Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 03

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 03
Anonim

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 03

"Apa itu she mulia nama besar?" kata Kwee Siang seraya mencebikan bibir. Aku paling sebal dengan kata2 yang banyak kembangnya."

Orang itu kelihatan kaget, tapi di lain saat ia tertawa besar. "Benar, nona," katanya "Memang, semakin manusia berlagak pintar semakin kosong otaknya."

Sambil berkata begitu, ia mengawasi Wie Thian Bong dengan mata melotot dan kemudian tertawa dingin.

Kwee Siang jadi girang sekali. Ia tak nyana si baju putih seorang yang menarik.

Paras muka Wie Thian Bong yang pucat jadi lebih pucat lagi. "Siapa tuan?" tanyanya.

Ia tidak menggubris dan sambil berpaling kepada Kwee Siang, ia menanya: "Nona, siapa namamu ?"

"Aku she Kwee bernama Siang." jawabnya

Orang itu menepuk kedua tangannya dan berseru dengan suara girang. "Ah ! Mataku benar2 kotokan tak mengenali gunung Thay san yang besar. Kalau begitu kau Kwee Toakouwnio yang namanya kesohor diseluruh jagat! Kecauli manusia-manusia tolok, siapapun juga mengenal ayahmu Kwee Ceng Kwee Tayhiap, dan ibumu, Oey Yong Oey Liehiap Dalam dunia Kangoaw, siapakah yang tidak mengenal mereka? Mereka adalah orang2 yang boen-boe-song-coan (mahir dalam ilmu surat dan ilmu perang ), mahir menggunakan macam senjata dan sudah menyelami dasarnya berbagai ilmu silat paham dalam ilmu penabuh khim, tio kie, menulis huruf-huruf indah, melukis, bersyair, dan bersajak. Dari dulu sampai sekarang, kepandaian mereka jarang tandingan didalam dunia. Ha ha ha ! Tapi masih juga terdapat manusia-manusia yang tidak mengenal mereka!"

Kwee Siang jadi girang sekali. "Kalau begitu sudah lama dia bersembunyi diatas atap pendopo dan sudah mendengari pembicaraanku dengan ketiga orang itu."

katanya di dalam hati, "Didengar dari perkataannya, ia pun belum mengenal kedua orang tuaku. Kalau sudah mengenal, ia tentu tak akan memanggil aku sebagai Kwee Toakouwnio (nona Kwee yang paling besar). Sungguh lucu ia mengatakan ayahku mahir dalam ilmu menabuh khim, main tio kie, menulis huruf indah dan sebagainya. Memikir begitu, seraya bersenyum ia menanya. "Siapa namamu?"

"Aku she Ho, namaku Ciok Too." jawab nya, (Ho Ciok Too berarti Tidak cukup berharga untuk dibicarakan).

"Ho Ciok Too?" menegas si nona. "sungguh satu nama yang merendahkan diri."

"Benar." jawabnya. "Tapi namaku banyak lebih baik dari pada nama yang menggunakan perkataan2 sombong seperti "Langit dan bumi". Sedikitnya namaku tidak memuakkan orang yang mendengarnya."

Siapapun mengerti, ia sedang mengejek ketiga Soehengtee itu (saudara seperguruan yang menggunakan huruf "Thian" langit itu), maka sesudah manyaksikan cara Ho Ciok Too menjatuhkan diri dari lubang atap mereka tahu bahwa orang itu bukan sembarangan orang dan oleh karenanya, se-bisa2 mereka menahan sabar. Tapi mendengar ejekan yang paling belakang, Wie Thian Bong meluap darahnya. Dengan sekali membalik tangan la menggapelok dagu orang. Ho Ciok Too menundukkan kepalanya dan molos dari bawah bahu. Mendadak Wie Thian Bong merasa tangan kirinya kesemutan dan tahu2 pedang, Kwee-Siang yang sedang dicekalnya sudah berpindah tangan. Sebagaimana diketahui, waktu merampas pedang itu dari tangan nona Kwee, gerakannya cepat luar biasa, Dari sini dapatlah dibayangkan, bagaimana cepat gerakan Ho Ciok Too yang dengan begitu mudah sudah berhasil merampas senjata itu.

Wie Thian Bong terkesiap. Dilain detik, dengan gusar ia menerjang dan lima jerijinya yang dipentang bagaikan gaetan, menyambar pundak Ho Ciok Too. Dengan sekali mengegos Ho Ciok Too sudah berhasil menyelamatkan diri. Sementara itu, hampir berbareng Phoa Thian Keng dan Phoei Thian Loo melompat keluar dari pendopo. Dengan gergetan, Wie Thian Bong mengirim serangan2 berantai dengan kedua tangannya dan dalam sekejap, ia sudah menyerang tujuh delapan kali. Tapi lawannya tetap bersikap tenang. Kemudian diserang bagaikan hujan dan angin sedikitpun ia tidak membalas. Dengan mengengos kekiri kanan, kedepan dan kebelakang, ia kelit pukulan2 hebat itu.

Biarpun masih bersia muda dan kepandaiannya tidak seberapa tinggi, nona Kwee Siang adalah puterinya ahli2 silat nomor satu pada jaman itu dan dengan sendirinya, ia mempunyai mata yang sangat tajam. Melihat gerakan Ho Ciok Too yang begitu gesit dan lincah, ia yakin bahwa orang itu adalah barbeda dengan berbagai ilmu silat yang terdapat diwilayah Tionggoan.

Sementara itu, sesudah menyerang dua puluh jurus lebih tanpa berhasil, tiba2 Wie Thian Bong menggeram dan mengubah silatnya. Jika tadi serangan2 dikirim bagaikan kilat, sekarang gerakan-gerakannya banyak lebih perlahan, tapi disertai dengan tenaga yang sangat hebat. Sesudah ia menyerang beberapa jurus, Kwee Siang yang berada didalam pendopo, turut merasakan sambaran-sambaran pukulannya, sehingga buru-buru ia melompat keluar.

Ho Ciok Too pun lantas saja mengubah sikap. Kini ia tak berani memandang enteng lagi musuhnya. Setelah menyelipkan pedang Kwee Siang dipinggangnya, berdiri tegak dan badannya seolah-olah sebuah gunung yang kokoh teguh. "Kau menggunakan ilmu keras?" tanya Ho Ciok Too, lalu "Apa kau rasa diriku tidak mampu ?" Pada saat kedua tangan Wie Thian Bong menyambar, sambil mengerahkan Lweekang, ia memapaki dengan tangan kirinya. Karena melawan keras! "Tak!" kedua tangan beradu dengan dahsyatnya. Badan Wie Thian Bong ber-goyang2 terhuyung kebelakang dua tiga tindak, sedang kedua kaki Ho Ciok Too tetap berdiri tegak.

Wie Thian Bong yang selala menganggap bahwa Gwakangnya (ilmu luar, yaitu ilmu yang menggunakan teanga kekerasan) jarang tandingan, jadi penasaran sekali.

Sesudah menarik napas panjang, sambil membentak keras sekali lagi is menghantam dengan kedua tangannya. Ho Ciok Too pun mengeluarkan teriakan nyaring, dan satu tangannya kembali memapaki pukulan lawan. "Dak !", kedua bau tangan beradu pula, kali ini hebat luar biasa, sehingga debu dan pasir meluruk turun dari lubang diatap pendopo. Hampir berbareng dengan bentrokan itu, tubuh Wie Thian Bong terhuyung lagi dan sesudah sempoyongan empat lima tindak, barulah ia bisa berdiri tegak.

Sesudah dikalhkan dua kali, Wie Thian Bong jadi mata merah. Rambutnya terurai, kedua matanya melotot, sehingga macamnya menakuti sekali. Dengan kedua tangan memegang perut, dia menarik napas panjang. Dilain saat, dadanya melesak kedalam, perut melembung keluar, se-akan2 sebuah tambur dan tulang2nya berkerotokan.

Dalam keadaan yang menyeramkan itu, setindak demi setindak ia mendekati lawannya.

Melihat begitu, Ho Ciok Too mengerti, bahwa lawannya akan segera menyerang dengan menggunakan seantero kepandaian dan tenaga Lwekang. Ia tak berani berayal lagi dan buru2 monyedot nafas untuk mengerahkan Lweekang.

Menurut kebiasaan, sesudah mengerahkan Lweekang yang hebat itu, dari jarak empat lima tindak, Wie Thian Bong sudah mengirim pukulan. Tapi sekarang ia tak berbuat begitu. Dengan perlahan, ia terus maju hingga berhadapan dengan lawan. Sesudah itu, barulah kedua tangannya bergerak, yang satu memukul muka, yang lain menyambar kepunggung. Tujuan kedua pukulan, itu adalah untak membuyarkan seantero Lwekang Ho Ciok Too.

Ho Ciok Too pun lantas saja menyambar dengan kedua tangannya. Tangan kiri menempel dengan tangan kiri, tangan kanan dengan tangan kanan. Tetapi didalam tangan itu, dia mengeluarkan dua tenaga yang berbeda, satu "keras" dan yang satu "lembek". Dengan begitu tangan Wie Thian Bong yang memukul keras kepunggung seperti juga menghantam kapas, sedang tangan kanan yang menyambar kemuka se-akan2 menyentuh tembok tembaga. "Celaka !" Wie Thian Bong mongeluh. Hampir berbareng, ia merasakan dorongan tenaga yang sangat hebat dan tanpa ampun lagi badannya didorong keluar dari pendopo.

Itulah akibat keras melawan keras. Yang bertenaga lebih lemah, dialah yang celaka. Didorong dengan tenaganya sendiri yang berbalik dan ditambah dengan dorongan tenaga Ho Ciok Too, Wie Thian Bong pasti bakal muntah darah.

Pada saat yang sangat berbahaya, yaitu sedetik sebelum roboh, tiba2 Phoa Thian Keng dan Phoei Thian Loo membentak keras: "Keluarkan pukulan!" Dengan berbareng mereka mendorong kedepan dan tenaga tangan mereka merupakan semacam tembok lembek yang tidak kelihatan. Punggung Wie Thian Bong bersandar diarus tenaga itu dan ia tertolong dari luka berat didalam badan. Tapi meskipun begitu, isi perutnya mendapat goncangan hebat, tulang2nya seolah terpukul hancur dan ia merasakan kesakitan biasa disekujur badannya.

Melihat saudara seperguruannya dirobohkan secara begitu menyedihkan bukan main gusar nya Phoei Thian Loo, tapi paras mukanya masih tetap tersenyum. "Kekuatan tenaga tangan tuan sangat jarang terdapat didalam dunia," katanya. "Aka sugguh marasa tahluk."

Mendengar kata2 xu, Kwee Siang tertawa. Dalam hatinya. "Koen loen Sam seng tiada bedanya seperti kodok didalam sumur" pikirnya. "Mengenai tenaga tangan siapakah yang dapat menadingi ayahku dalam pukulan Hang Liong Sip pat ciang?"

Sesudah berdiam sejenak, seraya tertawa hahahihi, si-muka marah berkata pula: "Aku si tua yang tak punya kepandaian berarti, sekarang ingin meminta pengajaran dari Kiam hoat tuan"

"Phoei-heng berlaku sangat manis terhadap Kwee Kouwnio dan akupun tak mempunyai ganjelan terhadapmu," jawabn:ya. "Aku rasa kita boleh tak usah menjajal kepandaian."

Kwee Siang terkejut. Kalau begitu, ia menghajar Wie Thian Bong karena kurang ajar terhadapku," katanya didalam hati.

Sementara itu, tanpa menggubris penolakan orang, Phoei Thian Loo segera menghampiri tungggangannya dan mengambil sebatang pedang panjang dari kantong senjata. "Srt!" ia menghunusnya dan paras mukanya latas saja berubah keren!. Sambil melonjorkan tangan kirinya, ia mendongakkan pedang yang dicekal dalam tanganaya. Itulah pukulan yang diberi nama Sian-jin-tit-loan (Dewa mengunjuk jalan).

Ho Ciok Too bersenyum seraya berkata "Jika Phoei-heng mau juga bertanding, biarlah aku melayani beberapa jurus dengan menggunakan pedang Kwee Kouwnio."

Sehabis berkata begitu ia mencabut pedang buntung yang terselip dipinggangnya. Pedang itu asal nya memang pedang pendek. Panjangnya tak lebih daripada dua kaki. Sesudah dipatahkan Wie Thiang Bong, yang ketinggalan hanya tujuh delapan dim, sehingga lebih pendek daripada pisau belati biasa.

Sambil mencekal sarung pedang ditangan kirinya, tanpa menegur lagi ia segera mengirim tiga serangan kilat yang cepat luar biasa. Hanya karena senjatanya terlalu pendek, maka serangan2 itu tidak mengenakan sasarannya. Phoei Thian Loo terkesiap. "Cepat sungguh gerakannya !" pikirnya.

"Kiam-hoat apa itu? Jika ia menggunakan pedang panjang, jiwaku mungkin sudah melayang"

Dilain pihak, sesudah menyerang tiga kali beruntun, Ho Ciok Too melompat kesamping dan berdiri tegak. Ia hanya mengenggos dan berkelit, waktu Phoe Tnian Loo balas menyerang. Tiba2 selagi dihujani serangan, sekali lagi ia mengirim tiga tikaman berantai, sehingga silat lawan jadi kalang kabut. Dilain saat, seperti tadi, ia meloncat lagi kesamping dan berhenti menyerang. Dipermainkan begitu rupa. Phoei Thian Lpo meluap darahnya. Sambil membentak keras ia menyerang seraya memutar pedangnya yang lantas saja me nyambar2 bagaikan kilat. Badannya yang kurus kecil se-akan2 dikurung sinar pedang yang berkelebat seperti titiran.

Semakin lama pertempuran dilakukan semakin cepat, sehingga gerakan2 kedua lawan itu sukar dapat dilihat tegas. Se-konyong2 terdengar bentakan Ho Ciok Too.

"Awas !" Hampir berbareng dengan bentakan itu, sarung pedang yang dicekal dalam tangan kirinya, menyambar. "Trang !", sarung itu masuk diujung pedang lawan dan pedang buntung meluncur ketenggorokan Phoei Thian Loo.

Walaupun lihay, simuka merah tak bisa menangkis lagi, sebab pedangnya tak bisa bergerak. Tapi sebagai orang yang kepandaian tinggi, dalam bahaya ia tak jadi bingung. Buru2 ia melepaskan pedangnya dan sambil melenggakkan kepala, ia membuang diri dan bergulingan ditanah.

Sebelum Phoei Thian Loo melompat bangun tiba2 berkelebat satu bayangan dan tangan Phoei Thian Keng sudah mencekal gagang pedang yang barusan dilepaskan oleh Soetee nya. Dengan sekali membetot, ia sudah mencabut pedang itu dari sarung pedang buntung yang dipegang Ho Ciok Too.

"Sungguh indah gerakan itu!" puji Ho Ciok Too dan Kwee Siang hampir berbaring.

Ternyata, sikakek yang mukanya seperti orang berpenyakitan dan tidak pernah mengeluarkan sepatah kata, memiliki kepandaian yang paling tinggi diantara ketiga orang2 itu.

"Aku sungguh merasa sangat takluk akan kepandaian tuan." kata Ho Ciok Too sambil membungkuk. Ia berpaling pada Kwee Siang dan berkata pula "Kwee Kouwnio. sesudah mendengar lagumu pada beberapa hari yang lalu, aku telah menggubah sebuah lagu baru yang aku ingin mempersembahkan kepadamu untuk dinilai."

"Lagu apa ?" tanya sinona.

Tanpa menghiraukan tiga otang tua itu, ia lantas saja bersila diatas tanah, meletakkan khimnya dipangkuan dan lalu menyetel tali2 nya.

Melihat begitu, Phoa Thian Keng lalu mendekati dan berkata. "Tuan sudah merobohkan kedua Soeteeku dan sekaranglah aku yang ingin meminta pengajaranmu."

Ho Ciok Too menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Tidak, sudah cukup," katanya. "Pertandingan silat tidak menimbulkan banyak kegembiraan. Sekarang aku ingin memetik khim untuk diperdengaran kepada Kwee Kouwnio. Laguku adalah sebuah lagu baru. Jika suka, kalian boleh duduk mendengari. Kalau tidak, kalian

merdeka untuk berlalu." Sehabis berkata begitu, jari2 nya mulai memetik tetabuhan itu.

Sesudah mendengari beberapa saat, Kwee Siang jadi kaget bercampur girang. Semenjak belajar memetik khim, belum pernah ia mendengar lagu yang begitu luar biasa. Luar biasa, karena lagu itu merupakan kombinasi dari lagu Ko-phoa yang pernah diperdengarkan olehnya dan lagu Kian kee (nama semacam rumput). Kedua lagu itu yang sebenarnya sangat berbedaan telah digubah begitu rupa sehingga merupakan sebuah lagu baru yang sangat merdu dan harmonis, Syair lagu ini antara lain berbunyi.

Siorang pertapaan.

Berkelana dipegunungan

Rumput,Kian kee hijau2.

Embun berubah menjadi salju.

Dan sidia.

Berada disatu sudut dunia

Mendengar sampai disitu, hati sinona berdebaran. "Siapa si dia ?" tanyanya dihati. "Apa dimaksudkan aua ? Mengapa suara khim itu sedemikian merdu dan mengharukan hati?" Mengingat begitu, mukanya lantas saja bersemu dadu. Ia merasa kagum bukan main, sebab dalam kombinasi itu, yang telah merupakan sebuah lagu Kian kee masih bisa mempertahankan kepribadiannya sendiri.

Phoa Thian Keng dan kedua Soeteenya, yang tidak mengerti ilmu musik, jadi mendongkol bukan main. Disamping cara2 Ho Ciok Too yang terus memetik tali2 khim tanpa memperdulikan mereka, dianggapnya sebagai suatu hinaan.

Sesudah mendengari beberapa saat, Phoa Thian Kheng tidak dapat menahan sabar lagi. Ia mendekati dan sambil menotok pundak kiri Ho Ciok To dengan ujung pedang, ia membentak. "Bangun kau ! Mari kita jajal kepandaian."

Ho Ciok Too yang sedang memusatkan seluruh semangat kepada tetabuhannya, seolah olah tidak mendengar tantangan itu. Ia seperti juga sedang berkelana disatu pegunungan yang amat indah dan dari jauh ia melihat seorang gadis jelita yang tengah berdiri diatas sebuah pulau kecil yang dikurung air...

Tiba2 ia merasa pundak kirinya sakit dan ia tersadar. Ia dongak dan melihat Phoa Thian Kheng berdiri didekatnya sambil mencekal pedang terhunus yang barusan telah digunakan untuk menotol pundaknya. Ia mengerti, bahwa jika tidak melawan, mungkin sekali ia akan terluka secara konyol. Hanya sungguh sayang, lagunya belum selesai. Sebagai seorang seniman tulen, ia tak rela menghentikan lagunya ditengah jalan.

Maka itu, tangan kirinya segera mengulurkan pedang buntung yang lalu digunakan untuk menangkis senjata Phoa Thian Kheng, sedang tangan kanannya tetap memetik tali2 khim.

Dengan kedua mata tetap memperhatikan tetabuhannya, Ho Ciok Too menangkis setiap serangan lawan. Phoa Thian Kheng jadi semakin gusar dan menyerang tambah hebat. Tapi kemanapun juga pedangnya menyambar, Ho Ciok Toa selalu menangkis.

Kwee Siang yang sedang kesengsem juga tidak memperdulikan serangan itu. Akan tetapi ia mendongkol, sebab suara bentrokan senjata telah merusak irama. Ia membentak. "Hai ! Apa kau tuli akan merdunya lagu ini. Jangan merusak ! Cobalah kau menyerang menurut tempo tepukan tanganku"

Tapi tentu saja Phoa Thian Kheng tak meladeni. Sambil membentak keras, dengan gusar ia mengobah kiam hoatnya dan menyerang bagaikan hujan angin sehingga suara bentrok an senjata jadi semakin gencar dan irama khim jadi semakin dikacaukan.

Ho Ciok Too juga mendongkol dan seraya menambah Lweekang, ia menangkis satu tikaman. "Trang !" pedang Phoa Thian Keng patah dua. Hampir berbareng, tali kelima dari Cithian khim ( khim yang bertali tujuh ) juga putus.

Paras muka Phoa Thian Keng jadi pucat bagaikan mayat. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia meloncat keluar dari pendopo batu dan kemudian, bersama kedua Soeteenya, dia melompat naik kepunggung tunggangan mereka yang segera dikaburkan keatas gunung.

Kwee Siang heran. "E eh!" katanya. "Mengapa mereka lari ke arah kuil ?" Ia nengok dan melihat Ho Ciok Too sedang memegang tali Khim yang putus itu dengan paras duka. "Mengapa dia begitu jengkel ?" tanyanya di dalam hati. ""Berapakah harganya tali khim?

Ho Ciok Too menghela napas dan berkata dengan suara perlahan: "Tujuh tahun aku barlatih, tapi hatiku tetap belum bisa tenang. Tangan kiriku berhasil mematahkan senjata, tapi tangan kanan memutuskan tali khim."

Sekarang si nona baru mengerti, bahwa ia berduka karena merasa kepandaiannya belum sempurna. Ia tertawa seraya barkata: "Dengan tangan kiri melawan musuh dan tangan kanan memetik khim, kau sebenarnya menggunakan ilmu Hoen sin Jie yong (ilmu memecah pikiran). Dalam dunia ini, hanya tiga orang yang mahir dalam ilmu itu. Bahwa kau belum mencapai taraf yang tinggi, tak usah dibuat jengkel!"

"Siapa tiga orang itu?" tanya Ho Ciok Too.

"Yang pertama adalah Loo boan thiong Cioe Pek Thiong," jawabnya. "Yang kedua ayanku sendiri, sedang yang ketiga Yo Hoe jin, Siauw Liong Lie. Selain tiga orang itu, malahan kakekku, ibuku atau SintiauwTayhiap Yo Ko tiada yang mampu memiliki ilmu yang luar biasa itu."

"Bolehkah kau memperkenalkan orang2 berilmu itu kepadaku ?" tanya Ho Ciok Too.

"Kalau kau mau bertemu dengan Thia thia (ayah) mudah sekali," jawabnya. "Tapi dua orang lainnya sangat sukar dicari, karena mereka tak punya tempat kediaman yang tentu"

Ho Ciok Too berdiri bengong, seperti juga ia masih merasa sangat menyesal karena putus nya tali khim itu. Si nona tertawa seraya berkata dengan suara menghibur."Dengan sekali gebrak. kau sudah berhasil merobohkan Koen loen Sam-seng dan hasil itu boleh dibuat bangga. Perla apa kau berduka karena hal yang remeh itu?"

Ho Ciok Too terkesiap. "Koen-loen Samseng?" ia menegas, "Apa kau kata? Bagaimana kau tahu?"

"Bukankah ketiga orang itu dikenal sebagai Koen-loen Sam sang?" tanyanya. "Kepandaian mereka mamang cukup tinggi, tapi jika mau coba2 membentur Siauw lim sie, kurasa mereka agak tahu diri . . . " Melihat paras muka Ho Ciok Too mengunjuk perasaan heran yang semakin besar, si nona lalu menaya. "Mengapa kau kelihatannya heran?"

"Koen loan Sam seng . . . Koen loan Sam seng Ho Ciok Too . . . itulah aku sendiri!" katanya dengan suara perlahan.

Sekarang giliran Kwee Siang yang terheran heran. "Kau... kau Koen loen Sam seng?" tanyanya. " Mana yang dua lagi?

"Koen loen Sam seng hanya satu orang," jawabnya, "Di See ek aku telah mendapat nama walaupun bukan nama besar. Kawan2 disitu menganggap, bahwa aku memilikikepandaian tinggi dalam ilmu main khim, ilma pedang dan ilmu main catur, sehingga oleh karena nya, kata mereka, aku boleh dinamakan sebagai Khim seng dan Kiam seng dan Kie sang (Nabi khim, Nabi pedang dan nabi kie. Kie berarti Tio kie atau catur). Lantaran aku suka sekali berdiam digunung Koen loen san, maka mereka memberi julukan -Koen loan Sam seng- kepadaku. Tapi aku selalu merasa malu dengan istilah Seng itu. Mana bisa manusia seperti aku menamakan diri sebagai seorang nabi ? Biarpun gelaran itu diberikan oleh orang lain, tak boleh aku menerimanya dengan begitu saja. Maka itulah, aku segera mengubah namaku, Aku menggunakan nama Ho Ciok Too, yang jika disambung jadi -Koen loan Sam seng Ho Ciok Too- (Koen loen Sam seng tidak cukup berharga untuk dibicarakan). Dengan demi kian orang tidak bisa mengatakan, bahwa aku manusia sombong."

Si nona menepuk2 tangan dan tertawa geli, "Oh, begitu?" katanya: "Mati hidup aku menduga, bahwa Koen loen Sam seng terdiri dari tiga orang. Tapi siapakah ketiga orang tua itu ?"

"Mereka adalah orang2 Siauw lim pay." Kwee Siang terkejut. "Siauw lim pay ?" ia menegas. "Hm ! . . . . Ilmu silat mereka kurang. Yang lain cukup tinggi ... benar! Ilmu pedang sikakek muka merah memang Tat mo Kiam hoat. Tak salah! Si muka penyakitan paling belakang menyerang dengan ilmu Wie to Hok mo kiam (ilmu pedang telukan iblis), Tadi aku tidak bisa melihatinya karena dalam ilmu pedang itu terdapat banyak sekali perubahan. Tapi. . mengapa mereka mengaku baru datang dari See-ek ?"

"Ada sebabnya," jawab Ho Ciok Too, "Pada musim semi tahun lalu, aku main khim di puncak Keng sin hong gunung Koen loen san. Tiba-tiba aku mendengar suara pertempuran di luar gubuk. Aku segera keluar dan melihat dua orang yang masing-masing terluka berat sedang berkelahi mati-matian, Aku berteriak supaya berhenti, tapi dia tak meladeni. Karena merasa tak tega, aku segera memisahkan mereka. Begitu dipisahkan, salah seorang terbalik matanya dan menarik napasnya yang penghabisan. Yang satu lagi belum mati dan dulu aka membawanya kedalam gubukku dan coba menolong dengan memberikan pel Siauw yang tan kepadanya. Tapi sebelah lukanya terlalu berat, obatku tidak berhasil. Sebelum meninggal, ia memperkenalkan diri sebagai In Kek See.."

"Ah!" seru sinona, "Orang yang satunya lagi mestiaya Siauw Siang Coe. Bukankah orang yang binasa lebih pula bertubuh jangkung kurus dan bermuka seperti mayat ?"

"Benar," jawabnya. "Bagaimana kau tahu?". Kata sinona sambil tertawa. "Aka tak nyana pada akhirnya kedua mustika hidup itu mampus dengan saling bunuh."

Ho Ciok Too menghela napas dan berkata pula: " Sebelum mati, In Kek See mengatakan bahwa selama hidup, ia telah berbuat banyak sekali kedosaan dan sekarang ia merasa sangat menyesal, tapi sudah terlambat. Ia memberitahukan, bersama Siauw Siang Coe, ia telah mencuri sejilit kitab suci dari Siauw lim sie. Sesudah memiliki kitab itu, mereka saling curiga. Masing2 merasa kuatir, bahwa jika yang satu memahami kitab itu terlebih dulu dan berhasil mempertinggi ilmu silatnya, dia segera menurunkan tangan jahat untuk membinasakan yang lain guna memiliki sendiri kitab suci itu. Demikianlah, masing2 saling mengawasi dua sungkan berpisahan.

Mereka makan disatu meja dan tidur satu ranjang Sedikitpun hati mereka tak pernah tenang. Diwaktu makan, masing-masing kuatir racun. Diwaktu tidur, masing-masing takut kalau-kalau yang satu turunkan tangan jahat selagi pulas. Di samping itu, mereka juga kuatirkan kejaran pendeta2 Siauw lim sie. Mereka kabur sampai di See-ek. Setibanya di Keng sin hong, keduanya sudah lelah sekali. Mereka mengerti bahwa dengan hidup begitu terus menerus, belum sepuluh hari, mereka tentu sudah binasa. Mereka jadi nekat dan terus bertempur untuk mengakhiri keadaan yang gila itu. In Kek See mengatakan, bahwva ilmu silat Siauw Siang Coe sebenarnya banyak lebih tinggi dari padanya. Semula ia tak mengerti, mengapa dalam perkelahian, Siauw Siang Coe hanya lebih unggul sedikit. Belakagan ia baru igat, bahwa kawan yang berubah jadi musuh itu telah mendapat luka di gunung Hwa-san. Jika mereka tidak saling curiga, mereka tentu tak akan mendaki Koen loen-san."

Mendengar penuturan itu, Kwee Siang kelihatan berduka. Ia menghela napas berkata: "Hai! Karena sejilid kitab, mereka bersama-sama mengorbankan jiwa. Berapa harganya kitab itu ?"

Ho Ciok Too mengangguk dan kemudian melanjutkan perkataannya : "In Kek See bicara dengan napas tersengal-sengal dan suara ter-putus2. Akhirnya ia meminta supaya aku suka pergi kekuik Siauw-lim-sie dan menemui seorang pendeta yang bernama Kak wan. Ia memberitahukan, bahwa kitab suci itu berada didalam minyak. Aku heran mengapa didalam minyak? Selagi mau menayakan terlebih terang, ia sudah tak tahan lagi dan pingsan. Ia pingsan untuk tidak tersadar pula. Sesudah ia mati, aku teras memikiri arti perkataannya. Di dalam minyak ? Apa ia maksud kan kitab itu di bungkus didalam kain minyak. Dengan teliti aku memeriksa jenazah mereka, tapi aku tak bisa mendapatkan kitab itu. Sesudah menerima permintaan orang, aku tidak bisa menyampingkan dengan begitu saja. Mengingat bahwa aku memang belum pernah menginjak wilayah Tiong-goan, maka dengan menggunakan kesempatan itu, aku segera mengambil keputusan untuk pergi kekuil Siauw lim sie sebagian guna memenuhi pesanan orang dan sebagian lagi guna pesiar"

"Tapi mengapa kau sudah mengirim surat tantangan ?" tanya Kwee Siang.

Ho Ciok Too bersenyum waktu menjawab: "Asal mulanya adalah gara2 ketiga orang itu. Mereka bertiga adalah murid2 Siauw lim sie yang tidak mencukur rambut. Menurut katanya orang2 Rimba persilatan di daerah Barat (See ek), mereka adalah orang orang dari tingkatan Thian dan tingkatannya itu sama tingginya dengan Hong thio Siauw lim sie Thian heng Siansoe. Menurut dugaan orang. Soecouw mereka dulu telah kebentrokan dengan saudara2 seperguruannya dalam kuil Siauwlim sie dan sebagai akibat bentrokan itu, ia pergi ke daerah Barat dan mendirikan sebuah cabang Siauw lim pay. Hal ini bukan hal yang mengherankan. Ilmu silat Siauw lim sie telah di bawah oleh Tatmo Couw soe dari Thian tiok (India) ke Tiong goan (Tiongkok asli). Sekarang dari Tiong goan di angkat pula ke daerah Barat. Tak mengherankan, bukan ?

"Mendengar julukanku sebagai Koen loen Sam seng, mereka bertiga jadi penasaran. Mereka sesumbar ingin menjajal kepandaianku. Mereka tidak menghiraukan gelaran Khim seng dan Kie sang. Tapi gelaran Kiam seng (Nabi pedang) ? Ha ! Tak boleh dibiarkan saja?"

"Secara kebetulan muncul urusan In Kek See. Maka itu, aku segera mengambil keputusan untuk pergi kekuil Siauwlimsie, sekalian menjajal2 kepandaian mereka. Sebelum tiba di Tiong goan, aku sengaja menyingkirkan diri dari mereka. Tapi tak dinyana, mereka bisa datang begitu cepat."

"Oh, begitu?" kata Kwee Siang. Semua dugaan ternyata meleset semua. Sekarang ketiga orang itu sudah tiba dikuil. Entah apa yang dikatakan mereka !"

"Dengan pendeta2 Siauw lim-sie, aku tak punya ganjelan apapun juga," kata Ho Ciok Too. "Itu sebabnya, untuk menunggu kedatangan tiga orang itu, aku menjanjikan sepuluh hari. Sekarang penjajalan kepandaian sudah dilakukan, segala apa sudah jadi beres. Mari kita naik keatas. Sesudah aku menyampaikan pesanan In Kek See, kita boleh lantas turun lagi."

Si-nona mengerutkan alis. "Pendeta2 Siauw lim-sie mempunyai semacam peraturan yang sangat keras, yaitu, wanita dilarang masuk kedalam kuil," kata Kwee Siang.

"Fui ! Aturan apa itu?" kata Ho Ciok Too. "Bagaimana kalau kita menerobos masuk ?"

Sebenarnya Kwee Siang adalah seorang gadis pemberani yang suka cari urusan. Tapi karena merasa malu hati terhadap Boe sek Sian soe, ia segera menggelengkan kepala seraya berkata: "Jangan! Aku menunggu di luar kuil, kau masuk sendiri saja, supaya jangan banyak urusan."

"Baiklah," kata Ho Ciok Too. "Lagu yang tadi belum selesai. Begitu kembali, aku akan memetik sekali lagi"

Per-lahan2 mereka mendaki gunung, tapi sesudah tiba didepan pintu, mereka belum melihat bayangan satu manusiapun.

"Sudahlah, aku juga tak perlu masuk," katanya. "Aku akan panggil saja pendeta itu." Sehabis berkata begitu, ia berteriak. "Ho Ciok Too datang berkunjung ke Siauw limsie, ingin menyampaikan omongan kepada Kak wan Taysoe."

Hampir berbareng dengan teriakannya, belasan lonceng besar dalam kuil berbunyi dengan serentak, sehingga seluruh Siauw sit san se olah2 tergetar.

Mendadak pintu kuil terbuka dan dari kiri kanan keluar dua basis pendeta yang mengenakan jubah warna abu2. Kedua barisan itu masing terdiri dari lima puluh empat murid Lohan tong dan jumlah mereka adalah sesuai dengan seratus delapan Lo han. sesudah itu keluar delapan belas pendeta yang badannya dikerebungi jubah pertapan warna kuning Mereka adalah murid2 Tat mo tong yang berusaha lebih tinggi daripada murid2 Lo han tong. Sesaat kemudian dari dalam kuil berjalan keluar tujuh pendeta yang sudah berusia lanjut. Mereka adalah Cit loo (Tujuh Tetua) dari Simsian tong yang berkedudukan sangat tinggi. Beberapa diantaranya memiliki ilmu silat luar biasa, tapi yang lain tidak mengenal ilmu silat dan ia duduk dalam Sim siantong karena pengetahuannya yang sangat mendalam mengenai agama Buddha. Mereka malahan sangat dihormati oleh Hong thio Siauw limsie sendiri.

Paling akhir keluarlah Hong thio Thian beng Sansea, yang diampit olah kepala Tat ma tong Boe Shian Siansoe dan kepala Lo han tong Boesek Siansoe. Phoa Thian Keng, Phoei Thian Loa dan Wie Thian Bong mengikuti di sebelah belakang, bersama kurang lebih delapan puluh murid2 Siauw lim sie, yang tidak jadi pendeta.

Itulah penyambutan yang hebat luar biasa dan dapat dikatakan belum pernah, atau sedikitnya langka sekali, diberikan kepada seorang tamu. Menurut kebiasaan pembesar negeri, biarpun pangkatnya sangat tinggi, atau tokoh Rimba persilatan Paling banyak disambut oleh Hongthio, Boesek dan Boesiang sebegitu jauh di ingat orang Cii Loo dari Sim sian tong belum pernah keluar menyambut tamu.

Mengapa sekarang diadakan upacara penyambutan yang begitu besar? Sebab yang terutama yalah karena Ho Ciok Too tanpa diketahui oleh siapapun juga, sudah menaruh surat tantangan dalam tangan patung Hang liong Lohan. Kepandaian yang luar biasa itu mengejutkan hatinya para pemimpin Siauw lim sie. Selain itu, Phoa thian Keng dan kedua Soeteenya yang baru tiba dari See ek, juga telah menceritakan lihaynya Koen loan Sam seng, sehingga para pemimpin Siauw lim sie lebih berwaspada lagi.

Karena berpisahan sangat jauh, Siauwlimpay cabang See ek sangat jarang berhubungan dengan cabang Tiong cioe yaitu Siauw lim sie dan siauw sit san. Akan tetapi, para pendata tahu, bahwa Soe siok couw mereka mereka yang telah pergi ke Barat memiliki kepandaian yang sangat tinggi, sehingga murid marid atau cucu2 muridnya tentu juga bukan sembarangan ahli silat. Maka itu, sesudah mendengar keterangan Phoa Thian Keng bertiga, para pemimpin Siauw lim sie lantas saja mangambil tindakan2 yang seperlunya. Disamping tindakan2 didalam kuil, pucuk pimpinan juga telah mengeluarkan perintah, supaya murid Siauw lim sie, tak perduli pendeta atau orang biasa yang bertempat tinggal dalam lingkungan lima ratus li harus segera datang kekuii guna menunggu perintah2 selanjutnya.


Semua para pendeta itu menganggap bahwa Koen loen Sam seng terdiri dari tiga orang Sesudah mendapat keterangan Phoei Thian Keng, barulah mereka tahu bahwa Koen loan Sam seng hanya seorang dan bahwa ia memperoleh gelaran itu sebab mahir dalam tiga macam ilmu, yaitu ilmu main khim, ilmu pedang dan ilmu main catur. Mengenai ilmu main khim dan main catur, para pendeta tidak menghiraukannya. Yang mereka harus ber-siap2 yalah untuk menghadapi ilmu pedang dari orang itu. Maka itulah, semenjak mendapat tantangan, siang malam ahli-ahli pedang Siauw lim sie berlatih keras.

Sementara itu, karena merasa sengketa dengan Koen loan Sam seng adalah gara-gara mereka, Phoa Thian Keng dan kedua Soetee nya ingin sekali bisa membereskan pertikaian tersebut dengan tangan mereka sendiri, Untuk memapaki dengan menunggang kuda, setiap hari ia meronda disekitar gunung. Mereka kepingin sekali menjajal kepandaian lawan diluar kuil dan sesudah itu barulah mereka ingin balik kekuil, supaya Koen loen Sam seng bisa mengukur tenaga dengan para pendeta.

Dengan demikian mereka pikir biarlah dilihat, apa cabang Tiong cioe atau cabang See ek dari Siauw lim pay yang lebih unggul.

Tapi diluar dugaan, dalam pertandingan di pendopo batu, dengan mudah mereka telah dirobohkan oleh Ho Ciok Tao.

Begitu mendapat warta tentang kekalahan Phoa Thian Keng dan 2 Soeteenya Thian beng Sian soe insaf, bahwa hari itu adalah hari memutus utuh runtuhnya nama Siauw lim sie.

Biar bagaimanapun juga, gelar "sumber pelajaran Lima silat dikolong langit" yang sudah dipertahankan Siauw lim sie selama ribuan tahun, tak boleh hancur dalam tangannya. Tapi dalam pada itu, ia agak keder, karena merasa bahwa kepandaiannya, kepandaian Boe sek dan Boe siang, Tidak lebih unggul banyak diatas kepandaian Phoa Thian Keng bertiga, itulah sebabnya mengapa dengan terpaksa ia mengundang Cit long Sim sian tong untuk turut keluar menyambut, guna mem beri bantuan jika perlu. Tapi sampai berapa tinggi kepandaian tujuh tetua itu, ia dan Boe sek serta Boa siang juga tak tahu pasti. Apa jika ada bahaya Cit loo bisa menolong muka siauw lim sie masih merupakan sebuah teka teki.

Begitu berhadapan dengan Ho Ciok Too dan Kwee Siang, Thian beng segera merangkap kedua tangannya seraya berkata. "Apakan Kie soe (tuan) yang mahir dalam ilmu Khim Knim Kie? Loo ceng (aku pendeta tua) tidak bisa menyambut dari jauh dan untuk itu, aku harap Kie soe, suka memaafkan,"

Ho Ciok Too segera membalas hormat dengar membungkuk. "Boanseng (orang yang tingkatannya rendah) merasa tidak enak hati sudah mengacau dikuil yang angker ini dan Boan seng sungguh tidak sanggup menerima penyambutan yang begini besar"

Mendengar jawaban itu, Thian beng berkata dalam hatinya. Kata2nya cukup menyenangkan. Dilinat dari romannya, ia baru berusia kira2 tiga puluh tahun. Apa benar ia mempunyai kepandaian tinggi?" Memikir begitu, ia lantas saja berkata lagi: "Ho Kie toe jangan terlalu sungkan. Marilah kita masuk untuk minum air teh dingin dan Lie kie soe (nona) ini ..." ia tidak meneruskan perkataannya dan pada paras mukanya terlihat perasaan sangsi.

Melihat pendeta itu mau menolak Kwee Siang, Ho Ciok Loo dongak dan tertawa tawa 2.

"Loo hong thio," Katanya, "Boan-seng datang kemari karena menerima permintaan seseorang untuk menyampaikan sepatah kata. Sesudah menyampaikan ita, Boan seng akan segera berlalu. Akan tetapi, peraturan dalam Kuil Loa bong thio yang memandang tinggi kepada pria data memandang rendah kepada wanita, adalah peraturan yang tidak dimengerti olehku. Harus diketahui, bahwa ilmu Sang-Buddha tiada batasnya dan semua makhluk Tuhan adalah sama rata. Maka itu, menurut Boan seng, peraturan itu agak bertentangan dengan pelajaran Sang Buddha."

Thian beng Sian soe adalah seorang pendeta yang berilamu tinggi dan berpandangan luas. Ia segera dapat membedakan, apa yang benar dan apa yang salah.

Mendengar perkataan Ho Ciok Too, ia segera bersenyum dan berkata. "Trima kasih atas petunjuk Kie soe. Peraturan itu memang peraturan yang agak sempit. Kalau begitu, akupun mengundang nona untuk turut minum teh."

Kwee Sang melirik kawannya sambil bersenyum. sedang didalam hati ia memuji ketajaman lidah pemuda itu.

Thian beng segera minggir kesamping dan mengangkat tangannya sebagai undangan supaya kedua tetamu itu masuk. Tapi sebelum Ho Ciok Too bertindak dari samping kiri Thian beng tiba2 maju seorang pendeta tua yang bertubuh krus ."Dengan bebeapa perkataan saja, Kie soe sudah meniadakan peraturan Siauw lim sie yang sudah berjalaa ribuan tahun, katanya."

"Peraturan itu bukan tak boleh dirubah. Tapi kita harus menyelidiki. apa orang yang menyebabkan berubah peraturan2 itu, benar2 seorang yang berkepandaian tinggi. Maka itu aku mengharap Ho Kie soe suka memberi sedetik pelajaran, supaya para pendeta bisa membuka mata dan tidak merasa penasaranlagi karena mengetahui, bahwa orang yang merobah peraturan kami, ia orang yang sungguh sungguh berkepandaian tinggi," Orang bicara itu adalah Boe siang Sian soe, kepala Tatmo tong. Ia bicara dengan suara nyaring luar biasa, sehingga telinga yang mendengarnya merasa sakit sebagai akibat dari tekanan tenaga Lweekang yang sangat dahsyat.

Mendengar perkataan Boe siang, paras muka Phoa Thian Keng dan kedua Soeteenya lantas saja berubah. Mereka merasa diejek, bahwa mereka telah dijatuhkan oleh seorang yang belum tentu memiliki kepandaian tinggi.

Sementara itu, waktu melirik Bu sek Sia soe, Kwee Siang melihat sorot bingung dan jengkel pada muka pendeta itu. "Toa hweeshio adalah seorang baik dan juga sahabat Toakoko," katanya didalam hati. Jika Hiok Too dan pendeta Siau lim sie sampai bertempur, tak perduli siapa yang kalah dan siapa menang hatiku merasa tak enak." Memikir begitu, lantas saja ia berkata dengan suara nyaring.

"Ho Toako, aku sebenarnya tidak perlu masuk kekuil. Beritahukanlah sekarang omongan yang ingin disampaikan olehmu dan sesudah itu, kita boleh segera berlalu"

Sehabis berkata begitu, sambil menunjuk Boe sek, ia melan jutkan perkataannya. "ltulah Boe sek Sian soe, sahabat baikku. Kedua belah pihak sebaiknya jangan merusak keakuran."

Ho Ciok Too kelihatan terkejut. "Oh, begitu ?" katanya sambil berpaling kepada Thian beng dan berkata pula : "Loo hong thio, yang mana Kak wan Siansoe ? Aku menerima permintaan seseorang untuk menyampaikan perkataan kapadanya."

"Kak wan Sian-soe ? menegas Thian beng dengan suara perlahan.

Dalam kuil Siauw lim-sie, Kak wan berkedudukan rendah dan selama beberapa puluh tahun, ia menyembuyikan diri dalam perpustakaan Cong keng-kok. Ia tidak banyak dikenal dari sebegitu jauh, belum pernah orang menambahkan kata2 "Siansoe" dibelakang nama gelarnya. Maka itu, untuk sementara, Thian beng tak ingat siapa adanya. "Kak wan Siansoe". Sesudah bengong beberapa saat, barulah ia berkata: "A ! Ho Kie soe tentu maksudkan pendeta yang jaga kitab Lang keh keng.Apakah Kie soe mencari dia dalam hubungan soal kitab itu ?"

"Entahlah," jawabnya sambil menggelengkan kepala.

Thian bang segera berpaling kepada seorang murid dan berkata: "Coba panggil Kak wan." Murid itu lantas saja berlalu untuk mejalankan tugasnya.

Boe siang Siansoe yang rupanya sangat bernapsu, sudah tak bisa menahan sabar lagi. Begitu mendapat kesempatan, ia segera berkata pula: "Ho Kie sie, kau dijuluki sebagai Khim kiam-kie Sam-seng dan kata Seng itu tentu tak dapat dimiliki oleh sembarang orang. Tak usah disangsikan lagi, Kie soe mempunyai kepandaian yang baik, tinggi dalam tiga rupa ilmu itu, 10 hari yang lalu, Kie soe telah menulis surat dan berjanji untuk memperlihatkan kepandaianmu. Tapi mengapa sesudah datang kemari, kau jadi begitu pelit dan sungkan memberi pelajaran kepada kami ?"

Ho Ciok Too menggelengkan kepala. "Nona ini sudah mengatakan, bahwa kedua belah pihak tidak boleh merusak keakuran," katanya.

Boe siang jadi gusar sekali. Ia terutama gusar karena, Ho Ciok Too sudah menantang lebih dulu dan tantangan itu dianggap sebagai kekurang-ajaran terhadap Siauw-lim sie. Disamping itu, ia juga gusar sebab Phoa Thian Keng dan kedua Soetee telah dirobohkan hingga diluaran orang bisa menyiarkan cerita, bahwa murid Siauw-lim pay dijatuhkan oleh Kiam seng. Tapi iapun yakin, bahwa sebagian besar murid2 Siauw-lim sie bukan tandingan Ho Ciok Too dan oleh karenanya, ia segera mengambil keputusan untuk turun tangan sendiri. Ia maju dua tindak seraya berkata: "Menjajal ilmu tak selamanya merusak keakuran. Mengapa Ho Kie soe menolak begitu keras ?" Ia berpaling kepada muridnya dan berkata pula. "Ambil pedang !"

Didalam kuil sudah disediakan macam2 senjata, tapi pada waktu keluar menyambut tamu para pendeta itu tentu saja merasa tak pantas untuk membawa senjata.

Dengan cepat murid itu sudah keluar kembali dengan membawa tujuh delapan batang pedang yang lalu diangsurkan kepada Ho Ciok Too. "Apa Kie soe membaWa pedang sendiri atau ingin meminjam senjata kami?" tanyanya.

Sebaiknya dari menjemput senjata yang diangsurKan Ho Ciok Too membungkuk dan mengambil sebutir batu kecil. Tiba2 dengan mengunakan batu itu, ia membuat sembilan belas garis melintang dan sembilan belas garis membujur diatas batu hijau yang menutupi jalanan didepan kuil, Setiap garis itu sangat lurus, seperti juga di babat dengan menggunakan penggaris. Tapi apa yang mengejutkan yalah setiap goresan masuk dibatu kira2 satu dim dalamnya. Batu hijau itu adalah batu gunung Siauw sie san yang keras bagaikan besi. Ratusan tahun orang mundar mandir di atasnya, tanpa rusak sedikit juga.

Sesudah membuat garis2 itu yang merupakan papan catur, sambil tertawa Ho Ciok Too berkata: "Mengadu pedang agak terlalu ganas, sedang suara khim pun sukar diadu. Maka itu, jika Toahweeshio merasa gembira, mari kita main catur."

Apa yang diperlihatkan Ho Ciok Too sangat mengejutkan hatinya Thian beng, Boesek, Boe siang dan Cit loo dari Sim sian tong. Thian beng Siansoe yakin, bahwa Lweekang yang setinggi itu tidak dipunyai oleh siapa pun juga dalam kuil Siauw limsie. Ia jadi bingung bukan main, tapi baru saja ia memikir untuk mengaku kalah, tiba-tiba terdengar suara berkerincin dan rantai besi dan di lain saat, Kak wan muncul sambil memikul dua tahang besi, sedang di belakangnya mengikuti seorang pemuda yang bertubuh jangkung. Begitu tiba dihadapan Thian beng, ia segera memberi hormat seraya menanya. "Apakah Loo hong thio memanggil aku ?"

"Ho Kie soe ingin bertemu dan bicara denganmu." jawabnya.

Ia memutar badan dan merasa heran, sebab tak tahu siapa adanya orang itu. "Siauw ceng adalah Kak wan," ia memperkenalkan diri. "Omongan apa yang hendak disampaikan oleh Kie soe ?"

Sesudah membuat papan catur, kegembira Ho Ciok Too terbangun. "Omongan itu aku akan beritahukan sebentar." katanya. "Toahweesio manakah yang ingin melayani aku main catur ?" Ho Ciok Too adalah seorang yang keranjingan main khim, pedang dan tiokie. Kalau gilanya datang, ia melupakan apapun juga.

"Kepandaian Kie soe dalam membuat papan catur dengan menggores batu, belum pernah di saksikan oleh loolap," kata Thianbeng. "Samua pendeta dalam kuil kami tak dapat menandinginya."

Mendengar perkataan Thian beng dan melihat papan catur itu, barulah Kak wan tahu, bahwa Ho Ciok Too datang di Siauw Iim sie untuk memamerkan kepandaiannya.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia menaruh kedua tahang besi di pundaknya sambil menyedot napas untuk mangumpulkan semua tenaga dalamnya di kedua lutut.

Sesudah itu, setindak demi setindak, ia berjalan digarisan pinggir dari papan catur itu.

Semua orang terkesiap dan mengawasi tindakan Kak wan dengan mata membalalak. Mengapa ? Ternyata, di tempat yang dilewati rantai besi yang melibat di kakinya, terdapat goresan-goresan yang lebarnya kira-kira lima dim dan goresan-goresan itu telah merusak garis yang dibuat Ho Ciok too! Sesaat kemudian, tanpa merasa semua pendeta bersorak sorai.

Thian beng, Boe Sek, Boe siang dan lain2 pemimpin jadi kaget campur girang. Mereka tak pernah mimpi, bahwa pendeta tua yang tolol2an itu, memiliki lweekang tinggi. Mereka sudah berkumpul didalam satu kuil puluhan tahun lamanya, tapi tak seorangpun yang tahu kelihayan Kak Wan

Sebenarnya, biarpun seseorang mempunyai tenaga dalam yang hebat, ia tak mungkin membuat goresan seperti yang dibuat Kakwan diatas batu hijau yang amat keras itu. Hanyalah karena pendeta itu memikul dua tahang besi berisi air yang beratnya kurang lebih enam ratus kati sehingga tenaga yang sangat besar itu dapat disalurkan dari pundak ke rantai besi, maka selagi terseret, rantai besi itu seolah olah semacam cangkul yang mencangkul garis2 papan catur. Tapi meskipun demikian, walaupun Kak wan meminjam tenaga apa yang dipertunjuknya sudah jarang sekali terlihat dalam Rimba Persilatan.

"Toahweeshio!" teriak Ho Ciok Too. "Lwee kangmu hebat sekali, aku tak bisa menandingi"

Kak wan menghentikan tindakannya dan mengawasi tamu sambil bersenyum.

"Toahweeshio," kata pula He Ciok Too. "Kita tidak bisa main catur lagi dan aku mengaku kalah. Sekarang aku ingin minta petunjukmu dalam ilmu pedang."

Hampir berbareng dengan perkataannya, ia menghunus sebatang pedang panjang dari bawah Cit hian khim. Ia segera bergerak untuk menyerang dan gerakannya yang pertama sangat luar biasa, yaitu ujung pedang menuking dadanya sendiri, sedang gagang pedang menuding lawan. Semua orang ter-heran2 sebab didalam dunia belum pernah ada Khiam boat yang begitu aneh.

"Loo ceng hanya bisa membaca kitab, bersemedhi, menjemur buku dan menyapu lantai," kata Kak wan. "Mengenai ilmu silat sedikitpun aku tidak mengerti,"

Ho Ciok Too tentu saja mau percaya. Seraya tertawa dingin ia lompat menerjang. Tiba tiba ujung pedang itu berbalik dan meluncur ke dada si pendeta. Ternyata, dalam gerakannya yang pertama, yaitu? waktu ujung pedang manuding dadanya sehdiri, ia sedang mengumpulkan tenaga dalam dan kemudian, secara mendadak, membalikkan senjatanya dengan Lweekang itu.

Jika Ho Ciok Too menghadapi ahli silat biasa, serangan itu pasti akan berhasil. Akan tetapi Lweekang Kak wan sudah mencapai tarap dimana setiap gerakannya selalu terjadi secara wajar, menurut jalan pikirannya, Maka itu, biarpun pedang menyambar bagaikan kilat, jalan pikiran si pendeta lebih cepat dari sambaran pedang. Pada detik yang tepat, sebuah tahang melompat naik dan "tang" pedang menikam tahang dan lantas saja melengkung seperti bulan sisir, Buru2 Ho Ciok Too menarik pulang senjatanya, sedang tangan kirinya mengebas muka lawan. Sekali lagi tahang yang lain naik dan tangannya terpental ke samping

Jilid 3

Ia kaget tercampur penasaran. Ia merasa pasti, bahwa kedua tahang besi yang sangat berat itu, tak akan bisa menangkis ceceran pedang jika ia menyerang dengan menggunakan kecepatan. Memikir begitu, ia lantas saja berseru: "Toahweeshio, kali ini kau hati2" Pedangnya menggetar dan seperti kilat, ia mengirim enam belas tikaman berantai.

"Tang-tang-tang ! - - -" enambelas kali Cap-lak chioe Soen loei kiam (Pedang geledek enambelas kali menikam) menikam di tahang besi!

Melihat gerak gerik Kak-wan yang sangat repot dan bingung waktu diserang, semua orang percaya, bahwa memang sebenarnya ia tidak mengerti ilmu silat.

Pada waktu Ho Ciok Too baru mulai menyerang, semua orang sangat berkuatir. "Ho Kie-sie, jangan berlaku kejam !" teriak Boe sek dan Boe siang hampir berbareng,

"Ho Toako, jangan turuskan tangan jahat!" seru Kwee Siang.

Tapi heran sungguh, dalam caranya yang sangat luar biasa dan tidak sesuai dengan ilmu silat, Kak-wan mengangkat kedua tahang besi itu pergi datang dan semua tikaraan itu mampir ditahang air.

Sedang semua orang bisa melihat bahwa si-pendeta sebenaraya tak mengerti ilmu silat, Ho Ciok Tao seadiri, yang serangan2nya digagalkan hingga ia jadi sangat mendongkol, sedikitpun tidak merasa, bahwa lawannya menangkis tikaman2nya dengan gerakan wajar yang telah dapat berkat latihan Lweekang yang sangat tinggi. Maka itu, sesudah Cap-lak chioe Soen-loei-kiam, gagal, sambil membentak keras, ia menikam kempungan Kak-wan,

"Celaka !"seru sipendeta yang datam repotnya merangkap kedua tangan yang mencekal tahang. Berbareng dengan terdengarnya suara nyaring akibat beradunya besi, pedang Ho-Ciok Too tergencet diantara kedua tahang itu. Buru2 ia mengerahkan tenaga dalam dan coba membetot senjatanya, tapi sedikitpun tidak bergeming. Cepat bagaikan kilat, tangan kirinya menghantam muka lawan.

Semua orang terkesiap. Kak-wan yang sedang mencekal tahang besi itu, tak bisa menangkis lagi. Pada detik yang sangat berbahaya mendadak Thio Koen Po melompat dan menghantam pundak Ho Ciok Too dengan pukulan Soe thong Pat ta yang didapat dari Yo Ko. Pada saat yang bersamaan, Lweekang Kak wan sudah mengalir masuk kedalam tahang dan tiba-tiba saja sepasang "arus" air menyembur dari kedua tahang itu dan menyambar muka Ho Ciok Too, sehingga pukulannya kebentrok dengan air yang menyemprot dan ke dua dua nya basah kuyup.

Oleh karena tangan kanannya mencekal pedang yang di gencet tahang air dan tangan kiri menyambut sambaran air, maka ia tidak bisa menangkis lagi pukulan Thio Koen Po. "Bak !", pukulan itu mengenakan tepat di pundaknya. Sekali lagi semua orang terkejut, sebab Thio Koen Po yaug masih seperti bocah, ternyata memiliki Lweekang yang cukup tinggi, sehingga badan Ho Ciok Too bergoyang2 dan terhuyung kebelakang beberapa tindak.

"O mi-to-hoed !" teriak Kak wan. "Ho Kie soe, ampuni Loo ceng ! Tikaman-tikaman mu menenakuti sangat." Sehabis berkata begitu, ia menyusut air dan keringat yang membasahi mukanya dan lalu minggir kesamping.

Sekarang Ho Ciok Too naik darah nya. "Aku dengar dalam kuil Siauw lim sie berkumpul banyak sekali orang pandai dan ternyata memang benar begitu," katanya dengan suara mendongkol. "Malahan seorang bocah cilik memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Bocah ! Mari kita main2. Jika kau bisa melayani aku dalam sepuluh jurus, Ho Ciok Too tidak akan datang lagi ke wilayah Tiong goan untuk se lama-lamanya."

Boe sek, Boe siang dan yang lain-lain tahu bahwa Thio Koen Po adalah kacung Cong keng-kok dan sebegitu jauh belum pernah belajar silat. Entah bagaimana secara kebetulan, ia berhasil memukul orang she Ho itu. Mereka yakin, bahwa jika bertempur sungguh sungguh, dalam sejurus saja bocah itu bisa binasa dalam tangan lawannya.

"Ho Kie soe salah," kata Boo siang. "Kau bergelar Koein loen Samseng dan ilmu silatmu telah menggetarkan seluruh jagat. Bagaimana kau boleh bertempur dengan satu kacung tukang masak air dan menyapu lantai ? Jika kau tidak kau main-main sepuluh jurus.

Ho Ciok Too menggelengkan kepala. "Tak bisa," katanya. "Hinaan pukulan itu, bagaimana bisa disudahi saja. Bocah! Sambutlah!" Hampir berbareng dengan bentakannya, tangannya menyambar kedada Thio Koen Po. Jarak antara dia sangat dekat, sehingga biarpun Boe sek dan Boe siang ingin menolong, sudah tidak keburu lagi. Semua orang menduga, bocah itu akan segera terluka berat.

Diserang dengan pukulan hebat itu, kedua kaki Thio Koen Po tidak bergerak. Ia hanya menggeser ujung kakinya kekanan dan badan nya lantas saja turut berputar kekanan. Dalam gerakan itu, ia sudah berhasil mengempos pukulan lawan. Hampir berbaring, dengan tinju kiri melindungi pinggang, telapak tangan kanannya menyambar. Itulah pukulan Yoe co an hoa chioe (Pukulan menembus bunga) salah satu pukulan pokok dari ilmu silat Siauw lim pay.

Apa yang luar biasa, yalah, waktu memukul tubuhnya kokoh teguh bagaikan gunung, sedang pukulannya dahsyat seperti gelombang sungai Tiang kang. Semua orang kaget bukan main, karena pukulan itu bukan pukulan seorang pemuda yang masih hijau, tapi pukulan seorang tokoh kenamaan dari Rimba Persilatan. Sesudah pundaknya terpukul, Ho Ciok Too tahu, bahwa tenaga dalam pemuda itu banyak lebih kuat dari pada Phoa Thian Keng dan kedua saudara seperguruannya. Tapi ia yakin, bahwa dalam sepuluh jurus, ia akan dapat merobohkannya. Melihat sambaran Yoe coan hoa chioe yang sangat hebat itu, tanpa merasa ia memuji. "Bocah! Lihay benar pukulanmu!"

Jantung Boe siang berdebar2. Ia melirik Boe sek dan berkata seraya bersenyum: "Boe sek Soetee, aku memberi selamat, bahwa dengan diam-diam kau sudah mendapat murid yang begitu berbakat !"

Boe sek menggelengkan kepala dan berkata dengan suara perlahan. "Bukan ...."

Sementara itu, dengan beruntun Thio Koen Po sudah mengirim empat serangan berantai yaitu Auw po lat kiong (Menggeser kaki manarik busur), Tan hong tauw yang (Burung hong menghadap matahari), Sioe teek kiat chiang (Di bawah tangan baju memotong tangan) dan Jie long tan jan (Jie long memikul gunung). Setiap pukulan di sertai dengan Lweekang yang sangat tinggi, sehingga semua pendeta jadi kagum bukan main. Thian beng, Boe sek, Boe siang dan Cit loo dari Sim sian tong saling mengawasi dengan hati berdebar debar. "Pukulan-pukulannya yang sangat bagus dan cepat, masih dapat dimengerti," kata Boe siang. "Tapi bagaimana dengan Lwee kangnya yang begitu hebat?"

Sesaat itu dengan paras muka ke merah2-an Ho Ciok Too mengirim pukulan yang keenam. "Sedang seorang bocah saja aku sudah tak mampu jatuhkan, bagaimana aku berani datang di perguruan silat ditempatnya Siauw lim sie dan mengirim surat tantangan ." pikirnya. "Bukankah perbuatanku itu hanya jadi bahan tertawaan orang2 gagah dikolong langit?" sambil memikir begitu, ia memutar badan dan lalu menyerang dengan pukulan Thian san soat piauw (Salju melayang2 digunung Thiansan), dalam sekejap seluruh badan Thio Koen po sudah dikurang dengan pukulan2 yang menyambar2 bagaikan turunnya salju.

Kecuali Yo Ko yang pernah memberi petunjuk kepadanya dipuncak Hwa san, Koen Po belum pernah menerima pelajaran dari lain guru, Oleh karena itu, ia jadi kaget bukan main ketika melihat serangan2 yang sehebat itu. Pada detik yang sangat berbahaya, dalam bingungnya ia memutar pinggang kekiri, mengangkat kedua tangannya sampai meleWati dagu dan telapakan tangan kiri ber hadapan dengan telapak tangan kanan. Itulah pukulan Song coan chioe (pukulan sepasang lingkaran) dari Siauw limpay, serupa pukulan yang teguh kokoh bagaikan gunung jika disertai dengan tenaga Lweekang yang kuat dan dapat memunahkan segala rupa serangan. Maka itulah semua serangan Ho Ciok Too, tak perduli dari mana datangnya, dapat ditangkis dengan Song coan chioe.

Sampai disitu, kegirangan pihak Siauw Lim sie tak dapat ditekan lagi. Dengan serentak murid2 Tat mo tong bersorak sorai.

Sedang sorakan masih belum mereda, sambil membentak keras, Ho Ciok Too meninju dada lawannya, pukulan itu adalah pukulan biasa saja, tapi disertai dengan tenaga dalam yang sangat dahsyat. Buru2 Koen Po menolak dengan kedua telapakan tangannya dalam pianhoa citseng. "Buk!", telapakan tangan dan tinju beradu keras. Badau Ho Ciok Too ber goyang2 sedang Thio Koen Po terhuyung ke belakang beberapa tindak.

"Huh!" demikian terdengar suara Ho Ciok Too yang tanpa tenaga dalam mengubah gerakannya lalu maju setindak dan sekali lagi mengirim tinju deugan sepenuh tenaga. Thio Koen Po yaug ilmu silatnya saugat terbatas, kembali menangkis dengan Pian hoa cit seng yaitu mendorong dengan keduu telapakan tangaunya. "Buk !", tubuh Koen Po sempoyongan lima tindak kebelakaug, sedang badan Ho Ciok Too terhuyung kedepan, "Tinggal satu pukulan lagi !" bentaknya dengau paras muka pucat.

"Sambutlah dengan seantero tenagamu!" ia maju dua tindak, memasang kuda2 dan mengirim pukulan dengan gerakan perlahan.

Sesaat itu, ratusan pendeta Siauw lim sie mengawasi sambil menahan napas. Semua orang yakin, bahwa dengan pukulan itu, Ho Ciok Too mempertaruh nama besarnya dan bahwa ia tentu menggunakan seantero tenaga Lwee kang yang dimilikinya.

Untuk ketiga kalinya, Koen Po menyambut dengan Pian hoa cit seng. Sekali ini, beradunya tinju dan telapak tangan tidak mengeluarkan suara apapun juga. Kedua lawan dengan berbareng mengempos semangat mengarahkan seluruh Lweekang mereka.

Mengenai ilmu silat, Ho Ciok Too lebih unggul ratusan kali lipat daripada Thio Koen Po tapi dalam tenaga Lweekang, ia masih belum bisa mengatasi pemuda itu. Semua orang tak pernah mimpi, bahwa secara kebetulan Koen Po memperoleh pelajaran dari Kioe yang Cin ken keng dan memiliki tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi.

Sama juga mereka bertahan sambil memusat seantero tenaga dalam di tangan mereka. Se-konyong2, berbareng dengan keluarnya suara "huh", Ho Ciok Too mundur setindak karena ia merasa darahnya meluap ke atas, Se bisa2 ia masih mau coba mempertahankan diri, tapi mendadak matanya gelap dan ia lantas memuntahkan darah dari mulutnya. Walau tidak tahu apa artinya memuntahkan itu tak tabu, bahwa lawannya sudah terluka berat Thio Kaen Po kaget bukan main. "Celaka !" teriaknya sambil memburu untuk memapah lawan.

Ho Ciok Too mengebas tangannya dan seraya tertawa getir, ia berkata. "Ho Ciok Too! Ho Ciok Too! Kau benar2 orang edan!" berpaling kearah Thian beng Siansoe dan menyoja sampai ketanah. "Ilmu silat Siauw lim-sie sudah kesohor ribuan tahun dan benar saja nama itu bukan nama kosong," katanya. Hari ini aku bisa membuka kedua mataku lebih lebar. Sehabis berkata begitu, ia memutar badan dan dengan sekali menotol tanah dengan ujung kakinya, tubuhnya melesat beberapa tombak jauhnya. Ia berhenti sebentar dan menengok kearah Kak-wan. "Kak-wan Taysoe," katanya. "Orang itu mengatakan, bahwa kitab suci berada didalam minyak. Ia minta aku menyampaikan perkataannya kepadamu." Dilain saat dengan menotol tanah beberapa kali dengan ujung kakinya, ia sudah berada diluar dari rentetan pohon2 pek yang tumbuh disepanjang jalan. Semua pendeta merasa kagum bukan main, karena sesudah terluka berat ia masih bisa bergerak begitu cepat. Kepandaian dan keuletan itu sesungguhnya jarang ter dapat dalam Rimba Persilatan.

Sesudah musuh berlaen, semua pendeta segera mengawasi Thian beng untuk mendengar perintah lebih jauh. Tiba2 seorang pendeta tua yang bertubuh kurus dari Cit loo Sim sian tong berkata dengan suara nyaring dan menyeram kan.

"Siapa yang sudah turunkan ilmu silat kepada murid itu?"

Semua orang bergidik mendengar suara itu yang menyerupai bunyinya seekor burung malam. Thian bong, Boe sek dan Boe siang yang juga ingin mengajukan pertanyaan tersebut, dengan serentak mengawasi Kak wan dan Thio Po. Tapi guru dan murid itu tidak lantas menjawab. Mereka berdiri bengong dengan mulut ternganga.

"Kak wan memiliki Lweekang yang sangat tiggi, tapi bisa dilihat nyata, bahwa ia belum pernah belajar ilmu silat," kata Thian beng.

"Apa yang mengherankan adalah ilmu silat Siauw lim dari anak itu. Siapakah yang sudah mengajarkannya?"

Semua murid Tat mo tong dan Lo han tong menunggu jawaban dengan hati berdebar2. Semua orang menganggap bahwa bocah itu yang sudah merobohkan musuh sedemikian tangguh, pasti bakal mendapat hadiah besar, sadang gurunya pun akan mendapat pujian tinggi.

Melihat Thio Koen Po tidak mejawab pertanyaannya, alis sipendeta tua mendadak berdiri dan pada paras mukanya terdapat sinar Pembunuhan. " Hei! Aku tanya kau. Siapa yang mengajar Lohan koen kepadamu?" tanyanya pula dengan suara keras.

Thio Koen Po segera merogoh saku dan mengeluarkan sepasang Tiat lo han (Lo han besi) yang diberikan kepadanya oleh Kwee Siang.

"Teecoe (murid) belajar dari kedua Tiat lo han ini," jawabnya. "Dengan se-benar2nya Tee coe belum pernah mendapat pelajaran ilmu silat dari siapa juga pun."

Sipendeta tua maju setindak dan berkata pula dengan suara perlahan. "Kau bicaralah se tulus2nya. Siapa yang sudah turunkan ilmu silat kepadamu?" Walaupun diucapkan seperti berbisik, suara itu yang disertai Lweekang yang tinggi, dapat nyata oleh semua orang.

Thio Koen Po merasa sangat kecewa, tapi karena tidak merasa bersalah, maka biarpun melihat paras muka sipendeta tua yang menyeramkan, sedikitpun ia tidak merasa keder. "Tidak, dalam kuil ini, belum pernah ada seorang pun yang mengajar ilmu silat kepada Teecoe" katanya dengan suara nyaring. "Teecoe selalu berdiam di Keng kok, menyapu lantai, masak air dan melayani Kak wan Soehoe. Beberapa pukulan Lo han-koen itu telah dipelajari oleh Tee-coe sendiri dan jika ada gerak-gerik yang kurang benar, Teecoe memohon Loo soehoe sudi memberi petunjuk.

Si pendeta tua mengeluarkan suara di hidung dan kedua mata yaug ber-api2, ia menatap wajah Thio Koeh Po. Lama sekali ia mengawasi muka pemuda itu tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Kak wan tahu, bahwa pendeta Sim sian-tong itu mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam Siauw lim-sie dan ia adalah Soesiok (paman guru) dari Thian beng Siausoe. Melihat sikap situa tehadap muridnya, ia merasa sungguh tidak mengerti. Tiba2 waktu kedua matanya kebentrok dengan mata pendeta tua yang penuh dengan sorot kebencian, dalam otaknya berkelebat suatu keingatan. Ia ingat bahwa duapuluh tahun lebhn berselang, secara ke betulan dalam Cong kek kok ia mandapatkan se jilid buku tipis dengan tulisan tangan, yang mencatat suatu peristiwa besar dalam kuil Sauw lim-sie.

Kejadiannya seperti berikut. Pada tujuh puluh tahun lebih yang lalu, Hong thio kuil Siauw lim-sie adalah Kouw tin Siansoe, itu Soecouw atau kakek guru dari Thian beng Siansoe. Menurut adad, setiap tahun sekali ada hari perayaan Tiong-coe, di Tat mo tong diadakan ujian ilmu silat yang dikepalai oleh Hong thio, sIoe coe dari Tat mo-tong dan Lo han-tong. Tujuan dari ujian itu adalah untuk melihat kemajuan para murid Siauw limsie selama satu tahun.

Diluar dugaan, waktu diadakan ujian pada tahun itu, telah terjadi suatu peristiwa yang sangat menyedihkan.

Sesudah semua murid memperlihatkan kepandaiannya, pemimpin Tat mo tong, Kouw tie Siansoe, segera naik kemimbar

dan membincangkan kepandaian setiap murid. Selagi Kouw-tie enak bicara, tiba2 muncul seorangTauw-to, atau pendeta yang memiara rambut, yang lantas saja berteriak; "Omongan Kouw tie Siansoe omongan kentut anjing! Dia sebenarnya tak tahu apa artinya ilmu silat dan berani mati, ia menduduki kursi Soei-co dari Tat mo-tong. Sungguh memalukan!"

Dengan kaget semua pendeta mengawas orang itu yang ternyata adalah Tauw to yaag bekerja didapur sebaai tukang menyalakan api. Pada sebelum guru mereka membuka mulut, murid2 Tat mo-tong sudah balas mencaci dengan kegusaran yang meluap-luap.

"Jangan banyak bacot kau!" teriak Si Tauw to "Gurunya kentut anjing, muridnyapun kentut anjing!" Sehabis memaki, ia berdiri di tengah ruangan dengan sikap menantang. Sejumlah pendetalantas saja maju untuk menghajar Tauwto itu, tapi satu demi satu, mereka dirobohkan secara mudah sekali. Apa yang lebih hebat lagi si Tauwto tidak berlaku sungkan2. Sembilan murid utama dari Tat mo tong telah dijatuhkan dengan luka berat atau patah kaki tangannya.

Kouw tie Siansoe kaget tercampur gusar. Ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat Tauwto itu adalah ilmu Siauw limpay, sehingga dia bukan seorang luar yang sengaja datang untuk mengacau. Sambil menahan amarah, Kouwtie meanaya siapa gurunya. "Aku belajar sendiri, tak satu manusia pun yang mengajar aku," jawabnya.

Apa latar belakang perbuatan Tauwto itu? Ternyata, selama baberapa tahun ia sering dianiaya olah pemilik bagian dapur yang beradat berangasan dan suka main pukul orang sebawahannya. Tiap kali ia muntah darah akibat pukulan pemilik dapur itu yang sering turun tangan tanpa mengenal kasihan. Dengan mendedam sakit hati yang sangat besar, diam2 ia belajar silat. Ia mendapat kesempatan luas untuk mencuri pelajaran, karena hampir semua murid Siauwlim si pandai ilmu silat jika seseorang bertekat untuk melakukan serupa pekerjaan lama atau cepat, ia pasti akan berhasil.

Dibantu dengan kecerdasan otaknya yang melebihi manusia biasa, maka dalam tempo belasan tahun, ia sudah memiliki, kepaudaian yang sangat tinggi. Tapi ia masih tetap menyembunyikan kepadaianaya itu dan terus bekerja sebagai tukang menyalakan api yang dengar kata Kalau dipukul oleh sipemilik dapur, ia sama sekali tidak melawan. Berkat Lweekangnya yang sangat kuat, ia sekarang tidak takut lagi segala pukulan. Dengan sabar ia berlatih terus. Sesudah merasa, bahwa kepandaiannya berada diatas semua pendeta Siawlim sie, pada hari ujian silat, dihari Tiongcoe, barulah ia turun tangan.

Sakit hati yang sadah didendam belasan tahun lamanya, menanam rasa benci terhadap semua pendeta Siauwlimsie, didalam lubuk hatinya, maka itu ia sudah menyerang tanpa sungkan2 lagi.

Sesudah mengetahui sebab musabab kejadian itu, Koawti Siansoe tertawa dengan seraya berkata, "Aku sungguh merasa kagum akan kegiatanmu itu." Ia turun dari mimbar dan satu pertempuran hebat lantas saja terjadi. Pada masa itu, Kouwtie adalah orang yang berkepandaian paling tinggi di-kuil Siauwlimsie.

Mereka berdua segera serang menyerang dengan menggunakan ilmu2 pukulan yang paling hebat dan dalam tempo cepat, mereka sudah bertempur kurang lebih 500 jurus.

Semakin lama pertempuran semakin hebat, sehingga mencapai sesuatu titik yang sangat berbahaya. Pada saat itu, karena mengingat jerih payahnya si Touw to untuk memiliki kepandaianya yang begitu tinggi, dalam hati Kouw tie muncul perasaan sayang dan kasihan. Maka itu, sambil mementang kedua tangannya, ia membentak. "Mundurlah!"

Tapi sungguh sayang, si Tauw to salah tampah maksud orang yang baik. Ia menduga, bahwa dengan mementang kedua tangannya, Kouw tie Siansoe ingin menyerang dengan Sin ciang Pat ta (Delapan pukulan Tangan Malaikat), salah satu ilmu terlihay dari Siauw lim sie. Ia ingat, bahwa waktu berlatih dengan ilmu itu, seorang murid Tat mo tonG pernah mematahkan satu balok kayu dengan pukulan kedua tangannya. Maka ita, ia tahu hebatnya Sin ciang Pat ta. Biar bagaimanapun juga, biar memiliki kepandaian tinggi tapi karena ia belajar dengan mencuri dan tidak mendapat petunjak guru yang pandai, maka ia masih belum bisa menyelami ilmu Siauw lim pay sampai didasarnya.

Ia sama sekali tak tahu, bahWa dengan mementang kedua tangannya, Kouw tie Siansoe sebenarnya mengeluarkan pukulan Hoen kay cian ( pukulan memecah dan membuka) untuk meminjam dan memindahkan tenaga, dengan tujuan menghentikan pertempuran begitu lekas kedua belah pihak melompat mundur. Ia menduga, bahwa Koauw tie ciaag (pukulan pembelah hati), pukulan keenaam dari Sin ciang Pat ta. Dengan menduga begitu, ia berkata dalam hatinya: "Tak begitu gampang kau ambil jiwaku !" la melompat dam memukul dengan kedua tangannya.

Pukulan kedua tangan itu menyambar bagaikan gunung roboh. Dengan hati mencelos Kouw tie Siansoe buru2 membalik tangannya untuk menangkis, tapi sudah tak keburu lagi Dengan satu suara "buk !", tulang lengan kiri dan empat tulang dadanya patah ! Semua pendata kaget dan bingung dengan serentak mereka memburu untuk memberi pertolongan. Tapi Kouw tie yang sudah terluka berat, hanya tersengal2 napasnya dan tidak dapat mengeluarkan sepatah kata lagi. Malam itu ia menutup mata.

Selagi seluruh Siauwlim sie diliputi kedukaan basar, malam itu siauw-To diam-diam menyatroni dam membinasakan sipendeta pemilik dapur serta lima pendeta yang mepunyai ganjelan dengannya.

Kejadian itu menerbitkan kegemparan dan kegusaran yang tiada taranya dalam sejarah Siauw-lim sie. Pendeta pimpinan lantas saja mengirim puluhan pendeta yang berkepandaian tinggi untuk membekuk Tauw to kejam itu, tapi sesudah mencari sana sini diseluruluh Kang-lam, dan Kang-pak(daerah sebelah selatan dan utara Sungai Besar), usaha mereka tidak berhasil.

Dan akibat dari peristiwa itu, dalam Siauw lim sie belakangan muncul gelombang yang merupakan perebutan kekuasaan dan saling salah menyalahi. Dalam gusarnya, pemimpin La han tong, Kouw hoei Sian soe, telah pergi di See ek dimana ia kemudian membentuk sebuah cabang Siauw lim pay. Phoa Thian Keng dan kedua saudara seperguruannya adalah murid2 Kouw hoei Sian soe.

Demikian bunyi catetan dalam buku tipis itu, yang kebetulan dapat dibaca oleh Kak wan.

Sesudah itu, ilmu silat Siauw lim sie merosot banyak. Untuk mencegah terulangnya kejadian itu, para pemimpin lalu mengadakan peraturan, bahwa setiap murid Siauw lim sie hanya boleh belajar silat dibawah pimpinan guru dan bahwa siapa pun juga tidak boleh mencari belajar, orang yang melanggar diancam dengan hukuman sangat berat paling berat hukuman masih paling enteng diputuskan tulang dan uratnya, supaya dia orang barcacat. Selama puluhan tahun, peraturan itu dipertahankan dengan kerasnya dan tak pernah terjadi lagi peristiwa mencari belajar silat. Sesudah lewat banyak tahun, per-lahan2 orang2 mulai melupakan kejadian hebat itu.

Si pendeta tua anggota Sim sian tong itu, adalah salah seorang murid Kouw tie Sian soe. Selama puluhan tahun, ia tak pernah melupakan kebinasaan gurunya yang sangat menyedihkan. Maka itulah, begitu tahu Thio Koen Po memiliki ilmusilat tinggi tanpa mempunyai guru, kejadian yang sudah lampau kembali terbayang didepan matanya dan rasa sedih dan gusar me-luap2 dalam hatinya.

Mengingat apa yang telah dibacanya, tanpa merasa Kak wan mengeluarkan keringat dingin "Loo hong thio!" teriaknya. "Ini .... Koen Po...."

Belum habis perkataan itu, Boe siang Siansoe sudah membentak. "Murid2 Tat mo tong! Majulah! Bekuk dia!"

Hampir berbareng dengan perintah itu, delapan belas murid Tat mo tong segera mdlompat maju untuk mengurung Kak wan dan muridnya. Karena mereka membuat lingkaran besar, Kwee Siang pun turut terkurung di dalamnya.

"Murid2 Lo han tong! Mengapa kau belum mau maju?" seru si pendeta Sim sian tong. Semua murid Lo ham tong segera bergerak serentak dan membuat tiga lingkaran lain diluar lingkaran murid2 Tat mo tong,

Thio Koen Po jadi bingung bukan main, Apakah dengan mengalahkan Ho Ciok Too, ia telah melanggar peraturan kuil ! "Soehoe!" teriaknya. "Aku... aku... "

Kurang lebih sepuluh tahun, Kak wan telah hidup ber-sama2 muridnya dan kecintaan mereka tiada bedanya seperti kecintaan antara ayah dan anak. Ia tahu, bahwa jika Koen Po sampai kena ditangkap, biarpun tidak mati, ia bakal jadi orang bercacad.

"Kalau tak mau turun tangan sekarang, mau tunggu sampai kapan lagi?" tiba2 terdengar bentakan Boe siang Sian soe.

Delapan belas murid Tat mo tong lantas saja mendesak dengan hebataya. Tanpa memikir lagi, Kak wan memutar sepasang tahang besi yang bembuat sebuah lingkaran, disertai dengan tenaga Lweekangnya yang sangat dahsyat, sehingga semua pendeta-pendeta itu tidak bisa maju. Bagaikan senjatanya itu sepasang bandringan, kedua tahang besi itu ter-putar2 dan untuk menyelamatkan diri, murid2 Tat mo tong terpaksa melompat kebelakang. Sesudah semua penyerang terpukul mundur, tiba2 Kak wan menyapu dengan kedua tahangnya dan Kwee Siang masuk ketahang kiri dan Koen Po masuk ketahang kanan. Sesudah itu, bagaikan terbang, ia turun gunung dengan memikul kedua orang muda itu. Semakin lama suara berkerincingnya rantai jadi semakin jauh dan beberapa saat kemudian, tidak kedengaran lagi.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar