Jilid 14
Thian-sip-sing berkedip-kedip,
dia tidak berkata apa-apa melainkan cuma memberi isyarat dengan tangan.
Melihat isyarat tangan itu,
seketika berubah air muka Pwe-giok, serunya, "He, apakah... apakah isyarat
tangan yang diberikan kepada Cianpwe oleh Ji-bengcu tempo hari itu juga isyarat
ini?"
"Hah, kaupun tahu
kejadian itu?.... Aneh, sungguh aneh?!" kata Thian-sip-sing dengan
tercengang.
"Setahuku, isyarat tangan
ini kan dimaksudkan sebagai Tangkwik-siansing?" kata Pwe-giok.
"Tangkwik-siansing? Siapa
bilang isyarat tangan ini menandakan Tangkwik-siansing? Hah, masakah
Tangkwik-siansing telah berubah menjadi wanita maha cantik?" ujar
Thian-sip-sing.
Pwe-giok melonjak kaget,
serunya, "He, kalau bukan Tangkwik-siansing, habis siapa yang dimaksudkan
dengan isyarat tangan ini?"
Sorot mata Thian-sip-sing
menampilkan rasa kejut dan takut, katanya dengan suara parau, "Jika kau
tidak tahu, darimana pula ku tahu...."
Baru omong sampai di sini,
mendadak ucapannya terputus, sebab entah kapan dan darimana datangnya,
tahu-tahu mulutnya telah dijejal dengan sebuah jeruk, dengan tepat mulutnya
tersumbat.
Padahal orang yang hadir di
sini tidaklah sedikit, kalau Thian-sip-sing sendiri tidak tahu darimana
datangnya jeruk itu, apalagi orang lain.
Menyusul lantas terdengar
seorang berkata dengan menyesal, "Ai, jaman ini memang serba susah, ingin
mencari suatu tempat untuk tidur senyenyaknya saja tidak gampang."
Suaranya ternyata berkumandang
dari langit-langit rumah.
Serentak semua orang sama
mendongak ke atas, maka tertampaklah di belandar tengah entah sejak kapan
bergelantungan sebuah karung besar, suara orang itu timbul dari dalam karung
besar itu.
Sungguh aneh, masakah di dalam
karung itu ada orangnya? Kalau di dalam karung terisi orang mengapa pula karung
itu bisa tergantung di atas belandar? Tanpa sebab mengapa orang itu mengurung
dirinya di dalam karung?
Selagi Pwe-giok merasa heran,
mendadak orang banyak sama berteriak kaget, "Hah!
Tay-te-kian-kun-it-te-ceng (bumi dan langit masuk satu karung)... Itulah dia
Poh-te Siansing (Tuan karung)!"
Di tengah jerit kaget dan
takut itu, berpuluh orang yang hadir di situ lantas berlari sipat kuping,
semuanya kabur pontang-panting, hanya sekejap saja sudah bersih, seorang pun
tak ketinggalan, kecuali Ji Pwe-giok.
Malahan Thian-sip-sing tidak
sempat mengeluarkan dulu jeruk yang menyumbat mulutnya itu, hanya kotak berisi
patung itu yang ditinggalkan, sebab ia tahu untuk lari akan lebih leluasa
bertangan kosong daripada membawa barang.
Seorang kalau kepergok Poh-te
Siansing, tentu saja lebih baik lari secepatnya.
Suasana di ruangan besar itu
menjadi sunyi, hanya Ji Pwe-giok saja yang masih berada di situ.
Setelah terjadi serentetan
hal-hal yang aneh dan misterius itu, lalu seorang berdiri di tengah ruangan
sebesar itu dalam keadaan sunyi senyap, di atas kepala malahan bergelantung
sebuah karung besar yang tampak bergontai kian kemari, keadaan ini sungguh
membuat orang merasa ngeri.
Hampir saja Pwe-giok juga
ingin angkat kaki saja.
Tapi pada saat itulah dari
dalam karung lantas timbul pula suara orang, "He, anak muda, jika kau
tidak pergi, mengapa tidak lekas kau turunkan aku si orang tua?"
Seketika Pwe-giok hanya
melenggong, sebab iapun tidak tahu apa yang harus dilakukannya?
Segera orang di dalam karung
berseru pula, "He, cepatlah sedikit, memangnya kau lebih suka menyaksikan
orang tua mati sesak napas terkurung di dalam karung ini?"
Pwe-giok berpikir sejenak,
katanya kemudian, "Jika kau dapat masuk sendiri ke situ, mengapa kau tidak
dapat keluar sendiri pula?"
Orang tua di dalam karung itu
tidak bicara lagi, tapi terus mengeluh seperti orang yang benar-benar hendak
mati sesak napas. Sampai akhirnya suara keluhan pun tidak terdengar lagi.
Setelah menunggu lagi sekian
lamanya, akhirnya Pwe-giok tidak tahan, segera ia meloncat ke atas.
Siapa tahu baru saja tubuhnya
mengapung, mendadak "bluk", karung besar itu terus jatuh ke bawah.
Cepat Pwe-giok melayang turun
pula dan membuka karung itu, tapi.... mana ada orangnya? Yang terdapat di dalam
karung hanya beberapa jilid buku saja.
Pwe-giok jadi melongo, hampir
saja ia tidak percaya kepada matanya sendiri.
Padahal jelas-jelas suara
orang tua itu tadi timbul dari dalam karung, mengapa di dalam karung ini tidak
terdapat orang?
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar orang tertawa di atas belandar. Keruan Pwe-giok terkejut. Cepat ia
menengadah, maka tertampaklah dua kaki dan segumpal jenggot panjang bergontai
kian kemari di atas.
Kedua kaki itu sangat kecil,
sebaliknya jenggot itu sangat panjang dan subur. Cahaya lampu tak dapat
mencapai langit-langit rumah, maka sukar terlihat bagaimana bentuk orangnya
kecuali kedua kaki dan jenggotnya yang panjang itu.
Pwe-giok menarik napas
panjang. Kalau orang lain mungkin akan lari terbirit-birit ketakutan karena
menyangka telah ketemu hantu atau siluman. Tapi Pwe-giok tahu orang tua ini
pasti menerobos keluar dari karungnya pada saat dia melayang ke atas tadi, lalu
pada waktu karung itu jatuh ke bawah dan selagi perhatian Pwe-giok tertarik
kepada karung yang jatuh itu, segera orang tua itu melayang lagi ke atas
belandar. Sudah barang tentu semua ini dilakukan dengan sangat cepat.
Apa yang terjadi ini kalau
sudah dijelaskan tentu tidak perlu dibuat heran, hanya saja kalau Ginkang orang
tua itu tidak maha tinggi, mana bisa mata-telinga Pwe-giok dikelabui?
Begitulah Pwe-giok tetap
menahan perasaannya, ia tertawa, ucapnya dengan hambar, "Sungguh tak
tersangka Lo-siansing masih suka main kucing-kucingan seperti anak kecil. Tapi
Cayhe tidak berminat main sembunyi-sembunyi denganmu, maaf, aku mau pergi
saja."
"He, kau mau pergi?
Apakah kau tidak ingin melihat barang ini?" tiba-tiba si kakek berseru.
Belum lagi Pwe-giok bersuara
pula, mendadak sesuatu barang jatuh dari atas belandar. Ia tidak berani
menangkapnya dengan tangan, sedikit mengegos, dengan lengan bajunya ia tadah
barang itu.
Di bawah cahaya lampu terlihat
benda ini kemilauan, nyata barang ini pun sebuah patung ukir batu kemala,
patung wanita cantik. Waktu ia pandang ke sana, kotak besi dan patung yang
ditinggalkan Thian-sip-sing di atas meja tadi seluruhnya sudah hilang.
Nyata, pada saat Pwe-giok
sibuk membuka karung tadi, sekejap itu telah digunakan oleh si kakek untuk
melayang turun dan mengambil kotak besi dan patung di atas meja, semua itu
hanya dilakukan dalam sekejap saja, maka dapat dibayangkan betapa hebat
ginkangnya.
Betapapun tabahnya Pwe-giok,
sekarang ia merasa ngeri juga.
Didengarnya si kakek lagi
berkata dengan tertawa, "Eh, anak muda. si cantik dalam pelukanmu, kenapa
tidak kau pandang dengan cermat? Kan sayang jika kesempatan baik ini kau
sia-siakan?"
Kalau patung batu pada umumnya
hanya kelihatan warna aslinya, tapi pakaian pada patung kemala ini ialah
selapis warna hitam dari bahan poles yang aneh, sebab itulah meski warna
bajunya hitam, tapi lamat-lamat kelihatan badan patung si cantik yang putih
bersih.
Kecantikan wajah patung kemala
inipun bak bidadari dari kahyangan, hanya di antara mata alisnya membawa
semacam sifat dingin yang sukar di jelaskan sehingga membuat orang segan
mendekatinya.
"Apakah kau kenal
dia?" terdengar si kakek bertanya.
"Tidak," jawab
Pwe-giok.
Kakek itu menghela nafas,
ucapnya, "Ya, kau lahir terlalu lambat, makanya tidak kenal dia. Tapi pada
30-40 tahun yang lalu, apa bila orang Kangouw menyebut Bak-giok Hujin,
sedikitnya berlaksa lelaki akan sukarela mati baginya."
"Kurasa wanita ini sangat
sulit didekati," kata Pwe-giok dengan tak acuh.
"Ya, justeru lantaran
sikapnya terhadap orang lain selalu dingin seperti es, maka orang lain pun
semakin tertarik dan ingin berdekatan dengan dia", tutur si kakek dengan
tertawa. "sembilan diantara sepuluh orang lelaki umumnya berwatak rendah
masakah kau tidak paham akan hal ini?"
Pwe-giok tertawa, katanya,
"Biarpun wanita ini maha cantik, akhirnya juga masuk liang kubur dan
menjadi tanah kembali. Apa sangkut-pautnya wanita cantik 40 tahun yang lalu
dengan diriku?"
"Kalau tidak ada
sangkut-pautnya tentu tidak ku suruh kau pandang dia," ujar si kakek.
"Oo?" Pwe giok
bersuara heran.
"Yang di maksudkan oleh
isyarat tangan Thian sip-sing tadi ialah si dia ini," kata kakek.
Jantung Pwe-giok berdetak,
sedapatnya ia menahan perasaan dan menjawab, "Tapi aku memang tidak kenal
dia."
"Coba ingat-ingat lagi,
apakah kau benar-benar tidak kenal dia?" ujar si kakek. "Setahuku
sedikitnya kau pernah bertemu satu kali dengan dia."
Kembali jantung Pwe-giok
berdebar keras, tiba-tiba teringat olehnya guru Hay Tong-jing dan Yang cu-kang,
wanita bercadar sutera hitam yang maha cantik dan anggun itu.
Serentak juga teringat olehnya
sepotong bambu kecil itu, pada bambu kecil itu terukir sebuah karung atau
kantung.
Sampai di sini, Pwe-giok tidak
tahan lagi, mendadak ia tanya, "Jangan-jangan engkau inilah
Tangkwik-siansing?"
"Tangkwik-siansing",
nama ini seakan-akan mempunyai semacam kekuatan gaib, setelah menyebut nama
ini, Pwe-giok sendiripun terkejut.
Sungguh sama sekali tak
terpikir olehnya bahwa dirinya bisa mendadak bertemu dengan Tangkwik-siansing.
Kakek itu tertawa, ucapnya.
"Padahal kita sebenarnya juga sahabat lama, seharusnya kau kenal
padaku."
Di tengah gelak tertawanya,
dengan enteng ia melayang ke bawah.
Begitu ringan seolah-olah
segumpal kapas, seperti sehelai daun jatuh, jenggotnya yang panjang bertebaran
seperti titik-titik air hujan mencurah dari langit.
Perawakan pendek kecil dan
kurus sehingga seluruh tubuh seakan-akan terbungkus oleh jenggotnya yang lebat
dan panjang itu.
"He, kiranya kau!"
seru Pwe-giok dengan melenggong.
-oO0Oo-
Pwe-giok memang betul pernah
bertemu dengan kakek ini, bahkan tidak cuma satu kali saja melainkan dua kali.
Pertama bertemu pada waktu dia
tertimpa musibah, ayahnya terbunuh dan rumah hancur, untung dia dapat
menyelamatkan diri, namun dia menjadi putus asa dan tiada keberanian untuk
hidup lagi. Pada saat demikian itulah dia bertemu dengan si kakek.
Waktu itu dipergokinya si
kakek hendak menggantung diri.
Pwe-giok telah menyelamatkan
jiwa orang lain tiba-tiba timbul juga semangatnya untuk mencari hidup.
Pertemuan yang kedua adalah
pada waktu dia kehilangan kepercayaan atas ilmu silatnya sendiri, dalam keadaan
pikiran kusut itulah dia bertemu pula dengan si kakek.
Tatkala mana si kakek sedang
melukis, yang hendak dilukisnya adalah gunung, tapi yang muncul pada kanvasnya
ternyata bukan gunung.
Dia masih ingat ucapan si
kakek itu, "Jelas-jelas gunung yang kulukis, tapi lukisanku justeru tidak
mirip gunung, jelas tidak mirip gunung, tapi setelah kau pandang dengan cermat
ternyata memang gunung yang kulukis. Hal ini karena apa yang kulukis ini meski
belum tampak berbentuk gunung, tapi intinya, jiwa daripada obyek yang kulukis
sudah kutonjolkan dengan jelas. Mungkin orang lain tidak paham melihat
lukisanku ini, tapi perduli amat, asalkan yang kulukis adalah gunung, asalkan
dalam pandanganku dan perasaanku lukisanku ini adalah gunung, kan cukup dan
terlaksanalah tujuanku? Jika aku sendiri dapat menangkap intisari dari lukisan
ini dan orang lain justeru tidak paham, hal ini kan terlebih baik?"
Begitulah, justeru ucapan si
kakek yang berfalsafah itulah sehingga ilmu silat Pwe-giok dapat melangkah
lebih tinggi lagi (tentang pertemuan Pwe-giok dan Tangkwik siansing hendaklah
baca "Renjana pendekar".)
Maklumlah, kungfu aliran
Bu-kek-bun keluarga Ji justeru cocok dengan uraian si kakek itu bermakna tapi
tak berbentuk, terlepas dari bentuk yang terbatas dan masuk ke alam yang tak
berkutub, (Bu-kek artinya tak berkutub).
Sejak itulah kungfu Bu-kek-bun
benar-benar dikuasai Pwe-giok dengan baik, meski belum mencapai tingkatan yang
sempurna, tapi sudah dekatlah dengan tingkatan tersebut.
Makin dipikir makin terasa
oleh Pwe-giok bahwa si kakek ini sama sekali tiada bermaksud jahat padanya,
bahkan si kakek selalu muncul pada saat dia menghadapi bahaya sehingga dia
terlepas dari kesukaran.
Jika si kakek dikatakan
sebagai iblis yang diam-diam hendak membikin celaka padanya seperti apa yang
diceritakan "Bak-giok Hujin", sungguh sukar untuk dipercaya, tapi apa
yang dikatakan Bak-giok Hujin itu rasanya juga sulit untuk tidak dipercaya.
Waktu ia angkat kepalanya,
dilihatnya si kakek alias Tangkwik-siansing sedang memandangnya dengan
tersenyum.
"Sekarang sudah kau kenal
diriku bukan?" tanya si kakek.
Dengan hormat Pwe-giok
menjawab, "Ya, berulang-ulang Tecu menerima petunjuk dan petuah Cianpwe,
sungguh Tecu sangat berterima kasih."
Dengan jarinya
Tangkwik-siansing menjentik patung Bak-giok Hujin dan berkata, "Dengan
sendirinya kaupun pernah melihatnya bukan?"
Pwe-giok membenarkan.
"Aneh juga bahwa dia
ternyata tidak membunuh kau." gumam Tangkwik-siansing.
"Kenapa dia perlu
membunuh diriku?"
"Sebab, bisa jadi kau
adalah satu-satunya orang di dunia ini yang dapat membongkar rahasia
pribadinya."
"Rahasia pribadi
bagaimana?" tanya Pwe-giok.
"Apakah kau tahu siapa
namanya?" tiba-tiba Tangkwik siansing balas bertanya.
Tanpa menunggu jawaban
Pwe-giok segera ia menyambung. "Ya, dengan sendirinya kau tidak tahu siapa
namanya, sebab di dunia ini hakekatnya cuma beberapa orang saja yang tahu
namanya, Namanya sendiri juga merupakan rahasia besar."
"Masakah namanya saja
mengandung rahasia besar?" Pwe-giok menegas dengan heran.
"Ya, sebab namanya Ki
Pi-ceng!"
"Ki Pi-ceng? Masakah dia
ada sesuatu hubungan dengan Ki Go-Ceng?"
"Tentu saja ada
hubungannya, bahkan sangat erat hubungan antara mereka," tutur Tangkwik
siansing. "Sebab dia bukan saja saudara Ki Go-ceng adik perempuannya, bahkan
juga isterinya."
Seketika Pwe-giok melenggong
dan tidak sanggup bersuara.
Tangkwik siansing menghela
nafas, katanya "Kualat..... memang begitulah mereka kena itulah," ia
tersenyum getir, lalu menyambung, "sebab keluarga Ki mempunyai pikiran
yang gila, yaitu selalu menganggap di dunia ini hanya keturunan keluarga Ki
saja yang maha pintar, maha cerdik, superior yang teratas, yang paling unggul,
orang dari keluarga lain tak dapat menimpali mereka."
"Jadi demikian,
jadi....jadi telah berlangsung perkawinan antar anggota keluarga mereka
sendiri?" tanya Pwe-giok dengan melengak.
"Betul" jawab
Tangkwik-siansing, "justeru lantaran jalan pikiran mereka yang gila itu,
karena menganggap hanya anggota keluarga mereka sendiri saja bibit unggul, maka
turun temurun terjadi perkawinan antara kakak dan adik sendiri dan
putera-puterinya yang dilahirkan kalau tidak gila tentulah linglung, seperti Ki
Pi-ceng, meski lahiriah kelihatan secantik bidadari, padahal dia juga tidak
terkecuali juga seorang gila."
Pwe-giok memandang sekejap
patung cantik itu, tanpa terasa tangannya berkeringat dingin.
"Tapi dia adalah seorang
gila yang angkuh," sambung Tangkwik siansing. "Ketika mengetahui Ki
Cong-hoa yang dilahirkan itu ternyata abnormal, berbentuk kerdil dan berotak
miring, ia sangat kecewa, tanpa pikir ia tinggalkan rumah dan putus cinta
dengan Ki Go-ceng, makanya sampai dengan tingkatan Ki Cong-hoa hanya terdapat
dia saja putera satu-satunya dan terpaksa pula kawin dengan perempuan dari
keluarga luar. Walaupun demikian, sejak awal hingga akhir Ki Cong-hoa tetap
tidak mau meniduri isterinya."
Baru sekarang Pwe-giok tahu
duduknya perkara mengapa Ki Leng-hong sejauh itu tidak mau mengakui Ki Cong hoa
sebagai ayahnya, baru diketahuinya pula betapa penderitaan Ki-Hujin, isteri Ki
Cong hoa.
Tapi kalau Ki Cong-hoa bukan
ayah Ki Leng hong, lantas siapa ayahnya?
Mungkinkah "orang she
Ji" yang bersembunyi di lorong bawah tanah itu?
Jangan-jangan "orang she
Ji" itu ialah......
Makin dipikir makin ngeri
Pwe-giok, sungguh ia tidak berani berpikir lagi.
Cuma ada beberapa hal di
antaranya yang mau tak mau harus dipikirnya.
Antara lain tentang Bak-giok
Hujin, apabila benar wanita cantik ini adalah istri Ki Go-ceng kenapa dia
membunuh Ki Go-ceng? Kejadian ini disaksikannya dengan mata kepala sendiri,
tidak bisa tidak dia harus percaya apa yang terjadi itu.
Didengarnya Tangkwik-siansing
berkata pula: "Sejak itu Ki Go-ceng berubah semakin gila. Waktu itu di
dunia Kangouw mendadak terjadi beberapa peristiwa kejahatan yang menggemparkan
dan tidak diketahui pula siapa pelakunya. Ada harta benda partai besar yang
dirampok secara misterius. Beberapa tokoh ternama secara misterius pula
terbunuh. Pelakunya diketahui sangat tinggi kungfunya, setiap peristiwa
dilakukan dengan cermat tanpa meninggalkan jejak apapun. Siapapun tidak
menyangka bahwa penjahat itu bukan lain ialah Ki Go-ceng.
Ceritera ini sudah pernah
didengar Pwe-giok dari si kakek Ko di lorong bawah tanah di Sat-jin-ceng
dahulu, maka terbuktilah bahwa cerita Tangkwik-siansing ini bukan karangan
belaka.
Terdengar Tangkwik-siansing
menyambung lagi: "Waktu itu meski dunia persilatan telah dibikin heboh dan
mengerahkan berpuluh-puluh tokoh terkemuka untuk mencari si penjahat, tapi
tetap tidak dapat menemukan jejaknya, hanya seorang saja yang mengetahui bahwa
pelakunya ialah Ki Go-ceng, tapi sayang, pikirannya ternyata tidak dipercaya
oleh orang lain".
"Apakah Cianpwe kenal
orang ini?" tanya Pwe-giok tiba-tiba.
Tangkwik Sian-sing tertawa,
jawabnya: "Dengan sendirinya kukenal dia, sebab dia adalah adikku
Ban-li-hui-eng Tangkwik Ko"
Sejak mula Pwe-giok memang
sudah membayangkan "Kakek Ko" yang misterius itu pasti mempunyai
sejarah yang gemilang pada masa lampau, tapi tak pernah terpikir olehnya bahwa
kakek Ko itu adalah saudara Tangkwik-siansing yang berjuluk Ban-li-hui-eng atau
si Elang terbang berlaksa li.
Dengan tajam Tangkwik-siansing
memandang Pwe-giok, tanyanya kemudian dengan tertawa: "Ku tahu, pasti kau
kenal dia bukan?"
"Wanpwe menerima budi
kebaikan yang amat besar dari Locianpwe itu, sungguh jiwa Tecu boleh dikatakan
atas berkahnya sehingga dapat hidup sampai sekarang" tutur Pwe-giok dengan
gegetun.
"Adikku itu bukan saja
Ginkangnya sangat tinggi sesuai nama julukannya, juga pandang kejahatan sebagai
musuhnya, ilmu pertabibannya juga sangat tinggi dan hampir tiada bandingannya
di dunia ini. Sekalipun Hoa To (seorang tabib terkemuka di jaman Sam Kok) lahir
lagi juga belum tentu dapat melebihi dia, terutama dalam hal ilmu bedah."
Pwe-giok jadi teringat kepada
muka sendiri yang pernah dipermak oleh kekek Ko itu, tanpa terasa ia meraba
pipi sendiri dan timbul rasa terima kasih dan hormatnya.
Tangkwik-siansing bercerita
pula, karena diuber dan dicari terus oleh saudaraku itu, Ki Go-ceng kehabisan
akal, terpaksa ia pura-pura mati dan meninggalkan Sat jin-ceng dan mengasingkan
diri di pegunungan terpencil, dicarinya isterinya Bak-giok Hujin Ki Pi
ceng."
"Waktu itu Ki Pi ceng
juga jauh berada di luar perbatasan?" tanya Pwe-giok.
"Betul. Setelah
suami-isteri ini berkumpul kembali di Kwan-gwa (di luar tembok besar yang
merupakan perbatasan antar negara), namun ambisi mereka masih tetap besar,
senantiasa mereka bersiap-siap untuk muncul kembali dan merajai dunia
persilatan. Tapi mereka tetap jeri terhadap kami bersaudara, sebegitu jauh mereka
tidak berani menampakkan diri di depan umum, terpaksa mereka harus menggunakan
tipu muslihat, mereka memakai seorang yang ternama dan disegani di dunia
persilatan sebagai boneka."
Kulit muka Pwe-giok
berkerut-kerut, ucapnya dengan parau, "Yang dimaksudkan Cianpwe tentunya
orang.... orang she Ji itu?!"
Sorot mata Tangkwik-siansing
menampilkan perasaan kasihan dan simpatik, ucapnya dengan suara halus,
"Hong-ho Lojin adalah ksatria pilihan yang jarang ada di dunia persilatan,
mana dia mau membantu kejahatan mereka. Dengan sendirinya merekapun cukup tahu
bagaimana pribadi Hong-ho Lojin, maka mereka harus menggunakan muslihat keji
untuk melenyapkan Hong-ho Lojin dari pergaulan ramai ini, lalu dicarinya
seorang yang menyamar sebagai Hong-ho Lojin, mereka bertekad akan memperalat
nama baik Ji Hong-ho, dengan sendirinya tindakan mereka tidak kenal cara, yang
penting tercapainya cita-cita mereka."
Mendengar sampai di sini, hati
Pwe-giok menjadi pedih, gemas dan juga terharu.
Yang membuatnya pedih dan
gemas karena teringat kepada berantakannya keluarga serta kematian ayahnya.
Dia terharu karena untuk
pertama kalinya sekarang ada orang membela kemalangannya ini, untuk pertama
kalinya ada orang menyatakan simpati kepada nasib mereka ayah dan anak, untuk
pertama kalinya ada orang mau bicara baginya.
Tangkwik-siansing menepuk
pundak anak muda itu, katanya pula dengan suara lembut, "Jaring langit
cukup ketat, setiap perbuatan berdosa tidak nanti lolos begitu saja. Meski
sekarang kau kenyang merasakan kegetiran orang hidup, pada suatu hari kelak
segala sesuatu pasti dapat dibikin jelas, pada waktu itulah bolehlah kau
kembangkan kemahiranmu dan berbuat kebaikan bagi sesamanya."
Hati Pwe-giok merasa terbakar
oleh hawa panas, air mata hampir saja bercucuran, ia berlutut di depan kakek
dan berkata, "Jangan-jangan Cianpwe sudah tahu asal-usul Tecu?"
Tangkwik-siansing membangunkan
anak muda itu, katanya, "Ya, dengan sendirinya sudah ku ketahuinya sejak
dulu. Masih ingatkah kau, pada hari pertama kau tertimpa musibah itulah kita
bertemu tatkala mana sudah kuketahui kau mempunyai keberanian menanggung
penderitaan dan menahan hinaan."
Pwe-giok menghela napas
panjang agar perasaan menjadi lapang dan tenang, lalu berkata dengan muram,
"Hanya masih ada suatu hal yang sampai saat ini tetap tidak
kuketahui."
"Hal apa?" tanya si
kakek.
Dengan gregetan Pwe-giok
berkata, "Sesungguhnya siapakah bangsat yang menyaru sebagai ayahku itu?
Mengapa dia juga mahir kungfu Bu-kek-bun? Bahkan dapat menirukan suara dan
gerak-gerik ayahku dengan begitu persis?"
Tangkwik-siansing termenung
sejenak, lalu menghela nafas panjang, katanya, "Naga melahirkan sembilan
anak dan semua tidak ada yang sama, Hong-ho Lojin terkenal berbudi luhur dan
berhati mulia, tapi saudaranya, Ji Tok-ho, justeru seorang terkutuk, binatang
yang maha jahat dan tak terampunkan."
Pwe-giok jadi teringat kepada
catatan di dalam buku harian tinggalan Siau-hun-kiongcu itu, tanpa terasa
tubuhnya menggigil, kaki dan tangan menjadi dingin juga, ucapnya dengan
gemetar, "Apakah....apakah bangsat itu ialah... ialah pamanku
sendiri?"
Tangkwik-siansing tidak segera
menjawab, ia menghela nafas, lalu berkata, "Ada beberapa hal rasanya tidak
enak kukatakan padamu secara terus terang, cuma harus kau maklumi, meski
pamanmu itu dikabarkan minggat dari rumah karena terpaksa, padahal ayahmu tidak
pernah bertindak sesuatu yang tidak baik padanya."
Pwe-giok menunduk dengan
berduka dan hanya mengangguk saja.
"Setelah Ji Tok-ho
berpisah dengan ayahmu, seperti harimau lepas dari kurungan, dia berbuat
sesukanya, segala kejahatan dilakukannya, tangannya berlumuran darah, juga
mengikat musuh yang tidak sedikit. Cuma ilmu silatnya sangat tinggi, jejaknya
sukar dicari, meski orang membencinya dan ingin mencincangnya kalau bisa, tapi
sayang sukar menemukan jejaknya."
Kakek itu berhenti sejenak,
lalu menyambung pula dengan perlahan. "Sampai akhirnya tiba suatu hari
yang naas baginya, yaitu pada hari Tahun baru, dia sedang makan dan minum di
rumah pelacur terkenal langganannya, di kota Lok-yang, tanpa terasa dan juga
tidak curiga ia minum hingga mabuk, ia tidak menduga bahwa perempuan
langganannya yang sudah berlangsung sekian tahun itu telah membelot, telah
diperalat pihak musuh."
"Tahun baru?....."
Pwe-giok bergumam, teringat olehnya apa yang didengarnya di lorong bawah tanah
di Sat jin-ceng dahulu, yaitu "Waktu orang she Ji itu datang ke Sat
jin-ceng adalah hari ketiga sesudah tahun baru...
Didengarnya Tangkwik siansing
lagi menyambung ceritanya, "Tapi Ji Tok-ho memang seorang jagoan lihay
yang jarang ada di dunia persilatan, meski dikerubuti belasan tokoh Bu-lim
terkemuka dalam keadaan mabuk, dia tetap mampu membobol kepungan dan lari masuk
ke Sat-jin-ceng...."
Dia menghela nafas, lalu
menyambung, "Ia tahu dalam perkampungan pembunuh itu pasti ada yang akan
melindunginya, apa lagi dia juga sudah biasa masuk keluar kampung itu, jelas
orang lain tidak sanggup menemukan dia."
"Apakah kejadian itu
bukan untuk pertama kalinya dia lari masuk ke Sat-jin-ceng?" tanya
Pwe-giok.
"Sudah tentu bukan,"
jawab Tangkwik-siansing. "Sudah lama dia mempunyai hubungan gelap dengan
isteri Ki Cong-hoa, kau tahu Ki Leng-hong dan Ki Leng-yan kakak beradik itu
justeru adalah anaknya dari hasil berhubungan gelap dengan Ki-hujin."
Sekujur badan Pwe-giok terasa
dingin.
Segera teringat olehnya lorong
di bawah tanah yang ditemukannya di Sat-jin-ceng dahulu, disanalah dia
menemukan sepotong batu Giok waktu itu ia merasa sangat heran, sebab batu jade
atau kemala itu dikenalnya sebagai benda pusaka Bu-kek-bun, perguruan keluarga
Ji sendiri, mengapa bisa muncul di Sat-jin-ceng?
Selain itu ditemukan sebuah
dompet bersulam dan potret sulaman serta dua bait tulisan yang berbunyi:
"Senantiasa mendampingi Anda, semoga jangan ditinggalkan".
Cuma waktu itu sama sekali tak
terpikir olehnya bahwa kekasih Ki-hujin yang dimaksudkan ia adalah pamannya.
Lalu teringat pula olehnya
kakak beradik Ki Leng-hong dan Ki Leng-yan, kedua nona itu selalu menaruh
perhatian padanya secara misterius. Kiranya didalam tubuh mereka memang
mengalir darah keluarga Ji, sebab antara Pwe-giok dan mereka adalah saudara
sepupu.
Didengarnya Tangkwik-siansing
telah berkata "Ki-hujin telah menyembunyikan Ji Tok-ho di lorong bawah
tanah, ia mengira perbuatan mereka pasti tidka diketahui oleh siapapun. Tak
tersangka setelah pura-pura mati dan menghilang dari pergaulan umum, Ki Go-ceng
juga sembunyi ke dalam lorong bawah tanah itu dan kebetulan memergoki
Ji-Tok-ho."
"Jika begitu,
meng...mengapa dia tidak...tidak......."
Tangkwik siansing tahu apa
yang hendak ditanyakan anak muda itu, maka sebelum orang mengejutkan ia telah
menyambung dengan menghela nafas, "Sebenarnya Ki Go-ceng hendak membunuh
"Ji Tok-ho untuk menutup mulutnya agar rahasia pura-pura matinya tidak
ketahuan orang. Tapi kemudian terpikir olehnya bahwa orang ini cukup berharga
untuk diperalat bagi muslihatnya, mungkin juga dia menganggap Ji Tok-ho
sehaluan dan sepaham dengan dia, maka dia hanya menculik dan membawanya pergi
dan tidak membunuhnya."
Hal ini sudah lama terfikir
oleh J Pwe-giok, sebab kalau Ji Tok-ho tidak dibawa pergi orang secara mendadak
dan tergesa-gesa, tentu dia takkan meninggalkan dompet bersulam dan batu Giok
itu di lorong bawah tanah di Sat-jin-ceng sana.
Terdengar Tangkwik-siansing
berkata pula, "Namun tampaknya langkah Ki Go-ceng itu tidaklah percuma,
sebab Ji Tok-ho dan Hong-ho Lojin adalah saudara, dengan sendirinya lahiriah
mereka hampir sama, cukup dipermak lagi sedikit sana sini, tentu sukar lagi
untuk dibedakan tulen dan palsunya. Apalagi sejak kecil kedua bersaudara itu
selalu berkumpul, dengan sendirinya setiap gerak-gerik dan tutur kata Hong-ho
lojin cukup dikuasai oleh Ji Tok-ho, maka selain wajahnya telah dibedah dan
dipermak, iapun dapat menirukan suara dan gerak-geriknya dengan persis"
Dia menghela napas lalu
melanjutkan: "Sebab itulah, semua persoalan ini bukanlah karena terjadi
secara kebetulan, tapi setiap langkah boleh dikatakan sudah mengalami
pertimbangan dan pengaturan yang cermat. Kalau tidak kebetulan diketemukan Ji
Tok-ho, bisa jadi mereka takkan memilih Hong-ho lojin sebagai sasaran utama.
Lama juga Pwe-giok termenung,
tanyanya kemudian: "Apakah Ki Go-ceng juga mahir ilmu bedah?"
"Bukan dia, tapi
istrinya, Bak-giok Hujin" jawab Tangkwik-siansing. "Konon ilmu
bedahnya dipelajarinya dari seorang Persi dari wilayah barat, meski
kepandaiannya tidak sama dengan ilmu bedah Tangkwik Ko, tapi keduanya mempunyai
hasil kerja yang hampir sama"
"Apakah Cianpwe juga tahu
kedua murid Bak-giok hujin?" tanya Pwe-giok.
"Maksudmu Yang Cu-kang
dan Hay Tong-jing berdua?" sahut si kakek.
"Betul" kata
Pwe-giok
Tangkwik-siansing menghela
napas menyesal, ucapnya: "Pada dasarnya jiwa kedua anak muda itu
sebenarnya tidak jelek, cuma sayang, tanpa sadar mereka telah diperalat oleh
gurunya. Menurut pendapatku, mungkin sekali kedua orang itupun tidak tahu
rahasia sang guru, terutama mengenai asal-usulnya dan rencana kejinya"
"Betul, sampai-sampai
akupun percaya penuh kepada ocehan perempuan itu, apalagi kedua muridnya, tentu
mereka percaya kepada sang guru" kata Pwe-giok. "Cuma.... jika
demikian halnya, lalu atas perintah siapakah tokoh yang disebut sebagai Lengkui
itu?"
"Dengan sendirinya juga
atas perintah Ki Pi-ceng" kata si kakek.
"Sungguh aneh"
Pwe-giok merasa heran. "Jika begitu, mengapa Ki Pi-ceng sengaja menyuruh
Lengkui membunuh Yang Cu-kang dan Hay Tong-jing, mereka kan muridnya?"
"Ya, bisa jadi disebabkan
Bak-giok Hujin juga mulai ragu terhadap kesetiaan murid sendiri, sebab lambat
laun Yang Cu-kang dan Hay Tong-jing mulai banyak mengetahui rahasianya,"
tutur Tangkwik-siansing. "Menjadi anak murid orang gila seperti Bak-giok
Hujin, jika terlalu banyak urusan yang diketahuinya, bukannya beruntung
sebaliknya malah akan buntung dan mendatangkan petaka baginya. Mungkin juga
Bak-giok Hujin merasa usahanya kini sudah mencapai sukses besar, sebentar lagi
dia akan menjadi tokoh utama yang paling berkuasa di dunia persilatan, maka dia
merasa Yang Cu-kang dan Hay Tong-jing sudah tidak diperlukan lagi."
Dia berhenti sejenak dan
menghela napas, lalu menyambung. "Apapun juga, kan sejak awal sudah
kukatakan bahwa mereka kakak beradik adalah orang gila semua, tindak tanduk
mereka tidak dapat diukur dengan akal sehat ."
"Kecuali Lengkui yang
asli, bukankah ia masih mempunyai beberapa duplikat Lengkui yang lain?"
tanya Pwe-giok.
Tangkwik-siansing tertawa,
ucapnya, "Ah, semua itu adalah permainan belaka, dia sengaja
membesar-besarkan hal itu untuk menakuti orang lain. Membuat orang menjadi
setan bukanlah pekerjaan yang mudah."
Pwe-giok termenung sejenak,
gumamnya kemudian, "Wah, jika demikian, jadi selama ini Yang Cu-kang dan
Hay Tong-jing juga selalu dikelabui oleh gurunya sendiri. Bahwa aku disuruh
bersembunyi ke gua di bawah tanah di pinggang gunung itu bukankah karena dia
sengaja hendak mencelakai aku. Apa yang dikatakannya kepadaku itupun dipercaya
penuh oleh mereka sendiri."
Berpikir sampai di sini, tanpa
terasa ia merasa ngeri bila membayangkan apa yang dialaminya itu, telapak
tangannya kembali berkeringat dingin.
Sebab faktanya memang begitu,
sekarang bukan saja Yang Cu-kang dan Hay Tong-jing dalam keadaan bahaya, bahkan
Cu Lui-ji dan Thi-hoa-nio juga sudah masuk ke mulut harimau dan sukar
dibayangkan bagaimana nasib mereka saat ini.
Seumpama sekarang juga
Pwe-giok pergi menolong mereka, tetap tiada gunanya, sebab pada hakekatnya dia
tidak tahu mereka telah dibawa ke mana oleh Bak-giok Hujin?
Lalu, apa yang diuraikan
Tangkwik-siansing apakah seluruhnya benar?
Didengarnya kakek itu berkata
pula, "Meski berbagai kejadian rahasia ini adalah hasil penyelidikanku
selama bertahun-tahun dan tentu saja telah banyak memakan tenaga dan pikiranku,
tapi ada juga sebagian adalah hasil perkiraanku berdasarkan semua fakta yang
telah terjadi, boleh dikatakan tak dapat kubuktikan, tentu juga tidak
seluruhnya dapat membuat orang percaya, umpama saja...kalau sekarang kukatakan
Ji Hong-ho adalah samaran Ji Tok-ho, coba, siapakah yang mau percaya?"
Pwe-giok menghela napas,
diam-diam ia membatin, "Memang betul. Kalau aku saja tidak percaya penuh
terhadap keteranganmu, apalagi orang lain?"
Tangkwik-siansing memandang
anak muda itu dengan lekat-lekat, katanya kemudian dengan tenang, "Ku
tahu, dalam hati tentu juga kau sangsi terhadap apa yang ku uraikan ini, sebab
itulah..... sekarang juga akan kubawa kau menemui satu orang."
"Menemui siapa?"
tanya Pwe-giok heran.
Tangkwik-siansing tertawa,
jawabnya, "Setelah bertemu nanti, tentu kau akan tahu sendiri."
Begitulah mereka lantas
meninggalkan gedung itu, meninggalkan jalan raya dan menyusur jalan gili-gili
sawah, di depan kelihatan sebuah sungai kecil.
Ada sebuah jembatan kecil
dengan embun yang belum kering, di seberang jembatan tampak pagar bambu
mengelilingi tiga buah rumah gubuk beratap rumput alang-alang kering. Terdengar
suara ayam dan anjing berisik di balik gubuk sana.
Cerobong asap di atas rumah tampak
sedang mengepulkan asap dan buyar terbawa angin.
Dari jauh Pwe-giok sudah
mencium bau harum obat yang sedang dimasak.
Kalau ada orang menyeduh obat,
tentu di dalam rumah gubuk ada orang sakit. Dan siapakah yang sakit? Siapa pula
yang sedang masak obat?
Pintu pagar tampak setengah
tertutup, di bawah pagar tampak terletak sebuah anglo kecil dengan pot kecil
tempat masak obat, agaknya air obat sudah mulai mendidih dan menyebarkan bau
obat yang keras.
Seekor kucing hitam mendekam
di samping anglo dengan setengah mengantuk. Di sekeliling situ tak tampak
seorangpun. Di manakah orang yang memasak obat? Untuk apakah Tangkwik-siansing
membawa Pwe-giok ke tempat ini?
"Meong", mendadak
kucing itu berbunyi sambil meloncat ke atas, ke dalam pangkuan Tangkwik-siansing.
Perlahan Tangkwik-siansing
membelai bulu kucing hitam yang halus bagai sutera itu, ucapnya dengan tertawa,
"Haha, si Hitam sayang, jangan mencakar jenggot kakek!"
Pwe-giok tidak berminat
terhadap anjing atau kucing, maka ia tidak tertarik kepada kucing hitam
kesayangan Tangkwik-siansing.
Selagi ia merasa kesepian,
tiba-tiba terdengar seorang menegur, "Apa kabar, Ji-kongcu? Baik-baikkah
selama ini?"
Suara itu timbul dari
belakangnya. Keruan Pwe-giok terkejut, cepat ia berpaling, maka terlihatlah
seraut wajah yang sudah dikenalnya.
Wajah yang sudah tua, penuh
keriput dan bekas-bekas penderitaan kehidupan yang panjang, namun sinar matanya
yang menampilkan senyuman simpatik tampak jernih bagai air telaga yang bening.
Kejut dan girang Pwe-giok demi
mengenal siapa gerangan si kakek, serunya, "He, kiranya engkau berada di
sini ? "
Di sini dan dalam keadaan
demikian ia dapat bertemu lagi dengan "si kakek Ko", sungguh rasanya
seperti mimpi atau sudah pada penjelmaan hidup baru.
Kakek itu memang betul si
kakek Ko alias Tangkwik Ko yang sudah dikenalnya dan pernah menyelamatkan
jiwanya di Sat-jin-ceng dahulu.
Tangkwik Ko sedang menjinjing
sebuah ember kayu yang penuh terisi air. Meski dengan membawa ember sebesar itu
dengan air penuh, ternyata Pwe-giok sama sekali tidak tahu akan munculnya orang
tua itu, dan tahu-tahu sudah berada di belakangnya.
Melihat codet pada muka
Pwe-giok itu, seketika air muka Tangkwik Ko berubah, ia memandangnya lagi
beberapa kejap, segera sorot matanya memancarkan senyuman pula, gumamnya,
"Tampaknya segala sesuatu di dunia ini tidak boleh terlalu sempurna, akan
lebih baik jika ada sedikit cacat atau sesuatu kekurangannya."
Pwe-giok merasa
kerongkongannya tersumbat, ingin bicara, tapi sukar bersuara. Seketika ia hanya
melenggong saja.
Tangkwik Ko menepuk-nepuk
bahunya, ucapnya dengan tertawa cerah, "Kutahu apa yang hendak kau
katakan. Lebih baik tidak kau katakan saja. Di dalam rumah masih ada satu orang
yang senantiasa memikirkan dirimu, lekas kau masuk menjenguknya."
Siapakah orang di dalam rumah
yang dimaksudkan Tangkwik Ko? Siapakah yang sakit dan perlu dimasakkan obat?
Jangan-jangan Ki Leng-yan? Atau Cia Thian-pi? Atau Lim Tay-ih?
Tangan Pwe-giok terasa agak
gemetar, tidak urung ia mendorong pintu dan masuk ke dalam rumah gubuk itu.
Dilihatnya seorang berbaju
putih berbaring miring di atas tempat tidur, mukanya pucat kekuning-kuningan
dan agak kurus, matanya setengah terbuka dan setengah terpejam, namun sinar
matanya tampak gemerlapan.
Begitu melihat orang ini, tak
terkatakan rasa girang Pwe-giok, mendadak ia berteriak sambil menubruk maju,
"Hong-samko! Mengapa engkaupun berada di sini, Hong-samko?"
Yang berbaring di situ, orang
sakit yang perlu minum obat, ternyata Hoang Sam adanya.
Demi melihat Hong Sam dan
Tangkwik Ko berada bersama di sini, seketika kepercayaan Ji Pwe-giok terhadap
Tangkwik-siansing bertambah kuat, walaupun masih ada beberapa hal dirasakannya
masih sukar mendapat penjelasan.
Lebih-lebih tentang kejadian
di gua bawah tanah itu, di mana disaksikannya dengan jelas Bak-giok Hujin Ki
Pi-ceng telah membinasakan Ki Go-ceng, peristiwa ini dilihatnya dengan mata
kepala sendiri dan bukan kabar berita.
Begitulah, secara ringkas ia
ceritakan kepada Hong Sam pengalamannya selama berpisah ini. Waktu menuturkan
cara bagaimana Cu Lui-ji tertipu dan dibawa pegi oleh Ki Pi-ceng, sungguh tidak
kepalang rasa sedih Pwe-giok dan juga merasa malu karena dirinya gagal
melindungi anak dara itu.
Tapi Hong Sam lantas
menghiburnya malah, katanya, "Ki Pi-ceng pasti tidak akan membikin susah
Lui-ji, sebabnya dia membawa pergi Lui-ji hanya digunakan sebagai sandera saja
agar kau tunduk kepada segala perintahnya, supaya kau tidak berbuat hal-hal
yang bertentangan dengan kehendaknya, supaya kau tidak memusuhi dia."
"Ya, seharusnya sejak
semula kupikirkan hal ini, mengapa kubiarkan Lui-ji dibawa pergi olehnya?"
kata Pwe-giok dengan menunduk.
"Padahal kaupun tidak
perlu berkuatir bagi Lui-ji," ujar Hong Sam dengan tertawa. "Anak
dara ini cukup cerdik dan licin, kuyakin Ki Pi-ceng belum tentu dapat mengatasi
dia. "
Pwe-giok pikir urusan sudah
kadung begitu, biarpun kuatir juga tiada gunanya. Terpaksa untuk sementara dia
harus melapangkan dada dan kesampingkan dulu urusan Cu Lui-ji. Segera ia
mengeluarkan buku harian dan potongan bambu itu, katanya kepada Hong Sam,
"Barang-barang inilah yang kutemukan di bawah loteng kecil di Li-toh-tin
itu..."
"Sungguh aneh, mengapa
buku kecil catatan begini sedemikian mendapat perhatian Siau-hun-kiongcu dan
disimpan secara rahasia ? "kata Hong Sam sambil berkerut kening.
Dengan serius Pwe-giok
berkata, "Sebab buku ini adalah buku hutang-piutang yang disebut
Giam-ong-ceh ( piutang raja akherat). Di sini tercatat segala perbuatan jahat
setiap tokoh dunia persilatan. Dengan memiliki buku ini, sama halnya Siau-hun
kiongcu memegang semacam jimat, sebab siapapun pasti kuatir rahasia buruknya
akan dibongkar dan disiarkan olehnya, mau-tak-mau mereka merasa jeri dan segan
padanya. "
Hong Sam mengangguk, tapi
lantas menggeleng-geleng pula, katanya, "Tidak, alasan ini memang betul
juga, tapi masih ada juga segi kebalikannya, maksudku, buku Giam-ong-ceh ini
justru merupakan sumber bencana."
Pwe-giok termenung sejenak,
katanya kemudian, "Ya, ku paham maksud Samko. Setiap tokoh Kangouw yang
perbuatan buruknya tercatat di dalam Giam-ong-ceh, tentu dengan segala upaya
ingin memiliki buku catatan ini, sebab kalau buku ini sudah dipegangnya, di
samping perbuatan buruk sendiri dapat ditutupi atau dihapus, sekaligus dapat
digunakan sebagai alat pemeras kepada orang lain. Betul tidak ?"
Hong Sam mengangguk, katanya
"Betul, sebab itulah jika dari buku Giam-ong-ceh ini sudah sekian banyak
rahasia orang lain yang kau ketahui, maka sekarang tidak perlu lagi kau
pertahankan buku ini, supaya tidak mendatangkan kesukaran yang tidak kau
harapkan."
Pwe-giok tersenyum, jawabnya,
"Dalam hal ini jalan pikiranku justru berlawanan dengan pendapat Samko.
Sebab bila orang lain mengetahui buku Giam-ong-ceh ini berada padaku, biarpun
buku ini kumusnahkan juga tetap sukar menghindari gangguan serta kesukaran yang
akan timbul. "
"Memangnya kenapa ?"
tanya Hong Sam dengan heran.
"Sebab pasti tidak ada
orang mau percaya buku ini telah kumusnahkan dengan begitu saja," jawab
Pwe-giok. "Jadi kesukaran yang akan timbul tetap sukar dihindari, malahan
aku sendiri berharap semoga gelombang perkara ini bisa lekas timbul."
Tangkwik-siansing menyabetkan
jenggotnya yang panjang itu dan menyela, "He, anak muda, dari nada
ucapanmu ini agaknya kau sangat menghendaki kekacauan di dunia ini , begitu
bukan?"
Pwe-giok mengangguk, jawabnya,
"Betul, karena itulah besok juga ku siarkan berita tentang Giam-ong-ceh,
tentang macam-macam perbuatan jahat tokoh-tokoh kangouw itu. Tujuan daripada
tindakanku ini bukan saja hendak menuntut balas bagi kematian ayahku, bahkan
lebih dari itu, ingin kubersihkan dunia kangouw, hendak ku perbaharui dunia
persilatan, tata tertib dunia kangouw harus dipulihkan, tidak boleh lagi
dikotori oleh sekelompok manusia munafik yang bermantelkan bulu domba, tapi
berhati serigala, setiap perbuatan yang mengelabui mata umum dan merugikan
harus disikat bersih secara tuntas."
Ucapan Pwe-giok ini membuat
semua orang yang berada di dalam ruangan ini sama terbelalak dan juga merasa
kagum dan memuji.
Tangkwik-siansing mengelus
jenggotnya yang panjang itu sambil terus menerus mengangguk, akhirnya iapun
berkata dengan air muka kereng, "Anak muda, sungguh besar cita-citamu,
sungguh gagah pendirianmu. Tapi tekadmu yang terpuji itu perlu juga disertai
tindakan yang berencana. Jika sekarang juga secara gegabah kau bongkar apa yang
tercatat dalam buku Giam-ong-ceh itu, maka dapat kuberikan suatu tamsil
padamu......"
"Tamsil bagaimana ?"
tanya Pwe-giok dengan mengulum senyum.
"Dapat ditamsilkan
seperti orang tidak sakit tapi minum obat, mencari penyakit sendiri, barangkali
sudah bosan hidup," ujar si kakek.
"Oo, apakah maksud
Cianpwe hendak bilang kungfuku sekarang ini belum cukup mampu untuk menghadapi
tokoh-tokoh Kangouw, belum kuat dikerubut oleh gembong-gembong dunia
persilatan. Begitu?" jawab Pwe-giok.
"Betul,"
Tangkwik-siansing mengangguk. "Pintar juga kau, memang tepat
tebakanmu."
"Site, hal ini memang
perlu diperhatikan dan dipertimbangkan," sela Hong sam. "Meski
cita-citamu setinggi langit, segala sesuatu juga harus dilakukan sesuai
kemampuanmu. Jangan sampai terjadi napsu besar tapi tenaga kurang."
Dengan tertawa Pwe-giok
menjawab, "Ya, ucapan Samko memang betul, dengan sendirinya ada
keyakinanku, ada sesuatu peganganku, makanya berani kukemukakan jalan pikiran
yang latah ini, dan bukan omong kosong belaka."
Semua orang menjadi saling
pandang dengan melongo, mereka tidak percaya anak muda itu mempunyai sesuatu
andalan yang bisa membantunya melaksanakan cita-citanya itu.
Dengan terbelalak Hong Sam
lantas bertanya, "Memangnya apa peganganmu? Memangnya berdasarkan apa kau
berani bicara sebesar itu? Coba jelaskan, supaya kamipun mengetahuinya."
Segera Pwe-giok mengeluarkan
potongan bambu kecil itu dan diacungkan ke atas, katanya, "Inilah
Po-in-pay (tanda balas budi) Tangkwik-siansing, dengan pegangan benda ini,
tidak perlu lagi kukuatirkan apapun."
Tangkwik-siansing melonjak
kaget, serunya , "He, anak muda, kenapa Po-in-pay itu juga berada padamu:
Keji amat kau, masakah kakek hendak kau seret ke medan juang yang mungkin akan
banjir darah itu?"
"Janganlah Lo-cian-pwe
salah paham," kata Pwe-giok dengan khidmat. "Bukan maksudku dengan
menonjolkan Po-in-pay untuk memaksa Locianpwe tampil ke depan untuk mengadu
jiwa dengan mereka, tapi tujuanku hanya memohon agar Cianpwe suka mengajarkan Bu-siang-sin-kang
padaku agar dengan ilmu sakti ini dapat kubersihkan kaum munafik dan menegakkan
orde baru di dunia persilatan."
Kembali Tangkwik-siansing
melengak, tanyanya, "Darimana kau tahu aku memilik ilmu sakti
Bu-siang-sin-kang?"
"Bak-giok Hujin Ki
Pi-ceng sendiri yang memberitahukan hal ini kepadaku," jawab Pwe-giok.
"Menurut keterangannya, hanya Bu-siang-sin-kang inilah ilmu sakti yang
dapat mengatasi kungfu andalannya, yaitu Sian-thian-ceng-gi."
"Makanya akulah yang
menjadi sasaranmu, dengan Po-in-pay hendak kau peras diriku?" kata
Tangkwik-siansing.
Dengan hormat Pwe-giok
mengangsurkan Po-in-pay dengan kedua tangannya, ucapnya, "Harap Cianpwe
jangan marah, sungguh Wanpwe tidak ada niat hendak memeras orang dengan barang
yang ku pegang ini. Yang kuharapkan adalah sudilah cianpwe mengingat
keselamatan dunia Kangouw umumnya di kemudian hari dan bantulah terlaksananya
cita-cita Wanpwe ini."
Tangkwik-siansing mendengus,
mendadak ia merampas Po-in-pau itu, menyusul sebelah tangannya terus menyodok ke
dada Pwe-giok.
Keruan Hong sam dan Tangkwik
Ko berseru kaget.
Tapi sayang, sudah terlambat,
ketika mereka mengetahui yang digunakan Tangkwik-siansing adalah tenaga
Bu-siang-sin-kang, terdengar Pwe-giok telah menjerit ngeri, tubuhnya terus
mencelat dan melayang jauh ke sana seperti layangan yang putus benangnya,
seperti dibawa angin lesus tubuh Pwe-giok menerobos rumah gubuk dan melayang ke
tepi sungai.
Hong Sam melenggong, teriaknya
kuatir, "Tangkwik-siansing tua bangka, kenapa kau turun tangan sekeji itu
kepadanya?"
Tapi kakek itu tertawa
sehingga matanya menyipit, ucapnya, "Haha, jangan-jangan karena kau
terlalu lama kau berbaring di tempat tidur sehingga matamu sudah rabun!"
Hanya mengucapkan kata-kata
yang tidak keruan juntrungannya itu, lalu dia melayang pergi secepat terbang.
Waktu Hong Sam memburu keluar,
dilihatnya Tangkwik-siansing dan Pwe-giok sudah lenyap dari pandangan, hanya di
kejauhan kelihatan sesosok bayangan kelabu berlari ke depan secepat terbang,
hanya sekejap saja lantas menghilang.
Tentu saja Hong Sam kelabakan,
segera ia bermaksud memburu kesana.
Pada saat itulah terdengar
suara Tangkwik Ko bicara di belakangnya, "Jangan kau kuatir dan tidak
perlu mengejarnya, dengan kecepatan lari kita jelas tidak dapat menyusulnya. Ku
tahu tempat sembunyinya, nanti kalau kesehatanmu sudah pulih seluruhnya, akan
kubawa kau kesana."
Mendadak Hong Sam membalik
tubuh dan menegas, "Harus menunggu sampai kesehatanku pulih sama sekali
... tatkala mana Site sudah ...."
"Jangan kuatir,"
cepat Tangkwik Ko memberi tanda agar Hong Sam tidak melanjutkan ucapannya.
"Kukira tidak perlu kau cemas baginya, Ji Pwe-giok bukanlah anak muda yang
berpotongan cekak umur, dia takkan mati."
Tapi Hong Sam masih tetap
sangsi, ia pandang kawannya dengan perasaan bimbang ...
Sang surya sudah mulai terbit,
cahayanya yang gemilang menyinari sawah ladang sehingga alam ini kelihatan
kuning emas. Di bawah cahaya subuh itulah Hong Sam seperti menyadari sesuatu,
air mukanya berubah cerah.
o0o
Pada suatu tempat lain saat
itu keadaannya hanya kegelapan belaka, kegelapan yang sunyi dengan angin dingin
menyeramkan dan bau apek yang menusuk hidung.
Jalan lorong di bawah tanah
yang panjang itu masih tetap sama seperti waktu datangnya, tetap sangat panjang
seolah-olah tidak berujung.
Tiga sosok bayangan sedang
merayap ke depan di dalam lorong panjang dan gelap itu.
Mereka ialah Cu Lui-ji,
Thi-hoa-nio dan Hay Tong-jing.
Sesuai perintah gurunya, yaitu
yang kini telah diketahui sebagai Bak-giok Hujin alias Ki Pi-ceng, adik
perempuan merangkap isteri Ki go-ceng, Hay tong-jing hendak membawa Cu Lui-ji
dan Thi-hoa-nio pulang ke gunung.
Ketiga orang itu terus merayap
ke depan dalam kegelapan tanpa bicara Cu Lui-ji memegang Hay Tong-jing, dengan
beriring-iring demikianlah mereka terus menggeremet ke depan, hati mereka
terasa berat, seperti tertekan oleh batu yang berat.
Kini ketiga orang itu sama
merasakan seolah-olah baru hidup kembali dari malapetaka, ketika di dalam gua
tadi, pada detik terakhir yang berbahaya itu, kalau Bak-giok Hujin alias Ki
Pi-ceng tidak muncul tepat pada waktunya, tentu mereka bertiga sekarang sudah
mati tersiram lilin panas dan telah dijadikan patung penghias kamar batu yang
penuh patung lilin itu.
Keadaan mereka sekarang tidak
banyak berbeda daripada waktu masuknya tadi, tapi lantaran kekurangan seorang,
yaitu Ji Pwe-giok, hal ini jelas lebih menekan perasaan Cu Lui-ji, baginya,
kehilangan Ji Pwe-giok sama halnya kehilangan pelita, membuatnya merasa lorong
di bawah tanah itu lebih gelap daripada semula, juga membuatnya bingung dan
waswas.
Jarak mereka sekarang dengan
ke-39 buah lentera itu masih sangat jauh.
Agaknya Hay Tong-jing tidak
mau kesepian, dia yang membuka mulut terlebih dulu dan bertanya, "Kalau
tidak salah ingat, pernah ada orang bilang, "tidak bicara lebih susah
daripada mati". Tapi pada saat diperlukan orang bicara seperti sekarang,
ternyata tenggorokannya seperti keluar bisul dan tidak mau bersuara. Coba aneh
tidak?"
Mendadak Lui-ji berhenti
berjalan, katanya. "Ucapanmu ini kau tujukan kepadaku, bukan?"
"Tertuju siapa ucapanku
ini kukira kita sama-sama tahu, masa perlu kujelaskan lagi?" jawab Hay
Tong-jing.
"Hatiku lagi kesal, cara
bicaramu hendaknya jangan berduri dan menusuk perasaan." kata Lui-ji.
"Hatimu kesal? Memangnya
kenapa merasa kesal?" tanya Hay Tong-jing dengan melenggong.
Karena pertanyaan ini,
seketika Lui-ji juga melengak dan tak dapat menjawab.
Thi-hoa-nio lantas menimbrung,
"Masakah perlu kau tanya lagi? Lantaran harus berpisah dengan Ji Pwe-giok,
tentu hati nona Cu merasa kesal dan seperti kehilangan sukma, perasaan demikian
tentu saja sukar dipahami oleh kaum lelaki seperti dirimu ini."
Muka Lui-ji menjadi merah
karena isi hatinya dengan tepat dibongkar oleh Thi-hoa-nio, untung di tengah
lorong bawah tanah itu gelap gulita sehingga rasa likatnya itu tidak dilihat
orang.
"Betapapun kesalnya kan
juga tidak perlu murung begini," ujar Hay Tong-jing, "perpisahan ini
kan cuma untuk sementara waktu saja, bahkan guruku ada maksud menerima nona Cu
sebagai murid, ini kan rejeki besar dan menggembirakan, kalau aku tentu sudah
berjingkrak kegirangan sejak tadi."
"Itukan jalan pikiranmu,
tentu berlainan dengan jalan pikiran nona Cu," kata Thi-hoa-nio.
"Memangnya kau tahu apa yang sedang dipikirkan dia?"
Hay Tong-jing menjadi bungkam
dan tak dapat menjawabnya.
Mereka terus merambat ke depan
dengan diam, sungguh mereka ingin cepat-cepat meninggalkan tempat yang serupa
neraka ini.
engah berjalan, mendadak
Lui-ji berhenti, desisnya dengan perasaan tegang, "Ssst, coba dengarkan
.... suara apakah ini?"
Di lorong bawah tanah ini
tidak cuma gelap gulita, bahkan juga sunyi senyap dan menyesakkan napas. Tapi
di tengah keheningan yang amat luar biasa itu, sayup-sayup terdengar suara
"srak-srek" yang berkumandang dari kejauhan.
Suara ini dapat diketahui
sebagai suara berkibarnya kain baju ketika orang melompat tinggi atau melayang
jauh, atau bisa jadi suara langkah orang yang sedang berjalan, tapi lantaran
daya kumandang di lorong ini terlalu keras sehingga sukar dibedakan dengan
jelas.
Suara "srak-srek"
itu sangat lirih, seperti terjadi di tempat yang sangat jauh, yang didengar
mereka adalah gema suaranya saja, kalau tidak, tentu merekapun takkan
mengetahui apa-apa.
Cuma ada satu hal dapat
dipastikan, yakni di lorong bawah tanah ini telah muncul orang lain lagi, dan
orang ini sedang melayang ke arah sini.
Cu Lui-ji terlebih cermat
daripada orang lain, cepat ia menarik Thi-hoa-nio dan Hay Tong-jing agar
berjongkok di kaki dinding, mereka mendengarkan dengan menahan napas untuk
menunggu kejadian selanjutnya.
Benarlah, pada saat lain,
sesosok bayangan hitam secepat terbang melayang tiba.
Sungguh cepat luar biasa,
seperti angin lalu saja cepatnya.
Cuma sayang, mereka bertiga
tidak ada yang dapat membedakan potongan tubuh bayangan itu, bayangan itu
seperti seekor burung raksasa dan juga seperti seekor kelelawar besar.
Setelah bayangan itu
berkelebat dan menghilang, mereka bertiga masih terus berjongkok di situ hingga
sekian lama lagi.
Selang sejenak pula, mendadak
Lui-ji berucap dengan suara tertahan, "Aneh! Sungguh aneh!?"
Pelahan Thi-hoa-nio menarik
lengan baju si nona dan bertanya, urusan apa yang membikin kau terheran-heran?
Jangan-jangan ada kau temukan lagi sesuatu yang mencurigakan?"
"Aku tidak menemukan
apa-apa yang mencurigakan," jawab Lui-ji. "aku cuma merasakan
bayangan yang lewat tadi seperti Ji Hong-ho, Bu-lim-bengcu sekarang. Mungkin
inilah yang dikatakan orang sebagai perasaan ke enam."
"Ji Hong-ho katamu?
Memangnya untuk apa dia datang ke sini?" ujar Thi hoa-nio.
"Sudah tentu tidak ada
yang tahu, kecuali sekarang juga kita putar balik kesana dan mengintai secara
diam-diam," kata Lui-ji.
"Aku tidak berminat untuk
merayap kian kemari di dalam lorong yang gelap dan pengap ini" ujar Thi
hoa-nio.
"Tapi aku mendukung usul
nona Cu ini," tukas Hay Tong-jing. "Bukankah makhluk aneh yang suka
menyiram manusia hidup dengan lilin panas itu sudah dibinasakan oleh ilmu sakti
guruku, di sana tentu takkan timbul lagi adegan yang menakutkan seperti tadi,
apalagi yang perlu kita takuti?"
Lui-ji juga berkeras pada
sarannya, ucapnya, "Jika secara diam-diam Ji Hong-ho menyusup ke sini,
bisa jadi sangat besar sangkut-pautnya dengan urusan Ji Pwe-giok, apapun juga
aku harus kembali kesana untuk mengintipnya, inilah kesempatan baik yang sukar
dicari."
Karena dua suara melawan satu
suara, terpaksa Thi hoa-nio tunduk kepada suara yang lebih banyak, akhirnya
iapun setuju dan ikut putar balik ke arah datangnya tadi.
000OOO000
Di dinding ruangan gua sana
menyala beberapa pelita minyak, di bawah cahaya yang redup, ada sebuah kursi
batu kelihatan berduduk seorang perempuan berbaju hitam mulus, dan dia inilah
Bak-giok Hujin Ki Pi-ceng.
Di ruangan gua batu itu sunyi
senyap, tiada terdengar suara apapun. Ki Pi-ceng juga duduk tepekur di situ
seperti menanggung tekanan batin yang amat berat.
Watak Bak-giok Hujin suka
unggul, berkukuh kepada pendiriannya sendiri. Tapi setelah diberitahu dan
diingatkan oleh Ki Go-ceng, akhirnya ia merasa caranya terhadap Ji Pwe-giok
memang rada-rada kurang aman.
Namun sesuai wataknya yang
kepala batu, ia suka meneruskan kesalahannya itu daripada mengaku salah di
depan orang lain.
Dinding batu ruangan itu
sangat dingin, tapi raut muka Bak-giok Hujin tampak lebih dingin, lantaran
dalam hati merasa tidak aman, tanpa terasa tercetus pada mulutnya,
"Masakah aku salah?... Masakah aku keliru....?
Ia menyangka di dalam gua
rahasia ini, bahkan di seluruh lorong bawah tanah itu tiada terdapat orang
lagi, biarpun dia berteriak mengutarakan segenap isi hatinya juga takkan
dilihat dan didengar orang.
Tapi pikirannya ternyata
keliru!
Justru pada saat suara
ucapannya hampir lenyap, tiba-tiba dari luar pintu ruangan itu berkumandang
suara seorang, "Kau memang keliru, bahkan keliru besar, tidak kepalang
tanggung kesalahanmu!"
"Siapa?" bentak Ki
Pi-ceng terkejut.
"Masakah suaraku saja
tidak kau kenal lagi?" ucap suara di luar pintu itu. "Wah, tampaknya
pikiranmu saat ini benar-benar sangat kusut."
Berbareng dengan lenyapnya
suara itu, serentak melayang tiba sesosok bayangan orang, kiranya Ki Go-ceng
adanya.
Ki Pi-ceng memandang dengan
dingin, lalu bertanya, "Kenapa kau kembali secepat ini?"
Air muka Ki Go-ceng kelihatan
juga masam, jawabnya, "Pertanyaanmu ini salah alamat, seharusnya kau tanya
kepada bocah itu kenapa dia mengambil keputusan secepat itu."
"Kau maksudkan Ji
Pwe-giok?" tanya Ki Pi-ceng dengan heran.
"Siapa lagi kalau bukan
dia? Bocah ini benar-benar sukar dilawan."
"Memangnya keputusan apa
yang telah diambilnya?" tanya Ki Go-ceng tak sabar.
"Urusah yang paling kita
takuti," tutur Ki Go-ceng. "Ia telah menyiarkan secara terbuka ke
dunia Kangouw segenap apa yang tercatat dalam Giam-ong-ceh."
Tergetar hebat hati Ki
Pi-ceng, serentak ia melonjak bangun dan berteriak, "Apa katamu? Coba
ulangi lagi sekali?"
Ki Go-ceng menyengir, ucapnya,
"Ulangi lagi sekali atau seratus kali juga tetap begitu. Diantara catatan
Giam-ong-ceh itu tidak cuma meliputi rahasia hubungan kita, bahkan juga
mengenai hubungan gelap orang kita dan Ji Tok-ho."
Tubuh Ki Pi-ceng tampak rada
gemetar, gumannya, "Harus kubunuh dia... Akan kubinasakan dia secara
mengerikan..."
"Baru sekarang teringat
olehmu harus membinasakan dia, kukira sudah agak terlambat," ucap Ki
Go-ceng. "Sebab berita dalam Giam-ong-ceh sudah terlanjur tersiar,
siapapun tak dapat menariknya kembali dan menghapusnya."
"Dan kalau urusan sudah
kadung begini, masakah kau malah menyesali diriku?" teriak Ki Pi-ceng
dengan gusar.
Ki Go-ceng menggeleng, ucapnya
dengan menghela napas, "Bukannya aku menyesali dirimu, tapi kenyataannya
memang demikian. Malahan bocah she Ji itu sangat licik dan licin, saat ini dia
telah menghilang, entah sembunyi dimana, sudah beberapa tempat kucari dan tetap
tak dapat menemukan dia."
"Ah, itu hanya soal waktu
saja," ujar Ki Pi-ceng dengan suara gemas, "Aku pasti akan
membinasakan dia dengan tanganku sendiri, bahkan harus kubunuh dia dengan cara
yang paling kejam dan paling mengerikan."
"Tapi berbareng itu kita
masih perlu juga membinasakan seorang lagi," tukas Ki Go-ceng. "Sebab
orang ini jauh lebih menggemaskan daripada bocah itu."
"Memangnya siapa yang kau
maksudkan?" tanya Ki Pi-ceng dengan melengak.
"Ialah musuh bebuyutan
kita, si tua bangka Tangkwik-siansing," tutur Ki Go-ceng.
"Hah, dia? Masakah urusan
inipun ada sangkut-pautnya dengan dia?" tanya Ki Pi-ceng dengan heran.
Sinar mata Ki Go-ceng seperti
mengeluarkan api, katanya dengan gregetan, "Justru setan tua itulah yang
menjadi tulang punggung anak muda itu sehingga dia berani menantang kita. Ku
tahu maksud tujuanmu semula adalah hendak memperalat Po-in-pay yang berada pada
bocah itu untuk memeras dan mengancam setan tua Tangkwik itu, siapa tahu
sekarang malah senjata makan tuan, kita yang menerima akibatnya. Siapa pun
tidak menyangka urusan ini akan berubah menjadi begini buruk."
"Kembali kau menyesali
diriku lagi?" tanya Ki Pi-ceng dengan melotot.
"Apa gunanya sekarang
kita bicara tentang kesalahan siapa, toh tak dapat menyelesaikan persoalan
pokoknya," ujar Ki Go-ceng. "Yang penting sekarang harus kita
pikirkan akal yang baik untuk menghadapi mereka."
"Kuyakin persoalan Ji
Pwe-giok mudah dibereskan, yang sulit ialah si setan tua Tangkwik itu,"
kata Ki Pi-ceng.
"Jika begitu, terpaksa
kita harus membuka kartu terakhir," kata Ki Go-ceng sambil menyengir.
"Terpaksa kita tonjolkan Ji Hong-ho gadungan hasil karya bedah kita.
Biarkan dia melaksanakan tugasnya selaku Bu-lim-bengcu yang berkuasa, biarkan
dia mengumumkan kedua orang, yang satu tua dan yang lain muda itu sebagai musuh
bersama dunia persilatan. Dengan begitu kita lantas tidak perlu kuatir lagi dan
juga tidak perlu turun tangan sendiri."
Ki Pi-ceng mendengus, katanya,
"Tapi jangan kau lupa bahwa aslinya dia adalah bandit di daerah gurun yang
terkenal dengan julukan It-koh-yan. Pada saat yang belum cukup masak, masakah
dia mau diperalat oleh kita semudah itu?"
"Kukira tidak ada soal,
"ujar Ki Go-ceng. "Sebab jelek-jelek dia kan sudah berbau anggota
keluarga kita, Kalau bicara tentang untung rugi pribadinya, tentu juga dia tak
bisa tinggal diam, sebab di dalam Giam-ong-ceh itu juga tidak terlepas dari
hutangnya yang masih wajib dibayar."
Ki Pi-ceng tidak bersuara, dia
seperti sedang merenungkan gagasan Ki Go-ceng itu.
Pada saat itulah, mendadak
sinar mata Ki Go-ceng memancar tajam seperti sinar kilat yang menyorot ke arah
pintu, dengan suara bengis ia menegur, "Siapa itu yang berada di
luar?!"
Segera di luar pintu
berkumandang suara ketus seseorang, "Kawan atau lawan, selanjutnya
terserah kepada pilihanmu!"
Suara itu sudah sangat dikenal
oleh Ki Go-ceng maupun Ki Pi-ceng, segera pula pembicara itu menyelinap masuk.
Siapa lagi dia kalau bukan Ji Hong-ho tiruan, Bu-lim-bengcu gadungan, Ji Tok-ho
tulen.
Melihat kedatangan Ji Tok-ho,
kedua orang she Ki itu menjadi rada kikuk malah.
Sikap Ji Tok-ho ternyata
sekarang tidak sungkan-sungkan lagi terhadap mereka, ia hanya melirik sekejap
kepada mereka, lalu berkata, "Hah, lakon sandiwara yang kalian sutradarai
selama ini sungguh amat bagus dan menarik, baru sekarang ku tahu jelas wajah
asli kalian."
Ki Go-ceng mendelik, ucapnya,
"Jika demikian, jadi maksudmu kau telah dirugikan, begitu?"
"Antara kita sebenarnya
tidak perlu bicara tentang untung dan rugi, "jengek Ji Tok-ho. "Sebab
kalau mau menyusun neraca, biarpun seratus tahun juga sukar dihitung."
"Jika begitu, baik neraca
untung maupun rugi boleh kita kesampingkan," kata Ki Go-ceng.
"Cuma, sudah sekian tahun
keluarga Ki kami telah kau nodai, masakah kau malah menyesal kepada kami?"
"Kentut anjing! Hal-hal
ini masakah pantas kau kemukakan?" damprat Ji Tok-ho dengan gusar.
"Keluarga Ki sekarang
sudah tercemar dan berantakan, untuk apalagi ku tinggal di sini!" teriak
Ki Go-ceng dengan gusar, mendadak ia melayang keluar dengan cepat.
Setelah terdiam sejenak,
kemudian Ki Pi-ceng berkata, "Sepantasnya tidak boleh kau datang ke sini,
sehingga membikin urusan tambah runyam."
"Pergolakan sudah timbul
di dunia kangouw, dan itu memerlukan tindakanku, masa aku tidak perlu berunding
dengan kau?" kata Ji Tok-ho.
"Apakah kau maksudkan
pergolakan yang timbul akibat tersiarnya Giam-ong-ceh?" tanya Ki Pi-ceng.
"Betul," Ji Tok-ho
mengangguk. "Tak terduga berita yang kau terima ternyata tidak lebih
lambat daripadaku. Sekarang urusan lain tidak perlu kita persoalkan, marilah
kita mendahului turun tangan, mungkin segala sesuatu masih dapat kita pertahankan."
"Kukira sukar untuk
dipertahankan, hanya setan tua dan bocah keparat itu harus kita tumpas untuk
melampiaskan dendam kita."
"Kukira masih belum
terlambat, asalkan kita turun tangan selekasnya, bisa jadi segala sesuatu masih
dapat berubah," ujar Ji Tok-ho.
"Kan Giam-ong-ceh sudah
disebar-luaskan di dunia Kangouw, masakah pamor kita masih dapat
dipertahankan?" tanya Ki Pi-ceng dengan heran.
"Betul, sebab sampai saat
ini, berita yang tersiar itu hanya terbatas pada percakapan orang di tepi jalan
saja dan belum ada orang yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri catatan
dalam buku Giam-ong-ceh itu, jadi pada umumnya orang Kangouw masih diliputi
kesangsian, setengah percaya setengah ragu."
"Jika menurut
penuturanmu, jadi masih ada setitik harapan, "kata Ki Pi-ceng. "Apa
maksudmu hendak mengajak aku berangkat bersama sekarang juga?"
"Betul, "jawab Ji
Tok-ho. "Ku tahu tempat sembunyi si tua bangka Tangkwik Ko, bila
beruntung, bisa jadi kita akan menemukan mereka di sana."
Biji mata Ki Pi-ceng berputar,
katanya tiba-tiba: "Tidak, aku perlu pulang dulu ke gunung"
"Pulang ke gunung?"
Ji Tok-ho menegas dengan heran. "Ada urusan apa yang bisa lebih penting
daripada pergolakan yang ditimbulkan oleh berita Giam-ong-ceh itu?"
"Akan ku kurung dulu Cu
Lui-ji di sana, sebab anak dara itu telah dibawa pulang ke gunung oleh Hay
Tong-jing atas perintahku" tutur Ki Pi-ceng. "Jika anak dara itu
tetap dalam genggaman kita, tentu akan besar manfaatnya untuk kita gunakan
sebagai alat pemeras terhadap Ji Pwe-giok"
"Jika demikian boleh
kutemani kau pulang ke gunung dulu, habis itu barulah kita bersatu untuk
membikin perhitungan dengan mereka" kata Ji Tok-ho.
Ki Pi-ceng mengangguk setuju,
segera mereka meninggalkan gua di bawah tanah itu.
ooOoo
Mungkin disebabkan pikiran yang
sedang resah dan hati gelisah, maka ketika Ki Pi-ceng dan Ji Tok-ho
meninggalkan ruangan gua itu dan masuk ke lorong, mereka ternyata tidak
memergoki Cu Lui-ji bertiga yang bersembunyi di sekitar situ.
Lui-ji bertiga segera menyusul
ke situ setelah Ji Tok-ho masuk ke lorong itu tidak lama kemudian, sebab itulah
semua percakapan antara Ki Pi-ceng dan Ji Tok-ho dapat didengar oleh mereka,
mereka mendekam di tempat sembunyinya dan tidak berani bergerak sedikitpun,
bahkan bernapas tidak berani keras-keras.
Sekarang, setelah bayangan Ji
Tok-ho dan Ki Pi-ceng menghilang di ujung lorong sana, demi menjaga segala
kemungkinan, mereka bertiga masih terus mendekam sekian lamanya di tempat
sembunyi itu, setelah semuanya terasa aman barulah pelahan mereka berdiri.
Hay Tong-jin menghentakkan
kaki ke tanah dan berucap dengan menyesal: "Sungguh aku menyesal! Aku
menyesal mengapa aku mempunyai guru sekotor ini? Aku menyesal mengapa tidak
sejak dulu kuketahui rahasia mereka"
"Kita boleh dikatakan
sangat mujur" kata Lui-ji. "Untung mendadak timbul semacam firasatku
dan tidak langsung ikut kau ke gunung, tapi memutar balik ke sini. Kalau tidak,
tentu sampai saat ini kita masih tidak tahu apa-apa, jelas akupun akan
dijadikan sandera oleh mereka"
"Sudahlah, sekarang bukan
waktunya untuk mengobrol, kita harus lekas-lekas meninggalkan lorong ini,"
kata Thi-hoa-nio. "Apapun juga kita harus berdaya untuk mengadakan kontak
dengan Ji-kongcu."
"Tapi siapakah yang tahu
dimana jejak mereka sekarang?" ujar Lui-ji dengan sedih, hampir saja
mengucurkan air mata.
"Bukankah tadi Ji Hong-ho
gadungan itu mengatakan Ji-kongcu sangat besar kemungkinan berada di tempat
kakek Ko?" tukas Thi-hoa-nio. "Maka bolehlah kita mengusut dan
mencarinya melalui garis petunjuk ini."
"Tapi siapa pula yang
tahu letak tempat kediaman kakek Ko?" sela Hay Tong-jing. "Mencari
sesuatu yang tidak jelas kan sama saja seperti omong kosong?"
Seketika semangat Lui ji
terbangkit, katanya, "Mari, kita keluar dulu dari lorong pengap ini,
apapun juga kita harus berusaha mendahului menemukan Toako, kalau tidak, tentu
dia akan terjebak oleh kelicikan musuh."
Segera mereka mempercepat
langkah menuju ke lubang keluar lorong itu. Mereka sudah tidak menghiraukan
lagi bahaya apa yang mungkin timbul.
000OO000
Kabut telah menyelimuti
lereng-lereng gunung yang terjal dan berderet-deret. Indah sekali pemandangan
alam ini.
Tidak lama kemudian kabut pagi
itupun buyar, sang surya sudah terbit, di bawah cahayanya yang gilang gemilang
tertampak puncak gunung menjulang tinggi menghijau segar, pepohonan lebat masih
basah oleh embun dilingkupi awan tipis laksana kepulan asap... Sungguh
pemandangan permai seperti tempat kediaman malaikat dewata dalam dongeng.
Terdengar suara gemuruh air
terjun, di pinggang gunung sana yang berkumandang hingga jauh, selain itu
lereng gunung ini boleh dikatakan sunyi senyap.
Pada saat itulah, di tengah
semak pepohonan yang rindang di kaki gunung sana muncul dua sosok bayangan
kelabu, kedua orang itu sama memiliki Ginkang kelas satu, mereka terus berlari,
dengan cepat sepanjang jalan melayang dan meloncat dengan enteng sekali,
melintasi gunung dan memanjat puncak, menyeberangi sungai dan menyusuri kali,
hanya sebentar saja mereka sudah melayang tiba di tempat air terjun yang
gemerojok dengan kerasnya!.
Pemandangan di sekitar air
terjun terlebih permai, batu karang yang beraneka ragamnya, tebing yang curam
dengan dinding yang berlumut dan air pun berhamburan dari atas sana.
Kedua sosok bayangan orang
itupun turun dari puncak sana dan berhenti tidak jauh di depan air terjun.
Kedua orang ini bukan lain
daripada Tangkwik Ko dan Hong Sam.
Setelah memandang sekitarnya
sejenak, lalu Tangkwik Ko berkata, "Ya, betul, inilah tempatnya. Pasti di
sini, tidak nanti dia bersembunyi di tempat lain."
Hong Sam kelihatan sangat
kagum, katanya, "Sungguh suatu tempat yang indah, bilakah dia menemukan
tempat tirakat sebagus ini?"
"Belum lama berselang,
tanpa sengaja dia bercerita tentang tempat baik ini," tutur kakek Ko
dengan tertawa "Kecuali diriku, di dunia ini mungkin tidak ada orang lain
lagi yang tahu akan tempat ini."
Hong Sam lantas memandang
sekitarnya dengan cermat, katanya kemudian, "Lantas dimanakah dia? Mengapa
tidak kelihatan?"
Pada saat itulah, ditengah
gemuruh suara air terjun itu mendadak berkumandang suara orang tua berteriak,
"Hai, mengapa kalian seperti setan gentayangan saja, kemana pun ku pergi
selalu kalian kuntit. Tempat sembunyiku yang terpencil ini akhirnya dapat
kalian temukan juga."
Suara itu timbul dari balik
gerombol pohon cemara yang lebat sana.
Dari suaranya segera Hong Sam
berdua dapat mengenalinya sebagai suara Tangkwik-siansing. segera mereka
berlari kesana mengikuti arah suara itu.
Setiba di tempat, hanya
sekilas pandang saja mereka lantas melihat Tangkwik-siansing lagi bersantai di atas
pohon.
Cara bersantai kakek kurus
kecil itu sangat istimewa, kedua kakinya yang kecil itu menggantol pada dahan
pohon, kepalanya menjungkir ke bawah sehingga wajahnya tertutup seluruhnya oleh
jenggotnya yang panjang, apabila orang melihatnya secara mendadak, mustahil
kalau tidak menyangka ketemu siluman.
"Eh, semangat kau orang
tua benar-benar harus dipuji, tampaknya dari tua telah kembali muda sehingga
berhasrat main ayun-ayunan di tempat tersembunyi ini," dengan tertawa Hong
Sam berseloroh.
"Kalau berminat, boleh
juga kaupun naik kemari untuk mencobanya," jawab Tangkwik-siansing.
"Aku berani menjamin, inilah cara bersantai yang paling menyenangkan
apabila kau habis berlatih kungfu."
Sungguh Hong Sam ingin
tertawa, sedangkan kakek Ko hanya berdiri disamping sambil menggeleng-geleng
kepala.
Mendadak Tangkwik-siansing
mengayun tubuhnya, sekali melejit, seperti putaran roda saja, belum lagi orang
sempat melihatnya bagian mana kepalanya dan bagaimana kakinya, tahu-tahu ia
sudah melayang turun dan berdiri tegak di depan Hong Sam.
"He, dimanakah
saudaraku?" seru Hong Sam dengan tak sabar lagi.
"Untuk apa kau tegang
begini? ujar Tangkwik-sian-sing, "Memangnya kalian kuatir kubunuh dia dan
kurampas harta bendanya?"
"Sekalipun kami
berpendapat begitu juga tidak keterlaluan," ujar Hong Sam. "Coba
jawab apa maksudmu merampas Po-in-pay, lalu menghantam bocah itu hingga
mencelat, memangnya semua itu bermaksud baik? Dapatkah kau sangkal semua fakta
ini?"
"Justru itulah
peraturanku yang khas dan sudah berlaku sejak dulu," teriak
Tangkwik-siansing. "Barang siapa ingin belajar kungfuku, maka dia harus
kucoba dengan Bu-siang-si-kang, supaya ku tahu sampai dimana tingkat
kekuatannya menahan pukulanku?"
"Busyet!" seru Hong
Sam. "Masakah pakai dicoba dengan pukulan segala?... Sungguh aneh dan
ajaib, di dunia ini ternyata ada cara menerima murid dengan syarat selucu
ini."
"Apanya yang aneh? Apanya
yang lucu? Kau sendiri yang sedikit pengalaman dan dangkal pengetahuan, maka
segalanya kau rasa aneh," omel Tangkwik-siansing dengan mencibir.
"Padahal waktu kucoba dia hanya kugunakan tiga bagian tenaga ku saja,
apabila dia tidak cukup memenuhi syarat, tentu kontan dia akan mati ku pukul.
Tapi bocah itu memang lain daripada yang lain, sekumur darah saja tidak tumpah."
"Sudahlah, tidak perlu
banyak membual lagi," si kakek Ko menyeletuk: "Yang penting sekarang,
Ji-kongcu berada di mana?"
Tangkwik-siansing menuding ke
arah air terjun dan berkata: "Di balik air terjun itu ada sebuah panggung
batu alam, di sanalah dia berduduk untuk berlatih"
Hong Sam merasa heran,
tanyanya: "Air terjun sekeras itu dengan suara gemuruh terus menerus tanpa
berhenti, suaranya memekak telinga, masakah kau biarkan dia berduduk dan
berlatih di sana"
"Tampaknya kau memang
dangkal pengetahuan, makanya segala apa membuat kau heran" kata
Tangkwik-siansing. "Ketahuilah, di sinilah terletak perbedaan
Bu-siang-sing-kang dengan kungfu lain"
"Baiklah, anggaplah
memang dangkal pengetahuanku, maka sekarang kuminta penjelasanmu supaya ku tahu
rahasia apa di balik cara berlatih yang luar biasa ini?" kata Hong Sam.
Tangkwik-siansing mengelus
jenggotnya yang panjang, tuturnya kemudian: "Bu-siang-sin-kang dapat
diyakinkan atau tidak bergantung kepada kekuatan batin dan kecerdasan otaknya.
Apabila kekuatan batinnya sudah terpupuk dengan baik, biarpun gunung ambruk di
hadapannya juga takkan membuatnya terkejut, apalagi cuma air terjun dan
suaranya yang gemuruh. Jika yang berlatih tidak tahan oleh suara gemuruh yang
berlangsung terus menerus, maka hal ini berarti kekuatan batinnya belum cukup,
kalau kekuatan batin tidak kuat, berarti sukar membangkitkan kecerdasannya, ini
berarti tidak memenuhi syarat untuk berlatih Bu-siang-sin-kang, sebab itulah
bocah itu harus lulus dulu dari ujianku ini, habis itu baru dapat ku tentukan
dia dapat berlatih Bu-siang-sing-kang atau tidak"
"Dan sekarang apakah dia
sudah memberi reaksi akan kekuatan batinnya atau belum?" tanya Hong Sam.
"Dia memang hebat"
kata Tangkwik-siansing dengan tertawa. "Bahkan sama sekali di luar
dugaanku. Kuberani bertaruh dengan siapapun, sebelum lewat tujuh hari dia pasti
akan berhasil meyakinkan Bu-siang-sin-kangku"
"Masa begitu pesat
kemajuannya?" Hong Sam menegas dengan melongo.
"Ya, kalau orang lain,
tidak mungkin berhasil secepat ini" ujar Tangkwik-siansing.
"Pembawaan bocah ini memang lain daripada yang lain, ditambah lagi
kegiatan berlatih secara pondasi yang telah dimilikinya sebelum ini, maka dia
memang pemuda yang sukar dicari bandingannya. Cuma dalam waktu tujuh hari,
siapa pun tidak boleh mengejutkan dia, kalau tidak, bukan saja
Bu-siang-sin-kang akan gagal dilatihnya, akibatnya akan membuatnya mengalami
kelumpuhan dan tamatlah segalanya."
"Masa kami memandangnya
dari jauh juga tidak boleh?" tanya Hong Sam.
Untuk sejenak
Tangkwik-siansing melenggong, katanya kemudian, "Baiklah, kalau tidak
kululuskan permintaanmu, bisa jadi kau masih mencurigai diriku telah membunuh
dan merampas harta bendanya."
-oOoOoOoOo-
-------------------------
Cara bagaimana si kakek
Tangkwik-sianseng menggembleng dan mengajarkan Bu-siang sin kang kepada Pwe
giok?
Bagaimana pula nasib Cu-Lui-ji
yang berada dalam cengkeraman Ki Pi-ceng alias Bak giok Hujin?