Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 39

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 39
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 39

“Dia bukan sengaja ingin menipu aku”, jawabnya. “Aku sendirilah yang salah. Melihat kecantikkannya aku jadi seperti orang edan. Tentu saja aku bukan pasangannya dan akupun tidak mengharapkan yang tidak2. belakangan ayahnya wanita itu telah menjalankan siasat busuk terhadap diriku sehingga aku sangat menderita”. Seraya berkata begitu, ia menggulung tangan bajunya dan sambil menunjuk tanda2 bekas luka, ia berkata pula. “Lihatlah! Ini tanda bekas gigitan anjing2nya yang jahat”.

Paras muka nona itu lantas berubah gusar. “Apa kau maksudkan Coe Kioe tia ?” tanyanya.

“Bagaima kau tahu?” Boe Kie balas menanya dengan suara heran.

“Budak hina itu suka sekali memelihara anjing yang sering untk mencelakakan manusia”, jawabnya. “Dalam jarak ratusan li disekitar tempat ini, tak seorangpun yang tidak tahu”.

Boe Kie mengangguk “Benar”, katanya. “Lukaku sudah sembuh dan akupun masih hidup, akupun tak mau mebenci dia lagi”.

Mereka saling memandang tanpa mengeluarkan sepatah kata. Selang beberapa saat nona itu bertanya. “Siapa namamu? Mengapa kau berada disini?”

Mendengar pertanyaan itu Boe Kie segera ingat bahwa waktu berada di tionggoan banyak sekali orang coba mengorek keterangan tentang ayah angkatnya dan karena urusan itu, ia telah mendapat banyak kesengsaraan. “Mulai dari sekarang Thio Boe Kie sudah meninggal dunia dan didalam dunia tak ada manusia lagi yang tahu tempat bersembunyinya Kim Mo Say Ang Cia Soen”, katanya didalam hati. “Dikemudian hari biarpun aku bertemu dengan manusia yang sepuluh kali lihay daripada Coe Tiang Leng, aku tak bisa diakui lagi”. Memikiri begitu, ia lantas menjawab. “Namaku Ah Goe”.

“Shemu?” tanya pula si nona.

“Aku…..aku si Ca”, jawabnya. “Dan Kau?”

“Aku tak punya She”, jawabnya. Sesaat kemudian ia berkata lagi dengan suara perlahan. “Ayah kandungku membenci aku. Kalau ia bertemu denganku ia pasti akan membunuhku. Bagaimana aku bisa menggunakan shenya? Ibuku sendiri meninggal dunia sebab gara2ku. Akupun tidak bisa menggunakan she ibu. Romanku sangat jelek (toe), maka itu biarlah, kau memanggil aku dengan panggilan Tioe Kouwnia (nona muka jelek saja)”.

Boe Kie terkejut. “Kau……..kau telah mencelakakan ibumu sendiri?” tanyanya dengan suara terputus2. “Bagaimana bisa begitu?”

Gadis itu menghela nafas. “Kalau mau dituturkan panjang sekali”, jawabnya. “Aku mempunyai dua orang ibu. Ibu kandungku adalah istri pertama dari ayahku. Karena lama tidak punya anak ayah mengambil istri kedua. Ibu tiriku (Jienio) telah melahirkan dua kakak laki laki dan seorang kakak perempuan, sehingga ayah sangat menyayangnya. Belakangan ibu melahirkan aku. Sebab disayang dan juga sebab keluarganya berpengaruh, Jienio sangat sewenang-wenang terhadap ibuku yang hanya bisa menangis, ketiga kakak juga sangat jahat dan mereka membantu ibu mereka untuk menindas ibuku. Tioe Pat Koay, coba kau pikir, apakah yang harus diperbuat olehku?”

“Dalam hal ini ayahmu harus berlaku adil”, kata Boe Kie.

“Tapi ayah sangat memilih kasih dan ia selalu membenarkan Jienio” kata si nona. “Karena tak dapat menahan sabar akhirnya aku bacok mampus ibu tiriku itu”.

“Ah”, tanpa merasa Boe Kie mengeluarkan suara kaget. Ia adalah seorang dari rimba persilatan yang sudah biasa melihat pertempuran dan pembunuhan. Tapi gadis itu yang kelihatannya lemah bisa membunuh orang adalah kejadian yang sangat diluar dugaannya. Tapi nona itu sebaliknya tenang2 saja dan dengan suara perlahan ia melanjutkan penuturannya. “Ibu jadi ketakutan dan menyuruh aku melarikan diri. Ketika kakakku mau mengubar untuk menangkap aku, ibu mencoba mencegah mereka, tapi tidak berhasil. Untuk menolong jiwaku, ibu segera menggantung diri sehingga mati. Coba kau pikir. Bukankah aku yang sudah mencelakai ibuku sendiri? Kalau ayah bertemu denganku bukankah ia bisa membunuh aku?”

Boe Kie mendengarkan cerita itu dengan jantung memukul keras. “Walaupun kedua orang tuaku sudah meninggal dunia secara menggenaskan, mereka sedikitnya mencintai satu sama lain”, katanya didalam hati. “Ayah dan ibu juga sangat mencintai aku. Ya! Kalau dibanding2kan, penderitaan nona itu memang ribuan kali lebih hebat daripada pengalamanku”. Mengingat begitu, rasa kasihannya jadi terlebih besar. “Apa sudah lama kau meninggalkan rumah?” tanyanya “Apa mulai dari waktu itu kau terus terlunta2 sebatang kara?”

Si nona manggut-manggutkan kepalanya.

“Sekarang, kemana kau mau pergi?” tanya pula Boe Kie.

“Entahlah”, jawabnya. “Dunia sangat lebar dan aku bisa pergi kemanapun juga. Asal tidak berpapasan dengan ayah dan kakakku, aku boleh tak usah berkuatir”.

Darah Boe Kie bergolak dalam dadanya. Disamping rasa kasihan, ia merasa senasib dengan gadis dusun itu, sebab iapun sebatang kara dan hidup bergelandang di dunia yang lebar ini. “Biarlah kau tunggu sampai lukaku sembuh”, katanya kemudian. “sesudah sembuh, kita akan cari toako….pemuda itu. Aku mau tanya, bagaimana sikapnya yang sebenarnya terhadapmu?”

“Bagaimana kalau ia memukul aku?” tanya si nona.

“Hm!” Boe Kie mengeluarkan suara dihidung. “Kalau dia berani menyentuh selembar rambutmu saja, aku pasti tak akan mengampuninya”.

“Tapi bagaimana jika ia hanya mengambil sikap tidak memperdulikan?” mendesak si nona.

Boe Kie membungkam. Ia mengerti, bahwa ia tak dapat memaksakan cinta. Sesudah termenung beberapa saat, ia berkata. “Aku akan berusaha sedapat mungkin”.

Sekonyong2 nona itu tertawa terbahak2, tertawa geli, seolah2 didalam dunia tak ada lain hal yang lebih menggelikan daripada pernyataan Boe Kie.

“Mengapa kau tertawa?” tanya Boe Kie dengan heran.

“Tioe pat koey”, jawabnya. “Manusia apa kau? Apa kau kira orang akan mengindahkan segala kemauanmu? Aku sudah mencari2 dia ke segala pelosok, tapi tak bisa menemukannya. Apakah dia masih hidup? Apakah sudah mati? Entahlah kau mau berusaha sedapat mungkin? Apa kemampuanmu? Ha ha ha!……ha ha….”.

Boe Kie sebenarnya mau mengatakan sesuatu akan tetapi, mendengar perkataan itu, mulutnya yang sudah terbuka tertutup kembali. Dengan paras muka merah dan mulut ternganga, ia mengawasi gadis dusun itu.

“Kau mau bicara apa?” tanya si nona.

“Sesudah kau mentertawai aku, tak perlu aku bicara lagi”.

“Hm!……Paling banyak aku tertawa lagi. Dengan ditertawai olehku, kau toh tak akan mati”.

“Nona, aku bicara dengan setulus hati. Tak pantas kau mentertawai aku”.

“Sudahlah. Sekarang jawablah pertanyaanku. Apa yang mau dikatakan olehmu?”

“Baiklah”, kata Boe Kie. “Karena melihat kau sebatang kara dan nasibmu agak bersamaan dengan nasibku sendiri, yang sudah tak punya orang tua atau saudara, maka tadi aku ingin mengatakan. Jika pemuda itu tetap tak mau memperdulikan kau, biarlah aku saja yang mengawani kau. Biar bagaimanapun jua, aku bisa menjadi kawan beromong2, guna menghibur kau. Tapi jika kau menganggap, bahwa diriku tidak sesuai untuk berbuar begitu, terserahlah kepadamu”.

“Tidak sesuai!…….Memang tidak sesuai”, kata si nona. “Orang jahat itu seratus kali lipat lebih tampan daripada mukamu. Celaka sungguh! Aku membung2 tempo disini dengan pembicaraan yang tidak ada faedahnya”. Sesudah menendang daging ayam dan kaki kambingyang dilontarkannya ke tanah, ia segera berlalu dengan cepat.

Boe Kie menghela nafas. “Nona itu sungguh harus dikasihani”. Pikirnya dengan perasaan duka. Ia sangat menderita dan segala sepak terjangnya yang sangat aneh harus dimaafkan”.

Sekonyong2 terdengar suara tindakan dan gadis dusun itu kembali lagi. “Tioe pat koey!”, bentaknya dengan garang. “Kau tentu merasa sabngat penasaran didalam hati, kau pasti merasa sangat mendongkol, bahwa seorang wanita yang sejelek aku masih berani menghina dirimu. Benarkah begitu?”.

Boe Kie meggelengkan kepala. “Tidak, tidak begitu”, katanya. “Karena kau tidak begitu cantik, maka begitu bertemu, aku lantas saja merasa cocok denganmu. Kalau mukamu tidak berubah jelek dan masih seperti pada waktu pertemuan pertama kali…..”

“Apa?” memutus si nona. “Bagaimana kau tahu bahwa dahulu aku tidak seperti sekarang?”

“Dalam pertemuan ini, bengkak matamu lebih hebat dan warna kulitmu lebih hitam daripada dalam pertemuan pertama kali”, kata Boe Kie.

“Roman muka yang didapat semenjak dilahirkan tidak bisa berubah2.”

“Nona itu kelihatan kaget sekali. “Aku……. Aku dalam beberapa hari ini, aku tidak berani berkaca”, katanya “Apakah romanku makin lama jadi makin jelek?”

“Aku memandang manusia bukan melihat romannya”, kata Boe Kie menghibur.

“Dlam manusia, yang terutama adalah hati harus baik, rupa adalah soal kedua. Ibuku pernah mengatakan bahwa makin cantik seorang wanita mungkin makin busuk hatinya, makin suka menipu orang dan ibu menasehati aku supaya aku berwaspada terhadap wanita cantik”.

Tapi gadis itu tentu saja tidak memperdulikan apa yang dikatakan oleh ibunya Boe Kie. Yang penting baginya adalah soal dirinya sendiri. Cepat2 ia berkata “Kau jawablah pertanyaanku. Dalam pertemuan kita pertama kali, apa romanku belum sejelek sekarang ?”

Boe Kie mengerti, bahwa jika ia menjawab “Ya”, gadis itu tentu akan tersinggung. Maka itu, ia tidak menjawab dan hanya mengawasi si nona dengan hati sangsi.

Tapi nona itu ternyata cukup cerdas otaknya. Melihat kesangsian orang, ia bisa menebak apa yang dipikir oleh pemuda itu. Tiba2 ia menangis “Tioe pat koey! Aku benci kau!……benci kau….” Teriaknya. Ia segera berlalu dan kali ini tidak kembali lagi.

Dua hari telah lewat.

Malam itu, seekor srigala berkeliaran mencari makanan. Sambil mengendus2 dia mendekati Boe Kie. Dengan sekali meninju, Boe Kie berhasil membinasakannya, sehingga binatang itu yang mau cari makan, malah kena dimakan.

Beberapa hari lewat lagi tanpa terjadi sesuatu yang penting. Kedua tulang betis Boe Kie yang patah sudah menyambung pula dan tujuh delapan hari lagi, ia akan bisa jalan seperti sedia kala. Selama beberapa hari itu, ia selalu memikirkan si gadis dusun. Ia merasa menyesal, bahwa ia masih belum tahu nama si nona. Disamping itu, iapun merasa heran mengapa muka nona itu bisa berubah menjadi lebih jelek. Ia mengasah otak untuk memecahkan teka teki itu, tapi sampai kepalanya puyeng, ia masih belum juga berhasil. Karena capai, tak lama kemudian ia pulas nyenyak.

Kira kira tengah malam ia tersadar karena suara tindakan beberapa orang di tempat jauh. Sesudah melatih Kioe Yang Sin Kang didalam dirinya telah mendapat semacam kewaspadaan yang wajar. Biarpun sedang pulas, setiap suara dalam puluhan tombak tidak terlepas dari pendengarannya.

Waktu itu biarpun kakinya masih belum bisa digunakan, ia sudah bisa duduk. Dengan cepat ia duduk dan mengawasi ke arah suara itu. Dengan bantuan sinar bulan sisir yang remang2, ia melihat tujuh orang sedang mendatangi. Yang berjalan paling dulu adalah seorang wanita bertubuh langsing dan gerak geriknya gemulai. Sesaat kemudian ia terkejut sebab wanita itu bukan lain daripada si wanita dusun yang aneh. Dibelakangnya mengikuti enam orang yang berjalan dengan berbareng dam bentuk kipas, seolah olah mau menjaga supaya nona itu jangan sampai melarikan diri. “Apakah ia sudah ditangkap oleh ayah dan kakak2nya?” tanyanya di dalam hati. “Mengapa mereka datang kesini?”

Makin lama mereka makin mendekati.

Tiba tiba Boe Kie terkesinap. Keenam orang itu sudah dikenal olehnya. Yang berjalan di sebelah kiri adalah Boe Ceng Eng bersama ayahnya, Boe Liat, dan Wie Pek. Sedang yang disebelah kanan adalah Ciang Boen Jin Koen Loen Pay Ho Thay Ciong bersama istrinya, Pan Siok Ham, dan yang satunya lagi, seorang wanita berusia pertengahan, juga seorang kenalan lama, yaitu Teng Bin Koen, Murid Goe Bi Pay.

Itulah kejadian yang sungguh diluar dugaan!

“Bagaimana ia bisa mengenal orang2 itu?” tanya Boe Kie didalam hati. “Apakah ia juga seorang rimba persilatan yang sudah mengenali siapa adanya aku dan kemudian memberitahukan kawan-kawannya untuk memaksa aku buka rahasia Gioehoe?”. Dengan adanya dugaan itu darahnya lantas meluap. “Perempuan jelek!” cacinya “Aku dan kau tidak mempunyai permusuhan. Mengapa kau mencelakai aku?”

Denga cepat ia memikir daya upaya untuk menolong diri. “Kedua kakiku belum bisa bergerak dan keenam orang itu lihay semuanya,” katanya didalam hati. “Mungkin sekali si perempuan dusunpun mempunyai kepandaian tinggi. Biarlah untuk sementara aku berlagal menunduk dan pura2 meluluskan kemauan mereka dalam hal mencari GieHoe. Sesudah sembuh, aku bisa membuat perhitungan dengan mereka”.

Jika kejadian itu terjadi pada empat rahun berselang, Boe Kie tentu akan berlaku nekat, karena baginya, tiada jalan lain daripada mati. Ia tentu akan menolak segala paksaan dan menutup mulutnya rapat2. tapi sekarang, sesudah memiliki Kioe yang Sin kang, ia jadi mantep dan percaya dirinya sendiri. Maka itu, sesudah hilang kagetnya, ia tertawa dalam hatinya dan sedikitpun ia tidak merasa takut. Ia hanya merasa mendongkol dan menyesal, karena tak pernah menduga, bahwa gadis dusun itu akan mengkhianati dirinya.

Beberapa saat kemudia, nona itu sudah berdiri didekat Boe Kie. Untuk beberapa lama, ia mengawasi pemuda itu dan kemudian perlahan lahan memutar badan.

Waktu ia memutar badan, Boe Kie mendengar hela nafas perlahan yang penuh dengan perasaan sedih. “Kau boleh turun tangan sesuka hati”, kata pemuda itu didalam hati. “Perlu apa berlagak sedih?”

Tiba tiba Wie Pek mengibas pedangnya dan berkata dengan suara dingin. “Kau mengatakan bahwa sebelum mati, kau ingin bertemu lagi dengan dia untuk penghabisan kali. Semula kukira ia tampan laksana Phoa An, tak tahunya manusia beroman memedi. Ha…ha…ha……Sungguh menggelikan. Kau dan dia sungguh pasangan setimpal”.

Gadis itu sama sekali tidak menjadi gusar. “Benar”, jawabnya dengan tawar. “Sebelum mati, aku ingin bertemu lagi dengan dia, sebab aku mau mengajukan sebuah pertanyaan. Sesudah mendengar jawabannya, barulah aku bisa mati dengan mata meram”.

Boe Kie heran tak kepalang. Didengar dari omongan kedua orang itu, mereka berenam kelihatannya mau membinasakan si gadis dusun dan nona tersebut sudah mengajukan sebuah permintaan terakhir, yaitu minta menemui dirinya sendiri untuk menanyakan sesuatu. Memikir begitu, ia lantas saja bertanya, “Nona ada urusan apakah kau datang kemari bersama orang orang itu?”

“Aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan kepadamu dan kau harus menjawabnya dengan setulus hati”, katanya.

“Kalau pertanyaanmu mengenai diriku pribadi aku tentu menjawab dengan seterang terangnya dan setulus tulusnya”, kata Boe Kie. “Tapi jika kau mengajukan pertanyaan yang mengenai dirinya orang lain. Maaf, biarpun aku dibunuh mati, aku tak akan membuka mulut”. Ia menjawab begitu sebab menduga, bahwa pertanyaan yang akan diajukan adalah halnya Cia Soen.

“Perlu apa kau mencampuri urusan orang lain”, kata si nona dengan suara dingin. “Pertanyaan yang kuinginkan adalah ini. pada hari itu kau mengatakan kepadaku, bahwa kita berdua adalah orang2 yang hidup sebatang kara dan tak punya tempat meneduh. Oleh karena itu, kau bersedia untuk mengawani aku. Sekarang aku mau tanya. Apakah pernyataanmu itu keluar dari hati yang tulus bersih?”

Boe Kie segera berduduk. Melihat sinar mata nona itu yang penuh kedukaan, ia lantas saja menjawab. “Aku bicara sesungguhnya.”

“Kalu begitu, bukankah kau tak mencela romanku yang jelek dan bersedia untuk hidup bersama-sama aku seumur hidup?” tanya pula si nona.

Boe Kie terkesiap. Sedikitpun tak menduga bahwa ia bakal dihadapi pertanyaan begitu. Tapi karena sungkan melukai hati orang, ia segera menjawab, “Soal jelek atau cantik tak pernah dihiraukan olehku. Manakala kau ingin aku mengawaninmu untuk beromong2 tentu saja aku merasa senang untuk mengiring keinginanmu itu”.

“Kalau….begitu….kau……kau bersedia untuk mengambil aku sebagai istrimu, bukan ?” tanya nona itu dengan suara gemetar dan terputus2.

Boe Kie kaget tak kepalang, hingga badannya mengigil dan untuk beberapa saat ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Sesudah dapat menentramkan hatinya yang berdebar-debar. Ia menjawab juga dengan suara terputus2. Aku….. aku tak pernah…..tak pernah memikir untuk menikah….”

“Lihatlah!” kata Wie Pek dengan suara mengejek. “Lelaki dusun yang tua dan jelek seperti dia masih tak mau menikah denganmu. Andai kata kami tak mengambil jiwamu, kau hidup teruspun tak ada artinya. Sebelum kami turun tangan, lebih baik kau membenturkan kepalamu sendiri dibatu besar itu.”

Dengan penuh rasa kasihan, Boe Kie mengawasi nona itu mengucurkan air mata sambil menundukkan kepalanya. Ia tak tahu, apa si nona menangis karena takut mati, apa karena memikir romannya yang jelek atau karena perkataan Wie Pek yang tajam bagai pisau.

Melihat begitu, darah Boe Kie bergolak. Ia lantas saja ingat, bahwa sesudah kedua orang tuanya meninggal dunia, ia telah menerima macam2 hinaan. Gadis itu, yang berusia lebih muda daripadanya, mempunyai riwayat hidup yang lebih tak beruntung daripada riwayat hidupnya sendiri. Maka itu bagaimana ia tega untuk menambah penderitaan si nona yang sudah cukup hebat. Disamping itu, pertanyaan yang diajukan merupakan suatu pengabdian dari seorang wanita yang bersedia untuk menjadi istrinya.

“Selama hidupku, selain ayah, ibu, ayah angkat, Thay soehoe dan para paman, siapa lagi yang pernah mencintai aku dengan setulus hati?” katanya dalam hati. “Jika di kemudian hari dia bisa memperlakukan aku secara pantas, aku dan dia masih bisa hidup beruntung.”

Sesaat itu dengan badan gemetaran, si nona sudah bergerak untuk berlalu. Dengan cepat Boe Kie mengangsurkan tangan kirinya dan mencekal lengan kanan nona itu. “Nona” katanya dengan suara nyaring. “Dengan setulus hati, aku bersedia untuk menikah dengan kau. Aku hanya mengharap kau tak mengatakan, bahwa aku tak setimpal dengan dirimu.”

Demi mendengar perkataan Boe Kie dari kedua mata gadis itu mengeluarkan sinar terang sinar kemenangan. “Ah Goe Koko,” katanya dengan suara perlahan. “Apakah tak mendustaiku?”

“Tidak! Aku tak mendustai kau,” jawabnya. “Mulai dari detik ini, aku akan mencintai, akan melindungi kau dengan segenap jiwa dan raga. Tak peduli ada berapa banyak orang yang akan mencelakaimu, tak peduli ada berapa banyak jago yang mau menghina kau, aku pasti melindungimu. Aku bersedia untuk mengorbankan jiwa demi kepentinganmu. Aku ingin kau bahagia dan melupakan segala penderitaanmu yang dulu2.”

Si nona lantas saja berduduk di tanah dan menyandarkan tubuhnya di badan Boe Kie. Sambil mencekal tangan pemuda itu yang satunya lagi, ia berkata dengan suara lemah lembut. “Aku sungguh merasa sangat berterima kasih.” Ia meramkan kedua matanya dan berbisik, “Ah Goe Koko, cobalah katakan lagi apa yang tadi, dikatakan olehmu, supaya setiap perkataan bisa diingat didalam lubuk hatiku, cobalah!”

Mwlihat kebahagiaan nona itu, Boe Kie pun merasa bahagia. Sambil memegang keras2 kedua tangan si gadis yang empuk bagaikan kapas, ia mengulani perkataannya. “Aku ingin berusaha supaya kau bisa hidup beruntung, supaya kau melupakan segala penderitaanmu yang dulu2. tak peduli ada berapa banyak orang yang mau menghina kau, yang mau mencelakakan kau. Aku berseida untuk mengorbankan jiwa demi keselamatanmu”

Si nona bersenyum senium yang penuh dengan rasa beruntung. Sambil bersandar pada dada pemuda it, ia berkata, “Dulu, waktu aku minta kau mengikut aku, kau bukan saja sudah menolak, tapi jg memukul aku, mencaci… Aku merasa sangat beruntung, bahwa sekarang kau bisa mengatakan begitu.”

Perkataan si nona seolah-olah air dingin yg menyiram kepala pemuda itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa dengan mendengar perkataannya sambil memeramkan mata, nona itu membayang bayangkan, bahwa perkataan itu dikeluarkan oleh pemuda yang di pujanya, tapi yang sudah menyakiti hatinya.

Tiba tiba gadis itu menggigil dan ia membuka kedua matanya. Pada paras mukanya terlihat sinar kegusaran, tercampur dengan perasaan kecewa, tapi dalam sinar kekecewaan itu terbayang juga sedikit rasa bahagis. Selang beberapa saat ia berkata, “Ah Goe Koko, aku merasa sangat berterima kasih, bahwa engkau bersedia untuk mengambil aku sebagai istrimu. Kau tidak mencela aku, seorang wanita yg beroman jelek. Hanya sayang, semenjak bebeapa tahun berselang aku sudah memberikan hatiku kepada seorang lain. Dahulu saja, ia sudha tidak memperdulikan aku. Kalau dia melihat keadaaku yang sekarang lebih2 dia tak akan menghiraukan aku… Ah! Setan kecil yg berhati kejam… waktu mengatakan ‘setan kecil berhaiti kejam’ ” nadanya masih menunjuk perasaan cinta.

“Apa sekarang kau sudah boleh berbangkit?” tanya Boe Ceng Eng sambil mengawasi gadis dusun itu, “Dia sudah menyatakan bersedia untuk menikah denganmu dan kamu berdua sudah cukup lama membicarakan soal cinta?”

Perlahan lahan nona itu bangkit, katanya, “Ah Goe Koko,” katanya sambil mengawasi Boe Kie “Aku akan segera menemui ajalku. Andaikata tidak mati, akupun tidak bisa menikah denganmu. Tapi biar bagaimana kata2mu yang diucapkan taid, asesudah aku mati janganlah kau membenci aku. Kalau ada tempo luang, boleh jg kau mengingat aku.” Ia bicara dengan suara meminta, sehingga Boe Kie merasa sangat terharu.

“Sudahlah! Jangan terlalu rewel!” bentak Pan Siok Ham, “Kami sudah meluluskan permintaanmu dan kau sudah bertemu dengan dia. SEkarang kau harus menepati janji dan memberitahukan dimana adanya orang itu.”

“Baiklah,” kata si nona. “Sepanjang pengetahuanku, orang itu pernah berdia dirumahnya” ia berkata begitu sambil menuding Boe Liat.

Paras muka Boe Liat berubah. Sambil mengeluarkan suara di hidung, ia membentak. “Jangan omong yang gila2!”

“Jawab pertanyaanku!” Wie Pek turut membentak, “Siapa yang menyuruh kau membunuh Coe Kioe Tin Piauwmoay?”

Kagetnya Boe Kie bagaikan disambar halilinta. “Membunuh… membunuh Coe Kioe Tin Kauwnio?” ia menegas.

Dengan mata mendelik Wie Pek menatap wajah Boe Kie, “Kau kenal Coe Kioe Tin Kauwnio?” tanyanya dengan suara gusar.

“Siapa yang tidak pernah mendengar nama Soet-leng Siang moay yg tersohor?” kata Boe Kie.

Bibir Boe Ceng Eng bergerak, seperti orang bersenyum. “Hei, jawablah! Siapa yang meyuruh kau?” teriaknya.

“Kalau kau mau tahu juga, baiklah, aku akam memberitahukan terang2an,” kata si gadis dusun. “Yang menyuruh aku membunuh Coe Kioe Tin adalah Ho Thay Ciong dari Koen Loen pay dan Biat coat Soethay dari Go bie pay.”

“Gila!” teriak Boe Liat. “Binatang! Jangan kau harap bisa menyebar racun dan merenggangkan persahabatan kami.” Seraya mencaci ia menghantam dengan telapak tangannya, tapi dengan gerakan yg sangat gesit, nona itu berhasil menyelamatkan diri.

Boe Kie jadi bingung bukan main. “Kalau begitu dia benar2 seorang dari Rimba Persilatan,” pikirnya. “Tak bisa salah lagi, dia membunuh Coe Kauwnio untuk membalas sakit hatiku, sebab aku memberitahukanm bahwa aku sudah ditipu oleh nona Coe dan digigit oleh anjing2nya nona itu, celaka sungguh! Aku sama sekali tidak menyuruh ia membinasakan Coe Kioe Tin. Aku semula hanya mengganggap dia manusia aneh karena romannya jelek dan nasibnya buruk. Tak tahunya ia bisa membunuh manusia secara serampangan.”

Sementar itu, dengan bersenjata pedang Wie Pek dan Hoe Ceng Eng sudah bantu menyerang dari kiri dan kanan. Dengan penuh kewaspadaan Boe Kie memperhatikan jalan pertempuran. Dengan menggunakan kegesitan, dengan melompat kian kemari, gadis dusun itu mengelakkan serangan Boe Liat yang bertubi2. Dari gerak geriknya, ia kelihatannya tidak memandang sebelah mata keapda Wie Pek dan Boe Ceng Eng. Sesudah bertempur belasan jurus, bagaikan kilat ia melompat kesamping Boe Ceng Eng dan “plok!” ia menggaplok pipi nona boe. Berbareng dengan gaplokan itu, tangan kirinya turut menyambar dan dilain saat pedang Boe Ceng Eng sudah berpindah kedalam tangannya. Boe Liat dan Wie Pek terkejut. Degan berbareng mereka menerjang untuk menolong nona Boe yang berada dalam bahaya.

“Kena!” gadis dusun itu berteriak dan pedang nya menggores muka Boe Ceng Eng! Ternyata dalam gusarnya sebab nona Boe sudah mengejek romannya yang jelek. Tanpa memperdulikan bahaya yang datang dari Boe Liat dan Wie Pek ia melompakt dan menggoreskan ujung pedang di muka nona Boe.

Seraya mengeluarkan teriak keras, Boe Ceng Eng jatuh terjengkang. Sebenarnya, lukanya sendiri sangat enteng. Ia jatuh lantaran kaget, sebab ia tahu bahwa mukannya yang cantik manis sudah digores pedang.

Dengan mata merah Boe Liat menerjang dan si gadis dusun melompat kesamping. Mendadak terdengar “trang!” suara bentrokan antara pedang si nona dan pedang Wie Pek yg terbang ke tengah angkasa.

Hampir pada detik yg bersamaan, telunjuk tangan kanan Boe Liat berhasil menotok Hok touw hiat dan Hong Sau Hiat, dibetis si nona. Totokan ini adalah It Yang Cie yg sangat lihai.

Sambil mengeluarkan rintihan perlahan, gadis itu roboh terguling, jatuh diatas Boe Kie. Ia merasa sekujur badannya nyaman dan hangat tapi tidak bertenaga sedikitpun jua, bahkan tak kuat menggeraklkan jari tangannya. Ia merasa di ikat dengan semacam tenaga yg kekuatannya ribuan kati tapi badannya bebas dari perasaan sakit. Biarpun Boe Liat sendiri bukan seorang yang sepak terjangnya boleh di puji, tapi ilmu It Yang Cie adalah warisan dari seorang ksatria. Maka itu meskipun dapat menjatuhkan lawan, ilmu tersebut tidak mengakibatkan penderitaan.

Boe Ceng Eng menjemput pedang Wie Pek dan bekata dengan suara yg membenci “Perempuan bau! Sekarang tamatlah riwayatmu. Tapi aku tak mau menghadiahkan kebiasaan yg enaka kepadamu. Aku hanya mau memutuskan kedua tangan dan kedua betisnya, supaya hidup2 kau di gegares kawanan serigala.” Seraya mencaci, ia mengayun pedang untuk membabat lengan kanan si gadis dusun.

“Tahan!” mencegah Beo Liat sambil mencekal pergelangan tangan putrinya. Ia mengawasi gadis dusun itu dngan berkata pula. “Jika kau memberitahukan siapa yang menyuruh, aku akan membinasakan kau tanpa siksaan. Tapi jika kau membandel… huh-huh… aku akan memutuskan kaki tanganmu.”

Nona itu ternyata mempunya nyali yg sangat besar. Mendengar ancaman yang hebat itu, ia tersenym dan berkata dengan suara tenag. “Kalau kau kepingin tahu juga aku terpaksa bicara terus terang. Nona Coe Kie Tin mencintai seorang pemuda dan seorang nona lain jg mencintai pemuda itu. Yang menyuruh aku membinasakan nona Coe Kieo tin adalah nona yang lalu itu. Aku sebenarnya sungkan membuka rahasi.” Belum habis ia bicara Boe Ceng Eng sudah jadi kalap dan menikam dan menggunakan seantero tenaganya.

Ternyata, si gadis dusun sudah dapat menduga adanya percintaan antara Wie Pek coe Kioe tin dan Boe Ceng Eng. Ia sudah sengaja mengatakan begitu untuk membangkitkan amarahnya nona Boe, supaya ia bisa mati tapi disiksa.

Sinar pedang Boe Ceng Eng berkelebat bagaikan kilat. Pada detik ujung pedang hamper menyentuh ulu hati mendadak serupa benda, yang tak bersuara menyambar dan membentur pedang itu. Tiba tiba saja Boe Ceng Eng merasakan telapak tangannya seperti di beset dan tanpa apapun lagi, senjatanya tebang ke atas. Tenaga benturan itu hebat luar biasa dan pedang nona Boe jatuh ditempat yang jauhnya lebih dari dua puluh kaki.

Di tengah malam yang gelap, tak seorangpun lihat mengapa pedang itu terpental dari tangan Boe Ceng Eng. Apa yang mereka tahu hanyalah bahwa tenang yang membenturnya sangat menakjubkan, sehingga menduga si gadis dusun mendapat bantuan dari seorang yang bersembunyi. Dengan kaget keenam orang itu mundur beberapa tindak dan mengawasi kesekitarnya. Tempat itu adalah tanah lapang yg luas tanpa pohon yang dapat digunakan untuk menyembunyikan diri. Sesudah mengawasi kesana sini beberapa lama mereka tak melihat bayangan siapapun jua. Dengan rasa heran dan bercuriga, mereka saling memandang tanpa mengeluarkan suara.

Beberapa saat kemudian, Boe Liat berkata dengan suara perlahan. “Ceng Jie, apa yg sudah terjadi?”

“Pedangku seperti dipukul dengan semacam senjata rahasia yg sangat lihai,” jawabnya.

Boe Liat mengawasi kesekitarnya, tapi ia tetap tidak melihat lain manusia. Ia heran bukan main dan berkata dalam hatinya. “Terus terang dia sudah kena ditotok olehku dengan It Yang Cie. Bagaimana ia masih mempunyai tenaga yang begitu besar? Apa perempuan ini mempunyai ilmu siluman?” Ia maju mendekati dan menepuk pundak nona itu. Dengan tepukan yang disertai Lweekang dahsyat, ia bermaksud menghancurkan tulang pundak si nona supaya kepandaiannya musnah dan dapat dipermainkan oleh puterinya.

Pada saat telapak tangan Boe Liat hampir menyentuh pundak, tiba2 gadis dusun itu mengangkat tangan kirinya dan menangkis. Begitu kedua tangan kebentrok, Boe Liat merasa daatnya panas, seolah2 didorang dengan tenaga taufan atau gelombang laut yang maha dahsyat. Sambil mengeluarkan teriakan “ah!” tubuhnya mengapung ke atas dan jatuh ke tempat yang jauhnya melebihi tiga tombak. Untung jg, ia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, sehingga begitu lekas punggungnya ambruk ditanah, begitu lekas pula ia dapat melompat bangung. Tapi biarpun begitu ia masih merasakan sakit didadanya dan darahnya bergolak, sehingga kepalanya pusing. Baru saja ia berdiri tegak dan mau mengatur pernapasannya, tiba2 matanya berkunang2, badannya bergoyang2 dan sekali lagi ia jatuh terguling.

Boe Ceng Eng mencelos hatinya, buru2 ia menubruk dan membangunkan ayahnya.

“Biarkan ia rebah lebih lama!” tiba2 Ho Thay Ciong berkata.

Nona Boe menengok dan membentak dengan gusar. “Apa kau kata!” Ia menganggap bahwa dengan berkata begitu, Ho Thay Ciong mengejek ayahnya.

“Darahnya bergolak dan ia harus mengaso dengan merebahkan diri,” jawabnya.

Wie Pek lantas saja tersadar. “Benar,” katanya. Ia segera memeluk tubuh gurunya dan merebahkan kembali diatas tanah.

Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham saling mengawasi dengan perasaan sangat heran. Mereka sudah pernah bertempur dengan gadis dusun itu dan mereka tahu bahwa meskipun begitu ilmu silat si nona cukup tinggi. Lweekangnya belum mencapai tingkatan atas. Tapi tenaga yang barusan merobohkan Boe Liat adalah lweekang yang sungguh2 jarang terdapat dalam dunia ini.

Kalau mereka heran. Si gadis dusun pun lebih heran lagi. Sesudah kena ditotok ia roboh dalam pangkuan Boe Kie tanpa bisa bergerak. Waktu pedang Boe Ceng Eng hampir mampir di ulu hatinya, tiba2 menyambar serupa benda yang membentur senjata itu, sehingga terlepas dari tangan nona Boe. Ia sendiri tidak tahu apa adanya benda itu. Sesaat kemudian, tiba2 ia merasakan masuknya hawa panas di Ciok sam lie dan Yang leng coan, yaitu dua hiat di betisnya.

Hawa panas itu terus menerjang ke How touw hiat dan Hong hiat sehingga jalan darah yang ditotok lantas saja terbuka kembali.

Begitu terbuka jalan darahnya, ia bergidik. Ia mengawasi kakeknya dan melihat kedua tangan Boe Kie sedang mencekal kedua tumit kakinya dan semacam hawa hangat masuk kedalam badannya dari kedua kakinya itu.

Sesaat itu Boe Liat telah menghantam dengan telapak tangannya. Dengan nekad ia mengangkat tangannya dan menangkis. Ia merasa, bahwa hancurnya tulang lengan lebih baik dari pada hancurnya tulang pundak. Mimpipun ia tak pernah mimpi, bahwas tangkisannya itu sudah membuat terpentalnya tubuh Boe Liat sampai beberapa tombak. Ia terkesiap dan berkota dalam hatinya.

“Apakah aku mendapat bantuan dari Tioe pat-koay? Apakah Tioe-pat koay seorang tokoh rimba persilatan ini berkepandaian luar biasa tinggi?”

Sesudah menyaksikan lihainya nona itu, Ho Thay Ciong tak berani mengadu tenaga. Sambil menghunus pedang itu berkata, “Aku ingin meminta pelajaran kiamhoat dari nona.”

“Aku tak punya pedang,” kata si nona sambil tertawa.

Dengan kakinya Ho Tay Ciong menyontek pedang Boe Ceng Eng yang lantas terbang kearah si nona yang lalu menyubitnya. Sebagai seorang Ciang Boen Jin dari sebuah partai besar, dalam menghadapi seorang yang tingkatnya lebih muda, Ho Thay Ciong sungkan bergerah lebih dahulu.

“Kau mulailah,” ia mengundang. “Kau boleh menyerang lebih dulu dalam tiga jurus dan sesudah itu, barulah aku membalas.”

Tanpa sungkan2 lagi si nona lalu menikam dan Ho Thay Ciong menangkis. “Trang!” kedua pedang itu patah bersama sama.

Paras muka Ho Thay Ciong pucat pias. Ia melompat mundur beberapa tindak. “Sayang! Sungguh saying!” kata si nona. Ia mengerti, bahwa Boe Kie sudah memasukkan semacam tenaga luar biasa (yaitu tenaga Kioe yang Sin kang) ke dalam tubuhnya, tapi karena ia masih belum bisa menggunakannya, maka pedangnya sendiripun turut menjadi patah. Bila ia telah dapat menggunakan Kioe yang Sin kang, senjatanya pasti akan tinggal utuh.

Pan Siok Ham heran tak kepalang. “Bagaimana bisa begitu?” tanyanya dengan suara perlahan.

“Ilmu silatmu!” jawabnya sang suami.

Dengan rasa penasaran nyonya itu lalu menghunus pedang. “Akupun ingin meminta pelajaran,” katanya dengan suara menyeramkan.

Si nona mengangkat kedua tangannya untuk mengunjuk, bahwa ia tak punya senjata lagi.

“Kau boleh menggunakan pedaang itu,” kata Pan Siok Ham sambil menuding pedang Wie Pek yang menggeletak ditempat yg agak jauh.

Nona itu tahu, bahwa jika berpisahan dengan Boe Kie, ia takkan mempunya lweekang yang begitu tinggi lagi. Maka itu, seraya bersenyum ia berkata. “Biarlah aku menggunakan pedang buntung itu saja.”

Pan Siok Ham melupa daranya. Jawabnya nona itu dianggap sebagai penghinaan baginya. Dalam gusarnya, ia tak berbuat seperti suaminya dan tak menghiraukan lagi kedudukannya sebgai seorang cianpwee (org yg tingkatnya lebih tinggi). Dengan mendadak ia menikam leher si nona, yang lantas saja menangkis. Nyonya itu mempunyai kegesitan luar biasa. Baru saja tikamannya yang pertama ditangkis, tikaman kedua, yang menyambar kearah pundak sudah menyusul. Si nona baru2 mengebas pedang buntunnya untuk melindungi pundak kiri, tapi hampir berbareng, pedang musuh sudah menyambar pundak kanan. Dalam sekejap, Pan Siok Ham sudah mengirim delapan tinju kilat yang susul2an dalam serangan2nya itu, ia selalu menjaga supaya senjatanya tak terbentuk dengan senjata si nona. Sebelum menyerang dia telah mengambil keputusan untuk menggunakan kegesitan guna mengimbangi Lwee kang si nona.

Benar saja, makin lama si nona makin repot. Dalam hal ilmu pedang, biarpun dia tidak bisa menandingi Pan Siok Ham, gadis dusun itu sebenarnya masih bisa bertahan dalam sedikitnya seratus jurus. Apa mau, ia bukan saja menggunakan pedang bunting, ia juga tidak berani berpisahan sama Boe Kie, sehingga dalam pertempuran itu, ia hanya membela diri dan tidak bisa balas menyerang. Mendadak pedang Pan Siok Ham berkelebat bagaikan kilat dan “sret!” lengan kirinaya sudah kena di gores. Nyonya itu jadi girang dan terus mengirim serangan2 berantai. Sesaat kemudian si nona mengeluarkan teriakan “aduh!” dan sekali ini, pundaknya tertikam pendang.

“Hai! Apa kau tidak mau membantu aku lagi?” teriak si nona.

Dengan kaget Pang Sik Ham melompat mundur dan lalu mengawasi kesekitarnya. Tapi diseputar itu tidak terdapat bayangan manusia lain.

Sambil tersenyum, ia segera menyerang lagi dengan hebatnya.

Walaupun sudah terluka, gadis dusun itu terus melawan dengan nekad. Satu kali dengan kecepatan luar biasa, ia bisa mengelakkan serangan Pan Siok Ham. “Perempuan bangsat, tanganmy cepat jg,” memuji nyonya itu.

“Nenek bangsat! Tanganmu pun tidak terlalu lambat,” jawab si nona yang tidak mau kalah.

Diluar dugaan, jawabnya itu membawa akibat buruk. Sebagai seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, biarpun mulutnya berbicara tangan Pan Siok Ham bekerja terus seperti biasa. Dilain pihak begitu ia bicara pemusatan, perhatian si nona segera jadi terpecah dan gerakannya berubah lambat. Pan Siok Ham tentu saja sungkan menyia nyiakan kesempatan baik itu. Dengan sekali menikam, pedangnya tempat menancap di pergelangan tangannya nona itu, sehingga pedang yg sedang di cekalnya lantas saja terbang.

“Celaka!” si nona mengeluarkan seruan kaget dan hampir berbareng ujung pedang Pan Siok Ham sudah meluncur ke bawah ketiaknya.

Sesudah orang hampir roboh, tentang Bin Koe yg sedari tadi terus menonton tanpa bergerak, sekarang turun tangan. Tanpa menghunus pedang, dengan jurus Toe Chung bong Goat (mendorong jendela melihat rembulan), neduu telapak tangannya menghantam punggung gadis dusun. Boe Ceng Eng jg tidak mau ketinggalan. Ia melompat dan menendang pinggang musuhnya.

Hati si gadis dusun mencelos. Ia merasa ajalnya sudah tiba.

Mendadak mendadak saja, ia merasa sekujur badannya panas luar biasa, seolah2 dibakar. Waktu pedang Pan Siok Ham menyambar tanpa merasa ia mengangkat tangannya dan menyentil badan pedang dengan jarinya. Pada detik yg bersamaan punggungnya kena pulukan Teng Bin Koen dan pinggangnya kena tendangan Boe Ceng Eng.

“Tring…..” “Aduh!…..” “Aduh….”

Tiga suara itu terdengar dengan berbareng. Apa yg sudah terjadi? Pedang Pan Siok Ham patah, tubuh Teng Bin Koen dan Boe Ceng Eng jatuh terpelanting.

Ternyata pada detik yg sangat berbahaya, Boe Kie telah mengempos (^0^) semangatnya dan memasukkan seantero “hawa murni” ke dalam tubuh si nona. Pada waktu itu, ia sudah berhasil mendapatkan dua bagian dari tenaga Kioe yang Sing kang dan bagian ini sudah hebat bukan main. Sebagai akibatnya, pedang Pan Siok Ham patah, kedua tulang lengan Teng Bin Koen hancur dan tulang kaki Boe Ceng Eng pun remuk.

Ho Thay Ciong, Boe Liat dan Wie Pek mengawasi dengan mata membelak dan mulut ternganga.

Pan Siok Ham melemparkan pedang buntungnya di tanah “Hayo kita pergi!” katanya pada sang suami, “Apa kau belum cukup mendapat malu?”

“Baiklah,” jawabnya. Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, mereka belalu tanpa berpamitan lagi. Sambil menuntun tangan guru dan memapah adik seperguruannya, Wie Pek pun segera meninggalkan tempat itu. Karena tulang kaki Boe Ceng Eng hancur, mereka terpaksa jalan perlahan lahan. Hati mereka berdebar debar dan saban2 menengok kebelakang karena kuatir dikejar oleh gadis dusun itu. Teng Bin Koen juga tidak dapat berbuat lain daripada menyingkir dengan rasa gusar dan sakit hati yang sangat besar.

Sesudah semua berlalu, si nona tertawa terbahak bahak. “Tioe Pat Koay!” teriaknya. “Kalau begitu kau…” Ia tidak dapat meneruskan perkataannya sebab kedua matanya mendadak berkunang2 dan ia segera roboh dalam keadaan pingsan.

Ternyata sesudah musuh kabur, Boe Kie segera melepaskan kedua kaki si nona dari cekalannya dan dengan berbareng, semua hawa Kioe yang keluar dari tubuhnya. Dengan demikian tubuh itu menjadi “kosong” secara mendadak tenaganya habis dan ia tak dapat mempertahankan diri lagi.

Boe Kie lantas saja mengerti sebab musabah pingsannya si nona. Buru2 menekan Sie Tiok Kong di ujung alis nona itu dan mengerahkan sin kang. Selang beberapa saat, si nona tersadar dan perlahan2 ia membuka matanya.

Melihat dirinya sedang rebah dipangkuan Boe Kie, paras mukanya lantas saja berubah merah dan cepat2 melompat bangun.

Sekonyong2 ia membetot kumis Boe Kie dan berteriak, “Tioe pat koay! Kau menipu aku! Kau mempunyai kepandaian yg sangat lihai, tapi kau sengaja tidak mau memberitahukan kepadaku.”

“Aduh… aduh… lepas!” teriak Boe Kie.

“Siapa suruh kau mendustai aku?” kata si nona seraya tertawa.

“Lagi kapan aku mendustai kau?” Boe Kie balas menanya. “Kau tidak pernah memberitahukan kepadaku, bahwa kau mengerti ilmu silat. Akupun begitu jg.”

“Baiklah, sekali aku suka mengampuni kau,” kata si nona. “Biar bagaimanapun jua, tadi kau sudah bisa jalan?”

“Belum bisa,” jawabnya.

Si nona menghela napas, “Benar jg kata orang siapa yg berbuat baik akan mendapat pemabalasan baik,” katanya. Jika aku tidak memikiri kau dan tidak datang lagi kesini, kau tentu tidak bisa menolong jiwaku.” Ia berdia sejenak dan kemudian berkata pula, “Kalau aku tahu bahwa kau berkepandaian lebih tinggi dari aku, aku tentu tidak merasa perlu untuk membinasakan perempuan she-Coe itu.”

Paras muka Boe Kie lantas saja berubah gusar. “Aku sama sekali belum pernah meminta kan untuk membunuh nona Coe,” katanya dengan suara mendongkol.

“Aduh! Kau ternyata belum dapat melupakan nona manis itu!” kata si nona dengan suara mengejek. “Akulah yg bersalah. Aku sudah mencelakakan kecintaanmu.”

“Nona Coe bukan kecintaanku,” kata Boe Kie. “Dia dan aku tidak ada sangkut pautnya.”

“Ah, heran sekali!” kata si nona. “Dia sudah mencelakakan kau dan aku membinasakannya untuk membalas sakit hatimu. Apa dengan bertidak begitu aku bersalah?”

“Orang yang mencelakai aku banyak jumlahnya,” kata Boe Kie tawar. “Jikalau mereka satu demi satu harus dihukum mati, mereka tidak bakal terbunuh habis. Pula ada orang2 yg berniat mencelakai aku, tetapi di pandangan mataku, mereka itu harus di kasihani. Seperti nona Coe, dia setiap hari dirundung kekuatiran, hati nya terus berdenyutan, dia kuatir kakak misannya tidak mau baik dengannya, dia kuatir kaka misan itu menikahi nona Boe. Orang semacam dia, ada apakah senangnya?”

Mendengar itu si gadis desa murah wajahnya.

“Apakah kau menyindir aku?” tanyanya gusar.

Boe Kie melengak. Ia tidak menyangka lantaran menyebut2 Coe Kioe Tin, ia membangkitkan cemburunya nona dihadapannay ini.

“Bukan, bukan…,” katanya cepat. Aku mau bilang sesuatu orang ada nasibnya masing2. Umpama kata ada orang berbuat tidak benar terhadapmu lantas kau bunuh dia, itulah tidak baik.”

Gadis desa itu tertawa dingin.

“Jikalau kau mempelajari ilmu silat bukan untuk membunuh orang, habis untuk apakah?” dia tanya.

“Jikalau kita telah mempelajari ilmu silat,” sahut Boe Kie, dalam suaranya, “Jikalau ada orang jahat terhadap kita, kita lawan dia.”

“Kagum aku, kagum terhadapmu,” berkata si nona. “Kiranya kau seorang, kuncu sejati, seorangyg sangat baik hatinya!”

Boe Kie tunduk, ia mengawasi nona itu. Ia merasa si nona aneh sekali, ia merasakan sikap orang yg sangat erat hubungannya dengan ia, agaknya ia mengenalnya dengan baik.

“Kau mengawasi apa?” tanya si nona matanya memain.

“Aku ingat ibuku,” menyahut Boe Kie. “Ibu sering menertawakan ayahku, yg dikatakan sebagai orang yg sangat baik hatinya, yang menjadi seorang pelajar yg harus dikasihani sebab hatinya sangat lemah. Selagi itu bicara itu, gerak gerimnya lagu suaranya, mirip dengan mu.”

Mukanya si nona menjadi merah.

“Haik au menggoda aku!” tegurnya. “Kau bilang aku mirip ibumu, jadi kau mirip ayahmu”

Meski ia menegur, toh sinar matanya, sinar mata yang manis!!…

“Oh, oh….” Kata Boe Kie cepat. “Langit ada diatas jikalau aku menggoda kau, biarlah langit membunuhnya dan bumi memusnahkannya!”

Nona itu mendadak tertawa.

“Kau bicara gampang saja!” katanya. “Kenapa mesti main sumpah2?”

Tepat si nona baru habis mengatakan demikian, dari arah timur utara terdengar siutan yg nyaring dan panjang. Itulah suaranya seorang wanita. Lantas jawaban serupa, yang dtgnya dari kejauhan. Itulah jawabannya Teng Bin Koen, yang belum pergi jauh.

Air mukanya si nona lantas saja berubah.

“Kembali ada dating orang dari Go Bie Pay,” katanya perlahan.

Gadis desa ini dan Boe Kie merasakan suarakan, jawaban itu membuktikan orang lebih lihai tenaga dalamnya drpd Teng Bin Koen sebab suara itu terang dan jernih sekali. Toh orang berada lebih jauh daripada sinona Teng.

Ketika ia mendengar jawaban itu Teng Bin Koe menghentikan tindakannya.

Boe Kie dan si gadis dusun memandang kearah timur utara itu.

Cuaca sudah mulai terang, maka disana terlihat bayangan seorang dengan pakaian hijaunya. Berjalan diatas salju, orang itu bagaikan melayang laying. Dia mendekati Teng Bin Koen, untuk terus bicara satu pada lain, kemudian dia menendang kepada Boe Kie dan si nona terus dia menghampiri. Dia bertindak dengan tindakan ringan dan jarak tindakannya itupun tidak lebar. Ketika ia sudah mendatangi kira2 empat atau lima tomabk, terlihat tegas wajahnya ygn cantik sekali dan bersih, dan usianya belum lewat tujuh atau delapan belas tahun.

Dalam herannya Boe Kie berpikir, mendengar suara siulannya tadi dan menyaksikan ringannya tubuhini, dia sebenarnya lebih tua dari Teng Bia Keon, tidak tahunya dia justru lebih muda bahkan rupanya lebih muda dari ia sendiri.

Nona itu membawa pedang di pinggangnya, senjata itu, tapi tidak dihunus. Dia bertindak mendekati dengan tangan kosong.

“Cioe Soe moay, hati hati!” Teng Bie Koen berkata memperingati. “Badak setan itu bekepandaian rada sesat!”

Nona itu mengangguk.

“Jiwi, kamu she apa dan nama siapa?” ia menanya halus. Ia memanggil jiwi berdua nona atau tuan, kepada Boe Kie dan gadis desa. “Kenapa jiwi melukai siecoeku itu?”


Selagi orang mendekat Boek Kie mengawasi terus. Ia lantas merasa bahwa ia pernah kenal nona itu. Ketika ia mendengar suara si nona, lantas ia ingat, maka katanya didalam hati, “Ah kiranya dia Coe Cie Jiak yang aku pernah ketemukan disungai Han Soei! Tay soehoe membawa dia ke Boe Tong san, kenapa dia sekarang masuk dalam partai Gio Bie Pay!”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar