Jilid 13
"Dia cukup sehat,
sepanjang tahun tidak pernah sakit, masuk angin saja tidak pernah, mana bisa
sakit?"
"Kalau bukan meninggal
sakit, habis..... apakah....apakah terbunuh orang?" tanya Auyang liong
dengan ragu.
"Betul, dia mati
terbunuh," jawab Hi Soan. "Padahal senjata The-tocu, sepasang Ji-goat
lun (gada bulan dan matahari) konon adalah ajaran langsung mendiang
Tonghong-sengcu, selama berpuluh tahun tidak pernah ketemu tandingan, siapa ada
yang mampu membunuhnya?"
"Siapa lagi kalau bukan
Hu-patya!" sahut Hi Soan.
Seketika air muka Auyang Liong
berubah pucat dan tidak bersuara lagi.
Hi soan berucap pula,
"Tahun yang lalu waktu Hu patya merayakan ulang tahun, kartu undangannya
tersebar ke Ci-sah-to, karena itu The Hian lantas bekerja giat, dia menyelam ke
dasar laut selama tiga hari dan barulah didapatkan setangkai bunga karang
setinggi tiga kaki, Diam-diam ia bergirang ia anggap kadonya ini umpama tidak
dapat melebihi orang lain, sedikitnya akan dapat memuaskan Hu-patya."
"Oo!" Auyang Liong terkesiap.
"Seterima kado itu,
Hu-patya tidak memberi komentar apapun, ia hanya membawa The Hian ke sebuah
kamar, didalam kamar itu tidak ada barang lain, isinya melulu bunga karang,
setiap bunga karang sedikitnya lima kaki tingginya," Hi Soan menghela nafas,
lalu menyambung, "Melihat itu, hati The Hian terasa dingin, benarlah,
setetes arak saja Hu-patya tidak memberinya minum, tapi langsung mengantar dia
angkat kaki, malahan beliau sendiri yang mengantar The Hian hingga jauh ke luar
kota.
"O, dan kemudian
bagaimana?" tanya Auyang Liong.
"Kemudian The hian
langsung pulang ke rumah. tapi begitu sampai dirumah dia lantas tumpah darah
dan roboh, sampai dia sendiripun tidak tahu mengapa bisa terluka. Ia hanya
ingat waktu Hu-patya hendak berpisah setelah memberi soja (hormat dengan kedua
kepalan di depan dada) dan saat itu juga dia merasa dadanya rada panas."
"Berapa hari dia hari
sampai....sampai dirumah?" tanya Auyang Liong.
"Tujuh hari, daerah yang
ditumpahkannya hampir sebaskom penuh dan malam itu juga dia meninggal."
Auyang Liong berdiam sejenak
dengan wajah kelam, gumamnya kemudian, "Lihay benar Pek-poh-sin-kun
(pukulan sakti seratus langkah), bukan saja dapat mencelakai orang tanpa
kelihatan dan baru kambuh lukanya setelah lewat tujuh hari. Tampaknya nama
kebesaran Hu-patya memang bukan omong kosong belaka."
"Setiap orang Kangouw
sama tahu ilmu pukulan sakti Hu-patya tiada tandingannya," kata Hi Soan
dengan gegetun. "siapapun tahu bila ada yang mengirim kado tidak cocok
dengan seleranya, maka sukarlah terhindar dari suatu pukulannya, apa yang
tersiar ini tidak omong kosong."
Seketika Auyang Liong
memandang, menatap di atas gerobaknya dan tidak dapat bersuara lagi.
"Karena sudah ada contoh
yang terjadi di atas diri The Hian, maka kado yang harus ku sediakan tahun ini
tidak dapat sembarangan kukirimkan kata Hi Soan pula. "Begitu menerima
kartu undangannya, segera ku mulai mencari dan sampai saat ini belum lagi
mendapatkan kado yang sekiranya dapat memuaskan hati Hu-patya. Padahal hari
ulang tahun Hu-patya sudah dekat, coba bagaimana baiknya kalau menurut pendapat
Pangcu?"
Baru sekarang Pwe-giok paham
duduknya perkara, diam-diam iapun merasa serba runyam, di dunia ini memang
tidak sedikit orang mencari keuntungan pada saat-saat tertentu, seperti ulang
tahun, perkawinan dan hajat lain, tapi cara Hu-patya yang bertindak
sewenang-wenang ini sungguh jarang terdengar, caranya ini jelas jauh lebih
ganas dan kejam daripada kaum perampok dan pembegal di tengah jalan.
Iapun tahu Pek-poh-sin-kun
adalah ilmu pukulan Siau-lim-pay yang tidak diajarkan kepada orang lain, jadi
Hu-patya ini mungkinkah murid Siau-lim-si dari keluarga orang preman?
Hi Soan dan Auyang Liong
adalah tokoh kelas satu di dunia Kangouw, kalau merekapun sedemikian ketakutan,
dengan sendirinya Hu-patya yang dimaksudkan itu bukanlah tokoh sembarangan,
Tapi seketika Pwe-giok tidak ingat siapakah gerangan Hu-patya ini?
Dilihatnya Auyang Liong
terdiam sekian lamanya, katanya kemudian dengan perlahan. "Betapa tertekan
perasaan Tosu saat ini dapat juga kurasakan, cuma saja, menjaga diri sendiri
saja sukar, terpaksa aku tidak dapat memberi bantuan apa-apa kepada Tocu."
Gemerdep sinar mata Hi Soan,
iapun sedang mengawasi barang muatan di atas pedati, jengeknya, "Jika
demikian jadi Pangcu juga belum berhasil mendapatkan kado yang sesuai?"
Auyang Liong menyengir,
ucapnya, "Kado sih sudah ku sediakan, cuma tidak diketahui apakah memenuhi
selera Hu-patya atau tidak."
"Ah, janganlah Pangcu
berkelakar," ujar Hi Soan dengan tertawa. Mendadak ia berhenti tertawa,
lalu melototi Auyang Liong, katanya pula, "Di depan kaum ahli tidak perlu
omong kosong. Kalau saja kado Pangcu tidak dapat memenuhi selera Hu-patya, lalu
kado siapakah yang dapat memuaskan beliau?"
Seketika air muka Auyang Liong
berubah, katanya, "Memangnya kau sudah tahu kado apa yang hendak
kupersembahkan kepada Hu-patya?"
"Ya, tahu
sekedarnya," ucap Hi Soan dengan tenang.
"Jadi sepanjang jalan kau
selalu mengintai di belakangku?" bentak Auyang Liong.
"Sepanjang jalan telah
dilalui Pangcu dengan aman dan tenteram, sampai di sini satu maling kecil saja
tidak ku pergoki, barangkali inilah kemahiran Pangcu menyembunyikan dan
mengelabuhi mata orang," kata Hi Soan. Dia menengadah dan tergelak, lalu
sambungnya. "Padahal, biarpun seorang maling kecil yang masih hijau juga
dapat melihat barang muatan pedatimu pasti bukan bahan obat-obatan
segala....Haha, di dunia ini mana ada bahan obat-obatan seberat ini?"
Mendadak Auyang Liong
mendengus, "Hmmm.. seumpama ada sementara maling kecil yang lamur dan
bermaksud mengincar barang muatan pedati ini, rasanya juga aku tidak perlu
takut padanya.
"Eh, tahulah Pangcu bahwa
sepanjang jalan orang she Hi telah banyak membantu mengawasi Pangcu ke sini,
entah berapa banyak penjahat yang sedikitnya juga sudah berkeringat...."
dia tertawa lalu melanjutkan, "makanya kedatanganku ini adalah ingin minta
sekedar persen pada Pangcu, tentunya takkan Pangcu tolak bukan?"
Sekalipun Auyang Liong ini
seorang tolol juga sekarang dapat menangkap apa maksud ucapan Hi Soan itu.
Sekarang dia lantas bersabar
malah, jawabnya kemudian, "O, jangan-jangan yang dikehendaki Tocu adalah
gerobak ini?"
Hi Soan menghela nafas,
katanya, "Kalau kukatakan memang rikuh, soalnya memang terpaksa."
"Baik, akan kuberikan
kepadamu," kata Auyang Liong, mendadak ia mendorong gerobaknya ke depan,
langsung menumbuk Hi Soan.
Namun sebelumnya Hi Soan sudah
berjaga akan kemungkinan ini, sebelum tertumbuk dia sudah melompat ke atas
lebih dulu, "creng", pedang segera dilolosnya. Di tengah gemerdepnya
sinar pedang, segera ia menusuk Auyang Liong.
Hui hi kiam khek, si pedang
ikan terbang, sudah lama terkenal sebagai jago pedang paling cepat di lautan
selatan, serangan ini sungguh cepat luar biasa, reaksinya cepat, caranya
meloloskan pedang juga cepat, serangan yang dilancarkan terlebih-lebih cepat.
Tapi Auyang Liong sempat
mendak ke bawah, sekali tangan menarik, mantel ijuk yang dipakainya terus
menyambar ke depan untuk menangkis tusukan pedang Hi Soan.
Kiranya mantel ijuk yang
dipakaiannya ini bukanlah ijuk sungguh-sungguh melainkan terbuat dari benang
emas hitam dan tidak mempan ditembus senjata, inilah senjata andalannya yang
sudah terkenal, untuk menyerang senjatanya ini mungkin agak lamban, tapi untuk
berjaga boleh dikatakan sangat efektif.
Maka terdengarlah suara
"creng-cring" beberapa kali, lelatu api meletik ketika ujung pedang
bersentuhan dengan mantelnya.
Waktu Auyang Liong memutar
mantelnya, dengan dahsyat ia sabet ke arah Hi Soan, serentak di bawah mantel
itupun memancar berpuluh bintik cahaya, langsung menyerang dada lawan, dibalik
mantelnya tersembunyi pula senjata rahasia sungguh serangan yang keji dan
sangat lihay, sejak Auyang Liong terkenal, belum pernah ada lawan yang sanggup
menghindarkan serangan ini.
Siapa tahu, mendadak bayangan
orang berkelebat, kembali Hi Soan mengapung lagi ke atas sinar pedang melingkar
di udara, tahu-tahu ia sudah berada di belakang Auyang Liong. Inilah gerakan
"ikan terbang" andalan Hi Soan.
Dalam keadaan demikian, sudah
terlambat bagi Auyang Liong untuk membalik tubuh, sinar pedang sudah terbenam
dipunggungnya, tokoh perairan ini memang tidak seharusnya meninggalkan air,
kalau ikan meninggalkan air jelas akan mati di daratan.
Sungguh Pwe-giok tidak nyana,
tidak sampai tiga jurus Auyang Liong sudah tewas di bawah pedang Hi Soan,
padahal ia sendiri belum lagi mengambil keputusan apakah mesti ikut campur
urusan ini atau tidak dan tahu-tahu Auyang Liong sudah mati.
Dilihatnya Hi Soan lagi
mencabut pedangnya sambil menghela nafas panjang, gumamnya, "Auyang
pangcu, sebenarnya dia tidak ingin kubunuh kau, tapi kalau tidak kubunuh kau
berarti aku sendiri yang harus mati. Jadi janganlah kau sesalkan diriku, yang
harus disesalkan ialah Hu-patya...."
Sembari bergumam ia terus siap
mendorong gerobak roda satu tadi.
Pada saat itulah mendadak
seorang berseru, "Kawan satu haluan asal melihat mendapat bagian, Mayat
bagianmu, gerobak serahkan padaku!"
Suaranya lantang,
kedengarannya masih jauh, tapi begitu kata terakhir terucapkan, tahu-tahu
orangnya sudah berada di depan Hi Soan, sampai Hi Soan sendiri tidak tahu cara
bagaimana orang muncul di situ. Hanya terdengar suara "tring-tring"
dua kali, suara nyaring seperti bunyi keleningan dan orang itupun sudah berada
di depannya seakan tumbuh dari bawah tanah.
Pwe-giok tidak dapat melihat
air muka Hi Soan hanya diketahuinya bahwa melihat orang ini, seketika tubuh Hi
Soan seolah-olah lantas mengkeret sebagian, menegakkan leher saja tidak berani,
apalagi membusungkan dada.
Gerak tubuh orang ini sangat
cepat, tapi perawakannya tinggi besar, cuma bagian punggung membonggol,
ternyata dia seorang bungkuk.
Melihat sikap Hi Soan yang
ketakutan itu serta melihat bentuk tubuh orang bungkuk ini, mendadak Pwe-giok
ingat pada semboyan yang pernah didengarnya: "Apabila keleningan unta
berbunyi, jiwa akan melayang seketika". Jangan-jangan orang ini adalah
"Hui-toh" (unta terbang) It Kun, seorang tokoh yang sederajat dengan
Lo-cinjin, Oh-lolo dan lain-lain.
Dilihatnya Hi Soan tetap
menyapa dengan mengiring senyum, "Sudah belasan tahun It-cinjin tidak
pernah muncul di daerah Tionggoan, beruntung hari ini dapat berjumpa, sungguh
beruntung....."
Tapi It Kun sama sekali tidak
menggubrisnya sorot matanya yang tajam terus mengincar muatan di atas gerobak
roda satu itu.
Hi Soan berusaha mengalingi
gerobak itu, kalau bisa gerobak itu akan disulapnya menjadi kecil dan
disembunyikannya.
Mendadak It Kun melayang ke
dekat gerobak, sekali tangannya bekerja, barang muatan di atas gerobak
diobrak-abriknya sehingga kelihatanlah sebuah kotak besi.
Mata Hi Soan seakan-akan
menyemburkan api, tapi dia tidak berani merintangi perbuatan orang.
Terlihat It Kun telah
mengangkat kotak besi itu dan dibuka, dipandangnya sekejap isi kotak, lalu
menengadah dan terbahak-bahak, katanya. "Hahahaha! Bagus, bagus...."
"Hehe, tidak bagus, tidak
bagus!..." Hi Soan menukas, "Isinya cuma beberapa potong patung batu
saja, dimana kebagusannya belum lagi kau ketemukan, masa It-cinjin tertarik
oleh beberapa potong batu ini?"
"Jika kau bilang tidak
bagus, boleh kau berikan padaku saja," ujar It Kun dengan tertawa.
Hi Soan jadi melengak, ia
tidak dapat mengelak lagi, tapi berkata dengan gelagapan, "Barang-barang
ini tidak berharga, apabila...apabila It Cinjin suka, biarlah lain hari ku
pesankan beberapa pasang patung perempuan cantik ukiran ahli pahat terkenal di
kota raja, kujamin pasti jauh lebih indah dan bernilai daripada beberapa potong
orang-orangan batu ini."
"Tidak, aku tidak suka
barang lain, hanya menyukai beberapa patung ini," kata It Kun dengan
tertawa.
Hi Soan mengusap keringat,
katanya, "Akan...akan tetapi..."
Mendadak It Kun mendelik,
bentaknya, "Hampir tidak pernah kubuka mulut minta sesuatu kepada
siapapun, kau berani bicara keras kepadaku, memangnya kau hanya takut pada
Pek-boh-sin-kun Hu Lopat dan tidak gentar kepada Tui-hong-ciangku?"
Hi Soan tampak mandi keringat,
sudah diusap masih terus mengucur, ia menunduk dan memandangi pedang sendiri,
seperti ingin melabrak orang tapi ragu-ragu.
It Kun mendengus, "Konon
pedangmu sangat cepat, bahwa kau dapat menjadi pemimpin lautan selatan, tentu
sedikit banyak kau mempunyai kemampuan. Marilah mari, boleh coba-coba kau tusuk
aku satu-dua kali, takkan kusalahkan perbuatanmu."
Hi Soan menggreget, katanya,
"Jika demikian terpaksa ku turut saja kehendak It-cinjin."
Sembari bicara pedang lantas
menusuk, menghadapi saat gawat yang menyangkut mati hidupnya dengan sendirinya
ia menyerang sepenuh tenaga, terlihat sinar pedang berkelebat, tahu-tahu ujung
pedang itu menyambar ke tenggorokan It Kun.
Tapi It Kun tetap berdiri di
tempatnya dengan tegak seakan-akan menganggap serangan lawan seperti permainan
anak kecil saja.
Diam-diam Hi Soan bergirang,
ia pikir bila pedang sudah dekat, jangan harap akan dapat kau hindarkan.
Siapa tahu, pada saat terakhir
itu, sekonyong-konyong It Kun mengangkat tangannya, secepat kilat jarinya
menjepit. Betapa cepat gerakan pedang Hi Soan, gerak tangan It Kun ternyata
lebih cepat, hanya dengan dua jari saja batang pedang Hi Soan sudah terjepit.
Keruan Hi Soan terkejut, ia
putar mata pedangnya dan bermaksud melukai jari lawan, siapa tahu jepitan It
Kun itu ternyata lebih kuat daripada tanggam, meski Hi Soan sudah mengerahkan
segenap tenaganya pedang tetap tidak dapat bergerak.
Mendadak terdengar It Kun
tertawa panjang, tangannya menyendal pelahan dan pedang itu sudah berpindah ke
tangan It Kun, bahkan patah menjadi dua.
"Hahaha!" It Kun
bergelak tertawa. "Besok lusa barulah tiba hari ulang tahun Hu-lopat,
sedangkan esok pagi sudah tiba hari ulang tahunku kini akupun ketularan
penyakit Hu-lopat, barang siapa tidak mengirim kado padaku akan kubunuh dia.
Nah, kado ini akan kau berikan padaku tidak, katakanlah, terserah kepada
keputusanmu!"
Muka Hi Soan tampak pucat
seperti mayat, satu kata saja tidak mampu bersuara.
Mendadak seorang menanggapi
dengan tertawa, "Esok baru tiba hari ulang tahun Anda, padahal hari ini
juga sudah tiba hari lahirku, kukira lebih dulu kado ini kudu diberikan
padaku."
Di tengah gelak tertawanya
seorang muncul dari balik batu karang sana dengan tenang, pakaiannya kotor,
tapi tidak kelihatan miskin dan jelek.
Terkejut juga It Kun, selama
berpuluh tahun belum pernah ada orang berani bicara demikian dihadapannya.
Sinar matanya menyapu pandang sekejap pada pendatang ini, lalu mendengus dengan
gusar. "Diberikan padamu? Hm, memangnya kau ini orang macam apa?"
"Cayhe Ji Pwe-giok,
berjuluk pendekar pedang paling gagah di dunia...."
Belum habis ucapannya,
tertawalah it Kun, katanya "Hahahaha, pendekar pedang paling gagah?
Haha, selama hidupku banyak
juga melihat orang yang bermuka tebal, tapi belum ada seorang pun yang melebihi
kau."
Hi Soan juga merasa kaget dan
geli, cuma tak dapat tertawa.
Sesudah berhadapan baru
dirasakan Pwe-giok bahwa perawakan It Kun memang sangat tegap, meski bungkuk,
tetap lebih tinggi satu kepala daripada Pwe-giok, dandanannya juga nyentrik,
bukan pertapa, bukan preman, panjang jubahnya yang mirip jubah kaum Tosu juga
kepalang tanggung, hanya sebatas lutut. Suara tertawanya lantang seperti bunyi
genta, nyaring memekak telinga, jelas tenaga dalamnya juga luar biasa, pantas
Hui hi kiam khek yang malang melintang di lautan selatan juga ketakutan
padanya.
Tapi Pwe-giok seperti tidak
pandang sebelah mata kepada orang ini, dengan tersenyum ia berkata,
"Serupa Anda, akupun akan marah barang siapa tidak memberi kado
padaku."
Suara tertawa It Kun seketika
berhenti, dengan mata terbelalak ia pandang Pwe-giok, seperti selama hidup
tidak pernah melihat makhluk seaneh ini. Pandang sejenak barulah ia bergelak
tertawa dan berkata pula, "Hahaha! Bagus, boleh coba kau marah padaku,
ingin ku tahu cara bagaimana kau marah.
"Baik," kata
Pwe-giok.
Begitu kata "baik"
terucapkan, mendadak ujung kakinya mencungkit, pedang patah di tanah telah
diungkitnya ke atas dan disambarnya. "Sret.. serentak ia menusuk ke arah
It Kun.
Sama sekali Hi Soan tidak
menyangka anak muda ini benar-benar berani menyerang It Kun, dilihatnya tusukan
pedang patah itu sangat enteng tak bertenaga, gerakannya juga tidak cepat. Ia
yakin dengan mudah saja It Kun pasti dapat membikin pedang kutung itu
terpental.
Siapa tahu, bukannya
menangkis, tapi sebaliknya It Kun terdesak mundur dua tiga langkah oleh tusukan
itu, bahkan berkaok-kaok, "Aha, tak tersangka kau anak busuk ini memang
mempunyai sedikit kepandaian."
Hi Soan jadi melengak. masa
permainan pedang yang lamban mendapatkan pujian dari It Kun.
Tertampak sinar pedang terus
menyambar, meski tidak terlalu cepat, tapi terus menerus dan tidak terputus,
sudah belasan kali Pwe-giok menusuk It Kun tidak melakukan serangan balasan.
Walaupun Hi Soan juga seorang
ahli pedang tapi sudah sekian lama ia mengikuti pertarungan ia merasa tidak
melihat sesuatu daya serangan yang lihai pada ilmu pedang Pwe-giok itu, bahkan
jurus apa yang digunakannya juga tidak dikenalnya.
Tapi didengar It Kun memuji
terus menerus, "Baik, bagus, anak muda, seperti kau inilah baru dapat
dianggap pemain pedang yang sesungguhnya. Kalau ada manusia lain yang tidak
becus, hanya putar pedang seperti anak kecil juga menandakan dirinya ahli
pedang dan menjadi pimpinan suatu aliran, maka julukanmu sebagai pendekar
pedang paling gagah di dunia memang tidak terlalu berlebihan."
Meski dia tidak tunjuk hidung
dan menyebut namanya, tapi siapa yang disindirnya cukup jelas bagi Hi Soan.
Meski dia tidak berani membantah, tapi dalam hati penuh rasa penasaran, maka
berulang ia mendengus.
Ia menyangka dengusannya itu
takkan didengar oleh It Kun, tak tahunya mata telinga It-Kun benar-benar tajam
dan luar biasa, sekali lompat mendadak ia mendekat Hi Soan dan bertanya,
"Apa yang kau denguskan? Memangnya kau kira ilmu pedangmu terlebih tinggi
daripadanya?"
Hi Soan tidak tahan, ia
menjawab, "Cayhe memang tidak tahu dimana letak kehebatan ilmu
pedangnya."
"Hm, jika kau dapat
melihat dimana letak kebagusan ilmu pedangnya, maka berarti ilmu pedangnya
tidak bagus lagi. Sama halnya seorang pemusik mahir, kalau pendengarnya bukan
seorang peminat seni musik, tentu juga takkan tahu dimana kebagusannya."
Tidak kepalang dongkol Hi
Soan, mendadak ia melompat maju, dia jadi lupa bahwa Pwe-giok berdiri satu
garis dengan dia, tapi segera ia melancarkan dua kali pukulan terhadap anak
muda itu.
Pwe-giok juga tidak menyangka
orang ini berwatak sedongol ini, melihat pukulan yang cukup dahsyat ini,
terpaksa ia putar pedangnya melabrak ke belakang.
Dia menebaskan pedangnya
sekenanya, akan tetapi bagi Hi Soan terasa sukar ditahan hawa pedang yang tajam
itu sekujur badannya seketika seperti terkurung ditengah hawa pedang, sukar
ditembus dan sulit pula menarik diri.
Beberapa kali dia berganti
serangan dan akhirnya dapatlah dia lolos dari kurungan hawa pedang lawan, tapi
tidak urung pundaknya keserempet juga oleh ujung pedang, meski tidak terluka,
namun baju sudah robek.
It Kun bergelak tertawa,
katanya, "Nah, sekarang apakah kau tahu dimana letak kebagusan ilmu
pedangnya?"
Muka Hi Soan sebentar merah
sebentar pucat, mendadak ia memberi hormat kepada Pwe-giok dan berucap,
"Ilmu pedang Anda memang jauh lebih hebat dari padaku, sungguh aku
menyerah kalah"
"Hah, boleh juga kau ini,
sedikitnya kau masih mau mengaku salah dan menyerah kalah, "Kata It Kun.
"Sebenarnya sudah lama
kudengar di dunia Kangouw muncul seorang anak muda yang bernama sama dengan
putera Ji-bengcu, selama tiga bulan saja telah banyak melakukan hal-hal yang
menggemparkan," kata Hi Soan.
Pwe-giok tersenyum, ucapnya,
"Berita dunia Kangouw ternyata cepat juga tersiar."
"Konon ilmu silat
Ji-kongcu ini tidak lemah, juga ramah tamah, rendah hati dan prihatin,"
kata Hi Soan pula.
It Kun bergelak tertawa,
katanya, "Haha, menurut pendapatku, ramah tamah dan prihatin memang cocok
bagi orang lain, tapi tidak sesuai bagimu."
"Oo, maksudmu?"
tanya Pwe-giok.
"Habis, seorang kalau
berani mengaku sebagai pendekar pedang paling gagah di dunia, apakah orang ini
ramah tamah dan rendah hati?"
"Ya, memang tidak
cocok," kata Pwe-giok.
"Nah, meski ilmu pedangmu
tidaklah rendah, tapi sekarang masih bukan tandinganku," kata It Kun pula.
"Betul, dalam 300 jurus,
meski aku tidak sampai kalah, tapi juga sukar untuk menang," ujar
Pwe-giok.
"Tidak bisa menang
berarti kalah," kata It Kun.
"Selewatnya 30-0 jurus
jelas kau pasti kalah, tapi tampaknya kau ingin bergebrak denganku, apakah
orang demikian terhitung prihatin segala?"
"Setiap orang tentu bisa
berubah," ujar Pwe-giok dengan tertawa. "Dan diriku sekarang sudah
bukan diriku yang kemarin."
"Kau kan baik-baik saja,
kenapa bisa berubah?" tanya It Kun.
Pwe giok berdiam sejenak,
jawabnya kemudian dengan perlahan, "Sebab sekarang aku mendadak menjadi
sangat terkenal."
"Manusia takut ternama,
babi takut gemuk masakah kau lupa pada kiasan ini? Semakin besar namamu,
semakin banyak orang yang akan mencari perkara padamu dan semakin cepat pula
kematianmu, apa gunanya terkenal?"
Kembali Pwe-giok tertawa,
katanya, "Justeru kuharap dicari orang."
It Kun menggeleng kepala,
"Turutlah pada nasehatku, lebih baik kau pulang saja dan hidup aman
tenteram dirumah, tidaklah jelek kupandang dirimu, maka tidak ingin ku celakai
kau."
"Asalkan kau serahkan
kotak besi ini padaku, segera aku akan angkat kaki," kata Pwe-giok.
Gemerdep sinar mata It Kun,
tanyanya, "Apakah kau tahu apa isi kotak ini?"
"Tidak tahu," jawab
Pwe-giok.
"Habis untuk apa kau
minta kotak ini?"
"Tidak untuk
apa-apa."
It Kun menjadi melenggong,
"Kalau tidak untuk apa-apa, perlu apa pula kau minta?"
"Karena kalian sama
menghendakinya, kenapa aku tidak boleh memintanya?" kata Pwe-giok.
Seketika It Kun menarik muka,
"Kiranya kau sengaja mencari perkara padaku."
Belum lenyap suaranya, kembali
kedua orang saling gebrak lagi.
Sampai di sini, bahkan Hi Soan
juga menganggap Pwe-giok tidak waras, malah cukup parah penyakitnya. Maka ia
berharap pertarungan kedua orang akan berakhir dengan sama menggeletak, maka
kotak besi itu dapat dimilikinya lagi.
Dengan sabar ia menonton di
samping. Selang cukup lama, ia merasa sinar pedang Pwe-giok sudah mulai guram,
sebaliknya angin pukulan It Kun bertambah dahsyat.
Di bawah ketiak It Kun masih
mengempit kotak besi tadi, namun tidak menghalangi gerak-geriknya, dari sini
terbukti bahwa sesungguhnya belum sepenuh tenaga dia melayani Ji Pwe-giok.
Sungguh Hi Soan tidak habis mengerti untuk apakah anak muda itu sengaja cari
gara-gara, bukan mustahil cari mampus malah.
Dilihatnya It Kun sudah hampir
dapat mengalahkan Pwe-giok, siapa tahu, pada saat itulah anak muda itu seperti
membisikkan sesuatu pada It Kun, Hi Soan tidak tahu apa yang dikatakannya,
hanya dilihatnya It Kun terus berjumpalitan ke belakang, lalu dipandangnya
Pwe-giok dengan mata terbelalak dan muka pucat, bahkan badan raga gemetar.
Lagi-lagi Hi Soan tercengang.
Sungguh aneh, mengapa tokoh bungkuk ini mendadak bisa berubah menjadi begini?
Selang sejenak, dengan suara
gemetar It Kun berkata, "Se...sesungguhnya siapa kau? Dari....darimana kau
tahu urusan ini?"
Pwe-giok hanya memandangnya
dengan diam, apapun tidak diucapkannya.
Tertampak butiran keringat sebesar
kedelai menghiasi dahi It Kun. Sampai sekian lama lagi barulah dia menghela
nafas panjang, lalu berkata, "Sudah 29 tahun, lewat 17 hari lagi genaplah
29 tahun. Sungguh tak tersangka masih ada orang ingat akan peristiwa ini, masih
ada orang tahu..."
"Masakah kau sendiri
sudah melupakan peristiwa ini?" tanya Pwe-giok tiba-tiba.
"Sangat kuharapkan dapat
melupakannya, cuma sayang, selamanya sukar melupakannya," kata It Kun.
"Kalau kau sendiri tidak
dapat melupakannya, mana bisa orang lain melupakannya?"
"Akan...akan tetapi
urusan ini tidak diketahui oleh siapa-siapa."
"Bila tidak ingin
diketahui orang lain, kecuali diri sendiri jangan berbuat, dan bukankah aku
telah mengetahuinya?" ujar Pwe-giok.
"Jangan-jangan kau dan
urusan ini ada....ada hubungannya?" tanya It Kun.
"Setiap orang di dunia
ini, asalkan berperasaan tentu dia ada hubungannya dengan urusan ini,"
jawab Pwe-giok dengan hambar.
Mendadak It Kun menengadah dan
bergumam "Ya, akupun tahu utang ini cepat atau lambat harus
kulunasi."
Mendadak ia menghentakkan
kakinya ke tanah dan berteriak dengan parau, "Tak perduli siapa kau aku
hanya minta diketahui olehmu bahwa aku It Kun bukanlah manusia yang tidak mau
bayar hutang."
"Kedatanganku juga bukan
untuk menagih utang, aku cuma menghendaki keinsafanmu dan memperbaiki
kesalahanmu," kata Pwe-giok.
IT Kun bergelak pula, ucapnya,
"Jika aku tidak menyesali kesalahanku, begitu kau berani menyinggung
peristiwa itu, tentu sejak tadi sudah kubunuh kau."
Perlahan ia menaruh kotak besi
yang dikempitnya itu ke tanah, lalu menghela nafas pula dan berkata.
"Sekali salah langka, menyesal selama hidup....." sampai di sini,
mendadak tangannya menghantam kepala sendiri dan robohlah dia.
"Sekali salah langkah,
menyesal selama hidup," Pwe-giok bergumam mengulang kata-kata itu,
mendadak hatinya merasa pedih dan tertekan.
Perbuatan salah yang dilakukan
seorang dalam sekejap harus ditebus dengan jiwa selama berpuluh tahun ini,
bukankah hal ini rada kurang adil dan rada kejam?
Jika It Kun tidak punya
perasaan menyesal, di memang tidak perlu menebus dosanya dengan membunuh diri.
Kalau dia sudah mau menyesal, kenapa kesalahannya tidak dapat diampuni?
Pwe-giok berdiri dengan
menunduk kepala, gumamnya, "Apakah salah tindakanku?...Salahkah
tindakanku?...."
Hi Soan terkesima menyaksikan
apa yang terjadi itu baru sekarang ia bertanya, "Sesungguhnya apa yang
pernah diperbuatnya?"
Mendadak Pwe-giok mengangkat
kepalanya dan menjawab dengan bangis, "Kenapa kau tidak tanya pada dirimu
sendiri telah berbuat salah apa?"
"Aku?" Hi Soan
melenggong.
"Demi beberapa potong
patung mainan yang tak berarti ini lantas kau bunuh orang, inilah perbuatanmu
yang salah," seru Pwe-giok.
"Kalau tidak kubunuh dia,
tentu aku yang akan dibunuhnya, sebab itulah terpaksa kubunuh dia, yang kuat
hidup, yang lemah mati, inilah hukum dunia persilatan," kata Hi Soan.
"Sebagai orang Kangouw, soal mati hidup tidak pernah ku risaukan. Jika
kaupun sudah berkecimpung di dunia Kangouw, pada suatu hari tentu kaupun akan
membunuh orang, kenapa kau pandang mati hidup segawat ini?"
Pwe-giok termenung agak lama,
setelah menghela nafas panjang, kemudian berkata, "Mungkin ucapanmu memang
benar, sebagai orang Kangouw, mati atau hidup seharusnya tidak perlu dipikir
lagi, akan tetapi...jika kau tidak takut mati, kenapa kau takut kepada Hu-patya
tersebut?"
Muka Hi Soan menjadi merah,
ucapnya, "Orang yang tidak takut mati, bisa juga....bisa juga takut pada
setan."
"Masakah dia itu
setan?" tanya Pwe-giok.
"Menurut pandanganku, dia
lebih menakutkan daripada setan," kata Hi Soan dengan gegetun. Lalu
sambungnya, "Orang ini she Hu (kaya), maka di belakangnya orang Kangouw
suka bilang dia "kaya tapi tidak mulia", tapi dihadapannya tidak
seorang pun berani menyebutkan poyokannya ini. Pernah satu kali seorang salah
omong, baru keluar dari pintu rumah Hu-patya, kontan dia tumpah darah dan roboh
binasa...."
"He, dia mempunyai
seorang isteri yang dipanggil sebagai Hu-pat-naynay (nyonya besar Hu)
bukan?" tanya Pwe-giok tiba-tiba.
"Betul, konon
Hu-patnaynay ini seorang nyonya yang baik hati dan bijaksana, hidup prihatin
dan bersujud kepada Buddha, selamanya tidak suka kepada bunuh membunuh, sebab
itulah orang yang dibinasakan Hu-patya selalu terjadi setelah meninggalkan
pintu rumahnya."
Gemerdep sinar mata Pwe-giok,
gumamnya, "Ah, ingatlah aku... akhirnya kuingat juga."
"Kau ingat apa?"
tanya Hi Soan.
Pwe-giok tidak menjawabnya, ia
hanya tertawa dan berkata, "Orang ini cukup menarik, akupun ingin
berkunjung padanya."
"Menarik?....." seru
Hi Soan. "O, masakah kau bilang orang ini cukup menarik?.... Nanti kalau
sudah berhadapan dengan dia barulah kau tahu dia tidak menarik."
Ketika matanya mengerling
kotak besi tadi air mukanya lantas berubah, katanya pula, "Tapi disini
hanya tersedia kado ini, jika...jika kaupun ingin berkunjung kesana...."
"Boleh kau antarkan
kadomu dan aku akan pergi menurut keinginanku sendiri," kata Pwe-giok.
"Tapi...tapi seorang yang
tidak membawa kado, cara....cara bagaimana dapat masuk ke rumahnya?" ujar
Hi Soan.
Kembali Pwe-giok tertawa,
katanya. "Aku tidak perlu membawa kado, sebab aku hanya pengiringmu,
seorang Ciangbunjin dengan kado berharga ini, kan pantas jika membawa seorang
pengiring?"
o-o-ooO0Ooo-o-o
Tempat tinggal Hu patya itu
bernama "Ge-sik-wan" atau taman asyik.
Di dunia ini, hartawan yang
rakus dan pelit justeru sok menganggap diri sendiri paling hebat, hidupnya
paling senang, maka kediaman "Ge-sik-wan" inipun dibangun serupa
kompleks perumahan orang kaya umumnya, bangunannya sangat kukuh, sangat luas,
seperti hendak didiami oleh beberapa ratus tahun lamanya, ia lupa bahwa
hidupnya paling-paling cuma beberapa puluh tahun, sesudah mati harus ditanam,
tanah yang diperlukan paling-paling juga cuma tujuh kaki.
Tapi semua itu tidak ada
sesuatu yang istimewa, yang aneh adalah penghuni perumahan ini. Begitu masuk
pintu halaman, segera kelihatan banyak centeng, tempat kediaman kaum hartawan
tentu saja banyak centengnya, hal inipun tidak perlu heran. Yang aneh adalah
centeng ini meski semuanya lelaki dan juga berilmu silat, tapi gaya jalannya
kelihatan berlenggak-lenggok, mirip anak perempuan.
Kedatangan Hi Soan dan
Pwe-giok telah disambut oleh dua orang, yang satu tinggi dan yang lain pendek,
yang pendek ini bermuka putih dan berjerawat, yang terus menerus dipandang
justeru Ji Pwe-giok, pandangannya itu lebih mirip anak gadis yang sedang mata
dengan kekasihnya.
Memang sudah sering Pwe-giok
mendapat main mata dari anak perempuan, tapi lelaki main mata padanya baru
pertama kali ini terjadi. Sungguh tidak kepalang gemas Pwe-giok, ingin sekali dia
mencolok biji mata si pendek ini.
Sedangkan si jangkung berdiri
dengan bertolak pinggang dan seperti sedang menegur Hi Soan. "Siapakah kau
ya? Ada keperluan apa ya?
Suaranya kecil dan setengah
melengking, waktu bicara pinggangnya juga berlenggak-lenggok, kalau mukanya
tidak ada akar janggut, mungkin sukar orang membedakan dia ini lelaki atau
perempuan.
Hi Soan berdehem, lalu
menjawab, "Cayhe Hi Soan dari laut selatan, khusus datang untuk
menyampaikan selamat ulang tahun kepada Hu patya."
Dengan lagak genit si jangkung
berseru, "Oo! Kiranya Hi-tayciangbun ya. dan kadonya sudah kau bawa belum
ya?"
"Kado sudah tersedia,
mohon Koankeh (pengurus rumah tangga) sudi melaporkannya," ucap Hi Soan.
Tiba-tiba si jangkung melirik
Pwe-giok dan berkata pula, "Dan siapakah yang ini ya? Untuk apa pula
kemari ya?"
Setiap kalimat ucapannya
selalu disertai dengan kata "ya", suaranya ditarik panjang sehingga
membikin tidak enak telinga yang mendengarkannya, sungguh Pwe-giok ingin sekali
jotos merontokkan giginya.
Anehnya Hi Soan yang berwatak
berangasan itu setiba di sini mendadak berubah menjadi sabar, sedikitpun tidak
berani memperlihatkan rasa kurang senang, dengan tertawa ia menjawab, "Dia
bernama Hi Ji, pengiringku, berharap Koankeh suka banyak memberi petunjuk
padanya."
"Kiranya Hi-jiko
ya?" kata si jangkung dengan tertawa genit, "Ai, cakap ya? Entah
sudah beristri belum ya?"
Mendadak si pendek mendekat
dan memegang tangan Pwe-giok, ucapnya dengan terkikik, "Silahkan
Tay-ciangbun masuk dan memberi selamat kepada Patya, Hi-jiko ini boleh tinggal
di sini untuk mengobrol dengan kami."
Tangan si pendek ini terasa
basah dan lengket, Pwe-giok merasa seperti disentuh benda cair seperti riak
kental. Hampir saja ia muntah.
Syukurlah pada saat itu juga
muncul lagi satu orang yang berseru, "Patya dengar Hi-tayciangbun datang,
silahkan masuk bersama kado yang dibawa."
Cepat Hi soan menukas,
"Baik, baik, segera Cayhe menghadap beliau!"
Segera ia mendahului melangkah
ke dalam, setelah naik ke undak-undakan baru menoleh dan berseru, "Eh, Hi
Ji, kenapa tidak lekas bawa kemari kado kita itu."
Maka legalah Pwe-giok akhirnya
Hi Soan telah membebaskan dia dari kerumunan si jangkung dan si pendek.
Tampaknya si pendek merasa
berat melepaskan tangan Pwe-giok, dia titip pesan pula, "Sebentar jangan
lupa keluar dan mencari diriku ya, namaku si genit!"
Tidak kepalang dongkol
Pwe-giok, kalau bisa dia ingin menempelengnya beberapa kali, lalu didepaknya
pula. Tanpa menghiraukan segera ia ikut Hi Soan ke ruangan besar sana.
Di tengah pendopo itu sudah
berduduk beberapa orang, semuanya kelihatan angker, pakaian merekapun
mentereng, jelas semuanya berkedudukan dan terhormat. Tapi di sini jelas
kelihatan mereka serba salah, duduk tidak tenang, berdiripun tidak enak.
Tepat ditengah ruangan besar
itu sudah dipajang tempat duduk kehormatan yang empunya hajat, dan yang duduk
di situ dengan sendirinya ialah Hu-patya dan Hu-pat-naynay. Tuan rumah yang
termasyhur ini ternyata seorang kakek yang berbentuk aneh.
Sebenarnya dia juga punya
hidung, punya mata, tidak bungkuk, tidak pincang, telinganya juga satu di kanan
dan satu di kiri, hidungnya juga tidak pesek dan tidak mancung. Cuma, entah
mengapa rasanya tidak sedap dipandang.
Hu-patnaynay, si nyonya rumah,
jelas kelihatan seorang nyonya yang anggun, hanya mukanya terlalu banyak
dipoles pupur.
Semakin tua usia seorang
perempuan, semakin banyak pula pupur yang diperlukan, ini soal biasa dan jamak,
jika muka perempuan di dunia ini tidak berkeriput dan tidak hitam, maka pembuat
pupur di dunia ini mungkin sudah bangkrut semua.
Setiba di ruangan tengah,
meski Hi Soan ingin berlagak sebagai seorang pemimpin, seorang ketua suatu
perguruan, tapi tubuhnya justeru sukar ditegakkan, terpaksa ia membungkuk tubuh
dan menyampaikan hormat kepada tuan rumah, katanya. "Wanpwe Hi Soan dari
Lam-hay khusus datang menyampaikan selamat ulang tahun kepada Pat-ya, semoga
Pat-ya panjang umur, banyak rejeki, tambah Hokkhi."
Hu-patya tampak acuh tak acuh,
ucapnya, "Wah, bikin repot juga padamu datang dari jauh, duduk, silahkan
duduk."
Ketika Hi Soan menyodorkan
kotak besi yang dibawanya, segera wajah Hu-patya bertambah cerah, apa lagi
setelah kotak itu dibuka, senyuman lantas menghias wajahnya. Dia memegang
sebuah patung orang-orangan sepanjang satu kaki lebih, dipandangnya dengan
cermat patung itu, lalu diraba-raba, setelah senyuman bertambah lebar, matapun
hampir terpejam, berturut-turut ia mengucapkan belasan kali "bagus,
bagus".
Lalu ia tepuk pundak Hi Soan
dan berkata, "Bagus bagus sekali. Silahkan duduk, silahkan duduk ditempat
utama. Syukurlah kau dapat menemukan kado sebaik ini untukku, tempat duduk
utama dalam perjamuan ini pastilah bagianmu."
Ucapan ini tidak cuma membuat
Hi Soan seakan-akan anak yang mendadak mendapat pujian, bahkan tetamu lain sama
merasa heran dan juga penasaran.
Maklumlah, setiap orang yang
menyampaikan selamat ulang tahun kepada Hu-patya tidak dibedakan tinggi
rendahnya kedudukan, juga tidak ditentukan oleh tua mudanya umur, barang siapa
mengantar kado paling berharga, dia yang akan menduduki tempat paling
terhormat. Inilah peraturan yang tidak tertulis, tapi diketahui setiap orang.
Meski tempat duduk utama itu
tidak akan memberi imbalan apa-apa yang lebih berarti, tapi orang persilatan
paling suka pada kehormatan, asalkan mendapat muka, urusan lain tak terpikir
lagi.
Apalagi orang yang bisa
menerima kartu undangan Hu-patya pasti bukan orang miskin, yang hadir ini kalau
bukan ketua sesuatu aliran dan golongan terkemuka tentu juga pemimpin sesuatu
perusahaan pengawalan besar dan gembong bandit terkenal, semuanya mencari kado
dengan susah payah, yang diharapkan adalah menggirangkan hati Hu-patya,
sekaligus juga menonjolkan muka sendiri di depan orang banyak.
Jadi kado yang diantar para
tetamu ini tiada satupun yang tidak bernilai, semuanya sangat berharga dan
sukar dicari, satu diantaranya mengantar kado 18 biji Ya-beng-cu, mutiara
sebesar gundu yang bercahaya di waktu malam.
Seorang lagi mengantar sebuah
Kiu-liong-pwe, cangkir kemala berukir sembilan naga. Pada waktu mendung,
cangkir ini akan berubah menjadi kelam, jika hari cerah, warna cangkir inipun
gemilang. Air yang tertuang ke dalam cangkir akan berubah menjadi arak.
Kedua benda mestika ini
sekalipun didalam istana raja juga tidak dapat ditemukan, tapi sekarang mereka
telah digunakan sebagai kado ulang tahun Hu-patya, walaupun terasa berat, tapi
juga bergembira, sebab mereka mengira kado sendiri pasti akan mengalahkan kado
orang lain, bila tersiar, tentu namanya akan semakin menonjol.
Siapa tahu, sekarang Hi Soan
hanya memberikan kado beberapa patung orang-orangan dan benda mestika mereka
lantas terkalahkan, padahal mereka tidak tahu dimana letak kebagusan
patung-patung kecil itu.
Begitulah semua orang
bertanya-tanya di dalam hati, sementara itu perut merekapun bertambah lapar.
Kiranya sudah lama tiba
waktunya makan, padahal mereka jauh-jauh datang kemari, minum saja belum
disuguhi, dan kini perut pun sudah lapar, mereka berharap selekasnya tuan rumah
akan menjamunya.
Siapa tahu tiada sedikitpun
tanda Hu-patya akan membuka perjamuan, sebaliknya ia malah memejamkan mata,
seperti tertidur. padahal perut semua orang sudah berkeroncongan, tapi siapakah
yang berani ribut?
Untung Hu-patnaynay sedikit
banyak masih punya perasaan, diam-diam ia memanggil seorang pesuruh dan
berpesan padanya. "Waktu makan Loyacu belum tiba, sedangkan para tetamu
yang datang dari jauh ini tentu sudah lapar, coba tanya ke dapur, adakah
makanan kecil yang enak, boleh keluarkan dulu sekedar untuk ganjal perut para
tetamu."
Mendengar ini, hati semua
merasa lega, seketika mereka merasa Hu-patnaynay ini dua puluh tahun lebih
muda, makin dipandang makin manis.
Selang tak lama benarlah ada
dua orang membawa senampan makanan yang masih panas. Dipandang dari jauh
bentuknya sangat menarik, tapi sesudah dekat baru diketahui bahwa isi kedua
nampan ini adalah ketela rebus.
Kalau ketela rebus digolongkan
"makanan kecil yang enak", maka segala macam ubi di dunia ini tentu
juga terhitung makanan lezat.
Tampaknya Hu-patnaynay juga
merasa rikuh, terpaksa ia berucap, "Meski makanan kecil ini tidak begitu
baik, kuharap kalian sudilah makan seadanya, sebab tidur Patya ini entah
berlangsung hingga kapan, kalau kalian terlambat mengisi perut, bisa masuk
angin."
Sudah tentu para tokoh
persilatan ini tidak pernah makan ketela rebus, tapi mengingat waktu perjamuan
masih belum ada kepastiannya, maka mau tak mau mereka harus isi perut seadanya.
Diam-diam Pwe-giok merasa geli
dan juga mendongkol. Dilihatnya Hu-patnaynay sedang tertawa, ia menjadi kuatir
kalau-kalau labur pada wajah nyonya rumah akan rontok semua. Kalau labur pada
mukanya rontok, entah bagaimana bentuknya, sesungguhnya ia tidak berani
membayangkannya.
Untung pupur Hu-patnaynay itu
dilabur dengan lapisan lebar itu tidak sampai terkelupas.
Waktu ia pandang para tokoh
dunia persilatan itu, biasanya mereka sudah bosan makan ikan dan daging, tapi
sekarang ketela rebus itupun disikatnya dengan lahap.
Sehabis makan ketela, semua
orang merasa haus dan terpaksa minum air sebanyaknya, mendingan tidak minum
air, sekali minum air satu-dua mangkuk, seketika perut mereka sama kembung dan
sesak nafas.
Banyak orang diantaranya yang
cukup encer otaknya dapat memahami maksud tujuan Hu-patya, mereka sengaja
dijejali ketela rebus, sebentar kalau santapan lezat disuguhkan, tentu perut mereka
sudah tidak ada tempat luang lagi dan terpaksa harus melotot memandangi tuan
rumah makan sendirian.
Karena itulah, beberapa orang
yang lebih cerdik itu segera berhenti makan setelah melalap satu dua biji
ketela rebus itu, mereka lebih suka menahan lapar sebentar lagi.
Dugaan mereka ternyata tidak
keliru, setelah perut tetamunya kembung, segera Hu-patya mendusin dan berulang
mendesak, "Ayo, siapkan perjamuan! Para tetamu tentu sudah lapar, kenapa
tidak lekas dimulai, tunggu apa lagi?"
Diam-diam beberapa orang yang
lebih cerdik tadi merasa geli, mereka menganggap orang yang terlanjur makan
ketela itu orang tolol, sebentar bila perjamuan dimulai, terpaksa orang-orang
yang kenyang ketela itu hanya akan menyaksikan orang lain makan minum belaka.
Beberapa orang cerdik ini bertambah gembira ketika diketahui hidangan pertama
yang diantarkan adalah Hay-hong-hi-sit (kepet ikan masak telur kepiting).
Betapa sedapnya masakan ini,
tidak perlu makan, cukup memandang warnanya saja sudah bisa membikin mereka
mengiler.
Maka orang yang sudah kenyang
ketela tadi menjadi menyesal, yang belum banyak makan ketela mulai mengedip
mata, mereka hanya menunggu komando tuan rumah saja, sekali diberi aba-aba,
kontan Hay-hong-hi-sit itu akan segera diserbu.
Bukan cuma hidangannya yang
tergolong kelas satu, malah arak yang segera disuguhkan juga arak simpanan
berpuluh tahun. Begitu poci arak ditaruh di atas meja, serentak bau arak yang
merangsang tercium oleh para tetamu.
Maka orang-orang yang
terlanjur kenyang ketela tadi merasa gembira pula, mereka pikir meski tuan
rumah yang pelit ini telah menjejal perut mereka dengan ketela, tapi arak enak
tentu dapat minum beberapa cawan lagi.
Terlihat Hu-patya mengangkat
poci arak, dan dia mengendus dulu isi poci itu, mendadak ia berkata dengan
serius, "Wah, arak adalah cairan tajam yang dapat merantas usus, minum
arak lebih banyak celaka daripada faedahnya, sedangkan para hadirin adalah tamu
undanganku, jauh-jauh kalian mengantar kado padaku, mana boleh ku bikin susah
kalian malah? Tidak bisa....jelas tidak bisa........"
Segera ia memberi tanda dan
berseru, "Ayo, lekas isi cangkir para tetamu dengan sirup, juga jangan
terlalu banyak sirupnya, kalau terlalu banyak makan gula, gigi cepat
rusak."
Semua orang saling pandang
dengan melongo. Orang yang gemar minum arak tadi sudah tergelitik ingin
membasahi kerongkongannya dengan arak sedap itu, tapi sekarang hampir saja
mereka tumpah darah saking gemasnya.
Sebaliknya Hu-patya lantas
menuang cawan sendiri, yang dituangnya adalah arak, lebih dulu ia mencium bau
arak itu, lalu bergumam, "Ehm, alangkah sedapnya arak simpananku ini. Aku
sudah tua, sudah bosan hidup, seumpama mati keracunan arak juga tidak menjadi
soal...Eh, marilah mari, ku suguh dulu satu cawan kepada kalian...Ayo, minum lagi
satu cawan!"
Orang yang suka minum arak
hanya dapat menyaksikan orang lain minum arak enak, sedangkan yang diminumnya
adalah air sirup, bagaimana rasa dongkolnya tentu dapat dibayangkan.
Setelah beberapa cawan arak
masuk perut, wajah Hu-patya tampak cerah, ia tertawa dan berkata, "Sirup
tentu saja jauh lebih enak daripada arak...., Hahaha, mari-mari, silahkan
makan!"
Sejak tadi beberapa orang yang
lebih cerdik itu memang lagi menunggu "komando" tuan rumah, maka
belum lenyap Hu-patya menarik muka dan membentak, "He, siapa yang
mengantarkan makanan ini? Apakah sengaja bikin celaka orang."
Hati beberapa orang cerdik itu
seketika mencelos lagi demi mendengar ucapan yang tidak beres itu.
Seseorang merasa tidak tahan,
dengan tersenyum ia tanya. "Memangnya dimana ketidak beresan hidangan
ini?"
"Masa kalian tidak
tahu?" ujar Hu-patya.
"Makanan berminyak kurang
baik bagi kesehatan, bikin gemuk dan menyumbat pembuluh darah, lebih-lebih kaum
persilatan kita, bila terlalu banyak makan barang berminyak, umpama tidak bikin
perut mules, akibatnya akan membikin gemuk badan. Dan bila badan sudah gemuk,
gerak-gerik tentu tidak leluasa..." ia merandek, lalu menyambung pula,
"kalau gerak-gerik kurang leluasa, jika bergebrak dengan orang, sedikit
banyak kungfunya pasti akan berkurang pula. Sedangkan kalian datang dari jauh
untuk mengucapkan selamat padaku, bila terjadi apa-apa setelah makan
hidanganku, kan aku yang berdosa kepada kalian."
Dia bicara seperti beralasan,
bahkan jujur dan terus terang, malahan seperti sangat bersimpati terhadap orang
lain, meski para tamunya sangat mendongkol, tapi juga tidak dapat membantah.
Karena itulah, Hu-patya lantas
mengangkat satu porsi besar Hay-hong-hi-sit itu ke depan sendiri, katanya
dengan menyesal, "Jika yang makan kakek semacam diriku tentu tidak menjadi
soal, sebab aku kan sudah bosan hidup dan hampir masuk liang kubur, apa yang
perlu kutakuti?"
Begitulah sambil minum arak
dan makan Hi-sit, berulang-ulang ia menyatakan rasa penyesalannya, "Ai,
kalau aku tidak masuk neraka, siapa yang mau masuk neraka, Demi para sahabatku,
biarpun aku memikul dosa bagi mereka juga pantas. Eh, silahkan kalian minum
sirup, boleh tambah lagi jika kurang."
Semua orang saling pandang
dengan melongo dan terbelalak, meski di mulut tidak berani bicara, tapi didalam
hati semua orang hampir mati kaku saking gemas terhadap orang pelit ini.
Baru sekarang Pwe-giok tahu
artinya istilah "orang kaya tidak mulia" itu. Sudah banyak juga
dilihatnya orang serakah, iapun tahu orang yang tamak harta tentu pula pelit,
tapi orang kaya pelit semacam Hu-patya ini sungguh ia tidak tahu cara bagaimana
lahirnya.
Pada saat itulah,
sekonyong-konyong seorang menanggapi dengan tertawa, "Sahabat baik harus
ada rejeki dinikmati bersama, ada kesulitan ditanggung bersama, dosa yang kau
tanggung sudah terlalu banyak, biarlah akupun ikut memikulnya sebagian."
Apa yang diucapkan orang ini
sama juga apa yang dipikirkan oleh orang banyak, kini orang ini telah
mewakilkan mereka menyatakan isi hatinya, tentu saja mereka merasa senang. Tapi
diam-diam merekapun berkuatir bagi orang ini, bahwa ada orang berani bicara
demikian di hadapan Hu-patya, barang kali orang ini sudah bosan hidup.
Air muka Hu-patya tampak
berubah, "brak mendadak ia gabrukkan sumpitnya ke meja dan mendengus,
"Selama hidupku tidak punya sahabat, semua sahabatku sudah lama mati.
Memangnya siapa kau?"
Terdengar orang itu menjawab
dengan tertawa "Siaute sengaja datang buat mengucapkan selamat hari
jadinya Hu-patko, belum lagi bertemu muka kenapa Patko sudah menyumpahi diriku?"
Waktu pertama kali dia bicara
orang lain merasakan orangnya sudah berada di sekitar situ, tapi belum
kelihatan mukanya, dan sekarang waktu bicara untuk kedua kalinya, semua orang
berbalik merasa dia berada di tempat jauh. Tapi begitu kata terakhir terucapkan,
tahu-tahu di depan pintu sudah muncul sesosok bayangan orang.
Perawakan orang ini sangat
tinggi dan kurus, pakaiannya berwarna ungu bukan, hijau bukan, kelabu pun
tidak, ikat pinggangnya berwarna kuning jingga dan terselip sebatang pedang
berbentuk antik. Kepalanya memakai sebuah caping, begitu lebar caping ini
sehingga mirip sebuah baskom yang menutupi hampir seluruh mukanya, orang lain
tidak dapat melihat bagaimana bentuk wajahnya, tapi dia dapat melihat orang
lain dengan jelas.
Agaknya Hu-patya sudah dapat
mengenali pendatang ini, sampai sikap Hu-patnaynay juga rada berubah, untung
mukanya berpupur tebal sehingga perubahan air mukanya sukar dilihat orang lain.
Si jubah hijau berpedang antik
ini mendekati Hu-patya dengan langkah berlenggang, katanya dengan tertawa,
"Eh, kenalan lama datang dari jauh, masakah Patko tidak menyilahkan
duduk?"
Air muka Hu-patya berubah
kelam seperti telapak sepatu, ucapnya, "Ya, duduk, silahkan duduk."
Entah beberapa banyak kata
"duduk" yang diucapkannya tapi badannya tidak bergerak sedikitpun.
"Ah, pahamlah aku,"
kata pula si jubah hijau, "menurut peraturan Patko, untuk mendapatkan
tempat duduk harus memberi kado dulu, orang yang tidak membawa kado bukan saja
tidak disediakan tempat duduk, sebaliknya pantatnya mungkin akan di depak
hingga luluh.
Dia tepuk-tepuk bajunya, lalu
berkata pula. "Celakanya Siaute justeru lupa membawa kado, wah, bagaimana
baiknya?...Aha, betul, seperti kata orang, sekedar angpau sebagai tanda hormat,
meski kecil nilainya, tapi besar artinya. Betul tidak?"
Ia terus merogoh saku, tapi
digagap-gagap, sampai sekian lamanya, akhirnya dikeluarkannya secarik kertas
kumal, entah kertas bekas apa, tapi kertas kumal itu terus disodorkan kepada
Hu-patya, katanya dengan tertawa, "Eh, entah kadoku ini cukup berbobot
atau tidak?"
Kini air muka Hi Soan juga
berubah kelam, orang mengantar bunga karang sebagai kado saja akibatnya pulang
sampai dirumah terus mati tumpah darah, sekarang orang ini memberikan secarik
kertas kumal dan katanya juga kado, mustahil kalau kepala orang ini tidak
dihancurkan oleh Hu-patya.
Tapi keanehan segera terjadi.
Hu-patya justeru manggut-manggut dan berkata. Ya, cukup, sudah cukup...."
"Jika Patko bilang cukup,
kan Siaute pantas diberi tempat duduk untuk ikut memikul dosa bagimu,"
kata si jubah hijau. Habis berkata, mendadak sebelah tangannya terjulur, kuduk
salah seorang tamu seketika dicengkeramnya.
Padahal tamu itu berjuluk
"Poan-cat-san" atau setengah gunduk gunung, dari nama julukannya
dapat dibayangkan betapa besar tubuhnya dan betapa kuat tenaganya, tapi
sekarang kena dicengkeram begitu saja oleh si jubah hijau, mirip elang
mencengkeram anak ayam, menyusul terus dilemparkan ke luar pintu tanpa bisa
melawan sedikitpun.
Lalu si jubah hijau terus
menempati tempat duduk yang luang itu, dalam sekejap saja sisa Hay-hong-hi-sit
yang baru dimakan sedikit oleh Hu-patya itu telah disikatnya hingga bersih.
Kemudian ia angkat poci arak, seperti ikan paus mengirup air, arak yang mancur
dari poci itu terisap seluruhnya ke dalam perut si jubah hijau.
Apa yang diperbuat si jubah
hijau telah disaksikan oleh Hu-patya dengan diam saja tanpa bergerak
sedikitpun.
Setelah makan dan minum, si
jubah hijau mengusap mulut dan menghela napas lega.
"Patko, sudah lama Siaute
tidak menanggung dosa sebagus ini, apa bila Patko masih ada dosa lain, biarlah
kuwakilkan sekalian." katanya dengan tertawa.
Maka Hu-patya tampak sebentar
pucat sebentar hijau, mendadak ia menggebrak meja dan berkata, "Hm,
percuma kalian mengaku sebagai tokoh dunia Kangouw, masakah melihat kedatangan
Dian toaya kalian tetap duduk saja ditempat tanpa memberi hormat dan mengucap
selamat?!"
Semula semua orang mengira
sasaran kemarahan Hu-patya itu pastilah si jubah hijau, siapa tahu justeru
orang lain yang dijadikan alat pelampias dongkolnya.
Hanya Pwe-giok saja yang
diam-diam merasa geli, ia tahu "si pelit" kembali menggunakan akal
licik untuk melepaskan diri dari "kewajiban, sebab sekali ia sudah
marah-marah berarti telah dihematnya perjamuan selanjutnya.
Sejak semula Hi Soan sudah
memperhatikan pedang antik yang dibawa si jubah hijau, sekarang ia lantas
berbangkit dan memberi hormat, seraya berkata "Anda she Dian, entah adakah
hubungan dengan Dian-toaya yang berjuluk Sin-liong-kiam-khek (pendekar pedang
naga sakti) yang termasyhur dari Thian san itu."
Si jubah hijau tidak
menjawabnya, tapi perlahan ia menanggalkan capingnya sehingga kelihatan
wajahnya yang kurus pucat, wajah ini kalau dipandang dari jauh akan kelihatan
cakap, tapi bekas luka pedang atau golok pada mukanya yang menakutkan itu.
Serentak Hi Soan menyurut
mundur dua langkah demi nampak wajah luar biasa ini. Para tamu juga sama
tergetar dan berbangkit meninggalkan tempat duduknya.
"Ah, kiranya memang betul
Dian-locianpwe sendiri," ucap Hi Soan sambil memberi hormat lagi.
"Tidak berani, Cayhe
memang betul Dian Liong-cu adanya," kata si jubah hijau dengan tertawa.
Karena tertawa, kulit mukanya
yang penuh codet itu bergerak sehingga menambah keseraman dan misteriusnya dan
membikin orang tidak berani lebih lama memandang padanya.
Pwe-giok sudah lama mendengar
orang ini adalah salah seorang tokoh terkemuka yang sederajat dengan Lo-cinjin
dan lain-lain, jejaknya sukar dicari dan cara turun tangannya paling ganas,
Pwe-giok sendiri sudah pernah belajar kenal dengan kepandaian muridnya yang
bernama Dian Ce-hun, maka sekarang iapun mencoba mengamati orang beberapa
kejap.
Sinar mata Dian Liong-cu
menyapu pandang sekeliling ruangan itu, ketika sampai pada wajah Pwe-giok, ia
melototinya dengan senyum tak senyum, tanyanya, "Siapakah nama sahabat
muda ini?"
Cepat Hi Soan mendahului
menjawab, "Dia bernama Hi Ji pengiringku."
"Oo?!" Dian Liong-cu
bersuara heran, "tidak nyana pemuda bertampang segagah ini adalah
pengiring dan anak buah Hi-tayciangbun."
Ia pandang Pwe-giok pula
beberapa kejap, lalu sinar matanya beralih ke wajah Hi Soan dan bertanya,
"Konon Bu-lim-pat-bi (delapan cantik dunia persilatan) telah jatuh di
tanganmu entah betul tidak?"
Hi Soan menunduk, ucapnya
dengan tergagap sambil melirik Hu-patya, "O, tentang ....tentang
ini...."
"Ah, tahulah aku,"
tukas Dian Liong cu sambil tertawa, "Pantas Hu-patko meladeni Anda sebagai
tamu utama, kiranya Anda telah menggunakan Bu-lim-pat-bi sebagai kado."
Semua orang merasa heran,
masakah patung orang-orangan tadi disebut "Bu-lim-pat-bi" segala.
Terdengar Dian Liong-cu
berkata pula, "Patko, jika kumakan minum di sini tentu akan membuat Patko
seperti disayat-sayat, kalau sekarang aku cuma minta pinjam lihat
Bu-lim-pat-bi, tentunya kau tidak keberatan bukan?"
Hu-patya hanya diam saja
dengan muka kelam.
Mendadak Dian Liong cu menarik
muka, katanya, "Aku hanya pinjam lihat saja, toh takkan membikin si cantik
kehilangan secuil daging apapun?"
Muka Hu-patya sebentar pucat
sebentar merah, mendadak ia menggebrak meja dan berseru, "Dian Liong-cu,
jangan kau kira aku benar-benar takut padamu, Pek-poh-sin-kun belum tentu bisa
dikalahkan oleh Yu-liong-ciang andalanmu!"
"Dan juga belum tentu
bisa menang, begitu bukan?" tukas Dian Liong cu dengan tak acuh.
"Hmk!" Hu patya
mendengus.
Dian Liong-cu manggut-manggut
dengan tertawa, katanya, "Ya, sudah lama kutahu, kalau tidak yakin pasti
menang, tidak nanti Patko mau berkelahi. Sebab itulah akan lebih baik Patko
perlihatkan saja Bu-lim-pat-bi, aku berjanji takkan mengusiknya."
Hu-patya mengertak gigi,
tampaknya masih ragu.
Hu-patnaynay lantas menyela
dengan tertawa, "Dian toaya selama bisa pegang janji, apa halangannya
kalau kau perlihatkan kepadanya. Apa lagi para tamu yang hadir tentu juga ingin
tahu dimana letak kebagusan Bu-lim-pat-bi yang termasyhur ini."
Sampai sekian lama pula
Hu-patya berpikir, akhirnya ia memberi tanda dan berseru, "Baik, ambilkan
Cui-ci-boan (baskom kristal) dan isi dengan air jernih."
Kembali semua orang merasa
heran, untuk menonton patung kecil yang disebut Bu-lim-pat-bi itu, untuk apa
disediakan air jernih segala?
Namanya Cui-ci boan atau
baskom kristal, dengan sendirinya baskom itu tembus pandang, besarnya baskom,
kira-kira dua kaki, tampak gemerlapan di bawah cahaya lampu sehingga air
didalam baskom juga berkilauan.
Hampir setiap orang yang hadir
ini adalah ahli barang antik, begitu melihat baskom kristal ini, semua lantas
tahu inilah sebuah benda antik yang jarang ada bandingannya. Tapi tiada
seorangpun tahu hendak diapakan baskom antik ini oleh tuan rumahnya.
Hu-patya menyuruh baskom itu
dengan di taruh di atas meja, lalu berkata dengan perlahan, "selama 30
tahun ini, tidak sedikit muncul tokoh dunia Kangouw yang baru, tidak sedikit
pula pahlawan yang ternama, tapi perempuan maha cantik yang diakui secara resmi
oleh dunia Kangouw, selama 30 tahun ini hanya ada delapan orang. Meski usia dan
kedudukan mereka tidak sama, tapi sejauh ini ke delapan perempuan cantik ini
memang benar sangat mempesona dan membikin orang tergila-gila."
Dia angkat baskom kristal itu,
lalu menyambung, "Nah, kado yang diantar Hi-tocu ini adalah patung
daripada ke delapan perempuan cantik tersebut."
Mendengar sampai di sini,
semua orang merasa sangat kecewa. Sebab, sekalipun patung perempuan paling
cantik di dunia juga takkan menarik bagi mereka. Patung tetap patung, sungguh
mereka tidak habis mengerti apanya yang menarik hanya sebuah patung benda mati.
Terdengar Hu-patya berkata
pula, "Patung-patung ini meski tetap patung belaka, tapi berbeda daripada
patung biasa. Kalau patung lain adalah benda mati, maka patung-patung ini
adalah patung hidup."
Sungguh aneh dan sukar
dipercaya, masakah ada patung hidup di dunia ini?
Dalam pada itu Hu-patya telah
mengeluarkan sebuah patung dan ditaruh di atas meja, lalu bertanya, "Adakah
para hadirin kenal siapa dia?"
Tertampak patung ini memang
terukir dengan sangat halus dan indah serupa orang hidup, sampai rambut dan
alisnya juga begitu jelas seolah-olah dapat dihitung, wajahnya terlebih hidup
ukirannya, cantiknya seperti bidadari, pakaiannya justeru berdandan sebagai
gadis suku bangsa Mongol sehingga tampaknya mempunyai gaya tersendiri.
"Apakah nona ini yang
terkenal sebagai Say-siang-ki-hoa (bunga aneh di luar perbatasan) si
Ang-boh-tan (si peoni merah)"
"Betul, luas juga pengetahuanmu,"
jengek Hu-patya.
Dian Liong-cu tersenyum,
katanya, "Ang-boh-tan ini adalah isteri kesayangan tokoh utama Lama besar
sekte Mi yang bergelar Ang-hun Lama, konon tidak saja lahiriahnya cantik molek,
juga pembawaannya memiliki daya tarik yang menggiurkan setiap orang yang
memandangnya. Cuma sayang, Ang-hun Lama adalah seorang pencemburu, isterinya
ini disimpan rapat-rapat, orang luar dilarang memandangnya sekejap pun."
Air muka Hu-patya tampak
senang, katanya "Dan sekarang kita justeru boleh memandangnya dengan
jelas."
Sampai akhirnya hanya
tertampak tubuhnya yang mulus, si cantik yang telanjang bulat itu timbul
tenggelam didalam air, di bawah cahaya lampu yang berkilauan si cantik
seolah-olah sedang menari.
Saking gembiranya Hi-patya
berkeplok tertawa, katanya, "Ang-hun menyimpannya sebagai perempuan
pingitan, barang siapa memandangnya sekejap saja akan dilabraknya, tapi
sekarang kita tidak cuma memandangnya sekenyangnya, bahkan boleh mempermainkan
dia sesukanya."
Kebanyakan tamu yang hadir sama
kesima memandangi si cantik dalam air itu, semua melongo dan ada yang hampir
saja mengiler. Hanya satu dua orang saja yang dapat berpikir dengan sehat,
mereka merasa jiwa Hu-patya pasti kurang beres, tapi kelainan jiwa demikian
rasanya juga menghinggapi kebanyakan lelaki di dunia ini.
Ada pepatah yang mengatakan
"hwa-pia-jong-ki" atau menggambar pia (panganan) untuk menelan lapar,
yaitu cerita orang yang kelaparan dan sukar mendapatkan makanan, terpaksa
melukis barang panganan sekedar mengurangi rasa laparnya dengan membayangkan
betapa lezatnya sedang menikmati panganan tersebut.
Dalam hal patung dan lukisan
perempuan cantik, hal ini memang banyak mendapat peminat kaum lelaki tertentu,
terutama tidak "mampu". Meski tahu apa yang dilihatnya itu cuma benda
mati, tapi jauh lebih baik aripaa sama sekali tidak ada dan cuma berkhayal
belaka.
Begitulah terdengar Dian
Liongcu berkata dengan tertawa, "Daripada menari sendirian, kan lebih
menarik jika menari berduaan, kenapa patko tidak mencarikan partner baginya?"
"Eh, usul bagus,"
ujar Hu-patya. Ia memandang ke dalam kotak, lalu berkata, "Usia
Ang-boh-tan sudah tidak sedikit, biarlah kucari seorang muda untuk menari
bersama dia."
Lalu mengeluarkan lagi sebuah
patung dan dimasukkan ke dalam baskom, katanya dengan tertawa, "Apakah
para hadirin tahu siapakah si cantik nomor satu di daerah Kanglam? Nah,
sekarang juga akan kuhadapkan si cantik nomor satu daerah Kanglam dan si cantik
nomor satu dari daerah perbatasan untuk menari bersama. Kecuali berada ditempatku
ini, selama hidup kalian mungkin tidak ada harapan dapat menyaksikan tontonan
menarik ini."
Belum habis ucapannya, air
muka Pwe-giok berubah hebat. Ternyata patung kedua yang dimasukkan ke dalam air
itu bukan lain daripada Lim-Tay-ih.
Melihat "Lim-Tay-ih"
sedang menari-nari didalam air, mata alisnya seperti orang hidup, sambil
tersenyum dan mengerling seolang-olah sedang menuturkan penderitaannya selama
ini.
Pwe-giok tidak tahan lagi,
mendadak ia menerjang maju, meja itu terus didepaknya hingga terjungkir balik.
Keruan semua orang terkejut
dan juga gusar, beramai-ramai mereka berlari menyingkir, mereka mengira anak
muda ini mungkin sudah gila, makanya mencari kematian sendiri. Air muka Hi Soan
juga pucat seperti mayat, kalau Pwe-giok berbuat sesuatu yang membikin marah
tuan rumah, dia sendiri pasti ikut bertanggung jawab.
Hu-patya tampak terkejut juga,
sungguh tak tersangka olehnya bocah ini berani main gila di hadapannya hanya
Dian Liong-cu saja tetap tersenyum-senyum menghadapi Pwe-giok yang mengamuk itu,
agaknya dia sudah dapat mengetahui asal-usul anak muda ini.
Setelah melenggong sejenak,
bukannya gusar, berbalik Hu-patya lantas tertawa, katanya sambil mengangguk,
"Bagus, bagus sekali! Jika kau sudah bosan hidup, kenapa tidak kupenuhi
kehendakmu?"
Segera ia mendorong minggir
meja yang terbalik itu dan membersihkan arak yang muncrat di atas tubuhnya,
lalu selangkah demi selangkah mendekati Pwe-giok.
Mengingat betapa hebatnya
Pek-poh-sin-kun tuan rumah itu, sekarang dalam keadaan murka, betapa dahsyat
pukulannya sungguh sukar dibayangkan. Maka semua orang sama menyingkir agak
jauh, mereka kuatir ikut terkena getahnya apa bila berdiri terlalu dekat dengan
Pwe-giok.
Hanya Hi Soan saja yang masih
punya rasa setia kawan, tampaknya dia ingin membantu Pwe-giok tapi juga
ragu-ragu, Dian Liong-cu sempat pula menariknya ke samping.
Orang yang paling tenang
adalah Ji Pwe-giok sendiri, Meski rasa gusarnya belum reda, tapi orang lain tak
dapat melihat perasaannya itu. Waktu Hu-patya mendekatinya, ia tidak memapak
maju dan tak menyurut mundur, dia hanya berucap dengan tak acuh, "Kau
bukan tandinganku, akan lebih baik suruh istrimu saja yang maju."
Ucapan ini membikin heran pula
semua orang. Padahal Pek-poh-sin-kun tuan rumah termasyhur di seluruh dunia,
justeru tidak pernah terdengar bahwa kungfu Hu-patnaynay terlebih tinggi
daripada suaminya.
Tapi air muka Hu-patya lantas
berubah, seperti mendadak pantatnya di depak orang, dia berseru kaget,
"Apa...apa maksudmu?"
"Apa maksudku masakah
belum jelas bagimu? Perlu kukatakan lagi?" jawab Pwe-giok dengan ketus.
Hu-patya yang tadinya berlagak
seperti paling kuasa di dunia ini sekarang ternyata berdiri terkesima seperti
patung tanpa bisa menjawab. Juga Hu-patnaynay kelihatan serba salah, meski
tidak kelihatan bagaimana perubahan air mukanya, tapi pupur pada mukanya sudah
mulai rontok, seperti labur dinding yang terkelupas karena gempa bumi.
Pwe-giok tertawa, katanya,
"Padahal kalian kan tidak benar-benar ingin mendapatkan patung cantik ini,
minat kalian juga tidak terletak pada perempuan, soalnya karena barang ini
sudah diantar kemari, terpaksa kalian menerimanya."
Air muka Hu-patya pucat
seperti mayat, ia menyurut mundur setindak, ucapnya dengan suara serak,
"Dari....darimana kau tahu?"
Belum lagi Pwe-giok menjawab,
mendadak Hu-patnaynay menyerobot maju terus menjotos, belum lagi kepalannya
mengenai sasarannya, angin pukulannya terlebih dulu sudah menyambar ke dada
Pwe-giok.
Siapapun tidak menyangka
nyonya rumah yang ramah tamah dan anggun itu memiliki daya pukulan sedahsyat
ini, tampak Pwe-giok berputar dengan cepat sehingga daya pukulan maut itu
terhindar, namun sekali sudah mendahului, segera Hu-patnaynay melancarkan
pukulan lain lagi susul menyusul.
Demikian gencar pukulan lawan
sehingga ganti napas saja Pwe-giok tidak sempat, terpaksa ia main mundur untuk
menyelamatkan diri. Pada saat itulah sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat,
tahu-tahu Hu-patnaynay menjerit terus melompat mundur, beberapa orang yang
berpandangan tajam sempat melihat dada baju nyonya rumah itu telah tertabas
robek hingga kelihatan dadanya.
Anehnya nyonya rumah itu
mempunyai dada yang lapang, bahkan bersimbar dada, penuh tumbuh bulu panjang
dan lebat.
"Hahahaha" Dian
Liong-cu bergelak tertawa dengan pedang terhunus. "Dugaanku ternyata tidak
keliru, Hu-patnaynay memang benar seorang lelaki."
Baru sekarang para hadirin
melenggong.
Tertampak Hu-patya meringkuk
di pojok sana dengan malu, sedangkan Hu-patnaynay berusaha menutupi dadanya
dengan baju yang sudah robek itu, keadaannya yang runyam itu sungguh
menggelikan dan juga pantas dikasihani.
Padahal dengan kungfu Hu-patya
"suami-isteri" cukup kuat untuk menandingi Dian Liong-cu, tapi
sekarang mereka seolah-olah ayam jago yang sudah keok, bersuara saja tidak
berani.
Maklum, bila perbuatan
seseorang yang memalukan terbongkar di depan umum, betapapun hatinya pasti malu
dan gugup. Apalagi rahasia mereka ini sudah berjalan selama berpuluh tahun,
yang mengetahui rahasia mereka mestinya ada seorang lagi, cuma sayang orang ini
sudah lama mati, sekarang rahasia mereka terbongkar begini saja oleh seorang
anak muda ingusan, sungguh mereka merasa heran dan bingung entah cara bagaimana
anak muda ini mendapat tahu rahasia mereka, karena tidak mengerti tentu juga
semakin takut.
Kalau mereka sudah takut,
dengan sendirinya orang lain tidak takut lagi kepada mereka, malahan ada
diantaranya segera tertawa mengejek.
Dian Liong-cu juga tertawa dan
menyindir, "Haha, pantas di tempatmu ini penuh dipelihara makhluk-makhluk
aneh, semuanya lelaki bukan perempuan tidak, kiranya kalian sendiri inilah
biangnya kawanan siluman ini. Hehe, kalau lelaki berniat memperistri lelaki,
hal ini benar-benar berita aneh yang jarang terdengar di dunia."
Mendadak seorang menanggapi,
"Kalau dia suka memperistri seorang lelaki, ini kan urusan pribadinya.
Seumpama dia suka memperistri seekor monyet, hal ini pun haknya, asalkan dia
sudah memaksamu menjadi isterinya, kan sudah, berdasarkan apa kau ikut campur
urusannya?!"
Berbareng dengan ucapan itu,
seorang telah masuk ke ruangan besar itu dengan langkah berlenggang.
Orang ini berbicara dengan
suara lemah, seperti orang yang sudah beberapa hari tidak makan nasi, tapi cara
berjalannya justeru seperti tuan besar. Cuma sayang mukanya kelihatan kurus
kering, kulit badannya kendur semua, mirip balon yang gembos, Bahan bajunya
berkualitas tinggi, yang longgar, cukup untuk mengisi tiga sosok tubuhnya.
Orang pakai baju selonggar ini mustahil takkan dituduh sebagai baju hasil
mencuri.
Orang yang berani bicara kasar
dengan sin-liong-kiam-khek Dian Liong cu boleh dikatakan sangat sedikit di
dunia ini, semula orang mengira pendatang ini pasti seorang tokoh besar yang
hebat, karena itu semuanya ikut kebat-kebit dan berdebar-debar.
Siapa tahu yang muncul adalah
seorang berbaju kedodoran, kulit badannya juga kedodoran, tampaknya sekali
pukul saja pasti akan mencelat.
Tentu saja Dian Liong-cu
mendongkol dan juga geli, tapi dia tidak berani mengumbar rasa marahnya,
sebaliknya ia menyapa dengan tertawa, "Wah, tampaknya Anda ini juga
beristerikan seorang lelaki, sebab kalau melihat tampang Anda, mungkin tiada
perempuan di dunia ini yang sudi menjadi istrimu."
Ucapan ini membikin para
hadirin tertawa geli.
Tapi makhluk aneh ini sama
sekali tidak memperlihatkan reaksi apa-apa, maklumlah, kulit mukanya terlalu
kendur, seumpama kulit dagingnya bergerak, kulit yang kedodoran itu tentu
takkan ikut bergerak.
Terdengar dia bergelak tertawa
lalu berseru, "Seumpama aku beristerikan seorang lelaki kan juga tiada
sangkut-pautnya dengan kau, bukan?"
Kalau orang lain tertawa di
kulit, maka dia tertawa di daging dan kulitnya tidak tertawa, meski keras suara
tertawanya, tapi wajahnya tetap lesu dan lemas, seakan-akan orang yang tertawa
itu bukan dia, suara tertawanya seperti timbul dari suatu tempat yang lucu dan
aneh.
Semula semua orang merasa
orang ini sangat lucu, tapi sekarang berbalik terasa rada menakutkan.
Dian Liong-cu berdehem
beberapa kali, lalu berkata, "Kalau lelaki beristerikan lelaki, lalu harus
dikemanakan orang perempuan? Jadi urusan ini aku kudu campur?"
"O, jadi kau pasti akan
ikut campur," tanya orang itu.
"Betul, aku pasti ikut
campur." jawab Dian Liong-cu.
Tapi baru saja kata
"campur terucapkan, "plak-plok", mendadak terdengar suara
gamparan keras dan nyaring. Tahu-tahu pipi kanan kiri Dian Liong-cu telah
bertambah lima jalur merah bekas jari seperti sengaja digores dengan pensil,
sampai ia sendiri tidak tahu cara bagaimana kena digampar.
Yang dirasakan ketika pipi
kanan berbunyi "plak", segera tubuhnya mendoyong ke kiri, tapi segera
pipi kiri ditampar dan "plok", lalu tubuhnya menegak kembali seperti
semula.
Waktu dipandang si orang aneh
itu, dia masih tetap berdiri di depan dan sedang memandang padanya dengan
gayanya yang khas itu, kalau dikatakan kedua kali gamparan itu dilakukan olehnya
mungkin tidak ada orang yang mau percaya.
Dian Liong-cu merasa seperti
bermimpi saja, mendingan mukanya tidak merasa sakit. Anehnya semua orang sama
memandang mukanya dengan sorot mata yang kaget dan kuatir, seperti orang yang
melihat setan di siang bolong.
Tanpa terasa Diong Liong-cu
meraba mukanya sendiri, baru sekarang diketahuinya bagian mukanya telah
membengkak lima jalur bekas jari, rasanya kaku dan panas dan sukar bergerak.
Saking kagetnya tanpa terasa
ia menjerit perlahan, dan baru diketahuinya bahwa kulit muka sendiripun kaku,
makanya tidak terasa sakit.
"Hehehe, coba katakan
lagi, kau pasti ikut campur urusan ini bukan?" dengan tertawa orang aneh
itu bertanya pula.
Kerongkongan Dian Liong-cu
berbunyi "krak-krok", tapi sukar berbicara.
Orang aneh itu tepuk-tepuk
pundak Hu-patya, lalu berkata, "Nah, sudah ku lampiaskan rasa gemasmu
tadi, sekarang apa imbalannya sebagai tanda terima kasihmu padaku?"
"Ini...Cianpwe..."
rupanya Hu-patya jadi bingung juga oleh kungfu si orang aneh yang maha sakti
ini, tepukan orang pada pundaknya membuatnya hampir berjongkok kebawah, mana
sempat lagi bicara.
"Jika kau tidak tahu cara
bagaimana harus berterima kasih padaku, biarlah kukatakan saja padamu."
kata orang itu lalu ia pungut patung yang berantakan bersama kotaknya tadi dan
menyambung pula, "Nah, cukup kau berikan saja mainan ini padaku."
Hu-patnaynay menabahkan hati
dan berseru, "Siapakah nama Cianpwe yang terhormat, bolehkah kami diberi
tahu?"
"Masa kau tidak kenal
siapa diriku?" tanya orang aneh itu. Dia menggeleng kepala dan menyambung
dengan gegetun, "Jika orang lain tidak tahu siapa diriku masih dapat
dimaklumi, tapi kalau kalian juga tidak kenal siapa diriku, wah sungguh aku
sangat sedih, sanagat berduka...."
Bicara sampai di sini, mendadak
dari dalam bajunya yang kedodoran itu dirogohnya keluar sepotong paha ayam
goreng. Memandangi paha ayam ini, sorot matanya menampilkan rasa rakusnya, akan
tetapi paha ayam itu hanya dipandang, lalu diendusnya beberapa kali, kemudian
ia menghela nafas panjang dan menyimpan kembali paha ayam itu kedalam bajunya.
Melihat kelakuan orang itu,
kulit muka Hu-patnaynay seketika berkerut-kerut, ucapnya dengan suara gemetar,
"Oo....Thian....Thian....."
Sekaligus ia berucap belasan
kata "Thian", tapi sukar melanjutkannya.
Tergerak pikiran Pwe-giok,
tiba-tiba teringat satu orang olehnya serunya, "He, bukankah Cian-pwe ini
Thian-sip-sing?"
"Hahahaha! Memang
betul," seru orang aneh itu sambil tergelak: "Tak tersangka bocah ini
malah kenal diriku, sungguh tidak gampang."
Baru sekarang Pwe-giok tahu
apa sebabnya kulit muka orang begitu kendur dan mengapa bajunya begitu longgar
tidak sesuai dengan tubuhnya, karena sebagaimana sudah diketahui.
Thian-sip-sing ini tadinya adalah seorang gemuk, bahkan maha gemuk.
Kalau orang gemuk mendadak
menjadi kurus, tentu saja akan berubah seperti balon gembos.
Mengapa Thian-sip-sing yang
gemuk seperti gajah bengkak itu dalam waktu tidak sampai tiga bulan telan
berubah menjadi sekurus ini? Padahal orang gemuk kalau ingin kurus bukanlah
suatu pekerjaan yang mudah.
"Meng...,mengapa Cianpwe
ber....berubah menjadi sekurus ini?" tanya Hu-patnaynay dengan tergagap.
Thian-sip-ping menghela nafas,
ucapnya, "Masakah tidak kau lihat? Sekarang barang apapun tidak berani
kumakan, jika kumakan, segera perut terasa mules. Nah, kalau orang tidak makan,
kan mustahil jika tidak cepat kurus?"
Ia berhenti sejenak, lalu
menghela nafas gegetun dan berkata pula, "O, agaknya aku harus ganti nama
menjadi Thian-go-sing (si binatang kelaparan)."
Padahal Thian-sip-sing
biasanya suka menganggap perutnya sebagai mesin pabrik, apapun dimakannya
segala dilalap, apapun dicerna, mungkin hanya mayat dan lalat saja yang tidak
pernah dimakannya.
Dan seorang pelahap begitu
masakah sekarang tidak berani makan paha ayam, sungguh sukar untuk dimengerti
dan mengherankan. Tapi tiada seseorang pun berani bertanya.
Hanya Pwe-giok saja yang
lantas berkata "Cianpwe sudah digoda sekian lamanya oleh Hwe-sing-diong,
selama itu tentu sangat kapiran bukan?"
Mata Thian-sip-sing terbelalak
lebar, tanyanya dengan heran. "He, kaupun tahu kejadian itu?"
"Ya, tahu
sekedarnya," jawab Pwe-giok.
"Wah, tidaklah sedikit
pengetahuan anak muda ini," gumam Thian-sip-sing dengan melotot.
Pwe-giok tertawa, katanya,
"Barang siapa kalau sudah digoda oleh Hwe-sing-diong, maka hidupnya pasti
konyol, makan tidak enak, tidur tidak nyenyak, kalau digoda hingga dua-tiga
bulan lamanya, betapapun gemuk juga akan berubah menjadi kurus."
Thian-sip-sing menghela napas,
ucapnya, "Memang betul, sedikitpun tidak salah. Selama dua-tiga bulan ini
sungguh aku ingin mati saja lebih baik, untunglah setelah aku digoda hingga
lebih dua bulan, mendadak mereka menghilang tanpa bekas. Tapi selera makanku
juga sudah kadung rusak, apapun tidak menarik lagi bagiku, biarpun santapan
yang paling lezat ditaruh di depan hidungku juga tidak akan menimbulkan nafsu
makanku."
Bicara dan bicara, begitu
sedih hingga hampir saja ia meneteskan air mata.
Maklumlah, seorang pelahap
kalau sekarang tidak dapat makan enak lagi, maka dapat dibayangkan betapa
tersiksa lahir batinnya.
Pwe-giok melototi patung yang
dipegang Thian sip-sing, katanya kemudian, "Makan enak dan main perempuan
adalah watak pembawaan manusia, sekarang Cianpwe tidak doyan makan lagi makanya
kau lantas berganti kesenangan."
Thian-sip-sing tertawa,
katanya, Aha, dalam hal ini salahlah kau. Maksudku mencari patung ini adalah
karena aku ingin mencari satu orang."
"Mencari satu
orang?" Pwe-giok menegas sambil berkerut kening.
"Apapun juga dia juga
salah seorang Bu-lim-pat-bi, patungnya pasti juga terdapat di antara
patung-patung indah ini," kata Thian-sip-sing. "Karena aku tidak
dapat melihat orangnya, juga tidak berani melihatnya bila berhadapan, kan
lumayan jika dapat kulihat patungnya."
"Memang siapa dia?" tanya
Pwe-giok.