Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 11

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 11
Anonim

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
----------------------------- 
Bagian 11

Cia Soen jadi tertawa terbahak-bahak. "Omong kosong!" katanya dengan suara nyaring. "Perbuatan baik mendapat pembalasan baik, perbuatan jahat mendapat pembalasan jahat! itu semua omong kosong belaka! Orang-orang Boe tong pay paling suka membaca kitab Cong coe dan sebagai murid Boe tong, kau tentu paham dengan isinya kitab itu."

"Dalam kitab tersebut terdapat kata-kata yang seperti berikut: Dalam dunia ini, Kaizar Oey Tee dianggap sebagai manusia yang berkedudukan paling tinggi. Tapi Oey Tee masih belum dapat menyempurnakan kemuliaannya. Dalam peperangan dilembah To Ok, ia telah mengalirKan darah sampai ratusan li jauhnya. Kaizar Gouw tidak welas asih, Kaizir soen tidak berbakti. Kaizar Ie sempit pemandangannya. Kaizar Tong mengusir majikannya, Boe ong menyerang Tioe, sedang Boe ong menangkap Kiang Lie. Sepanjang sejarah, keenam kaizar itu dianggap sebagai manusia-manusia yang paling mulia. Untuk kepentingan pribadi ahli-ahli sejarah telah memutar balikkan kenyataan-kenyataan secara tidak mengenal malu."

"Sekarang aku mau menanya, Apa artinya perkataan perkataan itu? Oey Tee yang selalu dianggap sebagai seorang nabi, masih dapat membunuh begitu banyak manusia dan mengalirkan darah sampai ratusan li. Jika dibandingkan dengan itu, apa artinya perbuatanku yang hanya membinasakan beberapa manusia saja dan mengalirkan darah yang jauhnya hanya beberapa tindak?"

Coei San tak pernah menduga, bahwa manusia yang macamnya begitu menyeramkan dan sepak terjangnya begitu kejam ganas, dapat menghapal kitab-kitab kuno. Rasa kagumnya jadi semakin besar dan ia berkata dengan sikap menghormat:

"Cia Cianpwee, apa yang barusan dihapal olehmu adalah bagian To tit pian dari kitab Cong coe dan bagian itu dipalsukan orang, bukan ditulis oleh Cong coe sendiri."

"Andai kata benar bagian tersebut ditulis oleh seorang lain tapi yang penting bukan penulisnya." kata Cia Soen "Yang menjadi soal ialah: Apakah tulisan itu beralasan atau tidak?"

"Beralasan terang beralasan juga." jawab Coei San. "Tapi tulisan itu yang menyerang kaizar kaizar jaman dulu, terlalu mencari-cari kesalahan orang dan menurut kesempurnaan dalam dirinya manusia, sedang pada hakekatnya, dalam dunia yang fana ini, tidak ada manusia yang pernah berbuat kesalahan."

Cia Soen mengeluarkan suara dihidung. "kau selalu mencari cari alasan untuk membela orang-orang itu," katanya. "Dalam kitab Kit bong soe terdapat tulisan seperti ini: Soan mengusir Giauw di Pang yang. Ek dibunuh oleh Kit. Dalam kitab Siang sie Tong cek terdapat kata kata: Tong mengusir Kiat di Lam co dan perbuatan itu sangat mengurangkan kemuliaannya Nah, lihatlah! Bukankah kedua kitab terang-terang mengunjuk, bahwa kaizar-kaizar jaman dulu yang begitu dimulaikan sebenarnya tidak begitu mulia ?"

Coei San kembali bengong untuk beberapa saat." Aku seorang yang berpengetahuan dangkal dan belum pernah membaca kitab-kitab" katanva "Tapi halnya kaizar-kaizar itu terjadi dijaman purba, sehingga benar tidaknya tak dapat diketahui dengan pasti."

"Baiklah, Jika begitu, sekarang bicarakan saja kejadian-kejadian yang belakangan," kata Cia Soen "Tadi, kau mengatakan, bahwa perbuatan baik akan mendapat pembalasan baik dan perbuatan jahat akan mendapat pembalasan jahat. Tapi kenyataannya tidak selamanya begitu Cong-coe berkata seperti berikut: Benda diluar selamanya belum dapat dipastikan. Maka itulah, Liong Hong dibinasakan. Pie Kan binasa, Kie Coe jadi gila. Ok Lay meninggal dunia. Kiat dan Coe juga habis nyawanya. Orang yang menjadi raja selalu mengharapkan kesetiaan menteri menterinya, akan tetapi menteri setia belum tentu dipercaya. Maka itulah, Ngo Yan menceburkan dirinya disungai. Sedang Tiang Sie binasa di negeri Siok."

"Itulah kata-kata yang ditulis Cong coe. Disamping itu, kau tentu tahu, bahwa Souw Cin telah berhasil mempersatukan enam negara, tapi ia sendiri celaka. Koet Goan seorang menteri setia, tapi belakangan ia sampai membuang diri disungai Bie lo, Han Sin berjasa besar untuk negaranya, tapi tak urung ia binasa didalam penjara. Sekarang marilah tengok orang-orang peperangan, Tang Ngay berhasil merebut Siok han, tapi ahkirnya ia masuk kerangkeng. Atas bantuan Ngo Coe Sie, negeri Gouw menjagoi, tapi Ngo Coe Sie sendiri didesak oleh rajanya, sehingga ia mesti membunuh diri.

"Han ko couw telah merebut dunia (Tiongkok) atas bantuan Han Sin, tapi ia masih tega untuk membunuh Han Sin. Sesudah mengalahkan Tio Coei di Liang peng. Raja Cin berbalik membunuh Pek Kie. Dilihat dari contoh-contoh itu, siapa kata perbuatan baik akan mendapat pembalasan baik?"

Coei San menghela napas panjang. Ia berduka karena mengingat, bahwa diantara jenderal-jenderal ternama, seperti Teng Ngai, Ngo Coe Sie, Han Sin, Pek Kie, Lie Kong, Man Wan dan lain lain, banyak sekali yang menjadi korban kaizar kaizar kejam.

Sementara itu Cia Soen berkata pula: "Dengan segenap jiwa dan raga. Tay hoe Boen Ciong telah mengabdi kepada Gouw ong Kouw Cian, sehingga Kouw Cian dapat merebut pulang negerinya. Tapi bagaimana akhirnya ? Akhirnya Boen Ciong dibunuh mati oleh Kouw Cian."


"Kay Coe Twie mengikuii Ciong Nyie dalam mengunjungi berbagai negeri, sehingga Ciong Nyie belakangan dapat pulang kenegeri Cin dan menjadi Raja Cin boen kong. Akan tetapi, Cin boon kong bukan saja sudah melupakan jasa-jasa Kay Coe Twie bahkan belakangan ia membakar gunung sehingga Kay Coe Twie mati kebakar."

"Hok Kong bersetia kepada kerajaan Han, tapi sesudah ia mati, kaizar Han membunuh serumah tangganya."

"Pada jaman Sam Kok, Liok Soen telah mengalahkan Lauw Pie dan membakar tenda-tenda tentara yang panjangnya tujuh ratus sehingga menyelamatkan Tong gouw dari kemusnahan. Tapi tak urung Soen Koan bercuriga dan menulis surat berulang-ulang. sehingga karena jengkel ia meninggal dunia."

"Pada jaman Tong, Pang Hiang Lang berhamba kepada Tong thay cong. Ia mengunjuk kesetiaannya, sehingga namanya dipuji tinggi dalam kitab sejarah. Tapi pada akhirnya, seluruh keluarganya tak urung di sapu bersih juga oleh sang kaizar ...."

Dengan bersemangat, terus-menerus Cia Soen memberi contoh-contoh dari sejarah, cara bagaimana menteri setia menjadi korban dalam tangannya kaizar kaizar kejam. Sebagian contoh itu dikenal, sebagian pula tidak dikenal oleh Coei San.

Dari sini dapatlah dilihat betapa dalam pengetahuan Cia Soen mengenai ilmu surat dan pengetahuannya itu bahkan melebihi sasterawan biasa.

Sambil mengawasi ketempat jauh, Coei San merenungkan perundingan itu.

"Hm ..... sekarang kau lihatlah !" kata pula Cia Soen. "Kau lihatlah .. . baik dibalas baik, jahat dibalas jahat, tidak selamanya begitu. Banyak manusia jahat hidup mewah dan berkedudukan tinggi. Kita ambil contoh yang paling terkenal. Han ko couw Lauw Pang adalah manusia kejam. Waktu ia akan perang, untuk menyelamatkan jiwa sendiri, dia melontarkan putera puteri kandungnya kebawah kereta."

"Satu waktu Hang Ie telah menangkap ayahnya dan ia diberitahukan, bahwa daging sang ayah bakal dimasak, Tapi Lauw Pang cukup tega untuk berkata begini: Sesudah dimasak, bagilah sedikit kepadaku untuk dicoba. Tapi manusia kejam, manusia tidak berbakti itu, bukan saja sudah menjadi kaizar, tapi juga berumur panjang dan mati baik-baik diatas pembaringan. Huh! Tong thay tiong membunuh kakak dan adiknya sendiri dan kemudian mendesak ayah andanya sambai begitu rupa, sehingga, mau tidak mau sang ayah terpaksa menyerahkan kedudukan kepada anak durhaka itu."

"Song thay cong pun tidak kalah kejamnya. Ia juga manusia yang telah membunuh saudara sendiri. Dalam kalangan Kang ouw, manusia-manusia begitu dipandang luar biasa jahat. Tapi pembalasan apa yang didapat mereka ?"

"Mengenai kekejaman kaizar-kaizar jaman dulu, apa yang dikatakan Cia Cianpwee memang benar sekali," kata Coei San. "Diantara sepuluh, ada sembilan kaizar yang sangat kejam dan buas. Dengan kekuasaannya yang tidak terbatas, mereka membunuh manusia dan berbuat sewenang-wenang, sesuka hati. Mungkin sekali, dihari kemudian akan tiba temponya, kapan dunia tidak melihat lagi kaizar yang memiliki kekuasaan tidak terbatasi."

"Tapi biar bagaimanapun jua, aku tetap ber pendapat, bahwa perbuatan baik akan mendapat pembalasan baik dan perbuatan jahat akan mendapat pembalasan jahat."

"Menurut pendapatku, tujuan terutama dari hidupnya manusia dalam dunia ina adalah mencari keberuntungan dalam rupa ketenangan jiwa dan kepuasan batin. Dan seseorang barulah bisa merasa beruntung, jika ia tahu, bahwa selama hidupnya, ia telah berbuat banyak kebaikan terhadap sesama manusia."

"Mengenai kaizar-kaizar itu atau menteri-menteri dorna yang banyak mencelakakan manusia, sedikit pun aku tidak percaya, jika dikatakan mereka tidak meadapat pembalasan. Manusia yang bermusuhan dengan ayah atau saudara sendiri bahkan mencelakakannya adalah manusia yang paling tidak beruntung didalam dunia. Bayangkanlah penderitaan batin dari manusia-manusia itu! Mana boleh mereka tidak terhukum? Mereka mungkin terlolos dari hukuman lahir, tapi mereka pasti tidak terlolos dari hukuman batin dan hukuman batin adalah hukuman yang terhebat, karena orang terhukum tidak sedikitpun dapat mencicipi kesenangan dan kepuasan di dalam hatinya. Maka itulah, aku tetap berpendapat bahwa siapa yang menyabar angin pasti akan mendapat taufan."

Sesudah mendengar perundingan yang panjang itu, paras muka Cia Soen agak berubah. Dalam hati kecilnya, ia mengakui kebenaran perkataan pemuda itu. Tapi ia tentu saja sungkan mengaku terang terangan. Sesaat kemudian, sambil mengawasi Coei San dengan sorot mata tajam, ia berkata dengan suara mengejek: "Kudengar gurumu yaitu Thio Sam Hong, berilmu tinggi. Hanya sayang aku belum pernah bertemu dengannya. Kau adalah salah seorang murid terutama dari Thio Sam Hong dan aku merasa menyesal karena mendapat kenyataan bahwa pemandanganmu begitu tolol. Kurasa Thio Sam Hong tiada banyak bedanya denganmu dan aku boleh tak usah pergi menemuinya."

Melihat Cia Soen mempunyai pengetahuan tinggi dalam ilmu surat dan ilmu silat, Coei San merasa sangat kagum. Tapi, karena mendadak orang itu memandang rendah kepada gurunya, yang dipuja olehnya bagaikan malaikat, darahnya lantas saja meluap. "In soe (guruku) memiliki kepandaian sedemikian tinggi, sehingga tak akan dapat diukur oleh manusia biasa," katanya dengan suara keras.

"Ilmu Cianpwee sangat tinggi dan tak dapat dilawan oleh orang-orang muda. Tapi dimata Insoe, Cia Cianpwee hanyalah seorang kasar yang tidak kenal budi."

Mendengar kata-kata itu, In So So kaget bukan main dan buru-buru menarik ujung baju Coei San. Tapi pemuda itu yang sedang panas perutnya, lantas saja berkata: "Seorang laik-laki, jika mesti mati, biarlah mati, tapi tak dapat ia membiarkan gurunya dihina orang"

Diluar dugaan, Cia Soen tidak menjadi gusar. "Thio Sam Hong adalah seorang guru besar dan pendiri sebuah partai yang besar pula," katanya dengan suara tawar. "Mungkin sekali, ia memiliki kepandaian tinggi. Ilmu silat tiada taranya. Bukan tak bisa jadi bahwa jika dibandingkan, kepandaianku tak nempil dangan kepandaiannya. Nanti, di satu hari, aku pasti akan mendaki Boe tong san untuk meminta pelajaran. Thio Ngohiap, ilmu apa yang kau paling mahir? Hari ini aku siorang she Cia ingin menambah pengalaman."

