Bentrok Para Pendekar Jilid 05

Baca Cersil Mandarin Online: Bentrok Para Pendekar Jilid 5
Jilid 5

Tadi pandangan matanya sudah teraling oleh hamburan darah segar, jadi tidak melihat datangnya senjata berat adiknya yang menyerang dada, tapi telinganya sempat mendengar tulang dadanya yang patah. Yang menutup pandangan mata adalah darah sang adik, yang menghajar dadanya juga adalah gaman adiknya pula.

Hanya tiga jurus, Siau Gap-it Long hanya menyerang tiga jurus.

Semua penonton membuka mata lebar-lebar, menahan napas, dengan rasa terkejut mengawasi Auyang-hengte roboh di tanah.

Waktu mereka berpaling lagi, Siau Cap-it Long sudah duduk kembali di tempatnya, golok juga sudah kembali ke sarungnya.

Dengan rasa bangga dan angkuh Pin-pin mengawasinya dengan bola matanya nan indah, "Kulihat hanya satu jurus kau merobohkan mereka."

"Tiga jurus aku kalahkan mereka."

"Jurus pertama juga masuk hitungan?"

"Harus dihitung, tiap jurus harus dihitung." Dengan tertawa ia menjelaskan, "Jurus pertama untuk menarik perhatian, supaya seluruh perhatian ditujukan kepada golokku ini, dengan sendirinya gerakan mereka ikut mengendor."

"Lalu jurus kedua?"

"Jurus kedua untuk memaksa mereka bergerak menyatu, dengan dipaksa demikian, mereka tidak pernah membayangkan dan takkan menduga sodokan tangan kiriku."

"Jurus ketiga itulah serangan telak yang fatal akibatnya."

"Mereka masih hidup karena aku tidak ingin merenggut jiwa mereka."

"Jadi tiga jurus semua berguna, ucapanmu tadi pun patut diperhatikan."

“Tapi omongan orang tak mungkin merobohkan orang, juga bukan jurus yang bisa melukai lawan."

"Maka kau hanya menggunakan tiga jurus?"

Siau Cap-it Long memanggut, "Ya, hanya tiga jurus."

"Sekarang mereka sudah kalah."

Sementara itu Auyang-hengte sedang merangkak berdiri dengan susah payah. Noda darah di muka Bun-pek belum kering, sementara muka Bun-tiong pucat pasi.

Mendadak Pin-pin berpaling mengawasi mereka, "Kalau kalian bersaudara tak mampu melawan tiga jurusnya, selanjutnya malu bertemu orang, biarlah kami korek saja biji mata itu, kalah ya kalah secara jantan," jengek Pin-pin. "Masih ingat siapa yang bilang?"

Auyang Bun-pek mengertak gigi manggut-manggut.

"Sekarang kalian mengaku kalah?" desak Pin-pin.

Auyang Bun-pek tidak bisa menyangkal.

"Mengaku kalah, apa pula yang kalian tunggu?"

Tiba-tiba Auyang Bun-pek menengadah sambil tertawa sedih, suaranya beringas, "Anggaplah kami bersaudara belajar silat tidak tamat, tapi kami bukan orang yang sudi menjilat ludah sendiri."

"Bagus, aku percaya kalian bukan orang yang tidak bisa dipercaya."

Sambil mengertak gigi, Auyang Bun-pek mengulur dua jari tangannya, bagai cakar elang saja mendadak mengorek biji mata sendiri, tapi lelaki mana pun kalau harus membikin buta mata sendiri, tangan akan menjadi lemas.

Dari samping Auyang Bun-tiong berkata lantang, "Begini saja, kau mengorek mataku, aku mengorek matamu!"

Dua saudara kakak beradik ini siap saling membutakan mata mereka, yang tidak tega sudah berpaling muka, di ujung loteng sana seorang malah membungkuk badan muntah-muntah.

Tanpa bergeming Siau Cap-it Long tetap duduk di kursinya, sikapnya tidak berubah.

Mendadak seorang berteriak keras, "Kalau kau ingin mereka mengorek matanya, harus kau korek dulu mataku!"

VI. CINTA ADALAH PERSEMBAHAN

Suaranya gemetar, nadanya sedih dan gusar, didengar telinga masih terasa merdu bagai hembusan angin sepoi musim semi.

Berubah air muka Siau Cap-it Long, detak jantung hampir berhenti, darah sekujur badan juga seperti membeku. Ia mengenal suara itu, sampai mati takkan dilupakan suara itu. Sim Bik-kun! Itulah suara Sim Bik-kun.

Sim Bik-kun yang tak mungkin terlupakan oleh Siau Cap-it Long, umpama mati seribu kali, selaksa kali sekalipun takkan pernah dilupakan.

Dia tidak melihat Sim Bik-kun, tadi di pojok sana seorang perempuan bercadar hitam tampak gemetar sekujur tubuhnya. Apakah dia Sim Bik-kun, wanita pujaan yang ia rindukan, mimpi juga selalu bertemu, selama hidup takkan dilupakan.

Darah sekujur badan yang hampir membeku mandadak bergolak, jantungnya seperti hampir melonjak keluar. Tapi ia tidak menghampiri, dia takut kecewa, putus harapan, sudah sering kali putus harapan.

Bola mata Pin-pin yang jeli juga sedang mengawasi perempuan bercadar hitam di sana, katanya dengan nada dingin, "Jadi kau tidak ingin mengorek bola mata mereka? Pernah apa engkau dengan mereka?"

"Bukan sanak bukan kadang," kata Sim Bik-kun, "tapi aku rela mati, peristiwa ini akan kutentang."

"Kalau tiada hubungan apa-apa, kenapa kau harus pakai cadar, malu dilihat orang?"

"Sudah tentu aku punya alasan sendiri."

Siau Cap-it Long tetap duduk tak bergeming. Mungkin dia sudah melupakan semuanya.

Hancur luluh hati Sim Bik-kun, raga ini seperti hancur lebur, berkeping-keping. Tapi ia masih berusaha mengendalikan diri, memang dia adalah wanita kelahiran keluarga yang selalu menegakkan aturan dan tata krama.

"Kau tidak ingin menjelaskan alasanmu padaku?"

"Tidak!" sahut Sim Bik-kun.

Pin-pin tertawa lebar, "Aku justru ingin melihatmu!" Perlahan ia berdiri kemudian menghampiri dan berkata dengan senyum manis, "Kuduga kau juga seorang wanita cantik, sebab suaramu begitu merdu."

Senyum tawa Pin-pin memang begitu manis menggiurkan, begitu cantik rupawan, terhitung nona cantik yang tiada bandingan di seluruh negeri. Memang setimpal menjadi pasangan Siau Cap-it Long. Tapi kenapa hati dan pikirannya begitu jahat dan kejam? Kenapa Siau Cap-it Long justru mau mendengar dan patuh padanya? Gadis ini menghampiri, kenapa Siau Cap-it Long tetap duduk di tempat? Memangnya kecuali gadis yang satu ini, tiada wanita lain lagi dalam hatinya?

Perasaan Sim Bik-kun seperti ditusuk-tusuk jarum, hatinya hancur berkeping, seperti tertusuk-tusuk jarum.

