Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 52

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 52
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 52

Suami isteri Ho terperanjat. Meskipun berdosa besar, Sian Ie Thong adalah seorang Ciang bun jin. Mereka mengerti bahwa kesalahan tangan itu akan berekor panjang dan hebat, tapi dalam menghadapi kebinasaan segera, mereka tak sempat menghiraukan lagi bahaya di belakang hari. Mereka tahu bahwa di dalam dunia hanyalah Boe Kie yang bisa menolong mereka. Tapi mengingat perbuatan mereka dahulu hari, apakah pemuda itu sudi mengangsurkan tangan?

Boe Kie tertawa tawar dan berkata dengan suara tawar pula. Jie wie tak usah takut, walaupun Kim-can sudah berada dalam perut enam jam kemudian barulah racunnya mengamuk.

Sesudah membereskan urusan besar ini, boanpwee pasti akan menolong. Boanpwee hanya berharap Ho Hoejin jangan memaksa aku minum arak beracun.

Biarpun disindir, kedua suami isteri itu menjadi bingung. Tapi mereka merasa malu hati untuk mengucapkan terima kasih dan sambil menundukkan kepala, mereka lalu kembali ke barisan sendiri.

Cobalah Jie wie minta empat butir Giok tong Hek seng tan dari Khong tong pay, kata Boe Kie. Obat itu bisa menahan naiknya racun ke jantung.

Ho Thay Ciong mengangguk dan segera memerintahkan salah seorang muridnya minta pel itu dari pemimpin Khong tong pay.

Dalam hati Boe Kie tertawa geli. Giok tong Hek sek tan memang obat pemunah racun, tapi obat itu mengakibatkan sakit perut selama dua jam. Sesudah menelannya, perut suami isteri Ho sakit bukan main. Mereka makin ketakutan dan menduga racun sudah mulai mengamuk.

Mereka tak pernah mimpi bahwa mereka dikelabui oleh pemuda itu.

Sementara itu Biat coat Soethay berkata kepada Song Wan Kiauw. Song Thay hiap, antara enam partai hanya ketinggalan dua partaimu dan partai kami. Partai kami kebanyakan terdiri dari kaum wanita. Maka itu Song Tayhiap lah yang harus bertindak.

Siauw too sudah dikalahkan oleh In Kouwcoe, jawab Wan Kiauw. Kiam-hoat Soethay tinggi luar biasa dan Soethay pasti bisa menakluki bocah itu.

Biat-coat tersenyum tawar dan seraya menghunus Ie thian kiam, ia bertindak masuk ke dalam gelanggang.

Se-konyong2 Jie hiap Jie Lian Cioe keluar dari barisan Boe tong pay. Sedari tadi dengan rasa kagum dan heran ia memperhatikan ilmu silat Boe Kie. Walaupun lihay belum tentu Biat-coat Soethay bisa melawan empat jago dari Hwa san dan Koen-loen, pikirnya. Kalau ia kalah Boe tong pay jua kalah, maka usaha enam partai akan gagal sama sekali. Biarlah aku yang menjadi lebih dulu. Memikir begitu ia segera menyusul Biat-coat dan berkata. Soethay, biarlah kami berlima saudara yang lebih dulu mengadu ilmu dengan pemuda itu. Paling belakang barulah Soethay maju dan aku merasa pasti Soethay akan memperoleh kemenangan.

Maksud Jie Lian Cioe cukup terang. Boe tong pay dikenal sebagai partai yang mengutamakan latihan lweekang. Kalau ilmu pendekar Boe tong dengan bergiliran melayani pemuda itu, maka andai kata mereka tak mendapat kemenangan, pemuda itu pasti akan lelah sekali. Sesudah dia lelah, Biat coat maju untuk merobohkannya.

Si nenek mengerti maksud Jie Lian Cioe. Ia mendongkol dan berkata dalam hati. Siapa sudi menerima budi Boe tong pay? Dengan cara begitu biarpun menang, kemenangan itu bukanlah kemenangan gemilang! Ia sombong memandang rendah kepada semua manusia. Meskipun sudah menyaksikan kelihayan Boe Kie, di dalam hati ia merasa bahwa jago dari lain-lain partai adalah manusia-manusia tolol. Ia tak percaya bahwa ia tak bisa merobohkan pemuda itu.

Maka itu seraya mengibaskan tangan jubah ia berkata, Jie Jie hiap balik saja! Sesudah dihunus, Ie thian kiam tak bisa dimasukkan lagi ke dalam sarungnya sebelum bertempur.

Baiklah, kata Jie Lian Cioe yang segera kembali ke barisannya.

Sambil melintangkan pedang mustika di dadanya, Biat coat menghampiri Boe Kie. Ie thian kiam dibenci dan ditakuti Beng kauw. Anggota Beng kauw yang binasa karena pedang itu sukar dihitung jumlahnya. Sekarang, melihat si nenek maju dengan pedang terhunus, mereka semua berkuatir tercampur gusar dan beramai-ramai mereka mencaci Biat coat.

Si nenek tertawa dingin, Jangan rewel kalian! bentaknya. Kalian tunggulah! Sesudah membereskan bocah itu, aku akan segera membereskan kalian semua. In Thian Ceng tahu Ie thian kiam sukar dilawan. Can Siauw hiap, senjata apa yang ingin digunakan olehmu? tanyanya.

Aku tak punya senjata, jawabnya. Bagaimana pikiran Loo ya coe? Di dalam hati ia memang merasa jeri terhadap pedang mustika itu.

Perlahan-lahan sang kakek menghunus pedang yang tergantung di pinggangnya. Terimalah Pek hong kiam ini, katanya. Meskipun tidak bisa menandingi Ie thian kiam dari bangsat perempuan itu, pedang ini senjata yang jarang terdapat dalam dunia Kangouw. Seraya berkata begitu, ia menyentil badan pedang yang lantas saja membengkok karena lemas seperti ikat pinggang. Satu suara uunng ! yang nyaring bersih lantas saja terdengar dan badan pedang pulih kembali seperti sedia kala. (Pek hong kiam Pedang bianglala putih).

Dengan sikap menghormat Boe Kie menyambuti pedang itu. Terima kasih, katanya sambil membungkuk.

Pedang itu sudah mengikuti aku selama puluhan tahun dan sudah membunuh banyak sekali manusia rendah, kata In Thian Ceng. Kalau hari ini dia bisa membunuh bangsat perempuan itu, biarpun mati loohoe merasa puas.

Boanpwee akan perbuat apa yang boanpwee bisa, kata Boe Kie.

Sambil menundukkan ujung pedang ke muka bumi dan memegan gagang pedang Pek hong kiam dengan kedua tangan, pemuda itu berkata kepada Biat coat. Kiam hoat boanpwee sudah pasti bukan tandingan Soethay dan sebenar-benarnya boanpwee tidak berani melawan Cianpwee. Cianpwee pernah menaruh belas kasihan kepada para anggota Swie kim kie, mengapa sekarang Cianpwee tidak bisa menaruh belas kasihan kepada boanpwee?

Alis si nenek lantas saja turun. Kawanan setan Swie kim kie ditolong olehmu, katanya dengan suara menyeramkan. Biat coat Soethay belum pernah mengampuni orang. Sesudah menang baru kau boleh membuka bacot.

Para anggota Lima Bendera Beng kauw, yang sangat membenci nenek itu, lantas saja berteriak-teriak.

Bangsat tua! Kalau kau benar-benar jagoan coba kau bertanding dengan tangan kosong melawan Can Siauwhiap.

Kiam hoatmu cetek sekali. Yang diandalkan olehmu hanyalah pedang Ie thian kiam. Apa kau rasa kau bisa menang? Dan sebagainya.

Biat coat tidak memperdulikan cacian dan ejekan itu. Hayo mulai! katanya dengan nyaring. Boe Kie sebenarnya belum pernah belajar ilmu pedang. Mendengar undangan si nenek ia bersangsi. Tiba-tiba ia ingat Liang gie Kiam-hoat dari Ho Thay Ciong yang lihay dan indah.

Ia segera mengangkat pedang dan membabat. Siauw Pek Toan in dari Hwa san pay! seru Biat coat dengan heran (Siauw pek Toan in memapas tembok memotong awan).

Bagaikan kilat si nenek menikam dari samping. Dalam gebrakan pertama itu, tanpa menangkis serangan, ia balas menyerang. Dengan lweekang yang hebat, ujung Ie thian kiam menyambar pusar pemuda itu.

Boe Kie berkelit ke samping, tapi sebelum ia berdiri tegak pedang Biat coat sudah meluncur di tenggorokannya. Boe Kie terkesiap. Dengan bingung ia menggulingkan diri di tanah. Tapi sebelum ia melompat bangun, angin dingin sudah menyambar-nyambar di lehernya. Celaka!

ia mengeluh, ujung kakinya menotol tanah dan badannya melesat ke atas. Ia berhasil menyelamatkan jiwa dari satu kedudukan yang hampir tidak mungkin dilakukan oleh seorang manusia. Baru saja hadirin mau bersorak, si nenek sudah melompat dan pedangnya diangkat untuk memapaki tubuh pemuda itu.

Detik itu tubuh Boe Kie sedang melayang turun ke bawah. Karena berada di tengah udara, ia tidak bisa berkelit lagi. Ie thian kiam menyambar! Hati Boe Kie mencelos. Satu diantara dua: kalau bukan kedua kakinya, badannya akan terbabat kutung!

Pada saat yang sangat berbahaya, Kian koen Tay lo ie memberi reaksi yang wajar. Tanpa memikir lagi, ia menyentuh ujung Ie thian kiam dengan ujung Pek hong kiam. Trang! Pek hong kiam melengkung dan membal. Dan dengan menggunakan tenaga membal itu, badan Boe Kie sekali lagi melesat ke atas!

Biat coat benar-benar tidak mengenal kasihan. Ia melompat dan membabat tiga kali beruntun. Badan Boe Kie sudah melayang ke bawah. Ia tidak bisa berbuat lain daripada menangkis Trang. Pek-hong kiam kutung dua! Dengan hati mencelos ia menepuk ubun-ubun (embunembunan) segera membabat pergelangan tangannya. Sebab babatan itu cepat luar biasa, ia tidak keburu menarik pulang tangannya. Dalam keadaan demikian, ia hanya bisa menolong diri dengan satu jalan. Dengan kecepatan yang hampir tiada taranya, ia menyentil badan Ie thian kiam dan berbareng dengan meminjam tenaga sentilan itu, tubuhnya terbang ke tempat yang lebih selamat.

Lengan Biat coat kesemutan, telapak tangannya seperti juga terbeset dan Ie thian kiam hampir terlepas dari tangannya! Ia terkesiap. Ia menengok dan Boe Kie dengan tangan mencekal peang buntung, berarti dalam jarak dua tombak lebih. Itulah gebrakan-gebrakan yang sungguh jarang terlihat dalam Rimba Persilatan!

Dalam sekejap mata itu, Biat coat menyerang delapan kali setiap jurus, jurus membinasakan. Delapan kali Boe Kie memunahkan serangan itu, delapan kali ia melolos dari lubang jarum. Baik serangan, maupun pembelaan diri, sama-sama mencapai puncak kehebatan, puncak keindahan. Semua orang menahan napas. Mereka hampir tak percaya, bahwa apa yang dilihat mereka adalah suatu kenyataan.

Sesudah lewat sekian lama barulah terdengar sorak sorai gegap gempita.

Bagaikan patung Boe Kie berdiri tersu sambil memegang pedang buntung. Ia merasa sudah jatuh di bawah angin. Ia tak tahu, bahwa Ie thian kiam disentil, lengan si nenek kesemutan dan kalau ia menyerang terus, ia sudah mendapat kemenangan. Memang Boe Kie kurang pengalaman.

Walaupun beradat tinggi, Biat coat sekarang mengakui kelihayan pemuda itu. Tukar senjatamu dan mari kita bertempur lagi, katanya.

Dengan rasa menyesal Boe Kie mengawasi pedang buntung itu. Di dalam hati ia berkata, Gwakong menghadiahkan pedang mustika ini kepadaku dan aku sudah merusakkannya.

Sungguh tak enak senjata apalagi yang bisa melawan Ie thian kiam? Selagi bersangsi, tiba-tiba Cioe-Tian berteriak. Aku punya sebuah golok mustika. Kau ambillah!

Ie thian kiam terlalu hebat, sahut Boe Kie. Boanpwee kuatir senjata Cianpwee akan menjadi rusak.

Biar dirusak, kata Cioe-Tian. Kalau kau kalah, kami semua mati. Perlu apa golok mustika itu?

Boe Kie anggap perkataanitu memang tak salah, maka tanpa berkata apa-apa lagi ia menghampiri Cioe Tian untuk mengambil goloknya.

Thio Kongcoe, kau harus menyerang, tak boleh hanya membela diri, bisik Yo Siauw ketika Boe Kie lewat di depannya.

Mendengar panggilan Thio Kongcoe Boe Kie kaget, tapi ia segera mengetahui mengapa Yo Siauw menggunakan istilah itu. Yo Poet Hwie sudah mengenali dirinya dan memberitahukan kepada ayahandanya. Terima kasih atas petunjuk Cianpwee, jawabnya.

Waktu lewat di samping Wie It Siauw, Ceng ek Hok ong juga berbisik, Gunakanlah ilmu peringan badan terus menerus.

Boe Kie girang. Terima kasih jawabnya.

Kong beng Soe cia Yo Siauw adalah ahli-ahli silat kelas utama dan mereka belum tentu kalah dari Biat coat Soethay. Hanya sayang, sebelum bertempur mereka dibokong Goan tin sehingga badan mereka menajdi lumpuh. Tapi kecerdasan otak dan ketajaman mata mereka tidak pernah sama sekali berubah dan bisik-bisikan itu memang siasat tepat untuk menghadapi Biat coat.

Berat golok mustika itu yang sudah dipegang Boe Kie kira-kira empat puluh kati. Warnanya hitam, bentuknay aneh dan tidak usah dikatakan lagi, senjata itu barang pusaka yang sudah berusia tua sekali. Di dalam hati ia masih merasa menyesal, bahwa pedang kakeknya sudah rusak dalam tangannya. Tapi pedang itu sudah dihadiahkan kepadanya. Golok ini masih menjadi milik Cioe Tian yang meminjamkannya. Golok mustika ini tidak boleh dirusak, pikirnya.

Ia maju mendekati lawan dan sesudah menarik napas dalam-dalam, ia berkata. Soethay, boanpwee mulai! Bagaikan asap, badannya melayang ke belakang Biat coat dan mengirim bacokan pertama. Sebelum si nenek itu memutar badan, ia sudah melompat ke samping dan mengirim bacokan kedua. Badannya lantas berkelebat-kelebat, goloknya menyambarnyambar tak henti-hentinya.

Yang sekarang digunakan Boe Kie adalah ilmu ringan badan tercepat yang pernah dikenal dalam Rimba Persilatan. Ilmu ringan badan itu adalah hasil dari pengerahan Kioen yan Sin kang dan Kian koen Tay lo ie Sin kang. Ilmu ringan badan Ceng ek masih kalah jauh.

Sesudah lari beberapa puluh putaran, Kioe yang Sin kang mengamuk makin hebat dalam tubuhnya dan ia sekarang seolah-olah terbang di atas bumi.

Melihat begitu, murid2 Go bie pay jadi bingung. Mereka tahu guru mereka bakal kalah.

Sekonyong-konyong Teng Bin Koen berteriak. Hari ini tujuan kita adalah membasmi Mo kauw. Kita datang bukan untuk pie bu. Saudara-saudara, mari kita gempur bocah itu! Ia menghunus senjata dan melompat ke dalam gelanggang. Seluruh murid Go bie lantas saja mengikuti dan segera mengambil kedudukan di delapan penjuru. Cioe Cie Jiak berdiri di sudut barat daya. Cioe soe moay, kau turut serta atau tidak terserah kepadamu, ejek perempuan she Teng itu.

Cie Jiak gusar bercampur malu. Perlu apa kau berkata begitu? tanyanya.

Mendadak Boe Kie melompat ke hadapan Teng Bin Koen yang segera menikam. Dengan sekali menggerakkan tangan kirinya pemuda itu sudah merampas pedang lawan yang lalu ditimpukkan kepada Biat coat. Si nenek membabat dan memutuskan pedang itu, tapi tangannya kesemutan sebab Boe Kie menimpuk dengan lweekang yang hebat.

Pemuda itu bekerja cepat. Badannya berkelebat-kelebat, tangannya menyambar-nyambar merampas pedang-pedang para murid Go bie yang dengan beruntun-runtun ditimpukkan kepada Biat coat. Murid-murid Go bie rata-rata berkepandaian tinggi, tapi berhadapan dengan Boe Kie, mereka tidak berdaya.

Puluhan pedang terbang menyambar Biat coat bagaikan hujan gerimis. Dengan paras muka pucat pasi si nenek memutar Ie thian kiam dan memutuskan pedang2 itu. Tak lama kemudian sebab pegal lengan kanannya tak bisa digunakan lagi dan ia lalu memutar senjata dengan tangan kiri. Semua barisan mundur ke belakang karena potongan2 pedang menyambar kian kemari.

Tak lama kemudian, semua murid Go bie kecuali Cioe Cie Jiak seorang sudah bertangan kosong.

Boe Kie ingin membalas budi si nona, tapi dengan demikian perbedaan itu jadi sangat menyolok. Cie Jiak tahu hal ini bakal berekor. Ia melompat untuk menyerang, tapi pemuda itu selalu menyingkirkan diri.

Cioe soemoay, benar saja ia memperlakukan kau secara istimewa sekali ejek Teng Bin Koen. Paras muka nona Cioe lantas saja berubah merah. Dengan jengah ia berdiri terpaku.

Cioe soemoay, Soehoe sedang diserang musuh, mengapa kau berdiri seperti patung? kata pula perempuan she Teng itu. Mungkin sekali di dalam hati kau mengharap bocah itu mendapat kemenangan.

Biarpun sedang kebingungan, setiap perbuatan Teng Bin Koen didengar tegas oleh si nenek. Tiba-tiba dalam otaknya berkelebat satu ingatan, Cie Jiak! bentaknya. Apa benar kau mau menghina guru? Seraya membentak, ia menikam dada si nona!

Hati nona Cioe mencelos. Tentu saja ia tidak berani menangkis. Soehoe!... teriaknya. Ia tidak dapat meneruskan perkataannya sebab hampir menyentuh dada!

Boe Kie tak tahu, dalam tikaman itu Biat Coat hanya mau menjajah. Pada detik terakhir, si nenek menarik pulang senjatanya. Karena tak bisa menebak jalan pikiran orang yang juga sebab sudah menyaksikan kekejaman Biat coat terhadap Kie Siauw Hoe, tanpa memikir panjang lagi ia melompat, memeluk pinggang Cie Jiak dan melompat ke tempat yang lebih selamat.

Kedudukan Biat coat segera berubah dari pihak yang diserang, ia sekarang bisa menyerang. Ia segera menikam punggung Boe Kie. Sebab lagi menolong orang, gerakan Boe Kie agak terlambat dan terpaksa ia menangkis dengan goloknya. Tang! golok mustika itu putus. Biat coat mengudak dan menikam pula. Boe Kie menimpuk dengan golok buntung, kali ini dengan menggunakan seantero lweekang. Hampir berbareng dada si nenek menyesak karena tekanan angin timpukan. Ia tidak berani menyambut dengan pedangnya dan secepat kilat ia

membanting diri di tanah. Tapi biarpun begitu, ratusan lembar rambutnya terpapas putus! Melihat kesempatan baik, tanpa melepaskan Cie Jiak, Boe Kie melompat dan menghantam dengan telapak tangannya. Karena darahnya meluap, ia menghantam dengan sepenuh tenaga. Sambil berlutut Biat coat coba membabat pergelangan tangan Boe Kie. Pemuda itu segera mengubah gerakan tangannya, dari menepuk jadi mencengkeram dan tahu tahu tangannya sudah mencekal Ie thian kiam!

Cengkeraman itu yang dilakukan dengan Sin kang Kian koen Tay lo ie tingkat ketujuh, tak dapat dilawan oleh Biat coat.

Walaupun sudah menang, Boe Kie tidak berani berlaku sembrono. Seraya menudingkan ujung Ie thian kiam ke tenggorokan si nenek, perlahan2 ia mundur dua tindak. Lepaskan aku! teriak Cie Jiak sambil memberontak.

Ah! Ya! katanya. Dengan paras muka merah, ia melepaskan nona Cioe. Ia mengendus bebauan wangi yang sangat halus dan waktu melepaskan, beberapa lembar rambut si nona menyentuh pipinya. Tanpa terasa ia melirik. Muka Cie Jiak bersemu dadu. Meskipun parasnya mengunjukkan perasaan takut, sinar matanya memperlihatkan rasa bahagia.

Perlahan-lahan Biat coat berbangkit. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia mengawasi Boe Kie. Mukanya sangat menyeramkan.

Seraya mengangsurkan gagang pedang, Boe Kie berkata, Cioe Kauw-nio, tolong serahkan pedang ini kepada gurumu.

Cie Jiak berdiri bengong. Macam2 pikiran berkelabat dalam otaknya. Sesudah terjadi apa yang sudah terjadi, ia merasa pasti dirinya akan dipandang sebagai pengkhianat partai, seorang yang menghina guru sendiri. Apakah ia benar-benar harus berkhianat kepada gurunya sendiri? Boe Kie memperlakukannya secara baik sekali. Tapi, biar bagaimanapun juga, ia seorang anggota Mo kauw, anggota dari agama siluman.

Sekonyong-konyong kupingnya mendengar bentakan gurunya, Cie Jiak, bunuh dia! Tahun itu, sesudah mengajak Cie Jiak pulang ke Boe tong san, Thio Sam Hong lalu menyerahkan muridnya, yaitu Cie Jiak kepada Biat coat Soethay sebab di dalam kuil Siauw Lim Sie tak pernah bernaung murid wanita. Nona Cioe berbakat baik. Dengan mengingat dirinya seorang yatim piatu, ia belajar giat-giat dan kemajuannya pesat sekali. Biat coat sangat menyayangnya dan selama delapan tahun, belum pernah ia berpisahan dengan gurunya itu. Di mata Cie Jiak, Biat coat bagaikan seorang ratu. Perkataannya merupakan undang-undang yang tak pernah dibantah.

Kini mendengar bentakan sang guru yang angker dan berpengaruh, tanpa merasa dalam bingungnya ia mengangkat Ie thian kiam dan menikan dada Boe Kie.

Karena tak menduga bakal diserang, pemuda itu tidak berwaspada. Tiba-tiba pedang menyambar. Ia terkesiap tapi sudah tidak keburu menangkis atau berkelit lagi. Untung juga waktu menikam tangan Cie Jiak bergemetaran, sehingga ujung pedang mencong ke samping dan amblas di dada sebelah kanan.

Dengan berteriak, si nona menarik pulang Ie thian kiam. Pedang berlepotan darah dan darah mengucur dari dada Boe Kie. Hal itu mengejutkan semua orang. Keadaan berobah kalut, di empat penjuru terdengar teriakan.

Boe Kie mendekap dada dengan tangannya. Tubuhnya bergoyang-goyang sedaun paras mukanya mengunjuk perasaan gegetun, menyesal dan heran seakan ia mau bertanya. Apa sungguh-sungguh kau mau mengambil jiwaku?

Cie Jiak sendiri mengawasi hasil perbuatannya dengan mata membelalak dan mulut ternganga. Dengan suara parau ia berkata, Aku Di dalam hati ia ingin menubruk Boe Kie, tapi ia tidak berani. Sesaat kemudian, sambil menutup muka dengan kedua tangannya, ia memutar badan dan lari balik ke barisannya.

Peristiwa itu tak pernah diduga oleh siapapun jua.

Dengan paras muka pucat pasi, Siauw Ciauw memapah Boe Kie. Thio Kongcoe kau katanya terputus-putus. Luka pemuda itu amat berat, tapi untung, sebab moncong ujung pedang tidak melanggar jantung.

Dengan mengawasi Siauw Ciauw, Boe Kie berkata, Mengapa kau menikam aku. Ia tidak bisa meneruskan perkataannya, napasnya tersengal sengal dan seraya membungkuk ia batuk-batuk.

Matanya berkunang-kunang, kepalanya pusing, sehingga ia tak dapat membedakan Siauw Ciauw dari Cie Jiak. Darah mengucur terus dan pakaian si nona turut basah.

Sesaat kemudian, sesudah teriakan mereda, lapangan yang penuh manusia itu berubah sunyi senyap. Tak seorangpun baik anggota 6 partai, maupun anggota Beng kauw atau Peh bie kauw mengeluarkan sepatah katapun. Apa yang tadi dilakukan oleh pemuda itu kelihayannya dalam menjatuhkan sejumlah tokoh ternama dan cara caranya yang mengunjuk perasaan kemanusiaan sudah membangkitkan rasa kagum dan hormat dalam hatinya semua orang.

Maka itu, baik kawan maupun lawan berduka atas kejadian itu. Di dalam hati, mereka mengharapkan keselamatannya.

Dengan dipeluk Siauw Ciauw, perlahan-lahan Boe Kie duduk di tanah. Siapa yang punya obat luka yang paling manjur? seru si nona.

Kong seng segera mendekati dan mengeluarkan sebungkus obat bubuk dari sakunya. Giok leng san kami sangat mutajab, katanya seraya membuka baju Boe Kie. Luka itu beberapa dim dalamnya. Ia segera memborehi bubuk obat di lubang luka, tapi sebab darah mengucur, obat itu tidak bisa menempel dan turun ke bawah tersiram darah. Kong seng jadi bingung. Hai! Bagaimana baiknya?... bagaimana baiknya? katanya.

Yang paling bingung adalah suami isteri Ho Thay Ciong. Mereka menganggap bahwa mereka telah menelan ulat sutera emas. Kalau pemuda itu mati, jiwanya pun takkan tertolong. Dengan hati berdebar-debar Ho Ciong boen berjongkok di samping Boe Kie dan bertanya, Bagaimana mengobati orang kena Kiam cam Kouw tok bagaimana? Hayo, lekas terangkan! Pergi! bentak Siauw Ciauw sambil menangis. Kalau Thio Kongcoe mati, kita mampus bersama-sama!

Di waktu biasa, mana mau Ho Thay Ciong dibentak-bentak oleh seorang wanita macam Siauw Ciauw. Tapi keadaan kini bukan keadaan biasa. Tanpa memperdulikan si nona, ia bertanya lagi. Bagaimana mengobati Kiam cam Kouw tok? Hayo! Bagaimana?

Kong seng meluap darahnya, Thie-khim Sian seng! bentaknya, Jika kau tak minggir, loolap takkan berlaku sungkan2 lagi terhadapmu.

Tiba-tiba Boe Kie membuka matanya dan mengawasi semua orang yang berdiri di sekitarnya. Kemudian, ia mengangkat tangan kirinya dan menotok tujuh delapan hiat di seputar luka.

Sesaat kemudian, mengalirnya darah jadi terlebih perlahan, Kong-seng girang. Buru-buru pendeta suci itu memborehi Giok leng san di dada yang terluka. Siauw Ciauw segera merobek tangan bajunya yang lalu digunakan untuk membalut luka. Muka Boe Kie pucat seperti kertas. Ia terlalu banyak mengeluarkan darah.

Per-lahan2 otak Boe Kie menjadi terang lagi. Ia segera mengerahkan tenaga dalam dan lantas saja merasa bahwa hawa tak bisa jalan di dada sebelah kanan. Dalam keadaan setengah mati, tekadnya tetap tak berubah. Sebegitu lama masih bernapas, aku takkan mengizinkan enam partai membasmi semua anggota Beng-kauw, katanya di dalam hati. Sambil meramkan kedua matanya, mengerahkan Cin-khie yang lalu dialirkan beberapa kali di seputar dada bagian kiri.

Sesudah itu, perlahan-lahan ia berbangkit dan berdiri. Dengan matanya, ia menyapu seluruh lapangan dan berkata dengan suara perlahan. Kalau dalam Go bie dan Boe tong pay masih ada orang yang tidak setuju dengan permintaanku, ia boleh segera keluar untuk bertanding.

Perkataan itu disambut dengan rasa heran juga kagum yang sukar dilukiskan. Semua orang lihat, bahwa pemuda itu terluka berat. Tapi, baru saja darahnya berhenti mengalir, ia sudah bisa berdiri dan menantang pula. Apa ia manusia? Manusia biasa tak akan bisa berbuat begitu.

Go bie pay sudah kalah, kata Biat coat dengan suara dingin. Jika kau tidak mati, di belakang hari kita bisa perhitungkan lagi. Kini hanya ketinggalan Boe tong pay. Kalah menang harus diputuskan oleh Boe tong pay.

Maksud Biat coat Soethay dimengerti oleh tokoh-tokoh semua partai.

Dalam usaha untuk mengepung Kong beng teng, jago2 Siauw lim, Khong tong, Koen loen, Hwa san dan Go bie sudah dirobohkan Boe Kie. Hanya Boe tong pay yang belum bergebrak dengan pemuda itu.

Tapi sekarang Boe Kie terluka berat. Jangankan pendekar Boe tong, sedang seorang biasapun sudah cukup untuk menjatuhkannya. Mungkin sekali, tanpa bertempur, Boe Kie akan mati sendiri. Setiap pendekar Boe tong bisa segera membinasakannya dan sesudah ia binasa, keenam partai bisa mewujudkan keputusan untuk membunuh semua anggota Beng kauw. Tapi Boe tong pay sangat mengutamakan Hiap sie. Menyerang seorang yang terluka berat memang bukan perbuatan bagus, sehingga mungkin sekali kelima pendekar Boe tong merasa keberatan untuk turun tangan. Tapi kalau Boe tong pay berpeluk tangan, apakah keenam partai harus pulang dengan tangan hampa, dengan kegagalan? Membasmi Beng kauw adalah usaha besar yang sudah menggetarkan seluruh Rimba Persilatan. Kalau mereka gagal, apakah mereka masih ada muka untuk tampil lagi dalam kalangan Kang ouw? Serba susah maju salah, mundur salah. (Hiap gie kesatriaan)

Maksud perkataan Biat coat ialah dipertahankan atau tidaknya kehormatan keenam partai terserah atas keputusan Boe tong pay.

Jalan mana yang akan ditempuh partai itu?

Song Wan Kiauw, Jie Lian Cioe, Thio Siong Kie, In Lie Heng dan Boh Seng Kok saling mengawasi. Mereka tak bisa segera mengambil keputusan. Tiba-tiba Song Ceng Soe, putera Song Wan Kiauw, berkata, Thia-thia, Soe wie Siok-siok, biarlah anak saja yang membereskan dia.

Tak bisa, kata Jie Lian Cioe. Kau turun tangan tiada bedanya dengan kami yang turun tangan. Menurut pendapat Siauw tee, kepentingan umum adalah lebih penting daripada kepentingan pribadi dari pada soal nama kita, kata Thio Siong Kee.

Nama adalah sesuatu yang berada di luar badan manusia, Boh Seng Kok menjawab. Biar bagaimanapun jua siauw tee merasa berat untuk mencelakai seorang manusia yang sudah terluka berat.

Keempat pendekar mengawasi Song Wan Kiauw. Sebagai kakak seperguruan yang paling tua, ialah yang harus mengambil keputusan terakhir.

Song Tay hiap melirik In Lie Heng. Adiknya itu tak mengeluarkan sepatah kata, tapi mukanya mengunjukkan sinar kegusaran. Ia mengerti, bahwa si adik ingat nasib tunangannya, Kie Siauw Hoe yang telah dinodai Yo Siauw dan akhirnya binasa karena gara-gara perbuatan Kong ben Soe cia itu. Ia tahu bahwa si adik menaruh dendam yang sangat mendalam. Jika sakit hati itu tidak terbalas, jika Beng kauw tidak dimusnahkan rasa penasaran In Lie Heng takkan hilang. Maka itu, ia lantas saja berkata dengan suara perlahan. Mo kauw kedosaannya.

Memerangi yang jahat adalah kewajiban orang-orang sebangsa kita. Dalam dunia ini tiada yang sempurna. Orang tak bisa mendapat semuanya. Kita harus memilih yang paling penting, Ceng Soe, dan berarti hati-hatilah.

Baiklah! kata si anak seraya membungkuk dan lalu menghampiri Boe Kie. Can Siauwhiap, katanya dengan suara nyaring, jika kau bukan anggota Beng kauw, kau boleh segera turun gunung dan mengobati lukamu. Usaha enam partai untuk menumpas kejahatan tiada sangkut pautnya denganmu.

Dengan satu tangan memegang dada, Boe Kie menjawab, Dalam usaha menolong sesama manusia, sebegitu lama ia masih bernyawa, seorang lelaki harus berjuang terus. Terima kasih atas maksud Song-heng yang sangat baik. Tapi aku sudah mengambil keputusan untuk hidup atau mati bersama-sama Beng kauw!

Para anggota Beng kauw dan Peh bie kauw merasa sangat terharu. Banyak di antaranya berteriak-teriak, mencegah Boe Kie berkelahi terus. Dengan tindakan limbung In Thian Ceng maju mendekati. Orang she Song, katanya, biarlah loohoe yang meladeni kau. Tapi baru ia mengerahkan lweekang, kedua lututnya lemas dan ia kembali roboh di tanah.

Ceng Soe mengawasi Boe Kie. Canheng, kalau begitu demi kepentingan umum, aku terpaksa berbuat kedosaan terhadapmu, katanya.

Siauw Ciauw melompat dan menghadang di depan Boe Kie. Lebih dahulu kau harus membunuh aku! teriaknya.

Siauw Ciauw, kau tak usah kuatir, kata Boe Kie dengan suara perlahan. Kepandaian pemuda itu biasa saja. Untuk melayani dia tenagaku masih lebih daripada cukup.

Thio Kongcoe, tapi kau kau terluka berat! kata si nona.

Boe Kie tersenyum. Tak usah takut, katanya.

Mendengar perkataan itu, Ceng Soe naik darah. Bagus! bentaknya, Kepandaianku memang biasa saja. Aku minta pelajaran darimu yang mempunyai tenaga lebih daripada cukup.

Siauw Ciauw, mengapa kau begitu baik terhadapku? tanya Boe Kie dengan suara terharu. Si nona tahu, bahwa ia tak dapat berbuat apa-apa lagi untuk mencegah pertempuran. Aku tak bisa hidup sendirian, katanya dengan suara duka dan putus harapan.

Dengan sorot mata menyinta, Boe Kie mengawasi nona itu. Dalam menghadapi kebinasaan, ia dapat terhibur karena ia tahu, bahwa di dalam dunia sedikitnya ada seorang yang menyintanya setulus hati.

Minggir kau! bentak Ceng Soe dengan mata melotot.

Mengapa kau begitu kasar terhadap seorang wanita? tanya Boe Kie.

Tapi Ceng Soe tidak meladeni teguran itu. Ia bahkan mendorong pundak Siauw Ciauw, sehingga si nona terhuyung beberapa tindak. Di antara lelaki dan perempuan siluman, mana ada manusia baik? katanya dengan kaku. Bangun kau! Sambutlah seranganku!

Boe Kie menghela napas. Ayahmu adalah seorang kesatria, katanya, Mengapa kau begitu kasar! Untuk melayani kau, tak perlu aku bangun berdiri. Di mulut ia berkata begitu, tapi sebenar-benarnya ia tak kuat berdiri lagi.

Keadaan Boe Kie yang sudah payah dapat dilihat orang banyak, antaranya oleh Song Ceng Soe sendiri. Ceng Soe, kau totok saja jalan darahnya supaya ia tidak bisa bergerak, teriak Jie Lian Coe. Tak usah membinasakan dia.

Baiklah, jawabnya seraya menotok pundak Boe Kie dengan jari tangan kanannya. Boe Kie tidak bergerak, tapi pada detik jari tangan lawan hampir menyentuh Kian tin hiat ia mengibas dengan tangannya dan Ceng Soe menotok angin. Sebab kejadian itu di luar dugaan, Ceng Soe sempoyongan, hampir-hampir menubruk Boe Kie.

Sesudah kagetnya hilang, ia menendang dada Boe Kie dengan menggunakan tujuh bagian tenaga. Jie Lian Coe telah memesan supaya ia tidak berlaku kejam, tapi mengapa ia mengirim tendangan yang berat itu? Apa lantaran Boe Kie mengatakan kepandaiannya biasa saja? Bukan, sebab musababnya terletak di lain bagian. Ceng Soe membenci Boe Kie dan ia membenci karena soal cinta.

Begitu melihat wajah Cioe Cie Jiak, begitu ia jatuh cinta. Tak henti-hentinya ia melirik atau mengawasi si nona. Sebagai puteranya seorang pendekar Boe tong, ia merasa tak pantas mengincar si nona terus menerus, tapi ia tak bisa melawan hatinya. Setiap gerakan, setiap senyuman, setiap kerutan alis Cie Jiak tidak terlepas dari matanya. Apa celaka, Cie Jiak mengunjuk rasa cintanya kepada Boe Kie. Sorot mata nona itu selalu diperhatikan Ceng Soe.

Atas perintah Biat coat, Cie Jiak menikam Boe Kie. Tapi sesudah menikam, si nona memperlihatkan rasa duka dan menyesal yang tiada terbatas.

Song Ceng Soe mengerti, bahwa sesudah terjadi penikaman itu, tak perduli Boe Kie mati atau hidup, si nona tentu takkan melupakan perbuatannya itu. Iapun tahu, apabila ia membunuh pemuda itu, Cie Jiak pasti merasa sangat sakit hati, akan membencinya. Tapi oleh sebab dibakar rasa jelus dan rasa iri hati, ia sungkan melepaskan kesempatan untuk membinasakan seorang yang tak berdosa yang menjadi saingannya. Ceng Soe sebenarnya pemuda boen boe song coan (pandai ilmu surat dan ilmu silat), salah seorang terpandai di antara murid-murid turunan yang ketiga dari Boe tong pay dan pada hakekatnya ia seorang baik. Akan tetapi, begitu terbentur dengan soal cinta, ia tak bisa membedakan lagi apa yang benar, apa yang salah.

Melihat tendangan itu, semua orang terkejut. Untuk menyelamatkan jiwa Boe Kie mesti melompat atau menangkis. Pada saat ujung kaki mampir di dadanya, ia angkat tangan kiri dan mengibas. Di luar dugaan, kibasan itu sudah menolak tenaga dari tendangan kaki Ceng Soe lewat dalam jarak tiga dim dari badannya. Karena ia menendang dengan bernafsu, Ceng Soe tidak menarik pulang kakinya dan lalu melompat sambil menendang ke belakang, menendang punggung Boe Kie dengan tumit kaki kiri. Tendangan itu hebat dan tidak mengira, tapi untuk kedua kalinya Boe Kie berhasil menyelamatkan jiwanya dengan hanya mengibaskan lima jari tangannya.

Melihat begitu, semua orang terheran-heran.

Ceng Soe, dia sudah tak punya tenaga dalam lagi, seru sang ayah. Itulah ilmu Sie nio po cian kin (Sie nio po cian kian Empat tahil menghantam seribu kati)

Song Wan Kiauw memang lihay dan berpengalaman. Ia bisa lihat bahwa Boe Kie sudah habis tenaganya dan ilmu yang digunakannya, biarpun dinamakan Kian koen Tay lo ie pada hakekatnya tidak berbeda dengan Sin nio po koan kin, atau ilmu Meminjam tenaga untuk memukul tenaga dari Rimba Persilatan Tiong-goan.

Mendengar petunjuk ayahnya, Ceng Soe tersadar dan ia segera mengubah cara bersilatnya. Kedua tangannya bergerak seperti orang menari-nari dan pukul-pukulannya kelihatan aneh, seperti disertai dengan lweekang, seperti juga tidak disertai lweekang. Itulah Bian ciang (ilmu pukul kipas), salah satu ilmu silat terlihay dari Boe tong pay.

Ilmu Meminjam tenaga untuk memukul tenaga merupakan dasar dari ilmu silat Boe tong pay. Untuk menggunakan Sie nio po cian kin, pihak lawan harus menggunakan tenaga yang besar, tenaga ribuan kati, supaya tenaga itu bisa dipinjam. Tapi sekarang Song Ceng Soe menggunakan Bian ciang, maka tenaganya keluar di antara ada dan tidak ada. Dengan demikian, Boe Kie tak akan bisa meminjam tenaga itu.

Tapi tiada yang tahu, bahwa dalam Kian koen Tay lo ie, Boe Kie sudah mencapai tingkat tertinggi, yaitu sudah berlatih sampai pada tingkat ketujuh. Jangankan pukulan Bian ciang yang masih berbentuk, sedang benda yang tak ada bentuknya pun, seperti hawa racun atau suara aneh, masih dapat dipunahkan olehnya. Begitu diserang, ia meramkan kedua matanya dan tersenyum, sedang lima jari tangan kirinya bergerak-gerak seperti sedang memetik khim.

Dalam sekejap, Bian ciang yang terdiri dari tigapuluh enam jurus sudah punah semuanya. Song Ceng Soe tercengang. Dalam bingungnya ia menyapu seluruh lapangan dengan matanya dan secara kebetulan matanya kebentrok dengan mata Cioe Cie Jiak. Tiba-tiba saja darahnya meluap. Ia bergusar dan berduka karena paras muka si nona mengunjuk rasa kuatir. Ia tahu, bahwa Cie Jiak bukan memikiri keselamatannya.

Dalam marahnya, ia lantas saja menarik napas dalam dalam, tangan kirinya menghantam pipi kanan Boe Kie, telunjuk tangan kanannya menotok Pot hoe hiat di bagian pundak. Jurus itu dinamakan Hoa kay Peng tee (Kembang mekar). Namanya bagus, hebatnya bukan main. Dua pukulan tadi disusul dengan dua pukulan lagi, tangan kanan menggaplok pipi kiri, telunjuk tangan kiri menotok Hong hoe hiat. Dengan demikian, jurus Hoa kay Peng tee berisi empat pukulan yang turun bagaikan hujan angin, dengan kecepatan kilat.

Semua orang terkesiap, banyak diantaranya mengeluarkan seruan tertahan.

Tiba-tiba terdengar suara Plaak! Plaak! yang sangat nyaring. Tangan kiri Song Ceng Soe menggaplok pipi kirinya, tangan kanan menggaplok pipi kanan dan berbareng satu telunjuk menotok Pok hoe hiat, lain telunjuk menotok Hong hoe hiatnya sendiri. Ternyata, dengan menggunakan Kian koen Tay lo ie yang paling tinggi, Boe Kie sudah berhasil memindah keempat pukulan itu ke tubuh si pemukul.

Jika Song Ceng Soe tidak menyerang begitu cepat, sesudha menotok Pot Hoe Hiatnya sendiri, ia tak akan bisa mengirim dua pukulan yang berikutnya. Tapi karena empat pukulan itu dikirim secara berantai dengan kecepatan luar biasa, maka biarpun Pok Hoe Hiat nya sudah tertotok, ia masih bisa mengirim dua serangan lagi, sebab lengannya belum kesemutan. Sesudah keempat pukulan itu dikirim, barulah kaki tangannya lemas dan ia roboh terjengkang. Beberapa kali ia coba bangun, tapi tidak berhasil.

Song Wan Kiauw menghampiri dengan berlari lari. Dengan mengurut beberapa kali ia membuka jalan darah puteranya yg tertotok. Kedua pipi Ceng Soe bengkak dan bertepa lima tarak jari. Lukanya enteng, tapi karena adatnya yg tinggi, maka bagi Ceng Soe, kekalahan itu merupakan penderitaan yg lebih hebat dari pada kebinasaan. Song Wan Kiauw mengenal adat puteranya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata ia menuntung anaknya dan kembali kebarisan Boe tong.

Tepuk tangan dan sorak sorai menggetarkan seluruh lapangan. Semua org merasa kagum, kagum sekali.

Tiba2 Boe Kie muntah darah, sambil memegang dada ia batuk2.

Semua orang mengawasi kejadian itu dengan hati berdebar2. Mereka berkuatir akan keselamatan jiwanya pemuda gagah itu. Sebagian memperhatikan Boe Kie, sebagian pula mengawasi orang2 Boe Tong. Apa yg akan diperbuat mereka? Mengaku kalah kan? Mengajukan lain jago kah?

Sesaat kemudian Wong Wan Kiauw berkata dengan suara nyaring. "Hari ini Boe tong pay sudah menunaikan kewajiban. Mungkin sekali bintnag Mo Kauw masih terang. Secara tidak diduga duga muncul pemuda luar biasa ini. Kalau kita mendesak terus, apa bedanya antara partai lurus bersih dan Mo Kauw?"

"Aku setuju dengan pendapat Taoko," menyambung Jie Lian Cioe. Sekarang kita pulang dan minta petunjuk Soehoe. Sesudah pemuda itu sembuh, kita boleh bertempur lagi. Ia berbicara dengan suara nyaring dan bersemangat. Dengan kata2 itu ia menekankan bahwa hari ini Boe tong pay mengalah, ia tak percaya bahwa partainya tidak bisa melawan pemuda itu. Thio Seng Kee dan Boe Seng Kong mengangguk, sebagai tanda mereka menyetujui pendapat Lian Cioe.

Sekonyong konyong In Lie Heng menghunus pedang dan dengan mata menyala ia menghampiri diri Boe Kie. "Orang she Can!" bentaknya. "Dengan kau, aku tak punya permusuhan apapun jua. Jika sekarang aku mencelakai kau, In Lie Heng bukan seorang baik2.  Tapi sakit hati ku terhadap Yo Siauw dalam bagaikan lautan. Aku mesti bunuh padanya. Kau minggirlah!"

Boe Kie menggelengkan kepalanya. "Sebegitu lama aku masih bernyawa, aku akan cegah pembunuhan terhadap anggota Beng Kauw yg manapun jua," katanya dengan suara tetap. "Kalau begitu, aku terpaksa membunuh kau" kata In Lie Heng dengan mata beringas.

Boe Kie muntah darah lagi. Matanya berkunang dan ia berada dalam keadaan separuh ingat, separuh lupa, "In Liok siok!" katanya denga suara parau. "Kau turun tanganlah."

In Lie Heng terkesiap. Suara itu, suara memanggil "In Liok siok," agaknya mungkin tidak asing lagi didengar dikupingnya. Mendadak ia ingat. "Boe Kie!" katanya didalam hati.

"Diwaktu kecil, Boe Kie sering memanggil "In Liok siok" dengan nada suara seperti itu. Apa pemuda ini Boe Kie..." Ia mengawasi muka yang pucat pasi itu. Makin diawasi, muka itu makin mneyerupai muka Boe Kie. Sudah delapan tahun mereka berpisah. Dari seorang bocah cilik, Boe Kie sudah berubah menjadi seorang dewasa. Tubuhnya sudah berubah, mukanya pun sudah banyak berubah. Tapi dalam semua perubahan itu, masih banyak terbayang muka Boe Kie si bocah cilik yg menderita hebat karena pukulan Hiang Beng Sin Ciang.

Sesaat kemudian, In Lie Heng membuka mulutn, suaranya gemetar. "Apa .... Apa kau Boe Kie?"

Boe Kie merasa tenaganya habis semua. Matanya labur, kepalanya pusing dan ia merasa bahwa ia sudah berada dekat dengan liang kubur. Ia sekarang tak pelu menyembunyikan lagi dirinya. Bibirnya bergerak dan ia berbisik, "In Liok siok.... Titijie sering ingat kau...."

Mata In Liok hiap berkunang kunang. Perkataan seolah olah halilintar ditengah hari bolong.

Kaget, heran, kagum, gegetun.... Semua tercampur menjadi satu. Ia seorang yg berperasaan sangat halus. Air matanya lantas saja mengucur deras. Ia melontarkan pedangnya menubruk, memeluk dan mendukung Boe Kie. Kata dia dengan suara serak "Boe... Kie!... Putra tunggal dari Ngo ko..."

Song Wan Kiauw, Jie Lian Cioe, Thio Siong Kee dan Boh Seng Kok memburu dan berdiri diseputar In Lie Hong. Kekagetan dan kegirangan mereka sukar dilukiskan.

Orang2 Beng Kauw tak kurang girangnya, mimpipun mereka tak pernah mimpi, bahwa pemuda yang coba menolong mereka dengan mempertaruhkan jiwa sendiri, bukan lain daripada putranya Boe Tong Ngo Hiap Thio Cioe San.

Melihat keponakannya pingsan buru2 In Lie Heng mengeluarkan Thian ong Hoe Sim tan dan memasukannya kedalam mulut Boe Kie. Sesudah menyerahkan pemuda itu kepada Jie Lian Cioe, ia segera memungut pedangnya dan menghampiri Yo Siauw.

Seraya menuding musuh besar itu, ia berteriak, "Binatang Yo Siauw! Aku... aku..." Ia tidak dapat meneruskan perkataannya dan lalu mengangkat pedang.

Kong Beng Soe cia itu yg badannya masih belum bergerak, lantas saja meramkan kedua matanya dan menunggu kebinasaan seraya bersenyum.

 Tiba2, pada detik sangat berbahaya, seorang wanita muda melompat dan menghadap di depan Yo Siauw. "Tahan! Jangan lukai ayahku!" bentaknya.

In Lie Heng mengawasi. Tiba2 ia mengeluarkan seruan tertahan dan sekujur badannya dingin.

Gadis itu yg bertubuh jangkung kecil dan bermata besar tiada bedanya dari Kie Siauw Hoe.

Sedari bertunangan, wajah nona Kie yang manis selalu terbayang didepan matanya.

Belakangan ia mendapat tahu, bahwa tunangan itu di bawa lari dan dinodai kehormatannya oleh Kong Beng Soe cia Yo siauw, sehingga akhirnya ia membuang jiwa. Tak usah dikatakan lagi, kejadian itu sangat menyakiti hatinya.

Tak dinyana Kie Siauw Hoe muncul pula. Badannya bergoyang2 dan ia berkata dengan suara gemetar. Siauw Hoe Moay coo kau.

Gadis itu bukan lain daripada Yo Poet Hwie, berkata, Aku bernama Yo Poet Hwie. Kie Siauw Hoe adalah ibuku. Ibu sudah lama meninggal dunia.

In Lie Heng tertegun dan tersadar, Ah!.... aku betul gila! katanya. Kau minggirlah. Hari ini aku akan membalaskan sakit hati ibumu.

Bagus! seru si nona. In Siok siong, bunuhlah pendeta perempuan bangsat itu! Seraya berkata begitu, ia menuding Biat Coat Soethay.

Apa? Mengapa? menegas In Lie Heng.

Ibu dipukul mati oleh pendeta bangsat itu, jawabnya.

Dusta! Kau jangan bicara sembarangan, bentak Lie Heng.

Aku tidak berdusta, kata si nona dengan suara dingin. Ibu dibinasakan di Ouw tiap kok.

Pendeta bangsat itu menyuruh ibu membunuh ayah. Ibu menolak dan dia lantas turun tangan.

Kulihat dengan mata ku sendiri. Kejadian itu jg disaksikan oleh Boe Kie kok. Jika Siok2 tidak percaya, tanyalah pendeta bangsat itu sendiri.

Waktu nona Kie binasa, Peot Hwie masih sangat kecil. Belakangan, sesudah dewasa, barulah ia tahu apa yg sudah terjadi.

In Lie Hong menengok dan mengawasi Biat Coat dengan sorot mata menanya. "Soe.. thay..." katanya dengan suara tak lampias. "Dia kata.... Kie Kouw Nii..."

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar