Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 33

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 33
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 33

Sesudah menghadapi kematian bersama-sama dan setelah bergaul beberapa hari, dalam hati kedua orang muda itu sudah timbul perasaan yang wajar, yaitu perasaan cinta. Mendengar bujukan si nona yang sangat beralasan, kegusaran Hie Cie lantas saja mereda. Di dalam hati iapun mengakui kebenaran perkataan Ciam Coen. Sebegitu lama persoalan ini belum dapat diselesaikan langsung dengan Thie Khim Sianseng, sebegitu lama jiwanya terancam bahaya.

Melihat Hie Cie masih membungkam, nona Ciam berkata pula. Begini saja. Sekarang kau ikut aku ke Kun lun san. Sesudah itu, jika kau mempunyai urusan penting yang harus diselesaikan, Siauw Moay akan menemani kau untuk membereskannya. Bagaimana pikiranmu?

Hie Cie jadi girang. Baiklah, katanya. Tapi apakah gurumu akan percaya keteranganku?

Soehoe sangat menyayang aku, jawab si nona. Kalau aku memohon, ia pasti takkan mencelakakan kau.

Mendengar perkataan-perkataan nona Ciam, Hie Cie segera mengetahui, bahwa gadis itu sudha jatuh cinta kepadanya. Diam-diam ia bergirang dan merasa sangat beruntung. Ia berpaling kepada Boe Kie seraya berkata, Saudara kecil, mari kita ke Koen loen san beramai-ramai. Di jalan kita takkan merasa kesepian.

Koen loen san ribuan mil panjangnya dengan puncak-puncak yang tak terhitung beberapa banyaknya, kata Ciam Coen. Aku sendiri tak tahu di mana letak Coe-bong-heng. Tapi kita bisa menyelidiki perlahan-lahan dan aku merasa pasti, kita akan dapat menemukannya.
Pada keesokan harinya, Hie Cie menyewa sebuah kereta untuk Boe Kie dan Poet Hwie sedang ia sendiri bersama nona Ciam mengikuti dengan menunggang kuda. Setibanya di sebuah kota besar, Ciam Coen membeli pakaian baru untuk kedua anak itu. Sesudah menukar pakaian yang pantas, Boe Kie berubah menjadi seorang anak tanggung yang berparas tampan dan angker, Poet Hwie seorang gadis cilik yang ayu dan jelita. Sesudah dapat makan dan ngaso cukup, perlahan-lahan badan mereka menjadi lebih gemuk.

Makin hari hawa udara makin dingin. Dengan melindungi Hie Cie dan Ciam Coen, perjalanan berlangsung dengan licin, tanpa menemui halangan apapun jua. Sesudah tiba di Seek hek Koen-loen yang besar dan angker itu berada di depan mata. Mereka berjalan terus dengna banyak derita, karena harus melalui gurun pasir dalam hawa udara yang sangat dingin.

Pada suatu hari, mereka tiba di Sam seng youw (Lembah tiga malaikat) dari Koen loen san. Begitu masuk di dalam lembah, mereka melihat pohon-pohon luar biasa dan mengendus bau harum yang tak kurang anehnya. Souw Hie Cie, Boe Kie dan Poet Hwie merasa kagum bukan main. Mereka tak pernah menduga, bahwa di lembah itu terdapat pemandangan yang sedemikian indah seolah-olah di dalam surga. Di samping itu, hawanyapun tak begitu dingin, karena gunung-gunung yang mengitarinya menahan masuknya hawa dingin.

Dahulu, pendiri Koe-loen pay yaitu Ciok Too yang bergelar Koen-loen Sam-seng telah menggunakan tempo bertahun-tahun untuk memperindah lembah itu yang belakangan dikenal sebagai Sam-seng youw. Ia memerintahkan murid-muridnya pergi ke berbagai tempat di sebelah barat sampai di India untuk mencari pohon-pohon dan pohon-pohon bunga yang aneh-aneh untuk ditanam di lembah tersebut.

Sesudah melewati lembah tersebut Ciam Coen lalu mengajak mereka ke Thia khimkie tempat tinggalnya Thiem khim Sianseng Ho Thay Ciong. Begitu masuk, ia bertemu dengan beberapa saudara seperguruan yang paras mukanya mengunuk rasa bingung dan ketakutan. Mereka mengunjuk dan tak mengeluarkan sepatah kata Ciam Coen kaget. Ada apa? tanyanya dalam hati.

Sambil menarik tangannya seorang adik seperguruan ia bertanya. Apa Soehoe ada?

Sebelum Soemoay itu menjawab, ia sudah mendengar cacian gurunya yang memaki sambil menepuk-nepuk meja. Semua tong nasi, teriaknya. Belum pernah ada pekerjaan yang diurus beres oleh kamu?

Soehoe lagi keluar adatnya, bisik nona Ciam kepada Souw Hie Cie. Kita jangan nubruk paku. Besok saja kita menjumpai beliau.

Tapi sebelum mereka keburu mengundurkan diri, tiba-tiba Ho Thay Ciong berseru. Apa Coen-jie? Mengapa kau tidak lantas menghadap kepadaku? Ada apa kau kasak kusuk? Apa kau sudah mengambil kepalanya bangsat Souw itu?

Paras muka Ciam Coen lantas saja berubah pucat. Buru-buru ia masuk dan berlutut di hadapan gurunya.

Coen Jie, apakah kau sudha menunaikan tugasmu? tanya sang guru.

Orang she Souw itu sekarang berada di luar, jawabnya dengan suara gemetar. Dia sengaja datang kemari untuk meminta ampun. Dia mengatakan bahwa dia seorang tolol dan secara tidak sengaja dia sudah menonton waktu Soehoe berlatih. Tapi dia kata, kiamhoat kita sangat tinggi, sehingga meskipun sudah melihatnya, dia tidak mendapat keuntungan jua dan setengah juruspun tak dapat menirunya.

Sebagai seorang murid yang sudah lama berguru, Ciam Coen mengenal adapt sang Soehoe yang merasa sangat bangga karena kepandaiannya sendiri. Oleh karena begitu, ia sengaja mengemukakan rasa kagum Souw Hie Cie terhadap kiamhoat Koen-loen-pay. Si nona mengharap supaya dalam girangnya dan sang guru akan mengampuni pemuda ini.

Dalam keadaan biasa, mungkin sekali Hou Thay Ciong akan menerima topi tinggi itu dengan segala senang hati. Tapi hari itu ia sedang murung tak dapat digembirakan dengan pujian belaka. Sambil mengeluarkan suara dihidung, ia berkata. Bagus! Kau telah bekerja baik sekali. Penjarakan orang she Souw itu dalam kamar batu di gunung belakang. Aku akan menjatuhkan hukuman belakangan.

Melihat gurunya sedang marah-marah, nona Ciam tidak berani banyak bicara. Baiklah, katanya sesudah berdiam sejenak, ia bertanya. Apa para Soebo baik? Aku ingin pergi ke belakang untuk memberi hormat. (Soebo-istrinya guru)

Ciam Coen sudah menggunakan istilah para Soebo karena Ho Thay Ciang mempunyai tak kurang dari lima istri-gundik dan yang paling disayang olehnya adalah gundik yang kelima. Untuk menolong jiwa Souw Hie Cie, si nona berniat pergi menemui Soebo kelima itu untuk meminta pertolongan.

Di luar dugaan, begitu mendengar pertanyaan muridnya, paras Ho Thay Ciong lantas saja berubah sedih dan sesudah menghela napas panjang ia berkata. Memang ada baiknya jika kau pergi menemui Ngo-kouw. Dia sakit berat. Untung kau pulang siang-siang sehingga masih keburu bertemu muka dengannya.

Nona Ciam terkejut. Ngo-kouw sakit? Sakit apa?  tanyanya.

Sekali lagi sang guru menghela napas. Sungguh bagus kalau kutahu sakit apa, katanya.

Sudah tujuh tabib yang terkenal pandai di undang olehku, tapi tak satupun yang tahu dia sakit apa. Sekujur badannya bengkak hai!.... Ia menggelengkan kepala dan berkata lagi dengan suara mendongkol. Aku mempunyai begitu banyak murid, tapi tak satupun yang berguna. Aku memerintah mereka pergi ke gunung Tiang-pekpsan untuk mencari Loo-san Jie-som, tetapi sesudah pergi dua bulan, seorangpun belum pulang. Aku menyuruh mereka pergi mencari Soat-lian. Sie ouw dan lain-lain obat penolong jiwa semua kembali dengan tangan kosong.

Ciam Coen mengerti bahwa sang guru mengeluarkan kata-kata itu hanya untuk melampiaskan kedongkolannya. Untuk pergi ke Tiang pek san, orang harus melalui perjalanan berlaksa li.

Mana bisa mereka pulang cepat-cepat? Andaikata mereka sudah tiba di gunung itu, belum tentu mereka berhasil mencari Loo san Jie som. Mengenai Soat-lian, Sie-ouw dan lain-lain obat mujijat, sekalipun dicari selama seratus tahun, belum tentu orang bisa berhasil. Memikir begitu, ia rasa bingung dan berkuatir akan keselamatan Souw Hie Cie, Ho Thay Ciong menyayangi gundiknya yang kelima seperti menyayangi jiwa sendiri. Kalau nyonya itu tidak dapat disembuhkan, dia tentu akan menumplek kedongkolannya di atas kepala orang lain. Tapi si nona tidak berani mengeluarkan sepatah kata.

Untuk sekian kalinya, Ho Thay Ciong menghela napas. Dengan menggunakan Lweekang aku telah memeriksa pembuluh darahnya, tapi sedikitpun aku tidak menemui sesuatu yang luar biasa katanya. Huh, huh! Kalau jiwa Ngo kouw tidak tertolong, aku akan memampuskan semua tabib goblok dalam dunia ini!

Coba kutengok padanya, kata Ciam Coen.

Baiklah mari sama-sama, jawab sang guru.

Mereka lalu pergi ke kamar nyonya muda itu. Begitu masuk, si nona mengendus bau obat-obatan yang sangat keras. Ia menyingkap kelambu dan melihat Soebo rebah di ranjang dengan muka seperti Tie Pat Kay (Siluman babi), matanya kecil dalam seolah tidak bisa dibuka lagi. Napasnya tersengal-sengal bagaikan alat penutup api.

Ngo kouw adalah seorang wanita yang sangat cantik. Kalau tak cantik manakah Ho Thay Ciong menyayanginya? Tapi sekarang mukanya seperti mukanya memedi yang menakuti. Melihat begitu Ciam Coen juga menghela napas.

Panggil tabib-tabib goblok itu! bentak Ho Thay Ciong.

Seorang nenek yang menjadi pelayan dalam kamar si sakit, lantas saja keluar dan beberapa saat kemudian, ia kembali bersama tujuh orang tabib yang masuk dengan diiringi suara berkerincingnya rantai besi. Ternyata, mereka diikuti satu sama lain dengan rantai besi dan dilihat dari muka mereka yang pucat pasi, mereka pasti sudah banyak menderita. Mereka adalah tabib-tabib ternama di propinsi Soe-coan, In lam dan Kam siok, yang telah diundang, dengan baik atau dengan paksa, oleh murid-muridnya Ho Thay Ciong. Tapi tak satupun dapat menyembuhkan, gundik yang disayang itu. Bukan saja tak dapat menyembuhkan, bahkan pendapat mereka mengenai sebab musebab penyakit itu pun berbeda. Ho Thay Ciong telah mengancam bahwa jika Ngo kouw mati, ketujuh tabib-tabib goblok itu akan dikubur hidup-hidup. Mereka sudah memeras otak dan memberi macam-macam obat, tapi penyakit Ngo kouw tidak jadi mendingan. Setiap kali memeriksa penyakit nyonya itu, mereka tidak habis-habisnya dan saling menyalahkan. Yang satu menuduh yang lain sebagai manusia goblok. Kali ini tidak berbeda. Sesudah memeriksa nyonya itu, mereka segera tarik urat.

Ho Thay Ciong jadi gusar dan ia mencaci sambil berteriak-teriak.

Mendadak, serupa ingatan berkelabat dalam otak Ciam Coen. Soehoe, katanya, Dari Holam teecoe membawa seorang tabib, yang biarpun usianya masih muda, kepandaiannya banyak lebih tinggi daripada tabib-tabib itu.

Sang guru girang. Mengapa kau tidak memberitahukan terlebih siang, katanya tergesa-gesa. Lekas lekas undang padanya.

Nona Ciam segera keluar dari kamar dan tak lama kemudian, ia kembali bersama Boe Kie. Begitu melihat wajah Ho Thay Ciong, Boe Kie segera ingat bahwa orang tua itu adalah salah seorang yang sudah turut merekan, sehingga kedua orang tuanya membunuh diri. Mengingat peristiwa hebat itu, darahnya lantas saja naik.

Tapi Thie Kim Sianseng sendiri tentu saja tidak mengenalinya. Sesudah berselang beberapa tahun, muka si bocah sudah banyak berubah. Dengan perasaan ia mengawasi Boe Kie yang baru berusia kira-kira lima belas tahun. Rasa sangat itu bercampur juga dengna rasa mndongkol karena si bocah bukan saja tidka menjalankan peradatan dengan berlutut, bahkan sikapnya tawar dan agung-agungan. Tapi ia tidak menghiraukan semua itu. Apa dia tabib yang dipujikan olehmu? tanyanya sambil mengawasi muridnya.

Benar, jawab si nona. Saudara kecil in mempunyai kepandaian yang sangat tinggi.

Ho Thay Ciong mengeluarkan suara di hidung. Ia tak percaya.

Waktu teecoe kena racun bunga To-lo hijau saudara kecil inilah yang mengobati teecoe, menerangkan Ciam Coen. Sekali ini sang guru terkesiap. Racun bunga To lo hijau adalah racun yang sangat lihai menurut anggapannya, tanpa obat pemunah yang diberikan olehnya sendiri, siapa yang kena pasti akan mati. Kalu benar bocah itu bisa memunahkan racun tersebut ia benar-benar lihay. Maka dari itu, sambil menatap wajah Boe Kie, ia bertanya dengan suara manis. Anak muda, benarkah kau bisa mengobati penyakit?

Mengingat nasib kedua orang tuanya, Boe Kie membenci si tua itu. Tapi pada hakekatnya ia memiliki sifat-sifat mulia dan ia seorang yang mudah melupakan segala sakit hati. Kalau tidak memiliki sifat yang baik itu, mana mau ia mengobati orang-orang seperti Kan Ciat dan Sie Kong Wan? Ia merasa, bahwa Koen loen pay mempunyai andil sebagai partai yang turut menjadi gara-gara dari kebinasaan orang tuanya. Tapi ia adalah seorang yang tidak bisa menonton kebinasaan tanpa mengulurkan tangan. Maka itulah, ia sudah menolong Ciam Coen, seorang murid Koen loen pay, dan Souw Hie Cie. Sekarang mendengar pertanyaan si tua, meskipun hatinya gusar, ia manggutkan kepalanya.

Begitu masuk, ia mengendus bau luar biasa. Sesaat kemudian, ia merasa bau itu berubah-ubah sebentar keras, sebentar hilang. Ia mendekati mengawasi muka si sakit dan memegang nadinya. Mendadak ia mengeluarkan sebatang jarum emas yang lain ditusukkan di muka Ngo kouw yang bengkak seperti labu.

Ho Thay Ciong terkejut. Bikin apa kau? bentaknya serta mengangsurkan tangan untuk menjambret Boe Kie, tapi bocah itu sudah mencabut jarumnya. Ternyata bekas tusukan jarum sama sekali tidak mengeluarkan darah atau cair. Boe Kie lalu mencium-cium jarum itu dan manggut-manggutkan kepalanya. Sehingga dalam hati Thie Kim Sianseng timbul harapan baru. Saudara saudara kecil, katanya. Apakah ada harapan? Bahwa sebagai seorang pemimpin sebuah partai persilatan, ia sudah menggunakan istilah saudara kecil merupakan bukti, bahwa ia berlaku hormat terhadap si bocah.

Tapi Boe Kie tidak menyahut. Sekonyong-konyong ia merangkak ke kolong ranjang dan sesudah memeriksa kolong ranjang itu beberapa saat, barulah ia keluar lagi. Kemudian ia membuka jendela dan mengawasi pohon-pohon bunga yang ditanam di dalam taman. Mendadak ia melompat dan keluar dari jendela lalu berdiri tegak sambil memandang pohon-pohon di sekitarnya, seolah-olah ia sedang menikmati bunga-bunga yang beraneka warna dan harum baunya.

Ho Thay Ciong mendongkol. Karena sangat mencintai gundiknya itu, maka ia sudah memerintahkan muridnya untuk menanam pohon-pohon bunga yang luar biasa dan mahal harganya di luar jendela kamar Ngo kouw. Sekarang, ia sedang mengharap-harap pertolongan selekas mungkin, sebaliknya dari menolong, si tabib cilik membuang-buang waktu dengan mengawasi pohon-pohon bunga itu. Bagaimana ia tak jadi mengeluh?

Sesudah berdiri beberapa lama, Boe Kie kembali manggut-manggutkan kepalanya, ia balik ke kamar.

Penyakit itu masih dapat diobati, tapi aku tak sudi mengobatinya, katanya dengan suara kaku. Ciam Kouwnio, aku mau pergi.

Saudara Thio, kumohon pertolonganmu, kata nona Ciam. Kalau kau bisa menolong Ngo kouw, segenap anggota Koen loen pay, dari atas sampai di bawah, akan merasa sangat berterima kasih. Saudara Thio, tolonglah.

Boe Kie menggelengkan kepalanya sambil menuding Ho Thay Ciong, ia berkata, Dia, Thie Kim Sianseng, turut mengambil pada bagian waktu sejumlah manusia kejam memaksa kedua orang tuaku membunuh diri. Perlu apa aku menolong jiwa gundiknya?

Ho Thay Ciong terkesiap. Saudara kecil, kau she apa? tanyanya. Siapa ayah dan ibumu?

Aku she Thio, jawabnya dengan suara tawar.

Mendiang ayahku adalah murid kelima dari Boe tong pay.

Si tua jadi lebih kaget lagi. Baru sekarang ia tahu, bahwa anak tanggung itu puteranya Thio Coei San. Buru-buru ia mencoba dan berkata.

Saudara Thio, pada waktu ayahmu masih hidup, aku bersahabat baik dengannya. Bahwa ia telah membunuh diri sudah sangat mendukakan hatiku

Setelah kedua orang tuamu meninggal dunia, beberapa kali Soehoe menangis. Ciam Coen menambah dusta gurunya. Beliau sering mengatakan bahwa mendiang ayahmu adalah sahabatnya yang paling akrab.

Boe Kie bersangsi, ia setengah percaya, setengah tidak. Tapi, sebagaimana telah dikatakan, ia adalah seorang yang mudah melupakan sakit hati lama. Maka itu, lantas saja berkata, Hoe jin (nyonya) bukan mendapat penyakit aneh. Ia kena racun dari Kim gin Hiat.

Ular Kim gin Hiat? tegas guru dan murid itu hampir berbarengan. Mereka kaget dan heran, karena nama ular itu belum pernah didengar mereka.

Benar, jawabnya. Akupun belum pernah melihat ular itu. Aku menarik kesimpulan itu karena muka Hoejin, lihatlah apa di situ terdapat luka gigitan yang sangat kecil.

Ho Thay Ciong buru-buru menyingkap selimut yang menutupi tubuh Ngo kouw dan menarik jari kakinya. Benar saja di setiap ujung jari kaki terdapat luka besar yang berwarna hitam. Karena terlalu kecil, jika tidak diperhatikan, luka itu tidak kelihatan.

Melihat begitu, si tua tidak menyangsikan lagi kepandaian Boe Kie. Benar, benar, katanya, Setiap ujung jari kakinya benar terluka. Saudara kecil kau sungguh pandai. Sesudah mengetahui sebab musebab penyakit itu, saudara kecil pasti dapat menyembuhkannya. Sesudah dia sembuh aku akan memberi hadiah yang besar. Ia berpaling kepada tujuh tabib tolol itu dan membentak, Kamu semua manusia tolol! Tabib goblok!

Penyakit Hoejin memang luar biasa dan kita tak dapat menyalahkan mereka, kata Boe Kie, Ho Sianseng biarkanlah mereka pulang saja!

Baik, baik, kata si tua. Sesudah saudara kecil berada di sini, memang perlu apa tabib-tabib goblok itu berdiam lebih lama lagi? Coen jin, berikan seratus tail perak kepada setiap orang dan suruh mereka pergi segera.

Ketujuh tabib itu girang bukan main dan sesudah menerima hadiah, cepat-cepat mereka berlalu.

Coba suruh beberapa bujang menggeser ranjang Hoe jin, kata Boe Kie. Di bawah kaki ranjang terdapat dua lubang kecil dan lubang itu adalah tempat keluar masuknya ular Kim gin Hiat.

Tanpa meminta bantuan lagi, Ho Thay Ciong segera mencekal kaki ranjang yang lalu digesernya. Sesuai seperti yang dikatakan Boe Kie, di bawahnya terdapat lubang kecil.

Si tua girang bercampur gusar. Lekas ambil belirang dan api! teriaknya, Begitu dia keluar aku akan cincang!

Boe Kie menggoyangkan tangannya. Tak boleh, tak boleh begitu, katanya. Racun yang mengeram di dalam badan Hoejin harus dipunahkan oelh ular itu juga. Kalau kau bunuh Hoejin tak dapat disembuhkan lagi!

Oh begitu? kata si tua dengan rasa heran.

Mengapa begitu?

Ho Sianseng, terang si bocah sambil menunjuk taman bunga yang berada di luar jendela. Penyakit Hoejin karena gara-gara delapan pot bunga anggrek Leng cie lan itu.

Leng cie lan? tegas Ho Thay Ciong.

Baru sekarang ia tahu, anggrek itu Leng cie lan namanya. Karna tahu aku suka menanam bunga, seorang sahabat yang datang dari wilayah Barat, See hek, dan yang membawa delapan pot bunga itu, sudah menghadiahkannya kepada aku. Bunga itu sangat indah dan harum. Hm!...Aku tak tahu dia bibit penyakit.

Menurut katanya kitab ilmu ketabiban, Leng cie lan berubi, yang bentuknya bundar seperti bola, warnanya merah api dan di dalam ubi itu terdapat racun yang sangat hebat, Boe Kie melanjutkan keterangannya, Cobalah gali.

Ketika itu, semua Koen loen pay sudah tahu bahwa Boe Kie sedang coba mengobati penyakit Ngo kouw yang luar biasa.

Murid-murid lelaki tidak berani masuk, tapi keenam murid perempuan sudah berada dalam kamar itu. Begitu mendengar keterangan Boe Kie dua antaranya lantas saja mengambil cangkul dan menggali sebuah pot. Benar saja ubi pohon anggrek itu bundar dan warnanya merah. Karena tahu beracun, mereka tidak berani menyentuhnya.

Sekarang aku minta kalian menggali semua pohon anggrek itu dan taruh ubinya dalam sebuah mangkok kayu, kata si bocah pula. Tambahkan delapan biji telur ayam dan semangkok darah ayam. Pukul campuran itu sampai menjadi hancur. Tapi yang mengerjakannya harus berhati-hati, harus menjaga sampai campuran itu tidak mengenai kulit.

Ciam Coen bersama dua orang saudara seperguruannya lantas saja bertindak keluar untuk melakukan apa yang diminta. Sesudah itu, Boe Kie minta juga dua buah bumbung bambu dan sebatang tongkat bambu.

Tak lama kemudian, ubi Leng cie land an campurannya sudah dipukul menjadi cairan kental. Boe Kie segera menuang cairan itu di lantai dan membuat sebuah lingkaran. Pada lingkaran itu ditinggalkan sebuah lubang yang lebarnya kira-kira dua dim. Sambil mengawasi semua orang, ia berkata, Kalau sebentar terjadi kejadian luar biasa, kuharap kalian jangan bersuara supaya ular itu tidak menjadi kaget dan menggigit kalian. Harap kalian menutup hidung dengan kapas. Semua orang lantas saja menuntut, sedang racun lalu menutup hidungnya dengan sedikit kapas.

Sesudah itu, ia mengambil api dan membakar daun-daun Ling cie lan di samping lubang. Kira-kira minuman teh, dari lubang sebelah kiri keluar seekor ular yang badannya merah dan di kepalanya terdapat semacam topi daging yang berwarna emas. Ular itu ternyata mempunyai empat kaki dan panjang badannya kira-kira delapan dim. Baru saja Kim koan Hiat coa (ular darah topi emas) keluar, dari lubang sebelah kanan kembali muncul seekor ular lain yang badannya lebih pendek dan topi dagingnya berwarna perak. Ular yang belakangan dinamakan Gin koan Hiat coa, ular darah topi perak. Sepasang ular itu dinamakan Kim gin Hiat coa yaitu ular darah emas perak.

Sambil menahan napas, Ho Thay Ciong dan murid-muridnya mengawasi kedua binatang itu. Mereka tahu, bahwa kalau ular-ular itu sampai lari, penyakit Nog kouw sukar disembuhkan lagi.

Jilid 28

Transcriber: Thor

Kedua ular itu saling mendekati dan mengeluarkan lidah mereka, yang bertopi emas menjilat punggung ular yang bertopi perak, sedang yang bertopi perakpun menjilat punggung yang bertopi emas. Sambil menunjukkan sikap saling mencintai itu. Perlahan-lahan mereka saling mendekati lingkaran.Buru2 Boe Kie memasang kedua bumbung bambu dilubang lingkaran dan dengan tongkat bambu, ia menggebrak buntut Gin-koan Hiat-coa. Sekali berkelebat ular itu sudah masuk kedalam bumbung. Kim-koan Hiat-coa masuk ikut masuk, tapi karena bumbung itu kecil, dan hanya memuat seekor ular dia tidak berhasil. Tiba2 ia mengeluarkan suara nyaring luar biasa. Boe Kie segera mencekal bumbung yang lain dan menggebrak pula buntut si topi emas yang sekali lompat, sudah masuk ke dalam bumbung. Si bocah lalu mengambil sumbat kayu dan menyumbat lubang bumbung.

Sedari Kim-gin Hiat-coa keluar, semua orang mengamati dengan menahan nafas dan jantung berdebar. Sesudah Boe Kie menutup bumbung, barulah barulah mereka bernafas lega.

Coba masak air dan cuci lantai sampai bersih, supaya racun Leng cie lan tidak ketinggalan kata si bocah. Enam murid perempuan lantas mengiakan dan tak lama kemudian lantai sudah di cuci dengan air panas.

Sesudah itu, Boe Kie minta supaya semua jendela dan pintu ditutup rapat dan ia minta pula Toet hong, Beng pan, Thay Hong, Kam co dan beberapa bahan obat lain yang harus digiling halus dan dicampur kapur.

Campuran ini lalu dimasukkan kedalam bumbung Gin-koan Hiat-coa. Ular itu lantas saja mengeluarkan suara nyaring, disambut oleh si topi emas. Boe Kie lalu mencabut sumbat bumbung Kim-koa Hiat-coa yang lantas saja keluar dan jalan memutari bumbung si topi perak. Dari gerak-geriknya, ia kelihatan dalam kebingungan. Tiba2 ia naik ke atas ranjang dan menyelinap ke dalam selimut Ngo kouw.

Ho Thay Ciong terkesinap, hampir saja berteriak, tapi Boe Kie keburu mengoyang2kan tangannya.Sambil tersenyum si bocah menyingkap selimut dan ternyata ular itu sudah menggigit ujung jeriji kaki Ngo kouw. Dia akan menghisap racun dalam tubuh Hoejin, katanya dengan paras muka girang.

Makin lama ular itu makin besar dan kira2 semakanan nasi, dia sudah lebih besar berlipat ganda, sedang topinya bersinar terang. Tak lama kemudian dia turun dari ranjang, dan Boe Kie lalu mencabut sumbat bumbung Gin-koan Hiat-coa. Si topi emas lantas saja memuntahkan darah beracun kedalam topi perak.

Cukuplah ! kata si bocah. Setiap hari mereka menghisap dua kali. Sesudah itu akan menulis surat obat untuk menghilangkan bengkak dan menguatkan badan. Dalam sepuluh hari Hoejin akan sembuh seanteronya.

Tak kepalang girangnya Hoe Thay Ciong yang lalu mengajak Boe Kie ke kamar buku. Saudara kecil kau mempunyai kepandaian seperti malaikat. Katanya.  Tapi apakah aku boleh tahu latar belakang dari kejadian ini?.

Menurut Kitab Tok Boet Tay Coan, dalam urutan racun, Kim-gin Hiat-coa jatuh nomor tiga puluh tujuh, menerangkan si bocah. Biarpun mereka bukan termasuk binatang beracun terlihay, tapi mereka mempunyai satu keistimewaan, iyalah mereka suka sekali makan racun. Leng cie lan yang ditanam di luar jendela kamar Hoejin, yang mengandung racun sangat hebat, dan sudah mengundang kedua ular itu.

Ho Thay Ciong manggutkan kepalanya.

Kim-gin Hiat-coa adalah sepasang, yang satu lelaki, yang satu perempuan. Kata si bocah.

Tapi dengan menggunakan Tay Hong, Kam Coe dan lain2, aku membakar Gin-koan Hiat-coa. Untuk menolong kawan hidupnya, Kim-koan Hiat-coa mesti menghisap racun dalam tubuh Hoejin. Sebentar, sesudah berselang tiga jam, aku akan membakar ular lelaki, yaitu Kim-koan Hiat-coa, dan ular perempuan pasti akan menghisap darah beracun dalam tubuh Hoejin untuk menolong yang lelaki. Dan begitu seterusnya sehingga darah beracun habis dihisap.

Malam itu, dengan penuh kegembiraan Ho Thay Ciong menjamu Boe Kie dan Poet Hwie.

Selang beberapa hari, bengkak dimuka Ngo kouw mulai kempes. Semangatnya pulih dan sedikit sedikit ia sudah bisa makan dan minum. Sesudah lewat sepuluh hari, ia sembuh seluruhnya.

Hari itu Ngo kouw menjamu Boe Kie untuk menghaturkan rasa terima kasih dan mengundang juga Ciam Coen. Mukanya masih pucat, tapi kecantikkannya tidak berkurang. Ho Thay Ciong menemui dengan hati berbunga. Dengan menggunakan kesempatan itu, nona Ciam suka memohon kepada gurunya menerima Souw Hie Cie sebagai muridnya.

Si tua tertawa terbahak2. Coen jie katanya, siasat menyentak kayu bakar dari bawah kuali sungguh bagus. Kalau aku menerima bocah she Souw itu sebagai murid, dibelakang hari kubakal turunkanilmu pedang Liong Heng It Pit Kiam kepadanya. Dengan demikian kedosaannya mencari Kim-hoat tiada artinya lagi.

Nona Ciam tertawa lalu berkata, Soehoe kalau bocah she Souw itu tidak mencuri kiam-hoat, teecoe tentu diperintah mencari dia dan tak akan bertemu dengan Thio Sieheng. Soehoe dan Ngo kouw mempunyai rejeki yang sangat besar. Tapi kalo dihitung2, bocah she Souw itu juga turut berjasa.

Kau mempunyai begitu banyak murid. Tapi diwaktu perlu, hampir semua tak ada gunanya menyambuti Ngo kouw. Kalau Cim Kouwnio penuju bocah itu.Terimalah. dibelakang harimungkin sekali akan menjadi muridmu yang paling boleh diandalkan.

Ho Thay Ciong yang belum pernah membantah kemauan gundik itu, lantas mengangguk dan berkata. Baiklah aku terima, tapi ada syaratnya.

Syaratnya apa? tanya gundik.

Sesudah menjadi muridku dia harus belajar sunguh2, kata si tua. Syaratnya yaitu, dia tidak boleh memikir yang gila2 menikah dengan Coen Jie.

Paras nona Ciam lantas saja berubah merah dan ia lalu menunduk. Ngo Kouw tertawa cekikikan. Aduh sebenarnya kau harus mengaca, katanya. kau sendiri mempunyai beberapa istri dan gundik, tapi kau melarang muridmu menikah.

Si tua yang hanya ingin mengoda Ciam Coen lantas saja tertawa terbahak-bahak. Minum, minumlah! katanya.

Selagi bermakan minum sambil beromong2. Seorang pelayan kecil datang membawa sebuah nampan yang diatasnya terdapat sebuah poci arak. Ia segera menuangkan arak itu ke semua cawan. Saudara Thio kata si tua, arak ini keluaran istimewa dari Koen Loen San, dibuat dari bit lay (buah lay muda) dan dinamakan Houw-pek Bit lay cioe. Hayolah kau harus minum beberapa cangkir. Arak itu berwarna kuning emas dan harum baunya.

Boe Kie sebenarnya tidak suka minum arak tapi karena mengendus bau yang sangat harum. Ia jadi tertarik lalu mencekal cawan. Tapi, sebelum menceguknya, Kim-gin Hiat-coa yang berada dalam sakunya tiba2 bersuara dan meronta-ronta didalam bumbung. Tahan! Jangan minum arak itu! kata Boe Kie.

Semua orang kaget dan serentak menaruh cawan dimeja. Si bocah segera mengeluarkan bumbung Kim-koan Hiat-coa dan mencabut sumbatnya. Ular itu lalu berjalan mengitari cawan arak dan kemudian minum isinya. Dengan beruntun ia minum tiga cangkir.

Setelah mengembalikan si topi emas kedalam bumbung. Boe Kie lalu mengeluarkan si topi perak yang minum tiga cawan. Kedua ular itu saling mencintai, sehingga kalau hanya satu yang dilepaskan, yang satu takkan lari. Selain itu ia sangat menurut kemauan majikan. Tapi bila dilepas kedua2nya, dia bukan saja akan kabur, tapi malah mungkin menyerang manusia.

Saudara Kecil, kata Ngo kouw sambil tertawa, ular itu suka minum arak sungguh menarik.

Coba suruh orang tangkap anjing atau kucing lalu suruh bawa kemari. Kata Boe Kie.

Baiklah kata si pelayan.

Ciecie berdiam saja disini, cegah si bocah. Biar orang lain saja yang menangkapnya.

Tak lama kemudian seorang pelayan lain datang dengan membawa anjing. Boe Kie lalu mengambil arak dan menuangkannya ke mulut anjing itu. Berapa saat kemudian sesudah menyalak beberapa kalibinatang itu seketika roboh mati dengan mengeluarkan darah dari mulut, kuping dan hidungnya.

Ngo kouw menggigil. Araknarak itu beracun.. katanya terputus putus. Siapa yang coba membinasakan kita? Saudara Thio bagaimana kau tahu?

Kim-gin Hoat-coa suka makan racun dan begitu mengendus bau racun, mereka bersuara dan meronta ronta, menerangkan Boe Kie.

Paras muka Ho Thay Ciong pucat bagaikan kertas. Sambil mencekal pelayan kecil itu, ia bertanya dengan suara perlahan Siapa yang menyuruh kau membawa arak itu?

Si pelayan ketakutan setengah mati.dengan suara gemetar dia menjawab Aku aku tak tahu.arak itu beracun. Aku mengambil dari dapur.

Waktu kau datang kemari dari dapur, apa kau bertemu dengan orang lain? tanya pula si tua.

Ya, di lorong aku bertemu dengan Heng Hong. jawabnya. Ia menarik tanganku dan mengajakku omong2. Sesudah itu ia membuka tutup poci dan mencium2 arak itu.

Ho Thay Ciong. Ngo kouw dan Ciam Coen saling mengawasi.Heng Hong adalah seorang pelayan kepercayaan istri pertama dari si tua.

Ho sianseng, kata Boe Kie, dalam hal penyakitnya Hoejin ada sesuatu yang sangat mengherankan dan tak dapat dipecahkan olehku. Baru sekarang aku melihat latar belakangnya.coba pikir, mengapa kedua ular itu menggigit kaki Hoejin? Sekarang aku mendapatkan jawabannya. Sebabnya ialah dalam tubuh Hoejin memang sudah ada racun, dan racun itu mengundang Kim-gin Hiat-coa. Menurut pendapatku, orang yang meracuni Hoejin adalah orang yang menaruh racun didalam poci arak.

Sebelum si tua menjawab, sekonyong-konyong tirai pintu tersingkap dan satu bayangan manusia berkelebat. Hampir berbareng Boe Kie merasa bahwa teteknya sakit bukan main. Jalan darahnya sudah ditotok orang.

Benar! Aku meracuni! demikian terdengar suara yang sangat nyaring. Orang yang berkata, badannya jangkung, matanya berpengaruh dan pada paras mukanya terlihat sinar pembunuhan. Sambil menengok pada Hong Thay Ciong ia berkata Akulah yang sudah menaruh ular kelabang ke dalam arak. Mau apa kau?.

Dengan mata membelalak Ngo kouw mengawasi wanita itu. Perlahan-lahan ia bangkit dan berkata sambil membungkuk. Tai tai! (tai tai, nyonya besar).

Wanita itu adalah istri pertama dari Hong Thay Ciong, namanya Pan Siok Ham. Ia memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, lebih tinggi dari suaminya yang sangat takut terhadapnya. Takut memang takut, tapi si tua tetap mengambil gundik dan setiap kali mengambil gundik baru, rasa takutnya setiap kali bertambah.

Melihat kedatangan si harimau betina, si tua tak berani mengeluarkan suara.

Eh aku bertanya, aku yang menaruh racun, mau apa kau? bentak sang istri.

Biarpun kau membenci pemuda itu, sepak terjangmu keterlaluan, kata Hong Thay Ciong.

Kalau aku tidak keburu mengetahuinya, bukankah sekarang sudah mati?

Semua bukan manusia baik2, aku memang ingin kamu mampus semua, kata nyonya galak itu. Ia menggoyang-goyang poci arak yang ternyata masih banyak isinya.

Ia segera menuang secawan penuh dan menaruh didepan si tua. Sebenarnya aku ingin mamouskan kamu berlima, katanya. tapi setan kecil itu keburu mengendus rahasia. Sekarang aku bersedia mengampuni emapt orang. Tapi arak itu harus diminum oleh salah seorang. Aku tak peduli siapa yang mau meminumnya. Terserah pada kau setan tua! seraya berkata itu, ia menghunus pedang.

Pan Siok Ham adalah seorang murid terlihay dari Koen Loen Pay. Ia berusia lebih tua daripada Ho Thay Ciong dan lebih dulu belajar di Koen Loen San. Diwaktu muda, Ho Thay Ciong berparas tampan dan sangat dicintai oleh soecienya. Karena kebentrok dengan seorang cianpwee dari Beng Kauw, guru mereka mati mendadak, sebelum keburu memberi pesanan kepada murid2nya. Oleh karena begitu murid itu segera berebut kedudukan Ciang boejin. Masing2 sungkan mengalah. Pan Siok Ham tampil kemuka dan membela Ho Thay Ciong, sehingga pada akhirnya, si tua berhasil merebut tampuk pimpinan. Sebab merasa berhutang budi, ia segera menikah dengan soecienya itu. Diwaktu muda segala apa masih berjalan licin. Tapi sesudah sang istri berusia lanjut, dengan menggunakan alasan tidak mempunyai keturunan, ia mengambil gundik. Satu demi satu. Tapi makin banyak gundiknya, makin takut terhadap istrinya yang galak itu.

Melihat arak racun itu, sedikitpun ia tak dapat ingatan untuk membantah. Aku sendiri tentu tidak boleh meminumnya. Katanya didalam hati. Ngo kouw dan Coen jie juga tak boleh. Boe Kie tidak boleh. Boe Kie seorang tuan penolong. Hanya perempuan kecil saja yang tiada sangkut pautnya denganku, Memikir begitu, ia segera bangkit dan menaruh cawan arak didepan Yo Poet Hoei. Anak kau minumlah, katanya.

Si nona cilik ketakutan. Ia sudah menyaksikan dengan mata sendiri kebinasaannya seekor anjing. Ia menangis dan berkata. Tak mau! Arak itu ada racunnya.

Si tua segera mencengkram dada Poet Hoei tapi sebelum ia bisa menuang arak itu kedalam mulut si nona, Boe Kie sudah berkata dengan suara dingin. Biar aku yang minum.

Si tua bersangsi, biarpun tak tahu malu ia merasa tak tega.

Pan Siok Ham yang sangat membenci Boe Kie lantas saja berkata. Seta cilik itu sangat licik, mungkin sekali ia sudah menyediakan obat pemunah. Kalau ia yang minum, secawan tak cukup. Dia harus minum kering sisa arak yang ada dalam poci.

Si bocah mengawasi Ho Thay Ciong dengan harapan ia akan coba membujuk istrinya. Tapi dia menutup mulut. Ciam Coen dan Ngo kouw tidak berani mengeluarkan sepatah kata. Mereka khawatir, kalau banyak bicara, harimau betina itu akan menjadi gusar dan menumplak hawa amarah diatas kepala mereka.

Hati Boe Kie dingin bagaikan es. Jiwa beberapa orang itu ditolong olehku. Pikirnya. Tapi waktu jiwaku sendiri terancam, mereka berpeluk tangan. Jangankan menolong, bicara saja mereka tak berani. Memikir begitu ia menghela nafas. Ciam Kouw nio, katanya. Sesudah aku mati aku minta pertolonganmu untuk mengantar adik kecil ini kepada ayahnya di puncak Co Bo Hong. Apakah kau sudi melakukan itu?.

Ciam Coen melirik gurunya yang lalu manggut-manggutkan kepala. Baiklah, kata nona Ciam.

Boe Kie tahu bahwa wanita itu tidak bersungguh2. tapi ia mengerti, terhadap manusia yang tidak berbudi, tak guna ia bicara banyak2. ia tertawa dingin dan berkata dengan suara yang dingin pula. Koen Loen Pay dikenal sebagai partai yang lurus bersih. Aku tak nyana Koen Loen Pay dalam sedemikian. Ho sianseng mari poci itu.

Mendengar ejekan yang sangat menusuk, si tua merasa sangat gusar. Lebih cepat ia mampus, lebih baik lagi, pikirnya. Ia segera mengangkat poci arak dan menuang semua isinya kedalam mulut Boe Kie. Sambil menangis, Poet Hoei memeluk kakaknya.

Biarpun ilmu ketabibanmu sangat tinggi, aku bisa mencegahmu menolong jiwamu, kata Pan Siok Ham yang lalu mengirim beberapa totokan ke jalan darah Boe Kie. Sesudah itu, dengan menggunakan gagang pedang, ia juga menotok jalan darah Ho Thay Ciong, Ngo kouw, dan Ciam Coen. Sesudah dua jam barulah aku melepaskan kamu, katanya. Waktu ditotok, Ho Thay Ciong bertiga sama sekali tidak berani bergerak.

Semua keluar, bentak si harimau betina. Dan semua pelayan buru2 keluar. Pan Siok Ham keluar paling belakang dan mengunci pintu.

Beberapa saat kemudian Boe Kie merasa perutnya sakit bukan main. Melihat nyonya itu sudah berlalu dan mengunci pintu, hatinya jadi lebih lega. Sambil menahan sakit, ia mengerahkan Lweekang dan dengan ilmu yang didapat dari Cia Soen ia membuka semua jalan darah yang ditotok.sesudah kaki tangannya merdeka, ia segera mencabut beberapa lembar rambut yang lalu digunakan untuk menggilik tenggorokannya. Ia muntah2 dan sebagian besar arak beracun itu sudah dimuntahkannya.

Melihat si bocah bisa membuka jalan darahnya sendiri, Ho Thay Ciong bertiga merasa sangat kagum. Si tua sebenarnya ingin menghalangi Boe Kie, tapi ia tidak bisa bergerak. Racun dalam perut Boe Kie belum keluar semua tapi ia tidak bisa muntah lagi. Paling dulu aku harus menyingkir, pikirnya. Ia menghampiri Poet Hoei dan mencoba membuka jalan darah si nona, tapi tidak berhasil, karena totokan Pan Siok Ham lain daripada ilmu yang lain. Maka ia segera membuka jendela dan setelah melihat tidak ada orang, ia lalu mendukung Poet Hoei dan menurunkannya dikuar jendela.

Jika menggunakan Lweekang, dalam tempo kira2 setengah jam Ho Thay Ciong akan bisa membuka jalan darahnya sendiri. Tapi Boe Kie sudah siap untuk melarikan diri, dan jika istrinya menanyakan, satu gelombang hebat akan terjadi pula. Disamping itu, jika seorang bocah Boe Tong Pay bisa kabur dengan tangan kosong dari Sam Seng Tong dan kemudian menguar2kan kebusukannya sebagai manusia yang tak mengenal budi, sebagai seorang pemimpin partai besar, dimana ia harus menaruh muka? Maka itu, biar bagaimanapun juga, kaburnya bocah itu harus dicegah.

Memikir begitu ia lantas saja menarik nafas dalam2 untuk berteriak memanggil istrinya. Tapi Boe Kie sudah lantas bisa menebak niatnya. Ia mengeluarkan sebuah pil berwarna hitam yang lalu dimasukan ke dalam mulut Ngo kouw. Pil ini racun Kioe Pie Wan, katanya. Berselang dua belas jam, orang yang memakannya akan mati dengan usus putus dan jantung hancur. Aku akan menaruh obat pemunah disatu pohon yang jauhnya tiga puluh li dari sini. Pohon itu akan diberi tanda dan tiga jam kemudian Ho sianseng boleh menyuruh orang untuk mengambilnya. Bilamana aku tertangkap dan mati, aku bukan mati sendirian.

Kejadian itu tidak disangka2 oleh Ho Thay Ciong. Sesudah memikir sejenak, ia berkata denga suara perlahan. Biarpun Sang Seng Tong bukan kobokan naga atau sarang harimau, kurasa seorang yang sepertimu takkan bisa keluar dari tempat ini.

Boe Kie tahu bahwa dengan berkata begitu, si tua buka omong besar. Tapi ia bersikap acuh tak acuh dan berkata dengan suara tawar.

Menurut pendapatku, kecuali dengan obatku sendiri, racun Kioe Pie Wan tak akan bisa dipunahkan dengan apapun juga.

Ho Thay Ciong mengerutkan alis, Baiklah katanya Bukalah jalan darahku, aku akan mengantarmu keluar dari tempat ini.

Jalan darah si tua yang tertotok adalah Hong Tie dan Keng Boen. Boe segera mengurut jalan darah Thian Coe, Hoan Siauw, Toa Wie, dan Siang Kie. Tapi sudah berusaha beberapa lama ia masih juga belum berhasil.

Hal itu sudah mengejutkan mereka berdua. Boe Kie kaget, karena sudah menggunakan tujuh macam cara untuk membuka jalan darah, yang didapat oleh Ouw Ceng Goe, ia masih belum berhasil. Si tua terkejut, sebab ia mendapat kenyataan, bahwa si bocah memiliki rupa-rupa ilmu membuka jalan darah dan tenaga dalamnyapun sudah cukup tinggi. Anak ini benar lihay, katanya dalam hati, Siok Ham menotok tujuh delapan jalan darahnya, tapi ia tidak bergeming. Boe Tong Pay sungguh tidak boleh di buat gegabah. Untung juga, waktu itu berada di Boe Tong san aku tidak turun tangan, kalau tanganku iseng, bisa jadi aku celaka. Murid Boe Tong yang begitu kecil sudah begitu lihay. Apalagi yang sudah dewasa, ia tak tahu bahwa kekebalan Boe Kie terhadap Tiam Poat didapatkan dari Cia Soen, sedang rupa2 ilmu membuka jalan darah didapat dari Ouw Ceng Goe, sehingga tidak ada sangkut paut dengan Boe Tong Pay.

Mendadak Ho Thay Ciong mendapat serupa ingatan dan ia lantas saja berkata. Bawa kemari poci teh dan tuang tehnya ke mulutku.

Boe Kie merasa curiga, tapi mengingat, demi keselamatan gundiknya, si tua pasti tidak berani main gila terhadapnya, maka ia lantas saja mengangkat poci teh itu dan menuangkan isinya kedalam mulut Ho Thay Ciong.

Si tua tidak menelan air teh itu. Tiba2 sambil menggerakan Lweekang, ia menyembur dan bagaikan sebatang anak panah, air itu menyambar tekukan sikutnya di bagian Ceng Leng Yao. Hampir berbareng, lengannya dapat digerakkan pula.

Sedari datang ke Sam seng tong, Boe Kie memandang rendah Ho Thay Ciong karena lagal lagunya seperti takut bini menyayang gundik, licik dan sebagainya tidak mendatangkan keindahan. Tapi sekarang, ia kaget melihat kepandaian si tua. Ia lantas bisa mati seketika.

Sesudah lengan kanannya merdeka, ia segera membuka jalan darah di betisnya. sesudah kau menyerahkan obat pemunah, aku akan mengantar kau keluar dari selat ini. katanya.

Si bocah tidak menyahut, ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Si tua bingung, Aku adalah Ci boen jin dari Koen Loen Pay, katanya. Tak bisa jadi aku mendustai anak kecil seperti kau bukan? Kalau terlambat dan racun itu keburu mengamuk, jiwanya tidak bisa tertolong.

Racun itu tidak akan menggamuk sebegitu cepat, kata si bocah.

Thie-khim Sianseng menyerah kalah. Sambil menghela nafas ia berkata. Baiklah mari aku antar kamu.

Sesudah melompat dari jendela, Ho Thay Ciong segera menyentuh punggung Poet Hoei dengan jerijinya dan jalan darah si nona yang tertotok lantas saja terbuka. Gerakan tangannya indah dan sangat cepat, bagaikan mengalirnya air, sehingga Boe Kie merasa sangat kagum dan sinar matanya mengeluarkan sinar memuja. Sedari bertemu dengan si tua, belum pernah ia memperlihatkan sikap begitu. Ho Thay Ciong mengerti perasaan si bocah dan ia tersenyum simpul.

Sambil menuntun tangan kedua anak itu, ia lalu mengajak pergi ke taman bunga dan keluar dari pintu samping. Dari depan sampai belakang, Sam Seng Tong terdiri dari delapan bangunan dan setelah keluar dari pintu samping, mereka berjalan di suatu jalan kecil yang berliku2. Sesudah itu mereka masuk pula ke beberapa bangunan dan melewati lagi banyak ruangan. Tanpa pengantar, andaikata mereka tidak didengar murid Koen Loen, belum tentu mereka bisa keluar dari Sam Seng Tong. Dengan demikian rasa hormat dalam hati Boe Kie jadi bertambah besar.

Sekeluarnya dari Sam Seng Tong, dengan lengan kanan mendukung Poet Hoei dan tangan kiri menuntun Boe Kie, Ho Thay Ciong segera berlari2 ke jurusan barat laut dengan ilmu ringan badan. Dengan badannya separoh diangkat, Boe Kie merasa seperti terbang melayang2 di tengah udara. Setiap lompatan si tua berjarak kira2 setombak begitu lekas ujung kakinya menotol tanah, badannya sudah mengapung dan melesat lagi kedepan. Dalam sekejap mereka sudah dua puluh li lebih. Selagi enak melayang2 di sebelang belakang sekonyong2 terdengar teriakan. Ho Thay Ciong!... Ho Thay Ciong. tahan. Suara itu bukan lain suara Pan Siok Ham.

Ho Thay Ciong segera menghentikan tindakannya.

Sambil menghela nafas ia berkata. Saudara kecil, kamu larilah. Istriku mengubar, aku tidak bisa mengantarmu lebih jauh.

Perlakuannya terhadapku tidak bisa dikatakan terlalu jelek pikir Boe Kie yang lantas saja berkata, Ho Sianseng, kau pulanglah. Pil yang ditelan oleh Hoejin bukannya racun. Pil itu hanya San pwee wan, obat untuk melicinkan tenggorokan dan menghentikan batuk. Beberapa hari berselang Poet Hoei moay batuk2 dan aku membuat pil itu untuk mengobatinya. Sisanya masih ada beberapa butir dan aku merasa menyesal bahwa aku telah mengangetkanmu.

Si tua kaget dan gusar, Apa benar bukan racun? bentaknya.

jiwa Ngo Hoejin telah ditolong olehku, jawabnya Mana tega aku mencelakakannya lagi?

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar