Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 44

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 44
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 44

“Akupun tak tahu. Antara mereka berdua pengaruh siapakah yang lebih besar?”

“Eng ong adalah Kauwcoe dari Peh bie kauw. Kurasa ia lebih berpengaruh”

“Benar. Itulah sebabnya, mengapa Wie It Siauw sudah menawan cucu perempuannya In Thian Ceng. Ia ingin menggunakan nona itu sebagai semacam barang tanggungan untuk mendesak In Thian Ceng guna kepentingannya sendiri. Itulah sebabnya, mengapa menurut pendapatku Wie It Siauw tak akan melepaskan tawanannya.”

“Boe Kie menggeleng-gelengkan kepalanya. “Maksud itu tak akan tercapai.” Katanya. “Ian Ya Ong Cianpwee ingin sekali mebunuh putrinya itu.”

“Apa?” menegas orang itu dengan suara heran.

Boe Kie lantas saja menceritakan riwayatnya Coe Jie, cara bagaimana nona itu telah meracuni ibu tirinya, sehingga belakangan ibu kandungnya sendiri turut binasa.

“Tak dinyana! Tak dinyana! Sunguh2 bakat yang baik!” memuji orang itu.

“Mengapa bakat yang baik?” tanya Boe Kie.

“Dia masih begitu muda, tapi dia sudah bisa meracuni ibu tirinya dan ibu kandungnya sendiri sampai turut binasa,”jawabnya “Disamping itu dia telah mendapat pelajaran dari Kim hoa popo. Aku sungguh menyanyang nona yang jempolan itu. Sekarang kutahu, Wie It Siauw mau mengambilnya sebagai murid.”

Boe Kie kaget. “Bagaimana kau tahu?” tanyanya.

“Wie It Siauw adalah sahabatku,” jawabnya. “Aku mengenal adatnya”

Pemuda itu terkesinap. “Celaka!” teriaknya dan lari sekeras-kerasnya.

Orang itu tertawa dan mengikuti dari belakang.

Sambil berlari2 Boe Kie bertanya. “Mengapa kau terus menguntit aku?”

“Aku ingin menonton keramaian,” jawabnya “Perlu apa kau mengubar Wie It Siauw?”

“Coe Jie sudah berhawa sesat, aku tak akan mengijinkan dia berguru kepada Wie It Siauw.” Jawabnya dengan suara gusar. “Celaka sungguh kalau dia menjadi siluman yang menghisap darah manusia!”

“Apa kau menyukai dia?”

“Tidak….Hanya….hanya dia mirip dengan ibuku.”

“Kalau begitu, ibumu seorang wanita yang bermuka jelek.”

“Jangan ngaco! Ibuku sangat cantik.”

Orang itu tertawa. Sesaat kemudian, ia berkata sambil menghela nafas. “Sayang! Sayang sungguh!”

“Sayang apa?”

“Semangatmu cukup baik, nyalimu cukup besar. Hanya sayang, dalam sekejap kau akan menjadi mayat yang tidak ada darahnya lagi.”

Boe Kie kaget. Didalam hati, ia membenarkan apa yang dikatakan orang itu. Andaikata Wie It Siauw dapat disusul, ia tetap tak akan dapat menolong Coe Jie. Bukan saja begitu, ia malah akan membuang jiwa secara Cuma2. maka ia lantas memohon. “Cianpwee apa bisa kau bantu aku?”

“Tak bisa,” jawabnya. “Pertama. Wie It Siauw adalah sahabatku dan kedua, belum tentu aku bisa menandingi dia.”

“Wie It Siauw adalah manusia siluman yang suka menghisap darah manusia,” kata Boe Kie”Kalau dia sahabatmu, mengapa kau tidak coba membujuknya, supaya dia tidak melakukan perbuatan yang terkutuk itu?”

Orang itu menghela nafas. “Tak guna aku membujuk dia,” katanya dengan suara duka. “Dia bukan kepingin menghisap darah secara suka2. Dia berbuat itu karena terpaksa. Kutahu, ia sendiri sangat menderita.”

“Karena terpaksa” menegas Boe Kie dengan heran. “Apa i-ia?”

“Dahulu waktu berlatih Lweekang, ia telah berbuat kesalahan besar,” menerangkan orang. “”Belakangan, setiap kali menggunakan Lweekang ia harus minum darah manusia, sebab, jika tidak, sekujur badannya kedinginan dan jika tidak tertolong, ia akan mati beku.”

Boe Kie berpikir sejenak dan kemudian berkata “Bukankah penyakit itu sudah terjadi karena ketidakberesan pada pembuluh darah Sam-in?”

“Ih! Bagaimana kau tahu?” tanya orang itu dengan heran.

“Aku hanya menebak2,” jawabnya.

“Tiga kalo aku mendaki gunung Tiang pek san untuk menangkap kodok api guna mengobati penyakitnya,” kata orang itu. Ia menghela nafas dan berkata pula. “Ketiga2 kalinya tidak berhasil. Dalam usaha yang pertama, aku bertemu seekor kodok api, tapi tidak berhasil menangkapnya. Dalam usaha yang kedua dan ketiga, kodok itu tidak terlihat bayangannya. Sesudah kesulitan yang serasa dapat diatasi, aku ingin pergi ke Tiang pek san lagi.”

“Apa boleh aku mengikuti?” tanya Boe Kie.

“Hm…Lwekangmu sudah boleh juga, tapi ilmu ringan badan masih belum cukup,” jawabnya “Nanti saja, kalau waktunya tiba, kita bicara lagi. Eh! Perlu apa kau mau membantuku?”

“Kalau berhasil, kita bukan saja akan bisa menolong Wie It Siauw, tapi juga bisa membantu lain2 orang yang dihinggapi penyakit yang sama.” Jawabnya. “Cianpwee, dia sudah pergi begitu lama dan sudah menggunakan banyak tenaga dalam. Apakah mungkin, sebab terpaksa, ia menghisap darah Coe Jie?”

“Mungkin…….memang sangat mungkin,” jawabnya.

Boe Kie sangat kuatir dan ia lari makin keras. Tiba2 orang itu berteriak. “Hei! Coba lihat, ada apa dibelakangmu?”

Pemuda itu menengok ke belakang. Mendadak matanya gelap dan tubuhnya terangkat dari bumi. Ia merasa badannya masuk ke dalam karung yang kemudian diangkat dan digendong di punggung orang itu. Dengan hati mendongkol ia mencoba merobeknya. Ia kaget sebab tak berhasil. Karung itu terbuat dari semacam kain yang a lot dan kuat luar biasa.

“Plak!” orang itu memukul pantat Boe Kie. Ia tertawa lantas berkata. “Bocah, jangan kau banyak lagak dalam karungku. Ku akan bawa kau ke suatu tempat yang menyenangkan. Kalau kau bersuara dan diketahui oleh lain orang, aku takkan bisa menolong jiwamu lagi”.

“Kemana kau akan membawaku?” tanya Boe Kie.

Orang itu tertawa. “Setelah kau masuk ke dalam karung Kian koen tay apa kau rasa bisa lari jika aku benar2 maui jiwamu?” tanyanya. “Asal kau dengar kata, tidak bergerak dan tidak bersuara, kau akan mendapat keuntungan”.

Boe Kie merasa, bahwa orang itu bicara sebenarnya dan tidak bergerak lagi.

Sekonyong2 orang itu melontarkan karungnya ditanah dan tertawa terbahak2.

“Bocah! Kalau kau bisa keluar, kau benar2 lihay,” katanya.

Pemuda itu segera mengerahkan Lweekang dan kedua tangannya mendorong ke depan sekeras2nya. Tapi karung dan a lot tu tetap utuh. Ia menendang dan memukul kalang kabutan. Karung itu tetap tak bergeming.

Selang beberapa lama. Orang itu tertawa dan bertanya “Kau menterah?”

“menyerah.” Jawabnya.

“Bahwa kau bisa masuk ke dalam karungku adalah rejekimu yang besar,” kata orang itu seraya mengangkat tangannya, menggendong di punggung dan lalu berlari2.

“Bagaimana dengan Coe Jie?” tanya Boe Kie.

“mana aku tahu?” jawabnya. “Bila rewel aku akan melemparkan kau keluar dari karungku”.

Boe Kie ingin sekali orang itu membuktikan ancamannya, tapi ia tak berani membuka mulut lagi.

Orang itu berlari-lari dengan kecepatan luar biasa. Selang beberapa jam, pemuda itu merasakan hawa yang hangat. Ia tahu matahari sudah keluar. Ia juga dapat merasakan, bahwa ia sedang dibawa ke atas gunung. Sesudah lewat kira2 2 jam lagi, hawa udara berubah dingin.

“Hm………sudah tiba di puncak yang tertutup salju,” pikirnya. Mendadak, ia merasa kurang begitu mengapung keatas dan tubuhnya seolah2 terbang di angkasa. Ia terkesiap dan berteriak. Dilain detik, orang itu sudah hinggap di tanah. Ia mengetahui, bahwa orang itu sedang melalui puncak yang berbahaya dan harus melompat kian kemari. Sekali meleset, habislah! Baru saja memikir begitu, karung sudah mengapung lagi keatas.

Ia memeramkan matanya dan menyerahkan segala apa kepada nasib.

Tiba2 di sebelah kejauhan terdengar teriakan orang. “Swee Poet Tek! Hey! Mengapa kau baru datang?”

“ditengah jalan aku menemui sedikit urusan” jawab orang yang menggendong Boe Kie. “apa Wie It Siauw sudah datang?”

“Belum” jawab suara yang jauh itu. “Heran sungguh. Swee Poet Tek, apa kau bertemu dengan dia?” seraya menjawab orang itu datang.

Boe Kie tersadar. Sekarang ia tahu, orang itu bernama “Swee Poet Tek. ”Tak heran, pada waktu ia menanyakan namanya, orang itu menjawab “Swee Poet Tek,” yang berarti “Tidak dapat diberitahukan”. Mengapa namanya begitu aneh?

“Tian koan Soeheng,” kata Swee Poet Tek.

“Mari kita cari saudara Wie. Kukuatir terjadi sesuatu yang hebat?” kata Tiat koan Toojin, “Ceng ek Hok ong seorang pintar dan berkepandaian tinggi,”

“Tapi aku tetap merasa tak enak” kata Poet Tek.

Sekonyong2 dari sebuah lembah di bawah puncak terdengar teriakan “Hweesio bau Swee Poet Tek! Tua bangka Tiat koan! Lekas kemari! Bantulah aku. Aduh celaka benar!”

“Cioe Tian!” teriak kedua orang itu, hampir berbareng.

“Dia seperti mendapat luka,” kata Swee Poet Tek. “Mengapa suaranya begitu lemah?” tanpa menunggu jawaban, ia segera melompat lompat ke bawah sambil menggendong karung.

“Ah!” Kata Tiat koan yang mengikuti di belakang, “Lihat! Siapa yang digendong Cioe Tian? Apa Wie It Siauw?”

“Cioe Tian jangan bingung!” teriak Swee Poet Tek. “Kami akan membantu kau”

Cioe Tian tertawa, “Kurang ajar” bentaknya “Bingung apa? Yang hampir mampus ialah si kelelawar penghisap darah!”

“Saudara Wie?” menegas Swee Poet Tek dengan kaget. “Mengapa dia?” Seraya bertanya, ia mempercepat tindakannya.

Boe Kie merasa dirinya seperti terbang ke angkasa jadi ketakutan dan berbisik. “Cianpwee lepaskan aku untuk sementara waktu. Yang penting adalah menolong orang”

Swee Poet Tek tak menyambut. Tiba2 ia mengikat karungnya yang lalu diputar2 beberapa kali. Bukan main kagetnya Boe Kie. Kalau terlepas jiwanya bisa melayang. “Bocah! Aku bicara terang2an kepadamu. Aku adalah Poet thay Hweesio Swee Poet Tek. Yang dibelakangku Tiat Koan Toojin Thio Thiong. Orang yang berada di lembah itu bernama Cioe Tian. Kami bertiga dengan Leng bian Sianseng Leng Kiam dan Pheng Eng Giok Pheng Hweesio dikenal sebagai Bgo sian jin dari Mo Kouw. Apa kau tahu apa yang dinamakan Mo Kauw?”

“Tahu.” Jawabnya “Kalau begitu taysoe adalah anggota Mo kauw.”

“Aku dan Cioe Tian tidak suka membunuh orang.” Kata pula Swee Poet Tek. “Tapi Tit koan Toojin, Leng bian Sianseng dan Pheng Hweesio bisa mebunuh manusia tanpa berkedip. Kalau mereka tahu kau berada dalam karungku, sekali hajar saja, tubuh bisa hancur luluh,”

kata Boe Kie. “Aku tak berdosa, mengapa?”

“Apa kau anggap Tiat koat Toojin membunuh orang dengan lebih dulu menanyakan kedosaannya?” memutus Swee Poet Tek. “Aah! Kalau kau masih ingin hidup, mulai dari sekarang tak dapat kau mengeluarkan sepatah katapun. Mengerti?”

didalam karung Boe Kie manggut2kan kepala.

“Eh! Mangapa kau tak menjawab?” tanya Swee Poet Tek.

“Bukankah kau melarang aku bicara?” Boe Kie balas menannya.

Swee Poet Tek tersenyum. “Bagus kalau kau tahu.” Katanya. “Hei! Bagaimana keadaan Wie?” perkataan yang belakangan itu ditujukan kepada Cioe Tian.

“Dia….dia….celaka besar!….celaka besar!” jawab Cioe Tian dengan suara terputus2.

“Hm………….saudara Wie masih bernafas, yang menolongnya?”

sebelum Cioe Tian keburu menjawab, Tiat Koan Toojin mendahului “Cioe Tian, apa kau luka? Mengapa mukamu pucat?”

“Tadi aku ketemu si kelelawar yang menggeletak seperti mayat, nafasnya sudah hampir putus, menerangkan Cioe Tian. “Aku segera mengerahkan Lweekang untuk menolongnya. Diluar dugaan, racun dingun dalam tubuh si kelelawar benar2 lihay. Begitulah duduk persoalannnya.”

“Cioe Tian kali ini kau telah melekukan auatu perbuatan mulia,” kata Swee Poet Tek.

Cioe Tian mengeluarkan suara di hidung. “peduli apa mulia, atau jahat,” katanya “Si kelelawar sangat beracun dan aneh dari biasanya aku sangat membenci dia. Tapi kali ini dia melakukan perbuatan yang cocok dengan hatiku. Maka itu, aku coba menolongnya. Aku tak nyana, bukan saja aku tak berhasil, malah racun itu berbalik masuk ke dalam badanku. Celaka sungguh! Mungkin sekali jiwaku akan turut melayang.” Ia berdiam sejenak dan berkata pula. “Penghabisan!……ini namanya pembalasan……si kelelawar dan Cioe Tian seumur hidup belum pernah melakukan perbuatan baik. Sekali berbuat baik, bencana datang.”

“Perbuatan baik apakah yang dilakukan saudara Wie?” tanya Swee Poet Tek.

“Sesudah menggunakan Lweekang, racun dingin dalam tubuhnya mengamuk hebat dan menurut kebiasaan, dia bisa menolong diri sendiri dengan mengisap darah manusia,” terang Cioe Tian. “Ketika itu di sampingnya terdapat seorang gadis. Tapi dia lebih suka mati daripada menghisap darah nona itu. Melihat itu aku berkata, si Kelelawar berlaku aneh, akupun mau berlaku aneh. Baiklah, Cioe Tian coba tolong dia. Aku lantas saja bekerja dan beginilah hasilnya.”

Boe Kie kegirangan, tanpa merasa tubuhnya bergerak.

“Siapa wanita itu?” tanya Swee Poet Tek sambil menepuk karungnya. “Ke mana dia sekarang?”

“Akupun bertanya begitu kepada si Kelelawar,” sahutnya. “Ia mengatakan bahwa nona itu bernama In Lee, cucu perempuannya si tua bangka Peh Bie. Karena sudah menerima si nona sebagai muridnya, maka si Kelelawar tidak bisa lagi menghisap darahnya.”

Swee Poet Tek dan Tiat Koan Toojin menepuk tangan. “Perbuatan Wie heng (saudara Wie) yang mulia itu mungkin akan merupakan titik kebangkitan kembali dari agama kita,” kata Swee Poet Tek. “Kelelawar hijau dan Eng (burung Eng) putih bisa bergandengan tangan, kekuatan Beng-kauw akan bertambah banyak,” seraya berkata begitu, ia menyambut tubuh Wie It Siauw dari tangan Cioe Tian. “Badannya sudah dingin seperti es,” katanya dengan suara kaget. “Bagaimana baiknya?”

“Itu sebabnya mengapa aku minta kau datang lebih cepat,” kata Cioe Tian. “Dalam sepuluh bagian, si Kelelawar sudah mati sembilan bagian. Kalau bangkai Kelelawar bergandengan tangan dengan Peh Bie Eng-ong, bagi Beng-kauw tak ada kebaikannya sedikitpun juga.”

“Kalian tunggulah di sini,” kata Tiat Koan. “Aku akan turun gunung untuk membekuk seorang manusia hidup guna dijadikan minuman bagi Wie heng,” seraya berkata begitu, ia mengayunkan tubuh untuk melompat ke bawah.

“Tahan!” teriak Cioe Tian. “Tua bangka, kau sungguh tak punya otak! Gunung ini sangat sepi, hampir tak ada manusianya. Kalau mesti menunggu kau, Wie It Siauw (Wie sekali tertawa) sudah menjadi Wie Poet Siauw (Wie tidak tertawa). Swee Poet Tek, paling baik kau keluarkan bocah yang berada dalam karungmu untuk menolong saudara Wie.”

Mendengar itu, Boe Kie ketakutan setengah mati.

“Tak bisa,” kata Swee Poet Tek. “Dia telah berbudi sangat besar kepada agama kita. Jika Wie heng membinasakan dia, Ngo Beng-kie (Lima Bendera) sudah pasti tak mau.” Sehabis berkata begitu, dengan cepat ia segera menuturkan bagaimana pemuda itu sudah menolong jiwa berpuluh-puluh anggota dari pasukan Swie Kim-kie. “Waktu itu aku menyusup di dalam pasukan Peh Bie-kauw dan dengan mataku sendiri, aku menyaksikan semuanya,” katanya. “Dengan berhutang budi yang begitu besar, Ngo Beng-kie pasti akan membela dia mati-matian.”

“Apakah kau ingin menggunakan bocah itu untuk menaklukkan Ngo Beng-kie?” tanya Tiat Koan.

“Tidak bisa diberitahukan! Tidak bisa diberitahukan!” jawabnya. “Bagaimanapun juga, ini kenyataaan bahwa sekarang di dalam Beng-kauw sudah terjadi keretakan hebat. Pada saat menghadapi bencana, Peh Bie-kauw telah bentrok dengan Ngo Beng-kie. Untuk menyelamatkan diri dari kemusnahan, jalan satu-satunya adalah bersatu padu. Bocah yang berada dalam karungku mempunyai arti penting dalam usaha mendamaikan orang-orang kita.”

Sehabis berkata begitu, ia mengangsurkan tangan kanannya dan menempelkan Leng Tay-hiat di punggung Wie It Siauw. Kemudian ia mengerahkan hawa murni untuk membantu menindih racun dingin yang sedang mengamuk dalam tubuh Wie It Siauw.

Cioe Tian menghela nafas, “Swee Poet Tek, aku tentu tidak bisa mengatakan apapun juga, jika kau rela menjual jiwa demi kepentingan seorang sahabat,” katanya.

“Biar kubantu kau,” kata Tiat Koan Toojin sambil menempelkan telapak tangan kanannya pada telapak tangan kiri Swee Poet Tek. Disaat itu, bagaikan gelombang, dua hawa murni menerjang masuk ke dalam tubuh Wie It Siauw.

Kira-kira semakanan nasi, Wie It Siauw merintih dengan perlahan dan sesaat kemudian ia tersadar, tapi giginya masih gemeletukan. Ia membuka kedua matanya dan berkata, “Cioe Tian, Tiat Koan Tooheng terima kasih atas pertolongan kalian.” Ia tidak menghaturkan terima kasih kepada Swee Poet Tek sebab mereka berdua mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga pernyataan terima kasih memang tidak perlu. Tiat Koan dan Swee Poet Tek yang sedang mengeluarkan tenaga untuk melawan racun dingin tidak bisa lantas memberi jawaban.

Tiba-tiba di puncak gunung sebelah timur sayup-sayup terdengar suara Khim.

“Leng Bian Sianseng dan Pheng Hweeshio sudah tiba,” kata Cioe Tian yang lalu mendongak dan berteriak sekeras-kerasnya. “Leng Bian Sianseng! Pheng Hweeshio! Ada seorang terluka. Kemari!”

Suara Khim berhenti dengan mendadak, suatu tanda teriakan itu sudah didengar.

“Siapa…yang…terluka…,” demikian terdengar teriak Pheng Hweeshio.

“Setan tak sabaran!” caci Cioe Tian dengan suara perlahan. “Sedikitpun ia tidak bisa menunggu.”

Sementara itu Pheng Hweeshio terus memberondong dengan pertanyaan-pertanyaan yang saling susul. “Siapa yang terluka?…Apa Swee Poet Tek? Apa Tiat Koen heng?….” Hampir berbareng dengan selesainya pertanyaan-pertanyaan itu ia tiba di hadapan rombongan Cioe Tian.

“Aduh!” serunya. “Kalau begitu Wie It Siauw yang terluka.”

“Perlu apa kau begitu tergesa-gesa?” kata Cioe Tian, “Saudara Leng Kiam, mengapa kau membungkam saja?”

Leng Kiam hanya menyahut “hm”. Ia sungkan membuang tenaga sia-sia. Biarlah Pheng Hweeshio yang minta keterangan. Benar saja pendeta itu segera menghujani Cioe Tian dengan berbagai pertanyaan dan pada waktu Cioe Tian selesai memberi penjelasan, Swee Poet Tek dan Tiat Koan pun sudah selesai memasukkan hawa murni ke dalam tubuh Wie It Siauw.

“Aku datang dari timur laut,” kata Pheng Hweeshio. “Kudengar Cian Boenjin Siauw Lim-pay, Kong Boen Taysoe bersama soeteenya, Kong Tie Taysoe dan seratus lebih murid-muridnya sedang menerjang ke Kong Beng-teng.”

“Di sebelah timur Boe Tong Ngo hiap!” kata Leng Kiam yang paling tidak suka bicara panjang-panjang.

Enam partai sudah mulai mengurung dan Ngo Beng-kie yang sudah bertarung dengan mereka beberapa kali selalu mendapat pukulan,” kata Pheng Hweeshio pula. “Menurut pendapatku, kita harus pergi ke Kong Beng-teng secepat mungkin.”

“Omong kosong!” bentak Cioe Tian, “Bocah Yo Siauw tidak mengundang kita, apakah Beng-kauw Ngo Sian-jin harus menyembah dia?”

“Cioe Tian, sekarang Beng-kauw sedang menghadapi bencana,” kata Pheng Hweeshio dengan suara membujuk. “Jika mereka berhasil menghancurkan Kong Beng-teng dan memadamkan api suci, apakah kita masih bisa menjadi manusia? Memang benar Yo Siauw telah berbuat tidak pantas terhadap Ngo Sian-jin, tapi bantuan kita adalah untuk Beng-kauw dan bukan untuk kepentingan Yo Siauw.”

“Aku menyetujui pendapat Pheng Hweeshio,” sambung Swee Poet Tek. “Biarpun Yo Siauw sangat kurang ajar, kita harus ingat kepentingan agama kita yang lebih besar daripada kepentingan pribadi.”

“Omong kosong!” teriak Cioe Tian. “Dua keledai gundul sama-sama omong kosong! Tiat Koan Toojin, Yo Siauw pernah menghancurkan pundak kirimu, apa kau masih ingat?”

Tiat Koan tidak menyahut. Lewat beberapa saat barulah ia berkata, “Melindungi agama kita dan memundurkan musuh adalah hal yang sangat penting. Perhitungan dengan Yo Siauw dapat dibereskan sesudah musuh dipukul mundur. Dengan Ngo Sian-jin bersatu padu, tak usah kuatir bocah itu tidak tunduk.”

Cioe Tian mendengus, “Leng Kiam, bagaimana pendapatmu?” tanyanya.

“Kaupun rela bertekuk lutut di hadapan Yo Siauw?” tegas Cioe Tian. “Dahulu kita pernah bersumpah bahwa Ngo Sian-jin tak akan memperdulikan lagi urusan Beng-kauw. Apakah sumpah itu hanya omong kosong?”

“Semua omong kosong!” kata Leng Kiam.

Cioe Tian gusar tak kepalang, ia melompat bangun dan berteriak, “Kamu semua manusia berotak miring!”

“Kita harus bertindak cepat,” kata Tiat Koan tanpa menghiraukan kegusaran kawannya. “Mari kita berangkat.”

“Cioe heng,” bujuk Pheng Hweeshio, “Dahulu kita bermusuhan karena tak mendapat kecocokan dalam urusan memilih Kauwcoe. Memang benar Yo Siauw berpandangan sempit. Tapi bila dipikir-pikir, Ngo Sian-jin pun ada salahnya….”

“Dusta!” teriak Cioe Tian, “Kita berlima tak sudi menjadi Kauwcoe. Salah apa?”

“Biarpun kita bertengkar setahun, kita tak dapat membereskan soal siapa salah siapa benar,” kata Swee Poet Tek. “Cioe Tian, kau jawablah pertanyaanku. Apakah kau bukan murid Beng Coen Thian-seng?” (Beng Coen Thian-seng pemimpin Beng-kauw)

“Benar, aku muridnya Beng Coen Thian-seng,” jawabnya.

“Pada saat ini agama kita tengah menghadapi bencana dan bila kita terus berpangku tangan, apakah dalam baka kita ada muka untuk bertemu dengan Beng Coen Thian-seng?” tanya Swee Poet Tek. “Jika kau takut, biarlah kami berempat yang pergi ke Kong Beng-teng. Setelah kami binasa, kau boleh mengubur mayatku.”

Cioe Tian jadi kalap. Seraya melompat, ia mengayunkan tangan. “Plok!” tangannya memukul.

Swee Poet Tek tidak bergerak dan juga tak mengeluarkan sepatah kata. Perlahan-lahan ia membuka mulut dan menyemburkan belasan gigi yang rontok akibat pukulan itu. Sebelah pipinya berubah merah dan bengkak.

Pheng Hweeshio dan yang lain terkejut, sedang Cioe Tian sendiri mengawasi hasil pukulannya dengan mata membelalak. Ilmu silat Swee Poet Tek dan Cioe Tian kira-kira sebanding. Jika Swee Poet Tek berkelit atau menangkis, pukulan itu pasti takkan melukainya. Diluar dugaan, ia diam dipukul.

Cioe Tian merasa sangat tak enak. “Swee Poet Tek, pukullah aku!” teriaknya, “Bila kau tidak mau, kau bukan manusia.”

Swee Poet Tek tersenyum tawar. “Tenagaku hanya digunakan terhadap musuh dan takkan dipakai terhadap orang sendiri,” sahutnya.

Cioe Tian gusar bercampur malu. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya dan menghantam pipinya sendiri. Sesaat kemudian, iapun menyemburkan belasan gigi dari mulutnya.

“Cioe Tian, mengapa kau berbuat begitu?” tanya Pheng Hweeshio dengan suara kaget.

“Tak pantas aku memukul Swee Poet Tek,” jawabnya. “Aku suruh dia membalas, dia tidak mau. Tak bisa lain, aku harus turun tangan sendiri.”

“Cioe Tian, hubungan antara kita seperti antara saudara kandung,” kata Swee Poet Tek. “Kami berempat sudah mengambil keputusan untuk mengorbankan jiwa di atas Kong Beng-teng. Kita akan berpisah untuk selama-lamanya. Apa ada masalah jika memukul aku sekali dua kali?”

Bukan main rasa terharunya Cioe Tian dan ia lantas saja mengucurkan air mata. “Sudahlah!” katanya, “Akupun akan ikut. Biarlah perhitungan dengan Yo Siauw dibereskan belakangan.”

Pheng Hweeshio dan yang lain jadi girang sekali.

Mendengar pembicaraan itu, Boe Kie berkata dalam hatinya, “Mereka berlima bukan saja berkepandaian tinggi tapi juga mempunyai budi pekerti yang sangat luhur. Apakah orang-orang seperti itu sesat semua?” Sesaat kemudian ia merasa karung diangkat dan semua orang mulai berangkat ke Kong Beng-teng. Setelah mengetahui bahwa Coe Jie tak kurang suatupun, hati pemuda itu memikirkan soal pertarungan antara enam partai Tiong-goan dan Beng-kauw. Siapa yang akan menang? Dilain saat, ia ingat bahwa setibanya di Kong Beng-teng, ia akan bertemu dengan Yo Poet Hwie. Apakah si nona masih mengenali dirinya?

Setelah berjalan sehari semalam, tiba-tiba Boe Kie merasa karung itu menyentuh-nyentuh tanah. Semula ia tak mengerti sebab musebabnya. Belakangan, waktu ia mengangkat kepala, kepalanya terbentur batu yang menyerupai dinding. Sekarang ia baru tahu bahwa ia sedang berada di dalam terowongan, di bawah tanah, yang hawanya sangat dingin. Berselang kira-kira satu jam barulah mereka keluar dari terowongan. Mereka terus naik ke atas dan tak lama kemudian masuk ke dalam terowongan lain. Sesudah keluar masuk lima terowongan, tiba-tiba terdengar teriakan Cioe Tian, “Yo Siauw, si Kelelawar dan Ngo Sian-jin datang untuk menemuimu!”

Lewat beberapa saat barulah terdengar jawaban. “Aku sungguh tak menyangka Hok-ong dan Ngo Sian-jin sudi datang berkunjung. Yo Siauw tak bisa menyambut dari tempat jauh dan harap kalian sudi memaafkan.”

“Jangan berlagak bicara manis-manis,” kata Cioe Tian. “Di dalam hati, kau tentu mencaci kami. Kau tentu mencaci kami sebagai badut yang sudah bersumpah tak mau naik lagi ke Kong Beng-teng dan tak mau ikut campur lagi urusan Beng-kauw, sekarang datang tanpa diundang.”

“Tidak, tidak begitu,” kata Yo Siauw. “Siauw tee justru sedang kebingungan. Enam partai besar telah mengurung Kong Beng-teng dan Siauw tee seorang diri. Dengan memandang muka Coen Thian-seng, Hok-ong dan Ngo Sian-jin datang berkunjung untuk memberi bantuan. Ini benar-benar rejekinya Beng-kauw.”

“Bagus kalau kau tahu,” kata Cioe Tian.

Yo Siauw segera mengajak tamu-tamunya masuk ke dalam dan seorang pelayan menyuguhkan teh.

Tiba-tiba si pelayan mengeluarkan teriakan menyayat hati. Boe Kie tak tahu sebabnya, tapi teriakan itu membangunkan bulu romanya.

Beberapa saat kemudian, Wie It Siauw tertawa dan berkata, “Co soe cia, kau telah membinasakan pelayanmu. Aku pasti akan membalas budimu itu.” Ia mengucapkan kata-kata itu dengan suara lantang dan bersemangat. Boe Kie terkejut, sekarang ia tahu bahwa si Kelelawar telah membunuh dan menghisap darah pelayan itu.

“Di antara kita tak ada soal budi,” kata Yo Siauw dengan tawar. “Bahwa Hok-ong sudi datang ke sini merupakan bukti bahwa ia menghargai aku.”

Ketujuh orang itu adalah jago utama dari Beng-kauw. Walaupun di antara mereka terdapat perselisihan tapi pertemuan yang terjadi pada saat Beng-kauw menghadapi musuh-musuh berat telah membangunkan semangat. Sehabis makan kue-kue mereka segera merundingkan usaha untuk melawan musuh.

Swee Poet Tek menaruh karung di samping kakinya. Boe Kie lapar dan haus tapi ia tak berani bersuara atau bergerak. Yang hadir berjumlah tujuh orang tapi seperti enam karena Leng Kiam tak pernah membuka mulut.

Sesudah berunding beberapa lama, Pheng Hweeshio berkata, “Cie san Liong-ong dan Kim mo Say-ong tak ketahuan ke mana perginya, sedang mati hidupnya Kong beng Yoe-soe juga belum dapat dipastikan. Mereka bertiga tak usah dimasukkan ke dalam perhitungan. Di pihak kita, bentrokan antara Ngo Beng-kie dan Peh Bie-kauw yang makin lama makin hebat dan kedua belah pihak menderita kerusakan besar. Andaikata mereka bisa berdamai dan bisa datang ke sini, jangankan hanya enam, dua belas atau delapan belas partaipun pasti akan dapat dipukul mundur.”

Seraya menyentuh karung dengan ujung kaki, Swee Poet Tek berkata, “Bocah ini berada di dalam Peh Bie-kauw dan iapun telah berbudi besar kepada Ngo Beng-kie. Mungkin sekali dikemudian hari ia akan memainkan peranan penting dalam usaha mendamaikan permusuhan di antara kita.”

Wie It Siauw tertawa dingin. “Sebelum Kauwcoe dipilih, perselisihan dalam kalangan agama kita pasti tak akan bisa dibereskan,” katanya.

“Manusia yang paling tinggi kepandaiannya tak akan berhasil mendamaikan kita. Co-soe cia, aku yang rendah ingin mengajukan sebuah pertanyaan kepadamu. Sesudah musuh dipukul mundur, siapakah yang akan didukung olehmu untuk menjadi Kauwcoe?”

“Siapa yang bisa mendapatkan Seng Hwee-leng dialah yang jadi Kauwcoe,” jawabnya tawar. “Ini adalah peraturan agama kita. Perlu apa kau bertanya lagi?”

Wie It Siauw tertawa nyaring. “Seng Hwee-leng sudah hilang kira-kira seratus tahun,” katanya.

“Apakah sebegitu lama Seng Hwee-leng tidak muncul, sebegitu lama juga Beng-kauw tidak mempunyai Kauwcoe? Bahwa enam partai persilatan sudah berani menyerang adalah karena mereka tahu terjadinya perpecahan di dalam Beng-kauw.”

“Wie heng, kau benar,” kata Swee Poet Tek. “Po-tay Hweeshio tidak miring ke manapun juga. Aku bukan orang partai In, juga bukan dari partai Wie. Siapapun juga menjadi Kauwcoe disetujui olehku. Yang penting, kita harus mempunyai Kauwcoe. Andaikata belum ada Kauwcoe, untuk sementara waktu, boleh juga diangkat seorang wakil Kauwcoe. Kalau tak ada orang yang memegang tampuk pimpinan, bagaimana kita bisa melawan musuh secara teratur?”

“Aku menyetujui pendapat Swee Poet Tek,” kata Tiat Koan Toojin.

Paras muka Yo Siauw lantas saja berubah, “Apa maksud sebenarnya kedatangan kalian?” tanyanya. “Apa kalian mau membantu atau mau menyusahkan aku?”

Cioe Tian tertawa terbahak-bahak. “Yo Siauw,” katanya. “Apa kau rasa aku tak tahu maksudmu mengapa kau tetap tak mau memilih seorang Kauw coe? Sebegitu lama Beng-kauw belum punya Kauwcoe, begitu juga kau sebagai Kong Beng Co-soe, yang mempunyai kedudukan paling tinggi. Huh-huh!…bukankah benar begitu? Tapi meskipun kau menduduki kursi tertinggi, tak seorangpun mau mendengar segala perintahmu. Apa gunanya? Apa kau bisa memerintah Ngo Beng-kie? Apa kau mampu menyuruh keempat Hoe kauw Hoat-ong? Kami, kelima Ngo Sian-jin hidup bagaikan awan bebas dan burung ho liar. Bagi kami, Kong Beng Co-soe tidak berarti apapun.”

Mendadak Yo Siauw bangkit. “Dalam menghadapi musuh dari luar, Yo Siauw tidak mempunyai waktu bersilat lidah dengan kalian,” katanya dingin. “Apabila kalian rela mengawasi hidup matinya Beng-kauw dan berpangku tangan, silakan kalian turun dari Kong Beng-teng! Kalau Yo Siauw masih bernafas, dikemudian hari ia akan melayani kalian satu demi satu.”

“Yo Co-soe, kau jangan marah,” bujuk Pheng Hweeshio. “Serangan enam partai kepada Beng-kauw mengenai setiap murid dari agama kita. Urusan ini bukan urusan kau seorang.”

“Tapi mungkin dalam agama kita ada orang-orang yang mengharapkan matinya aku,” sindir Yo Siauw. “Matinya Yo Siauw berarti tercabutnya paku biji mata mereka.”

“Siapa orang itu?” bentak Cioe Tian.

“Siapa kepotong, dia merasa perih,” jawabnya. “Tak perlu aku menyebutkan namanya.”

“Kau maksudkan aku?” teriak Cioe Tian dengan gusar.

Yo Siauw tidak menghiraukannya. Ia memandang ke arah lain.

Melihat kegusaran kawannya, Pheng Hweeshio buru-buru membujuk. “Kata orang, saudara berkelahi, yang lain tertawa. Meski kita cekcok dan berkelahi seperti langit roboh dan bumi terbalik, kita tetap merupakan saudara sendiri. Menurut pendapatku, sementara waktu kita tunda saja soal pemilihan Kauwcoe. Sekarang ini kita harus merundingkan siasat untuk melawan musuh.”

“Eng Giok Taysoe memang tahu urusan,” puji Yo Siauw. “Pendapatnya tepat sekali.”

“Bagus!” teriak Cioe Tian. “Kepala gundul she Pheng tahu urusan, Cioe Tian tidak tahu urusan!” Ia sudah kalap dan tanpa memperdulikan apapun ia berteriak pula. “Kauwcoe kita harus dipilih hari ini juga! Aku mengusulkan Wie It Siauw. Si Kelelawar berkepandaian tinggi dan banyak tipu dayanya. Dalam Beng-kauw, siapa yang bisa menandingi dia?” Sebenarnya antara Cioe Tian dan Wie It Siauw tidak ada hubungan erat. Tapi sekarang, dalam gusarnya ia mengusulkan Ceng ek Hok-ong sebagai Kauwcoe untuk mengganggu Yo Siauw.

Yo Siauw tertawa terbahak-bahak, “Menurut pendapatku, paling baik kita angkat Cioe Tian sebagai Kauwcoe,” katanya. “Sekarang Beng-kauw sudah berantakan dan kalau dijungkir balikkan oleh Kauwcoe besar Cioe Tian, agama kita akan lebih sedap dipandangnya.” (Perkataan “Tian” dari Cioe Tian bisa berarti juga “kacau” atau “gila”)

Bukan main gusarnya Cioe Tian. “Bangsat!” ia membentak sambil menghantam Yo Siauw.

Pada belasan tahun berselang, pertengkaran dalam urusan pemilihan Kauwcoe, Ngo Sian-jin telah bersumpah untuk tidak menginjak Kong Beng-teng. Secara mendadak mereka datang pula. Sedari tadi, Yo Siauw memang sudah curiga dan selalu waspada. Begitu Cioe Tian memukul, ia segera menarik kesimpulan bahwa dengan mengajak Wie It Siauw, Ngo Sian-jin memang sengaja ingin mengepung dia. Maka itu, dengan penuh kegusaran ia segera menangkis dengan tangan kanannya.

Melihat tangkisan itu Wie It Siauw terkejut, sebab pada telapak tangan Yo Siauw terlihat sinar hijau, yaitu serupa pukulan yang dinamakan Ceng Tiok-cioe (pukulan bamboo hijau). Ia tahu bahwa sesudah menolong dirinya, tenaga dalam Cioe Tian belum pulih kembali sehingga kawannya itu pasti tidak akan bisa menyambut pukulan tersebut. Maka itu, bagaikan kilat ia mendahului menangkis. Kedua tangan bentrok tanpa mengeluarkan suara dan segera menempel keras satu sama lain.

Ternyata, biarpun sedang gusar, tapi mengingat bahwa Cioe Tian adalah saudara seagama maka waktu memukul Yo Siauw tidak menggunakan segenap tenaga. Tapi dilain pihak pukulan Han peng Bian-ciang (pukulan kapas yang dingin bagaikan es) dari Wie It Siauw bukan main dahsyatnya.

Begitu bentrok, Yo Siauw merasa tangannya gemetar dan semacam hawa yang sangat dingin menerobos masuk ke dalam dagingnya. Ia kaget dan buru-buru mengerahkan Lweekang yang lebih besar sehingga kedua lawan itu lantas saja mengadu tenaga dalam.

“Orang she Yo!” bentak Cioe Tian. “Sambutlah lagi pukulanku!” sambil membentak tangannya menghantam dada Yo Siauw.

“Cioe Tian, tahan!” teriak Swee Poet Tek.

“Yo Co-soe! Wie Hok-ong! Berhentilah! Kalian tidak boleh berkelahi dengan kawan sendiri,” sambung Pheng Eng Giok sambil mengangkat tangannya utnuk menyambut pukulan Cioe Tian.

Tapi Yo Siauw sudah lebih dulu miringkan badannya dan mengangsurkan lengannya dan telapak tangan kirinya lantas saja menempel dengan telapak tangan kanan Cioe Tian.

“Cioe Tian, dua lawan satu bukan perbuatan seorang gagah,” kata Swee Poet Tek. Ia meraih pundak Cioe Tian untuk ditarik mundur. Tapi sebelum tangannya menyentuh pundak, mendadak ia melihat badan kawannya gemetaran. Ia kaget tak kepalang. Ia tahu bahwa di dalam kalangan Beng-kauw, Yo Siauw memiliki kepandaian yang tinggi. Apakah dengan hanya sekali beradu tangan, Cioe Tian sudah terluka berat?

“Cioe Tian, di antara saudara sendiri perlu apa mengadu jiwa?” katanya sambil menarik pundak sang kawan. “Yo Co-soe, harap kau menaruh belas kasihan,” katanya lagi. Ia berkata begitu sebab kuatir Yo Siauw mengirim serangan susulan.

Diluar dugaan, begitu ditarik badan Cioe Tian bergoyang-goyang tapi tangannya tidak bisa lepas dari Yo Siauw. Hampir berbarengan, Swee Poet Tek merasakan serangan semacam hawa dingin yang menerobos masuk dari telapak tangan terus ke ulu hati. Ia terkesiap. Ia tahu bahwa Wie It Siauw mempunyai pukulan Han peng Bian-ciang yang tersohor di kolong langit. Apakah Yo Siauw juga memiliki pukulan itu? Buru-buru ia mengerahkan Lweekang untuk melawan hawa dingin itu. Tapi serangan hawa dingin itu makin lama jadi makin hebat dan lewat beberapa saat, giginya sudah gemeletukan.

Mau tak mau, Tiat Koan Toojin dan Pheng Eng Giok maju juga, yang satu membantu Cioe Tian, yang lain menolong Swee Poet Tek. Dengan mempersatukan Lweekang keempat Sian-jin barulah hawa dingin bisa ditahan.

Tenaga yang keluar dari telapak tangan Yo Siauw seakan-akan bergelombang pasang surut, sebentar enteng sebentar berat. Keempat orang itu tidak berani melepaskan tangannya sebab mereka kuatir Yo Siauw akan menyerang pada detik mereka melepaskan tangan. Kalau sampai terjadi begitu, andaikan tidak mati mereka sedikitnya akan mendapat luka berat.

Sesudah bertahan beberapa lama, Swee Poet Tek berkata, “Yo Tay hiap, terhadap kau kami…,” perkataannya putus di tengah jalan karena mendadak ia merasa darahnya seperti mau membeku. Ternyata waktu bicara tenaga dalamnya tidak dapat lagi menahan serangan hawa dingin. Cepat-cepat ia memperbaiki keadaannya.

Kira-kira semakanan nasi, Wie It Siauw dan keempat Sian-jin sudah payah sekali tapi Yo Siauw masih tenang-tenang saja. Leng Kiam yang masih tetap menonton makin lama jadi makin heran. “Meskipun berkepandaian tinggi, kepandaian Yo Siauw hanya kira-kira sebanding dengan kepandaian Wie It Siauw,” pikirnya. “Sepantasnya Wie It Siauw dan empat kawanku pasti akan dapat merobohkannya. Tapi mengapa dia yang lebih unggul?” Benar-benar heran. Ia seorang yang sangat cerdas tapi sesudah mengasah otak beberapa lama, belum juga ia dapat memecahkan teka-teki itu.

“Setan…maka…dingin…pukul…punggungnya,” kata Cioe Tian terputus-putus.

Tapi Leng Kiam yang belum dapat menebak sebab dari keanehan itu masih tak mau turun tangan. Antara Ngo Sian-jin, hanya ia seorang yang belum turut bertanding dan hanya ia seorang pula yang dapat menyingkirkan malapetaka. Jika ia turut mengerubuti sebelum dapat memecahkan teka-teki itu, belum tentu pihaknya mendapat kemenangan.

Lewat beberapa saat, muka Cioe Tian dan Pheng Eng Giok sudah berubah biru dan mereka tak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Leng Kiam tahu, kalau racun dingin masuk ke dalam isi perut mereka bisa celaka, ia segera merogoh saku dan mengeluarkan lima batang pit (pena Tionghoa) kecil yang terbuat dari perak murni.

“Lima pit ini akan menghantam Kim tie, Kie koet, Yang kee, Ngo lie dan Tiong touw hiatmu,” katanya. Kelima “hiat” itu terletak di tangan dan kaki dan bukan “hiat” yang membinasakan. Ia sengaja mengatakan begitu supaya Yo Siauw tahu bahwa maksudnya hanya untuk menghentikan pertandingan.

Yo Siauw hanya tersenyum, ia tidak memperdulikan.

“Maaf!” teriak Leng Kiam seraya mengayunkan kedua tangannya dan dengan berbaring, lima sinar putih menyambar.

Mendadak Yo Siauw menekuk lengan kirinya dan Cioe Tian berempat lantas saja tertarik ke depannya. Hampir berbarengan, Pheng Hweeshio dan Cioe Tian mengeluarkan teriakan kesakitan karena lima batang pit itu mampir tepat di badan mereka, dua di badan Cioe Tian dan tiga di badan Pheng Eng Giok. Untung juga Leng Kiam memang tidak bermaksud untuk mencelakai orang. Ia melempar tanpa mengeluarkan banyak tenaga dan lemparan itu tidak ditujukan ke arah jalan darah yang berbahaya sehingga luka kedua orang itu tidak membahayakan jiwa.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar