Jilid 9
Mendadak kaki kanan Nyo
Khay-thay maju setapak, tepat menginjak di bekas tapak kakinya yang terdahulu,
kepalan yang meninju malah tangan kiri dengan jurus Hek-hou-to-sim atau harimau
hitam merogoh hati, yang diincar dada Siau Cap-it Long.
Hek-hou-to-sim adalah jurus
umum yang sering dimainkan setiap pesilat, dilakukan dengan serius dan lurus,
tanpa kembangan, tiada variasi, namun daya kekuatannya sungguh dahsyat.
Jago-jago silat zaman ini
yakin takkan ada yang punya jurus pukulan sedahsyat yang dilancarkan Nyo
Khay-thay sekarang. Umpama Siau Cap-it Long sendiri yang melancarkan pukulan
jurus ini, pasti takkan punya perbawa sehebat ini.
Siau Cap-it Long tahu akan hal
ini, terpikir olehnya akan kedahsyatannya, tapi kondisinya hampir tak mampu
mengatasinya, berkelit apalagi menangkis serangan ini.
Pada detik yang menentukan
itulah dari tengah udara meluncur seutas tambang panjang menggulung datang,
melingkar dan menjerat kaki kiri Nyo Khay-thay.
Tali yang melingkar-lingkar
itu ternyata bukan tambang, tetapi cambuk panjang, belum pernah orang melihat
cambuk sepanjang itu, apalagi cambuk yang lincah dan enteng seperti hidup itu.
Seorang lelaki berlengan
tunggal serta mahkota menghias di kepalanya, sepasang kakinya buntung sebatas
lutut, tapi bercokol di atas kepala seorang lelaki gede yang bertelanjang dada,
berada sejauh dua tombak, dengan lincah dan enteng memainkan cambuk panjang
itu. Begitu cambuk disendal dan dibalik, ia membentak, "Roboh!"
Ternyata Nyo Khay-thay tidak
jatuh. Kekuatan pukulan tangannya ternyata beralih kaki, hingga kakinya menekan
turun amblas ke dalam tanah, papan batu yang keras seperti menjadi seempuk tahu
saja, kedua kakinya amblas melesak ke dalam bumi.
Otot hijau di jidat Jin-siang
jin menonjol keluar, lengan tunggalnya mengencang, cambuk panjangnya juga
ditarik kencang.
Tapi Nyo Khay-thay tidak
bergeming, badannya berdiri kokoh seperti tiang batu yang ditanam dalam tanah.
Jin-siang-jin kembali
menyendal serta menarik balik cambuknya. Siapa tahu mendadak Nyo Khay-thay
menggerakkan tangan, ujung pecut berhasil ditangkap, mendadak ia membentak
sambil menarik dengan kekuatan penuh.
Badan Jin-siang-jin mencelat
mumbul, melayang turun hampir menyentuh tanah, mendadak ia membentak pula,
beruntun badannya jungkir balik tiga kali, secara enteng badannya mumbul
kembali dan tepat duduk di kepala orang gede itu. Tapi cambuk panjangnya
terlepas dari tangannya.
Dengan gemas Nyo Khay-thay
memutus cambuk itu menjadi lima bagian terus dibanting ke tanah, mukanya kaku
dingin, "Seharusnya kubunuh kau."
"Silakan turun
tangan," tantang Jin-siang-jin.
Nyo Khay-thay menyeringai
sombong, "Selama hidup aku tidak pernah melawan orang cacad."
Dari wuwungan rumah sebelah
samping, seorang menghela napas, katanya, "Tidak malu orang ini diagulkan
sebagai Kuncu. Sayang mukanya tebal sedikit."
"Siapa yang bicara?"
bentak Nyo Khay-thay.
Seorang kakek mata tunggal
berkaki pincang berdiri sambil menggendong tangan di wuwungan rumah, ujarnya,
"Yang pasti aku bukan Kuncu, cacad lagi. Tapi kalau ada seorang mengalah
dan tidak sudi melukai diriku, mukaku cukup tebal untuk terus ngotot hendak
membunuhnya."
"Siapa yang kau
maksud?" damprat Nyo Khay-thay.
"Yang kumaksud adalah
engkau." kakek tua ini jelas adalah Hamwan Sam-coat, "waktu kau
menyerang sampai jurus ketujuh, mestinya Siau Cap-it Long mampu merobohkan kau
tiga kali, memangnya kau sendiri tidak tahu?"
Merah padam muka Nyo
Khay-thay. Sejak turun tangan jurus pertama tadi, gerak-geriknya yang kaku dan
bergerak menurut alur aturan, memang tiga kali ia menunjukkan lubang kelemahan.
Bukannya dia tidak tahu, meski tahu, ia pun tidak menyangkal. Peduli Nyo
Khay-thay seorang pikun atau benar-benar seorang Kuncu, yang pasti dia bukan
Siau-jin, manusia rendah.
Di antara kerumunan orang di
emper toko sana, seorang berbaju hijau tampil ke depan seraya berkata,
"Dalam hal ini kau tidak boleh menyalahkan Nyo-lote. Apa yang dia lakukan
kan lumrah dan apa adanya." Lalu dengan tersenyum lebar ia menambahkan,
"Nyo-lote ini juga seorang pedagang, seorang pedagang umumnya mengutamakan
hati hitam kulit tebal. Kalau tanpa pedoman dagang begitu, keluarga Nyo mana
mampu merebut prestasi sebagai keluarga kaya raya di kolong langit? Darimana ia
bisa punya duit sebanyak itu?"
Nyo Khay-thay menatapnya
beringas, mukanya merah padam, bibir bergerak ingin bicara tapi sepatah kata
pun sukar keluar dari mulutnya.
Hamwan Sam-seng bergelak
tertawa, "Aku pasti takkan menyalahkan engkau, aku juga berdagang, jangan
kata dia memberi potongan tiga kali, umpama sepuluh kali juga tidak akan
menjatuhkan dirimu, kau tetap boleh memukulnya mampus."
Mendadak Nyo Khay-thay
melompat ke atas, setelah membanting kaki, segera putar badan terus tinggal
pergi. Karena tidak bisa bicara, tiada yang bisa dibicarakan. Seorang Kuncu
bertemu dengan Siau-jin, lebih baik menyingkir daripada banyak bacot mengotori
mulut sendiri malah.
Hamwan Sam-seng membalik badan
menghadapi Siau Cap-it Long, katanya dengan tersenyum lebar, "Kau tak
perlu berterima kasih kepada kami, umpama kami tidak datang menolongmu, belum
tentu dia berniat membunuhmu."
Siau Cap-it Long bukan
terhitung Kuncu, tapi juga tidak sudi menjadi Siau-jin.
Ia maklum apa maksud Hamwan
Sam-seng, tapi malas mengajaknya bicara.
Kini ia sadar dan ingat apa
yang pernah dikatakan Hoa Ji-giok memang tidak bohong, "Hari ini kau
bebaskan Hamwan Sam-seng, akan datang suatu hari kau akan menyesal".
Mendadak Hamwan Sam-seng
berseru, "Para saudara yang hadir di sini, kalian sudah melihat jelas
bukan? Tuan inilah pendekar gagah yang tiada taranya, pendekar besar Siau
Cap-it Long."
Tidak ada orang berani
bersuara. Orang yang betul-betul pikun di dunia ini tidak banyak jumlahnya,
orang sering bilang, elmaut datang dari mulut, kenyataan memang demikian.
Lebih jauh Hamwan Sam-seng
berpidato, "Mengingat dia seorang gagah, pendatang adalah tamu, maka
kuberi kelonggaran tiga kali padanya, tapi hari ini, di hadapan kalian yang
hadir di sini, aku akan membunuhnya."
Mendadak Siau Cap it Long
tertawa. Ia insaf bahwa dirinya tidak bodoh, mengenal betul siapa sebetulnya
Hamwan Sam-seng.
Dia sudah menduga Hamwan
Sam-seng menolong dirinya, tak lain karena ingin turun tangan sendiri. Kalau
dengan tangan sendiri memegang kepala Siau Cap-it Long, insan persilatan mana
yang tidak menginginkannya. Batok kepala Siau Cap-it Long, nilainya jelas
teramat tinggi untuk diperebutkan.
Hamwan Sam-seng belum selesai
bicara, katanya lebih jauh, "Karena orang gagah kita ini meski kulitnya
teramat tebal, hatinya hitam, seorang bergajul yang kemaruk paras ayu, ternyata
suka membunuh orang, orang yang mati di tangannya tak terhitung
banyaknya."
Hamwan Sam-coat ikut
menimbrung, "Bergajul suka paras elok, membunuh orang sebagai kegemaran,
bukanlah perilaku seorang gagah?"
"Kalau dunia ada manusia
sekotor ini, apakah insan persilatan bisa hidup tenteram?"
"Satu jurus membikin mata
Ciangbunjin Tiam-jong buta, tiga jurus mengalahkan Tiong-pek-siang-hiap, konon
diagulkan sebagai jago terkosen di dunia, kau mampu membunuh dia?"
Hamwan Sam-seng menghela napas
gegetun, "Seorang lelaki harus berani bertindak kalau dirasa tindakannya
itu benar. Demi membela kebenaran, meski aku bukan tandingannya, meski harus
berkorban jiwa, aku tetap akan mencobanya."
Hamwan Sam-coat juga menghela
napas, "Baik, bila kau mati, akan kukubur jenazahmu."
"Memangnya kau tidak
ingin mencoba?"
"Aku ini sudah cacat,
demi 'kebenaran dan keadilan', aku siap berkorban."
Hamwan Samseng bergelak
tertawa, ”seorang lelaki hidup tidak perlu senang, mati tidak usah takut?
Duelku hari ini, mati atau hidup, mendengar janjimu legalah hatiku, mati pun
tidak menyesal."
Dua saudara berdialog seperti
latihan main sandiwara, siapa yang mendengar, yang tidak tahu persoalan, yakin
mereka memang sedang memerankan lakon yang patut dipuji.
Siau Cap-it Long tertawa
lebar, katanya, "Bagus, laki-laki sejati."
"Ditantang laki-laki
sejati, kau mampu melawan."
"Betul, aku akan
melawan."
"Cabut golokmu,"
tantang Hamwan Sam-seng.
"Baik." Kejap lain
goloknya telah keluar dari sarungnya.
"Itukah golok jagal
rusamu?" tanya Hamwan Sam-seng.
"Betul."
"Konon golokmu itu pusaka
tiada tandingan di dunia?"
Siau Cap-it Long menggerakkan
golok di tangan, katanya tersenyum, "Memang golok sakti, untuk menabas
leher orang tidak perlu dua kali."
"Dengan golokmu itu kau
kalahkan Tiong-pek-siang-hiong?"
"Bila perlu satu jurus
aku kalahkan musuh."
Sikap Hamwan Sam-seng tidak
berubah, nadanya dingin, "Baik, hari ini dengan sepasang tanganku ini,
kulawan golok jagal rusamu. Aku akan mengalah tiga jurus."
"Kau mengalah tiga
jurus?" Siau Cap-it Long menegas.
"Tiga kali aku memberi
kesempatan kepadamu, kenapa sekarang tidak memberi kelonggaran tiga jurus
kepadamu?" Kelihatannya ia amat yakin. Dia lihat Siau Cap-it Long sudah
kehabisan tenaga, seperti dian yang hampir kehabisan minyak.
Mengelus tajam goloknya, Siau
Cap-it Long menghela napas, "Sayang, sayang."
"Sayang apa?" tanya
Hamwan Sam-seng.
"Sayang, golok saktiku
ini terpaksa harus memenggal kepala orang macam dirimu."
"Untuk menabas kepalaku
rasanya juga tidak mudah."
”Tadi tenagaku sudah habis,
niatku padam, apalagi racun bekerja pada saatnya, jelas aku takkan mampu
melawan."
"Memangya kenapa
sekarang?"
"Sekarang jelas sudah
berbeda."
"Berbeda bagaimana?"
"Tadi yang harus kuhadapi
seorang Kuncu, sekarang aku menghadapi Siau-jin."
Hamwan Sam-seng menyeringai
sambil mendengus hidung.
"Golokku ini tidak
membunuh Kuncu, tapi senang membunuh Siau-jin." Begitu ia memutar tajam
goloknya, cahaya seketika berkembang menyala seperti mengobarkan hawa membunuh.
Begitu keras tekanan hawa membunuh
dengan cahaya golok yang menyilaukan, jantung Hamwan Sam-seng seperti menjadi
dingin, raut mukanya juga berubah kelam.
Mengawasi Siau Cap-it Long,
mendadak ia sadar orang seperti berubah menjadi orang lain hanya dalam waktu
sekejap.
Dimana golok Siau Cap-it Long
bekerja, kulit daging di tubuhnya ia iris secomot, darah segar mengalir deras,
mengerut alis pun tidak, seperti tidak merasakan sakit sama sekali, suaranya
malah garang, "Kakiku ini setengah lumpuh, tapi membunuh orang bukan
menggunakan kaki."
Kalau jidatnya basah keringat,
sorot matanya malah mencorong terang, semangatnya bangkit malah. Jidat Hamwan
Sam-seng juga berkeringat.
Siau Cap-it Long menatapnya
tajam, "Tadi kau bilang akan memberi kelonggaran tiga jurus."
"Aku ... ya, aku pernah
bilang," tergagap jawaban Hamwan Sam-seng.
"Tapi kalau satu jurus
aku tidak memaksamu turun tangan, anggaplah aku yang kalah, kalau tiga jurus
aku tidak mampu memenggal kepalamu, anggap pula aku yang kalah, akan kupenggal
kepalaku dan kuserahkan kepadamu."
Membesi hijau muka Hamwan
Sam-seng.
"Nah, terima dulu sejurus
golokku," bentak Siau Cap-it Long.
Malam makin larut, cahaya
lampu masih menyala terang benderang.
Waktu golok berkelebat
cahayanya seperti menyala lebih benderang dari cahaya lampu di pinggir jalan,
sinar golok bagai sabuk jagat meluncur ke sana, bayangan Hamwan Samseng
ternyata sudah lenyap entah kemana.
Jago gagah yang pentang bacot
mengagulkan diri tadi, begitu sinar golok Siau Cap-it Long berkelebat,
tiba-tiba berubah selicin rase yang ketakutan, lari lintang pukang mencawat
ekor.
Kerumunan orang banyak di
sebelah sana tampak menjadi ribut, hanya sekejap bayangan sudah lenyap ditelan
kegelapan.
Hamwan Sam-coat yang sejak
tadi berdiri di wuwungan rumah sana juga tiba-tiba menghilang. Cahaya golok
seterang kilat menyinari muka Jin-siang-jin, air mukanya tampak pias seperti
orang yang kehabisan darah.
Siau Cap-it Long mengangkat
goloknya tinggi di atas kepala, dengan tajam ia mengawasi orang.
Jin-siang-jin tidak bergerak,
tidak berani bergeming, kepala botak di bawahnya menyurut mundur dan mundur
makin cepat, sekejap mata mereka sudah berada di ujung jalan serta lenyap dari
pandangan mata.
Siau Cap-it Long mengangkat
kepalanya tertawa sekeras-kerasnya, serunya, "Seorang laki-laki bisa
melihat gelagat. Orang-orang itu memang betul adalah pendekar yang patut
diagulkan."
Dari tengah kerumunan orang
banyak, seorang menghela napas, "Seorang gagah yang tidak tahu malu, Siau
Cap-it Long yang gagah perwira."
* * * * *
Cahaya lampu tetap benderang
di loteng Tay-heng-lau, tapi waktu orang banyak melihat kehadiran Siau Cap-it
Long, semua berubah air mukanya.
Hong Si-nio berdiri di pinggir
pagar bambu, air mata di wajahnya sudah kering, namun sikapnya sukar ditebak,
apakah sedih, malu atau merasa bangga berhadapan dengan lelaki yang perwira,
atau sedih mengingat nasibnya yang jelek.
Perlahan Siau Cap-it Long
melangkah ke sana, lalu duduk, Tidak melirik atau melihatnya, ia paham dan
mengerti betapa perasaan orang saat itu, dalam hati ia merasa banyak berhutang.
Selama hidup hutang ini takkan mungkin bisa ia lunasi.
Hong Si-nio duduk di depannya,
tanpa suara mengisi cawan arak di depannya. Tanpa suara ia tenggak habis arak
itu.
Sesaat kemudian Hong Si-nio
tiba-tiba tertawa, katanya, "Tanpa menyerang satu jurus pun duel ini
berhasil kau menangkan. Sejak dahulu kala, tiada orang yang menang lebih
cemerlang dibanding kau, paling sedikit aku harus menyiapkan tiga puluh cawan
arak untukmu."
Siau Cap-it Long tertawa, tawa
yang dipaksakan, "Yang benar kau tidak perlu menghormat kepadaku."
"Kenapa?"
"Karena mestinya aku
tidak menang, kenyataan aku menang."
"Karena kau mestinya
kalah tapi tidak kalah?"
"Kejadian tadi kau
saksikan dengan mata kepalamu sendiri."
”Tapi aku tidak
mengerti."
"Tapi aku...."
"Bukankah kau mengharap
dikalahkan oleh Nyo Khay-thay? Mengharap dia membunuhmu?" Matanya menatap
mukanya dengan tajam, "Kau beranggapan setelah Nyo Khay-thay mengalahkan
engkau, maka hatiku akan merasa lega, begitu?"
Siau Cap-it Long tidak menjawab,
tidak bisa menjawab.
Yang pasti aku akan berhutang
padamu, maka dengan cara ini aku membayar hutang padamu. Cara ini tidak
sempurna, tapi bisa mengurangi perasaan sedihku.
Perkataan ini tidak diucapkan,
tak berani ia ucapkan, tapi ia yakin Hong Si-nio mengerti.
Dengan nanar ia mengawasinya,
katanya dingin, "Kalau kau tidak bisa menjawab, biar kuberitahu kepadamu.
Kalau kau benar-benar kalah, kita tidak akan bisa merasa lega, Nyo Khay-thay
sendiri juga tidak merasa senang."
Waktu menyebut nama Nyo Khay-thay,
perasaannya tidak bergolak seperti sebelum ini, nama itu terlontar dari
mulutnya seperti ia menyebut nama orang yang tidak dikenalnya.
Hati Siau Cap-it Long
sebaliknya merasa mendelu, sebab ia mengerti perasaan Nyo Khay-thay, selama
hidup jelas takkan bisa dilupakan, tapi perasaan ini akan selalu mengganjal
dalam sanubari.
Tiada orang yang lebih
meresapi pahit getir dan derita hati seorang seperti perasaan Siau Cap-it Long
sekarang.
"Aku tahu kau berusaha
membayar hutang," ucap Hong Si-nio. "Tapi cara yang kau gunakan
salah, tujuannya juga keliru."
Jari-jari Siau Cap-it Long
saling genggam.
"Aku pernah berjanji
kepadamu, maka aku akan menemanimu mencari dia."
"Tapi sekarang...."
"Sekarang aku tetap akan
mengajakmu pergi mencarinya."
Siau Cap-it Long mengangkat
kepala, dengan tajam ia mengawasi. Hong Si-nio malah melengos menghindari
tatapan matanya.
Lama kemudian Siau Cap-it Long
baru berkata, "Kau ... sepertinya kau tak pernah berubah?"
"Selamanya takkan
berubah," sahut Hong Si-nio tegas.
Ia berpaling ke sana,
memandang tabir malam di luar jendela, ia tidak ingin air mata yang meleleh
dilihat olehnya.
Setumpuk cek kontan yang masih
baru tergeletak di atas meja, tiada orang menyentuhnya, tiada orang berani
memegang.
Bukan setumpuk kertas tak
berguna, tapi setumpuk kekayaan yang nilai nominalnya luar biasa besarnya,
kekayaan yang hanya diharapkan orang dalam mimpi. Kekayaan yang dapat membuat
orang tidak segan menjual diri, menjual keluarga sampai kakek moyang sekalipun.
Waktu mengawasi tumpukan cek
kontan itu, rona mata Siau Cap-it Long seperti merasa jijik, hina dan rendah,
tiba-tiba ia berkata, "Kenapa tidak kau tanyakan padaku, darimana
kuperoleh uang sebanyak ini?"
"Kalau kutanya, kau mau
menjelaskan?" tanya Hong Si-nio.
"Kalau kujelaskan, kau
percaya?"
"Kenapa aku tidak
percaya?"
"Sebab aku sendiri tak
tahu darimana datangnya uang ini."
Dengan kaget Hong Si-nio
mengawasinya, air matanya sudah kering, selama ini ia mahir mengendalikan air
mata, namun selama ini tak kuasa mengendalikan ocehannya, dengan keras ia
berseru, "Kau sendiri tidak tahu?"
Siau Cap-it Long
manggut-manggut, katanya tertawa getir, "Aku mengerti, persoalan ini juga
akan membuatmu bingung."
"Memangnya apa yang telah
terjadi?"
Ini kejadian brutal, kejadian tidak
masuk akal, persoalan yang mestinya sederhana, bisa dijelaskan dengan sepatah
dua patah kata, "Uang itu pemberian orang kepadaku."
"Siapa yang
memberimu?"
"Tidak tahu."
"Sebanyak itu orang
memberimu uang, tapi siapa dia, kau tidak tahu?"
"Uang yang diberikan
padaku, bukan hanya sebanyak itu."
"Berapa banyak dia
berikan kepadamu?"
"Jumlah yang pasti aku
juga tidak tahu."
"Memangnya amat banyak
sampai tak bisa dihitung, begitu?"
"Bukan saja saking
banyaknya hingga tak tahu jumlahnya, dihitung juga tidak sempat lagi."
"Maksudmu waktu dia
memberi jumlahnya banyak dan berlangsung cepat?"
Siuw Cap-it Long memanggut,
"Dimana pun aku berada, tahu-tahu di bank setempat dia sudah menyiapkan
uang untukku, jumlah yang tidak sedikit. Setiap kali aku berada di hotel,
petugas bank lantas datang melapor kepadaku."
Hong Si-nio diam sejenak, lalu
berkata, "Tidak kau tanyakan pada petugas bank, siapa yang mengantar uang
itu?" Sudah tentu pernah Siau Cap-it Long tanyakan. "Orang yang punya
saldo di bank terdiri berbagai macam orang, jika ada pedagang yang menyimpan
uangnya di bank, petugas bank jelas tak akan bertanya mereka siapa dan
darimana."
"Ya, tapi mereka setor
uang ke bank atas namamu, lalu menyuruh petugas bank menyerahkan uang itu
kepadamu." Siau Cap-it Long manggut-manggut.
"Petugas bank itu, cara
bagaimana mereka tahu kalau kau adalah Siau Cap it Long?"
"Mereka tidak tahu, tapi
setiap aku datang ke suatu tempat, mereka akan menerima sepucuk surat, sural
yang ditulis atas namaku, menyuruh mereka mengantar uang kepadaku."
"Apa kau harus
menerima?"
"Kenapa aku tidak mau
terima?"
"Karena tanpa sebab
musabab tak mungkin dia memberi uang sebanyak itu kepadamu."
"Aku maklum, jelas dalam
hal ini ada maksud tertentu."
"Pernah terpikir olehmu,
apa maksud tujuanya?"
"Sebab dia mengerti,
orang lain pasti takkan percaya ada kejadian seaneh ini di dunia ini. Jadi dia
ingin orang banyak beranggapan aku menemukan harta terpendam." Dengan
tertawa kecut lalu ia menyambung, "Seorang yang menemukan harta terpendam,
mirip tulang yang menusuk daging tubuhnya, semua anjing kecil besar, kenyang
atau lapar, apapun macamnya, begitu mendengar berita, pasti akan meluruk datang
untuk berebut makanan."
"Jadi maksudnya
memusatkan perhatian seluruh orang Kang-ouw kepada dirimu?"
"Di kala orang banyak
memusatkan perhatiannya meluruk diriku, setahap demi setahap dia mulai
melaksanakan rencananya, menghamburkan sedikit uang baginya tidak
masalah."
"Tapi yang dia berikan
kepadamu bukan sekedar uang."
"Ya, memang bukan sekedarnya."
"Orang Bulim yang
memiliki uang sebanyak itu tidak banyak jumlahnya, orang yang bisa memberi uang
sebanyak itu kepada orang lain, sukar kutemukan orangnya."
"Aku hanya menduga satu
orang."
"Siapa?"
"Siau-yau-hou sudah mati,
tapi kumpulan rahasia itu tidak bubar, karena ada seorang menggantikan
kedudukan ...."
"Kau kira orang itu yang
memberi uang kepadamu?"
"Kukira hanya dia seorang
yang mampu mengeluarkan uang sebanyak itu."
Siau-yau-hou sendiri
kekayaannya sebanding kekayaan negara, orang-orang yang menjadi anggota
perkumpulannya juga pantas berkuasa di daerahnya masing-masing. Kalau harta
kekayaan orang-orang itu dikumpulkan, jelas takkan kalah dibanding kekayaaan
negara. Umpama betul ada berita tentang tiga tempat harta terpendam ditemukan,
jumlahnya belum tentu lebih banyak.
"Bukan saja orang itu
telah menggantikan kedudukan Siau-yau-hou, seluruh harta bendanya juga telah
diwariskan kepadanya."
"Tapi kau tidak tahu
siapa dia, bagaimana asal-usulnya." Sudah tentu Siau Cap-it Long tidak tahu,
hakikatnya tiada orang tahu rahasianya.
"Yang pasti dia seorang
yang amat menakutkan, mungkin lebih menakutkan dibanding Siau-yau-hou,"
demikian komentar Siau Cap-it Long, "yang pasti dia lebih tenang dan
mantap dalam melaksanakan rencana, otaknya lebih cerdik dan akalnya lebih
licik, aku digunakan untuk mengalihkan sasaran orang banyak. Pemberian uang itu
bermaksud membuatku gemuk, santai dan hidup berkecukupan. Setelah rencananya
diatur matang, mungkin orang pertama yang akan disembelih adalah aku."
"Makanya kau harus cepat
mencari tahu siapa dirinya."
"Sayangnya darimana aku
harus mencari tahu, aku sendiri tidak tahu."
"Kurasa hanya dengan
membawa Pin-pin, baru bisa kau menelusuri jejak orang-orang itu."
"Sayangnya pula, sekarang
jejak Pin-pin juga tak kuketahui."
"Hanya Pin-pin yang kenal
orang-orang itu."
"Ya, hanya dia yang
kenal."
"Jadi hanya dia yang tahu
akan rahasia ini?"
"Kecuali dia, tiada orang
kedua yang percaya omonganku."
"Aku juga percaya,"
kata Hong Si-nio," suaranya lembut tapi teguh, "tiap patah katamu aku
percaya, sebab aku tahu kau orang macam apa, aku tahu jelas."
Darah seperti bergolak dalam
rongga dada Siau Cap-it Long, haru dan lega menghayati sanubarinya, tanpa kuasa
ia genggam kencang tangannya. Rasa terima kasih tak kuasa diutarakan dengan
kata-kata.
Perlahan Hong Si-nio menarik
tangannya, disembunyikan di bawah meja, katanya dengan nada dingin,
"Sayang sekali orang yang memahami dirimu tidak banyak, bahwasanya kau
sendiri tidak memerlukan kepercayaan orang."
Siau Cap-it Long mengawasi
kedua tangannya, lama sekali ia tak kuasa bicara, entah apa yang berkecamuk
dalam sanubarinya.
"Maka sekarang kita harus
mencari Sim Bik-kun, juga harus mencari Pin-pin."
”Tapi kemana kita harus
mencari mereka."
"Di kota ini bukankah kau
memiliki sebuah rumah?"
"Itu bukan rumah, hanya
sepetak bangunan," sorot matanya menampilkan kesepian, "Selama ini
darimana kumiliki rumah?"
"Tapi sekarang kau punya
banyak rumah."
"Di setiap kota hampir
selalu ada."
"Kau sendiri yang beli
rumah itu?"
"Kapan aku pernah punya
uang untuk membeli rumah?" getir suara Siau Cap-it Long, "hari ini
ada yang memberi uang, hari ini pula aku hamburkan sampai habis."
"Ya, kabarnya untuk
menebus seorang pelacur, tak segan kau menebusnya satu laksa tahil."
"Karena dia mau memberi,
maka aku suka membeli, makin banyak aku pakai uang, makin besar jumlah yang dia
berikan, makin banyak aku hamburkan uangnya, berarti menggerogoti
kekuatannya." Lalu dengan menyengir ia menambahkan, "dalam hal menghamburkan
uang aku kan ahlinya."
“Tapi kau tak pernah membeli
rumah?"
"Buat apa aku beli
rumah."
"Lalu darimana pula
rumah-rumah milikmu itu?"
"Dia pula yang memberi,
pernah aku menerima sekaligus 10 lembar sertifikat rumah dan seluruh
isinya."
"Pin-pin pernah mampir ke
rumah-rumah itu?"
"Banyak diantaranya
pernah ke sana."
"Mungkin tidak timbul
minatnya untuk bersembunyi di antara rumah-rumah itu."
"Kenapa harus
bersembunyi?"
"Karena ingin mengasah
otak, memikirkan nasib selanjutnya, mungkin dia ingin tahu apakah kau
menguatirkan dia kalau tidak kelihatan beberapa hari."
"Kurasa tiada alasan dia
berbuat demikian."
"Kau jelas takkan
merasakan, kerena kau bukan perempuan." Sorot mata Hong Si-nio kembali
menampilkan rasa kangen, rindu dan gundah, suaranya lebih lirih, "Aku juga
perempuan, hanya perempuan yang dapat menyelami jalan pikiran perempuan
...."
"Jadi kau pikir juga akan
bersembunyi beberapa hari begitu?"
"Akan kulakukan."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak senang
melihat engkau berpesta arak dengan teman lamamu, membicarakan soal yang aku
tidak tahu, aku disisihkan di pinggir tak dihiraukan. Karena aku tidak senang
melihat kau sedih karena perempuan lain, karena aku ingin tahu apakah betul kau
memperhatikan diriku, karena isi hatiku sedikit pun engkau tidak tahu."
"Tapi dia ... berbeda
dengan kau, dia hanya kuanggap sebagai adik."
Hong Si-nio berpaling muka,
mengawasi tabir malam di luar jendela, suaranya berubah tawar, "Aku
hanyalah kakakmu saja."
Siau Cap-it Long tak bicara
lagi, kembali ia sadar, dirinya masih berhutang pada seseorang. Hutang yang
tidak tahu kapan dapat ia lunasi. Terbayang olehnya waktu Pin-pin memandang
dirinya, sikapnya yang aleman, bibirnya yang bergerak-gerak seperti ingin
bicara tapi tidak terlontar kata-kata dari mulutnya, pandangan nan manis mesra
begitu ... tak tahan ia menarik napas panjang, tanyanya, "Kalau kau adalah
dia, kemana kau akan bersembunyi?"
“Tentunya ke rumah yang dia
pernah pergi, kau pun pernah ke sana."
"Rumah-rumah itu dia
pernah pergi, aku juga pernah ke sana."
"Makanya kita harus
mencarinya ke sana," ujar Hong Si-nio, ia tetap menghadap keluar, lalu
menambahkan dengan suara enteng, "Satu harapanku, setelah menemukannya,
jangan kau anggap dia sebagai adikmu lagi."
XIV. PERUBAHAN BU-KAU-SAN-CENG
Sudah dua tahun, mungkin belum
genap dua tahun, belum pernah Sim Bik-kun bisa tidur senyenyak ini. Kereta itu
bergoncang di jalan raya yang tidak rata. Dia tidur meringkuk mirip orok, orok
yang lelap dalam ayunan.
Maka waktu ia siuman, hampir
melupakan semua duka dan lara, derita sengsara yang dialaminya selama ini.
Tidur lelap yang menenteramkan adalah obat mujarab bagi seorang yang sedang
diliputi kesedihan yang berkepanjangan. Waktu ia membuka mata, cahaya mentari
di musim rontok terasa hangat, bayang-bayang pohon berkelebat di jendela.
Sang kusir sedang mengayun
cemeti sambil berdendang lagu gembala yang amat disukainya sejak kecil, dimana
waktu kecil ia menjadi penggembala sapi di kampung halaman, suara cemeti yang
memecah kesunyian pagi, seolah menjadi irama yang mengasyikkan, membakar
semangat hidup seorang kusir yang lagi menempuh perjalanan jauh.
Sepanjang hidup ini, Sim
Bik-kun tidak pernah membayangkan, seorang yang dipandang rendah dan hina,
wajah yang tidak simpatik, ternyata sudi melakukan perbuatan yang berbahaya,
hanya seorang yang punya jiwa agung saja orang yang mau menolong jiwanya dari
dera bahaya tanpa memikirkan imbalan dan tanpa tujuan yang munafik.
"Aku ini orang tidak
berguna, tapi aku punya tiga anak, aku menolongmu demi anak-anakku itu, sepanjang
hidupku ini, apa salahnya aku melakukan kerja bakti yang patut membanggakan
harkat dan harga diriku."
Sim Bik-kun mengerti
perasaannya, menyelami cita-citanya. Walau dirinya tidak punya anak, tapi dia
menyelami seorang yang jadi ayah bunda, yang penuh kasih sayang terhadap putra
putrinya.
Peduli dia orang biasa, dari
kalangan papa sekalipun, yang dipandang rendah dan hina, namun apa yang dia
lakukan sungguh agung, sungguh terpuji. Sebaliknya orang-orang yang suka
mengagulkan diri sebagai pendekar, sering kali melupakan nilai-nilai luhur
perasaan nan suci ini.
Maka bayangan Siau Cap-it Long
merasuk dalam sanubarinya. Siau Cap-it Long juga pernah menolong dirinya, tanpa
imbalan, tanpa tujuan, tanpa pamrih. Waktu itu Siau Cap-it Long masih jejaka polos,
bersih dan jenaka. Entah sekarang, remuk redam hati ini merindukannya.
Seorang kenapa mendadak bisa
berubah menjadi menakutkan? Apa benar kekuatan uang dapat mengatasi semua
pengaruh ibiis?
Kereta mendadak berhenti, baru
saja Sim Bik-kun berduduk, dari luar berkumandang ketukan pintu. Pek-losam
membuka pintu seraya berkata, "Kurasa kau sudah bangun, satu hari satu
malam kita menempuh perjalanan."
Sang kusir memang kelihatan
mengantuk dan letih, perjalanan panjang memang melelahkan. Pelarian memang selalu
membuat orang sengsara dan terasa panjang.
”Terima kasih," ucap Sim
Bik-kun dengan haru, kecuali ucapan terima kasih, hakikatnya tak mampu ia
mengucapkan kata-kata lain untuk menghibur diri.
Pek-losam meliriknya dua kali
lalu menunduk pula, sikapnya seperti ragu-ragu dan curiga.
Akhirnya ia mengangkat kepala
dan berkata, "Aku harus segera pulang merawat anak-anak. Aku hanya bisa
mengantar kau sampai di sini."
"Di sini tempat
apa?" tanya Sim Bik-kun bingung.
Wajah Pek-losam yang
berkeriput jelek itu mengunjuk mimik aneh, sorot mata nan dingin, "Aku
tahu kau pernah datang ke tempat ini, kenapa tidak kau turun dan melihat
sendiri?"
Sim Bik-kun membetulkan letak
sanggulnya, perlahan beranjak turun, berdiri di bawah sinar matahari. Cahaya
mentari terasa hangat, tapi sekujur badannya mendadak menjadi kaku dingin.
Di antara popohonan nan
rindang berjajar dan berbaris di sana, di bawah terik matahari, di sana berdiri
sebuah perkampungan, dari kejauhan mirip sebuah bangunan istana dalam dongeng.
Sudah tentu ia pernah datang
ke tempat ini. Karena tempat ini sebetulnya adalah rumahnya.
Rumah yang pasti membikin
siapa saja yang melihat ingin tinggal dan memilikinya.
Bu-kau-san-ceng.
Di Bu-kau-san-ceng ada
sepasang pendekar muda, pendekar muda lagi ganteng yang dihormati dan diagulkan
insan persilatan, dan seorang perempuan yang cantik, ayu rupawan, mereka adalah
sepasang suami isteri yang menjadi panutan dan dambaan banyak orang.
Tapi sekarang?
Terbayang olehnya hari-hari
bahagia yang dahulu dirasakan di perkampungan ini. Sepanjang hidupnya dulu,
walau kadang terasa kesepian, namun bebas, agung dan dihormati orang.
Lian Shia-pik bukan suami yang
diangan-angkankan, tapi sepak terjangnya, perhatiannya, rasa hormatnya,
sepanjang hidupnya ini tak pernah menjadi perbincangan orang lain. Dirinya
mungkin menjadi yang terpenting dalam hidupnya, tapi dia tidak pernah melupakan
dirinya, dan tak mungkin mengabaikan apalagi meninggalkan dirinya.
Kenyataan justru dirinya yang
meninggalkan dia, membuang segala miliknya, hanya karena seorang ... Siau
Cap-it Long.
Perasaan hatinya terhadap si
dia, mirip lembaran sejarah yang ditulis dengan tinta merah.
Keangkeran wibawa dan rasa
egoisnya seluruhnya dihanguskan menjadi abu. Apalagi perasaan nan indah dan
menggejolak itu, apakah benar cukup berharga untuk dikorbankan? Apa benar
selama ini tak mampu dikendalikan dan bertahan lama?
Air mata Sim Bik-kun berderai
tak terbendung lagi. Tangannya terangkat membetulkan sanggul kepala yang ditiup
angin, perlahan ia menyeka air mata dengan lengan baju, "Angin hari ini
besar sekali."
Angin tidak kencang, tapi di
relung hatinya timbul hembusan angin yang menggejolak, membuat perasaannya
tidak tenang, seperti ombak lautan yang berdebur menghantam karang.
Bagaimanapun masa lalu sudah
lewat, peduli apa yang pernah ia lakukan benar atau salah, ia lakukan sendiri
dengan suka rela. Maka ia tidak menyesal, juga tidak pernah menggerundel.
Hidup senang atau sengsara
pernah dirasakan, semua itu tanpa penyesalan.
Pek-losam berdiri di belakangnya,
tidak melihat rona wajahnya, terdengar orang sedang menarik napas panjang,
berkata penuh nada gegetun, "Bu-kau-san-ceng memang sesuai dengan nama
besarnya. Sudah puluhan tahun aku menjadi kusir kereta, laksaan li perjalanan
pernah kutempuh, belum pernah aku datang ke tempat seindah ini."
"Perkampungan ini memang
indah permai," kata Sim Bik-kun menahan air mata.
Sayang perkampungan ini kini
sudah bukan milikku, aku sudah tiada hubungan apa-apa dengan tempat ini. Aku
sudah bukan majikan perempuan tempat ini, tiada muka aku kembali lagi ke sini.
Isi hatinya jelas takkan
diucapkan kepada Pek-losam.
Sekarang dia tidak ingin
membuat orang repot, tidak ingin menjadi beban orang lain. Ia insaf mulai hari
ini harus berusaha hidup sendiri, sekali-kali tak boleh menjadi benalu hidup
orang lain. Diam-diam ia berkeputusan, tekadnya sudah bulat. Air mata juga
sudah kering.
Ketika Sim Bik-kun berpaling
lagi, wajahnya sudah dihiasi senyum nan menawan, "Terima kasih, kau telah
mengantarku sampai di sini, terima kasih, kau telah menolongku ...."
Kembali Pek-losam menampilkan
mimik aneh, "Aku sudah bilang, tak perlu berterima kasih."
"Budi kebaikanmu
terhadapku suatu hari pasti akan kubalas."
"Tidak perlu, aku
menolongmu bukan ingin minta imbalan."
Mengawasi wajah orang yang
buruk, timbul pula gejolak perasaan hati Sim Bik-kun, tak tahan hampir ia
berlutut dan memeluknya, biar orang tahu betapa besar rasa terima kasih
dirinya.
Tapi hal itu pantang ia
lakukan, dia seorang rupawan, dahulu demikian, selanjutnya harus tetap rupawan.
Kecuali kepada Siau Cap-it Long, selama ini belum pernah ia melakukan perbuatan
yang melanggar tata susila. Maka ia hanya tertawa-tawa, katanya lembut,
"Titip salamku kepada bini dan anak-anakmu, aku yakin mereka kelak akan menjadi
manusia yang luar biasa, karena mereka panutan seperti dirimu."
Sesaat Pek-losam masih
mengawasi wajahnya, tiba-tiba ia membalik badan dan berlari ke kereta, terus
pecutnya menggelegar, keretanya dilarikan kencang tak menoleh lagi. Betapapun
Pek-losam adalah laki-laki yang punya perasaan, tak berani tadi ia beradu
pandang, hatinya terharu dan menyesal tak mampu berbuat lebih banyak lagi. Dari
kejauhan ia berteriak, "Jagalah dirimu sendiri, hati-hati, zaman ini
banyak orang jahat...."
Kereta itu sudah pergi jauh.
Roda dan tapak kuda yang berlari kencang meninggalkan kepulan debu yang
memanjang di belakang.
Dengan nanar Sim Bik-kun
mengawasi bayangan yang makin menjauh, entah kenapa mendadak hatinya dirasuki
perasaan takut yang aneh, takut yang ia sendiri tidak tahu dan tidak bisa
menjelaskan sebab musababnya. Bukan seluruhnya karena kesepian, tapi rasa
sabatangkara yang menggejolak dalam relung yang paling dalam, tanpa bantuan dan
keputusasaan. Tiba-tiba ia menyadari sepanjang hidupnya ini ternyata dirinya tak
pernah mandiri.
Sejak kecil ia hidup dalam
dibimbing ayah bunda, setelah menikah ikut suami, lalu bertemu dan mengikuti
Siau Cap-it Long.
Sudah dua tahun ia tidak
berjumpa dengan Siau Cap-it Long, tapi relung hatinya masih terus memikirkan
dia, ia hidup demi dia, hidup dengan penuh harapan.
Apalagi sudah dua tahun ini
tiada orang merawat hidupnya, seorang perempuan rupawan memangnya tiada yang
teguh, menyendiri, memangnya pantas ia hidup memperoleh perawatan dan bimbingan
orang lain.
Sekarang mendadak ia merasa
dirinya terpencil. Siau Cap-it Long sudah mati, Lian Shia-pik juga sudah
meninggal, kedua orang yang menjadi dambaan hatinya sudah tiada, kini hatinya
sudah beku.
Cahaya matahari benderang,
perasaan hatinya malah dingin, dia merasa dirinya ingin mati saja.
Tapi biarpun mati, jangan mati
di tempat ini. Jangan jenazahnya dikebumikan oleh Lian Shia-pik.
Padahal dua tahun ini ia tidak
pernah mendengar beritanya. Memangnya dia sudah tenggelam dalam keputusasaan.
Sim Bik-kun tak mau memikirkannya lagi, tapi tidak mungkin tidak memikirkannya.
Akhirnya ia berkeputusan untuk
meninggalkan tempat ini, tempat yang banyak meninggalkan kenangan indah masa
lalu. Tapi waktu kakinya bergerak, ia melihat dua orang berpakaian hijau keluar
dari pintu besar berukir kuno. Bergegas ia menyingkir dan bersembunyi di
belakang pohon, ia tidak ingin ada orang di sini tahu bahwa dirinya telah
pulang. Banyak orang di sini mengenal dirinya, mungkin mereka terheran-heran,
kenapa majikan perempuan rumah ini telah lama pergi dan tak pernah kembali
lagi.
Langkah kedua orang itu makin
dekat, mereka bercakap dengan riang, tertawa senang dan saling goda, dengan
langkah cepat mereka memasuki bidang rimbun di tengah pepohonan yang lebat.
Dari dandanannya, jelas mereka
adalah kacung atau pelayan dari Bu-kau-san-seng, dahulu para pelayan di
perkampungan ini tiada yang berani sebebas itu bicara dan mondar-mandir, keluar
masuk seenaknya. Apalagi raut muka mereka terasa asing bagi Sim Bik-kun.
Perubahan yang terjadi selama dua tahun sungguh luar biasa, tiap orang berubah,
apa yang terjadi di sini semua sudah berubah.
Bagaimana dengan Lian
Shia-pik?
Awalnya Sim Bik-kun
berpendapat suaminya itu mirip batu cadas di belakang perkampungan yang
menjulang tinggi ke angkasa, keras, tua dan bangkotan, selamanya tidak akan
berubah.
Suara tawa mereka makin dekat,
dua orang ini saling rangkul pundak mendatangi, yang di sebelah kanan bermuka
hitam, usianya lebih tua, temannya lebih putih, usia lebih muda, mukanya malah
mirip nona yang mulai menanjak dewasa.
Mereka juga melihat Sim
Bik-kun yang berada di belakang pohon. Sebab ia merasa tak perlu bersembunyi
atau menyingkir.
Dengan bengong mereka
mengawasi, biji matanya seperti hampir melotot keluar, siapa pun kalau mendadak
berhadapan dengan perempuan cantik seperti Sim Bik-kun, pasti akan menampilkan
mimik seaneh itu. Tapi para pelayan Bu-kau-san-ceng mestinya dikecualikan.
Yang berusia lebih tua bermuka
hitam mendadak menyengir tawa lebar, bertanya dengan nada menggoda, "Kau
datang ke sini mau apa, mencari orang? Atau mencari kami?"
Sim Bik-kun berusaha
mengendalikan amarahnya, dahulu ia tidak akan mengizinkan orang-orang bangor
seperti ini tinggal di Bu-kau-san-ceng, tapi sekarang ia sudah tiada hak dan
kuasa untuk mencampuri urusan di sini.
Dengan menundukkan kepala ia
berpikir untuk menyingkir saja.
Ternyata pemuda itu makin
berani, katanya, "He, aku bernama si hitam, dia bernama si putih, kami
sedang ingin membeli arak, mumpung kau datang, kenapa tidak menemani kami
berdua minum dua cawan?"
Sim Bik-kun menarik muka,
katanya dingin, "Apakah Lian-cengcu kalian tidak pernah memberitahu
peraturan di perkampungan ini?"
"Apa Lian-cengcu?
Peraturan apa?" seru si hitam melotot.
"O, aku tahu," seru
si putih, "yang dia maksud tentu Lian-cengcu pemilik perkampungan ini yang
dulu, dia bernama Lian Shia-pik."
"Cengcu yang dulu",
seperti tenggelam perasaan Sim Bik-kun. "Apakah dia sekarang bukan Cengcu
perkampungan ini?" tanyanya.
"Sudah lama bukan,"
sahut si hitam.
"Sudah satu tahun lalu
tempat ini dijual kepada orang lain," si putih menjelaskan.
Rasa dingin di tubuh Sim
Bik-kun mengendap sampai di ujung kaki.
Bu-kau-san-ceng adalah warisan
leluhur keluarga Lian, seperti juga keluarga she Lian, perkampungan ini adalah
milik Lian Shia-pik yang paling dibanggakan, paling disayang. Untuk
mempertahankan keberadaan perkampungan ini, dia sudah berusaha berjuang keras
supaya sejarah keberadaannya tidak punah. Bagaimana mungkin warisan leluhurnya
sekarang, dijual kepada orang.
"Kurasa tidak
mungkin," desis Sim Bik-kun sambil menggenggam tangan, "dia takkan
berbuat demikian bodoh."
Si hitam tertawa, "Konon
karena bangkrut, Lian-kongcu itu terpaksa menjual harta miliknya ini, jangan
heran, manusia kan bisa berubah."
"Ya, kabarnya berubah
karena seorang perempuan," timbrung si putih, "maka dia menjadi setan
arak dan raja judi. Akhirnya celana pun digadaikan, malah punya hutang segudang
banyaknya, terpaksa apa boleh buat, perkampungan inipun dijualnya."
Hancur hati Sim Bik-kun, luluh
lantak kondisinya sekarang, hampir ia tak kuasa bertahan lebih lama lagi. Tak
pernah terbayang dalam benaknya, karena dirinyalah Lian Shia-pik hancur, karena
dirinyalah Lian Shia-pik bangkrut.
Si hitam masih terus tertawa,
"Pemilik perkampungan kita yang sekarang she Siau. Siau-cengcu kita yang
satu ini, wah betul-betul luar biasa, selaksa perempuan pun jangan harap bisa
membuatnya runtuh."
"Marga Siau? Cengcu
kalian yang sekarang bermarga Siau?" mendadak Sim Bik-kun berteriak,
"siapa namanya?"
Si hitam membusungkan dada,
katanya pongah, "Siau Cap-it Long, yaitu orang yang paling kaya, paling
...."
Sim Bik-kun tidak mendengar
apa yang diucapkan si hitam selanjutnya, mendadak matanya gelap, orangnya pun
jatuh semaput.
* * * * *
Perkampungan ini amat besar,
luas dan marak.
Mengawasi wuwungan nan lancip
tinggi, Hong Si-nio menghela napas, "Rumah seperti ini, kau punya
berapa?"
"Tidak banyak,"
sahut Siau Cap-it Long, "tapi yang lebih besar dari perkampungan ini ada
beberapa."
Hong Si-nio menggigit bibir,
"Kalau aku jadi Pin-pin, akan kucari rumah yang paling besar untuk
bersembunyi di sana."
"Ya, mungkin
sekali."
"Rumahmu yang paling gede
berada dimana?"
"Tak jauh dari
sini."
"Kalau tidak salah
Bu-kau-san-ceng tak jauh dari sini?"
Sorot mata Siau Cap-it Long menampilkan
rasa sedih, "Bu-kau-san-ceng sekarang sudah menjadi milikku."
* * * * *
Ruang kembang, ruang utama
tetap dan persis keadaan semula, tidak berubah karena memang tidak dirubah.
Beberapa pot bunga di atas meja bertambah banyak, terutama pot kembang seruni
berwarna biru itu, jenis yang paling langka, adalah pemberian Thio-jiya dari
Kay-hong.
Segala sesuatunya, entah
bangunan, pohon, kembang atau bebatuan, semuanya dirawat dan dijaga
keasliannya, semua tetap dalam keadaan utuh seperti semula. Entah orangnya?
Air mata Sim Bik-kun membasahi
selebar mukanya. Sesungguhnya ia tidak ingin pulang, kembali ke tempat ini,
sayang waktu ia siuman dari pingsan, ia dapati dirinya berada di tempat lama,
tempat dahulu ia tinggal.
Cahaya matahari menjelang
senja menyorot masuk menyinari kursi merah itu. Itulah kursi dimana Lian
Shia-pik suka duduk kalau ia melayani para tamunya, kelihatan kursi itu masih
baru. Kursi takkan pernah menjadi tua karena kursi benda mati, tak punya
pikiran tak punya perasaan, Tapi bagaimana dengan orang yang sering duduk di
kursi itu?
Orangnya sudah gugur, dialah
yang membuatnya gugur. Rumah atau keluarga ini juga gugur di tangannya. Karena
Siau Cap-it Long, hampir seluruhnya hancur karenanya.
Tapi Siau Cap-it Long tidak
hancur. "Siau-cengcu adalah laki-laki jempol", mestinya rumah ini
milik Lian Shia-pik dan dirinya, sekarang berubah menjadi milik Siau Cap-it
Long.
Betapa kejam, betapa besar
deritanya, itulah sindiran yang tajam.
Sim Buk-kun berharap semua
kejadian ini bukan jadi kenyataan, tapi sekarang ia benar-benar membuktikan
bahwa apa yang dilihat, didengar adalah betul dan kenyataan. Belum senja, masih
menjelang senja.
Angin lalu berhembus,
daun-daun pohon melambai-lambai, sepertinya pohon itu juga sedang gegetun.
Kenapa Siau Cap-it Long
membeli perkampungan ini? Untuk menunjukkan wibawa atau mau pamer?
Hatinya berkeputusan untuk
tidak memikirkan atau membayangkan orang macam Siau Cap-it Long. Ingin rasanya
ia menerjang keluar meninggaikan tempat ini, sekejap saja rasanya sudah tidak
betah.
Pada saat itulah di pekarangan
belakang mendadak terjadi ribut-ribut, orang berteriak, "Ada maling!"
Siau Cap-it Long adalah maling
tulen, bukan saja telah mencuri semua milik mereka, juga mencuri hatinya. Kalau
sekarang ada maling mencuri barangnya, itu namanya pantas dan lumrah.
Perlahan Sim Bik-kun berusaha
berdiri lalu beringsut keluar, lewat pintu kecil di samping ia menerobos ke
belakang, keadaan di tempat ini jelas ia amat hapal.
Belasan lelaki berpakaian
serba hijau berada di pekarangan belakang, ada yang membawa pisau dapur, ada
yang membawa pentung, seseorang dikepung dan dipukuli. Yang dipukuli adalah
lelaki bercambang lebat, rambut kepalanya awut-awutan, pakaiannya lusuh,
usianya sekitar tiga puluhan tahun.
Si hitam mengacungkan parang
di tangannya sambil menggertak, "Letakkan benda yang kau curi atau
kupatahkan sepasang kakimu."
Dengan kedua tangannya orang
itu memeluk benda yang dianggap curian itu, mati pun tak mau dikembalikan,
mulutnya menggumam ketakutan, "Aku bukan maling ... barang yang kuambil
ini semula memang milikku." Suaranya serak, meski gemetar nadanya seperti
amat ia kenal.
Sekujur badan Sim Bik-kun
mendadak menjadi gemetar dingin, hampir beku, karena mendadak ia sadar, lelaki
berpakaian compang-camping yang dituduh mencuri barang itu bukan lain adalah
Lian Shia-pik adanya.
Betulkah dia Lian Shia-pik?
Dua tahun yang lalu, dia
adalah pemuda gagah yang diakui kaum Bulim sebagai tokoh punya harapan, jago
yang paling dihormati. Dua tahun yang lalu, pemuda yang satu ini paling
mengutamakan penampilan, berpakaian perlente, rajin dan cakap ganteng.
Pakaiannya terbuat dari kain
yang paling berkualitas, makan sehat tidur nyenyak, kesehatannya terjaga dengan
baik, tiada noktah tak ada noda di badannya, air mukanya selalu memancarkan
sinar cemerlang, senyumnya lebar, langkahnya gagah, bicaranya santun, serba
lengkap. Mengapa hari ini berubah menjadi orang seperti ini? Dua tahun yang
lalu, dia adalah pemuda ganteng kaya yang disegani kalangan atas, pemilik
perkampungan nan megah ini. Sekarang berubah menjadi maling.
Bisakah terjadi perubahan
begitu besar pada seseorang? Begitu menakutkan? Mati pun Sim Bik-kun tak mau
percaya, tidak rela dan tidak mau percaya, tapi kenyataan membuatnya harus
percaya. Orang itu betul adalah Lian Shia-pik.
Dia masih mengenal suaranya,
mengenal tatapan sorot matanya. Kini sorot matanya sudah berubah seperti
binatang yang terluka, diliputi rasa sedih, derita dan putus asa. Padahal
bentuk dan tatapan mata seseorang selamanya tidak akan berubah. Mestinya Sim
Bik-kun pernah bersumpah, selama hidup takkan membiarkan Lian Shia-pik melihat
dirinya lagi, karena ia tidak sudi dan tidak ingin bertemu dengannya, tak tega
bertemu dengannya. Dalam sekilas ini, dia sudah melupakan semuanya. Dengan mengerahkan
seluruh tenaganya, mendadak ia memburu ke sana, menerobos kerumunan orang
banyak, memburu ke depan Lian Shia-pik.
Waktu Lian Shia-pik mengangkat
kepala lantas melihatnya. Sekujur badannya seperti mendadak kena sengat listrik
menjadi kaku beku, suaranya bergetar, "Kau ... betulkah engkau ...."
Mengawasi orang, air mata Sim
Bik-kun tak kuat ditahan.
Mendadak Lian Shia-pik
membalik badan ingin melarikan diri, ternyata gerak-geriknya sudah tak
setangkas dahulu, ia tak mampu membobol kerumunan orang banyak. Apalagi Sim
Bik-kun telah menarik tangannya, menahan dengan setaker kekuatannya.
Sekujur badan Lian Shia-pik
menjadi lemas, perasaannya luluh. Selama menjadi suami isteri, Sim Bik-kun
tidak pernah menariknya sekuat itu, tak pernah terbayangkan bahwa orang akan
menarik dirinya. Mengawasi muka orang, air mata sendiri tak kuasa ditahannya
lagi. Mereka saling pandang, saling bertangisan.
Adegan yang tak pernah terduga
ini jelas membuat si hitam kaget, tak mengerti dan tak pernah bisa mengerti.
Mendadak ia mengacungkan parang di tangan seraya berteriak, "Mampuskan
dulu bocah keparat ini, berani dia mencuri di tempat kita." Parang diayun
turun, dia betul-betul membacok kepala Lian Shia-pik.
Lian Shia-pik tidak mampu
melawan dan tidak mau melawan, seperti binatang terluka yang jatuh dalam
perangkap, terima nasib saja. Tapi pegangan Sim Bik-kun entah kenapa seperti
memberi semangat dan kekuatan, seketika ia kipatkan lengannya, parang di tangan
si hitam disampuknya jatuh, sekali jotos si hitam dipukulnya roboh telentang.
Orang banyak menyurut mundur,
semua kaget dan heran, entah darimana datangnya tenaga orang hingga masih kuat
melawan. Lian Shia-pik tidak menghiraukan keberadaan orang banyak, dengan nanar
ia mengawasi Sim Bik-kun, "Aku ... selama hidup mestinya aku tidak ingin
kembali."
"Aku tahu," sahut
Sim Bik-kun sambil mengangguk.
”Tapi ... tapi ada sebuah
benda, amat sayang kalau terbuang." Benda yang dipeluk kencang di dadanya
itu adalah segulung gambar lukisan. Gambar lukisan biasa, betulkah sedemikian
penting bagi dirinya?
Bersambung