Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 32

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 32
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 32

Dalam laparnya memang Kan Ciat sudah tidak mengenal malu. Mendengar cacian pedas ia jadi gusar dan lalu menggaplok muka Boe Kie keras. "Binatang! Kaupun akan mengalami nasib seperti dia!" bentaknya.

Bagaikan kalap Boe Kie meronta-ronta, tapi Seng cioe Ka lam adalah seorang ahli sitat dan cekalannya keras bagaikan besi. Kedua soeteenya Sie Kong Wan segera mengambil tambang yang lalu digunakan untuk mengikat kedua anak itu.

Sesudah dibelenggu, Boe Kie menghela napas. Ia merasa bahwa hari ini ia akan menyusul kedua orang tuanya di alam baka. Dalam gusarnya, ia merasa menyesal, bahwa ia sudah menolong jiwanya keempat manusia itu.

"Binatang kecil" caci Kan Ciat. "Kau sudah mengobati lukaku dan didalam hatimu kau sekarang pasti sedang mengutuk aku."

"Manusia hina-dina!" teriak Boe Kie, "Kamu membalas kebaikan dengan kejahatan. Kalau tidak ditolong aku, sekarang kamu sudah berada dilobang kubur."

"Saudard Thio." kata Sie Kong Wan sambil bersenyum senyum, "kau sudah menolong kami dan untuk itu kami merasa berhutang budi. Tapi sekaranq kami sedang menghadapi kebinasaan karena lapar. Kalau mau menolong, kau harus menolong sampai diakhirnya. Dan kamu sekarang sekali lagi kami memerlukan pertolonganmu.

Keganasan Kan Ciat sudah menyeramkan, tapi kekejatnan Sie Kong Wan yang mengunjuk ketelengasannya sambil tertawa-tawa lebih menyeramkan lagi. Boe Kie jadi nekat dan berteriak: "Aku adalah murid Boe tong, sedang adikku muid Go-bie-pay. Kebinasaan kami berdua tidak menjadi soal. Tapi apakah kamu kira lima pendekar Boe-tong dan Biat-coat Soetbay akan menyudahi perbuatanmu dengan begitu saja?"

Kan Ciat terkejut. Ia merasa bahwa ancaman bocah itu bukan ancaman kosong, sebab Boetong pay dan Gobie pay memang tidak boleh dibuat permainan.

Tetapi Sie Kong Wan tertawa terbahak bahak. "Kejadian di hari ini diketahui oleh Langit, oleh Bumi, oleh kau dan oleh aku. Bocah! Sesudah kau berada dalam perut kami kau boleh mengatakan kepada Thio Sam Hong."

Kan Ciat turut tertawa dengan sinting. "Kau benar, kau benar," katanya. "Saudara Thio, untuk menolong jiwa, kami sesungguhnya tak dapat berbuat lain." Sehabis berkata begitu, ia berpaling kepada kedua soetenya Sie Kong Wan dan membentak: "Mengapa kamu berdiri seperti patung? Pergi ambil air dan cari kayu bakar!"

Kedua orang itu mengangguk dan lalu berjalan pergi.

"Sie Toaya," kata Boe Kie dengan suara memohon, "jikalau kalian mau juga makan daging manusia, makanlah dagingku saja seorang. Aku memohon supaya kamu suka membebaskan adik kecil itu. Kalau permintaanku dilulusi, biarpun mati aku tak akan merasa menyesal."

"Mengapa begitu?" tanya si manusia she Sie.

"Karena pada waktu mau menutup mata, ibunya telah meminta pertolonganku supaya aku mengantarkan dia kepada ayahnya," jawab Boe Kie. "Kan Toaya, dengan makan aku seorang kurasa kamu sudah cukup kenyang dan besok kamu bisa membeli kerbau atau kambing untuk dijadikan barang santapan selaajutnya. Kan Toaya, Sie Toaya, ampunilah adikku itu."

Melihat kesatriaan bocah itu, mau tak mau hati Kan Ciat tergerak juga, ia mengawasi Sie Kong Wan dan bertanya: "Bagaimana pikiranmu?"

"Ini soal kecil," jawabnya. "Tapi kalau rahasia ini bocor, dikemudian hari kite berabe sekali. Song Wan Kiauw, Jie Lian Coe dan yang lain-lain tentu akan cari kita. Wan Toako, jika kau mempunyai jalan untuk menghadapi mereka, aku tidak berkeberatan."

"Tak salah", kata Kan Ciat sambil mengangguk. "Aku sungguh tolol. Aku tidak memikir apa yang mungkin terjadi dihari kemudian."

Sesaat itu, seorang Hwa san pay sudah kembali dengan membawa air dikuali. Boe Kie mengerti, bahwa bahaya sudah sangat dekat. "Poet Hwie moay-moay," katanya. "kau bersumpahlah, bahwa kau tak akan menceritakan kejadian dihari ini kepada siapapun jua."

Tapi anak itu yang belum mengerti apapun jua lantas saja menangis keras. Ia sama sekali tidak tahu bahwa kakak itu sedang menawarkan jiwa sendiri untuk menolongnya.

Pemuda yang tidak dikenal Boe Kie, yang parasnya angker, terus duduk ditanah tanpa mengeluarkan sepatah kata. Sekarang Kan Ciat mengawasinya dan berkata: "Cie Siauw Sie, kalau mau turut makan daging kambing, kau harus bekerja."

"Baik," kata pemuda itu sambil mencabut sebilah golok pendek dari pinggangnya. Sesudah menggigit goloknya, ia mengangkat Boe Kie dan Poet Hwie dan lalu berjalan kearah satu sungai kecil, Boe Kie meronta-ronta dan mencaci kalang kabutan, tapi dia tidak meladeni.

Tapi baru saja ia ber jalan belasan tindak, Sie Kong Wan mendadak berteriak: "Cie Siauw Sie! Disini saja!"

Siauw Sie berjalan terus, "Disungai lebih baik," jawabnya dengan suara tidak terang, sebab giginya sedang menggigit golok.

"Disini! Aku kata disini, disini!" teriak pula Sie Kong Wan. Ternyata manusia she Sie itu lihay juga otaknya. Melihat sianar mata dan sikap pemuda itu yang agak luar biasa, ia bercuriga.

Sekonyong konyong Siauw Sia berteriak. "Lekas lari" Ia melepaskan kedua anak itu ditanah dan memotong tambang yang mengikat tangan mereka.

"Terima kasih untuk budimu yang sangat besar," kata Boe Kie seraya menarik tangan Poet Hwie dan lalu lari sekeras-kerasnys.

Sambil berteriak, Kan Ciat dan Sie Kong Wan mengubar. "Tahan!" bentak Siauw Sia sambil menghadang ditengah jalan.

Melibat pemuda itu berdiri dengan sikap angker sambil melintangkan goloknya, kedua manusia itu agak jeri. "Minggir kau!" bentak Kan Ciat.

"kita adalah orang-orang Kangouw yang harus mempunyai rasa kesatriaan," kata Siauw Sia. "Apa kamu tidak merasa malu kalau kamu mencelakakan anak kecil itu?"

"Jangan rewel!" teriak Kong Wan dengan gusar. "Dalam kelaparan, aku akan gegares siapa pun jua." Ia menggapai kedua soeteenya dan berteriak pula: "Ubar mereka!"

Sementara itu, melihat Poet Hwie tidak bisa lari cepat. Boe Kie lalu mendukungnya dan kabur sekuat tenaga. Tapi apa mau dikata, sebagai seorang anak tanggung, ditambah dengan beban yang berat, ia tidak dapat secepat orang dewasa. Sebelum keluar dari hutan itu, mereka sudah dicandak oleh kedua murid Hwa san pay. Buru-buru Boe Kie menurunkan si nona dari dukungan dan dengan nekat ia menyerang kedua pengejarnya. Pukulannya yang pertama ditangkis oleh salah seorang. "Plak!" badannya terhuyung beberapa tindak.

"Bangsat cilik! Lihay juga kau!" bentak orang itu yang merasakan beratnya pukulan si bocah. Dengan berbareng mereka menghunus golok dan berlangsunglah pertempuran ganjil. Dua orang dewasa yang bersenjata mengerubuti seorang anak yang bertangan kosong. Ketika itu, Boe Kie sudah tidak memikiri jiwanya lagi, sambil mengegos dan melompat kian kemari, ia berteriak-teriak menyuruh Poet Hwie lekas-lekas melarikan diri.

Dilain pihak, Siauw Sia pun sudah dikepung oleh Kan Ciat dan Sie Kong Wan. Baru bergebrak beberapa jurus, ia sudah keteter. Selang beberapa jurus lagi golok Ken Ciat mampir dilututnya yang lantas saja mengucurkan darah. Ia mengerti, bahwa dilanjutkannya pertempuran akan berarti kebinasaannya. Maka itu, sesudah menimpuk Sie Kong Wan dengan goloknya, ia melompat dan terus kabur. Sie Kong Wan berkelit dan golok itu jatuh ditanah.

Sambil berlari, Siauw Sia berteriak: "Saudara Thio, jangan takut. Aku pergi untuk mengambil bala bantuan."

Kan Ciat dan Sie Kong Wan lantas saja menyusul kedua kawannya dan dengan mudah mereka menawan pula kedua anak itu, yang lalu diikat lagi kedua tangannya.

Kan Ciat mengawasi Sie Kong Wan dengan mata mendelik. "Orang she Cie itu bukan manusia baik," katanya dengan mendongkol. "Bagaimana dia berjalan bersama-sama kamu?"

"Kami kertemu ditengah jalan," jawab Sie Kong Wan. "Siapa tahu dia orang baik atau orang jahat? Menurut katanya, dia she Cie bernama Tat. Kau jangan percaya omongannya. Sekarang sudah hampir malam. Dari mana dia mau mengambil bala bantuan?"

"Kalau didengar dari suaranya, dia penduduk Hong-yang," menyelak seorang Soetee Sie Kong Wan, "Biarpun dia membawa semua penduduk kampung, kita tidak usah takut."

"Penduduk Hong-yang?" menegasi Kan Ciat sambil menyeringai. "Ha ha! Jangankan berkelahi berjalanpun mereka sudah tak mampu. Hayolah Aku sudah kuat menahan rasa lapar." Mereka segera kembali keperapian.

Sesudah tertangkap lagi, Boe Kie dihajar babak belur, pakaiannya robek dan isi sakunya terserak ditanah. Tiba-tiba matanya tertumbuk dengan sejilid buku yang kertasnya kuning dan karena di tiup agin, lembaran buku itu terbuka. Buku itu ialah Tok Soei Tay coan milik Ong Lan Kouw. Ia sekarang sudah tidak memikir untuk hidup dan memperdulikan apapun jua

Jilid 27

Karya Chin Yung

(Transriber: Eeyore)

Sesudah mikir begini setengah mati, begitutupun tiada jalan hidup, Boe Kie malah jadi tenang. Pada saat pikirannya bersih itulah, secara tidak disengaja matanya melirik pula ke lembaran buku itu, dan secara kebetulan pula halaman yang terbuka adalah bagian rumput2 beracun. Hatinya tertarik juga dan ia lalu membacanya. Pada bagian itu secara jelas diterangkan bentuk, bau warna, sifat dan cara memunahkannya macam rumput2 beracun.

Sesudah membaca beberapa saat, ia menghela napas. Ia ingat, bahwa beberapa detik lagi, ia akan berkumpul dengan roh orang tuanya.

Sekonyong2, waktu melirik kesebelah kiri, matanya tertumbuk pula dengan segundukan rumput yg berwarna sangat menyolok indah, segar dan mengkilap. Mendadak saja, dalam otak nya berkelebat serupa ingatan.

"Apa tak bisa jadi rumput beracun? Menurut buku ini, rumput yg mengandung racun indah warnanya. Kalau benar rumput itu rumput beracun, jiwa Poet Hwie moay moay masih bisa ditolong." Pada saat itu ia sudah tidk memikir untuk menyelamatkan jiwa sendiri. Dengan masih mengeramnya racun dingin didalam tubunya, anmdaikata hari ini ia selamat, paling banyak ia hanya bisa hidup beberapa bulan lagi., Apa yg dipikirnya ialah usahan menolong Poet Hwie, guna memenuhi permintaan mendiang Kie Siauw Hoe.

Dengan perlahan ia menggulingkan badan kearah rumput itu. Karena kedua tangannya terikat kebelakang, ia lalu membelakangi rumput itu dan kemudian mencabutnya. Sungguh untung, gerak geriknya itu tidak diperhatikan oelh musuh2nya yg sedang diserang dengan rasa lapar dan tengah memusatkan perhatiannya keapda air yg hamper mendidih. Sekonyong konyong ia melompat bangun dan sambil mengawasi kejurusan larinya Cie Tang ia berseru, "Cie Taoko, banyak sungguh temanmyu! Tolong! Tolong!"

Dengan terkejut, Kan Ciat dan tiga kawannya segera menghunus senjata. Mereka mengawasi kea rah yg diawasi Boe Kie. Dengan menggunakan kesempatan itu, Boe Kie mundur dua tindak dan melepaskan segabung rumput yang dicekalnya kedalam kuali.

Melihat tidak ada manusia, Kan Ciat mencaci "Bangsat! Kau boleh berteriak sekali lagi, sekuatmu! Tak ada manusia yang akan menolong kau."

"Hayolah, perlu apa banyak2 bicara," kata Sie Long Wan yg sudah merasa tidak sabaran.

"Sie Tonya, aku haus," kata Boe Kie dengan suara memohon. "Tolong berikan semangkok air panas untukku. Sesudah mati, setanku tak akan mengganggu kau."

"Baiklah," jawabnya sambil menyeringai. Ia lalu menyendok semangkuk dari dalam kuali dan mengangsurkannya ke mulut si bocah.

Sebelum mangkok menempel pada bibirnya Boe Kie sudah berseru, "Aduh! Wangi sungguh apa yg dimasak?"

Boe Kie tidak berdusta. Rumput yg tadi di cemplungkannya kedalam kuali tanpa diketahui orang, memang mengeluarkan bebauan sangat harum yg diendus juga oleh Kan Ciat dan kawan2nya. Sesudah kelaparan beberapa hari, bau harum itu membangkitkan napsu makan memperhebat rasa lapar mereka. Oleh karena begitu, sebaliknya dari memberikan kepada si bocah, KongWan lalu menceguk sendiri "kuwah" rumput itu. Astaga, benar2 sedap!, katanya ia segera menyendok semangkok lagi dan menghirupnya dengan bernapsu.

Kan CIat mendongkol bukan main. Ia melompat dan merebut mangkok itu lalu digunakan untuk menyendok "kuah" harum dan segera meminumnya. Dengan beruntung ia menghabiskan 3 mangkok penuh. Kedua soeteenya Sie Kong Wan pun masing2 minum 2 mangkot. Sesudah menderita kelaparan berhari hari "kuah" yang hangat itu mendatangkan perasaan nyaman dan mereka mengusap usap perut sambil menyeringai. Kan Ciat yang masih merasa tidak puas lalu mengambil rumputnya dari dalam kuali dan sesudah mengunyah cepat2 segara menelannya. Diantara mereka tak seorangpun yg menanya dari mana datangnya rumput itu.

"Nah! Sekarang kita boleh bekerja dengan semangat," kata Kan Ciat sambil ketawa lebar. Sinar matanya lanta saja mengeluarkan sorot kepuasan dan dengan mencekal golok, ia menghampiri Poet Hwie.

Melihat rumput itu belum mengeluarkan akibat suatu apa, Boe Kie menarik kesimpulan bahwa rumput tersebut bukan rumput beracun.

"Habislah jiwaku!" ia mengeluh.

Tapi, baru saja Kan Ciat mengkah dua tindak mendadak ia berteriak "aduh!" sambil memegang perut. Di lain detik, badannya bergoyang goyang dan ia roboh berguling ditanah.

"Kan heng, mengapa kau?" tanya Sie Kong Wan sambil menghampiri dan coba membangunkannya. Tapi sekali membungkuk, ia tak dapat melempangkan pinggannya lagi! Ia terjungkal kesamping si orang she Kan tanpa berkutik lagi. Dua orang murid Hwa San Pay yang lain bahkan tanpa mengeluarkan suara.

"Oh Langit! Oh Bumi! Terima kasih atas pertolonganmu!" teriak Boe Kie dengna suara parau sedang air mata mengalir turun di pipinya.

Dengan bergulingan ia mendekati dan menjemput golok yg jatuh dari tanan Kan Ciat dan kemudia menggunakannya untuk memutuskan tambang yg mengikat tangan Poet Hwe. Sesudah tangannya bebas si nona lalu coba menolong kakaknya dan ia baru berhasil sesudah melukakan tangan Boe Kie di dua tempat.

Tak usah menceritakan lagi kegirangan kedua anak itu, sesudah berpeluk2an beberapa lama barulah Boe Kie nengok mayak Kan Ciat dan kawan2nya. Ternyata muka mereka berwarna hitam dan otot2 pada menonjol keluar, sehingga kelihatannya menakuti sekali. "Racun bisa mencelakakan manusia, tp jg bisa menolong manusa baik," kata Boe Kie dalam hati. Ia lalu mengambil pulang Tok beot Tay coan dan memasukkannya kedalam saku, dengan niatan untuk mempelajarinya di hari kemudian.

Dengan saling menggandeng tangan, kedua anak itu berjalan keluar dari hutan yg menyeramkan. Baru saja mereka mau mencari jalanan se-konyong2 disebelah timur terlihat obor2 dan tujuh delapan orang yg membawa rupa2 senjata kelihatan mendatangi. Merek ketakutan dan buru2 menyembunyikan diri di rumput2 tinggi.

Tak lama kemudian reroton itu sudah tiba didekat tempat persembunyian kedua anak itu. Yang berjalan didepat Cie Tat yg membawa tombak panjang. Sambil mengangkat obor tinggi2. Ia berteriak, "Hei manusia2 binatang! Lekas keluar untuk terima binasa!" Mereka masuk kedalam hutan dan begitu melihat mayat2 itu, mereka kaget bukan main.

Saudara Thio! Saudara Thio!  teriak Cie Tat, Dimana kau? Kamu datang untuk menolong kalian.

Sekarang Boe Kie tahu, bahwa kedatangan mereka adalah untuk memberi pertolongan. Hatinya terharu dan dengan air mata berlinang2, ia melompat keluar dari rumput alang2. Dengan menuntun tangan Poet Hwie, ia berlari2 menghampiri rombongan penolong itu.

Cie Tako! Aku berada disini, serunya.

Cie Tat girang tak kepalang, sambil memeluk si bocah. Ia berkata, Saudara Thio, jangan diantara anak2, sedangakan diantara orang2 dewasapun jarang terdapat manusia yang mempunyai jiwa kesatria seluhur kau. Aku sungguh berkuatir. Aku kuatir kau sudah menjadi kurbannya manusia2 itu. Tapi orang baik selalu mendapat pembalasan baik. Ia menanyakan cara bagaimana Kan Ciat dan kawan2nya binasa dan Boe Kie lalu memberikan keterangna sejelas2nya. Mendengar it, semua orang merasa kagum dan memuji kepintaran si bocah.

Berapa saudara ini adalah sahabat2ku sedari kecil, kata Cie Tat. Hari ini kai menyembelih seekor kerbau dan mereka sedang memasaknya di kelenteng Hong kan-sie. Begitu aku meminta pertolongan, mereka segera mengikut aku. Tapi kami datang terlambat dan sungguh syukur kau sudah bisa menolong diri sendiri. Sehabis berkata begitu, ia segara memperkenalkan sahabat2nya itu. Seorang yg mukanya persegi dan kupingnya lebar she-Thong bernama Ho yang paras mukanya angker, she-Tong bernama Jie yang bermuka hita dan bertubung jangkung, she-Hoa bernama In, dan orang kulitnya bersih adalah kakak beradik sang kaka she gouw bernama Liang, si-adik Gouw Tin dan akhirnya seorang pendeta yg mukanya jelek dan matanya dalam, tp bersinar sangat tajam. Yang ini adalah Coe Taoke, katanya. Ia bernama Goan Coang dan sekrang menjadi pendeta di kelenteng Hong kak sie.

Dia jadi pendeta bebas menyambungi Hoa In seraya tertawa. Dia tidak membaca kitab suci, pekerjaannya hanyalah minum arak dan daging.

Melihat paras muka Coe Goan Ciang, Poet Hwie ketakukan dan lalu bersembunyi dibelakang Boe Kie.

Adik kecil, jangan takut, kata si pendeta.

Aku makan daging, tapi tidak makan daging manusia.

Hayolah masakan kita rasanya sudah matang, mengajak Thong Ho.

Siauw moay-moay, mari aku gendong kau, kata Hoa In seraya berjongkok dan sesudah menggendong Peot Hwie, ia seraya berjalan lebih dulu dengan tindakan lebar. Melihat cara2 mereka yg polos dan bebas, Boe Kie merasa girang.

Sesudah berjalan empat lima li, tibalah mereka di sebuah kelenteng. Begitu masuk diruangan sembahyang, hidung mereka segera mengendus bebahuan sedap dari masakan daging kerbau (xp)

Sudah matang! seru Gauw Liang

Saudara Thio, kau tunggu disini, kata Cie Tat. Kami akan membawa masakan itu kemari.

Boe Kie dan Poet Hwie segera duduk diatas tikar, sedang Coe Goan Ciang dan kawan2 nya masuk kedalam. Beberapa saat kemudian, mereka kembali dengan membawa piring yang penuh daging dan sepoci arak putih. Tanpa menyia2kan tempo, mereka segera makan minum dengan gembira didepan patung Posat.

Kie Tako, kata Hoa In sambil mengunyah daging, peraturan agama kita semuanya bagus. Hanya sayang ada larangan makan daging dan ini aku tidak begitu setuju.

Boe Kie terkejut. Ah! Kalau begitu mereka orang2 Bengkauw, katanya di dalam hati.

Tujuan dari agama kita adalah berbuat kebaikan dan membasmi kejahatan, kata Cie Tat. Larangan makan daging hanya merupakan larang yg terakhir. Sekarang ini tak ada beras dan ak ada sayur, apa kita lebih baik mati kelaparan?

Cie Taoko benar! kata Teng Jie sambil menepuk lutut. Hayo makanlah sepuas hatimu jangan terlalu rewel.

Selagi enak makan tiba2 terdengar tindakan kaki dan pintu depan digedor, Thong Ho melompat bangun, Celaka! Orang uta Wang gwee datang mencari kerbau, bisiknya.

Pindtu didorong keras2 dan disusul dengan masuknya yang berbadan keras dan muka bengis Aha! Benar saja kerbau Wang gwee digegares kamu! Teriak seseorang melompat dan menyekel tangan Coe Goan Ciang.

Pendeta bangsat! cacai yg satunya lagi Kami akan menyerahkan kamu kepada tiekoan supaya dihajar mampus.

Coe Goan Ciang tertawa. Kalian jangan menuduh sembarangan, katanya. Mana bisa jadi aku mencuri kerbau? Sebagai seorang pertapaan aku tak boleh makan daging.

Apa itu bukan daging kerbau? bentak seorang sambil menuding sisa makanan.

Sambil memberi isyarat kepada kawan2nya dengan lirikan mata, Coe Goan Ciang tertawa pula seraya berkata. Siapa kata itu daging kerbau. Selagi si pendeta memberi jawaban Gouw Liang dan Gouw Tin berjalan kebelakang kedua tukang pacul itu dan dengan sekali membentak, mereka melompat mencekal tangan kedua orang itu, yg tidak dapat berkutik lagi.

Sambil mencabut pisau panjang dari pinggangnya, si pendeta berkata, Untuk bicara sebenar2nya, yg dimakan kami bukan daging kerbau, tapi daging manusia. Sekarang rahasia sudah diketahui kamu. Maka itu, untuk menutup mulut kamu, jalan satu2nya ialah makan jg dagingmu, sehabis berkata begitu, ia membuka baju salah seorang dan menggorehkan pisaunya didada orang.

Kedua tukang pukul itu ketakutan setengah mati dan lalu me-mohon2 ampun. Si pendeta bersenyum. Ia menjemput dua potong daging dan lalu memasukkan kedalam mulut mereka. Telan! bentaknya. Tanpa mengunyah lagi, mereka segera menelannya.

Sesudah itu Coe Goan Ciang pergi ke dapur dan mengambil secekel bulu kerbau yg juga lalu dimasukkan kedalam mulut kedua tukan pukul itu Telan! bentaknya pula. Karena takut mati, sambil berjengit2 mereka terpaksa menurut perintah.

Goan Ciang tertawa terbahak2. Nah sekarang kamu boleh mengadu kepada majikanmu. Katanya. Kamu boleh melaporkan, bahwa yg gegaras kerbanya yalah kamu. Huh huh!... dihadapan pembesar negeri, aku akan balas menuduh kau. Aku akan menuntut supaya perutmu dibelek. Semua orang akan lihat, bahwa kamu bukan saja sudah gegares dagingnya, tp jg sudah menelan bulu kerbau! Seraya berkata begitu, ia menggoreskan pula pisaunya dipunggung orang itu yg menggigil karena ketakutan.

Kedua saudara Gouw tertawa berkakakan. Dengan berbareng mereka menendang pantat, kedua tukang pukul itu yang lantas saja terpental keluar dari ruangan sembahyang.

Setelah kaki tangan Thio Wan-gwe diusir, mereka melanjutkan makan minum. Sambil menangsal perut, mereka membicarakan kekejamanan hartwan itu yang sering sekali berbuat sewenang2 terhadap penduduk kampung. Kali ini kedua tukang pukul itu membentur tembok dan mereka pasti tidak berani memberi laporan kepada majikannya. Boe Kie merasa geli dan kagum. Biarpun mukanya jelek, pendeta she Coe itu lihay sekali, pikirnya.

Dalam makan minum itu, kawan2 Cie Tat memperlakukan Bie Kie bukan seperti anak2 biasa. Setelah mendengar kesatriaan si-bocah yang rela mengorbankan jiwanya sendiri untuk menolong sesama manusia, mereka menghormati anak itu yg dianggapnya sebagai seorang sahabat yg berharga.

Sesudah makan kenyang, tiba2 Teng Ji menghela napas. Hai! Sudah lama sekali bangsa Han ditindas oleh penjajah asing, katanya.

Sampai kapan bencana kelaparan ini baru bisa lewat?

Hampir separuh penduduk Hong yang sudah mati kelaparan, kata Hoa In. Kurasa dilain tempat pun keadaan tidak lebih baik. Daripada mati konyol, lebih baik kita mengadu jiwa dengan Pat-coe, (Pat coe  Orang Mongol yang pada waktu itu berkuasa di Tiongkok).

Benar! teriak Cie Tat. Sungguh kecewa jika sebagai laki2 sejati tidak bisa menolong sesama manusia yg memerlukan pertolongan.

Tak salah, menyambungi Tong Ho. Kita pun tengah menghadapi kebinasaan. Hari ini kita bisa makan kenyang karena berhasil mencuri kerbau. Apa besok kita bisa mencuri lagi?

Makin bicara mereka makin sengit dan makin hebat mencaci penjajah.

Sudahlah! kata Coe Cian Ciang. Kita mencaci Tat Coe disini, tapi selembar rambut Tat Coe tidan bergeming. Jika kau benar-benar lelaki tulen, mari kita membunuh Tat Coe!

Dengan serentak Thong Ho dan yang lain2 melompat bangun. Bagus! Mari ,mari..teriak mereka.

Coe Taoko, Cie Tat Kau berusia paling tua dan semua bersedia untuk mendenar segala perintahmu.

Coa Cian Ciang tidak menolak, Mulai hari ini kita sama2 hidup dan sama2 mati, katanya. Ada rejiki sama2 makan ada bahaya sama2 tanggung. Mereka mengangkat cawan lalu meneguk kering isinya. Sesudah itu, mereka menghunus golok membacok ujung meja sebagai sumpah setia kawan.

Poei Hwei yg tak tahu apa artinya itu semua, jadi ketakutan dan memeluk Boe Kie.

Thay soehoe memesan supaya aku tidak bergaul dengan orang2 Beng Kauw, kata Boe Kie dalam hati. Tetapi perbuatan beberapa orang Beng Kauw seperti Siang Goe Goen Taoko, Cie Taoko dan kawan2nya, banyak lebih mulia daripada sepak terjang manusi2 seperti Kan Ciat dan Sie Kong Wan yang menjadi anggota dari partai2 jurus bersih. Thio Sam Hong adalah orang yang paling dihormatinya. Tapi sekarang sesudah mendapat pengalaman pahit getir, didalam hati kecilnya ia merasa, bahwa pandangan orang tua itu tidak tepat seluruhnya. Tapi biar bagaimana jua, aku tidak dapat melanggar pesanan Thay soehoe, pikirnya.

Seseorang gagah tidak menjilat ludah sendiri. Kata Coe Coan Ciang. Sekarang sesudah makan kenyang, kita boleh lantas bertindak. Hari ini Thio Wan gwee mengadakan pesta dalam gedungnya untuk menjamu Tat-coe. Mari kita binasakan mereka!

Bagus! teriak kawan2nya

Tahan dulu! kata Cie Tat yang lalu menggambil keranjang kecil dan mengisinya dengan daging kerbau. Kemudian sambil mengangsurkan keranjang itu kepada Boe Kie, ia berkata

Saudara Thio, kau masih terlalu kecil dan tidak bisa mengikuti kami. Kami tak punya apapun jua dan hanya memberikan daging ini kepada kalian. Kalau masih hidup, dibelakangan hari kita masih bisa bertemu pula dan bisa makan minum lagi bersama sama seperti hari ini.

Boe Kie menyambuti keranjang itu dan berkata dengan suara terharu.

Aku mengharapkan kalian bisa segera berhasil membinasakan dan mengusir semua Tat Coe, supaya rakyat dikolong dunia bisa hidup senang.

Mendengar perkataan itu, Coe Goan Ciang dan kawan2nya merasa terkejut.

Saudara Thio apa yang dikatakan olehmu benar sekali, kata pendeta itu.

Sampai bertemu lagi, sehabis berkata begitu, dengan menenteng senjata bersama lawan2nya, ia segera meninggalkan Hong-kak-sie.

Kalau tidak membwa anak kecil, akupun akan turut mereka, kata Boe Kie didalam hati.

Mereka hanya bertujuh orang dan mereka pasti tak kan bisa melawan kaki tangan Thio Wan Geew Tat Coe yang berjumlah besar. Mungkin sekali orang2 Thio wan Geew akan menyerang kesini. Kelenteng ini akan berbahaya, memikir begitu dengan membawa keranjang daging dan menuntun tangan Poet Hwie, ia segera meninggalkan kelenteng Hong Kak Sie.

Sesudah jalan lima enam lie, disebelah utara mereka melihat sinar api yang berkobar kobar Boe Kie mengerti bahwa kebakaran itu akibat serangan Coe Gian Ciang dan kawan2nya dan ia merasa girang.

Penderita kedua anak itu suka ditutukan satu persatu. Untung juga mungkin karena kedua orangtuanya adalah ahli2 silat, Poet Hwie mempunya benda yang kuat sehingga ia dapat bertahan dalam perjalanan yang penuh kesengsaraan itu. Kadang2 ia masuk angin tapi begitu diberi obat, yaitu rambut2 yg dipetik Boe Kie, ia sudah sembuh kembali.

Dengan berjalan sambil sebentar2 berhenti untuk mengaso, didalam suatu hari paling banyak mereka bisa melalu duapuluh li. Kira2 setengah bulan barulah mereka tiba di wilayah propinsi Ho Lam, yang keadaannya tidak lebih baik dari propinsi Anhoei. Diamna mana mereka bertemu dnegan rakyat yg kelaparan.

Untuk menyambung jiwa Boe Kie membuat busur dan anak panah guna memanah burung2 dan binatang2 kecil. Dengan mengandalkan ilmu silatnyam, ia berhasil dalam usaanya itu. Demikianlah, biarpun sengsara mereka masih bisa maju teus sehari kenyang,s ehari lapar. Syukur juga, disepanjang jalan mereka tidak pernah bertemu dengan tentara Mongol atau penjahat2 yg berkepandaian tinggi. Bangsat2 kecil yang mau coba menggangu dengan mudah dapat dirobohkan oleh Boe Kie.

Pada suatu hari mereka bertemu dengan seorang kakek dan dalam omong2 Boe Kie menanyakan dimana letaknya puncah Co Bong Hong, gunung Koen Lun San.

Kakek itu kelihatannya kaget sekali. Dengan mata membelah ia mengawasi Boe Kie dan beberapa saat kemudia, barulah ia berkata, Saudara kecil, dair sini ke Koen Loen San orang harus melewati perjalanan lebih dari sepuluh laksa li. Menurut katanya orang, hanya Tong Ceng (Tong taycie) yang pernah melewati gunung itu. Saudara kecil jangan kau memikir yang tidak2. Dimana rumahmu? Lekas pulang!

Boe Kie terkejut. Kalau begitu jauh, aku terpaksa membatalkan perjalanan kesitu dan paling baik aku pergi ke Boe-Tong san untuk berdiam2 dengan Thay soehoe, katanya didalam hati. Tapi di lain saat, ia mendapat pikiran lain. Sesudah menerima baik permintaan orang, biarpun sukar, tak bisa aku mundur ditengah jalan. Apapula waktu hidupku sudah tidak berapa lama lagi. Jika aku berayal dan kuburu mati, sehingga aku tak dapat memenuhi janji di alam baka, tak ada muka untuk menemu Kie KouwKouw. Memikir begitu, tanpa bicara lagi dengan si kakek, ia menarik tangan Poet Hwie dan lalu meneruskan perjalanan.

Sesudah berjalan kurang lebih dua puluh haru lagi, pakaian mereka sudah rombeng semua. Sebab kurang makan, muka mereka makin pucal dan badan makin kuru. Penderitaan Boe Kie bahkan ditambah dengan rewelnya si adik yang sering2 menangis dan memanggil2 ibunya. Dengan rupa2 akal, ia membujuk anak itu yg dicintainya seperti saudara kandung sendiri.

Sesudah menyeberang sungai Coe ma ho, bahwa udara jadi semakin dingin, karena pada wkatuitu sudah masuk permulaan musim dingin. Dengah hanya menggenakan pakaian tipis, terutama diwaktu malam, mereka serin gmenggigil kedinginan. Satu ketuika, sebab melihat Poet Hwie bergemetaran hebat, Boe Kie membuka bajunya dna memberikannya kepada si adik.

Boe Kie koko, apa kau sendiri tidak dingin? tanya Poet Hwie.

Tidak aku malah kepanasan. Jawabnya sambil melompat2 supaya darah mengalir lebih cepat dan badannya jadi lebih hangat.

Kau sungguh baik! kata si adik dengan suara perlahan. Kau sendiri kedinginan, tapi kau menyerahkan bajumu kepadaku. Mendengar perkataan itu, gerakan dari seorang dewasa, Boe Kie tercengang.

Sesaat itu, tiba2 terdengar suara bentrokan senjata, dengan suara tindakan kaki. Bangsat! teriak seorang wanita Kau kena paku Seng-boen-teng yang beracun, makin kau lari, makin cepat bekerjanya racun.

Buru2 Boe Kie menarik tangan Poet Hwie dan melompat kedalam rumput alang2 yang tumbuh di pinggir jalan. Hampir berbareng, seorang lelaki yg berusia tiga puluh tahun lewat bagaikan terbang, sedang beberapa tombak di belakangnya mengikut seorang wanita ygn tangannya mencekal sepasang golok., Walaupun larinya cepat, tindakan lelaki itu limbung dan mendadak ia roboh terjengkang.

Wanita itu menghampiri dan berkata sambil tertawa. Bangsat! Akhirnya kau jatuh jg kedalam tanganku.

Sekonyong2 diluar dugaan, lelaku itu melompat bangun dan menghantan dengan dua tangannya. Plak! pukulannya mengenai tepat di dada si wanita. Pukulan yg dikirim dengan nekat hebat luar biasa, sehingga wanita itu lantas saja terguling, sedang sepasang goloknya terlempar ditanah.

Dengan napas tersengal sengal, lelaki itu mencabut sebatang paku dari pundaknya. Keluarkan obat pemunah! bentaknya.

Kau bunuh saja aku! kata si wanita. Ku tak punya obat pemunah

Sambil menempelkan ujung golok, yg dicekal di tangan kiri, dileher wanita itu, lelaki itu lalu menggeledah saku orang dengan tangan kanannya. Benar saja ia tak mendapatkan apa yg dicarinya.

Wanita itu tertawa dingin, Waktu Soehoe memerintahkan kami untuk menangkap kau, ia telah memberi senjata rahasia beracun, tapi tidak membekali obat pemunah, katanya. Sesudah jatuh kedalam tanganmu, aku tak memikir untuk hidup. Tapi kaupun jangan harap bisa ketolongan.

Lelaki itu gusang tak kepalang. Dengan geregetan ia menancapkan Song-boen-teng beracun di pundak orang dan membentak, Kau juga harus turut merasakan enaknya paku ini! Kamu, orang2 Koen-loen-pay Ia tak dapat meneruskan perkataannya dan roboh ditanah.

Wanita itu mencoba merangkak bangun, tapi lukanya terlalu hebat dan uah! ia memuntahkan darah.

Demikianlah kedua musuh itu, yang sama2 terluka berat, rebah dengan napas memburu.

Sesusah mendapat pengalaman pahit dair manusia2 seperti Kan Ciat dan kawan2nya, Boe Kie sekarang sangat hati2 terhadap orang2 Kang-ouw. Ia terus menyembunyikan diri dan tak berani keluar.

Sesaat kemudian, lelaki itu menghela napas dan berkata, Hari ini aku Souw Hie Cie binasa di Coe-ma-tiam tanpa tahu apa kesalahan terhadap Koe Leon Pay. Celaka sungguh. Benar2 aku mati penasaran. Ciam Kouw Nio, bolehkah aku memohon keteranganmu?

Wanita itu adalah seorang she Ciam bernama Coen. Ia tahu, bahwa paku Song-boen-teng dari gurunya mengandung racun yang amat hebat dan mereka berdua akan binasa bersama sama. Mengingat itu ia terduka sangat dan berkata dengan suara perlahan. Siapa suruh kau mengintip waktu guruku sedang berlatih ilmu pedang. It pit kiam sangan dirahasiakan oleh Soe Hoe. Jangankan orang luar sedangkan muridnya sendiri bisa dikorek kedua biji matanya, kalau murid itu berani melihat latihannya tanpa permisi.

Ah! Souw Hie Cie mengeluarkan suara tertahan dan kemudian mencaci. Bangsat! Tua bangka sudah mau mampus!

Kurang ajar kau! bentak Ciam Coen, Sedang ajalmu sudah hampir tiba, kau masih berani mencaci guruku.

Kalau aku mau mencaci, mau apa kau? kata Hie Cie dengan gusar. Apakah aku tidak mempunyai alasan untuk merasa penasaran? Waktu lewat di Pek-goe-san, secara tidak sengaja, kulihat gurumu sedang bersilat dengan menggunakan pedang. Sebab merasa ketarik, aku berhenti dan menonton. Apakah aku mempunyai kepintaran yang luar biasa, sehingga sekali melihat aku sudah bisa memahami Leong heng It pit kiam? Andaikata aku memiliki kecerdasan yang begitu tinggi, kamu semua beberapa murid Koen leon pay, sudah pasti takkan bisa mengalahkan aku. Ciam Kow nio, aku ingin memberitahukan kau secara terang2an, bahwa menurut pendapatku, gurumu, Thie kim Sian seng adalah manusia yang pandangannya terlalu sempit dan jiwanya terlampau kecil. Andaikata  ciam Kouwnio, andaikata benar aku sudah berhasil mencuri satu dua jurus dari Liong heng It pit kiam, kedosaanku tidaklah begitu besar, sehingga aku mesti menerima hukuman mati.

Ciam Coen tak bisa mengeluarkan sepatah kata. Dalam hati kecilnya, ia pun merasa, bahwa sang guru terlalu kecil jiwanya. Begitu lekas mengetahui, bahwa pemuda itu telah mencuri lihat latihannya, ia segera memerintahan enam muridnya, untuk mengubui dan membinasakan pencuri itu, sehingga sebagai akibatnya mereka berdua menghadapi kebinasaan bersama sama. Cian coen yakin, bahwa pengakuan pemuda itu yang diberikan pada saat hampir menghembuskan napas yang penghabisan, sudah pasti bukan keterangan justa.

Suaw Hie Cie menghela napas dan berkata lagi. Dia telah memberikan senjata rahasia beracun kepadamu, tapi tidak membekali obat pemunahnya. Dalam rimba persilatan, mana ada orang begitu gila? Bangsat

Souw Toako, kata Ciam Coen dengan suara halus, Siaow moay merasa menyesal, bahwa siauw moay telah mencelakakan kau. Bagus juga sebagai hukuman siaw moay akan mengantar kau pulang ke alam baqa. Inilah yang dinamakan nasib. Apakah yang siauw moay merasa lebih menyesal ialah dalam peristiwa ini, siauw moay menyeret toaso dan putra putrimu.

Istriku sudah menutup mata pada dua tahun berselang dengan meninggalkan dua anak, satu laku dan satu perempuan, kata Souw Hie Cie. Besok mereka akan jadi anak yatim piatu

Apakah dirumahmu masih ada orang lain yang bisa merawat anak2 itu? tanya nona Ciam.

Mereka dirawat oleh nsoku (nsoku  istri kakak lelaki). Jawabnya. Nao hebat adanya dan licik sifatnya., Sebegitu lama aku masih hidup, ia masih takuti aku. Hai! Mulai besok kedua anakku itu akan sangat menderita.

Ciam Coen yang berhati lembek lantas saja mengucurkan airmata. Ini semua adalah karea gara2ku katanya dengan suara parau.

Tapi kau tidak boleh disalahkan, kata Hie Cie. Kau telah menerima perintah gurumu dan kau tidak dapat menolak perintah itu. Kaupun tidka mempunyai permusuhan apapun jg denganku. Sebenar2nya, sesudah kena senjata beracun, aku harus menerima nasib. Perlu apa aku memukul kau dan juga melukakan kau dengan senjata beracun? Andai kata aku tidak berbuat begitu, sebagai seorang yang berhati mulia kau tentu tidak nolong melihat2 kedua anakku yang bernasib buruk itu.

Nona Ciam tertawa getir. Aku adalah penjahat yang membinasakan kau, katanya. Bagaimana kau bisa menamakan aku sebagai seorang yang berhati mulia?

Aku tidak menyalahkan kau, benar2 akut tidak menyalahkan kau, kata Hie Cie.

Demikianlah kedua orang yang tadi bertempur matian dan saling berusaha untuk mengambil jiwa pihak lawan, sekarang saling menghibur!

Sesudah mendengar pembicaraan itu, Boe Kie merasa bahwa mereka bukan manusia jahat. Dalam hatiny lantas saja timbul rasa kasihan, lebih lagi terhadap Souw Hie Cie yang mampunyai dua anak yang masih mengeluarkan rawatan. Mengingat penderitaannya sendiri sebagai yatim piatu rasa kasihannya jadi lebih besar dan sambil menarik tangan Poet Hie ia segera bertidak keluar dari alang2.

Andai aku bisa memutar kembali

Waktu yang telah berjalan

Tuk kembali bersama didirimu slamanya

Bukan maksud hati membawa dirimu

Masuk terlalu jauh

Ke dalam kisah cinta yang tak mungkin terjadi

Dan aku tak punya hati untuk menyakiti dirimu

Dan aku tak punya hati tuk mencintai

Dirimu yang selalu mencintai diriku

Walau kau tahu diriku masih bersamanya

Apakah yang Siauw Moay merasa lebih menyesal ialah dalam peristiwa ini, Siauw Moay menyeret toaso dan putra putrimu.

Isteriku sudha menutup mata pada dua tahun berselang dengan meninggalkan dua anak, satu lelaki dan stu perempuan, kata Souw Hie Cie. Besok, mereka akan jadi anak yatim piatu.

Apakah di rumahmu masih ada orang lain yang bisa merawat anak-anak itu? tanya nona Ciam.

Mereka dirawat oleh nsoku (nsoku isteri kakak lelaki), jawabnya. Nso hebat adatnya dan licik sifatnya. Sebegitu lama aku masih hidup, ia masih takuti aku. Hai! Mulai besok kedua anakku itu akan sangat menderita.

Ciam Coen yang berhati lembek lantas saja mengucurkan air mata. ini semua adalah karena gara-garaku katanya dengan suara parau.

Tapi kau tidak boleh disalahkan, kata Hie Cie. Kau telah menerima perintah gurumu dan kau tidak dapat menolak perintah itu. Kaupun tidak mempunyai permusuhan apapun juga denganku. Sebenar-benarnya, sesudah kena senjata beracun, aku harus menerima nasib. Perlu apa aku memukul kau dan juga melakukan kau dengan senjata beracun? Andai kata aku tidak berbuat begitu, sebagai seorang yang berhati mulia kau tentu bisa nolong melihat-lihat kedua anakku yang bernasib buruk itu.

Nona Ciam tertawa getir. Aku adalah penjahat yang membinasakan kau, katanya. Bagaimana kau bisa menamakan aku sebagai seorang yang berhati mulia?

Aku tidak menyalahkan kau, benar-benar aku tidak menyalahkan kau, kata Hie Cie.

Demikianlah kedua orang yang tadi bertempur matian dan saling berusaha untuk mengambil jiwa pihak lawan, sekarang saling menghibur!

Sesudah mendengar pembicaraan itu, Boe Kie merasa bahwa mereka bukan manusia jahat. Dalam hatinya lantas saja timbul rasa kasihan, lebih lagi terhadap Souw Hie Cie yang mempunyai dua orang anak yang masih mengeluarkan rawatan. Mengingat penderitaannya sendiri sebagai anak yatim piatu rasa kasihannya jadi lebih besar dan sambil menarik tangan Poet Hie ia segera bertindak keluar dari alang-alang.

Cian Kouwhio, racun apa yang digunakan pada senjata rahasia itu? tanyanya.

Melihat munculnya kedua anak itu, Hie Cie dan Ciam Coen merasa heran. Dan mendengar pertanyaan Boe Kie, mereka jadi lebih heran lagi. Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan dan luka kalian mungkin sekali bukan tidak dapat diobati, kata pula Boe Kie.

Akupun tak tahu racun apa yang digunakan, jawab nona Ciam. Lukanya tidak sakit, tapi gatal bukan main. Menurut katanya Soehoe, orang yang kena Soeng-boen teng hanya bisa hidup dalam tempo empat jam.

Bolehkah aku periksa luka kalian? tanya Boe Kie.

Tapi manakah mereka percaya bocah itu bisa mengobati luka beracun? Dengan pakaian robek, badan kurus kering dan muka pucat Boe Kie dan Poet Hwie kelihatannya seperti pengemis kecil. Sudahlah, kau jangan rewel. Pergilah! Jangan mengganggu kami.

Boe Kie tidka meladeni. Ia menjemput paku Soen-boen teng dari atas tanah dan mengendus bau harum dari serupa bunga anggrek.

Dalam hari-hari yang belakangan setiap mempunyai tempo yang luang, Boe Kie selalu membaca dan mempelajari Tok-boet Tay coan peninggalan Ong Lan Kouw. Dalam kitab itu berisi keterangan lengkap mengenai ribuan macam racun itu yang aneh-aneh dan cara mengobatinya. Maka itulah begitu mengendus bau racun itu, ia segera mengetahui bahwa yang melekat pada paku Song-boen teng adalah racun bunga To-lo hijau. Bau bunga itu sebenarnya berbau amis sehingga orang dapat memakannya sebanyak mungkin tanpa bahaya apapun jua. Tapi begitu lekas bercampur darah, peti bunga itu lantas saja berubah menjadi racun yang sangat hebat, sedang baunya yang amis juga berubah menjadi harum. Inilah racun bunga To-lo hijau, kata Boe Kie.

Ciam Coen memang tidak tahu racun apa yang digunakan pada paku itu, tapi ia tahu, bahwa dalam taman bunga gurunya ditanam banyak sekali pohon bunga To-lo hijau.

Eh, bagaimana kau tahu? tanyanya dengan heran. Bunga To-lo hijau adalah tumbuh-tuimbuhan yang langka dan hanya terdapat di wilayah Barat (See-hek). Di daerah Tionggoan sebegitu jauh belum pernah terdapat pohon bunga tersebut.

Boe Kie manggut-manggutkan kepalanya. Aku tahu katanya sambil menarik tangan Poet Hwie dan berkata pula. Hayolah, kita pergi.

Saudara kecil, kata nona Ciam cepat. Jika kau bisa mengobati, tolonglah jiwa kami berdua.

Boe Kie memang ingin menolong, tapi mendadak ia ingat perbuatan Kan Ciat dan Sie Kong Wan, sehingga ia mengambil keputusan untuk membatalkan niatnya itu.

Tuan kecil, kata Souw Hie Cie, Mataku tidak berbiji dan aku tidak bisa mengenali seorang pandai. Kuharap kau sudi memaafkan.

Baiklah! kata Boe Kie. Aku akan mencoba-coba. Seraya berkata begitu ia menotok jalan darah Tan-tiong-hiat di iga kiri dan kanan untuk meringankan rasa sakitnya Ciam Coen dibagian dada akibat pukulan Souw Hie CIe. Bunga To-lo hijau baru menjadi racun kalau bercampur dengan darah, menerangkan Boe Kie. Sekarang aku minta kalian saling menghisap luka itu untuk membuang racun yang sudah bercampur dengan darah.

Hie Cie dan Ciam Coen merasa jengah. Tapi untuk menolong jiwa, mereka segera menyampingkan perasaan malu dan lalu melakukan apa yang dikatakan si bocah.

Sementara itu, Boe Kie sendiri lalu mencari tiga macam daun obat yang lalu dihancurkan dan diborehi diluka itu. Tiga macam rumput ini dapat menahan bekerjanya racun, ia menerangkan. Sekarang mari kita pergi ke kota untuk mencari rumah obat. Aku akan menulis surat obat guna menyembuhkan luka kalian.

Souw Hie Cie dan Ciam Coen girang tak kepalang. Begitu diborehi daun obat, luka mereka yang semula gatal bukan main, lantas saja adem rasanya dan kaki tangan mereka pun tidak begitu kaku lagi dan dapat digerakkan. Tak henti-hentinya mereka menghaturkan terima kasih. Mereka segera mematahkan ranting pohon dan dengan menggunakannya sebagai tongkat, mereka berjalan kejurusan barat dengan mengajak Boe Kie dan Poet Hwie.

Sambil berjalan Ciam Coen menanya siapa guru Boe Kie, tetapi si bocah sungkan memberitahukan dan mengatakan saja, bahwa sedari kecil ia memang sudah mengerti ilmu pengobatan. Sesudah berjalan satu jam lebih, mereka tiba di kota See-ho-tiam dan sesudah mendapat kamar di rumah penginapan, Boe Kie lalu menulis surat obat dan menyuruh seorang pelayan untuk membelinya.

Tahun itu daerah Holam barat tidak kena bencana kelaparan dan keadaan kota See-ho-tiam masih seperti biasa. Sesudah obat dibeli, Boe Kie lalu memasaknya dan memberikannya kepada Souw Hie Cie dan Ciam Coen. Tiga hari menginap dalam penginapan itu dan setiap hari si bocah menukar obat. Obat makan dan obat pakai. Pada hari keempat semua racun yang mengeram dalam tubuh Hie Cie dan Ciam Coen sudah dapat diusir.

Tentu saja mereka merasa sangat berterima kasih. Mereka menanyakan ke mana kedua anak itu mau pergi dan Boe Kie lalu memberitahukann bahwa tujuan mereka adalah puncak Coe-bong heng di pegunungan Koen-loen-san.

Souw Toako, kata si nona. Jiwa kita ditolong oleh saudara kecil ini. Ta[o urusanmu masih belum dapat diselesaikan. Kelima kakak seperguruanku masih terus mencari-cari kau dan kalau bertemu dengan mereka, kau bisa celaka. Apakah kau suka mengikut aku pergi ke Koen-loen-san?

Hie Cie kaget. Ke Koen-loen-san? ia menegas.

Benar, jawabnya. Kita berdua menemui guruku dan memberitahukan, bahwa kau tidak mencuri ilmu pdang Liung heng It-pit-kiam, sejuruspun kau tidka mampu. Dalam urusan ini sebegitu lama guruku belum menyudahi, jiwamu selalu masih berada dalam bahaya.

Hie Cie merasa sangat mendongkol. Koen-loen-pay terlalu menghina orang, katanya. Secara kebetulan aku hanya melihat gurumu bersilat untuk sekejap mata, tapi untuk kesalahan yang sebenarnya bukan kesalahan hampir-hampir jiwaku melayang. Ah! Benar-benar keterlaluan.

Souw Toako, kata nona Ciam dnegan suara lemah lembut. Cobalah kau piker kesukaran Siauw Moay dalam hal ini. Kalau kau saja yang memberitahukan Soehoe pasti tak percaya dan Siauw Moay akan mendapat hukuman. SIauw Moay dihukum tak menjadi soal. Tapi jika kelima saudara seperguruanku sampai salah tangan dan mencelakakanmu8, Siauw Moay tentu akan merasa tidak enak sekali.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar