Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 55
Dengan manis budi, Tio Siocia
mengajak tamu-tamunya masuk ke ruangan tengah. Di tengah tengah ruangan itu
tergantung sebuah gambar Pat coen touw (delapan kuda) yang sangat indah lukisan
Tio Beng Siauw.
Kedelapan kuda itu dilukiskan
dalam rupa-rupa sikap yang angker serta garang.
Dinding sebelah kiri dipasang
selembar sutera yang sangat lebar dengan tulisan yang berbunyi seperti berikut:
Bianglala putih terbang ke
angkasa Ular hijau bersuara di dalam kotak Pedang diasah supaya tajam; Rembulan
naik mendekati pintu Pedang bisa membabat awan di luar langit Pedang bisa
menerjang mencari di angkasa Pedang menikam perut siluman Pedang menyabet
kepala pengkhianat Aku bersembunyi untuk menjauhi siluman Janganlah mengganggu
aku, seorang wanita Pedang harus disimpan untuk membunuh Kauw, Jangan dijajal
untuk membacok anjing. Di bawah sajak itu terdapat tulisan dengan huruf-huruf
kecil seperti ini. Di waktu malam aku menjajal It-thian Po kiam. Pedang itu
sungguh2 senjata mustika Maka itu aku menulis sajak Swee kiam untuk memujinya
Pian liang Tio Beng.
Semua huruf itu indah dan angker, seakan naga
atau burung Hong. Ayahanda Boe Kie seorang sasterawan dan ia sendiri mempunyai
pengetahuan lumayan dalam Soe hoa (seni menulis huruf indah). Melihat bahwa dalam
keangkerannya, huruf itu mempunyai sifat yang ayu, ia segera mengetahui bahwa
penulisnya bukan lain daripada nona Tio sendiri. Ilmu surat Boe Kie tidak
tinggi, tapi karena arti sajak itu tak terlalu mendalam, ia masih bisa mengerti
bunyinya.
Dilihat begini, It thian kiam
benar berada dalam tangannya, katanya di dalam hati. Dalam sajak itu ia
mengatakan, bahwa pedang menikam perut siluman, pedang menyabet kepala
pengkhianat. Kata-kata ini menunjuk bahwa ia memiliki jiwa ksatria. Tapi
pernyataannya bahwa pedang harus disimpan untuk membunuh kauw, jangan dijajal
untuk membacok anjing, menunjukkan kesombongan. Pian liang Tio Beng kalau
begitu ia orang Pian liang, she Tio bernama Beng. Memikir begitu, ia lantas
saja berkata, Tio kouw nio boen boe coan cay. Aku sungguh merasa sangat kagum.
Kalau begitu nona berasal dari keluarga sasterawan di ibukota jaman yang
lampau.
Si nona bersenyum. Ayahanda
Thio Kauwcoe yang bergelar Gin kauw Tiat hoa itu barulah merupakan seorang
sasterawan kelas satu katanya.
Thio Kauw coe sendiri tentunya
memiliki ilmu surat turunan. Sebentar aku ingin memohon supaya Thio Kauw coe
suka menulis sebuah sajak.
Paras muka Boe Kie lantas saja
berubah merah. Waktu baru usia sepuluh tahun kedua orang tuanya meninggal dunia
dan ia belum keburu belajar banyak dari mendiang ayahnya.
Belakangan ia belajar ilmu
ketabiban dan ilmu silat, sedang pengetahuannya dalam ilmu surat dapat
dikatakan masih cetek sekali. Maka itu, ia lantas saja berkata, Kalau Kauw nio
meminta aku menulis sajak seperti juga kau minta jiwaku. Sian hoe (mendiang
ayahku) meninggalkan aku selagi aku masih kecil dan aku belum keburu memetik
pelajarannya. Dalam hal ini, sungguh merasa sangat malu.
Begitu lekas semua tamu duduk,
pelayan segera menyuguhkan the.
Dengan rasa heran, Yo Siauw
dan kawan-kawannya mengawasi cangkir teh. Dalam cangkircangkir itu yang
berwarna hijau mengambang daun teh Liong ceng yang masih segar dan yang
menyiarkan bebauan sedap. Liong ceng adalah teh keluaran Kang lam dan tempat
dimana mereka terpisah ribuan li dari Kang lam. Cara bagaimana si nona bisa
mendapatkan daun the Liong ceng yang masih segar.
Tio Beng mengangkat cangkirnya
terlebih dahulu, meneguk isinya dan kemudian mengundang para tamunya minum.
Sesudah beromong-omong beberapa saat, ia berkata, Kalian datang dari tempat
jauh dan untuk pelayanan yang serba kurang ini, aku minta kalian suka
memaafkan. Mungkin sekali kalian sudah lapar dan aku mengundang kalian makan
saja disini seada-adanya. Seraya begitu tanpa menunggu jawaban, ia berbangkit dan
mengajak para tamunya masuk ke dalam. Sesudah melewati beberapa lorong dan
bangunan, tibalah mereka di sebuah taman bunga.
Taman bunga itu yang sangat
luas dihias dengan gunung-gunungan batu dan empang-empang. Pohon-pohon
kembangnya tidak banyak, tapi diatur secara indah sekali. Boe Kie sendiri tidak
dapat menghargai keindahan taman itu, tapi Yo Siauw, begitu melihatnya lantas
saja manggut-manggutkan kepalanya dan di dalam hati ia mengakui, bahwa majikan
taman itu benar-benar bukan sembarangan orang.
Di tengah-tengah Soei kok
(semacam pendopo yang dikitari air) sudah dipasang dua meja perjamuan. Tio Beng
segera mengundang Boe Kie dan para pemimpin Beng kauw berduduk di kursi kedua
meja itu, sedang Sin cian Pat hiong Tio It Siang, Cian Jie pay dan enam kawannya
menemani para anggota Beng kauw di ruangan samping. In Lie Heng sendiri yang
belum bisa bergerak disuapi dan dilayani oleh Poet Hwie dalam sebuah kamar.
Sesudah meneguk kering secawan
arak, Tio Beng berkata, Inilah Lie tin coe dari Siauw lin yang tuanya sudah
delapan belas tahun. Minumlah!
Yo Siauw, Wie It Siauw, In
Thian Ceng dan yang lain-lain percaya, bahwa nona Tio adalah seorang pendekar
wanita. Tapi mereka tetap berhati-hati. Mereka memperhatikan poci dan cawan
arak yang bebas dari tanda-tanda mencurigakan. Sesudah Tio Siocia menceguk
araknya, barulah semua kesangsian hilang dan mereka lalu mulai makan minum
dengan gembira.
Dahulu, anggota Beng kauw
dilarang meminum arak atau makan makanan berjiwa. Tapi sedari jaman Cio Kauw
coe, peraturan itu dirubah dan larangan dicabut. Sesudah pusat Beng kauw
dipindahkan ke gunung Koen loen san, daging dan minyak jadi lebih perlu lagi
untuk menahan hawa yang dingin.
Di empang seputar Soei kok
terdapat tujuh-delapan pohon bunga yang menyerupai Coei-sian, tapi banyak lebih
besar dari Coei-sian dan kembangnya yang berwarna putih menyiarkan bau yang
sangat harum.
Nona Tio pandai bergaul dan ia
beromong-omong secara bebas. Ia menceritakan banyak kejadian dalam Rimba
Persilatan di wilayah Tionggoan, beberapa di antaranya bahkan tidak diketahui
oleh orang-orang yang berpengalaman seperti In Thian Ceng dan puteranya.
Tentang Siauw lim, Go-bie dan
Koen-loen tidak banyak dibicarakan olehnya, tapi terhadap Tio Sam Hong dan
Boe-tong Cit-hiap, ia mengutarakan rasa kagumnya. Setiap pujian yang diberikan
bukan umpakan kosong, tapi pujian tepat yang berdasarkan kenyataan.
Boe Kie dan yang lain-lain
merasa senang sekali dan takluk akan pengetahuan si nona yang sangat luas. Tapi
kalau mereka balas menanyakan siapa gurunya, Tio Beng hanya tertawa. Ia tidak
menjawab atau memutar pokok pembicaraan ke jurusan lain.
Dengan beruntun nona Tio sudah
mengeringkan beberapa cawan. Setiap piring sayur yang disuguhkan, ia selalu
memakannya terlebih dahulu, sehingga hilanglah segala kecurigaan yang masih
terdapat dalam hati para pemimpin Beng kauw. Karena pengaruh arak, kedua pipi
si nona bersemu dadu, sehingga ia kelihatannya lebih cantik lagi dan dalam
kecantikannya terdapat hawa keangkeran dan kegagahan yang membangkitkan rasa
hormat dalam hati semua orang.
Tio Kouw-nio, kami merasa
sangat berterima kasih untuk penyambutanmu yang ramah tamah ini, kata Boe Kie.
Aku yang rendah sebenarnya ingin mengajukan sebuah pertanyaan, tapi aku tidak
berani membuka mulut.
Mengapa Thio Kauwcoe menganggap
aku sebagai orang luar? kata si nona. Kita semua samasama berkelana dalam dunia
Kangouw. Kata orang: Umat manusia di empat lautan adalah masih saudara. Jika
kalian tidak mencela, siauw-moay ingin sekali mengikat tali persahabatan dengan
kalian. Kalau Kauwcoe memerlukan suatu keterangan, asal saja siauw-moay tahu,
siauw-moay pasti akan memberi penjelasan dengan seterang-terangnya.
Kalau begitu baiklah, kata Boe
Kie. Apa yang ingin aku menanyakan ialah, darimana Tio Kauw-nio mendapat
Ie-thian Po kiam itu?
Tio Beng bersenyum. Ia membuka
pedang dari pegangannya dan menaruhnya di atas meja. Semenjak bertemu tak
henti2nya kalian mengawasi pedang ini, katanya. Mengapa begitu? Apakah Kauw coe
bisa memberitahukan sebab musababnya?
Ie thian kiam adalah milik
Biat coat Soethay dari Go bie pay, jawabnya. Saudara2 dari agama kami banyak
sekali yang binasa di bawah pedang itu. Dadaku sendiri pernah ditikam dengan
pedang itu, sehingga hampir2 jiwaku melayang. Itulah sebabnya mengapa kami
sangat memperhatikannya.
Thio Kauw coe mempunyai Sin
kang yang tiada tandingannya dalam dunia ini, kata Tio Beng. Menurut cerita
orang, dengan menggunakan Kian koen Tay lo ie, Thio Kauwcoe telah merampas Ie
thian kiam dari tangan Biat coat Soethay. Bagaimana Kauw coe sampai kena
dilukai? Selanjutnya siauw moay dengar, bahwa yang melukai Kauw coe adalah
seorang murid wanita Go bie pay yang ilmu silatnya tak seberapa tinggi. Hal ini
dengan sesungguhnya tidak dapat dimengerti olehku. Ia mengucapkan kata2 itu
sambil mengawasi Boe Kie dengan sorot mata tajam, sedang di kedua ujung
bibirnya tersungging senyuman, tapi bukan senyuman biasa.
Paras muka Boe Kie lantas saja
berubah merah. Dari mana dia tahu kejadian itu? tanyanya di dalam hati. Dengan
paras jengah ia menjawab, Serangan itu datang dengan tiba-tiba, sedang aku
sendiri kurang waspada.
Kalau tak salah, Cioe Cie Jiak
Cioe Cie cie cantik luar biasa kata pula si nona sambil tertawa. Bukankah
begitu?
Selebar muka Boe Kie jadi
makin merah. Ah! Kau suka sekali berguyon katanya. Ia mengangkat cawan, tapi
sebelum menceguk isinya tangannya bergemetar sehingga sebagian arak tumpah
membasahi tangan bajunya.
Si nona bersenyum dan berkata.
Siauw moay tak kuat minum, kalau minum lagi mungkin sekali siauw moay akan
melanggar adat. Sekarang saja siauw moay sudah mengeluarkan katakata yang tak
pantas. Siauw moay ingin minta permisi untuk masuk sebentar guna menukar
pakaian dan akan segera kembali. Kalian jangan berlaku sungkan dan makanlah
secara bebas.
Seraya berkata begitu, ia
berbangkit dan sesudah memberi hormat, ia bertindak keluar dari Soei-kok.
Pedang Ie thian-kiam ditinggalkan di atas meja.
Sementara itu, para pelayan
terus mengeluarkan piring-piring makanan.
Para pemimpin Beng kauw saling
mengawasi dan lantas berhenti makan. Lama juga mereka menunggu, tapi Tio Beng
belum juga kembali.
Dengan meninggalkan pedangnya,
ia kelihatannya menaruh kepercayaan penuh atas diri kita, kata Cio Tian sambil
menjemput pedang itu. Tiba2 ia mengeluarkan seruan kaget. Mengapa begini
enteng? tanyanya. Ia memegang gagangnya dan menariknya. Tiba2 jago2 itu
serentak bangkit dan mengawasinya dengan mata membelalak. Mengapa? Karena
pedang itu bukan terbuat daripada logam tapi hanya sebatang pedang kayu! Badan
pedang yang ke-kuning2an mengeluarkan bau harum dari kayu garu.
Dengan bingung Cioe Tian
memasukkannya lagi ke dalam sarung. Yo Yo Co soe permainan apa yang sedang
dilakukan ini? tanyanya dengan suara terputus-putus. Biarpun sering bertengkar
dengan Yo Siauw, di dalam hati ia selalu mengakui kecerdasan Co coe itu,
sehingga dalam bingungnya tanpa merasa ia mengajukan pertanyaan tersebut.
Dengan paras muka berkuatir Yo
Siauw berbisik, Kauw coe, sepuluh sembilan Tio siocia mengandung maksud yang
kurang baik. Kita sekarang berada di tempat bahaya dan jalan yang paling baik
ialah menyingkir se-cepat2nya.
Takut apa? bentak Cioe Tian.
Kalau mereka main gila, apakah kita yang berjumlah begini besar, masih tak
cukup untuk menghajarnya?
Sedari masuk di Lek
lioe-chung, aku merasa tempat ini diliputi dengan teka-teki, kata Yo Siauw
tanpa meladeni Cioe Tian. Mau dikata tempat orang baik-baik kelihatannya bukan
tempat orang baik-baik. Mau dikata sarang penjahat, bukan sarang penjahat. Aku
tidak dapat menerka tempat apa sebenarnya Lek lioe chung ini. Biar bagaimanapun
jua, aku tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa kita sekarang berada di
tempat yang sangat berbahaya, Kauw coe sebaiknya kita angkat kaki.
Yo Co coe, kau benar, kata Boe
Kie. Sekarang saja kita berpamitan. Seraya berkata begitu, ia berbangkit. Kauw
coe, apakah kau tak mau menyelidiki kemana perginya Ie-thian kiam yang tulen?
tanya Tiat-koan Too-jin.
Menurut pendapatku, semua
teka-teki ini telah diatur oleh Tio-soe-cia, kata Pheng Eng Giok. Dia pasti
mempunyai maksud tertentu. Andai kata kita tak cari dia, dia tentu akan cari
kita. Tak salah, katanya. Kita harus menggunakan siasat. Menguasai lawan dengan
bertindak belakangan, menunggu letihnya musuh dengan menyembunyikan diri.
Semua orang lantas saja
meninggalkan Soei-kok, kembali ke toa thia dan meminta supaya beberapa pegawai
yang bertugas disitu melaporkan kepada nona Tio, bahwa para tamu dari Beng kauw
menghaturkan terima kasih dan berpamitan.
Tio Beng buru-buru keluar. Ia
sekarang mengenakan baju dari sutera kuning, sehingga kelihatannya jadi lebih
ayu lagi. Baru saja kita bertemu, mengapa kalian sudah mau berangkat lagi?
tanyanya. Apakah penyambutan siauw-moay tidak memuaskan?
Janganlah Kauw-nio mengatakan
begitu, jawab Boe Kie. Kami sangat merasa berterima kasih atas budi kecintaan
Kauw-nio. Mana bisa jadi kami mencela kesambutan yang begitu ramah tamah? Kami
perlu segera berangkat sebab mempunyai tugas yang sangat penting. Di belakang
hari kita pasti akan bertemu lagi.
Bibir si nona bergerak, ia
seperti mau bersenym, tapi bukan bersenyum biasa. Ia mengantar semua tamunya
sampai di pintu depan, sedang Sin-cian Pat-hiong berdiri di pinggir jalan dengan
sikap hormat.
Sesudah menyoja, Boe Kie dan
rombongannya lantas saja melompat ke punggung kuda dan tanpa bicara lagi,
mereka melarikan tunggangan-tunggangan itu.
Tidak lama kemudian mereka itu
sudah terpisah amat jauh dari Lek-lioe chung dan tiba di sebelah tanah datar
dan sepi.
Nona itu mungkin tak mempunyai
maksud jahat, kata Cioe-Tian dengan tiba2. Bisa jadi, dengan pedang kayu itu ia
hanya ingin berguyon dengan Kauw coe, Yo-heng, kali ini kau salah mata.
Yo Siauw tak lantas menjawab.
Alisnya berkerut dan beberapa saat kemudian barulah berkata, Akupun tak bisa
mengatakan, tidak bisa menebak, apa maksud nona itu yang sebenarnya. Aku hanya
merasa, bahwa ada sesuatu yang kurang beres.
Cioe Tian tertawa nyaring.
Ha-ha! Yo Co soe yang namanya besar, baru saja bergebrak sekali di Kong beng
teng sudah berubah menjadi seorang penakut aduh!... Badannya mendadak
bergoyang2 dan ia terjungkal dari tunggangannya.
Swee Poet Tek yang berada
paling dekat lantas saja melompat turun dan membangunkannya. Cioe heng, mengapa
kau?
Cioe Tian tertawa. Tidak tidak
apa-apa, jawabnya. Sebab minum terlalu banyak, kepalaku agak pusing.
Berbareng dengan terdengarnya
perkataan pusing, paras muka para pemimpin Beng Kauw lantas saja berubah pucat.
Sedari meninggalkan Lek-lioe chung, mereka semua memang sudah merasa agak
pusing. Karena menganggap bahwa perasaan itu adalah akibat arak, mereka tidak
memperdulikan. Tapi Cioe Tia yang terkenal kuat minum dan mempunyai Lweekang
tinggi, tak mungkin bisa roboh karena beberapa cawan arak itu. Kejadian ini
mesti ada latar belakangnya.
Sambil mendongak mengawasi
langit, Boe Kie mengasah otak. Ia mengingat-ingat isi Tok keng dari mendiang
Ong Kauw. Racun apakah yang tanpa warna, tanpa rasa dan bau, bisa menerbitkan
rasa pusing? Ia mengingat-ingat kitab itu dari kepala sampai di buntut, tapi
tak ada racun yang seperti itu. Makanan dan arak yang dimakannya tidak berbeda
dengan arak yang dimakan oleh kawan-kawannya. Mengapa dia sendiri tidak merasai
apapun juga? Heran sungguh!
Sekonyong-konyong bagaikan
kilat, dalam otaknya berkelebat suatu ingatan. Ia terkesiap parasnya pucat
pasi. Semua orang yang turut makan minum di Soei kok turun teriaknya dengan
gugup. Duduk bersila, tapi sekali-kali tidak boleh mengerahkan khie (hawa).
Bernafaslah secara wajar. Ia
berdiam sejenak dan kemudian berkata pula, Kuminta saudarasaudara dari Ngo heng
kie dan Peh bie kie berpencar dan berbaris di empat penjuru untuk menjaga
keselamatan para pemimpin kita. Siapapun jua yang mendekati, bunuhlah! Sesudah
Peh bie kauw mempersatukan diri dengan Beng kauw, dengan perkataan kauw (agama)
dibuang dan diganti dengan Kie (bendera).
Anggota keenam bendera itu
membungkuk, menghunus senjata dan lalu berpencaran untuk menunaikan tugas yang
diberikan oleh sang Kauw coe. Sebelum aku kembali, kalian semua tidak boleh
berkisar dari tempat penjagaan, kata pula Boe Kie.
Semua orang kaget bukan main.
Mereka hanya merasai sedikit pusing. Mengapa kauw-coe mereka jadi begitu
bingung? Kalian, dengarlah kata Boe Kie dengan suara sungguh-sungguh.
Biar bagaimana tidak enakpun,
kalian tidak boleh, sekali-kali tidak boleh mengerahkan tenaga dalam. Kalau
racun mengamuk tak akan ada obat lagi untuk menolong kalian!
Semua orang jadi terlebih
kaget.
Dalam saat, dengan sekali berkelebat
Boe Kie melesat belasan tombak jauhnya. Ia tidak mau menggunakan kuda sebab
larinya binatang itu dianggap masih terlalu lambat. Sambil mengempos semangat,
dengan ilmu ringan badan yang paling tinggi, ia terbang ke Lek hoechung.
Jarak duapuluh li lebih
dilaluinya dalam sekejap mata, bagaikan seekor burung ia masuk ke dalam
perkampungan. Para penjaga melihat berkelabatnya satu bayangan. Mereka sama
sekali tak menduga, bahwa seorang manusia sudah menerobos masuk dari tempat
jaganya.
Tanpa menyia-nyiakan waktu,
Boe Kie berlari-lari ke Soei kok. Dari kejauhan ia melihat seorang wanita yang
mengenakan baju warna hijau sedang membaca buku sambil minum teh.
Wanita itu bukan lain dari Tio
Beng.
Mendengar tindakan kaki, si
nona menengok dan bersenyum.
Tio Kauw nio, kata Boe Kie,
aku minta beberapa pohon rumput. Tanpa menunggu jawaban, kakinya menotol tepi
empang dan melompat ke Soei kok, badannya melayang di permukaan air,
seolah-olah seekor capung. Sambil melayang kedua tangannya mencabut tujuh
delapan pohon yang menyerupai pohon bunga Coei sian. Tapi sebelum kedua kakinya
hinggap di Soei kok, tiba-tiba terdengar sret srr beberapa senjata rahasia yang
sangat halus menyambar dirinya. Dengan sekali mengibas, ia sudah menggulung
semua senjata rahasia itu di dalam tadang saku bajunya dan hampir berbareng, ia
mengebut Tio Beng dengan tangan baju kiri. Si nona berkelit dan angin kebutan
itu sudah melontarkan poci dan cangkir teh yang jatuh hancur.
Sesudah berdiri tegak di
lantai Soei-kok, Boe Kie melihat, bahwa pada setiap pohon bunga terdapat ubi
sebesar telur ayam, merah. Ia girang sebab obat pemunah racun sudah didapatkan.
Terima kasih untuk obat ini, aku sekarang mau berangkat! katanya sambil
memasukkan pohon-pohon itu ke dalam sakunya.
Datangnya gampang, perginya
mungkin tidak begitu gampang, kata si nona sambil tertawa. Ia melemparkan buku
yang dipegangnya seraya menarik keluar dua batang pedang yang tipis bagaikan
kertas dari dalam buku itu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia menerjang.
Karena memikiri orang-orang
yang kena racun, Boe Kie sungkan berkelahi lama-lama. Ia mengibaskan tangan
bajunya dan beberapa belas jarum emas milik si nona berbalik menyambar
majikannya. Dengan satu gerakan yang sangat indah Tio Beng menyelamatkan diri.
Bagus!
memuji Boe Kie. Dilain detik,
si nona sudah mulai menyerang dengan kedua pedangnya.
Sambil mengegos Boe Kie
berkata dalam hatinya, Perempuan ini sungguh kejam. Jika aku tidak memiliki
Kioe yang Sin kang dan tidak pernah membaca Tok keng, hari ini jiwa para
pemimpin Beng kauw tentu sudah terbinasa di dalam tangannya. Sesudah mengegos,
kedua tangannya menyambar untuk merampas senjata si nona. Tapi Tio Beng cukup
lihay, ia membalik kedua jari tangannya dan pedangnya memapas jari-jari tangan
Boe Kie. Melihat kecepatan si nona Boe Kie merasa kagum. Tapi Sin kang bukan
ilmu biasa. Biarpun gagal dalam usaha merampas senjata Sin kang itu sudah
mengebut jalan darah di kedua pergelangan tangan Tio Beng, sehingga si nona
tidak dapat mencekal lagi senjatanya. Tapi sebelum senjatanya terlepas,
bagaikan kilat ia menimpuk. Boe Kie miringkan kepalanya dan kedua pedang itu
amblas di tiang Soei kok.
Ia kaget. Ia kaget bukan
lantaran tingginya ilmu si nona. Dalam ilmu silat Tio Beng masih kalah dari Yo
Siauw, Wie It Siauw atau In Thian Ceng. Ia kaget sebab kecerdasan nona itu,
yang bisa segera mengubah siasat dengan mengimbangi keadaan. Sesudah jalan
darahnya dikebut dan ia tidak bisa mencekal lagi senjatanya, ia bisa berpikir
cepat dan menimpuk.
Kalau Boe Kie kurang gesit, pedang
yang sangat tajam itu tentu sudah amblas di batok kepalanya. Dalam pertempuran,
sering kejadian bahwa seseorang yang ilmu silatnya lebih rendah berhasil
merobohkan seorang yang ilmunya lebih tinggi. Sebab musababnya terletak di
sini.
Sesudah kedua pedangnya
ditimpukkan, buru-buru Tio Beng menjemput pedang Ie thian kiam kayu yang
menggeletak di atas meja. Tanpa menghunusnya, ia menyodok pinggang Boe Kie
dengan sarung pedang. Boe Kie berkelit, tangan kanannya menyambar dan kali ini,
ia berhasil merampas Ie thian kiam kayu itu.
Tio Beng melompat mundur. Thio
kong coe, katanya sambil tertawa, apakah itu yang dinamakan Kian koen Tay lo
sin kang? Kulihat Sin kang itu sama sekali tidak mengherankan.
Sambil tersenyum Boe Kie
membuka telapak tangan kirinya yang ternyata menggenggam sekuntum kembang
mutiara, yaitu yang dipakai di kondai si nona.
Tio Beng kaget tak kepalang.
Dia memetik perhiasanku, tanpa aku merasa, katanya di dalam hati. Kalau dia mau
mencelakai aku, kalau dia itu mau menotok Tay yang hiatku, jiwaku tentu sudah
melayang. Tapi, sedang jantungnya memukul keras paras mukanya tidak berubah. Ia
tertawa tawar dan berkata, Jika kau senang dengan kembang itu, aku bersedia
menghadiahkan dengan suka rela, tak perlu kau merampasnya.
Boe Kie merasa jengah. Aku
pulangkan, katanya sambil melontarkannya. Sesudah itu ia memutar badan dan
melompat ke atas dari Soei-kok. Tahan! seru si nona seraya menyambuti kembang
mutiara itu.
Boe Kie menengok.
Mengapa kau curi dua butir
mutiara? tanya Tio Beng.
Justru aku tak punya waktu
untuk berguyon, jawabnya.
Nona Tio mengangkat kembangnya
tinggi-tinggi. Lihatlah! katanya. Dua butir mutiara hilang.
Boe Kie melirik dan memang
benar dua butir mutiara tidak ada pada tempatnya tapi ia tahu, bahwa kedua
mutiara itu sudah sengaja disingkirkan oleh pemiliknya. Ia mengerti, bahwa si
nona mau memancingnya untuk menjalankan akal bulusnya lagi. Maka itu, ia tidak
mau meladeni lagi. Sambil mengeluarkan suara di hidung, ia bertindak keluar.
Thio Boe Kie! bentak Tio Beng.
Kalau kau mempunyai nyali, datanglah kepadaku dalam jarak tiga tindak.
Tapi Boe Kie tidak kena
dibikin panas. Kalau kau menganggap aku bernyali tikus, apa boleh buat, katanya
sambil bertindak turun dari undakkan Soei-kok.
Melihat semua akalnya tidak
berhasil, paras muka Tio Beng lantas saja berubah. Sudahlah!
katanya dengan suara putus
harapan. Hari ini aku kalah. Mana aku ada muka untuk bertemu lagi dengan lain
manusia? Ia mencabut sebatang pedang yang menancap di tiang dan berteriak, Thio
Boe Kie, terima kasih bahwa kau sudah menyempurnakan aku!
Boe Kie menengok. Tiba-tiba
sinar putih berkelebat. Tio Beng mengayun tangannya untuk menancapkan pedang di
dadanya.
Boe Kie tertawa dingin dan
berkata, Aku tak akan kena Sebelum perkataan ditipu keluar dari mulutnya, ujung
pedang sudah menancap di dada si nona. Tio Beng berteriak, tubuhnya terkulai.
Kali ini Boe Kie benar-benar
kaget. Ia tidak pernah menyangka, bahwa si nona beradat begitu keras. Asal saja
pedang tidak melanggar isi perut, aku masih bisa menolong, pikirnya sambil
melompat untuk memeriksa luka si nona.
Tapi baru saja ia tiba dalam
jarak tiga tindak dari meja, mendadak kakinya kejeblos, tubuhnya meluncur ke
bawah!
Celaka! ia mengeluh. Cepat
bagaikan kilat ia mengibaskan kedua tangan bajunya ke bawah sehingga untuk
sedetik, tubuhnya terhenti di tengah udara. Hampir berbareng, satu tangannya
coba menepuk pinggiran meja. Kalau kena dengan meminjam tenaga, ia bisa
menyelamatkan diri. Tapi Tio Beng yang hanya pura2 bunuh diri, sudah menduga
usaha pemuda itu dan dengan cepat ia menyampok dengan tangan kanannya. Selagi
kedua tangan kebentrok, tubuh Boe Kie merosot ke bawah.
Dalam bingungnya, ia membalik
tangan dan coba mencengkeram jari-jari tangan Tio Beng tapi jari-jari tangan si
nona licin luar biasa, bagaikan licinnya lindung, sehingga tidak dapat
dicengkeram! Cekalannya terlepas!
Pada detik yang sangat
berbahaya, Sin kang yang dimiliki Boe Kie memperlihatkan kelihayannya. Biarpun
cekalannya terlepas, tapi sebab cekalannya itu, ia berhasil meminjam sedikit
tenaga, sehingga kemerosotan tubuhnya terhenti untuk sedetik dan tangannya
menjambret lengan si nona. Jambretan itu berhasil! Ia mengerahkan Sin kang
untuk melompat ke atas. Kali ini maksudnya gagal. Karena tubuhnya berat dan Tio
Beng enteng, maka begitu ia membetot, tubuh si nona terjungkal dan tidak dapat
tercegah, kedua-duanya tergelincir ke dalam lubang kemudian sesaat terdengar
trang! tutupan lubang tertutup lagi.
Lubang itu, atau lebih benar
sumur, tidak terlalu dalam, hanya belasan tombak. Begitu hinggap di dasarnya,
Boe Kie melompat dengan menggunakan ilmu Pek houw Yoe ciang (Cicak merayap di
tembok), ia merayap ke atas. Setelah sampai di atas, ia mendorong tutupan sumur
beberapa kali, tapi tidak bergeming. Tutupan itu, yang dingin seperti es, adalah
selembar besi tebal yang dipegang erat-erat dengan semacam alat. Walaupun
memiliki sin kang, tapi lantaran badannya berada di tengah udara, ia tidak bisa
meminjam tenaga. Sesudah mendorong beberapa kali tanpa berhasil, ia terpaksa
melompat turun lagi.
Tio Beng tertawa geli. Tutupan
itu dipegang dengan delapan batang baja yang kasar, katanya. Dengan berada di
bawahnya, cara bagaimana kau bisa membukanya? Boe Kie sangat mendongkol. Ia tak
dapat meladeni dan meraba-raba pinggiran sumur yang licin dan dingin.
Thio kongcu. Peh houw Yoe
ciangmu betul betul lihay, kata si nona. Lubang jebakan ini terbuat daripada
baja murni yang licin luar biasa. Tapi kau masih bisa naik ke atas, betul-betul
hebat..hi..hi..hi!
Apa yang lucu? bentak Boe Kie.
Mendadak ia ingat, bahwa nona itu sangat licin. Di dalam sumur mungkin terdapat
sebuah jalan rahasia. Aku tak dapat membiarkan dia kabur seorang diri,
pikirnya. Memikir begitu, ia segera mencengkeram tangan si nona. Tio Beng
terkesiap, mau apa kau? tanyanya.
Kau tak usah harap bisa lari
seorang diri jawab Boe Kie. Kalaukau masih kepingin hidup, bukalah jalan
keluar.
Kau tak usah bingung, kata Tio
Beng. Kita tidak akan mati kelaparan dalam jebakan ini.
Kalau orang-orangku tidak
melihat aku, mereka pasti akan datang kemari untuk melepaskan kita. Aku hanya
kuatir, mereka menduga aku pergi keluar. Jika mereka menduga begitu, celakalah
kita.
Apa dalam sumur ini tak ada
jalanan keluar?
Kulihat kau bukan manusia
goblok, tapi mengapa kau ajukan pertanyaan setolol itu? Jebakan ini dibuat
bukan untuk ditempati sendiri, tapi untuk menangkap musuh. Perlu apa dibikin
jalan keluar?
Boe Kie merasa perkataan Tio
Beng ada benarnya jua. Menjeblaknya papan tutupan dan jatuhnya kita pasti
didengar oleh orang-orangmu, katanya. Mengapa mereka belum datang? Lekas
panggil mereka!
Orang-orangku sedang menjalani
tugas, jawabnya. Besok kira-kira pada waktu begini, barulah mereka kembali. Kau
tidak perlu bingung. Mengasolah tenang-tenang. Tadi kau sudah makan kenyang.
Boe Kie jadi gusar. Ia tak keberatan untuk
berdiam lebih lama dalam jebakan itu. Tapi bagaiman keselamatan kakeknya dan
yang lain2? Ia menyengkeram tangan si nona terlebih keras dan membentak, Kalau
kau tidak segera melepaskan aku, terlebih dahulu aku akan segera mengambil jiwamu.
Tio Beng tertawa, Jika kau
bunuh aku, kau takkan bisa keluar dari penjara ini, katanya. Eh!... perlu apa
kau pegang tanganku?
Boe Kie jadi malu hati. Buru2
ia melepaskan cekalannya, mundur dua tindak dan lalu duduk di lantai. Tapi
karena sumur itu terlalu kecil, mau tidak mau ia mengendus juga bebauan wangi
yang keluar dari badan si nona.
Makin lama ia makin
mendongkol. Tiba-tiba ia berbangkit dan berkata dengan suara gusar, Beng kauw
dan kau belum pernah sama sekali bermusuhan. Mengapa kau begitu jahat?
Ada banyak hal yang tak
dimengerti olehmu jawabnya. Sebab kau sudah bertanya begitu, biarlah aku
menceritakan sebab musababnya, dari kepala sampai di buntut. Apa kau tahu siapa
sebenarnya aku?
Boe Kie ingin sekali mendengar
asal usul dan maksud nona itu. Tapi kalau ia mendengar cerita, mungkin sekali
In Thian Ceng dan yang lain sudah keburu mati. Apapula, cerita wanita itu tentu
benar. Jalan satu2nya adalah memaksa supaya ia membuka papan tutupan. Memikir
begitu, ia lantas saja berkata, Aku tak punya waktu untuk mendengari
ceritamu.jawablah pertanyaanku. Kau mau atau tidak mau teriaki orang-orangmu
untuk membuka papan tutupan itu?
Aku sudah memberitahukan kau
bahwa semua orang2ku tak berada di sini, jawabnya. Selain itu teriakan yang
bagaimana keraspun takkan terdengar di luar jebakan ini.
Darah Boe Kie meluap, bagaikan
kalap ia menubruk. Tio Beng kaget dan coba melawan, tapi jalan darahnya segera
tertotok dan ia tak bisa bergerak lagi.
Sambil mencekik tenggorokan si
nona, Boe Kie membentak. Sedikit saja aku menambah tenaga, jiwamu melayang!
Tio Beng mengap-engap. Tiba2
ia menangis. Kau hinakan aku! Kau hinakan aku! teriaknya. Kejadian ini
lagi-lagi di luar dugaan Boe Kie. Ia melepaskan cengkeramannya dan berkata, Aku
tak berminat untuk menghinakan kau. Aku hanya ingin supaya kau melepaskan aku.
Baiklah, kata si nona. Aku
akan panggil orang-orangku. Sehabis berkata begitu, ia berteriak.
Hei !... hei!... kemari! Buka
tutup jebakan! Aku jatuh ke dalam penjara baja. Tapi di luar hanya sepi-sepi
saja. Ia sekarang tertawa dan berkata, Kau lihatlah! Bukankah tak berguna aku
berteriak-teriak?
Sungguh kau tak mengenal malu!
kata Boe Kie dengan mendongkol. Sebentar menangis, sebentar tertawa.
Kau yang tak tahu malu! bentak
si nona. Lelaki menghina perempuan.
Boe Kie mengeluarkan suara di hidung. Kau
bukan perempuan biasa! katanya. Akal bulusmu terlalu banyak, sepuluh lelaki
belum tentu bisa menandingi kau seorang.
Tio Beng tertawa geli. Aku
rendah tak sanggup menerima pujian terlalu tinggi dari Thio Kauw coe yang
mulia, katanya.
Boe Kie menggertak gigi. Waktu
sudah mendesak, kalau ia ayal-ayalan, semua pemimpin Beng Kauw akan binasa.
Tiba2 tangannya menyambar dan merobek bagian bawah dari kain si nona.
Tio Beng terkesiap dan
berteriak dengan suara terputus-putus. Mau bikin apa kau? Jika kau bersedia
melepaskan aku dari penjara ini, manggutkan saja kepalamu, jawabnya.
Mengapa begitu? tanya pula si
nona.
Boe Kie tidak menyahut, tapi
segera membasahi kain sobekan itu dengan ludahnya. Maaf, aku tidak bisa berbuat
lain, katanya seraya menyumbat mulut dan hidung si nona dengan kekainan itu.
Tio Beng tak bisa bernafas.
Tapi ia bandel sekali. Walaupun dadanya menyesak dan selebar mukanya sudah
berubah merah, ia tetap tak mau mengangguk. Akhirnya kedua matanya berkunang-kunang
dan ia pingsan.
Lalu Boe Kie memegang nadi si
nona, ketukan nadi itu ternyata sudah sangat lemah, sehingga ia buru buru
mencabut kekainan yang menyumbat mulut dan hidung.
Beberapa saat kemudian, Tio
Beng tersadar. Ia membuka kedua matanya dan mengawasi dengan penuh kegusaran.
Tak enak bukan? tanya pemuda
itu. Bagaimana? Apa kau bersedia untuk melepaskan aku?
Tidak nanti! bentaknya dengan
bernafsu. Biarpun pingsan ratusan kali, tidak nanti ku melepaskan kau. Kalau
penasaran, kau boleh membunuhku.
Mendengar jawaban yang keras
kepala itu, Boe Kie tertegun dan tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Akhirnya
sambil menggertak gigi ia berkata, Untuk menolong jiwanya banyak orang, aku
terpaksa berlaku kasar terhadapmu dan kuharap kau suka memaafkan. Sehabis
berkata begitu, ia memegang kaki kiri Tio Beng dan melocotkan sepatu serta kaus
kakinya.
Si nona kaget bercampur gusar.
Anak bau! Mau berbuat apa kau? teriaknya.
Tanpa menjawab Boe Kie lalu
membuka sepatu dan kaus kaki dan kemudian, dengan telunjuk ia menotok Yong
coanhiat, di kedua telapak kaki si nona. Sesudah itu, ia mengerahkan Kioeyang
Sin-kang dan mengirim hawa hangat dari hiat tersebut.
Yong coanhiat, yang terletak
di bagian cekung telapak kaki, adalah permulaan dari jalan darah Ciok siauw im
Kian keng dan merupakan bagian tubuh manusia yang sangat perasa. Sebagai
seorang yang mahir ilmu ketabiban Boe Kie tahu kenyataan itu. Jika bagian itu
dikitik, orang akan merasa geli luar biasa, sehingga sekujur tubuhnya lemas
kesemutan. Kiu yang Sin kang yang
dikirim Boe Kie seratus kali lebih daripada dikitik. Semula Tio Beng tertawa
geli terus menerus ia mau meronta tapi karena ditotok kaki tangannya tidak bisa
bergerak. Sesaat kemudian, ia merasai penderitaan yang lebih hebat daripada
bacokan golok atau cambukan. Ia merasa seperti juga berlaksa kutu merayap dan
menggigit isi perutnya serta tulang tulangnya.
Dari tertawa ia sekarang
menangis dan sesambat.
Sambil mengeraskan hati Boe
Kie terus mengirim Sin kangnya. Keringat dingin membasahi baju si nona,
jantungnya seolah olah mau melompat keluar. Anak bau! cacinya. Bangsat bangsat
tengik! Satu hari aku aku akan cincang kau!... Aduh! Ampun!... ampun!... Thio
Kongcoe hu.hu hu!...
Kau mau lepas aku atau tidak?
tanya Boe Kie.
Leıpas! Ampun!... jawabnya.
Boe Kie segera menarik pulang
Sin kang-nya dan menepuk punggung si nona beberapa kali, sehingga jalan-jalan
darah yang tertotok segera terbuka lagi.
Nafas Tio Beng
tersengal-sengal. Beberapa saat kemudian, barulah ia bisa membuka suara.
Bangsat! Pakaikan sepatuku.
Boe Kie segera mengambil kaos
kaki dan sepatu dan kemudian memegang kaki kiri si nona.
Tadi, waktu membukakan, dalam
gusarnya, ia tak punya lain pikiran. Tapi sekarang, begitu tangannya menyentuh
tumit kaki yang halus lemas itu, jantungnya memukul keras. Di lain pihak, si
nona pun mendapat perasaan serupa, sehingga parasnya lantas saja berubah merah.
Untung juga karena berada di
tempat gelap Boe Kie tak lihat perubahan paras muka itu.
Dengan cepat kedua kakinya
sudah memakai lagi sepatu dan kaos kaki. Tiba-tiba ia mendapat perasaan luar
biasa. Di dalam hati kecilnya ia kepingin pemuda itu memegang lagi kakinya.
Mendadak ia tersadar.
Kupingnya mendengar bentakan Boe Kie. Lekas! Lekas lepaskan aku.
Tanpa menjawab tangannya
meraba dinding jebakan dan kemudian dengan gagan pedang, ia mengetuk-ngetuk
sebuah lingkaran yang diukir pada dinding baja itu. Sesudah mengetuk beberapa
kali, sekonyong-konyong terdengar suara menjeblak dan tutupan jebakan terbuka.
Ternyata pada lingkaran itu
terdapat alat rahasia yang dihubungkan dengan penjaga di luar jebakan. Begitu
melihat isyarat yang diberikan oleh majikannya, si penjaga segera membuka tutup
lubang.
Boe Kie kaget tercampur
girang. Mari kita keluar, katanya.
Tapi Tio Beng tidak bergerak,
ia tetap berdiri sambil menundukkan kepala. Melihat begitu dan mengingat akan
perbuatannya, Boe Kie merasa tidak enak hati. Ia membungkuk seraya berkata, Tio
Kauw nio, tadi sebab sangat terpaksa aku sudah melakukan perbuatan yang sangat
tidak pantas terhadapmu. Kuharap kau tidak menjadi gusar.
Si nona tetap tidak menyahut.
Ia bahkan memutar badan dan berdiri menghadapi dinding jebakan. Pundaknya
bergoyang-goyang seperti orang lagi menangis. Waktu sedang mengadu kepandaian,
Boe Kie merasa sangat mendongkol terhadap nona itu yang dianggapnya sebagai
wanita kejam. Tapi sekarang di dalam hatinya muncul rasa kasihan. Tio Kauw nio,
katanya dengan suara menyesal, aku mau pergi sekarang. Aku mengakui, bahwa aku
sudah berbuat kedosaan terhadapmu dan kuharap kau suka memaafkan. Sehabis
berkata begitu, dengan menggunakan ilmu Pek houw Yoe ciang ia merayap ke atas.
Setibanya di mulut lubang sambil menendang pinggiran jebakan sehingga badannya
lantas saja melesat ke atas, ia mengibaskan kedua tangan bajunya untuk menjaga
bokongan. Sebelum kakinya hinggap di bumi, ia menyapu seputar Soe kok dengan
kedua matanya, tapi disitu tidak kelihatan bayangan manusia.
Tanpa menyia-nyiakan waktu
lagi ia melompati tembok dan dengan menggunakan ilmu ringan badan, menuju ke
tempat berkumpulnya rombongan Beng Kauw. Karena terjebak, ia sudah terlambat
kira-kira satu jam. Apa In Thian Ceng dan yang lain-lain masih bisa ditolong?
Dengan penuh rasa kuatir, ia berlari-lari sekeras-kerasnya dan dalam beberapa
saat, ia sudah hampir tiba di tempat yang dituju.
Mendadak hatinya mencelos.
Bukan main kagetnya sebab ia lihat sepasukan serdadu Mongol berkuda sudah
mengurung rombongan Beng kauw dan melepaskan anak panah. Celaka ia mengelak dan
mempercepat tindakannya.
Sekonyong-konyong di tengah
rombongan Beng kauw terdengar suara seorang wanita yang sangat nyaring. Swi-kim
kie menyerang dari timur laut! Ang soe kie mengurung ke barat daya.
Itulah suara Siauw Ciauw!
Hampir berbareng dengan komando itu, pasukan Beng kauw yang membawa bendera
putih yang menerjang dari timur laut dan sepasukan lain yang membawa bendera
hitam mengurung ke barat daya. Barisan Goan segera dipecah untuk menahan kedua
pasukan itu. Mendadak Houw toaw kie yang membawa bendera kuning dan Kie kok kie
yang membawa bendera hijau menyerang dari tengah. Mereka menerjang bagaikan
sepasang naga yang kuning yang lain hijau. Barisan Goan lantas saja terpukul
pecah dan terpaksa mundur.
Dengan beberapa kali lompatan,
Boe Kie sudah berada di antara orang-orangnya sendiri. Melihat pemimpin mereka,
para anggota Beng kauw terbangun semangatnya. In Thian Ceng, Yo Siauw dan yang
lain-lain masih tetap bersila di tempat tadi, sedang Siauw Ciauw memimpin
gerakan-gerakan Ngo heng kie dan Peh bie dengan berdiri di atas bukit kecil dan
sebelah tangannya memegang bendera. Di bawah pimpinan si nona yang menggerakkan
keenam bendera menurut ilmu Kie boen Pat kwa, serangan-serangan barisan Goan
selalu dapat dipukul mundur.
Thio Kongcoe, gantikan aku,
kata Siauw Ciauw dengan suara girang.
Pimpin terus! jawab Boe Kie.
Aku akan coba membekuk pemimpin barisan musuh. Tiba-tiba beberapa batangan
panah menyambar ke arahnya. Dengan cepat ia menjambret sebatang tombak dari
tangan seorang anggota Beng kauw dan memukul jatuh semua anak panah itu.
Sesudah itu, sambil mengerahkan
Sin kang ia menimpuk dengan tombaknya yang amblas di dada seorang Peh hoe thio.
Sejumlah serdadu yang mengiring Peh hoe thio itu jadi ketakutan dan mundur
serabutan.
Se-konyong2 dari kejauhan
terdengar bunyi terompet tanduk, disusul dengan munculnya belasan penunggang
kuda yang mendatangi dengan cepat. Boe Kie yang bermata paling jeli lantas saja
mengenali bahwa dalam rombongan itu terdapat Sio Cian Pat hiong. Ia kaget dan
berkata dalam hatinya. Kalau mereka turun tangan banyak saudara bakal jadi korban.
Lebih baik aku turun tangan lebih dahulu.
Tapi lantas saja ternyata
bahwa mereka tak bermaksud untuk menyerang. Dari jauh Tio It Siang, yang jadi
pemimpin sudah meng-goyang2kan sebatang tongkat pendek kepala naga yang
berwarna kuning emas. Majikan mengeluarkan perintah untuk segera menarik pulang
tentara! teriaknya.
Seorang Cian hoe thio yang
memimpin barisan itu lantas saja beteriak dalam bahasa Mongol dan seluruh
barisan segera mundur dengan teratur.
Sementara itu, dengan tangan
menyangga nampan, Cian Jie pay melompat turun dari tunggangannya dan
menghampiri Boe Kie seraya membungkuk ia berkata, Majikanku minta Kauw coe suka
menerima ini sebagai kenang2an. Di atas nampan itu yang dialaskan dengan
selembar sutera sulam warna kuning terdapat sebuah kotak emas dengan ukir2an
yang sangat indah.
Boe Kie menjemput kotak itu
yang kemudian lalu diserahkan kepada Siauw Ciauw. Cian Jie pay membungkuk lagi,
mundur tiga tindak dan kemudian barulah melompat ke punggung tunggangannya.
Sesudah musuh mundur dan rombongan
Sin-cian Pat hiong berlalu, tanpa menyia-nyiakan waktu lagi Boe Kie segera
mengeluarkan pohon-pohon bunga yang serupa Cioe sian dari sakunya. Ia minta air
bersih dan kemudian menghancurkan semua ubi yang warna merah di dalam air.
Campuran itu segera diberikan kepada Ie Thian Ceng dan yang lain2 untuk
diminum. Kecuali Boe Kie sendiri yang dilindungi Kioe yang sin kang sehingga
tak mempan racun, semua orang yang turut makan minum dalam Soet kok sudah kena
racun. Yo Poet Hwie terbebas sebab ia menemani In Lie Heng di dalam kamar,
begitupun Siauw Ciauw dan para anggota Beng kauw yang lainnya, yang makan minum
di lain ruangan.
Obat yang diberikan Boe Kie
sangat mustajab. Belum cukup setengah jam, rasa pusing sudah hilang dan yang
masih ketinggalan hanya perasaan lemas.
Menjawab pertanyaan beberapa
orang cara bagaimana ia tahu tentang keracunan itu, sambil menghela napas Boe
Kie berkata. Kita semua berhati-hati dan kalau racun ditaruh dalam makanan atau
minuman, kita bisa segera mengetahuinya. Di luar dugaan caranya wanita lihay
luar biasa. Sebelum kalian merasa pusing, siapapun jua tak akan bisa
menebaknya. Pohon kembang yang menyerupai bunga Coei sian itu adalah pohon Coei
sian Leng hoe yang jarang terdapat di dalam dunia. Pada hakekatnya pohon itu tidak
beracun. Di lain pihak, pedang Ie thian kiam kayu terbuat daripada kayu Kie
kiauw Hiang bok yang terdapat di dasar laut. Kayu ini pun pada hakekatnya tidak
beracun. Tapi disinilah terletak kunci persoalan. Tapi, kalau bau wangi dari
Coei sian Leng hoe dan Kie kiauw Hiang bok tercampur menjadi satu, maka kedua
macam wangi2an itu akan berubah menjadi racun yang sangat berbahaya.
Cioe Tian menepuk lututnya.
Aha! Kalau begitu akulah yang bersalah, teriaknya. Aku yang gatal tangan sudah
mencabut pedang kayu itu.
Cioe heng tidak bersalah, kata
Boe Kie. Wanita itu sudah bertekad untuk mencelakai kita, sehingga biarpun Cioe
heng tidak mencabut pedang itu, ia tentu akan mencari jalan untuk mencabutnya.
Kejadian itu tak akan bisa dicegah.
Kurang ajar! kata si semberono
dengan gusar. Mari kita bakar perkampungannya sampai rata dengan bumi!
Baru saja berkata begitu, di
sebelah kejauhan tiba2 terlihat mengepulnya asap hitam. Benarbenar Lek lioe
chung terbakar. Para pemimpin saling mengawasi tanpa bisa mengeluarkan sepatah
kata.
Semua orang kagum. Tio Beng
ternyata dapat menghitung dengan tepat, ia sudah menduga bahwa sesudah racun
dipunahkan, jago2 Beng kauw akan kembali untuk membakar perkampungannya,
sehingga oleh karenanya, ia sudah mendahului dengan membakarnya sendiri.
Walaupun ia masih berusia muda dan hanya seorang wanita, nona Tio ternyata
merupakan seorang lawan yang tidak boleh dipandang enteng.
Paling benar kita mengejar
mereka dan menghajarnya sampai mereka bertobat, kata Cioe Tian.
Sesudah dia membakar
perkampungannya sendiri, kita tahu, bahwa dalam setiap tindakannya, dia sudah
mempersiapkan segala sesuatu, kata Yo Siauw. Kurasa belum tentu kita dapat
menyusul mereka.
Yo heng, kau sungguh pintar,
kata Cioe Tian. Dalam akal budi, kau memang lebih tinggi daripada Cioe Tian.
Yo Siauw tertawa, Aduh! Tak
berani aku menerima pujian Cioe heng, katanya. Dalam hitunghitungan, mana bisa
siauw tee menandingi Cioe heng.
Sudahlah, Jie wie tak usah
saling merendahkan diri, menyela Boe Kie seraya bersenyum. Bahwa hanya beberapa
belas saudara terluka enteng karena panah dan bahwa kita tidak menderita
kerusakan terlebih hebat, sudah dapat dikatakan untung sekali. Marilah kita
meneruskan perjalanan.
Di tengah jalan, beberapa
orang menanya Boe Kie cara bagaimana ia bisa menebak keracunan itu.
Kuingat, bahwa dalam Tok keng
terdapat keterangan yang mengatakan, bahwa jika bau wangi dari kayu Kie kauw
Hiang bok tercampur dengan bau wangi sebangsa kembang Hoe-yong, maka bebauan
itu mengakibatkan mabuk, seperti mabuk arak, selama beberapa hari. Kalau hawa
beracun itu masuk ke dalam isi perut, jantung dan paru-paru bisa rusak. Itulah
sebabnya mengapa aku melarang kalian mengerahkan tenaga dalam. Manakala kalian
mengerahkan khie (hawa), sehingga racun masuk ke dalam pembuluh darah, besarnya
bahaya tidak bisa ditaksir lagi.
Tak dinyana si budak Siauw
Ciauw berpahala begitu besar, kata Wie It Siauw. Kalau pada detik berbahaya dia
tak tampil ke muka, kita pasti mendapat kerusakan besar sekali. Perbuatan Siauw
Ciauw terutama membingungkan Yo Siauw. Ia telah menduga pasti, bahwa nona itu
seorang mata-mata musuh yang mau menyelidiki segala rahasia Beng kauw. Tapi
sekarang si nona berbalik menjadi seorang penolong.
Malam itu, rombongan itu
menginap di sebuah rumah penginapan. Seperti biasa, Siauw Ciauw membawa sepaso
air cuci muka ke kamar Boe Kie.
Siauw Ciauw, hari ini kau
berjasa besar sekali, kata Boe Kie. Mulai dari sekarang kau tak usah melakukan
tugas pelayan lagi.
Si nona tersenyum. Aku justru
merasa senang jika bisa merawat kau, katanya. Tugas semua sama saja, yang satu
tidak lebih mulia daripada yang lain.
Sesudah Boe Kie mencuci muka,
si nona mengeluarkan kotak emas yang dikirim Tio Beng.
Apa di dalamnya? tanyanya.
Mungkin racun, mungkin senjata rahasia. Kita harus ber-hati2.
Ya, kita harus berhati-hati,
kata Boe Kie. Ia menaruh kotak itu di atas meja dan sesudah menarik tangan si
nona supaya menyingkir yang agak jauh, lantas ia menimpuknya dengan uang
tembaga. Tring! uang itu kena tepat di pinggir kotak dan tutupannya lantas saja
terbuka.
Boe Kie mendekati dan melongok
ke dalam kotak, yang isinya ternyata bukan lain daripada kembang mutiara yang
pernah dipetik olehnya dari kondai nona Tio. Dua butir mutiara yang katanya
hilang, juga sudah berada di tempatnya. Boe Kie mengawasi dengan mata
membelalak. Ia tahu apa artinya itu.
Thio Kongcoe, kata Siauw Ciauw
sambil tertawa. Thio Kauw-nio bersikap manis luar biasa terhadapmu.
Aku seorang lelaki, perlu apa
dengan perhiasan itu? kata Boe Kie. Siauw Ciauw, kau ambillah.
Si nona tertawa nyaring.
Sambil menggoyang-goyangkan tangannya ia berkata, Tidak! Tak bisa begitu.
Bagaimana aku bisa menerima hadiah itu yang diberikan kepadamu dengan penuh
kecintaan.
Tanpa berkata apa-apa lagi,
Boe Kie segera menjemput kembang mutiara itu. Kena! serunya seraya menimpuk.
Timpukan itu tepat sekali menancap di rambut Siauw Ciauw tanpa melukai kulit
kepalanya.
Si nona mau mencabutnya, tapi
Boe Kie buru-buru mencegah dengan berkata, Anak baik, apakah aku tidak boleh
menghadiahkan sesuatu kepadamu?
Paras muka si nona lantas saja
bersemu merah. Ia menunduk dan berkata, Terima kasih. Tapi aku kuatir Sio-cia
akan menjadi gusar jika ia lihat aku memakai perhiasan ini.
Tidak! bantah Boe Kie. Hari
ini kau berjasa besar. Yo Cosoe, ayah dan anak tidak akan curiga lagi.
Siauw Ciauw jadi girang
sekali. Melihat Kongcoe belum juga kembali, hatiku bingung.
Apalagi belakangan datang
barisan Goan itu yang segera mengurung dan menyerang, katanya. Entah bagaimana,
entah dari mana aku dapat keberanian, tahu-tahu aku memegang bendera dan
berteriak-teriak. Kalau sekarang kuingat kejadian itu, hatiku masih ketakutan.
Thio Kongcoe, kumohon kau mau berkata begini kepada Ngo heng-kie dan Peh
bie-kauw. Untuk segala kekurang ajaran Siauw Ciauw, aku harap kalian tidak kecil
hati.
Boe Kie tersenyum, Kau gila?
katanya, Mereka sebenarnya harus menghaturkan terima kasih kepadamu.
Sambil berjalan, para pemimpin
Beng-kauw beromong-omong membicarakan soal Thio Beng dan coba meraba-raba asal
usulnya. Tapi tak satupun yang bisa menebak. Boe Kie sendiri menceritakan
bagaimana ia mengambil Cui sian leng hoe tapi menyembunyikan hal terjebaknya
dan segala kejadian dalam penjara baja itu. Meskipun benar segala tindakannya
dapat dipertanggungjawabkan. Akan tetapi ia merasa jengah untuk menceritakan
itu. Pada suatu hari, tibalah mereka di daerah Ho-lam.
Jaman itu adalah jaman kalut
rakyat Tiongkok yang mulai bangkit melawan penjajah. Di mana-mana tentara
Mongol mengadakan pemeriksaan yang sangat keras. Untuk menghindarkan kecurigaan
dan mencegah kerewelan, rombongan Beng-kauw dipecah dan kemudian berkumpul lagi
di kaki gunung Siong san, dari sana mereka terus mendaki Siauw sit san, Gouw
Kin Co diperintahkan jalan lebih dahulu dengan membawa karcis nama Boe Kie dan
pemimpin lain untuk dipersembahkan kepada Hong thio Siauw lim sie.
Boe Kie mengerti bahwa dalam
kunjungannya ke Siauw lim sie itu, walaupun dia tidak menghendaki pertempuran,
sesudahnya masih merupakan teka-teki. Manakala pendetapendeta Siauw lim tidak
bisa diajak bicara dan menyerang lebih dulu maka Beng-kauw tidak bisa tidak
melayani. Maka itu ia segera mengeluarkan perintah supaya menyamar sebagai
pelancong, anggota-anggota Ngo heng-kie dan Peh bie-kauw berpencar di seputar
kuil dan mereka harus segera menerjang masuk jika mendengar tiga siulan
panjang, perintah itu segera dijalankan dengan bersemangat.
Tak lama kemudian seorang
Tie-kek ceng (pendeta penyambut tamu) ikut Gouw Kin Co turun dari atas gunung.
Kauw coe, kata pendeta itu kepada Boe Kie. Hong thio dan para Tiang-loo dari
kuil kami sedang menutup diri dan bersemedi sehingga mereka tidak dapat menemui
Kauw coe. Kami harap Kauw coe sudi memaafkan.,
Mendengar itu, paras muka
semua orang langsung berubah.
Pendeta-pendeta Siauw lim
sungguh sombong! kata Cioe Tian dengan gusar. Mereka sama sekali tidak
memperdulikan bahwa yang datang berkunjung adalah Kauw coe kim sendiri. Pendeta
itu menundukkan kepalanya dengan paras duka. Tidak bisa menemui! katanya. Cioe
Tian jadi lebih gusar. Tangannya menyambar untuk mencengkram dada si pendeta
tapi keburu ditangkap oleh Swee Poet Tek. Cioe heng jangan sembrono, bujuknya.
Kalau Hong thio sedang menutup
diri, kami boleh bicara dengan Kong-tie dan Kong-seng Seng ceng, kata Pheng Eng
Giok. Tie-kek ceng itu merangkap kedua tangannya dan berkata dengan suara
dingin, Tidak bisa menemui!
Bagaimana kalau Sioeco dari
Tat-mo tong? tanya Pheng Eng Giok. Jika Sioeco Tat-mo tong juga tak bisa
menemui kami, kami bersedia untuk bicara saja dengan Sioeco Lo-han tong. Tapi
jawaban si pendeta tetap tidak berbeda, Tidak bisa menemui! katanya.
In Thian Ceng meluap darahnya.
Gila! teriaknya. Kau bilang saja apa pemimpin kamu mau menemui kami atau tidak?
Hampir bersamaan dengan bentakannya, ia menghantam sebuah pohon siong tua
dengan kedua tangannya. Pohon itu segera patah dan roboh.
Pendeta itu ketakutan. Kalian
yang datang dari tempat jauh sebenarnya harus diterima dengan segala
kehormatan, katanya. Hanya menyesal para pemimpin kami sedang menutup diri
sehingga kami mohon kalian sudi datang di lain waktu. Seraya berkata begitu, ia
membungkuk dan memutar badan.
Dengan sekali melompat Wie It
Siauw sudah menghadang di depannya. Bolehkah aku mendapat tahu hoat-beng Taysoe
yang mulia? Tanyanya. Hoat beng siauw ceng Hoei-hian, jawabnya.
Mendengar itu semua pemimpin
Beng-kauw dongkol bukan main. Seorang pendeta Siauw lim yang menggunakan nama
Hoei adalah pendeta ketiga yang hidup pada saat itu. Sebagaimana diketahui yang
paling tinggi Kong, sedang yang kedua adalah Goan. Bahwa Siauw lim hanya
mengirimkan seorang wakil dari tingkatan Hoei untuk menyambut pemimpin
Beng-kauw dianggap suatu hinaan paling besar.
Dengan paras muka gusar Wie It
Siauw menepuk pundak pendeta itu. Baiklah! katanya. Taysoe terus menerus
mengatakan tidak bisa menemui. Jika Giam-loo-ong yang memanggil, Taysoe akan
menemui atau tidak?
Begitu ditepuk Hoei-hian
merasakan hawa dingin yang sangat hebat menerobos, sehingga sekujur badannya
gemetaran dan giginya gemelutukan. Sambil menahan rasa dingin itu, dia lari
melewati Wie It Siauw dan terus kabur ke atas gunung dengan langkah limbung.
Sesudah dia dipukul, guru dan
paman-paman gurunya tidak akan menyudahi begitu saja, Boe Kie menyambung
perkataan itu. Sekarang tak ada jalan lain daripada naik ke atas untuk melihat
pendeta-pendeta itu benar-benar tidak mau menemui kita.
Semua orang mengangguk. Mereka
merasa bahwa satu pertempuran hebat tidak bisa dielakkan lagi. Siauw lim-pay
dikenal sebagai gunung Thay-san atau bintang Pak tauw dalam Rimba Persilatan
dan selama ribuan tahun, partai itu dinamakan sebagai partai yang tak pernah
terkalahkan. Hari ini akan diputuskan, apa Beng-kauw atau Siauw lim-pay yang
akan unggul. Mereka tahu bahwa di dalam kuil Siauw lim sie terdapat banyak
orang pandai sehingga hebatnya pertempuran yang akan terjadi sukar dibayangkan
lagi. Mengingat begitu, dengan semangat bergelora para pemimpin Beng-kauw
mendaki gunung.
Berselang kira-kira
sepeminuman teh mereka tiba di pendopo Lip-soat-teng. Dengan rasa terharu Boe
Kie ingat bahwa pada beberapa tahun berselang mereka bersama-sama
Thaysoehoenya, ia bertemu dengan pendeta suci Siauw lim-pay di pendopo itu.
Pada waktu itu ia datang sebagai seorang bocah yang kurus kering yang menderita
keracunan hebat, tapi sekarang ia berkunjung sebagai seorang Kauw coe dari
Beng-kauw yang sangat berpengaruh.
Jangka waktu kunjungan itu
hanya beberapa tahun tapi seolah-olah sudah satu abad.
Boe Kie menahan rombongannya
di pendopo itu. Ia ingin menunggu wakil Siauw lim sie.
Sebelum menggunakan kekerasan,
ia mau bertindak menurut peraturan sopan santun, tapi mereka menunggu dengan
sia-sia.
Ayo kita naik! kata Boe Kie
akhirnya.
Dengan Yo Siauw dan Wie It
Siauw di sebelah kiri dan In Thian Ceng dan In Ya Ong di sebelah kanan, Thian
koan Toojin, Pheng Eng Giok, Cioe Tian dan Swee Poet tek di belakang, Boe Kie
lalu memasuki pintu kuil Siauw lim sie. Setelah berada di dalam ruangan
sembahyang Tay-hiong Po tian, mereka melihat patung Budha yang agung, kursi
meja yang mengkilap, asap hio yang mengepul ke atas dan lampu-lampu yang
menyala tapi dalam ruangan itu tak kelihatan bayangan manusia.
Beng-kauw Thio Boe Kie bersama
Yo Siauw, In Thian Ceng dan lain-lain datang berkunjung untuk bertemu dengan
Hong Tio Tay-soe! teriak Boe Kie yang suaranya disertai Lweekang hebat sehingga
lonceng yang tergantung di dalam ruangan itu mengeluarkan suara ung ung.
Yo Siauw, Wie It Siauw dan
yang lain-lain saling mengawasi dengan perasaan kagum.
Dengan mempunyai seorang
pemimpin yang tenaga dalamnya begitu tinggi, mereka merasa bahwa dalam
pertempuran ini Beng-kauw akan memperoleh kemenangan.
Teriakan Boe Kie bisa didengar
di seluruh kuil tapi sesudah menunggu beberapa lama seorang manusiapun tak
kelihatan batang hidungnya. Hei! Apa kamu mau bersembunyi seumur hidup? teriak
Cioe Thian berangasan.
Mereka menunggu lagi tapi
tetap tiada yang muncul. Sudahlah! kata In Thian Ceng. Sekarang kita tak usah
perdulikan akal apa yang dijalankan mereka, mari kita masuk semua! Seraya
berkata begitu dengan diikuti oleh yang lain ia maju lebih dulu dan terus
menuju ke ruang belakang. Tapi seorang manusiapun tidak ditemui mereka.
Mereka heran tak kepalang.
Siauw lim-pay adalah sebuah partai persilatan yang besar dan sejak dulu sudah
mempunyai nama yang sangat harum. Di dalam kuil terdapat banyak sekali pendeta
yang tinggi ilmu silatnya dan banyak akal budinya. Tapi hari ini mereka
menjalankan tipu kuil kosong. Tipu apa itu? Tak bisa tidak suatu tipu yang
sangat hebat. Mengingat begitu, mereka makin berhati-hati. Mereka waspada pada
setiap tindakan sesudah melewati Ka-lam tian, tapi mereka belum juga menemui
manusia.
Tiba-tiba Wie It Siauw
berkata, Swee Poet Tek, mari kita mengamat-amati dari atas! Swee Poet Tek
mengangguk dan badannya segera mencelat ke atas, tapi sebelum kedua kakinya
menginjak payon rumah, Wie It Siauw sudah berada di atas wuwungan.
Ilmu ringan badan Wie Hong ong
benar-benar tak akan bisa ditandingi oleh Po tay Hweeshio, katanya di dalam
hati.
Hei! Pendeta-pendeta Siauw lim
sie! teriak Cioe Tian. Mengapa kau main bersembunyi terus menerus? Rombongan
Boe Kie menyelidiki dari satu ruang ke lain ruang. Sebegitu jauh mereka bukan
saja belum menemui manusia, tapi juga belum melihat tanda-tanda yang
mencurigakan. Di Lo-han tong ruangan berlatih silat, mereka mendapati kenyataan
bahwa semua senjata yang biasanya terdapat dalam ruangan itu sudah tidak ada
lagi. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, cepat-cepat mereka menuju ke Tat-mo
tong. Dalam ruangan itu di atas lantai, hanya terdapat sembilan lembar tikar
yang sudah separuh rusak.
Dengan alis berkerut, Yo Siauw
berkata, Kudengar Tat-mo tong adalah tempat beristirahatnya para cianpwee dari
Siauw lim sie, di antaranya ada yang tidak pernah keluar dari pintu ruangan ini
selama sepuluh tahun. Mana bisa jadi?...Mana bisa jadi, tanpa bertempur, mereka
menyembunyikan diri?
Hatiku sangat tidak enak,
sambung Pheng Eng Giok. Aku merasa di dalam kuil ini sudah terjadi sesuatu yang
sangat hebat, kejadian yang sangat buruk.
Cioe Tian tertawa nyaring,
Ada-ada saja! katanya.
Tiba-tiba Boe Kie ingat
pengalaman waktu ia belajar Siauw lim Kioe yang kang. Coba kita pergi ke situ,
katanya. Dengan diikuti oleh pengiringnya, ia menuju ke kamar Goan tin. Di
dinding masih terlihat bekas-bekas dari bagian yang dahulu dijobloskan Goan
tin, tapi kamar kosong tiada manusianya.
Coba kita selidiki di Cong
keng kok, kata Yo Siauw.
Di Cong keng kok, rak-rak buku
kosong semua! Ke mana perginya beberapa laksa jilid kitab suci? Semua orang
menggeleng-gelengkan kepala. Mereka benar-benar pusing. Andaikata benar
pemimpin-pemimpin Siauw lim menyingkirkan diri, sepantasnya mereka harus
meninggalkan beberapa orang untuk membersihkan kuil itu. Beng-kauw pasti tidak
menyusahkan mereka itu. Apakah jika mereka meninggalkan beberapa orang pemimpin
Siauw lim sie kuatir rahasianya terbuka?
Semua orang kembali ke Tay
hiong Po thian. Wie It Siauw dan Swee Poet Tek yang menyusul belakangan
melaporkan bahwa sesudah menyelidiki seluruh kuil mereka tidak mendapatkan
apapun jua bahkan si pendeta penyambut tamupun turut menghilang.
Sementara itu, Yo Siauw
memanggil Goan Hoan, pemimpin Houw touw-kie dan memerintahkannya supaya bersama
semua anggota bendera tersebut menyelidiki kalau-kalau di dalam kuil tersebut
terdapat jalan atau tempat rahasia untuk menyembunyikan diri. Dua jam kemudian
Goan Hoan kembali dengan laporan bahwa penyelidikan tidak memberi hasil.
Ia hanya menemukan beberapa
kamar untuk menutup diri dan bersemedi, tapi kamar itu kosong semua. Goan Hoan
adalah seorang ahli bangunan dan di dalam Houw touw-kie terdapat tukang membuat
rumah yang pandai. Maka itu, laporan tersebut boleh tidak diragukan lagi.