Jilid 7
Pin-pin bertutur lebih jauh,
"Semula aku takut setelah tahu aku mengintip gerak-geriknya, dia akan
marah besar dan memberi hukuman padaku, ternyata dia tidak banyak bicara dan
tidak bertindak apa-apa terhadapku, malah hari kedua dia mengajakku jalan-jalan
ke belakang gunung.
"Hatiku gembira, sebab
dalam hati kecilku, betul mengharap seperti saudara tua yang lain, dia kasih dan
sayang kepada adiknya yang terkecil, bersikap baik kepadaku.”
"Maka hari itu aku
berdandan rapi dan bersolek, dengan riang dan langkah ringan ikut dia tamasya
ke belakang gunung. Yaitu ngarai yang dinamakan Sat-jin-gai dimana ia sering
membunuh orang-orang yang tidak dia sukai.”
"Setelah berada di sana,
mendadak sikapnya berubah, mencaci aku, katanya aku banyak mengetahui
rahasianya, katanya aku usil.”
"Kukira dia hanya
memarahiku, sebab apa sebenarnya rahasia mereka, aku tidak tahu, umpama
mengingat wajah beberapa orang itu kurasa hanya persoalan kecil saja.”
”Terakhir ia memberitahu
padaku bahwa orang-orang itu adalah tokoh-tokoh yang punya nama dan kedudukan
di Bulim, kalau bukan pendekar besar yang menggetarkan daerahnya, tentu
Ciang-bunjin suatu partai persilatan yang disegani. Hal ini jelas pantang
diketahui orang luar bahwa mereka sudah menjadi kamratnya, tapi di kala ... di
kala aku sedikit lena, tahu-tahu aku didorongnya dengan keras, padahal di bawah
adalah jurang lebar yang dalamnya tak terukur, siapa pun yang terjatuh ke
jurang, badannya pasti hancur lebur. Mimpi pun aku tidak pernah menduga kakak
kandungku sendiri tega membunuh adik kandungnya sendiri." Bercerita sampai
di sini, tak kuasa Pin-pin menahan isak tangis.
”Tapi kenyataan kau tidak
mati," kata Hong Si-nio setelah menghela napas.
"Karena aku bernasib
mujur," kata Pin-pin, "hari itu aku sengaja berdandan, baju yang
kupakai adalah gaun berlengan panjang yang terbuat dari sutra tebal kwalitas
terbaik, lingkaran gaun bagian bawah lebar membundar. Waktu aku melayang turun,
gaun panjang itu sedikit menahan angin, hingga tubuhku meluncur seperti
menggunakan parasut, dengan sendirinya daya luncurnya menjadi lamban, hal itu
memberi padaku kesempatan untuk meraih dahan pohon yang tumbuh di dinding
gunung.”
"Pohon kecil itu tak kuat
manahan daya luncur berat badanku, dan akhirnya patah, tapi aku punya
kasempatan berganti napas, dengan sendirinya luncuran ke bawah lebih enteng dan
lambat.”
"Untung di dinding gunung
yang terjal itu tumbuh beberapa pucuk pohon, akhirnya aku berhasil menangkap
dahan pohon lagi. Jarak ketinggianku sudah tidak seberapa lagi dari dalam
jurang, kecuali terluka oleh duri semak belukar, aku jatuh di antara tumpukan
tulang belulang manusia yang tak terhitung banyaknya.”
"Jurang itu dikelilingi
dinding curam dan tinggi, di antara celah-celah batu banyak tumbuh pohon rotan,
umpama kera juga sukar dapat memanjat ke atas untuk menyelamatkan diri.”
"Untung di antara tulang
belulang para korban itu banyak yang membawa senjata, dengan senjata mereka aku
berusaha menggali lubang sebagai tempat memanjat ke atas.”
"Dinding gunung begitu
keras, sekeras besi, setiap hari aku hanya mampu membuat buat 20-30 lubang
saja, makin hari daya kekuatanku makin lemah, hasilnya juga semakin sedikit.”
"Tiap malam aku harus
merambat turun ke dasar jurang yang lembab dan dingin, esok harinya baru
memanjat lagi ke atas membuat lubang, makin tinggi waktu yang dibutuhkan naik
turun jelas semakin lama. Celakanya di dasar jurang tiada barang makanan yang
mudah kuperoleh untuk isi perut, air juga kudapat dari lekuk gunung untuk
kuminum, padahal airnya keruh, kondisi yang serba kekurangan makin membuat
tenagaku berkurang.”
"Aku kuat bertahan selama
dua bulan, lubang yang kugali juga makin banyak lagi tinggi, tapi hasilnya baru
mencapai lamping gunung, masih jauh untuk bisa mencapai pucuk jurang. Kondisiku
betul-betul sudah amat lelah, tak nyana dari tempat kerjaku di lamping gunung,
hari itu aku mendengar suara percakapannya, aku harap dia mau mengingat
hubungan saudara, mau menolong aku naik ke atas. Maka sekuat sisa tenagaku, aku
berteriak memanggil namanya ...."
Kejadian selanjutnya tidak ia
lanjutkan, tapi Hong Si-nio sudah mengikuti alur ceritanya dan maklum adanya.
Mimpi pun Siau-yau-hou tidak pernah
menduga, adik perempuan yang didorong jatuh ke dalam jurang masih hidup, waktu
ia mendengar panggilan adiknya dari bawah jurang, ia mengira arwah adiknya itu
yang menuntut balas padanya.
Setelah Siau-yau-hou terjun ke
jurang, dengan kaget dan ingin tahu duduk persoalannya, Siau Cap-it Long
mencari tahu suara panggilan itu datang dari mana, setelah melihat di lamping
gunung ada bayangan orang, segera ia berusaha menolong dan menarik orang itu ke
atas.
Dengan nada sendu Siau Cap-it
Long berkata, "Waktu aku menolongnya, keadaannya sungguh tidak menyerupai
manusia normal, kondisi tersiksa membuatnya kurus kering tidak mirip manusia,
laki atau perempuan, tua atau muda pun sukar aku bedakan.”
Pin-pin menggigit bibir, tak
kuasa badannya gemetar seperti orang kedinginan.
"Waktu itu aku hanya tahu
satu hal. Jiwaku ditolong oleh suara panggilannya, maka dengan segala daya
upaya aku harus menolong dan mempertahankan hidupnya.”
Kondisi Pin-pin saat itu amat
mengenaskan, kempas-kempis, tinggal kulit pembungkus tulang, untuk
mempertahankan jiwanya jelas bukan urusan gampang.
"Untuk menolong jiwanya,
aku harus mencari seorang tabib, maka aku tidak pulang lewat jalan semula, di
belakang gunung aku mencari jalan simpang untuk turun gunung."
Hong Si-nio menghela napas
gegetun, "Maka waktu Sim Bik-kun mencari kau lewat jalan yang kau tempuh,
pantas dia tidak menemukanmu."
Begitukah yang dinamakan
nasib? Nasib selalu berakibat aneh, sukar ditebak, sulit diramal, akibatnya
sering terasa kejam.
Pin-pin menahan tangis,
tiba-tiba ia tersenyum lebar, "Apapun yang telah terjadi, sekarang aku
masih hidup, kau pun masih segar bugar."
Mengawasi nona jelita ini
sorot mata Siau Cap-it Long kembali menampilkan rona duka dan simpati, tawanya
dipaksakan, "Orang baik biasanya berumur pendek. Orang macam diriku, ingin
mati, eh, tak mati juga."
"Kalau betul orang baik
berumur pendek, mungkin kau sudah mati lama," demikian ujar Pin-pin.
"Selama hidupku ini belum pernah aku berjumpa dengan orang sebaik
engkau."
Akhirnya Hong Si-nio mengakui,
"Kalau demikian, dia memang tidak terlalu jelek."
"Ciangbunjin
Tiam-jong-pay yang bernama Cia Thian-ciok adalah salah satu dari orang yang
berada di gua belakang itu."
"Jadi dia juga dibeli
oleh Siau-yau-hou?" tanya Hong Si-nio.
"Kutanggung mataku tidak
lamur dan tidak salah lihat," Pin-pin menegas.
"Jadi Auyang-hengte juga
menjadi anak buah Siau-yau-hou?" tanya Hong Si-nio.
Pin-pin memanggut, "Baru
sekarang aku tahu, orang-orang yang kulihat dalam gua adalah para tokoh Kangouw
yang di unggulkan sebagai pendekar, orang baik, orang bijak."
"Ya, tahu orang, tahu
muka, tidak tahu hatinya, tidak mudah membedakan seorang baik atau jahat dari
wajah seseorang."
"Engkohku memang sudah
mati, tapi organisasi rahasia itu belum bubar."
"Wah, betul begitu?"
seru Hong Si-nio
“Tak lama setelah kejadian
itu, dari seorang yang menjelang ajal aku memperoleh berita lain."
"Berita apa?"
"Setelah engkohku
meninggal, ada seorang menggantikan kedudukannya."
"Siapa dia?"
"Tidak berhasil kutanya
dia?"
"Orang mereka sendiri
juga tiada yang tahu asal-usulnya."
"Mereka adalah
orang-orang yang punya kedudukan dan disegani dalam kelompok masing-masing,
kenapa rela tunduk dan patuh pada perintahnya?"
"Sebab orang ini berilmu
tinggi, betapa lihai kungfunya susah diukur, yang penting kunci kelemahan
mereka sudah tergenggam di tangannya."
"Kunci kelemahan apa
maksudmu?"
"Yaitu rahasia pribadi
mereka diketahui oleh engkohku. Mereka sendiri heran dan tak habis mengerti,
mengapa rahasia pribadinya bisa jatuh ke tangannya."
"Mereka sendiri tidak
tahu?"
"Pasti tidak tahu."
"Apa orang ini punya
hubungan luar biasa dengan Siau-yau-hou? Apakah sebelum ajal Siau-yau-hou telah
membocorkan rahasia mereka kepadanya?"
Semua pertanyaan itu jelas
tidak terjawab, dan tiada orang yang bisa menjawab.
"Aku hanya tahu muslihat
yang direncanakan engkohku sampai sekarang masih terus dikembangkan. Agaknya
seperti juga engkohku, orang ini juga punya ambisi mengekang dan menguasai
tokoh-tokoh Bulim itu, seperti malaikat menggenggam nasib hidup mati
mereka."
"Maka kau suruh Siau
Cap-it Long mencolok mata orang-orang yang pernah kau lihat keberadaan mereka
di dalam gua itu?"
Pin-pin memanggut pula,
"Aku berpendapat orang-orang itu pantas mati, kalau komplotan orang jahat
ini semua mampus, orang lain baru bisa hidup tenteram dan damai."
Hong Si-nio mengawasi Siau
Cap-it Long, "Maka kau bilang kau tidak salah membunuh mereka."
Siau Cap-it Long mengangguk,
"Sekarang kau sudah mengerti duduk perkaranya bukan?"
"Tapi orang lain tidak
tahu dan tidak mau tahu, maka mereka menuduhmu sebagai bangsat pembunuh yang
kejam."
"Toa-to Siau Cap-it Long
memangnya bangsat. Insan persilatan mana yang tidak tahu akan kebenaran namaku
itu?"
"Kenapa tidak kau bongkar
rahasia mereka di depan umum, biar orang banyak tahu mereka memang pantas
mampus."
"Mereka adalah pendekar
besar, aku adalah bangsat durjana, ucapan seorang bangsat siapa mau dengar,
siapa mau percaya?" Lalu dengan tertawa Siau Cap-it Long menambahkan,
"Apalagi selama hidup malang melintang aku tidak butuh pengertian mereka,
tidak butuh simpati mereka, Siau Cap-it Long dikenal punya sepak terjang
brutal, tidak peduli pendapat umum, aku bekerja sesuai isi hati dan keinginanku
sendiri."
Walau sedang tertawa, namun
mimiknya menampilkan betapa sedih dan pilu perasaannya. Mengawasi wajah orang,
Hong Si-nio seperti sedang berhadapan dengan seekor serigala, sebatangkara,
kesepian, kedinginan, kelaparan yang berbuat serigala menjadi ganas, serigala
yang berjuang mempertahankan hidup di tengah hujan salju lebat.
Tiap kali melihat rona muka
orang, hati Hong Si-nio ikut sedih seperti ditusuk jarum. Karena ia tahu tiada
seorang pun di dunia ini yang mau mengulur tangan membantunya, yang ada
hanyalah mereka yang ingin menendangnya pergi, menendang sampai ia mati.
Siau Cap it Long tidak pernah
berubah, Siau Cap-it Long tetap adalah Siau Cap-it Long.
Serigala sama dengan kambing,
sama-sama hidup dan berjiwa, sama-sama punya hak untuk hidup, punya hak
berjuang dan mempertahankan diri untuk bergulat dengan nasib.
Serigala tidak selembut
kambing terhadap sesama kelompoknya, serigala lebih loyal dibanding kambing,
malah lebih setia dibanding manusia. Namum dunia seluas ini, mengapa tiada
tempat yang layak untuk mereka mengembang daya hidup dalam habitatnya?
Hong Si-nio meletakkan cawan
arak, tiba-tiba ia bertanya, "Masih kau ingat, lagu gembala yang sering
kau dendangkan dulu?"
Sudah tentu Siau Cap-it Long
masih ingat, masih hapal.
"Setelah aku menyelami
makna lagu itu, baru aku sadar kenapa kau suka lagu itu."
"O.ya?"
"Sebab kau sendiri merasa
dirimu mirip seekor serigala," demikian ucap Hong Si-nio, "sebab di
dunia ini tiada orang yang lebih tahu, lebih mengerti akan kehidupan serigala
yang kesepian dan terasing."
Siau Cap-it Long tidak
bersuara, dia menghirup arak, arak nan getir.
Mendadak Hong Si-nio tertawa,
"Umpama benar kau ini seekor serigala tulen, aku yakin bukan serigala
sembarang serigala."
"Serigala macam apa
menurut pendapatmu?" tanya Siau Cap-it Long getir.
"Pek-ban-hok-long,"
seru Hong Si-nio.
"Pek-ban-hok-long?"
teriak Siau Cap-it Long tertawa lebar. Nama ini ia rasa lucu dan menggelikan.
Tapi Hong Si-nio tidak
tertawa, "Pek-ban-hok-long mungkin punya perbedaan yang amat besar dengan
serigala umumnya."
"Perbedaan apa?"
tanya Siau Cap-it Long.
"Pek-ban-hok-long tidak
setia terhadap rekannya sendiri," dingin suara Hong Si-nio.
Siau Cap it Long tutup mulut,
jelas ia tahu apa yang dimaksud Hong Si-nio.
Mendadak Pin-pin berdiri,
katanya dengan tersenyum, "Aku jarang minum arak, kepalaku terasa
pusing." Tawanya seperti dipaksakan, "Kalian teman lama, tentu ingin
bercakap-cakap lebih lama, biar aku pulang istirahat dulu."
"Baiklah," sahut
Hong Si-nio. Dia bukan orang yang suka bermuka-muka, memang inilah kesempatan
ia menumpahkan isi hati dan perasaannya kepada Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long juga
manggut-manggut. Mengawasi Pin-pin beranjak pergi ditelan kegelapan, sorot
matanya menampilkan rasa prihatin dan kasihan.
Dingin suara Hong Si-nio,
"Tak usah kau kuatir akan dirinya. Adik Siau-yau-hou memangnya tidak bisa
merawat diri sendiri?"
Pin-pin jelas bisa menjaga
diri sendiri. Seorang yang telah hidup dua bulan di bawah jurang dengan kondisi
yang serba kekurangan, dimana saja kini ia berada pasti bisa beradaptasi dengan
lingkungan. Apalagi di kota besar ini mereka punya gedung megah, rumah mewah.
Entah kenapa kelihatannya Siau
Cap-it Long masih kuatir saja.
Menatap orang dengan muka
cemberut, Hong Si-nio berkata, "Dia menolongmu, jelas kau harus membalas
budi baiknya, tapi tidak perlu berlebihan."
"Berlebihan kau
bilang?" getir suara Siau Cap-it Long.
"Paling tidak, jangan
karena sepatah katanya lantas kau paksa orang menarik antingnya."
"Rasanya memang agak
keterlaluan," ujar Siau Cap-it Long, "aku bersikap demikian
terhadapnya bukan tanpa alasan."
"Alasan apa?"
Siau Cap-it Long ingin bicara,
tapi ditelannya kembali. Bukan dia tidak mau bicara, tapi lebih baik menahan
diri.
"Peduii apapun alasanmu,
jangan lantaran dia kau melupakan Sim Bik-kun."
Begitu mendengar nama Sim Bik-kun,
hati Siau Cap-it Long seperti ditusuk jarum, "Aku ... tak pernah melupakan
dia."
"Tapi sampai detik ini
kau tidak pernah menyapa dirinya."
Siau Cap-it Long menggenggam
kencang cawan araknya, mukanya makin pias, agak lama baru bersuara, "Ada
persoalan yang tidak ingin kubicarakan."
"Di hadapanku, masih ada
persoalan apa yang tidak bisa kau bicarakan?"
"Tiada, terhadapmu tiada
persoalan yang pantang kubicarakan, maka ingin kutanya kepadamu, perbuatan
salah apa yang pernah kulakukan, dia ... kenapa dia bersikap begitu
terhadapku?"
"Bersikap bagaimana
maksudmu?"
"Memangnya kau tidak
tahu? Tidak melihat? Di atas Bok-tan-lau itu, bagaimana sikapnya terhadapku?
Sepertinya aku ini dianggap seekor ular berbisa."
"Prak", cawan arak
digenggamnya pecah, pecahan cawan menusuk jari-jari tangannya, menusuk perasaan
hatinya, darah bercucuran. Namun dia seperti tidak merasa sakit, sebab sakit
relung hatinya lebih tidak tertahankan.
Mengawasi orang, sorot mata
Hong Si-nio menampilkan rasa kejut dan heran, seperti tidak menyangka Siau
Cap-it Long bisa begitu menderita lantaran Sim Bik-kun.
Lama kemudian baru Siau Cap-it
Long melanjutkan, "Karena sikapnya itu, bagaimana aku harus memberi
penjelasan?"
"Jadi kau tidak tahu
kenapa dia bersikap begitu terhadapmu."
"Aku hanya tahu tiada
orang memaksa dia untuk bersikap demikian."
"Memang tiada orang
memaksa dia. Tapi kalau kau melihat dia bergandeng tangan dengan seorang pria,
melihat dia melakukan sesuatu demi lelaki itu, seperti apa yang kau lakukan
untuk Pin-pin, bagaimana kau akan bersikap terhadapnya?"
"Tapi sikapku terhadap
Pin-pin hanya lantaran ...." Siau Cap-it Long seperti kuatir menyelesaikan
kata-katanya.
Hong Si-nio justru mendesaknya
bicara, "Lantaran apa, coba jelaskan."
Muka Siau Cap-it Long kelihatan
sedih, "Dalam segala hal aku mengalah demi dia, apa yang dia suka, aku
berusaha memenuhi keinginannya, karena aku tahu dia tidak akan bisa hidup lama
lagi."
Hong Si-nio terperangah.
"Di lembah itu dia
mengalami derita yang luar biasa, malah keracunan lagi, sudah kuupayakan dengan
segala akal, belum berhasil memunahkan racun itu, untung masih dapat kuusahakan
mendesak racun agar tidak bekerja lebih cepat, tapi ...." Sepoci arak dia
habiskan, lalu sambungnya, "Paling lama ia hanya bisa bertahan tiga tahun,
sekarang sudah lewat dua tahun, usianya paling tinggal tujuh delapan bulan,
bila mendadak gawat, mungkin hanya tinggal tujuh delapan hari...."
"Maksudmu racun di
badannya bisa kumat mendadak?" tanya Hong Si-nio.
Siau Cap-it Long memanggut.
Hong Si-nio menjublek sekian
lama, hatinya mendelu, entah kenapa timbul simpatinya terhadap cewek yang satu
ini. Gadis cantik jelita yang cerdik pandai, ibarat bunga yang baru mekar,
namun tiap waktu harus menunggu saat layu yang tidak diketahui kapan datangnya.
"Aku tidak peduli
bagaimana pandangan kalian, bagaimana keadaan dan jalan pikiran orang lain,
yang pasti hubunganku dengan dia masih putih bersih. Sebab aku tidak ingin
melakukan perbuatan yang menyakiti hati Sim Bik-kun, yakin dia juga ingin aku
melakukan."
Hati Hong Si-nio juga seperti
ditusuk jarum, kini ia menyesal, tiba-tiba ia insaf tadi tidak semestinya ia
menyindir Pin-pin hingga gadis itu menyingkir.
Kini baru dia betul-betul
paham, benar-benar mengerti seluruh perasaan Siau Cap-it Long, meresapi
penderitaan lahir batinnya.
Tiba-tiba ia sadar hanya
perempuan macam Sim Bik-kun yang pantas merasa senang bahagia, betapapun
tersiksa jalan hidupnya, ada seorang laki-laki macam Siau Cap-it Long yang
mencintainya. Lalu bagaimana diriku? Hong Si-nio bertanya kepada diri sendiri.
"Kalau aku adalah kau,
aku juga akan berbuat demikian," kata Hong Si-nio, "tapi kalau tidak
kau jelaskan, orang lain mana tahu. Bagaimana Bik-kun bisa mengerti?"
"Kalau betul ia mengerti
perasaan murniku terhadapnya, tidak pantas dia mencurigai aku, apalagi
..." Jari-jarinya saling genggam, lalu katanya, "Dia kemari kan juga
ingin mencari Lian Shia-pik, hanya Lian Shia-pik saja orang ... orang yang dia
kuatirkan, aku ini terhitung apa?"
"Darimana kau tahu dia
datang mencari Lian Shia-pik?"
"Aku tahu, ada orang
memberitahu aku."
"Siapa? Siapa yang
memberitahu kepadamu?"
"Hoa Ji-giok."
Mendadak Hong Si-nio menjengek
dingin, "Kau percaya obrolannya? Kalau kau meresapi perasaan Sim Bik-kun
terhadapmu, kenapa kau percaya ocehan orang lain, lalu mencurigai dia?"
Giliran Siau Cap-it Long yang
melenggong.
"Aku heran kenapa kalian
justru memikirkan derita pribadi sendiri, melupakan bahwa dia punya kesulitan
sendiri, kenapa kalian berpikir ke arah yang salah, memikirkan kejelekan orang?"
Mulut Siau Cap-it Long
bungkam.
Apakah itu yang dinamakan
cinta? Apakah di antara cinta itu salalu ada perasaan yang tak mungkin
dihindarkan antara curiga dan cemburu?
"Aku tidak peduli
bagaimana kau berpikir, bagaimana kau memandang persoalan ini, sekarang
kuberitahu kepadamu, dia datang bukan lantaran orang lain, tapi demi engkau,
orang yang Benar-benar diperhatikan, yang dikuatirkan juga adalah engkau."
Bukankah Hong Si-nio datang
juga lantaran dia? Kenapa dia memberi penjelasan untuk orang lain.
Kenapa ia tidak limpahkan saja
isi hatinya yang selama ini mengeram dalam sanubarinya? Bukankah hal ini akan
membawa derita hidup sepanjang masa?
Hong Si-nio sendiri bingung
kenapa ia berbuat demikian, padahal ia maklum dirinya bukan orang yang diagungkan,
bukan orang suci. Tapi ia tahu perasaan murni yang keluar dari hati yang tulus,
bukan saja suci dan agung, ajaran para nabi pun telah ia praktekkan dalam
kehidupan ini.
Mendadak Siau Cap-it Long
menarik tangannya, tanyanya kuatir, "Tahukah kau dimana dia?"
Hong Si-nio menggeleng kepala,
"Aku hanya tahu dia ditolong orang."
"Ditolong siapa?"
"Awalnya orang itu adalah
kusir kereta Hoa Ji-giok, kalau tidak salah bernama Pek-losam"
"Kusir kereta Hoa
Ji-giok, kenapa menyerempet bahaya menolongnya?”
"Aku tidak tahu. Hanya
dengan menemukan dia, segala persoalan akan dapat diselesaikan."
Siau Cap-it Long berjingkrak
berdiri, "Hayo, sekarang kita cari dia."
Hong Si-nio menyeringai kecut,
"Ya, tapi biar aku habiskan dulu semangkuk bakmi ini."
XI. JIT-SAT-TIN
Bakmi itu sudah dingin, Hong
Si-nio tidak peduli, dengan lahap ia gares sampai habis.
Siau Cap-it Long menunggu
dengan sabar, mengawasi orang makan ternyata juga membuatnya lega.
Pada saat itulah mendadak
berkumandang suara "Trap", yang keras, menyusul tujuh bayangan orang
berpakaian hitam bagai setan gentayangan muncul bersama. Tujuh orang berpakaian
hitam yang rambut kepalanya panjang menyentuh pundak, ternyata mata mereka
berlubang kosong. Tujuh orang buta.
Tangan kiri mereka memegang
tongkat yang mengkilap putih, tangan kanan memegang kipas. Orang pertama
berwajah hijau membesi, tulang pipinya menonjol, dia bukan lain adalah Cia
Thian-ciok yang dahulu menjadi Ciangbunjin Tiam-jong-pay.
Hong Si-nio tetap menikmati
bakminya. Tujuh orang buta mendadak muncul di tempat itu, ternyata ia berlaku
tenang, meski kaget tapi tidak gugup apalagi takut.
Dia tahu siapa ketujuh orang
buta ini, juga tahu siapa pimpinannya, yaitu Jin-siang-jin. Ia dapat mengukur
tingkat kepandaian mereka. Siau Cap-it Long seorang cukup mampu menghadapinya.
Selama dua tahun belakangan
ini kepandaian Siau Cap-it Long ternyata maju berlipat ganda.
Ilmu silat tak beda dengan
ilmu pengetahuan, siapa rajin belajar, dia akan memperoleh kemajuan yang luar
biasa.
Ketujuh orang buta itu sudah
bergerak mengurung, wajah mereka beringas.
Mendadak Cia Thian-ciok
berkata, "Umpama kau tidak bersuara, aku pun tahu kau berada di
sini."
"Sejak tadi aku memang
berada di sini," ujar Siau Cap-it Long kalem.
"Bagus, bagus
sekali," seru Cia Thian-ciok. Serempak ketujuh orang buta membuka kipas.
Di atas kipas lipat itu tampak huruf merah darah, "Bunuh Siau Cap-it
Long".
Si Pincang penjual bakmi
tampak ketakutan, dengan badan gemetar menyurut mundur ke pojok dinding sebelah
sana.
"Kau lihat huruf-huruf
ini?" jengek Cia Thian-ciok.
Siau Cap-it Long tidak
bersuara.
Hong Si-nio menjengek dingin,
"Sudah tentu lihat, dia bukan orang buta."
"Bagus," desis Cia
Thian-ciok penuh kebencian, "ternyata kau juga di sini."
Ternyata ia kenal suara Hong Si-nio.
"Siapa memberitahumu
bahwa kami berada di sini?" tanya Hong Si-nio.
Cia Thian-ciok tidak menjawab.
"Hoa Ji-giok atau Hamwan
Sam-seng?" desak Hong Si-nio.
Cia Thian-ciok tetap
membungkam.
"Peduli siapa memberitahu
kalian, kami tahu apa maksudnya."
"Kau tahu?" seru Cia
Thian-ciok.
"Dia ingin kalian
mengantar kematian," semprot Hong Si-nio, "Tapi hari ini aku tidak
selera membunuh orang, lebih baik kalian pergi saja."
Mendadak Cia Thian-ciok
menyeringai lebar, mimik mukanya tampak seram dan menggiriskan. Seringai yang
penuh keyakinan, seolah-olah mereka punya rencana dan yakin dapat membunuh Siau
Cap-it Long.
Cahaya lampu tampak guram,
mendadak Cia Thian-ciok menggerakkan tongkat putihnya, "Cret", lampu
seketika padam. Walau matanya buta, sepertinya ia mengetahui dimana letak lampu
berada, dalam tongkat putihnya ternyata dipasang senjata rahasia, dengan mudah
ia padamkan lentera ruang besar itu hingga seketika gelap gulita.
Tiba-tiba Siau Cap-it Long
berseloroh, "Banyak orang menjelang membunuh orang suka minum arak, nah
kusuguh dua cawan untuk kalian."
Cia Thian-ciok menjengek,
"Yang ingin kami minum sekarang bukan arak, tapi darah."
Tepat dengan lenyap suaranya,
dari kegelapan sana mendadak terdengar suara "Creng", menyusul suara
kecapi berkumandang. Irama kecapi yang bernada tinggi dengan ritme aneh dan
janggal.
Mengikuti ritme kecapi,
ketujuh orang buta serempak bergerak, formasinya tetap mengurung Siau Cap-it
Long, tongkat mereka ikut bergerak menari. Sinar putih tongkat mereka tampak
berkelebatan di tengah gelap, gerak kaki mereka dengan rapi mengikuti alunan
kecapi yang kalem.
Pelan tapi pasti Siau Cap-it
Long dan Hong Si-nio mulai merasa adanya suatu tekanan kuat. Terutama Hong
Si-nio yang sedang makan, ia tidak kuasa menghabiskan bakminya.
Irama kecapi makin cepat,
langkah ketujuh orang buta makin gesit, demikian pula ayunan tongkat putih
mereka ikut kencang. Sementara lingkar pengepungan mereka juga makin mengecil,
tekanan yang menindih dan menghimpit juga terasa lebih besar.
Tongkat putih yang dimainkan
di tengah udara makin rapat mirip sebuah jala, makin menyempit dan mengkeret.
Mendadak Hong Si-nio merasa
dirinya seperti ikan yang terkurung dalam jaring nelayan. Ilmu silatnya belum
termasuk taraf tinggi, tapi pengalamannya luas dan serba tahu.
Tapi ia tidak tahu ketujuh
orang buta ini merangsek kencang dengan ilmu aliran mana, mereka bergerak
mengikuti dendang kecapi yang bersuara kencang dan keras, seolah mengandung,
kekuatan aneh yang menguasai pikiran mereka, bagi orang luar justru terasa
gejolak yang mengganggu konsentrasi hingga hati merasa tidak enak.
Kini perasaan Hong Si-nio
berubah, dirinya seperti semut dalam wajan. Sebaliknya Siau Cap-it Long duduk
anteng di tempatnya, tidak bergerak, tanpa reaksi. Ingin rasanya gejolak
perasaan yang tak tertahan ini disiram air dingin. Untung Siau Cap-it Long
keburu turun tangan dengan menggengam pergelangan tangannya. Tangan yang kering
tapi hangat. Di tengah gelap tampak bola matanya memancarkan keyakinan dan
ketenangan luar biasa.
Ditopang genggaman tangan Siau
Cap-it Long, perasaan Hong Si-nio tidak sampai bergolak, hampir saja ia
terjerumus oleh pikatan irama dan belenggu kekuatan yang terus menghimpit makin
keras. Piring, mangkuk dan cawan di atas meja mulai pecah berantakan seperti
diremas jari-jari iblis yang tidak kelihatan, kejap lain meja kursi juga mulai
patah dan hancur.
Menghadapi ketenangan Siau
Cap-it Long, rona muka ketujuh orang buta yang semula penuh keyakinan tampak
mulai goyah, gerak-gerik mereka tampak mulai ragu, menandakan hati mulai
gundah. Karena sudah setaker kekuatan mereka menekan, ternyata tiada reaksi
apapun dari kedua lawan itu, tenaga yang digunakan jelas berlawanan, makin
besar menekan musuh, tenaga yang digunakan juga makin besar. Muka Cia Thian-ciok
dan kawan-kawan sudah mandi keringat, mendadak ia membalik gerak tongkatnya
terus menyodok ke arah Siau Cap-it Long.
Pada saat yang sama, mendadak
Siau Cap-it Long bersuit panjang, tahu-tahu goloknya bergerak bagai kilat,
serempak tongkat putih seluruhnya tertabas kutung menjadi dua.
Padahal tongkat putih musuh
semua terbuat dari baja pilihan. Hakikatnya tiada senjata tajam macam apapun
yang mampu menebas putus besi tongkat itu, namun dilandasi kekuatan tenaga Siau
Cap-it Long yang luar biasa, perbawa tabasan goloknya itu sungguh sukar
dibayangkan, tiada orang yang mampu melawan.
Golok berkelebat, tujuh
tongkat patah semua. Dari kutungan tongkat yang berlubang bagian tengahnya
mendadak menyembur gulungan asap kuning, syukur saat itu Siau Cap-it Long sudah
menarik Hong Si-nio menerjang keluar dari kepungan.
Lincah sekali Siau Cap-it Long
merangkul pinggang Hong Si-nio, kejap lain mereka sudah berpijak di atas
tembok. Di ujung tembok seorang duduk sambil memeluk kecapi, siapa lagi kalau
bukan si timpang kurus penjual bakmi.
“Ternyata kau," seru Siau
Cap-it Long. Orang tua bermata tunggal yang timpang menggetar lima jarinya,
"Jreng", dawai kecapi putus seluruhnya, bola matanya yang tunggal
berkilauan mengawasi Siau Cap-it Long.
"Kau tahu siapa
aku?" tegasnya dingin.
"Hamwan Sam-coat?"
Si mata tunggal bergelak
tertawa, "Sungguh tak nyana, bukan saja kau mampu mematahkan barisan tujuh
pembunuh, bahkan kau mengenali diriku juga."
Siau Cap-it Long menghela
napas, "Kalau tadi aku tidak bertemu Hamwan Sam-seng, tidak terpikir
olehku adanya engkau."
"Bagus Siau Cap-it Long,
kau memang cerdik pandai. Berdasar penilaianku, hari ini aku memberi
kelonggaran padamu, lekas pergi berusaha menolong cewekmu itu, terlambat
sekejap lagi jiwanya takkan tertolong."
Hong Si-nio memang tidak
sadarkan diri, mulutnya terkancing kencang, buih kental mulai meleleh di ujung
mulutnya.
Mendadak Hamwan Sam-coat
menjengek dingin, "Satu hal kau harus tahu, selama hidup bila Lohu turun
tangan, belum pernah pulang percuma, umpama kuberi kelonggaran padamu, kau
masih harus memberi tanda kenangan padaku."
Mendadak Siau Cap-it Long
bergelak tertawa keras, "Toa-jat Siau Cap-it Long, selama hidup malang
melintang selalu menuntut barang orang lain, belum pernah aku meninggalkan
kenangan untuk orang lain."
"Hari ini jelas kau harus
melanggar kebiasaanmu itu," ejek Hamwan Sam-coat.
"Bagus," bentak Siau
Cap-it Long, "kutinggalkan golokku."
Mendadak goloknya membacok
lurus ke depan, dengan kedua tangan memegang kecapi, Hamwan Sam-coat mengangkat
kedua tangannya menyongsong ke atas. "Trang", benda keras beradu,
suaranya sungguh keras memekakkan telinga. Golok yang tajam luar biasa itu
ternyata tidak mampu membelah kecapi, malah mental balik dengan getaran yang
keras luar biasa.
Meminjam getaran keras
beradunya dua senjata itu, tubuh Siau Cap-it Long justru membal ke atas, di
udara ia berjumpalitan meluncur sejauh empat tombak.
Didengarnya Hamwan Sam-soat
bergelak tertawa, "Siau Cap-it Long, akhirnya kau meningalkan setitik
darahmu di sini."
Hanya sekejap Siau Cap-it Long
sudah meluncur belasan tombak, serunya, "Darahku itu akan kubalas dengan
darahmu juga."
Cepat sakali darah membeku.
Entah bagaimana dan darimana di bawah ketiak kiri Siau Cap-it Long tergores
luka sepanjang tujuh delapan senti.
Lukanya tidak sakit, tidak
terasa apa-apa. Namun hati Siau Cap-it Long mencelos, perasaannya menjadi
dingin. Luka yang tidak sakit adalah luka yang berbahaya. Tanpa sangsi goloknya
bekerja, segumpal kulit daging di ketiak kirinya ia iris dengan golok, darah
berhambur keluar dengan deras. Sekarang baru luka terasa sakit lagi perih.
Tanpa melihat atau memeriksa, juga tidak dibalut, ia biarkan darah terus
mengalir keluar.
Sebab Hong Si-nio perlu segera
diberi pertolongan. Waktu tongkat-tongkat patah itu menyemburkan asap, Hong
Si-nio sempat menghirup sedikit hawa beracun. Siau Cap-it Long sempat menutup
jalan napasnya, meski cepat reaksinya, Hong Si-nio tetap keracunan.
Waktu Siau Cap-it Long
menariknya tadi ia sudah merasakan badan orang yang lunglai, maka tanpa sangsi
ia mengempitnya untuk menyingkir dari tempat itu. Kini terasa badannya sudah
mulai mengejang, mulai dingin. Selebar mukanya sudah membeku kelabu. Hong
Si-nio tidak boleh mati. Dengan cara apapun Siau Cap-it Long harus berusaha
menolong jiwanya.
* * * * *
Gedung yang besar lagi megah
itu sepi lengang, api menyala benderang, namun tiada suara orang, sebab rumah
ini kosong, tiada penghuninya.
Gedung ini sudah ia beli,
umpama ia tidak berada di rumah, biasanya ditunggu dan dijaga belasan laki
perempuan yang menjadi pembantunya.
Bukankah tadi Pin-pin bilang
mau pulang dulu. Dimana dia sekarang, satu orang pun tidak kelihatan, lalu
dimana Pin-pin?
Pin-pin pasti menunggunya di
sini, tak mungkin dia pergi sendiri. Kembali perasaan Siau Cap-it Long
tenggelam.
Untunglah untuk menyembuhkan
racun di badan Pin-pin. ia melanglang buana mencari tabib sakti, walau ia tidak
tahu racun jenis apa yang digunakan dalam asap beracun musuh, namun sifat racun
asap ini rasanya tidak jauh berbeda dengan racun yang mengeram di tubuh
Pin-pin.
Di gedung dimana ia merawat
Pin-pin selama ini banyak disimpan berbagai jenis obat. Lekas sekali ia bopong
Hong Si-nio ke kamar dan membaringkannya di ranjang. Lekas ia membuka laci di
almari bawah ranjang Pin-pin, seketika ia berdiri melongo dan menjublek
mematung, badannya seketika berkeringat dingin seperti terjeblos dalam gudang
es.
Seluruh racikan obat yang
tersimpan dalam laci-laci obat di sini seluruhnya kosong. Rencana yang rapi,
akal yang licik dan langkah yang tegas.
Selama ini Siau Cap-it Long
adalah pemuda yang gagah, kukuh dan tabah, menghadapi bahaya dan kesulitan
apapun tak pernah mengeluh, ia yakin dapat mengatasi dan pasti beres.
Kini ia menjublek seperti
orang pikun, melenggong di pinggir ranjang, dengan nanar ia mengawasi Hong
Si-nio. Membawanya lari mencari tabib untuk menyembuhkan? Atau meluruk Hamwan
Sam-coat minta obat pemunahnya? Mencari tabib untuk mengobati tidak yakin dapat
berhasil, karena tabib itu belum tentu punya obat pemunah racun dari jenis ini?
Umpama ketemu tabib pandai, apa masih sempat menolongnya?
Mencari Hamwan Sam-coat, apa
dia masih di tempat itu? Apakah mau memberikan obat pemunahnya? Kalau orang
menolak memberi, apakah Siau Cap-it Long yakin dapat memaksanya menyerahkan obatnya?
Tidak tahu.
Samua tidak tahu, pikiran Siau
Cap-it Long kalut, gundah perasaan, salah langkah berarti jiwa Hong Si-nio
taruhahnya, betapapun ia tidak berani menyerempet bahaya. Lalu apakah ia harus
berdiri mematung di sini menunggu ajalnya tiba?
Mendadak Siau Cap-it Long
sadar, keringat dingin telah membuat sekujur badannya basah kuyup, ia sadar
kini saatnya harus segera mengambil keputusan, bukan saja harus tegas mengambil
keputusan, keputusan yang cepat lagi tepat.
Tapi Siau Cap-it Long tidak
yakin, tidak punya keyakinan sedikitpun. Mungkin karena ia amat memperhatikan
keadaan Hong Si-nio. Kalau di samping ada seorang yang bisa memberi saran dan
usul yang baik, mungkin bisa membantunya mengambil keputusan.
Pada saat itulah di luar ia
dengar seorang mengetuk pintu. Apakah Pin-pin? Mungkinkah Pin-pin pulang?
Dengan beringas Siau Cap-it
Long memburu keluar, dengan keras ia buka pintu, kembali ia melenggong.
Seseorang berdiri di luar pintu, berdiri dengan sopan dan hormat. Siapa lagi
kalau bukan Hamwan Sam-seng.
Hamwan Sam-seng mengulum
senyum, senyum lebar, senyum ramah dan hormat, senyum tulus, mirip pedagang
yang siap datang memborong dagangan.
Membesi muka Siau Cap-it Long,
desisnya dingin, "Tak nyana berani kau datang kemari?"
Jari-jarinya tergenggam
kencang, sedikit lagi siap menghajar dengan tinjunya.
Hamwan Sam-seng mundur dua
langkah, katanya dengan tertawa lebar, "Aku datang bukan untuk berkelahi,
Maksud kedatanganku baik, ingin membantu."
"Bermaksud baik? Manusia
macammu punya itikad baik?" damprat Siau Cap-it Long.
"Terhadap orang lain
mungkin tidak, terhadap kalian berdua ...." dari pundak Siau Cap-it Long
ia melongok ke dalam mengawasi Hong Si-nio yang rebah di ranjang, sikapnya
prihatin dan menguatirkan keadaannya, katanya setelah menghela napas,
"Terus terang aku tidak menyangka, engkohku yang tidak kenal kasihan tega
turun tangan sekejam ini padamu."
Mencorong bola mata Siau Cap
it Long, "Jadi Hamwan Sam-coat adalah saudara kandungmu?"
Hamwan Sam-seng memanggut,
tawanya getir, "Tapi aku bukan orang yang telengas seperti dia."
Siau Cap-it Long amat gemas,
sungguh ingin menggenjotnya remuk, terhadap manusia munafik yang durjana ini,
sungguh ia kehabisan akal. Tapi ia sadar dan mengerti, dalam kondisi sekarang
untuk menolong jiwa Hong Si-nio, segalanya harus pasrah kepada orang ini.
"Kedatanganmu hendak
menolong orang?" tanya Siau Cap-it Long.
Hamwan Sam-seng
manggut-manggut. "Kau mampu menolongnya?" desak Siau Cap-it Long.
Hamwan Sam-seng tertawa lebar, "Kami bersaudara jarang bertemu, umpama
kumpul juga tidak pernah bicara, maklum tabiat kami berbeda, kegemaran tidak
sama."
"Dalam hal apa saja
kalian tidak sama?”
"Dia suka membunuh orang,
sebaliknya aku suka menolong orang. Siapa yang ingin dia bunuh, aku berusaha
menolongnya."
Mendadak Siau Cap-it Long
tertawa, tertawa lebar dan riang, "Kelihatannya kau lebih pintar dari dia.
Membunuh orang jelas tidak menguntungkan bagi diri sendiri, tapi menolong orang
banyak manfaatnya."
Hamwan Sam-seng bertepuk
tangan, serunya, "Ucapan tuan sungguh tepat, tuan mengerti hatiku."
Siau Cap-it Long menarik muka,
desisnya kereng, "Untuk kali ini, keuntungan apa yang kau minta?"
"Manfaat apapun aku tidak
mau, hanya saja...."
"Hanya saja apa?"
"Kalau kau menanam pohon,
kalau pohon itu berbuah, milik siapa buahnya itu?"
"Jelas milikku."
"Betul, jelas menjadi
milikmu. Sebab kalau kau tidak menanam pohon, bahwasanya memang tiada
buah."
Berubah pula air muka Siau
Cap-it Long, tapi ia mengerti apa yang dimaksud Hamwan Sam-seng.
Maka Hamwan Sam-seng
melanjutkan, "Kondisinya sekarang sudah mirip orang mati, kalau aku dapat
menolongnya, berarti akulah ayah-bunda yang menghidupkannya kembali, maka mati
hidupnya jelas akan menjadi urusanku."
"Kentutmu busuk!"
damprat Siau Cap-it Long murka.
"Eeh, jangan marah. Jual
beli batal hubungan tetap baik, umpama tidak setuju, tak perlu kau marah besar
kepadaku." Sampai di sini ia menyurut dua langkah sambil bersoja,
"Baiklah Cayhe mohon diri." Habis bicara ia putar badan terus melangkah
pergi.
Sudah tentu Siau Cap-it Long
tidak membiarkannya pergi. Sekali lompat ia cegat jalan mundur orang.
Tawar suara Hamwan Sam-seng,
"Tuan tidak mengizinkan aku menolong dia, terpaksa aku mohon diri, kenapa
tuan menghalangi aku?"
"Kau harus
menolongnya," bentak Siau Cap-it Long.
"Aku tahu tuan punya
kemampuan luar biasa," demikian ujar Hamwan Sam-seng, "kalau aku
dipaksa menolong dia, aku tidak mampu melawan, hanya saja menolong orang
berbada dengan membunuh orang."
"Dalam hal apa
berbeda?"
"Membunuh orang cukup sekali
tabas atau satu kali jotos, jiwa orang pasti melayang. Menolong orang harus
teliti dan bekerja dengan seksama, membuang banyak tenaga dan pikiran, bila
hati gelisah pikiran gundah, sedikit ceroboh akibatnya bisa fatal, lalu siapa
yang harus bertanggung jawab?."
Siau Cap-it Long tidak bisa
bicara.
Hong Si-nio bisa ditolong atau
bakal mati, kuncinya berada di tangan Hamwan Sam-seng, bila orang ini pergi dan
tidak mau menolong, jiwa Hong Si-nio jelas tak bisa ditolong lagi.
"Pepatah ada bilang, anggaplah
kuda mati sebagai praktek percobaan penyembuhan. Kondisi Hong Si-nio sekarang
tidak beda dengan orang yang sudah mati, kenapa tidak tuan serahkan saja dia
kepadaku?"
"Baiklah," teriak
Siau Cap-it Long sambil membanting kaki, "kuserahkan dia kepadamu."
"Nah, begitu sudah
gamblang, yang satu menyerahkan dengan tulus, yang menerima juga senang hati,
satu dengan yang lain tiada ganjalan, tiada paksa memaksa."
Siau Cap-it Long bungkam.
Hamwan Sam-seng berkata,
"Maka bila nanti kubawa dia pergi, kuharap tuan jangan menyesal, juga
jangan menguntit di belakang. Kalau kau melanggar, jangan menyesal kalau aku
biarkan dia mati saja."
"Lekas kau bawa dia
pergi, untuk selanjutnya jangan sampai kau kepergok lagi di tanganku."
"Lewat hari ini aku akan
lebih hati-hati," ujar Hamwan Sam-seng tertawa, "daripada bertemu
lebih baik tidak bersua, apalagi orang segarang kau, tidak bertemu lebih
baik." Dengan tersenyum lebar penuh kemenangan ia bopong Hong Si-nio,
terus dibawa lari keluar sipat kuping.
Siau Cap-it Long hanya
mengawasi dengan mata melotot, tiada akal untuk berbuat apa-apa. Jelas hatinya
tidak rela, pantang menyerahkan Hong Si-nio ke tangan Hamwan Sam-seng. Tapi
Hamwan Sam-seng sudah membawa Hong Si-nio, bayangannya sudah tidak kelihatan
lagi.
Siapa kiranya yang menculik
Pin-pin, siapa pula yang menguras semua racikan obat? Pasti Hamwan Sam-seng,
tadi lukanya tidak parah, setelah pergi ia tidak berlari jauh. Dalam pertemuan
yang tidak terduga, Siau Cap-it Long dan Hong Si-nio diliputi rasa senang dan kaget,
maka mereka tidak memperhatikan keadaan di luar, apalagi hubungan mereka selama
ini blak-blakan, tiada rahasia yang takut diketahui orang lain. Mereka hanya
ingih makan bakmi, lain tidak, kenyataan agak lama kemudian baru menemukan
orang tua pincang yang berjualan bakmi. Waktu sepanjang itu cukup lama bagi
Hamwan Sam-seng untuk meringkus penjual bakmi tulen, lalu menyuruh Hamwan
Sam-coat menyaru jadi penjualnya.
Siau Cap-it Long belum hapal
seluk-beluk kota ini, jelas tidak kenal siapa sebenarnya penjual bakmi di
pinggir jalan yang asli, apalagi hakikatnya ia tidak kanal dan belum pernah
bertemu Hamwan Sam-coat.
Di Kangouw banyak perserikatan
atau komplotan orang-orang cacad, setelah menjadi orang buta, Cia Thian-ciok
masuk menjadi anggota komplotan cacad itu. Hamwan Sam-coat kebetulan adalah
pentolan dari kawanan orang cacad itu.
Bukan mustahil Jin-siang-jin
juga adalah salah satu dari pentolan cabang mereka.
Dengan Jit-sat-tin atau
barisan tujuh pembunuh yang mereka ciptakan, mereka pikir cukup mampu mengurung
dan membunuh Siau Cap-it Long. Ternyata lawan yang satu ini memang musuh
bangkotan berkepandaian tinggi, rencana yang diatur rapi hanya berhasil
setengah jalan, yaitu Hong Si-nio keracunan.
Waktu Pin-pin meninggalkan
hotel dan pulang ke rumah, mungkin Hamwan Sam-seng menguntit di belakangnya,
ilmu silatnya walau aneh dan lihai, tetapi kondisinya teramat lemah, maka
dengan mudah ia dibekuk Hamwan Sam-seng.
Kepandaian Hamwan Sam-seng
hakikatnya jauh lebih tinggi dari nilai lahirnya, setelah Hong Si-nio
keracunan, dia yakin Siau Cap-it Long pasti akan membawanya pulang dan
menolongnya di rumah. Setelah pikiran tenang dan gejolak hatinya tenteram, Siau
Cap-it Long bisa manduga dan meraba semua tipu daya yang diatur Hamwan
Sam-seng, sekarang ia harus berusaha bagaimana menolong Hong Si-nio dari tangan
Hamwan Sam-seng. Persoalannya adalah bagaimana ia bisa menemukan tempat
tinggalnya?
Hamwan Sam-seng adalah orang
yang cermat dan teliti, dalam hal berpakaian dan penyamaran cukup ahli,
penampilannya tidak banyak beda dengan kebanyakan orang. Rumah di kota ini ada
ribuan, rumah sebanyak itu, mungkin ia tinggal di hotel, rumah atau toko
kelontong, kedai nasi atau di loteng sebuah rumah plesiran.
Hamwan Sam-seng mungkin
membuka toko kain sutra yang juga membuka tailor, atau rumah hiburan tingkat
tinggi, mungkin juga tinggal di bungalau di pinggir kota yang dikelilingi hutan
atau danau nan indah.
Penghuni kota mungkin tidak
banyak yang kenal Hamwan Sam-seng, siapa Ang Ban-seng juga tiada yang kenal, kecuali
juragan Gu dan Lu. Sebagai orang yang cerdik pandai dan cermat, segala
kelemahan dan kelebihan sudah diperhitungkan dan diatur dengan baik, siapa tahu
rahasia mereka, mungkin sudah dibungkam mulutnya, alias dilenyapkan jiwanya.
Meski otaknya diputar kayun,
pusing tujuh keliling, sukar juga bagi Siau Cap-it Long menebak dimana
kira-kira tempat tinggal Hamwan Sam-seng yang menyembunyikan Hong Si-nio.
Memangnya tiap rumah tiap keluarga ia geledah satu per satu?
Bulan sabit bergantung di
cakrawala, Siau Cap-it Long duduk di undakan batu, hawa terasa dingin, udara
mulai berkabut. Mendadak Siau Cap-it Long berjingkrak berdiri terus menerjang
keluar.
Akhirnya terpikir sebuah cara,
suatu akal, meski bukan cara yang baik, apa salahnya dicoba.
XII. NASIB MEMPERMAINKAN ORANG
Peduli rumah makan besar
kecil, ramai atau sepi, kalau malam setelah tutup pasti ada pelayan atau kacung
yang tidur dan menunggu di sana.
Di antara para kacung itu
pasti ada yang tahu dimana tempat tinggal para juragannya. Sebab kalau ada
keperluan penting, mereka harus pergi memberitahu sang juragan.
Bok-tan-lau jelas tidak
terkecuali.
Sekali tendang Siau Cap-it
Long membikin pintu besar Bok-tan-lau jebol, langsung ia menerjang masuk terus
mencengkeram baju dada sang kacung yang tidur telentang di atas meja.
"Kalau tidak ingin
mampus, segera kau bawa aku menemui juragan Lu, atau kau mampus di
tanganku."
Siapa pun tak ingin mati.
Terutama orang yang sudah tua, Makin lanjut usia makin takut mati.
Apalagi lelaki tua ini kenal
Siau Cap-it Long. Seorang yang dengan gampang mengancam Liu-soh-ciu menjual
anting, seorang lelaki yang royal duit dengan melempar laksaan uang ke jalanan,
kapan saja dengan mudah bisa mencabut jiwanya.
Jawaban kakek tua yang
ketakutan itu jelas dan pendek, "Kuantar kau ke rumahnya."
"Juragan Lu tinggal di
gang itu, rumah ketiga sebelah kiri." Setelah bicara, kakek tua ini jatuh
pingsan. Esok harinya waktu ia siuman di pinggir jalan, ia dapatkan dirinya
mengenakan pakaian yang kemarin melekat di badan Siau Cap-it Long, dalam
kantong bajunya berisi uang lima ratus tahil uang kertas.
Setelah berganti baju dengan
pakaian kakek itu, Siau Cap-it Long memburu masuk ke dalam gang, terus
menggedor pintu dengan keras di rumah ketiga sebelah kiri.
Cukup lama kemudian baru ada
suara orang dari dalam, suara perempuan yang uring-uringan, "Siapa di luar
yang menggedor pintu?"
Sengaja dengan napas memburu
Siau Cap-it Long menjawab dengan keras, "Inilah aku, Lau-thang dari hotel,
juragan Lu kena perkara, menyuruh aku pulang memberi kabar orang di
rumah."
Dua hal sudah ia perhitungkan
dengan cermat.
Juragan Lu pasti tidak ada di
rumah. Orang di rumahnya pasti tidak semua mengenal siapa pelayan hotel atau
restoran yang dibuka majikannya, umpama ada satu yang keliru perhitungan,
rencananya bakal gagal total. Ternyata dugaan Siau Cap-it Long betul.
Seorang perempuan tua usia
pertengahan dengan rambut kepala awut-awutan memburu keluar dan bergegas
membuka pintu, "Ada urusan apa? Juragan Lu kena perkara apa?"
Siau Cap-it Long pura-pura
gugup, "Aku tidak tahu perkara apa, aku sudah tidur, mendadak juragan Lu
masuk dari belakang, menyuruhku jangan bergerak, lalu dia mundur bersembunyi ke
bawah meja. Kejap lain dua orang bermuka beringas memburu masuk, dengan mudah
ia menemukan juragan Lu di bawah meja, mereka bertarung seru, akhirnya juragan
Lu kalah, kebetulan roboh di atas badanku, dia berbisik menyuruhku pulang
memberi kabar supaya mencari orang untuk menolongnya."
Perempuan setengah umur itu
adalah bini juragan Lu, mendengar cerita sang pelayan, mukanya menjadi pucat
ketakutan, "Dia suruh aku mencari siapa? Menolongnya dimana?"
Siau Cap-it Long menggeleng
kepala, "Aku tidak tahu, baru dua patah kata berpesan, dia diseret kedua
orang itu. Lebih baik sekarang aku pergi ke kantor opas saja."
Dalam hal ini ia
memperhitungkan tiga hal. Karena mendesak dan gelisah, keluarga atau bini
juragan Lu tak mungkin mengecek kebenaran beriia itu. Sebagai bini yang sudah
sekian tahun menjalin keluarga, kalau sang suami melakukan perbuatan melanggar
hukum di luar, umpama benar keluarganya tidak diberitahu, sedikit banyak sang
bini tentu tahu liku-liku perbuatan sang suami. Dalam keadaan segenting ini,
mana berani melapor kepada pihak keamanan kota.
Bersambung