Jilid 12
"Apa yang kau
lihat?" tanya Hong Si-nio, tangannya juga saling genggam, "Kau
melihat, demi Pin-pin dia melukai orang, kau lihat dia berubah menjadi pembunuh
yang sombong dan angkuh, kau lihat dia menjadi pemilik Bu-kau-san-ceng?"
"Betul, semua itu kulihat
sendiri dan tak sudi untuk melihatnya lagi."
"Sayang apa yang kau
lihat hanya merupakan permukaan dari awal kejadian yang tidak kau mengerti,
jangan kau melihat persoalan dari sisi yang bisa kau lihat, dari sana lantas
mengambil kesimpulan, seperti kau melihat sebuah jeruk yang kau anggap masih
segar, padahal isinya sudah busuk, kau ...."
Sim Bik-kun memutus
omongannya, "Tapi banyak kenyataan demikian, kulit jeruk masih segar,
isinya memang sudah busuk."
"Tapi ada kulit jeruk
kelihatan sudah kering, tapi bagian dalamnya masih segar."
"Sebetulnya apa sih yang
ingin kau bicarakan?"
"Ingin kutanya kepadamu.
Tahukah kau kenapa dia melukai orang demi membela Pin-pin? Tahukah kau kenapa
Bu-kau-san-ceng bisa menjadi miliknya? Tahukah kau kenapa dia membunuh
orang-orang itu?"
"Aku tidak tahu dan tidak
perlu tahu."
"Aku justru tahu
jelas."
"O?"
"Dia membela dan
melindungi Pin-pin karena dia adalah penolong jiwanya, kasihan melihat gadis
belia itu terserang penyakit yang tidak bisa disembuhkan, kapan saja dan dimana
saja jiwanya bisa melayang mendadak."
Berubah air muka Sim Bik-kun,
sepertinya hal itu tak pernah ia duga selama ini.
"Dia membunuh orang-orang
itu karena mereka adalah anak buah komplotan Siau-yau-hou. lahirnya loyal,
padahal batin mereka bejat, laki-laki palsu yang punya hasrat dan tujuan
jahat." Sampai di sini Hong Si-nio menghela napas, "Apalagi dia tidak
pernah menemukan harta terpendam seperti yang tersiar di Kangouw, seluruh
kekayaan dan uang yang ia punya tidak lebih hanya muslihat orang yang ingin
menjerumuskan dirinya, jadi uang dan perkampungan itu pemberian seseorang
kepadanya."
Sim Bik-kun menarik muka,
suaranya lebih dingin, "Tak pernah terbayang dalam benakku, ada orang di
dunia ini yang punya cara sejahat itu untuk mencelakai orang lain."
"Jelas kau takkan pernah
mengerti akan hal itu, karena persoalan yang tidak kau mengerti."
"Persoalan apa
maksudmu?"
"Siau-yau-hou punya
organisasi rahasia, ia menampung banyak orang, tengah merencanakan sebuah
muslihat jahat, setelah ia meninggal, organisasi ini dipegang dan dikendalikan
seorang lain."
Sim Bik-kun mendengarkan.
"Hanya Pin-pin yang tahu
adanya organisasi rahasia itu, dan hanya dia yang kenal berbagai orang yang
bermacam corak dan gaya serta riwayatnya itu. Sebab mereka adalah
manusia-manusia palsu, di luar terkenal gagah berani, diagulkan sebagai
ksatria, padahal hatinya busuk, sepak terjangnya jahat."
"Orang-orang seperti
itukah yang dibunuh Siau Cap-it Long?" tanya Sim Bik-kun.
Hong Si-nio memanggut,
"Tapi ia tidak akan menyingkap rumput mengejutkan ular, pada saat turun
tangan alasannya membela Pin-pin. Padahal Pin-pin adalah gadis berhati bajik,
hubungan mereka suci bersih, tidak seperti yang kau bayangkan, punya rasa cinta
asmara di antara mereka."
Dengan kencang Sim Bik-kun
menggigit bibir.
"Untuk menjadikan Siau
Cap-it Long sebagai sasaran bidikan orang banyak, orang yang mewarisi kedudukan
Siau-yau-hou sengaja menyebar berita bahwa dia telah menemukan harta terpendam.
Padahal Siau Cap-it Long menjadi orang kaya raya mendadak, semua itu adalah
jebakan yang diatur orang itu."
Tak tahan Sim Bik-kun
bertanya, "Kau tahu siapa orang itu?"
"Walau belum bisa
memastikan, tapi tujuh puluh persen sudah kuduga seseorang."
"Siapa dia?"
Sepatah demi sepatah Hong Si-nio
menyebut nama orang itu, "Lian Shia-pik."
"Tiada orang lain di
dunia ini yang membenci Siau Cap-it Long seperti dirinya. Apa yang ia lakukan
bukan saja untuk mencelakai Siau Cap-it Long, maksud utamanya jelas supaya kau
kembali ke dalam pelukannya."
Mendadak Sim Bik-kun berkata
lantang, "Yang ingin kau bicarakan dengan aku, hanya itu-itu saja?"
Hong Si-nio manggut-manggut.
"Sekarang kau sudah
selesai bicara, kenapa tidak lekas pergi?"
"Jadi apa yang
kuceritakan tadi, kau tidak percaya?"
Sim Bik-kun menyeringai
dingin, lalu balik bertanya, "Darimana kau bisa tahu semua rahasia itu?
Apakah Siau Cap-it Long sendiri yang memberitahu kepadamu?"
"Jelas dan pasti."
"Setiap omongannya, apa
kau pasti percaya?"
"Setiap patah katanya
kupercaya. Sebab selama aku berkenalan dengan dia, tidak pernah dia membohongi
aku."
"Tapi sepatah kata pun
aku tidak percaya."
"Kenapa?" teriak
Hong Si-nio sengit, "apa karena dia pernah menipumu?" Dengan tajam ia
menatap Sim Bik-kun, lalu dengan tertawa dingin ia menambahkan, "Dalam
persoalan apa dia pernah menipumu? Satu saja kau jelaskan padaku, segera aku
hengkang dari tempat ini."
"Dia ...." hanya
sepatah kata keluar dari mulut Sim Bik-kun, mendadak ia menyadari meski dirinya
selalu merasa Siau Cap-it Long telah menipunya, dalam persoalan apa dia pernah
menipunya, hal ini tak bisa ia jelaskan.
Sejak hari pertama ia bertemu
dengan Siau Cap-it Long, tiap detik tiap jam ia selalu berusaha membela,
melindungi dan memenuhi segala keperluannya.
Setiap patah kata yang pernah
dilontarkan padanya, setiap huruf, semua mutlak benar dan kenyataan.
Tapi sampai detik ini ia masih
mencurigainya, sebab dia adalah perampok besar Siau Cap-it Long yang paling
kejam, paling ditakuti di kalangan Kangouw.
Karena rasa curiganya itulah selama
ini ia banyak menderita, malah hampir tewas di tangan Siau-kongcu. Hampir saja
dia mati oleh tusukan senjata orang.
Tapi selama ini tak pernah ia
dengar orang mengomel, mengeluh dan menggerutu, malah sepenuh hati membela dan
baik terhadap dirinya, malah tak jarang ia rela berkorban demi dirinya. Tak
urung Sim Bik-kun merasa menyesal bukan kepalang, diam-diam ia menundukkan
kepala, air mata meleleh di pipi.
Dengan menatapnya, Hong Si-nio
berkata lebih jauh, "Kau tidak percaya kepadanya, mungkin karena kau tidak
percaya pada diri sendiri, sebab hakikatnya kau tidak pernah berkeputusan,
tidak bertindak tegas. Karena kelemahanmu ini, ketidak mampuanmu, mirip burung
kenari dalam kurungan, tak pernah bangkit keberanianmu menjebol kurungan itu,
terbang bebas kemana pun kau ingin pergi." Sampai di sini ia mengubah
sikap, senyum mulai menghias wajahnya, "Umpama ada orang membuka kurungan
itu, kau jelas takkan berani keluar, karena kau kuatir hujan angin di luar akan
merusak, membasahi bulu nan indah yang tumbuh di badanmu."
Hong Si-nio sadar omongannya
terlalu berat, terlalu menusuk perasaannya, tapi keadaan justru memaksa ia
bicara.
"Kau beranggapan selama
ini kau banyak berkorban demi dia, meninggalkan segala milikmu, tapi pernahkah
kau memikirkan kepentingannya, pernahkah kau berpikir betapa banyak dan besar
pengorbanannya untuk dirimu?"
Sim Bik-kun sesenggukan di
pagar, menangis tergerung-gerung. Ia hanya mendengar apa yang diuraikan Hong
Si-nio memang benar, tak kuasa ia membantah. Karena uraian itu semua adalah
benar, setiap patah kata ibarat ujung pisau tajam yang mengiris relung hatinya.
Melihat betapa pilu hati
orang, hati Hong Si-nio menjadi lemah, katanya setelah menghela napas,
"Apalagi umpama dia bisa menipumu, memangnya aku bisa menipumu? Tentu kau
jelas dan tahu betapa perasaanku terhadapmu?" Air matanya juga bercucuran,
perlahan suaranya makin sendu, "Kalau aku seorang egois, aku akan berusaha
memecah belah kalian, supaya kalian lekas berpisah, kuadu domba supaya kalian
saling benci, tapi sekarang ...."
Dengan berlinang air mata,
mendadak Sim Bik-kun mengangkat kepala, "Kenapa kau berbuat
demikian?"
Hong Si-nio tertawa, tertawa
pilu, "Sebab aku tahu yang betul-betul dicintainya adalah engkau. Hanya
engkau, tiada orang lain."
Hancur hati Sim Bik-kun,
hancur berkeping-keping. Melihat cucuran air mata di pipi Hong Si-nio, melihat
betapa pilu senyum kepedihan hatinya, mendadak ia menyadari kekerdilan dirinya.
Mendadak ia sadar, Hong Si-nio adalah perempuan tulen nan agung dan suci.
"Bukankah pengorbanannya
demi Siau Cap-it Long jauh lebih besar dibanding diriku?"
Dalam hati Sim Bik-kun
bertanya kepada diri sendiri, "Kenapa ia rela menahan deritanya sendiri,
berusaha merangkap perjodohan kami malah?"
"Lalu untuk apa dia harus
membual kepadaku?" Akhirnya Sim Bik-kun mengakui, "Aku maklum apa
yang kau ceritakan semua benar, tapi aku ...."
"Tapi kau tidak berani
mengakui, karena kau takut, kau tidak berani menjebol kurungan yang
membelenggumu, sebab sejak kecil kau sudah dikurung dalam kurungan itu,
kurungan yang orang lain tak bisa melihat, namun kau sendiri bisa merasakan
dirimu terbelenggu oleh kurungan itu."
Sim Bik-kun memang merasakan
adanya belenggu itu. "Coba kau pikir, kenapa Ciu Ci-kong mendadak
muncul?"
"Kenapa?"
"Karena Lian Shia-pik
hendak menitipkan kau di sini, meninggalkanmu di sini, maka dia bisa lebih
leluasa pergi membunuh orang."
"Membunuh siapa?"
"Siau Cap-it Long."
XVIII. CARI MENCARI
"Sekarang kau kembali
menjadi Lian-hujin," demikian kata Hong Si-nio dingin, "maka Siau
Cap-it Long boleh mati, setelah dia mampus, kalian bisa pulang ke
Bu-kau-san-ceng, menjadi dan hidup sebagai suami istri yang dipuja dan dipuji
banyak orang. Umpama jenazah Siau Cap-it Long dilempar ke tempat sampah menjadi
makanan anjing, bahwasanya tiada sangkut-paut apa lagi dengan kalian."
Sampai di sini tubuhnya berputar, "Tapi aku harus pergi menolongnya, maka
setelah aku selesai bicara, segera aku harus berangkat." Ia betul-betul
beranjak keluar.
Mendadak Sim Bik-kun memburu
maju menarik lengannya, "Aku ikut bersamamu."
Berbinar bola mata Hong
Si-nio, "Betul?"
"Betul."
"Kini kau sudah mengambil
keputusan?"
Dengan menggigit bibir Sim
Bik-kun mengangguk, "Apapun yang terjadi, aku ingin bertemu sekali lagi
dengannya."
"Tahukah kau kemana Lian
Shia-pik beramai pergi?"
Sim Bik-kun menengadah
memandang cuaca.
Tanya Hong Si-nio terbelalak,
"Apa betul kau tidak tahu?"
Tenggelam perasaan Hong
Si-nio.
* * * * *
Sementara itu mentari sudah
mulai menggantung ke barat.
Biasanya siang hari di musim rontok
lebih pendek, jelas tidak lama lagi bakal datang senja.
Hong Si-nio tidak tahu kemana
ia harus pergi mencari Siau Cap-it Long.
Ruang tamu ternyata masih
ramai.
Di meja masih penuh hidangan
dan arak, Hou Ing dan Toh Lin sedang makan minum, riang gembira. Yang menjadi
pendamping mereka ternyata adalah Kim-hong-hong.
Mukanya sudah merah, sorot
matanya juga kelihatan buram, dengan cekikikan tertawa ia sedang berkata,
"Mari, tambah dua puluh cawan, kita masing-masing minum sepuluh
cawan."
Hou Ing sedang mengisi cawan
araknya, melihat Hong Si-nio keluar, dengan menyengir tawa ia berdiri, mukanya
juga merah, "Dia mengajakku minum, terpaksa kuiringi kemauannya."
Hong Si-nio menghampiri sambil
tertawa geli, bocah ini memang pandai membujuk orang untuk diajak minum. Dia
juga maklum kenapa Kim-hong-hong memaksa dia untuk adu minum. Seorang kalau
hatinya sedang gundah, pikiran sedang kacau, tentu ingin mencari pelarian, arak
adalah cara yang paling manjur.
Kim-hong-hong memang sedang
gundah-gulana. Perempuan mana saja kalau dikatai sebagai seorang nenek, kalah
adu mulut, kalah wibawa pula, tentu hatinya lara, apalagi selama ini ia selalu
membanggakan diri sebagai wanita temberang yang dihormati dan diindahkan tutur
kata dan tindak-tanduknya.
Hong Si-nio ingin tertawa,
namun malah menghela napas panjang. Wanita yang sudah kelewat umur, betapa suka
dukanya dapat ia resapi lahir batin, detik-detik terakhir ini mendadak
kesadarannya timbul, sikap dan tutur katanya tadi, memang agak terlalu, terlalu
kejam bagi seorang Kim-hong-hong.
Kim-hong-hong sedang mendelik
kepadanya, "Bisik-bisik kalian sudah selesai belum?"
Hong Si-nio mengangguk kepala.
Kim-hong-hong berkata lagi,
"Berani kau kemari adu minum arak denganku?"
Hong Si-nio menggeleng kepala.
Kim-hong-hong tertawa cerah,
"Aku tahu kau takkan berani, ilmu silatmu boleh lebih tinggi dibanding
diriku, tapi kalau kau berani adu minum denganku, pasti kubuat kau menggelepar
di lantai."
"Sekarang kau sudah
hampir rebah malah, sudahlah kurangi dua cawan saja."
Kim-hong-hong melotot,
"Apa? Kau bilang aku mabuk? Ayo, masing-masing habiskan sepuluh cawan,
buktikan siapa akan menggeletak lebih dulu?"
Hong Si-nio sudah berkeputusan
untuk tidak menghiraukan ocehan orang yang sudah mabuk.
Kim-hong-hong masih terus
mendesaknya, "Baiklah, kau tidak menghiraukan aku tidak jadi soal, yang
pasti untuk selanjutnya kau tidak akan bisa menemukan mereka."
Omongannya seperti mengandung
arti tersembunyi.
Maka Hong Si-nio segera
bertanya, "Memangnya kau sendiri bisa menemukan mereka?"
"Ciu Ci-kong adalah
lakiku, kalau aku tidak bisa menemukan dia, siapa lagi yang bisa menemukan
dia?"
"Kau tahu mereka ada
dimana?"
"Tentu tahu, tapi tidak
akan kujelaskan," demikian ejek Kim-hong-hong, lalu dengan mengejek tawa
menghina dan mata melotot ia melanjutkan, "Kecuali kau kemari memohon maaf
kepadaku, lalu mengiringiku minum sepuluh cawan lagi."
Berputar bola mata Hong
Si-nio, mendadak tertawa geli, "Kurasa kau lagi mengibul."
Kim-hong-hong mendelik,
"Aku mengibul soal apa?"
"Lakimu mau pergi kemana,
kapan dia pernah memberitahu kepadamu, hal ini aku tahu jelas."
"Kau tahu kentut
busuk," damprat Kim-hong-hong.
"Kalau laki-laki muda
punya bini setua nenek-nenek sepertimu, tiap kali keluar rumah mana mau
memberitahu kemana dia pergi, sebab di luar dia bisa mencari kembang goyang
yang cantik rupawan."
Kim-hong-hong berjingkrak
gusar, teriaknya keras, "Siapa bilang dia pergi mencari cewek. Jelas dia
pergi ke Hong-lin-toh, dia ...." Apa yang dikatakan Kim-hong-hong selanjutnya
sudah tidak terdengar oleh Hong Si-nio.
Begitu mendengar Hong-lin-toh,
Hong Si-nio langsung menarik lengan Sim Bik-kun terus diajak keluar.
Hou Ing dan Toh Lin ikut
memburu keluar pintu gerbang, "Kemana kita akan pergi?"
"Ke Hong-lin-toh."
Ruang besar itu menjadi sepi,
tinggal Kim-hong-hong seorang diri masih duduk terlongong di sana.
Kuda meringkik, derap kakinya
membedal keluar perkampungan, suaranya makin menjauh. Sorot matanya yang tadi
seperti linglung karena mabuk mendadak berubah terang lagi segar bugar, ujung
mulut Kim-hong-hong menyungging senyum sadis. Ia tahu umpama mereka mengaduk
dan menggeledah seluruh Hong-lin-toh selama sepuluh tahun pasti takkan bisa
menemukan Siau Cap-it Long dan Lian Shia-pik.
"Hong Si-nio, Hong
Si-nio, akhirnya kau tertipu juga olehku." Mendadak Kim-hong-hong tertawa
terkial-kial, di tengah tawanya, seluruh benda di permukaan meja ia sapu jatuh
seluruhnya ke lantai.
Tangannya masih memegang sisa
cawan yang berisi arak, sekali tenggak ia habiskan isi cawan. Arak yang getir,
air matanya kembali menetes ke dalam cawan. Sebab dia memang tidak tahu di mana
suaminya berada, Dulu waktu masih pengantin baru, kemana pun ia mau pergi
selalu memberitahu dirinya, tapi sekarang ....
Seorang perempuan di kala
usianya sudah mencapai senja, bukan saja tak mungkin meraih kembali masa
remaja, dia juga takkan bisa meraih kembali cinta kasih sang suami.
"Aku bukan nenek-nenek
... bukan ...." pekiknya, lalu ia mendekam di meja, menangis
tergerung-gerung. Sayang Hong Si-nio sudah tidak mendengar jerit tangisnya.
* * * * *
Jalan raya yang lurus lempang
itu sesampainya di sini bercabang dua.
"Dermaga Hong-lin harus
lewal jalan yang mana?"
"Entah aku tidak
tahu."
"Aku hanya tahu di sungai
kuning ada sebuah dermaga bernama Hong-lin."
"Di wilayah Kanglam mana
ada Huang-ho, di sini hanya ada Tiangkang."
"Belum pernah aku
mendengar di Tiangkang ada dermaga yang dinamakan Hong-lin."
"Kau tak pernah
mendengar, orang lain tentu ada yang tahu."
Cahaya senja menyinari jagat
raya, kini mereka tiba di jalan simpang tiga, di pinggir jalan sana terdapat
sebuah kedai teh.
Kedai teh biasanya juga
menjual arak, ada hidangan sederhana sebagai teman minum arak, mungkin di sini
para tamu masih bisa menikmati nasi goreng, entah nasi goreng, atau bakmi
rebus.
"Kita bisa mengaso di
kedai teh itu sambil mencari tahu arah jalan, sekalian menangsal perut dan
minum sepuasnya."
"Betul, kalau perut
kenyang, kerja tentu lebih bersemangat."
Orang muda kalau bekerja tentu
tak lupa mengisi perut, sebab perut kenyang, semangal kerja timbul, gairah
kerja akan berkobar.
Hari sudah sore, sebentar lagi
bakal gelap.
Hong Si-nio tidak ingin
berhenti, sebelum rembulan muncul, ia harus berhasil menemukan Siau Cap-it
Long, kalau kali ini gagal, boleh dipastikan dirinya akan gagal menemukan Siau
Cap-it Long selamanya.
Tapi ia tidak kenal jalan, ia
juga perlu istirahat, yang pasti ia sendiri merasa dahaga.
Bau arak terbawa angin lalu,
masih tercium bau panggang daging, ikan goreng dan yucakwe yang harum.
Hou Ing tertawa riang,
"Baunya saja begini sedap, kalau dirasakan tentu nikmat sekali."
Hong Si-nio melotot kepadanya,
katanya merengut, "Mestinya tidak kuajak kau, kau terlalu suka
makan."
Lain di mulut lain di hati,
bahwasanya dia memang perlu pembantu. Ilmu silat Hou Ing mau pun Toh Lin cukup
tinggi, dari kalangan kaum muda di Kangouw, kemampuan mereka termasuk kelas
tinggi. Anehnya mereka justru senang menjadi pembantu Hong Si-nio.
Sim Bik-kun tidak mengerti.
Selamanya dia takkan bisa memahami orang macam apa sebenarnya Hong Si-nio,
apalagi sepak terjang dan tingkah polahnya.
Dan cewek ini memang dari
jenis yang berbeda, maka nasib mereka jelas jauh berbeda.
Dengan menundukkan kepala Sim
Bik-kun beranjak masuk ke dalam kedai.
Selama ini belum pernah ia berjalan
segagah, sewajar dan apa adanya dengan langkah lebar, sambil mengangkat dada
berjalan di depan umum, belum pernah ia mengunjuk tawa lebar seperti Hong
Si-nio.
Bahwasanya Sim Bik-kun memang
sudah lama tidak pernah tertawa, tertawa seaslinya, ia sendiri tidak tahu sejak
kapan dan sudah berapa lama ia tidak tertawa.
Selama ini hatinya kalut,
pikiran gundah, apalagi sekarang lebih ruwet lagi.
Sekarang umpama berhasil
menemukan jejak Siau Cap-it Long, memangnya mau apa? Apa ia harus meninggalkan
Lian Shia-pik, tanpa menghiraukan segalanya ikut Siau Cap-it Long?
Umpama dugaan Hong Si-nio
tidak keliru, seluruh muslihat dan tipu daya ini diciptakan Lian Shia-pik, ia
makin tak mengerti apa yang harus dilakukan?
Hidupnya ini kenapa selalu
dirundung berbagai persoalan yang tidak mampu dipecahkannya, persoalan yang
membuatnya resah dan menderita?
Hong Si-nio sedang memesan
hidangan, "Hidangkan lima kati daging sapi, nasi dengan mangkuk besar.
Jangan lupa beri makan juga empat ekor kuda di luar itu."
Sekarang mereka satu orang
satu tunggangan. Di kandang kuda Pek-ma-san-ceng, ia memilih empat ekor kuda
gagah, tinggi besar, didatangkan dari Mongol, tak lupa dari kasir ia sabet satu
kantong uang perak besar dan satu kantong uang emas. Bagi anggapannya, sambar
menyambar uang di kasir adalah urusan jamak dan persoalan sepele, tidak pernah
terpikir olehnya bahwa perbuatannya itu melanggar tata krama, berdosa melawan
hukum.
Tapi Sim Bik-kun tidak
mengerti.
Ia tidak pernah paham, seorang
seperti Hong Si-nio di kala berlawanan dengan seseorang, kenapa masih mau
menunggang kudanya, mau memakai uang orang.
Sebaliknya dirinya berbeda,
bila ia membenci orang, biarpun harus mati karena kelaparan, ia pantang minum
setetes pun air orang.
Sepertinya Hong Si-nio paham
dan pandai menyelesaikan persoalan yang paling rumit, paling ruwet, dengan cara
yang paling gampang. Dirinya justru terbalik, urusan yang paling gampang malah
berubah makin ruwet. Sebab begitulah wataknya, pembawaannya, maka terbentuklah
watak, terbentuklah nasib seperti yang dialaminya selama ini.
Betulkah nasib itu adalah
hasil perbuatannya sendiri?
Panggang daging sapi sudah
disajikan, rasanya sungguh sedap. Tanpa sungkan sekaligus Hong Si-nio gegares
empat potong daging sapi, masih menenggak dua cawan arak, baru sekarang ia
sempat bertanya kepada pemilik kedai, "Di daerah sekitar sini adakah
tempat yang dinamakan Hong-lin-toh?"
"O, ada letaknya ya di
luar Hong-lin-tin," sahut pemilik kedai.
Hong Si-nio merasa lega,
seleranya timbul, kembali ia potong sekerat daging besar, "Pergi ke
Hong-lin-toh harus lewat mana?"
"Lewat jalan sebelah
kanan."
"Jauh tidak?"
"Tidak begitu jauh."
Kembali Hong Si-nio menenggak
tiga cawan, katanya tertawa, "Kalau jarak tidak begitu jauh, boleh kita
makan kenyang dulu baru melanjutkan perjalanan, yang pasti waktu malam tiba,
kita sudah berada di tempat itu."
Pemilik kedai manggut-manggut
dengan tertawa, katanya, "Kalau naik kuda, besok menjelang senja kalian
sudah bisa sampai di sana."
Saking kaget, daging yang lagi
dikunyah dalam mulut Hong Si-nio menyembur keluar, sekali raih ia jambret baju
di depan dada kakek pemilik kedai. "Apa katamu?" serunya.
Orang tua itu amal kaget,
suaranya gagap, "Aku ... aku tidak bilang apa-apa."
”Tadi kau bilang baru besok
malam kita akan sampai di Hong-lin-toh?"
"Ya, paling cepat besok
malam, untuk perjalanan jauh ini, naik kuda harus ditempuh satu hari satu
malam."
"Perjalanan satu hari
satu malam kau bilang tidak jauh?"
Si kakek menyengir tawa,
"Seorang paling tidak bisa hidup puluhan tahun, kalau hanya menempuh
perjalanan sehari, kenapa dibilang jauh?"
Hong Si-nio melenggong.
Berhadapan dengan kakek yang
sudah beruban ini, kerut mukanya yang dimakan usia, satu dua hari lamanya bukan
merupakan hari panjang, tidak terhitung lama. Beda bagi Hong Si-nio sekarang,
hanya terlambat setengah jam, mungkin dirinya harus menyesal seumur hidup.
Sama-sama menghadapi
persoalan, tidak jarang pandangan dan pendapat tiap orang berbeda. Sebab tiap
orang punya kesan, pengertian dan pandangan yang berbeda, tergantung dari sudut
mana melihat dan menilai persoalan itu. Itulah yang dinamakan sifat manusia.
Mengenai hidup, pengertian
Hong Si-nio jelas tidak lebih banyak dari apa yang pernah ia bayangkan.
Dengan harap-harap cemas ia
masih bertanya, "Dari sini ada tidak jalan pintas?"
"Tidak ada." sahut
orang tua itu, "umpama ada, aku tidak tahu. Sepanjang hidupku tidak pernah
lewat jalan pintas, maka aku bisa bertahan hidup lebih lama dibanding orang
lain." Dengan senyum bangga dan senang ia menambahkan, "Tahun ini aku
sudah tujuh puluh sembilan tahun."
Hong Si-nio kembali
melenggong.
Hong Si-nio benar-benar
kehabisan akal, tak tahu apa lagi yang harus dilakukan, di dunia ini ternyata
banyak persoalan sulit yang ia sendiri tak mampu membereskannya.
Dari pinggir Hou Ing malah
berkelakar, "Kulihat kakek ini pantas dijodohkan Thio-ko-lo yang berada di
Pat-sian-cun itu."
Hong Si-nio berjingkrak meraih
bajunya, "Apa katamu?"
Hou Ing terkejut. "Aku
... aku tidak bilang apa-apa."
"Bukankah barusan kau
bilang Pat-sian-cun."
"Sepertinya pernah
kubilang."
"Dimana kapal itu?"
Hou Ing menyengir aneh,
"Itu bukan kapal, tapi adalah ... sarang pelacur."
Hong Si-nio melepas tangan,
lalu duduk di kursi, hatinya seperti tenggelam.
Hou Ing masih memberi
penjelasan, "Dalam sarang pelacur itu mengkoleksi delapan pelacur yang
dinamai Pat-sian, yang paling jenaka dinamakan Thio-ko-lo, jelas gamblang dia
itu seorang nenek-nenek, namun dandanannya yang norak dan berlebihan, masih
juga menjual diri mencari kesenangan, begitu minum sampai mabuk, tingkah
lakunya mirip orang gila, orang tiada yang tahu maksud ocehannya."
Dengan tertawa Toh Lin
menambahkan, "Anehnya, orang yang datang ke sarang pelacuran itu justru
antri ingin melihat dia, jadi dia termasuk yang paling laris di antara pelacur
lain."
Hong Si-nio menarik muka,
"Kalian juga pernah melihat dia? Kalian juga jadi tamunya?"
Merah muka Toh Lin,
"Siau-houlah yang menarik aku ke sana."
"Ya, hanya karena
tertarik ingin tahu saja, macam apakah sebenarnya siluman tua itu, sayang
kedatangan kami ke sana sia-sia, meski sempat melihat wajahnya, tapi tak sempat
mendengar ocehannya yang banyak diagulkan orang."
"Kenapa?"
"Karena tamu yang antri
terlalu banyak." kata Hou Ing menunduk, "mestinya kami siap menunggu
semalam. celakanya, seluruh sarang pelacuran itu sudah dipesan orang."
Hong Si-nio tertarik,
"Siapa yang memesan tempat itu?"
"Disewa seorang she Hu,
kabarnya seorang yang suka royal menggunakan uangnya."
Hong Si-nio berjingkrak
berdiri, matanya benderang, "Dimana tempat itu?"
"Di kota Jun-kang,"
sahut Hou Ing.
"Di kota dimana kita
bertemu dengan Ciu Ci-kong," Toh Lin menjelaskan.
Sambil menarik Sim Bik-kun,
Hong Si-nio berseru, "Ayo berangkat."
Hou Ing dan Toh Lin ikut
memburu keluar, "Kemana?"
”Tentu ke Pat-sian-cun di kota
Jun-kang itu."
* * * * *
Malam.
Lampu sudah guram, banyak pula
yang sudah dipadamkan, jelas malam telah larut.
"Pat-sian-cun ada di
jalan apa?"
"Di Tho-hoa-kang."
Gang persik ini tidak sempit,
hanya temboknya amat tinggi, dari balik tembok itu sayup-sayup berkumandang
suara nyanyian diringi bunyi alat-alat musik.
Sambil mengeprak kudanya, Hong
Si-nio menerjang masuk lebih dulu, cepat dan mudah menemukan Pat-sian-cun.
Lampion besar digantung di
depan rumah masih menyala, enam huruf warna kuning yang mengkilap tampak jelas
dari kejauhan "Pat-sian-cun, Yan-cu-hai".
Dua daun pintu yang berwarna
hitam legam tertutup rapat, kalau Soa-ong sedang ingin makan orang, mana boleh
diganggu orang lain.
Apakah dia sudah menelan Siau
Cap-it Long? Hong Si-nio melompat turun dari punggung kuda, serunya, "Ayo
terjang ke dalam."
Sim Bik-kun ragu-ragu,
"Terjang masuk begini saja? Kalau salah tempat bagaimana?"
"Kalau salah tempat
anggap saja mereka yang sial."
"Anggap mereka
sial?" Sim Bik-kun tidak mengerti.
"Kalau orangnya tak
kutemukan, biar rumahnya aku bongkar."
”He, mereka tidak salah, bukan
mereka yang mengundangmu ke sini."
Hong Si-nio tidak menghiraukan
ocehannya, segera ia beraksi.
Daun pintunya besar, kokoh
kuat, tendangan Hong Si-nio tidak menjadikan pintu jebol atau ambruk, maka Hou
Ing dan Toh Lin membantu, ternyata tendangan mereka tidak menggoyahkan daun
pintu.
Sim Bik-kun menonton dari
pinggir sambil tertawa getir. umpama diancam akan dibunuh pun ia tidak sudi
melakukan perbuatan sekasar itu. Tapi bila Hong Si-nio berhasil menjebol daun
pintu, ia pun akan beranjak ke dalam. Maklum ia punya prinsip kerja yang
berbeda, tak peduli prinsip itu benar atau salah, ia sendiri tidak bisa
membedakan.
Akhirnya daun pintu jebol
sebelah.
Dengan menarik Sim Bik-kun,
Hong Si-nio mendahului berlari ke dalam, sepanjang perjalanan ke dalam, tiada
orang keluar untuk bertanya, merintangi atau menegur mereka, keadaan di sini
ternyata sunyi sepi.
Dari ruang besar yang tampak
benderang, mendadak berkumandang suara nyanyian romantis.
Seorang perempuan yang
berpakaian norak, dengan bermacam jenis perhiasan memenuhi rambut kepalanya, di
tangan memegang cawan arak, sementara mulut mendendangkan lagu romantis dengan
langkah gontai berjalan keluar. Gaun panjang yang melekat di badannya berderai
menyentuh lantai, meski tampak mabuk, namun gaya dan gerak-geriknya memang
indah dan gemulai di bawah penerangan lampu, dari kejauhan kelihatan cantik.
Tapi setelah makin dekat, Hong
Si-nio seketika mendekati perempuan ini dan ternyata adalah seorang
nenek-nenek, meski bedak di kulit mukanya setebal satu senti, belum mampu
menutupi karut-merut ketuaan di wajahnya.
"Thio-ko-lo," seru
Hou Ing memburu maju, "mana tamu-tamumu?"
Thio-ko-lo mengangkat kepala,
dengan mala sipit mengantuk menatapnya beberapa kali, lalu tertawa cekikikan
geli, "Aku kenal kau, kemarin kau pernah datang." Lalu dengan
menghela napas menambahkan, "Sayang kedatanganmu hari ini sudah
terlambat."
"Apakah orang lain sudah
pergi semuanya?"
"Belum, belum
pergi," ujar Thio-ko-lo menggeleng kepala sambil tertawa renyah,
"mana mungkin mereka pergi, umpama diusir dengan pentung juga mereka
takkan mau pergi."
"Kenapa?"
"Kenapa kau tidak masuk
melihatnya sendiri?"
Hong Si-nio mendahului berlari
masuk, segera ia paham apa yang dimaksud orang.
Orang-orang sebanyak itu
memang belum pergi, malah selamanya takkan bisa pergi.
Ruang besar itu terang
benderang, Di atas setiap meja yang ada tertata banyak hidangan serba mewah,
arak juga dari kwalitas terbaik. Setiap tamu yang hadir semua berpakaian
perlente, serba baru berwarna-warni dan model mutahir, jelas mereka dari
orang-orang terpandang. Sayang mereka sudah menjadi mayat.
Soa-ong Hi-cia-lang,
Kim-pou-sat, Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to, Tui-hun-coh-gwat-cui-siang-biau Le
Ceng-hong, Jin-siang-jin, Hamwan Sam-seng, Hamwan Sam-coat. Waktu hidup, mereka
adalah tokoh kosen, orang-orang gagah yang punya kekayaan dan kekuasaan di
masing-masing tempat tinggalnya, sayang sekali sekarang mereka sudah mampus
seluruhnya, kepala mereka tertabas golok, sekali tabas jiwa melayang.
Siapa memiliki golok seganas
dan setajam itu? Siapa mampu turun tangan secepat itu? Siau Cap-it Long.
Kecuali Siau Cap-it Long,
rasanya tiada orang kedua Iagi. Hong Si-nio berdiri menjublek, sekujur badan
terasa dingin. Hati Sim Bik-kun lebih dingin lagi.
Yang mampus bukan hanya enam
orang yang itu, kecuali Thio-ko-lo di luar yang masih hidup, seluruh yang hadir
di ruang besar ini, termasuk perempuan juga tiada yang ketinggalan hidup,
mampus di bawah goloknya.
Siau Cap-it Long, Siau Cap-it
Long, betapa kejam hatimu? Sepertinya orang-orang itu sudah cukup lama mati,
mayat-mayat itu tiada yang mengalirkan darah lagi. Sim Bik-kun tak kuasa
menahan air mata, bukan merasa sedih karena kematian orang-orang itu, dia pun
sedih untuk dirinya sendiri. Orang yang ia cintai sepenuh jiwa raganya ternyata
seorang pembunuh berdarah dingin.
Perlahan Hong Si-nio menghela
napas. Pemandangan di depan mata ini memang teramat kejam dan menakutkan,
syukur Siau Cap-it Long sendiri belum menemui ajalnya. Sehari ia belum mati,
segala urusan masih bisa diselesaikan dan dibikin terang.
Mendadak Sim Bik-kun
berpaling, dengan tatapan tajam ia mengawasi Hong Si-nio, "Masih kau
bilang aku salah membencinya?"
"Apapun yang telah
terjadi, aku yakin dia bukan manusia kejam seperti yang kau bayangkan."
"Memangnya dia bukan,
hakikatnya dia terhitung bukan manusia."
"Kau berani pastikan
kalau orang-orang ini semua mati di tangannya?"
"Memangnya bukan?"
"Pasti bukan. Selama
hidup dia tidak pernah membunuh orang yang tidak pantas mati."
"Lalu siapa pembunuh
orang-orang ini?"
"Kalau bisa kutanya,
pasti akan kuselidiki, untung di sini masih ada orang yang bisa dimintai
keterangan."
Thio-ko-lo memang masih hidup,
di bawah penerangan lilin yang benderang, roman mukanya tidak banyak beda
dengan mayat-mayat yang bergelimpangan itu.
Perempuan ini duduk di undakan
batu di depan ruang besar, tertawa cengar-cengir dengan mulut berceloieh
mendendangkan lagu. Lagu romantis yang menggambar seorang yang lagi kasmaran,
dalam keadaan dan kondisi sekarang, dendang lagunya itu terdengar begitu
memelas, memilukan sekali.
Hong Si-nio datang
menghampiri, duduk di sebelahnya, tanya-nya dengan suara halus, "Sejak
tadi kau berada di sini?"
Thio-ko-lo manggut-manggut.
"Peristiwa yang terjadi
di sini kau saksikan juga?"
"Walau aku sudah tua,
tapi mataku masih bisa melihat, kupingku masih bisa mendengar, aku kan belum
mati," demikian kata Thio-ko-lo, mendadak ia tertawa, "Bocah itu
justru menyangka aku sudah mati, pura-puraku mati pasti mirip sekali."
'Bocah itu' yang dimaksud
tentu pembunuh itu. Dengan pura-pura mati ia berhasil mengelabui orang, maka
sampai sekarang ia masih hidup.
Seorang perempuan yang sudah
bergelut hidup dalam sarang pelacur puluhan tahun, umpama bukan siluman tua,
tentu dia termasuk serigala tua.
Seekor serigala tulen, di
dalam keadaan apapun, dia punya cara mempertahankan hidup.
Hong Si-nio menghela napas
lega, tanyanya pula, "Waktu bocah itu membunuh orang, kau juga
menyaksikan?"
Thio-ko-lo manggut-manggut
sambil mengiakan.
"Semua orang ini dia yang
membunuh?"
Thio-ko-lo memanggut sekali
lagi, mendadak roman mukanya menampilkan rasa takut, mulutnya menggumam,
"Begitu cepat dia membunuh ... dia memiliki golok yang teramat cepat dan
tajam."
"Kau tahu siapa
dia?"
"Sudah tentu aku tahu.
Dia seorang mati."
Hong Si-nio melenggong,
"Orang mati mana mampu membunuh?"
"Sekarang dia memang
belum mati, tapi dia adalah orang mati."
Apa yang diceritakan Hou Ing
memang tidak salah, bicara orang ini sering ngelantur, tidak jarang orang
dibuat pusing olehnya.
Hong Si-nio harus menahan
sabar, tanyanya pula, "Jelas dia masih hidup, kenapa kau bilang dia orang
mati...."
"Karena dia membunuh
orang, orang juga ingin membunuhnya, maka usianya jelas tidak akan panjang,
maka dalam pandanganku, hakikatnya dia terhitung orang mati."
Cara bicaranya memang putar
balik tak keruan, tapi bukan tidak masuk akal.
Dengan tawa dipaksakan Hong
Si-nio bertanya lagi, "Dia mati atau hidup tak usah diurus, coba kau
jelaskan padaku, dia she apa, bagaimana tampang dan perawakannya?"
"Tampangnya bagus,
seorang lelaki ...." sampai di sini ia cekikikan geli, "aku senang
cowok, terutama cowok ganteng dan cakap, tapi ... kenapa lelaki yang ganteng
cakap hatinya makin telengas ... kenapa lelaki yang makin bagus justru makin
tak kenal kasihan ...." Meski dihiasi senyuman, tapi air mata bercucuran
di pipinya. Mendadak ia memeluk lutut terus menangis tergerung-gerung, mirip
anak kecil yang tidak diberi permen oleh ibunya.
Tentunya dia pribadi menyimpan
banyak persoalan yang menyedihkan.
Siapa pun dia bila sekian
belas tahun berkecimpung di sarang pelacur, pasti akan mengenyam banyak pahit
getirnya kehidupan, diterpa banyak persoalan yang menyedihkan. Hong Si-nio
sendiri juga ikut merasakan kegetirannya.
Tentu ia sendiri maklum, walau
Siau Cap-it Long bukan orang yang berhati kejam, tapi bukan seratus persen
laki-laki yang tidak kenal kasihan.
Tapi dia memang lelaki yang
ganteng dan cakap, kenyataan memang memiliki golok tajam dengan gerak secepat
kilat.
Apa betul orang-orang itu mati
di bawah goloknya?
Kenapa ia tega turun tangan
sekejam ini?
Sekarang dia berada dimana?
Sim Bik-kun masih terus
menatapnya, mendadak bertanya, "Jin-siang-jin dan kawan-kawan betul
mengundang dia di sini?"
Hong Si-nio mengangguk.
"Kau berpisah dengan dia,
maksudnya hendak ke tempat ini?"
Kembali Hong Si-nio mengiakan.
"Sekarang dia justru
minggat."
Tak urung Hong Si-nio menghela
napas rawan. Di kala harus tinggal, kau malah pergi. Di kala harus tinggal,
justru ditinggal pergi. Kenapa kau suka menganiaya orang?
"Jika mereka masih hidup,
pasti tak memberi ampun padanya, sebab mereka mengundang kemari memang ingin
membunuhnya."
Hong Si-nio membenarkan kesimpulannya.
"Maka waktu dia pergi,
orang-orang ini tentu sudah mati, kalau bukan dia yang membunuh mereka,
memangnya siapa pembunuhnya?"
Roman mukanya membayangkan
duka dan lara, air mata bercucuran, "Mestinya aku tidak perlu datang, dan
kau juga tak usah kemari. Bahwa dia tidak ingin membawamu ke sini, karena dia
tidak ingin kau menyaksikan dia membunuh ... Kenapa kau datang? Kenapa pula aku
ikut ke sini?"
Sembari bicara, air matanya
mengucur makin deras, makin deras air matanya, langkahnya makin lambat, meski
lambat ia tidak berpaling lagi.
Hong Si-nio tidak menahannya.
Seorang kalau sudah kepalang sedih, siapa bisa merubah pikirannya?
Entah berapa lama kemudian,
baru Hong Si-nio sadar Thio-ko-lo sudah menghentikan tangisnya, tubuhnya tampak
lemas seperti hampir roboh ditiup angin. Tak tahan ia mengulur tangan
menariknya. Tangan orang teramat dingin, lebih dingin dari hembusan angin,
dingin lagi kering, mirip daun layu yang terhembus angin. Demikianlah tubuh
Thio-ko-lo roboh dalam keadaan loyo.
Perempuan macam dirinya,
bertahan hidup dalam kondisi seperti itu, sekarang bisa meninggal dengan
tenang, apakah boleh dianggap bernasib baik?
Tapi kematiannya sungguh
memelas, mati dalam kesepian, kalau bisa mati lebih dini, waktu usia masih
muda, waktu wajahnya masih cantik, mungkin ada orang merasa sedih akan
kematiannya. Sayang kematiannya sekarang badannya bukan saja loyo, tubuhnya
sudah kering-kerontang.
Bukankah ini nasib jeleknya?
XIX. THIAN CONG YANG SERBA
MISTERIUS
Air mata sudah kering.
Mendadak Hong Si-nio melompat
bangun terus berlari keluar, "Ayo berangkat."
"Kemana?"
"Cari Kim-hong-hong, buat
perhitungan dengannya."
Mereka tidak menemukan
Kim-hong-hong, tidak menemukan Sim Bik-kun. Malah bertemu dengan Ciu Ci-kong
dan Lian Shia-pik.
"Isteriku sakit, sakitnya
cukup parah, dalam waktu dua bulan, mungkin belum boleh menerima tamu."
Sementara sikap Ciu Ci-kong
tampak temberang.
Beberapa tahun lalu dia pernah
menjadi salah satu laki-laki yang tergila-gila terhadap Hong Si-nio, tapi sekarang
seperti sudah melupakan dia.
Demikian pula sikapnya
terhadap Hou Ing dan Toh Lin, seperti muak lagi dingin.
Berbeda dengan Lian Shia-pik
yang jauh lebih sopan, lelaki ini memang dikenal sebagai suami yang lembut,
suami bijaksana.
Belakangan ini ia seperti
mulai berdandan dan merawat diri sendiri.
Begitu Sim Bik-kun berada di
sampingnya, kini kondisinya pulih kembali menjadi tampan, ramah dan sopan
santun.
Walau tampangnya masih
kelihatan rada pucat, tapi sorot matanya sudah tampak bersinar, sikap dan
tindak-tanduknya penuh keyakinan. Kumisnya yang dicukur rapi menambah kerapian
dirinya, lebih kelihatan matang.
Benarkah pengaruh seorang
perempuan terhadap laki-laki sedemikian besar? Tapi Hong Si-nio tahu dia bukan
lelaki yang gampang dirubah oleh seorang perempuan.
"Mana Sim Bik-kun?"
tanya Hong Si-nio, "bukankah dia sudah pulang?"
"Ya, benar."
"Apakah dia sakit? Tidak
bisa keluar menyambut teman?"
"Dia tidak sakit, tapi
kelelahan."
Sikap Lian Shia-pik sedemikian
lembut lagi sopan, disertai senyum ramah pula.
"Boleh aku sekarang
menemuinya?"
"Tidak boleh."
"Harus tunggu sampai
kapan untuk bisa bertemu dengan dia?"
"Lebih baik jangan kau
tunggu."
"Kenapa?"
Senyum ramahnya mengandung
permohonan maaf, "Karena dia bilang tidak ingin bertemu lagi dengan
kau."
Hong Si-nio tidak putus asa,
juga tidak marah, jawaban ini memang sudah dalam rekaannya.
Setelah bola matanya berputar,
mendadak ia bertanya lagi, "Sejak kapan kalian pulang?"
"Cukup pagi kami
pulang."
"Cukup pagi? Kira-kira kapan?"
"Sebelum petang kami
sudah pulang."
"Setelah pulang kalian
terus menunggunya di sini?"
Lian Shia-pik manggut-manggut.
"Setelah tahu dia pergi
lagi, apa kau tidak gelisah?"
Lian Shia-pik tertawa,
"Aku tahu, meski pergi dia akan segera kembali lagi."
"Darimana kau tahu?"
jengek Hong Si-nio, "apa sudah kau perhitungkan, kami akan menemukan
mayat-mayat bergelimpangan dalam rumah?"
"Mayat-mayat
bergelimpangan dalam rumah?" sepertinya Lian Shia-pik melengak kaget,
"dimana?"
"Apa betul kau tidak tahu?"
Lian Shia-pik menggeleng
kepala.
"Apakah mereka bukan mati
di tanganmu?"
Mutlak ia tidak mau menjawab,
sebab pertanyaan ini hakikatnya tidak perlu dijawab.
Hong Si-nio belum patah arang,
tanyanya pula, “Tadi siang kalian kemana?"
Ciu Ci-kong mendadak menjengek
dingin, "Sejak kapan kau menjadi opas yang mengompas keterangan
orang?"
"Bukan opas juga boleh
mencari tahu duduk persoalannya."
"Persoalan apa
maksudmu?"
"Soal pembunuhan."
"Siapa pembunuhnya? Siapa
korbannya?"
"Korbannya adalah Hi-cia-lang,
Jin-siang-jin dan Hamwan bersaudara."
Ciu Ci-kong tampak kaget,
"Tidak mudah untuk membunuh tokoh-tokoh kosen itu."
"Sangat tidak
mudah."
"Kau kira kami
pembunuhnya?"
"Memangnya bukan?"
"Kalau benar kami
pembunuhnya, sekarang kau sudah mampus di sini."
Mulut Hong Si-nio seperti
dibungkam.
Kalau benar mereka
pembunuhnya, kenapa tidak membungkam mulutnya pula?
Kalau sudah telanjur membunuh
sekian banyak orang yang tiada sangkut-pautnya dengan urusan ini, apa
halangannya membunuh lagi satu orang?
Mendadak Lian Shia-pik
tertawa, "Kurasa kalau kau mau menggunakan daya akalmu, tentu kau mengerti
bahwa kami tak mungkin jadi pembunuh mereka."
"Kenapa?"
"Karena kami tidak punya
alasan membunuh mereka."
"Siapa pun takkan
membunuh orang tanpa sebab, membunuh orang tentu ada sebab dan tujuannya."
"Aku tahu, selama ini kau
berprasangka aku punya ganjalan hati terhadap Siau Cap-it Long, selalu
beranggapan aku menaruh dendam terhadapnya."
Hong Si-nio diam.
"Kabarnya mereka juga
adalah lawan-lawan tangguh Siau Cap-it Long, pantasnya aku menggandeng mereka
bergabung menghadapi lawan yang sama, kenapa aku justru membunuh mereka?"
Hong Si-nio makin tak bisa
bicara.
Kalau mereka bergabung, yang
mati di Pat-sian-cun jelas adalah Siau Cap-it Long.
Mendadak ia sadar dan
mengerti, persoalan ini jauh lebih rumit, ruwet dan aneh.
Dengan tersenyum Lian Shia-pik
berkata pula, "Kulihat kau amat lelah, perlu istirahat atau tidur. Besok
setelah badan segar pikiran sehat, mungkin bisa kau tebak siapa pembunuh
sebenarnya."
Hi-cia-lang dan kawan-kawan
jelas adalah musuh atau lawan Siau Cap-it Long, selama mereka hidup, merupakan
tekanan yang tidak menguntungkan bagi Siau Cap-it Long.
Maka pihak yang punya alasan
membunuh mereka adalah Siau Cap-it Long. Siapa pun akan maklum, dan tidak perlu
dipikirkan secara rumit, siapa pun akan tahu dan maklum.
Namun Hong Si-nio tetap tidak
mengerti, tidak paham, maka dia harus berpikir. Makin dipikir makin tidak mudah
memecahkan persoalan, kalau hati sedang gundah, pikiran sedang buntu, mana dia
bisa tidur?
* * * * *
Hari sudah terang tanah. Di
meja berserakan banyak bumbung dari timah wadah arak, semua sudah kosong.
Sekarang bukan waktu yang
tepat minum arak, bukan saatnya berjualan arak. Kedai arak ini mau buka pintu membiarkan
mereka masuk minta arak, karena Hong Si-nio ingin minum.
"Kalau kau tidak buka
pintu menyediakan arak bagi kami, akan kubakar kedai minummu ini,"
demikian ancam Hong Si-nio.
Pemilik kedai tidak punya
pilihan. Hong Si-nio memang senang menyudutkan orang, apalagi di kala hatinya
gundah, perasaan kacau, bukan saja sedang rawan, badannya juga teramat penat.
Karena tidak bisa tidur, maka
Hou Ing dan Toh Lin terpaksa menemaninya duduk minum arak. Minum arak memang
hal yang menggembirakan bagi mereka, sayang sekali kondisi mereka sekarang
justru terbalik, tidak kelihatan rasa senang atau gembira.
Hou Ing menguap mengantuk,
berbangkis beberapa kali.
Hong Si-nio menarik muka,
katanya, "Jangan kau bertingkah di hadapanku, kapan saja kau boleh pergi,
aku tidak memaksamu menemani aku."
Hou Ing tertawa malah,
"Kapan aku bilang mau pergi? Bicara saja tidak."
"Kenapa tidak mau
bicara?"
"Apa yang kau ingin aku
bicarakan?"
"Kau tidak bisa mengajak
aku minum, begitu?"
"O, ya, mari kita minum,
mari bersulang," langsung ia tenggak habis secawan arak.
Akhirnya Hong Si-nio tertawa
geli, tertawa rikuh, selama ini kedua pemuda ini bersikap baik, sopan dan
hormat terhadap dirinya.
"Siau Toh," ujar Hou
Ing, "kenapa kau tidak bicara?"
Toh Lin tampak bimbang,
akhirnya ia mengangkat cawan, "Baiklah, bersulang ya bersulang."
Hong Si-nio tertawa riang,
tawanya berderai seperti kelintingan, "Untung bertemu kalian, kalau tanpa
bantuan kalian selama ini, mungkin aku sudah menumbukkan kepala biar mampus
saja."
"Eh, kau sedang marah
kepada siapa?"
"Banyak orang," seru
Hong Si-nio, "kecuali kalian, boleh dikata di seluruh kolong langit tidak
ada manusia baik lagi."
Biarpun mimiknya tertawa
riang, padahal hatinya menjerit, pikiran ruwet, maka ia nekad minum arak sebanyak
mungkin, kalau sudah mabuk, segala gundah, semua kekesalan hati akan tersapu
bersih. Sorot matanya masih tampak terang, padahal ia sudah mulai mabuk.
Hou Ing juga sudah mabuk, ia
terus minum sambil tertawa-tawa, "Kau sendiri tidak mabuk? Mari bersulang.”
Hong Si-nio tertawa,
"Isilah cawanku, mari bersulang."
"Baik," seru Hou
Ing.
Tangannya diulur mengambil
poci arak, ternyata dia tidak bisa memegangnya kencang, arak dalam poci
tertuang ke badan Hong Si-nio.
"Bajuku mana bisa minum,
kau juga ingin melolohnya?"
Dengan tawa renyah ia berdiri
sambil membersihkan arak di bajunya. Hou Ing menghampiri membantu mengelap
bajunya yang basah, mulutnya menggumam mohon maaf, sepasang tangannya secepat
kilat menutuk tiga Hiat-to di tubuhnya. Caranya singkat, gerakannya cekatan.
Hong Si-nio ingin menjerit,
tapi suara sudah tidak keluar dari mulutnya, seketika ia merasakan sekujur
badan kaku, ia berdiri mematung di tempatnya.
Hou Ing mengangkat kepala,
sorot matanya seperti terpengaruh air kata-kata, setajam pisau melotot pada
pemilik kedai yang kaget ketakutan, "Bahwasanya kami tidak pernah ke sini,
kau paham tidak?"
Pemilik kedai manggut-manggut,
mukanya pucat ketakutan, suaranya gemetar, "Sejak pagi hari, kedai minumku
belum pernah dikunjungi tamu, aku tidak melihat apa-apa."
"Makanya kuanjurkan kau
sekarang pergi tidur saja." Tanpa bicara pemilik kedai segera hengkang,
masuk ke kamar merebahkan diri di ranjang, malah menutup sekujur badan dengan
selimut tebal.
Sekarang Hou Ing mengerling ke
arah Hong Si-nio, dengan enteng menghela napas, "Kau ini perempuan yang
enak dipandang. Sayang sekali kau suka mencampuri urusan orang lain." Hong
Si-nio tidak mampu bicara.
Hou Ing memang tidak ingin
mendengar ia bicara, Hiat-to yang mengendalikan suaranya juga ditutuknya.
Agaknya dia takut pendiriannya
berubah setelah mendengar bujuk rayunya nanti.
Kedai minum ini masih tertutup
rapat, memang tadi keinginan Hong Si-nio, waktu sedang minum ia paling pantang
diganggu. Demikian pula bila Hou Ing ingin membunuh orang, ia pun tak mau
diganggu. Dari balik sepatunya yang berlaras tinggi ia mencabut sebilah belati,
belati tipis sempit lagi tajam. Itulah jenis senjata yang biasa digunakan para
pembunuh.
Bersambung