Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 09

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 09
Anonim

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 09

In So So membuka matanya dan bersenyum, dengan paras seperti orang ingin meminta maaf untuk salah mengerti itu.

Piauw yang ketiga ternyata masuk dalam sekali didaging si nona, sehingga sesudah tigakali menggunakan seantero tenaga dalamnya, senjata rahasia itu belum juga bisa didesak keluar.

Sementara itu sesudah terdengar suara penggayu memukul air sebuah perahu sudah datang dekat sekali. Sesaat kemudian, perahu si nona bergoyang sedikit, karena hinggapnya kaki manusia dipapan perahu. Tanpa menengok, Coei San terus mengempos semangat.

Dengan tindakan lebar, orang itu masuk ke dalam gubuk perahu. Melihat kedua tangan Thio Ngo hiap mencekal lengan kiri si nona, ia tentu saja tidak menduga, bahwa pemuda itu tengah mengobati luka In So So. Dengan kegurasan meluap, ia mengangkat tangannya dan menghantam punggung Coei San, "Bangsat! Lepaskan !" bentaknya.

Coei San tidak menangkis. Sambil menarik nafas, ia pasang punggungnya. "Bak!", pukulan itu kena tepat pada sasarannya.

Sebagai salah seorang murid terutama dari Boe tong pay, Lweekang Thio Coei San sudah mencapai tingkat tertinggi dan ia memiliki juga kepandaian luar biasa.

Demikianlah, tanpa bergerak, dengan ilmu "meminjam tenaga memindahkan tenaga", ia memindah kan tenaga pukulan itu ketelapak tangannya sendiri. "Plok !", Bwee hoa piauw yang ketiga melompat keluar dari lengan In So So dan menancap di papan gubuk perahu!

Sesaat itu, orang yang nenyerang sudah mengirim pukulan kedua. Ia terkesiap melihat akibat pukulannya yang pertama, sehingga tangannya yang tengah menyambar berhenti ditengah udara. "In Kouwnio! .. kau ... apa kau terluka?" teriaknya.

Si nona tidak menyahut.

Sebagai seorang jago yang berpengalaman, begitu melihat darah hitam yang mancur dari lengan si nona, orang itu sudah mengerti, bahwa ia telah berbuat suatu kehilafan. Ia merasa sangat menyesal dan menduga Thio Coei San telah mendapat luka berat karena pukulannya itu hebat luar biasa. Buru2 ia merogo saku dan mengeluarkan obat untuk diberikan kepada pemuda itu.

Coei San menggelengkan kepala dan setelah melihat darah hitam sudah berubah merah, perlahan2 ia melepaskan lengan si nona. Ia menengok dan berkata sambil tertawa: "Tenaga pukulanmu sungguh tidak kecil."

Orang itu kaget bukan main. Dengan pukulan serupa itu, entah sudah berapa banyak jago2 binasa dalam tangannya Sungguh heran, pemuda itu seperti juga tidak merasakan apapun jua. Ia mengawasi dengan mulut ternganga dan berkata dengan suara ter-putus2 "Kau...kau..." Ia mengangsurkan tiga jari yang lalu ditempelkan kepada Coei San.

"Biar aku main2 sedikit dengannya," pikir pemuda itu. yang segera mengerahkan Lweekang dan jantungnya lantas saja berhenti berdenyut serupa kepandaian yang hanya dimiliki oleh seorang yang Lweekangnya sudah mencapai puncak tertinggi.

Begitu menyentuh nadi Coei San, paras maka orang itu berobah pucat karena nadi itu tidak mengetuk lagi. Dalam kagetnya, ia meraba dada pemuda itu dan hatinya mencelos, sehingga ia melompat kebelakang sambil mengeluarkan seruan tertahan.

"In Kouwnio, apakah tuan ini sahabatmu ?" tanya Coei San sambil tersenyum. "Mengapa kau tidak memperkenalkannya kepadaku ?" Sambil berkata begitu, ia menyambuti saputangan yang di sodorkan oleh In So So dan lalu membalut luka dilengan nona itu.

Mendengar suara Coei San yang tidak berubah sedikitpun jua, keheranan orang itu tak mungkin dilukiskan lagi.

"Siang Tan coe, kau tak boleh kurang ajar!" membentak si nona. "Inilah Thio Ngo hiap dari Boe tong pay."

Orang itu buru-buru memberi hormat dan berkata dengan suara kagum "Aha. Kalau begitu Thio Ngo hiap dari Boe tong Cit hiap! Tak heran jika Lweekangnya sedemikian tinggi. Aku yang rendah Siang Kim Peng dan aku memohon maaf untuk kekurang ajaranku."

Coei San mengawasi orang itu yang berusia kurang lebih limapuluh tahun. Mukanya bopeng dengan otot-otot yang menonjol keluar dari telapak tangannya lebar seperti kipas sehingga selintas saja mengetahui, bahwa orang she Siang itu adalah seorang ahli silat Gwa kee. Ia mengerti bahwa jika lweekangnya belum sempurna betul, pukulan yang tadi sudah pasti akan mengambil jiwanya sendiri.

Sesudah memberi hormat kepada pemuda itu. Siang Kim Peng lalu menjalankan peradatan dihadapan In So So yang menerimanya dengan sikap acuh tak acuh.

Coei San jadi sangat beran. Dari pukulan Siang Kim Peng, ia tahu bahwa orang itu bukan sembarang orang. Tapi mengapa In So So berani bersikap begitu kurang ajar terhadapnya dan dia juga kelihatannya menerima baik sikap dari si nona.

Di lain saat, Siang Kim Peng berkata dengan suara perlahan: "Hian boe tan Pek Tan coe telah menjanjikan orang-orang Hay see pay, Kie keng pang dan Hok kian Sin koen boen untuk mengadakan partemuan besok pagi di pulau Ong poan san dimulut sangai Can tong kang, guna mengangkat senjata dan menetapkan keangkeran. Jika, kesehatan nona agak terganggu, biarlah Siauw jin lebih dulu mengantarkan nona pulang ke Lim an. Menurut pendapatku, Pek Tan coe sudah lebih dari pada cukup untuk membereskan segala urusan di Ong poan san."

So So mengeluarkan suara di hidung. "Hay-see-pay, Kie keng -pang, Sin koen boen .... Hmmm .... Apakah Ciang boen Jin Hoa koen boen Kwee Sam Koen, turut datang juga?" tanyanya.

"Ya. Kudengar ia akan datang sendiri dengan mengajak dua belas muridnya yang terutama," jawabnya.

Si nona tertawa dingin. "Meskipun nama Kwee San Koen sangat cemerlang, tapi dia bukan tandingan Pek Tan coe," katanya. "Siapa lagi yang bakal turut serta?"

Sesudah berdiam sejenak, barulah Siang Kim Peng menjawab: "Menurut warta, dua orang Kiamkek (ahli silat pedang) muda dari Koen loen pay juga akan menghadiri pertemuan itu, untuk .. melihat To .. . To ... To ...." Ia melirik Thio Coei San dan tidak meneruskan perkataannya.

"Mereka mengatakan mau lihat-lihat To liong to?" tanya So so. "Hm .... mungkin .. sesudah melihat dalam hati mereka timbul rasa serakah ....."

Mendengar perkataan "To liong to", Coei San terkejut, tapi sebelum ia keburu membuka mulut untuk menanyakan terlebih jauh, sinona sudah berkata pula: "Hmmm......selama beberapa tahun ini, dalam Rimba Persilatan, gelombang Tiangkang yang disebelah belakang mendorong gelombang yang disebelah depan. Orang-orang Koen loen pay tak dapat dipandang enteng. Luka dilenganku tidak berarti. Begini saja. Aku akan turut pergi kesitu untuk menonton keramaian. Mungkin sekali aku akan perlu memberi bantuan kepada Pek Tancoe." Ia berpaling kepada Thio Coei San dan menyambung perkataannya: "Thio Ngohiap, disini saja kita berpisahan. Aku menumpang di perahu Siang Tan coe dan kau sendiri boleh menggunakan perahuku untuk kembali ke Lim an. Boe tong-pay jangan kerembet dalam urusan ini."

"Terlukanya Samko agaknya bersangkut paut dengan To liong to," kata Coei San. "Apakah nona dapat memberi keterangan lebih jelas mengenai hal itu?"

"Seluk beluk kejadian itu tidak diketahui jelas olehku." Jawabnya. "Kau harus tanya Samkomu sendiri."

Coei San mengerti, So So sungkan meberi keterangan dan iapun tak mau mendesak lagi.

"Orang yang melukakan Samko sangat ingin memiliki To liong to," katanya didalam hati.

"Menurut Siang Tan coe, pertemuan di Ong poan san adalah untuk mengangkat senjata dan menetapkan keangkeran. Apakah bisa jadi To Liong to berada dalam tangan mereka? Jika benar begitu, orang-orang yang mencelakakan Samko tentu juga turut datang kepulau itu"

Memikir begitu, ia lantas saja menanya: "Apakah Toosoe yang menyerang kau dengan Bweehoa piauw akan turut datang dipulau itu?"

So So tertawa sebaliknya dari menjawab pertanyaan orang, ia balas menanya: "Kaupun ingin menonton keramaian, bukan? Baiklah! Kita pergi bersama-sama." Ia menengok kepada Siang Kim Peng dan berkata pula "Siang Pangcoe, perahumu jalan duluan."

"Baik," jawabnya sambil membungkuk dan lalu berjalan pergi, seperti caranya seorang pegawai terhadap majikannya. Sinona hanya mengangguk sedikit, tapi Coei San, yang menghargai ilmu silatnya orang itu, sudah mengantarkarnya sampai dipintu gubuk perabu.

Sesudah itu, So So menggapai jurumudi seraya membentak: "Kemari kau!" paras muka si tukang perahu lantas saja berubah pucat dan tubuhnya menggigil. Ia mengerti, bahwa tadi ia sudah berbuat kesalahan dengan teriak-teriakannya dan sekarang ia akan mendapat hukuman. Dengan bibir bergemetaran, ia berkata: "Siauw .... siauwjin tidak sengaja ....... Mohon ..... mohon Kouw nio sudi mengampuni .. ."

Sinona tidak menjawab, sehingga dia jadi lebih ketakutan dan dengan sorot mata memohon pertolongan, ia mengawasi Coei San, yang merasa sangat tidak mengerti akan sikapnya itu. Bahwa jurumudi tersebut sudah berteriak-teriak meminta pertolongan Siang Kim Peng, adalah karena salah mengerti, karena ia menduga Coei San mau mencelakakan So So. Tapi, teriakannya itu adalah sebab kesetiaannya terhadap sinona. Mengapa ia sudah begitu ketakutan?

Dilain saat, sinona berkata dengan suara kaku: "Matamu tak ada bijinya, kupingmu tuli. Perlu apa kau mempunyai mata dan kuping?"

Mendengar comelan itu, paras muka sijurumudi lantas berubah girang, sebab ia tahu si nona sudah mengampuni Jiwanya. Baru-baru ia menekuk lutut seraya berkata: "Banyak terima kasih untuk kemurahan hati nona!" Hampir berbareng, ia meraba pinggannya dan menghunus sebilah pisau yang lalu digunakan untuk memotong kedua kupingnya. Sesudah itu, ia mengangkat pisau itu tinggi tinggi ditujukan kearah matanya!

Bukan main kagetnya Coei San. Bagaikan kilat tangannya menyambar dan dua jirinya menjepit pisau itu yang sedang meluncur turun ke mata si jurumudi. "In Kauwnio," katanya. "Dengan memberanikan hati, aku memohon belas kasihanmu,"

So So mengawasi kearah pemuda itu dan kemu dian berkata dengan suara perlahan: "Baiklah." Ia menengok pada si tukang perahu dan menyambung perkataannya: "Lekas haturkan terimakasih pada Thio Ngohiap !"

Dengan tersipu-sipu, ia segera menekuk lutut dan manggut manggutkan kepalanya berulang ulang kali dihadapan Coei San dan kemudian berlutut lagi di hadapan So So. Sesudah itu, ia mundur ke belakang dan dengan suara nyaring memerintahkan ke anak buah perahu menaikkan layar.

Sementara itu, Coei San berdiri membelakang So So dan mengawasi air yang luas tanpa mengeluarkan sepatah kata. Di dalam hati, ia merasa heran, bagaimana seorang wanita yang berparas begitu cantik mempunyai tangan begitu kejam.

So So melirik pemuda itu dan melihat pakaiannya yang pecah dibagian punggung karena pukulan Siang Kim Peng, ia segera berkata: "Buka pakaianmu. Aku mau tambal."

"Tak usah!" kata Coei San.

"Kau kira aku tidak bisa menjahit?" tanya Si nona.

"Bukan begitu," kata pula pemuda itu dengan suara pendek dan matanya tetap memandang ke tempat jauh. Didalam hati, ingat kebinasaan yarg sangat menyedihkan dari orang orarg Liong boen Piauw kiok. Tapi, sebaliknya dari pada membunuh manusia yang begitu kejam, ia malahan sudah menolongnya dengan mengeluarkan piauw beracun. Biarpun pertolongan itu adalah untuk membalas budi orang yang sudah membantu Soehengnya, akan tetapi, sepak terjangnya tetap tidak dapat dibenarkan dan ia merasa bahwa dalam tindakannya itu, ia tidak bisa membedakan yang jahat dan yang baik.

Diam diam ia mengambil keputusan, bahwa begitu lekas pertemuan dipulau Ong poan san sudah selesai, ia akan berpisahan dengan nona itu untuk selama-lamanya.

Melihat paras muka Coei San yang suram, So So lantas saja dapat menebak apa yang dipikirnya. Ia tertawa dingin dan berkata: "Bukan saja Touw Tay Kim, Ciok dan Soe Piauw tauw, bukan saja semua orang dari Liong boen Piauw kiok dan dua pendeta Siauwlim itu, tapi Hoei hong pun dibunuh olehku,"

"Aku memang sudah mencurigai kau, hanya aku tidak tahu cara bagaimana kau membunuhnya?" kata Coei San.

"Tak usah heran" kata sinora. "Waktu itu aku merendam didalam air dan mendengari pembicaraan kamu. Sesudah didesak olehmu, tiba-tiba Hoei hong merasa, bahwa muka kita memang berbeda, tapi sebelum ia keburu mengaku, aku mendahului melepaskan sebatang jarum kedalam mulutnya. Kau coba mencari aku digombolan pohon dan rumput-rumput tinggi, tapi aku sendiri enak-enak merendam diair"

"Sebagai akibat dari perbuatanmu itu, pihak Siauw lim menuduh aku," kata Coei San dengan mendongkol. "In Kouwnio, kau sungguh pintar dan tanganmu benarbenar lihay."

So So berlaga pilon. Ia bangun berdiri dan berkata sambil membungkuk : "Terima kasih Thio Ngohiap memuji aku terlalu tinggi."

Coei San jadi semakin gusar. "In Kouwnio!" bentaknya. "Aku seorang she Thio belum pernah berbuat kesalahan apapun jua terhadapmu. Tapi mengapa kau sudah begitu tega mencelakakan aku ?"

So So bersenyum. "Aku bukan ingin mencelakakan kau," katanya dengan suara tenang "Mengapa aku sudah berbuat begitu ? Siauwlim dan Boe tong adalah dua partai persilatan yang sangat besar dan ternama. Aku hanya ingin mereka bertempur nntuk menyaksikan siapa sebenarnya yang lebih kuat."

Mendengar pengakuan sinona, Coei San terkejut. Sedikitpun ia tak nyana wanita cantik itu mempunyai tujuan yang begitu hebat "Kalau Siauw Lim dan Boe tong sampai bertempur entah berapa banyak korban yang akan rubuh dan kejadian itu bakal merupakan suatu peristiwa hebat dalam Rimba Persilatan," pikirnya.

Paras sinona sendiri tetap berseri-seri dan sambil menggoyang-goyangkan kipasnya, ia berkata: "Thio Ngohiap, bolehkah kulihat tulisan dan lukisan dikipasmu?"

Sebelum Coei San keburu menjawab, diperabu Siang Kim Peng se konyong konyong terdengar suara teriakan: "Apa perahu Kie keng pang? Siapa yang berada diperahu?"

"Siauw pang coe dari Kie keng pang ingin menghadiri pertemuan dipulau Ong poan san."

"In Kouw nio dan Coe ciak tan Siang Tan coe berada disini" teriak seorang dari perahu Siang Kim peng. "Kalian diharap mengikuti saja dari belakang."

"Jika Peh bie kauw In Kauw coe sendiri yang berada disitu, kami bersedia untuk mengalah," jawab seorang dengan suara keras. "Kalau orang lain, maaf saja."

Mandeagar perkataan "Peh bie kauw In Kauw coe," Coei San kaget, karena ia belum pernah mendengar nama agama (kauw) itu, baik dari gurunya, maupun dari luaran. Ia melongok keluar jendela dan dilihatnya disebelah kanan terdapat sebuah perahu yang bentuknya menyerupai seekor ikan paus. Dikepala perahu terlihat sinar putih yang ber kilau kilauan karena dipasangnya puluhan pisau sebagai gigi ikan, sedang badan perahu yang melengkung dan buntutnya yang mengacung keatas berbentuk seperti buntut ikan paus. Layar perahu sangat lebar dan jalannya perahu itu lebih cerat daripada perahu Siang Kim Peng.

Kie keng pang (partai Ikan Paus Raksasa) adalah sebuah perkumpulan bajak laut yang berkeliaran disepanjang pantai propinsi, Kangsouw, Ciatkang dan Hokkian. Mereka membajak, membunuh dan melakukan lain-lain perbuatan terkutuk, tapi sebegitu jauh, karena licinnya, mereka belum dapat ditumpas oleh angkatan laut negeri dan selama puluhan tahun mereka malang melintang diperairan lautan Tong hay.

Siang Kim Peng segera maju dan berdiri dikepala perahu. "Bek Siauw pangcoe," teriaknya.

"In Kouwnio berada disini. Apakah kau sungkan memberi sedikit muka kepada kami ?"

Dari gubuk perahu Kie keng pang muncul seorang pemuda yang mengenakan pakaian warna kuning. Ia tertawa dingin seraya berkata: "Didaratan, Peh bie kauw boleh menjagoi, diair Kie keng pang yang memegang kekuasaan. Mengapa kami mesti mengalah dan membuntuti kamu dari belakang ?"

Medengar pembicaraan mereka, Coei San juga merasa, bahwa cara-cara Peh bie kauw terlalu sombong.

Sementara itu, anak buah Kie keng pang sudah menaikkan lagi sebuah layar, sehingga jalannya perahu jadi semakin laju, dengan begitu jadi sukar dapat diubar lagi.

Siang Kim Pang mengeluarkan suara dihidung.

"Kie kong pang ...... hm ..... To Liong to ..... juga ..... To liong to ......" demikian terdengar perkataannya. Karena suara angin yang menderu deru dan jarak antara kedua perabu sudah agak jauh, maka Bek Siauw pang coe hanya dapat menangkap perkataan "To liong to." Ia kelihatan kaget dan buru-buru memerintahkan anak buahnya memperlambat jalan perahu. Beberapa saat kemudian, perahu Siang Kim Peng sudah mendekati.

"Siang Tan coe, apa kau kata ?" tanya pemuda itu.

"Bek Siauw pang coe . . . Hian boentan Pek Tan coe kami ...... golok To liong to itu...." jawab Siang Kim Peng.

Coei San merasa heran karena ter putus-putusnya jawaban Siang Kim Peng.

Sementara itu, kedua perahu sudah jadi semakin makin dekat. Tiba-tiba terdengar suara gedubrakan disusul dengan teriakan orang. Ternyata diluar dugaan semua orang, dengan mendadak Siang Kim Peng mengangkat jangkar dan melontarkannya keperahu Kie keng pang.

Suara rantai dan mencangkolnya jangkar diperahu Kie keng pang dibarengi dengan jeritan kesakitan dan ada orang anak buah perahu. (peep: ????)

"Hai! Apa kau gila?" bentak Bek Siauw pang coe.

Anak buah Siang Kim Peng buru-buru mengangkat sebuah jangkar lain yang lalu dilemparkan lagi keparahu Kie keng pang dan dua buab jangkar itu telah mengambil jiwanya tiga orang anak buah. Dilain saat, kedua perahu hampir berdampatan. Bek Siauw pang coe melompat kepinggir perahu dan coba mengangkat salah sebuah jangkar. Tapi sebelum ia berhasil, Siang Kim Peng sudah mengayun tangan kanannya dan serupa benda warna biru yang menyerupai buah semangka

menghantam tiang layar tengah. Benda itu, yang terbuat daripada baja, adalah salah sebuah dari sepasang sanjata Siang Kim Peng yang berantai emas dan digunakan sebagai bandringan. "Semangka" itu adalah senjata berat yang dipegang ditangan kiri sembilanpuluh lima kati beratnya. sedang yang ditangan kanan seratus lima kati. Dari situ dapatlah dibayangkan, betapa hebat tenaga orang she Siang. Jika tak mempunyal tenaga ribuan kati, ia pasti tidak akan dapat menggunakan senjata seberat itu.

Begitu dihatam dengan "semangka" kanan, tiang layar itu bergoyangagoyang. "Semangka" kiri menyusul dan disusul pula dengan "Semangka" kanan. "Krek....krek....krek.... brak!" Tiang yang kasar itu tak tahan dan patah. Keadaan jadi terlebih kalut dengan anak buah Kie keng pang ber teriak-teriak, sambil menghunus senjata.

Tanpa mempedulikan segala kekacauan itu Siang Kim Peng melompat kebelakang parahu itu dan menghantam tiang layar belakang. Tiang itu banyak lebih kecil dan sekali dihajar, lantas saja ambruk.

Pek Siauw pang coe sebenarnya mempunyai kepandaian tinggi. Senjatanya dinamakan Hoensoen Go bie cek, sepasang pusut yang panjangnya kirakira satu kaki dan sangat cocok untuk digunakan dalam pertempuran didalam air. Tapi dalam kaget dan bingungnya, sebelum ia keburu berbuat suatu apa, Siang Kim Peng yang bergerak luar biasa cepat, sudah mematahkan dua tiang layarnya.

"Dengan adanya Peh bie kauw, diatas airpun Kie keng pang tak mempunyai kekuasaan," teriak orang she Siang itu sambil melontarkan sebuah "semangka" kelambung perahu musuh yang lantas saja ber lubang besar dan air mengalir masuk. Anak buah Kie keng pang jadi semakin bingung.

Dengan mata merah Bek Siauw pang coe mencabut pusutnya dan dengan sekali menotol kaki di depan perahu, badannya melesat keperahu musuh.

Selagi tubuh pemuda itu berada ditengah udara tiba-tiba Siang Kim Peng melontarkan senjatanya kemuka pemuda itu. Serangan itu yang dikirim secara mendadak dan kejam mengejutkan sangat sekali. Hati Bek Siauwpangcoe. "Celaka" teriaknya sambil menotok "semangka" itu dengan kedua pusutnya dalam usaha melompat balik dengan meminjam tenaga tersebut. Jika ilmu mengentengkan badannya bersamaan dengan ilmu Thio Coei San, bukan saja ia akan dapat mengelakkan serangan itu, tapi ia juga bisa balas menyerang. Tapi dalam segala hal, dia masih kalah jauh dari jago Boe tong pay itu.

"Semangka" yang beratnya seratus kati, ditambah dengan tenaga Siang Kim Peng sendiri, terlalu hebat untuk dilawannya. Tiba-tiba ia merasa dadanya menyesak, matanya berkunang-kunaug dan tanpa ampun ia rubuh terguling diatas perahunya.

Begitu lawannya rubuh, Siang Kim Peng segera menghantam pula dengan kedua "semangka" dan badan perahu Kie keng pang lantas saja berlubang dibeberapa tempat. Sesudah itu, sambil mengerahkan Lweekang, is menarik pulang kedua jangkar yang mencantol di perahu musuh. Tanpa diperintah lagi oleh Tan Coe mereka anak buah perahu Peh bie kauw lantas saja menaikkan layar dan perahu itu perlahan-lahan mulai bergerak, tapi sebentar kemudian melaju kedepan dengan amat cepatnya.

Melihat cara Siang Kim Peng merubuhkan musuh, jantung Thio Coei San bardebar keras, "Jika tak mempunyai kepandaian meminjam tenaga memindahkan tenaga, tadi aku tentu sudah binasa dalam tangannya. " pikirnya. Ia melirik In So So yang bersikap tenang-tenang saja, seolah-oah tidak terjadi kejadian luar biasa.

Tiba-tiba disebelah kejauhan terdengar suara guruh. itulah tanda, bahwa air pasang sedang mendatangi. Walaupun anak buah Kie keng pang pandai berenang, mereka tak nanti dapat melawan gelombang pasang yang seperti gunung. Bahaya yang dihadapi mereka lebih besar lagi, karena pada waktu itu, mereka berada dimuara tempat ber temunya sungai dan lautan, sehingga lebarnya permukaan sungai sampai puluhan li. Maka itulah, begitu mendengar guruh, anak-anak Kie keng pang ketakutan setengah mati dan berteriak-teriak minta pertolongan, tapi perahu Siang Kim Peng dan In So So tidak meladeni dan terus berlayar kejurusan timur

Coei San melongok keluar jendela dan melihat Perahu ikan paus itu sudah tenggelam separuh. Mendengar teriakan-teriakan anak buah perahu ia sebenarnya merasa sangat tidak tega tapi karena mengetahui bahwa Siang Kim Peng dan In So So adalah manusia-manusia kejam, ia merasa tak guna membuka mulut.

Melihat paras pemuda itu, si nona bersenyum. Mendadak ia berseru "Siang Tan coe, hati Thio Ngohiap sangat mulia. Tolonglah anak buah perahu kie keng pang !"

Coei San terkejut, sebab hal itu benar-benar diluar dugaannya.

"Baik !" teriak Siang Kim Peng. Dilain saat perahunya membelok dan menuju ke perahu Kie keng pang. "Anggauta- anggauta Kie keng pang dengarlah!" teriak Siang Kim Peng," Atas permintaan Thio Ngohiap dari Boe tong pay, kami bersedia untuk menolong jiwamu. Siapa yang mau hidup, berenanglah kemari!"

Anak buah Kie keng pang jadi girang dan berburu berenang kearah perahu Siang Kim Peng yang memapaki mereka. Dalam tempo tidak berapa lama, hampir semua orang, terhitung juga Bek Siauw pangcoe, sudah dapat ditolong. Tapi biarpun begitu, ada enam tujuh orang yang mati dipukul ombak.

"Terima kasih untuk pertolongananmu!" kata Coei San.

Sinona mengeluarkan suara dihidung dan berkata dengan suara tawar: "Orang-orang itu adalah Bajak-bajak yang biasa merampok dan membunuh, perlu apa kau menolong mereka ?"

Coei San tergugu, tak dapat ia menjawab pertanyaan si nona. Ia memang sudah dengar, bahwa Kie keng pang adalah salah satu dari empat "pang" yang jahat dan ia pun tak pernah menduga, bahwa hari ini ia berbalik menolong kawanan bajak yang kejam itu.

"Kalau mereka tidak ditolong didalam hati Thio Ngohiap pasti akan mencaci maki aku," kata pula si nona. "Kau tentu akan mencaci aku sebagal perempuan kejam yang tidak pantas ditolong."

Perkataan itu mengenakan jitu dihati Coei San, sehingga paras muka pemuda itu lantas saja berubah merah: "Kau memang pandai bicara dan aku tidak dapat menandingi," katanya sambil tertawa. "Dengan menolong orang-orang itu, kau telah melakukan perbuatan baik dan kau sendirilah mendapat pembalasan baik. Dengan aku sedikitpun tiada sangkut pautnya."

Baru saja ia berkata begitu, tibalah gelombang pasang. Perahu In So So seperti juga dilontarkan keatas dan mereka tak dapat bicara lagi. Coei San melongok keluar jendela dan melihat gelombang gelombang besar dalam bentuk seperti tembok tembok tinggi mendatangi dengan saling susul. Ia bergidik karena mengingat, bahwa jika tidak ditolong semua anak buah perahu Kie keng pang pasti binasa didalam air.

Mendadak si nona bangun berdiri, masuk kegubuk perahu yang disebelah bekakang dan lalu menutup pintu. Beberapa saat kemudian, ia keluar lagi dengan mengenakan pakaian wanita dan memberi isyarat dengan gerakan tangannya, supaya Coei San membuka jubah luarnya. Karena merasa kurang enak untuk menolong lagi, ia lalu membuka jubahnya. Ia menduga si nona ingin menambal bagian yang berlubang dari jubah itu. Tapi tak dinyana, So So lalu mengangsurkan jubahnya sendiri yang tadi dipakai olehnya, sedang jubah Coei San lalu dibawanya kegubuk belakang.

Mau tak mau, Coei San terpaksa memakai juga. Karena jubah luar biasanya dibuat dalam ukuran besar, maka meskipun tubuh pemuda itu lebih besar daripada badan si nona, ia masih dapat menggunakannya. Dilain saat, jantungnya memukul keras, sebab hidungnya mengendus bebauan yang sedap dan wangi. Ia merasa jengah dan tidak berani memandang lagi si nona. Karenanya matanya ditujukan kepada lukisan-lukisan yang dipasang didinding gubuk, tapi hatinya tetap berdebar-debar. In So So pun tidak mengajak bicara lagi dan duduk diam sambil mendengar suara gelombang. Datam gubuk ini dipasang sebatang lilin. Mendadak sebagai akibat hantaman gelombang, perahu miring dan lilin padam. "Celaka!" Coei San mengeluh dalam hatinya.

"Biarpun aku sopan, tapi dengan berdiam berdua-dua ditempat gelap, name baik In Kauwnio bisa ternoda." Buru-buru in bangun berdiri dan membuka pintu belakang, akan kemudian pergi ketempat jurumudi yang dengan tenang mengemudikan parahu itu kealiran bawah.


Kurang lebih satu jam kemudian air pasang mulai surut dan air keluar lagi kelautan, sehingga dengan menurut aliran air, perahu itu laju semakin cepat. Pada waktu fajar menyingsing pulau Ong poan san sudah berada didepan mata.

Pulau itu, yang terletak dimulut sungai Ciantong kang, dalam perairan lautan Tonghay adalah sebuah pulau kecil yang tandus dan tiada penduduknya. Waktu kedua perahu itu berada dalam jarak beberapa kali, dari atas pulau tiba-tiba terdengar suara terompet dan dua orang kelihatan menggoyang-goyangkan dua bendera hitam. Waktu perahu datang lebih dekat, Coei San mendapat kenyataan bahwa bendera hitam itu berpinggir putih dengan sulaman kura-kura terbang.

Dibawah kedua bendera itu berduduk seorang tua, begitu lekas perahu menepi, lantas saja berseru : "Hian boen tan Pek Kwie Sioe menyambut In Kauw nio dengan segala kehormatan." Suaranya keras, tapi kedengarannya sangat menusuk kuping. Sehabis berseru begitu si kakek sendiri memasang papan untuk pendaratan. In So So mempersilahkan Coei San jalan lebih dulu dan sesudah mereka mendarat, ia segera memperkenalkan, pemuda itu kepada Pek Kwie Sioe.

Jilid 8

Mendengar pemuda itu adalah salah seorang dari Boe tong Cit hiap, Pek Kwie Sioe terkejut. "Sudah lama aku mendengar nama besar dari Boe tong Cit hiap," "katanya. "Aku merasa sangat beruntung, bahwa dihari ini aku dapat bertemu muka dengan Thio Ngohiap."

Thio Coei San segera menjawab dengan perkataan-perkataan merendahkan diri.

"Hai! Kalian berdua pandai sekali bicara manis-manis," kata In So So. "Di hati lain, dimulut lain. Didalam hati, yang satu berkata: "Celaka. Orang Boe tong pay turut datang kesini dan tambah lagi satu lawan lihay yang mau merebut To liong to. Yang lain berpikir Huh! Manusia apa kau ? Anggauta dari agama yang menyeleweng. Tak sudi aku bersahabat denganmu. Menurut pendapatku, lebih baik kalian bicara saja terang-terang. Jangan main berpura pura."

Pek Kwie Sioe tertawa terbahak-bahak.

"Tidak, aku tidak memikir begitu," kata Coei San. "Aku yakin, bahwa Pek Tan coe memiliki ke pandaian yang sangat tinggi. Ilmu mengirim suara sangat mengagumkan. Kedatanganku disini hanyalah menemani In Kouwnio untuk menonton ke ramaian dan sedikitpun aku tidak mempunyai niatan untuk turut dalam perebutan golok mustika."

Mendengar perkataan pemuda itu, In So So me rasa girang sekali.

Pek Kwie Sioe mengenal nona In sebagai wanita yang berhati kejam dan tak pemah berlaku manis2 terhadap siapapun jua. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya, ia menyaksikan sikap yang luar biasa halus dari sinona terhadap Thio Coei San, sehingga ia segera mengetahui, bahwa Son So sudah jatuh hati kepada pemuda yang tampan itu. Selain begitu, ia juga merasa senang mendengar pujian yang diberikan Coei San dan rasa permusuhannya terhadap pemuda itu lantas saja hilang.

"In Kouw nio," katanya sambil tersenyum, "orang orang Hay See Hay dan Sin koen boen sudah datang semua. Disamping mereka, terdapat juga dua pemuda dari Koen loan pay. Lagak mereka agak sombong dan berbeda jauh dengan Thio gohiap yang tenama besar....hm...,Memang orang yang benar-benar berkepandaian tinggi tidak banyak tingkah"

Baru ia berkata sampai disitu, dibelakang bukit mendadak terdengar bentakan: "Hai! Perlu apa kau membusuki nama orang dibelakangnya? Apa itu perbuatan seorang laki-laki ?"

Berbareng dengan bentakan itu, dari belakang bukit dua pemuda usia dua puluh tahun lebih yang bertubuh kurus dan mengenakan jubah panjang wama kuning, sedang dipunggung mereka terselip sebatang pedang. Mereka menghampiri dengan paras muka menyeramkan.

Pek Kwie Sioe tertawa nyaring, dan berkata dengan suara tenang: "Aha! Baru menyebut nama Co Coh, Co Coh lantas saja datang. Mari, mari aku memperkenalkan kalian."

Kedua Kiamtek (ahli pedang) Koen loan pay itu sebenamya sudah mau mengunjuk kegusaran mereka, tapi begitu melihat kecantikan So So mereka tertegun. Yang satu mengawasi sinona dengan mulut ternganga, yang lain melengos, tapi diam-diam melirik berulang ulang.

Sambil menunjuk pemuda yang tengah mengawasi So So, Pek Kwie Sioe berkata: "Yang ini adalah Ko Cek Sang Tay kiamkek." Ia menengok kearah yang lain dan menyambung perkataannya : "Yang itu Chio Tauw Taykiamkek. Mereka berdua adalah pentolan-pentolan Koen loen pay. Nama Koen loan pay telah menggetarkan wilayah Barat dan dalam Rimba Persilatan, semua orang merasa kagum akan tingginya ilmu silat Koen loan. Maka itu, Ko dan Cio Taykimkek juga pasti memiliki kepandaian yang lain dari pada yang lain. Kali ini, dari tempat jauh mereka datang di Tionggoan dan mereka pasti akan memperlihatkan kepandaian istimewa supaya kita semua bisa menambah pengalaman.

Mendengar perkataan itu yang dikeluarkan nada mengejek, Coei San menduga, bahwa kedua pemuda itu akan segera menghunus senjata, atau sedikitnya, akan membalas dengan kata-kata tajam. Tapi diluar dugaan, mereka hanya manggut-manggut, tanpa mengeluarkan sepatah kata. Setelah mengawasi muka merah, baru Coei San tahu sebab musababnya. Mereka teryata seperti orang linglung karena dipengaruhi dengan kecantikan In So So.

Coei San merasa geli. "Nama Koen loan pay tersohor dikolong langit dan dikenal sebagai malaikat dalam ilmu silat pedang," pikimya "Sungguh sayang murid-muridnya yang datang kemari adalah manusia-manusia rendah."

Tapi sebenamya, meskipun Ko Cok Sang dan Chio Tauw beradat sombong, mereka bukan manusia rendah yang gemar dengan paras cantik. Yang menjadi soal ialah karena memang So So terlalu cantik dan memiliki sifat-sifat seperti besi barani, yang dapat membetot semangat orang. Dengan mengingat, bahwa mereka adalah manusia manusia biasa, apapula usia mereka masih begitu muda, maka sikap yang menggelikan itu dapat dikatakan jamak.

Sementara itu, Pek Kwie Sioe berkata pula: "Yang itu adilah Thio Coei San Siangkong dari Boe tong pay, yang ini nona In So So, sedang yang itu Siang Kim Pang Tan coe dari agama kami."

Mendengar perkataan Pek Kwie Sioe, So So merasa sangat girang. Bahwa si kakek hanya menggunakan istilah "Siangkong" ( tuan ) dan tidak menggunakan lagi perkataan "Thio Ngohiap", merupakan petunjuk, bahwa ia menganggap Coei San seperti orang sendiri. Sambil bersenyum, si nona melirik pemuda itu dengan sorot mata menyinta.

Melihat sikap So So terhadap Coei San, Ko Cek Song yang beradat kasar saja meluap darahnya dan tidak dapat menyembunyikan lagi rasa jelusnya. "Chio Soetee," katanya dengan suara tawar, "di See hek, kita seperti pemah mendengar, bahwa Boe tong pay adalah sebuah partai yang tulen dalam Rimba Persilatan diwilayah Tionggoan."

"Benar. akupun seperti pemah mendengar begitu" jawab adik seperguruannya.

"Tapi kita mendengar tidak sama dengan melihat sendiri," kata pula Ko Cek Sang "Pendengaran itu tidak dapat dipercaya."

"Dalam kalangan Kangouw memang banyak sekali tersiar desas desus yang tidak boleh dipercaya," menyambung Cio Tauw. "Ko Soeheng, apa artinya perkataanmu itu?"

"Murid dari partai persilatan yang tulen bagaimana bisa bercampur gaul dengan orang-orang dari Sia kauw (agama yang menyeleweng)?" jawabnya, "Bukankah kejadian itu sangat menurunkan namanya partai yang sangat cemerlang itu?"

Dalam menyindir Thio Coei San, mereka tak pernah mimpi, bahwa In So So pun seorang dari Peh bie kauw. Mereka hanya mengetahui, bahwa yang menjadi anggauta agama itu hanya Pek Kwie Sioe dan Siang Kim Pang.

Coei San meluap darahnya, tapi segera juga ia mendapat pikiran lain. Ia ingat, bahwa kedatangannya dipulau Ong poan san adalah untuk menyelidiki musuh yang telah mencelakakan Jie Thay Gam, sehingga ia tak boleh merusak tujuannya sendiri dengan mengumbar napsu amarah. Ia juga ingat, bahwa biarpun berusia lebih tinggi dari padanya, kedua Kiamkek Koen loen pay itu adalah orang orang tidak tenama yang baru menceburkan diri kedalam dunia Kangouw. Maka itu, tak pantas ia meladeninya. Di samping itu, iapun mengakui, bahwa Peh bie kauw memang suatu agama yang menyeleweng dan In So So serta Siang Kim Pang adalah manusia-manusia kejam yang dapat membunuh sesama manusia seperti orang menyuap nasi. Ia memang sudah mengambil putusan untuk tidak bergaul terus dengan orang itu.

Memikir begitu, ia lantas saja tersenyum seraya berkata: "Dengan orang-orang Peh kie kauw, aku pun baru berkenalan, tidak berbeda dengan kedua Jin heng."

Keterangan itu mengherankan hatinya semua orang, kecuali si nona sendiri, Pek Kwie Sioe dan Siang Kim Pang pun semula menduga, bahwa persahabatan antara nona In dan Coei San sudah berjalan lama. In So So sendiri merasa sangat mendongkol. Ia mengerti, bahwa dengan berkata begitu, Coei San memandang rendah kepada Peh bie kauw. Ko Cek Sang dan Chio Tauw saling mengawasi dengan senyuman mengejek. Mereka menganggap, bahwa Coei San sudah jadi ketakutan karena mendengar nama Koen loan pay.

"Kecuali Bek Siauw pangcoe, semua tetamu sudah tiba," kata Pek Kwie Sioe. "Kita tak usah menunggu ia. Sekarang kalian boleh jalan-jalan di pulau ini secara bebas dan sebentar tengah hari, harap kalian suka datang dilembah untuk minum arak dan melihat golok mustikaku."

Siang Kim Pang tertawa. "Perahu Bek Siauw pangcoe mendapat kerusakan dan atas permintaan Thio Siangkong, mereka telah ditolong," ia menerangkan. "Sekarang Siauw pangcoe itu berada dalam perahuku. Sebentar kita boleh mengundangnya untuk menghadiri pertemuan"

Biarpua kedua Tan coe itu bersikap sangat hormat dan walaupun In So So memperlihatkan kecintaannya, Coei San sudah mengambil keputusan untuk menjauhkan diri. Maka itu, ia segera berkata: "Siauwtee ingin jalan-jalan sendiri," tanpa menunggu jawaban, ia segera berjalan kearah sebuah hutan di sebelah timur.

Kecuali bukit-bukit dan hutan-hutan kecil. di Pulau itu tidak ada pemandangan yang berharga. Disebelah tenggara terdapat sebuah pelabuhan di mana berlabuh belasan perahu, yaitu perahu-perahu para tetamu. Sambil menunduk Coei San berjalan disepanjang pantai dan sembari berjalan ia mengasah otak. Ia merasa sangat tidak puas dengan kekejaman dan sepak terjang In So So, tapi sungguh heran, hatinya seperti juga dibetot betot dan tak dapat melupakan nona yaag cantik itu.

"Tak dapat disangkal lagi, In kauwnio mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam Peh bie kauw," pikirnya. "Pek Tancoe dan Siang Tancoe menghormatinya seperti juga ia seorang puteri. Tapi sudah terang ia bukan Kauw coe. Siapa dia?"

Dilain saat, ia berkata pula didalam hatinya: "Dalam pertemuan ini yang dihimpunkan oleh Peh bie kauw, partai-partai lain telah mengirim wakil-wakilnya yang paling jempolan. Tapi Peh bie kauw sendiri hanya mengutus seorang Tan coe, seolan-olah mereka tidak memandang sebelah mata kepada pihak lawan. Dari gerakan-gerakannya, kepandaian Pek Tancoe berada di sebelah atas Siang Tancoe. Dilihat begini, Peh bie kauw sungguh-sungguh tidak boleh dipandang enteng. Biarlah hari ini aku menyelidiki asal usul mereka, Mungkin sekali di kemudian hari Boe tong Cit hiap akan bertempur mati-matian dengan mereka." Selagi memikir begitu, tiba tiba ia dengar suara beradunya senjata di luar hutan.

Ia heran dan lalu menuju kearah suara itu.

Jauh-jauh ia lihat Ko Cek Seng dan Chio Tauw sedang berlatih pedang dengan ditonton oleh In So So. "Soehoe sering mengatakan, bahwa kiam sut (ilmu pedang) Koen loen pay lihay bukan main dan diwaktu masih muda, beliau pernah bertempur dengan seorang pentolan Koen loan pay yang ber gelar Kiam Seng (Nabi pedang)," pikirnya: "Kesempatan untuk menyaksikan ilmu pedang itu sebenar-benarnya tidak boleh disia-siakan. Akan tetapi, menurut peraturan Rimba persilatan, jika orang sedang berlatih silat, orang tidak boleh mencuri lihat." Sebagai murid dari sebuah rumah perguruan yang terhormat, Coei San sungkan melanggar peraturan itu, sehingga oleh karenanya, biarpun didalam hati ia sangat kepingin menonton, tetapi sesudah melihat beberapa kali, ia segera memutar badan dan berjalan pergi.

Diluar dugaan, baru satu dua tindak, ia telah dilihat In So So yang sambil menggapai-gapai, lantas saja berteriak : "Thio Ngoko, kemari!"

Coei San tahu, bahwa jika tidak menghampiri, ia bisa dicurigai sebagai orang yang benar sudah mencuri lihat latihan pedang itu. Maka itu, ia lantas saja mendekati seraya berkata : "Kedua Heng tay tengah berlatih dan tak pantas kita berdiam disini lama-lama. Mari kita pergi ketempat lain."

Sebelum sinona keburu menjawab,mendadak berkelebat sinar pedang dan "brett !" pedang Chio tauw telah menggores lengan kiri Ko Cek Sang yang lantas saja mengucurkan darah.

Coei San terkejut, ia duga Chio Tauw kesalahan tangan. Tapi ia lebih kaget lagi, karena tanpa mengeluarkan sepatah kata dan dengan paras muka merah padam, Ko Cek Seng mengirim tiga serangan beruntun yang sangat hebat dan ditujukan kearah bagian-bagian tubuh yang membinasakan. Sekarang baru ia tabu, bahwa kedua orang itu bukan berlatih, tapi sedang bertempur sungguhan.

In So So tertawa dan berkata : "Dilihat begini, sang Soeko belum dapat menandingi siadik. Menurut pendapatku ilmu Chio heng lebih unggul sedikit."

Mendengar perkataan itu, sambil bergertak gigi, Ko Cek Seng memutar tubuh dan menyabet dengan pedangnya dalam pukulan Pek tiang hoe po (Air tumpah beratus tombak panjangnya). Pedang itu menyambar dari atas kebawah, seolah-olah turunnya air tumpah. Dengan menggunakan seantero kelincahannya, Chio Tauw coba mundur kebelakang, tapi pedang Ko Cek Seng tiba-tiba berubah arah dan dengan satu suara "brett !," ujung pedang mengenakan jitu dibetis kirinya.

Sinona tertawa geli dan menepuk nepuk tangan.

"Aha ! Kalau begitu sang Soeheng mempunyai ilmu simpanan!" teriaknya "Kali ini Chio heng yang kalah."

"Belum tentu !" bentak Chio Tauw dengan gusar sambil menyerang dengan pukulan Ie tehhoei hoa (Hujan menghantam bunga yang beterbangan). Pedangnya menyambar nyambar dalam gerakan miring kadang-kadang diseling dengan tikaman lurus. Sebagai murid Koen loen pay, Ko Cek Seng tentu saja paham dalam ilmu pedang itu dan tanpa sungkan sungkan lagi iapun segera membuat serangan serangan membalas. Mereka berdua sudah sama-sama terluka dan biarpun tidak berbahaya, dalam perterpuran, darah mereka beterbangan kian kemari, sehingga muka, tangan dan pakaian mereka penuh dengan noda darah. Semakin lama mereka terus bertempur semakin sengit dan ahirnya mereka saling tikam mati-matian, seolah olah sedang berhadapan deagan musuh besar,

Dilain pihak, In So So saban-saban tertawa dan menepuk-nepuk tangan, sebentar ia memuji yang satu, sebentar memuji yang lain.

Sekarang Coei San mengerti, bahwa bertempurnya kedua saudara seperguruan itu adalah karena gara-gara sicantik, yang rupanva sudah menjalankan siasat adu domba, karena mendongkol atas ejekan mereka terhadap Pak bie kauw. Sesudah mengawasi beberapa lama, ia berpendapat, bahwa meskipun mereka cukup paham dalam ilmu pedang, perubahan perubahan pedang masih kurang cepat den Lweekang merekapun masih belum cukup tinggi.

"Thio Ngoko," kata sinona dengan suara gembira. "Bagaimana pendapatanmu dengan Kiang hoat Koen loan pay ?"

Coei San tidak menjawab. Ia mengerutkan alis seperti orang sebal. Melihat begitu, So So lantas saja berkata : "Sudahlah ! begitu-begitu juga. Aku pun sudah merasa sebal. Mari kita pergi kesitu untuk menikmati pemandangan langit." Sehabis berkata begitu ia menarik tangan kiri Coei San dan berjalan pergi.

Jantung Coei San berdebar keras. Ia merasa tangan nya dicekal dengan tangan yang empuk halus, sedang hidungnya mengendus bebauan yang sangat wangi. Ia mengerti, bahwa dengan berbuat begitu, So So sengaja ingin membangkitkan rasa jelus dan guramnya kedua murid murid Koen loen pay itu. Karena merasa tak enak untuk melepaskan tangannya, tanpa menneluarkan sepatah kata, ia segera mengikuti.

Mereka berdiri ditepi laut sambil memandang air yang seakan-akan tiada batasnya. Beberapa saat kemudian, So So mendadak berkata: "Dalam kitab Congcoe dibagian Chioe soei pian terdapat kata kata begini: Air dikolong langit tak ada yang lebih besar dari pada lautan. Laksana sungai mengalir kedalam laut. Entah kapan sungai-sungai itu berhenti mengalir dan tidak memenuhkan lautan. Tapi Sang laut sedikitpun tidak jadi sombong dan hanya berkata: Aku berada diantara langit dan bumi seperti juga sebutir batu atau satu pohon kecil yang tumbuh disebelah gunung yang besar. Setiap kali membaca kitab itu, aku mengagumi Cong coe (Chuang tze) tidak habisnya, karena dari tulisan-tulisan tersebut, ia sungguh sungguh seorang

berjiwa besar"

Mendengar perkataan sinona Coei San kaget. Ia merasa tak puas melihat cara-cara nona In yang sudah mencari kesenangan dengan mengadu domba kan orang. Sedikitpun ia tidak nyana, bahwa memedi perempuan yang dapat membunuh manusia tanpa berkesip, dapat mengutip kata-kata dari kitab Cong coe.

Kitab Cong coe adalah sebuah kitab yang mesti dibaca dan dipelajari oleh murid-murid agama Too kauw. Waktu masih berguru di Boe tong sn, ia dan saudara-saudara seperguruannya sering sekali mendengar penjelasan-penjelasan Thio Sam Hong mengenai isi kitab itu.

Demikianlah dalam rasa kaget dan herannya, tanpa merasa ia segara berkata: "Benar. Ribuan li jauhnya, tak dapat dikatakan besar, ribuan kaki tak dapat dikatakan dalam."

Dendengar Coei San mengutip kitab Congcoe untuk melukisan besarnya dan dalamnya lautan, sedang pada muka pemuda itu terlihat paras penuh penghormatan, sinona segera berkata : "Apakah kau ingat Soehoemu ?"

Coei San terkesiap, tanpa merasa ia mengangsurkan tangan kanannya dan'mencekal tangan sinona yang satunya lagi. "Bagaimana kau tahu apa yang dipikir olahku?" tanyanya dengan suara heran.

Hal ini mempunyai latar belakang seperti berikut:

Dulu waktu berada digunung Boe tong san, pada suatu hari ia bersama-sama Song Wan Kiauw dan Jie Thay Giam membaca kitab Congcoe. Sesudah membaca "Ribuan li jauhnya, tak dapat dikatakan besar, ribuan kaki tak dapat dikatakan dalam", Jie Thay Giam berkata: "Dalam berguru dengan Soe hoe, semakin lama belajar, aku merasa semakin berbeda jauh dengan kepandaian beliau, seperti juga, sebaiknya daripada maju, kita mundur setiap hari menurut pendapatku, kata-kata Cong coe itu adalah yang paling tepat untuk melukiskan kepandaian Soehoe yang tak dapat diukur berapa dalamnya."

Mendengar perkataan saudara itu, Wan Kiauw dan Coei San memanggut manggutkan kepalanya.

Itulah sebab musabab mengapa begitu mengutip kata-kata itu, ia lantas saja ingat gurunya yang tercinta.

"Dengan melihat paras mukamu, aku segera mengetahui, bahwa jika bukan ingat kedua orang tuamu, kau tentu ingat gurumu," jawab si nona. "Oleh karena dalam dunia ini hanyalah Thio Sam Hong seorang yang surup untuk dilukiskan dengan perkataan itu, maka aku segera menduga pasti, bahwa yang diingat olehmu adalah Soehoemu."

"Kau sungguh pintar," kata Coai San dengan suara kagum. Sesaat itu, tiba-tiba ia sadar, bahwa kedua tangannya sedang mencekal kedua tangan si nona. Paras mukanya lantas saja berubah merah dan buru-buru ia melepaskannya.

"Apakah kau boleh memberitahukan kepadaku, berapa tingginya ilmu silat gurumu?" tanya So So.

Pemuda itu tidak lantas menjawab. Sesudah memikir sejenak baru ia berkata. "Ilmu silat adalah ilmu yang tidak begitu penting. Apa yang diajar dari beliau bukan terbatas pada ilmu silat saja. Hai! Luas dan dalam ... entah bagaimana aku harus menceriterakannya."

Sinona tersenyum seraya berkata: "Hoecoe bertindAk, aku turut bertindak. Hoecoe berjalan, aku turut berjalan. Hoecoe lari aku turut lari. Tapi begitu lekas Hoecoe lari cepat, biarpun mengikuti sebisa-bisanya, aku tetap ketinggalan jauh" (Hoe coe berarti guru, tapi disini dimaksudkan Khong coe atau Khongfusius).

Mendengar sinona mengutip kata-kata pujian Gan Hwee (murid Khongcoe ) terhadap Khongcoe, Coei San lantas saja berkata: "Tapi guruku tak usah lari keras. Sekali ia berjalan atau lari pelan pelan, kami sudah tidak dapat mengikutinya." Dari perkataan itu dapatlah diketahui, bahwa pemuda itu sangat memuja gurunya

Demikianlah, dengan duduk berendeng diatas sebuah batu besar, kedua orang muda itu merunding kan ilmu surat dan iimu silat secara panjang lebar dan mendalam.

Sebagai seorang yang berpengetahuan tinggi dan sangat cerdas, In So So selalu dapat menimpali Coei San dalam omong-omong itu.

Tiba-tiba terdengar suara tindakan dan batuk batuk, disusul dengan suara orang: "Thio Siangkong, In Kouwnio, Ngo sie (tengah hari) sudah tiba. Harap kalian suka pergi ketempat perjamuan."

Coei San menengok dan melihat Siang Kim Peng berdiri dalam jarak belasan tombak dan mengawasi mereka dengan bersenyum. Dari paras mukanya, ia kelihatan merasa kagum dan girang melihat dua sejoli yang setimpal itu. Menurut kebiasaan, In So So sombong dan kurang ajar jika berhadapan dengan orang-orang sebawahannya. Tapi kali ini, dengan muka kemerah merahan ia menundukkan kepala.

Siang Kim Peng lantas saja memutar badan dan berjalan lebih dulu dengan tindakan lebar.

"Aku jalan lebih dulu," bisik sinona.

Coei San tak mengerti, tapi ia lantas saia mengangguk.

In So So lantas saja berlari lari dan berjalan berandeng dengan Siang Kim Peng. "Bagaimana dengan kedua bocah tolol dari Koen loen itu ?" demikian terdengar pertanyaan si nona.

Coei San mengawasi mereka dengan perasaan sukar dilukiskan dan kemudian, sesudah mereka terpisah jauh, barulah ia mengikuti dengan tindakan perlahan.

Begitu tiba dimulut lembah, ia lihat tujuh delapan meja persegi disebidang tanah lapang rumput. Kecuali meja utama disebelah timur, semua meja sudah penuh orang.

Melihat kedatangan Coei San, Siang Kim Peng segera bangun berdiri dan berteriak dengan suara nyaring: "Thio Ngohiap dari Boe tong pay". Hampir berbareng, Pek Kwie Sioe juga bangun dari tempat duduknya dan kemudian dengan masing-masing diikuti oleh lima orang Hio Coe kedua Tan coe itu meninggalkan meja perjamuan untuk menyambut tamu yang baru datang itu. Duabelas orang itu berdiri berjejer dikedua pinggir dan menyambut sambil membungkuk.

"Hian boe tan Pek Kwie Sioe dan Ciak tan Siang Kim Peng yang berada dibawab perintah In Kauw coe dan Peh bie kauw, menyambut kedatangan Thio Ngohiap!" seru Pek Kwie Sioe dengan suara nyaring, In So So sendiri tidak meninggalkan meja, tapi ia turut bangun sendiri.

Mendengar kata-kata "In Kauw coe." hati Coei San berdebaran. "Kalau begitu, kepala agama Peh bie kauw benar seorang she In," katanya didalam hati. Segera ia menangkap kedua tangannya dan berkata: "Tak berani aku menerima kehormatan yang begitu besar." Begitu datang dekat meja-meja perjamuan ia mendapat kenyataan, bahwa semua orang mengawasinya dengan paras mendongkol. Ia merasa heran, tapi tidak memperdulikan.

Yang menjadi sebab dari perasaan mendongkol itu adalah karena kedatangan pemimpin-pemimpin Hay see pay, Kie keng pang dan Sin koen boen hanya disambut oleh seorang Hio coe dan tidak mendapat kehormatan seperti yang didapat oleh jago Boe tong pay itu. Keruan saja mereka merasa dihina, tapi kejadian itu tidak diketahui Coei San.

Dengan sikap hormat Pek Kwie Sioe mengantarkan pemuda itu kemeja utama disebelah timur dan mengundang supaya dia duduk disitu. Dimeja itu, yang mempunyai kedudukan paling mulia, hanya terdapat sebuah kursi. Coei San menyapu seluruh gelanggang perjamuan dengan matanya dan is mendapat kenyataan, bahwa dilain-lain meja berduduk tujuh delapan orang, hanya dimeja keenam berduduk dua orang, yaitu Ko Cek Seng dan Chio Tauw.

"Aku yang rendah adalah seorang muda yang berkepandaian cetek," katanya dengan suara nyaring. "Tidak berani aku duduk dimeja utama itu."

"Dalam Rimba Persilatan, Boe tong pay merupakan gunung Thay san atau bintang Pak tauw," kata Pek Kwie Sioe. "Kalau Thio Ngohiap yang namanya menggetarkan seluruh negara tidak berani duduk, siapa lagi yang berani duduk disitu ?"

Tapi Coei San yang selalu diajar oleh gurunya untuk merendahkan diri, tetap menolak.

Sementara itu, Ko Cek Seng dan Chio Tauw saling memberi isyarat dengan lirikan mata. Tiba tiba Chio Tauw mengangkat kursinya dan melontarkannya kearah meja utama. Antara meja yang didudukinya dan meja utama itu terdapat lima belas meja lain. Dengan menggunakan Lweekarg yang tepat. kursi itu terbang diatas kepala para tamu dan hinggap disamping kursi utama. Begitu lekas Chio Tauw memperlihatkan kepandaiannya, Ko Cek Seng segera berseru : "Huh huh ! Thaysan .....Pak tauw ! Siapa yang mengangkat Boe tong pay menjadi Thaysan Pak tauw? Jika si orang se Thio tidak berani duduk disitu, biarlah kami berdua yang menggantikannya." Bersama Soetee nya, ia segera melompat kemeja utama itu.

Bagaimana kedua saudara seperguruan jadi bertempur dan sesudah bertempur mati-matian, mereka akur kembali ?

Tadi, sesudah barkenalan, dalam kedongkolannya karena kedua pemuda itu sudah mengejek Peh bie kauw, In So So segera menanya siapa di antara mereka berdua yang ilmu pedangnya terlebih tinggi dan mengatakan, bahwa ia ingin sekali mempelajari beberapa pukulan dari Koenloen Kiamhoat. Kedua pemuda itu yang sudah dirubuhkan oleh kecantikan si nona, lantas saja menghunus pedang.

Semula mereka hanya ingin memperlihatkan keunggulan dalam sebuah latihan, tapi semakin lama mereka jadi semakin sengit dan ditambah dengan ejekan-ejekan So So, akhirnya mereka jadi bergempur mati-matian dan kedua-duanya terluka.

Belakangan, sesudah si nona dan Coei San meninggalkan mereka sambil bergandengan tangan, barulah mereka tersadar dan menghentikan pertempuran itu. Dengan rasa malu dan gusar, mereka membalut luka, tapi mereka tak berani mengunjuk kegusaran terang-terangan kepada nona In.

Demikianlah, mereka sekarang ingin merebut kursi yang ditawarkan kepada Coei San untuk menghina pemuda itu dihadapan orang banyak.

"Tahan!" bentak Siang Kim Peng sambil merentang tangannya.

Ko Cek Seng segera mengangkat tangannya untuk menotok jalan darah dilengan Kim Peng.

Tapi sebelum ia turun tangan, Coei San sudah mendahului berkata: "Jie wie berdua memang paling cocok duduk di sini," kata Coei San. "Biarlah aku duduk disitu." Sambil berkata begitu, ia berjalan kemeja keenam.

"Thio Ngoko, kemari! " seru In So So sambil menggapai.

Coei San segera mendekati, karena menduga si nona ingin berbicara dengannya. Tapi diluar dugaan, So So menarik sebuah kursi dan menaruhnya di samping kursinya. "Kau duduk disini saja." katanya sambil tersenyum.

Coei San jengah bukan main dan untuk sejenak ia tak tahu harus berbuat bagaimana. Kalau duduk disitu, ia merasa malu. Kalau menolak, penolakan itu merupakan hinaan besar untuk sinona.

"Aku ingin bicara denganmu," bisik SoSo.

Melihat sorot mata memohon dari sinona, Coei San merasa tak tega untuk menolak dan lantas saja duduk dikursi itu. Nona In jadi sangat girang dan sambil bersenyum-senyum, ia menuang secawan arak.

Di lain pihak melihat duduknya Coei San di samping nona In, walaupun sudah berhasil merebut kedudukan utama, Kok Cek Seng dan Chio Tauw jadi semakin medongkol. Pada sebelum mereka duduk dikedua kursi itu, Pek Kwie Sioe menyelak dan mengebut-ngebut kursi itu dengan menggunakan tangan bajunya. "Memang pantas Taykiamkek dari Koen loen pay duduk dikursi utama," katanya sambil tertawa. "Duduklah." Sehabis berkata begitu, dengan bersama Siang Kim Peng dan sepuluh Hio coe, ia segera kembali ke tempat duduknya.

Dengan anggapan bahwa mereka sudah berhasil menindih lawannya, Ko Cek Seng dan Chio Tauw segera duduk dikedua kursi itu. Tapi berbareng dengan suara "krekek", kaki kursi patah dan mereka rubuh terjengkang. Untung juga, sebagai ahli-ahli silat, begitu rubuh, begitu mereka melompat bangun. Tak usah dikatakan lagi, mereka malu bukan main, lebih-lebih karena para hadirin tertawa terbahak-bahak. Ko Cek Seng mengerti, bahwa patahnya kaki kursi adalah karena perbuatan Pek Kwie Sioe yang mengerahkan Lwee-kang pada waktu mengebut-ngebut dengan tangan bajunya. Ia yakin, siorang she Pek telah menggunakan tenaga Im kin (tenaga dingin) yang tidak dipunyakan olehnya sendiri. Ia adalah seorang yang sombong dan sama sekali tidak memandang mata kepada Peh bie kauw yang dianggapnya sebagai agama menyeleweng.

Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwa dalam Peh bie kauw terdapat orang yang berkepandaian sedemikian tinggi.

Sementara itu, dengan suara tawar Pek Kwie Sioe berkata pula: "Semua orang tahu, bahwa ilmu silat Koen loen pay lihay luar biasa. Akan tetapi, janganlah Jie wie menumplek hawa marah kepada kursi itu. Ilmu yang barusan diperlihatkan Jie wie, aku yakin dimiliki oleh semua orang yang hadir disini." Ia menuding kepada sepuluh orang Hiocoe yang duduk dimeja paling ujung, Hampir ber bareng, diiringi dengan suara "krekek-krekek", sepuluh kursi patah kakinya dan sepuluh Hio coe itu bangun berdiri dengan sikap tenang.



DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar