Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 43
“Mana berani aku bertanding
dengan Soethay?” kata Boe Kie, “Aku hanya mengharap supaya Soethay suka menaruh
belas kasihan.”
“Can Siangkong, tak usah
banyak bicara dengan bangsat tua itu!” teriak Gouw Kin Co. “Kami lebih suka
mampus daripada menerima belas kasihannya yang diliputi kepalsuan.”
Biatcoat mengawasi Bie Kie
dengan sroto mata tajam. “Siapa gurumu?” tanyanya.
Goe Kie berpikir sejenak.
“Ayah dan ayah angkatku pernah mengajar ilmu silat kepadaku tapi mereka bukan
guruku,” katanya didalam hati. Maka itu, ia lantas saja menjawab, “Aku tidak
punya guru.”
Jawaban itu mengejutkan semua
orang. Dalam Rimba Persilatan, seorang guru sangat dihormati. ADalah lumarh
jika seorang murid tidak mau menyebutkan nama gurunya, tapi tak mungkin terjadi
bahwa seoran gyan gmempuynya guru mmengatakan tak punya guru. Makau itu kalau
Boe Kie mengatakan tak punya guru, ia pasti tak punya guru.
Sekarang Biatcoat tak mau
banyak omong lagi. “Sambutlah!” katanya seraya menepuk dengan tangannya.
Boe Kie tidak bisa tidak
melawan. Sambil mengerahkan Lweekang, ia mendorong dengna kedua tangannya untuk
menyambut pukulan si nenek. Mendadak Biatcoat menundukkan tangannya dan
bagaikan seorang ikan kecil, tangan itu melejit dari sambutan Boe Koe. Akan
kemudian bagaikan kilat, menyambar kedada pemuda itu. Dalam kagetnya, tenaga
Kioe-yang Sin kang dalam tubung Boe Kie keluar secara wajar. Pada detik kedua
tenaga hampir beradu, tenaga pukulan Biatcoat mendadak menghilang. Dengan
tercengang Boe Kie mengawasi si nenek. Pada saat itulah, mendadak ia merasa
dadanya seperti dipukul martil, kakinya bergoyang dan ia berjumpalitan beberapa
kali. “Uah!” ia memuntahkan darah dan roboh.
Tenaga pukulan Biatcoat yang
sebentar ada dan sebentar hilang, sungguh2 merupakan ilmu yag sudah mencapai
puncak kesempurnaan. Tanpa merasa, dengan serentak semua orang bersorak sorai.
Sambil mengeluarkan teriakan
menyayat hati Coe Jie melompat dan berlari2 menghampiri “AGoe Koko, kau… kau… “
katanya seraya coba membangunkannya.
“Boe Kie merasa dadanya
menyesak. Ia menggoyang2kan tangannya dan kemudian berkaa dengan suara
perlahan. “Jangan kuatir, aku tak mati.” Perlahan2 ia merangkak bangun.
Biatcoat menengok pada tiga
murid perempuannya dan berkata “Putuskan lengan kanan semua siluman itu!”
“Baik,” jawab mereka seraya
bertindak kearah orang2 Swie Kim Kie.
“Biatcoat Soethay,” kata Boe
Kie tergesa2.
“Kau mengatakan, jika aku… aku
bias menerima tiga pukulanmu, kau akan melepaskan mereka. Aku sduah menerima
pukulan pertama… masih ada dua.”
Sesudah mengirim pukulan yang
barusan, si nenek mengetahui, bahwa Lweekang Boe Kie bukan saja bukan Lweekang
dari golongan Mo kauw, malah hampir sama dengan Lweekangnya sendiri. Ia juga
tahu, bahwa biarpun ia mencoba melindungi orang2 Mo Kauw, Boe Kie bukan anggota
“Agama” itu. Maka itu, ia lantas saja berkata. “Anak muda! Jangan kau coba
mengurus urusan orang lain. Lurus dan sesat harus dibedakan sejelas2nya.
Barusan aku hanya menggunakan sepertiga bagian tenagaku. Apa kau tahu?”
Boe Kie yakin, bahwa sebagai
Ciangboenjin Biat Coat tentu tidak berdusta. Tapi ia sudah mengambil keputusan,
bahwa biarpun mesti mati, ia tak bias mengawasi penyembelihan terhadap orang2
Mo Kaouw sambil berpeluk tangan. “Dengan tidak mengimbangi tenaga sendiri,
biarlah aku menerima dua pukulan lagi,” katanya.
Boe Kie tidak menghiraukan dan
segera berkata pula, “Biatcoat Soethay….” Tapi ia hanya dapat mengeluarkan
empat perkataan itu, karena mendadak Ia memuntahkan darah lagi.
Coe Jie bingung bukan main.
Tiba2 ia bangun berdiri dan coba memapah pemuda itu. Tapi dilain saat, kedua
ulunya lemas kembali dan ia jatuh pula dipasir. Ternyata, walaupun “hiat” yang
ditotok oleh Biatcoat sudah dibuka Boe Kie, tapi darahnya belum mengalir biasa.
Sekarang melihat pemuda itu terluka, dalam kagetnya ia dapat berdiri dan
bergerak. Kejadian itu bersamaan sebab musababnya dengan seorang lumpuh, yang
dalam kebakaran mendadak bias lari cepat. Tapi semangat dan tenaga Coe Jie yang
luar biasa hanya keluar untuk sementara waktu.
Dengan rasa mendongkol
Biatcoat menghampiri si nona yang dianggapnya rewel. Ia mengimbas tangan
jubahnya dan tubuh Coe Jie terapung kebelakang. Cioe Cie Jiak yang berdiri di
sebelah belakang buru2 menyangga badan si nona dengan kedua tangannya dan
kemudia, perlahan2 menaruhnya di atas pasir.
“Ceoi cie cie,” kata Coe Jie,
“cobalah bujuk supaya dia jangan menerima kedua pukulan lagi. Ia akan menurut
apa yang kau katakan.”
“Bagaimana kau tahu dia akah
menurut?”” tanyanya nona Cioe dengan heran.
“Dia suka kepadamu,” jawabnya.
“Apakah kau tak tau?”
Paras muka Cie Jiak lantas
saja bersemu dadu.
“Mana bias jadi!” katanya,
kemalu2an.
Sementara itu sudah terdengar
suara Biao coat yg menyeramkan. “Kau sendiri yang cari mati dan kau tak boleh
menyalahkan aku”. Seraya berkata begitu, ia mengangkat tangan kanan nya dan
menghantam dada Boe Kie.
Pemuda itu tak berani
menangkis. Bagaikan kilat ia mengengos. Si nenek tiba2 menekuk sedikit sikunya
dan dari sudut yang tidak diduga2, telapak tangannya menyambar punggung Boe
Kie. “Plak!” dan tubuh pemuda (??? Tidak terbaca)
Boe Kie roboh tanpa berkutik
lagi, seolah2 ia sudah putus jiwa. Pukulan Biatcoat sebenarnya pukulan yang
lihai luar biasa dan menurut partai kawan2nya dari lain lan partai harus
bersorak sorai untuk memujinya. Tetapi semua orang berdiam seperti patung,
karena didalam hati, mereka merasa kasihan dan kagum terhadap pemuda itu yang
telah mengunjuk perbuatan seorang kesatria.
“Coe ciecie,” kata Coe Jie
dengan suara parau, “aku memohon… memohon… lihat… lihat… lukanya!”
Jantung nona Cioe memukul
keras. Permintaan itu diajukan dengan meratap dan didalam hati, ia ingin sekali
memenuhinya. Akan tetapi mana ia berani? Kalau ia menolong Boe Kie, berarti ia
tidak mengindahkan guru sendiri. Kakinya sudah melangkah, tetapi di tarik lagi.
Beberapa saat kemudian,
perlahan lahan tubuh pemuda itu bergerak dan kemudian, ia mencoba untuk
berduduk. Tapi setelah beberapa detik mengandalkan sikutnya di pasir kuning,
tenaganya habis dan ia terus roboh kembali.
Ketika itu,matahari sudah
memancarkan sinarnya yang gilang gemilang dan semua orang bisa melihat bahwa
Boe Kie seolah tidur dikobakan darah.
Pemuda itu berada dalam
keadaan lupa ingat. Tanpa bergerak ia rebah dan ingin sekali bisa rebah disitu
untuk selama lamanya. Tapi sayup2 ia ingat, bahwa untuk menolong orang2 Swie
Kim Kie, ia maish haru smenerima satu pukulan lagi. Sesaat kemudian, ia menarik
napas dalam2 dan dengan dorongan tenaga kemauan yg tiada taranya tiba2 ia
teruduk! Tapi badannya lantas saja bergemetaran dan setiap detik, ia bisa roboh
kembali.
Semua orang mengawasi dengan
mata membelak.
Disekitar itu terdapat ratusan
manusia. Tapi keadaan sunyi senyap bagaikan kuburan dan andaikata sebatang
jarum ditanah, suaranya munkgin dapat didengar orang.
Dalam susunan itulah dalam
otak Boe Kie mendadak berkelebat beberapa baris perkataan dalam Kioe yang Cing
Keng yang berbunyi begini:
“Dia kuat, biarlah dia kuat,
Angin sejuk meniup bukit,
Dia ganas, biarlah dia ganas,
Bulan terang menyoroti
sungai.”
Sebegitu jauh, semenjak
meninggalkan lembah itu ia belum pernah bisa menangkap artinya perkata2an itu.
Sekarang, dalam menghadapi kekuatan dan keganasan Biat coat yang sama sekali
bukan tandingannya, sekonyong2 otaknya seperti dapat menangkap arti daripada
perkataan2 itu, yang seperti juga ingin mengunjuk, bahwa tak perduli bagaimana
kuat dan ganasnya musuh, kita selalu dapat menganggapnya seperti angin yang
meniup bukit atau rembulan yang memancarkan sinarnya diatas sungai. Angin dan
rembulan itu takkan bisa mencelakai kita.
Tapi bagaimana? Bagaimana kita
harus berhubungan sehingga kekuatan dan keganasan itu tidak menolakan kita?
Perkataan selanjutnya dalam
Kioe yang Cia Keng adalah seperti berikut.
Biar dia ganas
Biar dia jahat
Bagiku cukuplah jika aku
sekali menyedot hawa tulen!
Hawa tulen!
Sekarang Boe Kie tersadar.
Baru2 ia bersila dan sesuai dengan ajaran kitab itu, ia menjalankan pernapasan
dan mengalirkan hawa “tulen” seluruh tubuhnya.
Dalam sekejap, ia merasa
semacam hawa panas muncul dibagian “tian2” (pusar) dan hawa tulen mengalir terputar
putar diseluruh tubuhnya, terus sampai ketangan dan kaki. Ia kagum bukan main.
Baru sekarang ia tahu hebatnya ajaran Kioe yang Cin Keng. Ia mendapat luka
berat, tapi tanaga dalam dan hawa “tulen” yang berada dalam tubuhnya sedikitpun
tak berubah.
Hiat coat terus memperhatikan
garak gerik pemuda itu dengan perasaan heran. Ia mengerti, bahwa Boe Kie benar2
kuat dan alot. Pukulannya yg pertama adalah salah satu pukulan dari Piauw soat
Coan in ciang (pukulan salju melayang menembus awan). Pukulan kedua lebih
liehay lagi yaitu Ciat chioe Kioe-sit dan yang telah digunakan olehnya adalah
jurus ketiga. Kedua pukulan itu yalah pukulan2 terhebat dari ilmu silat Go Bie
pay. Dalam pukulan pertama ia hanya menggunakan tiga barisan tenaga. Menurut
perhitungannya, biarpun tidak mati, Boe Kie akan terluka berat dan patah
tulang. Tapi tak dinyana, sesudah rebah beberapa saat, ia bisa duduk lagi (Ciat
Chioe Kio sit).
Pukulan yang memutuskan
terdiri dari sembilan jurus.
Menurut perhitungan pie boe
(adu silat) dalam Rimba Persilatan, Biat coat sebenarnya boleh tidak usah
menunggu sampai Boe Kie menjalankan pernapasannya untuk mengobati luka. Tapi
sebagai orang tua yang berdudukan tinggi, ia merasa malu untuk turun tangan
selagi lawan nya yang masih muda belia berada dalam bahaya.
Tapi Teng Bie Koen merasa
tidak sabaran lantas saja berteriak, “Hie orang she Can! Jika kau tak berani
menerima pukulan ketiga dari guruku, lebih baik kau lekas lekas berlalu dari
sini. Apakah karat mesti menggu kau seumur hidup disini?”
“Teng Soe cie, biarlah ia
mengaso lebih lama sedikit,” kata Cioe Cie Jiak dengan suara pelan.
Si perempuan she Tang lantas
saja jadi gusar. “E!” bentaknya “Apa…. Apa kau mau melindungi orang luar? Apa
karena melihat bocah itu…” Ia sebenarnya ingin mengatakan “apa karena melihat
bocah itu tampan mukanya kau jadi menuju padanya,” tapi mendadak ia ingat,
bahwa dihadapan begitu banyak orang dari berbagai partai, tidaklah pantas ia
mengeluarkan kata2 sekasar itu. Maka itu, perkataannya putus di tengah jalan.
Tapi tentu saja semua orang mengerti, apa yang ia mau mengatakan.
Cioe Cie Jiak malu bercampur
gusar, sehingga mukanya berubah pucat, “Siaowmoay berakta begitu karena
mengingat keangkeran partai dan guru kita,” katanya dengan tawar. “Siauwmoay
tak mau orang luar berbicara yang tidak2.”
“Tidak, tidak apa?” bentak
sang kakak.
“Ilmu silat partai kita
tersohor dikolong langit dan guru kita seorang cian pwee yg berkedudukan sangat
tinggi,” jawabnya dengan bernapsu. “Maka itu, guru kita pasti tidak boleh
mempunyai pandangan ygn bersamaan dengan seorang bocah. Hanyalah karena dia
sangat kurang ajar, maka guru kita sudah memberi ajaran kepadanya. Apa Soecie
menduga SoeHoe benar2 mau mengambil jiwa bocah itu? Selama kurang lebih seratus
tahun, partai kita dikenal sebagai parai dari para ksatria. Guru kita dikagumi
orang berkata kesatriaannya dan kemudian hatinya yang selamanya bersedia untuk
memotong sesama manusia. Bocah itu adalah seperti api lilin, sehingga cara
bagaimana dia dapat menandingi matahari dan rembulan. Biarpun dia berlatih
seabad lagi, dia masih belum tentu bisa menandingi guru kita. Maka itu, apa
jahatnya jika kita membiarkan dia mengaso terlebih lama?”
Indah sungguh pembelaan nona
Cioe!
Semua orang manggut2, sedang
orang yg plg bergirang adalah Biat Coat sendiri. Ia merasa, bahwa murid yg
kecil itu sudah mengangkat baik nama Go bie pay dihadapan orang banyak.
Sesudah hawa “tulen” mengalir
disekujur badannya, tenaga Boe Kie pulih kembali, semangatnya terbangun dan
otaknya terang lagi. Setiap perkataan nona Cioe didengar jelas olehnya dan ia
merasa sangat berterima kasih, karena tahu bahwa dengan berkata begitu, si nona
coba menyelamatkan jiwanya. Beberapa saat kemudian ia bangun berdiri seraya
berkata, “Soethay biarlah boanpwe membuang jiwa dalam menerima pukulan
terakhir.”
Tak kepalang herannya si
nenek. Ia sungguh tidka mengerti, cara bagaimana, dengan hanya bersila beberapa
saat tenaga pemuda itu sudah pulih kembali. Apa dia mempunyai ilmu siluman?
Sambil menatap wajah Boe Kie, ia berkata, “Sekarang kau boleh menyerang aku.
Mengapa kau tidak mau membalas?”
Boe Kie bersenyum getir.
“Dengan kepandaian yg tidak artinya, jubah Soethay saja boanpwee tak akan dapat
menyentuh,” jawabnya. Bagaimana boanpwee bisa menyerang?”
“Kalau kau tahu, pergilah
lekas2,” kata si nenek dengan suara lebih sabar. “Pemuda yang seperti kau
memang suka dicari tandingannya. Biat coat Soethay sebenarnya tidak pernah
mengampuni orang tpai hair ini aku melanggar kebiasaan itu.”
Boe Kie membungkuk seaya
berkata, “Terima kasih atas kasihan Cianpwee mengampuni juga saudara2 dari Swie
Kim Kie?”
Kedua alis nenek turun dan ia
tertawa dingin. “Kau tahu apa Hoat Bengku?” tanyanya. (Hoat Beng nama seorang
pendeta).
“Nama Ciapwee yang mulia ialah
Biat dan Coat,” jawabnya. (Biat berarti memusnakan sedang Coat bearti menumpas
atau membinasakan).
“Bagus,” kata si nenek. “Aku
bertekad untuk memusnakan dan menumpas semua kawanan Mokauw. Apa kau kira “Biat
coat” suatu nama kosong?”
“Kalau begitu biarlah Cianpwee
mengirim pukulan yang ketiga kata Boe Kie.”
Si nenek tercengang. Seumur
hidup ia belum pernah bertemu dengan manusia yang begitu nekad dan keras
kepala. Ia sebenarnya seorang berhati dingin. Tapi sekarang tiba2 ia merasa
sayang kalau pemuda gagah seperti Boe Kie harus mati konyol. Sesudah memikir
sejenak ia segera mengambil keputusan untuk memukul saja di bagian tan tian
supaya pemuda itu pingsan untuk sementara waktu dan kemudian, sesudah
membinasakan orang orang Swe Kim Kie, ia dapat menolongnya lagi. Memikir begitu
ia segera mengibas tangan kirinya dan bergerak untuk mengirim pukulan ketiga.
Sekonyong2 dari tempat jauh
terdengar teriakan, “Biat Coat Soethay, tahan!” suara itu tahan luar biasa dan
telinga semua orang merasa tak enak.
Dilain saat seraya menggoyang
goyangkan kipas seorang pria sudah berdiri dihadapan sinenek. Orang itu
mengenakan baju warna putih dna pada tangan baju sebelah kiri tersulam sebuah
hiat-chioe (tangan berlumuran darah). Waktu berjalan tak sebutir pasirpun naik
keatas dan semua orang lantas saja mengerti, bahwa ia adalah seorang yang
berkedudukan tinggi dalam Peh bie Kauw.
Seragam resmi Peh Bie kauw,
sama dengan seragam Mo Kauw yaitu pakaian warna putih. Perbedaannya ialah kalau
di tangan baju anggauta Mo-kaow terdapat sulaman obor, anggauta Peh bie kauw
menggunakan tanda hiat chioe.
Sambil menyoja orang itu
tertawa dan berkata, “Soethay selamat bertemu. Pukulan ketiga biarlah diterima
olehku.”
“Siapa kau?” tanya biat coat.
“Aku she In namaku yang rendah
Ya Ong,” jawabnya.
Mendengar nama “In Ya Ong” semua
orang terkejut. Selama kira2 duapuluh tahun, nama itu menggetarkan dunia Kang
ouw. Ayahnya yaitu Peh bie Eng ong In Thian Cong memusatkan seantero
perhatiannya dalam pelajaran ilmu silat dan mneyerahkan semua urusan Pe bie
kauw kepadanya, secara resmi. In Ya Ong hanya hiocoe, Thian wie tong, tapi
sebenarnya ia seorang wakil Kauw coe.
Dengan mata tajam Biat coat
mengawasi jago Peh Bie Kauw itu baru berusia kira2 empatpuluh tahun. Tapi
bermata sangat tajam, seolah2 sinar kilat yang dingin. “Pernah apakah bocah itu
kepadamu?” tanyanya dengan suara dingin.
Jantung Boe Kie memukul keras.
Hampir2 ia berteriak. “In Koekoe-ke!” (Koe Koe – paman, saudara lelaki dari
ibu).
In Ya Ong tertawa besar, “Aku
belum pernah mengenal dia,” jawabnya. “Tapi karena melihat jiwanya yg luhur,
yang berbeda dengan manusia2 palsu dalam Rimba persilatan, maka aku merasa
sayang dan didalam hatiku lantas saja timbul niatan untuk menjajal tenaga
Soethay” Perkataannya yg paling belakang tidak sungkan2, seolah2 ia tidak
memandang mata kepada si nenek.
Tapi Hiat coat tidak menjadi
gusar. “Bocah,” katanya kepada Boe Kie. “Kalau kau ingin hidup lebih lama, kau
masih mempunyai kesempatan.”
“Untuk menyelamatkan jiwa
sendiri, boanpwee tidak berani melupakan budi orang”, jawabnya.
Si nenek mengangguk dan lantas
saja berkata kepada In Ya Ong, “Anak ini masih hutang satu pukulan. Perhitungan
harus dibereskan satu persatu. Sebentar, sesudah beres yang satu, aku pasti
tidak akan mengecewakan tuan.”
In Ya Ong tertawa terbahak2.
“Biat coat Soe Thay!” bentaknya. “Kalau kau mempunyai nyali binasakanlah anak
itu! Jika dia binasa, kamu semua, tak seorangpun yang bakal terluputkan mampus
tanpa kubura!” seraya berkata begitu bagaikan melayang diudara, ia berlalu dari
hadapan si nenek. “Keluar semua!” teriaknya.
Hampir berbareng, diseputar
rombongan Biat coat dan kawan2nya, muncul sejumlah besar orang yg membekal
tameng dan kedua tangannya mementang busur, dengan semua anak panah ditujukan
ke arah rombongan Biat Coat.
Ternyata selagi Biat Coat berurusan
dengan Boe Kie, kawanan Peh Bie Kauw telah membuat parit di pesisir dan sudah
mengurung rombongan musuhnya. Perkerjaan itu dilakukan tanpa di ketahui oleh
siapapun jua, karena perhatian semua orang ditujukan kepada Biat Coat dan Boe
Kie.
Paras muka semua orang lantas
saja berubah pucat. Dengan melihat mata anak panah yang berwarna biru, mereka
tahu, bahwa senjata itu mengandung racun. Sekali In Ya Ong memberi perintah,
kecuali beberapa orang yang berkepandaian tinggi, mereka semua akan binasa.
Diantara orang2 lima partai yg
berada disitu, Biat Coatlah yang berkedudukan paling tinggi. Maka itu semua
oran gmengawasinya dan menunggu keputusannya.
Si nenek adalah manusia keras
kepala. Biarpun ia menarik, bahwa pihaknya telah menghadapi bencana, sikapnya
tetap tidak berobah. “Bocah kau tidak boleh menyalahkan orang lain untuk
nasibmu,” katanya kepada Boe Kie. “Dilain saat tulang2 dlm tubuhmu berkerotokan
seperci kacang di goreng,” dan kemudian dengan telapak tangan menepuk dada Boe
Kie.
Pukulan itu pukulan terlihat
Go Bie Pay dan dikenal sebagai Hoedkong Po-tiaw (Sinar Budha menyorot diselebar
dunia). Menurut kebiasaan ilmu silat, setiap pukulan berisi sejumlah jurus yg
saling susul seperti mata2 rantai dan saban jurus mengandung pula perubahan2
yang tidak sedikit jumlahnya. Tapi Hoedkong Po-tiauw hanya sejurus dan jurus
itu tidak ada perubahannya. Biarpun begitu jurus tunggal itu lihai bukan main.
Tak nanti ada manusia yang dapat mengelakkannya. Tenaga dahsyat terdapat
didalamnya adalah Go Bie Kioe yang kang. Pada jaman itu dalam kalangan Go Bie
Pay hanya Biat Coat soerang yg dapat menggunakan pukulan tersebut.
Semula si nenek hanya ingin
memukul tantian Boe Kie, supaya ia pingsan untuk sementara waktu. Tapi sesudah
munculnya In Ya Ong, ia mengambil keputusan untuk tidak malu kasihan lagi.
Menurut anggapannya, jika ia menaruh belas kasihan kepada Boe Kie it artinya
takut menghadapi In Ya Ong. Demikianlah ia mengirim Hoedkon Po Tiauw dengan
seantero tenaga Go Bie Kioe yang kang.
Mendengar suara berkerotoknya
tulang2 si nenek, Boe Kie mengerti, bahwa ia akan di serang dengan pukulan
membinasakan. Ia tahu jiwanya tergantung atas selembar rambut. Pada detik itu
untuk menolong jiwa, ia hanya mempunyai satu pegangan, yaitu perkataan yg
terdapat dalam Kioe yang cie keng. “Biar dia jahat, biar dia ganas, bagiku,
cukuplah jika aku sekali menyedot hawa tulen.”
Maka itulah tanpa menghiraukan
segala apa ia segera mengerahkan pernapasannya dan mengumpulkan hawa tulen
didadanya.
“Plak!” telapak tangan Biat
coat mampir tepat di dada Boe Kie!
Semua orang terkesikap,
beberapa antaranya mengeluarkan seruan tertahan. Mereka menduga tulang2 pemuda
itu akan hancur. Tapi muka Boe Kie kelihatan seperti orang kaget. Tapi ia tetap
berdiri tegak diatas pasir, sedang paras Biat Coat pucat pasi bagaikan mayat,
tanggannya yang barusan memukul bergetar.
Apa yang sudah terjadi?
Tenaga pukulan Hoed kong Po
tiauw adalah Go bie Kioe yang kang. Yang digunakan Boe Kie tenaga Kioe yang sin
kang, Go Bie Kioe yang kang digubah Kwee Siang sesudah mendengari Kak Wan Tay
Soe menghafal Kioe yan Cin Keng. Karena hanya mendengar satu kali, maka
dapatlah di mengerti, jika Kwee Siang tidak dapat menangkap isi kitab itu. Maka
itu, Go Bie Kioe yang kang tidak dapat dibandingkan dengan Kioe yang Sin kang
dari Boe Jie yang mendapatkannya dengan membaca kitabnya sendiri. Dengan lain
perkataan Kioe yang Sin kang Boe Kie yang lebih tulen dan lebih murni terlebih
kuat daripada Go Bie Kioe yang kang yg di miliki Biat Coat. Sebagai akibatnya,
begitu lekas kedua tenaga kebentrok, Go Bie Kioe yang kang hilang bagaikan batu
jatuh di laut.
Untuk sedetik Boe Kie merasa
dadanya tergetar, tapi dilain saat, seluruh tubunya berubah nyaman dan
semangatnya bertambah besar.
Mengapa?
Karena Go Bie Kioe yang kang dihisap
Kioe yang sin kang dan tenaga Go Bie Kioe yang kang berbalik menambah tenaga
Boe Kie. Pemuda itu tak sengaja menghisap tenaga si nenek. Itu semua sudah
terjadi secara wajar, sebab kedua rupa tenaga bersamaan sifatnya, sehingga yang
lebih kuat menyedot yang lebih lemah.
Dalam pukulan pertama kedua
Biat coat tak menggunakan Go Bie yang kang dan Boe Kie sudah terluka.
Sebab musabab dair ini semua
tak di ketahui oleh siapapun jua. Semua orang Rimba persilatan sudah mendengar
bahwa didalam dunia terdapat Kioe Im Cin Keng. Tapi semenjak kerajaan Lam Song,
Kioe Im menghilang dari Rimba persilatan. Disamping Kioe Im ada Kioe Yang cin
kang. Tapi kecuali kak wan tay soe, belum pernah ada manusia yang dapat
melihatnya,s ehingga secara aneh dan kebetulan, Boe Kie mendapatkannya dari
perut seekor kera. Maka itu kenyataan Go Bie Kioe yang sin kang tidak di
ketahui oleh siapapun jua, bahkan tak diketahui pula oleh Biat Ciat sendiri
yang hanya menggangap bahwa pemuda itu memiliki Lweekang yang sungguh2 luar
biasa.
Sebab mempunyai Lweekwang yg
sangat tinggi biarpun dalam bentrokan itu tenaga Go Bie Kie yang kang telah
terhisap, lweekang Biat Coat tidak menjadi rusak dan ia sama sekali tak
mengunjuk tanda ygn jelek. Maka itu, ratusan orang yang menyaksikan peristiwa itu
memberi tafsiran yg beraneka warna. Ada yg menduga si nenek menaruh belas
kasihan, ada yg menduga dia tak mau mencelakai jiwa ratusan lawan dan ada juga
yg menduga berayali kecil dan takut akan ancaman In Ya Ong.
Sementara itu Boe Kie menyoja
sambil membungkuk. “Terima kasih atas belas kasihan Soe thay,” katanya.
Biat Coat mengeluarkan suara
dihidung. Ia malu bercampur gusar. Ia sekarang serba salah, kalau memukul lagi,
sebagai seorang cianpwee ia tak menepati janji. Kalau menyudahi saja, ia
seperti jug mukuek lutut dibawah ancaman Peh Bie Kauw.
In Ya Ong tertawa terbahak2.
“Orang yang bisa melihat selatan adalah seorang gagah katanya.” “Tak mau Biat
Coat menjadi sorang yg berkedudukan tinggi pada jaman ???.” Ia mengibas
tangannya dan membentak “Mundur semua!”
Dengan serentak dan rapi,
pasukan anak panah Peh Bie Kauw menghilang dalam parit.
Biat Coat malu besar, tapi
orang tentu tidak mau percaya, jika ia mengatakan, bahwa barusan ia memukul
sungguh2. orang tentu menggangap, bahwa ia takut akan ancaman In Ya Ong. Maka
itu ia hanya mengawasi Boe Kie dengan sorot mata gusar. Sesaat kemudian, ia
berseru, “In Ya Ong! Jika kau ingin menjadi pukulanku, marilah!”
“Sesudah hari ini menerima
budi Soethay, aku tak berani membuat kdeosaan lagi,” jawabnya. “Di hari kemudia
masih ada kesempatan untuk bertemu pula.”
Si nenek mengibas tangannya
dan tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia mengajak murid2nya pergi ke arah
barat. Rombongan Koen Loen Hwasan dan Kongtong bersama In lie Heng dan Song
Ceng Soe lantas berangkat.
Coe Jie yang masih belum bisa
jalan lantas saja berteriak “A Go koko! Bawalah aku pergi dari sini!”
“Tunggu sebentar,” kata Boe
Kie yang inign bicara dengan In Ya Ong. Ia mendekati dan berkata. “Terima kasih
atas budi cianpwee, Boanpwee takkan dapat melupakannya.”
Sambil mencekal tangan pemuda
itu dan mengawasi mukanya dengan mata tajam. In Ya Ong bertanya. “Apa benar kau
she Can?”
Didalam hati Boe Kie ingin
sekali menubruk dan memeluk pamannya, tapi sebisa bisa ia mempertahankan diri.
Bahwa terharu, kedua matanya mengembang air.
Kata orang, “Melihat paman
seperti melihat ibu sendiri.” Sesudah kedua orang tuanya meninggal dunia,
selama belasan tahun, baru sekarang Boe Kie berjumpa dengan keluarga sendiri
sehingga dapatlah di mengerti, jika ia merasa sangat terharu. Di lain pihak, In
Ya Ong hanya menafsirkan menangisnya pemuda itu sebgai suatu tanda berterima
kasih. Tiba2 ia melihat Coe Jie yg rebah di tanah dan ia terus saja tertawa
dingin. “A lee,” tegurnya. “Apa kamu sudah tidak mengenal aku?”
Paras si nona lantas saja
berubah. “Thi!” katanya dengan suara bergemetar.
Boe Kie terkejut dan berbareng
ia melihat segala apa yg semula gelap baginya. “Ah! Kalau begitu ia putrinya
Koekoe dan saudari sepupuku,” pikirnya. “Ia telah membunuh ibu tirinya,
menyebabkan meninggalnya ibu kandungnya sendiri dan ia mengatakan, bila bertemu
ayahnya, akan membunuh dirinya…. Ah! Ia membinasakan In Boe Lok dengan Cian coe
Ciat hoe cioe. Mungkin sekali ketiga orang itu pernah menyakiti hatinya.
Biarpun membenci In Boe Hok dan In Boe Sioe tidak berani melawan dia dan lari
dengan membawa mayat Boe Lok….” Ia mengawasi si nona dan berkata pula dalam
hatinya. “Tak heran ia agak mirip dengan ibu. Tak dinyana, ibuku adalah bibinya
sendiri.”
Sementara itu, seraya tertawa dingin
In Ya Ong berkata. “Hm!… kau masih memanggil aku ‘thi’. Kukira sesudah
mengikuti Kim hoa Popo, kau tak memandang sebelah mata lagi kepada Peh Bie
kauw. Kau tiada bedanya denagn ibumu. Hm!… mempelajari Ciaon coe ciat hoe cioe.
Ambillah kaca pandang mukamu yg tak keruan macam. Apakah didlm keluarga In ada
manusia yg beroman seperti memedi?”
Coe Jie ketakutan dan
menggigil. Tiba2 ia mendongak dan menatap wajah ayahnya. “Thia” katanya dengan
nyaring. “Jika kau tak menyebutkan kejadian dahulu hari, akupun takkan
menggusik usiknya. Tapi sesudah kau menyebutkan itu, kini aku ingin menanya.
Ibu telah menikah denganmu dan telah merawat engkau sebagai mana mesti. Tapi
kenapa kau mengambil istri kedua?”
“Kurang ajar kau!” bentak sang
ayah. “Orang lelaki manakah yang tak mempunyai beberapa istri dan gundik? Kau
berdosa besar… tak guna kau coba membela diri dengan pertanyaan2 kurang ajar…
hm… Kim hoa Popo… Gin hip Sian Seng… sedikit pun kau tak memandang mata kepada
Peh bie kauw”. Sambil menengok kepada In Boe Hok dan In Boe Sioe, ia berkata,
“Bawa budak ini!”
“Tahan!” kata Boe Kie. “In…
Cian pwee, perlu apa kau membawa dia?”
“Budak ini adalah anakku
sendiri,” jawabnya dengan mendongkol. “Dia meracuni ibu tirinya sehingga mati
dan diapun menyebabkan matinya ibu kandungnya sendiri. Perlu apa manusia
binatang itu dibiarkan hidup didalam dunia?”
“Waktu itu In Kouwnio masih
sangat muda dan sebab jengkel melihat ibunya dihina orang. Ia sudah melakukan
perbuatan yg tak pantas,” kata pula Boe Kie. Dengan mengingat kecintaan antara
ayah dan anak, aku mengharap Cianpwee suka mengampuninya.”
In ya Ong tertawa terbahak2.
“Bocah! Siapa sebenarnya kau, sehingga kau berani campur2 urusan rumah
tanggaku? Apakah kau seorang Boe Lim Cie Coen?”
Didalam hati Boe Kie ingin
menjawab, “Aku bukan orang luar, aku keponakanmu,” tapi perkataan itu yang
sudah hampir keluar ditelan lagi.
Sesudah berdiam sejenak, In Ya
Ong berkata pula, “Bocah secara mujur, hari ini jiwamu ketolongan. Tapi jika
kau tidak mengubah adat, jika kau terus coba2 campur urusan orang, biarpun kau
mempunyai sepuluh jiwa juga tak cukup.” Ia mengibas tangannya dan In Boe Hok
serta In Boe Siong segera mengangkat Coe Jie dan menaruhnya dibelakang In Ya
Ong.
Boe Kie mengerti, bahwa begitu
lekas si nona dibawa oleh ayahnya, jiwanya pasti akan melayang. Dalam
bingungnya, ia melompat merampasnya. Alis In Ya Ong berkerut. Bagaikan kilat
tangannya menyambar dan mencengkram dada Boe Kie yang lalu dilontarkan. “Bruk!”
ia ambruk di pasir kuning. Dengan Kie yang Sin Kang melindungi dirinya. Ia
tidak dapat mendapat luka; tapi muka dan pakaiannya gelepotan pasir. Dengan
cepat ia merangkak bangun dan lekas mengulangi usaha untuk merampas Coe Jie.
“Bocah!” bentak In Ya Ong.
“Barusan aku menaruh belas kasihan. Tapi sekali lagi aku tak akan menaruh
sungkan.”
“In… cian pwee,” meratap Boe
Kie. “Dia adalah anak kandungmu sendiri. Dahulu kau sedang mendukung ida… kau
pernah menyintainya… Dengan mengingat kecintaan itu, ampunilah dia…”
Mendengar ratapan itu, hati In
Ya Ong tergerak jg. Ia mengawasi puterinya, tapi begitu melihat muka Coe Jie yg
tak keruan macamnya, darahnya meluap lagi. “Minggir!” bentaknya.
Sebaliknya daripada
menyingkir, Boe Kie melompat pula merebut si nona.
“A Goe Koko,” kat Coe Jie.
“Kau tak usah mempedulikan aku!” Aku takkan melupakan budimu. Pergilah! Kau
bukan tandingan ayahku.”
Pada saat itulah mendadak
muncul seorang pria yang mengenakan jubah berwarna hijau. Dengan kedua tangan
ia mencekal belakang leher In Boe Hok dan In Boe Sioe dan lalu membentrokkan
kepala kedua orang itu yang lantas saja menjadi pingsan. Hampir berbareng,
dengan kecepatan kilat, ia mendukung tubuh Coe Jie dan segera kabur.
“Ceng ek Hong ong!” bentak In
Ya Ong dengan gusar. “Kau juga mau campur2 urusanku!”
Ceng ek Hok ong Wie It Siauw
tertawa dan terus lari dengan secepat2nya. Sesuai dengan namanya “It Siauw”
(Sekali tertawa), tertawa2nya nyaring dan panjang luar biasa.
In Ya Ong dan Boe Kie lantas
saja mengubar. Kali ini Ceng ek Hok ong tak lari berputaran tapi terus menuju
kejurusan tenggara. Dia sungguh lihai. In Ya Ong adalah seorang ahli silat
kelas utama yg mempunyai lweekang sangat tinggi, sedang Boe Kie memiliki Kioe
yang sin kang. Tapi makin lama mereka mengejar, Wie It Siauw yang mendukung
orang, mereka ketinggalan makin jauh, sehingga si Raja Kelelawar tidak
kelihatan bayang2nya lagi.
Bagaikan kalap, In Ya Ong
mengubar terus. Diam2 dia merasa heran karena Boe Kie bisa terus merendenginya.
Sesudah tak punya harapan menyusul musuh ia sekarang ingin menjajal kepandaian
pemuda itu. Ia segera menggunakan seantero tenaga dalamnya dan lari bagaikan
anak panah yg baru terlepas dari busurnya. Tapi pundak Boe Kie tetep berendeng
dengan pundaknya. Tiba2 pemuda itu berkata, “In cianpwee, meskipun Ceng ek Hong
bisa lari sangat cepat, lweekang nya belum tentu seberapa tinggi. Cobalah kita
mengubar terus untuk mencoba kekuatannya.
In Ya Ong kaget bukan main.
“Dengan lari secepat ini, aku telah menggunakan seantero tenaga dalamku,”
pikirnya. “Jangankan berbicara, bernapas salahpun sudah tak boleh. Tapi anak
ini bisa berbicara dengan kecepatan lari yg tidak berubah. Apa dia mempunyai
ilmu siluman?” Mendadak ia menghentikan tindakan dan dalam sedetik itu, tubuh
Boe Kie sudah melesat belasan tomak jauhnya. Buru2 pemuda itu berhenti dan
menghampiri In Ya Ong.
“Saudara Can,” kata In Ya Ong,
“Siapakah gurumu?”
“Tidak… tidak….” Kata Boe Kie
tergugu. “In Cianpwee, janganlah kau memanggil aku dengan istilah “saudara”.
Panggil saja namaku A Goe. Aku tak punya guru.”
Mendengar jawaban itu, serupa
ingatan tidak baik mendadak muncul dalam hati In Ya Ong. “Bocah ini memiliki
kepandaian yang sangat aneh,” pikirnya. “Kalau dia hidup terus, dia bisa jadi
bibit penyakit. Sebaiknya sekarang saja aku mangambil jiwanya.”
Sekonyong-konyong di tempat
jauh terdengar suara terompet yang terbuat daripada keong raksasa. Itulah tanda
bahaya dari Peh bie kauw.
Alis In Ya Ong berkerut.
“Tak salah lagi Ang soei dan
Liat Hwee yang cari lantaran,” pikirnya. “mereka rupanya marah sebab aku tidak
membantu Swie kim kie. Kalau sekarang aku menyerang dan tidak membinasakan
bocah itu dengan satu kali pukul, aku mesti bertempur lama, sedang aku tak
banyak waktunya. Aah…. Lebih baik aku meminjam tenaga orang, biarlah dia mampus
dalam tangan Wie It Siauw.” Memikir begitu, ia lantas saja berkata. “Peh bie
kauwsedang menghadapi musuh, dan aku harus segera kembali. Kau saja yang pergi
mencari Wie It Siauw. Manusia itu sangat lihay dan jahat. Kalau bertemu, kau
mesti turun tangan lebih dulu.”
“Kepandaianku sangat cetek,
bagaimana aku bisa melawan dia?” kata Boe Kie “Musuh dari manakah yang
menyerang pihakmu?”
Sesaat itu terdengar suara
terompet keong.
“Benar2 Ang soei, Liat Hwee
dan Houw touw yang menyerang.” Kata In Ya Ong.
“kalian semua adalah dari satu
golongan Mo kauw, tapi mengapa kalian saling bunuh?” tanya Boe Kie.
Paras muka In Ya Ong berubah,
“Tahu apa Kau!” bentaknya seraya memutar tubuh dan lalu berlari lari ke arah
datangnya suara terompet.
Sesudah berada sendirian, Boe
Kie segera teringat keselamatan Coe Jie. “Kalau lehernya digigit dan darahnya
dihisap, dia tentu lantas mati” pikirnya. Mengingat begitu, ia bingung dan
segera mengerahkan Lweekang, ia mengubar pula.
Untung juga, walaupun Wie It
Siauw memiliki ilmu ringan badan yang sangat tinggi, tapi sebab mendukung
orang, ia tidak bisa menghilangkan tapak kakinya di atas pasir. Dengan
demikian, walaupun manusianya sudah tidak kelihatan, Boe Kie masih dapat
mengikutinya. Ia mengambil keputusan untuk mengjar terus tanpa mengaso dan ia
percaya dalam beberapa hari ia akan dapat menyusulnya.
Tapi mengubar orang berhari2
dibawah teriknya matahari bukan pekerjaan mudah. Sesudah mengubar samapi
magrib, mulutnya kering dan keringat membasahi pakaiannya. Tapi sungguh heran,
ia bukan saja tidak merasa lelah bahkan kekuatan kakinya tidak berubah. Tenaga
Kioe Yang Sin Kang yang telah dilatihnya selama beberapa tahun, sekarang
memperlihatkan manfaatnya yang tiada batasnya. Makin banyak tenaga digunakan.
Semangatnya makin berkobar2. kalau haus, ia hanya meminum air dari kobakan yang
terdapat di pinggir jalan dan sesudah minum ia mengejar lagi.
Waktu mengubar sampai tengah
malam, dengan hati berdebar2 ia mengawasi rembulan. Ia sangat berkuatir. Ia
kuatir Coe Jie keburu dibinasakan.
Sekonyong2 ia mendengar suara
tindakan di belakangnya, tapi waktu menengok, tak terlihat siapapun jua. Ia
lari terus. Sesaat kemudian suara tindakan terdengar pula. Ia heran bukan main
dan segera memutar tubuh. Tapi ia tetap tidak melihat bayangan manusia. Dengan
matanya yang sangat tajam, ia mengawasi pasir. Diatas pasir terdapat tiga
renteng tapak kaki, yang satu tapak Wie It Siauw, yang lain tapak kakinya
sendiri, sedang yang ketiga tapak orang itu. Tapi siapakah dia? Ia memutar
badan dan mengawasi ke sebelah depan. Didepan hanya terdapat serentetan tapak
yaitu tapak kaki Wie It Siauw. Dengan lain perkataan, orang itu hanya mengikuti
dari belakang. Siapa dia? Apa siluman? Apa dia seorang berilmu yang bisa
menghilang?
Dengan rasa heran dan sangsi,
ia mengubar lagi. Lagi lagi di sebelah belakang terdengar suara tindakan!
“Siapa?” teriak Boe Kie.
“Siapa?” kata orang di
belakangnya.
Boe Kie terkesiap.
“Apa kau manusia atau setan?”
tanya pemuda itu.
“Apa kau manusia atau setan?”
mengulangi suara itu.
Bagaikan kilat Boe Kie memutar
badan. Kali ini ia melihat berkelebatnya bayangan manusia. Sekarang ia tahu,
bahwa seseorang yang gerakannya cepat luar biasa sedng mempermainkan dirinya.
“Perlu apa kau mengikuti aku?”
teriaknya.
“Perlu apa kau mengikuti aku?”
tanya orang itu.
Boe Kie tertawa. “Bagaimana
kutahu,” katanya. “Aku justru mau menanya kau,”
“Bagaimana kutahu? Aku justru
mau menanya kau,” mengulangi orang itu.
Boe Kie tahu orang itu tidak
mengandung maksud jahat. Kalau mau dengan mudah dia bisa mengambil jiwanya.
“Siapa namamu?” tanyanya pula.
“Tak bisa diberitahukan,”
jawabnya.
“Mengapa tidak bisa
diberitahukan?” mendesak pemuda itu.
“Tidak bisa diberitahukan,
tidak bisa diberitahukan.” Jawabnya.
“Keterangan apa lagi yang bisa
diberikan kepadamu? Eh siapa namamu?”
“Aku…..aku Can A Goe,” jawab
Boe Kie.
“Justa!” bentak orang itu.
“Justa ya Justa” jawabnya. “Eh
sekarang aku yang mau menanya kau. Perlu apa kau berlari2 seperti orang edan di
tengah malam buta?”
Boe Kie mengerti, bahwa ia
sedang manghadapi sesorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Maka itu, ia
lantas saja menjawab. “Salah seorang sahabatku telah ditawan oleh Ceng ek Hok
ong dan aku mau coba menolongnya”
“Kau takkan mampu menolong
sahabatmu” kata orang itu.
“Mengapa?” tanya Boe Kie.
“Ilmu silat Ceng ek Hok ong
banyak lebih tinggi dari pada kepandaianmu. Kau takkan dapat menandinginya”
“Biarpun kalah aku mesti tetap
melawan dia”.
“Bagus! Semangatmu harus
dipuji. Sahabatmu seorang wanita, bukan?”
“Benar. Bagaimana kau tahu?”
“Kalau bukan wanita, tak
mungkin seorang pemuda rela mengorbankan jiwa untuk menolongnya. Apa dia
cantik?”
“Sangat jelek.”
“Kau sendiri? Apa mukamu
bagus?”
“Mari. Datanglah dihadapanku.
Kau bisa lihat sendiri”
“Tak perlu kulihat mukamu. Apa
nona itu mengerti ilmu silat.”
“Cukup pandai. Dia adalah putrinya
In Ya Ong Cianpwee dari Peh Bie Kauw. Dia pernah berguru pada Kim Hoa popo dari
Leng coa to.”
“Tak guna kau mengubar. Wie It
Siauw pasti tak akan melepaskan dia.”
“Mengapa?”
Orang itu mengeluarkan suara
dihidung. “Kau sungguh tolol,” katanya.
“Pernah apa In Ya Ong kepada
In Thian Ceng?”
“Mereka adalah Ayah dan anak.”
“Antara Peh bie Eng ong dan
Ceng ek Hok ong, siapa yang lebih tinggi ilmu silatnya?”
“Tak tahu. Bagaimana pendapat
Cianpwee.”