Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 35
Dengan sambutan petasan,
tibalah harian Go Antan (tanggal 1 bulan 1 menurut penanggalan imlek). Dengan
dipimpin CongKoan (pengurus Rumah Tangga) semua pelayan lelaki, berikut Boe
Kie, pergi ke Toa Thia untuk memberi selamat tahun bau kepada tuan dan nyonya
rumah. Di tengah-tengah ruangan itu duduk sepasang suami isteri setengah tua
dan kira-kira 80 pelayan serentak berlutut di hadapan mereka. Suami isteri itu
tertawa girang. Bangunlah, kamu sudah banyak capai. kata mereka yang lalu
memerintahkan dua pembantu pengurus rumah memberi hadiah. Boe Kie juga mendapat
bagiannya, satu bungkusan merah yang bersih empat tail perak. Tapi bukan itu
yang diharap-harapkan. Ia merasa menyesal bukan main, karena nona Coe tidak
kelihatan mata hidungnya. Sambil mencekal bungkusan uang, ia berdiri bengong.
Tiba-tiba di luar terdengar
suara yang nyaring dan merdu. Piauw Ko, tahun ini siang-siang ini kau sudah
datang. Suara itu adalah suara Coe Kioe Tin (Piauw Ko Kakak sepupu)
Untuk memberi selamat tahun
baru kepada Koe Koe dan Koe Bo, bagaimana aku berani datang terlambat? Kata
seorang lelaki sambil tertawa. (Koe Koe Paman, saudara lelaki dari ibu, Koe Bo
bibi isteri Koe Koe)
Boe Kie merasa mukanya panas.
Jantungnya melonjak-lonjak, tangannya mengeluarkan keringat. Sesudah
mengharap-harap selama dua bulan, baru sekarang ia mendengar suara si nona.
Semangatnya terbang dan ia berdiri terpaku.
Dilain saat terdengar suara
seorang wanita lain .Memang suko terburu datang kemari, aku tak tahu entah ia
datang untuk memberi selamat kepada kedua orang itu, entah untuk memberi
selamat kepada Piauw Moay. Sehabis berkata begitu, wanita itu tertawa geli.
(Soeko kakak seperguruan. Piauw Moay adik perempuan sepupu)
Hampir berbareng, tiga orang
muda berjalan masuk dan semua pelayan-pelayan buru-buru menyingkir untuk
membuka jalan. Hanya Boe Kie yang masih terus berdiri seperti orang hilang
ingatan dan kakinya baru bergerak sesudah tangannya diseret Kiauw Hok.
Dari ketiga orang muda itu,
yang berjalan di tengah adalah seorang pemuda. Sedang Coe Kioe Tin berjalan di
sebelah kiri. Ia mengenakan baju bulu yang berwarna merah sehingga
kecantikannya jadi lebih mencolok. Di sebelah kanan pemuda itu berjalan seorang
wanita lain. Usia mereka kira-kira sebaya, semuanya belum mencapai dua puluh
tahun.
Begitu mereka masuk, mata Boe
Kie terus mengincar Nona Coe. Tidak memperdulikan yang lain. Ia seperti juga
tidak melihat dua orang muda yang lain, tidak melihat cara bagaimana memberi
selamat tahun baru dan tak mendengar apa yang dikatakan mereka. Dimatanya hanya
kelihatan seorang, yaitu Nona Coe Kioe Tin.
Dalam usia yang masih muda,
masih kekanak-kanakan Boe Kie sebenarnya masih belum tentu apa artinya cinta
antara lelaki dan perempuan. Iapun bukan manusia yang kemaruk akan paras
cantik. Tapi dalam hidupnya seorang manusia tertarik yang pertama kali terhadap
kecantikan seorang wanita selalu memberi akibat yang hebat. Sebagai manusia,
Boe Kie pun tidak kecuali. Disampint itu pada hakekatnya, Boe Kie mempunyai
perasaan halus dan mempunyai rasa cinta yang sangat besar terhadap sesama
manusia, tak perduli lelaki atau perempuan, tua atau muda. Maka itu dapatlah
dimengerti begitu bertemu dengan Coe Kioe Tin yang sangat cantik dan mempunyai
pengaruh luar biasa atas dirinya, Boe Kie jadi seperti hilang ingatan. Di dalam
hatinya sama sekali tidak terdapat pikiran yang tidak-tidak. Tidak! Sedikitpun
tidak! Ia hanya merasa beruntung jika bisa melihat wajah si nona, mendengar
suara si nona yang sangat merdu.
Sesudah mendapat hadiah,
pelayan-pelayan yang lain lantas saja bubar.
Sesudah berbincang-bincang
beberapa lama Coe Kioe Tin berkata, ayah, ibu, aku ingin jalan-jalan bersama
Piauw Ko dan Ceng Moay.
Kedua orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya dan ketiga orang muda tersebut lantas saja
bertindak ke luar dan pergi ke halaman belakang.
Tanpa merasa Boe Kie mengikuti
dari jauh. Pada hari raya yang penting itu, tak ada orang yang
memperhatikannya. Semua pelayan bersuka ria, berjudi, dan sebagainya. Sekarang
baru Boe Kie melihat nyata, bahwa pemuda itu berparas sangat tampan dan dalam
hawa udara yang sangat dingin, ia hanya mengenakan jubah panjang warna kuning
dari sutra tipis. Sehingga dapatlah diketahui bahwa ia memiliki Lweekang yang
tinggi. Wanita yang satunya mengenakan baju bulu warna hitam, badannya
langsing, gerak-geriknya memikat, suaranya lemah lembut dan cara-caranya halus.
Mengenai kecantikan, ia tak kalah dari Coe Kioe Tin. Tapi di mata Boe Kie,
tiada manusia yang dapat menandingi nona Coe yang dipandangnya seakan-akan
seorang Dewi.
Mereka berjalan sambil
bercakap-cakap dan tertawa-tawa. Tin Ci, kata wanita itu, kau pasti sudah
memperolah banyak ilmu It Yang Ci. Bolehkah kau memperlihatkan kepada adikmu?
(It Yang Ci semacam ilmu menotok dengan jari tangan dari It Teng Taysu)
Ah! Jangan kau menggoda aku,
kata Kioe Tin. Biar aku berlatih sepuluh tahun lagi, mana bisa aku menandingi
Lan Hoea Hoed Hiat Chioe dari keluarga Boe. (Lan Hoea Hoed Hiat Chioe ilmu
menotok jalan darah dengan lima jari tangan yang dipentang seperti Lan Hoa atau
bunga anggrek)
Pemuda itu tertawa, Sudahlah!
Kalian tak usah saling merendahkan diri, katanya. siapakah yang tidak mengenal
Soat Leng Siang Moay yang sangat lihai? (Soat Leng Siang Moay Sepasang saudara
perempuan dari bukit salju)
Aku belajar dan berlatih
sendirian saja. Kata Kioe Tin. Mana bisa aku menyusul kemajuan kalian dua
saudara seperguruan yang setiap detik bisa saling berdamai dan berlatih
bersama-sama.
Wanita muda itu tidak
menjawab, ia hanya bisa tersenyum sambil monyongkan mulutnya, seperti juga ia
mengakui kebenarannya nona Coe.
Sebab kuatir Kioe Tin jadi
gusar, pemuda itu buru-buru berkata, ah, sebenarnya tidak begitu. Kau mempunyai
dua orang guru Koe Koe dan Koe Bo. Di bawah pimpinan kedua orang tua, itu
keaadaanmu banyak lebih baik daripada kami berdua.
Kami!....kami!..... nona Coe
menggerutu. Kecintaan antara saudara seperguruan memang lebih hebat daripada
kecintaan antara saudara sepupu. Baru saja aku bergurau dengan Ceng Moay, kau
sudah membantunya dengan mati-matian. Sehabis berkata begitu ia memutar badan.
Pemuda itu tertawa, Piauw Moay
disayang, Soe Moay juga disayang, katanya. aku tidak memilih kasih.
Nona Coe memutar pula badannya
dan berkata, Piauw Ko kudengar gurumu menerima lagi seorang murid perempuan.
Apa benar?
Benar, jawabnya.
Wanita yang dipanggil Ceng
Moay rupanya masih ingin menggoda nona Coe. Ia tersenyum seraya berkata. Tin
Ci, Soemoay kecil itu sangat cantik parasnya. Bukan saja cantik, dia pandai
bicara dan sangat menarik hati. Setiap hari dia mengikat Soe Ko dengan macam-macam
permintaan. Minta diajar ini, diajar itu, kalau nanti kau bertemu dengannya,
kau sendiri tentu akan mencintai dia..
Apa? menegas Kioe Tin dengan
suara dingin. Apa dia lebih cantik dari Ceng Moay?
Mana bisa aku menandingi Siauw
Soe Moay itu, jawabnya. Hanya Tin Ci yang dapat ditandingi dengannya.
Aku bukan lelaki tampan yang
kemaruk akan paras cantik, kata nona Coe. Bagaimana kau bisa mengatakan aku
akan mencintai Siauw Soe Moay itu?
Mendengar perkataan yang
menghantam dirinya, pemuda itu lantas saja tertawa dan berkata, Piauw Moay,
bolehkan kau mengajak kami melihat jenderal penjaga pintu? Makin lama mereka
pasti makin lihai.
Coe Kioe Tin lantas jadi
girang. Baiklah! jawabnya. Ia segera berjalan ke arah Han Kong Ki, Boe Kie
tetap mengikuti dari kejauhan.
Begitu tiba, nona Coe segera
memerintahkan pelayan perawat anjing untuk melepaskan semua binatang itu.
Melihat kawanan anjing yang galak angker, pemuda tersebut memuji tak
henti-hentinya sehingga Kioe Tin jadi lebih bunga hatinya.
Ceng Moay tertawa geli sambil
menutup mulutnya dengan tangan. Soe Ko katanya pangkat apa yang dikehendaki
olehmu, Koan Koen atau Piauw Ki?
Pemuda itu terkejut. Apa
katamu? tanyannya.
Kau begitu memperhatikan kata
Tin Ci, jawabnya. Apakah tak layak jika Tin Ci memberi pangkat Koan Kun, Ciang
Koen atau Piauw Ki Ciangkoen kepadamu? Hanya kau harus berhati-hati jangan
sampai dicambuk.
Sebagaimana diketahui, Kioe
Tin memberi nama-nama pangkat jenderal kepada anjing-anjingnya. Sehingga dengan
begitu si nona mengejek Soe Ko-nya dan mempersamakannya dengan seekor anjing.
Paras muka pemuda itu lantas
saja berubah merah. Jangan ngaco belo! bentaknya dengan suara mendongkol. Kau
mencaci aku sebagai anjing, bukan?
Ceng Moay tersenyum.
Jenderal-jenderal itu selalu berdampingan dengan wanita cantik, mereka
menggoyang-goyang buntutnya, mengambil hati dan mereka merasa beruntung,
katanya. Apa tak enak hidup begitu?
Paras muka Kioe Tin lantas
saja berubah.
Ceng Moay, kurasa aku tak
berdosa terhadapmu, katanya dengan suara dongkol, mengapa pada hari tahun baru
ini, kau menghinaku?
Ceng Moay memperlihatkan paras
muka heran E-eh! katanya. Aku datang kemari untuk memberi selamat tahun baru.
Mngapa kau mengatakan aku menghina kau?
Nona Coe mengeluarkan suara di
hidung. Mengingat persahabatan yang sangat erat antara leluhur kedua keluarga,
biarpun darahnya meluap, ia sebisa-bisanya menahan saabr. Ia menengok kepada
pemuda itu dan berkata, Piauw Ko, Kuminta kau suka jadi juru penimbang. Apakah
aku yang berbuat kesalahan terhadap Boe Sio Cia, atau Boe Sio Cia yang sengaja
cari-caru urusan, cari-cari ribut denganku.
Pemuda itu jadi serba salah.
Ia tahu, ia tak boleh membantu piauw Moay dan juga tak boleh menyokong Coe
Moay. Mereka berdua adalah anak-anak yang biasa dimanja-manjakan. Gadis-gadis
yang sempit pemandangannya. Tak perduli pihak manapun yang dibenarkan olehnya,
ia bakal jadi berabe sekali. Maka itu, jalan yang paling selamat adalah
berkelit, ia ketawa dan berkata, Piauw Moay, sudah lama kita tak ketemu. Perlua
apa tarik urat? Eh, ilmu silat apa yang kau paling belakang dapat dari Koe Koe.
Bolehkah kau memperlihatkan kepada Kami?
Berapa hari yang lalu
Thia-thia telah mengajariku semacam Pit Hoat, katanya. Aku masih belum paham
dan kuharap Ceng Moay dan Piauw Ko suka memberi petunjuk. (Pit Hoat semacam
gaya menulis huruf Tiongkok) Ceng Moay? Dan pemuda itu menepuk-nepuk tangan.
Bagus! kata Ceng Moay Tin Ci jangan kau terlalu merendahkan diri. Ayolah supaya
kami bisa menambah pengalaman.
Nona menggapai dan pelayan
perawat anjing segera mengambil sepasang Poan Koan Pit yang tergantung di
tembok.
Boe Kie melihat bahwa di
tembok itu tergantung rupa-rupa senjata, tapi yang paling banyak adalah Poan
Koan Pit. Seperti juga sebuah petunjuk bahwa Coe Sio Cia biasa menggunakan
senjata itu. Ayah Boe Kie, Thio Coei San, bergelar Gin Kauw Tiat Hoa dan ia
seorang ahli dalam menggunakan Poan Koan Pit. Dulu, kalau membicarakan ilmu
silat dengan puteranya, ia banyak sekali merundingkan hal-hal yang mengenai
gaetan (kauw) dan Poan Koan Pit. Oleh karena itu, Boe Kie mempunyai pengetahuan
yang agak mendalam tentang kedua senjata itu. Ayah pernah mengatakan bahwa
dalam Rimba Persilatan, jarang sekali ada wanita yang mampu menggunakan Poan
Koan Pit, pikirnya. Dilihat begini, ilmu silat Coe Sio Cia sudah sampai
tingkatan tinggi, kalau tadi ia kesengsem karena kecantikan si nona, sekarang
ia kagum dan takluk karena Kioe Tin dapat menggunakan senjata istimewa yang
biasa digunakan oleh mendiang ayahnya.
Sambil mengibas Poan Koan Pit
yang dicekal dalam tangan kirinya, Kioe Tin berkata, Ceng Moay mari temani aku.
Pit Hoat ini tidak dapat dilatih oleh seorang saja.
Ceng Moay tahu bahwa nona Coe
mempunyai maksud tidak baik. Ia menggelengkan kepala seraya berkata,
Kepandaianku masih terlalu rendah. Mana biasa aku melayani Tin Ci?
Nona Coe mendesak
berulang-ulang, tapi dia tetap menolak.
Melihat begitu, si pemuda
perlahan-lahan menghampiri dan sambil mengangkat kedua tangannya ia berkata,
Piauw Moay, biar aku saja yang menemani kau. Aku hanya mengharap kau menaruh
belas kasihan. Kalau ujung Pit nyasar ke jalan darah Tian Tiong atau Pak Hwee.
Tahun ini Wie Pek tak bisa minum arak tahun baru. (Tian Tiong dan Pak Hwee
adalah jalan-jalan darah yang sangat penting. Sekali tertotok, orang bisa
binasa)
Mendengar perkataan yang
mengandung pujian itu, hati nona Coe jadi senang sekali. Sambil tertawa ia
membentak, Jangan rewel! Jagalah! Pit kiri menyambar ke bawah, pit kanan ke
atas. Benar-benar ia menghantam Pak Hwee Hiat di embun-embunan dan Tian Tiong
Hiat di dada pemuda itu.
Wie Pek tidak bergerak,
seolah-olah ia tahu, bahwa si nona tidak bakal menotok sungguhan. Tapi kedua
senjata it uterus menyambar bagaikan kilat dan dilain detik ujung senjata hanya
terpisah satu dim dari dua jalan darah tersebut.
Pada detik yang sangat
berbahaya, mendadak terdengar suara trang! dan kedua pit terpental balik.
Kecepatan bergeraknya Wie Pek sungguh luar biasa bagaimana ia menghunus pedang
dan bagaimana ia menangkis tak bisa dilihatnya.
Bagus! teriak nona Coe sambil
melintangkan kedua senjatanya yang segera menyambar bagaikan dua helai sinar
putih.
Boe Kie menonton dengan penuh
perhatian. Ia ingat, bahwa mendiang ayahnya pernah mengatakan Poan Koan Pit
adalah senjata untuk menotok jalan darah. Tapi karena bentuknya menyerupai Pit,
maka dalam senjata itu mengandung sifat-sifat Boen. (ilmu surat) Keunggulannya
ialah mudah digunakan dan indah gerakannya. Tapi di dalam pertempuran
mati-matian, manfaatnya masih kalah setingkat dengan senjata lain, misalnya
golok atau tombak. Sesudah memperhatikan beberapa lama, ia mendapat kenyataan
bahwa nona Coe benar-benar mahir dalam menggunakan Poan Koan Pit yang
menyambar-nyambar ke delapan penjuru dalam gerakan-gerakan yang sangat indah.
Tiba-tiba hatinya berdebar-debar. Ah! Pit Hoat itu menyerupai dengan In Thian
To Liong Kang dari ayahku,katanya dalam hati. Ilmu silat nona Coe juga
berdasarkan Soe Hoat (Soe Hoat seni
menulis huruf-huruf bagus)
Dilain pihak, ilmu pedang Wie
Pek tidak juga cukup lihai. Tapi karena Boe Kie tidak mengerti Kiam Hoat, maka
dia tak dapat melihat kebagusannya ilmu pedang itu. Ia hanya tahu bahwa makin
lama pemuda itu jadi makin terdesak.
Sesudah bertempur sekian
jurus, pit kiri Nona Coe tiba-tiba menyambar dari kanan ke kiri, sedangkan pit
kanan menyabet dari atas ke bawah.
Celaka! seru Wie Pek sambil
melompat mundur. Kioe Tin sungkan menyia-nyiakan kesempatan baik. Ia melompat
pit kanan menyambar mata. Itulah pukulan yang lihai dan sukar dielakkan.
Tahan!.. teriak Wie Pek, Aku
menyerah kalah! Harap Sio Cia sudi mengampuni jiwaku
Bukan main girangnya si nona.
Ia tertawa seraya berkata, Piauw Ko kau bukan kalah sungguhan. Kau hanya
mengalah.., sehabis berkata begitu, ia mengangkat kedua senjatanya yang lalu
dilemparkan ke tembok. Blas! kedua Pit itu amblas di tembok, hanya beberapa dim
yang berada di luar tembok.
Boe Kie terkesiap. Ia tak
nyana, bahwa wanita yang kelihatannya lemah memiliki Lweekang yang begitu
tinggi dan tenaga yang begitu besar. Bagus! Ia berteriak tanpa merasa.
Sudah lama ia berdiri di situ,
tapi ketiga orang muda itu tidak memperhatikannya. Sekarang, begitu bersorak,
mereka menengok dan mengawasinya. Melihat, bahwa yan sorak hanya seorang
pelayan, Kioe Tin tidak memperdulikan. Ia rupanya sudah melupakan Boe Kie.
Sambil menengok kepada Wie Pek, ia berkata, Piauw Ko, pit hoat tadi banyak
sekali kekurangannya. Kumohon Siauw Ko sudi memberi petunjuk.
Wie Pek tertawa, Piauw Moay,
ilmu silatmu bukan saja hebat, tapi juga sangat indah gerakannya, apa namanya?
Coba Kau tebak, kata nona
sambil tolak pinggang.
Wie Pek menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gata. Koe Koe adalah turunan asli Soe Hoat, katanya.
Menurut pendapatku ilmu silat itu berdasarkan Soe Hoat.
Benar! seru Nona Coe sambil
menepuk-nepuk tangan. Pintar juga kau Piauw Ko. Tapi Soe Hoat apakah itu?
Piauw Moay yang baik, jangan
kau coba-coba menguji aku, kata Wie Pek. Tidak, aku tak tahu.
Melihat sikap si nona terhadap
Wie Pek, Boe Kie merasa sangat berduka. Ia merasa dirinya kecil. Ia merasa
bersaing dengan pemuda tampan itu. Sungguh beruntung jika ia bisa mendapatkan
kesempatan untuk menindih saingan itu. Maka itulah, begitu mendengar pengakuan
Wie Pek darahnya lantas saja bergolak dan tanpa merasa ia berteriak, Tay Kang
Tong Ki Hoat!
Coe Kioe Tin adalah turunan
Coe Coe Liu. Nona si Boe itu, yang dipanggil Ceng Moay oleh nona Coe, adalah
turunan Boe Sam Tong, namanya Boe Ceng Eng. Ia adalah turunan Boe Siu Boen,
salah seorang putra Boe Sam Tong. Boe Sam Tong dan Coe Coe Liu ialah menteri
merangkap murid It Teng Taysoe, sehingga ilmu silat mereka berasal dari satu
sumber. Akan tetapi, sesudah lewat seratus tahun lebih, ilmu silat antara kedua
keluarga itu agak berbeda. Misalnya Boe Toen Ji dan Boe Sioe Boen telah
mengangkat Kwee Ceng, Kwee Tayhiap sebagai guru. Maka itu, biarpun mereka juga
paham akan ilmu totok It Yang Ci, tapi ilmu totok itu agak menyerupai cara-cara
yang keras untuk dari ilmu silat Kioe Ci Sin Kay Ang Cit Kong.
Wie Pek ialah saudara sepupu
Coe Kioe Tin. Pemuda itu berguru kepada ayah Boe Ceng Eng. Ia seorang pemuda
yang berparas tampan, beradat baik dalam lemah lembut cara-caranya, sehingga ia
dicintai oleh kedua gadis cantik itu.
Usia nona Coe dan nona Boe
kira-kira sebaya, sama-sama cantik, sama-sama pintar dan ilmu silat merekapun
kira-kira standing. Maka itu, orang Rimba Persilatan di sekitar Koen Loen San
memberi gelar Soat Leng Siang Moay (Sepasang Saudara perempuan dari Bukit
Salju) kepada mereka.
Dalam mencintai Wie Pek, Coe
Kioe Tin lebih berani mengutarakan rasa cintanya. Tapi Boe Ceng Eng yang pemalu
bisa menarik keuntungan, yaitu karena belajar bersama-sama, makanya bisa lebih
banyak bergaul dengan pemuda itu daripada nona Coe.
Mendengar seruan Tay Kang Tong
Ki Hoat, ketiga orang muda itu terkejut. Sebagai orang-orang yang Boen Boe Song
Coan (mengerti ilmu surat dan ilmu silat) Wie Pek dan Ceng Eng bukan tak tahu,
bahwa ilmu silat nona Coe berdasarkan Tay Kang Tong Ki Hoat. Mereka hanya tidak
mau menyebutkannya, supaya nona itu jadi lebih senang hatinya.
Pada waktu itu, Boe Kie baru
berusia kira-kira lima belas tahun. Tanpa sesuatu yang luar biasa, baik dari
muka, maupun dari potongan badannya. Maka itu, Wie Pek dan Boe Ceng Eng segera
menduga, bahwa ia adalah pelayan di lapangan berlatih silan dan sudah mendengar
nama ilmu pukulan itu.
Tapi Coe Kioe Tin sendiri
tahu, bahwa hal tiu tak akan bisa kejadian. Oleh karena, setiap kali mengajar
ilmu silat, ayahnya tak pernah mengijinkan hadirnya siapapun jua dalam lapangan
berlatih. Apakah ia mencuri belajar? tanyanya di dalam hati. Memikir begitu, ia
lantas saja membentak, Hei! Siapa namamu? Bagaimana kau tahu ilmu silatku
dinamakan Tay Kant Tong Ki Hoat?
Mendengar si nona menanyakan
namanya, Boe Kie merasa sangat berduka.
Bukankah aku sudah
memberitahukan Kau? pikirnya. Kalau begitu, kau sedikitpun tak memperhatikan
aku, ia lantas menjawab Namaku Thio Boe Kie, aku hanya bicara secara
sembarangan.
Oh,..sekarang aku ingat, kata
Kioe Tin.
Kau adalah bocah yang pernah
digigit oleh anjing-anjingku, ia lebih jadi bercuriga, sebab ia lantas saja
ingat bahwa dengan sekali pukulan saja, anak itu telah menghancurkan kepala Co
Ciangkun sehingga dia pasti memiliki ilmu silat yang tidak boleh dipandang
enteng. Apakah dia seorang mata-mata yang dikirim oleh musuh ayahku? tanyanya
di dalam hati. Tanpa mencuri, anak yang begitu kecil tak mungkin mengenal ilmu
silat yang paling diandalkan oleh ayahku.
Tapi, baru saja ia berniat
untuk menyelidiki lebih lanjut, tiba-tiba ia melihat Wie Pek dan Boe Ceng Eng
sedang bicara bisik-bisik sambil duduk berendeng. Rasa cemburu lantas saja
timbul dalam hatinya dan ia tidak memperdulikan Boe Kie lagi. Ceng Moay!
teriaknya. aku dan Piauw Ko sudah memperlihatkan keburukan kami. Kuharap kaupun
suka mempertunjukkan ilmu silatmu yang tinggi.
Entah disengaja, entah tidak,
Wie Pek dan Boe Ceng Eng tidak meladeni teriakan itu.
Kioe Tin naik darah, Biarpun
Pit Hoatku sangat sederhana, tapi belum tentu ilmu silat keluarga Boe bisa
melawannya, katanya dengan suara dingin.
Nona Boe mengangkat kepalanya
dan membalas dengan suara yang sama dinginnya. Soe Ko-koe tahu, bahwa kau
seorang yang mau menang sendiri sehingga ia sengaja mengalah terhadapmu,
Hm!....Tapi kau tergirang-girang.
Siapa mau dia mengalah? bentak
Kioe Tin dengan keras. Dapatkah dia memecahkan pukulan Siang Koat Kwi Goan?
(Siang Koat Kwi Goan Dua Ranggon
terangkap menjadi satu. Jurus terakhir Kioe Tin yang menyebabkan menyerahnya
Wie Pek)
Kau kira kami berdua
manusia-manusia tolol yang tidak mengenal syair? Syair-syair Tay Kang Tong Ki
dari Souw Pong To? Tanya Ceng Eng. Kalau Soe Ko tidak mengenal ilmu silatmu,
mengapa ia justru menyerah kalah pada akhiran sebaris syair? Ia menyerah pada
detik kau mengakhiri huruf goat (rembulan) dari baris syair yang berbunyi It
Coen Hoan Cioe Kang Goat mengertikah kau sekarang? (It Coen Hoan Cioe Kang
Goat mempersembahkan secawan arak kepada
rembulan_
Coe Kioe Tin tertegun.
Pertanyaan Boe Ceng Eng tak dapat dibantah. Memang Wie Pek menyerah waktu
mengakhiri tulisan huruf goat dengan jurus Siang Koat Kwi Goan. Kalau benar
begitu, ia sendiri yang jadi manusia tolol!
Ia merasa malu bukan main dan
dari malu ia menjadi gusar. Kenal memang mungkin kau kenal, tapi apa kau bisa
memecahkannya? tanyanya dengan suara keras. Bisa jadi Piauw Ko sengaja mengalah
terhadapku. Hm!..memang tak sukar menggoyangkan lidah. Lihatlah! Pelayan dalam
rumahku pun mengenal pukulan itu.
Muka Boe Ceng Eng merah padam,
bahwa gusarnya. Soe Ko aku pulang saja! katanya dengan suara gemetar. Orang
sudah mempersamakan aku dengan pelayan. Perlu apa kau berdiam lama di rumah
ini?
Wie Pek tertawa dan berkata,
Soe Moay, Piauw Moay hanya berguyon, jangan kau menganggap bersungguh-sungguh.
Di rumahmu pelayan kotor seperti dia tak terhitung berapa banyaknya.
Mendengar perkataan yang
menghina itu, Boe Kie panas hatinya.
Bagus! Kau menghina pelayanku?
kata Kioe Tin. Ceng Moay, biarpun kau berkepandaian tinggi, belum tentu kau
bisa menjatuhkan dia dalam tiga jurus.
Hm! Apa kau kira pelayan baumu
mempunyai harga untuk melayaniku? nona Boe menjawab. Tin Ci kau terlalu
menghinaku.
Sampai disitu Boe Kie tak
dapat menahan sabar lagi. Boe Kouwnio! teriaknya. Apa kau bukan manusia? Boe
Kouwnio, janganlah kau menganggap dirimu sebagai manusia yang terlalu mahal!
Walaupun darahnya meluap,
untuk menghina si bocah, Ceng Eng melirikpun tidak. Ia berpaling kepada Wie Pek
dan berkata, Soe Ko, kau lihatlah kurang ajarnya pelayan bau itu. Apa kau masih
tetap berpeluk angina?
Melihat sikap mohon dikasihani
dari si nona, hati pemuda itu lantas saja lemas. Antara kedua gadis itu, ia
sebenarnya tidak memilih kasih. Akan tetapi, di dalam hati kecilnya, ia
mempunyai perhitungan sendiri. Gurunya, yaitu ayah Boe Ceng Eng, mempunyai
kepandaian yang tinggi. Ia merasa, bahwa apa yang akan didapatkannya, takkan
lebih daripada sebagian atau dua bagian kepandaian sang guru. Maka itu, apabila
ia ingin memiliki kepandaian istimewa, tidak bisa ia harus mengambil hati nona
Boe. Maka itulah, dia seraya tersenyum lantas saja berkata.
Piauw Moay, apa benar
pelayanmu mempunyai kepandaian tinggi? Bolehkah aku mengujinya?
Kioe Tin mengerti, bahwa kakak
itu coba membela Ceng Eng. Ia mau menolak tapi dalam otaknya mendadak
berkelabat serupa ingatan.
Aku memang ingin tahu asal
usul bocah itu, pikirnya. Biarlah Piauw Ko yang paksa dia membuka rahasianya,
berpikir begitu, ia lantas berkata
Baiklah, sebenarnya aku
sendiri tak tahu murid siapa dan dari partai mana.
Apakah pelajaran bocah itu
bukan didapat dari sini? Tanya Wie Pek dengan perasaan heran.
Kioe Tin menengok ke arah Boe
Kie dan berkata, Eh, coba beritahukan Siauw Ya, nama guru dan partaimu.
Mendengar perkataan si nona,
Boe Kie lantas saja berpikir. Kamu begitu menghina aku, mana bisa aku
memberitahukan nama kedua orang tuaku dan Thay Soehoe? Selain begitu, akupun
belum pernah mempelajari ilmu silat Boe Kie Pay secara sungguh-sungguh. Dengan
adanya itu, ia menjawab, Semenjak kecil, kedua orang tuaku sudah meninggal
dunia dan aku bergelandangan dalam dunia Kang Ouw. Aku belum pernah belajar
ilmu silat, hanya ayah angkatku yang pernah memberi satu dua petunjuk kepadaku.
Mata Gi Hoe buta, sehingga iapun tak tahu, apa latihanku benar atau salah.
Siapa nama ayah angkatmu? Dari
partai mana dia? Tanya Kioe Tin.
Boe Kie menggelengkan kepala.
Aku tak bisa memberitahukan, jawabnya.
Wie Pek tertawa nyaring.
Masakah kita bertiga tidak bisa mengorek rahasianya? katanya sambil menghampiri
Boe Kie dan berkata pula.
Bocah coba kau sambut tiga
pukulan, seraya berkata begitu, ia melirik nona Boe sambil tersenyum,
seolah-olah ia mau mengatakan bahwa ia akan memberi pelajaran keras kepada bocah
itu untuk melampiaskan rasa dongkolnya si nona.
Dalam soal cinta, seseorang
yang sedang mabuk cinta selalu memperhatikan gerak-gerik dari orang yang
dicintai. Lirikan dan senyuman Wie Pek tidak terlepas dari mata Coe Kioe Tin
yang lantas timbul rasa cemburunya. Melihat Boe Kie bersangsi untuk menyambut
tantangan itu. Ia menggapai dan setelah anak itu mendekati, ia berkata dengan
suara perlahan, Sebagaimana kau sudah melihat Piauw Ko memiliki kepandaian
tinggi, kau tentu tak bisa menang. Tapi, asal kau bisa menyambut tiga
pukulannya, kau membikin mukaku jadi terang, sehabis berkata begitu, ia
menepuk-nepuk pundak si bocah untuk memberi semangat.
Boe Kie juga tahu, bahwa ia
bukan tandingan pemuda itu. Ia mengerti bahwa jika ia turun ke gelanggang, ia
hanya akan menjadi korban. Jadi semacam lelucon untuk menggembirakan hati. Tapi
begitu lekas ia berdiri dihadapan si cantik, pikirannya kalut. Sesudah diajak
bicara dengan suara lemah lembut dan ditepuk-tepuk apa pula sesudah mengendus
bau yang sangat harum, otaknya butak dan ia tak dapat berpikir lagi. Sio Cia
memerintahkan supaya aku membikin terang mukanya dan aku tak toleh
mengecewakannya, katanya di dalam hati dan seperti orang linglung, ia segera
mendekati Wie Pek.
Bocah, sambutlah! kata pemuda
itu sambil menampar. Pukulan itu cepat luar biasa dan muka Boe Kie lantas saja
terpeta lima jari tangan yang berwarna merah. Sesudah tahu, bahwa anak itu
bukan mendapat pelajaran dari keluarga Coe, sehingga ia tidak bisa dianggap
menghina pamannya sendiri. Ia sudah turun tangan tanpa sungkan-sungkan.
Meskipun tidak mengerahkan Lweekang ia menampar dengan sepenuh tenaga.
Boe Kie, lawan! teriak Nona
Coe.
Semangat si bocah terbangun,
dengan cepat ia meninju Wie Pek mengegos sambil berseru. Bagus! Masih ada dua
jurus, dengan sekali melompat, ia sudah berada di belakang Boe Kied an sebelum
si bocah keburu memutar badan, leher bajunya sudah kena dicengkeram. Sambil
mengangkat badan Boe Kie tinggi-tinggi Wie Pek tertawa terbahak-bahak dan
kemudian membantingnya keras-keras di lantai. Kasihan Boe Kie! Janggut dan
hidungnya lantas saja mengucurkan darah.
Seraya menepuk-nepuk tangan,
Boe Ceng Eng tertawa cekikikan. Tin Ci, katanya, Bagaimana? Apakah ilmu silat
keluarga Boe masih boleh dilihat?
Paras muka Kioe Tin merah padam.
Ia malu bercampur gusar. Ia tak bisa membantah pertanyaan saingannya, sebab
jika ia mencela ilmu silat keluarga Boe, ia sudah menyinggung perasaan Wie Pek.
Sementara itu, Boe Kie sudah
merangkak bangun dan dengan jantung berdebar-debar, ia melirik Kioe Tin.
Melihat paras muka si cantik, ia lantas saja berkata dalam hatinya. Sudahlah!
Biarpun hilang jiwa, aku mesti menolong Sio Cia.
Piauw Moay, kata Wie Pek
sambil tertawa. Silat kucing pincang bocah itu masih tak punya, mana bisa kau
bicara tentang partainya?
Tiba-tiba Boe Kie menerjang
dan menendang kempungannya.
Aduh! Gagah benar Kau? ejek
Wie Pek sambil mengelak dan menangkap kaki kanan Boe Kie yang lalu dilontarkan
dengan menggunakan tiga bagian Lweekang. Bagaikan anak panah terlepas dari
busurnya, badan si bocah melesat kea rah tembok. Untung juga, selagi masih
berada di tengah udara, dengan menggunakan seluruh tenaganya ia masih keburu
memutar tubuh sehingga hanya punggungnya yang terbentur tembok. Tapi biarpun
begitu, ia merasa sakit bukan main dan roboh di kaki tembok tanpa bisa lantas
bangun.
Dalam kesakitan hebat, hatinya
masih memikirkan muka Coe Kioe Tin yang harus ditolong. Tiba-tiba ia mendengar
suara si nona, Sudahlah! Ayo kita pergi ke taman bunga! di kuping Boe Kie suara
itu penuh rasa malu dan jengkel.
Entah darimana datangnya,
mendadak Boe Kie merasa tenaganya pulih. Ia melompat bangu dan bagaikan kalap,
ia menubruk dan menghantam Wie Pek dengan telapak tangannya.
Kali ini ia memukul dengan
jurus Kang Liong Yu Hwi (Penyesalan Sang Naga) dari Hang Liong Sip Pat Ciang
(delapan belas jurus ilmu silat menaklukkan naga), semacam Ciang Hoat (ilmu
silat dengan menggunakan telapaka tangan) yang paling lihai di seluruh rimba
persilatan. Dahulu dengan mengandalkan ilmu tersebut, Ang Cit Kong dan Kwee
Ceng telah menjagoi di kolong langit. Hanya saying apa yang didapat Cia Soen
hanya kulitnya saja, sedang yang diperoleh Boe Kie lebih-lebih tak karuan macam
pengaruh pukulan itu belum ada sepersepuluh dari Kang Liong Yu Hwi yang asli.
Tapi walaupun begitu pukulan itu mengeluarkan sambaran angin yang luar biasa
dan begitu tangan Wie Pek terbentur tangan Boe Kie, badannya bergoyang-goyang
dan ia terpaksa mundur setindak. Ia kaget, sedangkan Boe Ceng Eng mengeluarkan
seruan tertahan.
Pada seratus tahun lebih lalu,
leluhur Boe Ceng Eng, yaitu Boe Sioe Boen, telah berguru kepada Kwee Ceng, tapi
sesudah belajar banyak tahun, ia masih belum juga dapat menyelami intisari dari
pada Hang Liong Sip Pat Ciang. Boe Liat, ayah Boe Ceng Eng, masih dapat
menjalankan jurus-jurus dari ilmu silat itu, tapi seperti anak cucu Boe Sioe
Boen yang lainnya, iapun tidak berhasil mengeluarkan pengaruh dahsyat Hang
Liong Sip Pat Ciang. Selama belasan tahun, nona Boe sering melihat ayahnya
berlatih sendirian sambil mengasah otak. Tapi sebegitu jauh, orang tua itu
masih juga belum berhasil. Dari zaman Boe Sioe Boen sampai Boe Ceng Eng sudah
ada lima turunan. Pada setiap turunan, anggota-anggota keluarga Boe berusaha
keras untuk menyelami intisari ilmu itu, tapi semua usaha mengalami kegagalan.
Kegagalan itu bukan karena
tumpulnya otak keluarga Boe. Apa seorang dapat menyelami Hang Liong Sip Pat
Ciang atau tidak, tiada sangkut paut dengan kecerdasan otak. Bukan saja begitu,
bahkan ada petunjuk, bahwa makin cerdas otak seseorang, makin sukar ia memiliki
ilmu itu. Contohnya, Kwee Ceng tumpul dan Oey Yong pintar luar biasa. Tapi yang
berhasil adalah Kwee Ceng, sedang Oey Yong tetap gagal. Dalam mengajar
orang-orang muda, Kwee Ceng tidak menyembunyikan apapun jua. Tapi kaitannya
adalah, diantara orang-orang tingkatannya lebih muda seperti Yo Ko, Yeh Loe Ci,
Kwee Hoe, Kwee Siang, Kwee Loh Po, Boe Sioe Boen dan Boe Toen Jie, tak satupun
yang bisa berhasil dengan sempurna. Bahwa pada zaman belakang Hang Liong Sip
Pat Ciang sudah tidak dikenal lagi dalam rimba persilatan, mungkin adalah
karena sebab-sebab itu.
Wie Pek yang tak kenal jurus
itu sudah menangkis dengan tangannya dan begitu lekas tangannya beradu dengan
tangan Boe Kie, ia merasakan lengannya kesemutan dan dadanya menyesak. Cepat-cepat
ia mundur setindak kemudian ia melompat maju sambil menghantam punggung Boe Kie
dengan tinjunya. Tanpa memutar tubuh, si bocah mengibaskan tangannya ke
belakang dengan menggunakan jurus Sin Liong Pa Bwee (Naga Malaikat menyabetkan
ekor) Melihat sambaran tangan yang luar biasa, Wie Pek berkelit, tapi tak urung
pundaknya kena disapujuga dengan tiga jari tangan. Meskipun pukulan itu tidak
hebat, tapi Coe Kioe Tin dan Boe Ceng Eng sudah melihat, bahwa dalam jurus itu,
Wie Pek sekali lagi kena dikalahkan.
Mana dia rela menerima hinaan
itu dihadapan wanita-wanita cantik? Waktu menantang Boe Kie, seorang anak
tanggung yang sama sekali bukan tandingannya, pemuda itu hanya ingin
mempermainkan si bocah untuk menyenangkan hati Boe Ceng Eng. Maka itu, ia hanya
menggunakan dua atau tiga bagian. Tapi diluar dugaan, dua kali beruntun ia
jatuh dibawah angin, Darahnya lantas saja naik dan ia membentak. Setan kecil!
Apa kau tidak takut mati? seraya membentak, ia meninju dengan jurus Tiang Kang
Sam Tiap Long (tiga gelombang sungai TiangKang) sesuai dengan namanya, jurus
itu mengandung tiga gelombang tenaga. Apabila lawan menangkis gelombang pertama
dengan sepenuh tenaga, maka ia akan binasa, atau sedikitnya terluka berat
dengan gelombang tenaga kedua dan ketiga akan menyerang tanpa diduga-duga.
Waktu memukul, Wie Pek telah
menggunakan seluruh tenaga Lweekangnya. Tapi, karena pada hakikatnya ia memang
bukan seorang jahat yang berhati kejam. Maka biarpun sedang gusar, ia menahan
gelombang tenaga yang ketiga.
Dilain pihak, begitu melihat
serangan dahsyat, Boe Kie segera menghempas semangat dan menangkis dengan
pukulan terhebat yang dimilikinya yaitu Kiam Liong Boet Yong (naga yang
bersembunyi jangan digunakan) Sambil miringkan tangan kirinya, ia menyambut
dengan Lweekang yang aneh, yaitu setengah berkumpul, setengah buyar, separuh
bersembunyi, separuh keluar. Wie Pek terkesiap, gelombang pukulannya yang
pertama amblas seperti batu amblas di dalam laut. Hampir berbareng dengan suara
Krek! Tulang lengan kanannya patah. Untung juga karena menaruh belas kasihan ia
menahan tenaga gelombang ketiga. Jika tidak, mereka berdua sama-sama terluka
berat.
Coe Kioe Tin dan Ceng Eng
mengeluarkan teriakan kaget dan serentak mengeluarkan teriakan kaget dan
serentak lagi menghampiri Wie Pek. Taka pa-apa, katanya sambil meringis.
Dengan berbaring, kedua nona
itu menumpahkan kegusaran di atas kepala Boe Kie. Tanpa mengeluarkan sepatah
kata, mereka memukul badan dan menghantam dada si bocah. Boe Kie yang belum
hilang kagetnya sebab melihat akibat pukulannya, tidak bergerak dan tinju kedua
gadis itu tepat mengenai dadanya, Uh! dengan badan bergoyang-goyang ia
muntahkan darah!
Dada si bocah sakit, tapi
hatinya lebih sakit. Dengan mati-matian aku berkelahi untuk membuat mukamu
terang, katanya didalam hati. Tapi waktu aku menang, kau berbalik memukul aku.
Tahan! teriak Wie Pek.
Kedua gadis itu tidak memukul
lagi.
Dengan paras muka pucat. Wie
Pek mengayun tangan kirinya dan menghantam Boe Kie. Boe Kie yang dengan
melompat jauh berhasil menyelamatkan dirinya.
Piauw Ko, kata nona Coe, kau
sudah terluka, perlu apa kau meladeni anak yang kurang ajar itu? Aku yang
salah. Sebenarnya tak boleh aku mengadu kau dengannya. Dia seorang gadis yang
beradat tinggi. Kalau bukan melihat akibat dari perbuatannya, tak
gampang-gampang ia mau mengaku bersalah.
Tapi diluar dugaan, Wie Pek
jadi makin gusar. Ia tertawa dingin seraya berkata, Piauw Moay, pelayanmu
benar-benar lihai. Kau sendiri mana bersalah? Tapi aku masih merasa penasaran.
Ia mendorong Kioe Tin dan lalu menerjang Boe Kie.
Si bocah mau melompat mundur,
tapi Boe Ceng Eng yang berdiri di belakangnya segera mendorong punggungnya
sehingga tinju Wie Pek mampir tepat di hidungnya yang lantas saja bocor.
Dalam sekejab Boe Kie sudah
dikepung oleh tiga orang dan tujuh delapan pukulan dengan beruntun jatuh di
badannya. Beberapa kali ia muntah darah, tapi sebagai manusia kepala batu,
dengan nekat ia melawan terus. Ia menggunakan segala macam ilmu silat yang
dimilikinya. Silat Cia Soen, ilmu kedua orang tuanya, pukulan-pukulan Boe Tong
Pay dan berkelahi bagaikan harimau edan. Walaupun Lweekangnya masih sangat
cetek, tapi karena kenekatannya ditambah dengan pukulan-pukulan dari ilmu-ilmu
silat yang sangat tinggi, seperti Hang Liong Sip Pat Ciang, maka untuk
sementara waktu ia masih dapat mempertahankan diri.
Bocah Bau! caci Coe Kioe Tin.
Binatang dari mana kau? Sungguh berani kau mengacau di tempat ini. Apa kau
sudah bosan hidup?
Sementara Wie Pek yang
tangannya makin lama makin sakit sungkan berkelahi lebih lama lagi. Sambil
mengerahkan seluruh Lweekang di tangan kiri, ia menghantam bagaikan kilat.
Melihat pukulan yang dahsyat itu, Boe Kie yang terlalu lelah jadi putus
harapan. Ia mengeluh dan memejamkan kedua matanya untuk menunggu kebinasaan.
Tapi sebelum tangan Wie Pek
turun di badannya, tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek.
Tahan! satu bayangan kuning
berkelabat dan menangkis tangan pemuda itu yang sedang menyambar. Begitu
tangannya tertangkis, Wie Pek terhuyung beberapa tindak dan kemudian
terjengkang. Tapi gerakan orang itu yang mengenakan jubah kuning cepat luar
biasa. Dengan sekali meloncat, ia menjaga punggung pemuda itu yang lantas saja
bisa berdiri tegak.
Ayah! teriak Kioe Tin.
Coe PehPeh! seru nona Boe.
Koe Koe! kata Wie Pek dengan
napas tersengal-sengal.
Orang yang menolong Boe Kie
bukan lain Coe Tiang Leng, ayah Coe Kioe Tin. Begitu lekas tulang lengan Wie
Pek patah, seorang perawat anjing buru-buru melaporkan kepada sang majikan yang
lantas saja datang ke tempat pertempuran. Untuk beberapa saat, Coe Tiang Leng
menyaksikan kegagahan putrinya dan dua orang muda itu dan pada detik yang
berbahaya ia memberi pertolongan.
Melihat keberanian dan
kegigihan Boe Kie, orang tua itu merasa kagum.
Dengan paras muka merah padam
dan mata mendelik, ia mengawasi putrinya, Wie Pek, dan Boe Ceng Eng. Mendadak
tangannya melayang, menampat muka putrinya. Bagus! katanya dengan suara
menyeramkan. Makin lama anak cucu keluarga Coe jadi makin tak karuan macam!
Dengan mempunyai anak semacam kau, bagaimana aku ada muka untuk bertemu dengan
leluhurku di dunia baka?
Coe Kioe Tin adalah anak biasa
dimanja. Jangankan digebuk, dicacipun belum pernah. Tapi sekarang ia ditampar
di depan banyak orang, bahkan di depan kecintaannya. Tamparan itu cukup keras
untuk membuat kepalanya pusing. Sesudah pusing hilan, Uh! ia menangis keras.
Diam! bentak sang ayah.
Bentakan itu disertai Lweekang sudah menggetarkan seluruh ruangan, sehingga
debu pada jatuh dari atas balok. Si nona takut bukan main dan ia tak berani
menangis terus.
Semenjak dahulu, keluarga Coe
hidup bagaikan kesatria, kata sang ayah. Leluhurmu, Coe Lioe Kong, mengabdi
kepada It Teng Taysoe dan jadi perdana menteri dari negeri Tayli Kok.
Belakangan beliauw Bantu melindungi kota Siang Yang dan namanya menggetarkan seluruh
dunia. Lihatlah! Betapa gagahnya leluhurmu itu! Tak nyana anak cucunya tidak
karuan macam. Sampai kepada aku, Coe Tiang Leng, aku punya anak seperti
cecongormu! Tiga orang dewasa mengerubuti seorang anak kecil! Bukan saja
begitu, kamu bahkan coba mengambil juga jiwa anak itu! Malu tidak kau? ia
bicara dengan suara berapi-api dengan nada menyeramkan. Walaupun cacian
ditunjukkan kepada Kioe Tin, Wie Pek dan Ceng Eng pun kena terseret, sehingga
dengan muka kemerah-merahan, mereka tak berani mengangkat kepala.
Mendengar dan melihat semua
itu, Boe Kie merasa takluk dan kagum terhadap orang tua itu.
Coe Tiang Leng benar-benar
marah besar. Dari pucat mukanya berubah merah, dari merah berubah kuning,
sedang badannya gemetara. Tak satupun antara ketiga orang pemuda itu yang
berani bersuara atau berkisar. Sambil menundukkan kepala, mereka berdiri
bagaikan patung.
Melihat bengkaknya pipi nona
Coe Kioe Tin dan sikapnya yang penuh ketakutan, Boe Kie merasa sangat tak tega
dan ia segera berkata
Looya, dalam hal ini Sio Cia
sama sekali tak bersalah, Tiba-tiba ia terkejut karena suaranya hampir tak
kedengaran, akibat dari pukulan Wie Pek pada tenggorokannya.
Saudara kecil, kau mengenal
Hang Liong Sip Pat Ciang, kata Coe Tiang Leng. Apakah kau murid Kay Pang? (Kay
Pang Partai pengemis)
Boe Kie yang sungkan
memberitahukan asal-usulnya lantas saja mengangguk.
Sambil mengawasi puterinya
dengan sorot mata gusar. Orang tua itu berkata pula, ilmu pukulan itu
diturunkan oleh Kioe Ci Sin Kay Ang Cit Kong yang pada zaman itu telah
menggetarkan seluruh rimba persilatan di sebelah selatan dan utara sungai
besar. Dengan keluarga kita, keluarga Coe dan Boe, beliauw mempunyai hubungan
yang sangat erat, ia menengok kepada Boe Ceng Eng dan berkata pula, Kwee Ceng,
Kwee Tayhiap, adalah guru leluhurmu, Sioe Boe Kong. Sesudah mengenali bahwa
pukulan yang dikeluarkan oleh saudara kecil itu ialah Hang Liong Sip Pat Ciang,
mengapa kau masih juga turun tangan! ia bicara dengan suara keras dan tidak
sungkan-sungkan lagi sehingga Boe Kie sendiri jadi merasa sangat tidak enak.
Sesudah menyuruh seorang
pelayan mengambil obat luka, orang itu menanyakan hal ihwal kedatangan Boe Kie
dan cara bagaimana ia sampai mendapat kedudukan seorang pelayan di dalam
gedungnya. Coe Kioe Tin tak berani berdusta dan lalu menceritakan cara
bagaimana Boe Kie digigit anjing sebab coba menyembunyikan seekor kera kecil
dan cara bagaimana ia sudah menolongnya.
Darah sang ayah meluap lagi.
Begitu lekas si nona selesai menutur, ia membentak dengan suara menggeledek. Bagus!
Saudara kecil itu adalah sahabat dari Kay Pang dan kau sudah berani mati untuk
memberi kedudukan pelayan kepadanya. Huh-Huh! Kalau hal ini sampai terdengar
diluaran, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang gagah dalam kalangan Kang
Ouw? Mereka pasti akan mengatakan bahwa Kian Koen It Pit Coe Tiang Leng adalah
manusia yang tidak mengenal pribadi. Aku membiarkan kau memelihara
anjing-anjing itu dengan anggapan, bahwa kau memeliharanya hanya untuk
main-main. Tapi siapa nyana, kau sudah mengumbar binatang-binatan itu untuk
mencelakakan orang. Budak kecil! Jika untuk mengambil jiwa kecilmu, mana aku
ada muka untuk bertemu pula dengan orang-orang gagah dalam rimba persilatan? Ia
mencaci dengan mata berapi-api dan nona Coe mengerti, bahwa sang ayah dapat membuktikan
ancamannya. Dengan muka pucat dan badan gemetaran, buru-buru ia menekuk lutut
seraya berkata dengan suara parau. Thia-thia, anak.. anak tidak berani berbuat
itu lagi
Melihat bahaya, Wie Pek dan
Ceng Eng pun segera berlutut dan memohon supaya orang tua itu sudi mengampuni
puterinya.
Boe Kie segera maju mendekati
seraya berkata, Looya
Saudara kecil, jangan kau
memanggil Looya kepadaku, kata Tiang Leng dengan suara lebih sabar. Aku hanya
lebih tua sekian tahun daripadamu dan paling banyak kau boleh memanggil
Cianpwee kepadaku. (Looya Tuan Besar, panggilan untuk majikan atau orang
berpangkat. Cianpwee orang yang tingkatannya, atau usianya lebih tinggi)
Baiklah, kata si bocah. Coe
Cianpwee, dalam hal ini tak dapat kita menyalahkan Sio Cia. Dengan sebenar-benarnya,
Sio Cia tak tahu menahu waktu aku digigit anjing.
Kau lihatlah, kata Coe Tiang
Leng. Dia masih begitu kecil, tapi sudah begitu lapang dada. Kalian bertiga
masih tak dapat menandingi seorang bocah seperti dia. Pada Hari Tahun baru,
lebih pula karena Boe Kouwnio tamu kami, menurut adat aku tak boleh mengunjuk
kegusaran. Akan tetapi, aku tidak bisa berpeluk tangan, sebab perbuatanmu
terlalu gila dan tiada berbeda dengan perbuatan manusia hina. Sekarang, sesudah
saudara kecil ini memintakan ampun, kamu bangunlah.
Dengan kemalu-maluan, Wie Pek
bertiga lantas bangkit.
Lepaskan semua anjing jahat
itu! bentak Coe Tiang Leng sambil menengok kepada tiga perawat anjing yang
berdiri di satu sudut. Mereka mengiyakan dan buru-buru menjalankan perintah.
Melihat paras muka ayahnya
yang menyeramkan dank arena tak tahu apa yang akan diperbuat oleh orang tua
itu, nona Coe jadi lebih ketakutan. Thia! serunya dengan suara parau.
Sang ayah tertawa dingin. Kau
memelihara anjing-anjing jahat untuk mencelakai manusia, katanya. Baiklah,
sekarang perintahkan anjing-anjingmu untuk menggigit aku.
Si nona menangis, Thia, anak
sudah tahu kesalahan sendiri, ratapnya.
Orang tua itu hanya
mengeluarkan suara di hidung. Mendadak ia melompat ke gerombolan anjing itu
sambil mengayunkan kedua tangannya. Plaak Plaak Plaak Plaak empat ekor anjing
roboh dengan kepala remuk.
Semua orang terkesiap, mereka
mengawasi dengan mulut ternganga.
Kaki tangan Coe Tiang Leng
menyambar-nyambar dan badannya bergerak bagaikan kilat. Dalam sekejab mata,
tiga puluh ekor anjing sudah rebah di lantai tanpa bernyawa lagi. Jangankan
melawan, laripun mereka tak keburu lagi.
Wie Pek dan Boe Ceng Eng kaget
bercampur kagum. Walaupun tahu, bahwa orang tua itu berkepandaian tinggi,
mereka tak nyana kepandaiannya setinggi itu.
Sesudah melampiaskan
kegusarannya, Coe Tiang Leng lalu mendukung Boe Kie yang dibawa ke kamarnya
sendiri. Tak lama kemudian Coe Hujin (nyonya Coe) dan Kioe Tin datang menengok
dengan membawa semangkok obat.
Sebagai akibat gigitan anjing
karena mengeluarkan terlalu banyak darah. Biarpun lukanya sudah sembuh, badan
Boe Kie sebenarnya masih sangat lemah. Maka itu, luka-luka hebat yang
dideritanya sekarang sudah membuat ia pingsan berulang-ulang dan selama
beberapa hari ia berada dalam keadaan pingsan. Berkat rawatan yang teliti,
akhirnya ia tersadar. Begitu lekas sebagian tenaganya pulih, ia sendiri segera
menulis surat obat dan menyerahkannya pada pelayan dan meminta supaya ia diberi
obat menurut resep itu. Obat itu ternyata sangat mujarab dan kesehatannya
kembali denga cepat sekali. Melihat kepandaian si bocah dalam ilmu pengobatan,
penghargaan Coe Tiang Leng jadi lebih besar.
Sementara itu, Coe Kioe Tin
kelihatannya sudah sadar akan kesalahannya dan untuk menebus dosa ia merawat Boe
Kie seperti kakak merawat adik kandung sendiri. Selama dua puluh hari lebih,
seringkali ia menemani si bocah di samping pembaringan sambil bercakap-cakap,
meniup seruling, atau menyanyi.
Sesudah Boe Kie bisa berjalan,
pergaulannya dengan si nona jadi makin akrab.
Menurut peraturan keluarga
Coe, pagi2 belajar silat, sore belajar surat. Ilmu silat keluarga tersebut
mempunyai sangkut paut yang sangan erat denga Soe hoat (seni menulis surat
indah). Mungkin tinggal seorang memiliki Soe Hoat, makin tinggi pula ilmu
silatnya.
Untuk mempelajari ilmu surat,
Coe Kioe Tin mempunyai sebuat kamar tulis yang kecil, dengan hiasan idah.
Ditembok sebelah timur tergantung selembar tulisan sajak, buah kalam penyair
Touw Bok, sedang tembok sebelah utara diantara dua lukisan san soei
(pemandangan alam) terdapat tulisan Si Hie tiap, karya Hway-so Hweeshio.