Jilid 10
Sim Bik-kun tahu, hanya dia
saja yang tahu. Sebab gambar lukisan itu adalah gambar lukisan hasil karyanya.
Gambar lukisan pribadinya waktu berpose di depan kaca.
Lian Shia-pik rela membuang
semua harta miliknya, perkampungan warisan leluhurnya pun dijual. Tapi tidak
tega meninggalkan gulungan gambar lukisan itu, kenapa?
Kepala Sim Bik-kun menunduk,
air mata membasahi baju dan lengannya.
Orang-orang berseragam hijau
mengawasi mereka dengan kaget dan heran, entah siapa yang mendahului berteriak,
"Aku tahu siapa maling ini. Dia pemilik perkampungan ini yang dahulu,
yaitu Lian Shia-pik."
Seorang lalu menanggapi dengan
nada mengejek, "Konon Lian Shia-pik adalah laki-laki gagah yang jantan,
mana mungkin menjadi maling."
"Karena dia sudah
berubah, sekarang menjadi rudin karena seorang perempuan."
"Apakah perempuan ini
yang kau maksud?"
"Jadi perempuan ini
adalah Sim Bik-kun?"
Tanya jawab orang-orang itu
bagai godam mengetuk sanubari Lian Shia-pik dan Sim Bik-kun. Sekuatnya ia
menggereget tak urung sekujur badan bergetar saking sedih dan malu.
Lian Shia-pik tak berani
memandangnya, dengan menunduk ia berkata, "Aku harus pergi."
Sim Bik-kun manggut-manggut.
"Aku ... tak pernah
terpikir olehku di sini bisa bertemu lagi dengan kau."
"Kau tak sudi bertemu
denganku?"
Lian Shia-pik tidak tahu
bagaimana ia harus menjawab. "Sekarang aku harus pergi."
Sim Bik-kun menariknya lagi,
katanya dengan tatapan tajam, "Aku juga harus pergi, kau mau membawaku
pergi?"
Terangkat kepala Lian
Shia-pik, balas menatapnya, sorot matanya menampilkan tanda tanya, dengan penuh
emosi ia berkata, "Aku berubah begini rupa, kau masih ingin ikut
aku?"
Sim Bik-kun memanggut lagi.
Sim Bik-kun maklum, Lian
Shia-pik takkan mau mengerti, lantaran keadaannya sekarang begini, mana dia
rela aku mengikuti dia pergi. Kalau dia masih Lian Shia-pik yang dahulu, jangan
kata ikut dia, melihatnya saja tidak sudi. Sekarang betapapun ia tidak tega
meninggalkannya, tidak tega melihat kondisinya yang serba konyol.
Sambil menarik lengan orang ia
berkata, "Kalau mau pergi, marilah kita pergi bersama."
Pada saat itulah seorang
mendadak menimbrung bicara, "Tempat ini adalah milik kalian, tak usah
kalian pergi."
Itulah suara Siau Cap-it Long.
Suaranya masih lantang, dingin dan tenang.
Siapa pun pasti tak menduga,
dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengendalikan gejolak hatinya, rasa
derita dan haru.
Maka bubarlah orang-orang yang
berkerumun.
Sim Bik-kun melihatnya, Lian
Shia-pik juga melihatnya. Melihat seorang yang mematung berdiri di bawah pohon
sana.
Wajahnya pucat, sorot matanya
juga seperti memutih. Ia berdiri mematung, badannya sudah beku.
Hanya sekilas Sim Bik-kun
memandangnya lalu melengos, seperti tidak mengenalnya sama sekali.
Lian Shia-pik justru seperti
malu berhadapan dengan orang ini. Kalau orang kelihatan kuat dan tegar, dirinya
sebaliknya loyo, rudin dan mengenaskan. Dia berusaha melepas pegangan tangan
Sim Bik-kun, "Biarlah aku pergi."
Sim Bik-kun menggigit bibir,
lalu katanya dengan tandas, "Sudah kubilang, kalau mau pergi, kita pergi
bersama."
"Aku juga sudah
berkata," demikian desis Siau Cap-it Long, "kalian tidak usah pergi.
Tempat ini masih tetap milik kalian."
Dingin suara Sim Bik-kun,
"Awalnya tempat ini memang milik kami tapi sekarang sudah bukan." Dia
tetap tidak berpaling ke arah Siau Cap-it Long, seperti berusaha mengendalikan
perasaan hati, lalu lanjutnya, "Kami bukan tokoh juga bukan orang gagah,
kami tidak sudi menerima kebaikan dari orang seperti kalian, umpama kami harus
mampus di tengah jalan, kami takkan tinggal di sini lagi."
Ya, hanya kami... kami ...
kami....
Hanya kami berdua takkan
berpisah lagi. Kau ini siapa, kau hanyalah orang luar yang tiada sangkut paut
dengan kami.
'Kami' satu patah kata setajam
ujung pisau menghunjam ke hulu hati Siau Cap-it Long, dari kata-kata orang ia
merasakan firasat putusnya harapan yang ia dambakan.
Tiba-tiba ia menyadari banyak
persoalan, paling tidak menurut pandangan pribadinya.
Bibirnya gemetar, mulut
terkancing, ia tidak bicara lagi, tak bisa bicara.
Tapi Hong Si-nio yang berdiri
di samping mendadak memburu ke sana, suaranya keras, "Kalau benar kau
ingin pergi bersamanya, aku tidak mengganggumu. Tapi satu hal kau harus
mengerti." Sim Bik-kun diam, ia mendengarkan.
"Dia bukan macam orang
yang kau bayangkan selama ini," teriak Hong Si-nio. ”Terhadapmu dia tetap
...."
Sim Bik-kun menjengek dingin,
"Aku sudah sangat mengerti orang macam apa dia, tak perlu kau jelaskan
kepadaku."
“Tapi kau salah paham
terhadapnya, semua persoalan kau salah menilainya."
"Peduli apakah aku salah
pengertian terhadapnya. Sekarang sudah tiada urusan denganku."
"Kenapa?" pekik Hong
Si-nio.
"Karena hakikatnya tiada
hubungan apa-apa antara aku dengan dia." Begitu menarik tangan Lian
Shia-pik, mereka terus melangkah pergi dengan langkah lebar, tidak berpaling
tapi suaranya masih berkumandang, "Cepat atau lambat, kapan saja kita akan
kembali ke sini, dengan daya upaya dan kemampuan kami, tidak perlu menerima
sedekahmu."
Lian Shia-pik mandah dituntun
keluar, tapi langkahnya sudah tegap, dadanya terangkat. Dia tahu kapan dia akan
pulang ke tempat ini. Apa yang pernah diinginkan dan akan dikerjakan, selama
ini belum pernah gagal. Sekarang Sim Bik-kun sudah kembali ke haribaannya,
entah kapan yang pasti bukan hari ini, dia akan menyaksikan Siau Cap-it Long
roboh di hadapannya.
Cuaca sudah mulai gelap. Angin
bertiup kencang, hawa terasa makin dingin, dingin menusuk tulang sumsum.
Orang sudah bubar semua.
Siau Cap-it Long masih berdiri
mematung di bawah pohon.
Hong Si-nio sengaja tidak
menghampiri, dari kejauhan mengawasinya, pandangannya makin buram. Dia tidak
menghampiri karena dalam hati ia maklum, sejak hari ini, sukar bagi dia bisa
menghiburnya lagi.
Hembusan angin menghamburkan
daun-daun kering, berjatuhan dari atas pohon, berserakan di sekitar kaki
mereka.
Dia membungkuk badan hendak
meraih selembar daun, tapi daun kabur ditiup angin. Banyak persoalan di dunia
ini, seperti daun kering yang ditiup angin tadi.
Mendadak Siau Cap-it Long
bergelak tertawa, tawa lebar.
Hong Si-nio kaget, dengan
melongo ia mengawasi. Karena sedih dia menangis atau meraung-raung, keadaan ini
masih bisa diterima olehnya. Tapi tawa yang menggila seperti ini, membuat
hatinya hancur luluh, seperti daun-daun pohon yang berhamburan tak terhitung
banyaknya.
Kini di dunia hanya dia
seorang yang benar-benar bisa menyelami jiwa Siau Cap-it Long, merasakan derita
dan luka hatinya, tapi dia juga tahu, siapa pun takkan bisa membantu untuk
menahan Sim Bik-kun, meski dipaksa sekalipun, karena Lian Sian-pik sudah berubah
sedemikian rupa, siapa pun dia bila manusia normal pasti akan terharu dan
kasihan.
Saat itu si putih beranjak
masuk dengan langkah takut-takut, dengan mata terbelalak kaget mengawasi Siau
Cap-it Long. Belum pernah dia mendengar dan melihat orang tertawa seperti itu,
mukanya yang putih makin putih saking takut dan ngerinya.
Diam-diam Hong Si-nio menyeka
air mata, ingin rasanya maju mendekat, berusaha menghentikan loroh tawa Siau
Cap-it Long. Tiap manusia entah senang atau sedih, tertawa atau menangis ada
cara pelampiasannya, melampiaskan rasa senang atau sedih, tidak jarang
mendatangkan kehancuran bagi diri sendiri juga bagi orang lain. Siapa tahu
loroh tawa Siau Cap-it Long mendadak berhenti, begitu mendadak berhenti seperti
mendadaknya ia bergelak tertawa.
Si putih menarik napas lega,
sambil membungkuk hormat ia berkata, "Tuan, di luar ada orang mohon
bertemu."
Memangnya siapa orangnya yang
tahu kalau Siau Cap-it Long saat ini berada di sini? Bagaimana bisa tahu kalau
dia sudah kemari? Untuk keperluan apa mencarinya? Semua ini merupakan persoalan
yang bisa mengundang rasa curiga, tapi tanpa pikir Siau Cap-it Long berkata
sambil mengulap tangan, "Suruh dia masuk."
Seorang di kala berduka,
penampilan yang tidak perlu diragukan lagi adalah menangis atau tertawa,
bukanlah emosi, tapi hati yang beku.
Demikian kondisi Siau Cap-it
Long sekarang, berdiri di bawah pohon, layaknya patung batu yang tak bisa
bergerak.
Dari tempatnya berdiri yang
berjarak belasan langkah. Hong Si-nio mengawasinya, sorot matanya memantulkan
perasaan yang penuh perhatian dan kuatir, ia tahu harus berusaha membangkitkan
kembali semangat dan gairah hidup Siau Cap-it Long, tapi tak terpikir olehnya
dengan cara apa dan bagaimana ia harus mulai bekerja, pukulan lahir batin seberat
ini memang tak mudah diterima dan dirasakan oleh siapa pun.
Kalau Siau Cap-it Long tak
mampu mengatasi, mengendalikan diri, ibaratnya dia akan terjeblos ke jurang
nista, ke lumpur yang dalam.
Hong Si-nio tak berani
membayangkan apa yang bakal terjadi padanya.
Dia melihat keadaan Lian
Shia-pik yang begitu mengenaskan. Dia juga tahu keadaan Siau Cap-it Long bisa
menjadi lebih mengenaskan, lebih menakutkan.
Dari pekarangan luas seorang
sedang barjalan masuk, seorang pemuda yang kelihatan tahu sopan santun,
tata-krama dan jujur, dilihat dari wajah dan penampilannya, boleh dibilang
masih anak-anak. Perawakannya tidak tinggi, kaki tangannya tumbuh normal, hanya
mungkin belum akil baliq, mimiknya masih kelihatan seperti anak kecil. Tapi
sepasang matanya menampilkan sorot tajam, membayangkan jiwanya yang telengas.
Setelah dekat, melihat keadaan
Siau Cap-it Long, sedikitpun ia tidak terpengaruh oleh suasana yang bagi orang
lain tidak menyenangkan, tiada heran, kaget atau bingung di perasaannya, namun
dengan sopan ia memberi hormat, katanya, "Cayhe mendapat perintah datang
kemari menghadap Siau-cengcu ...."
Wajah Siau Cap-it Long
mendadak berkerut-merut, bentaknya beringas, "Aku bukan pemilik tempat
ini, bukan Siau-cengcu. Aku adalah Siau Cap-it Long, perampok besar yang suka
membunuh orang."
Ternyata pemuda itu tetap
berdiri tenang, tidak berubah sikap, mimiknya juga tetap tenang.
Setelah Siau Cap-it Long habis
bicara, baru dia membungkuk melanjutkan kata-katanya, "Cayhe membawa
sepucuk surat, diperintah untuk menyerahkan langsung kepada Siau-tayhiap.
Silakan terima, setelah dibaca aku menunggu jawabannya."
Undangannya ternyata berwarna
putih mirip pemberitahuan berkabung dari keluarga yang lagi berduka cita.
Syukur kondisi Siau Cap-it
Long makin membaik, akhirnya tenang dan tenteram, tapi kondisi sebenarnya belum
membaik seperti sedia kala. Perlahan ia mengulur tangan menerima undangan,
membuka lalu membaca dengan pandangan kosong.
Mendadak wajah yang mendekati
beku itu menampilkan perubahan luar biasa, demikian pula sorot matanya yang
semula kosong, kini memancarkan cahaya.
Undangan itu ibarat sebatang
jarum, orang yang sudah mendekati beku perasaannya, memang perlu dihujam dengan
tusukan jarum yang keras dan kuat, supaya orangnya lekas sadar.
Bola mata Hong Si-nio ikut
bersinar, tak tahan ia bertanya, "Atas nama siapa undangan itu."
"Ada tujuh orang,"
sahut Siau Cap-it Long.
"Tujuh orang?" Hong
Si-nio mengerut alis.
Siau Cap-it Long
manggut-manggut, "Orang pertama adalah Hi-cia-lang."
Hi-cia-lang, ikan gegares
manusia. Ada saja manusia memakai nama yang menakutkan itu.
Ternyata Hong Si-nio pernah
mendengar nama ini, dengan berjingkat ia bertanya, "Hay-siang-soa-ong
maksudmu?"
Siau Cap-it Long
manggut-manggut, "Kecuali Hay-siang-soa-ong, siapa yang bisa menggunakan
nama Hi-cia-lang."
"Huh," Hong Si-nio
menghembuskan napas dari mulut, "lalu enam orang lainnya siapa?"
"Kim-po-sat, Hoa Ji-giok,
Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to, Tui-hun-coh-gwat-cui-siang-biau Le Ceng-hong,
Hamwan Sam-coat, Hamwan Sam-seng dan Jin-siang-jin."
Kembali Hong Si-nio
menghembuskan angin dari mulutnya. Ternyata semua musuh-musuh bebuyutan Siau
Cap-it Long bergabung menjadi satu. "Mereka bersatu, untuk apa
mengundangmu?"
“Sengaja menyediakan arak
paling baik 180 guci, mengharap tuan datang ikut menikmati," demikian seru
Siau Cap-it Long seperti membacakan undangannya, lebih jauh suaranya
berkumandang pula, "Arak bagus memabukkan orang, kalau tuan datang pasti
mabuk, kalau tuan takut mabuk, tidak datang juga tak apalah."
"Jelas kau tidak takut
mabuk."
"Aku juga tidak takut
mati," Siau Cap-it Long menyeringai tawar.
Hong Si-nio mengerti apa yang
dimaksud, mungkin undangan itu awalnya mau ditulis begini, "Tuan datang
pasti mampus, kalau takut mampus, tak usah datang." Lalu dengan menghela
napas ia melanjutkan, "Makanya kau harus memenuhi undangan itu."
"Ya, harus datang."
“180 guci arak itu mungkin
adalah 180 jebakan yang menunggumu”.
"Aku tahu."
"Kau tetap akan
pergi?."
”Tetap harus pergi,"
tegas dan lugas jawabannya.
"Kapan undangan
itu."
"Besok malam."
"Dimana?”
"Kalau Soa-ong mengundang
tamu, tentu di atas kapalnya."
"Dimana letak
kapalnya?"
Siau Cap-it Long tidak
langsung menjawab, tapi berputar ke arah pemuda itu, tanyanya, "Kapalnya
ada dimana?"
Pemuda itu membungkuk hormat,
katanya, "Kalau Siau-tayhiap memenuhi undangan, besok pagi Gayhe akan
datang menjemput dengan kereta."
"Baiklah, siapkan
keretanya."
Pemuda itu membungkuk lagi
seperti siap akan pergi, mendadak berkata pula, "Cayhe datang bukan datang
seorang diri."
"O, bersama siapa?"
"Masih ada dua orang,
sepanjang jalan ini dia berada di belakangku, tapi mereka tidak seiring
denganku."
"Siapa kedua orang
itu?"
”Tidak tahu, aku juga tidak
melihat mereka."
"Kalau kau tidak melihat
mereka, darimana kau tahu di belakangmu ada orang?"
"Cayhe merasakan mereka
menguntit di belakangku."
"Apa yang kau
rasakan?"
"Hawa membunuh,"
kata pemuda itu kalem, "sepanjang jalan kedua Cianpwe itu menguntit di
belakang, ibarat dua ujung pedang tajam mengincar Pwe-ki-hiap di
punggungku."
Bila senjata tajam terlolos
dari sarungnya, sering kali mengeluarkan hawa membunuh, tidak banyak orang yang
bisa merasakan adanya hawa membunuh itu. Padahal pemuda ini kelihatannya masih
bocah, masih anak-anak.
Siau Cap-it Long menatapnya
lekat-lekat, mendadak ia bertanya, "Kau murid siapa?"
"Guruku she Hi."
"Hi-cia-lang?"
Pemuda itu mengangguk,
wajahnya tetap tenang,, tidak kuatir atau takut karena ia menyebut nama gurunya
yang aneh dan menakutkan.
"Kau sendiri siapa
namamu?" tanya Siau Cap-it Long.
Ragu-ragu sejenak, akhirnya
pemuda itu menjawab dengan suara lirih, "Cayhe juga she Siau."
"Siau apa?"
Baru sekarang wajahnya
menampilkan perasaan tidak tenang, apakah namanya lebih aneh dibanding
Hi-cia-lang? Atau lebih menakutkan?
"Siau apa?" Siau
Cap-it Long menegas. Kelihatannya ia mulai tertarik karena melihat mimik
mukanya yang tidak tenang, hatinya tertarik.
Bimbang sesaat, pemuda itu
menundukkan kepala baru bersuara lirih, "Siau Cap-ji Long."
Siau Cap-ji Long. Pemuda itu
bernama Siau Cap-ji Long.
Siau Cap-it Long tertawa,
tertawa lebar.
"Namaku tidak menggelikan
bukan?" tanya pemuda itu.
"O, ya?" Siau Cap-it
Long bersuara dalam mulut.
"Menurut apa yang Cayhe
tahu, di kalangan Kangouw, yang bernama Cap-ji Long sedikitnya ada empat
orang."
Siau Cap-it Long menahan geli,
tanyanya, "Adakah yang bernama Cap-sha Long?"
"Ada," sahut pemuda
itu, "Cap-sha Long ada dua orang. Yang pertama bernama Bu-ceng Cap-sha
Long, yang kedua bernama To-jing Cap-sha Long," pemuda itu menjelaskan
dengan tersenyum lebar, karena hal ini jelas menarik perhatian banyak orang,
kecuali Cap-sha Long, di Kangouw masih ada Siau Su-long, Siau Jit-long, Siau
Kiu-long dan Siau Cap-long."
XV. ANG-ING-LOK-LIU
Siau Cap-it Long tertawa,
"Aku ini anak sebatangkara, sekarang tiba-tiba punya banyak saudara,
rasanya patut dibuat senang."
Pemuda itu berkata,
"Seorang setelah terkenal, tak heran kalau dibuat risau oleh urusan
tetek-bengek."
"Jadi kau tidak ingin
ternama?"
Pemuda itu tertawa,
"Ternama memang merisaukan, kurasa daripada tak punya apa-apa ya mending
punya nama." Dengan tersenyum lebar ia memberi hormat, lalu putar badan
melangkah pergi dengan riang gembira.
Mengawasi bayangan orang, Hong
Si-nio menghela napas perlahan, "Kulihat bocah ini kelak bisa jadi orang
terkenal."
Sorot mata Siau Cap-it Long
masih membayangkan perasaan sepi dan kosong, suaranya tawar saja, "Kurasa
demikian, yang penting dia bisa berumur panjang."
"Aku justru ingin
tahu," demikian ujar Hong Si-nio, "apakah di Kangouw ada Hong Go-nio,
Hong Toa-nio, Hong Sam-nio, Hong Lak-nio atau Hong Jit-nio?"
"Kurasa tidak lama
lagi."
Hong Si-nio cekikikan geli,
"Aku hanya mengharap mereka tidak menjadi gila karena 'hong'
(angin)."
Kali ini ia tertawa
benar-benar, tertawa tulus karena kondisi enak, perasaan pun terhibur.
Karena ia melihat keadaan Siau
Cap-it Long sudah membaik.
Ada sementara orang dalam
keadaan yang paling bahaya, malah bisa mengendalikan diri sehingga hati tenang
pikiran mantap. Siau Cap-it Long adalah orang demikian. Tapi mengingat bahaya
pertemuan besok malam, diam-diam jantung Hong Si-nio berdetak sekeras tambur
ditalu.
Pada saat itulah si putih
masuk sambil membungkuk hormat, "Tuan, di luar ada lagi orang ingin
bertemu."
"Suruh mereka
masuk," sahut Siau Cap-it Long, Si putih ragu-ragu, "Mereka tidak mau
masuk."
"Kenapa?"
"Mereka minta Cengcu
keluar sendiri menyambut."
Angkuh benar tamu yang satu
ini. Siau Cap-it Long berpaling mengawasi Hong Si-nio.
Hong Si-nio berkata,
"Kurasa dua ujung pedang yang mengancam punggung Cap-ji Long itu sudah
datang."
"Aku justru ingin tahu
macam apa pedang mereka."
Sebetulnya tak perlu ia
mengajukan pertanyaan, karena segera ia akan memperoleh jawabannya.
Jelas gaman itu adalah pedang
runcing lagi tajam yang dapat digunakan membunuh orang, kalau bukan, tak
mungkin mengeluarkan hawa membunuh.
Ternyata tiada pedang tapi ada
orang.
Hawa membunuh yang dimaksud
ternyata keluar dari badan dua orang, dua orang yang mirip dua batang pedang
runcing.
Tokoh Bulim yang kosen memandang
jiwa manusia sebagai rumput alang-alang. Mereka memang bisa mengeluarkan hawa
membunuh.
Mereka berperawakan tinggi
kurus, jubah yang membungkus tubuh mereka amat perlente dengan warna yang
menyolok. Warna jubah mereka hijau dan merah. Yang merah mirip warna bunga
sakura, yang hijau mirip daun pisang.
Sikap mereka kelihatan amat
kelelahan, rambut beruban menandakan bahwa usia tidak muda lagi, tapi
pinggangnya masih tegak, sorot mata mereka memancarkan cahaya garang, seperti
mata serigala yang kelaparan.
Melihat kedua orang ini,
diam-diam Hong Si-nio menyurut mundur hendak minggat. Tapi sudah tidak keburu
lagi. Dia kenal siapa kedua orang ini, ia pernah membawa Sim Bik-kun yang
ditawan kedua orang ini dan menipunya masuk ke sebuah rumah yang bisa berjalan.
Kedua orang itu jelas takkan
mungkin melupakan dirinya, sekilas pandang, sorot mata mereka beralih ke arah
Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long tersenyum
ewa, "Dua tahun berpisah, tak nyana penampilan kalian masih tampak gagah
dan bersemangat."
"Hm," kakek jubah
merah berdehem dalam mulut.
"Huh," kakek jubah
hijau mendengus dari hidung.
Wajah mereka kaku, suaranya
juga dingin. Melihat kedua kakek ini, bayangan Siau Cap-it Long lantas terbang
ke Hoan-ou-san-ceng yang misterius dan menakutkan itu. Karena segala sesuatu
yang terjadi di perkampungan itu bukan saja misterius, juga amat menakutkan.
Selama hidup pasti takkan pernah dilupakannya.
Terutama pertandingan adu
catur melawan kakek jubah hijau itu, ia sudah mengerahkan segala kemampuan,
bakatnya, pertarungan itu tidak memakai senjata, tapi justru amat melelahkan.
Sampai sekarang Siau Cap-it
Long tidak pernah melupakan betapa tegang pertarungan waktu itu. Tak tahan ia
bertanya, "Apakah kalian masih bermain catur?"
"Tidak," sahut kakek
jubah merah.
Kakek jubah hijau berkata
dingin, "Karena dua tahun ini, kami sibuk mencari jejakmu."
Siau Cap-it Long tertawa
getir, "Aku tahu."
Ia tahu selama dua tahun ini
Sim Bik-kun berada bersama mereka.
"Kau tahu tapi tidak mau
keluar menemui kami?" tanya kakek jubah merah.
Kakek jubah hijau menjengek,
"Mungkin karena kau mengira dirimu jempolan, tokoh besar mana sudi bertemu
dengan kami."
"Aku yakin, kalian pasti
tahu bahwa aku tidak punya maksud demikian."
"Yang pasti kami dengar
belakangan ini kau adalah tokoh luar biasa yang selalu dipergunjingkan orang
banyak."
"Konon kau sudah
diagulkan sebagai jago nomor satu di jagat, kekayaanmu katanya juga menjagoi
kolong langit."
”Tapi kami masih tak mengira,
Bu-kau-san-ceng inipun sudah kau beli."
"Keluarga ini bubar
lantaran dirimu, kau malah membeli perkampungannya."
"Demi dirimu Sim Bik-kun
meninggalkan keluarga, berpisah dengan suami, jadi gelandangan di luar,
sekarang kau justru punya gendak baru."
"Tentu kau sudah tahu,
barusan kami bertemu dengannya."
"Dia begitu kagum dan
memujamu, sampai ia tak mau bertemu lagi dengan kau."
"Tokoh besar segagah ini,
kami dua orang tua rudin, sungguh tak berani berjajar denganmu."
"Kedatangan kami berdua
hari ini, adalah ingin memberitahu kepadamu, bahwa hubungan kita mulai saat ini
putus."
"Mulai hari ini kami
tidak akan mengenalmu lagi."
Dua kakek ini mengoceh
sendiri, makin bicara makin cepat, makin emosi, orang lain tidak diberi
kesempatan menimbrung bicara. Terpaksa Siau Cap-it Long hanya diam mendengarkan,
karena dia tidak sempat menimbrung bicara.
Kakek jubah merah berkata
lagi, "Kecuali itu, kedatangan kami kali ini ada persoalan yang ingin kami
bicarakan denganmu."
Kakek jubah hijau berkata,
"Kami akan membawa seseorang pergi."
Sorot mata kedua kakek
serempak beralih ke arah Hong Si-nio.
Tak tahan Hong Si-nio bergidik
mundur, tersenyum dipaksakan, "Kalian hendak membawa aku?"
"Ya."
"Hm."
Tak tahan Siau Cap-it Long
bertanya, "Untuk apa kalian membawanya pergi."
"Selama hidup kami berdua
belum pernah ditipu orang."
"Cewek ini justru
membohongi kami berdua."
"Tentu kau pernah
mendengar tentang hal itu."
"Tapi perkara lain
mungkin belum pernah kau dengar,"
"Perkara apa?" tanya
Siau Cap-it Long.
"Kalian tahu siapa kami
berdua?" tanya kakek jubah merah.
"Kau tentu sudah tahu,
tapi kami ingin kau sebutkan nama kami."
Siau Cap-it Long menghela
napas, "Ang-ing-lok-liu, Thian-gwa-sat-jiu, Siang-kiam-hap-pit,
Thian-he-bu-te." Maksudnya, Sakura merah dan Liu hijau, pembunuh lihai
dari luar dunia, sepasang pedang bersatu padu, tiada tandingan di kolong
langit.
"Betul, akulah Li
Ang-ing."
"Aku adalah Nyo
Lok-liu."
"Peduli siapa dia, berani
membohongi Ang-ing Lok-liu dia harus mampus."
"Tentang pantangan ini,
yakin kau juga pernah mendengar."
"Aku tidak pernah
mendengar," sahut Siau Cap-it Long.
"Sekarang kau sudah
mendengar."
"Maka kau tentu tahu,
cewek ini harus mampus hari ini."
"Aku tetap tidak
tahu."
"Kau tidak tahu?"
"Dilihat keadaannya
sekarang, yakin dia tidak akan mati dalam waktu singkat ini."
"Kau tidak percaya dia
bakal mati?"
"Aku tidak percaya."
"Cara bagaimana baru kau
mau percaya?"
"Terserah bagaimana, yang
pasti aku tidak percaya, selama aku masih hidup, aku tidak percaya."
"Kalau kau mampus?"
"Kalau aku mampus, segala
persoalan tentu percaya. Tapi dalam waktu singkat ini, yakin aku juga belum
mati."
"Bagus," seru kakek
jubah merah, "bagus sekali."
"Memang sudah beberapa
tahun kita tidak pernah bertarung, tapi cara membunuh orang kami belum
lupa."
"Betul. umpama ingin
dilupakan juga tak mungkin bisa lupa," dengus Siau Cap-it Long.
"Tadi sudah kujelaskan,
hubungan kita dengan kau sudah putus."
"Selama hidup entah
berapa jiwa yang terbunuh di tangan kami, hari ini membunuh lagi satu tidak
terhitung banyak."
"Ya, aku maklum,"
sahut Siau Cap-it Long.
"Apalagi yang kau
tahu?" tanya kakek jubah merah.
"Pembunuh luar dunia,
membunuh orang seperti anjing, sepasang pedang bersatu padu, tiada yang
ketinggalan hidup."
"Setelah tahu belum juga
kau segera minggat?"
Siau Cap-it Long tertawa
getir, "Selama hidupku, berapa banyak orang yang kubunuh, hari ini
bertambah dua, tidak terhitung lebih banyak."
"Bagus sekali."
Dimana angin menghembus, hawa
membunuh makin tebal. Sejak tadi Hong Si-nio menatap Siau Cap-it Long dengan
pandangan terharu, diliputi rasa terima kasih. Belum pernah terpikir dalam
benaknya, Siau Cap-it Long mau mengadu jiwa demi membela dirinya, rela mati
demi keselamatan dirinya.
"Mana pedang
kalian?" tanya Siau Cap-it Long.
”Ang-ing Lok-liu, pedang di antara
intinya."
"Pedang di antara
intinya, tajamnya menusuk jantung."
Mendadak dua kakek ini
membalik badan, entah darimana, tangan mereka tahu-tahu sudah memegang sebilah
pedang yang memancarkan cahaya gemerdep. Pedang panjang tujuh dim,, begitu
pedang berada di tangan, hawa pedang memancar berkembang melebar. Kedua pedang
itu memang pedang intinya pedang, tajam nan kemilau menggiriskan lawan. Dua
pedang ini menakutkan bukan lantaran ketajamannya, walau batang pedang pendek,
namun hawa pedang menggiriskan, 10 tombak di sekitar gelanggang diliputi hawa
pedang.
Siau Cap-it Long merasakan
adanya arus dingin yang mendesak dirinya, hawa pedang nan tajam seperti hendak
mengiris daging dada, menusuk ke hulu hati.
Dengan kedua jari tangan Li
Ang-in memegang gagang pedang yang panjangnya dua dim, katanya dingin,.
"Keluarkan golokmu."
"Aku tidak pakai
golok," sahut Siau Cap-it Long.
"Kenapa?" bentak Li
Ang-ing beringas.
"Aku tidak ingin membunuh
orang," sahut Siau Cap-it Long.
Dia tidak ingin membunuh, ia
bukan orang bodoh.
Satu dim lebih pendek, satu
dim lebih bahaya, kedua pedang mereka panjangnya hanya tujuh dim, terhitung
pedang paling pendek di dunia. Pedang yang paling pendek pasti adalah gaman
yang paling berbahaya.
Siau Cap-it Long tahu betul
akan hal ini, maka ia tidak akan menghadapi pendek dengan pendek, bahaya di
atasi dengan bahaya, sebab ia tidak yakin golok jagalnya dapat menghadapi
gabungan kedua pedang pendek lawan.
Maklum kedua pedang pendek itu
sudah membunuh orang tak terhitung banyaknya, hawa membunuh yang bisa
disalurkan sungguh dahsyat luar biasa, apalagi kedua pedang hebat itu berada di
tangan kedua tokoh silat yang luar biasa.
Li Ang-ing menatap tajam,
suaranya dingin, ”Tak pakai golok, lalu kau menggunakan apa?"
Siau Cap-it Long tertawa,
"Pakai apa saja boleh, kalian tidak menentukan aku harus melawan pakai
golok bukan?"
Mendadak tubuh Siau Cap-it
Long mencelat mumbul, berjumpalitan di udara, dengan enteng ia mencabut
sebatang belandar yang melintang di atas pintu. Kayu palang sepanjang setombak
dua kaki. Sejak tadi ia sudah mengincar palang kayu ini. Dengan panjang
menghadapi pendek, dengan kekuatan mengatasi bahaya.
Bercahaya bola mata Li
Ang-ing, "Sekarang aku tahu, kenapa sampai sekarang kau masih tetap
hidup."
"Orang ini memang tidak
bodoh," jengek si jubah hijau.
"Orang pintar juga banyak
yang telah kita bunuh."
Sebelum si jubah hijau
menjawab, Siau Cap-it Long menyeletuk lebih dulu, "Makanya, membunuh satu
lagi juga tidak jadi soal bukan?"
"Aku protes!" teriak
Hong Si-nio mendadak. Langsung ia memburu ke depan Siau Cap-it Long, "Aku
tahu kau punya maksud baik terhadapku, itu sudah cukup, biar aku ikut
mereka."
“Tapi sayang aku tidak
rela," seru Siau Cap-it Long. Pentung di tangannya mendadak menjungkit,
badan Hong Si-nio mendadak terbang mumbul ke udara.
Tahu-tahu Hong Si-nio merasa
dirinya terlempar tinggi di udara, sekujur badan menjadi kaku, dengan enteng
badannya jatuh di payon rumah sebelah sana, rebah diam tak bergerak.
"Di atas pasti semilir,
kau boleh istirahat di atas sejenak, bila aku mati, tolong rawatlah
jenazahku."
Saking gemasnya, gigi Hong
Si-nio menggereget namun tak mampu bicara.
Tanpa menghiraukan keadaannya
di atas, Siau Cap-it Long berputar menghadapi Ang-ing-lok-liu, katanya,
"Pek-tiong-siang-hiap Auyang-hengte, namanya tidak setenar kalian, namun
kebesaran nama keluarganya amat berbobot. Tentu kalian pernah mendengar nama
mereka."
"Maksudmu anak murid
keluarga Auyang?" Li Ang-ing menjengek.
Siau Cap-it Long memanggut,
"Seperti juga kalian, setiap bertarung dengan orang, berapa pun jumlah
musuh, mereka selalu maju bersama."
"Bedebah," damprat
Nyo Lok-liu, "memangnya kami berdua kau samakan dengan anak-anak tidak
diuntung itu."
"Waktu aku bergebrak
melawan mereka, hanya tiga jurus. Sebelum bertanding sudah kutandaskan, tiga
jurus aku tidak menang, anggaplah aku yang kalah."
"Lalu berapa jurus kau
akan melawan kami berdua?" jengek Li Ang-ing.
"Sama, tiga jurus
saja."
Semasa Ang-ing-lok-liu malang
melintang di Kangouw dulu, mungkin Siau Cap-it Long belum lagi lahir. Sekarang
dia berani melawan mereka bertarung hanya dalam tiga jurus.
Jika Hong Si-nio bisa
bergerak, pasti sudah berjingkrak.
Umpama Siau-yau-hou hidup
kembali, yakin takkan berani temberang akan melawan kedua musuh bangkotan ini hanya
dalam tiga jurus.
Padahal bertahan tiga jurus
saja sukar sekali, umpama tidak terkalahkan sudah mending.
Dari tempatnya berbaring, Hong
Si-nio mengawasi Siau Cap-it Long, ia mengira pemuda ini sudah menjadi gila.
Nyo Lok-liu juga mengawasi
Siau Cap-it Long, ternyata bukan saja tidak menjadi marah, sikap mereka malah
menjadi tenang.
Li Ang-ing berkata dingin.
"Pedang kami panjangnya tujuh dim, pentungmu panjang satu tombak
setengah."
Nyo Lok-liu berkata,
"Dengan panjang kau menggempur pendek, dengan kekuatan mengatasi bahaya,
kau kira kami berdua tak mampu mendekati tubuhmu?"
"Kau kira umpama diri
sendiri tidak mampu menang, juga bisa bertahan tidak terkalahkan."
"Maka dengan pancinganmu
ini kau hendak mengobarkan amarah kami."
"Kau berani melawan dalam
tiga jurus. Padahal dengan kedudukan dan tingkatan kami berdua, takkan mungkin
kau melawan lebih satu jurus lagi."
"Kau kira dalam tiga
jurus kami berdua pasti tak mampu mengalahkan engkau."
"Tapi kau jelas
salah."
Siau Cap-it Long menunggu dengan
sabar, menunggu mereka mengoceh.
Nyo Lok-liu bertanya,
"Apa kau tidak tahu bila seorang melatih ilmu pedang dan sudah mencapai
puncak kedigdayaannya, dengan hawa pedang mengendalikan pedang, dapat membunuh
musuh dalam jarak seratus langkah."
Mengendalikan pedang dengan
tenaga hawa.
Bukan saja berubah air muka
Siau Cap-it Long, kuduknya juga mengkirik.
Ilmu pedang setingkat itu
sudah lama lenyap dari Kangouw, namun tokoh silat manapun berkesimpulan, cerita
itu hanya dongeng belaka, hakikatnya belum pernah ada jago silat berhasil
mempelajarinya sampai tingkat itu.
Apakah gabungan permainan ilmu
pedang Ang-ing dan Lok-liu sudah mencapai taraf setinggi itu?
Li Ang-ing berkata,
"Banyak orang Kangouw berpendapat bahwa dengan tenaga hawa murni mengendalikan
pedang hanya dongeng belaka. Padahal ilmu pedang semacam itu bukan tidak bisa
diyakinkan."
"Hanya saja untuk
meyakinkan ilmu pedang setaraf itu, seseorang harus bekerja keras berlatih
selama seratus lima puluh tahun."
"Lalu manusia mana yang
mampu hidup selama itu." "Ya, maka kami berdua juga tidak mungkin
bisa." "Katakanlah ada orang bisa hidup mencapai usia seratus lima
puluh tahun, sepanjang hidupnya tidak mungkin hanya untuk latihan pedang
bukan."
"Makanya kami berdua juga
tak berhasil meyakinkan ilmu pedang setaraf itu."
Lega hati Siau Cap-it Long.
"Sejak umur tujuh tahun
kami mulai latihan, sampai sekarang sudah tujuh puluh empat tahun
lamanya."
"Maka sampai sekarang
kami baru berhasil meyakinkan dengan hawa murni mengendalikan arus, arus yang
terkendali menggerakkan pedang saja."
Bergetar pula hati Siau Cap-it
Long, "Dengan hawa murni mengendalikan arus, dengan arus mengendalikan
pedang?"
"Kau tidak
mengerti?" Memang Siau Cap-it Long tidak mengerti. "Baiklah, boleh
kupertontonkan dulu kepadamu," seru Li Ang-ing.
Pedang pendek di tangannya
mendadak meluncur terbang bagai kilat menyambar, tapi lebih lincah, lebih
tangkas dibanding kilat.
Cahaya pedang berputar menari
di tengah keremangan malam mirip seekor naga dalam cerita dongeng.
Dengan cermat Siau Cap-it Long
memperhatikan secercah sinar kemilau keluar dari tangan orang, arus kemilau
itulah yang menggerakkan dan mengendalikan pedang pendek dengan enteng leluasa
dan lincah sekali. Dimana sinar pedang menukik balik, kejap lain pedang pendek
sudah kembali ke tangan.
"Beginilah yang dinamakan
hawa murni mengendalikan arus, arus mengendalikan pedang, kau sudah
paham?"
Siau Cap-it Long menarik napas
dingin, ilmu pedang sehebat itu sungguh belum pernah ia saksikan.
"Taraf kami hanya dapat
mengendalikan arus pedang sejauh tujuh tombak, pedangnya juga pendek sebobot
yang kami miliki."
"Kalau tarafnya setingkat
lebih tinggi, kami bisa mengendalikan sejauh belasan tombak dengan pedang
panjang tiga kaki. Itu baru berhasil pada kelas pertama. Kelas pertama itupun
sudah mampu hawa murni mengendalikan pedang."
Li Ang-ing menghela napas
gegetun, "Untuk mencapai kelas pertama itu, kami masih butuh waktu sepuluh
tahun lagi."
"Karena kelas pertama
dengan pedang terbang itu kami belum berhasil, hal ini jelas sangat
menguntungkan dirimu."
"Kalau nanti kau pikir
dapat mengalahkan dengan keuntungan senjatamu yang lebih panjang, aku yakin kau
pasti kalah."
"Kenyataan pedang kami
bisa mulur lebih panjang dari pentungmu, gabungan kekuatan kami jelas lebih
kuat, hal ini kukira kau juga maklum."
Sudah tentu Siau Cap-it Long
juga tahu, maka ia tidak menyangkal bahwa taraf ilmu pedang kedua orang ini
sungguh jauh di luar perkiraannya.
Hong Si-nio juga menyaksikan
permainan sinar pedang yang dikendalikan hawa murni tadi. Tanpa sadar sekujur
badannya basah kuyup oleh keringat dingin. Betapapun ia tidak bisa tinggal
diam, mengawasi Siau Cap-it Long mampus di tangan kedua kakek itu demi dirinya.
Tapi kondisi sendiri tak mampu bergerak, hanya mendelong jadi penonton, betapa
hatinya tak sedih, pilu dan menangis.
Siau Cap-it Long akhirnya
menarik napas dalam, katanya tenang, "Sekarang kalian siap berapa jurus
mengalahkan aku?"
"Tiga jurus."
Tentu tiga jurus.
Sebagai tokoh besar, jelas
tidak akan mereka menawarkan satu jurus lebih banyak dari tigajurus yang
ditawarkan Siau Cap-it Long.
XVI. SUNGAI BESAR MENGALIR KE
TIMUR
Hanya dalam sekejap, mentari
sudah menghilang di ufuk barat, kegelapan menyelimuti seluruh jagat raya, sinar
bintang tiada, rembulan belum menongol dari peraduannya. Dalam kegelapan,
bayangan Ang-ing dan Lok-liu mirip sukma gentayangan yang muncul dari neraka.
Wajah nan pucat dingin,
demikian pula sorot mata yang berkilau di kegelapan kelihatan seperti lentera
setan yang menggiriskan. Padahal pedang pendek di tangan mereka memancarkan
cahaya yang kemilau gemilang seperti dialiri listrik tegangan tinggi.
Pentung kayu sepanjang satu
tombak dua kaki di tangan Siau Cap-it Long melintang datang, tangan kanan dan
kiri berjarak enam kaki. Demikian pula jarak antara Ang-ing Lok-liu kira-kira
lima enam kaki.
Serempak suara pedang pendek
di tangan mereka melesat bersama, ibarat dua naga yang saling membelit, seperti
dua jalur kilat menyambar, begitu berkelebat yang diserang adalah bagian
mematikan, di bawah tepatnya di belakang sepasang telinga Siau Cap-it Long.
Kecepatan serangan pedang ini susah diukur hanya dengan perkiraan belaka.
Siau Cap-it Long tidak
berkelit, tidak mundur, badannya malah menubruk maju ke depan, pentung panjang
di tangannya menyapu miring mengincar tulang rusuk kedua lawannya.
Jurus pertama, kedua pihak
sama-sama melancarkan jurus pertama.
Jurus pertama Siau Cap-it Long
menyerang sebagai pertahanan, jurus mematikan dalam merebut kesempatan untuk
bertahan hidup.
"Tring", dua pedang
pendek saling bentur, karena serangan dilancarkan di udara, benturan itupun
menimbulkan gema nyaring, sementara dua pedang berputar arah, mirip bayangan
bergerak mengikuti bentuknya. Dimana Siau Cap-it Long maju mundur, pedang yang
dua itu tetap berada di belakangnya, sementara musuh berada di depan, berarti
dirinya disergap dari dua sisi yang berlawanan.
Betapa sengit dan begitu
berbahaya babak yang menentukan kali ini, sungguh merupakan pengalaman hidup
yang belum pernah terjadi bagi Siau Cap-it Long. Posisinya jelas menghadapi dua
serangan mematikan dari dua arah berlawanan, sementara serangan balasannya
sendiri belum mencapai sasaran, hanya sekejap bukan mustahil dirinya mampus
dengan badan ditembus dua batang pedang yang tajam luar biasa.
Pada detik-detik yang
menentukan itulah, entah daya apa yang memancar dari gerakan Siau Cap-it Long,
mendadak tubuhnya melejit mumbul ke atas terus berjumpalitan mundur sejauh
empat tombak, waktu badannya melorot turun, dirinya sudah berada dekat kaki tembok,
untuk mundur lagi jelas tidak mungkin. Waktu kedua kakinya berpijak di tanah,
kedua pedang pendek lawan sudah mengejar tiba pula. Pentung di tangan Siau
Cap-it Long diangkat lurus ke atas menyongsong datangnya sinar pedang, ia sudah
mengincar dan memperhitungkan dengan amat tepat dan persis.
"Trap", tahu-tahu
kedua batang pedang menancap di pentung persis di pinggir tangannya. Inilah
jurus ketiga dari Ang-ing dan Lok-liu. Pedang menancap di pentung orang,
sementara Siau Cap-it Long masih hidup segar bugar, berarti belum terkalahkan.
Hong Si-nio menjadi lega,
menarik napas panjang dengan perasaan haru.
Siapa tahu kedua pedang yang
menancap di pentung ternyata mempunyai daya kekuatan yang luar biasa, pedang
tembus dan menerobos lubang, tetap menusuk ke jalan darah penting di belakang
mata Siau Cap-it Long. Berarti jurus ketiga masih tetap berlaku. Siapa pun
pasti tak pernah menduga kekuatan sisa tusukan pedang masih sedemikian kuat
setelah menancap di atas pentung, dan tidak tertahankan oleh kekuatan gerak
pentung di tangan Siau Cap-it Long.
Dalam kondisi seperti itu,
Siau Cap-it Long jelas tak mampu mundur atau berkelit, pentung di tangan juga
tak mungkin ditarik mundur, ia tak bisa balas menyerang pula, apalagi pentung
terpegang di depan dada, tembok berada di belakang punggung, depan belakang
tiada jalan mundur, berarti buntu, jelas kematian sudah berada di ambang mata.
Hong Si-nio sudah hampir
memejamkan mata, tak tega melihat nasib rekan yang amat dipujanya ini. Siapa
tahu pada detik-detik yang menentukan, terjadilah perubahan yang amat
mengejutkan, perubahan yang tak pernah terduga sebelumnya.
Pada detik yang teramat
genting itu, mendadak Siau Cap-it Long menundukkan kepala, kepalanya menumbuk
pentung yang dipegang di depan dada. "Ser", kedua pedang tertahan
kembali menyerempet di atas batok kepalanya, lalu beradu dan mengeluarkan suara
"Tring" yang nyaring. Sementara pentung di tangannya patah karena
ditumbuk batok kepalanya, dua patahan pentung karena tumbukan kepala yang
begitu keras, mencelat terbang meluncur ke arah Ang-in dan Lok-liu.
Betapa kuat tumbukan kepala
Siau Cap-it Long, bagai anak panah yang dibidikkan saja, dua patahan pentung
itu meluncur ke arah Ang-ing dan Lok-liu.
Mimpi pun Ang-ing dan Lok-liu
tidak menduga bahwa serangan sepasang pedang mereka gagal melukai musuh,
patahan pentung lawan justru meluncur menyerang mereka. Tak sempat berpikir,
tanpa berjanji mereka cepat membalik tubuh, meski berhasil meluputkan diri,
namun benang ronce yang menghias gagang pedang mereka putus.
Di tengah keremangan cuaca
malam nan gelap, tampak dua bayangan orang bagai dua gumpal mega melayang
terbang, melampaui tembok meluncur jauh keluar sana. Suara Ang-ing yang rendah
dingin berkumandang dari kejauhan, "Bagus, Siau Cap-it Long, bagus."
Ketika suaranya sirna, bayangan mereka pun lenyap ditelan kegelapan.
* * * * *
Malam makin larut....
Kedua batang pedang pendek
yang memancarkan cahaya kemilau ditaruh melintang di atas meja. Di bawah cahaya
lampu, cahaya sinar pedang lebih cemerlang dari sinar lampu yang redup.
Paduan sinar lampu dan cahaya
kemilau pedang menyinari lembaran undangan di pinggir meja.
".... Khusus dipersiapkan
180 guci arak, mohon tuan hadir menikmati bersama...."
".... Arak bagus
memabukkan orang, kalau tuan hadir pasti mabuk, kalau anda takut mabuk, lebih
baik tak usah datang ...."
Secawan arak berada di tangan,
Siau Cap-it Long mengawasi arak di tangannya, mulutnya menggumam, "Yakin
mereka tahu kalau aku tidak takut mabuk, siapa pun di antara mereka tahu
...."
Hong Si-nio tengah menatapnya
lekat, "Maka sekarang engkau sudah mulai sinting."
Begitu mengangkat cawannya,
arak langsung ditenggak habis, Siau Cap-it Long berkata, "Aku tidak
mungkin mabuk, aku tahu kondisiku sendiri, berapa banyak arak mampu aku
minum." Setelah mengisi secawan lagi, ujarnya, "Setiap orang tentu
tahu ukuran pribadinya jadi jangan suka main untung-untungan."
Mendadak Hong Si-nio tertawa,
"Kurasa Ang-ing dan Lok-liu justru tahu mengukur diri sendiri, setelah
tahu pihaknya kalah, segera mereka menyingkir." Jelas ia ingin bicara ke
persoalan lain, persoalan yang bisa memancing rasa gembira Siau Cap-it Long.
"Mereka sudah melancarkan tiga jurus, padahal engkau baru menyerang dua
jurus. Kenyataan pedang mereka sekarang berada di tanganmu."
"Memang," ujar Siau
Cap-it Long tertawa, "tapi kepalaku benjut, sementara mereka tidak kurang
sesuatu apapun."
"Apapun yang terjadi,
mereka sudah terkalahkan."
"Mestinya aku tahu diri,
aku bukan tandingan mereka, seperti pertarungan tempo hari, aku bukan tandingan
Siau-yau-hou."
"Tapi kenyataan kau telah
mengalahkan mereka."
"Ya, mungkin karena
nasibku lebih baik," kembali ia menghabiskan secawan arak, lalu mengawasi
undangan di atas meja, "Sayangnya nasib baik seseorang tidak selamanya
abadi."
Di bawah pancaran cahaya
pedang, surat undangan itu mirip undangan kematian bagi dirinya.
Ada sementara orang jelas tahu
dirinya bakal mati, maka dia akan mempersiapkan segala keperluan dirinya bila
jiwanya melayang nanti, menyebar pemberitahuan duka-cita umpamanya.
"Kau gundah karena
undangan besok itu?" tanya Hong Si-nio.
Tawar suara Siau Cap-it Long,
"Selamanya tak pernah aku gundah karena urusan yang bakal terjadi besok
pagi." Mendadak ia bergelak tertawa, kembali menghabiskan dua cawan arak,
"Hari ini ada arak hari ini mabuk, kenapa peduli urusan besok pagi."
"Betul, hakikatnya tidak
perlu kuatir, apa arti ketujuh orang itu?"
Mengawasi nama-nama yang
tercantum di atas undangan itu, Siau Cap-it Long bertanya, "Kau kenal
mereka?"
Hong Si-nio manggut-manggut,
"Le Jing-hong sudah mati, meski kelihatannya amat berwibawa, padahal
hatinya sudah mampus."
Maklum siapa pun dia, kalau
selama dua tiga puluh tahun hidup enak, hidup mewah, tanpa kerja tiada usaha,
betapapun gagah dan kuat jaya masa lalunya, wibawanya tentu akan kuncup dan
ludes dikubur masa.
"Orang cacad macam
Jin-siang-jin saja dia tidak mampu melawan, meski goloknya belum karatan, tapi
hati dan daya pikirnya sudah berjamur, lebih parah dibanding karatan."
"Kau pernah melihat dia
bertarung?" tanya Siau Cap-it Long.
"Pernah, aku juga bisa
menilai, gerak dan kecepatannya sudah merosot jauh di bawah seorang ahli silat
umumnya," demikian komentar Hong Si-nio.
"Kau bisa menilainya? Kau
tahu betapa cepat gerak serangannya?"
"Tidak tahu," sahut
Hong Si-nio, "aku hanya tahu kecepatan gerakannya dahulu tidak berbeda
dengan kondisinya sekarang, memangnya dia bisa hidup sampai sekarang?"
Lalu ia menambahkan, "Bahwa Jin-siang jin bisa bertahan hidup sampai
sekarang, anggaplah suatu mujizat."
"Ya, dia memang orang
kuat," puji Siau Cap-it Long.
Manusia kalau kaki tangan
dibuntung tiga di antara keempat kaki tangannya, masih berani bertahan hidup
dan kenyataan masih malang melintang, maka dia pasti orang kuat, orang luar
biasa.
"Sayangnya sanubarinya
selalu dibayangi rasa ketakutan, maka boleh dipastikan pribadinya hakikatnya
tidak sekuat penampilannya, aku yakin dia pasti amat takut mati."
"Kau bisa melihat jalan
pikirannya?" tanya Siau Cap-it Long.
"Aku hanya tahu kalau
seorang menganggap dirinya sebagai Jin-siang-jin (manusia di atas manusia),
yakin pasti bukan manusia normal."
Siau Cap-it Long menghela
napas panjang, "Ya, aku justru kasihan pada lelaki gede yang selalu
dicambuk mirip kuda itu, betapa menderita hidupnya, patut dikasihani."
Hong Si-nio juga menghela napas,
"Aku malah tidak pernah memikirkan nasibnya, tapi aku justru berkuatir
atas dirimu, karena kau lebih banyak memikirkan kepentingan orang lain daripada
memikirkan kepentingan diri sendiri."
"Begitulah jalan hidupku,
hakikatnya tiada sesuatu kepentingan pribadiku yang perlu kupikir."
"Ya, karena kau hanya
seorang serigala," ujar Hong Si-nio tertawa, "sedang Hoa Ji-giok
tidak lebih hanya seekor rase, rase ketemu serigala, bukankah mirip tikus
berhadapan dengan kucing?"
"Apakah Hamwan bersaudara
bukan rase?” tanya Siau Cap-it Long.
"Ya, rase yang licik,
licin dan jahat," demikian komentar Hong Si-nio, "begitu mencium bau
bahaya, mereka akan mencawat ekor lari lebih cepat dibanding orang lain."
"Bagaimana dengan
Kim-pou-sat?"
"Yang satu ini bukan rase,
dia babi, babi yang malas, suka gegares dan rakus harta."
Siau Cap-it Long bergelak
tertawa.
"Menurut pendapatku,
orang ini tidak perlu kau layani, ketiga rase itu justru akan mencaploknya
malah."
"Maka yang paling
berbahaya jelas adalah Soa-ong?"
Hong Si-nio tak menyangkal,
"Konon dia adalah macan yang suka gegares daging manusia, tulang
belulangnya juga ditelannya."
"Tapi aku tidak
menguatirkan dia," kata Siau Cap-it Long.
"Kenapa ?" tanya
Hong Si-nio.
Tawar suara Siau Cap-it Long,
"Karena aku sendiri juga bukan manusia. Boleh kau tanya kepada siapa saja,
mereka pasti bilang Siau Cap-it Long bukan manusia."
Mengawasi rona muka orang,
perasaan Hong Si-nio mendelu, hatinya seperti ditusuk sembilu.
Seorang kalau sepanjang
hidupnya selalu difitnah orang, maka hidupnya pasti sengsara.
Bersambung