Bentrok Para Pendekar Jilid 03

Baca Cersil Mandarin Online: Bentrok Para Pendekar Jilid 03
Jilid 03

"Aku datang tergesa-gesa, arak yang kubawa mungkin hanya dua belas guci, kalau merasa kurang, sekarang boleh kusuruh orang turun gunung beli di kota."

"Dua belas guci mana mampu kuminum habis, umpama untuk berendam saja mungkin aku bisa mampus tenggelam."

"Lalu berapa yang ingin kau minum?"

"Sudah cukup, berhenti."

Mata Hoa Ji-giok memicing sipit, suaranya lembut, "Kalau begitu ...."

Mendadak Hong Si-nio berjingkrak berdiri, "Sekarang kita masuk kamar pengantin."
Bersama laki-laki yang masih asing baginya Hong Si-nio masuk kamar pengantin. Untuk kedua kalinya ia masuk kamar pengantin, waktu berjalan masuk lagaknya seperti pahlawan sedang maju ke medan perang.

Kamar pengantin yang satu ini tidak banyak beda dengan kamar pengantin umumnya, sepasang lilin besar warna merah menyala benderang, selimut sutra bertumpuk di pinggir ranjang bersulam burung mandarin, untuk segala keperluan pengantin, dari kepala sampai ujung kaki tersedia di kamar ini. Yang berbeda hanya mempelai perempuan tidak mirip mempelai.

Di samping Sim-sim cekikikan geli, sambil bertepuk tangan ia bernyanyi, "Hari ini waktu baik suasana gembira, kembang merah daun rimbun, tahun depan lahirlah si upik nan gemuk lucu, digendong disayang pergi bertemu ayah bunda."

Mendadak Hong Si-nio juga bertepuk riang, serunya, "Bagus sekali nyanyianmu, ada persen dari mempelai."

"Persen apa?" tanya Sim-sim gembira.

"Persen satu tamparan," tangannya benar-benar menampar ke muka Sim-sim, gadis cilik ini ternyata cukup cerdik, selicin rase tiba-tiba ia menyelinap ke pinggir terus berlari keluar sambil menutup pintu.

Hoa Ji-giok tertawa lebar, "Tak usah kau mengusirnya, toh dia harus pergi."

"Siapa bilang tidak usah diusir, aku justru sudah tidak sabar lagi."

"Sudah tidak sabar?"

"Memangnya?" mata Hong Si-nio merem melek, seperti mulai mabuk, badan berputar tubuhnya roboh di ranjang, dengan mata terpicing ia mengawasi Hoa Ji-giok, lalu bertanya, "Berapa umurmu sekarang?"

"Genap dua puluh satu," sahut Hoa Ji-giok.

"Kalau aku menikah muda, anakku mungkin sudah sebesar engkau."

"Aku memang suka perempuan yang usianya lebih tua, wanita tua makin matang, lebih romantis." Sambil bicara ia melangkah menghampiri Hong Si-nio.

"Dan kau? Kau romantis tidak?"

"Sebentar lagi kau juga akan tahu."

Wajah Hong Si-nio seperti jengah, perlahan ia memejam mata.

Dengus napas Hoa Ji-giok terasa juga makin mendekat.

Hong Si-nio mengerang perlahan, suaranya lembut, "Adik cilik, kau adalah adik cilik, aku menyayangimu.

Hoa Ji-giok juga seperti terpesona, tawanya seperti mabuk, "Kau sayang apaku?"

"Sayang kau harus mati." bentak Hong Si-nio. Mendadak tubuhnya melejit dari ranjang, hanya sekejap kaki tangan menyerang berbareng, tujuh pukulan dibarengi tiga tendangan.

Lelaki kalau di mabuk asmara, umumnya lupa daratan, dicecar serangan ganas secepat itu, lumrahnya tak mungkin menghindar. Tak nyana Hoa Ji-giok berubah tidak mabuk kepayang, sekali sambar ia tangkap kaki Hong Si-nio, gerakannya begitu cepat. Tahu-tahu Hong Si-nio merasa tubuhnya kaku, tenaga seketika terkuras habis di ujung kaki.

Dengan kalem Hoa Ji-giok mencopot sepatunya, lalu mengelus telapak kakinya, katanya dengan tersenyum, "Bagus sekali sepasang kaki ini."

Luluh badan Hong Si-nio, perempuan mana yang tidak takut geli bila telapak kaki digelitik.

Maka terbayang oleh Hong Si-nio waktu memperebutkan Keh-lo-to dulu, waktu dirinya jatuh di tangan Sugong Siok, makhluk cacad itu pun mencopot sepatunya, malah menggelitik telapak kaki dengan jenggotnya.

Hoa Ji-giok tidak berjenggot, tapi jari-jari tangannya bermain lebih lincah, rasanya lebih mengerikan.

Untung waktu itu ia ditolong Siau Cap-it Long. Untuk kali ini? Hanya Tuhan yang tahu dimana Siau Cap-it Long sekarang berada?

Saking jengkelnya Hong Si-nio ingin menangis, namun rasa geli juga membuatnya ingin tertawa mengikik, karena ditahan-tahan akhirnya ia berteriak.

Senyum Hoa Ji-giok makin mekar, "Kau berteriak-teriak, didengar orang di luar, coba bayangkan bagaimana pikiran mereka?"

Hong Si-nio tidak berani berteriak lagi, dengan menggigit bibir ia berkata, "Anggaplah aku menyerah, lekas lepaskan aku saja."

"Tidak boleh."

"Kau ... apa maumu?"

"Coba terka!"

Hong Si-nio tidak berani menerka, membayangkan saja tidak berani.

Hoa Ji-giok berkata, "Sebetulnya aku tahu kau akan menyerangku, memangnya aku sudah menunggu, tak kira kau begitu tahan uji, sampai detik terakhir baru bereaksi." Setelah menghela napas ia menambahkan, "Sayang sekali, reaksimu juga kuanggap tergesa-gesa."

"Menurutmu harus kutunggu sampai kapan?" Harapannya hanya mengulur waktu saja.

"Sampai aku naik ke ranjang.”

Hong Si-nio menghembus napas dari mulut, semula ia sudah berencana demikian, ia tahu kesempatan waktu itu pasti lebih besar keberhasilannya, sayang ia terlalu takut lagi ngeri, takut diperkosa, maklum selama ini ia memang belum pernah dipegang-pegang lelaki.

"Dari kejadian ini dapat kusimpulkan," demikian kata Hoa Ji-giok, "Kau ini belum terhitung perempuan yang lihai."

"Kau justru laki-laki yang lihai."

"Memangnya aku bukan lelaki lemah."

"Untuk kejadian ini, sudah lama kau rencanakan."

"Ya, sudah dua tiga bulan."

"Ketahuilah setiap orang merayakan hari-hari raya, hari besar, aku selalu menyembunyikan diri, menyepi sendiri, maka kau gunakan alasan sudah menikah denganku pada hari raya Toan-ngo."

"Makanya kau tidak boleh ingkar, ingkar juga percuma."

"Kau juga tahu aku minggat dari kamar pengantin."

"Banyak orang tahu kejadian itu, maka kali ini sudah kuduga dan siaga, kepada orang aku bisa bilang kau melakukan kesalahan lama." Dengan senyum memikat ia melanjutkan, "Aku malah bilang, sejak awal kau memang ingin kawin dengan aku, tapi begitu mendengar berita Siau Cap-it Long, kau minggat tak keruan peran."

"Ya, betapapun aku menyesal, orang lain pasti tidak percaya."

"Sudah nasib dan takdirmu bakal menjadi biniku."

”Tapi ... kenapa kau mau melakukan perbuatan kotor ini?"

"Karena aku suka padamu."

"Kalau benar menyukaiku, pantasnya tidak kau lakukan cara begini."

"Justru untuk membuktikan aku benar-benar menyukaimu perlu kulakukan cara ini."

"Kau... betulkah kau mau ... mau ...." tak kuasa Hong Si-nio melanjutkan.

Jari-jari Hoa Ji-giok sudah mulai membuka kancing bajunya.

Tak tahan Hong Si-nio menjerit keras.
"Tak heran orang pernah bilang kamar pengantin persis dengan tempat jagal, jeritanmu sungguh mirip orang menyembelih babi.”

"Kau ... benar ingin melucuti pakaianku?"

"Bukan hanya melucuti pakaianmu, akan kubuatkan kau telanjang."

Hong Si-nio sudah tidak mampu menjerit lagi, tiba-tiba ia merasa sekujur badan dari atas sampai bawah sudah bugil total, saking tegangnya sekujur badan terus merinding.

Hoa Ji-giok tertawa iblis, matanya sungguh kurang ajar, menjelajah seluruh lekuk tubuhnya, desis suaranya memburu, "Buat apa tegang?"

Hong Si-nio mengertak gigi, tubuhnya gemetar keras.

"Aku tahu dulu ada lelaki mengintip kau mandi, katanya sedikitpun kau tidak setegang ini."

Kondisi waktu itu jelas berbeda, ia juga tahu para lelaki itu hanya mengintip dari lubang kecil, sekarang ia ....

Kata Hong Si-nio geram, "Sekarang kau sudah cukup memandangku, apalagi yang akan kau lakukan?"

"Kau ini pengantin perempuan di kamar pengantin lagi, aku mempelai pria tentu tahu apa tugasku selanjutnya."

"Benar kau ingin mengawiniku?"

"Memangnya aku main-main?"

"Kau ... bukankah kau melihat aku ini sudah nenek-nenek?"

”Tidak kulihat nenek di sini, kondisimu persis dengan gadis muda belasan tahun."

Mendadak terasa oleh Hong Si-nio tangan orang sudah meraba pahanya, malah terus merambat naik, ternyata tangan orang halus empuk.

Hong Si-nio merasa sekujur badan menjadi lemas lunglai, Betapapun ia adalah perempuan normal, perawan ting-ting meski sudah berusia tiga puluh lima.

"Kurasakan kau amat tegang, apa benar selama ini kau belum pernah disentuh lelaki?"

Hong Si-nio mengertak gigi, air mata meleleh di pipi.

Hoa Ji-giok seperti amat terhibur, "Kelihatannya memang belum pernah disentuh lelaki, dapat mengawini perempuan seperti engkau, rezekiku sungguh amat besar ...." Perlahan ia mulai naik ke ranjang.

Hong Si-nio memejamkan mata, air matanya mengalir makin deras, katanya memelas, "Akan datang saatnya kau menyesal, ya, datang satu hari ...." Itu ancaman juga peringatan, sayang nada bicaranya sudah lemah, sekeras apapun watak wanita, dalam posisi seperti itu, akhirnya pasti menjadi lemah dan menyerah. Betapapun Hoa Ji-giok adalah lelaki ganteng.

* * * * *

IV. SEJENGKAL PUN TIDAK PERNAH BERPISAH

Dalam keadaan apa boleh buat, perempuan akan menerima nasibnya yang jelek, demikian keadaannya sekarang, ia sudah siap menerima nasib itu.

Tak nyana mendadak Hoa Ji-giok menghela napas, "Kenapa harus menunggu kelak. Sekarang aku sudah mulai menyesal."

Terpentang lebar mata Hong Si-nio, "Soal apa yang kau sesalkan?"

"Menyesal kenapa aku bukan laki-laki."

Hong Si-nio melenggong.

Perlahan Hoa Ji-giok menarik napas, meraba dengan lembut, "Kalau aku lelaki, dalam kondisi seperti ini bukankah aku riang nikmat."

"Kau ..." Hong Si-nio berteriak, "kau juga perempuan?"

"Apa perlu aku juga bertelanjang untuk kau periksa?"

Merah muka Hong Si-nio, "Kau ... kau ... jangan gila."

Hoa Ji-giok cekikikan geli, "Aku juga perempuan, kenapa kau marah malah. Apa kau kecewa?" Jari-jarinya masih menggelitik.

Merah padam muka Hong Si-nio, "Singkirkan tanganmu."

Hoa Ji-giok terkekeh, "Kalau aku lelaki tulen, apa kau juga akan berteriak menyuruhku menyingkirkan tangan?"

"Kau ... apa sudah kesetanan."

Hoa Ji-giok tertawa besar.

"Ingin kutanya kalau betul kau perempuan, kenapa kau lakukan semua ini?"

”Tadi sudah kujelaskan. Aku menyukaimu." Jari-jarinya tetap meraba-raba, "Perempuan sepertimu yang penuh daya tarik, peduli lelaki atau perempuan, pasti suka."

"Singkirkan tanganmu!" bentak Hong Si-nio.

"Justru tidak, jangan lupa kau ini biniku, takdir sudah menentukan kau adalah biniku, mau ingkar juga percuma."

Hong Si-nio menghela napas, mendadak ia sadar akan satu hal. Perempuan peduli kawin dengan lelaki macam apapun, akan jauh lebih baik daripada menikah dengan sesama perempuan. Perempuan kawin dengan wanita akan tersiksa selama hidup.
Mendadak Hong Si-nio bertanya, "Apa benar kau ingin mengawini aku."

"Sudan tentu benar."

"Yang benar saja, apa maksudmu?"

"Mau kau mendengar penjelasanku?"

"Sudan tentu mau."

"Sekarang kau sudah menjadi biniku, maka tak boleh kawin dengan orang lain lagi."

"Orang lain, siapa maksudmu?"

"Siau Cap-it Long. Siapa lagi kalau bukan Siau Cap-it Long."

Hong Si-nio menarik muka, "Kau tidak setuju aku menikah dengan Siau Cap-it Long?"

"Ya, begitu."

"Jadi kau sendiri yang ingin kawin dengan dia?"

"Aku ini suamimu, jelas takkan menikah dengan dia."

"Semua ini kau lakukan demi orang lain?"

"Ya, betul."

"Orang lain siapa?"

"Sudah tahu main tanya lagi."

"Sim Bik-kun maksudmu?"

"Aku simpati padanya, kalau Siau Cap-it Long menikah dengan kau, Sim Bik-kun pasti gila."

Dingin suara Hong Si-nio, "Kekuatiranmu berlebihan. Umpama lelaki di dunia mati seluruhnya, aku pasti tidak akan kawin dengannya."

"Ah, jujur saja?"

Hong Si-nio tak mau bicara lagi. Ia tahu kalau perempuan membual, hanya dapat membohongi lelaki. Di depan perempuan seperti Hoa Ji-giok, penjelasan apapun takkan berguna.

Hoa Ji-giok menghela napas, "Satu hal terbukti, begitu tahu Siau Cap-it Long ingin bertemu, kau lantas berada di sini."

"Bukankah kau kemari juga lantaran dia?"

"Bukit berbatu ini daerah gersang, sepi lagi belukar. Memang di sini markas pusat kawanan berandal di Kwan-tiong, sarang para penyamun. Saat ini di tempat ini berdatangan tokoh-tokoh kosen dari berbagai golongan."

"Makhluk aneh yang duduk di atas topi itu, apakah dia termasuk tokoh besar?"

"Siapa pun dia kalau tega mengutungi dua kaki dan satu tangan sendiri, dia boleh terhitung tokoh yang luar biasa."

Mau tidak mau Hong Si-nio harus mengakui, Jin-siang-jin betul lelaki tulen, lelaki tulen yang tegas pasti adalah orang kuat.

"Demikian juga Le Jing-hong, datang ke sini karena ingin memenggal kepala Siau Cap-it Long."

"Le Jing-hong dan Siau Cap-it Long juga bermusuhan?"

"Le Jing-hong adalah bapak Le Kong. Bukankah Le Kong mampus di tangan Siau Cap-it Long?"

"Pantas Le Kong tidak pernah mau menjelaskan asal-usulnya, ternyata bapaknya penyamun tunggal."

"Sang bapak jelas jauh lebih kuat dan lihai dari anaknya."

"Ya, paling tidak Le Jing-hong bukan laki-laki palsu."

"Kedatangan Kim-pou-sat ke tempat ini jelas tidak bermaksud baik.”

"Kecuali mereka, masih banyak yang bermaksud jahat. Hanya aku yang berbeda dengan mereka."

"Memangnya kau ini orang baik?"

"Memang aku orang baik."

"Untuk apa orang baik sepertimu ke tempat ini?"

"Orang baik tentu akan berbuat baik."

"Berbuat baik apa?"

Tidak langsung menjawab, Hoa Ji-giok balas bertanya, "Kau sendiri untuk apa datang ke sini."

"Kau sudah tahu kalau Siau Cap-it Long yang mengundangku kemari."

"Dia sendiri yang mengundangmu?"

"Bukan."

Sejak berpisah dahulu, hingga sekarang dia belum pernah bertemu dengan Siau Cap-it Long.

"Jadi kau hanya mendengar omongan orang lain, di Kangouw dia menyiarkan berita supaya kau ke tempat ini untuk bertemu dengannya."

"Karena dia juga tak bisa mencariku, Selama dua tahun ini kami kehilangan kontak sama sekali."

"Kalau demikian, bagaimana kau tahu berita itu bisa dipercaya?"

Hong Si-nio menghela napas geleng-geleng kepala, dia memang tidak tahu. Kedatangannya kali ini hanya mengadu nasib.

"Bukan mustahil berita itu sengaja disiarkan orang lain, memancingmu ke tempat ini lalu menjebakmu untuk memancing kedatangan Siau Cap-it Long."

"Sekarang setelah kupikir-pikir, memang betul seperti ditipu orang."

"Siapa pun bisa tertipu, maka yang tertipu bukan hanya engkau."

"Kecuali aku, siapa lagi yang tertipu?"

"Sim Bik-kun."

"Mungkinkah dia juga kemari?"

"Dia pasti datang."

"Jadi selama ini dia tidak bersama Siau Cap-it Long?"

"Tidak. Selama dua tahun, seperti juga engkau, terus mencari jejak Siau Cap-it Long."

Hong Si-nio mengerut alis, "Bukankah hanya karena melirik Sim Bik-kun dua kali, maka mata Cia Thian-ciok menjadi buta?"

"Yang dilirik Cia Thian-ciok bukan Sim Bik-kun."

"Bukan dia?"

"Wanita cantik di dunia ini bukan hanya Sim Bik-kun seorang. Perempuan cantik yang mendampingi Siau Cap-it Long bukan hanya Sim Bik-kun saja."

Hong Si-nio menggigit bibir, "Bajingan itu kenapa selalu mendapat rezeki."

"Maka kubilang akan datang saatnya dia tertimpa musibah."

"Kurasa sepanjang hidupnya, dia akan selalu tertimpa sial."

"Kali ini Sim Bik-kun malah lebih sial dibanding dia."

"Lho?"

"Untuk memancing ikan besar, menjadikan Sim Bik-kun sebagai umpan, hasilnya mungkin lebih manjur."

"Umpan pancing memang lebih sial dibanding ikannya sendiri."

"Betul sekali, saat ikan belum terpancing, umpan kan sudah terkait di kail."

"Apalagi bukan hanya satu kail, dia malah terkait dua kail."

"Dua kail."

"Benar dua kail besar."

"Kail besar untuk memancing ikan besar."

"Demikianlah Sim Bik-kun sudah terkail kencang oleh mereka, dia sendiri malah tidak tahu."

Mata Hong Si-nio melirik, "Sepertinya kau amat memperhatikan dia?"

"Aku kan orang baik."

"Kadang orang baik juga bermaksud jahat."

"Agaknya kau cemburu."

"Aku hanya sedikit heran."

"Yang benar bukan hanya Sim Bik-kun yang kukuatirkan, juga prihatin terhadap Siau Cap-it Long.”

"0,ya?"

"Maka aku harap kau mau membantuku, menurunkan Sim Bik-kun dari kail itu. Kalau kail tanpa umpan, ikan pasti takkan terpancing."

"Kenapa aku harus membantumu? Siapa tahu kau inilah kailnya?"

"Kau harus percaya padaku."

"Apa dasarnya?"

"Aku kan suamimu. Perempuan kalau suami sendiri tidak dipercaya, siapa lagi yang dia percaya?"

"Untung kau perempuan. Jika tidak, aku bisa mati kau pincut."

Hoa Ji-giok tertawa lebar, "Biar sekarang aku memincutmu sampai mati."

Jari-jarinya mulai bergerak lagi, bergerak di tempat-tempat vital yang membuat sekujur tulang Hong Si-nio menjadi lunglai, saking tak tahan ia berteriak, "Kalau tidak segera kau singkirkan jari-jari tanganmu, aku ... akan ... aku akan..”

"Kau akan apa?" goda Hoa Ji-giok.

Dengan kencang Hong Si-nio menggigit bibir, "Akan kuberikan topi hijau untuk kau pakai."

* * * * *

Hoa Ji-giok mengenakan pakaian baru mirip pakaian kebesaran para pejabat istana, kelihatan tampangnya lebih cerah, bercahaya mirip burung Hong yang mengembangkan sayap dan bulu-bulunya yang enak dipandang. Berdiri di depan kaca tembaga berlenggang-lenggok mirip peragawan yang lagi beraksi di depan penonton, sorot mata dan mimiknya menunjukkan bahwa dia amat puas dengan keadaannya sekarang.

"Tak heran banyak orang bilang perempuan paling senang berkaca, apalagi saat perempuan mengenakan pakaian model terbaru."

Hoa Ji-giok juga tertawa, "Betul, memang itulah ciriku, perut boleh lapar, pakaian baru tidak boleh tidak dipakai." Lalu ia menjelaskan lebih jauh, "Sebab kebanyakan orang melihat bajumu dulu, baru mengawasi siapa pemakainya."

"Waktu orang mengawasi pakaianmu, sering kali lupa membedakan kau ini sebetulnya lelaki atau perempuan."

"Sedikitpun tidak salah. Walau banyak orang merasa aku ini lebih mirip perempuan, pasti tiada orang mengira, kalau aku ini perempuan tulen."

"Lalu kenapa kau sering dan lebih suka berdandan pria?"

"Karena aku suka perempuan, bukankah perempuan justru menyukai pria."

"Biasa kalau tidur, apa kau juga berdandan seperti itu?"

"Kalau tidur aku lebih suka telanjang, tapi saat ini aku belum ingin tidur."

"Bukankah sekarang saatnya orang tidur?"

"Bukan."

"Apalagi yang akan kau lakukan?" tanya Hong Si-nio. ”Aku akan bertamu," sahut Hoa Ji-giok.

"Tengah malam buta rata, masih ada yang menjamu orang?"

"Di tempat seperti ini, siang hari adalah waktu orang tidur."

"O, jadi penduduk daerah ini semua kucing malam?"

"Soalnya kalau siang mereka pantang bertemu orang."

Berputar biji mata Hong Si-nio, "Kurasa kau perlu seorang pendamping."

"Pengantin baru selangkah pun tak boleh berpisah. Apalagi orang yang punya kerja, kali ini juga adalah sahabat lamamu."

”Sahabat lamaku? Kim-pou-sat?"

"Bukan."

"Lalu siapa?"

"Daerah ini termasuk kekuasaan tiga belas markas Kwan-tiong, yang jadi tuan rumah tentu yang berkuasa di sini."

"Kwi-to Hoa Ping?"

"Betul sekali."

"Bukankah dua tangannya sudah buntung?"

"Tanpa tangan orang masih masih bisa mengundang tamu dan mengadakan pesta bukan?"

"Masih ada selera dia menjamu para undangan?"

"Apapun alasannya, kartu undangan sudah disebar luas atas namanya"

"Kurasa hanya namanya saja yang dicantumkan dalam undangan, semua rencana ini tentu dikendalikan seseorang dari belakang layar."

"Kau ini memang setan cerdik."

"Siapa orang di belakang layar itu?"

"Ya aku ini."

"Sudah kuduga, kalau bukan engkau yang mengadakan pesta, memangnya siapa setimpal mengundangmu."

"Perempuan kalau ingin disukai lelaki, ia harus pura-pura pintar."

"Selain engkau, masih ada tamu lain?"

"Orang-orang di daerah ini, kurasa semua dia undang."

"Jin-siang-jin, Le Jing-hong, Kim-pou-sat apakah juga diundang?"

"Mereka pasti hadir."

"Kenapa?"

"Sebab yang datang malam ini ada undangan khusus."

"Siapa?"

"Sim Bik-kun."

Hong Si-nio melongo, akhirnya menghembuskan napas dari mulut, "Perjamuan malam ini kelihatannya bakal ramai."

Senyum Hoa Ji-giok penuh arti, "Ya, pasti ramai...."

* * * * *

Kwi-kik-tong, aula-besar tempat perjamuan terang benderang. Kwi-to, si golok cepat, Hoa Ping sudah nongkrong di kursi kebesaran berlapis kulit harimau, mantel merah menutupi badannya, tapi muka lebar itu kelihatan pucat pias. Seperti patung ia duduk di singgasana tanpa gerak, tanpa sikap tanpa perasaan, orang mondar-mandir di depannya seperti tidak terlihat olehnya. Sungguh tidak mirip tuan rumah, sementara tamu yang sudah hadir juga tidak kelihatan gembira.

Selain Kim-pou-sat, air muka hadirin yang lain kelihatan jelek, Jin-siang jin tetap bercokol di kepala si raksasa, Le Jing-hong tetap memegang gendewa emas seperti siaga siap turun tangan bila perlu.

Tiada orang buka mulut, tanpa sapa tiada pembicaraan. Kehadiran mereka memang bukan untuk tuan rumah, dalam hal ini mereka tidak perlu pura-pura.

Namanya ruang pesta, mestinya riuh rendah, kenyataan sepi senyap.

Menyusul Hoa Ji-giok muncul bersama Hong Si-nio, ibarat di tengah-tengah ayam mendadak muncul dua ekor burung merak.

Dalam perjamuan macam apa saja, Hong Si-nio pasti selalu diagulkan sebagai tamu agung. Demikian pula malam ini, sekujur badannya seperti memancarkan cahaya, siapa pun takkan mengira perempuan yang satu ini sudah berusia tiga puluh lima tahun, malah baru saja mati sekali.

Begitu Hong Si-nio muncul, mata hadirin semua terbelalak, alis mata berkerut. Melihat seorang yang baru saja mati tiba-tiba muncul dalam keadaan segar bugar, berdandan begitu ayu rupawan, sungguh merupakan pengalaman yang luar biasa.

Hong Si-nio mengerling tajam kepada tiap hadirin, senyum lebar mengawali pembukaan katanya, "Baru setengah hari tidak bertemu kalian sudah tak mengenalku lagi?"

Mendadak Kim-pou-sat terbatuk-batuk, seperti mendadak diserang demam.

"Kau sakit ya?" tanya Hong Si-nio.

Tawa Kim-Pou-sat dipaksakan, "Jika aku sakit pasti sakit rindu. Setiap kali bertemu kau, pasti terjangkit penyakit yang sama."

"Untuk selanjutnya jangan lagi sakit rindu, awas Iho, lakiku bisa cemburu."

"Lakimu?" Kim-pou-sat melongo. "Lakiku ya suamiku, masa tidak tahu?"

"Jadi kau ... sudah menikah?" tanya Kim-pou-sat.

"Wanita mana saja, cepat atau lambat kan harus menikah."

"Menikah dengan siapa?" tanya Kim-pou-sat.

"Dengan aku," seru Hoa Ji-giok.

Kim-pou-sat tertegun, semua hadirin juga melenggong.

Hong Si-nio berpaling ke arah Jin-siang-jin, "Persoalanku dengan kau kini sudah seri."

"Urusan apa seri?" tanya Jin-siang-jin.

"Tadi aku sudah mati satu kali."

Jin-siang-jin sudah mendekap mulut seperti mau batuk, batuk dan batuk.

"Mati dan kawin, antara kedua peristiwa itu memang pengalaman yang rumit dan jarang dialami manusia, dalam satu hari aku malah mengalami keduanya. Coba kalian bilang, aneh tidak pengalamanku ini?"

Hong Si-nio berjalan di depan Hoa Ping, dengan senyum manis ia menyapa, "Sudah dua tahun kita tidak bertemu."

"Dua tahun," sahut Hoa Ping manggut, "tepat dua tahun."

"Hitung-hitung kau dan aku seperti sudah akrab belasan tahun, sahabat lama bukan."

Dingin suara Hoa Ping, "Aku bukan sahabatmu. Aku tidak punya sahabat."

"Kau sudah tidak punya tangan, tetap boleh punya sahabat, tanpa tangan orang masih bisa bertahan hidup, orang yang tidak punya teman, hidupnya akan susah."

Berkerut kulit daging di wajah Hoa Ping, mendadak ia berdiri terus menerjang keluar tanpa menoleh lagi.

Hong Si-nio menghela napas gegetun, ia berpaling mencari si pincang, tadi dilihatnya orang ini duduk di belakang Jin-siang-jin, sejauh ini Hong Si-nio ingin sekali tahu siapa gerangan dia, tapi bayangannya sudah tidak kelihatan.

"Kenapa dia selalu menghindar, kenapa tidak berani berhadapan dengan aku?" demikian batinnya.

Hong Si-nio tidak ingin memikirkan hal itu. Baru saja ia duduk bersama Hoa Ji-giok, Sim Bik-kun kelihatan muncul. Pertama kali melihat Sim Bik-kun, Si-nio sudah merasa selama hidupnya Sim Bik-kun adalah wanita yang paling lembut, paling cantik lagi angkuh. Sampai detik ini ia masih punya parasaan yang sama.

Tapi Sim Bik-kun sudah agak berubah, berubah diam, kelihatan risau juga agak kurus. Anehnya perubahan itu justru membuatnya kelihatan lebih cantik, cantik yang bisa membikin orang mabuk kepayang.

Kerlingan matanya tetap bening lagi lembut, ibarat air mengalir di musim semi beriak ditiup angin, rambutnya hitam mengkilap, pinggang yang ramping terlihat gemulai, seperti untaian dahan pohon yang menari di musim semi.

Sim Bik-kun bukan tipe wanita yang menimbulkan gairah bagi lelaki yang mengawasinya. Karena pria macam apa saja begitu melihat dia, sengaja atau tidak, tanpa sadar akan melupakan segalanya. Saat ini ia sedang berjalan masuk pelan-pelan. Tidak dibuat-buat, gerak-geriknya tetap memperlihatkan keagungan dan suci.

Pakaian yang melekat di badannya bukan dari bahan mahal, potongannya juga umum saja, tanpa pupur tiada hiasan melekat di wajahnya, bagi wanita secantik dia, barang-barang itu justru berlebihan.

Betapapun mahal perhiasan yang dipakai, takkan mengurangi cahaya kepribadiannya. Betapapun anggun ia berdandan, takkan menambah sedikit jua. kecantikannya. Perempuan yang serba sempurna seperti dia kenapa nasibnya begitu nelangsa?

Mendadak seluruh orang yang hadir dalam ruang besar itu napasnya seperti serentak berhenti. Inilah Sim Bik-kun, wanita tercantik di seluruh Bulim.

Akhirnya orang banyak melihat dan kini berhadapan langsung dengan Sim Bik-kun.

Berita tentang hubungannya dengan Siau Cap-it Long, kisah yang mengharukan tapi indah itu, entah mereka pernah mendengarnya berapa kali?

Kini sang primadona sudah berdiri di hadapan mereka. Niatnya ingin mengawasi dan mengawasi, tapi tidak berani. Bukan karena takut dianggap kurang ajar, tapi lantaran dua pasang mata di belakang Sim Bik-kun.

Sim Bik-kun bukan datang sendiri, dua orang mengintil di belakangnya. Dua orang lelaki tinggi kurus, mirip dua batang bambu saja.

Jubah panjang yang membungkus tubuh lencir itu ternyata terbuat dari bahan halus lagi mahal, satu merah yang lain hijau pupus, merah mirip apel, hijau seperti daun pisang.

Sikap dan tindak-tanduk mereka kelihatan amat lelah, rambut dan jenggot sudah memutih semua, tapi begitu mereka memasuki ruang besar, semua yang hadir langsung merasakan adanya hawa membunuh dan desakan arus yang menyesakkan napas.
Tokoh kosen Bulim memandang jiwa bagai barang taruhan, maka dari tubuh mereka pasti memiliki hawa yang mengundang ancaman bagi lawan. Siapa pun insan persilatan bisa merasakan bahwa kedua orang tua ini, entah sudah berapa banyak orang yang pernah mereka bunuh.

Begitu dua orang ini masuk. Muka Le Jing-hong berubah lebih dulu. Mereka termasuk tokoh seangkatan, Le Jing-hong tentu tahu asal-usul kedua orang tua ini.

Hong Si-nio juga tahu, tak tahan ia menghela napas, "Itulah kailnya."

"Ya, dua kail," ujar Hoa Ji-giok.

"Aku pernah melihat mereka."

"Di Hoan-ou-san-ceng kediaman Siau-yau-hou?"

Hong Si-nio memanggut.

Hari dimana Siau Cap-it Liong menentukan waktu dan tempat duel. Dua orang tua ini bersua di tengah perjalanan.

"Tentu sekarang kau sudah tahu," kata Hoa Ji-giok, "omonganku tidak salah bukan?"

Hong Si-nio memanggut lagi. Ia tak tahu apa hubungan orang ini dengan Siau-you-hou, ia hanya pernah melihat mereka di tempat kediaman Siu-yau-hou. Kalau mereka orang dari perguruan Siau-yau-hou, jelas tidak menaruh simpati terhadap Siau Cap-it Long.

"Cobalah kau berusaha supaya Sim Bik-kun tahu."

"Sukar kutemukan caranya."

"Di belakang kita ada sebuah pintu, sudah kau lihat?"

Hong Si-nio melihat sebuah pintu, kecil lagi sempit.

"Keluar dari pintu itu kau akan melihat sebuah rumah kayu yang kecil."

Hong Si-nio mendengar penuh perhatian.

"Tempat itu khusus untuk keperluan kaum hawa, kalau kau dapat membawa Sim-Bik-kun ke sana, kau akan bebas bicara dengannya."

Laki-laki yang hadir di ruang ini selalu jaga gengsi, yakin tidak akan ikut ke sana mencuri dengar pembicaraan mereka.

"Baik, akan ku usahakan."

Mereka berbisik-bisik, maklum pengantin baru kalau asyik-masyuk kan lumrah. Tapi dua orang lelaki beruban itu menatap dengan tajam tidak berkedip.

Hong Si-nio tahu mereka pasti tak mungkin mendengar bisik-bisiknya, namun wibawa pandangan itu yang mengejutkan.

Syukurlah ia lihat Sim Bik-kun tengah menoleh ke sini dengan senyum manis lembut. Sim-Bik-kun juga kenal 'Pengantin yang mengejutkan' itu sedang tertawa sambil memberi tanda isyarat.

Kakek baju merah mendadak berkata, "Sungguh tak nyana, Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to, Cui-hun-tui-gwat Cui-siang-biau, kalian juga ada di sini."

Kakek baju hijau menambahkan, "Dia pasti tidak menduga di sini bertemu kita."

Membesi muka Le Jing-hong, suaranya ketus, "Kalian belum mampus, sungguh tak terduga."

"Ya, sebentar lagi kau pasti mampus," jengek kakek baju merah.

"Kalau bukan kami menaruh belas kasihan, tiga puluh tahun lalu kau sudah jadi bangkai," demikian jengek kakek baju hijau.

"Betul, sejak lama mestinya aku sudah mampus, memangnya aku biasa malang melintang seorang diri, seorang pembantu juga tidak punya."

"Waktu aku melabrakmu dulu, dia tidak ikut turun tangan?" bentak kakek baju merah.

"Kapan saja," jengek kakek baju hijau, "seorang diri aku akan membuatmu takluk."

"Ya, kalau aku punya pembantu, tidak akan kusuruh dia ikut mengeroyok satu lawan, cukup berdiri di pinggir memberi dukungan saja."

"Bagus sekali," seru kakek baju merah.

"Patut dipuji," kata kakek baju hijau.

"Kau dulu yang maju atau biar aku yang menyikatnya?" tanya kakek baju merah.

"Kali ini biar giliranmu saja," ujar kakek baju hijau.

Le Jing-hong bergelak tawa, "Bagus, bagus sekali, hutang piutang tiga puluh tahun lalu memang sudah saatnya diperhituhgkan."

Tiga orang ini sudah sama-sama tua bangkotan, tapi watak keras mereka tetap tidak berubah, berangasan lagi suka berkelahi. Permusuhan tak berarti tiga puluh tahun lalu sampai sekarang belum juga dilupakan.

Le Jing-hong sudah berjingkrak berdiri, kakek baju hijau juga sudah membalikkan badan.

Sim Bik-kun yang sejak tadi berdiam diri mendadak menghela napas, katanya perlahan, "Kalau para Cianpwe ingin membunuh orang di sini, kuanjurkan bunuh dulu tuan rumahnya." Suaranya masih halus merdu, namun ucapannya cukup tajam. Hidup mondar-mandir di luar selama dua tahun belakangan ini sepertinya banyak yang ia serap, pengalaman pun tambah banyak.

Kakek baju hijau menatap Le Jing-hong, jengeknya dingin, "Baiklah, kita tunda dulu persoalan kita."

Le Jing-hong balas menjengek, perlahan ia duduk kembali di tempatnya.

Hong Si-nio tertawa lega. Ia menghampiri Sim Bik-kun, menarik tangannya sambil tersertyum lebar. "Tak kunyana kau pun datang, tentu kau tak menduga aku juga ada di sini bukan?"

Dengan tawa manis Sim Bik-kun mengangguk.

"Untung antara kau dan aku tiada perhitungan ruwet yang perlu diselesaikan di sini," ujar Hong Si-nio.

"Kau masih tidak berubah," kata Sim Bik-kun.

"Kau justru agak berubah."

Bertambah rona jengah Sim Bik-kun, perlahan ia menunduk tanpa bersuara.

"Aku tetap adalah pengantin yang mengejutkan orang sampai mati. Tiap kali aku bertemu dengan kau, selalu aku sedang jadi pengantin."

Pandangan Sim Bik-kun penuh selidik dan heran, tapi ia tidak bertanya kenapa hari ini mendadak bisa jadi pengantin lagi. Maklum sebagai gadis kelahiran keluarga bangsawan yang ketat adat istiadatnya, sejak kecil Sim Bik-kun sudah diagulkan sebagai gadis suci yang selalu dapat menjaga diri, tak pernah ia bertanya atau mencampuri urusan pribadi orang lain.

Berkedip-kedip mata Hong Si-nio, sesaat ia mengawasi muka orang, lalu berkata, "Kau tentu telah menempuh perjalanan jauh dan baru sampai di sini."

"Ya," sahut Sim Bik-kun pendek.

"Jadi kau sudah...." mendadak ia berbisik di telinga Sim Bik-kun.

Merah jengah selebar muka Sim Bik-kun, dengan malu-malu ia mengangguk.

Hong Si-nio malah tertawa lebar, "Hal ini tidak perlu dibuat malu, hayo, kuantar kau." Lalu ia pegang tangan Sim Bik-kun serta ditariknya ke sana, lewat pintu sempit.

Dua kakek itu saling pandang sekejap, rona muka mereka dilembari rasa lega, mereka maklum untuk keperluan apa Hong Si-nio mengajak Sim Bik-kun keluar lewat pintu kecil lagi sempit itu, Malah dalam hati mereka menganggap Hong Si-nio adalah perempuan baik hati, perempuan luar biasa, tidak peduli tata krama. Sebagai pengantin yang harus melayani tamu di ruang perjamuan, dia rela mengantar tamu pergi ke belakang. Kecuali Hong Si-nio yakin tak ada perempuan lain yang mau melakukan.

Di luar pintu sempit itu ternyata ada sebuah rumah papan kecil. Di luar rumah papan ada sebuah tangga kecil, dengan menarik Sim Bik-kun, Hong Si-nio mengajak Sim Bik-kun menaiki tangga, masuk lewat pintu kecil yang juga sempit, pas untuk lewat satu orang dengan badan miring.

Rumah ini kecil, tapi serba bersih. Setelah menutup pintu serta dipalang dari dalam, Hong Si-nio baru menarik napas lega, kini ia sadar tempat ini memang bagus untuk sesama perempuan berbincang tentang urusan pribadi, lelaki bernyali besar juga takkan berani datang ke sini mencuri dengar pembicaraan mereka.

"Sekarang kita boleh ngobrol tentang apa saja di sini, jangan kuatir didengar orang lain."

”Kau ... kau mau bicara dengan aku?" tanya Sim Bik-kun.

"Ada urusan pribadi yang ingin kubicarakan denganmu, tapi kalau kau sudah tidak tahan, aku boleh menunggu ...."

Di ujung rumah ada sebuah kayu kotak, bagian atas ditutup kain bersulam dengan pelipir garis emas. Sim Bik-kun tampak makin jengah, kepalanya menunduk lebih rendah, matanya terlongong mengawasi kotak kayu dengan tutup kain yang indah itu.

"Hayo lekas," Hong Si-nio mendesak, "tempat ini takkan bau, tapi lama-lama bisa sumpek."

Dengan memberanikan diri, Sim Bik-kun masih ragu, ”Tapi kau ... kau ...."

Hong Si-nio tertawa, akhirnya ia mengerti, "Maksudmu aku harus keluar?"

Dengan jengah Sim Bik-kun mengangguk.

"Aku kan perempuan, tidak usah malu apalagi takut? Bagaimana kalau aku berpaling muka saja?"

”Ti ... tidak," Sim Bik-kun tetap malu. Mimpi pun tak pernah terpikir olehnya, harus buang hajat sekamar dengan orang lain.

Mengawasi muka orang, hampir saja Hong Si-nio tertawa geli, syukur masih bisa ditahan, ia berkata perlahan, "Baiklah, biar aku keluar saja, tapi cepat ya, masih ada yang ingin kubicarakan."

Sembari bicara dia mengangkat palang pintu lalu mendorong daun pintu.

Seketika ia tertegun, daun pintu ternyata tidak bergeming, tidak bisa dibuka. Memangnya digembok orang dari luar, maunya mengurung mereka bersama. Awalnya Hong Si-nio menganggap dirinya dipermainkan tangan jahil, namun sebelum ia bertindak lebih lanjut, ia rasakan rumah kecil ini bergoyang lalu bergerak, makin lama bergerak maju lebih cepat.

Rumah kecil ini ternyata bisa berjalan. Daun pintu tetap tak bisa dibuka, didorong ditarik juga percuma. Telapak tangan Hong Si-nio mulai berkeringat, ia sadar kejadian ini bukan main-main.

Kecuali pintu sempit itu, rumah ini tiada jendela, tempat buang hajat jelas tiada jendela, apalagi tempat ini khusus untuk wanita. Dengan mengertak gigi Hong Si-nio menerjang pintu, biasanya kalau pintu terbuat dari papan dengan mudah bisa ditendangnya jebol. Tak nyana ditendang, dipukul dan ditumbuk, badan sendiri malah terpental mundur.

Muka Sim Bik-kun mulai memucat, "Apa yang terjadi?"

Hong Si-nio menarik napas dalam, "Kelihatannya aku ditipu."

"Ditipu siapa?"

"Yang pasti ditipu perempuan. Laki-laki yang mampu menipu aku saat ini mungkin belum lahir."

"Siapa perempuan itu?" desak Sim Bik-kun.

"Hoa Ji-giok."

"Siapa pula Hoa Ji-giok?"

"Dialah suamiku."

Sim Bik-kun melotot. Ia jarang mengunjuk rasa kaget di depan orang lain, kini ia mengawasi Hong Si-nio dengan mata terbelalak, seperti mengawasi seorang yang tiba-tiba menjadi gila.

"Aku ditipu suamiku, suamiku adalah juga perempuan ..." Sampai di sini ia menarik napas lagi, "Kulihat kau menyangka aku sudah gila."

Sim Bik-kun tidak menyangkal.

"Dia menyuruhku memancingmu masuk ke rumah kecil ini, aku harus kasih tahu bahwa dua kakek itu bukan orang baik."

"Mereka bukan orang baik?"

"Sebab engkau dimanfaatkan sebagai umpan untuk memancing ikan besar, yaitu Siau Cap-it Long." Dengan gemas ia melanjutkan, "Sekarang baru aku tahu, aku adalah ikan kakap yang lebih goblok dibanding babi, begitu mudah aku terpancing olehnya."

"Dua orang Cianpwe itu pasti bukan orang jahat," Sim Bi-kun meyakinkan, "selama dua tahun ini, kalau bukan mereka melindungi aku, aku ... aku tidak akan bertahan hidup sampai sekarang."

"Tapi terhadap Siau Cap-it Long, mereka ...."

“Terhadap Siau Cap-it Long mereka juga tidak bermusuhan. Waktu di Hoan-ou-san-ceng, secara diam-diam mereka membantunya, sebab mereka juga pernah dirugikan oleh Siau-yau-hou."

Ia berusaha mengendalikan diri, waktu mengucap nama Siau Cap-it Long tadi, mimik matanya menampilkan rasa sedih yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bayangan masa lalu nan indah, manis mesra tapi juga pahit getir, jelas tak terlupakan. Dua tahun sudah ia tidak pernah tidak merindukan dirinya? Hati ini hampir hancur tersayat-sayat. Entah darah atau keringatnya, keperkasaan dan kemesraannya, terbayang betapa bening sepasang bola matanya.

"Siau Cap-it Long, dimanakah dikau?" Waktu ia memejam mata, air mata meleleh dipipi.

Dengan terlongong Hong Si-nio mengawasinya, ia maklum apa yang sedang dipikir orang, sebab hatinya juga sedang merindukan orang yang sama.

"Jadi selama ini kau juga tidak pernah melihat atau mendengar beritanya?" Ia ingin bertanya, namun tidak sampai hati membuat Sim Bik-kun sedih.

"Walau hari itu aku ikut dia pergi, namun tak pernah menemukan dia lagi." Sim Bik-kun juga tidak melontarkan isi hatinya ini, sebab lidahnya kelu, tenggorokan juga terasa gatal.

Rumah itu terus bergerak, pindah tempat dengan cepat.

Hong Si-nio malah tertawa, "Biasanya tempat ini dipakai orang untuk buang hajat, kita malah bercucuran air mata, coba katakan lucu tidak?"

Suaranya cukup keras, seperti selama hidup ini tidak pernah melihat kejadian yang lucu sekali. Tapi siapa dapat merasakan di antara alun tawanya itu tersembunyi perasaan getir, duka lara.

Seorang di kala benar-benar berduka, mestinya berusaha mengunjuk tawa, namun berapa banyak orang di dunia ini yang bisa tertawa dalam kedukaan.

Tak tahan Sim Bik-kun mengawasinya nanar. Kini sikapnya sudah berubah, ia maklum orang yang dia awasi ini adalah wanita tersayang, perempuan yang harus dihormati.

Hong Si-nio juga sedang menatapnya, "Kejadian ini sungguh menggelikan, kenapa tidak tertawa saja?"

"Aku ... aku ingin tertawa, tapi tidak bisa tertawa."

Hong Si-nio mengulur tangan mengelus rambut Sim Bik-kun, suaranya halus lembut, ”Tak usah sedih, aku yakin lekas sekali kita akan bertemu dengan dia."

"Apa benar?" Sim Bik-kun kurang percaya.

"Hoa Ji-giok memanfaatkan kau dan aku untuk mengancam Siau Cap-it Long. Maka dia akan membuat Siau Cap-it Long tahu kau dan aku jatuh di tangannya."

"Menurutmu dia akan datang mencari kita?"

"Dia pasti datang."

"Tapi Hoa Ji-giok itu ...."

"Jangan kau menguatirkan dia, memangnya apa yang bisa dia lakukan terhadap kita? ... Apapun yang akan terjadi, dia tidak akan lupa bahwa dirinya juga seorang perempuan." Wajahnya tampak tersenyum simpul, padahal perasaannya makin tenggelam. Sebab ia cukup paham kalau perempuan lawan perempuan, kadang jauh lebih berbahaya, jauh lebih menakutkan dibanding perbuatan lelaki.

Sungguh sukar terpikir olehnya, Hoa Ji-giok akan menggunakan cara ini untuk menghadapi dirinya dan Sim Bik-kun, tak berani ia membayangkan.

Pada saat itulah, rumah yang berjalan ini mendadak berhenti. Rumah ini tidak bergeming lagi. Di luar tetap sunyi tanpa ada suara. Hawa dalam rumah makin pengap, lampu yang semula digantung di dinding juga mendadak padam.

Keadaan berubah gelap gulita, berhadapan muka pun tak dapat melihat wajah orang.
Terasa oleh Hong Si-nio seperti dirinya mendadak terjeblos ke dalam sebuah kuburan, saking pengapnya, bernapas pun mulai terasa berat. Kini ia malah mengharap rumah itu bergerak lagi. Sayang sekali di saat tidak bergerak, rumah ini malah berjalan, saat diharapkan berjalan justru bercokol di tempat tak mau bergerak.

Saking jengkelnya, Hong Si-nio tertawa sendiri, saat orang lain ingin menangis tapi tak bisa menangis, dirinya malah bisa tertawa tergelak, "Sekarang aku sudah tak bisa melihatmu, kau sudah bisa berlega hati bukan?"

Sim Bik-kun diam tidak bersuara.

Saat Hong Si-nio menarik napas, mendadak didengarnya seorang cekikikan geli, "Inilah yang dinamakan raja tidak gugup, menteri malah mampus gelisah. Dia saja begitu sabar, kenapa kau gugup malah?”

Suaranya berkumandang di sebelah atas, saat suaranya berkumandang ke dalam rumah, hawa segar terasa menyampuk muka.

Bagian atas rumah pelan-pelan terbuka sebuah lubang jendela,
di luar jendela mengintip ke dalam sepasang mata jeli bening.

"Sim-sim," seru Hong Si-nio.

Sim-sim cekikikan.

Gemas Hong Si-nio, rasanya ingin menjewer kuping atau mencolok kedua biji matanya.

"Angin di atas sini amat besar, di bawah situ tentu amat hangat," Sim-sim berkata dengan nada menggoda.

"Apa kau tidak ingin turun menghangatkan badanmu?" pancing Hong Si-nio.

"Sayang aku tidak bisa turun," sahut Sim-sim.

"Apa kau tidak bisa membuka pintu?"

"Kunci ada di tangan Kongcu, kecuali dirinya siapa pun tak bisa membuka pintu!"

"Dimana dia?"

"Dia belum pulang,"

"Kok, belum pulang?"

"Karena menemani orang-orang itu mencari kalian. Tidak mungkin dia memberi tahu mereka bahwa dia yang menyuruh engkau masuk ke rumah ini."

"Sebetulnya apa maunya dia?"

"Dia suruh aku mengantar kalian pulang dulu."

"Pulang? Pulang ke rumah siapa?"

"Tentu rumah kita," sahut Sim-sim cekikikan geli.

"Rumah kita?"

"Rumah Kongcu bukankah juga adalah rumah Hujin?"

"Cara bagaimana kita pulang?"

"Ya, naik kereta."

"Kau tak membuka pintu, cara bagaimana bisa naik kereta?"

"Lho, kita sekarang sudah di atas kereta."

"Jadi rumah ini sudah diangkat ke atas kereta?"

"Kereta besar yang ditarik delapan ekor kuda, cepat lagi kilat, dalam waktu tiga hari, kita akan tiba di rumah."

"Harus tiga hari naik kereta?"

"Paling tiga hari."

Mendadak Sim Bi-kun mengeluh lirih, tubuhnya mendadak melorot jatuh. Kalau orang sudah kebelet, mana mungkin ditahan tiga hari, tapi apapun kalau dirinya harus buang air besar kecil bersama orang lain dalam satu ruang, berarti ingin menyiksa atau membunuhnya.

Saking tak tahan Hong Si-nio berteriak, "Jadi kau akan mengurung kami berdua tiga hari lamanya?"

"Kurungan ini memang sempit tapi tidak jelek, kalau lapar akan kubuatkan makanan dan kuantar masuk, kalau dahaga juga kuantar minuman, di kereta ini kecuali air juga ada arak."

Bercahaya mata Hong Si-nio, serunya "Ada berapa banyak araknya?"

"Berapa yang kau minta?"

"Arak macam apa saja?"

"Arak apa yang kau minta?"

"Baik, berikan dua puluh kati Hoa-tiau."

Mabuk menghilangkan resah. Ada kalanya mabuk malah lebih baik daripada sadar tapi runyam.

Dua puluh kati Hoa-tiau dimuat dalam enam bumbung bambu, diturunkan dari jendela kecil di bagian atas, diturunkan pula delapan jenis masakan.


Bersambung

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar