Jilid 03
"Aku datang tergesa-gesa,
arak yang kubawa mungkin hanya dua belas guci, kalau merasa kurang, sekarang
boleh kusuruh orang turun gunung beli di kota."
"Dua belas guci mana
mampu kuminum habis, umpama untuk berendam saja mungkin aku bisa mampus tenggelam."
"Lalu berapa yang ingin
kau minum?"
"Sudah cukup,
berhenti."
Mata Hoa Ji-giok memicing
sipit, suaranya lembut, "Kalau begitu ...."
Mendadak Hong Si-nio
berjingkrak berdiri, "Sekarang kita masuk kamar pengantin."
Bersama laki-laki yang masih
asing baginya Hong Si-nio masuk kamar pengantin. Untuk kedua kalinya ia masuk
kamar pengantin, waktu berjalan masuk lagaknya seperti pahlawan sedang maju ke
medan perang.
Kamar pengantin yang satu ini
tidak banyak beda dengan kamar pengantin umumnya, sepasang lilin besar warna
merah menyala benderang, selimut sutra bertumpuk di pinggir ranjang bersulam
burung mandarin, untuk segala keperluan pengantin, dari kepala sampai ujung
kaki tersedia di kamar ini. Yang berbeda hanya mempelai perempuan tidak mirip mempelai.
Di samping Sim-sim cekikikan
geli, sambil bertepuk tangan ia bernyanyi, "Hari ini waktu baik suasana
gembira, kembang merah daun rimbun, tahun depan lahirlah si upik nan gemuk
lucu, digendong disayang pergi bertemu ayah bunda."
Mendadak Hong Si-nio juga
bertepuk riang, serunya, "Bagus sekali nyanyianmu, ada persen dari
mempelai."
"Persen apa?" tanya
Sim-sim gembira.
"Persen satu
tamparan," tangannya benar-benar menampar ke muka Sim-sim, gadis cilik ini
ternyata cukup cerdik, selicin rase tiba-tiba ia menyelinap ke pinggir terus
berlari keluar sambil menutup pintu.
Hoa Ji-giok tertawa lebar,
"Tak usah kau mengusirnya, toh dia harus pergi."
"Siapa bilang tidak usah
diusir, aku justru sudah tidak sabar lagi."
"Sudah tidak sabar?"
"Memangnya?" mata
Hong Si-nio merem melek, seperti mulai mabuk, badan berputar tubuhnya roboh di
ranjang, dengan mata terpicing ia mengawasi Hoa Ji-giok, lalu bertanya,
"Berapa umurmu sekarang?"
"Genap dua puluh
satu," sahut Hoa Ji-giok.
"Kalau aku menikah muda,
anakku mungkin sudah sebesar engkau."
"Aku memang suka
perempuan yang usianya lebih tua, wanita tua makin matang, lebih
romantis." Sambil bicara ia melangkah menghampiri Hong Si-nio.
"Dan kau? Kau romantis
tidak?"
"Sebentar lagi kau juga
akan tahu."
Wajah Hong Si-nio seperti
jengah, perlahan ia memejam mata.
Dengus napas Hoa Ji-giok
terasa juga makin mendekat.
Hong Si-nio mengerang
perlahan, suaranya lembut, "Adik cilik, kau adalah adik cilik, aku
menyayangimu.
Hoa Ji-giok juga seperti
terpesona, tawanya seperti mabuk, "Kau sayang apaku?"
"Sayang kau harus
mati." bentak Hong Si-nio. Mendadak tubuhnya melejit dari ranjang, hanya
sekejap kaki tangan menyerang berbareng, tujuh pukulan dibarengi tiga
tendangan.
Lelaki kalau di mabuk asmara,
umumnya lupa daratan, dicecar serangan ganas secepat itu, lumrahnya tak mungkin
menghindar. Tak nyana Hoa Ji-giok berubah tidak mabuk kepayang, sekali sambar
ia tangkap kaki Hong Si-nio, gerakannya begitu cepat. Tahu-tahu Hong Si-nio
merasa tubuhnya kaku, tenaga seketika terkuras habis di ujung kaki.
Dengan kalem Hoa Ji-giok
mencopot sepatunya, lalu mengelus telapak kakinya, katanya dengan tersenyum,
"Bagus sekali sepasang kaki ini."
Luluh badan Hong Si-nio,
perempuan mana yang tidak takut geli bila telapak kaki digelitik.
Maka terbayang oleh Hong
Si-nio waktu memperebutkan Keh-lo-to dulu, waktu dirinya jatuh di tangan Sugong
Siok, makhluk cacad itu pun mencopot sepatunya, malah menggelitik telapak kaki
dengan jenggotnya.
Hoa Ji-giok tidak berjenggot,
tapi jari-jari tangannya bermain lebih lincah, rasanya lebih mengerikan.
Untung waktu itu ia ditolong
Siau Cap-it Long. Untuk kali ini? Hanya Tuhan yang tahu dimana Siau Cap-it Long
sekarang berada?
Saking jengkelnya Hong Si-nio
ingin menangis, namun rasa geli juga membuatnya ingin tertawa mengikik, karena
ditahan-tahan akhirnya ia berteriak.
Senyum Hoa Ji-giok makin
mekar, "Kau berteriak-teriak, didengar orang di luar, coba bayangkan
bagaimana pikiran mereka?"
Hong Si-nio tidak berani
berteriak lagi, dengan menggigit bibir ia berkata, "Anggaplah aku
menyerah, lekas lepaskan aku saja."
"Tidak boleh."
"Kau ... apa maumu?"
"Coba terka!"
Hong Si-nio tidak berani
menerka, membayangkan saja tidak berani.
Hoa Ji-giok berkata,
"Sebetulnya aku tahu kau akan menyerangku, memangnya aku sudah menunggu,
tak kira kau begitu tahan uji, sampai detik terakhir baru bereaksi."
Setelah menghela napas ia menambahkan, "Sayang sekali, reaksimu juga
kuanggap tergesa-gesa."
"Menurutmu harus kutunggu
sampai kapan?" Harapannya hanya mengulur waktu saja.
"Sampai aku naik ke
ranjang.”
Hong Si-nio menghembus napas
dari mulut, semula ia sudah berencana demikian, ia tahu kesempatan waktu itu
pasti lebih besar keberhasilannya, sayang ia terlalu takut lagi ngeri, takut
diperkosa, maklum selama ini ia memang belum pernah dipegang-pegang lelaki.
"Dari kejadian ini dapat
kusimpulkan," demikian kata Hoa Ji-giok, "Kau ini belum terhitung
perempuan yang lihai."
"Kau justru laki-laki
yang lihai."
"Memangnya aku bukan
lelaki lemah."
"Untuk kejadian ini,
sudah lama kau rencanakan."
"Ya, sudah dua tiga
bulan."
"Ketahuilah setiap orang
merayakan hari-hari raya, hari besar, aku selalu menyembunyikan diri, menyepi
sendiri, maka kau gunakan alasan sudah menikah denganku pada hari raya
Toan-ngo."
"Makanya kau tidak boleh
ingkar, ingkar juga percuma."
"Kau juga tahu aku
minggat dari kamar pengantin."
"Banyak orang tahu
kejadian itu, maka kali ini sudah kuduga dan siaga, kepada orang aku bisa
bilang kau melakukan kesalahan lama." Dengan senyum memikat ia
melanjutkan, "Aku malah bilang, sejak awal kau memang ingin kawin dengan
aku, tapi begitu mendengar berita Siau Cap-it Long, kau minggat tak keruan
peran."
"Ya, betapapun aku
menyesal, orang lain pasti tidak percaya."
"Sudah nasib dan takdirmu
bakal menjadi biniku."
”Tapi ... kenapa kau mau
melakukan perbuatan kotor ini?"
"Karena aku suka
padamu."
"Kalau benar menyukaiku,
pantasnya tidak kau lakukan cara begini."
"Justru untuk membuktikan
aku benar-benar menyukaimu perlu kulakukan cara ini."
"Kau... betulkah kau mau
... mau ...." tak kuasa Hong Si-nio melanjutkan.
Jari-jari Hoa Ji-giok sudah
mulai membuka kancing bajunya.
Tak tahan Hong Si-nio menjerit
keras.
"Tak heran orang pernah
bilang kamar pengantin persis dengan tempat jagal, jeritanmu sungguh mirip
orang menyembelih babi.”
"Kau ... benar ingin
melucuti pakaianku?"
"Bukan hanya melucuti
pakaianmu, akan kubuatkan kau telanjang."
Hong Si-nio sudah tidak mampu
menjerit lagi, tiba-tiba ia merasa sekujur badan dari atas sampai bawah sudah
bugil total, saking tegangnya sekujur badan terus merinding.
Hoa Ji-giok tertawa iblis,
matanya sungguh kurang ajar, menjelajah seluruh lekuk tubuhnya, desis suaranya
memburu, "Buat apa tegang?"
Hong Si-nio mengertak gigi,
tubuhnya gemetar keras.
"Aku tahu dulu ada lelaki
mengintip kau mandi, katanya sedikitpun kau tidak setegang ini."
Kondisi waktu itu jelas
berbeda, ia juga tahu para lelaki itu hanya mengintip dari lubang kecil,
sekarang ia ....
Kata Hong Si-nio geram,
"Sekarang kau sudah cukup memandangku, apalagi yang akan kau
lakukan?"
"Kau ini pengantin
perempuan di kamar pengantin lagi, aku mempelai pria tentu tahu apa tugasku
selanjutnya."
"Benar kau ingin
mengawiniku?"
"Memangnya aku
main-main?"
"Kau ... bukankah kau
melihat aku ini sudah nenek-nenek?"
”Tidak kulihat nenek di sini,
kondisimu persis dengan gadis muda belasan tahun."
Mendadak terasa oleh Hong
Si-nio tangan orang sudah meraba pahanya, malah terus merambat naik, ternyata
tangan orang halus empuk.
Hong Si-nio merasa sekujur badan
menjadi lemas lunglai, Betapapun ia adalah perempuan normal, perawan ting-ting
meski sudah berusia tiga puluh lima.
"Kurasakan kau amat
tegang, apa benar selama ini kau belum pernah disentuh lelaki?"
Hong Si-nio mengertak gigi,
air mata meleleh di pipi.
Hoa Ji-giok seperti amat
terhibur, "Kelihatannya memang belum pernah disentuh lelaki, dapat
mengawini perempuan seperti engkau, rezekiku sungguh amat besar ...."
Perlahan ia mulai naik ke ranjang.
Hong Si-nio memejamkan mata,
air matanya mengalir makin deras, katanya memelas, "Akan datang saatnya
kau menyesal, ya, datang satu hari ...." Itu ancaman juga peringatan,
sayang nada bicaranya sudah lemah, sekeras apapun watak wanita, dalam posisi
seperti itu, akhirnya pasti menjadi lemah dan menyerah. Betapapun Hoa Ji-giok
adalah lelaki ganteng.
* * * * *
IV. SEJENGKAL PUN TIDAK PERNAH
BERPISAH
Dalam keadaan apa boleh buat,
perempuan akan menerima nasibnya yang jelek, demikian keadaannya sekarang, ia
sudah siap menerima nasib itu.
Tak nyana mendadak Hoa Ji-giok
menghela napas, "Kenapa harus menunggu kelak. Sekarang aku sudah mulai
menyesal."
Terpentang lebar mata Hong
Si-nio, "Soal apa yang kau sesalkan?"
"Menyesal kenapa aku
bukan laki-laki."
Hong Si-nio melenggong.
Perlahan Hoa Ji-giok menarik napas,
meraba dengan lembut, "Kalau aku lelaki, dalam kondisi seperti ini
bukankah aku riang nikmat."
"Kau ..." Hong
Si-nio berteriak, "kau juga perempuan?"
"Apa perlu aku juga
bertelanjang untuk kau periksa?"
Merah muka Hong Si-nio,
"Kau ... kau ... jangan gila."
Hoa Ji-giok cekikikan geli,
"Aku juga perempuan, kenapa kau marah malah. Apa kau kecewa?"
Jari-jarinya masih menggelitik.
Merah padam muka Hong Si-nio,
"Singkirkan tanganmu."
Hoa Ji-giok terkekeh,
"Kalau aku lelaki tulen, apa kau juga akan berteriak menyuruhku
menyingkirkan tangan?"
"Kau ... apa sudah
kesetanan."
Hoa Ji-giok tertawa besar.
"Ingin kutanya kalau
betul kau perempuan, kenapa kau lakukan semua ini?"
”Tadi sudah kujelaskan. Aku
menyukaimu." Jari-jarinya tetap meraba-raba, "Perempuan sepertimu
yang penuh daya tarik, peduli lelaki atau perempuan, pasti suka."
"Singkirkan
tanganmu!" bentak Hong Si-nio.
"Justru tidak, jangan
lupa kau ini biniku, takdir sudah menentukan kau adalah biniku, mau ingkar juga
percuma."
Hong Si-nio menghela napas,
mendadak ia sadar akan satu hal. Perempuan peduli kawin dengan lelaki macam
apapun, akan jauh lebih baik daripada menikah dengan sesama perempuan.
Perempuan kawin dengan wanita akan tersiksa selama hidup.
Mendadak Hong Si-nio bertanya,
"Apa benar kau ingin mengawini aku."
"Sudan tentu benar."
"Yang benar saja, apa
maksudmu?"
"Mau kau mendengar
penjelasanku?"
"Sudan tentu mau."
"Sekarang kau sudah
menjadi biniku, maka tak boleh kawin dengan orang lain lagi."
"Orang lain, siapa
maksudmu?"
"Siau Cap-it Long. Siapa
lagi kalau bukan Siau Cap-it Long."
Hong Si-nio menarik muka,
"Kau tidak setuju aku menikah dengan Siau Cap-it Long?"
"Ya, begitu."
"Jadi kau sendiri yang
ingin kawin dengan dia?"
"Aku ini suamimu, jelas
takkan menikah dengan dia."
"Semua ini kau lakukan
demi orang lain?"
"Ya, betul."
"Orang lain siapa?"
"Sudah tahu main tanya
lagi."
"Sim Bik-kun
maksudmu?"
"Aku simpati padanya,
kalau Siau Cap-it Long menikah dengan kau, Sim Bik-kun pasti gila."
Dingin suara Hong Si-nio,
"Kekuatiranmu berlebihan. Umpama lelaki di dunia mati seluruhnya, aku
pasti tidak akan kawin dengannya."
"Ah, jujur saja?"
Hong Si-nio tak mau bicara
lagi. Ia tahu kalau perempuan membual, hanya dapat membohongi lelaki. Di depan
perempuan seperti Hoa Ji-giok, penjelasan apapun takkan berguna.
Hoa Ji-giok menghela napas,
"Satu hal terbukti, begitu tahu Siau Cap-it Long ingin bertemu, kau lantas
berada di sini."
"Bukankah kau kemari juga
lantaran dia?"
"Bukit berbatu ini daerah
gersang, sepi lagi belukar. Memang di sini markas pusat kawanan berandal di
Kwan-tiong, sarang para penyamun. Saat ini di tempat ini berdatangan
tokoh-tokoh kosen dari berbagai golongan."
"Makhluk aneh yang duduk
di atas topi itu, apakah dia termasuk tokoh besar?"
"Siapa pun dia kalau tega
mengutungi dua kaki dan satu tangan sendiri, dia boleh terhitung tokoh yang
luar biasa."
Mau tidak mau Hong Si-nio
harus mengakui, Jin-siang-jin betul lelaki tulen, lelaki tulen yang tegas pasti
adalah orang kuat.
"Demikian juga Le Jing-hong,
datang ke sini karena ingin memenggal kepala Siau Cap-it Long."
"Le Jing-hong dan Siau
Cap-it Long juga bermusuhan?"
"Le Jing-hong adalah
bapak Le Kong. Bukankah Le Kong mampus di tangan Siau Cap-it Long?"
"Pantas Le Kong tidak
pernah mau menjelaskan asal-usulnya, ternyata bapaknya penyamun tunggal."
"Sang bapak jelas jauh
lebih kuat dan lihai dari anaknya."
"Ya, paling tidak Le
Jing-hong bukan laki-laki palsu."
"Kedatangan Kim-pou-sat
ke tempat ini jelas tidak bermaksud baik.”
"Kecuali mereka, masih
banyak yang bermaksud jahat. Hanya aku yang berbeda dengan mereka."
"Memangnya kau ini orang
baik?"
"Memang aku orang
baik."
"Untuk apa orang baik
sepertimu ke tempat ini?"
"Orang baik tentu akan
berbuat baik."
"Berbuat baik apa?"
Tidak langsung menjawab, Hoa
Ji-giok balas bertanya, "Kau sendiri untuk apa datang ke sini."
"Kau sudah tahu kalau
Siau Cap-it Long yang mengundangku kemari."
"Dia sendiri yang
mengundangmu?"
"Bukan."
Sejak berpisah dahulu, hingga
sekarang dia belum pernah bertemu dengan Siau Cap-it Long.
"Jadi kau hanya mendengar
omongan orang lain, di Kangouw dia menyiarkan berita supaya kau ke tempat ini
untuk bertemu dengannya."
"Karena dia juga tak bisa
mencariku, Selama dua tahun ini kami kehilangan kontak sama sekali."
"Kalau demikian,
bagaimana kau tahu berita itu bisa dipercaya?"
Hong Si-nio menghela napas
geleng-geleng kepala, dia memang tidak tahu. Kedatangannya kali ini hanya
mengadu nasib.
"Bukan mustahil berita
itu sengaja disiarkan orang lain, memancingmu ke tempat ini lalu menjebakmu
untuk memancing kedatangan Siau Cap-it Long."
"Sekarang setelah
kupikir-pikir, memang betul seperti ditipu orang."
"Siapa pun bisa tertipu,
maka yang tertipu bukan hanya engkau."
"Kecuali aku, siapa lagi
yang tertipu?"
"Sim Bik-kun."
"Mungkinkah dia juga
kemari?"
"Dia pasti datang."
"Jadi selama ini dia
tidak bersama Siau Cap-it Long?"
"Tidak. Selama dua tahun,
seperti juga engkau, terus mencari jejak Siau Cap-it Long."
Hong Si-nio mengerut alis,
"Bukankah hanya karena melirik Sim Bik-kun dua kali, maka mata Cia
Thian-ciok menjadi buta?"
"Yang dilirik Cia
Thian-ciok bukan Sim Bik-kun."
"Bukan dia?"
"Wanita cantik di dunia
ini bukan hanya Sim Bik-kun seorang. Perempuan cantik yang mendampingi Siau
Cap-it Long bukan hanya Sim Bik-kun saja."
Hong Si-nio menggigit bibir,
"Bajingan itu kenapa selalu mendapat rezeki."
"Maka kubilang akan
datang saatnya dia tertimpa musibah."
"Kurasa sepanjang
hidupnya, dia akan selalu tertimpa sial."
"Kali ini Sim Bik-kun
malah lebih sial dibanding dia."
"Lho?"
"Untuk memancing ikan
besar, menjadikan Sim Bik-kun sebagai umpan, hasilnya mungkin lebih
manjur."
"Umpan pancing memang
lebih sial dibanding ikannya sendiri."
"Betul sekali, saat ikan
belum terpancing, umpan kan sudah terkait di kail."
"Apalagi bukan hanya satu
kail, dia malah terkait dua kail."
"Dua kail."
"Benar dua kail
besar."
"Kail besar untuk
memancing ikan besar."
"Demikianlah Sim Bik-kun
sudah terkail kencang oleh mereka, dia sendiri malah tidak tahu."
Mata Hong Si-nio melirik,
"Sepertinya kau amat memperhatikan dia?"
"Aku kan orang
baik."
"Kadang orang baik juga
bermaksud jahat."
"Agaknya kau
cemburu."
"Aku hanya sedikit
heran."
"Yang benar bukan hanya
Sim Bik-kun yang kukuatirkan, juga prihatin terhadap Siau Cap-it Long.”
"0,ya?"
"Maka aku harap kau mau
membantuku, menurunkan Sim Bik-kun dari kail itu. Kalau kail tanpa umpan, ikan
pasti takkan terpancing."
"Kenapa aku harus
membantumu? Siapa tahu kau inilah kailnya?"
"Kau harus percaya
padaku."
"Apa dasarnya?"
"Aku kan suamimu.
Perempuan kalau suami sendiri tidak dipercaya, siapa lagi yang dia
percaya?"
"Untung kau perempuan.
Jika tidak, aku bisa mati kau pincut."
Hoa Ji-giok tertawa lebar,
"Biar sekarang aku memincutmu sampai mati."
Jari-jarinya mulai bergerak
lagi, bergerak di tempat-tempat vital yang membuat sekujur tulang Hong Si-nio
menjadi lunglai, saking tak tahan ia berteriak, "Kalau tidak segera kau
singkirkan jari-jari tanganmu, aku ... akan ... aku akan..”
"Kau akan apa?" goda
Hoa Ji-giok.
Dengan kencang Hong Si-nio
menggigit bibir, "Akan kuberikan topi hijau untuk kau pakai."
* * * * *
Hoa Ji-giok mengenakan pakaian
baru mirip pakaian kebesaran para pejabat istana, kelihatan tampangnya lebih
cerah, bercahaya mirip burung Hong yang mengembangkan sayap dan bulu-bulunya
yang enak dipandang. Berdiri di depan kaca tembaga berlenggang-lenggok mirip
peragawan yang lagi beraksi di depan penonton, sorot mata dan mimiknya
menunjukkan bahwa dia amat puas dengan keadaannya sekarang.
"Tak heran banyak orang
bilang perempuan paling senang berkaca, apalagi saat perempuan mengenakan
pakaian model terbaru."
Hoa Ji-giok juga tertawa,
"Betul, memang itulah ciriku, perut boleh lapar, pakaian baru tidak boleh
tidak dipakai." Lalu ia menjelaskan lebih jauh, "Sebab kebanyakan
orang melihat bajumu dulu, baru mengawasi siapa pemakainya."
"Waktu orang mengawasi
pakaianmu, sering kali lupa membedakan kau ini sebetulnya lelaki atau
perempuan."
"Sedikitpun tidak salah.
Walau banyak orang merasa aku ini lebih mirip perempuan, pasti tiada orang
mengira, kalau aku ini perempuan tulen."
"Lalu kenapa kau sering
dan lebih suka berdandan pria?"
"Karena aku suka
perempuan, bukankah perempuan justru menyukai pria."
"Biasa kalau tidur, apa
kau juga berdandan seperti itu?"
"Kalau tidur aku lebih
suka telanjang, tapi saat ini aku belum ingin tidur."
"Bukankah sekarang
saatnya orang tidur?"
"Bukan."
"Apalagi yang akan kau
lakukan?" tanya Hong Si-nio. ”Aku akan bertamu," sahut Hoa Ji-giok.
"Tengah malam buta rata,
masih ada yang menjamu orang?"
"Di tempat seperti ini,
siang hari adalah waktu orang tidur."
"O, jadi penduduk daerah
ini semua kucing malam?"
"Soalnya kalau siang
mereka pantang bertemu orang."
Berputar biji mata Hong
Si-nio, "Kurasa kau perlu seorang pendamping."
"Pengantin baru selangkah
pun tak boleh berpisah. Apalagi orang yang punya kerja, kali ini juga adalah
sahabat lamamu."
”Sahabat lamaku?
Kim-pou-sat?"
"Bukan."
"Lalu siapa?"
"Daerah ini termasuk
kekuasaan tiga belas markas Kwan-tiong, yang jadi tuan rumah tentu yang
berkuasa di sini."
"Kwi-to Hoa Ping?"
"Betul sekali."
"Bukankah dua tangannya
sudah buntung?"
"Tanpa tangan orang masih
masih bisa mengundang tamu dan mengadakan pesta bukan?"
"Masih ada selera dia
menjamu para undangan?"
"Apapun alasannya, kartu
undangan sudah disebar luas atas namanya"
"Kurasa hanya namanya
saja yang dicantumkan dalam undangan, semua rencana ini tentu dikendalikan
seseorang dari belakang layar."
"Kau ini memang setan
cerdik."
"Siapa orang di belakang layar
itu?"
"Ya aku ini."
"Sudah kuduga, kalau
bukan engkau yang mengadakan pesta, memangnya siapa setimpal
mengundangmu."
"Perempuan kalau ingin
disukai lelaki, ia harus pura-pura pintar."
"Selain engkau, masih ada
tamu lain?"
"Orang-orang di daerah ini,
kurasa semua dia undang."
"Jin-siang-jin, Le
Jing-hong, Kim-pou-sat apakah juga diundang?"
"Mereka pasti
hadir."
"Kenapa?"
"Sebab yang datang malam
ini ada undangan khusus."
"Siapa?"
"Sim Bik-kun."
Hong Si-nio melongo, akhirnya
menghembuskan napas dari mulut, "Perjamuan malam ini kelihatannya bakal
ramai."
Senyum Hoa Ji-giok penuh arti,
"Ya, pasti ramai...."
* * * * *
Kwi-kik-tong, aula-besar
tempat perjamuan terang benderang. Kwi-to, si golok cepat, Hoa Ping sudah
nongkrong di kursi kebesaran berlapis kulit harimau, mantel merah menutupi
badannya, tapi muka lebar itu kelihatan pucat pias. Seperti patung ia duduk di
singgasana tanpa gerak, tanpa sikap tanpa perasaan, orang mondar-mandir di
depannya seperti tidak terlihat olehnya. Sungguh tidak mirip tuan rumah,
sementara tamu yang sudah hadir juga tidak kelihatan gembira.
Selain Kim-pou-sat, air muka
hadirin yang lain kelihatan jelek, Jin-siang jin tetap bercokol di kepala si
raksasa, Le Jing-hong tetap memegang gendewa emas seperti siaga siap turun
tangan bila perlu.
Tiada orang buka mulut, tanpa
sapa tiada pembicaraan. Kehadiran mereka memang bukan untuk tuan rumah, dalam
hal ini mereka tidak perlu pura-pura.
Namanya ruang pesta, mestinya
riuh rendah, kenyataan sepi senyap.
Menyusul Hoa Ji-giok muncul
bersama Hong Si-nio, ibarat di tengah-tengah ayam mendadak muncul dua ekor
burung merak.
Dalam perjamuan macam apa
saja, Hong Si-nio pasti selalu diagulkan sebagai tamu agung. Demikian pula
malam ini, sekujur badannya seperti memancarkan cahaya, siapa pun takkan
mengira perempuan yang satu ini sudah berusia tiga puluh lima tahun, malah baru
saja mati sekali.
Begitu Hong Si-nio muncul,
mata hadirin semua terbelalak, alis mata berkerut. Melihat seorang yang baru
saja mati tiba-tiba muncul dalam keadaan segar bugar, berdandan begitu ayu
rupawan, sungguh merupakan pengalaman yang luar biasa.
Hong Si-nio mengerling tajam
kepada tiap hadirin, senyum lebar mengawali pembukaan katanya, "Baru
setengah hari tidak bertemu kalian sudah tak mengenalku lagi?"
Mendadak Kim-pou-sat
terbatuk-batuk, seperti mendadak diserang demam.
"Kau sakit ya?"
tanya Hong Si-nio.
Tawa Kim-Pou-sat dipaksakan,
"Jika aku sakit pasti sakit rindu. Setiap kali bertemu kau, pasti
terjangkit penyakit yang sama."
"Untuk selanjutnya jangan
lagi sakit rindu, awas Iho, lakiku bisa cemburu."
"Lakimu?"
Kim-pou-sat melongo. "Lakiku ya suamiku, masa tidak tahu?"
"Jadi kau ... sudah
menikah?" tanya Kim-pou-sat.
"Wanita mana saja, cepat
atau lambat kan harus menikah."
"Menikah dengan
siapa?" tanya Kim-pou-sat.
"Dengan aku," seru
Hoa Ji-giok.
Kim-pou-sat tertegun, semua
hadirin juga melenggong.
Hong Si-nio berpaling ke arah
Jin-siang-jin, "Persoalanku dengan kau kini sudah seri."
"Urusan apa seri?"
tanya Jin-siang-jin.
"Tadi aku sudah mati satu
kali."
Jin-siang-jin sudah mendekap
mulut seperti mau batuk, batuk dan batuk.
"Mati dan kawin, antara
kedua peristiwa itu memang pengalaman yang rumit dan jarang dialami manusia,
dalam satu hari aku malah mengalami keduanya. Coba kalian bilang, aneh tidak
pengalamanku ini?"
Hong Si-nio berjalan di depan
Hoa Ping, dengan senyum manis ia menyapa, "Sudah dua tahun kita tidak
bertemu."
"Dua tahun," sahut
Hoa Ping manggut, "tepat dua tahun."
"Hitung-hitung kau dan
aku seperti sudah akrab belasan tahun, sahabat lama bukan."
Dingin suara Hoa Ping,
"Aku bukan sahabatmu. Aku tidak punya sahabat."
"Kau sudah tidak punya
tangan, tetap boleh punya sahabat, tanpa tangan orang masih bisa bertahan
hidup, orang yang tidak punya teman, hidupnya akan susah."
Berkerut kulit daging di wajah
Hoa Ping, mendadak ia berdiri terus menerjang keluar tanpa menoleh lagi.
Hong Si-nio menghela napas
gegetun, ia berpaling mencari si pincang, tadi dilihatnya orang ini duduk di
belakang Jin-siang-jin, sejauh ini Hong Si-nio ingin sekali tahu siapa gerangan
dia, tapi bayangannya sudah tidak kelihatan.
"Kenapa dia selalu
menghindar, kenapa tidak berani berhadapan dengan aku?" demikian batinnya.
Hong Si-nio tidak ingin
memikirkan hal itu. Baru saja ia duduk bersama Hoa Ji-giok, Sim Bik-kun
kelihatan muncul. Pertama kali melihat Sim Bik-kun, Si-nio sudah merasa selama
hidupnya Sim Bik-kun adalah wanita yang paling lembut, paling cantik lagi
angkuh. Sampai detik ini ia masih punya parasaan yang sama.
Tapi Sim Bik-kun sudah agak
berubah, berubah diam, kelihatan risau juga agak kurus. Anehnya perubahan itu
justru membuatnya kelihatan lebih cantik, cantik yang bisa membikin orang mabuk
kepayang.
Kerlingan matanya tetap bening
lagi lembut, ibarat air mengalir di musim semi beriak ditiup angin, rambutnya
hitam mengkilap, pinggang yang ramping terlihat gemulai, seperti untaian dahan
pohon yang menari di musim semi.
Sim Bik-kun bukan tipe wanita
yang menimbulkan gairah bagi lelaki yang mengawasinya. Karena pria macam apa saja
begitu melihat dia, sengaja atau tidak, tanpa sadar akan melupakan segalanya.
Saat ini ia sedang berjalan masuk pelan-pelan. Tidak dibuat-buat,
gerak-geriknya tetap memperlihatkan keagungan dan suci.
Pakaian yang melekat di
badannya bukan dari bahan mahal, potongannya juga umum saja, tanpa pupur tiada
hiasan melekat di wajahnya, bagi wanita secantik dia, barang-barang itu justru
berlebihan.
Betapapun mahal perhiasan yang
dipakai, takkan mengurangi cahaya kepribadiannya. Betapapun anggun ia
berdandan, takkan menambah sedikit jua. kecantikannya. Perempuan yang serba
sempurna seperti dia kenapa nasibnya begitu nelangsa?
Mendadak seluruh orang yang
hadir dalam ruang besar itu napasnya seperti serentak berhenti. Inilah Sim
Bik-kun, wanita tercantik di seluruh Bulim.
Akhirnya orang banyak melihat
dan kini berhadapan langsung dengan Sim Bik-kun.
Berita tentang hubungannya
dengan Siau Cap-it Long, kisah yang mengharukan tapi indah itu, entah mereka
pernah mendengarnya berapa kali?
Kini sang primadona sudah
berdiri di hadapan mereka. Niatnya ingin mengawasi dan mengawasi, tapi tidak
berani. Bukan karena takut dianggap kurang ajar, tapi lantaran dua pasang mata
di belakang Sim Bik-kun.
Sim Bik-kun bukan datang
sendiri, dua orang mengintil di belakangnya. Dua orang lelaki tinggi kurus,
mirip dua batang bambu saja.
Jubah panjang yang membungkus
tubuh lencir itu ternyata terbuat dari bahan halus lagi mahal, satu merah yang
lain hijau pupus, merah mirip apel, hijau seperti daun pisang.
Sikap dan tindak-tanduk mereka
kelihatan amat lelah, rambut dan jenggot sudah memutih semua, tapi begitu
mereka memasuki ruang besar, semua yang hadir langsung merasakan adanya hawa
membunuh dan desakan arus yang menyesakkan napas.
Tokoh kosen Bulim memandang
jiwa bagai barang taruhan, maka dari tubuh mereka pasti memiliki hawa yang
mengundang ancaman bagi lawan. Siapa pun insan persilatan bisa merasakan bahwa
kedua orang tua ini, entah sudah berapa banyak orang yang pernah mereka bunuh.
Begitu dua orang ini masuk.
Muka Le Jing-hong berubah lebih dulu. Mereka termasuk tokoh seangkatan, Le
Jing-hong tentu tahu asal-usul kedua orang tua ini.
Hong Si-nio juga tahu, tak
tahan ia menghela napas, "Itulah kailnya."
"Ya, dua kail," ujar
Hoa Ji-giok.
"Aku pernah melihat
mereka."
"Di Hoan-ou-san-ceng
kediaman Siau-yau-hou?"
Hong Si-nio memanggut.
Hari dimana Siau Cap-it Liong
menentukan waktu dan tempat duel. Dua orang tua ini bersua di tengah
perjalanan.
"Tentu sekarang kau sudah
tahu," kata Hoa Ji-giok, "omonganku tidak salah bukan?"
Hong Si-nio memanggut lagi. Ia
tak tahu apa hubungan orang ini dengan Siau-you-hou, ia hanya pernah melihat
mereka di tempat kediaman Siu-yau-hou. Kalau mereka orang dari perguruan
Siau-yau-hou, jelas tidak menaruh simpati terhadap Siau Cap-it Long.
"Cobalah kau berusaha
supaya Sim Bik-kun tahu."
"Sukar kutemukan
caranya."
"Di belakang kita ada
sebuah pintu, sudah kau lihat?"
Hong Si-nio melihat sebuah
pintu, kecil lagi sempit.
"Keluar dari pintu itu
kau akan melihat sebuah rumah kayu yang kecil."
Hong Si-nio mendengar penuh
perhatian.
"Tempat itu khusus untuk
keperluan kaum hawa, kalau kau dapat membawa Sim-Bik-kun ke sana, kau akan
bebas bicara dengannya."
Laki-laki yang hadir di ruang
ini selalu jaga gengsi, yakin tidak akan ikut ke sana mencuri dengar
pembicaraan mereka.
"Baik, akan ku
usahakan."
Mereka berbisik-bisik, maklum
pengantin baru kalau asyik-masyuk kan lumrah. Tapi dua orang lelaki beruban itu
menatap dengan tajam tidak berkedip.
Hong Si-nio tahu mereka pasti
tak mungkin mendengar bisik-bisiknya, namun wibawa pandangan itu yang
mengejutkan.
Syukurlah ia lihat Sim Bik-kun
tengah menoleh ke sini dengan senyum manis lembut. Sim-Bik-kun juga kenal
'Pengantin yang mengejutkan' itu sedang tertawa sambil memberi tanda isyarat.
Kakek baju merah mendadak
berkata, "Sungguh tak nyana, Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to,
Cui-hun-tui-gwat Cui-siang-biau, kalian juga ada di sini."
Kakek baju hijau menambahkan,
"Dia pasti tidak menduga di sini bertemu kita."
Membesi muka Le Jing-hong,
suaranya ketus, "Kalian belum mampus, sungguh tak terduga."
"Ya, sebentar lagi kau
pasti mampus," jengek kakek baju merah.
"Kalau bukan kami menaruh
belas kasihan, tiga puluh tahun lalu kau sudah jadi bangkai," demikian
jengek kakek baju hijau.
"Betul, sejak lama mestinya
aku sudah mampus, memangnya aku biasa malang melintang seorang diri, seorang
pembantu juga tidak punya."
"Waktu aku melabrakmu
dulu, dia tidak ikut turun tangan?" bentak kakek baju merah.
"Kapan saja," jengek
kakek baju hijau, "seorang diri aku akan membuatmu takluk."
"Ya, kalau aku punya
pembantu, tidak akan kusuruh dia ikut mengeroyok satu lawan, cukup berdiri di
pinggir memberi dukungan saja."
"Bagus sekali," seru
kakek baju merah.
"Patut dipuji," kata
kakek baju hijau.
"Kau dulu yang maju atau
biar aku yang menyikatnya?" tanya kakek baju merah.
"Kali ini biar giliranmu
saja," ujar kakek baju hijau.
Le Jing-hong bergelak tawa,
"Bagus, bagus sekali, hutang piutang tiga puluh tahun lalu memang sudah
saatnya diperhituhgkan."
Tiga orang ini sudah sama-sama
tua bangkotan, tapi watak keras mereka tetap tidak berubah, berangasan lagi
suka berkelahi. Permusuhan tak berarti tiga puluh tahun lalu sampai sekarang
belum juga dilupakan.
Le Jing-hong sudah berjingkrak
berdiri, kakek baju hijau juga sudah membalikkan badan.
Sim Bik-kun yang sejak tadi
berdiam diri mendadak menghela napas, katanya perlahan, "Kalau para
Cianpwe ingin membunuh orang di sini, kuanjurkan bunuh dulu tuan
rumahnya." Suaranya masih halus merdu, namun ucapannya cukup tajam. Hidup
mondar-mandir di luar selama dua tahun belakangan ini sepertinya banyak yang ia
serap, pengalaman pun tambah banyak.
Kakek baju hijau menatap Le
Jing-hong, jengeknya dingin, "Baiklah, kita tunda dulu persoalan
kita."
Le Jing-hong balas menjengek, perlahan
ia duduk kembali di tempatnya.
Hong Si-nio tertawa lega. Ia
menghampiri Sim Bik-kun, menarik tangannya sambil tersertyum lebar. "Tak
kunyana kau pun datang, tentu kau tak menduga aku juga ada di sini bukan?"
Dengan tawa manis Sim Bik-kun
mengangguk.
"Untung antara kau dan
aku tiada perhitungan ruwet yang perlu diselesaikan di sini," ujar Hong
Si-nio.
"Kau masih tidak
berubah," kata Sim Bik-kun.
"Kau justru agak
berubah."
Bertambah rona jengah Sim
Bik-kun, perlahan ia menunduk tanpa bersuara.
"Aku tetap adalah
pengantin yang mengejutkan orang sampai mati. Tiap kali aku bertemu dengan kau,
selalu aku sedang jadi pengantin."
Pandangan Sim Bik-kun penuh
selidik dan heran, tapi ia tidak bertanya kenapa hari ini mendadak bisa jadi
pengantin lagi. Maklum sebagai gadis kelahiran keluarga bangsawan yang ketat
adat istiadatnya, sejak kecil Sim Bik-kun sudah diagulkan sebagai gadis suci
yang selalu dapat menjaga diri, tak pernah ia bertanya atau mencampuri urusan
pribadi orang lain.
Berkedip-kedip mata Hong
Si-nio, sesaat ia mengawasi muka orang, lalu berkata, "Kau tentu telah
menempuh perjalanan jauh dan baru sampai di sini."
"Ya," sahut Sim
Bik-kun pendek.
"Jadi kau sudah...."
mendadak ia berbisik di telinga Sim Bik-kun.
Merah jengah selebar muka Sim
Bik-kun, dengan malu-malu ia mengangguk.
Hong Si-nio malah tertawa
lebar, "Hal ini tidak perlu dibuat malu, hayo, kuantar kau." Lalu ia
pegang tangan Sim Bik-kun serta ditariknya ke sana, lewat pintu sempit.
Dua kakek itu saling pandang
sekejap, rona muka mereka dilembari rasa lega, mereka maklum untuk keperluan
apa Hong Si-nio mengajak Sim Bik-kun keluar lewat pintu kecil lagi sempit itu,
Malah dalam hati mereka menganggap Hong Si-nio adalah perempuan baik hati,
perempuan luar biasa, tidak peduli tata krama. Sebagai pengantin yang harus
melayani tamu di ruang perjamuan, dia rela mengantar tamu pergi ke belakang.
Kecuali Hong Si-nio yakin tak ada perempuan lain yang mau melakukan.
Di luar pintu sempit itu
ternyata ada sebuah rumah papan kecil. Di luar rumah papan ada sebuah tangga
kecil, dengan menarik Sim Bik-kun, Hong Si-nio mengajak Sim Bik-kun menaiki
tangga, masuk lewat pintu kecil yang juga sempit, pas untuk lewat satu orang
dengan badan miring.
Rumah ini kecil, tapi serba
bersih. Setelah menutup pintu serta dipalang dari dalam, Hong Si-nio baru
menarik napas lega, kini ia sadar tempat ini memang bagus untuk sesama
perempuan berbincang tentang urusan pribadi, lelaki bernyali besar juga takkan
berani datang ke sini mencuri dengar pembicaraan mereka.
"Sekarang kita boleh
ngobrol tentang apa saja di sini, jangan kuatir didengar orang lain."
”Kau ... kau mau bicara dengan
aku?" tanya Sim Bik-kun.
"Ada urusan pribadi yang
ingin kubicarakan denganmu, tapi kalau kau sudah tidak tahan, aku boleh menunggu
...."
Di ujung rumah ada sebuah kayu
kotak, bagian atas ditutup kain bersulam dengan pelipir garis emas. Sim Bik-kun
tampak makin jengah, kepalanya menunduk lebih rendah, matanya terlongong
mengawasi kotak kayu dengan tutup kain yang indah itu.
"Hayo lekas," Hong
Si-nio mendesak, "tempat ini takkan bau, tapi lama-lama bisa sumpek."
Dengan memberanikan diri, Sim
Bik-kun masih ragu, ”Tapi kau ... kau ...."
Hong Si-nio tertawa, akhirnya
ia mengerti, "Maksudmu aku harus keluar?"
Dengan jengah Sim Bik-kun
mengangguk.
"Aku kan perempuan, tidak
usah malu apalagi takut? Bagaimana kalau aku berpaling muka saja?"
”Ti ... tidak," Sim
Bik-kun tetap malu. Mimpi pun tak pernah terpikir olehnya, harus buang hajat
sekamar dengan orang lain.
Mengawasi muka orang, hampir
saja Hong Si-nio tertawa geli, syukur masih bisa ditahan, ia berkata perlahan,
"Baiklah, biar aku keluar saja, tapi cepat ya, masih ada yang ingin
kubicarakan."
Sembari bicara dia mengangkat
palang pintu lalu mendorong daun pintu.
Seketika ia tertegun, daun
pintu ternyata tidak bergeming, tidak bisa dibuka. Memangnya digembok orang
dari luar, maunya mengurung mereka bersama. Awalnya Hong Si-nio menganggap
dirinya dipermainkan tangan jahil, namun sebelum ia bertindak lebih lanjut, ia
rasakan rumah kecil ini bergoyang lalu bergerak, makin lama bergerak maju lebih
cepat.
Rumah kecil ini ternyata bisa
berjalan. Daun pintu tetap tak bisa dibuka, didorong ditarik juga percuma.
Telapak tangan Hong Si-nio mulai berkeringat, ia sadar kejadian ini bukan main-main.
Kecuali pintu sempit itu,
rumah ini tiada jendela, tempat buang hajat jelas tiada jendela, apalagi tempat
ini khusus untuk wanita. Dengan mengertak gigi Hong Si-nio menerjang pintu,
biasanya kalau pintu terbuat dari papan dengan mudah bisa ditendangnya jebol.
Tak nyana ditendang, dipukul dan ditumbuk, badan sendiri malah terpental
mundur.
Muka Sim Bik-kun mulai
memucat, "Apa yang terjadi?"
Hong Si-nio menarik napas
dalam, "Kelihatannya aku ditipu."
"Ditipu siapa?"
"Yang pasti ditipu
perempuan. Laki-laki yang mampu menipu aku saat ini mungkin belum lahir."
"Siapa perempuan
itu?" desak Sim Bik-kun.
"Hoa Ji-giok."
"Siapa pula Hoa
Ji-giok?"
"Dialah suamiku."
Sim Bik-kun melotot. Ia jarang
mengunjuk rasa kaget di depan orang lain, kini ia mengawasi Hong Si-nio dengan
mata terbelalak, seperti mengawasi seorang yang tiba-tiba menjadi gila.
"Aku ditipu suamiku,
suamiku adalah juga perempuan ..." Sampai di sini ia menarik napas lagi,
"Kulihat kau menyangka aku sudah gila."
Sim Bik-kun tidak menyangkal.
"Dia menyuruhku
memancingmu masuk ke rumah kecil ini, aku harus kasih tahu bahwa dua kakek itu
bukan orang baik."
"Mereka bukan orang
baik?"
"Sebab engkau
dimanfaatkan sebagai umpan untuk memancing ikan besar, yaitu Siau Cap-it
Long." Dengan gemas ia melanjutkan, "Sekarang baru aku tahu, aku
adalah ikan kakap yang lebih goblok dibanding babi, begitu mudah aku terpancing
olehnya."
"Dua orang Cianpwe itu
pasti bukan orang jahat," Sim Bi-kun meyakinkan, "selama dua tahun
ini, kalau bukan mereka melindungi aku, aku ... aku tidak akan bertahan hidup
sampai sekarang."
"Tapi terhadap Siau
Cap-it Long, mereka ...."
“Terhadap Siau Cap-it Long
mereka juga tidak bermusuhan. Waktu di Hoan-ou-san-ceng, secara diam-diam
mereka membantunya, sebab mereka juga pernah dirugikan oleh Siau-yau-hou."
Ia berusaha mengendalikan
diri, waktu mengucap nama Siau Cap-it Long tadi, mimik matanya menampilkan rasa
sedih yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bayangan masa lalu nan indah,
manis mesra tapi juga pahit getir, jelas tak terlupakan. Dua tahun sudah ia
tidak pernah tidak merindukan dirinya? Hati ini hampir hancur tersayat-sayat.
Entah darah atau keringatnya, keperkasaan dan kemesraannya, terbayang betapa
bening sepasang bola matanya.
"Siau Cap-it Long, dimanakah
dikau?" Waktu ia memejam mata, air mata meleleh dipipi.
Dengan terlongong Hong Si-nio
mengawasinya, ia maklum apa yang sedang dipikir orang, sebab hatinya juga
sedang merindukan orang yang sama.
"Jadi selama ini kau juga
tidak pernah melihat atau mendengar beritanya?" Ia ingin bertanya, namun
tidak sampai hati membuat Sim Bik-kun sedih.
"Walau hari itu aku ikut
dia pergi, namun tak pernah menemukan dia lagi." Sim Bik-kun juga tidak
melontarkan isi hatinya ini, sebab lidahnya kelu, tenggorokan juga terasa
gatal.
Rumah itu terus bergerak,
pindah tempat dengan cepat.
Hong Si-nio malah tertawa,
"Biasanya tempat ini dipakai orang untuk buang hajat, kita malah
bercucuran air mata, coba katakan lucu tidak?"
Suaranya cukup keras, seperti
selama hidup ini tidak pernah melihat kejadian yang lucu sekali. Tapi siapa
dapat merasakan di antara alun tawanya itu tersembunyi perasaan getir, duka
lara.
Seorang di kala benar-benar
berduka, mestinya berusaha mengunjuk tawa, namun berapa banyak orang di dunia
ini yang bisa tertawa dalam kedukaan.
Tak tahan Sim Bik-kun
mengawasinya nanar. Kini sikapnya sudah berubah, ia maklum orang yang dia awasi
ini adalah wanita tersayang, perempuan yang harus dihormati.
Hong Si-nio juga sedang
menatapnya, "Kejadian ini sungguh menggelikan, kenapa tidak tertawa
saja?"
"Aku ... aku ingin
tertawa, tapi tidak bisa tertawa."
Hong Si-nio mengulur tangan
mengelus rambut Sim Bik-kun, suaranya halus lembut, ”Tak usah sedih, aku yakin
lekas sekali kita akan bertemu dengan dia."
"Apa benar?" Sim
Bik-kun kurang percaya.
"Hoa Ji-giok memanfaatkan
kau dan aku untuk mengancam Siau Cap-it Long. Maka dia akan membuat Siau Cap-it
Long tahu kau dan aku jatuh di tangannya."
"Menurutmu dia akan
datang mencari kita?"
"Dia pasti datang."
"Tapi Hoa Ji-giok itu
...."
"Jangan kau menguatirkan
dia, memangnya apa yang bisa dia lakukan terhadap kita? ... Apapun yang akan
terjadi, dia tidak akan lupa bahwa dirinya juga seorang perempuan."
Wajahnya tampak tersenyum simpul, padahal perasaannya makin tenggelam. Sebab ia
cukup paham kalau perempuan lawan perempuan, kadang jauh lebih berbahaya, jauh
lebih menakutkan dibanding perbuatan lelaki.
Sungguh sukar terpikir
olehnya, Hoa Ji-giok akan menggunakan cara ini untuk menghadapi dirinya dan Sim
Bik-kun, tak berani ia membayangkan.
Pada saat itulah, rumah yang
berjalan ini mendadak berhenti. Rumah ini tidak bergeming lagi. Di luar tetap
sunyi tanpa ada suara. Hawa dalam rumah makin pengap, lampu yang semula
digantung di dinding juga mendadak padam.
Keadaan berubah gelap gulita,
berhadapan muka pun tak dapat melihat wajah orang.
Terasa oleh Hong Si-nio
seperti dirinya mendadak terjeblos ke dalam sebuah kuburan, saking pengapnya,
bernapas pun mulai terasa berat. Kini ia malah mengharap rumah itu bergerak
lagi. Sayang sekali di saat tidak bergerak, rumah ini malah berjalan, saat
diharapkan berjalan justru bercokol di tempat tak mau bergerak.
Saking jengkelnya, Hong Si-nio
tertawa sendiri, saat orang lain ingin menangis tapi tak bisa menangis, dirinya
malah bisa tertawa tergelak, "Sekarang aku sudah tak bisa melihatmu, kau
sudah bisa berlega hati bukan?"
Sim Bik-kun diam tidak
bersuara.
Saat Hong Si-nio menarik
napas, mendadak didengarnya seorang cekikikan geli, "Inilah yang dinamakan
raja tidak gugup, menteri malah mampus gelisah. Dia saja begitu sabar, kenapa
kau gugup malah?”
Suaranya berkumandang di
sebelah atas, saat suaranya berkumandang ke dalam rumah, hawa segar terasa
menyampuk muka.
Bagian atas rumah pelan-pelan
terbuka sebuah lubang jendela,
di luar jendela mengintip ke
dalam sepasang mata jeli bening.
"Sim-sim," seru Hong
Si-nio.
Sim-sim cekikikan.
Gemas Hong Si-nio, rasanya
ingin menjewer kuping atau mencolok kedua biji matanya.
"Angin di atas sini amat
besar, di bawah situ tentu amat hangat," Sim-sim berkata dengan nada
menggoda.
"Apa kau tidak ingin
turun menghangatkan badanmu?" pancing Hong Si-nio.
"Sayang aku tidak bisa
turun," sahut Sim-sim.
"Apa kau tidak bisa
membuka pintu?"
"Kunci ada di tangan
Kongcu, kecuali dirinya siapa pun tak bisa membuka pintu!"
"Dimana dia?"
"Dia belum pulang,"
"Kok, belum pulang?"
"Karena menemani
orang-orang itu mencari kalian. Tidak mungkin dia memberi tahu mereka bahwa dia
yang menyuruh engkau masuk ke rumah ini."
"Sebetulnya apa maunya
dia?"
"Dia suruh aku mengantar
kalian pulang dulu."
"Pulang? Pulang ke rumah
siapa?"
"Tentu rumah kita,"
sahut Sim-sim cekikikan geli.
"Rumah kita?"
"Rumah Kongcu bukankah
juga adalah rumah Hujin?"
"Cara bagaimana kita
pulang?"
"Ya, naik kereta."
"Kau tak membuka pintu,
cara bagaimana bisa naik kereta?"
"Lho, kita sekarang sudah
di atas kereta."
"Jadi rumah ini sudah
diangkat ke atas kereta?"
"Kereta besar yang
ditarik delapan ekor kuda, cepat lagi kilat, dalam waktu tiga hari, kita akan
tiba di rumah."
"Harus tiga hari naik
kereta?"
"Paling tiga hari."
Mendadak Sim Bi-kun mengeluh
lirih, tubuhnya mendadak melorot jatuh. Kalau orang sudah kebelet, mana mungkin
ditahan tiga hari, tapi apapun kalau dirinya harus buang air besar kecil
bersama orang lain dalam satu ruang, berarti ingin menyiksa atau membunuhnya.
Saking tak tahan Hong Si-nio
berteriak, "Jadi kau akan mengurung kami berdua tiga hari lamanya?"
"Kurungan ini memang
sempit tapi tidak jelek, kalau lapar akan kubuatkan makanan dan kuantar masuk,
kalau dahaga juga kuantar minuman, di kereta ini kecuali air juga ada
arak."
Bercahaya mata Hong Si-nio,
serunya "Ada berapa banyak araknya?"
"Berapa yang kau
minta?"
"Arak macam apa
saja?"
"Arak apa yang kau
minta?"
"Baik, berikan dua puluh
kati Hoa-tiau."
Mabuk menghilangkan resah. Ada
kalanya mabuk malah lebih baik daripada sadar tapi runyam.
Dua puluh kati Hoa-tiau dimuat
dalam enam bumbung bambu, diturunkan dari jendela kecil di bagian atas,
diturunkan pula delapan jenis masakan.
Bersambung