-------------------------------
-----------------------------
Bagian 03
"Apa itu she mulia nama
besar?" kata Kwee Siang seraya mencebikan bibir. Aku paling sebal dengan
kata2 yang banyak kembangnya."
Orang itu kelihatan kaget,
tapi di lain saat ia tertawa besar. "Benar, nona," katanya
"Memang, semakin manusia berlagak pintar semakin kosong otaknya."
Sambil berkata begitu, ia
mengawasi Wie Thian Bong dengan mata melotot dan kemudian tertawa dingin.
Kwee Siang jadi girang sekali.
Ia tak nyana si baju putih seorang yang menarik.
Paras muka Wie Thian Bong yang
pucat jadi lebih pucat lagi. "Siapa tuan?" tanyanya.
Ia tidak menggubris dan sambil
berpaling kepada Kwee Siang, ia menanya: "Nona, siapa namamu ?"
"Aku she Kwee bernama
Siang." jawabnya
Orang itu menepuk kedua
tangannya dan berseru dengan suara girang. "Ah ! Mataku benar2 kotokan tak
mengenali gunung Thay san yang besar. Kalau begitu kau Kwee Toakouwnio yang
namanya kesohor diseluruh jagat! Kecauli manusia-manusia tolok, siapapun juga
mengenal ayahmu Kwee Ceng Kwee Tayhiap, dan ibumu, Oey Yong Oey Liehiap Dalam
dunia Kangoaw, siapakah yang tidak mengenal mereka? Mereka adalah orang2 yang
boen-boe-song-coan (mahir dalam ilmu surat dan ilmu perang ), mahir menggunakan
macam senjata dan sudah menyelami dasarnya berbagai ilmu silat paham dalam ilmu
penabuh khim, tio kie, menulis huruf-huruf indah, melukis, bersyair, dan
bersajak. Dari dulu sampai sekarang, kepandaian mereka jarang tandingan didalam
dunia. Ha ha ha ! Tapi masih juga terdapat manusia-manusia yang tidak mengenal
mereka!"
Kwee Siang jadi girang sekali.
"Kalau begitu sudah lama dia bersembunyi diatas atap pendopo dan sudah
mendengari pembicaraanku dengan ketiga orang itu."
katanya di dalam hati,
"Didengar dari perkataannya, ia pun belum mengenal kedua orang tuaku.
Kalau sudah mengenal, ia tentu tak akan memanggil aku sebagai Kwee Toakouwnio
(nona Kwee yang paling besar). Sungguh lucu ia mengatakan ayahku mahir dalam
ilmu menabuh khim, main tio kie, menulis huruf indah dan sebagainya. Memikir
begitu, seraya bersenyum ia menanya. "Siapa namamu?"
"Aku she Ho, namaku Ciok
Too." jawab nya, (Ho Ciok Too berarti Tidak cukup berharga untuk
dibicarakan).
"Ho Ciok Too?"
menegas si nona. "sungguh satu nama yang merendahkan diri."
"Benar." jawabnya.
"Tapi namaku banyak lebih baik dari pada nama yang menggunakan perkataan2
sombong seperti "Langit dan bumi". Sedikitnya namaku tidak memuakkan
orang yang mendengarnya."
Siapapun mengerti, ia sedang
mengejek ketiga Soehengtee itu (saudara seperguruan yang menggunakan huruf
"Thian" langit itu), maka sesudah manyaksikan cara Ho Ciok Too
menjatuhkan diri dari lubang atap mereka tahu bahwa orang itu bukan sembarangan
orang dan oleh karenanya, se-bisa2 mereka menahan sabar. Tapi mendengar ejekan
yang paling belakang, Wie Thian Bong meluap darahnya. Dengan sekali membalik
tangan la menggapelok dagu orang. Ho Ciok Too menundukkan kepalanya dan molos
dari bawah bahu. Mendadak Wie Thian Bong merasa tangan kirinya kesemutan dan
tahu2 pedang, Kwee-Siang yang sedang dicekalnya sudah berpindah tangan.
Sebagaimana diketahui, waktu merampas pedang itu dari tangan nona Kwee,
gerakannya cepat luar biasa, Dari sini dapatlah dibayangkan, bagaimana cepat
gerakan Ho Ciok Too yang dengan begitu mudah sudah berhasil merampas senjata
itu.
Wie Thian Bong terkesiap.
Dilain detik, dengan gusar ia menerjang dan lima jerijinya yang dipentang
bagaikan gaetan, menyambar pundak Ho Ciok Too. Dengan sekali mengegos Ho Ciok
Too sudah berhasil menyelamatkan diri. Sementara itu, hampir berbareng Phoa
Thian Keng dan Phoei Thian Loo melompat keluar dari pendopo. Dengan gergetan,
Wie Thian Bong mengirim serangan2 berantai dengan kedua tangannya dan dalam
sekejap, ia sudah menyerang tujuh delapan kali. Tapi lawannya tetap bersikap
tenang. Kemudian diserang bagaikan hujan dan angin sedikitpun ia tidak
membalas. Dengan mengengos kekiri kanan, kedepan dan kebelakang, ia kelit
pukulan2 hebat itu.
Biarpun masih bersia muda dan
kepandaiannya tidak seberapa tinggi, nona Kwee Siang adalah puterinya ahli2
silat nomor satu pada jaman itu dan dengan sendirinya, ia mempunyai mata yang
sangat tajam. Melihat gerakan Ho Ciok Too yang begitu gesit dan lincah, ia
yakin bahwa orang itu adalah barbeda dengan berbagai ilmu silat yang terdapat
diwilayah Tionggoan.
Sementara itu, sesudah
menyerang dua puluh jurus lebih tanpa berhasil, tiba2 Wie Thian Bong menggeram
dan mengubah silatnya. Jika tadi serangan2 dikirim bagaikan kilat, sekarang
gerakan-gerakannya banyak lebih perlahan, tapi disertai dengan tenaga yang
sangat hebat. Sesudah ia menyerang beberapa jurus, Kwee Siang yang berada
didalam pendopo, turut merasakan sambaran-sambaran pukulannya, sehingga
buru-buru ia melompat keluar.
Ho Ciok Too pun lantas saja
mengubah sikap. Kini ia tak berani memandang enteng lagi musuhnya. Setelah
menyelipkan pedang Kwee Siang dipinggangnya, berdiri tegak dan badannya
seolah-olah sebuah gunung yang kokoh teguh. "Kau menggunakan ilmu keras?"
tanya Ho Ciok Too, lalu "Apa kau rasa diriku tidak mampu ?" Pada saat
kedua tangan Wie Thian Bong menyambar, sambil mengerahkan Lweekang, ia memapaki
dengan tangan kirinya. Karena melawan keras! "Tak!" kedua tangan
beradu dengan dahsyatnya. Badan Wie Thian Bong ber-goyang2 terhuyung kebelakang
dua tiga tindak, sedang kedua kaki Ho Ciok Too tetap berdiri tegak.
Wie Thian Bong yang selala
menganggap bahwa Gwakangnya (ilmu luar, yaitu ilmu yang menggunakan teanga
kekerasan) jarang tandingan, jadi penasaran sekali.
Sesudah menarik napas panjang,
sambil membentak keras sekali lagi is menghantam dengan kedua tangannya. Ho
Ciok Too pun mengeluarkan teriakan nyaring, dan satu tangannya kembali memapaki
pukulan lawan. "Dak !", kedua bau tangan beradu pula, kali ini hebat
luar biasa, sehingga debu dan pasir meluruk turun dari lubang diatap pendopo.
Hampir berbareng dengan bentrokan itu, tubuh Wie Thian Bong terhuyung lagi dan
sesudah sempoyongan empat lima tindak, barulah ia bisa berdiri tegak.
Sesudah dikalhkan dua kali, Wie
Thian Bong jadi mata merah. Rambutnya terurai, kedua matanya melotot, sehingga
macamnya menakuti sekali. Dengan kedua tangan memegang perut, dia menarik napas
panjang. Dilain saat, dadanya melesak kedalam, perut melembung keluar, se-akan2
sebuah tambur dan tulang2nya berkerotokan.
Dalam keadaan yang menyeramkan
itu, setindak demi setindak ia mendekati lawannya.
Melihat begitu, Ho Ciok Too
mengerti, bahwa lawannya akan segera menyerang dengan menggunakan seantero
kepandaian dan tenaga Lwekang. Ia tak berani berayal lagi dan buru2 monyedot
nafas untuk mengerahkan Lweekang.
Menurut kebiasaan, sesudah
mengerahkan Lweekang yang hebat itu, dari jarak empat lima tindak, Wie Thian
Bong sudah mengirim pukulan. Tapi sekarang ia tak berbuat begitu. Dengan
perlahan, ia terus maju hingga berhadapan dengan lawan. Sesudah itu, barulah
kedua tangannya bergerak, yang satu memukul muka, yang lain menyambar
kepunggung. Tujuan kedua pukulan, itu adalah untak membuyarkan seantero Lwekang
Ho Ciok Too.
Ho Ciok Too pun lantas saja
menyambar dengan kedua tangannya. Tangan kiri menempel dengan tangan kiri,
tangan kanan dengan tangan kanan. Tetapi didalam tangan itu, dia mengeluarkan
dua tenaga yang berbeda, satu "keras" dan yang satu
"lembek". Dengan begitu tangan Wie Thian Bong yang memukul keras
kepunggung seperti juga menghantam kapas, sedang tangan kanan yang menyambar
kemuka se-akan2 menyentuh tembok tembaga. "Celaka !" Wie Thian Bong
mongeluh. Hampir berbareng, ia merasakan dorongan tenaga yang sangat hebat dan
tanpa ampun lagi badannya didorong keluar dari pendopo.
Itulah akibat keras melawan
keras. Yang bertenaga lebih lemah, dialah yang celaka. Didorong dengan
tenaganya sendiri yang berbalik dan ditambah dengan dorongan tenaga Ho Ciok
Too, Wie Thian Bong pasti bakal muntah darah.
Pada saat yang sangat
berbahaya, yaitu sedetik sebelum roboh, tiba2 Phoa Thian Keng dan Phoei Thian
Loo membentak keras: "Keluarkan pukulan!" Dengan berbareng mereka
mendorong kedepan dan tenaga tangan mereka merupakan semacam tembok lembek yang
tidak kelihatan. Punggung Wie Thian Bong bersandar diarus tenaga itu dan ia
tertolong dari luka berat didalam badan. Tapi meskipun begitu, isi perutnya
mendapat goncangan hebat, tulang2nya seolah terpukul hancur dan ia merasakan
kesakitan biasa disekujur badannya.
Melihat saudara seperguruannya
dirobohkan secara begitu menyedihkan bukan main gusar nya Phoei Thian Loo, tapi
paras mukanya masih tetap tersenyum. "Kekuatan tenaga tangan tuan sangat
jarang terdapat didalam dunia," katanya. "Aka sugguh marasa tahluk."
Mendengar kata2 xu, Kwee Siang
tertawa. Dalam hatinya. "Koen loen Sam seng tiada bedanya seperti kodok
didalam sumur" pikirnya. "Mengenai tenaga tangan siapakah yang dapat
menadingi ayahku dalam pukulan Hang Liong Sip pat ciang?"
Sesudah berdiam sejenak,
seraya tertawa hahahihi, si-muka marah berkata pula: "Aku si tua yang tak
punya kepandaian berarti, sekarang ingin meminta pengajaran dari Kiam hoat
tuan"
"Phoei-heng berlaku
sangat manis terhadap Kwee Kouwnio dan akupun tak mempunyai ganjelan terhadapmu,"
jawabn:ya. "Aku rasa kita boleh tak usah menjajal kepandaian."
Kwee Siang terkejut. Kalau
begitu, ia menghajar Wie Thian Bong karena kurang ajar terhadapku,"
katanya didalam hati.
Sementara itu, tanpa
menggubris penolakan orang, Phoei Thian Loo segera menghampiri tungggangannya
dan mengambil sebatang pedang panjang dari kantong senjata. "Srt!" ia
menghunusnya dan paras mukanya latas saja berubah keren!. Sambil melonjorkan
tangan kirinya, ia mendongakkan pedang yang dicekal dalam tanganaya. Itulah
pukulan yang diberi nama Sian-jin-tit-loan (Dewa mengunjuk jalan).
Ho Ciok Too bersenyum seraya
berkata "Jika Phoei-heng mau juga bertanding, biarlah aku melayani
beberapa jurus dengan menggunakan pedang Kwee Kouwnio."
Sehabis berkata begitu ia
mencabut pedang buntung yang terselip dipinggangnya. Pedang itu asal nya memang
pedang pendek. Panjangnya tak lebih daripada dua kaki. Sesudah dipatahkan Wie
Thiang Bong, yang ketinggalan hanya tujuh delapan dim, sehingga lebih pendek
daripada pisau belati biasa.
Sambil mencekal sarung pedang
ditangan kirinya, tanpa menegur lagi ia segera mengirim tiga serangan kilat
yang cepat luar biasa. Hanya karena senjatanya terlalu pendek, maka serangan2
itu tidak mengenakan sasarannya. Phoei Thian Loo terkesiap. "Cepat sungguh
gerakannya !" pikirnya.
"Kiam-hoat apa itu? Jika
ia menggunakan pedang panjang, jiwaku mungkin sudah melayang"
Dilain pihak, sesudah
menyerang tiga kali beruntun, Ho Ciok Too melompat kesamping dan berdiri tegak.
Ia hanya mengenggos dan berkelit, waktu Phoe Tnian Loo balas menyerang. Tiba2
selagi dihujani serangan, sekali lagi ia mengirim tiga tikaman berantai,
sehingga silat lawan jadi kalang kabut. Dilain saat, seperti tadi, ia meloncat
lagi kesamping dan berhenti menyerang. Dipermainkan begitu rupa. Phoei Thian
Lpo meluap darahnya. Sambil membentak keras ia menyerang seraya memutar
pedangnya yang lantas saja me nyambar2 bagaikan kilat. Badannya yang kurus
kecil se-akan2 dikurung sinar pedang yang berkelebat seperti titiran.
Semakin lama pertempuran
dilakukan semakin cepat, sehingga gerakan2 kedua lawan itu sukar dapat dilihat
tegas. Se-konyong2 terdengar bentakan Ho Ciok Too.
"Awas !" Hampir
berbareng dengan bentakan itu, sarung pedang yang dicekal dalam tangan kirinya,
menyambar. "Trang !", sarung itu masuk diujung pedang lawan dan
pedang buntung meluncur ketenggorokan Phoei Thian Loo.
Walaupun lihay, simuka merah
tak bisa menangkis lagi, sebab pedangnya tak bisa bergerak. Tapi sebagai orang
yang kepandaian tinggi, dalam bahaya ia tak jadi bingung. Buru2 ia melepaskan
pedangnya dan sambil melenggakkan kepala, ia membuang diri dan bergulingan
ditanah.
Sebelum Phoei Thian Loo
melompat bangun tiba2 berkelebat satu bayangan dan tangan Phoei Thian Keng
sudah mencekal gagang pedang yang barusan dilepaskan oleh Soetee nya. Dengan
sekali membetot, ia sudah mencabut pedang itu dari sarung pedang buntung yang
dipegang Ho Ciok Too.
"Sungguh indah gerakan
itu!" puji Ho Ciok Too dan Kwee Siang hampir berbaring.
Ternyata, sikakek yang mukanya
seperti orang berpenyakitan dan tidak pernah mengeluarkan sepatah kata,
memiliki kepandaian yang paling tinggi diantara ketiga orang2 itu.
"Aku sungguh merasa
sangat takluk akan kepandaian tuan." kata Ho Ciok Too sambil membungkuk.
Ia berpaling pada Kwee Siang dan berkata pula "Kwee Kouwnio. sesudah
mendengar lagumu pada beberapa hari yang lalu, aku telah menggubah sebuah lagu
baru yang aku ingin mempersembahkan kepadamu untuk dinilai."
"Lagu apa ?" tanya
sinona.
Tanpa menghiraukan tiga otang
tua itu, ia lantas saja bersila diatas tanah, meletakkan khimnya dipangkuan dan
lalu menyetel tali2 nya.
Melihat begitu, Phoa Thian
Keng lalu mendekati dan berkata. "Tuan sudah merobohkan kedua Soeteeku dan
sekaranglah aku yang ingin meminta pengajaranmu."
Ho Ciok Too menggelengkan
kepalanya beberapa kali. "Tidak, sudah cukup," katanya.
"Pertandingan silat tidak menimbulkan banyak kegembiraan. Sekarang aku
ingin memetik khim untuk diperdengaran kepada Kwee Kouwnio. Laguku adalah
sebuah lagu baru. Jika suka, kalian boleh duduk mendengari. Kalau tidak, kalian
merdeka untuk berlalu."
Sehabis berkata begitu, jari2 nya mulai memetik tetabuhan itu.
Sesudah mendengari beberapa
saat, Kwee Siang jadi kaget bercampur girang. Semenjak belajar memetik khim,
belum pernah ia mendengar lagu yang begitu luar biasa. Luar biasa, karena lagu
itu merupakan kombinasi dari lagu Ko-phoa yang pernah diperdengarkan olehnya
dan lagu Kian kee (nama semacam rumput). Kedua lagu itu yang sebenarnya sangat
berbedaan telah digubah begitu rupa sehingga merupakan sebuah lagu baru yang
sangat merdu dan harmonis, Syair lagu ini antara lain berbunyi.
Siorang pertapaan.
Berkelana dipegunungan
Rumput,Kian kee hijau2.
Embun berubah menjadi salju.
Dan sidia.
Berada disatu sudut dunia
Mendengar sampai disitu, hati
sinona berdebaran. "Siapa si dia ?" tanyanya dihati. "Apa
dimaksudkan aua ? Mengapa suara khim itu sedemikian merdu dan mengharukan
hati?" Mengingat begitu, mukanya lantas saja bersemu dadu. Ia merasa kagum
bukan main, sebab dalam kombinasi itu, yang telah merupakan sebuah lagu Kian
kee masih bisa mempertahankan kepribadiannya sendiri.
Phoa Thian Keng dan kedua
Soeteenya, yang tidak mengerti ilmu musik, jadi mendongkol bukan main.
Disamping cara2 Ho Ciok Too yang terus memetik tali2 khim tanpa memperdulikan
mereka, dianggapnya sebagai suatu hinaan.
Sesudah mendengari beberapa
saat, Phoa Thian Kheng tidak dapat menahan sabar lagi. Ia mendekati dan sambil
menotok pundak kiri Ho Ciok To dengan ujung pedang, ia membentak. "Bangun
kau ! Mari kita jajal kepandaian."
Ho Ciok Too yang sedang
memusatkan seluruh semangat kepada tetabuhannya, seolah olah tidak mendengar
tantangan itu. Ia seperti juga sedang berkelana disatu pegunungan yang amat
indah dan dari jauh ia melihat seorang gadis jelita yang tengah berdiri diatas
sebuah pulau kecil yang dikurung air...
Tiba2 ia merasa pundak kirinya
sakit dan ia tersadar. Ia dongak dan melihat Phoa Thian Kheng berdiri
didekatnya sambil mencekal pedang terhunus yang barusan telah digunakan untuk
menotol pundaknya. Ia mengerti, bahwa jika tidak melawan, mungkin sekali ia
akan terluka secara konyol. Hanya sungguh sayang, lagunya belum selesai.
Sebagai seorang seniman tulen, ia tak rela menghentikan lagunya ditengah jalan.
Maka itu, tangan kirinya
segera mengulurkan pedang buntung yang lalu digunakan untuk menangkis senjata
Phoa Thian Kheng, sedang tangan kanannya tetap memetik tali2 khim.
Dengan kedua mata tetap
memperhatikan tetabuhannya, Ho Ciok Too menangkis setiap serangan lawan. Phoa
Thian Kheng jadi semakin gusar dan menyerang tambah hebat. Tapi kemanapun juga
pedangnya menyambar, Ho Ciok Toa selalu menangkis.
Kwee Siang yang sedang
kesengsem juga tidak memperdulikan serangan itu. Akan tetapi ia mendongkol,
sebab suara bentrokan senjata telah merusak irama. Ia membentak. "Hai !
Apa kau tuli akan merdunya lagu ini. Jangan merusak ! Cobalah kau menyerang
menurut tempo tepukan tanganku"
Tapi tentu saja Phoa Thian
Kheng tak meladeni. Sambil membentak keras, dengan gusar ia mengobah kiam
hoatnya dan menyerang bagaikan hujan angin sehingga suara bentrok an senjata
jadi semakin gencar dan irama khim jadi semakin dikacaukan.
Ho Ciok Too juga mendongkol
dan seraya menambah Lweekang, ia menangkis satu tikaman. "Trang !"
pedang Phoa Thian Keng patah dua. Hampir berbareng, tali kelima dari Cithian
khim ( khim yang bertali tujuh ) juga putus.
Paras muka Phoa Thian Keng
jadi pucat bagaikan mayat. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia meloncat keluar
dari pendopo batu dan kemudian, bersama kedua Soeteenya, dia melompat naik
kepunggung tunggangan mereka yang segera dikaburkan keatas gunung.
Kwee Siang heran. "E
eh!" katanya. "Mengapa mereka lari ke arah kuil ?" Ia nengok dan
melihat Ho Ciok Too sedang memegang tali Khim yang putus itu dengan paras duka.
"Mengapa dia begitu jengkel ?" tanyanya di dalam hati.
""Berapakah harganya tali khim?
Ho Ciok Too menghela napas dan
berkata dengan suara perlahan: "Tujuh tahun aku barlatih, tapi hatiku
tetap belum bisa tenang. Tangan kiriku berhasil mematahkan senjata, tapi tangan
kanan memutuskan tali khim."
Sekarang si nona baru
mengerti, bahwa ia berduka karena merasa kepandaiannya belum sempurna. Ia
tertawa seraya barkata: "Dengan tangan kiri melawan musuh dan tangan kanan
memetik khim, kau sebenarnya menggunakan ilmu Hoen sin Jie yong (ilmu memecah
pikiran). Dalam dunia ini, hanya tiga orang yang mahir dalam ilmu itu. Bahwa
kau belum mencapai taraf yang tinggi, tak usah dibuat jengkel!"
"Siapa tiga orang
itu?" tanya Ho Ciok Too.
"Yang pertama adalah Loo
boan thiong Cioe Pek Thiong," jawabnya. "Yang kedua ayanku sendiri,
sedang yang ketiga Yo Hoe jin, Siauw Liong Lie. Selain tiga orang itu, malahan
kakekku, ibuku atau SintiauwTayhiap Yo Ko tiada yang mampu memiliki ilmu yang
luar biasa itu."
"Bolehkah kau
memperkenalkan orang2 berilmu itu kepadaku ?" tanya Ho Ciok Too.
"Kalau kau mau bertemu
dengan Thia thia (ayah) mudah sekali," jawabnya. "Tapi dua orang
lainnya sangat sukar dicari, karena mereka tak punya tempat kediaman yang
tentu"
Ho Ciok Too berdiri bengong,
seperti juga ia masih merasa sangat menyesal karena putus nya tali khim itu. Si
nona tertawa seraya berkata dengan suara menghibur."Dengan sekali gebrak.
kau sudah berhasil merobohkan Koen loen Sam-seng dan hasil itu boleh dibuat
bangga. Perla apa kau berduka karena hal yang remeh itu?"
Ho Ciok Too terkesiap.
"Koen-loen Samseng?" ia menegas, "Apa kau kata? Bagaimana kau
tahu?"
"Bukankah ketiga orang
itu dikenal sebagai Koen-loen Sam sang?" tanyanya. "Kepandaian mereka
mamang cukup tinggi, tapi jika mau coba2 membentur Siauw lim sie, kurasa mereka
agak tahu diri . . . " Melihat paras muka Ho Ciok Too mengunjuk perasaan
heran yang semakin besar, si nona lalu menaya. "Mengapa kau kelihatannya
heran?"
"Koen loan Sam seng . . .
Koen loan Sam seng Ho Ciok Too . . . itulah aku sendiri!" katanya dengan
suara perlahan.
Sekarang giliran Kwee Siang
yang terheran heran. "Kau... kau Koen loen Sam seng?" tanyanya.
" Mana yang dua lagi?
"Koen loen Sam seng hanya
satu orang," jawabnya, "Di See ek aku telah mendapat nama walaupun
bukan nama besar. Kawan2 disitu menganggap, bahwa aku memilikikepandaian tinggi
dalam ilmu main khim, ilma pedang dan ilmu main catur, sehingga oleh karena
nya, kata mereka, aku boleh dinamakan sebagai Khim seng dan Kiam seng dan Kie
sang (Nabi khim, Nabi pedang dan nabi kie. Kie berarti Tio kie atau catur).
Lantaran aku suka sekali berdiam digunung Koen loen san, maka mereka memberi
julukan -Koen loan Sam seng- kepadaku. Tapi aku selalu merasa malu dengan
istilah Seng itu. Mana bisa manusia seperti aku menamakan diri sebagai seorang
nabi ? Biarpun gelaran itu diberikan oleh orang lain, tak boleh aku menerimanya
dengan begitu saja. Maka itulah, aku segera mengubah namaku, Aku menggunakan
nama Ho Ciok Too, yang jika disambung jadi -Koen loan Sam seng Ho Ciok Too-
(Koen loen Sam seng tidak cukup berharga untuk dibicarakan). Dengan demi kian
orang tidak bisa mengatakan, bahwa aku manusia sombong."
Si nona menepuk2 tangan dan
tertawa geli, "Oh, begitu?" katanya: "Mati hidup aku menduga,
bahwa Koen loen Sam seng terdiri dari tiga orang. Tapi siapakah ketiga orang
tua itu ?"
"Mereka adalah orang2
Siauw lim pay." Kwee Siang terkejut. "Siauw lim pay ?" ia
menegas. "Hm ! . . . . Ilmu silat mereka kurang. Yang lain cukup tinggi
... benar! Ilmu pedang sikakek muka merah memang Tat mo Kiam hoat. Tak salah!
Si muka penyakitan paling belakang menyerang dengan ilmu Wie to Hok mo kiam
(ilmu pedang telukan iblis), Tadi aku tidak bisa melihatinya karena dalam ilmu
pedang itu terdapat banyak sekali perubahan. Tapi. . mengapa mereka mengaku
baru datang dari See-ek ?"
"Ada sebabnya,"
jawab Ho Ciok Too, "Pada musim semi tahun lalu, aku main khim di puncak
Keng sin hong gunung Koen loen san. Tiba-tiba aku mendengar suara pertempuran
di luar gubuk. Aku segera keluar dan melihat dua orang yang masing-masing
terluka berat sedang berkelahi mati-matian, Aku berteriak supaya berhenti, tapi
dia tak meladeni. Karena merasa tak tega, aku segera memisahkan mereka. Begitu
dipisahkan, salah seorang terbalik matanya dan menarik napasnya yang
penghabisan. Yang satu lagi belum mati dan dulu aka membawanya kedalam gubukku
dan coba menolong dengan memberikan pel Siauw yang tan kepadanya. Tapi sebelah
lukanya terlalu berat, obatku tidak berhasil. Sebelum meninggal, ia
memperkenalkan diri sebagai In Kek See.."
"Ah!" seru sinona,
"Orang yang satunya lagi mestiaya Siauw Siang Coe. Bukankah orang yang
binasa lebih pula bertubuh jangkung kurus dan bermuka seperti mayat ?"
"Benar," jawabnya.
"Bagaimana kau tahu?". Kata sinona sambil tertawa. "Aka tak
nyana pada akhirnya kedua mustika hidup itu mampus dengan saling bunuh."
Ho Ciok Too menghela napas dan
berkata pula: " Sebelum mati, In Kek See mengatakan bahwa selama hidup, ia
telah berbuat banyak sekali kedosaan dan sekarang ia merasa sangat menyesal,
tapi sudah terlambat. Ia memberitahukan, bersama Siauw Siang Coe, ia telah
mencuri sejilit kitab suci dari Siauw lim sie. Sesudah memiliki kitab itu,
mereka saling curiga. Masing2 merasa kuatir, bahwa jika yang satu memahami
kitab itu terlebih dulu dan berhasil mempertinggi ilmu silatnya, dia segera
menurunkan tangan jahat untuk membinasakan yang lain guna memiliki sendiri
kitab suci itu. Demikianlah, masing2 saling mengawasi dua sungkan berpisahan.
Mereka makan disatu meja dan
tidur satu ranjang Sedikitpun hati mereka tak pernah tenang. Diwaktu makan,
masing-masing kuatir racun. Diwaktu tidur, masing-masing takut kalau-kalau yang
satu turunkan tangan jahat selagi pulas. Di samping itu, mereka juga kuatirkan
kejaran pendeta2 Siauw lim sie. Mereka kabur sampai di See-ek. Setibanya di
Keng sin hong, keduanya sudah lelah sekali. Mereka mengerti bahwa dengan hidup
begitu terus menerus, belum sepuluh hari, mereka tentu sudah binasa. Mereka
jadi nekat dan terus bertempur untuk mengakhiri keadaan yang gila itu. In Kek
See mengatakan, bahwva ilmu silat Siauw Siang Coe sebenarnya banyak lebih
tinggi dari padanya. Semula ia tak mengerti, mengapa dalam perkelahian, Siauw
Siang Coe hanya lebih unggul sedikit. Belakagan ia baru igat, bahwa kawan yang
berubah jadi musuh itu telah mendapat luka di gunung Hwa-san. Jika mereka tidak
saling curiga, mereka tentu tak akan mendaki Koen loen-san."
Mendengar penuturan itu, Kwee
Siang kelihatan berduka. Ia menghela napas berkata: "Hai! Karena sejilid
kitab, mereka bersama-sama mengorbankan jiwa. Berapa harganya kitab itu ?"
Ho Ciok Too mengangguk dan
kemudian melanjutkan perkataannya : "In Kek See bicara dengan napas
tersengal-sengal dan suara ter-putus2. Akhirnya ia meminta supaya aku suka
pergi kekuik Siauw-lim-sie dan menemui seorang pendeta yang bernama Kak wan. Ia
memberitahukan, bahwa kitab suci itu berada didalam minyak. Aku heran mengapa
didalam minyak? Selagi mau menayakan terlebih terang, ia sudah tak tahan lagi
dan pingsan. Ia pingsan untuk tidak tersadar pula. Sesudah ia mati, aku teras
memikiri arti perkataannya. Di dalam minyak ? Apa ia maksud kan kitab itu di
bungkus didalam kain minyak. Dengan teliti aku memeriksa jenazah mereka, tapi
aku tak bisa mendapatkan kitab itu. Sesudah menerima permintaan orang, aku
tidak bisa menyampingkan dengan begitu saja. Mengingat bahwa aku memang belum
pernah menginjak wilayah Tiong-goan, maka dengan menggunakan kesempatan itu,
aku segera mengambil keputusan untuk pergi kekuil Siauw lim sie sebagian guna
memenuhi pesanan orang dan sebagian lagi guna pesiar"
"Tapi mengapa kau sudah
mengirim surat tantangan ?" tanya Kwee Siang.
Ho Ciok Too bersenyum waktu
menjawab: "Asal mulanya adalah gara2 ketiga orang itu. Mereka bertiga
adalah murid2 Siauw lim sie yang tidak mencukur rambut. Menurut katanya orang2
Rimba persilatan di daerah Barat (See ek), mereka adalah orang orang dari
tingkatan Thian dan tingkatannya itu sama tingginya dengan Hong thio Siauw lim
sie Thian heng Siansoe. Menurut dugaan orang. Soecouw mereka dulu telah
kebentrokan dengan saudara2 seperguruannya dalam kuil Siauwlim sie dan sebagai
akibat bentrokan itu, ia pergi ke daerah Barat dan mendirikan sebuah cabang
Siauw lim pay. Hal ini bukan hal yang mengherankan. Ilmu silat Siauw lim sie
telah di bawah oleh Tatmo Couw soe dari Thian tiok (India) ke Tiong goan
(Tiongkok asli). Sekarang dari Tiong goan di angkat pula ke daerah Barat. Tak
mengherankan, bukan ?
"Mendengar julukanku
sebagai Koen loen Sam seng, mereka bertiga jadi penasaran. Mereka sesumbar
ingin menjajal kepandaianku. Mereka tidak menghiraukan gelaran Khim seng dan
Kie sang. Tapi gelaran Kiam seng (Nabi pedang) ? Ha ! Tak boleh dibiarkan
saja?"
"Secara kebetulan muncul
urusan In Kek See. Maka itu, aku segera mengambil keputusan untuk pergi kekuil
Siauwlimsie, sekalian menjajal2 kepandaian mereka. Sebelum tiba di Tiong goan,
aku sengaja menyingkirkan diri dari mereka. Tapi tak dinyana, mereka bisa
datang begitu cepat."
"Oh, begitu?" kata
Kwee Siang. Semua dugaan ternyata meleset semua. Sekarang ketiga orang itu
sudah tiba dikuil. Entah apa yang dikatakan mereka !"
"Dengan pendeta2 Siauw
lim-sie, aku tak punya ganjelan apapun juga," kata Ho Ciok Too. "Itu
sebabnya, untuk menunggu kedatangan tiga orang itu, aku menjanjikan sepuluh
hari. Sekarang penjajalan kepandaian sudah dilakukan, segala apa sudah jadi
beres. Mari kita naik keatas. Sesudah aku menyampaikan pesanan In Kek See, kita
boleh lantas turun lagi."
Si-nona mengerutkan alis.
"Pendeta2 Siauw lim-sie mempunyai semacam peraturan yang sangat keras,
yaitu, wanita dilarang masuk kedalam kuil," kata Kwee Siang.
"Fui ! Aturan apa
itu?" kata Ho Ciok Too. "Bagaimana kalau kita menerobos masuk ?"
Sebenarnya Kwee Siang adalah
seorang gadis pemberani yang suka cari urusan. Tapi karena merasa malu hati
terhadap Boe sek Sian soe, ia segera menggelengkan kepala seraya berkata:
"Jangan! Aku menunggu di luar kuil, kau masuk sendiri saja, supaya jangan
banyak urusan."
"Baiklah," kata Ho
Ciok Too. "Lagu yang tadi belum selesai. Begitu kembali, aku akan memetik
sekali lagi"
Per-lahan2 mereka mendaki
gunung, tapi sesudah tiba didepan pintu, mereka belum melihat bayangan satu
manusiapun.
"Sudahlah, aku juga tak
perlu masuk," katanya. "Aku akan panggil saja pendeta itu."
Sehabis berkata begitu, ia berteriak. "Ho Ciok Too datang berkunjung ke
Siauw limsie, ingin menyampaikan omongan kepada Kak wan Taysoe."
Hampir berbareng dengan
teriakannya, belasan lonceng besar dalam kuil berbunyi dengan serentak,
sehingga seluruh Siauw sit san se olah2 tergetar.
Mendadak pintu kuil terbuka
dan dari kiri kanan keluar dua basis pendeta yang mengenakan jubah warna abu2.
Kedua barisan itu masing terdiri dari lima puluh empat murid Lohan tong dan
jumlah mereka adalah sesuai dengan seratus delapan Lo han. sesudah itu keluar
delapan belas pendeta yang badannya dikerebungi jubah pertapan warna kuning
Mereka adalah murid2 Tat mo tong yang berusaha lebih tinggi daripada murid2 Lo
han tong. Sesaat kemudian dari dalam kuil berjalan keluar tujuh pendeta yang
sudah berusia lanjut. Mereka adalah Cit loo (Tujuh Tetua) dari Simsian tong
yang berkedudukan sangat tinggi. Beberapa diantaranya memiliki ilmu silat luar
biasa, tapi yang lain tidak mengenal ilmu silat dan ia duduk dalam Sim siantong
karena pengetahuannya yang sangat mendalam mengenai agama Buddha. Mereka
malahan sangat dihormati oleh Hong thio Siauw limsie sendiri.
Paling akhir keluarlah Hong
thio Thian beng Sansea, yang diampit olah kepala Tat ma tong Boe Shian Siansoe
dan kepala Lo han tong Boesek Siansoe. Phoa Thian Keng, Phoei Thian Loa dan Wie
Thian Bong mengikuti di sebelah belakang, bersama kurang lebih delapan puluh
murid2 Siauw lim sie, yang tidak jadi pendeta.
Itulah penyambutan yang hebat
luar biasa dan dapat dikatakan belum pernah, atau sedikitnya langka sekali,
diberikan kepada seorang tamu. Menurut kebiasaan pembesar negeri, biarpun
pangkatnya sangat tinggi, atau tokoh Rimba persilatan Paling banyak disambut
oleh Hongthio, Boesek dan Boesiang sebegitu jauh di ingat orang Cii Loo dari
Sim sian tong belum pernah keluar menyambut tamu.
Mengapa sekarang diadakan
upacara penyambutan yang begitu besar? Sebab yang terutama yalah karena Ho Ciok
Too tanpa diketahui oleh siapapun juga, sudah menaruh surat tantangan dalam
tangan patung Hang liong Lohan. Kepandaian yang luar biasa itu mengejutkan
hatinya para pemimpin Siauw lim sie. Selain itu, Phoa thian Keng dan kedua
Soeteenya yang baru tiba dari See ek, juga telah menceritakan lihaynya Koen
loan Sam seng, sehingga para pemimpin Siauw lim sie lebih berwaspada lagi.
Karena berpisahan sangat jauh,
Siauwlimpay cabang See ek sangat jarang berhubungan dengan cabang Tiong cioe
yaitu Siauw lim sie dan siauw sit san. Akan tetapi, para pendata tahu, bahwa
Soe siok couw mereka mereka yang telah pergi ke Barat memiliki kepandaian yang
sangat tinggi, sehingga murid marid atau cucu2 muridnya tentu juga bukan
sembarangan ahli silat. Maka itu, sesudah mendengar keterangan Phoa Thian Keng
bertiga, para pemimpin Siauw lim sie lantas saja mangambil tindakan2 yang
seperlunya. Disamping tindakan2 didalam kuil, pucuk pimpinan juga telah
mengeluarkan perintah, supaya murid Siauw lim sie, tak perduli pendeta atau
orang biasa yang bertempat tinggal dalam lingkungan lima ratus li harus segera
datang kekuii guna menunggu perintah2 selanjutnya.
Semua para pendeta itu
menganggap bahwa Koen loen Sam seng terdiri dari tiga orang Sesudah mendapat
keterangan Phoei Thian Keng, barulah mereka tahu bahwa Koen loan Sam seng hanya
seorang dan bahwa ia memperoleh gelaran itu sebab mahir dalam tiga macam ilmu,
yaitu ilmu main khim, ilmu pedang dan ilmu main catur. Mengenai ilmu main khim
dan main catur, para pendeta tidak menghiraukannya. Yang mereka harus ber-siap2
yalah untuk menghadapi ilmu pedang dari orang itu. Maka itulah, semenjak
mendapat tantangan, siang malam ahli-ahli pedang Siauw lim sie berlatih keras.
Sementara itu, karena merasa
sengketa dengan Koen loan Sam seng adalah gara-gara mereka, Phoa Thian Keng dan
kedua Soetee nya ingin sekali bisa membereskan pertikaian tersebut dengan
tangan mereka sendiri, Untuk memapaki dengan menunggang kuda, setiap hari ia
meronda disekitar gunung. Mereka kepingin sekali menjajal kepandaian lawan
diluar kuil dan sesudah itu barulah mereka ingin balik kekuil, supaya Koen loen
Sam seng bisa mengukur tenaga dengan para pendeta.
Dengan demikian mereka pikir
biarlah dilihat, apa cabang Tiong cioe atau cabang See ek dari Siauw lim pay
yang lebih unggul.
Tapi diluar dugaan, dalam
pertandingan di pendopo batu, dengan mudah mereka telah dirobohkan oleh Ho Ciok
Tao.
Begitu mendapat warta tentang
kekalahan Phoa Thian Keng dan 2 Soeteenya Thian beng Sian soe insaf, bahwa hari
itu adalah hari memutus utuh runtuhnya nama Siauw lim sie.
Biar bagaimanapun juga, gelar
"sumber pelajaran Lima silat dikolong langit" yang sudah
dipertahankan Siauw lim sie selama ribuan tahun, tak boleh hancur dalam
tangannya. Tapi dalam pada itu, ia agak keder, karena merasa bahwa
kepandaiannya, kepandaian Boe sek dan Boe siang, Tidak lebih unggul banyak
diatas kepandaian Phoa Thian Keng bertiga, itulah sebabnya mengapa dengan
terpaksa ia mengundang Cit long Sim sian tong untuk turut keluar menyambut,
guna mem beri bantuan jika perlu. Tapi sampai berapa tinggi kepandaian tujuh
tetua itu, ia dan Boe sek serta Boa siang juga tak tahu pasti. Apa jika ada
bahaya Cit loo bisa menolong muka siauw lim sie masih merupakan sebuah teka
teki.
Begitu berhadapan dengan Ho
Ciok Too dan Kwee Siang, Thian beng segera merangkap kedua tangannya seraya
berkata. "Apakan Kie soe (tuan) yang mahir dalam ilmu Khim Knim Kie? Loo
ceng (aku pendeta tua) tidak bisa menyambut dari jauh dan untuk itu, aku harap
Kie soe, suka memaafkan,"
Ho Ciok Too segera membalas
hormat dengar membungkuk. "Boanseng (orang yang tingkatannya rendah)
merasa tidak enak hati sudah mengacau dikuil yang angker ini dan Boan seng
sungguh tidak sanggup menerima penyambutan yang begini besar"
Mendengar jawaban itu, Thian
beng berkata dalam hatinya. Kata2nya cukup menyenangkan. Dilinat dari romannya,
ia baru berusia kira2 tiga puluh tahun. Apa benar ia mempunyai kepandaian
tinggi?" Memikir begitu, ia lantas saja berkata lagi: "Ho Kie toe
jangan terlalu sungkan. Marilah kita masuk untuk minum air teh dingin dan Lie
kie soe (nona) ini ..." ia tidak meneruskan perkataannya dan pada paras
mukanya terlihat perasaan sangsi.
Melihat pendeta itu mau menolak
Kwee Siang, Ho Ciok Loo dongak dan tertawa tawa 2.
"Loo hong thio,"
Katanya, "Boan-seng datang kemari karena menerima permintaan seseorang
untuk menyampaikan sepatah kata. Sesudah menyampaikan ita, Boan seng akan
segera berlalu. Akan tetapi, peraturan dalam Kuil Loa bong thio yang memandang
tinggi kepada pria data memandang rendah kepada wanita, adalah peraturan yang
tidak dimengerti olehku. Harus diketahui, bahwa ilmu Sang-Buddha tiada batasnya
dan semua makhluk Tuhan adalah sama rata. Maka itu, menurut Boan seng,
peraturan itu agak bertentangan dengan pelajaran Sang Buddha."
Thian beng Sian soe adalah
seorang pendeta yang berilamu tinggi dan berpandangan luas. Ia segera dapat
membedakan, apa yang benar dan apa yang salah.
Mendengar perkataan Ho Ciok
Too, ia segera bersenyum dan berkata. "Trima kasih atas petunjuk Kie soe.
Peraturan itu memang peraturan yang agak sempit. Kalau begitu, akupun
mengundang nona untuk turut minum teh."
Kwee Sang melirik kawannya
sambil bersenyum. sedang didalam hati ia memuji ketajaman lidah pemuda itu.
Thian beng segera minggir
kesamping dan mengangkat tangannya sebagai undangan supaya kedua tetamu itu
masuk. Tapi sebelum Ho Ciok Too bertindak dari samping kiri Thian beng tiba2
maju seorang pendeta tua yang bertubuh krus ."Dengan bebeapa perkataan
saja, Kie soe sudah meniadakan peraturan Siauw lim sie yang sudah berjalaa
ribuan tahun, katanya."
"Peraturan itu bukan tak
boleh dirubah. Tapi kita harus menyelidiki. apa orang yang menyebabkan berubah
peraturan2 itu, benar2 seorang yang berkepandaian tinggi. Maka itu aku
mengharap Ho Kie soe suka memberi sedetik pelajaran, supaya para pendeta bisa
membuka mata dan tidak merasa penasaranlagi karena mengetahui, bahwa orang yang
merobah peraturan kami, ia orang yang sungguh sungguh berkepandaian
tinggi," Orang bicara itu adalah Boe siang Sian soe, kepala Tatmo tong. Ia
bicara dengan suara nyaring luar biasa, sehingga telinga yang mendengarnya
merasa sakit sebagai akibat dari tekanan tenaga Lweekang yang sangat dahsyat.
Mendengar perkataan Boe siang,
paras muka Phoa Thian Keng dan kedua Soeteenya lantas saja berubah. Mereka
merasa diejek, bahwa mereka telah dijatuhkan oleh seorang yang belum tentu
memiliki kepandaian tinggi.
Sementara itu, waktu melirik
Bu sek Sia soe, Kwee Siang melihat sorot bingung dan jengkel pada muka pendeta
itu. "Toa hweeshio adalah seorang baik dan juga sahabat Toakoko,"
katanya didalam hati. Jika Hiok Too dan pendeta Siau lim sie sampai bertempur,
tak perduli siapa yang kalah dan siapa menang hatiku merasa tak enak."
Memikir begitu, lantas saja ia berkata dengan suara nyaring.
"Ho Toako, aku sebenarnya
tidak perlu masuk kekuil. Beritahukanlah sekarang omongan yang ingin
disampaikan olehmu dan sesudah itu, kita boleh segera berlalu"
Sehabis berkata begitu, sambil
menunjuk Boe sek, ia melan jutkan perkataannya. "ltulah Boe sek Sian soe,
sahabat baikku. Kedua belah pihak sebaiknya jangan merusak keakuran."
Ho Ciok Too kelihatan
terkejut. "Oh, begitu ?" katanya sambil berpaling kepada Thian beng
dan berkata pula : "Loo hong thio, yang mana Kak wan Siansoe ? Aku
menerima permintaan seseorang untuk menyampaikan perkataan kapadanya."
"Kak wan Sian-soe ?
menegas Thian beng dengan suara perlahan.
Dalam kuil Siauw lim-sie, Kak
wan berkedudukan rendah dan selama beberapa puluh tahun, ia menyembuyikan diri
dalam perpustakaan Cong keng-kok. Ia tidak banyak dikenal dari sebegitu jauh,
belum pernah orang menambahkan kata2 "Siansoe" dibelakang nama
gelarnya. Maka itu, untuk sementara, Thian beng tak ingat siapa adanya. "Kak
wan Siansoe". Sesudah bengong beberapa saat, barulah ia berkata: "A !
Ho Kie soe tentu maksudkan pendeta yang jaga kitab Lang keh keng.Apakah Kie soe
mencari dia dalam hubungan soal kitab itu ?"
"Entahlah," jawabnya
sambil menggelengkan kepala.
Thian bang segera berpaling
kepada seorang murid dan berkata: "Coba panggil Kak wan." Murid itu
lantas saja berlalu untuk mejalankan tugasnya.
Boe siang Siansoe yang rupanya
sangat bernapsu, sudah tak bisa menahan sabar lagi. Begitu mendapat kesempatan,
ia segera berkata pula: "Ho Kie sie, kau dijuluki sebagai Khim kiam-kie
Sam-seng dan kata Seng itu tentu tak dapat dimiliki oleh sembarang orang. Tak
usah disangsikan lagi, Kie soe mempunyai kepandaian yang baik, tinggi dalam
tiga rupa ilmu itu, 10 hari yang lalu, Kie soe telah menulis surat dan berjanji
untuk memperlihatkan kepandaianmu. Tapi mengapa sesudah datang kemari, kau jadi
begitu pelit dan sungkan memberi pelajaran kepada kami ?"
Ho Ciok Too menggelengkan
kepala. "Nona ini sudah mengatakan, bahwa kedua belah pihak tidak boleh
merusak keakuran," katanya.
Boe siang jadi gusar sekali.
Ia terutama gusar karena, Ho Ciok Too sudah menantang lebih dulu dan tantangan
itu dianggap sebagai kekurang-ajaran terhadap Siauw-lim sie. Disamping itu, ia
juga gusar sebab Phoa Thian Keng dan kedua Soetee telah dirobohkan hingga
diluaran orang bisa menyiarkan cerita, bahwa murid Siauw-lim pay dijatuhkan
oleh Kiam seng. Tapi iapun yakin, bahwa sebagian besar murid2 Siauw-lim sie
bukan tandingan Ho Ciok Too dan oleh karenanya, ia segera mengambil keputusan
untuk turun tangan sendiri. Ia maju dua tindak seraya berkata: "Menjajal
ilmu tak selamanya merusak keakuran. Mengapa Ho Kie soe menolak begitu keras
?" Ia berpaling kepada muridnya dan berkata pula. "Ambil pedang
!"
Didalam kuil sudah disediakan
macam2 senjata, tapi pada waktu keluar menyambut tamu para pendeta itu tentu
saja merasa tak pantas untuk membawa senjata.
Dengan cepat murid itu sudah
keluar kembali dengan membawa tujuh delapan batang pedang yang lalu diangsurkan
kepada Ho Ciok Too. "Apa Kie soe membaWa pedang sendiri atau ingin
meminjam senjata kami?" tanyanya.
Sebaiknya dari menjemput
senjata yang diangsurKan Ho Ciok Too membungkuk dan mengambil sebutir batu
kecil. Tiba2 dengan mengunakan batu itu, ia membuat sembilan belas garis
melintang dan sembilan belas garis membujur diatas batu hijau yang menutupi
jalanan didepan kuil, Setiap garis itu sangat lurus, seperti juga di babat
dengan menggunakan penggaris. Tapi apa yang mengejutkan yalah setiap goresan
masuk dibatu kira2 satu dim dalamnya. Batu hijau itu adalah batu gunung Siauw
sie san yang keras bagaikan besi. Ratusan tahun orang mundar mandir di atasnya,
tanpa rusak sedikit juga.
Sesudah membuat garis2 itu
yang merupakan papan catur, sambil tertawa Ho Ciok Too berkata: "Mengadu
pedang agak terlalu ganas, sedang suara khim pun sukar diadu. Maka itu, jika
Toahweeshio merasa gembira, mari kita main catur."
Apa yang diperlihatkan Ho Ciok
Too sangat mengejutkan hatinya Thian beng, Boesek, Boe siang dan Cit loo dari
Sim sian tong. Thian beng Siansoe yakin, bahwa Lweekang yang setinggi itu tidak
dipunyai oleh siapa pun juga dalam kuil Siauw limsie. Ia jadi bingung bukan
main, tapi baru saja ia memikir untuk mengaku kalah, tiba-tiba terdengar suara
berkerincin dan rantai besi dan di lain saat, Kak wan muncul sambil memikul dua
tahang besi, sedang di belakangnya mengikuti seorang pemuda yang bertubuh
jangkung. Begitu tiba dihadapan Thian beng, ia segera memberi hormat seraya
menanya. "Apakah Loo hong thio memanggil aku ?"
"Ho Kie soe ingin bertemu
dan bicara denganmu." jawabnya.
Ia memutar badan dan merasa
heran, sebab tak tahu siapa adanya orang itu. "Siauw ceng adalah Kak
wan," ia memperkenalkan diri. "Omongan apa yang hendak disampaikan
oleh Kie soe ?"
Sesudah membuat papan catur,
kegembira Ho Ciok Too terbangun. "Omongan itu aku akan beritahukan
sebentar." katanya. "Toahweesio manakah yang ingin melayani aku main
catur ?" Ho Ciok Too adalah seorang yang keranjingan main khim, pedang dan
tiokie. Kalau gilanya datang, ia melupakan apapun juga.
"Kepandaian Kie soe dalam
membuat papan catur dengan menggores batu, belum pernah di saksikan oleh
loolap," kata Thianbeng. "Samua pendeta dalam kuil kami tak dapat
menandinginya."
Mendengar perkataan Thian beng
dan melihat papan catur itu, barulah Kak wan tahu, bahwa Ho Ciok Too datang di
Siauw Iim sie untuk memamerkan kepandaiannya.
Tanpa mengeluarkan sepatah
kata, ia menaruh kedua tahang besi di pundaknya sambil menyedot napas untuk
mangumpulkan semua tenaga dalamnya di kedua lutut.
Sesudah itu, setindak demi
setindak, ia berjalan digarisan pinggir dari papan catur itu.
Semua orang terkesiap dan
mengawasi tindakan Kak wan dengan mata membalalak. Mengapa ? Ternyata, di
tempat yang dilewati rantai besi yang melibat di kakinya, terdapat
goresan-goresan yang lebarnya kira-kira lima dim dan goresan-goresan itu telah
merusak garis yang dibuat Ho Ciok too! Sesaat kemudian, tanpa merasa semua
pendeta bersorak sorai.
Thian beng, Boe Sek, Boe siang
dan lain2 pemimpin jadi kaget campur girang. Mereka tak pernah mimpi, bahwa
pendeta tua yang tolol2an itu, memiliki lweekang tinggi. Mereka sudah berkumpul
didalam satu kuil puluhan tahun lamanya, tapi tak seorangpun yang tahu
kelihayan Kak Wan
Sebenarnya, biarpun seseorang
mempunyai tenaga dalam yang hebat, ia tak mungkin membuat goresan seperti yang
dibuat Kakwan diatas batu hijau yang amat keras itu. Hanyalah karena pendeta
itu memikul dua tahang besi berisi air yang beratnya kurang lebih enam ratus
kati sehingga tenaga yang sangat besar itu dapat disalurkan dari pundak ke
rantai besi, maka selagi terseret, rantai besi itu seolah olah semacam cangkul
yang mencangkul garis2 papan catur. Tapi meskipun demikian, walaupun Kak wan
meminjam tenaga apa yang dipertunjuknya sudah jarang sekali terlihat dalam
Rimba Persilatan.
"Toahweeshio!"
teriak Ho Ciok Too. "Lwee kangmu hebat sekali, aku tak bisa
menandingi"
Kak wan menghentikan
tindakannya dan mengawasi tamu sambil bersenyum.
"Toahweeshio," kata
pula He Ciok Too. "Kita tidak bisa main catur lagi dan aku mengaku kalah.
Sekarang aku ingin minta petunjukmu dalam ilmu pedang."
Hampir berbareng dengan
perkataannya, ia menghunus sebatang pedang panjang dari bawah Cit hian khim. Ia
segera bergerak untuk menyerang dan gerakannya yang pertama sangat luar biasa,
yaitu ujung pedang menuking dadanya sendiri, sedang gagang pedang menuding
lawan. Semua orang ter-heran2 sebab didalam dunia belum pernah ada Khiam boat
yang begitu aneh.
"Loo ceng hanya bisa
membaca kitab, bersemedhi, menjemur buku dan menyapu lantai," kata Kak
wan. "Mengenai ilmu silat sedikitpun aku tidak mengerti,"
Ho Ciok Too tentu saja mau
percaya. Seraya tertawa dingin ia lompat menerjang. Tiba tiba ujung pedang itu
berbalik dan meluncur ke dada si pendeta. Ternyata, dalam gerakannya yang
pertama, yaitu? waktu ujung pedang manuding dadanya sehdiri, ia sedang
mengumpulkan tenaga dalam dan kemudian, secara mendadak, membalikkan senjatanya
dengan Lweekang itu.
Jika Ho Ciok Too menghadapi
ahli silat biasa, serangan itu pasti akan berhasil. Akan tetapi Lweekang Kak
wan sudah mencapai tarap dimana setiap gerakannya selalu terjadi secara wajar,
menurut jalan pikirannya, Maka itu, biarpun pedang menyambar bagaikan kilat,
jalan pikiran si pendeta lebih cepat dari sambaran pedang. Pada detik yang
tepat, sebuah tahang melompat naik dan "tang" pedang menikam tahang
dan lantas saja melengkung seperti bulan sisir, Buru2 Ho Ciok Too menarik
pulang senjatanya, sedang tangan kirinya mengebas muka lawan. Sekali lagi
tahang yang lain naik dan tangannya terpental ke samping
Jilid 3
Ia kaget tercampur penasaran.
Ia merasa pasti, bahwa kedua tahang besi yang sangat berat itu, tak akan bisa
menangkis ceceran pedang jika ia menyerang dengan menggunakan kecepatan.
Memikir begitu, ia lantas saja berseru: "Toahweeshio, kali ini kau
hati2" Pedangnya menggetar dan seperti kilat, ia mengirim enam belas
tikaman berantai.
"Tang-tang-tang ! - -
-" enambelas kali Cap-lak chioe Soen loei kiam (Pedang geledek enambelas
kali menikam) menikam di tahang besi!
Melihat gerak gerik Kak-wan
yang sangat repot dan bingung waktu diserang, semua orang percaya, bahwa memang
sebenarnya ia tidak mengerti ilmu silat.
Pada waktu Ho Ciok Too baru
mulai menyerang, semua orang sangat berkuatir. "Ho Kie-sie, jangan berlaku
kejam !" teriak Boe sek dan Boe siang hampir berbareng,
"Ho Toako, jangan
turuskan tangan jahat!" seru Kwee Siang.
Tapi heran sungguh, dalam
caranya yang sangat luar biasa dan tidak sesuai dengan ilmu silat, Kak-wan
mengangkat kedua tahang besi itu pergi datang dan semua tikaraan itu mampir
ditahang air.
Sedang semua orang bisa
melihat bahwa si-pendeta sebenaraya tak mengerti ilmu silat, Ho Ciok Tao
seadiri, yang serangan2nya digagalkan hingga ia jadi sangat mendongkol,
sedikitpun tidak merasa, bahwa lawannya menangkis tikaman2nya dengan gerakan
wajar yang telah dapat berkat latihan Lweekang yang sangat tinggi. Maka itu,
sesudah Cap-lak chioe Soen-loei-kiam, gagal, sambil membentak keras, ia menikam
kempungan Kak-wan,
"Celaka !"seru
sipendeta yang datam repotnya merangkap kedua tangan yang mencekal tahang.
Berbareng dengan terdengarnya suara nyaring akibat beradunya besi, pedang
Ho-Ciok Too tergencet diantara kedua tahang itu. Buru2 ia mengerahkan tenaga
dalam dan coba membetot senjatanya, tapi sedikitpun tidak bergeming. Cepat
bagaikan kilat, tangan kirinya menghantam muka lawan.
Semua orang terkesiap. Kak-wan
yang sedang mencekal tahang besi itu, tak bisa menangkis lagi. Pada detik yang
sangat berbahaya mendadak Thio Koen Po melompat dan menghantam pundak Ho Ciok Too
dengan pukulan Soe thong Pat ta yang didapat dari Yo Ko. Pada saat yang
bersamaan, Lweekang Kak wan sudah mengalir masuk kedalam tahang dan tiba-tiba
saja sepasang "arus" air menyembur dari kedua tahang itu dan
menyambar muka Ho Ciok Too, sehingga pukulannya kebentrok dengan air yang
menyemprot dan ke dua dua nya basah kuyup.
Oleh karena tangan kanannya
mencekal pedang yang di gencet tahang air dan tangan kiri menyambut sambaran
air, maka ia tidak bisa menangkis lagi pukulan Thio Koen Po. "Bak !",
pukulan itu mengenakan tepat di pundaknya. Sekali lagi semua orang terkejut,
sebab Thio Koen Po yaug masih seperti bocah, ternyata memiliki Lweekang yang
cukup tinggi, sehingga badan Ho Ciok Too bergoyang2 dan terhuyung kebelakang
beberapa tindak.
"O mi-to-hoed !"
teriak Kak wan. "Ho Kie soe, ampuni Loo ceng ! Tikaman-tikaman mu
menenakuti sangat." Sehabis berkata begitu, ia menyusut air dan keringat
yang membasahi mukanya dan lalu minggir kesamping.
Sekarang Ho Ciok Too naik
darah nya. "Aku dengar dalam kuil Siauw lim sie berkumpul banyak sekali
orang pandai dan ternyata memang benar begitu," katanya dengan suara
mendongkol. "Malahan seorang bocah cilik memiliki kepandaian yang sangat
tinggi. Bocah ! Mari kita main2. Jika kau bisa melayani aku dalam sepuluh jurus,
Ho Ciok Too tidak akan datang lagi ke wilayah Tiong goan untuk se
lama-lamanya."
Boe sek, Boe siang dan yang
lain-lain tahu bahwa Thio Koen Po adalah kacung Cong keng-kok dan sebegitu jauh
belum pernah belajar silat. Entah bagaimana secara kebetulan, ia berhasil
memukul orang she Ho itu. Mereka yakin, bahwa jika bertempur sungguh sungguh,
dalam sejurus saja bocah itu bisa binasa dalam tangan lawannya.
"Ho Kie soe salah,"
kata Boo siang. "Kau bergelar Koein loen Samseng dan ilmu silatmu telah
menggetarkan seluruh jagat. Bagaimana kau boleh bertempur dengan satu kacung
tukang masak air dan menyapu lantai ? Jika kau tidak kau main-main sepuluh
jurus.
Ho Ciok Too menggelengkan
kepala. "Tak bisa," katanya. "Hinaan pukulan itu, bagaimana bisa
disudahi saja. Bocah! Sambutlah!" Hampir berbareng dengan bentakannya,
tangannya menyambar kedada Thio Koen Po. Jarak antara dia sangat dekat,
sehingga biarpun Boe sek dan Boe siang ingin menolong, sudah tidak keburu lagi.
Semua orang menduga, bocah itu akan segera terluka berat.
Diserang dengan pukulan hebat
itu, kedua kaki Thio Koen Po tidak bergerak. Ia hanya menggeser ujung kakinya
kekanan dan badan nya lantas saja turut berputar kekanan. Dalam gerakan itu, ia
sudah berhasil mengempos pukulan lawan. Hampir berbaring, dengan tinju kiri
melindungi pinggang, telapak tangan kanannya menyambar. Itulah pukulan Yoe co
an hoa chioe (Pukulan menembus bunga) salah satu pukulan pokok dari ilmu silat
Siauw lim pay.
Apa yang luar biasa, yalah,
waktu memukul tubuhnya kokoh teguh bagaikan gunung, sedang pukulannya dahsyat
seperti gelombang sungai Tiang kang. Semua orang kaget bukan main, karena
pukulan itu bukan pukulan seorang pemuda yang masih hijau, tapi pukulan seorang
tokoh kenamaan dari Rimba Persilatan. Sesudah pundaknya terpukul, Ho Ciok Too
tahu, bahwa tenaga dalam pemuda itu banyak lebih kuat dari pada Phoa Thian Keng
dan kedua saudara seperguruannya. Tapi ia yakin, bahwa dalam sepuluh jurus, ia
akan dapat merobohkannya. Melihat sambaran Yoe coan hoa chioe yang sangat hebat
itu, tanpa merasa ia memuji. "Bocah! Lihay benar pukulanmu!"
Jantung Boe siang berdebar2.
Ia melirik Boe sek dan berkata seraya bersenyum: "Boe sek Soetee, aku
memberi selamat, bahwa dengan diam-diam kau sudah mendapat murid yang begitu
berbakat !"
Boe sek menggelengkan kepala
dan berkata dengan suara perlahan. "Bukan ...."
Sementara itu, dengan beruntun
Thio Koen Po sudah mengirim empat serangan berantai yaitu Auw po lat kiong
(Menggeser kaki manarik busur), Tan hong tauw yang (Burung hong menghadap
matahari), Sioe teek kiat chiang (Di bawah tangan baju memotong tangan) dan Jie
long tan jan (Jie long memikul gunung). Setiap pukulan di sertai dengan
Lweekang yang sangat tinggi, sehingga semua pendeta jadi kagum bukan main.
Thian beng, Boe sek, Boe siang dan Cit loo dari Sim sian tong saling mengawasi
dengan hati berdebar debar. "Pukulan-pukulannya yang sangat bagus dan
cepat, masih dapat dimengerti," kata Boe siang. "Tapi bagaimana
dengan Lwee kangnya yang begitu hebat?"
Sesaat itu dengan paras muka ke
merah2-an Ho Ciok Too mengirim pukulan yang keenam. "Sedang seorang bocah
saja aku sudah tak mampu jatuhkan, bagaimana aku berani datang di perguruan
silat ditempatnya Siauw lim sie dan mengirim surat tantangan ." pikirnya.
"Bukankah perbuatanku itu hanya jadi bahan tertawaan orang2 gagah dikolong
langit?" sambil memikir begitu, ia memutar badan dan lalu menyerang dengan
pukulan Thian san soat piauw (Salju melayang2 digunung Thiansan), dalam sekejap
seluruh badan Thio Koen po sudah dikurang dengan pukulan2 yang menyambar2
bagaikan turunnya salju.
Kecuali Yo Ko yang pernah
memberi petunjuk kepadanya dipuncak Hwa san, Koen Po belum pernah menerima
pelajaran dari lain guru, Oleh karena itu, ia jadi kaget bukan main ketika
melihat serangan2 yang sehebat itu. Pada detik yang sangat berbahaya, dalam
bingungnya ia memutar pinggang kekiri, mengangkat kedua tangannya sampai
meleWati dagu dan telapakan tangan kiri ber hadapan dengan telapak tangan
kanan. Itulah pukulan Song coan chioe (pukulan sepasang lingkaran) dari Siauw
limpay, serupa pukulan yang teguh kokoh bagaikan gunung jika disertai dengan
tenaga Lweekang yang kuat dan dapat memunahkan segala rupa serangan. Maka
itulah semua serangan Ho Ciok Too, tak perduli dari mana datangnya, dapat
ditangkis dengan Song coan chioe.
Sampai disitu, kegirangan
pihak Siauw Lim sie tak dapat ditekan lagi. Dengan serentak murid2 Tat mo tong
bersorak sorai.
Sedang sorakan masih belum
mereda, sambil membentak keras, Ho Ciok Too meninju dada lawannya, pukulan itu
adalah pukulan biasa saja, tapi disertai dengan tenaga dalam yang sangat
dahsyat. Buru2 Koen Po menolak dengan kedua telapakan tangannya dalam pianhoa
citseng. "Buk!", telapakan tangan dan tinju beradu keras. Badau Ho
Ciok Too ber goyang2 sedang Thio Koen Po terhuyung ke belakang beberapa tindak.
"Huh!" demikian
terdengar suara Ho Ciok Too yang tanpa tenaga dalam mengubah gerakannya lalu
maju setindak dan sekali lagi mengirim tinju deugan sepenuh tenaga. Thio Koen
Po yaug ilmu silatnya saugat terbatas, kembali menangkis dengan Pian hoa cit
seng yaitu mendorong dengan keduu telapakan tangaunya. "Buk !", tubuh
Koen Po sempoyongan lima tindak kebelakaug, sedang badan Ho Ciok Too terhuyung
kedepan, "Tinggal satu pukulan lagi !" bentaknya dengau paras muka
pucat.
"Sambutlah dengan
seantero tenagamu!" ia maju dua tindak, memasang kuda2 dan mengirim
pukulan dengan gerakan perlahan.
Sesaat itu, ratusan pendeta
Siauw lim sie mengawasi sambil menahan napas. Semua orang yakin, bahwa dengan
pukulan itu, Ho Ciok Too mempertaruh nama besarnya dan bahwa ia tentu
menggunakan seantero tenaga Lwee kang yang dimilikinya.
Untuk ketiga kalinya, Koen Po
menyambut dengan Pian hoa cit seng. Sekali ini, beradunya tinju dan telapak
tangan tidak mengeluarkan suara apapun juga. Kedua lawan dengan berbareng
mengempos semangat mengarahkan seluruh Lweekang mereka.
Mengenai ilmu silat, Ho Ciok
Too lebih unggul ratusan kali lipat daripada Thio Koen Po tapi dalam tenaga
Lweekang, ia masih belum bisa mengatasi pemuda itu. Semua orang tak pernah
mimpi, bahwa secara kebetulan Koen Po memperoleh pelajaran dari Kioe yang Cin
ken keng dan memiliki tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Sama juga mereka bertahan
sambil memusat seantero tenaga dalam di tangan mereka. Se-konyong2, berbareng
dengan keluarnya suara "huh", Ho Ciok Too mundur setindak karena ia
merasa darahnya meluap ke atas, Se bisa2 ia masih mau coba mempertahankan diri,
tapi mendadak matanya gelap dan ia lantas memuntahkan darah dari mulutnya.
Walau tidak tahu apa artinya memuntahkan itu tak tabu, bahwa lawannya sudah
terluka berat Thio Kaen Po kaget bukan main. "Celaka !" teriaknya
sambil memburu untuk memapah lawan.
Ho Ciok Too mengebas tangannya
dan seraya tertawa getir, ia berkata. "Ho Ciok Too! Ho Ciok Too! Kau
benar2 orang edan!" berpaling kearah Thian beng Siansoe dan menyoja sampai
ketanah. "Ilmu silat Siauw lim-sie sudah kesohor ribuan tahun dan benar
saja nama itu bukan nama kosong," katanya. Hari ini aku bisa membuka kedua
mataku lebih lebar. Sehabis berkata begitu, ia memutar badan dan dengan sekali
menotol tanah dengan ujung kakinya, tubuhnya melesat beberapa tombak jauhnya.
Ia berhenti sebentar dan menengok kearah Kak-wan. "Kak-wan Taysoe,"
katanya. "Orang itu mengatakan, bahwa kitab suci berada didalam minyak. Ia
minta aku menyampaikan perkataannya kepadamu." Dilain saat dengan menotol
tanah beberapa kali dengan ujung kakinya, ia sudah berada diluar dari rentetan
pohon2 pek yang tumbuh disepanjang jalan. Semua pendeta merasa kagum bukan
main, karena sesudah terluka berat ia masih bisa bergerak begitu cepat.
Kepandaian dan keuletan itu sesungguhnya jarang ter dapat dalam Rimba
Persilatan.
Sesudah musuh berlaen, semua
pendeta segera mengawasi Thian beng untuk mendengar perintah lebih jauh. Tiba2
seorang pendeta tua yang bertubuh kurus dari Cit loo Sim sian tong berkata
dengan suara nyaring dan menyeram kan.
"Siapa yang sudah
turunkan ilmu silat kepada murid itu?"
Semua orang bergidik mendengar
suara itu yang menyerupai bunyinya seekor burung malam. Thian bong, Boe sek dan
Boe siang yang juga ingin mengajukan pertanyaan tersebut, dengan serentak
mengawasi Kak wan dan Thio Po. Tapi guru dan murid itu tidak lantas menjawab.
Mereka berdiri bengong dengan mulut ternganga.
"Kak wan memiliki
Lweekang yang sangat tiggi, tapi bisa dilihat nyata, bahwa ia belum pernah
belajar ilmu silat," kata Thian beng.
"Apa yang mengherankan
adalah ilmu silat Siauw lim dari anak itu. Siapakah yang sudah
mengajarkannya?"
Semua murid Tat mo tong dan Lo
han tong menunggu jawaban dengan hati berdebar2. Semua orang menganggap bahwa
bocah itu yang sudah merobohkan musuh sedemikian tangguh, pasti bakal mendapat
hadiah besar, sadang gurunya pun akan mendapat pujian tinggi.
Melihat Thio Koen Po tidak
mejawab pertanyaannya, alis sipendeta tua mendadak berdiri dan pada paras
mukanya terdapat sinar Pembunuhan. " Hei! Aku tanya kau. Siapa yang
mengajar Lohan koen kepadamu?" tanyanya pula dengan suara keras.
Thio Koen Po segera merogoh
saku dan mengeluarkan sepasang Tiat lo han (Lo han besi) yang diberikan kepadanya
oleh Kwee Siang.
"Teecoe (murid) belajar
dari kedua Tiat lo han ini," jawabnya. "Dengan se-benar2nya Tee coe
belum pernah mendapat pelajaran ilmu silat dari siapa juga pun."
Sipendeta tua maju setindak
dan berkata pula dengan suara perlahan. "Kau bicaralah se tulus2nya. Siapa
yang sudah turunkan ilmu silat kepadamu?" Walaupun diucapkan seperti
berbisik, suara itu yang disertai Lweekang yang tinggi, dapat nyata oleh semua
orang.
Thio Koen Po merasa sangat
kecewa, tapi karena tidak merasa bersalah, maka biarpun melihat paras muka
sipendeta tua yang menyeramkan, sedikitpun ia tidak merasa keder. "Tidak,
dalam kuil ini, belum pernah ada seorang pun yang mengajar ilmu silat kepada
Teecoe" katanya dengan suara nyaring. "Teecoe selalu berdiam di Keng
kok, menyapu lantai, masak air dan melayani Kak wan Soehoe. Beberapa pukulan Lo
han-koen itu telah dipelajari oleh Tee-coe sendiri dan jika ada gerak-gerik
yang kurang benar, Teecoe memohon Loo soehoe sudi memberi petunjuk.
Si pendeta tua mengeluarkan
suara di hidung dan kedua mata yaug ber-api2, ia menatap wajah Thio Koeh Po.
Lama sekali ia mengawasi muka pemuda itu tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Kak wan tahu, bahwa pendeta
Sim sian-tong itu mempunyai kedudukan sangat tinggi dalam Siauw lim-sie dan ia
adalah Soesiok (paman guru) dari Thian beng Siausoe. Melihat sikap situa
tehadap muridnya, ia merasa sungguh tidak mengerti. Tiba2 waktu kedua matanya
kebentrok dengan mata pendeta tua yang penuh dengan sorot kebencian, dalam
otaknya berkelebat suatu keingatan. Ia ingat bahwa duapuluh tahun lebhn
berselang, secara ke betulan dalam Cong kek kok ia mandapatkan se jilid buku
tipis dengan tulisan tangan, yang mencatat suatu peristiwa besar dalam kuil
Sauw lim-sie.
Kejadiannya seperti berikut.
Pada tujuh puluh tahun lebih yang lalu, Hong thio kuil Siauw lim-sie adalah
Kouw tin Siansoe, itu Soecouw atau kakek guru dari Thian beng Siansoe. Menurut
adad, setiap tahun sekali ada hari perayaan Tiong-coe, di Tat mo tong diadakan
ujian ilmu silat yang dikepalai oleh Hong thio, sIoe coe dari Tat mo-tong dan
Lo han-tong. Tujuan dari ujian itu adalah untuk melihat kemajuan para murid
Siauw limsie selama satu tahun.
Diluar dugaan, waktu diadakan
ujian pada tahun itu, telah terjadi suatu peristiwa yang sangat menyedihkan.
Sesudah semua murid
memperlihatkan kepandaiannya, pemimpin Tat mo tong, Kouw tie Siansoe, segera
naik kemimbar
dan membincangkan kepandaian
setiap murid. Selagi Kouw-tie enak bicara, tiba2 muncul seorangTauw-to, atau
pendeta yang memiara rambut, yang lantas saja berteriak; "Omongan Kouw tie
Siansoe omongan kentut anjing! Dia sebenarnya tak tahu apa artinya ilmu silat
dan berani mati, ia menduduki kursi Soei-co dari Tat mo-tong. Sungguh
memalukan!"
Dengan kaget semua pendeta
mengawas orang itu yang ternyata adalah Tauw to yaag bekerja didapur sebaai
tukang menyalakan api. Pada sebelum guru mereka membuka mulut, murid2 Tat
mo-tong sudah balas mencaci dengan kegusaran yang meluap-luap.
"Jangan banyak bacot
kau!" teriak Si Tauw to "Gurunya kentut anjing, muridnyapun kentut
anjing!" Sehabis memaki, ia berdiri di tengah ruangan dengan sikap
menantang. Sejumlah pendetalantas saja maju untuk menghajar Tauwto itu, tapi
satu demi satu, mereka dirobohkan secara mudah sekali. Apa yang lebih hebat
lagi si Tauwto tidak berlaku sungkan2. Sembilan murid utama dari Tat mo tong
telah dijatuhkan dengan luka berat atau patah kaki tangannya.
Kouw tie Siansoe kaget
tercampur gusar. Ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat Tauwto itu adalah ilmu
Siauw limpay, sehingga dia bukan seorang luar yang sengaja datang untuk
mengacau. Sambil menahan amarah, Kouwtie meanaya siapa gurunya. "Aku
belajar sendiri, tak satu manusia pun yang mengajar aku," jawabnya.
Apa latar belakang perbuatan
Tauwto itu? Ternyata, selama baberapa tahun ia sering dianiaya olah pemilik
bagian dapur yang beradat berangasan dan suka main pukul orang sebawahannya.
Tiap kali ia muntah darah akibat pukulan pemilik dapur itu yang sering turun
tangan tanpa mengenal kasihan. Dengan mendedam sakit hati yang sangat besar,
diam2 ia belajar silat. Ia mendapat kesempatan luas untuk mencuri pelajaran,
karena hampir semua murid Siauwlim si pandai ilmu silat jika seseorang bertekat
untuk melakukan serupa pekerjaan lama atau cepat, ia pasti akan berhasil.
Dibantu dengan kecerdasan
otaknya yang melebihi manusia biasa, maka dalam tempo belasan tahun, ia sudah
memiliki, kepaudaian yang sangat tinggi. Tapi ia masih tetap menyembunyikan
kepadaianaya itu dan terus bekerja sebagai tukang menyalakan api yang dengar
kata Kalau dipukul oleh sipemilik dapur, ia sama sekali tidak melawan. Berkat
Lweekangnya yang sangat kuat, ia sekarang tidak takut lagi segala pukulan.
Dengan sabar ia berlatih terus. Sesudah merasa, bahwa kepandaiannya berada
diatas semua pendeta Siawlim sie, pada hari ujian silat, dihari Tiongcoe,
barulah ia turun tangan.
Sakit hati yang sadah didendam
belasan tahun lamanya, menanam rasa benci terhadap semua pendeta Siauwlimsie,
didalam lubuk hatinya, maka itu ia sudah menyerang tanpa sungkan2 lagi.
Sesudah mengetahui sebab
musabab kejadian itu, Koawti Siansoe tertawa dengan seraya berkata, "Aku
sungguh merasa kagum akan kegiatanmu itu." Ia turun dari mimbar dan satu
pertempuran hebat lantas saja terjadi. Pada masa itu, Kouwtie adalah orang yang
berkepandaian paling tinggi di-kuil Siauwlimsie.
Mereka berdua segera serang
menyerang dengan menggunakan ilmu2 pukulan yang paling hebat dan dalam tempo
cepat, mereka sudah bertempur kurang lebih 500 jurus.
Semakin lama pertempuran
semakin hebat, sehingga mencapai sesuatu titik yang sangat berbahaya. Pada saat
itu, karena mengingat jerih payahnya si Touw to untuk memiliki kepandaianya
yang begitu tinggi, dalam hati Kouw tie muncul perasaan sayang dan kasihan.
Maka itu, sambil mementang kedua tangannya, ia membentak.
"Mundurlah!"
Tapi sungguh sayang, si Tauw
to salah tampah maksud orang yang baik. Ia menduga, bahwa dengan mementang
kedua tangannya, Kouw tie Siansoe ingin menyerang dengan Sin ciang Pat ta
(Delapan pukulan Tangan Malaikat), salah satu ilmu terlihay dari Siauw lim sie.
Ia ingat, bahwa waktu berlatih dengan ilmu itu, seorang murid Tat mo tonG
pernah mematahkan satu balok kayu dengan pukulan kedua tangannya. Maka ita, ia
tahu hebatnya Sin ciang Pat ta. Biar bagaimanapun juga, biar memiliki
kepandaian tinggi tapi karena ia belajar dengan mencuri dan tidak mendapat
petunjak guru yang pandai, maka ia masih belum bisa menyelami ilmu Siauw lim
pay sampai didasarnya.
Ia sama sekali tak tahu, bahWa
dengan mementang kedua tangannya, Kouw tie Siansoe sebenarnya mengeluarkan
pukulan Hoen kay cian ( pukulan memecah dan membuka) untuk meminjam dan
memindahkan tenaga, dengan tujuan menghentikan pertempuran begitu lekas kedua
belah pihak melompat mundur. Ia menduga, bahwa Koauw tie ciaag (pukulan
pembelah hati), pukulan keenaam dari Sin ciang Pat ta. Dengan menduga begitu,
ia berkata dalam hatinya: "Tak begitu gampang kau ambil jiwaku !" la
melompat dam memukul dengan kedua tangannya.
Pukulan kedua tangan itu
menyambar bagaikan gunung roboh. Dengan hati mencelos Kouw tie Siansoe buru2
membalik tangannya untuk menangkis, tapi sudah tak keburu lagi Dengan satu
suara "buk !", tulang lengan kiri dan empat tulang dadanya patah !
Semua pendata kaget dan bingung dengan serentak mereka memburu untuk memberi
pertolongan. Tapi Kouw tie yang sudah terluka berat, hanya tersengal2 napasnya
dan tidak dapat mengeluarkan sepatah kata lagi. Malam itu ia menutup mata.
Selagi seluruh Siauwlim sie
diliputi kedukaan basar, malam itu siauw-To diam-diam menyatroni dam
membinasakan sipendeta pemilik dapur serta lima pendeta yang mepunyai ganjelan
dengannya.
Kejadian itu menerbitkan
kegemparan dan kegusaran yang tiada taranya dalam sejarah Siauw-lim sie.
Pendeta pimpinan lantas saja mengirim puluhan pendeta yang berkepandaian tinggi
untuk membekuk Tauw to kejam itu, tapi sesudah mencari sana sini diseluruluh
Kang-lam, dan Kang-pak(daerah sebelah selatan dan utara Sungai Besar), usaha
mereka tidak berhasil.
Dan akibat dari peristiwa itu,
dalam Siauw lim sie belakangan muncul gelombang yang merupakan perebutan
kekuasaan dan saling salah menyalahi. Dalam gusarnya, pemimpin La han tong,
Kouw hoei Sian soe, telah pergi di See ek dimana ia kemudian membentuk sebuah
cabang Siauw lim pay. Phoa Thian Keng dan kedua saudara seperguruannya adalah
murid2 Kouw hoei Sian soe.
Demikian bunyi catetan dalam
buku tipis itu, yang kebetulan dapat dibaca oleh Kak wan.
Sesudah itu, ilmu silat Siauw
lim sie merosot banyak. Untuk mencegah terulangnya kejadian itu, para pemimpin
lalu mengadakan peraturan, bahwa setiap murid Siauw lim sie hanya boleh belajar
silat dibawah pimpinan guru dan bahwa siapa pun juga tidak boleh mencari
belajar, orang yang melanggar diancam dengan hukuman sangat berat paling berat
hukuman masih paling enteng diputuskan tulang dan uratnya, supaya dia orang
barcacat. Selama puluhan tahun, peraturan itu dipertahankan dengan kerasnya dan
tak pernah terjadi lagi peristiwa mencari belajar silat. Sesudah lewat banyak
tahun, per-lahan2 orang2 mulai melupakan kejadian hebat itu.
Si pendeta tua anggota Sim
sian tong itu, adalah salah seorang murid Kouw tie Sian soe. Selama puluhan
tahun, ia tak pernah melupakan kebinasaan gurunya yang sangat menyedihkan. Maka
itulah, begitu tahu Thio Koen Po memiliki ilmusilat tinggi tanpa mempunyai
guru, kejadian yang sudah lampau kembali terbayang didepan matanya dan rasa
sedih dan gusar me-luap2 dalam hatinya.
Mengingat apa yang telah
dibacanya, tanpa merasa Kak wan mengeluarkan keringat dingin "Loo hong
thio!" teriaknya. "Ini .... Koen Po...."
Belum habis perkataan itu, Boe
siang Siansoe sudah membentak. "Murid2 Tat mo tong! Majulah! Bekuk
dia!"
Hampir berbareng dengan
perintah itu, delapan belas murid Tat mo tong segera mdlompat maju untuk
mengurung Kak wan dan muridnya. Karena mereka membuat lingkaran besar, Kwee
Siang pun turut terkurung di dalamnya.
"Murid2 Lo han tong!
Mengapa kau belum mau maju?" seru si pendeta Sim sian tong. Semua murid Lo
ham tong segera bergerak serentak dan membuat tiga lingkaran lain diluar
lingkaran murid2 Tat mo tong,
Thio Koen Po jadi bingung
bukan main, Apakah dengan mengalahkan Ho Ciok Too, ia telah melanggar peraturan
kuil ! "Soehoe!" teriaknya. "Aku... aku... "
Kurang lebih sepuluh tahun,
Kak wan telah hidup ber-sama2 muridnya dan kecintaan mereka tiada bedanya
seperti kecintaan antara ayah dan anak. Ia tahu, bahwa jika Koen Po sampai kena
ditangkap, biarpun tidak mati, ia bakal jadi orang bercacad.
"Kalau tak mau turun
tangan sekarang, mau tunggu sampai kapan lagi?" tiba2 terdengar bentakan
Boe siang Sian soe.
Delapan belas
murid Tat mo tong lantas saja mendesak dengan hebataya. Tanpa memikir lagi, Kak
wan memutar sepasang tahang besi yang bembuat sebuah lingkaran, disertai dengan
tenaga Lweekangnya yang sangat dahsyat, sehingga semua pendeta-pendeta itu
tidak bisa maju. Bagaikan senjatanya itu sepasang bandringan, kedua tahang besi
itu ter-putar2 dan untuk menyelamatkan diri, murid2 Tat mo tong terpaksa
melompat kebelakang. Sesudah semua penyerang terpukul mundur, tiba2 Kak wan
menyapu dengan kedua tahangnya dan Kwee Siang masuk ketahang kiri dan Koen Po masuk
ketahang kanan. Sesudah itu, bagaikan terbang, ia turun gunung dengan memikul
kedua orang muda itu. Semakin lama suara berkerincingnya rantai jadi semakin
jauh dan beberapa saat kemudian, tidak kedengaran lagi.