Jilid 9
Ucapan ini memang benar dan
masuk akal sehingga sukar dibantah.
Tong Siu-jing menghela napas
panjang, lalu berkata dengan muram, "Pandangan anda sangat tajam, kami
tidak cuma berterima kasih, juga sangat kagum. Hanya saja anak murid keluarga Tong
yang dewasa sedikitnya ada 500 orang lebih, yang mahir menggunakan Tok-cit-le
ini juga ada ratusan orang. Dalam waktu singkat mungkin sangat sukar menemukan
siapa pembunuhnya. Sebab itulah diharap anda suka menyerahkan persoalan ini
kepada kami untuk membereskannya. Kelak kami pasti akan memberi pertanggung
jawaban kepada anda."
"Hm, orang luar semacam
diriku ini memang tidak pantas ikut campur urusan dalam rumah tangga keluarga
Tong," jengek Yang Cu-kang. "Hanya saja apa yang kau katakan barusan
ini sukar dipercaya orang."
"Yang kukatakan adalah
sejujurnya…"
"Sejujurnya?" Yang
Cu-kang menegas, "Kalau begitu coba jawab, apakah Tong-locianpwe meninggal
di kamar pribadinya yang terahasia?"
"Ini… ini…." Tong
Siu-jing gelagapan.
"Kalau dia tidak mati di
kamar rahasia pribadinya, maka setelah dia terkena senjata rahasia berbisa,
tentu akan segera diketahui oleh kalian, mengapa mesti menunggu sampai ikut
campurnya orang luar seperti sekarang ini?"
Karena tidak ada alas an lain,
terpaksa Tong Siu-jing mengaku, katanya, "Betul, beliau memang wafat di
kamar tidur pribadinya."
"Jika demikian, ingin
kutanya pula, di antara ratusan anggota keluarga Tong yang mahir menggunakan
Tok-cit-le, ada berapa orang di antaranya yang boleh masuk ke kamar pribadi
Tong-locianpwe?"
Biarpun Tong Siu-jing juga
pandai bicara, sekarang ia menjadi mati kutu dan tak dapat menjawab pertanyaan
Yang Cu-kang yang tajam itu.
Baru sekarang Pwe-giok
mengetahui ketajaman mulut Yang Cu-kang ternyata tidak di bawah ilmu silatnya.
Para anak murid keluarga tong,
sama menunduk, tiada seorangpun berani memandang Tong Ki.
Tapi semakin mereka tidak
berani memandangnya, justru sama dengan memberitahukan kepada orang lain, bahwa
yang dapat memasuki kamar pribadi Tong Bu-siang itu setiap saat, hanya terdiri
dari beberapa nona keluarga Tong saja. Hanya saja mereka merasa borok rumah
tangga sendiri tidaklah baik disiarkan keluar, maka tidak ada yang mau bicara.
Maka selain anak murid
keluarga Tong, pandangan semua orang sama tertuju kea rah Tong Ki. Sorot mata
mereka jauh lebih merikuhkan daripada ucapan apapun.
Wajah Tong Ki tampak pucat.
Nona besar keluarga Tong yang sehari-hari terkenal pintar bicara dan cekatan
dalam bertindak ini, kini harus menghadapi tuduhan membunuh orang tua sendiri.
Sekujur badannya kelihatan gemetrar, ia berdiri kaku di situ dan tak dapat
bicara sekatapun.
Mendadak salah seorang hadirin
berseru, "Masakah anak perempuannya juga bisa membunuhnya?"
Ucapan ini kedengarannya
seperti ingin membela Tong Ki, padahal sama saja melontarkan tuduhan resmi
terhadap Tong Ki. Waktu semua orang menoleh, tidak kelihatan siapa yang
bersuara itu.
Terdengar yang Cu-kang
menjengek," Seorang kalau sudah kemaruk kepada kekuasaan dan kedudukan,
segala apapun dapat diperbuatnya."
Tiba-tiba seseorang berseru
pula di tengah orang banyak, "Masakah maksudmu demi menjabat Ciangbunjin,
nona besar Tong tidak sayang membunuh ayahnya sendiri, memangnya siapa yang mau
percaya kepada ocehanmu ini?"
Ucapan ini tambah menyudutkan
Tong Ki, meski dia bilang siapapun tidak mau percaya, yang benar mungkin
sedikit sekali orang yang tidak percaya kepada ucapan ini.
Yang Cu-kang mendengus,"
Apabila hati Tong-toakohnio tidak menyembunyikan sesuatu, mengapa dia melarang
orang lain memeriksa sebab musabab kematian Tong-locianpwe? Pada waktu jenazah
Tong-locianpwe dibersihkan, masa dia tidak melihat tanda-tanda luka beracun
pada tubuhnya?"
Seketika para pelawat menjadi
heboh, semuanya yakin si pembunuhnya pastilah Tong Ki, sampai-sampai Ji
Pwe-giok dan Cu Lui-ji mau-tak-mau juga percaya.
Diam-diam Pwe-giok menghela
napas, ia sendiripun sedih, pikirnya," Jika benar Tong Ki membunuh ayahnya
lantaran ingin kedudukan dan berkuasa, maka apa yang terjadi ini boleh
dikatakan hukum karma, sebab "Tong Busiang" yang dibunuhnya ini
justru adalah musuhnya yang membunuh ayahnya yang sesungguhnya."
Sorot mata Yang Cu-kang yang
tajam itu menatap wajah Tong Ki, katanya dengan bengis, "Tong-toakohnio,
sekarang apa yang dapat kaukatakan lagi?"
Tong Ki balas melototinya dan
menjawab sekata demi sekata, "Benar kau minta aku menceritakan duduk
perkara yang sebenarnya?"
"Hm, masa kau berani
bercerita?" jengek Yang Cu-kang.
"Baik, kau sendiri yang
memaksa ku bicara," jawab Tong Ki dengan suara bengis, lalu ia menarik
napas panjang-panjang.
Tapi sebelum ia bicara lagi,
mendadak Tong Lin berseru, "Kejadian ini seharusnya akulah yang
menjelaskannya."
Gadis yang selalu murung ini
biasanya jarang bicara, sejak tadi iapun bungkam belaka, siapa tahu pada detik
yang genting ini mendadak ia buka suara. Apa yang diucapkannya bahkan sangat
mengejutkan, sampai Pwe-giok juga terkesiap dan tak dapat menerka apa yang
hendak diceritakan.
Tong Ki memandangnya dengan
penuh rasa heran dan sangsi, tanyanya, "Kau....."
Dengan air muka kelam Tong Lin
berkata pula, "Pada saat terakhir sebelum ayah meninggal, hanya aku saja
yang berjaga di sampingnya, sebab itulah cuma aku saja yang mengetahui dengan
jelas sebab musabab kematian beliau."
"O, hanya kau yang
tahu?" Yang Cu-kang menegas dengan terheran-heran.
"Ya, hanya aku,"
jawab Tong Lin.
Yang Cu-kang berkerut kening,
katanya, "Apakah kau sendiri yang membunuh Tong-locianpwe?"
Betapapun ia merasa sangat
heran, sebab sesungguhnya Tong Lin tidak ada alasan untuk membunuh ayahnya
sendiri.
Li Be-ling menarik tangan Tong
Lin dan bertanya dengan suara lembut," Mungkin kau terlalu berduka,
sehingga pikiranmu menjadi kurang sadar?" "Pikiranku cukup terang dan
sadar," jawab Tong Lin, "sebenarnya tidak ingin kukatakan kejadian
ini, akan tetapi keadaan sudah mendesak, jika tidak kubeberkan, tentu fitnah
terhadap Toaci sukar lagi dicuci bersih."
Tong Ki memandang adiknya itu
dengan bingung, entah kaget entah terima kasih.
"Malam itu,"
demikian Tong Lin mulai berkisah," Toaci dan Toaso sudah sama tidur.
Tiba-tiba teringat sesuatu urusan dan harus kubicarakan dengan ayah. Maka aku
lantas mencari beliau untuk berunding, meski sudah larut malam."
"Kau teringat kepada
urusan apa?" tanya Yang Cu-kang.
"Urusan rumah tangga kami
apakah kaupun ingin ikut campur?" jengek Tong Lin.
Yang Cu-kang menyengir dan
tidak bicara lagi.
"Siapa tahu, belum lagi
ku masuk ke kamar ayah, segera kudengar ada suara orang bicara di situ,"
demikian Tong Lin melanjutkan ceritanya. "Tentu saja aku sangat heran,
sudah larut malam begini mengapa di kamar ayah masih ada tamu? Padahal
sehari-hari ayah hidup teratur, jarang tidur jauh malam, bahkan bila kedatangan
tamu tentu kamipun diberitahu, kecuali tamunya tidak melalui pintu gerbang ,
melainkan masuk secara sembunyi-sembunyi."
"Hm, penjagaan Tong-keh-ceng
sedemikian keras dan ketat, sekalipun ada orang hendak menyelundup ke sini
secara sembunyi-sembunyi kukira juga bukan pekerjaan mudah," jengek Yang
Cu-kang.
"Bukan saja tidak mudah,
bahkan tidak mungkin terjadi," tukas Tong Lin.
"Jika demikian, cara
bagaimana pula tamu itu masuk ke kamar ayahmu?" Tanya Yang Cu-kang.
"Di kamar ayah ada sebuah
jalan rahasia yang langsung menembus ke luar perkampungan," tutur Tong
Lin, "mungkin orang itu sudah ada janji dengan ayah, sebab itulah ayah
sendiri yang membawanya masuk melalui jalan rahasia di bawah tanah itu."
Bahwa kejadian rahasia inipun
diceritakannya, meski belum diketahui bagaimana lanjutannya, tapi sedikit
banyak orang sudah mulai percaya kepada penuturannya.
"Sebenarnya aku tidak
sengaja hendak mengintip rahasia ayah, tapi aku sudah terlanjur datang ke situ,
selagi aku berdiri di situ dengan ragu, mendadak kudengar ayah sedang berkata,
"Kita adalah kenalan lama, tapi persoalan ini cukup penting, betapapun aku
harus hati-hati. Kau tahu, senjata rahasia Tong-keh-ceng selamanya tidak pernah
dipinjamkan kepada orang luar."
"O, orang itu datang
untuk meminjam senjata rahasia kepada Tong-locianpwe," tanya Yang Cu-kang.
"Tatkala mana, akupun
merasa orang itu terlalu tidak tahu diri dan ingin memaksakan kehendaknya
kepada orang lain. Kudengar dia bicara banyak dengan ayah dan tampaknya tetap
minta ayah meminjamkan senjata rahasia kepadanya."
"Apalagi yang
dikatakannya?" tanya Yang Cu-kang.
"Dia bilang urusan yang
akan dilaksanakannya sangat penting, jika berhasil, ayah juga akan mendapatkan
manfaatnya. Dia bilang jika ayah tidak mau tampil sendiri, sedikitnya harus
meminjamkan senjata rahasia kepadanya."
"Lalu Tong-locianpwe
menerima permintaannya?" tanya Yang Cu-kang lagi.
"Tidak, meski ayah adalah
kepala keluarga, tapi peraturan leluhur betapapun tidak berani dilanggar oleh
beliau."
"Dan kalau senjata
rahasia tidak dipinjamkan kepada orang itu, maka orang yang menewaskan
Tong-locianpwe juga bukan dia." ujar Yang Cu-kang.
"Kudengar orang itu masih
terus membujuk," demikian Tong Lin menyambung, "ku kuatir ayah akan
terbujuk akhirnya, maka cepat ku masuk ke situ. Sebab kuyakin bilamana ada
orang ketiga ikut hadir, tentu orang itu tidak leluasa untuk bicara lagi."
"Dan dia juga melihat
kedatanganmu?" tanya Yang Cu-kang.
"Dia bukan orang buta,
masa tidak melihat kedatanganku?" jawab Tong Lin. "Meski kedatanganku
membuatnya agak terkejut, tapi dia ternyata tidak mengurungkan maksud
tujuannya."
"O, dia kenal kau?"
tanya Yang Cu-kang.
Tong Lin mengangguk, jawabnya
dengan muram, "Justru lantaran kukenal dia, makanya aku tidak mencurigai
dia. Siapa tahu pada saat aku lengah, sebiji Tok-cit-le yang kubawa telah
dicuri olehnya."
Gemerdep sinar mata Yang
Cu-kang, tiba-tiba ia mendengus, "Hm, rupanya orang itupun seorang copet
sakti."
"Gerak tangannya sungguh
halus dan cepat, bukan saja aku tidak tahu sama sekali, bahkan ayah juga tidak
mengetahuinya, "sambung Tong Lin dengan menyesal.
"Kau datang ke kamar
ayahmu, untuk apa kau bawa senjata rahasia?" tanya Yang Cu-kang dengan
melotot.
"Anak murid keluarga Tong
tidak pernah meninggalkan senjata rahasianya, pada waktu tidurpun selalu
membawanya," jawab Tong Lin.
"Apakah inipun peraturan
leluhur kalian?" tanya Yang Cu-kang.
"Betul," jawab Tong
Lin tegas.
"Dan dengan Tok-cit-le
yang dicurinya darimu itu digunakannya untuk membunuh ayahmu?" tanya Yang
Cu-kang lagi.
Tong Lin menunduk dengan
muram, sambungnya lagi," Pada waktu ia mohon diri, ayah mengantarnya
keluar, setiba di ambang pintu, mendadak dia membalik badan dan memberi hormat,
tapi kesempatan itu telah digunakannya menepuk sekali di dada ayah, siapapun
tidak menyangka pada telapak tangannya tersembunyi senjata rahasia, lebih-lebih
tidak menyangka hanya lantaran ayah menolak meminjamkan senjata rahasia kepadanya,
lalu dia turun tangan keji terhadap ayah."
Sampai di sini ceritanya,
tanpa terasa semua orang percaya tujuh bagian kepadanya. Sebab meski urusan ini
tidak seluruhnya masuk akal, tapi urusan sudah terlanjur begini, betapapun Tong
Lin sendiri ikut bertanggung jawab, jadi mustahil dia berdusta hal-hal yang
tidak menguntungkan dia.
Yang Cu-kang menghela napas
panjang, katanya," Jika demikian, jadi kau menyaksikan sendiri ketika
orang itu membunuh Tong-locianpwe?"
"Betul," jawab Tong
Lin.
Mendadak Yang Cu-kang
membentak dengan gusar," Jika benar kau saksikan sendiri kejadian itu,
mengapa baru kau ceritakan sekarang?"
Tong Lin menunduk, ucapnya
dengan sedih. "Sebab... sebab orang yang bertindak begitu adalah ...adalah
bakal suamiku, ayah memang sudah menjodohkan diriku kepadanya."
Keterangan ini seketika
menggemparkan para hadirin, ada yang terkejut, ada yang menyesalkan, ada yang
kasihan, tapi terhadap apa yang diceritakan itu tidak curiga lagi. Sebab kalau
tidak terpaksa, tidak mungkin Tong Lin mau membeberkan rahasianya sendiri.
Diam-diam Pwe-giok juga merasa
gegetun, sungguh dia tidak menyangka urusan bisa berbelit-belit begini.
Dengan menangis Tong Lin
berkata pula, "Waktu kulihat dia berani turun tangan keji terhadap ayah,
sebenarnya saat itu juga ingin ku adu jiwa dengan dia, tapi hatiku menjadi
lemah setelah dia membujuk rayu diriku."
"Hm, dasar
perempuan," jengek Yang Cu-kang, "perempuan memang condong ke luar,
kalau sudah punya suami, ayah ibu pun tak terpikir lagi. Kebanyakan perempuan
di dunia memang begini, maka kaupun tak dapat disalahkan."
"Kuminta jangan kau omong
lagi," kata Tong Lin dengan air mata bercucuran. "Akupun tahu dosaku,
namun menyesalpun tidak keburu lagi, sebab apa yang terjadi ini tidak
kubeberkan waktu itu, kemudian aku semakin tidak berani omong. Waktu ayah
dimasukkan peti, akulah yang mengatur segala sesuatu, sebab ku kuatir luka di
tubuh beliau diketahui orang lain."
"Jika demikian, urusan
ini tiada sangkut-pautnya dengan saudaramu yang lain?" tanya Yang Cu-kang.
"Ya, hakekatnya mereka
tidak tahu apapun," kata Tong Lin.
"Hm, bagus, pemberani,
kau memang pemberani dengan menanggung semua perbuatan ini," jengek Yang
Cu-kang.
"Hal ini memang
kesalahanku, dengan sendirinya aku harus bertanggung jawab," kata Tong Lin
dengan menangis.
"Tapi siapakah bakal
suamimu itu? Masa orang lain tidak tahu?" tanya Yang Cu-kang.
"Perjodohan kami ini
diputuskan oleh ayah dan mestinya akan diresmikan pada hari ulang tahunku yang
ke 18 nanti, siapa tahu...siapa tahu belum tiba hari ulang tahunku dan beliau
sudah...sudah ...." dia menangis tersedu-sedu sehingga tidak sanggup
melanjutkan.
"Apakah kau masih hendak
menyembunyikan identitasnya?" tanya Yang Cu-kang dengan bengis.
Tong Lin menangis sambil
menutup mukanya dan tidak menjawab.
Semua orang jadi murka, ada
yang berteriak "Siapa anak jadah itu? Jika tidak kau katakan, cara
bagaimana akan kau hadapi ayahmu di alam baka nanti nona tong?"
Tong Lin menggreget, seperti
mengambil keputusan dengan tekad yang bulat, mendadak ia mendongak, katanya
sambil menuding seorang, "Bakal suamiku itu ialah dia!"
Sungguh, siapapun tidak
menduga bahwa orang yang dituding oleh Tong Lin adalah Ji Pwe-giok!
Mimpipun Pwe-giok sendiri juga
tidak menduga, dia malah menyangka yang dimaksudkan Tong Lin adalah seorang
yang berdiri di belakangnya, ia menoleh.
Tapi segera didengarnya Tong
Lin menyambung lagi, "Iyalah orang ini, Ji Pwe-giok."
Keterangan ini tidak cuma
menggemparkan para hadirin, para anak murid Tong juga serentak mengepung
Pwe-giok di tengah, semuanya melototinya dengan mata merah berapi, seperti
sekawanan binatang liar yang sudah kalap dan siap menerkam dan mengganyangnya.
Selama hidup Pwe-giok sudah
acapkali dituduh dan difitnah, entah sudah betapa banyak dia mengalami kejadian
di luar dugaan dan mengejutkan, tapi tidak ada satupun yang lebih menggetarkan
hatinya seperti sekarang. Sungguh ia tidak tahu cara bagaimana harus membantah
atau memberi penjelasan, seketika ia terkesima dan tidak dapat bicara.
Di ruangan besar itu kembali
gempar, ada yang berteriak murka, ada yang mencaci-maki.
Ada yang berkata,
"Sungguh tidak tersangka sudah membunuh Tong-loyacu, keparat ini masih
juga berani datang ke sini, sungguh besar amat nyalinya."
"Ya, tampaknya dia ramah
tamah dan sopan santun, siapa tahu dia adalah manusia yang berhati
binatang," sambung yang lainnya.
Ada lagi yang menanggapi
dengan suara tertahan, "Jika bukan pemuda cakap seperti dia ini, mana bisa
Tong-jikohnio terpikat olehnya."
Dengan sendirinya Lui-ji juga
melenggong kaget, baru sekarang ia berteriak, "Tidak, bukan dia, tidak
mungkin dia, kalian keliru!"
Seperti orang kesetanan dia
menerjang ke tengah kerumunan orang banyak dan menubruk ke samping Pwe-giok
terus mendekapnya, dengan suara parau ia berteriak pula, "Tidak mungkin
dia melakukan hal ini. Apalagi dua hari yang lalu hakekatnya dia tidak berada
di sini, tapi masih berada beratus li jauhnya di sana, mana bisa dia terbang ke
sini untuk membunuh oang.?"
"Dari mana kau tahu dua
hari yang lalu dia masih berada di tempat beratus li jauhnya?" bentak Tong
Siu-hong mendadak.
"Dengan sendirinya ku
tahu, sebab selama ini aku selalu berada bersama dia," jawab Lui-ji.
"Memangnya kau ini
apanya?" tanya Siu-hong.
"Akulah isterinya "
jawab Lui-ji tegas.
Tong Siu-hong menggeleng dan
menghela napas, katanya, "Ai, nona cilik, mungkin kau telah tertipu dan
diperalat olehnya."
Dengan suara parau Lui-ji
berteriak, "Meng....mengapa kalian tidak percaya kepada keteranganku ?
Mengapa kalian memfitnah orang baik-baik.?"
"Orang semacam ini tidak
ada harganya untuk dibela, nona cilik," ujar Tong Siu-hong dengan gegetun.
"Kalau dia dapat menipu orang lain, lambat atau cepat kaupun akan tertipu
olehnya."
"Dia pernah menipu siapa?
Coba katakan!" teriak Lui-ji.
"Kalau dia sudah mengikat
jodoh dengan gadis keluarga Tong, tapi di luaran dia memelet pula dirimu,
jahanam yang tidak berbudi pekerti seperti ini masakah masih kaubela?"
teriak Siu-hong dengan gusar.
"Tapi hakikatnya dia
tidak pernah mengikat jodoh apa segala dengan orang keluarga Tong kalian,"
kata Lui-ji.
"Darimana kau tahu?"
Siu-jing ikut bertanya.
"Tentu saja kutahu, sebab
sejak kukenal dia, selama ini kami tidak pernah berpisah," jawab Lui-ji
tegas.
Gemerdep sinar mat Tong
Siu-jing, tanyanya pula, "Bilakah kau kenal dia?"
"Aku....aku ...."
hanya satu kata saja Lui-ji berucap dan tidak dapat menyambung lagi. Sebab
perkenalannya dengan Ji Pwe-giok belum lagi ada sebulan lamanya, apa yang
dilakukan Pwe-giok lebih sebulan yang lalu, tentu saja tak diketahuinya sama sekali.
Baru sekarang ia merasakan
dirinya sama sekali tidak tahu apapun mengenai diri Ji Pwe-giok, kecuali tahu
namanya, urusan lain tidak pernah diberitahu oleh Pwe-giok. Bahkan namanya asli
atau palsu juga tidak diketahuinya dengan pasti.
Tong Siu-jing melihat perubahan
air muka si nona, katanya dengan lembut, "Nona cilik, urusan ini tidak ada
sangkut pautnya dengan kau, lebih baik kau menyingkir saja."
"Apa ..... apa kehendak
kalian?" tanya Lui-ji
Wajah para anak murid keluarga
Tong tampak kelam dan masam, semuanya tutup mulut.
Padahal tanpa menjawabpun
semua orang tahu apa yang hendak mereka lakukan.
Jika benar Ji Pwe-giok telah
membunuh orang tua mereka, mana bisa mereka melepaskan dia begitu saja. Sejak
tadi mereka sudah menyiapkan senjata rahasia maut di tangan masing-masing.
Kini Pwe-giok terkepung oleh
berpuluh orang. Asal Am-gi atau senjata rahasia mereka dihamburkan, biarpun
punya sayap juga sukar bagi Pwe-giok untuk menghindar.
Pwe-giok menghela napas
panjang, ucapnya dengan rawan," Ya, persoalan ini memang tidak ada
sangkut-pautnya dengan kau, maka lebih baik kau menyingkir saja."
Dia tahu mati hidupnya hanya
bergantung dalam sedetik saja, maka ia tidak ingin membuat susah Lui-ji,
apalagi iapun dapat melihat kini anak dara itupun curiga kepadanya dan tidak
lagi percaya kepadanya seperti sebelum ini.
Lui-ji mengertak gigi dan
berkata, "Tidak, apapun juga ku tahu hal ini pasti takkan kau
lakukan."
"Apa gunanya kalau
tahu?" ujar Pwe-giok dengan tersenyum getir, "apa yang kau katakan
hakekatnya tidak dipercaya mereka, padahal selain dirimu, siapa lagi yang dapat
memberi kesaksian bahwa dua hari yang lalu hakekatnya aku tidak berada di
sini."
Ia menengadah dan menghela
napas panjang, lalu menyambung pula dengan suara parau, "Ya, seandainya
ada orang lain yang tahu, siapakah di dunia seluas ini yang sudi menjadi saksi
bagi Ji Pwe-giok."
Air mata Lui-ji sudah meleleh
di pipinya.
Dilihatnya Tong Lin telah
menyusup ke tengah orang banyak sambil berseru, "Ji Pwe-giok, jangan kau
salahkan diriku, aku....aku terpaksa, maka kukatakan terus terang."
Pwe-giok tersenyum pedih,
katanya, "Ya, kau sangat baik, sangat baik...."
"Tapi bagaimanapun juga,
bila kau mati, akupun tidak ingin hidup lagi di dunia ini...." ucap Tong
Lin dengan menangis.
Mendadak Lui-ji membentak,
"Kau perempuan jahanam, kau bikin celaka dia hingga begini, kau masih
berani bicara lagi dengan dia!" Di tengah bentakannya segera ia menubruk
ke sana.
Tong Lin tidak menangkis, dan
juga tidak menghindar, ucapnya dengan pedih, "Bagus, biarlah kita mati
bersama-sama saja!"
Belum lenyap suaranya,
tahu-tahu tangan Lui-ji sudah mencekik lehernya.
Tong Siu-jing bermaksud
melerai mereka, tapi dicegah oleh Tong Siu-hong, "Tidak perlu," bisik
Tong Siu-hong dengan suara tertahan, "keluarga Tong kita tidak beruntung,
sehingga terjadi urusan begini, biarkan saja dia mati."
Tong Siu-jing menoleh,
dilihatnya Tong Ki masih berdiri kaku di tempatnya tadi dengan wajah pucat
seperti mayat, sama sekali tidak ada niatnya hendak mencegah keributan antara
kedua nona itu.
Dalam pada itu para hadirin
lantas berteriak-teriak, "Ji Pwe-giok, apa lagi yang akan kau katakan....
Hayolah, anak murid keluarga Tong, lekas kalian turun tangan, kami sama
menunggu hendak menggunakan hati keparat ini untuk sesaji di depan layon Tong-locengcu."
Tapi Pwe-giok berdiri
berpangku tangan tanpa bicara apapun, sebab ia tahu tiada gunanya bicara
terhadap orang-orang yang sudah kehilangan akal sehat ini.
Pada saat itulah mendadak
terdengar seorang berseru, "Ji Pwe-giok, wahai Ji Pwe-giok, sungguh kau
bernasib sial, tanpa sebab kau difitnah sebagai pembunuh. Tampaknya lebih baik
kau mati di tanganku saja daripada mati secara penasaran."
Suaranya bergema hingga lebih
keras daripada suara beratus orang yang sedang berteriak-teriak itu. Tanpa terasa
semua orang sama mendongak dan memandang ke atas. Baru diketahui mereka entah
sejak kapan Yang Cu-kang telah melompat lagi ke atas belandar, dengan tangan
memegang poci arak dan mulut menggigit sepotong paha ayam, sedang makan dengan
nikmatnya.
"Difitnah apa? Bukti
sudah nyata, saksi juga ada, masa kaupun ingin membelanya ? "teriak Tong
Siu-hong.
Yang Cu-kang menjengek,
"Hm, bukti dan saksi ? Di mana ? Siapa pula yang menyaksikan dia membunuh
Tong-locengcu ? "
"Apa yang dikatakan
Ji-kohnio tadi masa tidak kau dengar? "kata Siu-hong.
Yang Cu-kang menghela napas
dan menggeleng, ucapnya, "Hanya berdasarkan keterangan seorang perempuan
dan kalian lantas hendak menjatuhkan vonis padanya, sungguh anggap nyawa orang
bagai permainan anak kecil saja."
Tong Siu-hong menjadi gusar,
teriaknya," Memangnya kau anggap Ji-kohnio berdusta?"
"Ya, mana mungkin
Jikohnio berdusta!" teriak orang banyak.
"Betul, tindakannya itu
selain membikin celaka orang lain, ia sendiripun susah dan ikut tersangkut,
sungguh akupun tidak paham mengapa dia berdusta? Yang jelas ku tahu dia memang
berdusta."
"Kau tahu? Kau tahu
apa?" teriak Siu-hong dengan murka.
"Ku tahu dengan pasti
malam kemarin dulu orang she Ji ini memang tidak berada di Tong-keh-ceng, tapi
jauh berada di tempat ratusan li sana."
"Hm, hanya berdasarkan
keteranganmu saja masa dapat dipercaya?" jengek Siu-jing.
Yang Cu-kang menghela napas,
katanya, "Ya, akupun tahu keteranganku sukar dipercaya oleh kalian, sebab
itulah sejak tadi aku diam saja."
Baru saja habis ucapannya,
sekonyong-konyong terdengar suara "cas" satu kali, menyusul lantas
terjadi getaran dahsyat seperti langit runtuh dan bumi ambles, belandar ruangan
pendopo itu mendadak patah. Atap pendopo itu ambruk dengan menerbitkan suara
gemuruh yang menggetar sukma.
Seketika jeritan kaget dan
takut terdengar di mana-mana, semua orang berebut lari keluar agar tidak
tertindih oleh gedung yang ambruk itu. Ada yang bertenaga lemah dan berilmu
silat rendah, kontan roboh terinjak-injak sehingga timbul teriakan ngeri di
sana-sini.
Tong Siu-hong, Tong Siu-jing
dan lain-lain merasa kayu dan batu bertebaran menjatuhi mereka, terpaksa mereka
harus mencari selamat lebih dulu. Dengan tangan mereka melindungi kepala
masing-masing, walaupun begitu, tidak urung merekapun tidak terhindar oleh
urukan puing, sebelah kaki Tong Siu-hong malah tertindih oleh belandar patah
dan merintih kesakitan.
Walaupun begitu, ia tetap
berteriak memberi komando, "Awas, jangan sampai lolos keparat she Ji itu,
jaga rapat pintu keluar!"
Tapi seluruh ruangan pendopo
itu sekarang sudah kacau balau, mana Ji Pwe-giok dapat ditemukan lagi.
"Mungkin dia sudah kabur
pada waktu kekacauan terjadi," teriak Siu-jing dengan gusar.
Di tengah teriakannya,
serombongan anak murid keluarga Tong yang tidak terluka telah ikut dia
menerjang ke luar. Tapi baru sampai di ambang pintu, kembali debu pasir dan
rontokan puing berhamburan dari depan, bahkan sedemikian kuat sehingga tanah
pasir yang rontok ke lantai juga menerbitkan suara gemerasak.
Mendadak tampak Yang Cu-kang
berdiri di depan pintu dengan tertawa, ucapnya dengan tenang, "Apa yang
kalian kejar ? Memangnya kalian tidak percaya kepada keteranganku ? Kalau tidak
percaya, agaknya terpaksa harus kuruntuhkan segenap rumah Tong-keh-ceng kalian.
"
oooo000000oooo
Pada waktu terjadi kekacauan,
tiba-tiba Pwe-giok mendengar suara Yang Cu-kang berkata di sampingnya, "Di
sini dapat kulayani sendiri, lekas kalian menerjang keluar dan menyusur jalan
raya, nanti kalian akan dipapak orang.... "
Belum habis ucapan Yang
Cu-kang, segera Pwe-giok menarik Cu Lui-ji dan sebelah tangan mengempit Tong
Lin yang sudah jatuh pingsan itu, mereka terus menerjang keluar mengikuti arus
manusia.
Tanpa banyak buang tenaga,
dapatlah Pwe-giok menerjang keluar pintu, sebab Yang Cu-kang telah menghadang
di depan sana, didengarnya di ruangan pendopo sana masih ramai dengan suara
gemuruh.
Tetamu yang semula duduk makan
minum di luar, karena diterjang oleh arus manusia yang membanjir keluar dari
dalam, serentak merekapun lari lintang pukang, meja kursi jungkir balik,
mangkok piring pecah berantakan. Ada yang sol sepatunya agak tipis, begitu
menginjak pecahan beling seketika menjerit kesakitan, tapi baru menjerit kontan
mereka diterjang roboh dan terinjak-injak oleh arus manusia.
Ada sementara tamu yang hadir
dengan membawa anak kecil, maksud mereka ingin hemat, daripada makan di rumah,
mumpung ada pesta, nunut makan sekalian. Siapa tahu keuntungan tidak diperoleh,
sebaliknya malah tertimpa petaka.
Maka di tengah jeritan di sana
sini terselip pula jerit tangis orang perempuan dan anak kecil.
Jika yang hadir cuma
orang-orang kangouw saja, mungkin kekacauan itu akan lebih mudah diatasi, tapi
kini di antara tamu ditambah sanak famili dan sobat andai keluarga Tong di
sekitar Tong-keh-ceng, maka suasana benar-benar kacau-balau tak keruan, ada
orang yang biasanya bisa bersikap tenang, dalam keadaan begitu pusing kepala
juga oleh suasana hiruk pikuk ini.
Hanya Pwe-giok saja yang sudah
gemblengan dan kenyang siksa derita, pada saat demikian masih tetap tenang dan
kepala dingin. Ia menyapu pandang sekejap sekelilingnya, segera ia menarik
Lui-ji berlari menuju ke sebuah gang di sebelah kiri sana.
"Mengapa kita tidak
menyusuri jalan raya, bukankah di sana katanya akan dipapak orang ? "
tanya Lui-ji.
Dengan suara tertahan Pwe-giok
menjawab, " Meski Yang Cu-kang menolong kita, tapi kata-katanya tetap
tidak boleh dipercaya, orang ini banyak tipu akalnya, tindak-tanduknya sukar
diduga, dia menolong kita pasti dengan tujuan tidak baik. "
"Betul, akupun tidak
habis mengerti mengapa dia tidak membunuh kita, sebaliknya malah menyelamatkan
kita, "kata Lui-ji.
Setelah masuk ke jalan kecil
ini, orang berlalu lantas sedikit, sebab pada umumnya semakin kacau suasananya,
semakin sedikit orang yang menuju ke tempat sepi, kebanyakan orang tentu
berlari menuju ke tempat yang banyak orangnya dan tidak dapat membedakan arah
mana yang lebih aman.
Meski ada orang yang
jelas-jelas tahu di depan ada jurang berapi, tapi bila melihat semua orang sama
berlari ke sana, tanpa kuasa iapun akan ikut orang banyak berlari ke situ.
Sebab dalam keadaan demikian umumnya orang sudah kehilangan rasio, sudah tidak
mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri.
Di depan kelihatan pepohonan
yang jarang-jarang, ternyata suatu tempat yang sunyi, suasana kacau balau tadi
tampaknya sudah ditinggalkan jauh di belakang sana.
"Tempat apakah ini ?
" tanya Lui-ji.
"Tempat pribadi keluarga
Tong, " jawab Pwe-giok.
Lui-ji terkejut, serunya,
"Lari saja kuatir tersusul, kenapa kita malah menuju ke tempat mereka?
Memangnya kita sengaja mengantar nyawa?"
"Hanya jalan ini paling
baik bagi kita, "ujar Pwe-giok, "sekalipun rada berbahaya, terpaksa
harus kita coba."
Lui-ji berpikir sejenak,
katanya kemudian, "Kau kira segenap anggota keluarga mereka berada di depan
sana, maka sengaja kau tempuh bagian yang sepi dan penjagaan longgar ini?"
Belum lagi Pwe-giok menjawab,
mendadak terdengar seorang menghardik, "Berhenti! Apakah kalian ingin
lari?"
Berbareng dengan suara
bentakan itu, belasan pemuda berpakaian ringkas ketat serentak melayang keluar
dari balik hutan di sebelah kanan sana, yang menjadi kepala adalah orang yang
terluka sebelah kakinya, darah di kaki yang cidera itu belum lagi kering, nyata
dia inilah Tong-Siu-hong yang tadi tertindih oleh belandar patah itu.
Orang ini benar-benar manusia
baja, meski kaki sudah patah tulang, tapi tubuh masih tegak seperti tonggak.
"Kau lagi, seru Lui-ji
dengan gregetan. "Mengapa kau terus membuntuti kami?"
Ia tidak tahu bahwa Tong
Siu-hong tidaklah sengaja mengejarnya, hanya lantaran jalan mereka dirintangi
Yang Cu-kang, terpaksa mereka harus memutar dari belakang, siapa tahu secara
kebetulan jalan lari Pwe-giok dan Lui-ji malah benar-benar tercegat.
Nasib manusia terkadang memang
sangat ajaib, seperti kata peribahasa: "Sengaja menanam bunga, bunga tidak
berkembang. Tidak sengaja menanam pohon Liu, justru pohon ini tumbuh
rindang." Seluk-beluk hal demikian mungkin hanya orang yang sudah
mengalami sendiri barulah dapat memahaminya.
Baru habis Lui-ji berkata tadi,
serentak anak murid keluarga Tong lantas terpencar dan mengepung mereka di
tengah, cuma merekapun jelas merasa jeri, maka tidak berani sembarangan turun
tangan.
Berputar biji mata Lui-ji,
segera ia tahu pihak lawan merasa kuatir bila melukai Tong Lin yang berada
dalam cengkeraman Pwe-giok. Maka ia lantas berkata dengan tertawa, "
Sesungguhnya kami tidak membunuh Tong Bu-siang, selamanya kita tidak kenal
mengenal dan tiada sengketa apapun, asalkan kalian melepaskan kami, segera kami
kembalikan nona Tong kepada kalian."
Ia menyangka ucapannya ini
sudah cukup tepat. Siapa tahu Tong Siu-hong seakan-akan tidak mendengar saja,
mendadak ia membentak, "Tok-soa ! "
"Tok-soa" atau pasir
berbisa adalah senjata rahasia keluarga Tong yang paling lihai, meski jaraknya
tak dapat mencapai jauh, tapi asal dalam lingkaran seluas kurang dari dua
tombak, asalkan pasir beracun itu dihamburkan, jarang ada orang yang dapat
lolos dari serangannya, dan asalkan terkena satu butir pasir saja, kalau tidak
dioperasi bagian lukanya, dalam waktu singkat bagian luka itu akan membusuk dan
dalam waktu tiga hari, orang itu akan mati.
Tong Siu-hong tidak malu
berjuluk sebagai "Thi-bin-giam-lo", si raja akhirat bermuka besi,
artinya orang yang berhati keras tanpa kenal ampun, nyata ia sudah bertekad
mengambing-hitamkan Tong Lin, bila perlu nona itu akan dibiarkan mati bersama
Ji Pwe-giok.
Di antara anak murid keluarga
tong ada juga sementara pemuda yang diam-diam menaksir Tong Lin, tapi sekali
mendengar perintah Tong Siu-hong, tiada seorangpun yang ragu dan membangkang.
Dalam sekejap itu belasan tangan yang bersarung kulit menjangan sudah meraup
pasir beracun yang berada di kantung masing-masing, bila tangan mereka ditarik
kembali, segera akan terjadilah hujan pasir, dan dalam jarak belasan tombak di
sekitar Pwe-giok dan Lui-ji akan berada di bawah ancaman pasir berbisa itu.
Tapi sekarang mendadak
Pwe-giok menerjang ke sebelah kiri.
Rupanya pada waktu Tong
Siu-hong memberi perintah tadi, ia sempat melihat perubahan air muka dua orang
pemuda di sebelah kiri, mereka memandang Tong Lin dengan sorot mata yang sedih
dan tidak tega.
Maka tahulah Pwe-giok kedua
pemuda ini pasti diam-diam mencintai tong Lin, serangan mereka tentu juga tidak
tega, asalkan cara turun tangan mereka memperlihatkan agak ragu, tentu Pwe-giok
ada harapan untuk menerjang keluar kepungan.
Walaupun cara demikian sangat
berbahaya, tapi dalam keadaan kepepet, tiada pilihan lain lagi baginya. Dia
benar-benar menerjang keluar.
Tapi dia lupa terjangannya itu
tetap tak dapat lolos dari jangkauan pasir beracun itu, bila anak murid
keluarga Tong itu menghamburkan pasir beracun dari belakang, tentu juga akan
sulit menghindarkannya.
Untunglah pada saat itu juga
mendadak terdengar suara Tong Ki berteriak, "Berhenti, semuanya berhenti!"
Di tengah suara teriakannya,
muncul Tong Ki bersama Li Be-ling , di belakang mereka ikut pula tujuh atau
delapan orang pelayan berpakaian singset, semuanya berlepotan debu pasir.
"Hamburkan Tok soa,
jangan sampai mereka kabur!" bentak Siu-hong dengan bengis.
"Jangan! Tidak
boleh!" bentak Tong-ki tidak kurang bengisnya.
"Serang!" teriak
Siu-hong pula sambil menghentak kaki.
Tong Ki juga menghentakkan
kakinya ke tanah dan berteriak, "Siu-hong apa kau tidak pikirkan lagi
keselamatan Jimoay?"
Dalam pada itu para anak murid
keluarga Tong sudah siap menggenggam pasir berbisa, tapi semuanya ragu dan
serba salah, entah perintah siapa yang harus mereka turut. Sementara itu
Pwe-giok dan Lui-ji sudah sempat menerjang pergi beberapa puluh tombak jauhnya.
"Kohnaynay (bibi), jika
kau pikirkan hubungan pribadi, keluarga Tong bisa hancur oleh tindakanmu ini,
"seru Siu-hong dengan suara parau.
Tib-tiba Li Be-ling ikut
bicara, "Urusan ini tidak perlu kalian ikut campur, kujamin mereka takkan
bisa kabur, turutlah kepada perkataanku dan tentu takkan salah."
Biasanya Li be-ling terkenal
pendiam dan jarang bicara, maka setiap ucapannya cukup berbobot.
Tong Siu-hong melotot,
katanya," Baik, biarlah kuserahkan mereka kepada kalian."
Sembari bicara rombongan anak murid
keluarga Tong itu tetap mengejar ke depan sana. Sebaliknya Pwe-giok membawa
seorang tawanan, jalanan tidak apal pula, maka sukar untuk lolos dari kejaran
lawan. tapi setelah Siu-hong memberi tanda, pengikutnya tadi lantas berhenti
mengejar, hanya tinggal Li Be-ling dan Tong Ki saja yang masih terus mengejar
ke depan.
Dengan ginkang Pwe-giok dan
Lui-ji, mestinya mereka dapat lolos dari kejaran musuh, tapi apa yang dapat
dikatakan lagi kalau di depan sudah buntu, beberapa rumah tampak menghadang di
depan sana, di belakang rumah adalah dinding tebing belaka.
Yang dipikir Pwe-giok hanya
selekasnya meloloskan diri, tidak ada hasratnya untuk bergebrak dengan lawan.
Dia tidak ingin mencelakai lawan, juga kuatir sukar kabur bila terlibat lagi
dalam pertempuran, namun keadaan sekarang memaksanya mau-tak-mau harus
menggunakan kekerasan.
Tak terduga, setiba di sini,
Tong Ki dan Li Be-ling lantas berhenti jauh di sana dan tidak mendesak maju
lagi. Malahan Tong Ki memberi tanda lambaian tangan, agaknya menyuruh mereka
lekas pergi.
Pwe-giok jadi melengak,
seperti ingin bicara sesuatu, tapi akhirnya tidak jadi, ia tarik Lui-ji dan
menerjang masuk ke dalam deretan rumah di depan.
Tampak segala sesuatu yang
terdapat di dalam rumah itu teratur dengan rapi, setiap alat perabotnya serba
antik dan indah.
Lui-ji menggeleng, katanya,
"Aku tidak paham mengapa yang Cu-kang menolong kita, tapi aku lebih-lebih
tidak habis mengerti bahwa Tong-toakohnio inipun menolong kita, sungguh aneh
dan ajaib."
"Di dunia ini memang banyak
kejadian yang tak terduga," ucap Pwe-giok.
"Dan bahwa Tong-jikohnio
bisa membikin susah padamu, mungkin juga tidak kauduga bukan?" jengek
Lui-ji tiba-tiba.
Pwe-giok hanya menghela napas
dan tidak bicar lagi.
Saat itu Tong Lin belum lagi
siuman, Pwe-giok menaruhnya di atas kursi, lalu dia mencari di seluruh ruangan.
Lui-ji tidak tahu apa yang
dicari anak muda itu, ia coba tanya, "Tempat apakah di sini?"
"Kamar pribadi Tong
Bu-siang," jawab Pwe-giok.
Lui-ji terkesiap, ucapnya,
"Tong-toakohnio sudah menolong kita, kesempatan ini tidak kita gunakan
untuk kabur, untuk apa kita berbalik lari masuk ke kamar rahasia Tong
Bu-siang?"
"Untuk mencari jalan
keluarnya."
"Jalan keluar? Masa di
sini ada jalan keluarnya?"
Belum lagi Pwe-giok menjawab,
Lui-ji sudah melihat dipan di pojok kamar itu mulai bergeser, di bawah tempat
tidur itu muncul sebuah lorong di bawah tanah yang sangat gelap.
"Hah, kiranya di sini
memang ada jalan keluar rahasia, "seru Lui-ji sambil berkedip-kedip,
"pantas Tong-jikohnio ini mengatakan kau masuk ke sini melalui jalan
rahasia, caranya berdusta ternyata sangat hidup dan seperti terjadi sungguhan.
"
Pwe-giok hanya menyengir saja
tanpa menanggapi, segera ia mendekati tong Lin dan mengangkatnya.
Mendadak Lui-ji mendengus,
"Hm, tampaknya kalian memang tidak mau berpisah sedikitpun, kukira lebih
baik kalian berdua diikat menjadi satu saja dengan tali. "
Sementara itu Pwe-giok sudah
melangkah turun ke lorong di bawah tanah itu, tiba-tiba ia menoleh dan berkata,
"Saat ini bukan waktunya bicara, maukah kau tutup mulut ?"
Terkesiap Lui-ji, matanya
menjadi merah. Belum pernah Pwe-giok bicara kepadanya dengan muka masam seperti
ini.
Pwe-giok berjalan di depan
dengan hati-hati, setelah berjalan sekian jauhnya, ia menghela napas dan berkata,"
Nah, apa yang hendak kau katakan sekarang boleh kau katakan saja
sepuasmu."
Tapi mulut Lui-ji justru
tertutup rapat-rapat.
"Meski tadi tidak kau
bunuh dia, tapi ku tahu dia pasti terkena racun di tubuhmu, jika sekarang kau
paham maksudku, hendaklah kau punahkan dulu racun dalam tubuhnya."
Tapi Lui-ji tutup mulut
semakin rapat, seakan-akan tidak mau lagi dibuka.
Pwe-giok berkerut kening,
katanya, "Kenapa. Sekarang kau malah tidak mau bicara."
Lui-ji tetap tutup mulut,
hanya dengan jarinya ia tuding Pwe-giok, lalu tuding pula mulutnya sendiri.
Pwe-giok tersenyum, ucapnya,
"Sekarang kau sudah dewasa, masa masih suka ngambek seperti anak
kecil.?"
Mendengar dirinya dianggap
sudah "dewasa", Lui-ji tertawa, dengan mulut menjengkit, ia berkata,
"Kau yang suruh aku tutup mulut, aku kan selalu menuruti perintahmu saja.
"
"Jika begitu, lekaslah
kau menolong dia, "kata Pwe-giok.
Mata Lui-ji kembali merah, ia
menggigit bibir dan berkata, "Tahumu hanya menyuruh ku tolong dia, kau
hanya gelisah baginya, mengapa tidak kau tanyakan diriku, apakah juga terkena
racunnya atau tidak? Anggota keluarga Tong mereka kan juga terkenal ahli
racun?"
"Meski senjata rahasia
berbisa keluarga Tong sangat terkenal, tapi kau sendiri kan..."
"Aku kenapa? Aku ini
orang berbisa, begitu? Barang siapa bila menyentuh diriku pasti keracunan,
begitu? Jika demikian, kenapa sampai sekarang kau tidak keracunan?"
Pwe-giok jadi melenggong,
jawabnya, "Soalnya ku...kulihat Gin-hoa-nio yang cuma menampar kau satu
kali dan tangannya lantas keracunan, anggota Thian-can-kau itupun hanya
mencolek kau sekali dan dia juga...."
"Tapi Tong-jikohnio ini
kan tidak memukul dan mencolek diriku? Jika racun di tubuhku tak dapat kukuasai
sendiri, mungkin sejak dulu Sacek sudah mati keracunan."
"O, jadi begitu, jadi dia
tidak keracunan?"
"Memangnya kau kira aku
ini orang goblok dan tidak tahu bahwa nona Tong kita ini tidak boleh
dibunuh?"
Pwe-giok menghela napas,
katanya, "Ai, rupanya aku salah mengomeli kau, soalnya kulihat sampai saat
ini nona Tong itu belum lagi siuman, maka kukira...."
Belum habis ucapan Pwe-giok,
Lui-ji mendekati Tong Lin dan menepuk bahunya sambil mendengus,
"Tong-jikohnioku sayang, tampaknya kau tidak cuma pintar berdusta, caramu
pura-pura juga sangat ahli. Akan tetapi bila kau tidak segera siuman, sekarang
juga akan kubelejeti pakaianmu."
Tubuh Tong Lin tampak
bergetar, benarlah dia lantas membuka mata.
Lui-ji melototi Pwe-giok,
katanya, "Nah, sekarang tentunya kau paham apa yang terjadi. Lantaran
kuatir ditanyai, maka dia sengaja pura-pura mampus.....Hm, tanpa membedakan
hitam dan putih lantas menuduh orang yang tak bersalah, malahan menganggap
dirinya sangat pintar dan cerdik , huh.!"
Terpaksa Pwe-giok menerima
omelan itu dengan jujur, bahkan tunduk lahir batin.
Mulut Lui-ji menjengkit, dia
melengos dan mengejek pula, "Nah, Tong-jikohnio, apakah sekarang kau masih
segan untuk bangun berdiri?"
Muka Tong Lin yang pucat itu
kelihatan merah, ia menggreget, jawabnya, "Sudah jelas kau....kau tahu
hiat-to kakiku tertotok, tapi kau bicara seenaknya."
"Terkadang aku memang
juga bisa membikin dongkol orang," ujar Lui-ji tak acuh. "Memangnya
hanya kalian saja yang boleh memfitnah diriku dan aku tidak boleh
membalas.?"
Sekujur badan Tong Lin gemetar
saking gemasnya, tapi tak dapat menjawab.
Pwe-giok menghela napas,
katanya kemudian. "Ji-kohnio, aku tidak ada permusuhan apapun dengan kau,
mengapa kau sengaja mencelakai diriku?"
Tiba-tiba Lui-ji mendengus
pula. "Kau boleh sembarangan menuduh diriku, tentu boleh juga dia
sembarangan menuduh kau. Kalian berdua adalah sepasang ahli yang suka menuduh
orang baik, kenapa kau salahkan dia ? "
Sungguh Pwe-giok serba susah,
ia hanya menyengir saja, tapi sekarang ia tidak berani lagi menyuruh Lui-ji
tutup mulut, sebab ia telah mendapatkan suatu pelajaran berharga pula, yaitu:
Jangan sekali-kali kaum lelaki menyuruh orang perempuan tutup mulut. Sebab
seketika itu mungkin si dia akan benar-benar tutup mulut, tapi seterusnya bukan
mustahil dia akan cerewet selama hidup.
Kini yang tutup mulut benar-benar
adalah Tong Lin, dia seperti sudah mengambil keputusan takkan bicara lagi.
Dengan suara lembut Pwe-giok
membujuknya. "Caramu bersikap demikian bisa jadi lantaran kaupun mempunyai
kesulitan, sebab jelas kau bukan seorang yang suka berdusta."
"Hm, justru lantaran dia
bukan seorang yang suka berdusta, maka apa yang diucapkannya tentu dipercaya
orang lain," jengek Lui-ji. "Apabila dia kelihatan sebagai seorang
perempuan bawel, tentu tiada orang yang mau percaya kepada ocehannya."
Setiap kali Pwe-giok tanya
Tong Lin, yang ditanya tidak bersuara, tapi Lui-ji selalu mendahului
menanggapi.
Terpaksa Pwe-giok berlagak
pilon dan bersabar, katanya pula, "Bisa jadi ada alasanmu yang kuat
sehingga terpaksa kau berdusta, asalkan kau tuturkan terus terang, pasti tidak
kusalahkan kau."
"Hm, bisa jadi memang
benar-benar kekasihnya yang membunuh Tong Bu-siang itu, demi untuk
menyelamatkan kekasihnya, maka dia perlu mencari seorang sebagai tumbal,"
jengek Lui-ji lagi.
Sekali ini dia tidak
menanggapi dengan ngawur, tapi yang dikemukakan cukup masuk akal.
Terbeliak mata Pwe-giok,
serunya, "Masa benar-benar kau tahu siapa si pembunuhnya?"
"Sudah tentu dia tahu,
"Lui-ji mendahului menanggapi pula, "Tapi caramu bertanya ini tentu
juga takkan mendapatkan jawabannya."
Lalu Lui-ji mendekati Tong
Lin, dengan bengis ia berkata, "Sesungguhnya siapa yang membunuh Tong
Bu-siang itu ? Jika tetap tidak kau katakan, segera ku.... "
Belum habis ucapannya,
mendadak seorang menanggapi dengan perlahan, "Orang yang membunuh Tong Bu-siang
itu ialah diriku ini."
Dalam kegelapan entah sejak
kapan telah bertambah sesosok bayangan orang yang berwarna putih kelabu,
seperti badan halus saja yang mendadak muncul di situ.
Karena tak dapat melihat jelas
wajah orang, Pwe-giok dan Lui-ji berseru berbareng, "Siapa kau ? "
Orang itu tidak menjawab, tapi
lantas mengetik api.
Di bawah cahaya api, tampak
seorang perempuan berkabung, geretan api yang dipegangnya berkelip seperti api
setan, wajahnya pucat lesi tanpa warna darah sedikitpun.
Melihat orang ini, Pwe-giok
benar sangat terperanjat, serunya tanpa terasa, "He, kau ?!"
"Ya, betul aku!"
sahut orang itu sambil menghela napas.
"Sungguh tak tersangka
olehku yang berbuat itu adalah dirimu," kata Pwe-giok dengan gegetun.
Mendadak Lui-ji membentak,
"Kau berani mengaku sebagai si pembunuhnya di depan kami, apakah kau sudah
bertekad akan membunuh kami untuk menghilangkan saksi?"
Orang itu mendengus,
"Huh, jika ingin kubunuh kalian, mengapa tadi ku tolong kalian?"
Orang yang mengaku sebagai
"pembunuh" ini ternyata nona besar keluarga Tong, yaitu Tong Ki.
Air mata Tong Lin sudah
bercucuran, ucapnya dengan suara parau, "Toaci, untuk apa kau datang
kemari? Aku sudah jelas tak dapat hidup lagi, juga tidak ingin hidup lebih lama
lagi, mengapa tidak kau biarkan ku tanggung dosa ini?"
"Ku tahu tindakanmu ini
adalah demi diriku," ucap Tong Ki dengan rawan. "Kau rela
mengorbankan dirimu, kau memang anak yang baik, tapi aku...."
"Akupun tahu tindakan
toaci ini adalah demi mempertahankan nama baik keluarga Tong kita..."
"Bagus, bagus, kalian
semuanya anak baik, apa yang kalian lakukan semuanya beralasan. Tapi Ji
Pwe-giok apakah harus ikut dikorbankan ?" teriak Lui-ji mendadak.
Tong Ki menghela napas
panjang, katanya. "Ya, ku tahu tindakan kami ini telah membikin susah
Ji-kongcu, tapi di dalam persoalan ini sesungguhnya memang mengandung banyak
rahasia yang tidak boleh diketahui orang luar. "
"Masa sekarang kami belum
juga berhak mengetahui rahasia ini?" tanya Lui-ji.
"Kedatanganku untuk
menemui kalian ini justru sudah siap hendak kuberitahukan rahasia ini kepada
kalian," ucap Tong Ki. Ia berhenti sejenak dan tersenyum getir, lalu
melanjutkan, "Tentu dalam hati kalian merasa sangat heran mengapa aku
membunuh ayah sendiri, bukan ? "
"Ya, aku memang sangat
heran," kata Lui-ji.
"Setelah ku beritahu
rahasia ini, kuharap kalian jangan menyiarkannya, sebab rahasia ini
sesungguhnya sangat penting."
"Masa kau tidak percaya
kepada Ji Pwe-giok?" Lui-ji mendahului bertanya.
"Justru ku tahu lantaran
Ji-kongcu adalah seorang kuncu sejati, maka ku datang ke sini...",
tiba-tiba Tong Ki tersenyum misterius, "Kalian tahu, Tong Bu-siang yang
kubunuh itu sebenarnya bukanlah ayahku."
Ia mengira keterangannya ini
pasti akan membikin kaget Ji Pwe-giok dan Cu Lui-ji, tak terduga Lui-ji hanya
mencibir saja dan berkata, "Rahasia ini tidak luar biasa, sebelumnya kami
sudah tahu."
Tong Ki berbalik terperanjat,
serunya, "Apa, kalian sudah tahu sebelumnya?"
"Ya, memang betul,
"tukas Pwe-giok.
Dia sebenarnya adalah pemuda
yang pendiam, apalagi berada bersama Lui-ji, kesempatannya bicara boleh
dikatakan sangat sedikit, sejak tadi sampai sekarang, hanya ketiga kata itu
saja sempat diucapkannya.
Malahan sekarang Lui-ji terus
mendahului berkata pula, "Tidaklah heran jika hal ini diketahui oleh kami,
yang ku herankan justru cara bagaimana kalianpun mengetahuinya?"
Tong Ki tersenyum getir,
tuturnya, "Sebenarnya urusan keluarga Tong ini hanya diketahui olehku
sendiri, tapi sekarang kalianpun mengetahuinya, tentu saja sangat mengherankan."
"Malahan kami tahu pula
bahwa Tong Bu-siang gadungan itu aslinya cuma seorang kusir," kata Lui-ji
pula.
"Kusir?" Tong Ki
menegas dengan tercengang.
"Betul, hanya seorang
kusir," kata Lui-ji. "Dia berkasak-kusuk dengan anak buah Ji Hong-ho
di Bong-hoa-lou sana, mereka tidak tahu kami mengintipnya dari balik dinding,
sehingga rahasianya ketahuan."
Mendingan dia tidak bicara,
sebab Tong Ki tambah bingung oleh ceritanya itu.
Dengan menyesal Pwe-giok
berkata, "Urusan ini memang sangat ruwet, tapi yang paling penting
haruslah diketahui oleh nona, bahwa semua tipu muslihat, semua intrik keji ini
datang dari .... dari Ji Hong-ho itu, dialah yang mendalangi semua kejadian
ini."
"Ji Hong-ho?" Tong
Ki menegas pula dengan melenggong. "Kau maksudkan Ji-lo-siansing yang
menjadi Bu-lim bengcu itu?"
"Betul, siapa lagi kalau
bukan dia?" jawab Pwe-giok dengan menggreget.
Tong Ki tambah tercengang,
katanya, "Dan apa sangkut-pautnya dengan urusan keluarga Tong kami
ini?"
"Justru lantaran ia ingin
menguasai keluarga Tong yang berpengaruh ini, maka dia telah menculik
Tong-locianpwe untuk memalsukannya, "tutur Pwe-giok. "Tindakannya ini
sebenarnya berlangsung dengan sangat rahasia, siapa tahu secara tidak sengaja
dapat kami pergoki."
"Kedatangan kami ke sini
justru hendak membongkar tipu muslihatnya itu," timbrung Lui-ji tak tahan.
Tong Ki melengak sejenak,
mendadak ia bergelak tertawa.
Pwe-giok dan Lui-ji saling
pandang dengan bingung, mereka tidak tahu mengapa nona besar keluarga Tong itu
tertawa sedemikian geli.
Setelah tertawa sekian
lamanya, tiba-tiba Tong Ki menghela napas panjang dan bergumam, "Agaknya
inilah yang disebut manusia berencana, Thian yang menentukan. Betapapun usaha
manusia takkan berhasil jika Thian tidak berkenan."
"Apa maksudmu?"
tanya Lui-ji sambil berkerut kening.
"Terus terang, ayahku
sudah wafat belasan tahun yang lalu," tutur Tong Ki dengan suara tertahan.
Kembali Pwe-giok terkejut,
serunya, "Belasan tahun yang lalu? Tapi jelas...jelas ku.."
"Waktu beliau wafat, saat
itulah suasana di daerah Sujwan ini sedang kacau balau, keluarga Tong kami
waktu itupun menghadapi sesuatu yang sangat berbahaya," tutur Tong Ki.
"Berkat mendiang ayahku bertahan dengan tenang sehingga segala kesulitan
dapat diatasi. Tapi beliau kuatir apabila dia meninggal, suasana bisa kacau
lagi, maka beliau sengaja mencari seorang duplikat untuk menyaru sebagai dia,
guna mengatasi segala kemungkinan."
Dia tertawa, lalu melanjutkan,
"Duplikat yang ditemukan ayah itu adalah seorang paman yang masih sanak
keluarga kami dan bukanlah kusir segala. paman ini memang sangat mirip ayah,
setelah dirias, sukarlah orang luar akan membedakannya. Apalagi seumpama ada
sesuatu yang tidak betul, tentu orang akan menyangka karena ayah habis sakit,
sehingga terjadi perubahan."
"Jika demikian, jadi
Tong-locianpwe yang pernah kutemui itu sesungguhnya juga palsu?" kata
Pwe-giok dengan menyesal.
Baru sekarang ia paham,
mengapa Tong Bu-siang itu kelihatan takut urusan, terkadang sikapnya tidak
menampilkan wibawa seorang pemimpin.
Akhirnya iapun paham sebab apa
"Tong Bu-siang" itu mengkhianatinya.
"Paman itu memang bukan
seorang bijaksana dan cekatan, maka sebelum wafat, ayah telah pesan padaku
secara wanti-wanti agar paman itu hanya dijadikan sebagai boneka saja. Apabila
suatu waktu timbul pikiran jahatnya hendak merebut kedudukan dan merampas
kekuasaan, ayah menyuruhku agar membinasakan dia tanpa ragu," setelah
berhenti sejenak sambil menghela napas, lalu Tong Ki menyambung, "Justru
karena diberi tugas berat ini oleh mendiang ayahku, terpaksa ku jaga keluarga
ini sepenuh tenaga, betapapun aku tak dapat menikah dan ikut suami."
Teringat kepada pengorbanan
Tong Ki yang besar ini, tanpa terasa Pwe-giok ikut terharu dan bersedih
baginya. Seorang perempuan rela mengorbankan masa muda sendiri dan hidup
kesepian, kehidupan demikian tidaklah mudah dilakukan setiap orang.
"Selama belasan tahun
ini," tutur Tong Ki pula, "pamanku itu tampaknya juga hidup prihatin,
segala persoalan akulah yang memutuskan, ia sendiri tidak berani bertindak di luar
tahuku. Siapa tahu, setelah pulang sekali ini, dia kelihatan berubah, dalam
waktu satu hari saja dia berani mengambil keputusan sendiri dan mengeluarkan
belasan macam perintah. Demi untuk melaksanakan pesan ayah, terpaksa kubunuh
dia."
Ia berhenti sejenak, lalu
menyambung lagi, "Tapi akupun tidak menyangka bahwa di balik kepalsuan
itu, masih ada tiruan pula. Kejadian aneh di dunia ini sungguh terkadang jauh
lebih mustahil daripada dongeng."
Termangu-mangu Lui-ji
mendengarkan ceritanya, baru sekarang ia tersenyum getir dan bergumam,
"Ya, memang tidaklah gampang bila suatu keluarga persilatan ternama ingin
mempertahankan nama dan kehormatannya."
Tong Ki tersenyum pedih,
katanya, "Betul, umumnya orang hanya tahu kebesaran dan kejayaan keluarga
Tong kami, tapi siapa yang tahu di balik kejayaan ini entah tersembunyi betapa
banyak pahit getir, betapa banyak mengalirkan darah dan air mata...."
Dia seperti terkenang kepada
kejadian-kejadian di masa lampau, tanpa terasa air matanya bercucuran.
Pwe-giok jadi teringat kepada
nasib Tong Ki yang pernah bertunangan 2 - 3 kali, tapi setiap kali bakal
suaminya selalu mati mendadak, apakah orang-orang itu hanya mati secara
kebetulan ? Adakah di balik kematian itu tersembunyi suatu rahasia ?
Teringat demikian tanpa terasa
Pwe-giok bergidik.
Ia tidak ingin memikirkannya
lagi, juga tidak sampai hati untuk memikirkannya, apapun juga Tong Ki harus
dianggap sebagai anak perempuan yang tidak beruntung dan perlu dikasihani.
Kejayaan hanya bisa diperoleh
dengan macam-macam imbalan yang besar. Sejak dahulu kala, di balik soal
"kejayaan", entah telah berapa banyak menimbulkan korban, entah
berapa banyak tulang-belulang yang bertumpuk dan betapa banyak darah yang
mengalir.
Dan semua ini apa cukup
berharga?
Lui-ji termenung sejenak,
tiba-tiba ia bertanya, "Apakah Tong Giok juga tidak tahu rahasia keluarga
kalian ini?"
"Tidak, iapun tidak
tahu," jawab Tong Ki.
"O, pantas dia......
"mendadak Lui-ji tidak melanjutkan ucapannya, sebab ia merasa orang yang
telah mati tidak perlu lagi disinggung perbuatannya yang memalukan itu.
Pwe-giok memandangnya sekejap
sebagai tanda memujinya.
Betapapun pada dasarnya Lui-ji
adalah anak perempuan yang berhati bajik, cuma seperti juga kebanyakan anak
perempuan di dunia ini, terkadang dia suka banyak bicara walaupun sebenarnya
bukan waktunya untuk bicara.
Tong Ki lantas menutur pula,
"Kecuali diriku dan paman itu, di dunia ini jelas tiada orang lain lagi
yang tahu rahasia penyamaran ini. Sebab waktu itu adik-adikku masih kecil, maka
ayah menyuruhku sekalian merahasiakan urusan ini bagi mereka."
Diam-diam Pwe-giok menghela
napas gegetun, ia tahu Tong Jan juga pasti tidak tahu rahasia ini, kalau tidak,
mustahil ia mau membantu Tong Bu-siang gadungan itu untuk mengkhianatinya
dahulu.
Rupanya setelah belasan tahun
menjadi boneka, Tong Bu-siang palsu itu tidak rela dan merasa penasaran, maka
dia bersekongkol dengan Ji Hong-ho untuk mempertinggi kedudukan sendiri dan
memperkuat kekuasaannya.
Tapi meski dia telah
mengkhianati Ji Pwe-giok, dia tidak menjual keluarga Tong, sebab itulah ketika
ajalnya itu, dia tetap tidak memberitahukan rahasia kepalsuannya sendiri kepada
Ji Hong-ho.
Pwe-giok menghela napas
panjang, ucapnya, "Apapun juga pamanmu itu tidak bersalah terhadap
keluarga Tong kalian."
Tong Ki menghela napas,
katanya, "Demi kehormatan keluarga, terpaksa harus berkorban sendiri,
inilah penderitaan kebanyakan murid ke keluarga persilatan di dunia ini, juga
semangat dasar keluarga persilatan ini supaya dapat bertahan hidup di dunia
persilatan. "
"Tadinya akupun sangat
mengagumi para murid keluarga persilatan, tapi sekarang..... "Lui-ji
berucap dengan rawan, sebab iapun mempunyai penderitaannya sendiri, menjadi
puteri "Siau-hun-kiongcu", betapapun bukanlah sesuatu yang enak.
Selang sejenak, tiba-tiba ia
bertanya pula, "Rahasia ini mungkin tidak diketahui orang lain, tapi
Ji-kohnio tentunya tahu, bukan? "
"Ia baru tahu pada
kemarin malam, "jawab Tong Ki.
"Ooh ? Baru kemarin malam
? "Lui-ji merasa heran.
"Ya, baru kemarin malam,
memang betul ada sesuatu yang harus dibicarakan dengan Tong...Tong Bu-siang
itu, setiba di luar pintu, ia memang berhenti di sana, sebab saat itu aku
sedang bicara di dalam kamar. "
"O, jadi dia menyaksikan
kau bunuh Tong Bu-siang itu, tentu saja dia terkejut, ketika kau tahu dia
berada di luar kamar, terpaksa kau beritahukan rahasia keluargamu itu
kepadanya, begitu ? "tanya Lui-ji.
"Ya, memang betul begitu,
"sahut Tong Ki.
"Aku memang lagi heran
mengapa kalian tidak mau menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya."
"Soalnya waktu itu kami
belum mengetahui liku-liku urusan ini, lebih-lebih tidak tahu bahwa Tong
Bu-siang palsu itu telah dipalsukan pula oleh orang lain."
Lui-ji menjengek, "Hm,
kalian tidak ingin orang luar mengetahui perebutan kekuasaan di tengah keluarga
sendiri, demi menjaga nama baik keluarga Tong, lantas kalian korbankan Ji
Pwe-giok, begitu bukan?"
Terpaksa Tong Ki menghela
napas panjang, sebab dia memang tidak dapat menjawabnya.
Lui-ji melototi Tong Lin,
katanya pula dengan perlahan, "Ji-kohnio, ingin kuminta penjelasan sesuatu
kepadamu."
Tong Lin menundukkan kepala,
seakan-akan tak mau mendongak lagi untuk selamanya.
Maka Lui-ji berkata pula.
"Jika kau perlu cari tumbal, siapapun boleh kau cari, kenapa pilihanmu
jatuh pada diri Ji Pwe-giok ? Ada persoalan apa antara kau dengan dia ? "
Kepala Tong Lin tertunduk
lebih rendah lagi, air matapun berderai.
Mendadak Tong Ki menghela
napas, katanya, "Daripada kau minta penjelasannya, lebih baik aku saja
yang berbicara baginya."
"Hm, kiranya kaupun tahu
apa sebabnya, jangan-jangan hal inipun atas gagasanmu?" jengek Lui-ji.
Tong Ki tak tahan, iapun balas
menjengek, "Hm, jika gagasanku, tentu takkan jadi begini, sebab biarpun
Ji-kongcu adalah pemuda cakap yang jarang ditemukan, tapi bagiku rasanya tidak
berarti apa-apa."
Dia seperti dibikin marah oleh
Lui-ji sehingga cara bicaranya juga tidak sungkan-sungkan lagi.
Lui-ji berbalik tertawa geli
malah, ucapnya, "Baik sekali, justru kuharapkan dia akan dipandang sebagai
siluman buruk di mata wanita lain. Apabila semua perempuan di dunia ini
berpandangan serupa Tong-toakohnio, maka amanlah hatiku."
Tong Ki memandangnya, rasa
gusarnya perlahan-lahan lenyap, sebab ia merasa Lui-ji tidak lebih hanya
seorang anak kecil yang berlagak menjadi orang tua. Ia tertawa, lalu menghela
napas panjang lagi dan berkata, "Namun adik perempuanku ini
justru...."
"Toaci!" seru Tong
Lin mendadak sambil mendongak, "jangan...jangan kau..."
"Mengapa jangan?"
jawab Tong Ki lembut. "Seorang anak gadis jatuh cinta kepada seorang pemuda
kan bukan sesuatu yang memalukan ? Mengapa tidak boleh kita katakan terus
terang?"
Tubuh Tong Lin tampak gemetar,
mukanya bersemu merah.
Lui-ji mendelik, ucapnya,
"Jadi maksudmu, lantaran dia suka kepada Pwe-giok, maka dia mencelakainya
pula. Wah, kalau begitu, rasa sukanya itu rada-rada tidak enak."
"Dia memang jatuh cinta
kepada Ji-kongcu," sambung Tong Ki, "ketika diketahuinya Ji-kongcu
sudah menikah denganmu, betapa sedih hatinya, tentu dapat kau bayangkan,
ditambah lagi kemalangan yang menimpa keluarga kami, derita batinnya mana bisa
ditahannya ? "
Dia menatap Lui-ji
lekat-lekat, lalu berkata pula dengan perlahan, "Tentu nona juga tahu,
jarak antara cinta dan benci sedemikian kecilnya. Bilamana nona yang berada
dalam keadaan seperti dia ini, mungkin kaupun akan bertindak demikian. "
Lui-ji terdiam sejenak, ia
pandang sekejap Pwe-giok yang sedang melenggong itu, lalu berucap dengan sayu,
"Ya, bisa jadi aku akan bertindak terlebih kejam daripada dia. "
"Apalagi, memang cuma
Ji-kongcu saja yang dapat disebutnya, bila dia menyebut orang lain, pasti tidak
ada yang mau percaya, "kata Tong Ki.
"Sebab apa? "tanya
Lui-ji.
"Sebab dia telah cukup
tersiksa demi membela Ji-kongcu, "tutur Tong Ki dengan gegetun. "Jika
bukan lantaran kejadian itu, meski kemudian tidak menimbulkan banyak persoalan,
mungkin dia sudah dihukum mati menurut peraturan rumah tangga kami....."
Sampai di sini, Pwe-giok tidak
tahan lagi, ucapnya dengan terharu, "dia membawa Gin-hoa-nio ke tempat
rahasia pembuatan Am-gi keluarga Tong, apakah tindakannya itu demi diriku
?"
"Asal kau tahu
saja," ujar Tong Ki dengan tersenyum getir, "dan kalau Ji-kongcu
sudah tahu, tentunya kau harus memaafkan perbuatannya tadi."
Pwe-giok pandang Tong Lin yang
sedang menangis itu dan entah apa yang harus diucapkannya.
Tapi Lui-ji lantas mendekati
Tong Lin, ucapnya dengan suara lembut. "Jikohnio, sebenarnya aku benci
padamu, tapi sekarang aku benar-benar bersimpati padamu..."
Mendadak Tong Lin melonjak
bangun, teriaknya dengan suara parau, "Aku tidak memerlukan simpatimu,
tidak perlu kasihanmu. Kubenci padamu, kubenci kau!..." dia terus meronta
dan hendak menerjang maju, tapi lantaran hiat-to kaki tertotok, ia jatuh
terjungkal pula.
Lui-ji menggigit bibir dan
tersenyum pedih, ucapnya," Tidak perlu kau benci padaku, kubilang dia
suamiku, sesungguhnya hanya menipu diriku sendiri saja, sebab dalam hatinya
hanya terisi oleh nona Lim Tay-ih itu. Akupun serupa kau, sama-sama gadis yang
harus dikasihani, aku...aku..... "sampai di sini air matanyapun berderai.
Tong Ki memandangi mereka,
matanya juga mengembeng air mata, gumamnya, "Cinta... O cinta..."
mendadak ia pandang Pwe-giok, ucapnya dengan dingin, "Ji-kongcu, tampaknya
tidak sedikit kau bikin susah orang!"
Pwe-giok tampak terkesima dan
bergumam, "Tidak sedikit orang yang ku bikin susah..." ia mengulang
kalimat tersebut beberapa kali, tapi selain itu dia memang tidak dapat bicara
lain. Apalagi, biarpun bicara apapun juga, Tong Ki takkan bersimpati padanya.
Tong Ki membangunkan Tong Lin,
lalu berkata, "Sekarang, selesailah perkataanku, bolehlah Ji-kongcu
pergi!"
Dia seperti tidak mau
memandang Pwe-giok lagi, sampai Lui-ji juga tidak menyangka sikapnya akan
berubah menjadi sedingin itu.
Lui-ji tidak tahu bahwa
seorang perawan tua biasanya paling benci terhadap lelaki yang tidak berbudi
dan tidak setia, seakan-akan dia sendiri sudah beratus kali ditipu oleh kaum
lelaki.
Padahal masakah dia tidak tahu
bahwa Pwe-giok tidak bersalah, hanya saja ia tidak mau mengakui fakta ini,
sebab yang dibencinya bukanlah Ji Pwe-giok melainkan kaum lelaki.
Melihat Tong Ki mulai
melangkah pergi dengan memayang Tong Lin, Lui-ji tidak tahan, serunya,
"Nona Tong, apakah rahasia tadi akan kau siarkan ? "
"Tidak, "jawab Tong
Ki.
"Jika ... jika begitu,
apa gunanya kau beritahukan rahasia ini kepada kami ? "tanya Lui-ji pula.
"Kenapa tidak ada gunanya
? "sahut Tong Ki.
"Sebab kalau orang lain
tidak tahu seluk-beluk persoalan ini, bukankah Pwe-giok akan tetap dianggap
sebagai pembunuh Tong-locengcu?"
"Hm, sudah jelas dia tidak
setia padamu, untuk apa kau perhatikan dia?" jengek Tong Ki, sambil
bicara, tanpa menoleh lagi ia terus tinggal pergi.
Lui-ji melenggong, ia ingin
menyusul ke sana, tapi Pwe-giok keburu menariknya dan berkata. "Sudahlah,
biarkan dia pergi."
"Sudahlah!?" teriak
Lui-ji. "Urusan ini mana boleh dianggap sudah? Masa kau lebih suka dituduh
orang sebagai pembunuh?"
Pwe-giok termangu sejenak,
ucapnya kemudian dengan tersenyum getir, "Aku sendiri sudah cukup dibebani
berbagai tuduhan, biarpun ditambah lagi urusan ini juga tidak menjadi
soal."
"Sungguh aku merasa
bingung, kau ini orang macam apa," ucap Lui-ji dengan mendongkol.
"Orang lain membikin susah padamu, tapi kau tidak marah sedikitpun. Orang
lain kuatir dan gelisah bagimu, kau sendiri malah adem-ayem?"
Pwe-giok tertawa, katanya,
"Jika kau anggap aku ini orang yang tak berbudi dan tak setia, untuk apa
lagi kau perhatikan diriku?"
Ucapan Pwe-giok ini membuat
Lui-ji melengak, mendadak ia mendekap mukanya dan menangis, dengan gemas ia
berkata, "Masa kau anggap ucapanku tadi tidak pantas? Memangnya hatimu
tidak memikirkan Lim Tay-ih melulu? Apakah aku salah omong, salah menuduh
padamu?"
Apapun Pwe-giok tidak dapat
bicara lagi.
Setelah menangis sejenak,
rasanya Lui-ji sudah cukup menangis, kemudian ia bergumam, "Mungkin akulah
yang salah. Aku ini gadis cerewet, cengeng, sedikit-sedikit menangis, sering
pula bicara, hingga menimbulkan kemarahanmu, mengapa tidak kau tinggalkan
diriku dan pergi sendiri saja ? "
Pwe-giok tetap tidak bicara
apapun, ia hanya gandeng tangan si nona dan diajaknya berangkat, maka dengan
menurut Lui-ji juga ikut berangkat.
Tanpa bicara memang cara yang
paling baik untuk menghadapi kaum perempuan.
ooo00000000ooo
Pwe-giok tahu lorong di bawah
tanah itu menembus ke kelenteng yang letaknya terpencil itu. Di kelenteng
itulah anak buah Ji Hong-ho menculik "Tong Bu-siang" dan membunuh
Tong Jan.
Juga di kelenteng itu untuk
pertama kalinya Pwe-giok bertemu dengan Kwe Pian-sian. Tanpa terasa ia jadi
teringat kepada Ciong Cing, gadis yang merana karena cinta itu.
Ke manakah mereka sekarang?
masih hidup atau sudah mati?
Iapun teringat kepada
Gin-hoa-nio, teringat kepada nasibnya yang mengerikan itu, maka wajah
Kim-hoa-nio, Thi-hoa-nio, Kim-yan-cu dan lain-lain seolah-olah terbayang pula
di depan matanya.
Dengan sendirinya, ia
lebih-lebih tak dapat melupakan Lim Tay-ih.
Ia menghela napas panjang,
pikirnya dengan rawan, "Nasib mereka sama tidak beruntung, apakah benar
akulah yang membikin susah mereka...?"
Hampir setiap anak perempuan
yang dikenalnya seakan-akan tidak ada satupun yang beruntung dan bahagia.
Apakah sebabnya?
Wanita cantik biasanya
dipandang orang sebagai "air bencana", lalu pemuda cakap seperti Ji
Pwe-giok ini terhitung apa?
Jalan tembus pada lorong di
bawah tanah itu ditutup oleh sepotong batu yang dapat diputar, sehingga tidak
banyak suara yang ditimbulkannya. Apalagi di luar sana adalah kelenteng di
tanah pegunungan sunyi dan jauh dari jejak manusia, biarpun menerbitkan sedikit
suara juga tidak menjadi soal.
Namun begitu Pwe-giok tetap
sangat hati-hati, lebih dulu ia geser batu itu sedikit, di luar ternyata gelap
gulita, biarpun ada cahaya bulan dan bintang juga tak dapat menyinari tempat
ini.
Dan biasanya kegelapan selalu
berkawan kesunyian, kecuali denyut jantung sendiri, hampir tak terdengar apapun
oleh Pwe-giok, bahkan anginpun berhenti berdesir.
Setelah yakin benar keadaan
aman, barulah Pwe-giok menarik Lui-ji naik ke atas.
Tapi pada saat itu juga dalam
kegelapan mendadak timbul serentetan suara orang tertawa.
Seorang dengan tertawa
berkata, "Baru sekarang kalian muncul? Sudah lama kutunggu di sini."
Pwe-giok terkejut dan menyurut
mundur, tapi segera cahaya lampu terang benderang.
"He, Yang Cu-kang!"
seru Lui-ji kaget, "Kau benar-benar seperti arwah yang tidak mau buyar,
kenapa kaupun ikut ke sini?"
"Bisa jadi lantaran aku
dan kalian memang berjodoh..." Yang Cu-kang tersenyum, dia duduk bersila
di lantai, di depannya ada sebotol arak dan beberapa bungkus makanan, ada pula
sebuah lampu dan sebuah geretan api.
Dengan tertawa ia berkata
pula, "Arak dan makanan ini kubawa sendiri dari tempat perjamuan keluarga
Tong sana, meski arak masih hangat, namun makanannya sudah dingin, karena
barang didapatkan dengan gratis, biarlah kita nikmati saja seadanya. Marilah,
silahkan kalian ikut minum barang secawan. "
Pwe-giok memandangnya dengan
tersenyum, ucapnya kemudian, "terima kasih!"
Dia benar-benar mendekati Yang
Cu-kang dan ikut duduk di situ, cawan arak diangkatnya dan ditenggak habis.
Lui-ji ingin mendahului mencicipi arak itu, tapi sudah tidak keburu lagi.
Yang Cu-kang tertawa, katanya.
"Ji-heng, ilmu silatmu sebenarnya tidak seberapa, kecakapanmu juga tidak
melebihi diriku, tapi kau memang jauh lebih sabar daripadaku. Hal ini
mau-tak-mau aku harus kagum padamu. Marilah, ku suguh kau satu cawan."
Lalu dia tertawa terhadap
Lui-ji dan berkata pula, "Hendaknya nona Cu jangan kuatir, arak ini tidak
beracun, untuk membunuh orang cukup banyak caraku dan tidak perlu memakai
racun."
Biji mata Lui-ji berputar,
ucapnya hambar, "Tapi caraku membunuh orang cuma ada satu, yakni pakai
racun. Setiap saat dan di manapun juga dapat ku taruh racun, entah sudah berapa
banyak orang yang mati ku racun, tapi tiada seorangpun yang mengetahui cara
bagaimana matinya." Sampai di sini mendadak ia tertawa terhadap Yang
Cu-kang dan menambahkan, "Bukan mustahil akupun sudah menaruh racun di
dalam arak yang akan kau minum ini, kau percaya tidak?"
Jika orang lain yang berkata
demikian, bisa jadi Yang Cu-kang akan bergelak tertawa dan menenggak habis
araknya itu, tapi sekarang kata-kata tersebut diucapkan oleh puteri tunggal
Siau-hun-kiongcu, maka bobotnya menjadi lain.
Yang Cu-kang pandang arak
dalam cawan yang dipegangnya itu, katanya dengan tetap tertawa, "Bila
benar arak ini sudah kau racuni, tentu takkan kau beritahukan kepadaku,
bukan?"
"Kenapa tidak kau
coba?" ucap Lui-ji dengan tersenyum.
Melengak juga Yang Cu-kang,
betapapun ia menjadi sangsi, seumpama tahu benar arak ini tidak beracun juga
tidak sanggup diminumnya lagi.
"Kenapa? Bukankah nyalimu
biasanya sangat besar?" tanya Lui-ji.
"Nyaliku memang sangat
besar, tapi kalau dipancing orang, seketika bisa berubah menjadi kecil,"
kata Yang Cu-kang.
Dengan jarinya yang lentik,
Lui-ji mengambil cawan arak yang dipegang Yang Cu-kang itu, arak dalam cawan
dituangnya ke dalam cawan Pwe-giok, lalu berkata dengan terkikik, "Sayang
jika arak ini dibuang, dia tidak mau minum, biar kau saja yang menghabiskannya.
"
Pwe-giok tertawa, tanpa bicara
ia tenggak araknya hingga habis.
Dengan tertawa Lui-ji berkata
pula, "Nah, lihatlah, hakekatnya arak ini tidak beracun, kenapa tidak
berani kau minum? Sungguh memalukan jika keberanian minum arak saja tidak
ada."
Yang Cu-kang tidak malu juga
tidak rikuh, ia malah tertawa dan menjawab," Apa salahnya jika bertindak
hati-hati, apalagi arak kan harus disuguhkan dulu kepada tetamu."
Habis berkata ia menuangi lagi
cawan sendiri dengan arak dalam poci, lalu berkata, "Sekarang arak ini
tentunya dapat kuminum tanpa kuatir."
Mata Lui-ji berkedip, katanya,
"Betul, arak baru ini tidak beracun, lekas kau minum saja."
Tapi kembali Yang Cu-kang
merasa sangsi, sampai sekian lama ia pandang cawan arak yang dipegangnya itu,
katanya dengan menyengir, "Ah, kalau terlalu banyak minum arak mungkin
akan mengidap kanker hati, lebih baik mengurangi minum arak."
Lui-ji tertawa senang,
ucapnya, "Coba lihat, kubilang di dalam arak beracun, kau tidak berani
minum, kukatakan arakmu tidak beracun, kaupun tidak berani minum. Memangnya apa
yang harus kukatakan supaya kau berani minum arak ?"
"Apapun yang kau katakan,
jelas aku tidak ingin minum lagi, " ujar Yang Cu-kang dengan tertawa. Ia
menaruh cawan araknya, lalu bergumam, "Jiwanya telah kuselamatkan, tapi
secawan arak saja aku tidak boleh minum, tampaknya memang lebih baik tidak menolong
siapapun."
Mendadak Lui-ji menarik muka,
ucapnya, "Siapa yang minta kau tolong kami ? Tong Giok telah kau bunuh,
Kim-hoa-nio juga kau celakai, Thi-hoa-nio juga kau binasakan, kenapa kami tidak
kau bunuh, sebaliknya malah menolong kami ?"
"Memangnya kau senang
jika kubunuh kalian ?" tanya Yang Cu-kang dengan tersenyum.
"Mendingan kau tidak
mengincar kami, kalau tidak, tentu susah kau !" jengek Lui-ji.
"Bagiku bukan soal susah
atau tidak, jika aku berniat membunuh orang, yang menjadi soal adalah orang itu
pantas dibunuh atau tidak, " kata Yang Cu-kang, mendadak ia menarik muka
dan menegas, "Coba, ingin kutanya padamu, seorang demi mendapatkan isteri,
dia lupa kepada sanak famili, sampai saudara sendiri juga dikhianatinya, orang
demikian pantas dibunuh atau tidak ?"
"Hal ini disebabkan
kalian sendiri yang….yang memaksa dia berbuat demikian, masa kau salahkan dia
malah ?" jawab Lui-ji.
"Jika kupaksa kau bunuh
Ji Pwe-giok, kau mau ?" tanya Yang Cu-kang.
"Dengan sendirinya tidak
mau," sahut Lui-ji.
"Nah, apa bedanya, "
ujar Yang Cu-kang. "Kupaksa kau atau tidak adalah satu hal, kau mau
melakukannya atau tidak juga satu hal yang lain. Jika Tong Giok setia kepada
sanak keluarganya seperti kesetiaanmu terhadap Ji Pwe-giok, lalu apa gunanya
kami memaksa dia ?"
"Tapi bagaimana dengan
Kim-hoa-nio ? Ken..kenapa kau…."
"Kim-hoa-nio ? Bilakah
pernah kuganggu seujung rambutnya ? " sela Yang Cu-kang, "Dia sendiri
yang rela mati bersama kekasihnya, apa sangkut pautnya dengan diriku? Di dunia
ini banyak perempuan bodoh seperti dia, entah berapa banyak yang mati setiap
hari, masa aku yang kau salahkan? "
"Hm, kau tolak bersih
semua kesalahanmu, jika demikian, jadi kau ini manusia baik hati malah,"
jengek Lui-ji.
"Ah, predikat ini tak
berani kuterima, "jawab Yang Cu-kang dengan tertawa, "cuma orang yang
memang tidak harus dibunuh, biarpun orang menyembah padaku agar membunuhnya
juga takkan kulakukan."
Mata Lui-ji mendelik,
teriaknya dengan bengis, "Lantas bagaimana dengan Thi-hoa-nio? Dalam hal
apa dia pantas dibunuh?"
"Thi-hoa-nio? Siapa
bilang kubunuh dia?"
"Aku yang bilang!"
teriak Lui-ji.
"Kau lihat kubunuh dia?
Apakah kau lihat jenazahnya? Darimana kau tahu dia sudah mati?"
"Tanpa melihatnya sendiri
juga ku tahu dia mati di tanganmu," jengek Lui-ji.
"Eh, coba jawab,
bagaimana jika dia tidak mati?" tanya Yang Cu-kang tiba-tiba.
"Jika dia tidak mati,
biar ku… kutelan guci arak ini," kata Lui-ji.
"Wah, guci arak ini
sekali-kali tidak boleh ditelan, kalau kau telan, bila ada orang melihat
perutmu mendadak buncit, tentu orang akan heran, masa ada anak perawan bunting
sebelum bersuami, bahkan mengandung anak kembar, kalau tidak masakah perutmu
sebesar gentong?"
"Siapa bilang perutku
besar? " teriak Lui-ji dengan gusar dan muka merah.
"Bila perut terisi dua
guci, mustahil tidak menjadi besar?"
Lui-ji melengak, tanyanya,
"Dua guci? Dari mana datangnya dua guci ?"
"Kan nona sendiri sudah
mempunyai guci cuka, sekarang menelan lagi guci arak, jadinya kan dua
guci?" jawab Yang Cu-kang dengan tertawa.
Seorang anak perempuan kalau
kalah berdebat dengan orang, biasanya kalau tidak menangis dan ribut,
sedikitnya juga akan ngambek dan menggunakan macam-macam alasan yang tidak
masuk akal, orang lain kudu dibikin keok barulah dia merasa puas.