Pin-pin sudah berada di depannya, tawanya begitu manis, suaranya juga lembut, "Boleh kau singkap cadarmu supaya aku bisa melihat wajahmu?"

"Ternyata dia tidak mengenal suaraku lagi, kenapa kubiarkan dia melihat aku?" demikian batin Sim Bik-kun. ”Kalau di hatinya sudah tiada diriku, buat apa kita bertemu lagi?"

"Masa kulihat sekilas saja tidak boleh?" tanya Pin-pin sedikit memaksa.

"Tidak boleh!" pendek tegas jawaban Sim Bik-kun.

"Kenapa?"

"Tidak ya tidak," hampir Sim Bik-kun tak kuasa mengendalikan diri.

Pin-pin menghela napas, "Kau tidak mau menanggalkan cadarmu sendiri, biar kubantu kau menyingkapnya." Benar-benar ia mengulur tangan. Tangan yang indah, seindah batu pualam.

Sim Bik-kun mengawasi tangan itu terulur ke mukanya, hampir tak tahan hendak turun tangan. "Jangan, jangan aku bertindak kasar," demikian batinnya, "jangan aku melukai perempuan pujaan hatinya. Selama ini dia sudah banyak berkorban bagiku, besar kasih sayangnya selama ini, kenapa aku harus membuatnya sedih?"

Dengan kencang Sim Bik-kun menggenggam tangan, terasa kuku jari sudah menusuk kulit daging.

Tangan Pin-pin sudah menyentuh cadar di mukanya, mendadak ia urungkan niatnya, "Sebetulnya tak perlu aku melihat wajahmu, dapat aku bayangkan bagaimana tampangmu."

"Kau tahu?"

"Entah berapa kali seorang bercerita padaku tentang bentuk rupamu."

"Siapa yang bilang padamu?"

”Tentu kau tahu siapa yang kumaksud."

"Kau ... kau juga tahu siapa aku?"

"Siapa lagi kalau bukan Sim Bik-kun, wanita tercantik dalam kalangan persilatan."

Seperti teriris hati Sim Bik-kun. Kenapa dia membicarakan diriku dengan cewek ini? Memangnya mau pamer, supaya orang tahu, dulu ada seorang wanita yang begitu mencintainya?

Genggaman tangan Sim Bik-kun makin kencang, tak tahan ia bertanya, "Darimana kau tahu siapa diriku?"

"Kalau kau bukan Sim Bik-kun, mana mungkin dia berubah seperti itu." Sambil bicara tangannya menuding ke belakang, menuding Siau Cap-it Long.

Perlahan Siau Cap-it Long mendatangi, dengan tajam ia mengawasi cadar muka Sim Bik-kun. Tatapannya lurus seperti orang pikun.

Mendadak Sim Bik-kun berkata keras, "Kau salah, aku bukan Sim Bik-kun."

"Kau bukan?"

"Siapa kenal Sim Bik-kun? Perempuan dogol, perempuan bodoh itu?"

Berkedip mata Pin-pin, dengan tertawa lebar ia berkata, "Apa perlu aku menyingkap cadar mukamu?" Kembali ia mengulur tangan hendak menyingkap cadar Sim Bik-kun.

Kini semua hadirin benar-benar mengharap dia betul-betul menyingkap cadar itu, siapa tidak ingin melihat betapa cantik perempuan nomor satu di Bu-lim.

Tak disangka Pin-pin kembali mengurungkan niatnya, ia berpaling ke arah Siau Cap-it Long, "Kurasa lebih baik kau saja yang menanggalkan cadarnya, yakin kau ingin sekali melihatnya?"

Dengan kaku Siau Cap-it Long mengangguk, tentu ia ingin melihatnya, mimpi pun ia selalu berharap dapat melihat, apalagi bertemu. Tangan pun diulur.

"Singkirkan tanganmu!" mendadak Sim Bik-kun berteriak.

Siau Cap-it Long tergagap linglung, "Kau ... kau ...."

"Berani menyentuhku, biar aku mati di hadapanmu."

"Kau ...." Siau Cap-it Long lebih kaget, "kau tidak mengenalku lagi?"

Makin hancur hati Sim Bik-kun. Aku tidak mengenalmu? Demi kau, aku meninggalkan segalanya, mengorbankan nama baik, kekayaan, keluarga dan semua yang kumiliki. Demi kau, aku menderita dan sengsara, entah berapa kali dicemooh, dinista, dipermalukan. Sekarang kau tega mengatakan aku tidak mengenalmu? Dengan keras ia menggigit bibir, terasa anyir darah merembes ke tenggorokan, dengan mengerahkan seluruh tenaga ia berteriak, "Aku tidak mengenalmu, bahwasanya aku tak pernah mengenalmu."

Siau Cap-it Long mundur sempoyongan, seperti mendadak dadanya ditendang orang. Benarkah Sim Bik-kun berubah?

Hoa Ji-giok berdiri diam menonton, mendadak Sim Bik-kun memeluk lengannya, "Ayo kita pergi!"

Jadi pria ini yang membuatnya berubah? Pria ini masih muda, cakap ganteng malah, penurut lagi, sejak tadi ia berdiri mematung di belakang. Tak heran dua tahun sudah aku mencarinya dan tidak pernah ketemu, ternyata ia sudah tidak mau bertemu denganku. Hati Siau Cap-it Long juga luluh.

Mereka sama-sama diracun kesan jahat, curiga dan cemburu. Jari-jari Siau Cap-it Long mengepal kencang, mata melotot mengawasi Hoa Ji-giok.

Tanpa melirik sekali pun Sim Bik-kun bertanya pada Hoa Ji-giok, "Kenapa tidak segera kita pergi?"

Perlahan Hoa Ji-giok menganggukkan kepala, dari belakang maju dua orang memapah Hong Si-nio.

Air mata Hong Si-nio terus mengalir, dengan mata berkaca-kaca ia mengawasi Siau Cap-it Long. Ia harap Siau Cap-it Long bisa mengenali dirinya, bisa menjelaskan kepadanya bahwa semua kejadian itu hanya salah paham, salah pengertian. Tapi melirik pun Siau Cap-it Long tidak memperhatikan dirinya, sebab mimpi pun tak pernah ia duga, perempuan yang digotong-gotong ini adalah Hong Si-nio, teman lama yang kini tertutuk bungkam tak mampu berbuat apa-apa.

Siau Cap-it Long hanya terlongong mengawasi luar jendela, seperti tidak melihat sinar bintang, juga tidak melihat cahaya lilin, hanya kegelapan terbentang di depan matanya.

Kalau bisa, ingin rasanya Hong Si-nio meratap, menangis tergerung-gerung, air mata membasahi hampir seluruh cadar penutup mukanya.

Pin-pin justru sempat memperhatikan cadar yang basah oleh air mata itu, serunya "Kau juga menangis? Kenapa kau menangis?"

Demi Siau Cap-it Long, memangnya aku tidak sengsara? Tidak menderita? Pengorbananku mungkin adalah yang terbesar. Gadis cilik ini malah bilang aku menangis bagi orang lain. Ingin Hong Si-nio berontak dan berteriak histeris, sayang hanya kelopak matanya saja yang bisa bergerak, sekujur badan kaku lemas tak bisa bergerak.

Dua orang yang memapah dirinya mempercepat langkah. Pin-pin hendak maju merintangi, sekilas dia ragu, lalu membiarkan mereka berlalu.
Hong Si-nio maklum akan kondisi Siau Cap-it Long saat itu, ia tidak ingin memperpanjang urusan. Maka tanpa daya Hong Si-nio dibawa pergi lewat di depan Siau Cap-it Long. Perlahan rombongan ini turun dari loteng, naik kereta. Kereta bergerak cepat sekali, meninggalkan kepulan debu di belakang.

Mendadak Siau Cap-it Long berseru, "Bawakan arak dua puluh kati, arak yang paling bagus!"

Pasti arak yang paling bagus. Arak paling bagus umumnya malah tidak bisa membuat orang mudah mabuk?

Pin-pin mengawasinya, katanya lembut, "Mungkin orang itu bukan Sim Bik-kun."

Setelah menenggak beberapa cawan arak, Siau Cap-it Long tergelak-gelak, "Tak usah kau membujukku, aku tidak sedih."

"Betulkah?"

"Aku hanya ingin minum sepuas-puasnya, sudah lama aku tidak mabuk."

"Tapi Auyang-hengte diam-diam sudah ngacir."

"Aku tahu."

"Mungkin mereka akan balik kembali."

"Kau kuatir mereka datang membawa bantuan?"

"Aku sih tidak takut, Siau Cap-it Long yang mabuk, cukup mampu mengatasi Auyang-hengte dan kamrat-kamratnya."

"Omongan bagus, harus dihukum tiga cawan." Tiga cawan besar arak ditenggaknya habis.

Pin-pin ikut mencicipi seteguk, katanya kemudian, "Aku sedang heran, siapakah perempuan lain yang ditutup cadar mukanya itu? Kenapa cadarnya basah oleh air mata?"

"Apa kau melihat dia menangis?"

"Dari cadar penutup mukanya yang basah, membuktikan kalau dia menangis."

"Mungkin dia sakit, seorang kalau diserang demam bisa saja menangis, apalagi seorang perempuan."

"Tapi aku tahu dia tidak sakit."

"Jalan saja tidak bisa, kau masih bilang dia tidak sakit?"

"Benar tidak bisa jalan, tapi bukan lantaran sakit."

"Orang yang sakit keras, kaki tangan bisa lumpuh, jadi tak bisa jalan, tapi tulang-tulang orang itu bisa ditekuk, sekujur badan justru kelihatan kaku."

”Ternyata kau lebih teliti dari aku."

"Jangan lupa, aku ini kan gadis jenius," ujar Pin-pin dengan tawa mekar.

Waktu memandang rona mata Siau Cap-it Long, seperti membayangkan rasa kuatir dan kasihan. Syukur Pin-pin tak memperhatikan sikapnya, katanya lebih jauh, "Maka kuyakin dia tidak sakit."

"Maksudmu dia ditutuk jalan darahnya?"

"Mungkin sekali."

"Menurutmu karena apa dia melelehkan air mata?"

"Mungkin karena persoalan kalian, karena Sim Bik-kun."

"Siapa sudi melelehkan air mata lantaran urusan kami? Untuk bersyukur saja mending bagiku, umpama aku mati di jalan, takkan ada orang melelehkan air mata bagiku."

"Paling tidak aku ...." sebetulnya Pin-pin mau bilang "aku akan menangis". Entah karena apa ia beralih ke persoalan lain, bola mata nan indah menampilkan makna kesedihan. Memang hatinya rawan karena merasakan nasibnya yang jelek?

"Tapi dia meneteskan air mata, maka aku berkesimpulan, bukan saja dia kenal kalian, juga prihatin akan nasib Sim Bik-kun."

"Mungkin karena persoalan lain."

”Tadi di sini tiada persoalan lain yang bisa menimbulkan rasa sedih hingga orang mencucurkan air mata."

"Dari kesimpulanmu itu, kau berpendapat bahwa dia adalah teman Sim Bik-kun?"

"Pasti begitu."

Bola mata Siau Cap-it Long berbinar, "Kalau dia ditutuk jalan darahnya, bukan mustahil Sim Bik-kun juga diancam orang itu."

"Maka sikapnya berubah drastis terhadapmu."

Memerah selebar muka Siau Cap-it Long, mulutnya menggumam, "Mungkin bukan maksudnya menampilkan sikap sekasar itu kepadaku, kenapa tadi tidak kupikir hal ini?"

"Karena dalam hatimu ada seekor ular jahat?"

"Ular jahat?"

"Curiga dan cemburu adalah ular jahat itu," ujar Pin-pin sendu, "dari sini dapat disimpulkan, engkau masih belum bisa melupakan dia, kalau tidak, kenapa kau mencurigainya, kenapa kau cemburu terhadap lelaki tadi?"

Siau Cap-it Long diam saja, tidak bisa menyangkal.

"Bahwa kau tidak bisa melupakan dia, kenapa tidak kau cari dia saja? Jika sekarang kau menyusulnya, mungkin masih bisa tersusul!"

Siau Cap-it Long sudah berjingkrak berdiri, tapi pelan-pelan duduk kembali, tawanya kecut, "Bagaimana aku harus mencarinya?" Dalam kondisi seperti sekarang, ia tak punya akal lagi.

"Mereka tadi naik kereta."

"Kereta yang bagaimana?"

"Kereta hitam yang masih baru, kuda penarik kereta juga berbulu hitam legam, pemilik kereta pasti seorang yang punya kedudukan, kaya dan berpengaruh. Kereta seperti itu yakin tidak sukar mencarinya."

Siau Cap-it Long segera berdiri.

"Tapi kusarankan bertanya dulu pada Siau-song kusir kereta kita!"

"Kenapa?"

"Sesama kusir kereta pasti gampang bergaul, waktu menunggu sang majikan di luar, mereka tentu banyak mengobrol, mungkin yang diketahui Siau-song bisa lebih banyak dan komplit."

Gadis ini memang teliti lagi pintar. Gadis secerdik ini, pantas kalau orang merasa bangga baginya. Tapi tiap kali mengawasi nona jelita ini, kenapa sikap Siau Cap-it Long kelihatan seperti amat sayang dan sedih?

* * * * *

Siau-song bercerita, "Kusir kereta itu orang aneh, waktu kuajak mengobrol, dia selalu bersungut, disapa diam saja diajak bicara tak menjawab, seperti hutang tiga ratus tahil perak pada bapaknya."

Itulah penjelasan Siau-song tentang kusir kereta yang dinaiki Hoa Ji-giok. Apa yang dijelaskan tak lebih banyak dari yang diketahui Pin-pin.

Siau Cap-it Long terlihat rada kecewa, mendadak Siau-song menambahkan, "Selama tiga hari ini, pagi-pagi mereka sudah datang ke sini, malam baru pulang, seperti menunggu seseorang."

"Beruntun tiga hari mereka datang?"

"Ya, pelayan restoran menceritakan padaku."

"Kondisi mereka sudah menarik perhatian orang, beruntun datang tiga hari. Pemilik retoran mungkin tahu asal-usul mereka."

VII. TRAGEDI BOK-TAN-LAU

Pemilik Bok-tan-lau she Lu.

Lu-ciangkui bertutur, "Dua nona bercadar hitam itu memang tiga hari beruntun telah datang, minta hidangan semeja penuh, tapi tiada yang mau makan, setelah restoran kami nyatakan mau tutup mereka baru pulang."

"Uang yang mereka bayarkan cukup banyak, maka semua pelayanku senang melayani mereka."

"Yang bayar rekening siapa?" tanya Pin-pin.

"Lelaki muda yang ikut datang itu," sahut Lu-ciangkui.

"Kau tahu selama tiga malam ini mereka bermalam dimana?"

"Konon mereka menyewa villa di hotel Lian-hun, malah sudah bayar tunai untuk sepuluh malam"

"Keteranganmu dapat dipercaya?"

"Pasti dapat dipercaya, pemilik hotel Lian-hun adalah kakak isteriku."

Pemilik hotel Lian-hun she Gu.

Gu-ciangkui bertutur, "Dua nona yang mengenakan cadar itu memang aneh, siang hari terus berada di kamar, makan minum harus diantar ke kamar. Begitu magrib sudah siap-siap berangkat ke Bok-tan-lau. Tiga hari berada di sini, orang-orang yang berada di sini tiada seorang pun pernah mendengar mereka bicara."

"Mereka menempati kamar yang mana?"

"Di pojok timur sana, villa itu khusus untuk tamu-tamu kelas tinggi, seluruh komplek villa itu disewa semuanya."

"Malam ini mereka sudah pulang?"

"Baru saja tiba," ujar Gu-ciangkui sambil menggeleng kepala, "seharian mereka berada di Bok-tan-lau, restauran besar, tentu makan minum serba kenyang. Begitu tiba di kamar kembali pesan satu meja penuh hidangan dan arak."

"Hidangan semeja yang dipesan itu mungkin diperuntukkan bagi kita," ujar Pin-pin tertawa riang.

"Mereka tahu kalian akan datang?"

"Tidak tahu."

Gu-ciangkui mengawasinya dengan pandangan kaget, seperti mendadak merasa tamu-tamu yang datang dan menginap di hotelnya adalah orang-orang aneh misterius.

Dalam kamar terang benderang, meja bundar dilembari taplak meja serba merah darah, dipenuhi hidangan dan botol arak.

Pemuda ganteng yang tadi di belakang seperti kacung itu, kini sudah berganti pakaian, baju ramping serba baru dan mahal, duduk memandang meja penuh hidangan itu, ia sedang menuang arak, beruntun mengisi tiga cawan, tiba-tiba menoleh ke jendela dan berkata sambil tertawa, "Kalian sudah datang, kenapa tidak silakan masuk untuk minum dan makan bersama?"

Siau Cap-it Long memang berada di luar jendela, "Ada yang mentraktir minum arak, tidak pernah aku menolaknya."

Jendela tidak dipalang, tiga kursi masih kosong.

"Silakan duduk!" sambut Hoa Ji-giok membungkuk badan.

Dengan tajam Siau Cap-it Long mengawasi muka orang, "Nona Sim datang ikut kau, apa kau tidak pernah mengundangnya untuk makan bersama?"

"Aku tidak mempersiapkan kursi untuk mereka, sebab mereka kini sudah tiada di sini."

Berubah muka Siau Cap-it Long. Biasanya tidak semudah itu air mukanya berubah, tapi mukanya kini tampak menakutkan, "Apa mereka sudah pergi?"

"Ya, baru saja berangkat."

"Kau biarkan mereka pergi?"

Hoa Ji-giok tertawa ewa, "Cayhe bukan berandal, bukan polisi, mereka mau pergi, mana bisa aku menahan mereka."

Siau Cap-it Long menyeringai dingin.

Hoa Ji-giok berkata, "Agaknya Siau-tayhiap tidak percaya?"

"Agaknya kau memang bukan berandal, tapi menilai orang bukan dari mukanya, kukira kau paham akan hal ini?"

"Berdasar apa Cayhe harus berbohong pada Siau-tayhiap?"

"Karena kau tidak senang aku bertemu mereka."

"Kalau aku tidak senang Siau-tayhiap bertemu mereka, kenapa aku kembali ke hotel ini lagi? Buat apa kupesan hidangan sebanyak ini untuk menyambut kehadiran Siau-tayhiap?"

Mulut Siau Cap-it Long terkunci.

"Sengaja Cayhe menunggu di sini, maksudku akan kujelaskan salah paham tadi."

"Apa ada salah paham?"

"Belakang ini nona Sim selalu dikawal oleh Ing dan Liu ber-dua cianpwe."

Terangkat kepala Siau Cap-it Long, "Ang-ing-lok-liu?"

Hoa Ji-giok memanggut, "Kalau Siau-tayhiap tidak percaya, kapan saja silakan tanya mereka, kedua Cianpwe itu pasti tidak berbohong!"

"Lalu kenapa bisa ikut engkau ke tempat ini?" tanya Siau Cap-it Long.

Hoa Ji-giok bimbang, seperti serba salah untuk menjelaskan.

"Kau tidak mau menjelaskan?" desak Siau Cap-it Long.

"Bukan Cayhe tidak mau menjelaskan, hanya saja ...."

"Hanya saja apa?"

"Cayhe hanya takut setelah mendengar penjelasanku, Siau-tayhiap tidak senang hati."

"Kalau tidak kau jelaskan aku justru marah. Ketahuilah, kalau marah aku ini orang yang tidak kenal kompromi."

Agak lama Hoa Ji-giok kelihatan ragu, katanya kemudian, "Berita yang tersiar di Kangouw mengatakan bahwa Lian Shia-pik juga berada di daerah ini, nona Sim mendengar berita ini, lalu mendesak Cayhe membawanya kemari."

Berubah air muka Siau Cap-it Long, penjelasan Hoa Ji-giok ibarat sebilah pisau tajam menusuk sanubarinya. Mendadak ia merasa sekujur badan menjadi dingin. Kalau Sim Bik-kun berubah karena orang lain, ia masih bisa menerima, tapi Lian Shia-pik....

Hoa Ji-giok menghela napas gegetun, seperti merasa simpati, "Biar orangnya sudah pergi, arak masih banyak, silakan Siau-tayhiap menikmati beberapa cawan sambil menghabiskan waktu malam ini!"

"Baik, mari habiskan tiga cawan!"

"Silakan."

"Cawan ini tidak bisa dipakai," kata Siau Cap-it Long.

"Kenapa tidak bisa dipakai?" tanya Hoa Ji-giok.

"Cawan ini terlalu kecil," mendadak ia raih satu mangkuk besar berisi bakso kakap, semangkuk kaldu sirip ikan hiu, dan semangkuk sup sarang burung, semua dia tuang di lantai, tiga mangkuk yang sudah kosong ia tuangi arak yang tersedia, "Kusuguh untukmu, silakan minum!"

Dengan sikap apa boleh buat Hoa Ji-giok menggeleng kepala. "Baiklah," katanya kemudian, "aku minum." Meski lambat, tiga mangkuk besar arak itu dia tenggak habis seluruhnya.

Siau Cap-it Long juga menghabiskan tiga mangkuk besar arak, "Kini giliranmu menyuguh padaku. Sebagai tuan rumah, kau minum dahulu."

"Minum tiga mangkuk lagi?" seru Hoa Ji-giok, "Cayhe mungkin tidak mampu lagi."

Melotot mata Siau Cap-it Long, "Aku menghormatimu, kau tidak menghargaiku, kau meremehkan aku?"

"Baiklah, aku balas suguhkan tiga mangkuk," dengan menyengir ia habiskan tiga mangkuk arak itu. Anehnya setelah menghabiskan mangkuk kedua, cara minumnya malah lebih cepat dan tuntas, mangkuk ketiga dlminum seperti minum teh saja.

Setelah Siau Cap-it Long menghabiskan tiga mangkuk lagi, Hoa Ji-giok tertawa, "Hayo habiskan tiga mangkuk lagi, Siau-tayhiap silakan!"

Siau Cap-it Long melotot, katanya dengan suara mendesis, "Ada dua hal perlu kuberitahu padamu."

"Cayhe siap mendengarkan."

"Pertama aku ini bukan Tayhiap, selamanya belum pernah jadi Tayhiap. Kedua, kalau kutemukan omonganmu ternyata bohong, akan kupotong lidahmu, mengerti?"

Hoa Ji-giok manggut-manggut, "Aku mengerti, tapi kurasa ada yang tidak ku mengerti?"

"Soal apa yang kau tidak mengerti?"

"Bahwa dia datang karena Lian Shia-pik, kurasa dia pergi lagi juga lantaran Lian Shia-pik, kenapa tidak kau cari mereka, malah menumpahkan kekesalanmu kepadaku?" Habis bicara tubuhnya melorot jatuh mendengkurdi lantai.

Wajah Siau Cap-it Long membesi hijau, dengan taplak meja yang lebar warna merah, dia bungkus seluruh hidangan yang ada di atas meja, "Sengaja kau ingin menjamu aku, hidangan tidak habis ini biar aku bawa pulang saja."

Hoa Ji-giok diam saja, karena begitu rebah di lantai langsung tidur pulas karena mabuk berat.

Siau Cap-it Long mengakak tiga kali sambil menengadah, buntalan besar itu ia panggul di punggung, tangan Pin-pin ditarik terus turun loteng.

Setelah bayangan mereka pergi jauh, dari balik kerai bambu seorang menyingkap masuk sambil mengomel, "Tamu segarang itu sungguh jarang aku melihatnya." Yang keluar ternyata adalah Sim-sim, mengawasi Hoa Ji-giok yang rebah di lantai, lanjutnya, "Tamu jahat itu sudah pergi, hayo lekas bangun!"

Hoa Ji-giok segera membuka mata terus berdiri, katanya sambil menggeleng kepala, "Orang itu lihai betul, hampir saja aku dibuatnya mabuk sungguhan."

Sim-sim tertawa manis, "Sayang dia tidak tahu ukuran minummu ternyata jauh lebih banyak dari dugaannya semula."

"Satu hal yang nyata adalah pribadiku ini yakin jauh lebih bejat dibanding perkiraannya."

Sim-sim berkata, "Kalau di Kangouw muncul lagi Cap-toa-ok-jin, satu di antaranya pasti engkau."

"Lalu engkau?"

"Jelas aku juga masuk hitungan."

"Apakah Sim Bik-kun betul sudah pergi?"

"Sudah kusuruh Pek-losam membawanya pergi, pesanmu juga sudah kusampaikan kepadanya."

"Perempuan gila itu?"

"Kuatir lelaki garang itu mencarinya ke belakang, maka kupersilakan dia istirahat di kolong ranjang."

"Sekarang boleh kau persilakan dia keluar!"

"Lalu akan kau suruh apa dia?"

"Kupersilakan dia mandi, lalu tugasmu mendandani dia!"

"Pernah kudengar bahwa seorang yang akan dimasukkan peti mati harus dirias dan didandani."

"Siapa bilang akan memasukkan dia ke dalam peti mati?"

"Kenapa tidak?"

"Sebab dia amat berharga."

"Memangnya engkau ingin menjualnya?"

"Ya."

"Dijual kepada siapa?" berbinar bola mata Sim-sim. Hoa Ji-giok tersenyum lebar, "Tentu kujual kepada bangkotan tua yang kepincut paras cantik, sudah lama bangkotan tua ini amat merindukan dia."

Sim-sim cekikikan, katanya mengawasi, "Memang pantas kalau kau jadi penjahat besar."

"Memangnya siapa bilang bukan?"

"Muslihat apa yang engkau rancang, yakin mimpi pun Siau Cap-it Long takkan menduga ...."

* * * * *

Siau Cap-it Long tidak pernah mau berpikir, yang dirasakan hanya kepalanya seperti kosong, hati hampa pikiran melompong, berjalan di jalan raya, rasanya seperti berjalan di tengah gumpalan mega.

Ia berkukuh tidak mau naik kereta, ingin berjalan kaki saja, maka kereta disuruh pulang lebih dulu, terpaksa Pin-pin menemaninya berjalan. Setelah melewati simpang jalan di depan, mendadak ia bertanya, "Perutmu lapar tidak?"

Pin-pin geleng kepala.

Menggoyang buntalan besar di tangan, Siau Cap-it Long berkata, "Aku hanya mengingatkan kau, dalam buntalan ini ada masakan enak dan mahal. Kalau perutmu lapar, silakan pilih bermacam masakan yang ada di sini."

Mengawasi buntalan besar yang basah oleh kuah dan sebagainya, Pin-pin ingin tertawa, tapi tak bisa tertawa.

Pin-pin bisa merasakan perasaan Siau Cap-it Long saat itu, begitu sedih, pilu dan rawan hatinya, tapi tak bisa menangis. Mendadak Siau Cap-it Long mendeprok duduk di pinggir jalan, kepala mendongak mengawasi taburan bintang di langit dengan termangu-mangu, sesaat kemudian mulutnya mendesis, "Mestinya tadi kucomot seguci arak, minum arak di tempat ini sungguh menyenangkan."

Pin-pin hanya mendengarkan saja, kembali Siau Cap-it Long berkata sambil menyengir, "Tak apalah, dimana saja pasti ada arak dan bisa minum sepuasnya."

Tawanya tidak mirip tawa, orang yang melihat tawanya malah terharu ingin ikut menangis.

Kalau dia datang demi Lian Shia-pik, sekarang tentu pergi mencari Lian Shia-pik.
Lian Shia-pik diagulkan sebagai Kuncu, lelaki sejati yang welas asih dan bajik, mestinya mereka berdua memang pasangan suami isteri yang setimpal, saling cinta, umpama salah langkah dan ada salah paham, setelah dipikir dan dijelaskan, urusan tidak perlu ditarik panjang. Akhirnya tentu disadari oleh Sim Bik-kun, hanya Lian Shia-pik seorang yang patut, kepada siapa ia bersandar hidup selanjutnya.

Dari buntalan kain kembali Siau Cap-it Long mencomot keluar paha ayam, setelah diamati mendadak dilempar ke pinggir.

Kini Pin-pin ikut duduk, mengawasinya dengan pandangan serba salah, tak tahan ia bertanya, "Kau percaya apa yang dikatakan orang itu?"

"Satu patah kata saja aku tidak percaya," sahut Siau Cap-it Long.

"Kalau tidak percaya, kenapa harus menyingkir dari sana?"

"Memangnya aku harus ikut dia tidur di lantai?"

"Kenapa tidak kau cari dia di belakang?"

"Dicari juga belum tentu ketemu."

"Belum dicari bagaimana tahu tidak ketemu?"

"Orang macam itu, kalau tidak mau bertemu, apa gampang ditemukan, bagaimana aku harus mencarinya?"

"Kau tahu dia seorang yang licik lagi licin?"

Siau Cap-it Long manggut-mangut, "Pertama aku melihatnya, aku lantas ingat seseorang."

"Siapa?"

"Siau-kongcu, Siau-kongcu yang seratus kali lebih beracun dibanding ular beracun." Tiap kali menyinggung nama Siau-kongcu, tampak kengerian di matanya, tanpa sadar ia bergidik ngeri.

"Orang itu jelas bukan Siau-kongcu."

Siau Cap-it Long mengangguk, "Dia seorang lelaki."

Siau-kongcu adalah samaran gadis, seorang perempuan, mirip merpati jinak, tapi juga mirip elang ganas yang siap menerkam mangsanya. Sampai sekarang Sim Bik-kun masih merasa ngeri, dalam mimpi sering bertemu, walau gadis ini sudah meninggal, mati di bawah pedang Lian Shia-pik.

Siau Cap-it Long berkata, "Lelaki yang satu ini memang bertingkah mirip cewek, tapi pasti dia seorang lelaki tulen."

"Kau yakin?"

"Peduli dia perempuan menyamar lelaki, atau lelaki menyamar perempuan, aku punya cara menentukan dia lelaki atau perempuan."

"0, bagaimana caranya?"

"Caraku ini resep tunggal perguruan, tiap kali praktek tiap kali berhasil, seratus persen betul, belum pernah meleset sekalipun."

"Caranya bagaimana?"

"Merabanya sekali."

Merah jengah selebar muka Pin-pin.

"Tadi waktu kau tidak perhatian, aku sudah merabanya."

Dengan muka jengah Pin-pin berkata, "Kulihat kau mabuk."

"Siapa bilang aku mabuk." Melotot mata Siau Cap-it Long, "aku sadar sesadar-sadarnya."

"Kalau tidak mabuk, ucapanmu tidak pernah sekotor itu."

Sejenak Siau Cap-it Long mengawasinya mendelong, akhirnya tertawa sambil memperlihatkan barisan giginya, "Apa benar kau kira aku ini orang baik?"

Pin-pin menghela napas, suaranya lembut, "Aku tidak peduli bagaimana orang menilaimu, hanya aku yang tahu, kau adalah ...."

Belum habis ia bicara, dari sana berkumandang derap lari kuda menarik kereta. Sebuah kereta besar warna hitam cepat sekali melesat di jalan raya di depan mereka.

Pin-pin berteriak, "He, itulah kereta yang dinaiki orang tadi."

"O, apa iya?"

”Tengah malam buta rata, mereka menempuh perjalanan sekencang itu, untuk keperluan apa?"

"Mungkin kereta itu kosong."

"Pasti ada penumpangnya."

"Kau melihat penumpangnya?”

"Ada banyak kepulan debu di belakang kereta, aku tahu apakah kereta itu berpenumpang."

"O, ternyata sepasang matamu jauh lebih lihai dari begal besar Siau Cap-it Long."

Pin-pin tertawa geli, "Ya, sedikit lihai dibanding begal besar Siau Cap-it Long yang mabuk."

"Bagaimana kalau kita menyusulnya?" kata Siau Cap-it Long. "Ingin aku tahu bocah itu sedang memerankan tokoh apa?"

Padahal kereta itu dilarikan kencang dan telah lenyap ditelan kegelapan, di tengah malam hening suaranya pun tidak terdengar lagi. Siau Cap-it Long sudah melompat berdiri, tapi pelan-pelan duduk kembali.

Kalau sudah menyusul memangnya mau apa? Bukankah dengan tegas dia telah menolak uluranku?

Dari buntalan taplak meja, Siau Cap-it Long merogoh keluar sepotong daging bebek, dengan rakus ia gerogoti daging itu seperti orang kelaparan. Makan kadang memang bisa mengendalikan emosi seseorang, menenangkan pikiran menenteramkan gejolak hati.

Dengan merenung Pin-pin berkata, "Aku yakin mereka tidak melihat kita, pasti menyangka kita sudah pergi naik kereta."

Siau Cap-it Long sedang sibuk mengunyah daging bebek. Biasanya dia memang makan bebek panggang, tapi daging yang dikunyah dalam mulut terasa seperti arang kayu layaknya.

"Kusir yang mengendaikan kereta, kulihat bukan lagi kusir kereta yang tadi," kata Pin-pin lebih jauh, urusan sekecil ini ternyata juga masuk perhatiannya. "Kereta itu jelas berpenumpang, tapi hanya satu orang saja."

Siau Cap-it long mulai merasa aneh, "Kenapa hanya seorang?"

Pin-pin juga sedang keheranan. Mendadak ia berkata, "Bagaimana kalau kita kembali ke hotel Lian-hun?"

Sudah tentu setuju. Apa yang disarankan Pin-pin, Siau Cap-it Long jarang menolak apalagi menentangnya.

* * * * *

Lampu-lampu masih menyala, tapi orangnya sudah pergi. Rumah itu kosong, di ruangan tiada orang, di kamar juga senyap. Bukan saja tiada penghuni, barang-barang bawaan juga tiada.

"Mereka sudah pergi semua," ujar Siau Cap-it Long.

"Tapi kereta itu jelas hanya ada satu orang."

"Mungkin mereka berpencar?"

"Kalau datang bersama, kenapa tidak pulang berbareng?"

Berputar bola mata Siau Cap-it Long, dengan tertawa ia berkata, "Mungkin mereka tahu kita bakal balik, diam-diam bersembunyi di bawah ranjang."

Mendadak ia melompat ke sana, dengan sebelah tangan ia angkat pinggir ranjang hingga tersingkap miring. Kosong melompong, kecuali debu tiada benda lain, rasanya seperti mengumbar tenaga belaka.

Pin-pin malah melihat sebuah benda, benda yang warnanya mirip debu. Pin-pin maju mendekat memungut benda itu, ternyata sebuah tusuk kondai kayu warna hitam mengkilap. Mendadak diserobot Siau Cap-it Long, Sekali lihat berubah air mukanya. Tiada persoalan genting apapun yang bisa merubah air mukanya.

"Kau pernah melihat tusuk kondai ini?" tanya Pin-pin.

"Hm, ya."

"Di tempat mana kau pernah melihatnya?"

"Di sanggul seseorang."

"Sanggul siapa? Nona Sim?"

Sambil geleng kepala Siau Cap-it Long menghela napas, "Selamanya kau takkan bisa menebak siapa dia."

Berputar biji mata Pin-pin, "Apa bukan Hong Si-nio?"

Siau Cap-it Long menarik napas, "Tebakanmu benar."

"Wanita tak mampu berjalan itu, apa mungkin Hong Si-nio?"

Baru sekarang menyadari persoalan ini, langsung ia berjingkrak gugup, "Ya, benar pasti dia, dia tadi ada di sini."

Warna tusuk kondai sudah kusam, sudah lama tak dipakai, tapi Hong Si-nio amat menyayangi benda itu, sebab benda itu adalah kenang-kenangan hadiah Siau Cap-it Long.

"Harta benda seperti mutiara atau perhiasan mahal lain miliknya malah lebih banyak tapi tusuk kondai kayu ini tak pernah tanggal dari sanggul kepalanya selama bertahun-tahun, kalau bukan karena dia ditawan, mungkin ditutuk jalan darahnya hingga tidak mampu bergerak, tak mungkin membiarkan benda kesayangan ini jatuh di bawah ranjang."

"Tusuk kondai ini ada di bawah ranjang, berarti badannya juga disembuyikan di situ."

"Betul, waktu kami meluruk datang tadi, Hong Si-nio pasti disembunyikan di bawah tempat tidur."

"Tapi bawah ranjang hanya cukup untuk bersembunyi satu orang saja."

"Di kereta itu juga hanya ada satu penumpang."

"Lalu mereka berada di mana?"

Siau Cap-it Long menjadi gemas, "Apapun yang akan terjadi, yang penting sekarang kita temukan dulu bocah itu."

"Bila bisa menemukan kereta itu, pasti dapat menemukan dia."

"Sekarang juga kita cari," ucap Siau Cap-it Long, mendadak ia buang buntalan taplak meja. Waktu mengangkat kepala ia melihat seorang berdiri melongo di ambang pintu.

Gu-ciangkui baru saja beranjak masuk, ia mengawasi sisa hidangan yang berserakan di lantai, matanya mendelong.

Terpaksa Siau Cap-it Long tertawa menyengir, "Kami orang kikir, suka berhemat, hidangan yang tidak habis dimakan biasanya kami bungkus dan bawa pulang."

Teipaksa Gu-ciangkui tertawa sambil manggut-manggut. Sebetulnya dia sedang mengerahkan anak buahnya untuk bersih-bersih, sekaligus mencari keuntungan dari sisa hidangan yang dipesan para tamu. Sungguh tak pernah terpikir olehnya rombongan ini pergi, rombongan lain balik lagi.

Siau Cap-it Long jadi sungkan sendiri, ia tarik tangan Pin-pin terus diajak pergi. Mendadak Gu-ciangkui berkata, "Apa kalian tidak ingin membungkus kembali sisa makanan di lantai ini untuk diantar ke seberang?"

Berhenti langkah Siau Cap-it Long, Pin-Pin malah menoleh, "Seberang? Seberang itu tempat apa?”

"Lho kalian belum tahu? Dua nona tadi sudah dipindah di halaman belakang di seberang situ."

Bersinar mata Siau Cap-it Long, ia tepuk pundak Gu-ciangkui, "Kau orang baik, aku senang mengenalmu. Hidangan ini semua kuserahkan padamu untuk makan tengah malam, tak usah sungkan."

Mengawasi hidangan yang sudah campur aduk di lantai, Gu-ciangkui melenggong sekian lama, mimiknya menjadi aneh, mau tertawa seperti juga ingin menangis, waktu ia mengangkat kepala, dua orang itu sudah lenyap entah kemana. Kebetulan seorang pelayannya masuk, siap membersihkan ruang ini, Gu-ciangkui tepuk-tepuk pundaknya dan berkata padanya, "Sisa hidangan ini kuberikan padamu untuk makan malam di rumah, semuanya ambil, jangan sungkan."

VIII. GOLOK JAGAL RUSA

Suasana di pekarangan barat sunyi senyap, gelap gulita, betulkah di sini tiada orang? Pohon waru yang besar itu berdiri kokoh di tengah pekarangan, ditimpa sinar rembulan yang redup, bayang-bayang daunnya bergerak gemulai di daun jendela yang ditutup kertas. Jendela ditutup rapat, demikian pula pintu kamarnya.

Sambil menarik tangan Siau Cap-it Long, Pin-pin berbisik, "Dalam kamar begitu gelap, awas ada perangkap."

Siau Cap-it Long memanggut.

"Apa kita akan menerjang masuk begitu saja?" tanya Pin-pin.

Siau Cap-it Long kipatkan tangan orang, dengan gerakan lincah ia melompat ke depan, di mana tinjunya bergerak, "blang", pintu di jotosnya jebol.

Di tengah kegelapan sana seorang berkata dingin, "Berdirilah di situ jangan bergerak, atau kubunuh dia."

Siau Cap-it Long malah tertawa, katanya, "Kau berani membunuhnya? Memangnya kau sendiri ingin mampus?"

Dalam situasi yang makin berbahaya, Siau Cap-it Long malah suka tertawa, sebab ia tahu, tertawa bukan saja bisa menenteramkan hati, bisa mengendalikan diri, lawan juga sukar menebak keadaannya. Yang pasti orang di tengah kegelapan itu tidak berani bereaksi, jelas nada tawanya yang wajar justru memberi tekanan batin baginya. Tapi ia sendiri juga tidak berani gegabah, diam di tempat tak berani bertindak sembarangan.

Mendadak kamar itu menjadi terang oleh cahaya dian. Seorang muncul sambil mengangkat sebuah dian, cahaya dian menyinari wajahnya.

Sebuah wajah yang molek penuh senyum nakal, rambut gilap dikuncir dua, tawanya mekar seperti bunga di musim semi.

Hong Si-nio duduk di sebelahnya, berdandan mirip seorang pengantin, tapi duduk mematung seperti golekan.

Awalnya Sim-sim ingin membawanya pergi, sayang ia tidak mampu membuka tutukan jalan darahnya, menggendongnya pergi juga tidak kuat. Umpana kuat juga takkan mampu lari jauh, akhirnya toh terkejar, berarti sia-sia usahanya.

Akhirnya Hong Si-nio melihat Siau Cap-it Long, Siau Cap-it Ling juga melihat Hong Si-nio.

Hong Si-nio tidak kelihatan tua, kelihatannya malah lebih muda dibanding dua tahun lalu. Bola matanya masih cemerlang, dengan tajam ia mengawasi Siau Cap-it Long, sorot matanya menampilkan rona yang berbeda dan berubah-ubah, entah senang, duka atau lega? Entah terharu atau mungkin gegetun?

Siau Cap-it Long tersenyum lebar, cukup lama mengawasi, mulutnya menggumam, "Orang ini kenapa justru makin muda saja? Memangnya dia siluman perempuan?"

Siau Cap-it Long kembali menampilkan gayanya yang lama. Penampilannya lebih ganteng cakap, pakaian yang membungkus tubuhnya jelas dari bahan pilihan, harganya tidak kurang seratus tahil perak, sikapnya yang kemalas-malasan, senyum nan mempesona, sepertinya langit ambruk juga tidak peduli.

Darah di sekujur badan Hong Si-nio justru sedang bergolak, rasa hati ingin berontak berdiri, lalu berlari menubruk ke dalam pelukannya, saking gemas ingin rasanya ia menggigit pundak orang serta menempeleng mukanya dengan keras. Entah, ia sendiri tidak bisa menjelaskan, kenapa tiap kali berhadapan dengan perjaka yang satu ini, ia hampir sukar mengendalikan diri, apakah itu gejolak cinta? Atau benci? Hong Si-nio tidak bisa membedakan.

Bola mata Sim-sim juga membulat besar, dengan tajam mengawasi Siau Cap-it Long, setelah menghela napas ia berkata, "Siau Cap-it Long eh Siau Cap-it Long, tak heran banyak cewek kepincut kepadamu, tapi tidak sedikit pula yang membencimu? Aku sendiri pun gemas."

Sekilas tadi Siau Cap-it Long sudah mengawasi orang ini, hanya sekilas pandang, tapi ia sudah melihat jelas dari kepala hingga kaki.

Sim-sim berkata lagi, "Bola matamu itu sungguh membuatku gemas sekali. Saat kau mengawasi orang, sepertinya orang yang kau pandang itu telanjang bulat di depanmu."

Siau Cap-it Long menghela napas, "Sayang kau masih anak-anak, atau...."

Sim-sim membusungkan dada malah, katanya sambil melirik, "Atau apa?"

Siau Cap-it Long menarik muka, suaranya kereng, "Sebetulnya kau sudah mampus tiga kali."

Berubah muka Sim-sim, kejap lain sudah tertawa lebar, "Sayang sekali, sebelum kau maju ke depan. Hong Si-nio juga sudah mampus tiga kali."

Siau Cap-it Long menyeringai, "Kau juga berani membunuh orang?"

"Aku tidak berani," ujar Sim-sim, "aku takut gemuk, daging saja aku tidak berani makan, tapi kondisi sekarang memaksa aku tiap hari harus makan daging."

"O, jadi kau pernah membunuh orang?"

"Belum banyak orang yang kubunuh, sampai hari ini belum genap delapan puluh."

Siau Cap-it Long malah tertawa, "Aku suka orang yang pernah membunuh."

"Kau suka?" tanya Sim-sim melengong.

"Ya, hanya orang yang pernah membunuh orang, baru bisa merasakan bagaimana deritanya dibunuh orang."

"Ya, memang menderita, sering kulihat mereka yang terbunuh celananya basah kuyup."

"Syukur kau mengerti, maka jangan kau paksa aku membunuhmu."

Senyum Sim-sim makin lebar malah, "Siapa pun yang ingin membunuhku, pasti menimbulkan duka dalam hatiku. Terhadapmu pun demikian."

"Kalau begitu coba kita berunding."

"Berunding bagaimana?" tanya Sim-sim.

"Kalau sekarang kau mau menyingkir, aku tidak akan menahanmu. Siapa tahu kau bisa hidup lama sampai umur delapan puluh."

"Sepertinya anjuranmu cukup adil."

"Adil seadil-adiinya."

”Tapi aku juga ingin berunding dengan kau."

"O, coba jelaskan."

"Kalau sekarang kau ingin minggat, aku juga tidak akan merintangimu. Siapa tahu Hong Si-nio juga bisa berumur panjang, hidup sampai sembilan puluh tahun."

Siau Cap-it Long bergelak tawa, "Agaknya usulmu ini juga amat adil."

"Jelas adil seadil-adilnya."

Siau Cap-it Long bergelak tawa panjang, seperti ingin bicara lagi, tapi gelak tawanya mendadak sirna. Kejap lain dari luar jendela seseorang berkata dengar kalem, "Agaknya di sini sedang ada barter, setiap barter akan kuberi potongan tiga puluh persen." Suaranya tidak keras, di alam nan sunyi, umpama dia hersuara dengan nada rendah juga bisa didengar orang sekelilingnya, apalagi tawarannya cukup menarik perhatian.

Diam-diam Siau Cap-it Long menarik napas panjang, hatinya maklum, kini ia harus berhadapan dengan orang yang sukar dihadapi.

Dandanan dan tindak-tanduk orang ini kelihatannya bukan orang yang sukar dihadapi, usianya belum tua, jelas juga tidak muda, pakaiannya tidak begitu mewah, tapi jelas dia bukan orang rudin, badannya tidak gemuk tapi bukan lelaki yang kurang makan, kalau bicara penuh sopan santun, sikapnya ramah lagi sabar. Di setiap kota besar yang banyak penduduknya, tidak sukar kau berhadapan dengan orang seperti ini, ya, orang biasa yang tiada beda dengan manusia umumnya. Pedagang yang biasa mondar-mandir dalam kalangannya, setelah punya kedudukan, setelah punya tabungan, punya bini yang bijak dan arif, ada tiga-empat anak, di rumah dibantu dua-tiga babu, bukan mustahil dia adalah juragan kain yang buka toko di kota, mungkin juga juragan pemilik hotel terkenal.

Yang pasti tampang dan penampilan orang ini lebih juragan dibanding juragan Lu pemilik Bok-tan-lou atau juragan Gu pemilik hotel di tempat ini.

Awal bicara orang ini masih berada di luar jendela kecil di bilik belakang sana, tapi begitu selesai bicara, tahu-tahu orangnya sudah melangkah masuk. Langkahnya tidak teramat cepat, tapi juga tidak lambat, setelah berada di samping Siau Cap-it Long, lalu berhenti.

Dengan senyum lebar ia bersoja, "Aku she Ong, Ong Ban-seng."

Ong Ban-seng, nama yang sering dan biasa terdengar dimana saja, nama yang juga mudah dilupakan orang.

Dengan senyum lebar Ong Ban-seng berkata, "Yakin anda semua tidak pernah mendengar nama yang satu ini di kalangan Kangouw."

Siau Cap-it Long mengangguk.

"Tapi aku justru sudah kenal kalian," ujar Ong Ban-seng, "kalian tokoh-tokoh terkenal. Terutama Siau Cap-it Long dan Hong Si-nio."

Mendadak Sim-sim menyeletuk, "Kau tahu berhadapan dengan Siau Cap-it Long, kini sedang bicara hitung dagang, berani kau hendak mengambil keuntungan tiga puluh persen."

Makin lebar senyum Ong Ban-seng, "Umpama baginda raja sedang jual beli di sini, aku juga akan memungut pajak tiga puluh persen."

Berkedip bola mata Sim-sim, "Tempat ini daerah kekuasaanmu?"

"Bukan."

"Lha kenapa kau harus menarik pajak tiga puluh persen?"

"Tiada alasan apa pun, yang pasti aku memungut tiga puluh persen."

"Awalnya kukira kau ini lelaki yang tahu tata krama, ternyata bertindak seperti perampok."

Bersambung
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar