sendiri pada saat gawat, tapi
dia lari keluar dalam keadaan demikian, sungguh Lui-ji tidak tahu apa
maksudnya.
Meski pertarungan yang
berlangsung di depan mata ini sangat hebat, namun hatinya sudah melayang ikut
kepergian Ji Pwe-giok, biarpun pedang dan golok kedua orang yang bertempur itu
dapat terbang sendiri juga tidak dihiraukannya lagi.
Syukurlah hanya sekejap
kemudian Pwe-giok sudah lari masuk kembali, kini tangannya sudah bertambah
dengan sebatang pohon kecil yang dicabutnya bersama akar dan berikut daunnya.
Setengah tahun yang lalu,
waktu menghadapi berpuluh tokoh Kun-lun-pay dan Tiam-jong-pay yang mengubernya
masuk ke Sat jin-ceng dulu, dia menggunakan tiang gardu untuk menghalau para
pengeroyok itu. Kini dilihatnya ilmu golok Lengkui yang aneh dan ajaib itu,
tiba-tiba timbul pikirannya akan menggunakan akal "dengan berat
mengalahkan kelincahan". Maka ia lantas berlari keluar dan mencabut
sebatang pohon yang bulatan batangnya sebesar mangkuk.
Walaupun Lui-ji sudah tahu
tenaga Pwe-giok sangat besar, tapi tak terduga dalam keadaan letih begitu ia
masih sanggup mencabut sebatang pohon, seketika ia menjadi melengong.
Sembari berjalan Pwe-giok
terus membersihkan ranting dan daun pohon itu, mendadak ia membentak
keras-keras, batang pohon terus menyerang ke punggung Lengkui.
Meski rumah ini cukup luas,
tapi batang pohon yang diputar itu sedikitnya mencakup tempat seluas beberapa
tombak, maka terdengarlah suara gemuruh, segala isi ruangan telah tersapu
berantakan.
Dari suara angin Lengkui
merasakan datangnya serangan, mendadak golok sabit berkelebat dan menebas ke
belakang, gerakan serangan ini sungguh sangat cepat, tempat yang diarah juga
jitu. Cuma sayang, yang sedang menghantam punggungnya itu bukan lagi sebatang
sumpit melainkan sebatang pohon.
Biarpun tenaga dalam Lengkui
sangat hebat, tapi untuk menabas putus batang pohon dengan golok sabitnya yang
kecil itu terasa rada sulit juga. Maka terdengarlah suara "crat" satu
kali, batang pohon tertabas golok, tapi golok itu terus terjepit oleh batang
pohon.
Hampir pada saat yang sama
pedang pendek Yang Cu-kang juga sudah menusuk, terdengar suara
"crat-cret" susul menyusul, dalam sekejap saja sekujur badan Lengkui
telah tertusuk belasan kali oleh pedang Yang Cu-kang sehingga darah
berhamburan.
Namun wajah Lengkui masih
tetap mengulum senyum, katanya, "Tusukan hebat, serangan bagus! Cuma
sayang, selamanya Lengkui tak dapat mati, siapapun tak dapat membunuh
Lengkui..."
Sembari bicara golok bulan
sabit yang terjepit batang pohon telah dicabutnya, mendadak goloknya membalik,
ia tikam hulu hati sendiri, golok sepanjang tiga kaki lebih itu hampir amblas
seluruhnya hingga sebatas gagang golok, ujung golok tampak menembus ke
punggung.
Air muka Lengkui sedikitpun
tidak memperlihatkan rasa sakit dan menderita, ia tetap tersenyum dan berkata,
"Jika kalian tidak lekas angkat kaki, sebentar Lengkui akan kembali lagi
dan menuntut balas padamu."
Omong kosong ini jelas tak
dipercaya oleh siapapun, tapi melihat Lengkui mendadak membunuh diri,
kematiannya juga sedemikian aneh, mau tak mau hati semua orang merasa ngeri.
Lui-ji menghela nafas lega,
ucapnya, "Orang ini tidak cuma aneh ilmu goloknya, orangnya juga sangat
aneh."
"Ilmu golok aneh ini,
mungkin di dunia Kangouw sekarang tidak ada sepuluh orang yang mampu menangkis
sepuluh jurus serangannya," kata Yang Cu-kang.
"Tapi dia telah kau
bunuh, tokoh Kangouw yang mampu menangkis sepuluh kali seranganmu pasti juga
takkan lebih dari sepuluh orang," ujar Lui-ji.
Yang Cu-kang tersenyum,
katanya, "Ah, masa!"
Tapi Lui-ji lantas menjengek,
"Hm, betapapun tinggi ilmu pedangnya, coba kalau Pwe-giok tidak ikut turun
tangan, mungkin saat ini jiwamu sudah melayang, memangnya apa yang kau
banggakan?"
Yang Cu-kang tidak menjadi
marah, sebaliknya ia bergelak tertawa, "Haha, memang betul, sedikitpun
tidak salah."
Lalu ia berpaling dan berkata
kepada Ji Pwe-giok, "Wahai Ji-heng, waktu pertama kali kulihat kau, kukira
tidak lebih kau ini cuma seorang pemuda bangor saja. Ketika bertemu lagi untuk
kedua kalinya, kesannya memang bertambah baik sedikit, tapi masih kupandang
sepele akan dirimu. Pernah juga kulihat kau bertempur tiga kali, setiap kali
penilaianku kepada kungfumu selalu bertambah. Tapi sesungguhnya betapa tinggi
dan betapa dalam kungfumu, sekarang akupun merasa bingung."
"Ah, Yang-heng terlalu
memuji," jawab Pwe-giok. "Padahal bila Cayhe bergebrak dengan Lengkui
ini, mungkin akupun tidak sanggup menahan sepuluh kali serangannya."
"Apa yang kau katakan
mungkin betul, "kata Cu-kang. "Ilmu silatmu sekarang mungkin belum
luar biasa, tapi tiga tahun lagi, tanggung kepandaianmu pasti tidak di
bawahku."
Lui-ji tertawa, katanya,
"Eh, kenapa kau jadi rendah hati sekarang?"
Dengan sungguh-sungguh Yang
Cu-kang menjawab, "Yang kukatakan ini sama sekali bukan basa-basi, akupun
tidak perlu menjilat pantatnya. Betapa besar kungfu akan dicapai oleh seseorang
sudah ditakdirkan, sudah pembawaan, biarpun berlatih giat juga tidak besar
manfaatnya. Seperti halnya orang main catur atau melukis, perlu juga melihat
bakat orangnya. Kalau tidak berbakat, biarpun berlatih mati-matian, hasilnya
tetap terbatas dan tidak dapat mencapai titik tertinggi, hanya bentuknya saja
berhasil, tapi tak dapat menjiwainya."
Tiba-tiba ia tertawa, lalu
menambahkan, "Tapi walaupun bakatmu sangat bagus, tanpa giat berlatih juga
tidak akan menghasilkan apa-apa."
"Eh, kenapa bicaramu
menjadi banyak, apakah kau tidak kuatir Lengkui akan datang lagi dan menuntut
balas padamu?" kata Lui-ji dengan tertawa.
"Orangnya saja aku tidak
takut, apalagi cuma Kui (setan)?" ujar Cu-kang.
Meski bersenda gurau, tidak
urung sinar mata semua orang sama memandang ke arah Lengkui yang sudah
menggeletak tak bernyawa itu, se-akan2 kuatir orang mati ini mendadak bisa
melompat bangun untuk menuntut balas.
Tapi sekali pandang, wajah
semua orang yang sedang tertawa dan senda gurau itu seketika berubah kejut dan
melongo.
Mayat Lengkui ternyata mulai
membusuk, tulang belulangnya sudah mulai berubah menjadi cairan darah.
Pwe-giok jadi teringat kepada
kejadian dulu atas diri Cia Thian-pi, itu tokoh Tiam-jong-pay yang dipalsukan,
mayatnya waktu itu juga membusuk di bawah hujan lebat, keadaannya serupa benar
dengan mayat Lengkui sekarang, keruan ia terkejut dan curiga.
Kalau Cia Thian-pi gadungan
itu adalah antek Ji Hong-ho, maka Lengkui ini tentu juga begundalnya, kalau
tidak masakah mayat kedua orang bisa membusuk dengan cara yang sama? Jelas
racun yang membikin mayat membusuk itu tersembunyi di sela-sela gigi dan sudah
disiapkan akan digunakan apabila keadaan kepepet, supaya rahasia penyamaran
mereka tidak ketahuan.
Dan kalau Lengkui adalah
begundal Ji Hong-ho, kan juga segolongan dengan Yang Cu-kang, mengapa sekarang
dia datang hendak membunuh Yang Cu-kang, apakah Ji Hong-ho sudah mengetahui
pengkhianatan orang she Yang ini.
Yang jelas, baik Lengkui
maupun Yang Cu-kang, ilmu silat mereka jauh di atas Ji Hong-ho, mengapa mereka
tidak berdiri sendiri, sebaliknya rela menjual nyawa baginya?
Begitulah dalam hati Pwe-giok
penuh tanda tanya, tapi dia memang seorang sabar dan pendiam, dapat berpikir
panjang, teringat olehnya tindak-tanduk Yang Cu-kang yang sukar diraba, maka
iapun tidak ingin bertanya lagi, hanya terlintas sesuatu ingatan dalam
benaknya, ia coba tanya Yang Cu-kang, "Tadi mendadak orang ini menyebut
dua bait syair kuno, apakah Yang-heng paham maksudnya?"
Yang Cu-kang termenung
sejenak, jawabnya kemudian, "Persoalan ini sangat besar dan luas
sangkut-pautnya, bahkan..."
Belum habis ucapannya,
sekonyong-konyong seorang menanggapi, "Selamanya Lengkui tak bisa mati,
siapapun tak dapat membunuh Lengkui, sekarang juga Lengkui sudah datang lagi
untuk menuntut balas."
Suaranya datar dan hambar,
tidak cepat dan tidak lambat, terasa bersahaya nadanya dan mencekam. Berbareng
dengan datangnya suara itu, tahu-tahu seorang sudah muncul di depan pintu.
Wajah orang ini kelihatan
putih, alis tebal dan mata besar, ujung mulutnya selalu mengulum senyum laksana
wajah ukiran, kaku dan dingin. Baju yang dipakainya berwarna hitam dan sangat
pas dengan tubuhnya, pinggangna juga ada ikat pinggang warna merah darah dan
golok sabit terselip miring pada ikat pinggangnya.
Jelas orang inilah Lengkui!
Waktu mereka pandang mayat
Lengkui di tanah tadi, ternyata sudah habis cair, sudah lenyap.
Apakah Lengkui benar-benar tak
dapat dibinasakan?
Apakah betul sekarang dia
telah hidup, kembali dan datang menuntut balas? Biarpun Pwe-giok dan Yang
Cu-kang sangat tabah, berdiri juga bulu romanya demi munculnya orang ini secara
mendadak. Apalagi Thi-hoa-nio dan Cu Lui-ji, mereka sama menjerit kaget.
Yang Cu-kang tidak berucap
apapun, cepat ia melompat maju, pedang berputar, langsung ia menusuk
tenggorokan Lengkui. Baru saja menusuk serentak ia menggeser dua tiga kali dan
mengitar ke samping lawan.
Ia kuatir kejadian tadi
berulang lagi, maka harus mendahului turun tangan, sekali menyerang segera
menggunakan gerak perubahan yang cepat dan sukar diraba.
Siapa tahu, belum lagi dia
berputar lebih jauh, golok sabit musuh telah berubah menjadi selapis tabir
cahaya, "sret-sret-sret", sekaligus tiga kali tabasan, si Lengkui
seperti sudah memperhitungkan gerak perubahan serangan Yang Cu-kang, serentak
ia tutup jalan mundurnya.
Namun Yang Cu-kang tetap
berdiri saja tanpa bergerak, maka tiga kali tabasan golok itupun takkan
menyentuh bajunya, tapi sedikit ia bergerak, maka samalah seperti tubuhnya
sengaja ditumbukkan kepada golok sabit Lengkui.
Terpaksa Yang Cu-kang memutar
pedangnya dan menyampuk golok lawan.
Tak terduga, Lengkui
seakan-akan sudah tahu bahwa dia pasti akan bertindak demikian, goloknya
ditarik miring ke bawah sehingga meluncur lewat mata pedang musuh, berbareng ia
menusuk bahu Yang Cu-kang.
Lekas Yang Cu-kang memutar
lagi pedangnya, berturut empat kali ia ganti serangan, walaupun tiba cukup
untuk menghindarkan tebasan golok lawan, namun kakinya tidak mampu bergeser
sedikitpun. Dia benar-benar tidak dapat berkutik dengan bebas.
Setelah sepuluh jurus, tanpa
terasa tangan Yang Cu-kang berkeringat dingin. Dia mulai merasakan betapapun
dia memutar pedangnya, cukup lawan menyerang satu kali saja dan buntulah
jalannya, setiap gerak-geriknya sudah berada dalam dugaan musuh.
Dalam pertarungan tadi,
sedapat-dapatnya ia mendahului menyerang, tapi sekarang Lengkui seperti sudah
tahu jelas setiap gerak perubahannya. Sekalipun dia mengeluarkan segenap
kemampuannya juga cuma sanggup bertahan saja sekedarnya, serangannya sama
sekali tidak dapat dikembangkan, jangankan hendak mengatasi musuh.
Jadi seperti dua orang bermain
catur, kalau langkah kita selanjutnya sudah diketahui pihak lawan, maka setiap
langkahnya seolah-olah akan masuk jaring belaka dan terjebak oleh siasat yang
sudah diatur lawan. Maka belum lagi permainan catur ini selesai, kekalahan
sudah ditentukan, andaikan permainan diteruskan juga tidak menarik.
Sebaliknya Lengkui dapat
memainkan golok sabitnya dengan bebas dan leluasa, namun senyumannya masih
tetap kaku dan dingin, dengan sorot mata yang dingin tajam menembus cahaya
pedang ia tatap Yang Cu-kang, ucapnya dengan tersenyum, "Kau sendiri
tentunya tahu bahwa setiap jurus serangan Lengkui dapat mencabut nyawamu, untuk
apalagi kau bertahan? Lekas serahkan nyawamu saja kan lebih enak?"
Tapi Yang Cu-kang anggap tidak
mendengar ucapannya, padahal setiap kata lawan itu setajam sembilu yang menikam
ulu hatinya, bahkan lebih tajam daripada sembilu.
Rontakan orang dalam keadaan
putus asa memang jauh lebih menderita daripada kematian.
Lengkui tersenyum dan berkata
pula, "Tentunya kau heran, mengapa Lengkui sedemikian paham jurus ilmu
silatmu bukan? Padahal hal ini cukup sederhana, sebab Lengkui sudah pernah
bertempur satu kali denganmu."
Tiba-tiba Yang Cu-kang
merasakan hawa dingin dari lubuk hatinya dan merembes hingga ujung kaki.
Masakan Lengkui yang ini benar
adalah orang yang telah dibunuhnya tadi? Makanya orang sedemikian paham akan
ilmu silatnya. Kalau demikian, andaikan Lengkui yang ini dibunuhnya pula,
bukankah Lengkui masih akan hidup kembali, dan dalam pertarungan berikutnya
akan lebih paham pula pada setiap jurus serangannya? Jadi seumpama Lengkui
dapat dibunuhnya seratus kali, lambat atau cepat dirinya akan mati juga di tangan
Lengkui, sebaliknya Lengkui akan tetap hidup dan tak bisa mati.
Pada waktu hal ini tidak
terpikir oleh Yang Cu-kang, sekuatnya dia masih kuat bertahan, tapi demi
teringat, makin dipikir makin takut sehingga pedang hampir tidak kuat lagi
dipegangnya.
Waktu ia melirik kesana,
dilihatnya Hay Tong-jing sudah pingsan, wajah Thi-hoa-nio pucat pasi, tampaknya
setiap saat juga bisa jatuh semaput.
"Nah, matilah, lekas
matilah!" seru Lengkui dengan tersenyum. "Lengkui sudah pernah mati
berpuluh kali, Lengkui berani menjamin bahwa kematian bukan kejadian yang
menyakitkan, mati tidak menimbulkan derita, bahkan jauh lebih enak daripada
tidur."
Ucapannya masih tetap datar
dan dingin, namun nadanya seolah-olah membawa semacam kekuatan gaib yang
membuat orang secara tidak sadar melepaskan daya perlawanannya dan tertidur
lelap.
Jika Yang Cu-kang berasal dari
perguruan Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay, maka tidaklah perlu diherankan jika
setiap jurus serangannya dapat diselami orang lebih dulu. Sebab beberapa
perguruan ternama ini sudah turun temurun sekian ratus tahun, setiap jurus ilmu
silatnya ada aturannya, tapi setelah berjalan sekian ratus tahun, sedikit
banyak jago persilatan sudah dapat memahami setiap jurus ilmu silatnya,
lantaran itulah kebanyakan tokoh terkemuka dari perguruan ternama itu tidak
suka mengalahkan musuh dengan jurus serangannya, tapi mengatasi lawan dengan
tenaga dalamnya yang jauh lebih ulet.
Tapi sekarang ilmu silat Yang
Cu-kang dipelajari dari perguruannya yang tidak dikenal umum, setiap jurus serangannya
boleh dikatakan masih asing bagi jago silat lain. Namun sekarang Lengkui
ternyata dapat mengetahui sebelum Yang Cu-kang melontarkan serangannya, kalau
tidak pernah bergebrak dengan dia, darimana pula lawan mengetahui rahasia
serangannya.
Seumpama Yang Cu-kang tidak
percaya Lengkui yang sudah mati dapat hidup lagi, tapi menghadapi kejadian
demikian, mau tak mau ia menjadi percaya, ia pikir kalau musuh yang dihadapinya
adalah seorang yang tak bisa mati, lalu apalagi yang dapat diperbuatnya?
Cu Lui-ji dan Thi-hoa-nio
tidak tahu dimana letak kehebatan jurus serangan musuh, tapi kini pun sudah
dapat melihat keadaan Yang Cu-kang yang terdesak dan berbahaya itu.
Mereka menjadi heran mengapa
sekali ini Ji Pwe-giok tidak turun tangan membantunya.
Pada saat itulah mendadak
terdengar Pwe-giok berseru, "Yang diketahuinya bukanlah tipu seranganmu,
melainkan kepunyaan Hay Tong-jing."
Lui-ji melengak, ia tidak
paham apa maksud Pwe-giok. Tapi semangat Yang Cu-kang seketika terbangkit,
matanya juga mencorong, teriaknya dengan bergelak tertawa, "Aha, betul,
pahamlah aku, pahamlah aku sekarang..." di tengah tertawanya itu mendadak
pedangnya menusuk.