Jilid 12
"Dan ginkangnya juga
tidak rendah, buktinya kita sama tidak tahu kapan dan kemanakah perginya?"
sambung Pwe-giok.
"Masa.....masa
orang-orang ini seluruhnya patung lilin?" tanya Thi-hoa-nio.
Berpuluh orang itu masih tetap
berduduk di tempatnya tanpa bergerak, tampaknya seperti manusia hidup
benar-benar.
"Untuk apakah orang itu
memasang patung-patung sebanyak ini di sini?" tanya Thi-hoa-nio pula.
"Mungkin dia kesepian
tinggal sendirian di sini, maka membuat orang-orangan ini untuk
mengawaninya", ujar Lui-ji, mendadak ia tertawa dan menambahkan:
"Apapun juga patung lilin kan jauh lebih baik daripada manusia
tulen."
"Masa? Apa
alasanmu?" tanya Thi-hoa-nio.
"Paling sedikit patung
lilin kan tidak dapat menyerang kita?" jawab Lui-ji
Meski merasa tempat ini sangat
menyeramkan, tapi lega juga hati Thi-hoa-nio, sebab ia merasa ucapan Lui-ji
memang tidak salah. Berada bersama orang-orangan lilin tentunya tidak akan
berbahaya.
Hanya Pwe-giok saja yang
kelihatan prihatin, tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu, ucapnya kemudian
dengan suara tertahan, "Kita tidak boleh tinggal di sini, lekas kita
pergi."
"Kenapa? Orang hidup
sudah lari, masakah kita takut kepada kawanan patung lilin ini?" ujar
Lui-ji. Dia terus mendekat ke sana dan menambahkan, "Coba kau lihat, ku
pukul mereka juga tidak ada yang berani membalas."
Sembari bicara ia terus
menampar muka salah satu patung lilin itu.
Patung lilin itu tadinya duduk
bersandar kursi dan sedang "membaca". Karena ditampar Lui-ji robohlah
patung itu, "brak", patung itu pecah berantakan.
"Maaf, maaf, apakah kau
sakit? Biar kubangunkan kau!" kata Lui-ji dengan tertawa.
Betapapun dia masih seorang
anak dara, sejak lahir belum pernah bermain boneka, sekarang mendadak melihat
"boneka raksasa" sebanyak ini, dengan sendirinya ia sangat tertarik.
Begitulah seperti anak kecil
yang sedang momong boneka, Lui-ji membangunkan patung yang jatuh dan perlahan
memijati bagian punggungnya sambil berucap, "O, sayang, tentunya kau
kesakitan, biar kupijat..."
Selagi Thi-hoa-nio merasa geli
melihat kelakuan Lui-ji itu, mendadak anak dara itu menjerit kaget sambil
melompat mundur. Kontan patung lilin itu terguling dari kursinya dan hancur.
Cepat Pwe-giok melompat maju
dan bertanya, "Ada apa?"
Lui-ji menjatuhkan diri pada
pelukan anak muda itu, katanya sambil menuding patung lilin yang sudah hancur
itu. "Di tubuh lilin itu ada... ada tulangnya."
"Tulang?"
Thi-hoa-nio menukas dengan kaget. "Patung lilin masa bertulang?"
Belum habis ucapannya,
dilihatnya dalam patung lilin yang hancur itu memang betul ada seonggok tulang
putih, bahkan dapat dipastikan bukan tulang buatan.
Nyata, tulang di dalam patung
lilin itu adalah tulang orang mati asli.
Pwe-giok coba menjemput
beberapa cuil lilin remukan patung itu dan diperiksanya dengan teliti, seketika
air mukanya berubah hebat, tampaknya seperti mual dan hendak tumpah.
"He, ken... kenapakah
kau?" tanya Lui-ji.
Pwe-giok menghela nafas
panjang, ucapnya, "Ini bukanlah orang-orangan buatan dari lilin, tapi
mayat manusia tulen, lorong di bawah tanah ini adalah hasil kerja mereka."
"Apa katamu?" seru
Lui-ji.
"Tentunya begini
kisahnya," tutur Pwe-giok. "Lantaran kuatir orang-orang ini akan
membocorkan rahasia lorong di bawah tanah ini, maka orang yang menyuruh
pembuatan lorong ini telah membunuh seluruh pekerja ini tatkala lorong ini
sudah selesai dibuat, lalu tubuh mereka disiram dengan vaselin sehingga jadilah
mereka patung lilin."
Merinding Lui-ji oleh cerita
ngeri ini, katanya, "Pantas, makanya mereka kelihatan seperti orang
hidup."
Dengan gegetun Hay Tong-jing
ikut berkata, "Begitu masuk kemari memang sudah kurasakan keadaan di sini
rada-rada janggal, orang-orang kasar ini kenapa bisa berubah seperti seniman.
Waktu itu jika kuperiksa dengan teliti mungkin sudah dapat ku bongkar rahasia
mereka."
"Tapi waktu itu mana
dapat kita bayangkan di dunia ini ternyata ada orang gila sekejam ini?"
ucap Lui-ji dengan gregetan.
Mendadak seorang tertawa
terkekeh-kekeh dan menanggapi, "Hehe, kau salah, nona cilik, aku sama
sekali tidak kejam, juga tidak gila, sebaliknya aku ini manusia yang paling
welas asih, seorang yang paling tahu aturan, orang yang paling punya hati
nurani."
Meski semua orang dapat
mendengar suaranya, tapi bagaimana bentuk orang ini tidaklah kelihatan.
Lui-ji lantas menjawab, "Seumpama
kau punya hati nurani juga sudah lama hatimu itu dimakan anjing."
"Justeru lantaran
mengingat mereka terlalu lelah menggali lorong di bawah tanah ini, makanya
kuundang mereka istirahat di sini, supaya mereka selanjutnya tidak perlu
berkeringat dan kerja keras lagi," kata orang itu dengan tertawa.
"Coba kalau tidak ada aku, mana bisa mereka menikmati kebahagiaan begini.
Dan kalau begini baik kuperlakukan mereka, kenapa kau maki diriku sebagai orang
gila dan orang busuk?"
"Hm, kau bukan saja orang
busuk, bahkan bukan orang. Tapi setan, iblis, iblis yang gila!" maki
Lui-ji pula.
Dia ingin memancing keluar
orang itu. Siapa tahu meski dia mencaci maki sekian lama, orang itu tetap tidak
memberi reaksi apa-apa. Bahkan satu kata saja tidak bicara pula, keadaan
menjadi sunyi senyap.
Dengan gemas Lui-ji
mengusulkan, "Tempat ini toh tidak terlalu luas, marilah kita ketemukan
dia."
Thi-hoa-nio menghela nafas,
katanya, "Kalau dia tidak mencari kita kan sudah untung, masakah kau malah
ingin cari dia?"
Mendadak Pwe-giok berkata
kepada Hay Tong-jing dengan tertawa, "Dalam keadaan demikian, masakah kau
belum mau membongkar teka-teki ini?"
"Teka-teki? Teka-teki
apa?" Hay Tong-jing jadi melengak malah.
"Sungguh aku tidak
mengerti untuk apa kalian berdua sengaja memancing kami kesini?" tanya
Pwe-giok.
"Ap... apa katamu?"
Hay Tong-jing menegas dengan bingung. "Mengapa kami memancing kalian ke
sini? Hakekatnya aku tidak pernah kenal tempat ini, lebih-lebih tidak kenal si
gila ini."
"Bisa jadi Hay-heng
memang belum pernah datang ke tempat ini, tapi Lo-siansing ini justeru sudah
dikenal Hay-heng," kata Pwe-giok.
"Mana bisa kukenal
dia?" sahut Hay Tong-jing dengan gugup. "Untuk.. untuk apa ku tipu
kau?"
Pwe-giok menghela nafas,
ucapnya, "Akupun tidak tahu untuk apa Hay-heng menipuku? Tapi berita yang
dituturkan Hay-heng di lorong tadi... cerita tentang Tangkwik-siansing itu,
tadinya kupercaya penuh setiap kata ceritamu, tapi sekarang mau tak mau harus
kusangsikan."
"Sebab apa?" tanya
Hay Tong-jing.
"Demi membuat lorong
bawah tanah ini, dia tidak sayang membunuh semua pekerja ini untuk menutup
mulut mereka selamanya. Dengan sendirinya lorong di bawah tanah ini menyangkut
sesuatu rahasia maha besar, betul tidak?"
"Ya, betul," jawab
Hay Tong-jing.
"Jika demikian, mengapa
dia perlu membangun rumah gubuk pada ujung jalan keluar tadi? Jika di atas
gunung yang paling sepi ini ada sebuah rumah kosong, bukankah hal ini akan
sangat menarik perhatian orang?"
Kembali Hay Tong-jing
melengak, katanya, "Bisa jadi... bisa jadi rumah itu bukan rumah
kosong."
"Betul, rumah itu pasti
tidak kosong, tapi dimana orangnya?"
"Mungkin telah dibunuh
oleh Yang Cu-kang?"
Pwe-giok tertawa, katanya,
"Apakah mungkin demi merampas sebuah rumah Yang-heng perlu membunuh orang
tak berdosa sebanyak itu?"
"Ini ... ini ... "
Hay Tong-jing tak dapat menjawab.
"Apalagi, jika dia
menyuruh orang-orang itu berjaga di dalam rumah, tentu mereka ada kontak satu
sama lain, setelah mereka dibunuh Yang-heng, mustahil dia tidak tahu? Dan kalau
dia tahu, masakah Yang-heng dibiarkan tinggal di sana?"
"Jadi maksud Ji-heng
...."
"Maksudku hanya ingin
menyatakan antara Yang-heng dan Lo-siansing ini pasti sudah ada hubungan, dia
menyuruh kita masuk ke lorong ini juga sebelumnya telah direncanakan."
Berubah air muka Hay
tong-jing, katanya, "Untuk apa dia berbuat begini? Kenapa aku tidak
diberitahu?"
"Hay-heng benar-benar
tidak tahu?" Pwe-giok menegas dengan melotot.
"Ya, sedikitpun tidak
tahu," jawab Hay Tong-jing tegas.
"Jika demikian, mengapa
Hay-heng mengantar nona Ki Leng-hong ke sini?"
"He, apa pula artinya
ucapanmu ini?"
"Aku memang lagi heran,
sebab apakah Hay-heng menangkap Ki Leng-hong? Padahal ku tahu kalian hendak
menyerahkan Kwe Pian-san dan Ciong Cing kepada Pek-hoa-bun untuk mengambil hati
Hay-hong-hujin, tapi sejauh itu aku tidak mengerti Ki Leng-hong hendak kalian
serahkan kepada siapa? Dan baru sekarang ku tahu jelas duduknya perkara."
"Tahu jelas duduknya
perkara? Perkara apa?" tanya Hay Tong-jing dengan bingung.
"Tujuan Hay-heng menangkap
Ki Leng-hong adalah untuk diserahkan kepada Lo-siansing ini."
"Untuk apa diserahkan
kepadanya? Untuk apa pula dia menghendaki Ki Leng-hong?" tanya Hay
Tong-jing.
Pwe-giok tertawa, katanya,
"Bisa jadi untuk dijadikan patung lilin, mungkin juga ada keperluan lain.
Kukira Hay-heng tentu jauh lebih jelas dari padaku."
Hay tong-jing menghela napas
panjang, katanya, "Meski aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, tapi
kuyakin jalan pikiranmu pasti keliru, hakekatnya aku tidak ada sangkut-pautnya
dengan urusan ini, jika Ji-heng tidak percaya, terpaksa aku ....."
Mendadak terdengar suara
jeritan, suara jeritan Lui-ji dan Thi-hoa-nio.
Pwe-giok terkejut dan
berpaling, terlihatlah kedua orang itu telah berada dalam pelukan dua patung
lilin.
Muka Lui-ji tampak pucat,
serunya dengan suara parau, "Patung lilin ini bukan mayat, tapi orang
hidup."
Thi-hoa-nio tampak gemetar dan
hampir saja jatuh kelengar.
Terdengar orang lilin itu
berkata, "Jika kalian menghendaki mereka tetap hidup, maka berdirilah di
situ dan jangan bergerak."
Sembari bicara, lapisan lilin
yang tipis pada mukanya lantas terkelupas sepotong demi sepotong.
Terpaksa Pwe-giok berdiri di
tempatnya dan tidak bicara apapun.
Hay Tong-jing tidak tahan,
ucapnya, "apa kehendak kalian?"
Padahal pertanyaannya ini
terlalu berlebihan dan menggelikan. Tapi setiap orang bila sudah kepepet memang
sering mengucapkan kata-kata yang lucu.
Pada saat itulah tertampak dua
patung lilin yang sedang main catur di kejauhan sana mendadak juga bergerak,
tubuh mereka hanya berkelebat dan tahu-tahu sudah menubruk tiba.
Tapi patung lilin yang memeluk
Cu Lui-ji itu lantas berseru, "Berhenti, barang siapa di antara kalian
bergerak sedikit saja, jiwa kedua perempuan ini segera melayang."
"Jangan urus diriku,
mereka tidak berani membunuhku!" teriak Lui-ji.
Pwe-giok menghela napas,
tahu-tahu ia merasakan dua tangan yang kuat telah merangkul tubuhnya, menyusul
beberapa tempat Hiat-to penting juga tertutuk.
Kembali Lui-ji menjerit
kuatir, teriaknya parau, "He, apa ... apa kehendak kalian? ..." belum
habis ucapannya, berderailah air matanya.
Terdengar seorang tertawa
terkekeh-kekeh, ucapnya, "Nona cilik, tentunya sekarang kau tahu
orang-orang lilin tidaklah lebih baik daripada manusia tulen. Padahal terkadang
merekapun jauh lebih berbahaya daripada orang asli."
Ditengah suara tertawa yang
melengking itu, si kakek berjubah hitam tadi telah muncul pula, cuma sekarang
topinya bukan lagi caping bambu melainkan sebuah topi tinggi dan berbentuk
aneh.
Potongan badan kakek ini
sangat pendek, sekarang memakai topi setinggi ini, sekilas pandang, topinya
seakan-akan lebih tinggi daripada orangnya, bentuknya kelihatan lucu dan
mentertawakan.
Tapi dalam keadaan demikian
siapa pula yang dapat tertawa?
Segera Lui-ji memaki,
"Kau tua bangka, siluman ..." segala kata makian yang paling keji
telah dihamburkan seluruhnya, tapi si kakek mendengarkan saja seperti sangat
tertarik.
Setelah Lui-ji kehabisan
kata-kata makian barulah kakek itu berkata dengan tersenyum, "Nona cilik,
kau sangat pintar menangis, juga pandai memaki orang, aku justeru sangat suka
kepada nona cilik semacam kau ini. Sebentar tentu akan kujadikan kau patung
lilin yang cantik, secantik boneka."
"Kau ... kau ..."
Lui-ji sampai kehabisan suara. Ia ingin memaki lagi, tapi ngeri, bibirpun
kering.
Topi tinggi di atas kepala si
kakek tampak bergoyang-goyang, ia mendekati Pwe-giok dan berkata, "He,
anak muda, namamu Ji Pwe-giok bukan?"
"Betul." jawab
Pwe-giok.
Si kakek mengekeh tawa,
ucapnya, "Meski belum pernah kulihat kau, tapi sekali pandang saja lantas
kukenali kau."
Mendadak Pwe-giok juga
tertawa, katanya, "Meski aku tidak pernah melihat kau, tapi akupun kenal
kau."
"Oo?!" si kakek
melengak, lalu bergelak tertawa, katanya, "Wah, jika benar kau kenal
diriku, sungguh tidak kecil kepandaianmu."
"Kau bukan manusia,"
kata Pwe-giok.
Si kakek menyeringai,
"Kau pun serupa nona cilik itu, pintar memaki orang. Aku bukan manusia,
memangnya siluman?"
"Kaupun bukan siluman,
cuma sesosok mayat," ujar Pwe-giok. "Sebab sudah lama kau mati."
"Kau bilang aku ini
mayat?" seru si kakek dengan terbahak.
"Betul, meski belum
pernah kau lihat diriku, tapi aku sudah pernah melihat kau."
"Pernah kau lihat diriku?
Dimana?" tanya si kakek.
"Di dalam sebuah
kuburan." jawab Pwe-giok.
Seketika Lui-ji melenggong, ia
merasa bingung oleh ucapan Pwe-giok itu, bahkan anak muda ini hampir
disangkanya rada kurang waras.
Sebab seorang yang sehat,
seorang yang normal, tentu takkan menuduh seorang hidup sebagai sesosok mayat,
lebih-lebih takkan menyatakan dirinya pernah pesiar ke dalam sebuah kuburan.
Semua ini hakekatnya bukan ucapan Ji Pwe-giok yang sebenarnya.
Siapa tahu, setelah mendengar
kata-kata demikian, air muka si kakek mendadak berubah, dia melototi Pwe-giok
hingga sekian lamanya, lalu menegas, "Kau pernah datang di kuburan
itu?"
"Betul, malahan cukup
lama ku tinggal di sana."
"Dan cara bagaimana kau
keluar lagi?"
Pwe-giok tertawa, jawabnya,
"Keluar melalui pantatmu."
Sampai di sini, bukan cuma
Lui-ji saja yang menganggap anak muda itu kurang waras, bahkan Thi-hoa-nio dan
Hay Tong-jing juga mengira Pwe-giok mendadak sinting, sebab apa yang
diucapkannya sama sekali bukan kata-kata manusia normal.
Tapi air muka si kakek lantas
berubah menjadi lebih menakutkan, mendadak ia berseru, "Cucu perempuanku
sayang, marilah keluar!"
Ketika cucu perempuannya sudah
keluar, kecuali Pwe-giok, yang lain-lain sama terperanjat pula. Sebab siapapun
tidak menyangka cucu perempuannya adalah Ki Leng-hong.
Tapi sejak tadi Pwe-giok sudah
tahu kakek ini adalah Ki go-ceng yang menghilang dengan berlagak mati itu.
Kepandaiannya membikin patung lilin memang bagus (bacalah jilid ke-4 Renjana
Pendekar).
Terdengar si kakek alias Ki
Go-ceng lagi bertanya kepada cucu perempuannya, "Apakah betul perkataan
bocah ini?"
"Entah, aku tidak
tahu," jawab Ki Leng-hong. Nona ini kelihatan sangat kurus dan lesu,
sangat lemah, tapi jawabannya cukup tegas.
"Dia pernah datang ke
Sat-jin-ceng bukan?" tanya pula Ki Go-ceng.
"Jika dia belum pernah ke
Sat-jin-ceng, cara bagaimana dapat kukenal dia? Tapi banyak juga orang yang
pernah mengunjungi sat-jin-ceng, tidak cuma dia saja."
Ki Go-ceng tertawa, ia
tepuk-tepuk pelahan muka Ki Leng-hong yang bulat telur itu, ucapnya dengan
tertawa, "Ai, cucu perempuanku sayang, bicara terhadap kakek mana boleh
sekasar ini."
Ki Leng-hong moncongkan
mulutnya dan berucap manja, "Orang pening kepala, ingin tidur."
Begitu habis ucapannya, segera
ia melangkah pergi, sama sekali tidak memandang lagi terhadap Ji Pwe-giok.
Ki Go-ceng geleng-geleng
kepala, gumamnya
---------------------
"Ai, bocah ini jadi rusak
karena terlalu dimanjakan ibunya" Mendadak ia melototi Pwe-giok pula dan
bertanya: "Eh, kabarnya putra Ji Hong-ho itupun bernama Ji Pwe-giok, apa
betul?"
"Begitulah kalau tidak
salah", jawab Pwe-giok.
"Konon dia sudah mati di
Sat jin-ceng"
"Agaknya juga betul"
Mendadak mencorong sinar mata
Ki Go-ceng, ucapnya dengan pelahan: "Bisa jadi tidak mati, mungkin dia
telah pesiar sejenak ke kuburan, lalu hidup kembali, bahkan bertemu dengan
seseorang yang telah mengubah bentuk wajahnya"
Mendadak ia jambret leher baju
Pwe-giok dan berteriak: "Dan mungkin kau inilah dia, kau inilah putra Ji
Hong-ho itu"
Sebenarnya Pwe-giok tidak
mengerti apa sebabnya Ki Leng-hong berdusta, dan sekarang ia tahu duduknya
perkara. Meski lahirnya dia tetap tenang saja, tapi telapak tangan sudah
merembeskan keringat dingin.
Bukan mustahil Ki Go-ceng
adalah sekelompotan dengan "Ji Hong-ho" itu, Pwe-giok sengaja
dipancing ke sini untuk diselidiki apakah dia dan Pwe-giok yang tersiar sudah
mati itu sama atau tidak.
Maklumlah, tentang perubahan
wajah Pwe-giok hanya diketahui oleh Ki Leng-hong saja, tapi nona itu ternyata
tidak menyingkap rahasianya, meski tidak tahu mengapa orang menutupi
rahasianya, namun Pwe-giok sangat berterima kasih padanya.
Ki Go-ceng masih terus
melototi Pwe-giok, tanyanya pula: "Sesungguhnya kau anak Ji Hong-ho atau
bukan?"
Pwe-giok tertawa, jawabnya:
"Aku ini anak siapa, ada persoalan apa dengan kau?"
"Sekalipun kau mengaku
sebagai anak Ji Hong-ho kan juga tidak menjadi soal?" ujar Ki Go-ceng.
"Kenapa kau sendiri tidak
mau mengaku sebagai anaknya?" jawab Pwe-giok.
Ki Go-ceng menarik muka,
mendadak ia tertawa pula: "Bagus, anak muda, anggaplah mulutmu memang
keras, jika kau tidak suka bicara terus terang, biarlah sekalian kubikin kau
tak dapat bicara untuk selamanya"
Gua batu ini jauh lebih terang
daripada ruangan gua sebelah luar sana, juga jauh lebih hangat, sebab api pada
sebuah tungku besar telah dinyalakan, di atas tungku ada sebuah wajan besar.
Lilin di dalam wajan sudah mulai cair.
Dengan sebuah gayung besar,
pelahan Ki Go-ceng mengaduk cairan lilin itu, ketika api tungku sudah mulai
menghijau, menguaplah hawa panas dari wajan besar. Di bawah gemerdep cahaya api
dan uap lilin, wajah Ki Ko-ceng kelihatan seperti sebuah topeng setan.
Sinar matanya juga gemerdep
memancarkan cahaya kebuasan dan kegilaan, terdengar dia berucap " Bukanlah
pekerjaan mudah membuat patung lilin dengan manusia berdarah daging, pertama
harus memperhatikan waktu masak lilin, selain lilin harus cair seluruhnya dan
tidak boleh terlalu mendidih, pada saat lilin baru mulai bergelembung segera
cairan lili dituang pada tubuh manusia."
Dia tertawa, lalu menyambung,
"Jadi seperti koki memasak Ang-sio-hi, setelah gorengan irisan ikan diangkat
dari wajan, pada saat yang tepat disiram dengan saus asam manis. Cuma disini
gerakan tangan harus cepat, siraman lilin harus rata, apabila lapisan lilin
pertama sudah beku seluruhnya barulah mulai siram lapiran kedua, sedikit salah
siram, semua usaha akan gagal total."
Dia bicara dengan adem ayem,
seperti halnya seorang ahli masak yang sedang memberi ceramah di depan
sekawanan penggemar makanan enak. Cuma sayang, yang mendengarkan ceramahnya
sekarang bukanlah penggemar makanan melainkan "ikan" yang sedang
menanti giliran untuk dijadikan Ang-sio-hi.
Hati Lui-ji saat ini diliputi
rasa gusar dan juga takut, sungguh kalau bila ia ingin menggigit mampus orang
gila ini.
Sebaliknya Thi-hoa-nio seperti
tidak dapat mengekang diri lagi saking takutnya, ia berteriak dengan histeris,
"Lekas kau bunuh kami saja, lekas, kenapa tidak lekas turun tangan ?"
Ki Go-ceng tertawa, katanya,
"Aku ingin membuat patung lilin yang indah, untuk ini masih harus
diperhatikan sesuatu, yaitu tidak boleh membunuh mati model yang akan ku
gunakan,. Dengan demikian , hasil patung yang kubuat barulah akan kelihatan
hidup dan bergairah. Apabila modelnya dibunuh mati mati dulu baru kemudian
disiram lilin, maka patung yang dihasilkan juga akan kelihatan mati dan
kaku."
"Kau ... kau ... "
Thi-hoa-nio tidak sanggup bersuara lagi. Bibirnya gemetar, mulut seperti
tersumbat.
Mendadak Ki Go-ceng tertawa
padanya dan berkata, "Tapi Yang-hujin juga tidak perlu khawatir, aku pasti
takkan membikin susah padamu, sebab kuyakin Yang Cu-kang pasti tidak suka tidur
bersama patung lilin."
Air muka Hay Tong-jing
berubah, tanyanya, "Apakah benar Yang Cu-kang ada persengkongkolan dengan
kau ?"
Ki Go-ceng tertawa, jawabnya,
"Betul, dia terlebih cerdik daripadamu, juga lenih pintar memilih kawan.
Jika dia memilih si koki sebagai kawannya, sebaliknya kau pilih kawan pada
ikannya."
Sampai sekian lama Hay
Tong-jing termangu-mangu, katanya dengan suara gemetar, "Yang Cu-kang,
wahai Yang Cu-kang, tidak jelek suhu terhadapmu, kenapa kau melakukan perbuatan
khianat begini, memangnya sudah kaulupakan semua ajaran dan peraturan perguruan
?"
Sembari bicara, matanya
mendelik dengan menahan rasa murka.
Dengan lemas Lui-ji juga
berkata, "Pantas dia tidak takut di bunuh Lengkui, kiranya dia tahu
setelah kita pergi, maka dapatlah dia bicara dengan Leng-kui bahwa antara
mereka sesungguhnya adalah kawan. Hah, bangsat ini telah berbuat khianat, tapi
justru bicara seperti seorang baik hati."
Belum habis ucapannya,
menangislah Thi-hoa-nio tergerung-gerung.
Lui-ji menjengek,
"Yang-hujin, apakah yang kau tangisi ? Bisa kaudapatkan suami sebaik itu,
masakah kamu tidak senang ?"
"Aku ... Aku ... "
"Eh, siapa di antara
kalian yang mau tolong singkirkan nyonya Yang ini dari sebelahku, sungguh aku
tidak tahan lagi bau busuk pada tubuhnya," ejek Lui-ji pula.
Dengan tertawa Ki Go-ceng
berucap, "wah. hampir saja kulupa jika tidak kau singgung sejak tadi-tadi
seharusnya ku undang nyonya Yang berduduk di tempat yang terhormat."
Tapi Thi-hoa-nio lantas
berteriak-berteriak pula dengan histeris, "Jangan kalian menyentuh diriku,
aku bukan istri Yang Cu-kang, aku lebih suka mati bersama mereka."
Dengan tak acuh Ki Go-ceng
berkata, "Siapapun kalau sudah berada disini, mati atau hidupnya tidak
bebas lagi baginya."
Hay Tong-jing memandang Pwe-giok,
ucapnya dengan rawan, "Ji-heng, aku telah salah menilai Yang Cu-kang,
maaf, aku ... aku menyesal."
"Ini bukan salahnya dan
bukan salahmu, untuk bisa (jangan) Hay-heng merasa sedih." ujar Pwe-giok.
Hay Tong-jing menghela napas,
ucapnya, "Betapapun dia adalah saudaraku, aku ... "
Mendadak Ki Go-ceng berseru,
"Cepat lekas buka pintu tungku dan kerek wajan agak tinggi sedikit, saat
itulah cairan lilin sudah dapat digunakan!"
Lalu ia mulau menceduk cairan
lilin dengan gayungnya, mengepul uap lili panas itu.
Dengan tertawa Ki Go-ceng
berkata, "Pertama kali disiram lilin memang akan terasa sakit, maka
hendaknya Ji-kongcu dapat bertahan sedikit, nanti kalau sudah tersiram tiga
empat gayung, perlahan tidak lagi merasa sakit."
Lebih dulu ia menyiram lilin
pada gayungnya pada sepotong papan, melihat cairan lilin yang membeku di atas
papan, Ki Go-ceng bergumam, "Ya, memang saat yang paling tepat untuk
disiram ... Nah, lekas kau buka baju, Ji-kongcu!"
Mendadak Lui-ji berteriak,
"Kenapa tidak kau mulai dari diriku!... "
"Sabar, sabar! Sebentar
lagi akan datang giliranmu, kenapa terburu-buru ?" ujar Ki Go-ceng dengan
tertawa.
"Kumohon dengan sangat,
mulailah atas diriku, matipun aku berterima kasih padamu." teriak Lui-ji
dengan parau.
"Apakah kau tidak tega
menyaksikan Ji Pwe-giok tersiksa dan ingin tutup mata lebih dulu ?" tanya
Ki Go-ceng.
Lui-ji hanya menggigit bibir,
ia mengangguk sambil menangis.
"Tapi apakah kau suka
telanjang di hadapan mereka ?" tanya Ki Go-ceng dengan tertawa.
Lui-ji jadi melengak, segera
ia menangis lagi tergerung-gerung.
Dengan suara parau Thi-hoa-nio
berteriak, "Silakan kau turun tangan dulu padaku, aku tidak ... tidak
takut ... "
Ki Go-ceng mengawasi dia
sekejap, lalu berucap, "Potongan tubuhmu tidak jelek, kukira merekapun
jika kuturun tangan padamu dulu, sebelu mati daapt menyaksikan perempuan cantik
telanjang bulat seperti dirimu ini, tentu kematian merekapun cukup
berharga," â€" Dia menghela napas, lalu menyambung, "Cuma
sayang, kau ini bini Yang Cu-kang, sayang, sungguh sayang... "
"Kau tua bangka, kau
binatang, hewan, sungguh kau bukan manusia ... " mendadak Hay Tong-jing
mencaci maki.
"Apakah sengaja kau bikin
marah diriku agar turun tangan dulu padamu ?" kata Ki Goceng tertawa.
Hay Tong-jing berteriak gusar,
"Memangnya kau berani turun tangan padaku?"
"Haha, bagus,
bagus!" Ki Go-ceng terbahak. "Kalian memang sangat setia kawan,
sungguh ksatria sejati, semuanya berebut mati lebih dulu. Jika demikian,
biarlah kupenuhi kehendak kalian sekaligus."
Ia menyeringai, lalu
menyambung, "Akan kubelejti kalian bertiga hingga telanjang bulat, akan
kuikat kalian menjadi satu dalam keadaan saling rangkul, akan kubikin kalian
menjadi sebuah patung yang istimewa, agar sekali pandang saja siapapun tahu
kalian adalah sahabat karib yang tak dapat dipisahkan."
Hay Tong-jing dan Cu Lui-ji
berteriak-teriak, meski sudah banyak siksa derita yang dialaminya tapi baru
sekarang Lui-ji benar-benar kenal apa artinya takut.
Meski Pwe-giok hanya diam saja
sejak tadi, tapi di dalam hati jauh lebih murka dan berduka. Ia tidak tahu
mengapa Thian memberi nasib seburuk ini kepadanya. Tahu begini, lebih baik dulu
mati saja di tangan Siang Cap-long. Walaupun Siang Cap-long juga sangat kejam,
tapi jauh lebih baik daripada Ki Go-ceng, betapapun dia tidak sampai melakukan
hal-hal yang gila dan kotor begini.
Pada saat gawat itulah,
sekonyong-konyong seorang terbang masuk dari luar dengan kaki dan tangan
menari-nari di udara, serupa boneka yang dikerek dan terapung di udara,
melayang tibanya orang ini sungguh cepat luar biasa.
"Siapa?!" bentak Ki
Go-ceng.
Baru lenyap suaranya, dengan
tepat orang itu jatuh di dalam wajan yang penuh cairan lilin panas itu, maka
terdengarlah suara jeritan ngeri yang menyayat hati.
Cairan lilin di dalam wajan
muncrat kemana-mana, ada setitik cairan yang menciprat ke tubuh Lui-ji, meski
cuma setitik, namun rasa sakitnya sudah tak terkatakan.
Pada saat lain, dari luar
melayang masuk lagi orang, juga menari-nari di udara dan "plung",
dengan tepat kembali nyemplung di dalam wajan disertai jeritan yang sama
ngerinya.
Seketika wajan itu terguling,
cairan lilin tumpah memenuhi lantai.
Serentak Ki Go-ceng mengapung
ke atas, dengan gusar ia membentak, "Siapa itu?"
Di tengah suara bentakannya,
orang ketiga melayang tiba pula, sekali ini menerjang ke arah Ki Go-ceng.
Cepat tubuhnya menggeliat di
udara sehingga terhindar. Tapi segera orang ke empat dan kelima melayang pula
dan menumbuk Ki Go-ceng. Betapapun tinggi ginkangnya juga sukar untuk mengelak
lagi.
"Blang", dalam keadaan
mengapung di udara Ki Go-ceng menghantam, kontan kedua orang yang menerjang ke
arahnya itu digenjot hingga tergetar balik, tapi ia sendiripun tergetar jatuh
ke bawah dan hampir saja menumbuk dinding.
Kejut dan girang Lui-ji, baru
sekarang dapat dilihatnya dengan jelas bahwa kelima orang yang melayang dari
luar itu semuanya adalah "patung lilin palsu" anak buah Ki Go-ceng.
Tadi dia telah dikerjai
"patung lilin" ini, meski disergap, tapi jelas ilmu silat orang-orang
ini juga tidak lemah, bahkan sangat cepat dan cekatan cara turun tangannya.
Tapi sekarang hanya dalam sekejap saja mereka telah dilempar masuk seperti
lempar bola, jelas sedikitpun tidak mampu melawan. Maka betapa tinggi kungfu
pendatang ini tentu dapat dibayangkan.
Air muka Ki Go-ceng tampak
pucat hijau, ia melototi Pwe-giok dan berkata, "Tak tersangka masih ada
juga bala bantuanmu, tampaknya tidaklah sedikit kawanmu."
Tapi seorang lantas
menanggapi, "Aku tidak kenal anak muda itu, sebaliknya aku dan kau adalah
sahabat lama."
Suara ini sangat halus dan
lembut, empuk dan enak didengar.
Lui-ji dan Thi-hoa-nio
sama-sama anak perempuan cantik pembawaan, yang satu adalah puteri
Siau-hun-kiongcu yang terkenal pembetot sukma setiap lelaki, yang lain adalah
"Khing-hoa-samniocu" yang genit dan pemikat lawan jenisnya, keduanya
tahu suara yang enak didengar adalah senjata yang paling ampuh kaum wanita
untuk menghadapi kaum lelaki.
Suara mereka sendiri sangat
merdu dan enak didengar, tapi kalau dibandingkan suara perempuan pendatang ini,
mau tak mau mereka harus tutup mulut dan tidak berani bersaing.
Selain enak didengar suaranya,
bahkan apa yang dikatakannya seperti air dingin yang menyiram kepala Cu Lui-ji,
sebab pendatang ini ternyata mengaku sebagai sahabat lama Ki Go-ceng.
Hanya Hay Tong-jing saja yang
segera memperlihatkan rasa kegirangan, desisnya perlahan, "Inilah guruku,
tertolonglah kita."
Lui-ji melengong, tanyanya
kemudian, "Gurumu seorang perempuan?"
Hay Tong-jing tidak
menjawabnya dan memang juga tidak perlu menjawab, sebab waktu itu seorang
perempuan berbaju hitam sudah muncul.
Mukanya juga memakai cadar
sutera hitam, meski Lui-ji tidak dapat melihat jelas wajahnya, tapi entah
mengapa, ia merasa perempuan ini pasti cantik tiada bandingannya. Lui-ji tidak
pernah melihat wanita bergaya secantik dan seluwes ini.
Jalan perempuan berbaju hitam
itu seperti sangat lambat, tapi tahu-tahu sudah berada di dalam, siapapun tidak
tahu persis cara bagaimana dia menggeser kakinya dan cara bagaimana masuk ke
situ.
Dia memakai jubah panjang
warna hitam, panjangnya sampai menyentuh tanah, hanya ujung sepatu saja yang
masih kelihatan, pada tangannya juga mengenakan sarung tangan warna hitam.
Meski melihat orang, tapi
rasanya sama seperti tidak tahu, yang dilihat Lui-ji hanya pakaiannya saja,
namun dalam hati sudah timbul perasaan enak, perasaan aman.
Ki Go-ceng juga seperti kesima
memandang perempuan berbaju hitam itu, sampai sekian lama barulah ia menghela
nafas dan berkata, "Kiranya kau!"
"Tak kau duga
bukan?" ujar perempuan berbaju hitam.
Kembali Ki Go-ceng menghela
nafas, lalu berucap pula sambil tersenyum getir, "Kukira sudah lama kau
mati."
Perempuan berbaju hitam itu
seperti tersenyum, lalu mendekati Ki Go-ceng dengan perlahan.
Di dalam gua ini suasana
dingin dan seram, di atas tanah juga penuh cairan lilin dan mayat. Namun gaya
berjalan perempuan itu seperti sedang berada di tengah istana.
Yang dihadapinya juga seorang
gila dan kejam, tapi gaya perempuan itu seperti seorang permaisuri yang hendak
menghadap Sri Baginda.
Siapapun tidak mengira
perempuan lemah gemulai ini adalah tokoh persilatan yang lihay, lebih-lebih
tidak ada yang percaya bahwa dalam sekejap tadi dia sudah membunuh lima orang.
Dahi Ki Go-ceng tampak
berkeringat, ia menyengir dan berucap, "Belasan tahun tidak bertemu, masakah
baru bertemu lantas hendak berkelahi denganku?"
"Aku tidak bermaksud
demikian," jawab si perempuan baju hitam.
Ki Go-ceng seperti merasa
lega, ucapnya, "Jika begitu, hendaklah kau berdiri agak jauh. Bila kau
mendekat, hatiku lantas berdetak."
"Kau memang tidak punya
hati, mana bisa hatimu berdetak ?" ujar perempuan itu. Dia berjalan dengan
lambat, tapi tidak berhenti.
Bibir Ki Go-ceng seperti
mengering, ucapnya dengan suara serak, "Sesungguhnya apa kehendakmu?"
Perempuan itu tidak
menjawabnya, tapi bertanya malah, "Tahun ini usiamu sudah ada 72
bukan?"
"Ingat juga kau..."
Perempuan itu berucap pula,
"Siapapun kalau sudah hidup 72 tahun, tentunya sudah cukup bukan?"
"Apa maksudmu ini?"
tanya Ki Go-ceng sambil mengusap keringatnya.
"Apa maksudku masakah
belum jelas bagimu?"
"Selama berpuluh tahun
ini, siapa pula yang pernah tahu jelas maksudmu?"
Perempuan itu menghela nafas
perlahan, lalu berkata, "Ai, kuharap janganlah kau paksa ku turun tangan
padamu."
Air muka Ki Go-ceng berubah
hebat, mendadak ia menengadah dan terbahak-bahak, "Hahaha... memangnya
baru bertemu kau menghendaki aku segera bunuh diri?"
Meski tertawa, tapi suara
tertawanya jauh lebih tidak enak didengar daripada suara menangis.
Pada saat itu juga, mendadak
tubuh Ki Go-ceng mengapung ke atas, perawakannya yang kurus itu seperti bukan
tubuh manusia melainkan seekor elang yang buas dan lapar.
Namun si perempuan baju hitam
tetap berdiri tenang di tempatnya, jika Ki Go-ceng ibaratnya seekor elang, maka
dia sama seperti seekor domba. Tapi ketika Ki Go-ceng menubruk tiba, lengan
bajunya lantas mengebut perlahan.
Siapapun tidak menyangka
kebutan lengan bajunya yang perlahan ini dapat menahan serangan Ki Go-ceng.
Maka terdengarlah suara jeritan, bukan perempuan itu yang menjerit melainkan Ki
Go-ceng, tubuhnya mendadak mencelat beberapa tombak jauhnya dan menumbuk
dinding, "blang", lalu tubuhnya memberosot ke kaki dinding dan jatuh
terduduk, matanya melotot ke arah perempuan baju hitam, ucapnya dengan serak,
"Inilah Cing... Cing-gi..."
Belum habis ucapannya, darah
segar lantas menyembur dari mulutnya.
Dengan tak acuh, perempuan
baju hitam berkata, "Betul, inilah Sian-thian-cing-gi, tajam juga
pandanganmu!"
Mendadak Ki Go-ceng bergelak
seperti orang gila, teriaknya, "Bagus, haha, bagus! Sian-thian-cing-gi,
tiada tandingannya di dunia, matipun aku tidak penasaran."
Sambil tertawa kaki dan
tangannya juga bergerak-gerak, keadaannya benar-benar mirip orang gila.
Percikan darah tampak
berhamburan mengikuti suara tertawanya, waktu habis ucapannya darahpun kering,
suara tertawa juga berhenti, tinggal kerongkongannya mengeluarkan suara
"krok-krok" seperti kodok ngorok.
Meski benci terhadap orang
ini, tanpa terasa Lui-ji memejamkan mata juga dan tidak tega memandangnya.
Pwe-giok sendiri pernah
mendengar nama "Sian-thian-cing-gi" atau tenaga sakti asli, selama
ini ia menyangka ilmu itu hanya dongeng Kangouw seperti halnya orang bilang
"pedang dapat dikendalikan dengan hawa" serta "mengirimkan
gelombang suara" segala. Ilmu sakti ini mungkin terjadi di jaman dahulu,
tapi sekarang tentunya sudah lenyap dan tiada orang yang mampu melatihnya lagi.
Sama sekali tak terpikir
olehnya bahwa sekarang dirinya justeru dapat menyaksikan ilmu sakti tersebut.
Dilihatnya Ki Go-ceng telah
terkulai di tengah genangan darah, semula masih terus ngorok seperti suara
kodok, selang sejenak mendadak tubuhnya melonjak ke atas, lalu jatuh dan tidak
bergerak lagi.
Baru sekarang si perempuan
baju hitam berpaling dan memandang Pwe-giok. Sinar matanya masih tetap tenang dan
lembut, tapi seakan-akan dapat menembus cadar sutera dan menembus darah daging,
terus menembus ke lubuk hati Pwe-giok. Tanpa terasa anak muda itu menunduk.
"Kau inikah Ji Pwe-giok,
Ji-kongcu ?" tanya si perempuan baju hitam.
Bahwa dia ternyata kenal nama
Pwe-giok, bahkan bersikap seramah ini padanya, kalau orang lain tentu akan
merasa senang seperti mendapat rejeki di luar dugaan.
Tapi Pwe-giok justeru merasa
rada takut. Ia tidak mengerti dirinya ternyata sedemikian terkenal. Ia tahu
terkenal bukan sesuatu yang menyenangkan.
"Terkenal" dapat
diibaratkan sepotong baju yang mewah, meskipun dapat membuat orang kelihatan
cemerlang, tapi harganya terkadang juga sangat menakutkan.
Melihat anak muda itu
termenung, Hay Tong-jing lantas menyela, "Ji-heng, guruku sedang bicara
denganmu."
"O, ya, cayhe memang
betul Ji Pwe-giok," cepat Pwe-giok menenangkan diri.
"Baik, coba kau ikut
padaku," kata perempuan itu sambil mengebaskan lengan bajunya perlahan.
Ji Pwe-giok, Hay Tong-jing dan
Cu Lui-ji bertiga segera seperti diembus angin sejuk, seketika hiat-to mereka
yang tertutuk tadi telah terbebas semua.
Cepat Hay Tong-jing menyembah,
"Tecu..."
"Urusanmu dengan Yang
Cu-kang sudah kuketahui dan tidak perlu bicara lagi," kata si perempuan
baju hitam, sedikit bergeser, tahu-tahu sudah sampai di luar pintu.
Mendadak Lui-ji menarik tangan
Pwe-giok erat, tanyanya dengan suara tertahan, "Hendak kau ikut pergi
bersama dia?"
Pwe-giok merasa tangan anak
dara itu rada gemetar, tanpa terasa timbul perasaan kasihannya, jawabnya dengan
lembut, "Sudah tentu kaupun ikut bersamaku."
Terbeliak mata Lui-ji, makin
kencang ia pegang tangan anak muda itu, katanya, "Kemanapun pasti akan kau
bawa serta diriku?"
Pwe-giok terharu, jawabnya,
"Ya, kemanapun aku akan tetap berada bersamamu."
Tapi mendadak si perempuan
baju hitam menyeletuk, "Tapi sekali ini dia tidak dapat membawa kau."
Tubuh Lui-ji tergetar dan
melepaskan tangan Pwe-giok, tanyanya dengan parau, "Sebab apa?"
"Sebab aku yang
omong," sahut perempuan itu.
Lui-ji melonjak dan berteriak,
"Berdasarkan apa hendak kau pisahkan kami? Meski kau telah menyelamatkan
kami, tapi kalau bukan muridmu yang membikin susah kami, tidak nanti kami
datang ke sini..."
Suaranya seperti tersumbat,
air matanya bercucuran pula, lalu ia menghentakkan kaki dan berteriak lagi,
"Jadi adalah pantas jika kau selamatkan kami, berdasar apa lantas bersikap
garang dan main kuasa?"
Air muka Hay Tong-jing
berubah, ia menyembah di tanah dan memohon, "Dia masih anak kecil, mohon
Suhu jangan marah padanya."
Lui-ji mendongak, ia tahan air
matanya dan berseru, "Tidak perlu kau mohonkan ampun bagiku. Aku tidak
takut, biarpun dia membunuhku juga aku tidak takut. Matipun aku ingin berada
bersama Ji Pwe-giok."
Ia pegang lagi tangan Pwe-giok
dan berkata: "Kau sendiri yang bilang, kemanapun akan kau bawa serta
diriku, masa... masa akan kau tarik kembali janjimu?"
Pwe-giok terdiam, dengan
lembut ia mengusapkan air mata di pipi anak dara itu, mendadak ia berpaling
menghadapi si perempuan berbaju hitam dan berkata, "Sudah ku janji
padanya, juga sudah berjanji pada Saceknya, betapapun tidak boleh kutinggalkan
dia."
"Masa hubungan mesra ini
saja tidak dapat kau tinggalkan, lalu pekerjaan besar apa yang dapat kau
hasilkan?" jengek si perempuan baju hitam.
Dengan sekata demi sekata
Pwe-giok menjawab, "Jika aku tidak dapat menepati janji, lalu dapatkah aku
dikatakan manusia?"
Perempuan baju hitam
memandangnya lekat-lekat, perlahan sinar matanya menampilkan secercah senyuman,
ucapnya, "Bagus, bagus, kau memang anak yang baik..." ia melayang ke
depan Lui-ji dan perlahan mengangkat tangannya.
Nafas Pwe-giok dan Hay
Tong-jing serasa berhenti, sebab mereka tahu, asalkan tangan itu jatuh ke
bawah, seketika kepala Lui-ji bisa hancur luluh.
Terdengar perempuan itu
bertanya kepada Lui-ji, "Jadi kau merasa berat untuk berpisah dengan
dia?"
Dengan menggertak gigi Lui-ji
memandangnya dan menjawab, "Siapapun jika ingin memisahkan aku dan dia,
lebih dulu dia harus melangkahi mayatku."
Memandangi tangan si perempuan
berbaju hitam, jantung Pwe-giok serasa mau berhenti berdetak.
Tapi tangan perempuan itu
perlahan diturunkan lagi, dengan perlahan dia membelai rambut Lui-ji, katanya
dengan suara halus. "Kaupun anak yang baik, tapi kalau benar-benar kau
suka padanya, selayaknya tidak boleh menjadi bebannya, harus membiarkan dia
pergi sendiri untuk melakukan tugas berat."
Lui-ji melengak, mendadak ia
mendekap mukanya dan menangis.
"Bukan maksudku hendak
menyuruh dia meninggalkan kau," kata pula si perempuan baju hitam,
"aku hanya menghendaki kalian berpisah untuk sementara, toh kalian masih
sangat muda, kesempatan bertemu di kemudian hari kan masih panjang."
Lui-ji mendelik, ucapnya
dengan suara parau, "Baik, tidak perlu kau katakan lagi. Aku akan pergi,
pergi seorang diri..." dia mendekap mukanya dan berlari pergi.
Tapi Pwe-giok sempat
menariknya dan bertanya, "Hen... hendak kemana kau?"
Sambil menggigit bibir Lui-ji
menjawab, "Kaupun tidak perlu urus diriku, dengan sendirinya ada tempat
yang ku tuju."
Meski dia menahan perasaan
sedapatnya, tidak urung air mata masih terus berderai.
Meski dunia ini tidak cuma
seluas daun kelor, tapi kemanakah dia harus pergi?
Tiba-tiba perempuan berbaju
hitam menghela nafas perlahan, ucapnya, "Tong-jing, boleh kau bawa dia
pulang ke gunung, tentu akan kusuruh Ji-kongcu kesana untuk mencarinya, tahu
tidak?"
Dengan girang dan kejut Hay
Tong-jing mengiakan, tanyanya, "Apakah Suhu hendak mengambilnya sebagai
murid perempuan?"
Tersenyum juga perempuan baju
hitam, jawabnya dengan perlahan, "Dia memang anak perempuan yang
baik."
* * *
Cuaca cerah dan hawa sejuk,
sang surya memancarkan sinarnya dengan gemilang, meski sudah di buntut musim
rontok, namun hawa udara seperti musim semi.
Untuk pertama kalinya Pwe-giok
merasakan betapa menyenangkan sinar matahari setelah sekian lama dirundung
malang.
Sekarang segalanya sudah mulai
ada titik balik, Lui-ji juga mempunyai harapan hari depan yang baik. Berdiri di
bawah sinar sang surya yang hangat ini, saking tak tahan hampir saja dia
bersenandung sekerasnya.
Satu-satunya urusan yang
disesalkannya adalah ia tidak menemukan Kwe Pian-sian dan Ciong Cing, juga
tidak menemukan Ki Leng-hong, bisa jadi Ki Leng-hong telah membawa pergi Kwe
Pian-sian dan Ciong Cing secara diam-diam.
Tapi kalau dibandingkan dengan
hal-hal yang menyenangkan itu, apa artinya sedikit penyesalan.
Didengarnya si perempuan
berbaju hitam lagi berkata, "Meski Yang Cu-kang adalah murid khianat, tapi
ada sementara urusan dia tidak berdusta, tatkala mana Hay Tong-jing berada di
sampingnya, tentunya dia tidak berani berdusta."
"Apakah Ki Go-ceng adalah
Tangkwik-sianseng?" tanya Pwe-giok.
"Bukan," jawab
perempuan baju hitam. "Ki Go-ceng tidak lebih juga cuma salah seorang
boneka Tangkwik-sianseng, baik ilmu silat maupun tipu akal dan keganasannya
bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan Tangkwik-sianseng."
"Dan Cianpwe
sendiri..."
"Terus terang,"
tukas perempuan baju hitam sambil menghela nafas, "aku sendiripun bukan
tandingan iblis jahat itu."
"Tapi Sian-thian-cing-gi
Cianpwe kan tiada tandingannya di dunia?" ujar Pwe-giok.
"Meski Sian-thian-cing-gi
maha sakti, tapi sang pencipta alam ini sangat adil, setiap makhluk setiap
barang, selalu diciptakan secara saling anti menganti. Meski kelabang adalah
serangga berbisa, tapi ayam jago adalah musuhnya. Biarpun Sian-thian-cing-gi
sangat hebat, tetap belum terhitung tiada tandingannya di dunia."
Setelah menghela nafas, lalu
ia melanjutkan. "Demi menghadapi diriku, selama belasan tahun ini
Tangkwik-siansing telah berhasil meyakinkan semacam kungfu yang khusus
ditujukan untuk melawan Sian-thian-cing-gi. Kalau tidak, mana dia berani muncul
lagi di dunia Kangouw?"
"Wah, kungfu apakah
itu?" tanya Pwe-giok.
"Bu-siang-sin-kang (ilmu
sakti tak berwujud)!"
"Bu-siang-sin-kang?"
Pwe-giok menegas. "Wah, setelah berhasil meyakinkan Bu-siang-sin-kang,
lantas orang ini boleh malang melintang di dunia Kangouw tanpa takut kepada
siapa pun?"
"Di dunia ini sekarang
memang tiada seorang pun dapat menandingi dia, orang yang dapat menumpasnya di
dunia ini mungkin hanya ada seorang saja," tutur si perempuan baju hitam.
"Oo, siapa?" tanya
Pwe-giok.
"Kau!" jawab
perempuan itu tegas.
"Ak... aku?!"
Pwe-giok jadi melenggong. "Tapi... aku..."
"Bicara tentang ilmu
silat, dengan sendirinya kau bukan tandingannya, tapi kau seorang yang dapat
berpikir panjang, berhati tabah, tenang, banyak segi baikmu yang tidak terdapat
pada orang lain."
"Akan tetapi..."
"Apakah kau tahu kisah
Heng Ko membunuh raja Cin di jaman Ciankok dahulu?" sela si perempuan baju
hitam.
"O, maksudmu aku...
akupun harus membunuh Tangkwik-siansing secara gelap?"
"Membunuh secara licik
sebenarnya bukan tindakan seorang ksatria sejati," ujar si perempuan baju
hitam. "Tapi keadaan mendesak, urusan sudah terlanjur begini, terhadap
iblis jahat seperti dia itu tidak perlu lagi bicara tentang tindakan terang
atau gelap."
"Tapi orang kosen semacam
Tangkwik-siansing, cara... cara bagaimana dapat kudekati dia?"
"Banyak sekali
kesempatanmu untuk mendekati dia."
"Caranya?" tanya
Pwe-giok.
"Sudah tentu jalan yang
paling mudah adalah berusaha mendapat kepercayaan dan kaupun dapat mendekati
dia dengan leluasa."
"Tapi berdasarkan apa
Tecu akan mendapatkan kepercayaannya?"
"Tentu saja kau memiliki
barang yang bisa mendapatkan kepercayaan Tangkwik-siansing, hanya saja kau
sendiripun tidak mengetahuinya."
"Oo? Sudikah Cianpwe
memberi penjelasan?"
"Coba katakan dulu, benda
mestika simpanan Siau-hun-kiongcu sudah kau dapatkan bukan?"
Pwe-giok tidak berani
berdusta, tanpa pikir dia membenarkan.
Mencorong sinar mata si
perempuan baju hitam, katanya, "Dan di antara barang-barang tinggalan
Siau-hun-kiongcu itu terdapat sepotong Tik-pai (plat bambu) bukan?"
Orang kosen ini ternyata
mempunyai kekuatan yang luar biasa dan pengetahuan yang luas, rasanya sukar
sekali bagi orang yang ingin berdusta padanya.
Maka Pwe-giok mengiakan pula.
"Dan Tik-pai itu apakah
masih berada padamu?" tanya perempuan baju hitam.
"Syukurlah sampai
sekarang masih kusimpan," jawab Pwe-giok.
"Sebenarnya barang itu
cuma sepotong belahan bambu yang sangat umum, tapi dalam pandangan orang lain
justeru merupakan benda yang tak ternilai harganya, dan apakah kau tahu dimana
letak nilainya yang tinggi itu?"
"Justeru hal inilah yang
tidak kuketahui," jawab Pwe-giok.
"Sebab Tik-pai itu adalah
benda kepercayaan Tangkwik-siansing."
"Benda tanda
kepercayaan?"
"Ya, barang siapa
memegang pelat bambu itu, seketika jadilah dia tuan penolong Tangkwik-siansing,
apapun yang harus dilakukan Tangkwik-siansing atas permintaan orang yang
memegang benda itu pasti takkan ditolaknya."
"O, sebab apa?"
tanya Pwe-giok.
"Orang ini meski sangat
kejam, tapi berwatak angkuh, tinggi hati, sama sekali dia tidak mau hutang
budi, betapapun dia tidak suka ditolong orang. Tak tersangka, 30 tahun yang
lalu ia justeru telah utang budi kepada seseorang, dan orang ini justeru tidak
mengharapkan balas jasa apapun dari dia. Karena itu, terpaksa dia mengukir
sepotong bambu dan diberikan kepada penolongnya itu sebagai tanda
kepercayaannya. Pada potongan bambu itu terukir huruf yang mengatakan
"melihat Tik-pai sama dengan ketemu orangnya", jadi Tik-pai itu
mewakili Tangkwik-siansing..."
"Ya, ku paham
maksudnya," kata Pwe-giok. "Dan siapakah orang yang memegang Tik-pai
itu?"
"Siapapun orang ini
tidaklah penting bagi kita, sebab dia sudah mati, yang utama sekarang adalah
Tik-pai tersebut sekarang berada padamu," kata si perempuan baju hitam.
"Jika Tangkwik-siansing sudah menyatakan Tik-pai itu sama dengan dia
pribadi, maka sekarang kau juga sama sebagai tuan penolongnya. Apapun yang kau
minta, pasti dilakukannya tanpa ditolak. Kan sudah kukatakan, watak orang ini
sangat tinggi hati, apa yang sudah diucapkannya tidak nanti dijilat
kembali."
"Jadi maksud Cianpwe agar
kubawa Tik-pai untuk menemui Tangkwik-siansing dan menyuruh dia memenggal kepalanya
sendiri?" tanya Pwe-giok setelah berpikir.
Perempuan baju hitam tertawa,
katanya, "Biarpun dia tidak bakalan menjilat kembali apa yang
diucapkannya, kala kau minta dia memenggal kepalanya sendiri, betapapun tidak
nanti dilakukannya. Jika 30 tahun yang lalu permintaanmu mungkin akan
terpenuhi, tapi sekarang, usia seorang kalau sudah tambah lanjut, semakin dekat
akhir hayatnya, biasanya orang akan semakin merasakan betapa berharganya jiwa
sendiri."
"Jika demikian, jadi
maksud Cianpwe..."
"Boleh kau temui dia
dengan membawa Tik-pai dan minta dia mengajarkan Bu-siang-sin-kang
padamu."
"Kemudian?"
"Untuk belajar
Bu-siang-sin-kang, tentu saja tidak dapat diselesaikan dalam waktu tiga atau
lima hari. Selama kau belajar kungfu padanya, tentu banyak kesempatanmu untuk
berdekatan dengan dia."
"Ya, betul," kata
Pwe-giok.
"Tidak dapat membalas
budi, inilah yang dianggapnya penyesalan selama hidup. Sekarang kau datang
padanya dengan membawa Tik-pai serta memohon sesuatu padanya, hal ini boleh
dikatakan telah melunasi cita-citanya selama ini. Dia pasti akan sangat girang
dan takkan tanya asal usulmu, juga pasti tidak berprasangka buruk padamu,
pepatah bilang "harimau pun ada kalanya berkedip". Nah, karena kau
dapat mendekati dia setiap saat, tentu banyak kesempatan bagimu untuk turun
tangan."
"Akan tetapi..."
Perempuan baju hitam tidak
membiarkan anak muda itu bicara, dengan suara tegas ia menyela, "Setelah
kau tahu kejahatan dan rencana kejinya, apa pula yang kau ragukan lagi? Masakah
kau tidak ingin menumpas kejahatan bagi dunia Kangouw umumnya, masakah kau
tidak ingin membalas dengan bagi dirimu sendiri?"
"Jadi asal usul diriku
sudah diketahui Cianpwe?" tergerak hati Pwe-giok.
Perempuan itu tersenyum,
katanya, "Tahukah kau siapa yang mengubah bentuk wajahmu ini?"
"Sungguh menyesal, Tecu
menerima budi pertolongan beliau, tapi siapa nama beliau yang mulia sejauh ini
belum kuketahui," jawab Pwe-giok dengan sedih.
"Pribadinya juga
menanggung penderitaan yang sangat mendalam, sebab itulah sudah lama dia
mengasingkan diri dan melupakan nama, tapi dapat kuberitahukan kepadamu, dia
adalah sahabatku yang paling karib."
Mau tak mau Pwe-giok merasa
kagum.
"Sudah lama sekali
Tangkwik-siansing tidak berani bergerak," demikian perempuan baju hitam
menyambung lagi, "sebabnya adalah karena dia jeri terhadap kami berdua,
sebab meski Bu-siang-sin-kang telah berhasil dilatihnya dengan baik, tapi kalau
menghadapi gabungan kami berdua, tetap kami sanggup mematikan dia... cuma...
cuma sayang..." suaranya semakin lemah dan berubah menjadi helaan nafas.
"Cuma sayang apa?"
tanya Pwe-giok. "Masakah beliau sudah..."
Sampai cukup lama si perempuan
baju hitam terdiam, habis itu kelihatan terangsang pula, dadanya naik-turun, ia
menghela nafas panjang sekali lalu berucap dengan sedih, "Mungkin...
mungkin ia sudah terkena tangan keji Tangkwik-siansing..." tapi dengan
cepat ia menyambung pula, "Namun urusan ini belum dapat kubuktikan, jika
Tangkwik tidak mengetahui jelas dia sudah meninggal, mana dia berani muncul
lagi di dunia Kangouw? Justeru lantaran dia sudah mati, maka Tangkwik menjadi
berani."
Pwe-giok mengertak gigi dan
berkata, "Apa pesan Cianpwe pasti akan kukerjakan, cuma, kalau gerak-gerik
Tangkwik-siansing ini sedemikian misterius, kemana harus kucari dia?"
"Dengan sendirinya sukar
bagimu untuk mencarinya, tapi dapat diusahakan agar dia yang mencari kau,"
kata perempuan baju hitam.
"O, maksud Cianpwe agar
Tecu menyiarkan berita bahwa Tik-pai itu berada pada tanganku?"
"Betul, jika mendengar
berita Po-in-pai (pening balas budi) sudah jatuh di tanganmu, tentu dia akan
mencari kau betapapun jauhnya."
"Melihat Tik-pai itu sama
melihat orangnya, artinya hanya kenal pada Tik-pai itu dan tidak pula kenal
orangnya, tapi sebelum kuserahkan Tik-pai itu padanya, kan setiap orang juga
dapat merampas Tik-pai itu dari tanganku?"
"Tapi siapakah yang mampu
merebut Tik-pai itu dari tanganmu?" ujar si perempuan baju hitam.
Pwe-giok tersenyum getir,
ucapnya, "Bukannya Tecu tidak dapat menilai dirinya sendiri, tapi
sesungguhnya orang kosen di dunia Kangouw ini masih sangat banyak."
"Betul juga
ucapanmu," kata perempuan itu, "dengan ilmu silatmu sekarang, di
dunia ini sedikitnya masih ada 13 tokoh yang mampu mengalahkanmu, bisa jadi
lebih. Tapi orang-orang ini kebanyakan sudah mengasingkan diri, jika mendengar
berita hangat ini, mungkin sekali merekapun akan tertarik, andaikan tidak
sampai main rebut secara terang-terangan, bukan mustahil akan mengincarnya
secara diam-diam."
Tanpa memberi kesempatan
bicara kepada Pwe-giok, dengan tertawa ia menambahkan pula, "Tapi kau juga
sudah memegang Giam-ong ceh (piutang raja akhiran), kenapa mesti takut lagi
kepada orang-orang ini?"
"Giam-ong-ceh?"
Pwe-giok menegas dengan heran.
"Ya, jika kau pegang
Po-sin-pai, masa tidak pegang Giam-ong-ceh?" ujar si perempuan baju hitam.
"Yang Cianpwe maksudkan
apakah buku catatan itu?" tanya Pwe-giok.
"Betul," jawab
perempuan itu, lalu dengan perlahan ia berucap, "Manusia bukan nabi, siapa
yang tidak pernah berbuat salah? Orang hidup selama berapa puluh tahun, sedikit
banyak pasti pernah berbuat salah dan merugikan orang lain, lebih-lebih orang
yang sudah terkenal litu, orang hanya melihat sebelah yang gemilang, tapi lupa
pada sisi yang lain. Siapapun tidak tahu dengan batu loncatan apa mereka
berhasil merangkak ke atas?"
Pwe-giok menghela nafas
panjang, iapun tahu jalan menuju sukses memang tidak mudah, untuk bisa mencapai
titik final entah perlu melangkahi berapa banyak mayat orang.
"Misalnya," demikian
perempuan baju hitam menyambung lagi, "sebabnya Ang Seng-ki dapat menjadi
ketua Hong-bwe-pang, justeru lebih dulu dia membunuh Suhengnya, lalu meracun
mati gurunya. Rahasia ini akhirnya toh terbongkar. Tapi sebelum tersingkap,
setiap orang Kangouw sama mengakui Ang Seng-ki adalah seorang ksatria sejati, seorang
pahlawan besar."
Pwe-giok menghela nafas dan
diam saja.
Perempuan itu melanjutkan,
"Setelah rahasianya terbongkar, maka orang hanya menganggap nasib Ang
Seng-ki lagi malang, sebab entah berapa banyak peristiwa serupa yang terjadi di
dunia Kangouw, hanya saja tidak diketahui orang luar."
"Jika ingin orang lain
tidak tahu, hanya diri sendiri jangan berbuat," ucap Pwe-giok menyitir
pepatah. "Seorang kalau berbuat dosa, lambat atau cepat pasti akan
ketahuan."
"Betul, rahasia apapun
juga akhirnya pasti akan terbongkar, dan diseluruh dunia ini, orang yang paling
banyak mengetahui rahasia ini ialah Siau-hun-kiongcu."
"Oo ?!" Pwe-giok
bersuara heran.
"Kau tahu
Siau-hun-kiongcu cantik molek dan tidak sedikit lelaki yang terpikat, dan saat
yang paling sukar untuk menyimpan rahasia kaum lelaki adalah pada waktu
berbaring di tempat tidur, di samping si molek."
Ucapan perempuan baju hitam
ini hanya samar-samar, tapi apa maksudnya cukup gamblang bagi pendengarnya.
Artinya, bilamana seorang
perempuan cantik tidur bersama kau di suatu tempat tidur, sebuah mulut mungil
berbisik-bisik di tepi telingamu, sepasang mata jeli memandangi kau di samping
bantal. Dalam keadaan demikian, jika kau dapat tutup rahasia, maka tergolong
kuat imanmu dan harus diberi tanda pujian. Sebab kalau seorang dapat menjaga
rahasia bagi orang lain, maka hakikatnya kau adalah seorang nabi.
Dan betapapun nabi di dunia
ini tidaklah banyak.
"Dari sekian orang yang
dikenalnya, Siau-hun-kiongcu telah memperoleh macam-macam rahasia yang tidak
diketahui umum," demikian perempuan baju hitam itu melanjutkan.
"Semua rahasia yang didengarnya itu lantas ditulisnya dalam buku catatan
itu. Dia memang seorang pintar, dia cukup tahu betapa nilainya sesuatu urusan,
ia dapat menunggu naiknya harga pasar. Ditunggunya bilamana harga urusan itu
sudah mencapai titik tertinggi barulah dijualnya. Sebab itulah buku catatan itu
selalu disimpannya dengan baik dan tidak pernah dibawanya dalam baju, sebab dia
yakin pada suatu hari kelak buku catatan itu pasti banyak gunanya."
"Tapi sejauh itu toh
tidak pernah digunakannya," kata Pwe-giok dengan menyesal.
"Hal ini disebabkan
mendadak ia berubah menjadi bodoh," kata perempuan baju hitam.
"Bodoh?" Pwe-giok
menegas.
"Ya, bodoh,"
perlahan perempuan baju hitam bertutur. "Di dunia ini ada dua macam orang
yang paling bodoh. Yang pertama adalah kakek yang mencintai anak gadis. Kakek
semacam ini mungkin saja cerdas, juga kenyang asam garam kehidupan, tapi
sering-sering kelabakan dan pusing kepala karena dipermainkan oleh seorang anak
dara yang masih berbau pupuk jeringau. Orang semacam ini meski kasihan, tapi
tidak ada orang yang bersimpatik padanya, sebab perbuatannya itu adalah akibat
tingkah polah sendiri."
Pwe-giok hanya tersenyum getir
saja, ia tahu orang yang tergila-gila kepada anak gadis memang bukan kejadian
yang menggembirakan, tapi sering2 malah dramatis, bahkan terkadang juga komedi.
"Dan orang bodoh macam
kedua adalah anak gadis yang edan kasmaran," tutur si perempuan baju hitam
lebih lanjut. "Betapapun biasanya anak gadis sangat pintar dan cerdik,
sekali dia gila cinta, seketika akan berubah menjadi bodoh dan buta. Sudah
jelas orang yang dicintainya itu adalah seorang penjahat, seorang pengeretan,
tapi dalam pandangannya lelaki itu adalah orang yang paling jujur di dunia ini,
lelaki yang paling menarik. Biarpun lelaki itu bilang padanya bahwa salju itu
hitam dan bak (tinta Cina) itu putih, maka iapun akan percaya penuh."
Pwe-giok jadi teringat kepada
Ciong Cing yang tergila-gila kepada Kwe Pian-sian yang sudah berumur itu, tanpa
terasa ia menghela nafas menyesal pula.
"Tapi Siau-hun-kiongcu
kemudian justeru berubah menjadi orang yang jauh lebih bodoh daripada kedua
macam orang tadi, dia bukan saja jatuh cinta secara membuta, bahkan orang yang
dicintainya itu adalah binatang kecil yang umurnya lebih muda beberapa puluh
tahun daripada dia."
Kembali Pwe-giok menghela
nafas, katanya, "Lantaran orang iniliah, Cu-kiongcu tidak sayang
mengorbankan segalanya, dengan sendirinya pula dia tidak mau menggunakan
rahasia pribadi untuk mengancam orang tua kekasihnya. Kemudian ketika
diketahuinya bahwa mereka semua itu adalah manusia berhati binatang, namun
segalanya sudah kasip, sudah terlambat."
"Betul, memang
begitu," kata perempuan itu. "Tapi dengan kecerdasanmu, apabila buku
catatan ini dapat kaupergunakan dengan baik, tentu banyak hal-hal yang
mengejutkan dapat kau lakukan, lebih lebih tidak perlu takut orang lain akan
mengusik dirimu."
"Akan tetapi..."
"Tidak perlu kau katakan,
kutahu maksudmu," potong perempuan itu sebelum lanjut ucapan Pwe-giok.
"Tapi air memang dapat melajukan kapal dan juga dapat menenggelamkan
kapal. Pada dasarnya sesuatu benda itu tidak jahat, bergantung pada hati orang
yang menggunakannya, hal ini perlu kau ketahui."
Pwe-giok mengiakan.
Maka tertawalah perempuan itu,
katanya, "Bagus sekali, sudah habis ucapanku, pergilah kau! Pada hari
suksesmu, hari itu pula kita akan bertemu. Tatkala mana, segala angan-anganmu
akan dapat kubantu kau menunaikannya."
* * *
Ketika bayangan tubuh Pwe-giok
menghilang di kejauhan, perempuan baju hitam itu masih tetap berdiri di situ.
Sang surya belum terbenam,
remang senja sudah mulai meliputi bumi.
Dalam keremangan senja itu
perempuan baju hitam itu mendadak berubah menjadi sangat misterius, sangat
menyeramkan.
Dia seperti mempunyai dua
macam peran, pada siang hari dia adalah manusia. Tapi bila malam tiba, dia
lantas berubah menjadi badan halus dalam kegelapan.
Kini dalam kegelapan telah
muncul pula sesosok badan halus yang lain.
Badan halus ini adalah Ki Go-ceng.
Bajunya masih berlepotan
darah, tapi mukanya sudah tercuci bersih, kedua matanya yang mencorong itu
menampilkan senyuman yang misterius, katanya dengan terkekeh, "Wah, hari
ini tidaklah sedikit pembicaraanmu."
"Untuk mengurangi sedikit
kesulitan di kemudian hari, apa alangannya bicara lebih banyak?" ujar si
perempuan berbaju hitam.
"Bunuh saja dia agar
tidak mendatangkan kesulitan?" kata Ki Go-ceng.
Perempuan baju hitam
menggeleng, "Kau tidak paham..."
"Aku memang tidak paham
mengapa kau suruh aku pura-pura mati dan mengapa melepaskan dia?"
"Sebab hanya dengan jalan
ini dapatlah memancing dia menceritakan berbagai urusan ini."
"Sudah
diceritakannya?" tanya Ki Go-ceng.
"Ya, dia sudah mengaku
memang dialah anaknya Ji Hong-ho, bahkan dugaanku juga tidak keliru, memang
betul si anjing tua itu yang mengubah bentuk wajahnya, dua hal inilah yang
selama ini tidak dapat kupastikan..."
"Setelah sekarang sudah
diketahui dengan pasti, mengapa kaulepaskan dia?"
Kembali perempuan itu
menggeleng, "Kau tidak paham, tapi selekasnya kau akan tahu..."
"Kuharap semoga kau tidak
berbuat salah."
"Bilakah aku pernah
melakukan sesuatu kesalahan?" jengek perempuan baju hitam. Mendadak ia
menyurut mundur dua langkah dan berkata, "Tubuhmu itu berdarah, kenapa
tidak ganti pakaian dulu?"
"Haha, kaupun mengira ini
darah sungguhan, tampaknya makin lama makin hebat kepandaianku," kata Ki
Go-ceng dengan tertawa.
Perempuan itu tertawa,
ucapnya, "Kepandaianmu memang tidak kecil."
"Eh, dimanakah muridmu
itu?"
"Maksudmu Hay
Tong-jing?"
Ki Go-ceng mengiakan.
"Dia sudah pulang dengan
membawa Cu Lui-ji dan Thi-hoa-nio."
"Apakah dia tahu urusan
kita ini?"
Dengan sekata demi sekata si
perempuan baju hitam menjawab, "Untuk suksesnya urusan besar, makin
sedikit orang yang mengetahui seluk beluknya akan makin baik."
"Dan bagaimana dengan
Yang Cu-kang?" tanya pula Ki Go-ceng.
"Demi suksesnya usaha
kita, kanperlu mencari beberapa orang untuk dijadikan kambing hitam?"
jawab perempuan berbaju hitam dengan perlahan.
* * *
Tanpa terasa musim rontok
sudah lalu, makin dinginlah angin yang bertiup.
Selama beberapa hari terakhir
ini boleh dikatakan selalu dilalui oleh Pwe-giok dalam keadaan tegang. Setiap
hari selalu terjadi hal-hal yang tidak terduga, satu persatu susul menyusul,
yang satu lebih berbahaya daripada yang lain sehingga menimbulkan pikirannya
bahwa hari ini mungkin adalah hari kehidupannya yang terakhir. Dan baru
sekarang dia benar-benar dapat menghela nafas lega.
Sekarang baru diketahuinya
keadaan sendiri yang nelangsa, baju yang dipakainya sangat tipis dan kotor,
harus ganti dan perlu mandi sebersihnya.
Jika tidak mati, maka dia
harus hidup sebaik-baiknya.
Dia ingin mencari suatu tempat
yang santai, lebih dulu mandi dan bersihkan muka, lalu ganti pakaian bersih.
Terbayang betapa nikmatnya berendam dalam air panas, sekujur badan seketika
terasa gatal.
Cuma sayang, dalam saku
Pwe-giok sekarang tertinggal beberapa mata uang saja. Seorang kalau keselamatan
jiwa selalu terancam, dalam keadaan demikian barulah dia melupakan uang.
Petang itu dia sampai di suatu
kota kecil, dengan dua duit dia membeli sekotak geretan dan membeli mi pangsit
dengan empat duit. Waktu dia meninggalkan kota kecil itu, sakunya sudah kosong
melompong.
Namun hati terasa sangat
senang, terutama rahasia orang-orang ternama adalah hal yang paling menarik
bagi siapapun.
Sifat suka menyelidiki rahasia
orang lain memang merupakan sifat buruk manusia.
Begitulah di luar kota
Pwe-giok mendapatkan sebuah tempat yang teraling dari tiupan angin, di situ ia
membuat api unggun, setelah dipanggang dengan api, timbullah huruf-huruf yang
tertulis pada buku catatan tinggalan Siau-hun-kiongcu.
Nama-nama yang tercatat di
dalam buku harian itu memang seluruhnya terdiri dari tokoh-tokoh terkenal,
kebanyakan sudah pernah didengar Pwe-giok, diantaranya termasuk kesepuluh tokoh
top seperti Tonghong Tay-beng, Li Thian-ong, Oh-lolo cinjin, dan sebagainya,
juga nama ketua ke-13 orang besar yang ikut dalam pertemuan Wi-ti semuanya
tercatat di situ.
Yang paling menyolok dan mendebarkan
bagi Pwe-giok adalah nama ketiga orang ini, Ki Go-ceng, Hong Sam, dan Ji
Hong-ho.
Ia hampir tidak percaya kepada
matanya sendiri. Selama hidupnya ayahnya terkenal jujur dan lurus, tidak
kemaruk harta, tidak cari nama. Lalu ada perbuatan apa yang juga dianggap
berdosa?
Meski dia tidak percaya, tapi
juga tidak berani tidak percaya.
Ketika membaca nama Hong Sam,
halaman itulah dilewatkan.
Hong Sam adalah saudaranya,
sahabatnya, biarpun pernah berbuat sesuatu kesalahan juga dapat dimaklumi, maka
iapun tidak ingin tahu.
Tapi dia tidak melampaui
catatan mengenai Ki Go-ceng. Dilihatnya di bawah nama Ki Go-ceng tercatat
keterangan: Berzinah antar kakak dan adik.
Jantung Pwe-giok seakan-akan
berhenti berdenyut. Sungguh sukar dipercaya di dunia ini ternyata ada manusia
yang tidak tahu malu dan kotor begini. Tapi mau tidak mau ia harus percaya,
sebab lantas teringat olehnya putera Ki Go-ceng, yaitu Ki Cong-hoa, kalau bukan
hasil perzinahan antara kakak dan adik, manabisa melahirkan orang yang gila
itu?
Tapi anehnya Ki Leng-hong dan
Ki Leng-yan tidak mendapatkan bibit jahat keturunan mereka. Padahal umumnya
putera-puteri orang kerdil juga jarang yang normal. Apakah mereka memang bukan
puteri sedarah Ki Cong-hoa?
Pwe-giok jadi teringat pada
lorong di bawah tanah di Sat-jin-ceng atau perkampungan pembunuh orang itu. Di
lorong rahasia itu ditemukannya sepotong batu giok, lalu teringat pula kekasih
Ki-hujin yang misterius itu. Tidak perlu disangsikan lagi orang itu jelas
adalah anggota keluarga Ji (mengenai Sat-jin-ceng dan keluarga Ki, hendaknya
baca Renjana Pendekar).
Apakah semua itulah rahasia
pribadi "Ji Hong-ho" gadungan itu?
Pwe-giok tidak berani
memikirkannya lagi, tapi ia tahu bila urusan ini tidak dibikin terang, kelak
setiap saat toh masih tetap akan teringat olehnya.
Tanpa terasa ia membalik
halaman yang tercatat nama "Ji Hong-ho". Tangannya terasa gemetaran
dan jantung berdetak keras.
Dilihatnya di bawah nama
"Ji Hong-ho" itu tertulis keterangan: kakak beradik tidak akur, adik
diusir sehingga menjadi bandit. Wajahnya kelihatan alim, tapi perbuatannya
rendah.
Di samping terdapat pula
sebaris huruf kecil yang menjelaskan "Bandit di padang pasir utara
It-koh-yan (satu gulung asap) ialah adik Ji Hong-ho, diusir sang kakak sejak
kecil, akhirnya menjadi penjahat. Sang kakak terkenal sebagai orang suci,
adiknya tersohor sebagai bandit. Sungguh lucu."
Seketika tangan Pwe-giok
berkeringat dingin.
Teringat olehnya waktu kecil
pernah didengarnya mempunyai seorang Jicek atau paman kedua, tatkala mana
ibunya belum meninggal dunia, apabila dirinya bertanya mengenai paman itu, sang
ibu lantas marah dan menjawab, "Jicek sudah mati, sudah lama mati."
â€" Bahkan disuruhnya selanjutnya jangan bertanya pula.
Dan baru sekarang diketahuinya
sang paman tidak mati, jika demikian apakah kekasih gelap Ki-hujin itu memang
betul pamannya? Jangan-jangan Ki Leng-hong dan Ki Leng-yan adalah puteri
pamannya, hasil hubungan gelap antara sang paman dengan Ki-hujin?
Selama ini Ki Leng-hong terus
berusaha melindungi dirinya, apakah lantaran di antara mereka memang ada
semacam hubungan darah dan kontak perasaan yang aneh?
Selagi Pwe-giok
termenung-menung sendiri, tiba-tiba didengarnya bunyi gemertak roda kereta.
Seorang yang memakai mantel ijuk dan bertopi caping dengan mendorong sebuah
gerobak roda satu tampak muncul dari arah timur.
Dalam kegelapan tidak
kelihatan barang apa yang termuat di atas gerobak itu, tapi dari jauh sudah
tercium bau obat-obatan, jadi muatan gerobak itu kebanyakan adalah bahan
obat-obatan.
Jalanan di daerah Sujwan
memang tidak datar, tapi banyak liku jalan pegunungan yang sukar dilalui kereta
dan kuda. Hanya gerobak roda satu beginilah yang paling leluasa didorong kian
kemari. Di daerah pegunungan Sujwan juga banyak menghasilkan bahan obat-obatan,
maka pedagang obat di berbagai daerah kebanyakan adalah orang Sujwan.
Orang dengan gerobak roda satu
ini tidak ada sesuatu yang istimewa, jika orang lain tentu takkan menaruh
perhatian. Tapi Pwe-giok justeru merasa orang ini dan gerobaknya perlu
dicurigai.
Dari suara roda kereta dapat
diketahuinya barang muatan gerobak itu cukup berat, padahal umumnya bobot bahan
obat-obatan sangat ringan.
Curah hujan di daerah Sujwan
sangat sedikit, tapi orang ini justeru memakai mantel ijuk yang biasanya cuma
dipakai kalau hari hujan, meski mendorong kereta seberat ini, namun langkahnya
sangat cepat dan enteng, tidak kelihatan makan tenaga.
Saudagar obat-obatan biasanya
juga suka berkelompok, tapi orang ini menempuh perjalanan seorang diri, bahkan
kini sudah jauh malam dan dia masih meneruskan perjalanannya.
Semua ini cukup menimbulkan
curiga. Hanya saja saat ini Pwe-giok tidak sempat memikirkan orang lain.
Sedangkan tukang gerobak itupun sedang mendorong dengan kepala tertunduk dan
tidak memperhatikan anak muda itu.
Pada saat itulah,
sekonyong-konyong dari kejauhan bergema pula derap kaki kuda lari yang riuh,
hanya sekejap saja, suara itu sudah mendekat, nyata kuda ini berlari dengan
sangat cepat.
Pwe-giok terkejut oleh suara
derap kaki kuda yang cepat itu, dalam kegelapan malam yang sunyi, suara kaki
kuda ini kedengarannya sangat menusuk telinga. Namun si tukang gerobak tadi
ternyata tidak angkat kepala dan juga tidak berpaling, seperti orang yang tidak
mendengar apa-apa.
Tampak seekor kuda membedal
dengan cepat, kira-kira masih tiga tombak jauhnya serentak si penunggang kuda
melayang dari pelana kuda dan sekali berjumpalitan di udara, seperti burung
seriti menerobos hutan, dengan tepat ia hinggap di depan si tukang gerobak.
Kuda yang ditinggalkannya itu
meringkik nyaring dan berhenti seketika.
Diam-diam Pwe-giok memuji,
"Orangnya cekatan, kudanya tangkas!"
Tapi si tukang gerobak
seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi, ia masih terus mendorong gerobaknya ke
depan dengan tunduk kepala.
Padahal si penunggang kuda
tepat menghadang di tengah jalan, tampaknya gerobak itu segera akan
menumbuknya, namun dia tetap tidak bergerak sedikitpun, sungguh tenang dan
tabah luar biasa.
Sekarang dapat dilihat
Pwe-giok potongan badan penunggang kuda itu pendek lagi gemuk, sehingga mirip
sebuah bola. Pada punggungnya justru menyandang sebatang pedang yang amat
panjang, bentuknya menjadi rada lucu.
Namun sikapnya ternyata luar
biasa, dia hanya berdiri di situ, seketika timbul semacam wibawa yang membikin
orang jeri dan tidak berani menghinanya.
Meski tidak dapat melihat
jelas mukanya, tapi diam-diam Pwe-giok sudah dapat menduga siapakah orang
buntak ini.
Ketika gerobak yang
didorongnya itu persis hampir menyentuh tubuh orang, barulah mendadak
dihentikan, begitu cepat berhentinya seperti halnya rem pakem pada kendaraan
bermesin jaman kini. Padahal muatan gerobak itu sangat berat, tapi baginya
ternyata tidak ada artinya, sekali mau berhenti segera berhenti.
Baru sekarang si penunggang
kuda menengadah dan bergelak tertawa, serunya. "Hahaha, mengapa
Auyang-pangcu telah berganti usaha menjadi saudagar obat-obatan ? Wah, inilah
baru berita !"
Kiranya si tukang gerobak
adalah Auyang Liong, pemimpin besar ke 72 kelompok bajak di perairan Tiangkang.
Orang ini sudah pernah dilihat Pwe-giok sewaktu rapat di Hong-ti, cuma sekarang
pentolan bajak ini memakai topi dan jas hujan, sehingga wajah aslinya tertutup,
tadi Pwe-giok juga merasa orang seperti sudah pernah dikenalnya, cuma tidak
ingat siapa dia.
Begitulah terdengar Auyang
Liong sedang menjawab dengan tertawa, "Tajam benar pandangan Hi-tocu,
kagum, kagum !"
Dia mendorong capingnya ke
atas, lalu menyambung pula. "Hi-tocu sendiri tidak memancing ikan saja di
lautan selatan, tapi jauh-jauh lari ke sini, memangnya ada pekerjaan apa?
Memangnya jabatan pemimpin besar lautan selatan juga sudah ditinggalkan Hi-tocu
dan sekarang telah berganti jenis usaha?"
Benar juga, Pwe-giok tidak
salah lihat, si buntak ini memang betul gembong bajak laut di daerah selatan,
terkenal sebagai Hui-hi-kiam-khek atau si pendekar pedang ikan terbang, namanya
Hi Soan.
Kedua orang ini sama-sama
bajak, yang satu bajak laut, yang lain perompak sungai, tapi sekarang keduanya
bertemu di daratan sini. Jelas ini tidak terjadi secara kebetulan, diam-diam
Pwe-giok merasa heran.
Barang apakah muatan gerobak
Auyang Liong itu? Sesungguhnya ada usaha apakah di antara mereka?
Pwe-giok memang bersembunyi di
balik batu yang teraling dari tiupan angin, sebab itulah meski dia menyalakan
api unggun juga tidak diketahui oleh kedua orang itu, apalagi sekarang api
unggun itu sudah mulai padam.
Terdengar Hi Soan berkata
lagi, "Kedatanganku dari jauh ini, masakah Pangcu tidak tahu apa
sebabnya?"
"Memang tidak tahu, mohon
penjelasan, "jawab Auyang Liong.
"Pangcu sendiri datang
untuk apa, untuk urusan yang samalah ku datang, kenapa Pangcu berlagak
pilon?" kata Hi Soan dengan tertawa.
Auyang Liong berdiam sejenak,
mendadak ia mengeluarkan semacam barang dan berkata, "Apakah Hi-tocu juga
menerima barang ini ? "
Yang terpegang di tangan
Auyang Liong hanya sehelai kartu undangan saja, dengan kedudukan mereka,
biarpun setiap hari menerima kartu undangan juga tidak mengherankan, tapi
anehnya tangan Auyang Liong yang memegang kartu undangan itu justru rada
gemetar seperti orang ketakutan.
Setelah melihat kartu undangan
itu, tertawa Hi Soan seketika pun lenyap, jawabnya sambil menghela napas,
"Betul, tahun ini akupun tertimpa sial."
"Hahaha!" Auyang
Liong tertawa. "Tahun ini Hu-patya berusia 70 tahun, jauh-jauh beliau
mengirim undangan ke laut selatan, hal ini kan suatu kehormatan besar bagi
Hi-heng, kenapa malah kau katakan sial?"
Hal ini juga yang membuat
Pwe-giok heran. Bahwa orang mengirim kartu undangan padanya, hal ini
menunjukkan orang yang diundang itu cukup luas bergaul, biarpun perjalanan
terlalu jauh dan tidak dapat hadir sendiri, kan dapat mengutus orang dengan
membawa kado sekedar tanda hormat. Padahal gembong kang-ouw seperti mereka ini
masakah perlu hemat sedikit kado?
Tapi dari suara tertawa Auyang
Liong yang penuh rasa bersyukur itu, rasanya seperti orang yang dekat ajalnya
mendadak menemukan seorang pengiring yang akan masuk kubur bersama. Hal ini
benar-benar membikin Pwe-giok tidak habis mengerti.
Terdengar Hi Soan tertawa
ngekek, katanya, "Betul juga ucapan Pangcu, undangan Hu-patya memang harus
kuterima sebagai suatu kehormatan, hanya saja, sudah dua bulan ini kucari kian
kemari dan belum menemukan suatu kado yang sekiranya cocok. Coba, bagaimana
baiknya kalau menurut pendapat Pangcu?"
Pwe-giok bertambah heran.
Mengirim kado adalah tanda persahabatan, asalkan kirim, bagaimanapun bentuk
kado itu, tentunya takkan ditolak oleh si penerima. Apalagi emas perak, batu
permata, benda antik, bahan baju dan makanan, semuanya juga dapat dijadikan
sebagai kado. Masakah Hui-hi-kiam-khek yang terkenal kaya raya sampai mengalami
kesukaran mencari kado, hal ini sukar untuk dipercaya bagi siapapun yang
mendengarnya.
Auyang Liong lantas mendengus,
"Hi-tocu dikenal setiap orang kangouw sebagai hartawan dan tokoh
berpengaruh, kalau mengaku sukar mendapatkan kado, alasan ini apakah tidak
lucu?"
Hi Soan termenung sejenak,
mendadak ia tanya, "Pernahkah Pangcu mendengar orang yang bernama The
Hian?"
"Maksudmu apakah The-tocu
dari Ci-sah-to sahabat karib Hi-tocu sendiri?" tanya Auyang Liong.
"Meski pengetahuan Cayhe kurang luas, tapi kalau nama The-tocu saja pernah
kudengar."
"Dan tahukah kau cara
bagaimana kematiannya?" tanya Hi Soan pula.
Auyang Liong melengak,
sahutnya, "Apakah The-tocu meninggal sakit?"