Jilid 6
Seketika Tong Bu-siang
melenggong, mukanya sebentar pucat sebentar merah, mendadak ia menggebrak meja
dan berteriak: "Ku tahu kalian memandang hina padaku, sebab dahulu aku
cuma seorang perawat kuda saja. Tapi kau sendiri, kau ini kutu macam apa pula?
Memangnya kau kira kau ini benar-benar Kanglam-tayhiap Ong Uh-lau segala?"
"Tutup bacotmu!"
bentak Ong Uh-lau dengan gusar.
"Aku justru ingin omong
lagi" sahut Tong Bu-siang dengan muka merah padam. "Ya, ingin omong
terus, apa yang dapat kau lakukan terhadapku? memangnya dapat kau bunuh
diriku?"
"Biar kubunuh kau,
memangnya takut apa?" kata Ong Uh-lau dengan beringas.
"Huh, masa kupercaya kau
berani? Jangan lupa, saat ini aku adalah ketua keluarga Tong yang disegani,
bilamana kau bunuh diriku, ke mana lagi akan kau cari seorang Tong Bu-siang
yang lain?"
Ong Uh-lau melotot sekian
lama, tiba-tiba ia tertawa, katanya, "Ai, sudahlah, apa yang kukatakan,
semuanya adalah demi kebaikanmu, sebab kalau sampai rahasiamu terbongkar,
bagimu maupun bagiku sama-sama tidak ada faedahnya."
Maka tertawalah Tong Bu-siang,
ucapnya, "Jangan kuatir, latihanku selama dua tahun ini masa
percuma?"
Mendengar sampai di sini,
tangan Pwe-giok sudah berkeringat dingin.
Nyata "Tong
Bu-siang" ini tadinya cuma seorang perawat kuda saja, bisa jadi lantaran
mukanya serupa Tong Bu-siang asli, maka dia terpilih untuk dijadikan Tong
Bu-siang imitasi.
Jika demikian, lalu siapa pula
orang yang menyaru sebagai Ong Uh-lau ini? Dan siapa lagi yang menyamar sebagai
Lim Soh-koan, Ong Tay-oh, Sebun Bu-kut dan lain-lain, berasal dari orang macam
apakah mereka itu?
Sudah tentu, bisa jadi mereka
semula cuma seorang kusir, seorang koki, seorang tukang sayur, seorang penambal
sepatu, bahkan bukan mustahil seorang germo.
Lalu, orang macam apa pula
"Ji Hong-ho" itu?
Mungkinkah tingkatannya lebih
terhormat daripada orang-orang ini?...
Bisa jadi karena dia lebih
berbakat dan lebih giat berlatih, maka selain wajah dan gerak-geriknya dapat
menirukan Hong-ho Lojin dengan persis, bahkan juga berhasil mempelajari kungfu
Bu-kek-bun dengan baik. Namun apa pun juga, asalnya pasti seorang Siaujin yang
rendah.
Berpikir sampai di sini,
seluruh badan Pwe-giok rasanya seperti mau meledak.
Dalam pada itu Ong Uh-lau dan
Tong bu-siang tampak semakin gelisah. Tong Bu-siang lantas berbangkit dan
mondar-mandir di dalam ruangan sambil bergumam, "Aneh, kenapa belum
datang....Kenapa belum datang?"
"Jika dia tidak datang,
biarpun gelisah juga tiada gunanya," ujar ONg Uh-lau. "Lebih baik
berduduk dan menunggu saja."
Tong Bu-siang gosok-gosok
jenggotnya dan berkata, "Kau tidak gelisah, akulah yang gelisah, jika dia
tidak datang, bagaimana?"
"Urusan ini juga
menyangkut kepentingannya, mana bisa dia tidak datang," ujar Ong Uh-lau.
"Semoga tidak terjadi
apa-apa atas dirinya," kata Tong Bu-siang sambil menghela napas.
Sesungguhnya siapakah gerangan
yang mereka tunggu itu?
Mengapa mereka begitu tegang
dan juga misterius tampaknya?
Saking tak tahan hampir saja
Lui-ji bertanya. Tapi pada saat itulah mendadak di luar jendela terdengar suara
"kok-kok" dua kali, seperti suara burung kokok beluk.
Seketika semangat Tong
Bu-siang terbangkit, ia melompat ke depan jendela dan menjawab dengan suara
"cuat-cuit" dua kali, dari luar ada suara mencicit pula, lalu Tong
Bu-siang membuka daun jendela, dan dari luar segera melayang masuk seorang
lelaki berbaju hijau.
Dandanan orang ini mirip
seorang petani yang baru saja habis pulang mencangkul dari sawah, kain bajunya
kasar, berlepotan lempung lagi.
Ikat kepalanya yang juga
terbuat dari kain hijau kini pun sudah basah kuyup, jelas dia menempuh
perjalanan dengan cepat dan tergesa-gesa.
Maka orang ini hitam hangus
seperti pantat kuali, bila diperhatikan baru ketahuan mukanya di poles dengan
hangus berminyak agar wajah aslinya tidak dikenal orang.
Serentak Ong Uh-lau berbangkit
dan menyambut kedatangan orang, tegurnya dengan suara tertahan, "Angin
apakah yang meniup sahabat ke sini?"
Orang itu celingukan sejenak,
lalu iapun menjawab dengan suara tertahan, "Angin tenggara yang meniup
dari barat laut."
Adakah sahabat melihat sesuatu
di tengah perjalanan?" tanya Ong Uh-lau pula.
"Kulihat si kakek lagi
makan permen dan si cucu lagi minum arak," sahut orang itu.
Tanya jawab ini sangat lucu
dan mengada-ada saja, jelas hanya untuk mencocokkan kode rahasia masing-masing.
Air muka On Uh-lau kelihatan
merasa lega, ia lantas memberi hormat dan berkata pula, "Silahkan duduk,
sudah lama kami menunggu di sini,"
"Mengapa tamu Bong hoa
lau ini hanya terdiri atas kalian saja?" tanya orang itu.
"Sebab para nona penghuni
rumah hiburan ini sama pergi menghibur, tidak menerima tamu," tutur Ong
Uh-lau.
"Masa rumah hiburan
begini pakai libur segala?" kata orang itu rada tercengang.
"Maklumlah, bilamana para
nona penghuni rumah hiburan macam begini sedang datang bulan, "palang
merah" menurut istilah mereka, maka tamu apapun akan ditolak."
Baru sekarang orang itu
menghela nafas lega, pandangannya segera tertarik pada arak dan santapan di
atas meja...
"Apakah saudara belum
lagi bersantap?" tanya Ong Uh-lau.
"Ya, terus terang, sudah
dua hari Cayhe tidak makan satu butir nasi apapun," jawab orang itu sambil
menyengir dan menelan air liur.
Aneh! Orang macam apakah dia
ini, mengapa jejaknya demikian misterius dan juga sedemikian konyol, sampai
mesti menempuh perjalanan selama dua hari dengan puasa?
Jangan-jangan dia lagi
menghindari pengejaran seseorang, karena itulah dia tidak sempat makan dan juga
tidak berani muncul di depan umum?
Lalu jauh-jauh Ong Uh-lau dan
Tong Bu-siang datang ke sini untuk menunggu orang ini, apa pula maksud tujuan
mereka?...
Dalam pada itu orang berbaju
hitam itu sudah berduduk dan mulai makan. Walaupun sudah kelaparan, namun cara
makannya tidak rakus, tampaknya cukup sopan dan terpelajar.
Dalam tingkah laku sopan
demikian, bisa jadi tidak dapat berpura-pura. Sebab itulah seorang hartawan
yang kaya mendadak akan tetap kelihatan kedodoran, seorang pengemis biarpun
diberi pakaian mahkota juga tetap tidak memper seorang raja.
Untuk hal demikian ini, sekali
pandang saja Pwe giok lantas tahu bahwa orang berbaju hijau ini pasti berasal
dari keluarga terhormat.
Selang sejenak pula barulah
orang itu menaruh sumpitnya, tiba-tiba ia melototi Tong Bu-siang dan berkata,
"Coba, silahkan Anda lepas baju dan celana dan perlihatkan padaku."
Bahwa seorang yang kelihatan
berasal dari keluarga terhormat dan terpelajar mendadak menyuruh orang lain
"membuka celana untuk diperlihatkan kepadanya", sungguh kejadian yang
sukar dipercaya.
Yang lebih aneh lagi ialah
Tong Bu-siang ternyata menuruti permintaan itu, ia benar-benar membuka baju dan
mencopot celana.
Perlahan Lui ji mengomel, ia
berpaling dan malu untuk memandangnya, tapi tidak urung hatinya ingin tahu apa
yang akan dilakukan orang berbaju hijau itu setelah menyuruh Tong Bu-siang
membuka pakaian.
Ia coba melirik lagi ke sana,
dilihatnya Tong Bu-siang tidak membuka pakaian hingga telanjang bulat, saat itu
setelah kakinya yang penuh bulu lebat tampak selonjor di atas kursi.
Sambil menunjuk satu jalur
panjang bekas luka pada kaki Tong Bu-siang itu, Ong Uh-lau berkata dengan
tersenyum, "Bekas luka ini kukerjakan menurut contoh bekas luka pada
Bu-siang Lojin, baik panjangnya maupun lebar dan dalamnya kujamin persis
seperti bekas luka pada Bu-siang Lojin itu."
"Hehe, caranya bekerja
seperti halnya hendak mengukir stempel di pahaku ini," tukas tong Bu-siang
dengan menyengir, "Sampai tiga hari lamanya dia mengukir dan hasilnya
memang memuaskan, akan tetapi yang runyam adalah diriku, meski belasan kati
arak Hoa-tiau kuhabiskan, sakitnya tetap tidak kepalang."
Orang berbaju hijau itu
manggut-manggut, katanya, "Bagus, tapi tahukah kau siapa yang membuat
bekas luka ini?"
"Ini kan Bu-siang Lojin
...."
"Ingat!" sela orang
itu, "Sekarang kau sendiri ialah Bu-siang Lojin."
Tong Bu-siang tertawa,
ucapnya, "Ya, betul. Tentang .... tentang bekas luka ini, terjadinya pada
waktu aku masih muda, lantaran kepincuk kepada seorang gadis suku Pai,
jauh-jauh ku pergi ke lembah sungai Nu di perbatasan Yunan sana, sendirian ku
terjang delapan benteng Kimsah, sebab Kimsah cecu (kepala benteng Kimsah) telah
merampas berlaksa tahil pasir emas suku bangsa Pai si gadis, meski ke delapan
Cecu yang menjadi biang keladinya telah kubunuh dengan senjata rahasiaku, tapi
pahaku juga terkena bacokan golok mereka, kalau saja aku tidak selalu membawa
obat luka "Yunan-peh-uo", bisa jadi pahaku ini harus kupotong."
"Kemudian
bagaimana?" tanya si baju hijau.
"Kemudian baru kuketahui
gadis Pai itu sengaja memperalat diriku untuk merampas kembali pasir emas milik
bangsanya itu, padahal dia sendiri sudah mempunyai kekasih pilihannya sendiri,
pada saat ku rawat lukaku di pembaringan, diam-diam gadis itu kabur bersama
kekasihnya."
Si baju hijau menghela napas
panjang, tukasnya, "Ya, begitulah, maka sejak itu kau anggap gadis suku
Pai rata-rata tidak setia, semuanya suka menipu, lantaran itu pula kau berkeras
melarang anakmu menikah dengan Kim-hoa-nio yang juga berasal dari suku bangsa
minoritas itu."
Baru sekarang Pwe-giok paham
sebab musabab Tong Bu-siang benci kepada Kim-hoa-nio, rupanya bukan disebabkan
Kim-hoa-nio adalah anggota dan puteri ketua Thian-can-kaucu, tapi lantaran nona
itu berasal dari suku bangsa Pai.
Tak tersangka olehnya bahwa
Tong Bu-siang yang kelihatan kaku dan prihatin itu, pada masa mudanya juga
seorang pemuda pecinta, sebab kalau bukan pemuda yang sok romantis tentu dia
takkan tertipu oleh perempuan.
Sementara itu Ong Uh-lau telah
memutar badan Tong Bu-siang, ia tuding codet pada punggungnya dan berkata pula,
"Bekas luka inipun cukup baik bukan?"
"Ya, bagus, sama seperti
aslinya." ujar si baju hijau.
"Dan bekas luka itu
terjadi pada waktu aku berumur 26, demi untuk menuntut balas bagi saudara
misanku, aku berduel dengan tokoh golok sakti Ban-sing-to, hasilnya adalah
codet ini. Tapi meski punggungku terbacok oleh goloknya, pedangku juga sempat
menembus tenggorokannya."
"Tepat," ujar si
baju hijau. "Lantas di tubuhmu seluruhnya ada berapa banyak bekas
luka?"
"Seluruhnya ada sembilan
tempat," sahut Tong Bu-siang, "kecuali kedua codet yang paling besar
ini masih ada lagi empat tempat bekas luka pedang dan dua tempat bekas luka
golok, serta satu tempat luka terbakar akibat senjata api si
Pat-pi-thian-ong."
Ia berhenti sejenak, lalu
menyambung pula, "Dua di antara empat bekas luka itu adalah akibat tusukan
Gin-leng-kiam-khek, hal itu terjadi lantaran dia menista nama baik perguruan
kami, waktu itu umurku 28, selama setahun kucari dia tiga kali untuk berduel,
kedua kali pertama hampir saja ku mati di bawah pedangnya, pada ketiga kalinya
barulah kubinasakan dia."
"Setelah ke sembilan
tempat bekas luka ini, apakah di tubuhmu tiada bekas luka lain lagi?"
tanya si baju hijau.
"Seperti tidak .... tidak
ada lagi," jawab Tong bu-siang setelah berpikir sejenak.
"Masa tidak ada lagi,
umpamanya gigimu ....."
"Oya, betul, gigiku kurang
tiga biji, sebab pada waktu mudaku aku tidak kenal artinya takut, hampir setiap
jago ternama ku tantang untuk mengukur kungfu masing-masing. Satu kali ku
tantang jago silat nomor satu di lereng Tiang-pek-san, hasilnya daguku kena
ditonjoknya sehingga tiga biji gigiku bagian atas rompal, bahkan mulutku
bengkak hingga lima hari tak dapat makan dan bicara."
"Hendaknya kau jangan
lupa bahwa peristiwa itu adalah salah satu kebanggaanmu selama hidup."
kata si baju hijau. "Sebab jago Tiang-pek-san itu terkenal berwatak keras
dan tidak kenal ampun, barang siapa berani mencari perkara padanya, biarpun
orang berkepala besi juga akan dihancurkan olehnya, tapi dia cuma merontokkan
tiga biji gigimu, sebab itulah biarpun kau kalah bertanding, namun kekalahanmu
cukup gemilang, lantaran itu pula seringkali kau membuka mulut untuk
memperlihatkan mulutmu yang ompong akibat gigi rontok ditonjok lawan itu."
"Ya, aku tidak pernah
lupa." sahut Tong Bu-siang.
Sampai di sini, diam-diam
Pwe-giok merasa terharu dan sedih bagi nasib Tong Bu-siang. Padahal tokoh-tokoh
yang disebutnya itu terkenal sangat lihay pada masa beberapa puluh tahun yang
lalu, tapi tong Bu-siang berani mendatangi jago-jago itu dan menantang duel
padanya, ini menandakan masa muda tong Bu-siang pasti seorang yang tidak takut
pada langit dan tidak gentar pada bumi, benar-benar seorang ksatria yang gagah
berani.
Sungguh tak tersangka olehnya
bahwa setelah tua, Tong Bu-siang bisa berubah menjadi pengecut, penakut seperti
tikus.
Meski dia sudah mengkhianati Pwe-giok,
tapi Pwe-giok tidak dendam padanya, sebaliknya malah merasa orang tua itu harus
dikasihani. Dan sekarang duplikatnya sudah tersedia, maka nasibnya selanjutnya
pasti lebih mengenaskan.
Terdengar si baju hijau sedang
menghela napas dan berkata, "Ada sementara urusan yang mesti takkan
menarik perhatian orang lain, tapi sedapatnya kita harus tetap waspada. Sebab
sedikit rahasia kita diketahui orang, akibatnya semua urusan bisa runyam,
bahkan jiwamu mungkin juga akan amblas."
"Betul," kata Tong
Bu-siang, "jika ingin bekerja besar harus lebih berhati-hati, ku paham
peraturan ini."
Si baju hijau termenung
sejenak, katanya kemudian, "Kebiasaanmu sehari-hari juga tidak boleh
teledor sedikitpun. Misalnya, sekarang kau sudah mengundurkan diri dari dunia
persilatan, tapi tiap urusan penting dalam perkampunganmu masih harus
diselesaikan atau diputuskan olehmu. Sebab itulah anak muridmu setiap hari
masih tetap datang menyambangi kau pada waktu tertentu serta untuk meminta
petunjukmu."
"Ya, ku tahu, semua itu dilakukan
pada waktu aku sarapan pagi," kata Tong Bu-siang.
"Dan apakah kau tahu
apa-apa saja yang kau makan setiap hari?" tanya pula si baju hijau.
"Ku tahu orang Sujwan
tidak biasa makan bubur, sebab itulah setiap pagi ku sarapan satu piring nasi
goreng dengan telur dadar, terkadang juga sarapan nasi goreng babat pedas,
makin pedas makin baik, sebab orang Sujwan memang terkenal doyan cabai."
"Apakah semua itu dapat
kau biasakan?"
"Pada waktu permulaan
memang tidak biasa, bila makan pedas keringat lantas bercucuran, tapi setelah
berlangsung dua tahun, semua itupun menjadi biasa bagiku."
"Dan tahukah kau biasanya
berapa hari kau mandi satu kali?" tanya pula si baju hijau, lalu iapun
tanya berbagai urusan, baik yang penting maupun yang sepele, dan semuanya itu
dijawab oleh "Tong Bu-siang" dengan lancar, sampai-sampai setiap hari
Tong Bu-siang yang asli berak berapa kali juga diketahuinya dengan jelas.
Dari sini dapatlah diketahui
bahwa komplotan mereka ini telah menguasai benar-benar lahir-batin Tong
Bu-siang, setiap gerak-geriknya dan setiap kebiasaannya sudah dipelajarinya
dengan tuntas tanpa kekurangan apapun juga.
Ki Leng-hong menghela napas,
ucapnya, "Untuk pekerjaan ini, entah betapa banyak Ji hong-ho itu telah
memeras pikiran dan tenaga."
"Tentunya perbuatannya
ini ada imbalannya," ujar Pwe-giok dengan mengertak gigi.
"Betul, dengan demikian,
maka segala sesuatu, harta benda maupun kekuasaan tong-keh-ceng di Sujwan yang
bersejarah ratusan tahun itu akan berpindah seluruhnya ke tangannya, jadi
tenaga dan pikiran serta biaya berapa banyak yang dikeluarkannya tetap
berharga, tidak rugi," demikian kata Leng-hong.
"Mereka menunggu
kedatangan orang berbaju hijau ini, kiranya mereka sengaja hendak menguji Tong
Bu-siang gadungan ini, apakah sudah memenuhi syarat atau tidak untuk tampil ke
pentas," tukas Lui-ji. "Akan tetapi, orang macam apa pula orang serba
hijau ini? Mengapa dia menguasai sejelas ini seluk-beluk kehidupan Tong
Bu-siang? Seolah-olah bagaimana bau kentut Tong Bu-siang juga diketahuinya."
"Kukira orang ini pasti
anak murid keluarga tong," kata Pwe-giok setelah berpikir sejenak.
"Ya, dia bukan saja anak
murid keluarga Tong, bahkan pasti orang yang sangat berdekatan dengan Tong
Bu-siang." kata Ki Leng-hong.
"Dan sekarang dia telah
mengkhianati Tong Bu-siang dan menjualnya," kata Pwe-giok pula.
"Apabila Tong Bu-siang mengetahui dirinya bakal dikhianati anak murid
sendiri, mungkin dia takkan mengkhianati orang."
Dalam pada itu si baju hijau
sudah mengecek semua persoalan terhadap Tong Bu-siang gadungan, dia sedang
berduduk dan memandangi mereka dengan diam saja.
Sejenak kemudian, Ong Uh-lau
menyengir, katanya, "Apakah saudara merasa ada hal-hal lain yang kurang
memuaskan?"
Si baju hijau tidak menjawab,
tapi menuang tiga cawan arak, lalu berkata perlahan, "Ilmu bersolek atau
menyamar meski sudah tersebar luas selama ratusan tahun di dunia kangouw, tapi
orang yang berganti rupa secara demikian masih belum juga berani bergaul di
depan umum secara terang-terangan, sebab seorang yang sudah berganti rupa
dengan menyamar, betapapun pandai caranya berhias, bila ketemu seorang ahli,
sekali pandang saja akan diketahuinya.
Menurut cerita yang terjadi di
Kangouw, meski banyak orang yang berganti rupa dan menyamar sebagai orang lain,
lalu menyusup ke dalam sesuatu organisasi rahasia lain sehingga segenap anggota
organisasi itu dapat dikelabuinya, akan tetapi itu hanya dongeng saja di dunia
Kangouw, menurut pandanganku sekarang, semua cerita itu hanya dongeng yang
sengaja dibumbui dan dibesar-besarkan, kukira sama sekali tak dapat
dipercaya."
Bahwa mendadak si baju hijau
bicara hal-hal ini, tentu saja Ong Un-lau dan Tong Bu-siang gadungan itu merasa
bingung karena tidak tahu apa maksudnya, terpaksa mereka diam saja tanpa
komentar, mereka menunggu ceritanya lebih lanjut.
Benar juga, si baju hijau
lantas menyambung pula, "Tapi ilmu menyamar demikian setelah jatuh di
tangan Bu-lim-bengcu sekarang, seketika ilmu ini berkembang dengan lebih ajaib,
sebab beliau sanggup melebur antara ilmu pengobatan dan ilmu menyamar ini
beliau harus dipuji dan tiada bandingannya dari dulu kala hingga
sekarang."
Mendengar sampai di sini
barulah Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang menghela napas lega serta tertawa cerah.
Si baju hijau menatap
lekat-lekat ke arah Tong Bu-siang gadungan, katanya kemudian dengan suara
tertahan, "Bahwa beliau mampu menciptakan seorang tokoh semacam Anda ini,
sungguh aku merasa kagum dan takluk benar-benar lahir batin. Sekarang jangankan
orang lain tak dapat membedakan asli atau palsunya anda, bahkan akupun tidak
dapat membedakannya."
Tong Bu-siang gadungan itu
kelihatan bergirang." ucapnya, "Jika demikian, jadi aku sudah boleh
muncul di depan umum?"
Akhirnya di baju hijau juga
tertawa cerah, katanya, "Ya, kemunculan anda sekarang kuyakin tidak perlu
dikuatirkan lagi, tidak mungkin gagal."
Segera ia mengangkat cawan dan
menyambung pula, "Marilah kuberi selamat dulu kepada kalian, semoga segala
sesuatu berjalan lancar dan sukses!"
Belum lenyap suaranya,
mendadak terdengar seorang bergelak tertawa menanggapi, "Hahaha, jika
benar kau ingin menyuguh arak, kan jumlahnya masih kurang satu cawan!"
Suara itu berkumandang dari
kamar sebelah sana, yaitu kamar si pemuda kurus masuk bersama Hiang-hiang tadi.
Air muka si baju hijau
berubah, segera tangannya meraba kantung yang tergantung di pinggangnya,
bentaknya. "Siapa itu?"
Maka terlihatlah seorang
pemuda cakap melangkah keluar dari kamar dengan kemalas-malasan, badan hampir
seluruhnya telanjang, hanya memakai cawat saja.
"Eh, tangan anda itu
jangan dikeluarkan," kata pemuda itu dengan tertawa. "Terus terang,
Am gi (senjata rahasia) keluarga Tong tak sanggup kumakan."
Si baju hijau menyurut mundur
dua tindak ucapnya sambil melototi Ong Uh-lau, "Didalam rumah ini ternyata
masih ada orang lain, masakah kalian tidak tahu?"
Ong Uh-lau menyengir,
jawabnya, "Sudah tentu kami tahu, sebab saudara ini bukanlah orang
luar."
"Oo!" si baju hijau
melengak.
Pemuda cakap tadi lantas
berkata dengan tertawa hambar, "Hendaklah Anda jangan terlalu tegang, aku
ini bukan saja kawan kalian, bahkan juga sahabat baik Ji Hong-ho."
Secara blak-blakan ia menyebut
nama "Ji Hong-ho" di depan Ong Lau-thau, keruan si baju hijau
tercengang, sejenak ia melongo, lalu bertanya, "Siapakah nama Anda yang
terhormat?"
Pemuda itu menghela napas,
jawabnya, "Sebenarnya akupun ingin menyebutkan namaku agar membuat kaget
padamu, cuma sayang, aku tidak lebih hanya seorang Bu-beng-siau-cut (prajurit
tak bernama, keroco) saja."
Ong Uh-lau berdehem, lalu
menyela, "Inilah Yang-kongcu, Yang cu-kang, sahabat karib turun temurun
Bengcu."
Mendadak pemuda itu mengulap
tangannya, serunya dengan tertawa. "Ah, tak perlu kau bohongi dia dan juga
tidak perlu menyanjung diriku. Jangankan Ji Hong-ho tidak kenal ayah-bundaku,
sampai-sampai aku sendiripun tidak tahu siapa ayah-ibuku? Masa berani ku bicara
tentang persahabatan turun-temurun segala dengan sang Bengcu?"
Air muka Ong Uh-lau menjadi
merah, lalu berubah pucat. Sedangkan si baju hijau juga melengak.
Sebaliknya pemuda yang bernama
Yang Cu-kang lantas berkata pula sambil menuding hidungnya sendiri,
"Tahukah kau sebab apakah aku bernama Yang Cu-kang?"
Si baju hijau ingin tertawa,
tapi urung, jawabnya dengan rada gelagapan, "Oo, maaf, aku tidak
tahu."
Maka Yang cu-kang lantas
menyambung dengan bergelak tertawa, "Hahaha, sudah tentu kau tidak tahu,
sebab urusan inipun tiada sangkut-paut sedikitpun dengan kau, untuk apa kau
minta maaf?"
Dia angkat cawan dan menenggak
arak, lalu berkata pula, "Supaya kau tahu, bolehlah kuberitahukan padamu,
yaitu lantaran aku diselamatkan orang dari banjir Yangcukang (Yangtzekiang,
Tiangkang), makanya aku diberi nama Yang Cu-kang. Mungkin begitu aku lahir
lantas dibenci orang, sampai-sampai ayah-bundaku juga tidak sudi memiara diriku
dan dihanyutkan ke sungai. Agaknya mereka memang orang cerdik, seperti
sebelumnya sudah tahu setelah dewasa aku akan semakin dibenci orang."
Ong Uh-lau, Tong Bu-siang
gadungan dan si baju hijau sama melenggong dan tidak menanggapi, namun dalam
hati masing-masing sama berpikir bahwa pemuda ini ternyata cukup tahu diri
bahwa dirinya dibenci orang.
Yang Cu-kang lantas berduduk,
dengan tertawa ia berkata pula, "Untunglah kita tiada maksud bersahabat,
sebab itulah tidak menjadi soal meski kalian merasa muak padaku. Ketahuilah,
biarpun kalian benci padaku, rasanya juga belum tentu ku suka kepada kalian.
Jika bukan atas permintaan Ji Hong-ho, biarpun kalian sediakan tandu bagiku
juga ku malas datang ke sini."
Si baju hijau seperti tidak
tahan, katanya dengan dingin, "Sebab apa Bengcu menyuruh anda ke sini, sungguh
Cayhe rada-rada tidak paham."
"Apakah kau betul-betul
tidak paham?" Yang Cu-kang menegas dengan tertawa. "Padahal alasannya
sangat sederhana, yaitu kuatir jiwa kalian akan disambar orang, makanya aku
diminta agar datang kemari untuk melindungi kalian."
"Hm, sekalipun benar ada
orang mengincar jiwa kami, rasanya kami sendiri sanggup melayaninya, tidak
perlu Anda ikut berkuatir," jengek si baju hijau.
"Oo? apa betul kau mampu
melayaninya sendiri?" tanya Yang Cu-kang.
"Hmk!" si baju hijau
mendengus.
"Wah, jika demikian,
tentunya kau anggap kungfumu sendiri cukup hebat, begitu?" tanya Yang
Cu-kang dengan bergelak.
"Kalau bicara tentang
kungfu, rasanya Cayhe cukup percaya kepada diri sendiri," kata si baju
hijau.
"Hehe, mungkin kau anggap
kungfumu sendiri cukup hebat, tapi bagi pandanganku jelas tidak seberapa,"
kata Yang Cu-kang dengan terkekeh. "Kalau ku incar jiwamu umpamanya,
rasanya terlebih mudah daripada makan nasi."
Seketika si baju hijau
menggebrak meja dan berbangkit.
Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang
gadungan saling pandang sekejap, sedikitpun tidak ada tanda-tanda akan melerai,
sebab mereka juga ingin tahu sampai dimana lihaynya kungfu Yang Cu-kang ini.
Maka terdengar Yang Cu-kang
lagi menghela napas, ucapnya, "Eh, apakah kau bermaksud bertanding
denganku?"
"Ya, memang," jawab
si baju hijau dengan gusar.
"Baik!" kata Yang
Cu-kang.
Baru saja kata
"baik" itu terucap, sinar lampu berkedip, tahu-tahu Yang Cu-kang
sudah lenyap.
Jelas si baju hijau sangat
terkejut, baru saja ia hendak membalik tubuh, tapi belum lagi tubuhnya
berputar, tiba-tiba terasa ada orang meniup hawa di kuduknya.
"Coba, jika benar ku
incar jiwamu, tentu kepalamu sudah berpindah rumah, bukan?" demikian
terdengar Yang Cu-kang berucap perlahan di belakangnya.
Mendadak di baju hijau
berteriak, sebelah tangannya terus berayun ke belakang, serentak sinar perak
berhamburan. Tak tahunya di belakang ternyata tiada bayangan seorang pun, Yang
Cu-kang sudah menghilang.
Belasan titik sinar perak itu
semuanya menancap di dinding dan menimbulkan bunyi nyaring perlahan. Waktu ia
berpaling lagi, dilihatnya Yang Cu-kang sudah berduduk kembali di tempat
semula, seperti sejak tadi tidak pernah bergeser dari kursinya.
Gerakan pemuda ini sungguh
aneh dan cepat seperti hantu, bukan saja Ong Uh-lau dan lain-lain sama
melengak, sampai Ji Pwe-giok yang mengintai di balik dinding sana juga
terkesiap.
Kalau bicara tentang ginkang,
Pwe-giok merasa dirinya tidak mampu membandingi pemuda she Yang itu, bahkan Hay
tong-jing yang sombong itupun sukar menandinginya.
Si baju hijau tampak melongo
dengan keringat bercucuran, hangus yang terpoles di mukanya juga luntur
terguyur oleh air keringatnya sehingga mukanya kelihatan belang-bonteng.
"Nah, bagaimana? Sekarang
kau takluk tidak?" tanya Yang Cu-kang dengan tak acuh.
Si baju hijau mengepal kedua
tangannya dan tidak mampu menjawab.
Dengan tertawa Yang Cu-kang
berkata pula, "Sebenarnya kaupun tidak perlu sedih, sebaliknya kau harus
bergembira, sebab kalian mendapat pelindung seperti diriku ini, siapa lagi yang
berani ganggu seujung rambut kalian?"
Ong Uh-lau tertawa terkekeh,
ucapnya, "Betapa hebat Ginkang saudara, sungguh baru sekarang mataku
terbuka benar-benar."
Tong Bu-siang juga menyanjung,
"Kuyakin di seluruh dunia sekarang, tiada seorang pun yang memiliki
Ginkang melebihi Yang-heng."
Walaupun mereka menyanjung,
tapi sesungguhnya mereka memang terpengaruh juga oleh kehebatan Ginkang Yang
Cu-kang.
Tak terduga, biarpun
disanjung, sebaliknya Yang Cu-kang malah menarik muka dan menjengek. "Hm,
kata-kata kalian ini tidak beralangan bila diucapkan di dalam kamar ini, tapi
kalau kalian siarkan, bisa jadi kepala orang she Yang akan amblas oleh karena
propaganda kalian."
"Ah, janganlah Yang-heng
bergurau," ujar Tong Bu-siang, "Melulu Ginkang Yang-heng ini saja
masa perlu takut kepada orang lain?"
Yang Cu-kang mendengus,
"Hm, dalam pandangan kalian ginkangku tentu saja luar biasa, hal ini
lantaran kalian tidak pernah melihat orang yang benar-benar menguasai kungfu
sejati, mungkin mendengar saja kalian tidak pernah."
Tong Bu-siang merasa
penasaran, katanya, "Biarpun pengetahuan kami sangat cetek dan kurang
berpengalaman, tapi tokoh-tokoh Kangouw yang terkenal karena Ginkangnya rasanya
ada beberapa orang yang kuketahui."
"O, siapa-siapa saja yang
kau ketahui?" tanya Yang Cu-kang.
"Misalnya, Hu-yong-siancu
dari Hoa-san-pay, Hay-hong Hujin dari Pek-hoa-bun, An-lian-pancu dari Kay-pang,
lalu .... lalu tokoh-tokoh yang terkenal sebagai Bu-lim-jit-kim (tujuh unggas
dunia persilatan) dan Kanglam-su-yang (empat burung seriti dari Kanglam) serta
....."
"Huh, orang-orang begitu
juga kau sebut sebagai ahli ginkang?" jengek Yang Cu-kang.
"Meski Ginkang mereka
belum dapat menandingi Yang-heng, tapi mereka sudah tergolong jago kelas satu
dunia Kangouw."
"Kelas satu?" Yang
Cu-kang menegas. "Huh, mungkin kelas enam saja belum bisa."
Yang cu-kang menenggak araknya
lagi beberapa cawan, kemudian berkata pula dengan pelahan, "Tentunya
kalian sudah cukup lama berkecimpung di dunia Kangouw, tapi apakah kalian
pernah mendengar suatu tempat yang bernama "Hwe-sing-kok" (lembah
gema suara) ?"
Ong Uh-lau dan Tong Bu-siang
saling pandang sekejap, lalu menjawab sambil menggeleng, "Tidak .....
tidak pernah mendengar."
"Akupun tahu kalian pasti
tidak pernah mendengar tempat itu," ujar Yang Cu-kang, "Sebab kalau
kalian pernah mendengar, tentu saat ini kalian takkan duduk dan minum arak
bersamaku di sini."
Air muka Ong Uh-lau berubah,
ia tidak tahan, akhirnya ia bertanya, "Apakah di Hwe-sing-kok itu juga
terdapat seorang tokoh dengan Ginkangnya yang maha tinggi?"
Yang Cu-kang menghela napas
juga, ucapnya, "Tokoh di Hwe-sing-kok itu masa cuma Ginkangnya saja yang
maha tinggi, bahkan sudah tergolong Ginkang yang maha ajaib dan mungkin tidak
pernah kau bayangkan."
Ia minum secawan arak pula,
lalu menyambung lagi, "Kau tahu sebab apakah tempat itu bernama
Hwe-sing-kok? Sebab orang yang tinggal di sana mirip gema suara lembah
pegunungan, meski kalian dapat mendengar suaranya, tapi selamanya takkan
melihat bayangan mereka. Jika kau bersalah kepada mereka, mereka takkan
membunuhmu atau memukul dirimu, tapi begitu kau membuka suara segera kau akan
mendengar gema suara mereka yang sama dengan ucapanmu. Jika kau ketakutan dan
tiga hari tidak bicara, maka tiga hari itu juga tidak akan terjadi apa-apa,
tapi begitu kau bicara, di sampingmu segera akan timbul pula gema suara
mereka."
Pucat muka Ong Uh-lau, katanya
dengan menyengir, "Tapi ... tapi kalau mereka cuma menirukan caraku bicara
kan juga tiada yang perlu ditakuti?"
"Kalau mereka cuma menirukan
caraku bicarakan juga tiada yang perlu ditakuti?" kata Yang Cu-kang.
Ong Uh-lau melengak karena
ucapan Yang Cu-kang itu jelas ulangan kata-katanya tadi, kembali ia menyengir
dan berucap, "Ah, kenapa saudara berkelakar denganku."
"Ah, kenapa saudara
berkelakar denganku!" Yang Cu-kang menirukan pula.
"Ai, saud ....saudara ini
...."
"Ai, saud ....saudara ini
...."
Butiran keringat sudah
memenuhi jidat Ong Uh-lau, seketika ia tutup mulut dan tidak berani bersuara
lagi.
Yang Cu-kang tertawa, katanya,
"Nah coba, aku cuma menirukan tiga kalimat ucapanmu, kau pun dapat melihat
siapa yang menirukan suaramu, dan kau sudah merasa kesal dan risih, maka boleh
kau bayangkan, apabila ada seorang yang tak kelihatan yang senantiasa, setiap
saat setiap detik, selalu menirukan caramu bicara, kemanapun kau lari asalkan
kau buka mulut, maka suaramu itu seakan-akan lantas bergema di sampingmu. Tapi
dengan cara apapun juga, dengan usaha bagaimanapun tetap takkan kau lihat
bayangannya."
Dia berhenti sambil melototi Ong
Uh-lau, "Coba jawab, apakah kau dapat hidup tenteram dengan cara
demikian?"
Ong Uh-lau sudah mandi
keringat, ia terdiam cukup lama, akhirnya menghela napas dan menjawab dengan
menyengir, "Hidup dalam keadaan begitu mungkin akhirnya aku bisa jadi
gila."
"Hm, dia justeru ingin
membuatmu gila." jengek Yang Cu-kang. "Jika kau menyalahi dia, meski
dia tidak membunuhmu, tapi dia akan memaksa kau bunuh diri. Setahu kami, orang
yang pernah digoda oleh mereka, tiada seorangpun yang sanggup bertahan lebih
dari tiga bulan."
Tanpa terasa Tong Bu-siang
juga mengusap keringat di dahinya, tanyanya dengan suara parau:
"Masa di dunia ini
benar-benar ada orang yang menakutkan dengan ginkang sehebat ini?"
"Betapa menakutkan
Ginkang mereka mana dapat kulukiskan seluruhnya," kata Yang Cu-kang,
"kalau kau sendiri tidak pernah mengalami, selamanya juga sukar
membayangkannya."
"Jika demikian, kita
perlu hati-hati dan jangan sampai berbuat salah kepada mereka," ujar Tong
Bu-siang sambil menyengir.
"Hal ini memang kalian tidak
perlu kuatir, mereka tidak nanti mencari setori kepada kalian, jika kalian
ingin dicari oleh mereka, sedikitnya kalian harus pulang dan giat berlatih
kungfu selama 20 atau 30 tahun lagi."
Meski mendongkol di dalam hati
karena merasa terhina, tapi Tong Bu-siang dan Ong Uh-lau tidak berani lagi
membuka mulut.
Dengan tenang Yang Cu-kang
menyambung pula, "Kalau bicara tentang Ginkang, tokoh-tokoh dari
Hwe-sing-kok itulah yang dapat diibaratkan rajawali diangkasa, orang-orang yang
menamakan dirinya Bu-lim-jit-kim atau Kanglam-su-yang apa segala, kalau
dibandingkan mereka, paling-paling hanya dapat dianggap sebagai cacing
saja."
"Lantas saudara sendiri
bagaimana?" tanya Ong Uh-lau tak tahan.
"Aku? Paling-paling hanya
dapat dianggap sebagai seekor burung pipit, begitulah," sahut Yang Cu-kang
dengan tertawa.
"Jika demikian, kan
kepala Anda sendiripun setiap saat bisa amblas diprotol orang, cara bagaimana
pula engkau akan melindungi orang lain?" tiba-tiba si baju hijau tadi
mengejek.
"Untuk ini tidak perlu
kalian kuatir." kata Yang Cu-kang dengan tak acuh, "sebab orang yang
mengincar nyawa kalian itu melulu diriku saja sudah cukup kulayani, sedangkan
orang yang mampu memprotoli kepalaku itu ..... Haha, seumpama kau potong
kepalamu sendiri dan diantar kehadapan mereka, mungkin memandang sekejap saja
mereka tidak sudi, sebab jiwa kalian dalam pandangan mereka tidak laku sepeser
pun."
Si baju hijau terkesima
sejenak, tanpa bersuara mendadak ia melangkah pergi. Meski Ong Uh-lau dan Tong
Bu-siang gadungan itu hendak mencegahnya juga tidak keburu lagi.
"Biarkan dia pergi."
jengek Yang Cu-kang.
"Orang ini meski tidak
bernilai sepeser pun, kalau dia pergi dengan penasaran, bisa jadi akan
menimbulkan hal-hal yang tidak baik," ujar Ong Uh-lau.
"Kau kuatir dia akan membocorkan
rahasia?" tanya Yang Cu-kang.
"Ya, meski Bengcu sudah
berunding dan sepakat dengan dia, tapi orang macam begini kalau sampai hati
mengkhianati sanak keluarga sendiri, mustahil tidak tega mengkhianati
kita."
"Kalau begitu, mengapa
tidak kau kejar ke sana dan bunuh dia", ujar Yang Cu-kang.
Ong Uh-lau seperti melengak
dan termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata dengan tertawa, "Jangan-jangan
Anda sengaja membikin dongkol dia supaya angkat kaki dari sini?"
Yang Cu-kang menuang lagi
araknya, sahutnya tak acuh, "Betul, berada di tempat begini paling asyik
untuk mengobrol dan menghibur diri, jika mesti putar golok dan main pedang, kan
tidak cocok dengan keadaan tempat ini. Untuk membunuh orang tidak menjadi soal
bagiku, tapi mengacaukan kesenangan, inilah yang tidak dapat kulakukan."
Kembali Ong Uh-lau termenung
sejenak, katanya kemudian. "Masih dua-tiga jam lagi fajar akan
menyingsing, kukira dua-tiga jam kan cukup?"
Yang Cu-kang hanya menatap
arak dalam cawan, katanya dengan dingin, "Bila urusan ini tidak dapat kau
selesaikan sebelum fajar tiba, maka sebaiknya kaupun mencari akal untuk kabur
dan menyelamatkan nyawa saja."
Air muka Ong Uh-lau berubah
pucat, tanpa bicara ia terus berbangkit dan menerjang keluar.
Yang Cu-kang masih terus
menatap araknya, seperti ingin minum arak dengan matanya, ingin mengguyur rasa
sedih dalam matanya dengan arak.
Tong Bu-siang tidak mengerti
mengapa pemuda yang dingin dan pongah itu mendadak menjadi sedih, terpaksa
iapun tutup mulut dan tidak berani tanya.
Sampai sekian lama barulah
Yang Cu-kang berkata pula dengan perlahan, "Tahukah kau sebab apa kusuruh
dia membunuh orang, tapi aku sendiri berduduk di sini ?" - Ia angkat cawan
dan menenggak lagi araknya.
Diam-diam Tong Bu-siang
berpikir kalau dalam berduduk dan minum arak di sini, untuk apa susah payah
membunuh orang? Walaupun demikian ia membatin, dengan sendirinya ia tidak
berani menyatakan perasaannya itu, dia menjawab dengan tertawa. "En...
entah, aku tidak tahu."
"Sebabnya, selama ini
akupun tidak pernah membunuh orang" tutur yang Cu-kang dengan suara berat.
"Jadi aku tidak ingin melanggar pantangan membunuh demi orang itu."
Tong Bu-siang melengak,
tanyanya: "Haah, Anda benar-benar tidak pernah membunuh orang?"
"Kau tidak percaya?"
yang Cu-kang tertawa, tertawa yang hampa, pelahan ia menyambung pula.
"Sebenarnya akupun ingin mencicipi bagaimana rasanya membunuh orang, Cuma
sayang, sejak kemunculanku belum pernah menemukan seorang yang berharga untuk
kubunuh."
"Orang macam apakah yang
sekiranya berharga untuk kau bunuh?" tanya Tong Bu-siang gadungan.
Mendadak Yang Cu-kang
menatapnya tajam-tajam dan menjawab: "Akan kukatakan padamu bilamana sudah
kutemukan orangnya!"
Tong Bu-siang merasa sinar
mata orang tiba-tiba berubah menjadi buram, seperti mata ikan mati,
menyeramkan, ia hanya memandang sekejap saja dan merinding.
Untung Yang Cu-kang lantas
berdiri, gumannya: "Di dalam kamar masih ada yang menunggu, tempo adalah
uang, maaf, tak kutemani kau."
"Apakah nona itu sudah
tidur?" tanya Tong Bu-siang dengan was-was.
"Jangan kuatir"
jengek Yang Cu-kang. "Tidak nanti dia mendengar rahasia kita ini, hanya
saja sampai saat ini tidak tega kucabut nyawanya… sedikitnya sampai besok
malam…"
"Jika demikian, silahkan
anda tidur saja sepuasnya…"
"Kau tidak ingin pergi
darisini?"
"Pergi?" Tong
Bu-siang melengak. "Pergi ke mana?"
"Tong Bu-siang dengan
sendirinya harus pulang ke Tong keh-ceng."
Kembali Tong Bu-siang
melengak, katanya kemudian dengan tergagap: "Masa sendirian kupergi ke
sana?"
"Memangnya kau anak kecil
dan perlu diantar?"
"Akan… akan tetapi…"
Yang Cu-kang menarik muka,
katanya: "Masa kau lupa siapa dirimu saat ini?"
Tong Bu-siang menunduk,
jawabnya: "Baiklah, sekarang juga ku berangkat."
Yang Cu-kang tertawa cerah,
katanya: "Berangkatlah lekas, mungkin puteri kesayanganmu itu sedang
mengharapkan kedatanganmu!"
Dan baru saja Tong Bu-siang
melangkah, tiba-tiba Yang Cu-kang bertanya pula, "Setibanya di rumah, apa
yang harus kau kerjakan, apakah kau masih ingat?"
"Mana berani
kulupakan?" jawab Tong Bu-siang.
"Bagus, berangkatlah
kau," kata Yang Cu-kang, "besok malam mungkin kau sudah sampai di
Tong-keh-ceng, sebaiknya malam itu juga kau selesaikan beberapa urusanmu itu,
dalam tiga hari bilamana tidak kau selesaikan, sebaiknya kaupun mencari akal
untuk menyelamatkan diri saja."
Dia tertawa, lalu mendelik dan
menyambung dengan sekata demi sekata, "Pada waktu bicara hendaknya kau
hati-hati, bukan mustahil aku selalu ikut mendengarkan di belakangmu."
- oOo oOo -
Begitu Tong Bu-siang
berangkat, berbareng Pwe-giok, Lui-ji dan Ki Leng-hong lantas ikut keluar juga,
cuma mereka tidak berangkat menuju ke arah yang ditempuh tong bu-siang gadungan
itu.
Ki Leng-hong berkata,
"Untuk membongkar tipu muslihat Ji Hong-ho gadungan itu, kunci utamanya
kan terletak pada diri tong bu-siang tiruan itu, mengapa tidak kau kuntit
jejaknya ?"
"Untuk membongkar rahasia
Tong Bu-siang palsu itu, kunci utamanya terletak pada si baju hijau, maka kita
tidak mau kubiarkan di dibunuh oleh Ong Uh-lau sehingga hilanglah saksi hidup,"
ujar Pwe-giok.
"Menurut kau, sebenarnya
siapa dia?"
"Saat ini tidak ada waktu
bagiku untuk memikirkannya, sebab pikiranku lagi kusut."
Ki Leng-hong termenung
sejenak, katanya pula. "Tapi beberapa urusan yang akan diselesaikan Tong
Bu-siang setibanya di rumah itu tentu sangat besar pula sngkut pautnya dengan
urusanmu."
"Betul," Lui-ji ikut
bicara, "sepulangnya tentu segera ia perintahkan anak muridnya membunuh
orang, siapapun yang akan mereka bunuh, orang lain tidak dapat
mencegahnya."
"Selain itu," tukas
Ki Leng-hong, "bilamana resep pembuatan senjata rahasia berbisa keluarga
Tong itu sampai diserahkan kepada Ji Hong-ho, hal ini pun bukan suatu urusan
kecil, sebab itulah kita harus berusaha untuk merintanginya."
"Meski urusan ini sangat
penting, tapi yang lebih penting kukira tetap si baju hijau yang misterius
itu," ujar Pwe-giok. "Asalkan dapat menemukan dia, maka urusan lain
pasti akan terpecahkan dengan sendirinya."
Mendadak Ki Leng-hong
berhentikan langkahnya, katanya, "Baik, boleh kalian mencari si baju
hijau, biar ku kembali kesana untuk mengawasi tingkah laku orang she Yang itu,
toh dengan kekuatan kalian berdua rasanya sudah lebih daripada cukup untuk
melayani Ong Uh-lau dan sibaju hijau."
"Begini juga baik,"
kata Pwe-giok.
Leng-hong tertawa, katanya,
"Hendaknya kau pun jangan lupa janji kita, kalau bicara sebaiknya juga
berhati-hati, sebab bukan mustahil senantiasa akupun mengintil dan mendengarkan
di belakangmu."
-o0o-
Malam yang sejuk, suasana
sunyi senyap.
Embun yang menghiasi jalan
raya terbuat dari balok batu itu gemerdep laksana kerlip bintang di langit.
Kecuali suara kentongan yang terkadang berkumandang dari kejauhan hampir boleh
dikatakan tidak terdengar lagi suara lain.
Di jagat raya yang luas ini
seolah-olah tertinggal Cu Lui-ji dan Ji Pwe-giok berdua saja.
Tadi Lui-ji hanya
mendengarkan, melihat dan terheran-heran serta tiada hentinya menerka dan
menduga, urusan lain sudah terlupakan seluruhnya.
Tapi sekarang, setelah
dihembus angin malam yang sejuk, disorot oleh cahaya bintang yang redup,
tiba-tiba teringat olehnya apa yang dilakukannya terhadap Pwe-giok itu ....
Seketika hatinya seperti
dipuntir-puntir, tanpa terasa air matanya akan menetes lagi.
Pwe-giok berjalan dengan
cepat, air mukanya juga suram, meski sorot matanya jelalatan dan selalu
mengamati segala sesuatu di sekitarnya, tapi sama sekali tidak memandang Lui-ji
barang sekejap pun.
"Apakah dia menganggap
aku lagi mengganggunya?" demikian pikir si nona.
Mendadak ia berhenti dan
berkata, "Aku ... akupun akan pergi."
"Pergi?" Pwe-giok
menegas dan melengak sambil berpaling. "Hendak ke mana kau?"
Lui-ji menggigit bibir dan
tertawa, katanya, "Banyak sekali tempat yang dapat ku datangi, kukira
tidak perlu kau kuatir."
Kecuali orang buta, siapapun
dapat melihat tertawanya yang hampa dan pedih itu. Sungguh Pwe-giok berharap
dirinya bisa mendadak berubah menjadi orang buta saja.
Sungguh ia berharap hatinya
bisa berubah menjadi keras dan berkata kepada si nona,
"Baiklah jika kau mau
pergi silahkan pergi saja, meski menguatirkan kau berkelana sendirian, tapi
bila kau ikut bersamaku mungkin akan lebih banyak bahayanya, sebab aku memang
tidak sanggup melindungi dirimu, keadaan tidak mengijinkan kubawa serta kau.
Jika kau ikut padaku bisa jadi akan lebih membuatmu berduka, sebab tidak
mungkin dapat kutemani kau untuk selamanya."
Apa daya, ia tidak tahu cara
bagaimana supaya dia dapat mengucapkan kata-kata itu.
Maka ia tidak bicara apa-apa,
hanya pelahan ia pegang tangan Lui-ji, walaupun disadarinya dengan cara demikian
tentu akan menambah runyamnya persoalan.
Tapi dia tidak mempunyai cara
lain.
Hari segelap itu, angin
sedemikian dingin, mana dia tega membiarkan anak dara sebatangkara ini pergi
mengembara seorang diri.
Air mata Lui-ji akhirnya juga
bercucuran....
Pada saat itulah
sekonyong-konyong terdengar suara gemeretak roda kereta dan ringkik kuda dari
kejauhan dan makin lama semakin mendekat.
Sudah jauh malam begini,
mengapa ada kereta kuda dilarikan secepat ini ?
Kebetulan di tepi jalan sana
ada sebuah bak air minum kuda, cepat Pwe-giok menarik Lui-ji dan melompat
kesana. Baru saja mereka berjongkok, cepat sekali kereta kuda itu sudah muncul
dari tikungan jalan terus dilarikan ke arah sini.
Bagi pandangan orang lain
kereta ini hanya sebuah kereta berkabin yang sangat umum, tapi Pwe-giok yakin
bila kereta ini kereta berkabin biasa tentu takkan menempuh perjalanan pada
tengah malam buta begini.
Tak terduga, setelah memasuki
jalan raya ini, lari kereta kuda lantas diperlambat, lalu berhenti dan dari
dari dalam kabin kereta mendadak menongol sebuah kepala orang perempuan.
Ketika Pwe-giok mengintip dari
balik bak air, dilihatnya rambut perempuan itu hitam gompiok dan digelang
dengan hiasan sebuah tusuk kundai kemala hijau, cuma mukanya tidak sempat
terlihat.
Terdengar si kusir lagi
berkata:
"Di depan sana adalah
gapura janda Ong, apakah perlu meneruskan perjalanan kesana ?"
Perempuan tadi berpikir
sejenak, jawabnya kemudian: "Sudahlah, tunggu saja di sini."
Sebentar lagi ia bertanya
pula: "Saat ini kira-kira sudah pukul berapa ?"
Si kusir mengusap keringat
dengan sebuah handuk kecil sambil menjawab,
"Sudah lewat kentongan ke
empat, hampir kentongan kelima."
"Waktu yang dijanjikan
adalah kentongan ketiga (antara pukul 1 tengah malam), jadi kedatangan kita sudah
terlambat, mengapa dia malah belum sampai ?"
Suaranya penuh rasa gelisah,
mirip seorang gadis yang baru saja minggat dari rumah, tapi setiba ditempat
yang dijanjikan ternyata tidak bertemu sang kekasih.
Tak terduga, di dalam kabin
kereta ada lagi suara seorang perempuan dan bertanya,
"Bisa jadi dia tidak
sabar menunggu dan mencari kita ke tempat lain."
Perempuan pertama seperti
tambah gelisah, ucapnya,
"Padahal dia tahu kita
pasti datang, mengapa tidak menunggu dulu ?"
"Jangan kuatir, dia pasti
datang," kata perempuan yang lain.
Belum habis ucapnya, mendadak
sesosok bayangan melayang turun dari wuwungan rumah seberang sana, di bawah
remang cuaca malam, wajahnya kelihatan kelam dan sukar diketahui bagaimana
mukanya.
Akan tetapi Pwe-giok sudah dapat
melihatnya, jelas orang ini adalah si baju hijau yang misterius itu. Kiranya
dia juga sudah berjaga-jaga sebelumnya dan telah menyiapkan orang menunggunya
di sini.
Terlihat si baju hijau juga
sangat gugup dan gelisah, begitu melayang turun ia lantas menggerundel:
"Tahukah kau sudah pukul
berapa sekarang ?"
"Justru lantaran kami
memburu waktu, ditengah jalan as kereta patah sehingga datang
terlambat..."
Demikian perempuan pertama
tadi memberi penjelasan.
"Dan bagaimana dengan kau
? mengapa kau tidak menunggu ?"
"Soalnya aku merasa di
belakangku seperti ada orang menguntit, maka aku sengaja berputar dulu ke
tempat lain,"
Tutur si baju hijau dengan
suara parau, sembari bicara ia terus menyusup ke dalam kereta.
Kepala perempuan yang menongol
tadi juga mengkeret ke dalam, terdengar dia bertanya,
"Bagaimana, urusannya
sudah beres ?"
"Wah, ceritanya sangat
panjang, lekas berangkat saja !" sahut si baju hijau.
Segera si kusir bersuara
menghalau kudanya dan kereta itu dilarikan lagi ke depan dengan cepat...
Biarpun Ong Uh-lau sudah
cacat, betapapun dia adalah seorang tokoh Kangouw kawakan, tapi si baju hijau
ini ternyata mampu meloloskan diri dari penguntitannya, jelas orang inipun
cukup cerdik dan cekatan.
Perempuan yang berada di dalam
kereta itu tampaknya juga sangat prihatin, pula perempuan umumnya juga jauh
lebih cermat dan hati-hati daripada kaum lelaki, bilamana sekarang hendak
menguntit jejak mereka tanpa diketahui, rasanya pasti bukan suatu pekerjaan
yang mudah.
Apalagi lari kereta itu sangat
cepat, dengan tenaga Pwe-giok dan Lui-ji sekarang mungkin sukar mengintil
secara ketat di belakang mereka.
Selagi Pwe-giok ragu-ragu,
mendadak Lui-ji melompat keluar dari balik bak air, tubuh si nona yang kecil
mungil dan gesit laksana kucing, sekaligus ia melompat ke belakang kereta terus
menyusup ke bawah.
Pwe-giok ingin mencegah, tapi
sudah terlambat, dilihatnya Lui-ji sudah menempel di bawah kereta, tangannya
yang kecil tampak menggapai pelahan padanya, lalu menghilang dalam kegelapan
bersama kereta itu.
Nona cilik itu sungguh
pemberani, meski merasa kuatir, terpaksa Pwe-giok mengikutinya dari kejauhan.
Dalam keadaan demikian ia lebih-lebih harus berusaha agar tidak diketahui
lawan, sebelum jelas meraba seluk beluk dan asal usul lawan ia lebih-lebih
tidak boleh sembarang bertindak.
Untunglah di tengah malam buta
yang sunyi senyap, meski kereta itu sudah dilarikan sangat jauh toh suara
gemertak rodanya masih terdengar, dan Pwe-giok lantas menyusul ke sana menuruti
arah suara roda kereta.
Kota ini masih asing bagi
Pwe-giok, hakekatnya ia tidak dapat membedakan jalan, ia cuma tahu jalan yang
dilalui kereta itu semuanya jalan batu yang rajin.
Bar sekarang ia mengetahui
kota ini ternyata sangat besar, sudah cukup lama dia menguntit kereta itu dan
belum lagi keluar kota.
Kini bajunya sudah basah kuyup
oleh keringat, tenaga pun mulai tidak tahan, sebab meski dia baru tidur nyenyak
cukup lama, tapi sesudah bangun belum lagi makan sebutir nasipun.
Manusia adalah besi, nasi
adalah baja, betapa kuatnya seseorang juga tidak mampu melawan rasa lapar.
Dia boleh tiga hari tiga malam
tidak tidur dan dapat bertahan sekuatnya, tapi satu hari tidak makan nasi saja
rasanya sudah lemas, kedua kaki terasa lunglai, sekujur badan terasa kosong.
Untunglah pada saat itu laju
kereta mulai lambat, suara detak kaki kuda yang semula sangat kerap kini sudah
mulai jarang-jarang.
Pwe-giok menghela nafas lega,
baru saja ia bermaksud berhenti untuk mengusap keringat, begitu dia mengangkat
kepala memandang kesana, seketika ia tercengang, air mukanya juga berubah
pucat.
Dilihatnya balok batu jalan
raya yang licin dan gemerlap dengan butiran embun, dikejauhan sana ada bayangan
gapura besar, di tepi jalan juga ada bak air tempat minum kuda...
Hah, tempat ini bukankah
tempat yang sudah dilaluinya tadi ?
Busyet! Jadi kereta ini hanya
berputar kayun kian kemari didalam kota. Apakah si baju hijau terlalu iseng
habis makan kenyang, maka tengah malam buta pesiar menumpang kereta.
Diam-diam Pwe-giok sudah
merasakan gelagat tidak enak, segera ia memburu kesana sekuatnya, dilihatnya
kereta kuda itu masih berjalan pelahan ke depan. Jelas kelihatan kuda kelabu
berceplok hitam, kereta berkabin yang cukup indah serta si kusir yang kepalanya
berikat handuk putih....
Semuanya itu dapat dilihat
jelas oleh Pwe-giok, jelas-jelas pula kereta ini adalah kereta yang di
kuntitnya tadi.
Tapi mengapa kereta ini hanya
berputar-putar saja didalam kota, bahkan berputar balik ke tempat semula.
Sesungguhnya apa kehendak si baju hijau yang misterius itu ? sungguh Pwe-giok
merasa bingung dan sukar mencari jawabannya.
Ia menjadi serba runyam. Coba
bayangkan, dia mengejar setengah malam, letihnya setengah mati, hasilnya dia
kembali ke tempat semula. Jika tahu begini sebelumnya, lebih baik dia menunggu
saja di sini.
Sementara itu kentongan kelima
(antara pukul 4-5) sudah lewat, fajar belum lagi menyingsing dijalan raya masih
jarang ada orang lalu, hanya di ujung jalan sana ada sebuah warung yang sudah
menyalakan lampu.
Kiranya warung ini menjual
tahu, angin malam yang sejuk kini sudah membawa bau sedap bunga tahu serta
wedang kacang hijau,
Dalam keadaan dan saat
demikian, bau sedap ini bagi Pwe-giok mungkin tergolong daya tarik yang paling
besar di dunia ini, hampir saja dia tidak tahan dan ingin menyerbu ke dalam
warung itu untuk makan sekenyangnya.
Akan tetapi ia tetap bertahan,
ia tidak boleh meninggalkan kereta itu.
Siapa tahu kereta itu lantas
berhenti juga di depan warung itu. Cepat Pwe-giok melompat ke emper rumah yang
gelap di tepi jalan, ia sembunyi di balik sebuah tong sampah.
Dilihatnya si kusir turun dari
keretanya dengan kemalas-malasan, ia minta satu mangkuk wedang kacang, sambil
berjongkok di depan warung ia minum wedang kacang itu dengan nikmatnya. Sembari
minum, terkadang ia pun berhenti dulu untuk menghela nafas, rasanya seperti
sangat puas dengan wedang kacang yang sedap itu.
Anehnya si baju hijau dan
kedua perempuan tadi tidak kelihatan ikut turun, didalam kereta juga tiada
sesuatu suara apapun, padahal jejak mereka tadi kelihatan sangat misterius dan
dilakukan dengan tergesa-gesa, mengapa sekarang mereka cukup sabar berduduk
didalam kereta untuk menunggu si kusir minum wedang kacang dengan pelahan ?
Makin dipikir makin dirasakan
oleh Pwe-giok ada sesuatu yang tidak beres, waktu ia mengintai ke bawah kereta,
keadaan gelap gulita dan tidak terlihat apapun, entah Lui-ji masih menempel di
situ atau tidak.
Mau tak mau Pwe-giok merasa
cemas dan gelisah.
Dalam pada itu si kusir sudah
habis minum wedang kacangnya, dia berdiri dan mengulet, dilemparkannya beberapa
mata uang ke dalam mangkuk, tampaknya dia hendak berangkat lagi.
Betapapun sabarnya Pwe-giok
kini juga tidak tahan lagi, mendadak ia keluar dari tempat sembunyinya, ia
menggapai dan memanggil,
"Hei, kusir, kereta itu
menerima penumpang tidak ?"
Kusir itu mengusap mukanya
dengan handuknya yang sudah kumal, jawabnya dengan tertawa:
"Jika kereta kosong tidak
terima penumpang, apakah kusirnya tidak makan angin belaka ?"
Kereta kosong ?!
Seketika tangan Pwe-giok
berkeringat dingin, dengan langkah lebar ia lantas mendekati kereta, mendadak
ia menyingkap kerai pintu kereta dan melongok ke dalam....Benar juga, kabin
kereta kosong melompong, tiada seorang pun. Waktu ia melongok ke bawah kereta,
Cu Lui-ji juga tidak kelihatan lagi.
Keruan kejut Pwe-giok tak
terkatakan, ia tidak pantang apa-apa lagi, mendadak ia menubruk maju, baju
kuduk kusir itu dicengkeramnya, bentaknya dengan bengis,
"Kemana perginya para
tamu penumpangmu tadi ?"
Ya, kemana perginya para
penumpangnya tadi ?
Dan kemana pula perginya
Lui-ji ?
Kereta tadi dilarikan dengan
sangat cepat, Lui-ji sembunyi di bawah kereta, tulang sekujur badan seakan-akan
retak karena diguncangkan oleh kereta itu. Debu yang ditimbulkan oleh kaki kuda
dan roda kereta seolah-olah sengaja memusuhi dia, selalu menerobos ke dalam
hidungnya. Sungguh ia merasa hidungnya itu hampir berubah menjadi cerobong
asap.
Penderitaan itu sungguh sukar
ditahan, tapi Lui-ji terpaksa menggertak gigi dan bertahan sedapatnya. Dia
bukan saja harus menahan nafas, bahkan juga harus tutup mulut, malahan harus
memegangi as roda sekuatnya supaya dia tidak terjatuh dan mungkin digilas oleh
roda kereta.
Untunglah pada saat itu dari
dalam kabin terdengar suara orang berbicara, hal ini sedikit banyak telah
memencarkan perhatiannya dan juga memencarkan rasa deritanya, maka ia lantas
pasang telinga dan mendengarkan dengan cermat....
Didengarnya si perempuan
pertama tadi sedang berkata,
"Ai, selama ini, sungguh
aku hampir mati rindu padamu. Bagaimana dengan kau? Rindu padaku tidak ?"
Terdengar si baju hijau lagi
terbatuk-batuk.
Maka perempuan itu berkata
pula:
"Apakah kau tidak
merindukan diriku ?...Mengapa kau tidak bicara ?"
Lalu suara perempuan yang lain
mengikik tawa dan berkata,
"Tidak perlu kau pantang,
ada apa boleh kau katakan saja, anggaplah aku sudah tidur, bukan saja aku tidak
mendengarkan percakapan kalian, akupun pasti tidak akan mengintip."
Karena itu si baju hijau
barulah menghela nafas, ucapnya,
"Jika aku tidak
memikirkan dirimu, mana.. mana bisa kulakukan hal-hal demikian ini !"
"Apakah kau menyesal
?" tanya si perempuan.
"Tidak, sama sekali aku
tidak menyesal,"
Jawab si baju hijau dengan
suara lembut tapi tegas.
"Demi kau, apapun juga
dapat kulakukan dan pasti takkan menyesal."
Perempuan tadi kedengaran
bersuara tertahan seperti mendadak dipeluk oleh si lelaki, habis itu lantas
tidak terdengar suara apa-apa lagi.
Meski Lui-ji tidak paham apa
yang terjadi, tapi diketahuinya juga bahwa dalam keadaan begitu rasanya berdiam
akan lebih baik daripada bersuara.
Ia cuma heran apakah si baju
hijau rela menjual keluarga Tong hanya demi membela kekasihnya itu ? lantas
siapakah gerangan perempuan itu ? ada hubungan apa pula antara dia dengan
keluarga Tong di Sujwan.
Selang agak lama baru
terdengar si perempuan menghela nafas lega, nafas kepuasan. Lalu sambil tertawa
dan setengah mengomel ia menghardik,
"Kau budak mampus, katamu
tidak akan mengintip, mengapa sekarang mengintip ?"
Perempuan yang lain tertawa
ngikik, jawabnya,
"Habis, siapa yang tahan
melihat kedua kakimu menyepak kian kemari, malahan kusangka kau mengidap
penyakit ayan."
"Sialan !" omel si
perempuan pertama.
"Setan cilik ini mungkin
lagi birahi dan ingin punya lelaki, makanya bicara seperti orang gila
begini,"
Perempuan lain menimpali dengan
tertawa, "Ai, entah siapa yang lagi birahi dan ingin dipeluk lelaki,
sampai satu detik saja tidak tahan, masa di dalam kereta lantas hendak...hendak
main..."
Cepat si baju hijau
batuk-batuk lagi, selanya:
"Eh, apakah kalian sudah
mengatur tempat tujuan kita ?"
"Jangan kuatir,"
kata perempuan yang lain,
"Begitu toaci menerima
beritamu, segera semua urusan telah dibereskannya. Lantaran kuatir siang hari
tidak leluasa menempuh perjalanan cepat, dia malah sudah lebih dulu menyuruh
orang mengatur suatu tempat tinggal di luar kota, dan sekarang juga kita akan
menuju kesana untuk istirahat dan besok malam baru kita berangkat lagi."
Dia mengikik tawa, lalu
menyambung:
"Padahal Toaci bukan
kuatir tidak leluasa menempuh perjalanan di siang hari segala, dia hanya ingin
anu dulu denganmu...."
"Hus, setan cilik, apa
kau minta kurobek mulutmu ?!" bentak perempuan yang pertama.
Tampaknya kedua taci beradik
itu bersenda-gurau dengan gembira, sedangkan si baju hijau agaknya menanggung
sesuatu pikiran, dia berkata dengan suara tertahan,
"Siapakah yang kau suruh
mengatur tempat tinggal itu ?"
"Dengan sendirinya orang
yang dapat dipercaya," jawab Si perempuan.
"Ai, orang yang dapat
dipercaya di dunia ini sesungguhnya tidak banyak," kata si baju hijau,
"Untuk itu kau..."
"Aku cuma menyuruh dia
mengatur pondokan dan tidak kukatakan untuk keperluan apa, dia juga tidak kenal
kau..." demikian kata si toaci.
"Tapi kalau kau masih
berkuatir, setiba di sana biarlah nanti kubunuh dia."
Sampai di sini, Lui-ji terkejut
pula.
Sungguh tak terpikir olehnya
kedua taci beradik yang menarik ini ternyata berhati sekeji itu, membunuh orang
dianggapnya seperti makan nasi sehari-hari saja.
Selang sejenak, si baju hijau
berkata pula:
"Tempat yang telah diatur
untuk kalian itu apakah sudah diketahui terletak dimana ?"
"Begitu keluar kota
segera kita dapat menghubungi dia." ujar si Toaci.
Si baju hijau termenung
sejenak, katanya lagi,
"Jika demikian, boleh kau
suruh kusir mengendarai keretanya berputar kayun saja didalam kota."
"Berputar kayun di dalam
kota ? untuk apa ?" si Toaci menegas dengan melengak.
"Setiba di depan sana
kita lantas melompat keluar, kita keluar kota sendiri dengan berjalan kaki,
biarkan kereta ini tetap berputar di dalam kota, dengan demikian, andaikan ada
orang menguntit kereta ini juga takkan menjadi soal lagi."
Perempuan yang lain tertawa,
ucapnya,
"Sungguh tidak nyana
nyalimu berubah menjadi sekecil ini, kuingat dahulu kau bukan seorang penakut
begini."
"He, jangan..
jangan-jangan telah terjadi sesuatu ?" tanya sang Toaci.
"O, tidak, semua syaratku
sudah diterima mereka seluruhnya," kata si baju hijau.
"Kalau begini, urusannya
kan sudah berhasil apalagi yang kau takutkan ?" ujar si Toaci.
Si baju hijau menghela nafas,
katanya,
"Justru lantaran urusan
sudah jadi, maka aku harus lebih berhati-hati."
"Aneh, kenapa bisa begitu
?" tanya sang toaci.
"Sebab selalu kurasakan
ada sesuatu yang tidak enak, bisa jadi mereka akan membunuhku untuk menutup
mulutku !"
"Siapa saja yang bertemu
denganmu tadi ?" tanya si perempuan kedua tadi.
"Yaitu begundal Ji
Hong-ho yang paling dipercaya, Ong Uh-lau dan .... dan Tong Bu-siang palsu
itu."
Perempuan kedua itu menjengek,
"Hm, jika menguntit, jangan harap lagi mereka dapat pulang dengan
hidup."
"Kedua orang ini tidak
menguatirkan, tapi masih ada seorang lagi yang sangat menakutkan," tutur
si baju hijau.
"Siapa dia?"
"Dia mengaku bernama Yang
Cu-kang, entah nama asli atau samaran."
"Apakah ilmu silat orang
ini sangat tinggi?"
Si baju hijau menghela napas,
katanya, "Selama hidupku ini sungguh belum pernah melihat jago silat yang
lebih hebat dari dia, di depannya kungfuku yang kulatih selama berpuluh tahun
ini sama seperti permainan anak kecil yang tiada artinya."
Agaknya kedua taci beradik
itupun rada terkejut, seketika keadaan menjadi hening.
Lalu si baju hijau berkata
pula, "Apapun juga tidak ada jeleknya jika kita berhati-hati sedikit,
lebih-lebih .... " dia menghela napas panjang, lalu menyambung pula,
"Segala sesuatu urusanku kan lebih ruwet daripada kalian ...."
Dengan tertawa perempuan muda
itu memutus ucapannya, "Sudahlah, jangan mengeluh lagi, jika kau mengeluh,
sebentar Toaci bisa menangis. Biarlah kuturuti semua kehendakmu."
Selang sebentar, terdengar dia
berkata kepada si kusir, "Lau Wong, kami akan turun di depan sana, tapi
kereta jangan berhenti, boleh kau larikan dengan cepat dan berputar kayun di
dalam kota, sedikitnya satu jam baru boleh kau hentikan."
Terdengar si kusir mengiakan.
Lalu perempuan itu berkata
pula, "Awas, jika kau bocorkan jejak kami satu kata saja atau kau malas
dan tidak menjalankan keretamu sebelum satu jam, maka hukuman apa yang akan kau
terima tentunya kau sudah tahu sendiri."
"Ya, ham ... hamba tidak
berani," jawab si kusir.
"Akupun tahu kau pasti
tidak berani," ujar perempuan itu dengan tertawa, "Apalagi ke mana
kami akan menuju hakekatnya juga tidak kau ketahui."
-o0o-
Mendengar mereka akan melompat
keluar dari kereta, mulailah Lui-ji merasa gelisah. Sebab kalau dia meneruskan
penguntitannya terhadap ketiga orang ini, maka dia pasti akan kehilangan kontak
dengan Ji Pwe-giok.
Sebaliknya kalau dia
tertinggal di situ untuk memberi kabar kepada Pwe-giok, maka dia akan
kehilangan jejak selanjutnya ketiga orang itu.
Padahal hanya diketahuinya
pondokan yang dituju mereka terletak di luar kota, tapi rumah di luar kota
entah beberapa ratus jumlahnya, darimana dia tahu rumah mana yang akan menjadi
pondokan mereka?
Selagi gelisah, tiba-tiba
Lui-ji ingat sekotak Yanci (pupur merah, gincu) yang dibawanya, Yanci ini adalah
kado pemberian nona penghuni Bong-hoa-lau pada waktu di "menikah"
semalam.
Yanci ini sangat bagus
warnanya, bahkan dusnya juga sangat indah buatannya, konon produksi termasyhur
pabrik kosmetik "Thian-hiang-cay" di Peking.
Lui-ji sangat senang pada Yanci
itu, maka sekotak lantas disimpannya dalam baju. Tatkala mana tak terpikirkan
olehnya bahwa yanci ini akan berguna baginya.
Tapi sekarang terpikirlah
olehnya, dengan sebelah tangannya ia mengeluarkan kotak kecil yanci itu, ia
remas pecah dusnya, dengan yanci itu ia menulis beberapa huruf di bawah kereta,
bunyinya: "Aku menguntit keluar kota ...."
"Meski cuma beberapa
huruf saja ditulisnya, tapi tangan sudah terasa pegal, selagi ia mengaso dan
hendak menulis lagi, tiba-tiba ada suara dalam kabin kereta, terdengar si baju
hijau berkata, "Di sini kelihatan sepi, ayo kita keluar!"
Habis itu lantas kelihatan
tiga orang melompat keluar kereta, sekali kaki mereka menempel tanah, serentak
mereka melejit lebih jauh lagi ke sana. Gerakan kedua Taci beradik itu ternyata
jauh lebih cepat dan gesit daripada si baju hijau.
Segera Lui-ji juga kendurkan
pegangannya, "bluk", ia terbanting di tanah dan hampir-hampir
kelenger, tapi ia tidak menghiraukan rasa sakit lagi, cepat ia melompat bangun
terus mengejar ke sana.
Ia merasa Ginkang sendiri jauh
lebih tinggi satu tingkat ketimbang ketiga orang itu, maka sedikitpun ia tidak
kuatir jejaknya akan diketahui lawan.
Sementara itu si kusir sudah
melarikan kereta ke arah lain dan juga tidak mengetahui ada seorang jatuh dari bawah
keretanya.
Diam-diam Lui-ji bersyukur dan
bergirang akan hasil kerja dirinya ini, ia merasa penguntitannya sekali ini
boleh dikatakan "tabah dan hati-hati, gesit dan bersih", biarpun
tokoh Kangouw kawakan juga belum tentu dapat bekerja sebagus ini.
Dia lupa bahwa umumnya orang
yang semakin berpengalaman di dunia Kangouw nyalinya justeru bertambah ciut.
Orang yang bernyali besar seperti dia tidak nanti tahan 20 atau 30 tahun
berkecimpung di dunia Kangouw. Sebab orang demikian biasanya pasti tidak berumur
panjang.
Dilihatnya ketiga orang di
depan itu makin menuju ke tempat yang sepi dan terpencil, karena itu langkah
mereka pun tidak lagi berhati-hati seperti semula, tiada seorang pun yang
menoleh ke belakang.
Tentu saja Lui-ji bertambah
berani, diam-diam iapun tambah senang, pikirnya, "Kalian mengira sudah
dapat melepaskan diri dari orang yang menguntit, tentunya kalian tidak tahu
masih ada diriku!"
Kini dia sudah dapat melihat
jelas perawakan kedua taci beradik itu, mereka berbaju yang sangat serasi
dengan garis tubuh masing-masing, potongan badan mereka sangat menggiurkan
orang, biarpun sedang berlari dengan Ginkang juga kelihatan pinggang mereka
yang ramping dengan gaya yang menarik.
Cuma sayang Lui-ji tetap belum
sempat melihat wajah mereka.
Setelah berjalan sekian
jauhnya, kedua kakak beradik kembali bersenda gurau lagi.
Karena tidak berani terlalu
dekat, maka Lui-ji tidak dapat mengikuti apa yang sedang dipercakapkan mereka.
Dalam pada itu di ufuk timur
sana sudah remang-remang, fajar sudah mulai menyingsing. Tertampak sawah
membentang di depan sana, padi menguning melambai-lambai terusap angin laksana
gelombang ombak.
Di tepi sawah sana ada tiga
atau lima buah gubuk, di ujung rumah meringkuk seekor anjing penjaga, ketika
mencium bau orang asing, mendadak anjing itu melompat bangun dan menggonggong.
Di belakang rumah sana ada
sebuah kolam ikan, ada kebun kecil di samping kolam dengan tanaman sayur yang
tampak menghijau segar, kebun itu dikitari pagar bambu yang dirambati
akar-akaran yang berbunga kuning kecil yang sedang mekar dengan indahnya.
Itulah gambaran sebuah rumah
petani yang aman tenteram dan adem-ayem. Akan tetapi Lui-ji justeru merasa
seperti kekurangan sesuatu. Dia memang dibesarkan di suatu kota kecil, terhadap
pemandangan dan suasana pedusunan sudah tidak asing lagi. Di sini juga ada
sawah dan padi, ada kebun dan sayur, ada rumah gubuk, ada kolam ikan, bahkan
juga ada anjing penjaga rumah.
Lantas apa yang dirasakannya
masih kurang?
Mendadak ketiga orang di depan
itu berhenti, lalu celingukan kian kemari, habis itu mereka lantas langsung
menuju ke rumah petani itu. Perempuan yang berbadan lebih padat itu malahan
berkata dengan tertawa, "Tentu inilah tempatnya, pasti tidak salah
lagi."
Dia berbicara dengan suara
cukup keras, sampai Lui-ji juga dapat mendengar dengan jelas.
Si baju hijau juga berkata,
seperti lagi bertanya, "Darimana kau tahu pasti tidak salah?"
Lalu perempuan tadi menjawab,
"Sebab di sini tidak ada ayam berkotek, pernahkah kau melihat orang
kampung tidak piara ayam?"
Perempuan yang lain menyela
dengan tertawa, "Orang tani piara ayam atau tidak, Toa-siauya (tuan muda)
yang hidup senang di gedung megah seperti dia mana bisa tahu."
Si baju hijau seperti
benar-benar tidak paham, kembali ia bertanya, cuma suaranya sangat rendah
sehingga tidak terdengar oleh Lui-ji.
Maka perempuan muda satunya
berkata pula dengan tertawa, "Keluarga petani tidak ada yang tidak piara
ayam, tapi ayam jantan adalah makhluk yang paling dipantang oleh kami. Bahwa
rumah ini tidak ada ayam, tentu karena semua ayam di sini sudah di bunuh oleh
orang suruhan kita itu."
Mendengar sampai di sini
barulah teringat Lui-ji bahwa sesuatu yang dirasakan kurang tadi kiranya adalah
ayam yang dibicarakan mereka itu. Sebab ia pun tahu pada umumnya kaum petani
pasti piara ayam.
Tapi mengapa kedua perempuan
ini bilang pantang pada ayam jago atau jantan?
Hal ini biarpun direnungkan
orang selama tiga hari tiga malam mungkin juga belum dapat memahami alasannya.
Tapi hanya berpikir sejenak saja Lui-ji lantas mendapatkan jawabannya, tahulah
dia apa sebabnya.
Tanpa terasa ia tertawa geli
sendiri dan bergumam. "Wah, kiranya mereka adalah sekaum dengan diriku,
menarik juga jika demikian."
Ia tahu ayam jantan adalah
musuh dari segala makhluk berbisa, terutama sebangsa kalajengking, kelabang dan
sebagainya. Sebab itulah golongan dan aliran Kangouw yang mengandalkan keahlian
mereka dalam hal penggunaan racun, semuanya memandang ayam jago sebagai makhluk
yang tidak mendatangkan berkah, semuanya pantang melihatnya, apalagi
memelihara.
Usia LUi-ji masih muda,
tentunya tidak banyak mengetahui seluk beluk orang Kangouw, tapi dia adalah
seorang ahli racun, ahli yang tiada taranya, dengan sendirinya alasan
orang-orang itu pantang melihat ayam jago dengan segera dapat dipahaminya.
Sementara itu orang di dalam
rumah gubuk itu sudah terjaga bangun oleh suara gonggong anjing tadi.
Seorang lelaki berbaju hijau
tampak melongok keluar, ketika melihat kedua perempuan muda itu, seketika ia
berdiri dengan hormat sehingga urung menguap kantuk, dengan membungkuk tubuh ia
menyapa,
"Baru sekarang Tongcu
tiba ? maaf hamba tidak sempat menyambut kedatanganmu."
Kedua perempuan muda itu hanya
mengulapkan tangannya, lalu masuk ke rumah gubuk itu. Anjing tadi masih terus
menyalak, tapi setelah didepak satu kali oleh lelaki tadi, sambil mengaing
anjing itu lari terbirit-birit dengan mencawat ekor.
Pintu rumah gubuk itu kemudian
tertutup, menyusul cahaya lampu lantas kelihatan terang di balik jendela.
Pelahan Lui-ji merunduk
kesana, ia sembunyi di belakang rumah gubuk lain yang dijadikan lumbung padi,
meski melihat kedatangan orang asing lagi, namun anjing itu rupanya sudah kapok
dan tidak berani menggonggong pula, hanya lidahnya tampak terjulur dengan nafas
terengah-engah.
Kertas perekat jendela
tampaknya masih baru, masih putih bersih, Lui-ji sangat ingin mendekat jendela
untuk mengintip, tapi setelah dipikir lagi kini pondokan ketiga orang ini sudah
diketahui, seharusnya dia cepat putar balik kek kota untuk mencari Pwe-giok,
sebab ia dapat membayangkan saat ini anak muda itu pasti sangat gelisah karena
tidak menemukan dia.
Selagi ia merasa ragu, entah
mesti maju atau harus mundur, tak terduga, pada saat itu juga di sampingnya
mendadak ada orang mengikik tawa, suara tertawa nyaring seperti bunyi
keleningan.
Keruan Lui-ji terkejut, cepat
ia berpaling, dilihatnya dua orang muncul dari depan lumbung, siapa lagi kalau
bukan kedua perempuan misterius tadi.
Akhirnya dapatlah dia melihat
muka mereka.
Nyata, mereka tidak cuma
cantik, bahkan membawa semacam daya tarik yang sukar dilukiskan, daya tarik
genit ini seolah-olah timbul dari tulangnya sehingga tidak dapat ditiru oleh
siapapun.
Meski pakaian mereka hanya
terbuat dari kain kasar, namun para nona penghibur di Bong-hoa-lau sana satu
jari saja tak dapat membandingi mereka, bahkan menjadi babunya saja tidak
setimpal.
Perempuan yang bertubuh lebih
padat agaknya bermata lebih besar sedikit, tapi adik perempuannya tampaknya
lebih kuat daya tariknya, tertawanya juga lebih menggiurkan.
Sambil tertawa si adik
memandang Lui-ji, ucapnya dengan lembut: "Eh, nona cilik, angin pagi
sedingin ini, apakah kau tidak takut masuk angin?"
Mata Lui-ji yang jeli itu
berkedip-kedip, iapun tertawa dan menjawab: "Justru lantaran merasa
kegerahan di rumah, maka ku keluar untuk mencari angin."
"Ooo, kau tinggal di
sekitar sini?" tanya perempuan muda tadi.
Lui-ji mengiakan.
"Jika demikian, kita kan
tetangga"
"Memangnya, siapa bilang
bukan?" ujar Lui-ji dengan tertawa.
Perempuan muda itu tertawa,
katanya: "Jika kita bertetangga, marilah duduk di dalam, kebetulan ada
bakso yang baru ku bikin, masih panas-panas, segar menghangatkan badan."
Dengan tertawa Lui-ji
menjawab: "Baiklah, sejak tadi memang ada maksudku hendak belajar kenal
dengan kalian, apalagi sekarang akan disuguh bakso"
Sejak tadi si Taci hanya
berdiri dengan tertawa, sekarang iapun menyatakan setuju dengan berkeplok:
"Kami baru saja pindah ke sini dan lagi merasa kesepian karena tidak ada
kenalan, siapa tahu di pedusunan ini ada nona sepintar dan secantik kau
ini."
Begitulah mereka terus membawa
Lui-ji ke dalam rumah, bahkan berulang-ulang memuji Lui-ji, katanya:
"cantik dan lincah" dan bermacam-macam lagi, tampaknya seperti
benar-benar sangat gembira.
Padahal dengan sendirinya
sejak tadi-tadi mereka sudah mengetahui jejak mereka diikuti Lui-ji, mereka
memang sengaja berlagak lengah, maksudnya justru hendak memancing Lui-ji ke
sini.
Kini setelah diketahui Lui-ji
cuma seorang nona cilik, dengan sendirinya pula tidak begitu dirisaukan oleh
mereka. Tak tahunya bahwa Lui-ji sendiri juga tidak memandang berat mereka.
Lui-ji bukan anak bodoh,
dengan sendirinya iapun tahu maksud tujuan mereka, tapi bila teringat kemahiran
andalan kedua kakak beradik itu adalah menaruh racun, maka diam-diam Lui-ji
tertawa geli.
Ia membatin, "Huh,
memangnya kalian mengira aku ini dapat dikerjai sesuka hati kalian? Huh,
ketanggor diriku, kalian yang bakal celaka."
Begitulah diam-diam ia merasa
kedua kakak beradik tidak tahu diri dan berani main racun dengan seorang ahli.
Tak terduga olehnya bahwa di
dalam rumah gubuk itu ternyata dipajang cukup resik dan apik, semuanya serba
bersih, setiap benda seolah-olah sudah digosok dan dicuci berpuluh kali.
Tapi si baju hijau tidak
kelihatan di dalam rumah, lelaki yang menyambut kedatangan mereka tadi juga
sudah hilang. Diam-diam Lui-ji heran, pikirnya, "Jangan-jangan mereka
sudah membunuhnya."
Si adik lantas memegang tangan
Lui-ji dan bertanya ini dan itu, "Eh, adik cilik, kau she apa? Tinggal
dimana? Berapa umurmu? Ada siapa-siapa lagi di rumahmu?"
Dan Lui-ji juga menjawab
sekenanya, sampai dia sendiri merasa geli. Baru sekarang ia merasakan bahwa
dirinya ternyata juga berbakat untuk berdusta.
Ia tidak tahu bahwa berdusta
adalah bakat pembawaan setiap perempuan, sebaliknya lelaki harus mengalami
latihan cukup lama baru mahir berdusta.
Selang sejenak, sang Taci
muncul dari dapur dengan membawakan tiga pasang sumpit, tiga sendok, satu
piring "intip" goreng dan tiga mangkuk baso.
"Intip", yaitu
lapisan nasi yang menempel di bagian dasar kuali, adalah makanan yang biasa di
rumah petani. Bakso yang dibawakan itu memang masih mengepulkan asap, jelas
memang sarapan yang disediakan oleh lelaki yang mendepak anjing tadi.
"Eh, adik cilik, bakso
harus dimakan selagi panas, kalau sudah dingin tidak enak," kata si Taci
dengan tertawa. "Ayolah makan mumpung panas."
Lui-ji berkedip-kedip,
tiba-tiba ia berkata, "Ah, tidak, aku tidak berani makan."
Si taci seperti terkesiap,
tanyanya, "Sebab apa tidak berani makan?"
"Maklumlah kami orang udik,
kecuali tahun baru atau hari raya, hampir tidak pernah makan daging. Kalau
sekarang harus kumakan semangkuk besar bakso ini ku kuatir perutku bisa
mules."
"Hihi," kata si Taci
tertawa riang, "jangan kuatir, meski bakso ini memakai macam-macam bumbu,
tapi gemuknya tidak banyak, tak nanti membikin perut mules."
"Apakah benar takkan
mematikan orang?" tanya Lui-ji dengan tertawa.
Air muka si Taci seperti
berubah sedikit, ia pandang adiknya.
Si adik lantas mengikik tawa,
katanya, "Ai, adik cilik ini memang suka bergurau, masa bakso bisa
membunuh orang?"
Lui-ji mengerling, katanya
dengan tertawa, "Baiklah, kalau begitu, akupun tidak sungkan-sungkan
lagi." Dan benar-benar ia lantas berduduk dan makan bakso dengan
nikmatnya.
Kedua kakak beradik itupun mengiringinya
makan, diam-diam kedua orang saling berkedip.
Dengan kedipan matanya si adik
lagi tanya sang Taci, "Kau taruhi "bumbu istimewa" tidak ke
dalam bakso ini?"
Dan sang taci seperti
menjawab, "Tidak nanti ku lupa!"
Tak terduga mendadak Lui-ji berkata
dengan tertawa, "Wah, lezat benar bakso ini, cuma sayang aku rada tidak
bisa menikmati bumbu istimewa yang kalian gunakan ini."
Kembali kedua kakak beradik
itu tercengang, dengan tertawa genit si adik berkata, "Di dalam bakso ini
mana ada bumbu istimewa segala ?"
"Masa tidak ada?"
ujar Lui-ji. "Tapi mengapa lidahku terasa kesemutan."
"O, mungkin terlalu
banyak garam." kata si Taci.
Lui-ji menghela napas,
gumamnya, "Terlalu banyak menaruh garam terkadang juga bisa bikin orang
mati keasinan." Tengah bicara orangnya terus memberosot ke bawah kursi.
Kedua kakak beradik itu
seperti terkejut dan berseru, "he, adik cilik, kenapa kau?"
Tapi lewat sejenak pula Lui-ji
masih tetap terkapar di bawah meja tanpa bergerak sedikitpun, dari ujung
mulutnya merembes keluar busa putih. Sampai di sini barulah kedua kakak beradik
itu menghela napas lega.
Si adik tepuk-tepuk ulu
hatinya sendiri dan berkata, "Tadi aku benar-benar dibuat kaget, dari
ucapannya itu kusangka dia ini seorang ahli."
"Jika benar dia seorang ahli
tentu dia takkan makan bakso suguhan kita ini," ujar sang Taci.
"Cukup tidak kadar obat
yang kau gunakan?" tanya si adik.
"Pas, tanggung tidak
kurang dan tidak lebih," jawab sang Taci. "Sekalipun ahli racun
seperti Oh-lolo, setelah minum kuah bakso ini pasti juga akan menggeletak tak
berkutik."
"Siuut", mendadak si
baju hijau melompat ke belakang sana, ia berjongkok dan memandang Lui-ji
sekejap, lalu berkata sambil berkerut kening. "Mana boleh kau racun mati
dia."
Si Taci menarik muka,
tanyanya: "Mengapa tidak boleh? Jangan-jangan kau kenal dia?"
Belum lagi si baju hijau
menanggapi, si adik telah menyeletuk dengan tertawa: "Wah, cara bicaramu
kudu hati-hati, Cici sudah minum cuka (maksudnya cemburu)"
Si baju hijau menghela napas,
katanya kemudian sambil menyengir: "Ai, justru karena aku tidak kenal dia,
maka perlu dia dibiarkan hidup"
Tapi sang Taci masih
bersungut, tanyanya: "Untuk apa? Memangnya kau ingin berkawan dengan
dia?"
Dengan gugup si baju hijau
menjawab: "Kita kan perlu tanya dia siapa yang menyuruhnya mengikuti jejak
kita dan masih adakah orang lain yang datang bersama dia?”. Ia berhenti
sejenak, lalu menghela napas dan menyambung pula: "Ai, dalam keadaan
demikian masa kau cemburu padaku dan tetap tidak percaya padaku?"
Si Taci tertawa cerah, dari
belakang ia rangkul pinggang si baju hijau, ucapnya dengan suara lembut:
"O, masa aku tidak percaya padamu? Aku....aku cuma main-main saja
denganmu"
Segera si adik berseloroh:
"Baiklah, jangan kau marah. Jika cici tidak suka padamu, untuk apa dia
cemburu. Bagiku, bilamana ada orang mau cemburu padaku, bukannya marah
sebaliknya aku akan gembira malah"
Si baju hijau lantas tertawa,
katanya: "Aku kan tidak benar-benar marah, hanya saja...."
"Jangan kuatir, kadar
racun yang kuberikan itu tidak terlalu keras, untuk sementara ini dia tidak
akan mati" tukas si Taci. "Jika kau ingin menanyai dia, segera dapat
ku sadarkan dia"
Di luar dugaannya, belum habis
ucapannya, sekonyong-konyong Lui-ji menanggapinya dengan tertawa. "Kukira
kau tidak perlu repot-repot, asalkan kalian menghendaki aku hidup lagi, aku
sendiri segera dapat hidup kembali"
Sembari bicara, secepat kilat
iapun turun tangan, saat itu si baju hijau bermaksud memeriksa denyut nadinya,
maka pergelangan tangannya seketika kena dicengkeram oleh Lui-ji.
Sungguh tak terpikir oleh si
baju hijau bahwa si nona cilik yang sudah mati keracunan ini dapat hidup
kembali secara mendadak, lebih-lebih tidak menyangka kungfunya sedemikian
tinggi, seketika sekujur badannya terasa kesemutan dan tidak bisa berkutik
lagi.
Kedua kakak beradik itupun
melenggong terkejut, si adik melototi sang Taci, agaknya ingin bertanya:
"Apa-apaan ini? Jangan-jangan memang benar garam kau gunakan sebagai
racun?"
Tapi sang Taci juga tidak
kurang kaget dan bingungnya, sungguh ia tidak paham mengapa bisa jadi begini?
Dengan tangan sendiri ia taruh
racun di dalam kuah bakso, hal ini tidak mungkin keliru, apa lagi kadar racun
yang ditaruhnya itu cukup keras, seekor kudapun akan menggeletak.
Akan tetapi racun sekeras itu
bagi nona cilik ini ternyata tidak manjur sama sekali.
Lui-ji tertawa ngikik sambil
memandangi mereka yang melongo itu.
Biji mata si adik berputar,
tiba-tiba iapun tertawa dan berkata: "Adik cilik, apakah kau kira kami
benar-benar hendak meracuni kau? Tadi kami hanya menakut-nakuti kau saja. Coba
kau pikir, bila benar di dalam bakso ada racunnya, apakah kau tahan?"
Lui-ji mengangguk, jawabnya:
"Benar, jika dalam bakso benar ada racunnya, kan aku sudah mati sejak
tadi."
"Makanya, yang kami taruh
di dalam kuah bakso itu hanya bumbu saja sebangsa garam dan merica" ujar
si adik dengan tertawa genit. "Malahan bumbu masak itu adalah oleh-oleh
seorang paman kami yang baru pulang dari luar negeri"
"Ooo?" Lui-ji
bersuara seperti heran.
Mendadak si adik berlari ke
dapur dan keluar lagi dengan membawa satu botol kecil, serunya dengan tertawa:
"Coba lihat, adik cilik, bumbu masak semacam inilah, barang impor, sukar
dicari, masakah kau kira racun segala?"
"Apakah benar-benar bukan
racun? Bolehkah kucicipi sedikit?" kata Lui-ji.
Kehendak Lui-ji ini seperti di
luar dugaan kedua kakak adik itu dan tentu saja membuat mereka kegirangan,
sebab mereka sedang mencari alasan agar Lui-ji mau mencicipi "bumbu
masak" itu, siapa tahu Lui-ji sudah mau mencicipi sendiri sebelum diminta.
Segera si adik berkata,
"Silahkan saja mencicipinya, rasanya gurih, bila beracun, boleh kuganti
nyawamu."
"Jika beracun, bukankah
aku akan mati seketika, cara bagaimana dapat ku tuntut ganti nyawa
padamu?" ujar Lui-ji.
Si adik melengak pula,
sahutnya dengan tergagap, "Oo, ta... tapi"
Selagi bingung karena tidak
tahu cara bagaimana harus menjawab, tiba-tiba Lui-ji berkata pula dengan
tertawa, "Coba lemparkan botolmu itu, bumbu masak segurih ini betapapun
harus kucicipi sedikit."
Sehabis menerima botol kecil
itu, ia gigit sumbat botol dan dibukanya, maklum, sebelah tangannya masih repot
mencengkeram pergelangan tangan si baju hijau.
Kedua kakak beradik itu
benar-benar dibuat bingung oleh nona cilik yang angin-anginan ini, sungguh
mereka tidak tahu Lui-ji ini nona pandai atau orang sinting?
Tapi ketika Lui-ji menuang
bubuk di dalam botol ke mulutnya, tanpa terasa wajah kedua kakak beradik itu
menampilkan rasa girang. Sebab mereka tahu obat di dalam botol itu bukan saja
racun, bahkan racun yang sangat lihai, sekarang mereka menyaksikan sendiri nona
cilik itu menuang bubuk racun di atas lidahnya, jelas sekali ini tidak salah
lagi, diam-diam mereka tertawa gembira dan membatin, "Budak cilik ini
ternyata seorang tolol."
Terlihat mulut lui-ji sedang
berkecek-kecek, seperti orang makan coklat yang sedap, bahkan nona cilik itu
lagi berkata dengan tertawa, "Wah, memang benar sangat enak. Dapat
mencicipi barang selezat ini, biarpun mati keracunan juga rela."
Sembari bicara ia terus
menuang seluruh isi botol ke dalam mulut.