In So So terkejut. Sesudah menyaksikan kepandaian Cia Soen, ia mengerti, bahwa Coei San bukan tandingan orang itu. Maka itu ia lantas saja berkata : "Cia Cianpwee, To liong to sudah jatuh kedalam tanganmu dan semua orang merasa kagum melihat kepandaianmu. Apa lagi yang kau mau ?"

"mengenai To liong to, semenjak dulu telah tersiar beberapa kata-kata yang sampai sekarang belum dapat dipecahkan orang." kata Cia Soen. "Apakah kau tahu bunyi kata-kata itu ?"

"Ya," jawabnya.

"Golok ini katanya sebuah senjata yang paling dihormati dalam Rimba Persilatan dan siapapun juga yang memilikinya, akan dapat memerintah di kolong langit dan tiada manusia yang akan menentangnya," kata pula Cia Soen. "Tapi sampai sekarang, belum ada juga yang tahu, rahasia apa bersembunyi dalam golok ini. Apakah benar orang yang memilikinya dapat memerintah orang-orang gagah dalam Rimba Persilatan ?"

"Cia Cianpwee adalah seorang yang berpengetahuan tinggi dan boan pwee justru ingin menanyakan Cianpwee tentang hal itu," kata si nona.

"Akupun tak tahu," jawabnya. "Sesudah mendapatkan golok ini, aku akan berdiam ditempat yang sepi dan akan menggunakan tempo beberapa tahun untuk mencoba memecahkan teka-teki itu "

"Bagus." kata So So. "Cia Cianpwee mempunyai kecerdasan otak yang melebihi manusia biasa. Jika Cianpwee tidak berhasil, lain orangpun pasti tak akan bisa berhasil."

"Huh huh! Aku si orang she Cia bukan sebangsa manusia sombong," katanya. "Mengenai ilmu surat dan ilmu silat, Kong boen Tay soe Ciang boen jin Siauw lim pay, Thio Sam Hong Too tiang dari Boe tong pay, Tiang loo dari Go bie pay dan Koen loen pay semuanya adalah orang-orang yang berkepandaian sangat tinggi. Mengenai kecerdasan otak, Peh bie Eng ong In Kauwcoe dari Peh bie kauw memiliki kecerdasan otak yang jarang terdapat dalam ratusan abad."

In So So segera bangun berdiri dan berkata sambil membungkuk: "Terima kasih banyak atas pujian Cianpwee."

"Aku ingin memiliki golok ini, lain orang juga kepingin," kata Cia Soen. "Hari ini dipulau Ong poan san, aku tidak bertemu dengan tandingan. Dalam hal ini, In Kauwcoe sudah salah menghitung. Ia menganggap bahwa Pek Tan coe dan yang lain-lain sudah cukup untuk menghadapi Hay see pay, Kie keng pang dan Sin koen boen. Ia sedikit pun tidak menduga, bahwa siorang she Cia bisa datang kemari."

"Bukan, bukan Kauwcoe salah menghitung," memutus si nona. "Ia tak dapat datang kemari karena mempunyai lain urusan yang terlebih penting."

"Tapi biarpun begitu, bahwa hari ini To liong to sampai jatuh ketanganku, sedikit banyak menurunkan nama besar In Kauwcoe sebagai seorang yang bisa menghitung bagaikan malaikat," kata Cia Soen seraya bersenyum.

Si nona bersenyum dan berkata pula: "Dalam dunia ini, banyak kejadian tidak dapat diperhitungkan lebih dahulu. Enam kali Coekat Boehouw ke luar dari gunung Kie San, tapi ia gagal dalam usahanya untuk mempersatukan seluruh Tiongkok. Tapi, meskipun ia mengalami kegagalan, nama besarnya tidak jadi merosot. Inilah apa yarg dikatakan: Manusia berusaha, Allah yang berkuasa. Cia cianpwee adalah seorang yang luar biasa dan mempunyai rejeki besar. Lain orang bergulat mati-matian untuk merebut golok itu, tapi Cianpwee sendiri sudah dapat memiliknya secara mudah sekali." Sehabis berkata begitu, ia mengawasi Cia Soen sambil bersenyum manis. Ia sudah sengaja mengulur-ulur pembicaraan itu supaya Cia Soen melupakan tantangannya terhadap Thio Coei San.

"Semenjak muncul dalam dunia, entah sudah berapa kali golok ini berpindah tangan dan entah sudah berapa orang binasa karena memilikinya," kata Cia Soen. "Sekarang aku berhasil merebut golok ini. Siapa tahu kalau dikemudian hari tidak muncul seorang yang berkepandaian lebih tinggi dari pada aku"

So So dan Coei San saling melirik. Mereka menganggap, perkataan orang itu mengandung maksud yang dalam. Coei San ingat, bahwa kakak seperguruannya mendapat luka berat karena mempunyai sangkut paut dengan To liong to, dan sampai sekarang mati hidupnya belum dapat dipastikan. Ia sendiri berada dalam bahaya besar dan sebab-sebabnya hanya karena turut melihat golok mustika itu.

Sesudah berdiam sejenak, Cia Soen menghela napas panjang. "Kalian berdua adalah orang-orang yang boen boe coan cay (mahir ilmu surat dan ilmu silat) dan setimpal benar satu sama lainnya, yang satu cantik, yang lain tampan," katanya.

"Jika aku membunuh kalian, aku seolah-olah menghancurkan sepasang Giak kee (alat dari batu giok) yang jarang terdapat dalam dunia. Tapi, didesak oleh keadaan dan kenyataan, tak dapat aku tidak membinasakan kalian."

"Mengapa begitu?" tanya si nona dengan suara kaget.

"Kalau aku pergi dengan membawa golok ini dan meninggalkan kalian dipulau ini, dalam berapa hari saja, orang sedunia sudah tahu, bahwa To liong to berada dalam tanganku," Ia menerangkan.

"Yang ini akan cari aku, yang itu akan cari aku, semua orang akan cari aku. Aku bukan manusia yang tiada tandingan didalam dunia. Yang lain tak usah dibicarakan. Peh bie Eng ong saja belum tentu dapat dirubuhkan olehku."

"Ah! Kalau begitu kau membunuh orang menutup mulutnya!" kata Coei San dengan suara tawar.

"Benar." jawabnya.

"Jika demikian, perlu apa kau mengunjuk kedosaan orang-orang Hay see pay, Kie keng pang dan Sin koen boen?" tanya Coei San.

Cia Soen tertawa berkakakan. "Aku ingin mereka mati tanpa penasaran," jawabnya.

"Hmm . . kau kelihatannya masih mempunyai hati yang baik," kata puji pemuda itu.

