Bentrok Para Pendekar Jilid 09

Baca Cersil Mandarin Online: Bentrok Para Pendekar Jilid 09
Jilid 9

Mendadak kaki kanan Nyo Khay-thay maju setapak, tepat menginjak di bekas tapak kakinya yang terdahulu, kepalan yang meninju malah tangan kiri dengan jurus Hek-hou-to-sim atau harimau hitam merogoh hati, yang diincar dada Siau Cap-it Long.

Hek-hou-to-sim adalah jurus umum yang sering dimainkan setiap pesilat, dilakukan dengan serius dan lurus, tanpa kembangan, tiada variasi, namun daya kekuatannya sungguh dahsyat.

Jago-jago silat zaman ini yakin takkan ada yang punya jurus pukulan sedahsyat yang dilancarkan Nyo Khay-thay sekarang. Umpama Siau Cap-it Long sendiri yang melancarkan pukulan jurus ini, pasti takkan punya perbawa sehebat ini.

Siau Cap-it Long tahu akan hal ini, terpikir olehnya akan kedahsyatannya, tapi kondisinya hampir tak mampu mengatasinya, berkelit apalagi menangkis serangan ini.

Pada detik yang menentukan itulah dari tengah udara meluncur seutas tambang panjang menggulung datang, melingkar dan menjerat kaki kiri Nyo Khay-thay.

Tali yang melingkar-lingkar itu ternyata bukan tambang, tetapi cambuk panjang, belum pernah orang melihat cambuk sepanjang itu, apalagi cambuk yang lincah dan enteng seperti hidup itu.

Seorang lelaki berlengan tunggal serta mahkota menghias di kepalanya, sepasang kakinya buntung sebatas lutut, tapi bercokol di atas kepala seorang lelaki gede yang bertelanjang dada, berada sejauh dua tombak, dengan lincah dan enteng memainkan cambuk panjang itu. Begitu cambuk disendal dan dibalik, ia membentak, "Roboh!"

Ternyata Nyo Khay-thay tidak jatuh. Kekuatan pukulan tangannya ternyata beralih kaki, hingga kakinya menekan turun amblas ke dalam tanah, papan batu yang keras seperti menjadi seempuk tahu saja, kedua kakinya amblas melesak ke dalam bumi.

Otot hijau di jidat Jin-siang jin menonjol keluar, lengan tunggalnya mengencang, cambuk panjangnya juga ditarik kencang.

Tapi Nyo Khay-thay tidak bergeming, badannya berdiri kokoh seperti tiang batu yang ditanam dalam tanah.

Jin-siang-jin kembali menyendal serta menarik balik cambuknya. Siapa tahu mendadak Nyo Khay-thay menggerakkan tangan, ujung pecut berhasil ditangkap, mendadak ia membentak sambil menarik dengan kekuatan penuh.

Badan Jin-siang-jin mencelat mumbul, melayang turun hampir menyentuh tanah, mendadak ia membentak pula, beruntun badannya jungkir balik tiga kali, secara enteng badannya mumbul kembali dan tepat duduk di kepala orang gede itu. Tapi cambuk panjangnya terlepas dari tangannya.

Dengan gemas Nyo Khay-thay memutus cambuk itu menjadi lima bagian terus dibanting ke tanah, mukanya kaku dingin, "Seharusnya kubunuh kau."

"Silakan turun tangan," tantang Jin-siang-jin.

Nyo Khay-thay menyeringai sombong, "Selama hidup aku tidak pernah melawan orang cacad."

Dari wuwungan rumah sebelah samping, seorang menghela napas, katanya, "Tidak malu orang ini diagulkan sebagai Kuncu. Sayang mukanya tebal sedikit."

"Siapa yang bicara?" bentak Nyo Khay-thay.

Seorang kakek mata tunggal berkaki pincang berdiri sambil menggendong tangan di wuwungan rumah, ujarnya, "Yang pasti aku bukan Kuncu, cacad lagi. Tapi kalau ada seorang mengalah dan tidak sudi melukai diriku, mukaku cukup tebal untuk terus ngotot hendak membunuhnya."

"Siapa yang kau maksud?" damprat Nyo Khay-thay.

"Yang kumaksud adalah engkau." kakek tua ini jelas adalah Hamwan Sam-coat, "waktu kau menyerang sampai jurus ketujuh, mestinya Siau Cap-it Long mampu merobohkan kau tiga kali, memangnya kau sendiri tidak tahu?"

Merah padam muka Nyo Khay-thay. Sejak turun tangan jurus pertama tadi, gerak-geriknya yang kaku dan bergerak menurut alur aturan, memang tiga kali ia menunjukkan lubang kelemahan. Bukannya dia tidak tahu, meski tahu, ia pun tidak menyangkal. Peduli Nyo Khay-thay seorang pikun atau benar-benar seorang Kuncu, yang pasti dia bukan Siau-jin, manusia rendah.

Di antara kerumunan orang di emper toko sana, seorang berbaju hijau tampil ke depan seraya berkata, "Dalam hal ini kau tidak boleh menyalahkan Nyo-lote. Apa yang dia lakukan kan lumrah dan apa adanya." Lalu dengan tersenyum lebar ia menambahkan, "Nyo-lote ini juga seorang pedagang, seorang pedagang umumnya mengutamakan hati hitam kulit tebal. Kalau tanpa pedoman dagang begitu, keluarga Nyo mana mampu merebut prestasi sebagai keluarga kaya raya di kolong langit? Darimana ia bisa punya duit sebanyak itu?"

Nyo Khay-thay menatapnya beringas, mukanya merah padam, bibir bergerak ingin bicara tapi sepatah kata pun sukar keluar dari mulutnya.

Hamwan Sam-seng bergelak tertawa, "Aku pasti takkan menyalahkan engkau, aku juga berdagang, jangan kata dia memberi potongan tiga kali, umpama sepuluh kali juga tidak akan menjatuhkan dirimu, kau tetap boleh memukulnya mampus."

Mendadak Nyo Khay-thay melompat ke atas, setelah membanting kaki, segera putar badan terus tinggal pergi. Karena tidak bisa bicara, tiada yang bisa dibicarakan. Seorang Kuncu bertemu dengan Siau-jin, lebih baik menyingkir daripada banyak bacot mengotori mulut sendiri malah.

Hamwan Sam-seng membalik badan menghadapi Siau Cap-it Long, katanya dengan tersenyum lebar, "Kau tak perlu berterima kasih kepada kami, umpama kami tidak datang menolongmu, belum tentu dia berniat membunuhmu."

Siau Cap-it Long bukan terhitung Kuncu, tapi juga tidak sudi menjadi Siau-jin.

Ia maklum apa maksud Hamwan Sam-seng, tapi malas mengajaknya bicara.

Kini ia sadar dan ingat apa yang pernah dikatakan Hoa Ji-giok memang tidak bohong, "Hari ini kau bebaskan Hamwan Sam-seng, akan datang suatu hari kau akan menyesal".

Mendadak Hamwan Sam-seng berseru, "Para saudara yang hadir di sini, kalian sudah melihat jelas bukan? Tuan inilah pendekar gagah yang tiada taranya, pendekar besar Siau Cap-it Long."

Tidak ada orang berani bersuara. Orang yang betul-betul pikun di dunia ini tidak banyak jumlahnya, orang sering bilang, elmaut datang dari mulut, kenyataan memang demikian.

Lebih jauh Hamwan Sam-seng berpidato, "Mengingat dia seorang gagah, pendatang adalah tamu, maka kuberi kelonggaran tiga kali padanya, tapi hari ini, di hadapan kalian yang hadir di sini, aku akan membunuhnya."

Mendadak Siau Cap it Long tertawa. Ia insaf bahwa dirinya tidak bodoh, mengenal betul siapa sebetulnya Hamwan Sam-seng.

Dia sudah menduga Hamwan Sam-seng menolong dirinya, tak lain karena ingin turun tangan sendiri. Kalau dengan tangan sendiri memegang kepala Siau Cap-it Long, insan persilatan mana yang tidak menginginkannya. Batok kepala Siau Cap-it Long, nilainya jelas teramat tinggi untuk diperebutkan.

Hamwan Sam-seng belum selesai bicara, katanya lebih jauh, "Karena orang gagah kita ini meski kulitnya teramat tebal, hatinya hitam, seorang bergajul yang kemaruk paras ayu, ternyata suka membunuh orang, orang yang mati di tangannya tak terhitung banyaknya."

Hamwan Sam-coat ikut menimbrung, "Bergajul suka paras elok, membunuh orang sebagai kegemaran, bukanlah perilaku seorang gagah?"

"Kalau dunia ada manusia sekotor ini, apakah insan persilatan bisa hidup tenteram?"

"Satu jurus membikin mata Ciangbunjin Tiam-jong buta, tiga jurus mengalahkan Tiong-pek-siang-hiap, konon diagulkan sebagai jago terkosen di dunia, kau mampu membunuh dia?"

Hamwan Sam-seng menghela napas gegetun, "Seorang lelaki harus berani bertindak kalau dirasa tindakannya itu benar. Demi membela kebenaran, meski aku bukan tandingannya, meski harus berkorban jiwa, aku tetap akan mencobanya."

Hamwan Sam-coat juga menghela napas, "Baik, bila kau mati, akan kukubur jenazahmu."

"Memangnya kau tidak ingin mencoba?"

"Aku ini sudah cacat, demi 'kebenaran dan keadilan', aku siap berkorban."

Hamwan Samseng bergelak tertawa, ”seorang lelaki hidup tidak perlu senang, mati tidak usah takut? Duelku hari ini, mati atau hidup, mendengar janjimu legalah hatiku, mati pun tidak menyesal."

Dua saudara berdialog seperti latihan main sandiwara, siapa yang mendengar, yang tidak tahu persoalan, yakin mereka memang sedang memerankan lakon yang patut dipuji.

Siau Cap-it Long tertawa lebar, katanya, "Bagus, laki-laki sejati."

"Ditantang laki-laki sejati, kau mampu melawan."

"Betul, aku akan melawan."

"Cabut golokmu," tantang Hamwan Sam-seng.

"Baik." Kejap lain goloknya telah keluar dari sarungnya.

"Itukah golok jagal rusamu?" tanya Hamwan Sam-seng.

"Betul."

"Konon golokmu itu pusaka tiada tandingan di dunia?"

Siau Cap-it Long menggerakkan golok di tangan, katanya tersenyum, "Memang golok sakti, untuk menabas leher orang tidak perlu dua kali."

"Dengan golokmu itu kau kalahkan Tiong-pek-siang-hiong?"

"Bila perlu satu jurus aku kalahkan musuh."

Sikap Hamwan Sam-seng tidak berubah, nadanya dingin, "Baik, hari ini dengan sepasang tanganku ini, kulawan golok jagal rusamu. Aku akan mengalah tiga jurus."

"Kau mengalah tiga jurus?" Siau Cap-it Long menegas.

"Tiga kali aku memberi kesempatan kepadamu, kenapa sekarang tidak memberi kelonggaran tiga jurus kepadamu?" Kelihatannya ia amat yakin. Dia lihat Siau Cap-it Long sudah kehabisan tenaga, seperti dian yang hampir kehabisan minyak.

Mengelus tajam goloknya, Siau Cap-it Long menghela napas, "Sayang, sayang."

"Sayang apa?" tanya Hamwan Sam-seng.

"Sayang, golok saktiku ini terpaksa harus memenggal kepala orang macam dirimu."

"Untuk menabas kepalaku rasanya juga tidak mudah."

”Tadi tenagaku sudah habis, niatku padam, apalagi racun bekerja pada saatnya, jelas aku takkan mampu melawan."

"Memangya kenapa sekarang?"

"Sekarang jelas sudah berbeda."

"Berbeda bagaimana?"

"Tadi yang harus kuhadapi seorang Kuncu, sekarang aku menghadapi Siau-jin."

Hamwan Sam-seng menyeringai sambil mendengus hidung.

"Golokku ini tidak membunuh Kuncu, tapi senang membunuh Siau-jin." Begitu ia memutar tajam goloknya, cahaya seketika berkembang menyala seperti mengobarkan hawa membunuh.

Begitu keras tekanan hawa membunuh dengan cahaya golok yang menyilaukan, jantung Hamwan Sam-seng seperti menjadi dingin, raut mukanya juga berubah kelam.

Mengawasi Siau Cap-it Long, mendadak ia sadar orang seperti berubah menjadi orang lain hanya dalam waktu sekejap.

Dimana golok Siau Cap-it Long bekerja, kulit daging di tubuhnya ia iris secomot, darah segar mengalir deras, mengerut alis pun tidak, seperti tidak merasakan sakit sama sekali, suaranya malah garang, "Kakiku ini setengah lumpuh, tapi membunuh orang bukan menggunakan kaki."

Kalau jidatnya basah keringat, sorot matanya malah mencorong terang, semangatnya bangkit malah. Jidat Hamwan Sam-seng juga berkeringat.

Siau Cap-it Long menatapnya tajam, "Tadi kau bilang akan memberi kelonggaran tiga jurus."

"Aku ... ya, aku pernah bilang," tergagap jawaban Hamwan Sam-seng.

"Tapi kalau satu jurus aku tidak memaksamu turun tangan, anggaplah aku yang kalah, kalau tiga jurus aku tidak mampu memenggal kepalamu, anggap pula aku yang kalah, akan kupenggal kepalaku dan kuserahkan kepadamu."

Membesi hijau muka Hamwan Sam-seng.

"Nah, terima dulu sejurus golokku," bentak Siau Cap-it Long.

Malam makin larut, cahaya lampu masih menyala terang benderang.

Waktu golok berkelebat cahayanya seperti menyala lebih benderang dari cahaya lampu di pinggir jalan, sinar golok bagai sabuk jagat meluncur ke sana, bayangan Hamwan Samseng ternyata sudah lenyap entah kemana.

Jago gagah yang pentang bacot mengagulkan diri tadi, begitu sinar golok Siau Cap-it Long berkelebat, tiba-tiba berubah selicin rase yang ketakutan, lari lintang pukang mencawat ekor.

Kerumunan orang banyak di sebelah sana tampak menjadi ribut, hanya sekejap bayangan sudah lenyap ditelan kegelapan.

Hamwan Sam-coat yang sejak tadi berdiri di wuwungan rumah sana juga tiba-tiba menghilang. Cahaya golok seterang kilat menyinari muka Jin-siang-jin, air mukanya tampak pias seperti orang yang kehabisan darah.

Siau Cap-it Long mengangkat goloknya tinggi di atas kepala, dengan tajam ia mengawasi orang.

Jin-siang-jin tidak bergerak, tidak berani bergeming, kepala botak di bawahnya menyurut mundur dan mundur makin cepat, sekejap mata mereka sudah berada di ujung jalan serta lenyap dari pandangan mata.

Siau Cap-it Long mengangkat kepalanya tertawa sekeras-kerasnya, serunya, "Seorang laki-laki bisa melihat gelagat. Orang-orang itu memang betul adalah pendekar yang patut diagulkan."

Dari tengah kerumunan orang banyak, seorang menghela napas, "Seorang gagah yang tidak tahu malu, Siau Cap-it Long yang gagah perwira."
* * * * *

Cahaya lampu tetap benderang di loteng Tay-heng-lau, tapi waktu orang banyak melihat kehadiran Siau Cap-it Long, semua berubah air mukanya.

Hong Si-nio berdiri di pinggir pagar bambu, air mata di wajahnya sudah kering, namun sikapnya sukar ditebak, apakah sedih, malu atau merasa bangga berhadapan dengan lelaki yang perwira, atau sedih mengingat nasibnya yang jelek.

Perlahan Siau Cap-it Long melangkah ke sana, lalu duduk, Tidak melirik atau melihatnya, ia paham dan mengerti betapa perasaan orang saat itu, dalam hati ia merasa banyak berhutang. Selama hidup hutang ini takkan mungkin bisa ia lunasi.

Hong Si-nio duduk di depannya, tanpa suara mengisi cawan arak di depannya. Tanpa suara ia tenggak habis arak itu.

Sesaat kemudian Hong Si-nio tiba-tiba tertawa, katanya, "Tanpa menyerang satu jurus pun duel ini berhasil kau menangkan. Sejak dahulu kala, tiada orang yang menang lebih cemerlang dibanding kau, paling sedikit aku harus menyiapkan tiga puluh cawan arak untukmu."

Siau Cap-it Long tertawa, tawa yang dipaksakan, "Yang benar kau tidak perlu menghormat kepadaku."

"Kenapa?"

"Karena mestinya aku tidak menang, kenyataan aku menang."

"Karena kau mestinya kalah tapi tidak kalah?"

"Kejadian tadi kau saksikan dengan mata kepalamu sendiri."

”Tapi aku tidak mengerti."

"Tapi aku...."

"Bukankah kau mengharap dikalahkan oleh Nyo Khay-thay? Mengharap dia membunuhmu?" Matanya menatap mukanya dengan tajam, "Kau beranggapan setelah Nyo Khay-thay mengalahkan engkau, maka hatiku akan merasa lega, begitu?"

Siau Cap-it Long tidak menjawab, tidak bisa menjawab.

Yang pasti aku akan berhutang padamu, maka dengan cara ini aku membayar hutang padamu. Cara ini tidak sempurna, tapi bisa mengurangi perasaan sedihku.

Perkataan ini tidak diucapkan, tak berani ia ucapkan, tapi ia yakin Hong Si-nio mengerti.

Dengan nanar ia mengawasinya, katanya dingin, "Kalau kau tidak bisa menjawab, biar kuberitahu kepadamu. Kalau kau benar-benar kalah, kita tidak akan bisa merasa lega, Nyo Khay-thay sendiri juga tidak merasa senang."

Waktu menyebut nama Nyo Khay-thay, perasaannya tidak bergolak seperti sebelum ini, nama itu terlontar dari mulutnya seperti ia menyebut nama orang yang tidak dikenalnya.

Hati Siau Cap-it Long sebaliknya merasa mendelu, sebab ia mengerti perasaan Nyo Khay-thay, selama hidup jelas takkan bisa dilupakan, tapi perasaan ini akan selalu mengganjal dalam sanubari.

Tiada orang yang lebih meresapi pahit getir dan derita hati seorang seperti perasaan Siau Cap-it Long sekarang.

"Aku tahu kau berusaha membayar hutang," ucap Hong Si-nio. "Tapi cara yang kau gunakan salah, tujuannya juga keliru."

Jari-jari Siau Cap-it Long saling genggam.

"Aku pernah berjanji kepadamu, maka aku akan menemanimu mencari dia."

"Tapi sekarang...."

"Sekarang aku tetap akan mengajakmu pergi mencarinya."

Siau Cap-it Long mengangkat kepala, dengan tajam ia mengawasi. Hong Si-nio malah melengos menghindari tatapan matanya.

Lama kemudian Siau Cap-it Long baru berkata, "Kau ... sepertinya kau tak pernah berubah?"

"Selamanya takkan berubah," sahut Hong Si-nio tegas.

Ia berpaling ke sana, memandang tabir malam di luar jendela, ia tidak ingin air mata yang meleleh dilihat olehnya.

Setumpuk cek kontan yang masih baru tergeletak di atas meja, tiada orang menyentuhnya, tiada orang berani memegang.

Bukan setumpuk kertas tak berguna, tapi setumpuk kekayaan yang nilai nominalnya luar biasa besarnya, kekayaan yang hanya diharapkan orang dalam mimpi. Kekayaan yang dapat membuat orang tidak segan menjual diri, menjual keluarga sampai kakek moyang sekalipun.

Waktu mengawasi tumpukan cek kontan itu, rona mata Siau Cap-it Long seperti merasa jijik, hina dan rendah, tiba-tiba ia berkata, "Kenapa tidak kau tanyakan padaku, darimana kuperoleh uang sebanyak ini?"

"Kalau kutanya, kau mau menjelaskan?" tanya Hong Si-nio.

"Kalau kujelaskan, kau percaya?"

"Kenapa aku tidak percaya?"

"Sebab aku sendiri tak tahu darimana datangnya uang ini."

Dengan kaget Hong Si-nio mengawasinya, air matanya sudah kering, selama ini ia mahir mengendalikan air mata, namun selama ini tak kuasa mengendalikan ocehannya, dengan keras ia berseru, "Kau sendiri tidak tahu?"

Siau Cap-it Long manggut-manggut, katanya tertawa getir, "Aku mengerti, persoalan ini juga akan membuatmu bingung."

"Memangnya apa yang telah terjadi?"

Ini kejadian brutal, kejadian tidak masuk akal, persoalan yang mestinya sederhana, bisa dijelaskan dengan sepatah dua patah kata, "Uang itu pemberian orang kepadaku."

"Siapa yang memberimu?"

"Tidak tahu."

"Sebanyak itu orang memberimu uang, tapi siapa dia, kau tidak tahu?"

"Uang yang diberikan padaku, bukan hanya sebanyak itu."

"Berapa banyak dia berikan kepadamu?"

"Jumlah yang pasti aku juga tidak tahu."

"Memangnya amat banyak sampai tak bisa dihitung, begitu?"

"Bukan saja saking banyaknya hingga tak tahu jumlahnya, dihitung juga tidak sempat lagi."

"Maksudmu waktu dia memberi jumlahnya banyak dan berlangsung cepat?"

Siuw Cap-it Long memanggut, "Dimana pun aku berada, tahu-tahu di bank setempat dia sudah menyiapkan uang untukku, jumlah yang tidak sedikit. Setiap kali aku berada di hotel, petugas bank lantas datang melapor kepadaku."

Hong Si-nio diam sejenak, lalu berkata, "Tidak kau tanyakan pada petugas bank, siapa yang mengantar uang itu?" Sudah tentu pernah Siau Cap-it Long tanyakan. "Orang yang punya saldo di bank terdiri berbagai macam orang, jika ada pedagang yang menyimpan uangnya di bank, petugas bank jelas tak akan bertanya mereka siapa dan darimana."

"Ya, tapi mereka setor uang ke bank atas namamu, lalu menyuruh petugas bank menyerahkan uang itu kepadamu." Siau Cap-it Long manggut-manggut.

"Petugas bank itu, cara bagaimana mereka tahu kalau kau adalah Siau Cap it Long?"

"Mereka tidak tahu, tapi setiap aku datang ke suatu tempat, mereka akan menerima sepucuk surat, sural yang ditulis atas namaku, menyuruh mereka mengantar uang kepadaku."

"Apa kau harus menerima?"

"Kenapa aku tidak mau terima?"

"Karena tanpa sebab musabab tak mungkin dia memberi uang sebanyak itu kepadamu."

"Aku maklum, jelas dalam hal ini ada maksud tertentu."

"Pernah terpikir olehmu, apa maksud tujuanya?"

"Sebab dia mengerti, orang lain pasti takkan percaya ada kejadian seaneh ini di dunia ini. Jadi dia ingin orang banyak beranggapan aku menemukan harta terpendam." Dengan tertawa kecut lalu ia menyambung, "Seorang yang menemukan harta terpendam, mirip tulang yang menusuk daging tubuhnya, semua anjing kecil besar, kenyang atau lapar, apapun macamnya, begitu mendengar berita, pasti akan meluruk datang untuk berebut makanan."

"Jadi maksudnya memusatkan perhatian seluruh orang Kang-ouw kepada dirimu?"

"Di kala orang banyak memusatkan perhatiannya meluruk diriku, setahap demi setahap dia mulai melaksanakan rencananya, menghamburkan sedikit uang baginya tidak masalah."

"Tapi yang dia berikan kepadamu bukan sekedar uang."

"Ya, memang bukan sekedarnya."

"Orang Bulim yang memiliki uang sebanyak itu tidak banyak jumlahnya, orang yang bisa memberi uang sebanyak itu kepada orang lain, sukar kutemukan orangnya."

"Aku hanya menduga satu orang."

"Siapa?"

"Siau-yau-hou sudah mati, tapi kumpulan rahasia itu tidak bubar, karena ada seorang menggantikan kedudukan ...."

"Kau kira orang itu yang memberi uang kepadamu?"

"Kukira hanya dia seorang yang mampu mengeluarkan uang sebanyak itu."

Siau-yau-hou sendiri kekayaannya sebanding kekayaan negara, orang-orang yang menjadi anggota perkumpulannya juga pantas berkuasa di daerahnya masing-masing. Kalau harta kekayaan orang-orang itu dikumpulkan, jelas takkan kalah dibanding kekayaaan negara. Umpama betul ada berita tentang tiga tempat harta terpendam ditemukan, jumlahnya belum tentu lebih banyak.

"Bukan saja orang itu telah menggantikan kedudukan Siau-yau-hou, seluruh harta bendanya juga telah diwariskan kepadanya."

"Tapi kau tidak tahu siapa dia, bagaimana asal-usulnya." Sudah tentu Siau Cap-it Long tidak tahu, hakikatnya tiada orang tahu rahasianya.

"Yang pasti dia seorang yang amat menakutkan, mungkin lebih menakutkan dibanding Siau-yau-hou," demikian komentar Siau Cap-it Long, "yang pasti dia lebih tenang dan mantap dalam melaksanakan rencana, otaknya lebih cerdik dan akalnya lebih licik, aku digunakan untuk mengalihkan sasaran orang banyak. Pemberian uang itu bermaksud membuatku gemuk, santai dan hidup berkecukupan. Setelah rencananya diatur matang, mungkin orang pertama yang akan disembelih adalah aku."

"Makanya kau harus cepat mencari tahu siapa dirinya."

"Sayangnya darimana aku harus mencari tahu, aku sendiri tidak tahu."

"Kurasa hanya dengan membawa Pin-pin, baru bisa kau menelusuri jejak orang-orang itu."

"Sayangnya pula, sekarang jejak Pin-pin juga tak kuketahui."

"Hanya Pin-pin yang kenal orang-orang itu."

"Ya, hanya dia yang kenal."

"Jadi hanya dia yang tahu akan rahasia ini?"

"Kecuali dia, tiada orang kedua yang percaya omonganku."

"Aku juga percaya," kata Hong Si-nio," suaranya lembut tapi teguh, "tiap patah katamu aku percaya, sebab aku tahu kau orang macam apa, aku tahu jelas."

Darah seperti bergolak dalam rongga dada Siau Cap-it Long, haru dan lega menghayati sanubarinya, tanpa kuasa ia genggam kencang tangannya. Rasa terima kasih tak kuasa diutarakan dengan kata-kata.

Perlahan Hong Si-nio menarik tangannya, disembunyikan di bawah meja, katanya dengan nada dingin, "Sayang sekali orang yang memahami dirimu tidak banyak, bahwasanya kau sendiri tidak memerlukan kepercayaan orang."

Siau Cap-it Long mengawasi kedua tangannya, lama sekali ia tak kuasa bicara, entah apa yang berkecamuk dalam sanubarinya.

"Maka sekarang kita harus mencari Sim Bik-kun, juga harus mencari Pin-pin."

”Tapi kemana kita harus mencari mereka."

"Di kota ini bukankah kau memiliki sebuah rumah?"

"Itu bukan rumah, hanya sepetak bangunan," sorot matanya menampilkan kesepian, "Selama ini darimana kumiliki rumah?"

"Tapi sekarang kau punya banyak rumah."

"Di setiap kota hampir selalu ada."

"Kau sendiri yang beli rumah itu?"

"Kapan aku pernah punya uang untuk membeli rumah?" getir suara Siau Cap-it Long, "hari ini ada yang memberi uang, hari ini pula aku hamburkan sampai habis."

"Ya, kabarnya untuk menebus seorang pelacur, tak segan kau menebusnya satu laksa tahil."

"Karena dia mau memberi, maka aku suka membeli, makin banyak aku pakai uang, makin besar jumlah yang dia berikan, makin banyak aku hamburkan uangnya, berarti menggerogoti kekuatannya." Lalu dengan menyengir ia menambahkan, "dalam hal menghamburkan uang aku kan ahlinya."

“Tapi kau tak pernah membeli rumah?"

"Buat apa aku beli rumah."

"Lalu darimana pula rumah-rumah milikmu itu?"

"Dia pula yang memberi, pernah aku menerima sekaligus 10 lembar sertifikat rumah dan seluruh isinya."

"Pin-pin pernah mampir ke rumah-rumah itu?"

"Banyak diantaranya pernah ke sana."

"Mungkin tidak timbul minatnya untuk bersembunyi di antara rumah-rumah itu."

"Kenapa harus bersembunyi?"

"Karena ingin mengasah otak, memikirkan nasib selanjutnya, mungkin dia ingin tahu apakah kau menguatirkan dia kalau tidak kelihatan beberapa hari."

"Kurasa tiada alasan dia berbuat demikian."

"Kau jelas takkan merasakan, kerena kau bukan perempuan." Sorot mata Hong Si-nio kembali menampilkan rasa kangen, rindu dan gundah, suaranya lebih lirih, "Aku juga perempuan, hanya perempuan yang dapat menyelami jalan pikiran perempuan ...."

"Jadi kau pikir juga akan bersembunyi beberapa hari begitu?"

"Akan kulakukan."

"Kenapa?"

"Karena aku tidak senang melihat engkau berpesta arak dengan teman lamamu, membicarakan soal yang aku tidak tahu, aku disisihkan di pinggir tak dihiraukan. Karena aku tidak senang melihat kau sedih karena perempuan lain, karena aku ingin tahu apakah betul kau memperhatikan diriku, karena isi hatiku sedikit pun engkau tidak tahu."

"Tapi dia ... berbeda dengan kau, dia hanya kuanggap sebagai adik."

Hong Si-nio berpaling muka, mengawasi tabir malam di luar jendela, suaranya berubah tawar, "Aku hanyalah kakakmu saja."

Siau Cap-it Long tak bicara lagi, kembali ia sadar, dirinya masih berhutang pada seseorang. Hutang yang tidak tahu kapan dapat ia lunasi. Terbayang olehnya waktu Pin-pin memandang dirinya, sikapnya yang aleman, bibirnya yang bergerak-gerak seperti ingin bicara tapi tidak terlontar kata-kata dari mulutnya, pandangan nan manis mesra begitu ... tak tahan ia menarik napas panjang, tanyanya, "Kalau kau adalah dia, kemana kau akan bersembunyi?"

“Tentunya ke rumah yang dia pernah pergi, kau pun pernah ke sana."

"Rumah-rumah itu dia pernah pergi, aku juga pernah ke sana."

"Makanya kita harus mencarinya ke sana," ujar Hong Si-nio, ia tetap menghadap keluar, lalu menambahkan dengan suara enteng, "Satu harapanku, setelah menemukannya, jangan kau anggap dia sebagai adikmu lagi."

XIV. PERUBAHAN BU-KAU-SAN-CENG

Sudah dua tahun, mungkin belum genap dua tahun, belum pernah Sim Bik-kun bisa tidur senyenyak ini. Kereta itu bergoncang di jalan raya yang tidak rata. Dia tidur meringkuk mirip orok, orok yang lelap dalam ayunan.

Maka waktu ia siuman, hampir melupakan semua duka dan lara, derita sengsara yang dialaminya selama ini. Tidur lelap yang menenteramkan adalah obat mujarab bagi seorang yang sedang diliputi kesedihan yang berkepanjangan. Waktu ia membuka mata, cahaya mentari di musim rontok terasa hangat, bayang-bayang pohon berkelebat di jendela.

Sang kusir sedang mengayun cemeti sambil berdendang lagu gembala yang amat disukainya sejak kecil, dimana waktu kecil ia menjadi penggembala sapi di kampung halaman, suara cemeti yang memecah kesunyian pagi, seolah menjadi irama yang mengasyikkan, membakar semangat hidup seorang kusir yang lagi menempuh perjalanan jauh.

Sepanjang hidup ini, Sim Bik-kun tidak pernah membayangkan, seorang yang dipandang rendah dan hina, wajah yang tidak simpatik, ternyata sudi melakukan perbuatan yang berbahaya, hanya seorang yang punya jiwa agung saja orang yang mau menolong jiwanya dari dera bahaya tanpa memikirkan imbalan dan tanpa tujuan yang munafik.

"Aku ini orang tidak berguna, tapi aku punya tiga anak, aku menolongmu demi anak-anakku itu, sepanjang hidupku ini, apa salahnya aku melakukan kerja bakti yang patut membanggakan harkat dan harga diriku."

Sim Bik-kun mengerti perasaannya, menyelami cita-citanya. Walau dirinya tidak punya anak, tapi dia menyelami seorang yang jadi ayah bunda, yang penuh kasih sayang terhadap putra putrinya.

Peduli dia orang biasa, dari kalangan papa sekalipun, yang dipandang rendah dan hina, namun apa yang dia lakukan sungguh agung, sungguh terpuji. Sebaliknya orang-orang yang suka mengagulkan diri sebagai pendekar, sering kali melupakan nilai-nilai luhur perasaan nan suci ini.

Maka bayangan Siau Cap-it Long merasuk dalam sanubarinya. Siau Cap-it Long juga pernah menolong dirinya, tanpa imbalan, tanpa tujuan, tanpa pamrih. Waktu itu Siau Cap-it Long masih jejaka polos, bersih dan jenaka. Entah sekarang, remuk redam hati ini merindukannya.

Seorang kenapa mendadak bisa berubah menjadi menakutkan? Apa benar kekuatan uang dapat mengatasi semua pengaruh ibiis?

Kereta mendadak berhenti, baru saja Sim Bik-kun berduduk, dari luar berkumandang ketukan pintu. Pek-losam membuka pintu seraya berkata, "Kurasa kau sudah bangun, satu hari satu malam kita menempuh perjalanan."

Sang kusir memang kelihatan mengantuk dan letih, perjalanan panjang memang melelahkan. Pelarian memang selalu membuat orang sengsara dan terasa panjang.

”Terima kasih," ucap Sim Bik-kun dengan haru, kecuali ucapan terima kasih, hakikatnya tak mampu ia mengucapkan kata-kata lain untuk menghibur diri.

Pek-losam meliriknya dua kali lalu menunduk pula, sikapnya seperti ragu-ragu dan curiga.

Akhirnya ia mengangkat kepala dan berkata, "Aku harus segera pulang merawat anak-anak. Aku hanya bisa mengantar kau sampai di sini."

"Di sini tempat apa?" tanya Sim Bik-kun bingung.

Wajah Pek-losam yang berkeriput jelek itu mengunjuk mimik aneh, sorot mata nan dingin, "Aku tahu kau pernah datang ke tempat ini, kenapa tidak kau turun dan melihat sendiri?"

Sim Bik-kun membetulkan letak sanggulnya, perlahan beranjak turun, berdiri di bawah sinar matahari. Cahaya mentari terasa hangat, tapi sekujur badannya mendadak menjadi kaku dingin.

Di antara popohonan nan rindang berjajar dan berbaris di sana, di bawah terik matahari, di sana berdiri sebuah perkampungan, dari kejauhan mirip sebuah bangunan istana dalam dongeng.

Sudah tentu ia pernah datang ke tempat ini. Karena tempat ini sebetulnya adalah rumahnya.

Rumah yang pasti membikin siapa saja yang melihat ingin tinggal dan memilikinya.

Bu-kau-san-ceng.

Di Bu-kau-san-ceng ada sepasang pendekar muda, pendekar muda lagi ganteng yang dihormati dan diagulkan insan persilatan, dan seorang perempuan yang cantik, ayu rupawan, mereka adalah sepasang suami isteri yang menjadi panutan dan dambaan banyak orang.

Tapi sekarang?

Terbayang olehnya hari-hari bahagia yang dahulu dirasakan di perkampungan ini. Sepanjang hidupnya dulu, walau kadang terasa kesepian, namun bebas, agung dan dihormati orang.

Lian Shia-pik bukan suami yang diangan-angkankan, tapi sepak terjangnya, perhatiannya, rasa hormatnya, sepanjang hidupnya ini tak pernah menjadi perbincangan orang lain. Dirinya mungkin menjadi yang terpenting dalam hidupnya, tapi dia tidak pernah melupakan dirinya, dan tak mungkin mengabaikan apalagi meninggalkan dirinya.

Kenyataan justru dirinya yang meninggalkan dia, membuang segala miliknya, hanya karena seorang ... Siau Cap-it Long.

Perasaan hatinya terhadap si dia, mirip lembaran sejarah yang ditulis dengan tinta merah.

Keangkeran wibawa dan rasa egoisnya seluruhnya dihanguskan menjadi abu. Apalagi perasaan nan indah dan menggejolak itu, apakah benar cukup berharga untuk dikorbankan? Apa benar selama ini tak mampu dikendalikan dan bertahan lama?

Air mata Sim Bik-kun berderai tak terbendung lagi. Tangannya terangkat membetulkan sanggul kepala yang ditiup angin, perlahan ia menyeka air mata dengan lengan baju, "Angin hari ini besar sekali."

Angin tidak kencang, tapi di relung hatinya timbul hembusan angin yang menggejolak, membuat perasaannya tidak tenang, seperti ombak lautan yang berdebur menghantam karang.

Bagaimanapun masa lalu sudah lewat, peduli apa yang pernah ia lakukan benar atau salah, ia lakukan sendiri dengan suka rela. Maka ia tidak menyesal, juga tidak pernah menggerundel.

Hidup senang atau sengsara pernah dirasakan, semua itu tanpa penyesalan.

Pek-losam berdiri di belakangnya, tidak melihat rona wajahnya, terdengar orang sedang menarik napas panjang, berkata penuh nada gegetun, "Bu-kau-san-ceng memang sesuai dengan nama besarnya. Sudah puluhan tahun aku menjadi kusir kereta, laksaan li perjalanan pernah kutempuh, belum pernah aku datang ke tempat seindah ini."

"Perkampungan ini memang indah permai," kata Sim Bik-kun menahan air mata.

Sayang perkampungan ini kini sudah bukan milikku, aku sudah tiada hubungan apa-apa dengan tempat ini. Aku sudah bukan majikan perempuan tempat ini, tiada muka aku kembali lagi ke sini.

Isi hatinya jelas takkan diucapkan kepada Pek-losam.

Sekarang dia tidak ingin membuat orang repot, tidak ingin menjadi beban orang lain. Ia insaf mulai hari ini harus berusaha hidup sendiri, sekali-kali tak boleh menjadi benalu hidup orang lain. Diam-diam ia berkeputusan, tekadnya sudah bulat. Air mata juga sudah kering.

Ketika Sim Bik-kun berpaling lagi, wajahnya sudah dihiasi senyum nan menawan, "Terima kasih, kau telah mengantarku sampai di sini, terima kasih, kau telah menolongku ...."

Kembali Pek-losam menampilkan mimik aneh, "Aku sudah bilang, tak perlu berterima kasih."

"Budi kebaikanmu terhadapku suatu hari pasti akan kubalas."

"Tidak perlu, aku menolongmu bukan ingin minta imbalan."

Mengawasi wajah orang yang buruk, timbul pula gejolak perasaan hati Sim Bik-kun, tak tahan hampir ia berlutut dan memeluknya, biar orang tahu betapa besar rasa terima kasih dirinya.

Tapi hal itu pantang ia lakukan, dia seorang rupawan, dahulu demikian, selanjutnya harus tetap rupawan. Kecuali kepada Siau Cap-it Long, selama ini belum pernah ia melakukan perbuatan yang melanggar tata susila. Maka ia hanya tertawa-tawa, katanya lembut, "Titip salamku kepada bini dan anak-anakmu, aku yakin mereka kelak akan menjadi manusia yang luar biasa, karena mereka panutan seperti dirimu."

Sesaat Pek-losam masih mengawasi wajahnya, tiba-tiba ia membalik badan dan berlari ke kereta, terus pecutnya menggelegar, keretanya dilarikan kencang tak menoleh lagi. Betapapun Pek-losam adalah laki-laki yang punya perasaan, tak berani tadi ia beradu pandang, hatinya terharu dan menyesal tak mampu berbuat lebih banyak lagi. Dari kejauhan ia berteriak, "Jagalah dirimu sendiri, hati-hati, zaman ini banyak orang jahat...."

Kereta itu sudah pergi jauh. Roda dan tapak kuda yang berlari kencang meninggalkan kepulan debu yang memanjang di belakang.

Dengan nanar Sim Bik-kun mengawasi bayangan yang makin menjauh, entah kenapa mendadak hatinya dirasuki perasaan takut yang aneh, takut yang ia sendiri tidak tahu dan tidak bisa menjelaskan sebab musababnya. Bukan seluruhnya karena kesepian, tapi rasa sabatangkara yang menggejolak dalam relung yang paling dalam, tanpa bantuan dan keputusasaan. Tiba-tiba ia menyadari sepanjang hidupnya ini ternyata dirinya tak pernah mandiri.

Sejak kecil ia hidup dalam dibimbing ayah bunda, setelah menikah ikut suami, lalu bertemu dan mengikuti Siau Cap-it Long.

Sudah dua tahun ia tidak berjumpa dengan Siau Cap-it Long, tapi relung hatinya masih terus memikirkan dia, ia hidup demi dia, hidup dengan penuh harapan.

Apalagi sudah dua tahun ini tiada orang merawat hidupnya, seorang perempuan rupawan memangnya tiada yang teguh, menyendiri, memangnya pantas ia hidup memperoleh perawatan dan bimbingan orang lain.

Sekarang mendadak ia merasa dirinya terpencil. Siau Cap-it Long sudah mati, Lian Shia-pik juga sudah meninggal, kedua orang yang menjadi dambaan hatinya sudah tiada, kini hatinya sudah beku.

Cahaya matahari benderang, perasaan hatinya malah dingin, dia merasa dirinya ingin mati saja.

Tapi biarpun mati, jangan mati di tempat ini. Jangan jenazahnya dikebumikan oleh Lian Shia-pik.

Padahal dua tahun ini ia tidak pernah mendengar beritanya. Memangnya dia sudah tenggelam dalam keputusasaan. Sim Bik-kun tak mau memikirkannya lagi, tapi tidak mungkin tidak memikirkannya.

Akhirnya ia berkeputusan untuk meninggalkan tempat ini, tempat yang banyak meninggalkan kenangan indah masa lalu. Tapi waktu kakinya bergerak, ia melihat dua orang berpakaian hijau keluar dari pintu besar berukir kuno. Bergegas ia menyingkir dan bersembunyi di belakang pohon, ia tidak ingin ada orang di sini tahu bahwa dirinya telah pulang. Banyak orang di sini mengenal dirinya, mungkin mereka terheran-heran, kenapa majikan perempuan rumah ini telah lama pergi dan tak pernah kembali lagi.

Langkah kedua orang itu makin dekat, mereka bercakap dengan riang, tertawa senang dan saling goda, dengan langkah cepat mereka memasuki bidang rimbun di tengah pepohonan yang lebat.

Dari dandanannya, jelas mereka adalah kacung atau pelayan dari Bu-kau-san-seng, dahulu para pelayan di perkampungan ini tiada yang berani sebebas itu bicara dan mondar-mandir, keluar masuk seenaknya. Apalagi raut muka mereka terasa asing bagi Sim Bik-kun. Perubahan yang terjadi selama dua tahun sungguh luar biasa, tiap orang berubah, apa yang terjadi di sini semua sudah berubah.

Bagaimana dengan Lian Shia-pik?

Awalnya Sim Bik-kun berpendapat suaminya itu mirip batu cadas di belakang perkampungan yang menjulang tinggi ke angkasa, keras, tua dan bangkotan, selamanya tidak akan berubah.

Suara tawa mereka makin dekat, dua orang ini saling rangkul pundak mendatangi, yang di sebelah kanan bermuka hitam, usianya lebih tua, temannya lebih putih, usia lebih muda, mukanya malah mirip nona yang mulai menanjak dewasa.

Mereka juga melihat Sim Bik-kun yang berada di belakang pohon. Sebab ia merasa tak perlu bersembunyi atau menyingkir.

Dengan bengong mereka mengawasi, biji matanya seperti hampir melotot keluar, siapa pun kalau mendadak berhadapan dengan perempuan cantik seperti Sim Bik-kun, pasti akan menampilkan mimik seaneh itu. Tapi para pelayan Bu-kau-san-ceng mestinya dikecualikan.

Yang berusia lebih tua bermuka hitam mendadak menyengir tawa lebar, bertanya dengan nada menggoda, "Kau datang ke sini mau apa, mencari orang? Atau mencari kami?"

Sim Bik-kun berusaha mengendalikan amarahnya, dahulu ia tidak akan mengizinkan orang-orang bangor seperti ini tinggal di Bu-kau-san-ceng, tapi sekarang ia sudah tiada hak dan kuasa untuk mencampuri urusan di sini.

Dengan menundukkan kepala ia berpikir untuk menyingkir saja.

Ternyata pemuda itu makin berani, katanya, "He, aku bernama si hitam, dia bernama si putih, kami sedang ingin membeli arak, mumpung kau datang, kenapa tidak menemani kami berdua minum dua cawan?"

Sim Bik-kun menarik muka, katanya dingin, "Apakah Lian-cengcu kalian tidak pernah memberitahu peraturan di perkampungan ini?"

"Apa Lian-cengcu? Peraturan apa?" seru si hitam melotot.

"O, aku tahu," seru si putih, "yang dia maksud tentu Lian-cengcu pemilik perkampungan ini yang dulu, dia bernama Lian Shia-pik."

"Cengcu yang dulu", seperti tenggelam perasaan Sim Bik-kun. "Apakah dia sekarang bukan Cengcu perkampungan ini?" tanyanya.

"Sudah lama bukan," sahut si hitam.

"Sudah satu tahun lalu tempat ini dijual kepada orang lain," si putih menjelaskan.

Rasa dingin di tubuh Sim Bik-kun mengendap sampai di ujung kaki.

Bu-kau-san-ceng adalah warisan leluhur keluarga Lian, seperti juga keluarga she Lian, perkampungan ini adalah milik Lian Shia-pik yang paling dibanggakan, paling disayang. Untuk mempertahankan keberadaan perkampungan ini, dia sudah berusaha berjuang keras supaya sejarah keberadaannya tidak punah. Bagaimana mungkin warisan leluhurnya sekarang, dijual kepada orang.

"Kurasa tidak mungkin," desis Sim Bik-kun sambil menggenggam tangan, "dia takkan berbuat demikian bodoh."

Si hitam tertawa, "Konon karena bangkrut, Lian-kongcu itu terpaksa menjual harta miliknya ini, jangan heran, manusia kan bisa berubah."

"Ya, kabarnya berubah karena seorang perempuan," timbrung si putih, "maka dia menjadi setan arak dan raja judi. Akhirnya celana pun digadaikan, malah punya hutang segudang banyaknya, terpaksa apa boleh buat, perkampungan inipun dijualnya."

Hancur hati Sim Bik-kun, luluh lantak kondisinya sekarang, hampir ia tak kuasa bertahan lebih lama lagi. Tak pernah terbayang dalam benaknya, karena dirinyalah Lian Shia-pik hancur, karena dirinyalah Lian Shia-pik bangkrut.

Si hitam masih terus tertawa, "Pemilik perkampungan kita yang sekarang she Siau. Siau-cengcu kita yang satu ini, wah betul-betul luar biasa, selaksa perempuan pun jangan harap bisa membuatnya runtuh."

"Marga Siau? Cengcu kalian yang sekarang bermarga Siau?" mendadak Sim Bik-kun berteriak, "siapa namanya?"

Si hitam membusungkan dada, katanya pongah, "Siau Cap-it Long, yaitu orang yang paling kaya, paling ...."

Sim Bik-kun tidak mendengar apa yang diucapkan si hitam selanjutnya, mendadak matanya gelap, orangnya pun jatuh semaput.

* * * * *

Perkampungan ini amat besar, luas dan marak.

Mengawasi wuwungan nan lancip tinggi, Hong Si-nio menghela napas, "Rumah seperti ini, kau punya berapa?"

"Tidak banyak," sahut Siau Cap-it Long, "tapi yang lebih besar dari perkampungan ini ada beberapa."

Hong Si-nio menggigit bibir, "Kalau aku jadi Pin-pin, akan kucari rumah yang paling besar untuk bersembunyi di sana."

"Ya, mungkin sekali."

"Rumahmu yang paling gede berada dimana?"

"Tak jauh dari sini."

"Kalau tidak salah Bu-kau-san-ceng tak jauh dari sini?"

Sorot mata Siau Cap-it Long menampilkan rasa sedih, "Bu-kau-san-ceng sekarang sudah menjadi milikku."

* * * * *

Ruang kembang, ruang utama tetap dan persis keadaan semula, tidak berubah karena memang tidak dirubah. Beberapa pot bunga di atas meja bertambah banyak, terutama pot kembang seruni berwarna biru itu, jenis yang paling langka, adalah pemberian Thio-jiya dari Kay-hong.

Segala sesuatunya, entah bangunan, pohon, kembang atau bebatuan, semuanya dirawat dan dijaga keasliannya, semua tetap dalam keadaan utuh seperti semula. Entah orangnya?

Air mata Sim Bik-kun membasahi selebar mukanya. Sesungguhnya ia tidak ingin pulang, kembali ke tempat ini, sayang waktu ia siuman dari pingsan, ia dapati dirinya berada di tempat lama, tempat dahulu ia tinggal.

Cahaya matahari menjelang senja menyorot masuk menyinari kursi merah itu. Itulah kursi dimana Lian Shia-pik suka duduk kalau ia melayani para tamunya, kelihatan kursi itu masih baru. Kursi takkan pernah menjadi tua karena kursi benda mati, tak punya pikiran tak punya perasaan, Tapi bagaimana dengan orang yang sering duduk di kursi itu?

Orangnya sudah gugur, dialah yang membuatnya gugur. Rumah atau keluarga ini juga gugur di tangannya. Karena Siau Cap-it Long, hampir seluruhnya hancur karenanya.

Tapi Siau Cap-it Long tidak hancur. "Siau-cengcu adalah laki-laki jempol", mestinya rumah ini milik Lian Shia-pik dan dirinya, sekarang berubah menjadi milik Siau Cap-it Long.

Betapa kejam, betapa besar deritanya, itulah sindiran yang tajam.

Sim Buk-kun berharap semua kejadian ini bukan jadi kenyataan, tapi sekarang ia benar-benar membuktikan bahwa apa yang dilihat, didengar adalah betul dan kenyataan. Belum senja, masih menjelang senja.

Angin lalu berhembus, daun-daun pohon melambai-lambai, sepertinya pohon itu juga sedang gegetun.

Kenapa Siau Cap-it Long membeli perkampungan ini? Untuk menunjukkan wibawa atau mau pamer?

Hatinya berkeputusan untuk tidak memikirkan atau membayangkan orang macam Siau Cap-it Long. Ingin rasanya ia menerjang keluar meninggaikan tempat ini, sekejap saja rasanya sudah tidak betah.

Pada saat itulah di pekarangan belakang mendadak terjadi ribut-ribut, orang berteriak, "Ada maling!"

Siau Cap-it Long adalah maling tulen, bukan saja telah mencuri semua milik mereka, juga mencuri hatinya. Kalau sekarang ada maling mencuri barangnya, itu namanya pantas dan lumrah.

Perlahan Sim Bik-kun berusaha berdiri lalu beringsut keluar, lewat pintu kecil di samping ia menerobos ke belakang, keadaan di tempat ini jelas ia amat hapal.

Belasan lelaki berpakaian serba hijau berada di pekarangan belakang, ada yang membawa pisau dapur, ada yang membawa pentung, seseorang dikepung dan dipukuli. Yang dipukuli adalah lelaki bercambang lebat, rambut kepalanya awut-awutan, pakaiannya lusuh, usianya sekitar tiga puluhan tahun.

Si hitam mengacungkan parang di tangannya sambil menggertak, "Letakkan benda yang kau curi atau kupatahkan sepasang kakimu."

Dengan kedua tangannya orang itu memeluk benda yang dianggap curian itu, mati pun tak mau dikembalikan, mulutnya menggumam ketakutan, "Aku bukan maling ... barang yang kuambil ini semula memang milikku." Suaranya serak, meski gemetar nadanya seperti amat ia kenal.

Sekujur badan Sim Bik-kun mendadak menjadi gemetar dingin, hampir beku, karena mendadak ia sadar, lelaki berpakaian compang-camping yang dituduh mencuri barang itu bukan lain adalah Lian Shia-pik adanya.

Betulkah dia Lian Shia-pik?

Dua tahun yang lalu, dia adalah pemuda gagah yang diakui kaum Bulim sebagai tokoh punya harapan, jago yang paling dihormati. Dua tahun yang lalu, pemuda yang satu ini paling mengutamakan penampilan, berpakaian perlente, rajin dan cakap ganteng.

Pakaiannya terbuat dari kain yang paling berkualitas, makan sehat tidur nyenyak, kesehatannya terjaga dengan baik, tiada noktah tak ada noda di badannya, air mukanya selalu memancarkan sinar cemerlang, senyumnya lebar, langkahnya gagah, bicaranya santun, serba lengkap. Mengapa hari ini berubah menjadi orang seperti ini? Dua tahun yang lalu, dia adalah pemuda ganteng kaya yang disegani kalangan atas, pemilik perkampungan nan megah ini. Sekarang berubah menjadi maling.

Bisakah terjadi perubahan begitu besar pada seseorang? Begitu menakutkan? Mati pun Sim Bik-kun tak mau percaya, tidak rela dan tidak mau percaya, tapi kenyataan membuatnya harus percaya. Orang itu betul adalah Lian Shia-pik.

Dia masih mengenal suaranya, mengenal tatapan sorot matanya. Kini sorot matanya sudah berubah seperti binatang yang terluka, diliputi rasa sedih, derita dan putus asa. Padahal bentuk dan tatapan mata seseorang selamanya tidak akan berubah. Mestinya Sim Bik-kun pernah bersumpah, selama hidup takkan membiarkan Lian Shia-pik melihat dirinya lagi, karena ia tidak sudi dan tidak ingin bertemu dengannya, tak tega bertemu dengannya. Dalam sekilas ini, dia sudah melupakan semuanya. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya, mendadak ia memburu ke sana, menerobos kerumunan orang banyak, memburu ke depan Lian Shia-pik.

Waktu Lian Shia-pik mengangkat kepala lantas melihatnya. Sekujur badannya seperti mendadak kena sengat listrik menjadi kaku beku, suaranya bergetar, "Kau ... betulkah engkau ...."

Mengawasi orang, air mata Sim Bik-kun tak kuat ditahan.

Mendadak Lian Shia-pik membalik badan ingin melarikan diri, ternyata gerak-geriknya sudah tak setangkas dahulu, ia tak mampu membobol kerumunan orang banyak. Apalagi Sim Bik-kun telah menarik tangannya, menahan dengan setaker kekuatannya.

Sekujur badan Lian Shia-pik menjadi lemas, perasaannya luluh. Selama menjadi suami isteri, Sim Bik-kun tidak pernah menariknya sekuat itu, tak pernah terbayangkan bahwa orang akan menarik dirinya. Mengawasi muka orang, air mata sendiri tak kuasa ditahannya lagi. Mereka saling pandang, saling bertangisan.

Adegan yang tak pernah terduga ini jelas membuat si hitam kaget, tak mengerti dan tak pernah bisa mengerti. Mendadak ia mengacungkan parang di tangan seraya berteriak, "Mampuskan dulu bocah keparat ini, berani dia mencuri di tempat kita." Parang diayun turun, dia betul-betul membacok kepala Lian Shia-pik.

Lian Shia-pik tidak mampu melawan dan tidak mau melawan, seperti binatang terluka yang jatuh dalam perangkap, terima nasib saja. Tapi pegangan Sim Bik-kun entah kenapa seperti memberi semangat dan kekuatan, seketika ia kipatkan lengannya, parang di tangan si hitam disampuknya jatuh, sekali jotos si hitam dipukulnya roboh telentang.

Orang banyak menyurut mundur, semua kaget dan heran, entah darimana datangnya tenaga orang hingga masih kuat melawan. Lian Shia-pik tidak menghiraukan keberadaan orang banyak, dengan nanar ia mengawasi Sim Bik-kun, "Aku ... selama hidup mestinya aku tidak ingin kembali."

"Aku tahu," sahut Sim Bik-kun sambil mengangguk.

”Tapi ... tapi ada sebuah benda, amat sayang kalau terbuang." Benda yang dipeluk kencang di dadanya itu adalah segulung gambar lukisan. Gambar lukisan biasa, betulkah sedemikian penting bagi dirinya?

Bersambung

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar