Jilid 8
Dengan lembut Lui-ji
memandangnya, ucapnya dengan menghela napas pelahan, "Engkau memang harus
tidur sebaik-baiknya, kalau tidak, mana ada semangat untuk bekerja lagi
besok?"
Hotel di kota kecil itu tidak
banyak tamunya, dengan sanjung puji jongos hotel menyediakan bagi mereka dua
kamar besar. Tapi setelah memandang Lui-ji sekejap, Pwe-giok berkata,
"Kami hanya perlu satu kamar saja."
Berdetak jantung Lui-ji.
Sedangkan jongos hotel kelihatan rada kecewa dan heran. Dari sudut manapun dia
memandang, kedua orang ini tidak mirip suami-isteri, mengapa mereka hanya minta
satu kamar saja?
Sesudah berada dalam kamar dan
pintu ditutup, jantung lui-ji berdebur semakin keras, duduk tidak tenang,
berdiripun salah, sungguh ia tidak tahu dirinya harus ditaruh di mana?
Dengan hati-hati Pwe-giok
memalang pintu lalu menutup jendela pula, kemudian berkatalah dia dengan
tersenyum lembut, "Tidurlah kau!"
Lui-ji menunduk, dengan
menabahkan hati ia bertanya, "Dan kau?"
"Dua kursi ini kujajarkan
menjadi sebuah tempat tidur yang cukup enak," ujar Pwe-giok dengan
tertawa.
"Boleh kau tidur di
ranjang saja, kau perlu tidur nyenyak daripadaku," kata Lui-ji sambil
menggigit bibir.
Memandangi tubuh yang agak
kekurus-kurusan dengan rambut yang rada kusut serta mata yang besar dengan
sedikit garis merah itu, tanpa terasa timbul rasa kasih sayang Pwe-giok,
pikirnya, "Bisa jadi Yang Cu-kang akan segera muncul. Dalam keadaan dan
saat demikian, untuk apalagi ku taat adat kolot segala, untuk apa membuat susah
dia dan tidak membiarkan dia tidur sebaik-baiknya, apakah kalau malam ini ku
tidur seranjang dengan dia, lalu aku Ji Pwe-giok bukan lagi seorang Kuncu
sejati?"
Dalam pada itu Lui-ji telah
mengambil selimut yang agak tipis dari tempat tidur dan dibentang di atas
kursi, ucapnya dengan menunduk, "Tidur di sini juga boleh, waktu ku rawat
Sacek dahulu, biarpun berdiri juga aku dapat tidur, jadi soal tidur sudah
terbiasa bagiku dalam keadaan bagaimanapun, hendaknya kau sendiri tidurlah yang
baik."
Tiba-tiba Pwe-giok berucap dengan
lembut, "Ranjang ini sangat besar, kita juga bukan orang gendut, mengapa
tidak tidur satu tempat tidur saja."
Bantal yang baru dipegang
Lui-ji jatuh lagi ke bawah, ia ingin memandang Pwe-giok sekejap, tapi tidak ada
keberanian itu. Ia menunduk dan berkata, "Kau... kau tidak... tidak
takut...."
"Takut apa?" sela
Pwe-giok, "Dalam keadaan tidur memangnya kaupun dapat memukul orang?"
Tertawalah Lui-ji dengan muka
bersemu merah, katanya, "Memukul sih tidak, tapi suka menyepak, awas bila
ku depak kau ke bawah tempat tidur."
oO-Oo oO-Oo
Sesungguhnya tempat tidur itu
tidaklah besar. Di dunia ini tidak ada sebuah hotel yang sengaja menyediakan
tempat tidur yang sangat besar bagi tamunya.
Sebab pada umumnya tetamu juga
tidak memerlukan tempat tidur yang besar. Apabila ada dua orang tetamu
lelaki-perempuan perlu tidur satu ranjang, yang mereka harapkan bukanlah tempat
tidurnya yang besar, sebaliknya cukup tempat tidur yang kecil saja, makin kecil
makin baik, makin sempit makin memuaskan.
Pwe-giok memang sudah
terlampau lelah, maka dengan cepat ia lantas terpulas.
Waktu Lui-ji naik tempat
tidur, ketegangannya sungguh sukar dilukiskan, jantungnya berdebur keras, dia
tidak berani memandang sekejap pun kepada Pwe-giok, bahkan menyentuh selimutnya
saja tidak berani.
Padahal kemarin malam rencana
hatinya mengharapkan dapat tidur bersama Pwe-giok, tapi sekarang, pada malam
ini, mereka benar-benar sudah tidur bersama satu ranjang, tapi dia berbalik
sangat ketakutan, takut setengah mati, takut kehilangan apa-apa. Dia membungkus
tubuhnya kencang-kencang dengan selimut dan meringkuk di pojok tempat tidur,
kepalanya dibenamkan pada bantalnya, tubuh tidak berani bergerak sedikitpun,
bernapas juga tidak berani keras-keras, dalam keadaan hening demikian, yang
terdengar hanya detak jantungnya yang memukul keras.
Ia membayangkan, apabila
mendadak tangan Pwe-giok menggerayang ke sini, lalu bagaimana?
Sungguh ia tidak berani
memikirkannya, seketika tubuhnya terasa panas, panas sekali.
Sesungguhnya ia tidak tahan
terbungkus dalam selimut, tapi tidak berani membukanya.
Untunglah Pwe-giok sudah
tidur, dengan alon-alon, dengan perlahan sekali Lui-ji menjulurkan kakinya
keluar selimut untuk mencari angin, tapi bila Pwe-giok membalik tubuh, dengan
ketakutan cepat-cepat ia tarik kembali kakinya.
Namun apapun juga Ji Pwe-giok
sudah berada di sampingnya, betapapun ia penuh rasa bahagia, tersembul senyuman
manis, senyuman bahagia pada wajahnya, senyuman yang timbul dari lubuk hatinya
yang dalam, sungguh ia ingin melompat bangun dan berteriak sekerasnya agar
manusia di seluruh jagat ini mengetahui betapa bahagianya malam ini.
Akan tetapi bila saat ini
benar-benar ada orang datang, seketika dia akan malu dan mungkin akan sembunyi
di kolong ranjang.
Dan begitulah perangai seorang
gadis, pikiran seorang perawan.
Menjadi seorang anak gadis
sesungguhnya memang bahagia.
-ooOoo-
Sebenarnya Pwe-giok cuma
pura-pura tidur saja. Sampai sekian lamanya, didengarnya suara pernapasan
Lui-ji sudah mulai tenang, mulai teratur dan rata, jelas si nona sudah tidur
benar-benar, barulah dia membuka mata.
Betul juga, Lui-ji memang
sudah pulas, bahkan sangat nyenyak tidurnya.
Ia pikir, sesungguhnya Lui-ji
memang masih anak-anak, dan biasanya anak-anak memang lebih mudah tertidur
daripada orang tua.
Bila membayangkan gerak-gerik
Lui-ji yang lucu waktu mau naik ke atas tempat tidur tadi, tanpa terasa
Pwe-giok tersenyum geli.
Sesungguhnya Lui-ji memang
anak dara yang menyenangkan, sangat menyenangkan.
Tidur satu ranjang bersama
anak dara yang sedemikian menyenangkan, kalau dibilang Pwe-giok sama sekali
tidak mempunyai perasaan apapun, maka hakekatnya dia bukan manusia.
Apalagi iapun tahu anak dara
itu sedemikian cinta padanya, ia tahu, asalkan dirinya "mau", tidak
nanti anak dara itu menolaknya.
-oOo- -oOo- -oOo-
Malam nan sunyi, cahaya
bintang yang redup menyinari kertas jendela dengan lembutnya.
Di tengah malam yang hening
dan lembut itu, akhirnya Pwe-giok tidak tahan, ia menjulurkan tangannya dan
membelai rambut Lui-ji yang halus itu yang terurai di atas bantal, tiba-tiba
iapun merasa sangat panas.
Teringat olehnya ketika
beberapa malam dia berada bersama Lim Tay-ih tempo hari juga dirasakan sangat
panas, begitu panas sehingga urusan apapun tak terpikir untuk dikerjakannya,
tapi rasa panas itupun mendorongnya mengerjakan urusan apapun.
Terbayang olehnya tubuh Lim
Tay-ih yang agak menggigil itu, bibirnya yang gemetar... gemetar yang menggetar
sukma, yang sukar untuk dilupakan seumur hidup.
Kelembutan Lim Tay-ih,
kejudasannya waktu itu, semua itu membuatnya sukar untuk melupakannya.
Waktu itu dia tidak
menceritakan rahasia penyamarannya, tapi jelas Lim Tay-ih telah mengetahui
siapa dia.
Perempuan umumnya memang ada
semacam indera yang misterius, lebih-lebih terhadap orang yang paling dekat
dengan dia.
Misalnya sang ibu terhadap
anaknya, isteri terhadap suaminya, daya perasa mereka yang tajam dan peka itu
sungguh sukar untuk dijelaskan oleh siapapun.
Sebab itulah, kemudian ketika
Lim Tay-ih merasa ada orang menguntit jejak mereka, maka dia lantas bertindak
kasar terhadap Pwe-giok, supaya orang lain takkan mencurigai dia lagi sebagai
Ji Pwe-giok yang sudah "mati" itu.
Ketika Lim Tay-ih
menyerangnya, setiap tusukan pedangnya yang mengenai tubuh Pwe-giok hanya
menimbulkan rasa bahagia, sebab ia tahu ketika pedang si nona mengenai
tubuhnya, hati si nona jauh lebih sakit daripada dia sendiri.
Dan sekarang, di mana Lim
Tay-ih?
Di manapun nona itu berada
pasti juga sedang memikirkan dia.
Hati Pwe-giok seakan-akan
sakit tertusuk pedang, serentak ia menarik kembali tangannya yang sedang
membelai rambut Lui-ji itu.
ooOoo
Malam yang serba ruwet itu
akhirnya berlalu juga dan Yang Cu-kang tetap tidak muncul.
Waktu Lui-ji mendusin,
dilihatnya Pwe-giok belum lagi bangun, teringat dirinya telah tidur semalaman
bersama seorang lelaki, timbul semacam perasaan aneh dalam hati Lui-ji, entah
kejut entah girang.
Meski Pwe-giok tidak berbuat
apa-apa terhadapnya, tapi Lui-ji merasakan dirinya sekarang sudah lain daripada
Lui-ji kemarin. Ia merasa dirinya bukan lagi anak-anak, tapi sudah seorang
perempuan benar-benar, seorang perempuan dewasa.
Tanpa terasa tersembul juga
senyuman bahagia pada wajahnya.
ooOoo
Sang surya sudah terbit tinggi
di langit, Lui-ji memandangi wajah Pwe-giok yang masih lelap itu, gaya tidur Pwe-giok
seperti seorang anak kecil saja, tanpa terasa Lui-ji mengangkat tangannya dari
dalam selimut dan meraba pelahan hidung Pwe-giok, ucapnya dengan suara lembut,
"Alangkah baiknya jika di sini adalah rumah kita, tentu akan kubuatkan
sarapan pagi yang enak bagimu, bubur buatanku paling disukai Sacek, kukira
kaupun suka, sedikitnya kau akan menghabiskan lima mangkuk besar."
Mendadak Pwe-giok tertawa dan
berkata, "Lima mangkuk saja belum banyak, takaranku adalah sepuluh
mangkuk!"
Keruan Lui-ji kaget dan cepat
menarik kembali tangannya serta menutupi mukanya dengan selimut, omelnya,
"Oi, kukira kau ini orang baik, kiranya kaupun telur busuk! Sudah
mendusin, tapi pura-pura tidur, bikin... bikin ...."
"Bikin" apa, tak
dapat diucapkannya.
Pwe-giok memandangi rambut si
nona yang terurai di luar selimut itu, tanpa terasa ia terkesima pula, iapun
tidak tahu sesungguhnya dirinya ini bahagia atau celaka?
Ia tidak berani lama-lama lagi
tinggal di tempat tidur, cepat ia melompat bangun dan membuka jendela, hawa udara
di luar terasa segar dan sejuk, ia menarik napas dalam-dalam, lalu bergumam,
"Aneh, Yang Cu-kang belum juga muncul."
Teringat kepada Yang Cu-kang,
seketika rasa hangat dalam hati Lui-ji menjadi dingin kembali, cepat iapun
melompat turun dan berseru, "Bisa jadi dia tidak berani datang lagi."
Pwe-giok tidak menanggapinya.
"Jika dia berani datang
kemari, mengapa tidak kelihatan?" kata Lui-ji pula.
Sejenak Pwe-giok termenung,
katanya kemudian dengan gegetun, "Akupun tidak tahu apa sebabnya? tapi
kuyakin pasti bukan lantaran dia tidak berani."
Lui-ji tersenyum manis,
katanya, "Bisa jadi lantaran mendadak dia mati, atau mendadak matanya buta
dicakar burung, atau mendadak sakit lepra. Kalau dia tidak datang, untuk apa
kita memikirkannya?"
Pwe-giok juga tertawa geli,
katanya, "Yang kupikir sekarang hanya ingin makan bubur ayam."
Lui-ji berkeplok dan berkata,
"Pikiran bagus, bubur ayam dan Yucakue, nikmat!"
Karena urusan yang dipikirnya
tidak sebanyak Pwe-giok, dengan sendirinya dia jauh lebih gembira daripada anak
muda itu, lebih-lebih hari ini, dia merasa sinar sang surya jauh lebih
cemerlang daripada biasanya, sampai bumi raya inipun terasa halus dan empuk,
berjalan di atasnya juga terasa enteng dan seperti mengambang.
Menjelang lohor, sampailah mereka
di wilayah yang dekat dengan Tong-keh-ceng.
"Masih perlu berapa lama
lagi untuk bisa sampai di tempat tujuan?" tanya Lui-ji
"Tidak lama lagi,
paling-paling setengah jam lagi," kata Pwe-giok.
Lui-ji menghela napas lega,
ucapnya, "Syukur alhamdulillah! Akhirnya sampai juga."
"Tapi Tong Bu-siang
gadungan itu sedikitnya sudah dua hari sampai di sini lebih dulu, dalam waktu
dua hari tentu banyak pekerjaan yang dapat dilakukannya," kata Pwe-giok
dengan menyesal.
"Kau tidak perlu
cemas," ujar Lui-ji, "biarpun dia sampai lebih dulu dua hari, setiba
di rumah kan banyak urusan yang perlu diselesaikan dan tidak nanti datang terus
membikin celaka orang."
"Ya, semoga demikian
hendaknya, aku hanya kuatir...."
"Kuatir apa?" tanya
Lui-ji.
Dengan cemas Pwe-giok menjawab,
"Ku kuatir orang Tong-keh-ceng tidak percaya kepada keteranganku. Coba
pikir, jika kau menjadi anak murid Tong Bu-siang dan tiba-tiba kau diberitahu
bahwa ayahmu sekarang itu palsu, apakah kau percaya?"
Persoalan yang terbesar
baginya sebelum ini adalah kekuatirannya sukar datang ke Tong-keh-ceng sini,
tapi sekarang setiba di Tong-keh-ceng barulah teringat olehnya masih ada banyak
persoalan penting yang lain, bahkan persoalan yang satu lebih sulit daripada
persoalan yang lain. Sungguh ia sendiri tidak tahu dengan cara bagaimana dia
harus memberi keterangan supaya dapat dipercaya oleh anak murid keluarga Tong.
Lui-ji berkerut kening juga
setelah mendengar alasan Pwe-giok itu, katanya kemudian, "Kau kenal baik
dengan anggota keluarga Tong?"
"Kenal baik apa?
Hakekatnya tidak kenal," jawab Pwe-giok sambil menyengir
"Tidak kenal
seorangpun?" Lui-ji menegas.
"Hanya kenal seorang nona
yang bernama Tong Lin," sahut Pwe-giok.
Mata Lui-ji berkedip-kedip,
dipandangnya anak muda itu seperti tertawa dan tidak tertawa, katanya kemudian,
"Tong Lin, ehm, indah sekali nama ini, tentu orangnya juga sangat
cantik."
Baru sekarang Pwe-giok merasa
dirinya terlalu banyak bicara, terpaksa ia hanya menjawab singkat,
"Ehm!"
"Kau kenal akrab dengan
dia?" tanya Lui-ji pula.
"Hanya pernah berjumpa
satu kali saja."
Lui-ji mencibir, "Cuma
berjumpa satu kali saja lantas senantiasa ingat pada namanya, boleh juga kau
ini."
Di dampingi oleh seorang anak
perempuan yang aneh, banyak olah dan sok cemburu, jalan paling baik baginya
adalah tutup mulut dan jangan banyak bicara.
Pada tepi jalan, di bawah
pohon yang rindang sana berteduh seorang penjual bakmi pikulan, penjual bakmi
ini adalah seorang tua, orang Oh-pak asli, selain bakmi juga menjual penganan
lain sebangsa wajik dan sebagainya.
Pwe-giok tidak berhenti untuk
makan bakmi, tapi hanya beli beberapa biji penganan dan jajan sekadarnya.
Sebenarnya cukup enak penganan
itu, terutama bila orang sedang lapar. Tapi Lui-ji hanya menggigit satu kali
saja dan rasanya seperti sukar menelannya.
Pwe-giok tertawa dan berkata,
"Apakah kau masih marah?"
Dengan bersungut Lui-ji
menjawab, "Masa aku secemburu Ciong Cing?"
Habis bicara, ia merasa rada
kikuk, ia menunduk dengan muka merah, kesempatan itu digunakannya untuk menelan
makanan dalam mulutnya itu, lalu berkata pula, "Aku tiba-tiba ingat
sesuatu."
"Oo? Apa?" tanya
Pwe-giok.
"Kupikir, mungkin sekali
Yang Cu-kang sudah tiba lebih dulu di Tong-keh-ceng."
"Ya, bisa jadi,"
sahut pwe-giok samar-samar.
"Dia tahu kita pasti akan
datang ke Tong-keh-ceng, maka lebih dulu dia akan menunggu kita di sana."
"Mungkin." kata
Pwe-giok pula.
"Bisa jadi sebelumnya dia
sudah berunding dengan Tong Bu-siang gadungan, asalkan kita masuk ke
Tong-keh-ceng, serentak mereka akan memperdayai kita, mungkin kesempatan bicara
bagi kita saja tidak ada, lalu bagaimana kita akan mampu membongkar tipu
muslihat di Tong-keh-ceng sana?"
Pwe-giok tidak bicara lagi,
air mukanya tambah kelam.
Sebenarnya bukannya dia tidak
berpikir sejauh itu, iapun tidak tahu bahwa kecil sekali harapan untuk berhasil
pada perjalanannya ini, sebaliknya sangat besar bahayanya.
Akan tetapi ketika dilihatnya
kegembiraan Lui-ji tadi, mana dia sampai hati mengutarakan rasa sedihnya kepada
anak dara itu dan membuatnya ikut kuatir, bila ada kegembiraan, dia sangat suka
menikmatinya bersama orang lain.
Tapi kesedihan dan
penderitaan, dia lebih suka memikulnya sendiri.
"Jika kita pergi ke
Tong-keh-ceng cara begini saja, hakekatnya sama saja seperti mengantar
kematian," kata Lui-ji. "Hampir setiap orang di Tong-keh-ceng adalah
jagoan, bila Tong Bu-siang gadungan itu memberi perintah, seketika kita bisa
berubah menjadi pusat sasaran senjata rahasia mereka yang berbisa itu."
"Apa mau dikatakan
lagi!" ujar Pwe-giok sambil menghela napas panjang, "Dalam keadaan
terpaksa, segala bahaya tak terpikir lagi."
"Akan tetapi
engkau...." mendadak ucapan Lui-ji itu terputus setengah jalan, sebab pada
saat itu juga dari kejauhan berkumandang suara roda kereta dan ringkik kuda
disertai debu mengepul tinggi, tampaknya tidak sedikit jumlah orang yang datang
ini.
"Mungkinkah orang-orang
ini datang dari Tong-keh-ceng?" bisik Lui-ji.
"Ehm, bisa jadi,"
sahut Pwe-giok.
"Bolehkah kita cari
keterangan tentang Tong-keh-ceng kepada mereka?"
"Tidak boleh," jawab
Pwe-giok. "Bukan saja tidak boleh, bahkan sedapatnya jangan kita
memperlihatkan gerak-gerik yang dapat menarik perhatian dan menimbulkan curiga
mereka."
"Ya, ku paham," ujar
Lui-ji.
Sementara itu kereta sudah
semakin dekat, mereka menyingkir ke tepi jalan dan menunduk. Namun Lui-ji tidak
tahan, ia coba melirik ke sana.
Dilihatnya ada iringan belasan
kereta barang kawalan, seorang pengiring mondar mandir mengawasi jalannya
konvoi itu. Dua ekor kuda yang tinggi besar di bagian depan berpenunggang dua
orang lelaki kekar.
Kereta barang itu memakai
tanda pengenal panji kecil segi tiga, namun panjinya tergulung. Kedua lelaki
kekar berbaju perlente itupun adem ayem dan lagi mengobrol iseng.
Belum jauh konvoi kereta
barang itu lewat, Lui-ji tidak tahan dan segera bertanya kepada Pwe-giok,
"Inikah rombongan Popiau (pengawal barang)?"
"Ehm," Pwe-giok
mengangguk.
"Selamanya tidak pernah
kulihat konvoi kereta barang kawalan begini, tampaknya menarik juga," kata
Lui-ji dengan tertawa. "Jika aku menjadi lelaki, bisa jadi akupun ingin
mencicipi rasanya menjadi jago pengawal barang."
"Tampaknya memang
menarik, tapi kalau kepergok sahabat kaum Lok-lim (rimba hijau, artinya kawanan
bandit yang keluar masuk hutan) akan menjadi kurang menarik," ujar
Pwe-giok.
"Konon waktu
iring-iringan kereta Piaukiok (perusahaan ekspedisi) berjalan, seorang
pengiringnya harus berteriak-teriak di depan, harus bersikap garang, bahkan
harus menonjolkan nama perusahaannya. Akan tetapi sekarang kawanan pengiring
kereta itu tidak berteriak-teriak minta jalan, bahkan panji pengenalnya juga di
gulung, sebab apakah bisa begitu?"
"Sebab daerah sini sudah
termasuk wilayah kekuasaan Tong-keh-ceng, tindakan mereka ini adalah sebagai
tanda menghormati Tong-keh-ceng. Kau lihat kedua jago pengawal yang adem-ayem
tadi, mereka dapat bersenda gurau tanpa kuatir apapun, justeru lantaran mereka
yakin di daerah pengaruh Tong-keh-ceng tidak bakalan diganggu oleh kawanan
bandit yang buta."
Lui-ji mencibir, ucapnya,
"Huh, hanya Tong-keh-ceng sekecil itu apanya yang hebat? jika bukan lagi
banyak urusan, pasti akan kuganggu mereka."
Pwe-giok hanya tertawa saja.
Memang, puteri
Siau-hun-kiongcu, keponakan Hong Sam, dengan sendirinya tidak pandang sebelah
mata terhadap Tong-keh-ceng.
Akan tetapi di dunia Kangouw
ini seluruhnya terdapat berapa orang Siau-hun-kiongcu dan berapa orang
Hong-samsiansing?
Tampaknya Lui-ji ingin omong
apa-apa lagi tapi mendadak muncul dua penunggang kuda berbaju hitam, kuda
dilarikan secepat terbang, kedua penunggangnya yang kekar itu mahir sekali
mengendalikan kudanya, dari jauh mereka lantas berteriak-teriak sambil
menggapai, "Ong-toapiauthau! Ci-toapiauthau, tunggu, berhenti dulu!"
Pengiring yang berada di
belakang konvoi kereta barang tadi melihat datangnya kedua orang ini, segera
iapun berseru, "Itu dia ksatria dari Tong-keh-ceng telah menyusul kemari,
harap kedua Piauthau suka berhenti dulu, mereka memanggil kalian!"
Cukup lantang suara pengiring
kereta itu dan dapat didengar oleh kedua Piausu yang berjalan di depan. Segera
mereka memutar kudanya dan memburu ke belakang sini sambil bertanya, "Ada
urusan apa?...."
Mendengar kedua penunggang
kuda berseragam hitam yang menyusul dari belakang itu adalah orang
Tong-keh-ceng, mau tak mau Pwe-giok dan Lui-ji menaruh perhatian terhadap
mereka. Pwe-giok pura-pura berjongkok untuk membetulkan sepatunya.
Kelihatan kedua orang itu
sangat tergesa-gesa dengan wajah prihatin, masih jauh mereka sudah melompat
turun dari kuda masing-masing. Kedua Piausu tadi juga turun dari kuda mereka
dan menyongsongnya.
Piausu yang disebut she Ci itu
tampaknya gesit dan cekatan, suaranya lantang, ia memberi hormat dan menyapa,
"Karena hari masih terlalu pagi, ketika rombongan kami lalu di daerah
sini, maka kami tidak berani mengganggu. Namun kartu kehormatan dan beberapa
macam oleh-oleh itu adalah siaute dan Ong Tek yang mengantar sendiri ke tempat
kalian."
Rupanya dia kuatir didamperat
oleh pihak Tong-keh-ceng, maka sedapatnya ingin memberi penjelasan.
Pwe-giok saling pandang
sekejap dengan Lui-ji, diam-diam mereka terkejut, pikirnya, "Jangan-jangan
Tong Bu-siang gadungan itu bermaksud menimbulkan malapetaka dan banjir darah di
daerah Sujwan ini, maka kedua orangnya dikirim ke sini untuk melakukan
keganasan?"
Pwe-giok menjadi ragu apakah
dirinya harus ikut campur kejadian ini atau tidak? Dia tidak sampai hati
menyaksikan kedua piausu itu mengalami nasib jelek, tapi juga tidak suka
"memukul rumput mengejutkan ular."
Siapa tahu kedua orang dari
Tong-keh-ceng itu tidak bertindak apa-apa, sebaliknya salah seorang di
antaranya malah tertawa dan berkata, "Justeru setelah membaca kartu nama
kalian baru kami tahu ada Toapiauthau dari Wi-wan-piaukiok lalu di sini,
apabila kami tidak sempat memberi sambutan apa-apa, diharap suka memberi
maaf."
"Ah, tidak berani,"
jawab Ong Tek sambil memberi hormat.
Ci-toapiauthau itu bernama Ci
Kian, katanya, "Kedua Suhu memburu kemari secara tergesa-gesa, entah ada
petunjuk apa kiranya?"
Anak murid keluarga Tong itu
tampak prihatin, ucapnya, "Soalnya ditempat kami...."
Mendadak ia tekan suaranya
sehingga sangat lirih, satu kata saja tak dapat didengar lagi oleh Pwe-giok dan
Lui-ji. Untuk mendekati mereka jelas tidak mungkin, maka diam-diam Lui-ji
sangat mendongkol.
Setelah bisik-bisik, air muka
Ong Tek dan Ci Kian mendadak berubah, serunya, "He, bisa terjadi
begitu?"
Anak murid keluarga Tong itu
mengangguk dengan prihatin.
Lalu Ong Tek dan Ci Kian tidak
bicara lagi, dengan pelahan mereka memberi perintah kepada pengiring kereta
tadi, habis itu mereka lantas mencemplak ke atas kuda dan pergi bersama kedua
orang dari Tong-keh-ceng itu.
Sesudah jauh mereka pergi
barulah Lui-ji berkata sambil berkerut kening, "Sesungguhnya apa yang
terjadi di Tong-keh-ceng, mengapa kedua orang itu kelihatan cemas dan
gugup?"
Belum lagi Pwe-giok menanggapi
Lui-ji sudah mendahului menjawabnya sendiri, "Mungkin semua ini adalah
tipu muslihat yang sengaja diatur oleh Tong Bu-siang gadungan itu, mereka
sengaja menipu kedua orang ini ke Tong-keh-ceng, padahal di sana tidak terjadi
apa-apa."
Makin omong makin dirasakan
betapa cepat jalan pikirannya sendiri, maka segera ia menyambung lagi,
"Kita tidak boleh sembarangan menerjang ke Tong-keh-ceng, kita harus
mencari keterangan lebih dulu, kita tunggu...."
Sudah sekian lama Pwe-giok
berdiam, kini mendadak bersuara, "Dapatkah kau terima suatu
permintaanku?"
Lui-ji melengak, jawabnya,
"Maukah kau katakan lebih dulu mengenai urusan apa?"
"Katakan dulu, mau terima
atau tidak?"
"Ai, tak tersangka kaupun
serupa anak kecil," ujar Lui-ji dengan tertawa. "Aku tidak tahu
urusan apa yang kau minta, mana dapat kukatakan menerima atau tidak. Apabila
kau suruh aku makan kotoran umpamanya...." ia tertawa geli sehingga muka
sendiri menjadi merah.
"Belum pernah kuminta
apa-apa padamu, tapi urusan ini, betapapun kuharap harus kau terima," kata
Pwe-giok.
"Baiklah," jawab
Lui-ji akhirnya sambil menggigit bibir. "Urusan apakah pasti akan
kusanggupi."
Dengan suara tertahan Pwe-giok
lantas bertutur, "Begitu masuk Tong-keh-ceng, di sebelah kiri ada sebuah
Ciu-lau (restoran berloteng), itulah tempat penyambutan tamu Tong-keh-ceng.
Kalau sudah berada di situ, biarpun mereka tahu kedatanganmu adalah untuk
mencari perkara, mereka tidak bakalan mengganggu dirimu, sebab hal ini sudah
menjadi peraturan rumah tangga Tong turun temurun."
"Hah, barangkali hendak
kau suruh kumakan enak di restoran itu? Apa keistimewaan masakan restoran itu,
adakah bebek panggang?" tanya Lui-ji dengan tertawa. "Jika ada,
sekali ini pasti akan kusikat lebih dulu kulitnya."
Setelah makan bebek panggang
dahulu dan diolok-olok oleh Kwe Pian-sian, sampai saat ini ia belum lagi lupa
tentang kulit bebek panggang.
Hati Pwe-giok menjadi terharu,
ucapnya dengan lembut, "Yang ingin kuminta padamu adalah supaya kau
berjanji setiba di Tong-keh-ceng, langsung kau naik ke loteng restoran itu,
apapun yang terjadi atas diriku, tidak boleh kau turun dari sana.
Sampai lama Lui-ji termenung,
katanya kemudian sambil tersenyum pedih, "Jika terjadi apa-apa atas
dirimu, apakah kau kira aku dapat duduk tenteram dan makan bebek panggang di
restoran itu?"
Ia merasa tangan Pwe-giok
mendadak menjadi dingin, lebih dingin daripada es, Ia dapat memahami perasaan
Pwe-giok saat itu, terpaksa ia tertawa dan berkata pula, "Ya, apapun juga
tetap kuterima permintaanmu, aku berjanji takkan meninggalkan restoran
itu."
ooOoo
Ketika mereka berada di jalan
raya menuju ke Tong-keh-ceng, mendadak orang yang berlalu lalang di situ
bertambah banyak.
Pwe-giok melihat orang-orang
itu kebanyakan adalah sahabat Kangouw yang berilmu silat tinggi, ada yang
mencorong sinar matanya, tampaknya sangat tinggi ilmu silatnya.
Mereka pun berpaling
mengamat-amati Pwe-giok dan Lui-ji, ada pemuda cakap dan gadis cantik berjalan
bersama dengan bergandengan tangan, siapapun pasti akan melemparkan pandang sekejap
dua kejap kepada mereka.
Ini belum lagi aneh, yang aneh
ialah air muka orang-orang ini semuanya kelihatan prihatin, seperti menanggung
beban pikiran apa-apa. Beberapa orang di antaranya ketika melihat Ji Pwe-giok
lantas menampilkan rasa terkejut, seperti kenal padanya, tapi kebanyakan orang
hanya memandangnya sekejap saja, lalu menunduk dengan muram.
Dalam pada itu pintu gerbang
perkampungan Tong-keh-ceng sudah kelihatan dari jauh, orang-orang yang melalui
jalan ini pasti akan menuju ke Tong-keh-ceng, tapi mengapa ada orang sebanyak
ini yang berkunjung ke Tong-keh-ceng secara beramai-ramai begini?
Apakah terjadi sesuatu
peristiwa besar di Tong-keh-ceng?
Lui-ji menggenggam tangan
Pwe-giok erat-erat, tiba-tiba ia mendesis, "Kau kira orang-orang ini
apakah tertipu oleh Tong Bu-siang gadungan itu sehingga mereka
berbondong-bondong datang ke sini? Tentunya dia sengaja mengumpulkan mereka,
lalu membunuh mereka sekaligus dengan senjata rahasianya yang berbisa
itu."
Bila teringat kepada keganasan
Ji Hong-ho gadungan, Yang Cu-kang dan lain-lain, tanpa terasa Lui-ji merinding,
ucapnya pula dengan parau, "Dengan demikian, maka segenap jago persilatan
di daerah Sujwan ini akan sekaligus terjaring seluruhnya."
"Mungkin nyalinya belum
sebesar itu," ujar Pwe-giok dengan tertawa.
"Toh orang lain akan
memasukkan kejadian itu dalam perhitungan dengan keluarga Tong," kata
Lui-ji. "Dia kan berusaha mengacau dunia, tujuannya justeru ingin mengaduk
dunia Kangouw ini hingga kacau balau, apapun dapat dilakukannya."
Pwe-giok termenung, ucapnya
kemudian, "Umpama dia berani berbuat demikian, di antara anak murid
keluarga Tong tentu juga ada yang cerdik dan pandai, belum tentu mereka mau
menurut secara membabi buta."
Meski di mulut dia berkata
demikian, dalam hati sebenarnya jauh lebih kuatir daripada Lui-ji, sebab dia
tahu betapa keras tata tertib rumah tangga Tong, perintah sang ketua harus
dipatuhi dan tidak mungkin berubah, sekalipun anak murid keluarga Tong ada yang
tidak setuju juga tidak berani membangkang secara terang-terangan.
Maklumlah anggota keluarga
Tong terdiri dari anak cucu keluarga Tong sendiri tanpa unsur-unsur dari luar,
tata tertib rumah tangga lebih keras daripada tata tertib perguruan,
Ciangbunjin adalah pimpinan tertinggi, maka kekuasaan kepala keluarga Tong jauh
lebih besar daripada ketua perguruan lain, meski Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay
sekalipun.
Lui-ji seperti ingin bicara
apa-apa lagi, tapi pada saat itu juga tiba-tiba diketahui orang-orang yang
berjalan di depan begitu sampai di depan pintu gerbang Tong-keh-ceng, serentak
orang-orang itu sama bertekuk lutut. Bahkan di tengah kerumunan orang banyak
itu sayup-sayup terdengar suara orang menangis.
Lui-ji saling pandang sekejap
dengan Pwe-giok, keduanya sama-sama heran.
Dalam pada itu sekeliling
tanah lapang di depan pintu gerbang Tong-keh-ceng telah berjubal penuh orang
berlutut, di dalam pintu gerbang juga ada belasan orang yang berlutut dan
membalas hormat kepada orang-orang di luar.
Belasan orang di dalam pintu
itu tampak berpakaian berkabung dengan wajah yang berduka cita, beberapa
diantaranya bahkan merah bendul matanya. Pwe-giok kenal seorang diantaranya
yang bermuka bundar dan rada gendut, yaitu murid ke tujuh dalam keluarga Tong,
terkenal di dunia Kangouw dengan julukan "Jian-jiu-mi-to" atau si
Budha gendut seribu tangan, namanya Tong Siu-jing, dia inilah yang menjabat
sebagai juragan restoran yang merangkap sebagai penyambut tamu.
Seorang lagi juga dikenal
Pwe-giok, yaitu yang bermuka lebar, ialah Tong Siu-hong yang berjuluk
"Thi-bin-giam-lo" atau si raja akhirat berwajah besi, artinya selalu
bertindak tegas tanpa kenal ampun dan tidak pandang bulu.
Kedua orang ini bukan saja
terhitung anak murid keluarga Tong pilihan, bahkan di dunia Kangouw juga sudah
lama termasyhur namanya. Tapi kini kedua orang inipun memakai baju berkabung,
menyambut tamu dalam kedudukannya sebagai Haulam atau putera orang yang wafat.
Jelaslah sekarang bahwa dalam keluarga Tong telah kematian orang, bahkan orang
yang mati ini berkedudukan sangat tinggi dan terhormat.
Sungguh Pwe-giok tidak dapat
menerkanya siapakah yang meninggal dunia itu?
Lui-ji tampaknya juga
tercengang, bisiknya kepada Pwe-giok, "Kita terlambat tiba di sini, entah
sudah berapa banyak anggota keluarga Tong yang menjadi korban kekejiannya. Dia
tidak mencelakai orang luar, tapi membunuh dulu anggota keluarganya sendiri,
hal inipun sangat aneh."
Meski dia bicara dengan
pelahan, tapi ada sebagian orang yang telah berpaling dan memandangnya. Orang
lain sama bertekuk lutut, hanya mereka berdua saja yang berdiri ditengah-tengah
orang banyak, dengan sendirinya sangat menarik perhatian orang lain.
Pwe-giok berkerut kening,
cepat ia tarik Lui-ji dan ikut berlutut. Meski tidak rela, tapi mau tak mau
anak dara itu menurut juga.
Terdengarlah seorang berseru
dengan menangis, "Sungguh langit dan awan yang tak dapat diramal, dan
manusia setiap saat dapat dirundung malang atau tertimpa rejeki. Orang yang
bijaksana seperti Tong-loyacu kita harapkan sedikitnya akan berumur panjang
hingga seratus tahun, siapa tahu sekarang beliau telah wafat."
Lalu seorang tadi menyambung,
"Tapi orang meninggal tak dapat hidup kembali, hendaklah saudara jangan
terlalu berduka. Kepergian Tong-loyacu merupakan suatu kehilangan besar bagi
dunia Kangouw umumnya dan Bu-lim daerah Sujwan khususnya, maka untuk
selanjutnya diperlukan kepemimpinan saudara sekalian."
Orang yang bicara ini sudah
ubanan, tampaknya seorang tokoh angkatan tua dunia persilatan daerah Sujwan,
sebab itulah dia hanya membahasakan pihak tuan rumah sebagai saudara karena dia
anggap dirinya sendiri lebih tua.
Sebaliknya para anak murid
keluarga Tong hanya mengangguk rendah-rendah dan tidak ada yang menanggapi,
semuanya tampak menangis sedih.
Yang mati ternyata "Tong
Bu-siang" adanya.
Sungguh Pwe-giok tidak berani
percaya, tapi mau tak mau harus percaya.
Cu Lui-ji juga melenggong,
sampai sekian lama tak dapat bicara. Setelah orang yang berlutut itu
beramai-ramai sudah bangkit, barulah dia berkata kepada Pwe-giok dengan suara
tertahan, "Tong Bu-siang gadungan tidak nanti mati, sampai Tong Giok yang
merupakan orang kepercayaan keluarga Tong juga mengakui Tong Bu-siang palsu itu
sukar dibedakan cirinya, tidak nanti anggota keluarga Tong yang lain dapat
mengetahui kepalsuannya hanya dalam waktu sesingkat ini."
Setelah mengerling kembali ia
berkata, "Maka kukira, bisa jadi dengan jalan ini dia sengaja hendak
memancing kedatangan orang banyak..."
Tapi Pwe-giok lantas
menggeleng, katanya, "Jika dia ingin memancing orang-orang ini ke sini
cara lain masih cukup banyak, kukira tidak perlu pura-pura mati. Apalagi duka
cita yang diperlihatkan anak murid keluarga Tong tampaknya juga tidak
pura-pura."
"Jika begitu, jadi kau
anggap anak murid keluarga Tong telah mengetahui kepalsuannya, lalu
membunuhnya?" tanya Lui-ji.
"Juga tidak bisa terjadi
begitu," kata Pwe-giok. "Kalau anak murid keluarga Tong mengetahui
kepalsuannya dan membunuhnya, tentu mereka takkan sedemikian berdukanya dan
mengadakan upacara pemakaman sebesar ini."
"Habis bagaimana, apakah
dia mati karena sakit keras mendadak?" kata Lui-ji pula.
"Juga tidak
mungkin," ujar Pwe-giok. "Ji.... orang she Ji itu cukup licin dan
dapat berpikir panjang, kalau dia sudah berani mengirimnya ke sini tentu
kesehatan orang ini dapat diandalkan, tidak nanti dia mati sakit. Mana mereka
mau bersusah payah membuang pikiran dan tenaga serta daya atas diri yang tak
dapat diandalkan."
"Betul juga," kata
Lui-ji. "Jika mereka berani mengirimnya ke sini, dengan sendirinya mereka
yakin Tong Bu-siang gadungan itu takkan ketahuan belangnya dan juga tidak
mungkin mati sakit mendadak. Tong Bu-siang gadungan sendiri juga tidak mungkin
pura-pura mati, lantas mengapa dia mati?"
Pwe-giok tak dapat
menjawabnya.
Kejadian itu memang di luar
dugaan dan sukar untuk dibayangkan.
ooOoo
Orang yang melayat itu
kemudian membanjir masuk ke dalam Tong-keh-ceng.
Terpaksa Pwe-giok dan Lui-ji
ikut arus manusia masuk ke sana. Urusan sudah kadung begini, mereka hanya dapat
maju dan tidak dapat mundur lagi.
Terlihat setiap rumah di kedua
sisi jalan raya di dalam Tong-keh-ceng sama tutup pintu, semuanya ikut
berkabung, wajah setiap orang tampak muram durja. Maka Pwe-giok tambah yakin
apa yang terjadi ini pasti bukan cuma pura-pura belaka.
Pada ujung jalan raya sana ada
sebuah ruang pendopo yang sangat luas, di situlah biasanya anak murid keluarga
Tong mengadakan rapat, tapi sekarang pendopo ini digunakan sebagai tempat
semayam peti mati Tong Bu-siang.
Terdengar suara tangisan ramai
di ruang besar itu, para pelayat satu persatu bergiliran masuk ke sana
menyampaikan penghormatan terakhir.
Pwe-giok dan Lui-ji juga ikut
di belakang dan masuk ke ruangan pendopo itu. Wajah setiap orang tampak berduka
cita, sekalipun orang yang biasanya tidak ada hubungan dengan Tong Bu-siang,
kini mau tak mau juga ikut sedih oleh suasana yang memilukan ini.
Di tengah pendopo terletak
peti mati Tong Bu-siang dan meja sembahyang, di belakang peti mati terpasang
tabir yang panjang, suara tangisan di belakang tabir terdengar lebih berduka
daripada yang lain, sebab famili perempuan keluarga Tong sama berada di situ.
Jika suara tertawa orang
perempuan umumnya lebih lirih daripada suara tertawa orang lelaki, maka suara
tangis orang perempuan jauh lebih keras daripada lelaki.
Di kedua sisi pendopo terdapat
dua - tiga puluh meja bundar besar, hampir semua meja sudah penuh dikelilingi
tetamu, agaknya para pelayat sedang menunggu akan mencicipi perjamuan berduka
cita keluarga Tong.
Diam-diam Pwe-giok merasa
gegetun. Para pelayat ini entah datang untuk makan atau benar-benar hendak
berbela sungkawa terhadap orang mati?
Pelayat yang datang belakangan
banyak yang melongok ke sini dan memandang ke sana, kuatir tidak mendapatkan
tempat di meja perjamuan. Tapi segera ada anak murid keluarga Tong yang
bertugas sebagai penyambut tamu membawa mereka keluar. Kiranya di tanah lapang
di depan pendopo juga sudah penuh terpasang berpuluh meja perjamuan.
Maka senanglah para pelayat
itu, semuanya berduduk lalu perjamuan lantas dimulai, santapan lezat pun
disajikan berturut-turut.
Terpaksa Pwe-giok dan Lui-ji
ikut berduduk di tengah para pelayat itu. Karena menanggung macam-macam
pikiran, tidak ada napsu makan mereka, sebaliknya para pelayat yang tadi
kelihatan berduka cita kini sedang makan dengan lahapnya.
Diam-diam Lui-ji menarik ujung
baju Pwe-giok dan bertanya, "Apakah kita hanya duduk makan di sini, habis
makan lantas angkat kaki, begitu?"
Pwe-giok hanya menyengir saja
tanpa menjawab
Sambil menggigit bibir Lui-ji
berkata pula, "Mengapa tidak kau cari nona yang bernama Tong Lin itu untuk
mencari keterangan tentang apa yang terjadi sebenarnya?"
Nyata nadanya masih berbau
cuka alias cemburu.
Selagi Pwe-giok merasa serba
salah, tiba-tiba datang seorang genduk cilik yang mendekat ke sini, yang dicari
juga bukan orang lain, tapi justeru Pwe-giok.
Setiba di depan Pwe-giok, babu
cilik itu memberi hormat dan bertanya dengan suara pelahan, "Tuan ini Ji
Pwe-giok, Ji-kongcu bukan?"
Tak tersangka oleh Pwe-giok
bahwa babu cilik itu mengenalinya, lebih-lebih tak diketahuinya ada urusan apa
mendadak dirinya ditanyakan? Terpaksa ia menjawab. "Betul, aku memang Ji
Pwe-giok."
Dengan suara bisik-bisik
seperti sangat rahasia babu cilik itu berkata pula, "Orang yang terhormat
sebagai Ji-kongcu mana boleh berduduk di sini? Di dalam ada tempat bagi tamu
agung, silakan Ji-kongcu berpindah ke dalam saja."
Pwe-giok menjadi bingung,
mengapa dirinya bisa mendadak berubah menjadi tamu agung, ia menjawab dengan
ramah, "Di sini sudah cukup baik, nona tidak perlu repot."
"Tapi nona kami memberi
pesan wanti-wanti kepada hamba agar jangan kekurangan pelayanan terhadap
Ji-kongcu, jika Ji-kongcu tidak sudi pindah ke dalam, tentu hamba akan dimarahi
nona."
Mendengar "nona"
yang disebut-sebut itu, seketika air muka Lui-ji berubah kecut, segera ia
berdiri dan berkata, "Jika demikian, marilah kita pindah ke dalam
saja."
Genduk cilik itu memandangi
Lui-ji dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, lalu berkata pula, "Tapi
di dalam juga sudah.... sudah penuh, tinggal satu tempat saja, maka.... maka
nona...."
Namun Lui-ji tidak menghiraukannya,
ia tarik Pwe-giok dan diajak masuk ke dalam.
Tampaknya genduk itu menjadi
serba susah, ingin merintangi juga tidak berani, terpaksa ia berkata,
"Harap nona tinggal di sini saja...."
Tiba-tiba Lui-ji menoleh dan
tertawa, katanya, "Bukan nona, tapi nyonya!"
"Nyonya?" genduk itu
menegas dengan mulut melongo.
"Ya, nyonya Ji,
Ji-hujin," kata Lui-ji
Genduk itu tambah tercengang,
"Ji... Ji-hujin?" kembali ia menegas.
"Betul, Ji-hujin,"
Lui-ji tersenyum. "Kalau Ji-kongcu diundang ke dalam, masakah Ji-hujin
mesti duduk sendirian di luar sini?"
Seketika genduk cilik itu
terbelalak, sampai sekian lamanya barulah ia menunduk dan berkata,
"Baiklah, silahkan Tuan dan Nyonya."
Kembali Pwe-giok dibuat serba
salah oleh olah Lui-ji itu, ia tahu pasti Tong Lin yang berada di belakang
tabir itu melihatnya, maka pelayan pribadi ini disuruh mengundangnya ke dalam.
Lui-ji memandangnya dengan
tertawa tak tertawa dan mendesis, "Sudah kuduga, biarpun tidak kau cari
dia, tentu dia yang akan mencari dirimu."
Setiba di meja perjamuan
ruangan dalam, Pwe-giok melihat yang hadir di sini kalau bukan orang tua yang
sudah ubanan tentu juga tokoh Bu-lim yang terhormat.
Iapun sungkan berbicara dengan
orang, dia hanya memberi hormat sekedarnya kepada hadirin yang lain, lalu berduduk
dan angkat sumpit terus mencomot santapan. Sesungguhnya bukan lantaran mereka
rakus, tujuannya asalkan mulut terisi, maka bebaslah daripada macam-macam
kerewelan.
Sebaliknya orang-orang itu
sama mendeliki mereka, agaknya heran mengapa keluarga Tong membawa dua orang
"anak kecil" ke tempat duduk kaum "Tokoh besar" sini.
Untuk menandakan mereka tidak
suka akan kehadiran Pwe-giok berdua, mereka hanya saling angkat cawan arak
diantara mereka sendiri dan sengaja tidak menghiraukan Pwe-giok. Tak tahunya sikap
mereka ini justeru kebetulan malah bagi Pwe-giok.
Waktu itu di balik tabir sana
ada sepasang mata yang merah bendul terlalu banyak menangis sedang mengintip,
setelah memandang Pwe-giok sekejap, lalu melotot ke arah Lui-ji. Sorot matanya
penuh rasa duka dan hampa, juga penuh rasa dendam dan benci.
Untung tiada seorang pun yang
memperhatikan sepasang mata itu, sebab pada saat itu juga dari meja perjamuan
di pojok sana tiba-tiba maju seorang lelaki jangkung.
Orang ini berwajah hitam dan
berpinggang kasar, bergodek, tampangnya sangat menyolok. Dengan langkah lebar
ia mendekati layon Tong Bu-siang, lebih dulu ia memberi hormat kepada para
hadirin, lalu berseru. "Tong-loyacu mempunyai nama besar dan terhormat,
beliau adalah tokoh utama dunia persilatan wilayah Sujwan sini, sekali ini
beliau mendadak wafat, tidak ada seorangpun di dunia persilatan Sujwan sini
yang tidak merasa kehilangan dan berduka cita."
Kata-kata demikian entah sudah
berapa kali diucapkan orang, tapi orang ini masih sok aksi dan mencerocos
panjang lebar, tentu saja membosankan hadirin yang lain, semua orang saling
pandang dan mengira orang ini mungkin kurang waras.
Tapi lelaki hitam itu seperti
tidak perduli dengan orang lain, ia menyambung lagi, "Yang paling harus
disesalkan adalah akhir-akhir ini Tong-loyacu selalu berdiam di dalam rumah dan
jarang keluar. Biasanya orang-orang luar memang kurang beruntung dapat berjumpa
dengan beliau, sekarang beliau berpulang ke alam baka, selanjutnya kita akan
terpisah untuk selamanya dan tidak dapat menemui beliau lagi. Sebab itulah
sekarang ada usulku, kita harus memberi penghormatan yang terakhir kali di
hadapan wajah beliau sekedar kenang-kenangan."
Haulam, yaitu putera yang
ditinggal mati, atau diwakilkan muridnya, memberi hormat dan menjawab, "Tapi
peti mendiang guru kami sudah tertutup, maksud baik anda ini kami terima dengan
terima kasih di dalam hati saja, di alam baka arwah guru kami pun akan merasa
terhibur."
Jawaban ini sebenarnya cukup
sopan dan beralasan, tapi lelaki muka hitam itu tetap ngotot pada pendiriannya,
dia malah mendekati peti mati dan berteriak, "Kalau untuk memandang
terakhir kali saja tidak dapat, bukankah kita akan menyesal selama hidup?"
Haulam tadi menjawab pula,
"Peti mati yang sudah di tutup tidak boleh diganggu lagi, diharap anda
maklum, untuk maksud baik anda kami mengucapkan terima kasih."
Meski jawaban mereka kelihatan
tetap ramah tamah, tapi air muka mereka sudah kelihatan kurang senang, nadanya
juga sudah berubah agak kasar.
Tak tahunya lelaki muka hitam
itu tetap tidak tahu diri, masih terus ngotot ingin melihat wajah Tong Bu-siang
yang terakhir, ia berteriak pula, "Ku datang dari tempat beribu Li
jauhnya, tentunya tidak boleh pulang dengan kecewa. Sudah lama ku kagum pada
nama kebesaran Tong-loyacu, masa untuk melihatnya satu kali saja tidak
dapat?"
Sambil gembar-gembor ia terus
berlari mendekati peti mati.
Keruan para hadirin sama
gempar, banyak yang mengira orang ini sudah gila, tapi Pwe-giok dapat melihat
orang ini pasti mempunyai maksud tujuan tertentu dan sukar diraba.
Bagi Lui-ji, dia justeru
berharap orang itu dapat membongkar peti mati selekasnya, ingin diketahuinya di
dalam peti mati itu apakah betul Tong Bu-siang atau bukan? Ingin dilihatnya
cara bagaimana kematian Tong Bu-siang?
Para Haulam yang berlutut di
depan layon menjadi panik juga, serentak mereka berdiri.
Jika dalam keadaan biasa,
orang ini berani main gila di Tong-keh-ceng, tentu sejak tadi orang ini telah
dibereskan. Tapi sekarang kedudukan mereka adalah keluarga yang sedang
berduka-cita, mana boleh pakai kekerasan di depan layon orang tua sendiri.
Terpaksa mereka hanya
menghadang saja di depan lelaki muka hitam itu dan menegur dengan menahan rasa
gusar, "Mungkin anda ini mabuk!"
"Siapa yang mabuk?"
kata orang itu. "Satu tetes saja aku tidak minum. Tujuanku hanya ingin
melihat Tong-loyacu untuk penghabisan kalinya, masa perbuatan itu melanggar
undang-undang?"
Seorang lelaki kekar yang
duduk dekat Pwe-giok mendadak menggebrak meja dan berdiri, bentaknya,
"Hendaknya kau tahu diri, sobat! Meski saudara dari keluarga Tong tidak
leluasa turun tangan, tapi bila kau berani sembarangan main gila, aku Nyo
Eng-tay yang pertama-tama akan memberi hajaran padamu."
Nyo Eng-tay ini berjuluk
"Kay-pi-jiu", si tangan pembelah pilar, namanya cukup gemilang di
dunia persilatan daerah Sujwan. Ucapannya ini juga cukup gagah perkasa dan
beralasan, segera ada orang bersorak mendukungnya.
Tak terduga mendadak dari luar
ada orang menjengek, "Hm, Nyo Eng-tay, sebaiknya kau pun tahu diri sedikit
dan lekas tutup mulut! Kalau tidak, sebentar orang pun akan membongkar
perbuatanmu di Soa-peng-pah dahulu itu!"
Suara orang itu kedengaran
seperti suara banci, para hadirin sama melongok ke arah suaranya, tapi tiada
kelihatan bayangan seorangpun.
Namun begitu wajah Nyo Eng-tay
sudah lantas merah padam, sekujur badan kelihatan gemetar, benarlah, dengan
ketakutan ia lantas duduk kembali dan tidak berani bersuara pula.
Pada saat itu ada seorang tua
yang mungkin cukup berkedudukan seperti ingin bicara, tapi seorang tua lain cepat
menariknya dan membisikinya, "Untuk apa Oh-heng mencari susah sendiri?
Urusan keluarga Tong biar diselesaikan mereka sendiri, masa orang luar perlu
ikut campur?"
Benar juga, orang itupun duduk
kembali dan tutup mulut.
Pwe-giok tambah curiga, kini dapat
diketahuinya bahwa maksud tujuan lelaki muka hitam itu jelas sengaja cari
perkara, bahkan di belakangnya pasti ada yang mendalanginya. Orang yang
bersuara di luar tadi bisa jadi juga begundal "Ji Hong-ho" itu.
Jika demikian, kematian
"Tong Bu-siang" pasti juga mengandung rahasia sangat besar.
Tampaknya anak murid keluarga
Tong juga merasakan gelagat tidak enak, diam-diam dari luar sudah masuk
beberapa orang dan telah menjaga rapat semua jalan keluar, agaknya lelaki muka
hitam itu takkan dibiarkan pergi begitu saja.
Tapi lelaki muka hitam ini
hakekatnya tidak ada maksud pergi, dengan suara garang ia malah berkata pula,
"Mengapa kalian tidak mengijinkan orang luar melihat wajah Tong-loyacu
yang terakhir, apakah karena kematian Tong-loyacu ada sesuatu yang tidak beres?
Jika demikian, kami justeru harus melihat wajahnya."
Ucapan ini kembali membikin
gempar para pelayat. Ada sebagian hadirin diam-diam merasakan apa yang
dikatakan orang ini juga cukup beralasan.
Tentu saja anak murid keluarga
Tong bertambah gusar, segera ada yang membentak, "Sahabat, kalau bicara
hendaknya yang jelas dan tahu aturan."
"Masa ucapanku kurang
jelas dan melanggar aturan?" jawab si muka hitam, "Jika kalian
sendiri tidak berbuat salah, mengapa...."
"Tutup mulut!"
bentak seorang mendadak.
Suaranya tidak keras, tapi
membawa semacam wibawa yang menundukkan orang. Tanpa terasa lelaki bermuka
hitam menyurut mundur dan tak berani bersuara lagi. Tertampaklah dari balik
tabir sana muncul beberapa orang perempuan berbaju putih berkabung.
Perempuan yang paling depan
bertubuh ramping, baju berkabung yang putih mulus bersih sekali, raut wajahnya
yang agak lonjong kelihatan penuh rasa berduka, namun tidak mengurangi
wibawanya yang kereng dan disegani.
Inilah Tong Ki, nona pertama
keluarga Tong yang memegang kekuasaan rumah tangga tertinggi.
Perempuan kedua bermuka
bundar, matanya juga bundar besar, kelihatan lembut dan subur, inilah model
isteri bijak dan ibu yang baik, menantu teladan. Dia inilah isteri
Tong-toakongcu, namanya Li Be-ling.
Orang ketiga bertubuh lemah
kurus, matanya yang hitam rada cekung, biasanya selalu berwajah sayu, kini
kelihatan lebih berduka.
Dia seperti sengaja melirik
sekejap ke arah Pwe-giok, lalu menunduk, sorot matanya memancarkan setitik
perasaan benci, seakan-akan menyatakan tidak ingin lagi melihat anak muda itu.
Inilah nona kedua keluarga
Tong, yakni Tong Lin.
Begitu muncul dari balik
tabir, ketiganya lantas memberi hormat kepada para hadirin. Serentak para tamu
membalas hormat mereka.
Sambil menyembah di lantai
Tong Ki berkata, "Atas wafatnya ayah kami dan berkat kehadiran kalian yang
sudi melayat kemari, lebih dulu atas nama keluarga kuucapkan terima
kasih."
Beramai-ramai para tamu
menyatakan bela sungkawanya.
Lalu Tong Ki berucap pula,
"Sebenarnya tidak pantas kami keluar menemui para hadirin, tapi lantaran
ini...." pelahan dia angkat kepalanya dan menatap tajam lelaki muka hitam,
lalu iapun berdiri dan bertanya, "Bolehkah kiranya mengetahui nama anda
yang mulia?"
Lelaki muka hitam berdehem
dua-tiga kali, lalu berkata, "Cayhe Gui Som-lim, tidak lebih hanya
Bu-beng-siau-cut (perajurit kecil tidak bernama) dunia Kangouw, hanya
saja...."
Mendadak Tong Ki menarik muka,
tukasnya dengan suara bengis, "Bagus, Gui Som-lim, coba jawab, siapa yang
menyuruh kau kemari?"
Diam-diam Pwe-giok memuji,
"Nona besar keluarga Tong ini memang benar pahlawan kaum wanita, pintar
dan cerdik, sama sekali dia tidak menegur kelakuan Gui Som-lim yang
berteriak-teriak tadi, tapi langsung bertanya siapa yang menyuruh dia ke sini.
Hanya satu pertanyaan saja sudah mengalihkan perhatian semua orang. Dengan
sendirinya Gui Som-lim takkan mengaku diperintah orang lain, tapi bila dia
tidak dapat memberi keterangan, tentu takkan ada orang lain lagi yang
menyangsikan sebab musabab kematian Tong Bu-siang."
Tadi Gui Som-lim masih
berseri-seri dan gembar-gembor, tapi sekarang air mukanya berubah pucat, ia
menjawab dengan agak gelagapan, "Cayhe datang melayat dan tidak.... tidak
disuruh oleh siapa-siapa."
Tong Ki menjengek,
"Ruangan layon ini bukanlah tempat untuk membunuh, tapi kalau kau tidak
bicara sejujurnya...."
Mendadak ia berhenti dan
memberi tanda lambaian tangan. Seketika di luar ada bunyi gembereng satu kali.
Lalu Tong Ki menyambung
ucapannya, "Nah kau dengar suara gembereng itu, bukan?"
"Ya, deng...
dengar." jawab Gui Som-lim.
"Bila gembereng sudah
berbunyi tiga kali dan belum lagi kau bicara terus terang, segera darahmu akan
berhamburan di sini," ancam Tong Ki.
Dia bicara dengan tenang saja,
namun nadanya berwibawa dan membikin orang mau tak mau percaya akan kebenaran
ancamannya itu.
Wajah Gui Som-lim tampak pucat
pasi, dengan suara terputus-putus ia menjawab. "Apa yang kukatakan tadi
adalah.... adalah sejujurnya."
Tong Ki tidak menanggapi lagi,
ia berdiri dengan berlipat tangan seolah-olah tidak mendengar ucapan orang.
Menyusul di luar ruangan
gembereng berbunyi pula satu kali.
Mendadak Gui Som-lim membalik
tubuh terus berlari pergi secepat terbang. Nyata ia bermaksud kabur.
Akan tetapi saat itu juga Tong
Siu-jing dan Tong Siu-hong segera muncul dari luar, keduanya tepat menghadang
jalan pergi Gui Som-lim.
Thi-bin-giam-lo, si raja
akhirat bermuka besi, sesuai julukannya, Tong Siu-hong memang tegas dan tidak
kenal ampun terhadap siapapun yang bersalah. Kini matanya tampak merah membara,
napsu membunuhnya berkobar.
Gui Som-lim bergidik dan tanpa
terasa menyurut mundur selangkah demi selangkah.
Mendadak gembereng berbunyi
pula.
Pada saat itulah di tengah
para pelayat itu mendadak terdengar suara jeritan ngeri!
Sebarisan orang yang berdiri
di depan layon sana sama menampilkan perasaan takut luar biasa. Tanpa terasa
Tong Ki juga berpaling ke sana ....
Dan sekali pandang, seketika
iapun terperanjat.
Kiranya peti mati Tong
Bu-siang entah sejak kapan telah dibuka orang, mayat Tong Bu-siang telah
berdiri tegak bersama peti matinya, di bawah cahaya yang remang-remang
kelihatan mukanya yang pucat kuning, mata terpejam, meski tidak begitu
menakutkan mukanya, tapi keseraman orang mati cukup membikin orang merinding.
"Di belakang peti pasti
ada orang, tangkap!" teriak Tong Ki bengis.
Serentak Tong Siu-jing dan
Tong Siu-hong menubruk maju ke sana.
Pada saat itu pula mayat Tong
Bu-siang mendadak melayang keluar dengan kaku dari peti matinya.
Pwe-giok juga sudah dapat melihat
di belakang peti mati pasti ada orang membikin mayat Tong Bu-siang terpental
dengan Lwekang yang kuat, tapi mendadak berhadapan dengan kejadian aneh luar
biasa ini, tanpa terasa tangan Pwe-giok juga berkeringat dingin.
Dilihatnya mayat Tong Bu-siang
yang kaku itu langsung menerjang ke arah Tong Siu-hong dan Tong Siu-jing yang
lagi menubruk ke depan. Mestinya mereka tidak berani menggunakan tangan untuk
menangkap mayat itu, tapi mau tak mau mereka harus menangkapnya.
Suara aneh yang berbunyi di
luar jendela kembali bergema pula dari balik peti mati, ucapnya dengan seram,
"Tong Bu-siang sudah muncul, kenapa kalian tidak lekas menyembah
padanya?"
Belum lenyap suaranya,
serentak empat atau lima orang anak murid keluarga Tong telah menubruk ke sana.
Meski sedang berkabung, namun dalam baju mereka selalu membawa Am-gi atau
senjata rahasia khas keluarga Tong yang termasyhur.
"Roboh, sahabat!"
bentak salah seorang.
Berbareng dengan suara
bentakan itu, senjata rahasia merekapun berhamburan, berpuluh bintik hitam
menyambar ke belakang peti mati bagai hujan gerimis.
Am-gi keluarga Tong tiada
bandingannya di dunia ini, bukan saja buatannya cermat dan bagus, cara
menyambitkannya juga bergaya khas. Berpuluh bintik hitam itu menyambar ke depan
dengan kecepatan yang berbeda, ada yang lambat, ada yang cepat, yang cepat
belum tentu sampai lebih dulu, yang lambat bisa mendadak menyambar tiba dengan
kuat. Jadi sukar diraba dan susah dijaga.
Semua orang mengira orang yang
berada di belakang peti mati itu sekali ini pasti sukar terlolos dari kematian.
Siapa tahu mendadak terdengar suara tertawa panjang, berpuluh bintik senjata
rahasia itu mendadak berputar haluan di udara, semuanya terbang balik dan
menyambar ke arah anak murid keluarga Tong sendiri.
Sambaran membalik ini jelas
lebih keras daripada sambaran ke sana tadi, tampaknya dengan segera senjata
akan makan tuannya.
Keruan anak murid keluarga
Tong itu terkejut, cepat mereka menutupi muka sendiri dengan tangan kanan,
tangan kiri melintang di depan dada, lalu melompat ke atas dan berjumpalitan
sekali, ketika jatuh ke lantai, serentak mereka menggelinding jauh ke sana.
Cara menghindar mereka sudah
cepat, tapi sambaran Am-gi jauh lebih cepat. Tanpa ampun pundak dan lengan ke
empat orang masing-masing terkena beberapa bintik senjata rahasia tersebut,
belum lagi mereka melompat bangun, lebih dulu mereka merogoh saku dan
mengeluarkan botol kecil, obat penawar racun dalam botol terus ditelan, lalu
berbaring di lantai dan tidak berani bergerak sedikitpun.
Maklumlah, senjata rahasia
keluarga Tong terkenal maha lihay racunnya, sampai di mana kekejiannya tentu
mereka sendiri yang paling tahu. Jika urat nadi yang berdekatan dengan jantung
terkena senjata rahasia itu, dengan cepat racun akan menyerang jantung,
sekalipun ada obat penawar buatan khusus juga belum tentu dapat menyelamatkan
jiwa mereka.
Bila mata yang terkena senjata
rahasia itu, sekalipun dapat ditolong, namun penderitaan mengorek mata dan
membedah kulit daging tentu juga dapat dibayangkan.
Sebab itulah lebih dulu mereka
melindungi bagian-bagian yang fatal dengan tangan sendiri, sekarang setelah
makan obat penawar toh mereka tetap kuatir racun akan menjalar, maka mereka
harus berbaring diam, setelah obat penawar sudah berjalan barulah mereka berani
berdiri.
Di sebelah sini ke empat orang
terluka dan roboh, di sebelah sana Tong Siu-hong dan Tong Siu-jing juga sudah
menurunkan mayat yang mereka pegang, lalu mereka menerjang musuh pula dari
kanan dan kiri.
Pengalaman tempur dan kungfu
kedua orang ini dengan sendirinya jauh lebih tinggi daripada sesama saudara
seperguruannya, bahkan gerakan merekapun jauh lebih cermat.
Tak terduga, pada saat itulah,
"blang", mendadak peti mati itu pecah menjadi dua, terbelah bagian
tengah, lalu menghantam ke kanan dan ke kiri, memapak serbuan Tong Siu-jing dan
Tong Siu-hong.
Peti mati itu terbuat dari
kayu pilihan, biarpun tertanam di bawah tanah berpuluh tahun juga tetap utuh
tanpa keropos, maka dapat dibayangkan betapa kuat dan kerasnya.
Tapi sekarang sekali tabas
dengan telapak tangannya orang itu sanggup membelahnya menjadi dua, keruan
semua orang terkejut.
Seketika Tong Siu-jing dan
Tong Siu-hong merasa pecahan peti mati itu menindih tiba bagai gugur gunung
dahsyatnya, masih berjarak cukup jauh sudah terasa daya tindihnya yang hebat
sehingga napaspun terasa sesak.
Dalam kejutnya kedua orang itu
cepat menjatuhkan diri dan menggelinding ke samping, maka terdengarlah suara
gemuruh, kedua potong peti mati yang pecah itu menghantam lantai dan mencelat
pula ke sana dan menumbuk dinding, seketika batu pasir bertebaran.
Sial bagi yang terciprat batu,
banyak yang menjerit kesakitan. Yang tidak tertimba batu juga cepat-cepat
berlari menyingkir, malahan ada yang sembunyi di kolong meja sehingga meja
kursi berjungkir balik dan mangkuk piring pecah berantakan.
Setelah kekacauan agak mereda,
barulah semua orang melihat di samping mayat Tong Bu-siang telah berdiri
seorang berbaju hijau dengan tersenyum simpul.
Anak murid keluarga Tong
serentak mengepungnya dan mengawasi musuh dengan siap serbu. Namun orang ini
tetap menghadapi mereka dengan tertawa pongah seperti tiada sesuatu yang
ditakutinya.
Orang ini bukan saja sangat
muda, tampaknya juga sopan santun, juga sangat cakap, hanya sikapnya kelihatan
kemalas-malasan, mirip orang yang selalu kurang tidur.
Tidak ada seorang Kangouw yang
hadir ini kenal pemuda ini, siapapun tidak menyangka orang semuda ini memiliki
tenaga dalam sedemikian hebat.
Hanya Pwe-giok dan Lui-ji saja
yang kenal orang ini, tapi mereka jauh lebih terkejut daripada orang lain,
sebab mereka tidak pernah menyangka pembuat gara-gara ini ialah Yang Cu-kang.
ooOoo
Akhirnya Yang Cu-kang datang
juga!
Anak murid keluarga Tong sama
melolos senjata dan mengepungnya di tengah, setiap saat mereka siap turun
tangan.
Tapi mendadak Tong Ki
membentak dengan suara tertahan, "Mundur semua!"
Tampaknya nona besar keluarga
Tong ini sekarang sudah bertindak selaku Ciangbunjin, begitu dia memberi
perintah, serentak anak murid keluarga Tong terpencar, sampai Tong Siu-hong
juga meluruskan tangan dan tunduk kepada perintahnya.
Di tengah kekalutan juga cuma
Tong Ki saja yang tetap dapat mempertahankan ketenangannya, sorot matanya
seperti kilat berkelebat mengusap wajah Yang Cu-kang. Lalu jengeknya,
"Usia anda masih muda, tapi kungfumu sudah setinggi ini, tentu anda anak
murid orang kosen. Tapi mengacau di ruang layon orang lain, membikin anggota
keluarganya yang hidup tambah susah dan membuat yang mati merasa terhina,
apakah cara inipun termasuk ajaran perguruan anda?"
Asalkan nona besar keluarga
Tong sudah buka suara, setiap katanya pasti mempunyai bobot. Kini dia tidak
bertanya siapa nama dan asal usul orang, sebaliknya semua perbuatannya itu
ditumplekkan atas perhitungan perguruannya, hal ini membuat lawan menjadi serba
susah untuk menjawab.
Yang Cu-kang mengamat-amati
Tong Ki beberapa kejap, dari atas dipandangnya ke bawah dan dari bawah diulang
lagi ke atas, lalu berkata dengan tertawa, "Pantas orang Kangouw sama
bilang nona besar keluarga Tong kita lihay dan galak, seekor harimau betina, setelah
berhadapan sekarang ternyata memang tidak bernama kosong, benar-benar tidak
bernama kosong...."
Dia menengadah dan
terbahak-bahak, mendadak ia berhenti tertawa, dengan sorot mata yang tajam dia
tatap para hadirin yang memenuhi ruangan luar dan dalam itu, lalu berseru
dengan lantang, "Cayhe Yang Cu-kang adanya, meski bukan anak murid
perguruan ternama segala, juga bukan keturunan keluarga terhormat, tapi juga
tidak nanti melakukan hal-hal yang melanggar tata susila begini. Apa yang
kulakukan sekarang ini tidak bermaksud mengganggu arwah Tong-locianpwe,
sebaliknya ingin kutuntut kebenaran baginya, sebab itulah diharapkan para
hadirin suka memberi keadilan."
Ia kuatir perbuatannya
mengganggu mayat dan merusak peti mati itu akan menimbulkan amarah umum. Tapi
setelah uraiannya ini, pandangan semua orang lantas berubah lagi. Semua orang
telah tertarik oleh kata "menuntut kebenaran" tadi, semuanya lantas
berpikir, "Apakah barangkali kematian Tong-locengcu ini ada sesuatu yang
tidak beres?"
Tong Ki tidak sabar lagi,
segera ia menjengek, "Kiranya orang she Gui itu adalah suruhanmu, kau
suruh dia mengacau di depan layon untuk memancing perhatian orang banyak, kau
sendiri lantas mengacau di belakang peti, begitu bukan?"
Yang Cu-kang menjawab dengan
tak acuh, "Demi menuntut kebenaran bagi Tong-locianpwe segala apapun dapat
kulakukan."
"Jangankan ayahku wafat
secara wajar, sekalipun pada masa hidup beliau ada permusuhan dengan
siapa-siapa, segala persoalannya masih dapat diselesaikan oleh
putera-puterinya, kukira tidak perlu kau ikut campur," seru Tong Ki dengan
bengis.
"Oo? Apakah betul kalian
dapat menyelesaikannya?" tanya Yang Cu-kang.
"Tentu, kenapa
tidak?" jawab Tong Ki.
"Bagus," ucap Yang
Cu-kang. "Jika demikian, marilah kita melihat dulu siapakah kiranya yang
turun tangan keji terhadap Tong-locengcu, lalu...." sembari bicara iapun
menarik mayat Tong Bu-siang.
Dengan gusar Tong Ki lantas
membentak, "Jahanam, berani lagi kau ganggu jenazah ayahku? Biarlah ku adu
jiwa dengan kau!"
Dia sudah tahu kungfu Yang
Cu-kang maha tinggi dan sangat mengejutkan, sebab itulah sejak tadi ia menahan
rasa gusarnya dan belum turun tangan, tapi sekarang semua itu seperti tidak
terpikir lagi olehnya, sekali berkelebat, tahu-tahu ia menubruk maju, kesepuluh
jarinya yang lancip segera mencengkeram mata dan tenggorokan Yang Cu-kang. Tipu
serangan yang cepat dan ganas, sekali turun tangan segera mengincar bagian yang
mematikan.
Tapi Pwe-giok tahu kalau
melulu kepandaian Tong Ki saja masih selisih sangat jauh untuk dapat menandingi
Yang Cu-kang.
Diam-diam Lui-ji juga
berkuatir bagi Tong Ki. Betapapun perempuan tetap berharap sesama perempuan
akan mengalahkan kaum lelaki, akan tetapi Lui-ji juga berharap Yang Cu-kang
akan membongkar rahasia kematian Tong Bu-siang.
Meski perempuan bersimpati
kepada sesama perempuan, tapi perempuan juga lebih suka mencari tahu rahasia
orang lain.
Dalam pada itu Tong Siu-hong
dan Tong Siu-jing juga sudah menubruk maju, bersama Tong Ki mereka mengerubuti
Yang Cu-kang dari tiga jurusan.
"Apakah cuma sekian saja
ilmu silat keluarga Tong?" ejek Yang Cu-kang dengan tertawa.
Selesai dia berucap demikian,
tahu-tahu jenazah Tong Bu-siang sudah diangkat olehnya. Serangan Tong Ki
bertiga juga mengenai tempat kosong seluruhnya.
Yang Cu-kang terus berputar
cepat seperti gasingan, mayat Tong Bu-siang digunakan sebagai perisai di depan
tubuh. Apabila Tong Ki bertiga menyerang secara ganas, yang akan kena lebih
dulu tentulah mayat Tong Bu-siang.
Dengan sendirinya mereka
menjadi ragu untuk menyerang lagi.
"Lepaskan jenazah guruku
dan jiwamu akan kami ampuni!" teriak Tong Siu-hong dengan murka.
"Haha, aku memang tidak
bisa mati, tidak perlu minta ampun padamu!" jawab Yang Cu-kang dengan
tertawa.
Makin cepat dia berputar
sembari membuka baju mayat yang dikenakan Tong Bu-siang itu.
Air muka Tong Ki berubah
pucat, ia berjingkrak dan mendamprat, "Keparat, betapa rendah caramu
merusak jenazah, harus kubinasakan kau dulu!"
Tampaknya ia menjadi nekat,
tanpa menghiraukan apapun dia terus menerjang.
Tiba-tiba Yang Cu-kang
berteriak, "Wahai para hadirin, lihatlah kalian, dia yang sengaja hendak
merusak jenazah Tong-locianpwe atau aku? Dia lebih suka menghancurkan tubuh
ayahnya yang sudah mati ini dan tidak memperbolehkan kuselidiki sebab-musabab
kematiannya, coba jawab, mengapa?"
Semua orang menjadi sangsi
oleh uraian Yang Cu-kang ini, sampai Tong Siu-jing dan Tong Siu-hong juga mulai
ragu dan tidak main kerubut lagi bersama Tong Ki. Malahan ada orang yang tidak
tahan dan segera berteriak, "Nona Tong, kenapa tidak dibiarkan dia
memeriksa sebab musabab kematian Tong-locengcu?"
Serangan Tong Ki sangat cepat,
hanya sekejap saja dia sudah menyerang dua-tiga puluh kali, tapi setiap
serangannya hanya menyerempet lewat saja di samping tubuh musuh, ujung bajunya
saja sukar menyenggolnya.
Kini Tong Ki baru merasakan
betapa tinggi ilmu silat pemuda aneh ini. Mendadak ia berhenti menyerang dan
melompat mundur, ia menggentak-gentakkan kaki sambil mengucurkan air mata,
jeritnya dengan parau, "Para hadirin sudah bicara demikian, apabila aku
tidak menurut, akan kelihatan seperti ada sesuatu kesalahanku. Akan tetapi nama
baik mendiang ayahku kini harus menjadi korban perbuatan jahanam ini...."
sampai di sini kerongkongannya terasa seperti tersumbat dan air mata berderai.
Tong Lin dan Li Be-ling
memburu maju dan memapah Tong Ki.
Dengan suara bengis Tong
Siu-hong lantas berteriak, "Sahabat, jika kau ingin melihatnya boleh
silahkan, tapi kalau tiada menemukan sesuatu, lima ratus anak murid keluarga
Tong lebih suka mati seluruhnya sekarang juga daripada membiarkan kau lolos
keluar dengan hidup."
"Apabila tidak kutemukan
sesuatu, tanpa kalian turun tangan, aku sendiri akan mati lebih dulu di
sini," kata Yang Cu-kang dengan tertawa. Mendadak ia menarik muka, lalu
menyambung pula dengan sekata demi sekata, "Sebab sudah kuketahui,
kematian Tong-locianpwe justeru adalah korban perbuatan anak muridnya
sendiri."
Ucapan ini seketika membikin
gempar setiap orang. Lebih-lebih anak murid keluarga Tong, semuanya jadi murka,
beramai-ramai mereka membentak, "Kau berani sembarangan memfitnah orang?
kau ada bukti?"
"Kalian ingin
bukti?" tanya Yang Cu-kang, "Baik!"
Mendadak ia angkat mayat Tong
Bu-siang tinggi-tinggi, lalu berteriak, "Inilah buktinya!"
Serentak anak murid keluarga
Tong membanjir maju, yang di luar ruangan juga menerjang ke dalam. Seketika
ruangan pendopo yang besar itu menjadi berjubal-jubal. Tapi sekali lompat Yang
Cu-kang telah melayang ke atas.
Meski membawa sesosok mayat,
tapi gerak tubuh Yang Cu-kang masih sangat gesit, sekali lompat saja ia sudah
hinggap di atas belandar pendopo, lalu berteriak dengan suara bengis,
"Tong-locianpwe mati terkena Am-gi perguruannya sendiri, bahkan mati di
Tong-keh-ceng, lalu siapa pembunuhnya kalau bukan anak murid keluarga Tong
sendiri?"
Kejut dan gusar semua anak
murid keluarga Tong, ada yang berteriak, ada yang mencaci maki, ada yang
menyiapkan senjata rahasia, tapi kuatir pula mengenai jenazah Tong Bu-siang
sehingga mereka hanya bergerak saja, tapi urung menyerang.
Ada beberapa orang di
antaranya ikut melayang ke atas, tapi baru saja tubuh mereka mengapung, kontan
dia tergetar ke bawah lagi oleh angin pukulan yang dahsyat. Malahan ada seorang
yang jatuh menindih tubuh kawannya.
Dengan suara bengis Yang
Cu-kang berteriak pula, "Apabila kalian ingin melihat bukti, silahkan
kalian memilih beberapa orang yang sekiranya terhormat untuk menjadi saksi dan
orang lain dipersilahkan mundur lebih dulu."
Kini Tong Ki berbalik jauh
lebih tenang daripada tadi, sinar matanya gemerdep, tiba-tiba ia berkata,
"Baik, jika demikian, diharapkan Siok-san-sin-wan (si kera sakti dari
Siok-san) Wan-loyacu, Kim-to Oh-toasiok, Khay-pi-jiu Nyo-toasiok dan Ji
Pwe-giok, Ji-kongcu berempat untuk menjadi wasit."
Sungguh tidak pernah terpikir
oleh Pwe-giok bahwa Tong Ki mendadak akan menyebut namanya, seketika ia
melenggong.
Tapi Lui-ji lantas menarik
ujung bajunya dan berseloroh, "Masa kau tidak tahu bahwa dirimu adalah
seorang tokoh ternama di dunia Kangouw? Ayolah lekas tampil ke depan!"
Si orang tua yang berolok-olok
di dekat Pwe-giok tadi cepat mendekati anak muda itu dan berkata sambil memberi
hormat, "Tak tersangka anda inilah Ji Pwe-giok, Ji-kongcu yang baru-baru
ini menggemparkan dunia Kangouw, sampai tokoh sakti Lo-cinjin juga sangat
memuji dirimu. Bilamana sikap kami tadi kurang menghormat, mohon sudi
dimaafkan."
Berita dunia Kangouw ternyata
sangat cepat tersebar, kejadian pada setengah bulan yang lalu kini sudah
diketahui orang sebanyak ini, sampai Nyo Eng-tay, Kim-to Oh Gi dan lain-lain
yang tadi meremehkan dia sekarang juga memandangi Pwe-giok dengan terbelalak,
air muka mereka penuh rasa kejut dan heran, seperti tidak percaya seorang
pemuda tampan dapat menggemparkan Kangouw hanya dalam waktu setengah tahun ini.
Pwe-giok sendiri tidak pernah
membayangkan dirinya ternyata bisa menonjol dan terkenal secepat ini. Terpaksa
ia membalas hormat orang dan mengucapkan kata rendah hati.
Orang tua tadi berucap pula, :
"Cayhe Wan Kong-beng dari Siok-san, selanjutnya diharapkan Ji-kongcu suka
sering-sering memberi petunjuk."
Pwe-giok membalas hormat dan
tetap rendah hati.
Dalam pada itu kerumunan orang
banyak sudah mulai mundur, sehingga tempat layon tadi terluang cukup luas.
"Dengan ke empat saksi
ini, apakah cukup?" Tanya Tong Ki.
"Yang lain belum tentu
bisa dipercaya, tapi Ji Pwe-giok ini sudah lama kudengar dia adalah Kuncu
sejati, kuyakin ia takkan berdusta." kata Yang Cu-kang sambil menunduk ke
bawah dan tertawa kepada Pwe-giok, lalu ia melayang turun.
Pwe-giok tidak tahu mengapa
orang mendadak bersikap ramah padanya, diam-diam ia mempertinggi kewaspadaan.
Dilihatnya sambil mengangkat
jenazah Tong Bu-siang, dengan suara lantang Yang Cu-kang berkata,
"Sekarang silahkan kalian memeriksanya, sesungguhnya bagaimana bekas luka
Tong-locianpwe yang mengakibatkan kematiannya."
Pada waktu akan dimasukkan ke
peti mati, mayat Tong Bu-siang sudah didandani, mukanya sudah dipoles bedak
berminyak yang tebal sehingga sukar lagi melihat air mukanya yang asli.
Maklum, wajah orang mati pada
umumnya hampir serupa. Tapi sekarang setelah Yang Cu-kang membuka baju mayat,
barulah semua orang melihat bagian dadanya hitam hangus, itulah tandanya
terkena racun jahat.
Luka yang mematikannya
terletak di bawah dada kiri, ada tiga lubang kecil sebesar mata jarum, di atas
lubang kecil itu ada noda darah beku yang sudah hampir berubah menjadi hitam
seluruhnya.
Yang Cu-kang lantas membuka
telapak tangannya dan berkata pula, "Sekarang hendaknya kalian melihat apa
yang terdapat pada tanganku ini?"
Terlihatlah satu biji Am-gi
yang terbuat dengan indah di atas telapak tangannya, itulah Tok-cit-le , duri
besi berbisa, senjata rahasia khas keluarga Tong, juga boleh dikatakan senjata
rahasia yang bersejarah paling tua di dunia ini.
Setiap tokoh yang hadir ini
sama kenal senjata rahasia itu, tapi merekapun tahu betapa gawatnya urusan
sekarang, maka mulut setiap orang seolah-olah sudah disegel dan tiada
seorangpun berani ikut bicara.
Hanya Tong Siu-hong saja yang
segera membentak, "Inilah Tok-cit-le dari keluarga Tong kami, darimana kau
memperolehnya?"
Yang Cu-kang tertawa,
jawabnya," Am-gi inilah yang tadi hendak kalian gunakan untuk membunuh
diriku, seluruhnya mereka menghamburkan 28 biji, telah kubayar kembali 27 biji,
yang kuterima hanya satu biji ini. Jika kau tidak percaya boleh kau hitung dulu
barangnya."
Dengan muka masam tong
Siu-hong tidak bersuara lagi.
Yang Cu-kang lantas pegang
Tok-cit-le itu dan perlahan dipasang di atas luka Tong Bu-siang, tiga ujung
duri Tok-cit-le itu persis masuk pada tiga titik bekas luka di dada Tong Bu-siang
itu.
"Nah, luka yang mematikan
Tong-locianpwe ini terdiri dari senjata rahasia apa, tentunya sekarang kalian
sudah dapat melihatnya bukan?" kata Yang Cu-kang.
Padahal sejak tadi semua orang
juga sudah melihat racun yang mengenai tong Bu-siang itu serupa dengan racun
senjata rahasia keluarga Tong.
Sebab racun yang berbeda,
tanda-tanda bekerjanya racun juga berlainan. Racun senjata rahasia keluarga
Tong kalau menjalar, seluruh tubuh korbannya akan berubah menjadi hitam hangus
seperti halnya Tong Bu-siang sekarang.
Maka Yang Cu-kang lantas
mendengus, "Jika Tong-locianpwe mati di Tong-keh-ceng, yang mematikannya
juga Tok-cit-le keluarga Tong sendiri, lantas siapa pembunuhnya kalau bukan
anak murid keluarga Tong sendiri ? "
Ia berhenti sejenak, lalu
melototi Wan Kong-beng dan bertanya, "Coba bagaimana menurut
pendapatmu?"
Muka kakek she Wan itu tampak
prihatin dan tidak berani menjawab.
"Hm, sejak mula sudah
kuketahui kau ini ular tua yang licin, tidak bisa menjadi penengah yang
jujur," jengek Yang Cu-kang. Lalu ia tatap Oh Gi dan bertanya," Dan
bagaimana dengan kau? Konon biasanya kau sok menjadi juru damai, apakah
sekarang kaupun tidak berani bicara?"
Muka Oh Gi tampak merah padam,
jawabnya dengan tergagap, "Ini... ini mungkin orang lain yang mencuri
senjata rahasia keluarga Tong, lalu digunakan menyerang Tong-locianpwe secara
gelap."
"Hm, bila Tong-locianpwe
benar mati di tangan orang lain, mengapa anggota keluarga Tong merahasiakannya
dan tidak diumumkan secara terbuka?" jengek Yang Cu-kang pula. "Dan
mengapa menyatakan Tong-locianpwe mati secara wajar karena sakit tua?"
Seketika Oh Gi tak dapat
menjawab lagi.
Kini setiap orang sama setuju
dengan keterangan Yang Cu-kang itu, semua menganggap Tong Bu-siang pasti mati
di tangan anak muridnya sendiri. Tapi terpengaruh oleh wibawa keluarga Tong,
tidak seorangpun berani bicara, namun air muka mereka jelas sama memperlihatkan
rasa gusar.
Sebagian besar anak murid
keluarga Tong tampaknya juga tidak tahu seluk-beluk persoalan ini. Ada di
antaranya juga memperlihatkan rasa sedih dan gusar, ada juga yang cuma
melenggong dan ada lagi yang menangis.
Sinar mata Yang Cu-kang hanya
berhenti sejenak pada wajah Pwe-giok, mendadak beralih ke muka Tong Siu-hong
dan berkata, "Biasanya anda terkenal adil dan tidak pandang bulu serta
tidak kenal ampun, entah tindakan apa yang akan kau lakukan sekarang?"
Tong Siu-hong tampak
menggreget-greget sehingga ujung mulutnya merembeskan darah, tampaknya dia juga
menahan sesuatu yang sukar diuraikan, sebab itulah ia hanya mengertak gigi dan
tidak mau bicara.
Mendadak Tong Siu-jing
terkekeh dua kali, lalu berkata dengan suara parau, "Keluarga Tong tidak
beruntung sehingga terjadi peristiwa malang ini, atas keterangan anda yang sudi
membeberkan kejadian ini sungguh segenap keluarga Tong merasa sangat berterima
kasih. Hanya saja, apa yang dialami mendiang guru kami ini mengapa dapat
diketahui sejelas ini oleh anda?"
Cara bicara orang ini ternyata
tidak kalah lihaynya daripada Tong Ki.
Tampaknya dia bertanya dengan
sopan, padahal cukup keji. Di balik ucapannya itu seakan-akan hendak
mengatakan," Kalau Tong Bu-siang bukan mati sewajarnya, sedangkan orang
lain tidak ada yang tahu, lalu dari mana kau mendapat keterangannya?
Jangan-jangan kau sendirilah yang melakukannya?"
Biarpun kata-kata demikian
tidak terang-terangan diucapkan, namun semua hadirin bukanlah orang bodoh,
mustahil mereka tak dapat meraba apa maksudnya. Karena itu, mau tak mau semua
orang lantas merasa curiga juga terhadap Yang Cu-kang.
Tapi Yang Cu-kang hanya
tersenyum tak acuh, katanya, "Jika ingin orang lain tidak tahu, kecuali
diri sendiri tidak berbuat. Soalnya Cayhe baru saja berpisah dengan
Tong-locianpwe pada tiga hari yang lalu, kini mendadak mendengar berita
kematiannya, dengan sendirinya timbul curigaku. Seorang yang sehat walafiat,
tidak terluka apa-apa, mengapa baru pulang lantas tutup usia dan meninggal
untuk selamanya."
Kata 'tutup usia dan meninggal
selamanya' sengaja diucapkannya dengan suara tajam, berbareng sorot matanya
menyapu pandang para hadirin, melihat air muka semua orang kembali berubah,
barulah ia menyambung lagi, "Meski Cayhe adalah kenalan baru
Tong-locianpwe, tapi sekali bersahabat tetap bersahabat, betapapun aku tidak
rela dia mati secara penasaran. Sebab itulah sengaja ku datang kemari untuk
melihat keadaan yang sebenarnya. Apabila anda menjadi diriku, apakah anda
takkan bertindak seperti ini?"