"Didalam dunia ini, siapakah yang bisa hidup abadi ?" tanya Cia Soen. "Mati lebih cepat atau mati lebih lama beberapa tahun, tidak banyak bedanya. Kau, Thio Ngohiap, dan In Kouwnio masih berusia sangat muda. Jika hari ini kalian binasa dipulau Ong poan san, memang juga kelihatannya sangat mesti disayangkan. Tapi, ditinjau seratus tahun kemudian, bukankah kebinasaan dihari ini atau meninggal dunia dihari nanti bersamaan saja? Andai kata dahulu Cin Kwee tidak mencelakakan Gak Hoei sehingga panglima besar itu binasa, apakah Gak Hoei bisa hidup sampai sekarang? Yang penting ialah seseorang harus mati dengan hati terang dan tidak merasakan penderitaan. Mika itu, aku sekarang mengajak kalian bertanding secara adil. siapa yang kalah, dialab yang mati. Kalian berusia lebih muda dan aku suka mengalah. Pilihlah dalam ilmu silat dergan senjata, tanpa senjata, Lweekang, senjata rahasia, atau mengentengkan badan, ilmu berenang, kalian boleh pilih dan aku akan mengiringkan."

"Kau sombong sekali," kata sinona. "Apakah kau artikan, bahwa kau bersedia untuk melayani kami dalam ilmu apapun juga?" Suara si nona agak gemetar karena ia tahu, bahwa ia dan Coei San tidak dapat meloloskan diri lagi.

Mendengarkan pertanyaan So So, Cia Soen agak terkejut. Ia adalah seorang yang amat cerdas dan sesaat itu juga, ia lantas saja ingat, bahwa untuk si nona dapat menantangnya dalam ilmu menjahit atau lain lain ilmu kaum wanita yang tidak dimilikinya. Mengingat begitu, ia lantas saja menjawab dengan suara nyaring: "Tantanganku itu terbatas pada ilmu silat. Aku pasti tidak bermaksud untuk bertanding makan nasi, minum arak dan sebagainya yang tidak bersangkut paut dengan ilmu silat." Dilain saat, melihat Coei San mencekal kipas, ia menyambung perkataannya: "Akupun bersedia untuk melayani kalian dalam ilmu boen (ilmu surat). Menulis huruf indah, melukis, memetik khim, main tio kie, menulis syair atau sajak semua boleh. Hanya kita harus berjanji, bahwa pihak yang kalah harus membunuh diri sendiri, Hai! Melihat kalian, sepasang orang muda yang setimpal sungguh untuk menjadi suami isteri, aku merasa sangat tak tega untuk untuk turun tangan."

Mendengar perkataan yang paling belakang itu, paras muka kedua orang muda itu lantas saja berubah merah.

Si nona mengerutkan alis. "Kalau kau yang kalah, apakah kau juga akan membunuh diri?" tanyanya.

"Bagaimana aku bisa kalah?" kata Cia Soen sambil tertawa.

"Dalam pertandingan mesti ada yang kalah dan ada yang menang," kata si nona. "Thio Ngohiap adalah murid dari seorang berilmu tinggi, maka selalu terdapat kemungkinan, bahwa dia akan mengalahkan kau "

Cia Soen tertawa, "Orang yang masih berusia begitu muda, biarpun berkepandaian tinggi tak akan memiliki Lweekang yang cukup dalam untuk dapat menghadapi aku," katanya.

Selagi kedua orang itu bicara, diam-diam Coei San mengasah otak untuk menetapkan ilmu apa yang akan diajukan olehnya. Dalam ilmu surat, dalam mana tercakup seni melukis huruf indah, seni lukis, memetik khim, main tio kie, menulis syair, pengetahuannya masih dangkal. Ilmu apa yang harus diajukannya? Ilmu silat? Ilmu mengentengkan badan? Ilmu silat gubahan gurunya yang berdasarkan Soehoat? Tiba-tiba serupa ingatan berkelebat dalam otaknya dan ia lantas saja berkata: "Cia Cianpwee, karena kau mendesak, maka aku tak dapat tidak mempersembahkan kebodohanku. Jika kalah, aku tentu akan menggorok leher sendiri. Tapi bagaimana, andaikata aku beruntung bisa keluar dengan seri ?"

Cia Soen menggelengkan kepala, "Tak mungkin seri," jawabnya. "Seri dalam pertandingan pertama, kita bertanding pula sampai ada yang menang, dan ada yang kalah."

"Baiklah," kata Coei San. "Andaikata dalam pertandingan ini boanpwee memperlihatkan keunggulan, boanpwee tak berani menuntut apapun jua. Boanpwee hanya ingin memohon supaya Cianpwee sudi meluluskan satu permintaan."

"Aku berjanji untuk meluluskan permintaanmu itu," kata Cia Soen. "Hayolah, katakan saja, dalam ilmu apa kau ingin bertanding."

Melihat begitu, bukan main leganya hati sinona.

"Kau mau bertanding dalam ilmu apa ? Apa kau punya pegangan untuk mendapat kemenangan?" bisiknya.

"Belum tentu," jawabnya.

"Kalau kau kalah, kita coba lari," bisik pula si nona.

Coei San tidak menjawab, ia hanya bersenyum getir. Dengan perahu sudah tenggelam semua dan mereka berada disebuah pulau kecil, kemana mereka mau lari? Ia segera mengikat tali pinggang erat-erat dan mencabut Poan koan pit dari pinggangnya.

"Dalam dunia Kangouw, Gin kauw Tiat hoa Thio Coei San sangat cemerlang dan hari ini aku akan menjajal-jajal dengan Long gee pang." kata Cia Soen,

"Mengapa kau tidak mengeluarkan Lan gin Houw tauw Gin kauw ?"

"Boanpwee bukan ingin bertempur melawan Cianpwee dengan menggunakan senjata," jawabnya dengan sikap hormat.

"Boanpwee hanya ingin sekedar menulis beberapa huruf." Sehabis berkata begitu, ia berjalan kelereng bukit disebelah dimana ia berdiri satu tembok batu yang tinggi dan besar. Ia menarik napas dalam-dalam, menotol tanah dengan kakinya dan badannya lantas saja melesat keatas.

Ilmu ringan badan dari Boe tong pay adalah yang terbaik dalam seluruh Rimba Persilataa. Pada detik mati atau hidup, Coei San telah mengeluarkan seanteto kepandaiannya. Dengan sekali melompat, tubuhnya melesat setombak lebih dan lompatan itu disusul dengan lompatan Tee in ciong kaki kanannya menendang tembok dan badannya kembali terbang keatas kurang lebih dua tombak. Dengan berbareng, Poan koan pit bergerak. "Sret sret sret ....." bagaikan kilat ia sudah menulis huruo , "boe". Baru selesai satu hurup badannya mulai melayang turun kebawah.

Dengan cepat ia mencabut Gin Kauw yang lalu ditancapkan kesebuah lobang kecil ditemboK batu itu. Demikianlah, dengan menggunakan gaetan itu untuk menahan badannya, ia lalu menulis huruf "lim". Ia menulis dengan menggunakan gerakan yang digubah Thio Sam Hong pada malam itu, gerakan-gerakan yang mengandung tenaga Im dan Yang, Kong dan Jioe (negatip dan positip, keras dan lembek) dan semua itu merupakan limn silat tertinggi dari Boe tong pay. Meskipun Lweekang Thio Coei San belum sempurna, sehingga goresan goresan Poan koan pit tidak masuk terlalu dalam ditembok batu itu, tapi kedua huruf itu indah luar biasa, seolah-olah terbangnya naga atau menarinya burung Hong. Sesudah huruf "cie" dan "coen", ia menulis semakin cepat dan dalam sekejap mata, dua puluh empat hurup itu sudah selesai.

Sesudah menulis hurup "hong" yang terakhir, ia menotol tembok dengan Gin kauw dan Poan koan pit dengan berbareng dan dalam suatu gerakan yang indah, badannya melayang turun ke bawah dan hinggap didampingi si nona.

Dengan mulut ternganga Cia Soen mengawasi tiga baris huruf huruf itu yang setiap hurufnya sebesar gantang. Sesudah lewat sekian lama, ia menghela napas saraya berkata: "Aku tak dapat menulis seperti itu. Aku kalah."

Ia tentu saja tak tahu, bahwa Thio Sam Hong berhasil menggubah lima silat yang sangat luar biasa itu sesudah mengasah otak seluruh malam dan pada waktu bersilat, ia telah menumplek seluruh semangat dan pikirannya. Andai kata Thio Sam Hong sendiri yang harus menulis huruf-huruf itu diatas tembok itu, belum tentu ia bisa menulis begitu indah dan bertenaga, jika tidak di sertai dengan semangat dan pemusatan pikirannya yang sesuai. Cia Soen tentu saja tak tabu, bahwa dua puluh empat huruf itu serupa ilmu silat. Ia hanya menduga, bahwa karena melihat To liong to, Coei San sudah ingat perkataan yang tersiar mengenai golok itu dan lalu menulisnya. Ia tak pernah mimpi, bahwa apa yang mampu ditulis oleh Coei San hanyalah dua puluh empat huruf itu.

In So So girang bukan kepalang. "Kau kalah, kau tak boleh mungkir dari janjimu!" teriaknya.

"Thio Ngohiap, ilmu yang mempersatukan Boe hak dengan Soe hoat (ilmu silat dengan ilmu huruf-huruf bagus) baru sekarang dilihat olehku," kata Cia Soen. "Aku sungguh merasa kagum."Perintah apa yang kau mau memberikan ke padaku?"

"Boanpwee adalah seorang muda yang berkepandaian cetek, mana berani boanpwee memberi perintah kepada Cianpwee?" jawabnya sambil membungkuk. "Boanpwee hanya ingin memberanikan hati untuk mengajukan satu permohonan."

"Permohonan apa?" tanya Cia Soen.

"Aku mohon supaya Cianpwee suka mengampuni jiwa semua orang yang berada dipulau ini," jawabnya. "Cianpwee dapat memerintahkan supaya mereka bersumpah untuk tidak membuka rahasia, bahwa To liong to berada dalam tanganmu."

"Aku belum begitu edan untuk percaya sumpahnya manusia." kata Cia Soen dengan mata melotot.

"Apa kau mau menarik pulang janjimu sendiri?" tanya si nona. "Bukankah kau sudah herjanji, bahwa jika kalah, kau akan meluluskan permintaan Thio Ngoko?"

"Kalau aku tidak pegang janji, mau apa kau?" bentak Cia Soen. Sesaat itu ia rupanya menginsyafi kekeliruannya, karena ia segera menyambung perkataannya: "Jiwa kalian berdua sudah kuampuni. Yang lain tidak bisa."

"Kedua Kiam kek Koen loen pay adalah murid murid dari partai yang ternama dan mereka belum pernah melakukan perbuatan jahat," kata Coei San.

"Jangan rewel!" bentak Cia Soen. "Dimataku, baik dan jahat tiada bedanya. Lekas robek ujung baju kalian dan sumbatlah kuping kalian. Tutup kuping keras-keras dengan kedua tangan. Jika kalian menyayang jiwa, turut perintahku." Ia bicara separuh berbisik, seperti takut didengar orang.

Coei San dan So So saling mengawasi dengan perasaan heran. Tapi karena melihat Cia Soen bicara sungguh-sungguh mereka merobek ujung tangan baju yang lalu digunakan untuk menyumbat kuping dan kemudian mereka menutup kuping dengan kedua tangan.

Tiba2 Cia Soen membuka mulut lebar2 seperti orang berteriak dan mendadak mereka merasa bumi goyang-goyang. Hampir berbareng orang orang Peh bie kauw, Kie keng pang, Hay see pay dan Sin koen boen berubah paras mukanya seolah olah merasakan kesakitan luar biasa, dan dilain saat, mereka rubuh bergulingan diatas tanah.

Ko Cek Sang dan Cio Tauw kelihatan kaget dan ketakutan, buru-buru mereka bersila dan mengerahkan Lwee kang untuk melawan teriakan itu. Dilihat dari paras muka kedua Kiamkek dan keringat yang turun berketel-ketel dari muka mereka, Coei San dan So So tahu, bahwa Ko Cek Seng dan Cio Tauw sedang mengeluarkan seantero tenaganya. Beberapa kali, mereka mengangkat tangan untuk menutup kuping, tapi selalu gagal dan tangan mereka sudah diturunkan lagi sebelum menyentuh kuping.

Sesaat kamudian, Coei San merasa tubuhnya bergoyang keras dan hampir berbareng, tubuh Ko Cek Seng dan Cio Tauw melesat keatas kira-kira setombak akan kemudian rubuh ditanah tanpa bergerak lagi.

Cia Soen segera menutup mulutnya dan memberi isyarat supaya Coei San dan So So membuka sumbat kuping.

"Sebagai akibat dari teriakanku, mereka pingsan untuk sementara waktu," katanya. "Sebentar, sesudah tersadar, urat syaraf mereka yang rusak tidak dapat pulih lagi seperti biasa dan mereka menjadi gila. Mereka tak ingat apa yang sudah terjadi disini. Thio Ngohiap, kau minta aku mengampuni jiwa semua orang yang berada dipulau ini dan permintaan itu telah dipenuhi olehku."

Coei San bengong dan tidak dapat mengeluarkan sepatah kata. Ia bergusar dan berduka, tapi tidak berdaya. Biar bagaimanapun jua, kepandaian Cia Soen yang sangat luar biasa itu harus dikagumi. Ia juga akan mengalami nasib seperti yang lainnya. Dengan perasaan tidak keruan rasanya ia mengawasi Ko Cek Sang, Cio Tauw, Pek kwie Sian dan lain-lain, yang rebah ditanah dengan paras muka pucat bagaikan mayat.

"Mari kita berangkat," kata Cia Soen dengan suara tawar.

"Kemana?" tanya Coei San.

"Pulang!" jawabnya. "Urusan di Ong poan san sudah beres. Perlu apa berdiam lama-lama disini"

Sehabis berkata begitu, ia mengajak kedua orang muda itu pergi kesebelah barat pulau, kebelakang sebuah bukit kecil, darimana mereka lihat sebuah perahu dengan tiga tiang layar yang berlabuh disebuah muara kecil. Perahu itu adalah perahu Cia Soen.

Begita tiba dipinggir perahu, Cia Soen berkata sambil membungkuk: "Aku mengundang Jiewie naik keperahu."

"Hm! Sekarang kau berlaku mulia sekali." kata So So seraya ketawa dingin.

"Dalam perahuku, kalian adalah tamu-tamu yang terhormat, sehingga aku harus memperlakukan kalian dengan segala kehormatan," jawabnya.

Ia memberi isyarat kepada anak buahnya yang segera mengangkat jangkar dan perahu lantas saja berangkat.

Diperahu itu terdapat enambelas atau tujuhbelas anak buah, tapi waktu memberi perintah perintah kepada mereka juru mudi hanya menggerak gerakkan kaki tangannya, seokah-olah semua anak buah gagu dan tuli.

Si nona merasa heran dan berkata : "Kau pintar sungguh, bisa mendarat anak buah yang tuli gagu"

Cia Soen tertawa. "Apa sukarnya?" jawabnya. "Aku hanya perlu cari orang-orang yang buta huruf, menusuk telinganya, memberi obat kepada nya dan segala apa sudah beres."

Mendengar keterangan itu, bulu roma Coei San bangun semua dan ia mengawasi Cia Soen dengan sorot mata gusar.

Tapi So So menepuk-nepuk dan tertawa nyaring : "Bagus! Bagus!" katanya. "Tuli dan gagu           juga buta huruf. Hmm! Rahasiamu yang bagaimana besarpun pasti tak akan dibocorkan mereka, Hanya sayang, kau masih memerlukan mereka untuk menjalankan perahu. Kalau bukan begitu, bukankah kau akan membuta kan juga mata mereka?"

Coei San melirik si nona dan menegur dengan suara mendongkol : "In Kauwnio, kau adalah seorang gadis baik-baik, tapi mengapa kau begitu kejam? Kejadian itu adalah kejadian yang sangat mendukakan dan aku sungguh tak mengerti, bagaimana kau sampai hati untuk mengatakan begitu."

So So sudah membuka mulutnya untuk bertengkar, tapi ia mengurungkan niatnya, karena Coei San kelihatannya sudah gusar sungguhan

"Dikemudian hari, sesudah kembali didaratan Tiongkok, aku akan menusuk mata mereka," kata Cia Soen dengan suara dingin.

Sementara itu, layar sudah naik dan perahu melaju semakin cepat.

"Cia Cianpwee, bagaimana orang-orang yang berada dipulau Ong poan san." tanya Coei San. "Kau sudah menenggelamkan semua perahu. Cara bagaimana mereka bisa pulang? "

"Thio Ngohiap," jawabnya, "kau adalah seoraug yang berhati mulia, hanya kau bawel sekali, seperti nenek bangkotan. Biarlah mereka mampus sendiri, bagaikan impian dimusim semi yang tiada bekasnya, Apakah itu bukan kejadian yang bagus sekali?"

Coei San segera menutup mulutnya, karena ia tahu, bahwa terhadap manusia yang kejam itu, ia tak dapat berunding lagi. Ia menunduk dan menghela napas perlahan. Ia ingat, bahwa selama beberapa tahun, Boe tong Cit hiap malang melintang didunia Kangouw dan selalu berada diatas angin. Tapi sekarang, diluar dugaan, ia mesti menunduk dibawah pengaruh orang, tanpa dapat melawan, Hatinya jengkel, pikirannya kusut dan ia memandang ketempat jauh tanpa meladeni Cia Soen dan So So.

Tak lama kemudian, tampak seorang pelayan membawa makanan dan menuang arak ditiga cawan. "Sebelum bersantap aku ingin memetik khim guna menghibur tetamuku yang terhormat," kata Cita Soen. "Disamping itu aku ingin minta petunjuk-petunjuk Thio Siangkong dan In Kauwnio,"

Sehabis berkata begitu, ia mengambil sebuah khim dari dinding gubuk perahu dan lalu memetiknya. Dalam seni musik, Coei San tidak mempunyai pengetahuan yang mendalam dan ia tidak mengenal lagu yang dimainkan. Ia hanya merasa bahwa lagu itu sangat sedih, semakin lama semakin menyayat hati, sehingga pada akhirnya, tak dapat mempertahankan diri lagi dan lalu mengucurkan air mata.

Tiba-tiba, dengan sekali menggaruk dengan lima jarinya, suara tetabuhan itu berhenti. "Aku sebenarnya ingin menghibur kalian, tapi tak dinyana Thio Siangkong berbalik sedih," katanya sambil tertawa getir." Untuk kesalahanku itu aku harus didenda dengan secawan arak,"

Ia mengangkat cawan dan meneguk isinya.

"Lagu apa yang barusan diperdengarkan Cia Cianpwee?" tanya Coei San.

Cia Soen mengawasi So So, seperti juga ingin meminta supaya nona itu yang menjawabnya. Tapi sinona menggelengkan kepala.

"Apakah kau pernah mendengar riwayat Kie Kong dari jaman Cin?" tanya Cia Soen. "Inilah baru yang diperdengarkannya waktu ia mau dihukum mati."

"Lagu Kong leng san?" tanya Ceil San dengan suara terkejut.

"Benar," jawabnya.

"Sepanjang sejarah, semenjak Kie Kong meninggal dunia, lagu ini sudah tidak terdapat dalam dunia," kata pula pemuda itu. "Bagaimana Cianpwee bisa mendapatkannya ?"

Cia Soen tertawa dan paras mukanya yang berseri-seri mengunjuk, bahwa hatinya senang sekali. "Kie Kong manusia keras kepala, adatnva mirip-mirip dengan adatmu." katanya. "Pada jaman itu, Ciong Hwee berpangkat tinggi dan mendengar nama besarnya Kie Kong, ia telah mengunjunginya. Tapi Kie Kong tidak meladeninya dan terus memukul besi yang sedang dikerjakannva. Ciong Hwee mendongkol dan lantas saja berlalu. Ia adalah seorang yang sangat pintar dan berkepandaian tinggi, hanya sayang, pemandangannya terlalu sempit. Sikap Kie Kong dianggapnya suatu hinaan yang tidak dapat diampuni dan secara licik, ia lain menggosok-gosok Soema Ciauw dengan mengatakan, bahwa Kie Kong telah bicara jelek tentang Soema Ciauw itu. Dengan gusar, Soema Ciauw menjatuhkan hukuman mati atas diri Kie Kong. Sebelum dibunuh, ia memetik khim dan memperdengarkan lagu Kong leng san. Sesudah selesai, ia berkata: Mulai hari ini Kong leng san tak akan dapat didengar lagi dalam dunia. Menurut pendapatku, kata-kata itu sangat memandang rendah kepada orang-orang yang hidup dijaman belakangan. Ia hidup dijaman Samkok. Menurut perhitunganku, mungkin sekali lagu itu tidak tersiar pula sesudah jaman itu. Tapi aku tak percaya Kong leng san tidak dikenal orang pada sebelum jaman Samkok."

Thio Coei San tidak mengerti apa maksudnya keterangan itu dan ia lalu minta penjelasan.

"Perkataan Kie Kong menimbulkan rasa penasaran dalam hatiku," menerangkan pula Cia Soen. "Aku segera membongkar kuburan-kuburan menteri-menteri besar dari kerajaan Tong han dan sesudah membongkar duapuluh sembilan kuburan akhirnya aku berhasil menemukan lagu Kong leng san dalam kuburan, Coa Yong" Sehabis menerangkan begitu, ia tertawa terbahak-bahak dengan kegirangan besar.

Coei San terkejut. "Orang ini benar-benar tak mengenal Tuhan," katanya didalam hati. "Hanya karena sepatah kata yang diucapkan oleh seorang dijaman dulu, dia rela menjadi pembongkar kuburan. Andai kata ada orang yang berdosa terhadapnya, ia pasti membalas sakit hati sehebat-hebatnya"

waktu mendongak, ia lihat sebuah lukisan yang tergantung didinding gubuk perahu. Dilihat dari warnanya yang sudah agak suram, lukisan San Coei (gunung dan air) itu sudah tua sekali, tapi lukisannya sendiri hidup, indah dan angker luar biasa.

Melihat pemuda itu mengawasi tanpa berkesip Cia Soen segera berkata: "Lukisan itu adalah buah tangan Thio Ceng Yoe dari jaman kerajaan Liang. Aku telah mencurinya dari istana kaizar. Menurut orang, kalau melukis naga, ia tak pernah melukis mata naga itu, sebab, jika dilukis, gambar naga lantas saja hidup dan terbang kelangit sesudah mendobrak tembok. Tentu saja cerita itu omong kosong belaka dan hanya digunakan untuk memberi pujian kepada lukisan naga Thio Ceng Yoe yang indah luar biasa. Menurut pendapatku, duapuluh empat huruf yarg ditulis olehmu ditembok batu tidak kalah indahnya dari lukisan San soei itu."

"Boanpwee hanya mencorat coret secara serampangan, mana bisa dibandingkan dengan pelukis kenamaan dijaman dulu" Coei San merendahkan diri.

Demikianlah, mereka beromong omong tentang sastra dan lain-lain ilmu jaman dulu dan jaman sekarang dengan tuan rumah bicara sebagai seorang sasterawan besar. Coei San merasa sangat kagum akan pengetahuan Cia Soen, tapi hatinya tetap diliputi kegusaraaan karena mengingat kekejaman orang itu. Beberapa lama kemudian, ia mulai merasa sebal dan lalu memandang keluar jendela, dengan membiarkan si nona bicara terus dengan tuan rumah.

Tiba-tiba ia lihat matahari sore yang tengah menyelam ditepian laut dan yang memancarkan sinar emas yang gilang gemilang. Selagi mengawasi dengan pikiran melayang layang, mendadak ia terkejut. "Mengapa matahari menyelam disebelah balakang perahu ?" tanyanya didalam hati. Ia menengok seraya berkata : "Cia cianpwee, juru mudimu telah mengambil jalanan yang salah. Kita menuju kearah timur."

"Tidak salah, kita memang sedang menuju ke timur," jawabnya.

In So So juga kaget. "Disebelah timur adalah lautan besar. Kemana kita mau pergi?" tanyanya.

Cia Soen tidak segera memberi jawaban, tapi pelan-pelan menuang secawan arak dan lain mengendus endusnya dengan paras muka berseri-seri."Arak ini adalah Lie tin, Tin cioe dari Siauwhin," katanya sambil bersenyum. "Usianya paling sedikit sudah dua puluh tahun dan Jie wie tak boleh memandang rendah."

"Aku bukan bicarakan soal arak," kata si nona dengan suara tidak sabaran. "Perahu salah jalan dan kau harus memerintahkan jurumudi memutar kemudi."

"Bukankah waktu masih berada di pulau Ong poan san aku sudah memberitahukan kalian seterang-terangnya?" kata Cia Soen, "Sesudah mendapatkan To liong to, aku ingin mencari sebuah tempat yang terpencil, dimana aku bisa menggunakan tempo beberapa tahun untuk coba memecah kan teka teki sekitar golok mustika itu. Aku ingin mencari tahu, mengapa To liong to dikatakan sebagai senjata yang paling dihormati dalam Rimba persilatan dan apa benar pemiliknya dapat menguasai segenap orang gagah dikolong langit, Daratan Tiong-goan adalah tempat yang sangat ramai. Begitu lekas orang tahu bahwa aku memiliki golok itu, mereka ramai ramai tentu akan menyateroni untuk coba merebutnya dari tanganku. Dengan adanya gangguan itu, mana bisa aku memusatkan pikiran? Kalau yang datang pentolan-pentolan seperti Thio Sam Hong Sianseng atau Peh bie kauwcoe atau yang lain lain, belum tentu aku dapat menandinginya. Itulah sebabnya, mnengapa aku ingin cari sebuah pulau yang kecil dan terasing ditengah-tengah lautan, guna dijadikan tempat tinggalku selama beberapa tahun."

"Kalau begitu, kau antarkan kami pulang lebih dulu," kata So So.

Cia Soen tertawa. "Begitu lekas kalian kembali di Tiong goan, apakah rahasiaku tidak menjadi bocor?" tanyanya.

Mendadak Coei San melompat dan berseru dengan suara keras: "Habis apa yang kau mau?"

"Aku tak dapat berbuat lain daripada meminta kalian berdiam bersama-sama aku dan melewati hari-hari secara riang gembira selama beberapa tahun," jawabnya. "Begitu lekas aku dapat menembus rahasia To liong to, kita bertiga segera kembali kedaratan Tiong goan bersama-sama."

"Bagaimana kalau sampai sepuluh tahun kau masih juga belum berhasil?" tanya pula Coei

"Kalian harus mengawani sehingga sepuluh tahun," jawabnya dengan tenang. "Andaikata seumur hidup, aku tidak berhasil, kalianpun harus menemani aku seumur hidup."

"Kau adalah sepasang orang muda yang setimpal dan aku mengerti, bahwa kalian mencintai satu sama lain. Nah ! Kalian boleh menikah dan berumah tangga dipulau itu. Apa itu tidak cukup menyenangkan ?"

Coei San gusar bukan main. "Jangan ngaco kau !" bentaknya.

Ia melirik So So dan ternyata si nona sedang menunduk dengan paras muka kemalu-maluan. Ia bingung bukan main. Ia merasa, bahwa ia tengah menghadapi beberapa lawan yang tangguh dengan berbareng. Cia Soen lawan pertama, si nona lawan kedua, sedang dirinya sendiri merupakan lawan ketiga. Dengan berdampingan dengan wanita cantik itu, belum tentu ia dapat menguasai diri terus menerus.

Terdapat kemungkinan besar sekali, bahwa pada akhirnya, ia akan rubuh dibawah kaki In SoSo.

Jilid 10,

Memikir begitu, sambil menahan amarah ia segera berkata: "Cia Cianpwee, aku adalah seorang yang selamanya memegang teguh kepercayaan. Aku pasti tidak akan membocorkan rahasia Cianpwee. Aku bersumpah, bahwa aku takkan bicara dengan siapapun jua tentang kejadian dihari ini."

"Aku percaya segala perkataanmu," kata Cia Soen "Thio Ngohiap adalah seorang pendekar yang kenamaan dan setiap perkataanmu berharga ribuan tail emas. Hanya sayang, pada waktu berusia dua puluh lima tahun, aku pernah bersumpah berat. Lihatlah jeriji tanganku."

Ia mengangkat tangan kirinya dan mementang jari-jarinya. Ternyata, ditangan itu hanya ketinggalan tiga jeriji.

Dengan paras muka dingin, Coei San berkata pula: "Pada tahun itu, seorang yang paling dipercaya dan paling dihormati olehku, telah menipu dan mencelakakan aku, sehingga namaku rusak, rumah tangga berantakan, anggauta-anggauta keluargaku binasa dalam sekejap mata. Waktu itu, aku membacok jari tangan dan bersumpah, bahwa selama hidup, tak nanti aku percaya manusia lagi. Sekarang aku berusia empatpuluh lima tahun. Selama duapuluh tahun, aku ingin bergaul dengan kawanan binatang. Aku percaya binatang, tidak percaya manusia. Selama duapuluh tahun, aku membunuh manusia, tidak membunuh binatang."

Coei San bergidik. Sekarang ia mengerti, mengapa lagu Ko leng san begitu menyayat hati dan mengapa, biarpun berkepandaian sangat tinggi, nama orang itu tidak dikenal dalam dunia Kangouw. Sekarang ia mengerti, bahwa kejadian hebat yang terjadi pada dua puluh tahun berselang, telah mengubah sifat-sifatnya Cia Soen. sehingga dia membenci dunia dan segenap penghuninya. Dengan munculnya pengertian itu, rasa gusarnya agak mereda dan didalam hatinya malah timbul rasa kasihan. Sesudah bengong sejenak, ia berkata dengan suara halus: "Cia Cianpwee, bukankah sakit hatimu sudah terbalas ?"

"Belum" jawabnya. "Ilmu silat orang yang mencelakakan aku, luar biasa tinggi dan aku tak dapat melawannya."

Tanpa merasa, hampir berbareng, Coei San dan So So mengeluarkan suara tertahan: "Masih ada manusia yarg lebih lihay dari padamu?" tanya si nona. "Siapa dia?"

"Perlu apa aku memberitahukan namanya kepadamu?" Cia Soen balas menanya. "Jika bukan karena gara-gara sakit hati ini, apa perlunya aku marebut To liong to? Guna apa aku berusaha untuk memecahkan teka teki sekitar golok itu? Thio Ngohiap, begitu bertemu denganmu, aku lantas saja merasa suka. Jika menuruti kebiasaanku, siang-siang jiwamu sudah melayang. Bahwa aku membiarkan kalian hidup beberapa tahun lebih lama sebenarnya sudah melanggar kebiasaanku, sehingga mungkin sekali, pelanggaran itu akan mengakibatkan kejadian yang tidak baik bagi diri ku."

"Apa artinya perkataanmu?" menegas So So "Mengapa kau mengatakan, hidup beberapa tahun lebih lama?"

"Sesudah aku berhasil memecahkan rahasia To liong to, pada waktu mau meninggalkan pulau itu aku akan mengambil jiwamu," jawabnya dengan tawar. "Satu hari belum berhasil, satu hari kalian masih boleh hidup."

Si nona mengeluarkan suara dihidung. "Hmm! Menurut pendapatku, golok itu hanyalah golok yang berat luar biasa dan tajam tuar biasa," katanya. "Kata-kata tentang siapa yang memilikinya akan menguasai orang-orang gagah di kolong langit rasanya hanya omong kosong belaka."

"Kalau benar begitu, biarlah kita bertiga berdiam dipulau itu seumur hidup," kata Coei San. Tiba-tiba menghela napas dan paras mukanya diliputi dengan awan kedukaan.

Perkataan si nona kena tepat pada hatinya. Memang mungkin sekali To liong to hanya sebuah golok yang tajam dan jika benar sedemikian, sakit hatinya yang sangat besar tidak akan dapat dibalas lagi.

Melihat paras Cia Soen yang penuh dengan kesedihan, Coei San ingin coba menghibur. Tapi sebelum ia keburu membuka mulut, Cia Soen su dah meniup lilin seraya berkata: "Tidurlah !" ia kembali menghela napas dan suara helaan napas itu kedengarannya                bukan seperti suara manusia, tapi bunyi binatang yang sudah menghembuskan napasnya yang penghabiskan. Dan suara yang menyeramkan itu jadi lebih menyeramkan lagi karena bercampur dengan arus ombak ditengah lautan. Mendengar itu jantung Coei San dan So So memukul keras.

Angin laut yang dingin menderu deru. Sesudah lewat beberapa lama, si nona yang hanya mengenakan selembar pakaian tipis, tak dipat mempertahankan diri dan ia mulai menggigil.

"In kauwnio, apa kau dingin?" bisik Coei San "Tak apa." jawabnya.

Coei San segera membaka jubah panjangnya dan berkata: "Kau pakailah."

Sinona merasa sangat berterima kasih. "Tak usah, kau sendiri juga kedingnan," Ia menolak sambil memaksakan diri untuk bersenyum. Tapi biarpun mulutnya menolak. tangannya menyambuti juga jubahnya itu yang lalu digunakan untuk menyelimuti pundaknya. Begitu merasakan hawa hangat dari jubah itu, ia bersenyum dengan rasa beruntung.


Sementara itu, Coei San sendiri mengasah otak untuk mencari jalan guna meloloskan diri. Sesudah memikir bulak balik, ia berpendapat, bahwa jalan satu-satunya adalah membunuh Cia Soen.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar