Jilid 5
Tadi pandangan matanya sudah
teraling oleh hamburan darah segar, jadi tidak melihat datangnya senjata berat
adiknya yang menyerang dada, tapi telinganya sempat mendengar tulang dadanya
yang patah. Yang menutup pandangan mata adalah darah sang adik, yang menghajar
dadanya juga adalah gaman adiknya pula.
Hanya tiga jurus, Siau Gap-it
Long hanya menyerang tiga jurus.
Semua penonton membuka mata
lebar-lebar, menahan napas, dengan rasa terkejut mengawasi Auyang-hengte roboh
di tanah.
Waktu mereka berpaling lagi,
Siau Cap-it Long sudah duduk kembali di tempatnya, golok juga sudah kembali ke
sarungnya.
Dengan rasa bangga dan angkuh
Pin-pin mengawasinya dengan bola matanya nan indah, "Kulihat hanya satu
jurus kau merobohkan mereka."
"Tiga jurus aku kalahkan
mereka."
"Jurus pertama juga masuk
hitungan?"
"Harus dihitung, tiap
jurus harus dihitung." Dengan tertawa ia menjelaskan, "Jurus pertama
untuk menarik perhatian, supaya seluruh perhatian ditujukan kepada golokku ini,
dengan sendirinya gerakan mereka ikut mengendor."
"Lalu jurus kedua?"
"Jurus kedua untuk
memaksa mereka bergerak menyatu, dengan dipaksa demikian, mereka tidak pernah
membayangkan dan takkan menduga sodokan tangan kiriku."
"Jurus ketiga itulah
serangan telak yang fatal akibatnya."
"Mereka masih hidup
karena aku tidak ingin merenggut jiwa mereka."
"Jadi tiga jurus semua
berguna, ucapanmu tadi pun patut diperhatikan."
“Tapi omongan orang tak
mungkin merobohkan orang, juga bukan jurus yang bisa melukai lawan."
"Maka kau hanya menggunakan
tiga jurus?"
Siau Cap-it Long memanggut,
"Ya, hanya tiga jurus."
"Sekarang mereka sudah
kalah."
Sementara itu Auyang-hengte
sedang merangkak berdiri dengan susah payah. Noda darah di muka Bun-pek belum
kering, sementara muka Bun-tiong pucat pasi.
Mendadak Pin-pin berpaling
mengawasi mereka, "Kalau kalian bersaudara tak mampu melawan tiga
jurusnya, selanjutnya malu bertemu orang, biarlah kami korek saja biji mata
itu, kalah ya kalah secara jantan," jengek Pin-pin. "Masih ingat
siapa yang bilang?"
Auyang Bun-pek mengertak gigi
manggut-manggut.
"Sekarang kalian mengaku
kalah?" desak Pin-pin.
Auyang Bun-pek tidak bisa
menyangkal.
"Mengaku kalah, apa pula
yang kalian tunggu?"
Tiba-tiba Auyang Bun-pek
menengadah sambil tertawa sedih, suaranya beringas, "Anggaplah kami
bersaudara belajar silat tidak tamat, tapi kami bukan orang yang sudi menjilat
ludah sendiri."
"Bagus, aku percaya
kalian bukan orang yang tidak bisa dipercaya."
Sambil mengertak gigi, Auyang
Bun-pek mengulur dua jari tangannya, bagai cakar elang saja mendadak mengorek
biji mata sendiri, tapi lelaki mana pun kalau harus membikin buta mata sendiri,
tangan akan menjadi lemas.
Dari samping Auyang Bun-tiong
berkata lantang, "Begini saja, kau mengorek mataku, aku mengorek
matamu!"
Dua saudara kakak beradik ini
siap saling membutakan mata mereka, yang tidak tega sudah berpaling muka, di
ujung loteng sana seorang malah membungkuk badan muntah-muntah.
Tanpa bergeming Siau Cap-it
Long tetap duduk di kursinya, sikapnya tidak berubah.
Mendadak seorang berteriak
keras, "Kalau kau ingin mereka mengorek matanya, harus kau korek dulu
mataku!"
VI. CINTA ADALAH PERSEMBAHAN
Suaranya gemetar, nadanya
sedih dan gusar, didengar telinga masih terasa merdu bagai hembusan angin sepoi
musim semi.
Berubah air muka Siau Cap-it
Long, detak jantung hampir berhenti, darah sekujur badan juga seperti membeku.
Ia mengenal suara itu, sampai mati takkan dilupakan suara itu. Sim Bik-kun!
Itulah suara Sim Bik-kun.
Sim Bik-kun yang tak mungkin
terlupakan oleh Siau Cap-it Long, umpama mati seribu kali, selaksa kali
sekalipun takkan pernah dilupakan.
Dia tidak melihat Sim Bik-kun,
tadi di pojok sana seorang perempuan bercadar hitam tampak gemetar sekujur
tubuhnya. Apakah dia Sim Bik-kun, wanita pujaan yang ia rindukan, mimpi juga
selalu bertemu, selama hidup takkan dilupakan.
Darah sekujur badan yang
hampir membeku mandadak bergolak, jantungnya seperti hampir melonjak keluar.
Tapi ia tidak menghampiri, dia takut kecewa, putus harapan, sudah sering kali
putus harapan.
Bola mata Pin-pin yang jeli
juga sedang mengawasi perempuan bercadar hitam di sana, katanya dengan nada
dingin, "Jadi kau tidak ingin mengorek bola mata mereka? Pernah apa engkau
dengan mereka?"
"Bukan sanak bukan
kadang," kata Sim Bik-kun, "tapi aku rela mati, peristiwa ini akan
kutentang."
"Kalau tiada hubungan
apa-apa, kenapa kau harus pakai cadar, malu dilihat orang?"
"Sudah tentu aku punya
alasan sendiri."
Siau Cap-it Long tetap duduk
tak bergeming. Mungkin dia sudah melupakan semuanya.
Hancur luluh hati Sim Bik-kun,
raga ini seperti hancur lebur, berkeping-keping. Tapi ia masih berusaha
mengendalikan diri, memang dia adalah wanita kelahiran keluarga yang selalu
menegakkan aturan dan tata krama.
"Kau tidak ingin
menjelaskan alasanmu padaku?"
"Tidak!" sahut Sim
Bik-kun.
Pin-pin tertawa lebar,
"Aku justru ingin melihatmu!" Perlahan ia berdiri kemudian
menghampiri dan berkata dengan senyum manis, "Kuduga kau juga seorang
wanita cantik, sebab suaramu begitu merdu."
Senyum tawa Pin-pin memang
begitu manis menggiurkan, begitu cantik rupawan, terhitung nona cantik yang
tiada bandingan di seluruh negeri. Memang setimpal menjadi pasangan Siau Cap-it
Long. Tapi kenapa hati dan pikirannya begitu jahat dan kejam? Kenapa Siau
Cap-it Long justru mau mendengar dan patuh padanya? Gadis ini menghampiri,
kenapa Siau Cap-it Long tetap duduk di tempat? Memangnya kecuali gadis yang
satu ini, tiada wanita lain lagi dalam hatinya?
Perasaan Sim Bik-kun seperti
ditusuk-tusuk jarum, hatinya hancur berkeping, seperti tertusuk-tusuk jarum.
Pin-pin sudah berada di
depannya, tawanya begitu manis, suaranya juga lembut, "Boleh kau singkap
cadarmu supaya aku bisa melihat wajahmu?"
"Ternyata dia tidak
mengenal suaraku lagi, kenapa kubiarkan dia melihat aku?" demikian batin
Sim Bik-kun. ”Kalau di hatinya sudah tiada diriku, buat apa kita bertemu
lagi?"
"Masa kulihat sekilas
saja tidak boleh?" tanya Pin-pin sedikit memaksa.
"Tidak boleh!"
pendek tegas jawaban Sim Bik-kun.
"Kenapa?"
"Tidak ya tidak,"
hampir Sim Bik-kun tak kuasa mengendalikan diri.
Pin-pin menghela napas,
"Kau tidak mau menanggalkan cadarmu sendiri, biar kubantu kau
menyingkapnya." Benar-benar ia mengulur tangan. Tangan yang indah, seindah
batu pualam.
Sim Bik-kun mengawasi tangan
itu terulur ke mukanya, hampir tak tahan hendak turun tangan. "Jangan,
jangan aku bertindak kasar," demikian batinnya, "jangan aku melukai
perempuan pujaan hatinya. Selama ini dia sudah banyak berkorban bagiku, besar
kasih sayangnya selama ini, kenapa aku harus membuatnya sedih?"
Dengan kencang Sim Bik-kun
menggenggam tangan, terasa kuku jari sudah menusuk kulit daging.
Tangan Pin-pin sudah menyentuh
cadar di mukanya, mendadak ia urungkan niatnya, "Sebetulnya tak perlu aku
melihat wajahmu, dapat aku bayangkan bagaimana tampangmu."
"Kau tahu?"
"Entah berapa kali
seorang bercerita padaku tentang bentuk rupamu."
"Siapa yang bilang
padamu?"
”Tentu kau tahu siapa yang
kumaksud."
"Kau ... kau juga tahu
siapa aku?"
"Siapa lagi kalau bukan
Sim Bik-kun, wanita tercantik dalam kalangan persilatan."
Seperti teriris hati Sim
Bik-kun. Kenapa dia membicarakan diriku dengan cewek ini? Memangnya mau pamer,
supaya orang tahu, dulu ada seorang wanita yang begitu mencintainya?
Genggaman tangan Sim Bik-kun
makin kencang, tak tahan ia bertanya, "Darimana kau tahu siapa
diriku?"
"Kalau kau bukan Sim
Bik-kun, mana mungkin dia berubah seperti itu." Sambil bicara tangannya
menuding ke belakang, menuding Siau Cap-it Long.
Perlahan Siau Cap-it Long
mendatangi, dengan tajam ia mengawasi cadar muka Sim Bik-kun. Tatapannya lurus
seperti orang pikun.
Mendadak Sim Bik-kun berkata
keras, "Kau salah, aku bukan Sim Bik-kun."
"Kau bukan?"
"Siapa kenal Sim Bik-kun?
Perempuan dogol, perempuan bodoh itu?"
Berkedip mata Pin-pin, dengan
tertawa lebar ia berkata, "Apa perlu aku menyingkap cadar mukamu?"
Kembali ia mengulur tangan hendak menyingkap cadar Sim Bik-kun.
Kini semua hadirin benar-benar
mengharap dia betul-betul menyingkap cadar itu, siapa tidak ingin melihat
betapa cantik perempuan nomor satu di Bu-lim.
Tak disangka Pin-pin kembali
mengurungkan niatnya, ia berpaling ke arah Siau Cap-it Long, "Kurasa lebih
baik kau saja yang menanggalkan cadarnya, yakin kau ingin sekali
melihatnya?"
Dengan kaku Siau Cap-it Long
mengangguk, tentu ia ingin melihatnya, mimpi pun ia selalu berharap dapat
melihat, apalagi bertemu. Tangan pun diulur.
"Singkirkan
tanganmu!" mendadak Sim Bik-kun berteriak.
Siau Cap-it Long tergagap
linglung, "Kau ... kau ...."
"Berani menyentuhku, biar
aku mati di hadapanmu."
"Kau ...." Siau
Cap-it Long lebih kaget, "kau tidak mengenalku lagi?"
Makin hancur hati Sim Bik-kun.
Aku tidak mengenalmu? Demi kau, aku meninggalkan segalanya, mengorbankan nama
baik, kekayaan, keluarga dan semua yang kumiliki. Demi kau, aku menderita dan sengsara,
entah berapa kali dicemooh, dinista, dipermalukan. Sekarang kau tega mengatakan
aku tidak mengenalmu? Dengan keras ia menggigit bibir, terasa anyir darah
merembes ke tenggorokan, dengan mengerahkan seluruh tenaga ia berteriak,
"Aku tidak mengenalmu, bahwasanya aku tak pernah mengenalmu."
Siau Cap-it Long mundur
sempoyongan, seperti mendadak dadanya ditendang orang. Benarkah Sim Bik-kun
berubah?
Hoa Ji-giok berdiri diam
menonton, mendadak Sim Bik-kun memeluk lengannya, "Ayo kita pergi!"
Jadi pria ini yang membuatnya
berubah? Pria ini masih muda, cakap ganteng malah, penurut lagi, sejak tadi ia
berdiri mematung di belakang. Tak heran dua tahun sudah aku mencarinya dan
tidak pernah ketemu, ternyata ia sudah tidak mau bertemu denganku. Hati Siau Cap-it
Long juga luluh.
Mereka sama-sama diracun kesan
jahat, curiga dan cemburu. Jari-jari Siau Cap-it Long mengepal kencang, mata
melotot mengawasi Hoa Ji-giok.
Tanpa melirik sekali pun Sim
Bik-kun bertanya pada Hoa Ji-giok, "Kenapa tidak segera kita pergi?"
Perlahan Hoa Ji-giok
menganggukkan kepala, dari belakang maju dua orang memapah Hong Si-nio.
Air mata Hong Si-nio terus
mengalir, dengan mata berkaca-kaca ia mengawasi Siau Cap-it Long. Ia harap Siau
Cap-it Long bisa mengenali dirinya, bisa menjelaskan kepadanya bahwa semua
kejadian itu hanya salah paham, salah pengertian. Tapi melirik pun Siau Cap-it
Long tidak memperhatikan dirinya, sebab mimpi pun tak pernah ia duga, perempuan
yang digotong-gotong ini adalah Hong Si-nio, teman lama yang kini tertutuk
bungkam tak mampu berbuat apa-apa.
Siau Cap-it Long hanya
terlongong mengawasi luar jendela, seperti tidak melihat sinar bintang, juga
tidak melihat cahaya lilin, hanya kegelapan terbentang di depan matanya.
Kalau bisa, ingin rasanya Hong
Si-nio meratap, menangis tergerung-gerung, air mata membasahi hampir seluruh
cadar penutup mukanya.
Pin-pin justru sempat
memperhatikan cadar yang basah oleh air mata itu, serunya "Kau juga
menangis? Kenapa kau menangis?"
Demi Siau Cap-it Long,
memangnya aku tidak sengsara? Tidak menderita? Pengorbananku mungkin adalah
yang terbesar. Gadis cilik ini malah bilang aku menangis bagi orang lain. Ingin
Hong Si-nio berontak dan berteriak histeris, sayang hanya kelopak matanya saja
yang bisa bergerak, sekujur badan kaku lemas tak bisa bergerak.
Dua orang yang memapah dirinya
mempercepat langkah. Pin-pin hendak maju merintangi, sekilas dia ragu, lalu
membiarkan mereka berlalu.
Hong Si-nio maklum akan
kondisi Siau Cap-it Long saat itu, ia tidak ingin memperpanjang urusan. Maka
tanpa daya Hong Si-nio dibawa pergi lewat di depan Siau Cap-it Long. Perlahan
rombongan ini turun dari loteng, naik kereta. Kereta bergerak cepat sekali,
meninggalkan kepulan debu di belakang.
Mendadak Siau Cap-it Long
berseru, "Bawakan arak dua puluh kati, arak yang paling bagus!"
Pasti arak yang paling bagus.
Arak paling bagus umumnya malah tidak bisa membuat orang mudah mabuk?
Pin-pin mengawasinya, katanya
lembut, "Mungkin orang itu bukan Sim Bik-kun."
Setelah menenggak beberapa
cawan arak, Siau Cap-it Long tergelak-gelak, "Tak usah kau membujukku, aku
tidak sedih."
"Betulkah?"
"Aku hanya ingin minum
sepuas-puasnya, sudah lama aku tidak mabuk."
"Tapi Auyang-hengte
diam-diam sudah ngacir."
"Aku tahu."
"Mungkin mereka akan
balik kembali."
"Kau kuatir mereka datang
membawa bantuan?"
"Aku sih tidak takut,
Siau Cap-it Long yang mabuk, cukup mampu mengatasi Auyang-hengte dan
kamrat-kamratnya."
"Omongan bagus, harus
dihukum tiga cawan." Tiga cawan besar arak ditenggaknya habis.
Pin-pin ikut mencicipi
seteguk, katanya kemudian, "Aku sedang heran, siapakah perempuan lain yang
ditutup cadar mukanya itu? Kenapa cadarnya basah oleh air mata?"
"Apa kau melihat dia
menangis?"
"Dari cadar penutup
mukanya yang basah, membuktikan kalau dia menangis."
"Mungkin dia sakit,
seorang kalau diserang demam bisa saja menangis, apalagi seorang
perempuan."
"Tapi aku tahu dia tidak
sakit."
"Jalan saja tidak bisa,
kau masih bilang dia tidak sakit?"
"Benar tidak bisa jalan,
tapi bukan lantaran sakit."
"Orang yang sakit keras,
kaki tangan bisa lumpuh, jadi tak bisa jalan, tapi tulang-tulang orang itu bisa
ditekuk, sekujur badan justru kelihatan kaku."
”Ternyata kau lebih teliti
dari aku."
"Jangan lupa, aku ini kan
gadis jenius," ujar Pin-pin dengan tawa mekar.
Waktu memandang rona mata Siau
Cap-it Long, seperti membayangkan rasa kuatir dan kasihan. Syukur Pin-pin tak
memperhatikan sikapnya, katanya lebih jauh, "Maka kuyakin dia tidak
sakit."
"Maksudmu dia ditutuk
jalan darahnya?"
"Mungkin sekali."
"Menurutmu karena apa dia
melelehkan air mata?"
"Mungkin karena persoalan
kalian, karena Sim Bik-kun."
"Siapa sudi melelehkan
air mata lantaran urusan kami? Untuk bersyukur saja mending bagiku, umpama aku
mati di jalan, takkan ada orang melelehkan air mata bagiku."
"Paling tidak aku
...." sebetulnya Pin-pin mau bilang "aku akan menangis". Entah
karena apa ia beralih ke persoalan lain, bola mata nan indah menampilkan makna
kesedihan. Memang hatinya rawan karena merasakan nasibnya yang jelek?
"Tapi dia meneteskan air
mata, maka aku berkesimpulan, bukan saja dia kenal kalian, juga prihatin akan
nasib Sim Bik-kun."
"Mungkin karena persoalan
lain."
”Tadi di sini tiada persoalan
lain yang bisa menimbulkan rasa sedih hingga orang mencucurkan air mata."
"Dari kesimpulanmu itu,
kau berpendapat bahwa dia adalah teman Sim Bik-kun?"
"Pasti begitu."
Bola mata Siau Cap-it Long
berbinar, "Kalau dia ditutuk jalan darahnya, bukan mustahil Sim Bik-kun
juga diancam orang itu."
"Maka sikapnya berubah
drastis terhadapmu."
Memerah selebar muka Siau
Cap-it Long, mulutnya menggumam, "Mungkin bukan maksudnya menampilkan
sikap sekasar itu kepadaku, kenapa tadi tidak kupikir hal ini?"
"Karena dalam hatimu ada
seekor ular jahat?"
"Ular jahat?"
"Curiga dan cemburu
adalah ular jahat itu," ujar Pin-pin sendu, "dari sini dapat
disimpulkan, engkau masih belum bisa melupakan dia, kalau tidak, kenapa kau
mencurigainya, kenapa kau cemburu terhadap lelaki tadi?"
Siau Cap-it Long diam saja,
tidak bisa menyangkal.
"Bahwa kau tidak bisa melupakan
dia, kenapa tidak kau cari dia saja? Jika sekarang kau menyusulnya, mungkin
masih bisa tersusul!"
Siau Cap-it Long sudah
berjingkrak berdiri, tapi pelan-pelan duduk kembali, tawanya kecut,
"Bagaimana aku harus mencarinya?" Dalam kondisi seperti sekarang, ia
tak punya akal lagi.
"Mereka tadi naik
kereta."
"Kereta yang
bagaimana?"
"Kereta hitam yang masih
baru, kuda penarik kereta juga berbulu hitam legam, pemilik kereta pasti
seorang yang punya kedudukan, kaya dan berpengaruh. Kereta seperti itu yakin
tidak sukar mencarinya."
Siau Cap-it Long segera
berdiri.
"Tapi kusarankan bertanya
dulu pada Siau-song kusir kereta kita!"
"Kenapa?"
"Sesama kusir kereta
pasti gampang bergaul, waktu menunggu sang majikan di luar, mereka tentu banyak
mengobrol, mungkin yang diketahui Siau-song bisa lebih banyak dan
komplit."
Gadis ini memang teliti lagi
pintar. Gadis secerdik ini, pantas kalau orang merasa bangga baginya. Tapi tiap
kali mengawasi nona jelita ini, kenapa sikap Siau Cap-it Long kelihatan seperti
amat sayang dan sedih?
* * * * *
Siau-song bercerita,
"Kusir kereta itu orang aneh, waktu kuajak mengobrol, dia selalu
bersungut, disapa diam saja diajak bicara tak menjawab, seperti hutang tiga
ratus tahil perak pada bapaknya."
Itulah penjelasan Siau-song
tentang kusir kereta yang dinaiki Hoa Ji-giok. Apa yang dijelaskan tak lebih
banyak dari yang diketahui Pin-pin.
Siau Cap-it Long terlihat rada
kecewa, mendadak Siau-song menambahkan, "Selama tiga hari ini, pagi-pagi
mereka sudah datang ke sini, malam baru pulang, seperti menunggu
seseorang."
"Beruntun tiga hari
mereka datang?"
"Ya, pelayan restoran
menceritakan padaku."
"Kondisi mereka sudah
menarik perhatian orang, beruntun datang tiga hari. Pemilik retoran mungkin
tahu asal-usul mereka."
VII. TRAGEDI BOK-TAN-LAU
Pemilik Bok-tan-lau she Lu.
Lu-ciangkui bertutur,
"Dua nona bercadar hitam itu memang tiga hari beruntun telah datang, minta
hidangan semeja penuh, tapi tiada yang mau makan, setelah restoran kami
nyatakan mau tutup mereka baru pulang."
"Uang yang mereka
bayarkan cukup banyak, maka semua pelayanku senang melayani mereka."
"Yang bayar rekening
siapa?" tanya Pin-pin.
"Lelaki muda yang ikut
datang itu," sahut Lu-ciangkui.
"Kau tahu selama tiga
malam ini mereka bermalam dimana?"
"Konon mereka menyewa
villa di hotel Lian-hun, malah sudah bayar tunai untuk sepuluh malam"
"Keteranganmu dapat
dipercaya?"
"Pasti dapat dipercaya,
pemilik hotel Lian-hun adalah kakak isteriku."
Pemilik hotel Lian-hun she Gu.
Gu-ciangkui bertutur,
"Dua nona yang mengenakan cadar itu memang aneh, siang hari terus berada
di kamar, makan minum harus diantar ke kamar. Begitu magrib sudah siap-siap
berangkat ke Bok-tan-lau. Tiga hari berada di sini, orang-orang yang berada di
sini tiada seorang pun pernah mendengar mereka bicara."
"Mereka menempati kamar
yang mana?"
"Di pojok timur sana,
villa itu khusus untuk tamu-tamu kelas tinggi, seluruh komplek villa itu disewa
semuanya."
"Malam ini mereka sudah
pulang?"
"Baru saja tiba,"
ujar Gu-ciangkui sambil menggeleng kepala, "seharian mereka berada di
Bok-tan-lau, restauran besar, tentu makan minum serba kenyang. Begitu tiba di
kamar kembali pesan satu meja penuh hidangan dan arak."
"Hidangan semeja yang
dipesan itu mungkin diperuntukkan bagi kita," ujar Pin-pin tertawa riang.
"Mereka tahu kalian akan
datang?"
"Tidak tahu."
Gu-ciangkui mengawasinya
dengan pandangan kaget, seperti mendadak merasa tamu-tamu yang datang dan
menginap di hotelnya adalah orang-orang aneh misterius.
Dalam kamar terang benderang,
meja bundar dilembari taplak meja serba merah darah, dipenuhi hidangan dan
botol arak.
Pemuda ganteng yang tadi di
belakang seperti kacung itu, kini sudah berganti pakaian, baju ramping serba
baru dan mahal, duduk memandang meja penuh hidangan itu, ia sedang menuang
arak, beruntun mengisi tiga cawan, tiba-tiba menoleh ke jendela dan berkata
sambil tertawa, "Kalian sudah datang, kenapa tidak silakan masuk untuk
minum dan makan bersama?"
Siau Cap-it Long memang berada
di luar jendela, "Ada yang mentraktir minum arak, tidak pernah aku
menolaknya."
Jendela tidak dipalang, tiga
kursi masih kosong.
"Silakan duduk!"
sambut Hoa Ji-giok membungkuk badan.
Dengan tajam Siau Cap-it Long
mengawasi muka orang, "Nona Sim datang ikut kau, apa kau tidak pernah
mengundangnya untuk makan bersama?"
"Aku tidak mempersiapkan
kursi untuk mereka, sebab mereka kini sudah tiada di sini."
Berubah muka Siau Cap-it Long.
Biasanya tidak semudah itu air mukanya berubah, tapi mukanya kini tampak
menakutkan, "Apa mereka sudah pergi?"
"Ya, baru saja
berangkat."
"Kau biarkan mereka
pergi?"
Hoa Ji-giok tertawa ewa,
"Cayhe bukan berandal, bukan polisi, mereka mau pergi, mana bisa aku
menahan mereka."
Siau Cap-it Long menyeringai
dingin.
Hoa Ji-giok berkata,
"Agaknya Siau-tayhiap tidak percaya?"
"Agaknya kau memang bukan
berandal, tapi menilai orang bukan dari mukanya, kukira kau paham akan hal
ini?"
"Berdasar apa Cayhe harus
berbohong pada Siau-tayhiap?"
"Karena kau tidak senang
aku bertemu mereka."
"Kalau aku tidak senang
Siau-tayhiap bertemu mereka, kenapa aku kembali ke hotel ini lagi? Buat apa
kupesan hidangan sebanyak ini untuk menyambut kehadiran Siau-tayhiap?"
Mulut Siau Cap-it Long
terkunci.
"Sengaja Cayhe menunggu
di sini, maksudku akan kujelaskan salah paham tadi."
"Apa ada salah
paham?"
"Belakang ini nona Sim
selalu dikawal oleh Ing dan Liu ber-dua cianpwe."
Terangkat kepala Siau Cap-it
Long, "Ang-ing-lok-liu?"
Hoa Ji-giok memanggut,
"Kalau Siau-tayhiap tidak percaya, kapan saja silakan tanya mereka, kedua
Cianpwe itu pasti tidak berbohong!"
"Lalu kenapa bisa ikut
engkau ke tempat ini?" tanya Siau Cap-it Long.
Hoa Ji-giok bimbang, seperti
serba salah untuk menjelaskan.
"Kau tidak mau
menjelaskan?" desak Siau Cap-it Long.
"Bukan Cayhe tidak mau
menjelaskan, hanya saja ...."
"Hanya saja apa?"
"Cayhe hanya takut
setelah mendengar penjelasanku, Siau-tayhiap tidak senang hati."
"Kalau tidak kau jelaskan
aku justru marah. Ketahuilah, kalau marah aku ini orang yang tidak kenal
kompromi."
Agak lama Hoa Ji-giok kelihatan
ragu, katanya kemudian, "Berita yang tersiar di Kangouw mengatakan bahwa
Lian Shia-pik juga berada di daerah ini, nona Sim mendengar berita ini, lalu
mendesak Cayhe membawanya kemari."
Berubah air muka Siau Cap-it
Long, penjelasan Hoa Ji-giok ibarat sebilah pisau tajam menusuk sanubarinya.
Mendadak ia merasa sekujur badan menjadi dingin. Kalau Sim Bik-kun berubah
karena orang lain, ia masih bisa menerima, tapi Lian Shia-pik....
Hoa Ji-giok menghela napas
gegetun, seperti merasa simpati, "Biar orangnya sudah pergi, arak masih
banyak, silakan Siau-tayhiap menikmati beberapa cawan sambil menghabiskan waktu
malam ini!"
"Baik, mari habiskan tiga
cawan!"
"Silakan."
"Cawan ini tidak bisa
dipakai," kata Siau Cap-it Long.
"Kenapa tidak bisa
dipakai?" tanya Hoa Ji-giok.
"Cawan ini terlalu
kecil," mendadak ia raih satu mangkuk besar berisi bakso kakap, semangkuk
kaldu sirip ikan hiu, dan semangkuk sup sarang burung, semua dia tuang di
lantai, tiga mangkuk yang sudah kosong ia tuangi arak yang tersedia, "Kusuguh
untukmu, silakan minum!"
Dengan sikap apa boleh buat
Hoa Ji-giok menggeleng kepala. "Baiklah," katanya kemudian, "aku
minum." Meski lambat, tiga mangkuk besar arak itu dia tenggak habis
seluruhnya.
Siau Cap-it Long juga
menghabiskan tiga mangkuk besar arak, "Kini giliranmu menyuguh padaku.
Sebagai tuan rumah, kau minum dahulu."
"Minum tiga mangkuk
lagi?" seru Hoa Ji-giok, "Cayhe mungkin tidak mampu lagi."
Melotot mata Siau Cap-it Long,
"Aku menghormatimu, kau tidak menghargaiku, kau meremehkan aku?"
"Baiklah, aku balas
suguhkan tiga mangkuk," dengan menyengir ia habiskan tiga mangkuk arak
itu. Anehnya setelah menghabiskan mangkuk kedua, cara minumnya malah lebih
cepat dan tuntas, mangkuk ketiga dlminum seperti minum teh saja.
Setelah Siau Cap-it Long
menghabiskan tiga mangkuk lagi, Hoa Ji-giok tertawa, "Hayo habiskan tiga
mangkuk lagi, Siau-tayhiap silakan!"
Siau Cap-it Long melotot,
katanya dengan suara mendesis, "Ada dua hal perlu kuberitahu padamu."
"Cayhe siap
mendengarkan."
"Pertama aku ini bukan
Tayhiap, selamanya belum pernah jadi Tayhiap. Kedua, kalau kutemukan omonganmu
ternyata bohong, akan kupotong lidahmu, mengerti?"
Hoa Ji-giok manggut-manggut,
"Aku mengerti, tapi kurasa ada yang tidak ku mengerti?"
"Soal apa yang kau tidak
mengerti?"
"Bahwa dia datang karena
Lian Shia-pik, kurasa dia pergi lagi juga lantaran Lian Shia-pik, kenapa tidak
kau cari mereka, malah menumpahkan kekesalanmu kepadaku?" Habis bicara
tubuhnya melorot jatuh mendengkurdi lantai.
Wajah Siau Cap-it Long membesi
hijau, dengan taplak meja yang lebar warna merah, dia bungkus seluruh hidangan
yang ada di atas meja, "Sengaja kau ingin menjamu aku, hidangan tidak
habis ini biar aku bawa pulang saja."
Hoa Ji-giok diam saja, karena
begitu rebah di lantai langsung tidur pulas karena mabuk berat.
Siau Cap-it Long mengakak tiga
kali sambil menengadah, buntalan besar itu ia panggul di punggung, tangan
Pin-pin ditarik terus turun loteng.
Setelah bayangan mereka pergi
jauh, dari balik kerai bambu seorang menyingkap masuk sambil mengomel,
"Tamu segarang itu sungguh jarang aku melihatnya." Yang keluar
ternyata adalah Sim-sim, mengawasi Hoa Ji-giok yang rebah di lantai, lanjutnya,
"Tamu jahat itu sudah pergi, hayo lekas bangun!"
Hoa Ji-giok segera membuka
mata terus berdiri, katanya sambil menggeleng kepala, "Orang itu lihai
betul, hampir saja aku dibuatnya mabuk sungguhan."
Sim-sim tertawa manis,
"Sayang dia tidak tahu ukuran minummu ternyata jauh lebih banyak dari
dugaannya semula."
"Satu hal yang nyata
adalah pribadiku ini yakin jauh lebih bejat dibanding perkiraannya."
Sim-sim berkata, "Kalau
di Kangouw muncul lagi Cap-toa-ok-jin, satu di antaranya pasti engkau."
"Lalu engkau?"
"Jelas aku juga masuk
hitungan."
"Apakah Sim Bik-kun betul
sudah pergi?"
"Sudah kusuruh Pek-losam
membawanya pergi, pesanmu juga sudah kusampaikan kepadanya."
"Perempuan gila
itu?"
"Kuatir lelaki garang itu
mencarinya ke belakang, maka kupersilakan dia istirahat di kolong
ranjang."
"Sekarang boleh kau
persilakan dia keluar!"
"Lalu akan kau suruh apa
dia?"
"Kupersilakan dia mandi,
lalu tugasmu mendandani dia!"
"Pernah kudengar bahwa
seorang yang akan dimasukkan peti mati harus dirias dan didandani."
"Siapa bilang akan
memasukkan dia ke dalam peti mati?"
"Kenapa tidak?"
"Sebab dia amat berharga."
"Memangnya engkau ingin
menjualnya?"
"Ya."
"Dijual kepada
siapa?" berbinar bola mata Sim-sim. Hoa Ji-giok tersenyum lebar,
"Tentu kujual kepada bangkotan tua yang kepincut paras cantik, sudah lama
bangkotan tua ini amat merindukan dia."
Sim-sim cekikikan, katanya
mengawasi, "Memang pantas kalau kau jadi penjahat besar."
"Memangnya siapa bilang
bukan?"
"Muslihat apa yang engkau
rancang, yakin mimpi pun Siau Cap-it Long takkan menduga ...."
* * * * *
Siau Cap-it Long tidak pernah
mau berpikir, yang dirasakan hanya kepalanya seperti kosong, hati hampa pikiran
melompong, berjalan di jalan raya, rasanya seperti berjalan di tengah gumpalan
mega.
Ia berkukuh tidak mau naik
kereta, ingin berjalan kaki saja, maka kereta disuruh pulang lebih dulu, terpaksa
Pin-pin menemaninya berjalan. Setelah melewati simpang jalan di depan, mendadak
ia bertanya, "Perutmu lapar tidak?"
Pin-pin geleng kepala.
Menggoyang buntalan besar di
tangan, Siau Cap-it Long berkata, "Aku hanya mengingatkan kau, dalam
buntalan ini ada masakan enak dan mahal. Kalau perutmu lapar, silakan pilih
bermacam masakan yang ada di sini."
Mengawasi buntalan besar yang
basah oleh kuah dan sebagainya, Pin-pin ingin tertawa, tapi tak bisa tertawa.
Pin-pin bisa merasakan
perasaan Siau Cap-it Long saat itu, begitu sedih, pilu dan rawan hatinya, tapi
tak bisa menangis. Mendadak Siau Cap-it Long mendeprok duduk di pinggir jalan,
kepala mendongak mengawasi taburan bintang di langit dengan termangu-mangu,
sesaat kemudian mulutnya mendesis, "Mestinya tadi kucomot seguci arak,
minum arak di tempat ini sungguh menyenangkan."
Pin-pin hanya mendengarkan
saja, kembali Siau Cap-it Long berkata sambil menyengir, "Tak apalah,
dimana saja pasti ada arak dan bisa minum sepuasnya."
Tawanya tidak mirip tawa,
orang yang melihat tawanya malah terharu ingin ikut menangis.
Kalau dia datang demi Lian
Shia-pik, sekarang tentu pergi mencari Lian Shia-pik.
Lian Shia-pik diagulkan
sebagai Kuncu, lelaki sejati yang welas asih dan bajik, mestinya mereka berdua
memang pasangan suami isteri yang setimpal, saling cinta, umpama salah langkah
dan ada salah paham, setelah dipikir dan dijelaskan, urusan tidak perlu ditarik
panjang. Akhirnya tentu disadari oleh Sim Bik-kun, hanya Lian Shia-pik seorang
yang patut, kepada siapa ia bersandar hidup selanjutnya.
Dari buntalan kain kembali
Siau Cap-it Long mencomot keluar paha ayam, setelah diamati mendadak dilempar
ke pinggir.
Kini Pin-pin ikut duduk,
mengawasinya dengan pandangan serba salah, tak tahan ia bertanya, "Kau
percaya apa yang dikatakan orang itu?"
"Satu patah kata saja aku
tidak percaya," sahut Siau Cap-it Long.
"Kalau tidak percaya,
kenapa harus menyingkir dari sana?"
"Memangnya aku harus ikut
dia tidur di lantai?"
"Kenapa tidak kau cari
dia di belakang?"
"Dicari juga belum tentu
ketemu."
"Belum dicari bagaimana
tahu tidak ketemu?"
"Orang macam itu, kalau
tidak mau bertemu, apa gampang ditemukan, bagaimana aku harus mencarinya?"
"Kau tahu dia seorang
yang licik lagi licin?"
Siau Cap-it Long
manggut-mangut, "Pertama aku melihatnya, aku lantas ingat seseorang."
"Siapa?"
"Siau-kongcu, Siau-kongcu
yang seratus kali lebih beracun dibanding ular beracun." Tiap kali
menyinggung nama Siau-kongcu, tampak kengerian di matanya, tanpa sadar ia
bergidik ngeri.
"Orang itu jelas bukan
Siau-kongcu."
Siau Cap-it Long mengangguk,
"Dia seorang lelaki."
Siau-kongcu adalah samaran
gadis, seorang perempuan, mirip merpati jinak, tapi juga mirip elang ganas yang
siap menerkam mangsanya. Sampai sekarang Sim Bik-kun masih merasa ngeri, dalam
mimpi sering bertemu, walau gadis ini sudah meninggal, mati di bawah pedang
Lian Shia-pik.
Siau Cap-it Long berkata,
"Lelaki yang satu ini memang bertingkah mirip cewek, tapi pasti dia
seorang lelaki tulen."
"Kau yakin?"
"Peduli dia perempuan
menyamar lelaki, atau lelaki menyamar perempuan, aku punya cara menentukan dia
lelaki atau perempuan."
"0, bagaimana
caranya?"
"Caraku ini resep tunggal
perguruan, tiap kali praktek tiap kali berhasil, seratus persen betul, belum
pernah meleset sekalipun."
"Caranya bagaimana?"
"Merabanya sekali."
Merah jengah selebar muka
Pin-pin.
"Tadi waktu kau tidak
perhatian, aku sudah merabanya."
Dengan muka jengah Pin-pin
berkata, "Kulihat kau mabuk."
"Siapa bilang aku
mabuk." Melotot mata Siau Cap-it Long, "aku sadar
sesadar-sadarnya."
"Kalau tidak mabuk,
ucapanmu tidak pernah sekotor itu."
Sejenak Siau Cap-it Long
mengawasinya mendelong, akhirnya tertawa sambil memperlihatkan barisan giginya,
"Apa benar kau kira aku ini orang baik?"
Pin-pin menghela napas,
suaranya lembut, "Aku tidak peduli bagaimana orang menilaimu, hanya aku
yang tahu, kau adalah ...."
Belum habis ia bicara, dari
sana berkumandang derap lari kuda menarik kereta. Sebuah kereta besar warna
hitam cepat sekali melesat di jalan raya di depan mereka.
Pin-pin berteriak, "He,
itulah kereta yang dinaiki orang tadi."
"O, apa iya?"
”Tengah malam buta rata,
mereka menempuh perjalanan sekencang itu, untuk keperluan apa?"
"Mungkin kereta itu
kosong."
"Pasti ada
penumpangnya."
"Kau melihat penumpangnya?”
"Ada banyak kepulan debu
di belakang kereta, aku tahu apakah kereta itu berpenumpang."
"O, ternyata sepasang
matamu jauh lebih lihai dari begal besar Siau Cap-it Long."
Pin-pin tertawa geli,
"Ya, sedikit lihai dibanding begal besar Siau Cap-it Long yang
mabuk."
"Bagaimana kalau kita
menyusulnya?" kata Siau Cap-it Long. "Ingin aku tahu bocah itu sedang
memerankan tokoh apa?"
Padahal kereta itu dilarikan
kencang dan telah lenyap ditelan kegelapan, di tengah malam hening suaranya pun
tidak terdengar lagi. Siau Cap-it Long sudah melompat berdiri, tapi pelan-pelan
duduk kembali.
Kalau sudah menyusul memangnya
mau apa? Bukankah dengan tegas dia telah menolak uluranku?
Dari buntalan taplak meja,
Siau Cap-it Long merogoh keluar sepotong daging bebek, dengan rakus ia gerogoti
daging itu seperti orang kelaparan. Makan kadang memang bisa mengendalikan
emosi seseorang, menenangkan pikiran menenteramkan gejolak hati.
Dengan merenung Pin-pin
berkata, "Aku yakin mereka tidak melihat kita, pasti menyangka kita sudah
pergi naik kereta."
Siau Cap-it Long sedang sibuk
mengunyah daging bebek. Biasanya dia memang makan bebek panggang, tapi daging
yang dikunyah dalam mulut terasa seperti arang kayu layaknya.
"Kusir yang mengendaikan
kereta, kulihat bukan lagi kusir kereta yang tadi," kata Pin-pin lebih
jauh, urusan sekecil ini ternyata juga masuk perhatiannya. "Kereta itu
jelas berpenumpang, tapi hanya satu orang saja."
Siau Cap-it long mulai merasa
aneh, "Kenapa hanya seorang?"
Pin-pin juga sedang keheranan.
Mendadak ia berkata, "Bagaimana kalau kita kembali ke hotel
Lian-hun?"
Sudah tentu setuju. Apa yang
disarankan Pin-pin, Siau Cap-it Long jarang menolak apalagi menentangnya.
* * * * *
Lampu-lampu masih menyala,
tapi orangnya sudah pergi. Rumah itu kosong, di ruangan tiada orang, di kamar
juga senyap. Bukan saja tiada penghuni, barang-barang bawaan juga tiada.
"Mereka sudah pergi
semua," ujar Siau Cap-it Long.
"Tapi kereta itu jelas
hanya ada satu orang."
"Mungkin mereka
berpencar?"
"Kalau datang bersama,
kenapa tidak pulang berbareng?"
Berputar bola mata Siau Cap-it
Long, dengan tertawa ia berkata, "Mungkin mereka tahu kita bakal balik,
diam-diam bersembunyi di bawah ranjang."
Mendadak ia melompat ke sana,
dengan sebelah tangan ia angkat pinggir ranjang hingga tersingkap miring.
Kosong melompong, kecuali debu tiada benda lain, rasanya seperti mengumbar
tenaga belaka.
Pin-pin malah melihat sebuah
benda, benda yang warnanya mirip debu. Pin-pin maju mendekat memungut benda
itu, ternyata sebuah tusuk kondai kayu warna hitam mengkilap. Mendadak
diserobot Siau Cap-it Long, Sekali lihat berubah air mukanya. Tiada persoalan
genting apapun yang bisa merubah air mukanya.
"Kau pernah melihat tusuk
kondai ini?" tanya Pin-pin.
"Hm, ya."
"Di tempat mana kau
pernah melihatnya?"
"Di sanggul
seseorang."
"Sanggul siapa? Nona
Sim?"
Sambil geleng kepala Siau
Cap-it Long menghela napas, "Selamanya kau takkan bisa menebak siapa
dia."
Berputar biji mata Pin-pin,
"Apa bukan Hong Si-nio?"
Siau Cap-it Long menarik
napas, "Tebakanmu benar."
"Wanita tak mampu
berjalan itu, apa mungkin Hong Si-nio?"
Baru sekarang menyadari
persoalan ini, langsung ia berjingkrak gugup, "Ya, benar pasti dia, dia
tadi ada di sini."
Warna tusuk kondai sudah
kusam, sudah lama tak dipakai, tapi Hong Si-nio amat menyayangi benda itu,
sebab benda itu adalah kenang-kenangan hadiah Siau Cap-it Long.
"Harta benda seperti
mutiara atau perhiasan mahal lain miliknya malah lebih banyak tapi tusuk kondai
kayu ini tak pernah tanggal dari sanggul kepalanya selama bertahun-tahun, kalau
bukan karena dia ditawan, mungkin ditutuk jalan darahnya hingga tidak mampu
bergerak, tak mungkin membiarkan benda kesayangan ini jatuh di bawah
ranjang."
"Tusuk kondai ini ada di
bawah ranjang, berarti badannya juga disembuyikan di situ."
"Betul, waktu kami
meluruk datang tadi, Hong Si-nio pasti disembunyikan di bawah tempat
tidur."
"Tapi bawah ranjang hanya
cukup untuk bersembunyi satu orang saja."
"Di kereta itu juga hanya
ada satu penumpang."
"Lalu mereka berada di
mana?"
Siau Cap-it Long menjadi
gemas, "Apapun yang akan terjadi, yang penting sekarang kita temukan dulu
bocah itu."
"Bila bisa menemukan
kereta itu, pasti dapat menemukan dia."
"Sekarang juga kita
cari," ucap Siau Cap-it Long, mendadak ia buang buntalan taplak meja.
Waktu mengangkat kepala ia melihat seorang berdiri melongo di ambang pintu.
Gu-ciangkui baru saja beranjak
masuk, ia mengawasi sisa hidangan yang berserakan di lantai, matanya mendelong.
Terpaksa Siau Cap-it Long
tertawa menyengir, "Kami orang kikir, suka berhemat, hidangan yang tidak
habis dimakan biasanya kami bungkus dan bawa pulang."
Teipaksa Gu-ciangkui tertawa
sambil manggut-manggut. Sebetulnya dia sedang mengerahkan anak buahnya untuk
bersih-bersih, sekaligus mencari keuntungan dari sisa hidangan yang dipesan
para tamu. Sungguh tak pernah terpikir olehnya rombongan ini pergi, rombongan
lain balik lagi.
Siau Cap-it Long jadi sungkan
sendiri, ia tarik tangan Pin-pin terus diajak pergi. Mendadak Gu-ciangkui
berkata, "Apa kalian tidak ingin membungkus kembali sisa makanan di lantai
ini untuk diantar ke seberang?"
Berhenti langkah Siau Cap-it
Long, Pin-Pin malah menoleh, "Seberang? Seberang itu tempat apa?”
"Lho kalian belum tahu?
Dua nona tadi sudah dipindah di halaman belakang di seberang situ."
Bersinar mata Siau Cap-it
Long, ia tepuk pundak Gu-ciangkui, "Kau orang baik, aku senang mengenalmu.
Hidangan ini semua kuserahkan padamu untuk makan tengah malam, tak usah
sungkan."
Mengawasi hidangan yang sudah
campur aduk di lantai, Gu-ciangkui melenggong sekian lama, mimiknya menjadi
aneh, mau tertawa seperti juga ingin menangis, waktu ia mengangkat kepala, dua
orang itu sudah lenyap entah kemana. Kebetulan seorang pelayannya masuk, siap
membersihkan ruang ini, Gu-ciangkui tepuk-tepuk pundaknya dan berkata padanya,
"Sisa hidangan ini kuberikan padamu untuk makan malam di rumah, semuanya
ambil, jangan sungkan."
VIII. GOLOK JAGAL RUSA
Suasana di pekarangan barat
sunyi senyap, gelap gulita, betulkah di sini tiada orang? Pohon waru yang besar
itu berdiri kokoh di tengah pekarangan, ditimpa sinar rembulan yang redup,
bayang-bayang daunnya bergerak gemulai di daun jendela yang ditutup kertas.
Jendela ditutup rapat, demikian pula pintu kamarnya.
Sambil menarik tangan Siau
Cap-it Long, Pin-pin berbisik, "Dalam kamar begitu gelap, awas ada
perangkap."
Siau Cap-it Long memanggut.
"Apa kita akan menerjang
masuk begitu saja?" tanya Pin-pin.
Siau Cap-it Long kipatkan
tangan orang, dengan gerakan lincah ia melompat ke depan, di mana tinjunya bergerak,
"blang", pintu di jotosnya jebol.
Di tengah kegelapan sana
seorang berkata dingin, "Berdirilah di situ jangan bergerak, atau kubunuh
dia."
Siau Cap-it Long malah
tertawa, katanya, "Kau berani membunuhnya? Memangnya kau sendiri ingin
mampus?"
Dalam situasi yang makin
berbahaya, Siau Cap-it Long malah suka tertawa, sebab ia tahu, tertawa bukan
saja bisa menenteramkan hati, bisa mengendalikan diri, lawan juga sukar menebak
keadaannya. Yang pasti orang di tengah kegelapan itu tidak berani bereaksi,
jelas nada tawanya yang wajar justru memberi tekanan batin baginya. Tapi ia
sendiri juga tidak berani gegabah, diam di tempat tak berani bertindak
sembarangan.
Mendadak kamar itu menjadi
terang oleh cahaya dian. Seorang muncul sambil mengangkat sebuah dian, cahaya
dian menyinari wajahnya.
Sebuah wajah yang molek penuh
senyum nakal, rambut gilap dikuncir dua, tawanya mekar seperti bunga di musim
semi.
Hong Si-nio duduk di
sebelahnya, berdandan mirip seorang pengantin, tapi duduk mematung seperti
golekan.
Awalnya Sim-sim ingin
membawanya pergi, sayang ia tidak mampu membuka tutukan jalan darahnya,
menggendongnya pergi juga tidak kuat. Umpana kuat juga takkan mampu lari jauh,
akhirnya toh terkejar, berarti sia-sia usahanya.
Akhirnya Hong Si-nio melihat
Siau Cap-it Long, Siau Cap-it Ling juga melihat Hong Si-nio.
Hong Si-nio tidak kelihatan
tua, kelihatannya malah lebih muda dibanding dua tahun lalu. Bola matanya masih
cemerlang, dengan tajam ia mengawasi Siau Cap-it Long, sorot matanya
menampilkan rona yang berbeda dan berubah-ubah, entah senang, duka atau lega?
Entah terharu atau mungkin gegetun?
Siau Cap-it Long tersenyum
lebar, cukup lama mengawasi, mulutnya menggumam, "Orang ini kenapa justru
makin muda saja? Memangnya dia siluman perempuan?"
Siau Cap-it Long kembali
menampilkan gayanya yang lama. Penampilannya lebih ganteng cakap, pakaian yang
membungkus tubuhnya jelas dari bahan pilihan, harganya tidak kurang seratus
tahil perak, sikapnya yang kemalas-malasan, senyum nan mempesona, sepertinya
langit ambruk juga tidak peduli.
Darah di sekujur badan Hong
Si-nio justru sedang bergolak, rasa hati ingin berontak berdiri, lalu berlari
menubruk ke dalam pelukannya, saking gemas ingin rasanya ia menggigit pundak
orang serta menempeleng mukanya dengan keras. Entah, ia sendiri tidak bisa
menjelaskan, kenapa tiap kali berhadapan dengan perjaka yang satu ini, ia
hampir sukar mengendalikan diri, apakah itu gejolak cinta? Atau benci? Hong
Si-nio tidak bisa membedakan.
Bola mata Sim-sim juga
membulat besar, dengan tajam mengawasi Siau Cap-it Long, setelah menghela napas
ia berkata, "Siau Cap-it Long eh Siau Cap-it Long, tak heran banyak cewek
kepincut kepadamu, tapi tidak sedikit pula yang membencimu? Aku sendiri pun
gemas."
Sekilas tadi Siau Cap-it Long
sudah mengawasi orang ini, hanya sekilas pandang, tapi ia sudah melihat jelas
dari kepala hingga kaki.
Sim-sim berkata lagi,
"Bola matamu itu sungguh membuatku gemas sekali. Saat kau mengawasi orang,
sepertinya orang yang kau pandang itu telanjang bulat di depanmu."
Siau Cap-it Long menghela
napas, "Sayang kau masih anak-anak, atau...."
Sim-sim membusungkan dada
malah, katanya sambil melirik, "Atau apa?"
Siau Cap-it Long menarik muka,
suaranya kereng, "Sebetulnya kau sudah mampus tiga kali."
Berubah muka Sim-sim, kejap
lain sudah tertawa lebar, "Sayang sekali, sebelum kau maju ke depan. Hong
Si-nio juga sudah mampus tiga kali."
Siau Cap-it Long menyeringai,
"Kau juga berani membunuh orang?"
"Aku tidak berani,"
ujar Sim-sim, "aku takut gemuk, daging saja aku tidak berani makan, tapi
kondisi sekarang memaksa aku tiap hari harus makan daging."
"O, jadi kau pernah
membunuh orang?"
"Belum banyak orang yang
kubunuh, sampai hari ini belum genap delapan puluh."
Siau Cap-it Long malah
tertawa, "Aku suka orang yang pernah membunuh."
"Kau suka?" tanya
Sim-sim melengong.
"Ya, hanya orang yang
pernah membunuh orang, baru bisa merasakan bagaimana deritanya dibunuh
orang."
"Ya, memang menderita,
sering kulihat mereka yang terbunuh celananya basah kuyup."
"Syukur kau mengerti,
maka jangan kau paksa aku membunuhmu."
Senyum Sim-sim makin lebar
malah, "Siapa pun yang ingin membunuhku, pasti menimbulkan duka dalam
hatiku. Terhadapmu pun demikian."
"Kalau begitu coba kita
berunding."
"Berunding
bagaimana?" tanya Sim-sim.
"Kalau sekarang kau mau
menyingkir, aku tidak akan menahanmu. Siapa tahu kau bisa hidup lama sampai
umur delapan puluh."
"Sepertinya anjuranmu
cukup adil."
"Adil
seadil-adiinya."
”Tapi aku juga ingin berunding
dengan kau."
"O, coba jelaskan."
"Kalau sekarang kau ingin
minggat, aku juga tidak akan merintangimu. Siapa tahu Hong Si-nio juga bisa
berumur panjang, hidup sampai sembilan puluh tahun."
Siau Cap-it Long bergelak
tawa, "Agaknya usulmu ini juga amat adil."
"Jelas adil
seadil-adilnya."
Siau Cap-it Long bergelak tawa
panjang, seperti ingin bicara lagi, tapi gelak tawanya mendadak sirna. Kejap
lain dari luar jendela seseorang berkata dengar kalem, "Agaknya di sini
sedang ada barter, setiap barter akan kuberi potongan tiga puluh persen."
Suaranya tidak keras, di alam nan sunyi, umpama dia hersuara dengan nada rendah
juga bisa didengar orang sekelilingnya, apalagi tawarannya cukup menarik
perhatian.
Diam-diam Siau Cap-it Long
menarik napas panjang, hatinya maklum, kini ia harus berhadapan dengan orang
yang sukar dihadapi.
Dandanan dan tindak-tanduk
orang ini kelihatannya bukan orang yang sukar dihadapi, usianya belum tua,
jelas juga tidak muda, pakaiannya tidak begitu mewah, tapi jelas dia bukan
orang rudin, badannya tidak gemuk tapi bukan lelaki yang kurang makan, kalau
bicara penuh sopan santun, sikapnya ramah lagi sabar. Di setiap kota besar yang
banyak penduduknya, tidak sukar kau berhadapan dengan orang seperti ini, ya,
orang biasa yang tiada beda dengan manusia umumnya. Pedagang yang biasa mondar-mandir
dalam kalangannya, setelah punya kedudukan, setelah punya tabungan, punya bini
yang bijak dan arif, ada tiga-empat anak, di rumah dibantu dua-tiga babu, bukan
mustahil dia adalah juragan kain yang buka toko di kota, mungkin juga juragan
pemilik hotel terkenal.
Yang pasti tampang dan
penampilan orang ini lebih juragan dibanding juragan Lu pemilik Bok-tan-lou
atau juragan Gu pemilik hotel di tempat ini.
Awal bicara orang ini masih
berada di luar jendela kecil di bilik belakang sana, tapi begitu selesai
bicara, tahu-tahu orangnya sudah melangkah masuk. Langkahnya tidak teramat
cepat, tapi juga tidak lambat, setelah berada di samping Siau Cap-it Long, lalu
berhenti.
Dengan senyum lebar ia
bersoja, "Aku she Ong, Ong Ban-seng."
Ong Ban-seng, nama yang sering
dan biasa terdengar dimana saja, nama yang juga mudah dilupakan orang.
Dengan senyum lebar Ong
Ban-seng berkata, "Yakin anda semua tidak pernah mendengar nama yang satu
ini di kalangan Kangouw."
Siau Cap-it Long mengangguk.
"Tapi aku justru sudah
kenal kalian," ujar Ong Ban-seng, "kalian tokoh-tokoh terkenal.
Terutama Siau Cap-it Long dan Hong Si-nio."
Mendadak Sim-sim menyeletuk,
"Kau tahu berhadapan dengan Siau Cap-it Long, kini sedang bicara hitung
dagang, berani kau hendak mengambil keuntungan tiga puluh persen."
Makin lebar senyum Ong
Ban-seng, "Umpama baginda raja sedang jual beli di sini, aku juga akan
memungut pajak tiga puluh persen."
Berkedip bola mata Sim-sim,
"Tempat ini daerah kekuasaanmu?"
"Bukan."
"Lha kenapa kau harus
menarik pajak tiga puluh persen?"
"Tiada alasan apa pun,
yang pasti aku memungut tiga puluh persen."
"Awalnya kukira kau ini
lelaki yang tahu tata krama, ternyata bertindak seperti perampok."
Bersambung