Bentrok Para Pendekar Jilid 01

Baca Cersil Mandarin Online: Bentrok Para Pendekar Jilid 1

Jilid 1

Tujuh Orang Buta

Awal musim rontok, cuaca panas.

Sinar matahari menembus lubang-lubang kertas jendela, menyorot masuk menyinari kulit badan nan putih halus bagai sutra. Suhu air sedikit lebih hangat dari sinar matahari. Ia sedang rebah santai dalam bak air, dua kaki yang jenjang mulus diangkat tinggi-tinggi sambil menikmati hangatnya sinar matahari yang tepat menyorot telapak kakinya. Cahaya nan lembut ibarat tangan kekasih yang mengelus badan.

Hong Si-nio sedang dirundung susah, hatinya gundah.

Setengah bulan ia harus pontang-panting, hari ini sempat mandi air panas, boleh dikata sebagai hari yang paling bahagia, namun seseorang bila hatinya sedang gundah, banyak pikiran seperti Hong Si-nio saat itu, rasanya tiada sesuatu persoalan apapun yang dapat menggembirakan hatinya.

Hong Si-nio bukan perempuan yang mau dikendalikan pera-saannya, kelihatannya hari ini ia benar-benar risau, bimbang dan cemas.

Angin sepoi-sepoi di luar jendela, semilir membawa bau kembang. Di luar sana adalah perbukitan berbatu, batu-batu berse-rakan.

Dua tahun lalu ia pernah berada di tempat ini.

Dua tahun lalu, seperti sekarang dalam rumah papan yang reyot ini sedang mandi, masih segar dalam ingatannya, wak.tu itu hatinya amat gembira. Jauh lebih gembira dibanding sekarang.

Keadaannya sekarang rasanya tidak banyak beda dengan keadaan dirinya dua tahun lalu. Dadanya masih kencang montok, pinggangnya masih ramping, perutnya masih rata mulus, sepasang paha kakinya tetap mulus, kencang lagi mengkilap. Bola matanya juga masih terang menarik, bila tertawa tetap menawan, begitu menggiurkan.

Dua tahun ia tetap merawat tubuhnya dengan baik, tidak menyia-nyiakan keindahan tubuhnya, menikmati kehidupan ini. Ia masih senang menunggang kuda yang dilarikan kencang, memanjat gunung yang tinggi, makan hidangan yang amat pedas, minum arak yang paling keras, memainkan golok yang tercepat, membunuh orang yang paling dibenci. Pokoknya menikmati hidup, sepuas-puasnya menikmati kehidupan.

Namun sayang, ia sudah hidup sesuai hasrat hatinya, memburu kesenangan apa saja yang bisa ia lakukan, namun ia tidak mampu mengusir rasa ‘sepi’ hatinya, rasa sepi yang meresap sumsum, ibarat kayu yang keropos digerogoti rayap, raga ini seperti menjadi kosong.

Kecuali sepi, lebih parah lagi ia dijangkiti penyakit ‘rindu’. Rindu masa remaja, rindu masa lalu, dari segala rindu nan rindu, semua bertumpu pada seseorang.

Walau ia tidak ingin mengakui, namun tiada orang lain di dunia ini yang dapat mengisi posisi orang itu di relung hatinya.

Termasuk Nyo Khay-thay, tiada kesan sama sekali.

Ia sudah menikah dengan Nyo Khay-thay. Tapi malam itu juga ia minggat dari kamar pengantin.

Terbayang muka Nyo Khay-thay yang berbentuk kotak, sikap-nya yang sopan penuh aturan, cinta kasihnya yang tulus, Hong Si-nio merasa bersalah, tidak semestinya ia mengingkari suami yang baik hati lagi jujur itu, namun ia sendiri bingung kenapa semua itu ia lakukan.

Satu hal yang ia akui, ia tidak bisa melupakan Siau Cap-it Long.

Tak peduli ia berada di ujung langit, masih hidup atau sudah mati, ia tidak bisa melupakan perjaka itu, selamanya takkan terlu-pakan.

Seorang perempuan kalau pujaan hatinya tidak berada di sampingnya, umpama tiap hari ia hidup berbaur di tengah ribuan orang, ia masih akan tetap merasa kesepian.

Apalagi Hong Si-nio sudah berusia tiga puluh lima tahun, rasanya tiada rasa ‘sepi’ dan ‘rindu’ di dunia ini yang bisa menyiksa hatinya, siksa yang tak tertahankan lagi.

Dengan terlongong ia mengawasi pahanya nan indah mulus, kulit badannya yang halus lembut, tanpa terasa air mata berkaca-kaca di pelupuk matanya ... “Blang”.

Dalam waktu yang sama, jendela, pintu dan dinding papan jebol diterjang dari luar, berlubang tujuh delapan bagian.

Bukannya kaget, Hong Si-nio malah tertawa.

Dua tahun lalu, juga saat ia sedang mandi, terjadi peristiwa yang sama.

Seperti dua tahun lalu, ia sedang rebah menikmati air hangat dalam baskom besar, dengan handuk sedang menggosok lengan.

Mendadak air mukanya berubah, sungguh hatinya merasa aneh dan bingung. Karena orang-orang yang mengintip dirinya mandi tenyata semuanya buta.

Dari tujuh lubang besar itu, tujuh orang melangkah masuk. Rambut panjang menghitam gilap, pakaian serba hitam pula, kelo-pak matanya juga berlubang gelap, tangan kiri mereka memegang sebatang tongkat putih, tangan kanan memegang kipas.

Begitu melangkah masuk tujuh orang buta berdiri mengelilingi Hong Si-nio yang sedang mandi dalam baskom besar, wajah mereka tarnpak pucat, memutih tanpa perubahan air muka.

Hong Si-nio cekikikan geli, “Wah, si buta juga menonton aku mandi, memangnya gaya mandiku ini menarik?”

Tujuh orang itu pasti buta, mulut mereka juga bungkam, entah bisu atau tidak. Agak lama kemudian, barulah seorang di antaranya buka suara, “Kau tidak berpakaian?”

Hong Si-nio masih cekikikan, “Waktu kalian mandi apakah berpakaian?”

“Baik,” ujar si buta tadi, “kami tunggu kau berpakaian!”

“Kalian buta, kan tidak bisa melihat aku,” jengek Hong Si-nio, “buat apa aku berpakaian.” Matanya mengerling, lalu menyambung, “Terus terang aku merasa sayang bagi kalian, wanita cantik yang sedang mandi seperti diriku, kalian tidak bisa menyaksikan, sungguh sayang, sungguh kasihan.”

“Tidak perlu dibuat sayang,” dengus si buta.

“Tidak merasa sayang?” Hong Si-nio menegas.

“Si buta juga orang,” kata si buta. “Tidak bisa melihat, tapi bisa meraba, bisa berbuat macam-macam.” Si buta bicara kotor, jelasnya porno, tapi wajahnya kaku, nadanya serius. Sebab dia bicara jujur.

Mendadak Hong Si-nio menggigil meski tidak kedinginan, ia tahu orang macam apa mereka, berani bicara berani melakukan.

Si buta berkata lagi, “Makanya jangan banyak bertingkah, kusuruh pakai baju, lekas kenakan pakaianmu.”

“Kalian mencari aku untuk apa?” tanya Hong Si-nio.

“Kami datang menjemputmu.”

“Lho, mataku melek, memangnya ikut orang buta malah?”

“Ya, benar.”

“Kemana pun kalian pergi, aku harus ikut?”

“Betul.”

“Kalau kalian jatuh ke dalam jumbleng (septic tank), aku juga harus ikut.”

“Betul.”

Melihat sikap si buta serius, Hong Si-nio tertawa geli malah.

“Omonganku bukan untuk ditertawakan,” nada si buta mulai mengancam.

“Tapi aku merasa geli.”

“Amat geli?”

“Berdasar apa kalian mengira aku pasti patuh pada omongan-mu.”

“Tidak perlu dasar apa-apa.”

“Kalian buta tapi tidak tuli. Memangnya kalian tidak pernah mendengar, bila Hong Si-nio sedang mandi, senjata tajam selalu tersedia dan siap membunuh orang.”

“Kami memang pernah mendengar.”

“Sepertinya kalian tidak takut?”

“Bagi kami bertujuh, tiada sesuatu di dunia ini yang menakut-kan.”

“Mati juga tidak takut?”

“Kami tidak takut mati.”

“Kenapa?”

Muka si buta menampilkan mimik yang aneh, suaranya dingin, “Sebab kami pernah mati sekali.”

Tidak ada manusia mati dua kali.

Omongan brutaldan ngawur. Tapi kalau yang bicara si buta, pasti tiada orang bilang omongannya brutal, karena dia bicara jujur, omongan nyata.

Kembali Hong Si-nio menggigil, seperti kedinginan saat rebah dalam air es yang hampir membeku.

Tapi perasaannya berontak, kalau takut digertak dan menurut perintah mengenakan pakaian, cewek ini bukan Hong Si-nio.

Hong Si-nio menghela napas, “Orang yang mengintip aku mandi, pasti kubuat buta matanya, sayang kalian sudah buta.”

“Ya, sungguh sayang,” jengek si buta.

“Untungnya aku tidak bisa membuat kalian buta sekali lagi, tapi aku bisa mernbuat kalian mampus sekali lagi.”

Entah bagaimana, jari-jari tangannya menepuk air, di antara air yang muncrat, dari tengah jemari yang lentik, beterbangan belasan sinar perak gemerdep.

Biasanya Hong Si-nio tidak suka membunuh orang, kalau kepepet dan harus bertindak tegas, tidak segan ia membunuh lawan.

Jarum peraknya memang tidak selihai dan terkenal seperti jarum emas keluarga Sim, namun jarang gagal menyerang musuh,

Sekali sambit empat belas batang jarum perak menyebar ke tenggorokan tujuh orang buta yang mengelilinginya.

Kipas lempit di tangan para orang buta serempak dikem-bangkan, empat belas jarum perak mendadak lenyap tak keruan parannya.

Di tengah kipas lempit ketujuh buta itu semua bertulis “Siau Cap-it Long harus mampus”. Warna merah, merah darah yang menjijikkan.

“Sungguh kasihan Siau Cap-it Long,” kata Hong Si-nio, “kenapa banyak orang ingin kematianmu?”

“Memang dia pantas mati.”

“Kalian ada dendam dengannya?”

Muka si buta menampilkan rasa benci dan dendam. Tidak perlu dijawab, di antara mereka jelas ada permusuhan mendalam.

“Jadi kalian buta lantaran perbuatannya?”

“Sudah kujelaskan, kami pernah mati sekali.”

“Begitukah?”

“Sekarang kami sudah bukan orang-orang yang dahulu, sekarang kami hanya orang-orang cacad yang buta.”

“Dahulu kalian siapa?”

“Paling tidak kami punya nama yang disegani, sekarang orang-orang buta yang tidak berguna.”

“Jadi kalian berusaha membunuhnya.”

“Harus mampus!”

Hong Si-nio masih bisa tertawa, “Kalau begitu carilah dia, kenapa melurukku? Aku kan bukan bininya?”

“Kedatanganmu di sini untuk apa?”

“Bukit berbatu di sini adalah sarang penyamun. Kebetulan seorang temanku adalah berandal.”

“Kwi-to Hoa Ping maksudmu?”

“Kalian mengenalnya?”

“Pentolan utama dari kawanan berandal di Kwan-tiong, tokoh mana di Kangouw yang tidak mengenalnya?”

Hong Si-nio menghela napas lega, “Kalian tahu seluk-beluknya, nah, pergilah cari dia!”

“Tidak perlu!”

“Tidak perlu? Apa artinya tidak perlu?”

“Maksudnya, kalau kau ingin bertemu dengan dia, kapan saja aku bisa memanggilnya kemari.”

Hong Si-nio tertawa lebar, “Apa dia patuh kepada kalian?”

“Sebab dia tahu si buta juga bisa membunuh orang,” men-dadak ia mengulap tangan, suaranya kereng, “Antar Hoa Ping masuk!”

Baru lenyap suaranya, dari luar pintu terbang masuk satu benda, Hong Si-nio mengulur tangan, ternyata sebuah kotak kayu.

“Kelihatannya hanya sebuah kotak kayu?”

“Ya, sebuah kotak!”

“Kurasa Hoa Ping bukan sebuah kotak?”

“Kenapa tidak kau buka kotak itu!”

“Oh, Hoa Ping bersembunyi dalam kotak ini?” suara Hong Si-nio berubah kecut, ia sudah membuka kotak kayu itu, isinya bukan orang, tapi sebuah tangan, tangan kanan yang berlepotan darah. Tangan Hoa Ping.

Tangan Hoa Ping buntung.

Gagang golok harus digenggam oleh jari-jari tangan. Seorang yang terkenal karena ilmu goloknya, kalau tangannya buntung, bagaimana ia mampu mempertahankan hidup.

“Selama hidup aku takkan bisa bertemu orang ini lagi.”

“Sekarang kau harus mengerti,” tukas si buta, “kalau kau sendiri ingin mati, tidak harus kupenggal kepalamu.”

Hong Si-nio manggut-manggut, ia mengerti, cukup paham.

“Maka kalau kurusak wajahmu, berarti kau juga sudah mati.”

“Maka aku harus patuh dan lekas berpakaian, lalu ikut kalian.”

“Ya, memang demikian.”

Hong Si-nio tertawa, “Kalian kawanan buta bajingan, apa tak salah lihat, kenapa tidak cari tahu dulu, Hong Si-nio sudah hidup tiga puluh lima tahun, kapan pernah diperintah orang?”

Waktu memaki orang, wajahnya masih tertawa, kawanan buta itu sepertinya tertegun kaku.

“Kalau kalian ingin mengundangku ke suatu tempat, sedikit-nya harus tepuk-tepuk dan menjilat-jilat pantat, lalu siapkan sebuah tandu, mungkin aku masih mau pikir-pikir.” Sampai di sini ia tidak melanjutkan omongannya.

Karena pada saat itu, dari lembah bukit arah selatan berkumandang suara sempritan bambu yang aneh. Disusul suara “Ting” yang berkumandang di luar pintu.

Kawanan buta mengerut alis, empat orang di antaranya mendadak menggerakkan tongkat putihnya, “Trap”, empat tongkat itu menusuk amblas ke baskom yang terbikin dari kayu, secara silang menyilang mereka mengangkat baskom gede itu.

Seperti memikul tandu layaknya, empat orang buta ini me-mikul Hong Si-nio yang masih rebah dalam baskom dan bertindak keluar. Gerak-gerik mereka serempak, kaki tangan berbareng ter-ayun, mendadak mereka sudah berada di luar pintu.

Di luar pintu ada seorang berdiri menghadap ke bukit dengan batu-batu yang berserakan, tangannya juga memegang sebatang tongkat pendek. Tapi orang ini tidak buta, namun pincang karena kakinya yang satu buntung. Tongkat pendek di tangan mengetuk sekali di tanah berbatu, “Ting”, dibarengi lelatu api. Tongkat pendek itu terbuat dari besi. Begitu tongkat menutul tanah., badannya melejit jauh ke sana delapan kaki, dia tetap menghadap ke sana, seperti malu melihat Hong Si-nio.

Hong Si-nio menghela napas, suaranya seperti mengigau, “Sungguh tak disangka, di sini aku bertemu seorang Kuncu. Lelaki tulen yang tidak pernah melihat perempuan mandi.”

Di tengah semilir angin lalu, pakaian si pincang tampak melambai-lambai. Hanya sekejap bayangannya sudah meluncur jauh. Seorang cacad yang pincang dengan kaki satu, ternyata dapat berjalan begitu cepat melebihi orang normal.

Dua orang buta di kanan, dua yang lain di kiri memikul Hong Si-nio yang rebah dalam baskom kayu, mengikuti si pincang dengan kecepatan tinggi, jalan pegunungan yang tidak rata tidak menjadi halangan, air dalam baskom sedikit pun tiada yang muncrat keluar.

Tiap kali si pincang menutul tongkat besi di tanah, “Ting”, sigap sekali empat orang buta melejit ke sana tanpa halangan.

Akhirnya Hong Si-nio paham. “Ternyata si pincang sebagai penunjuk jalan!”

Padahal ia tahu cewek cantik yang berendam di air hangat dalam baskom dalam keadaan bugil, jangankan menoleh dan memandang dirinya, melirik saja tidak. Lelaki macam ini boleh diagulkan sebagai Kuncu yang susah dicari dalam mayapada. Atau mungkin demi gengsi, tidak sudi melakukan perbuatan yang bisa mengundang celoteh orang banyak.

Memangnya si pincang tokoh yang punya kedudukan? Mungkin juga dia pernah mati sekali?

Angin pegunungan di pertengahan musim rontok mulai terasa dingin.

Hong Si-nio mulai menyesal mestinya tadi ia berpakaian lebih dulu. Sekarang ia benar-benar kedinginan, dalam kondisi seperti sekarang memangnya ia harus melompat keluar dari baskom dalam keadaan bugil. Apalagi ia mulai tertarik dan ingin tahu orang-orang buta yang aneh ini sebetulnya hendak membawa dirinya kemana? Apa yang akan dilakukan di sana? Minat ingin tahu bergolak dalam sanubarinya. Memangnya Hong Si-nio suka kejutan, senang me-nempuh mara bahaya.

Orang-orang buta itu berjalan cepat cekatan tanpa bersuara.

Setelah hening sekian lama, Hong Si-nio buka suara pula, “Hei, tuan kaki satu di depan itu, kalau kau seorang Kuncu tulen, copotlah baju luarmu untuk kupakai!”

Si pincang tetap tidak berpaling, bukan saja pincang, seperti-nya juga tuli. Umpama kepandaian Hong Si-nio setinggi langit, menghadapi orang-orang buta lagi bisu, pincang lagi tuli, apa boleh buat, tak bisa apa-apa. Jalan yang ditempuh menjurus turun ke bawah, setelah membelok di tikungan tajam, jalan mulai berputar naik. Puluhan langkah kemudian mereka tiba di depan sebuah hutan bambu.

Memangnya kewalahan menghadapi orang-orang ini, Hong Si-nio malah tarik suara bersenandung, “Menghentikan kereta di waktu malam, senang sekali duduk di luar hutan. Daun merah berguguran, bulan mekar di bulan dua ....”

Mendadak terdengar berkumandang suara tawa merdu dari dalam hutan, suara runcing semerdu kelintingan berkata, “Hong Si-nio adalah Hong Si-nio, dalam kondisi seperti ini, ternyata masih punya selera bersenandung segala.” Ditilik dari suaranya, yang bicara pasti seorang gadis muda belia.

Si pincang sudah melangkah ke dalam hutan, mendadak tu-buhnya melejit ke atas lalu bersalto balik. “Siapa di sana?” suaranya berat.

Waktu kakinya menginjak bumi, tubuhnya masih menghadap ke sana membelakangi Hong Si-nio. Entah tidak berani melihat Hong Si-nio yang bugil atau takut Hong Si-nio mengenali dirinya.

Langkah para orang buta pun ikut berhenti, sikap mereka se-perti tegang.

Diiringi cekikik tawa merdu, dari dalam hutan muncul seorang gadis muda dengan dua kuncir rambut panjang, langkahnya ringan.

Cahaya mentari menjelang magrib menyoroti wajahnya, wajah putih bulat telur yang rupawan mirip bunga mekar di musim semi.

“Halo nona cilik yang manis ....” seru Hong Si-nio.

Gadis cilik itu pandai bicara, “Sayangnya dibanding Hong Si-nio, gadis cilik macamku ini menjadi jelek mirip babi.”

Mekar senyuman Hong Si-nio, “Gadis cilik yang ayu lagi pintar seperti kamu pasti tidak satu golongan dengan makhluk-makhluk aneh ini bukan?”

Gadis itu maju ke depan memberi hormat, “Aku bernama Sim-sim, sengaja mengantar pakaian untuk Hong Si-nio.”

“Sim-sim, nama yang bagus, seperti orangnya.”

Entah kenapa Hong Si-nio mendadak menjadi senang. Sebab tak jauh di belakang Sim-sim muncul pula dua gadis bersanggul, masing-masing membawa nampan emas, di atas nampan itulah pakaian sutra dengan warna dan corak yang serba baru.

Sambil mendekat Sim-sim tertawa pula, “Kami tidak tahu ukuran badan Hong Si-nio, namun dilihat potongan yang semampai, pakaian model apapun rasanya tetap cocok dan pas.”

Makin mekar senyuman Hong Si-nio, “Gadis cilik yang baik hati, kelak pasti dapat jodoh orang gagah lagi ganteng.”

Merah jengah selebar muka Sim-sim, katanya dengan meng-geleng kepala, “Yang baik hati bukan aku, tapi Hoa-kongcu dari keluarga ....”

“Hoa-kongcu?” tukas Hong Si-nio.

“Hoa-kongcu tahu, Hong Si-nio datang tergesa-gesa, tidak sempat berpakaian, apalagi angin pegunungan kencang lagi dingin, kuatir Si-nio masuk angin, aku sengaja disuruh mengantar pakaian.”

“Kelihatannya Hoa-kongcumu itu pemuda yang pengertian.”

“Memang pengertian, lemah lembut lagi.”

“Rasanya aku belum pernah kenal Hoa-kongcumu itu.”

“Sekarang memang belum kenal, sebentar lagi juga akan ber-tatap muka.”

Hong Si-nio menepuk paha, “Betul, memangnya siapa bisa kenal kalau belum pernah bertemu. Bisa kenal pemuda romantis seperti dia, perempuan macam apapun akan merasa senang.”

Tawa Sim-sim makin manis, “Memang Hoa-kongcu berharap Si-nio tidak lupa di dunia ini ada pemuda seromantis dia.”

“Pasti tidak akan kulupakan.”

Dua gadis pembawa nampan sudah mendekat.

“Berhenti!” mendadak si pincang membentak.

Dua gadis itu berhenti tanpa bersuara, Hong Si-nio melotot ke arahnya, “Berdasar apa kau suruh mereka berhenti?”

Si pincang tidak menghiraukan ocehan Hong Si-nio, matanya mengawasi Sim-sim, “Hoa-kongcu yang kau sebut tadi, apakah Hoa Ji-giok?” Suaranya serak lagi rendah, nadanya tidak enak didengar .

“Kecuali Hoa Ji-giok Hoa-kongcu kita, di dunia ini mana ada lagi Hoa-kongcu yang lemah lembut lagi pengertian?”

“Dia ada dimana?” tanya si pincang.

“Untuk apa kau tanya? Memangnya ingin mencarinya?”

Si pincang seperti kaget, tanpa sadar menyurut mundur dua langkah.

“Cis, mana berani kau mencarinya, buat apa aku memberitahu dimana beliau berada.”

Si pincang menarik napas panjang, suaranya beringas, “Baju ini bawa pulang. Barang yang pernah disentuh Hoa Ji-giok pasti beracun, kami tidak mau.”

“Kau tidak mau, aku mau,” teriak Hong Si-nio.

“Nah, Si-nio sendiri mau, tidak lekas kalian serahkan baju itu?”

Awalnya bimbang, akhirnya kedua gadis itu tampak takut.

“Takut apa?” tawar suara Sim-sim, “tampangnya saja galak, mereka takkan berani menghalangi ....”

Mendadak si pincang tertawa dingin, tongkat pendek di tangannya mendadak menyodok ke leher Sim-sim. Jurus serangan ini ganas lagi kencang, yang digunakan seperti jurus pedang yang galak lagi telengas, kelihatan ilmu pedangnya tinggi, serangan ganas yang mematikan.

Bahwa si pincang menyerang gadis cilik dengan jurus ganas mematikan, menimbulkan amarah Hong Si-nio, maka si pincang pasti akan menerima akibatnya.

Saat itu si pincang tengah menyodok dengan tongkat pen-deknya, entah bagaimana tahu-tahu Sim-sim menyelinap turun, se-licin belut menerobos dari bawah ketiak orang, gerak-geriknya gesit lagi lincah.

Hong Si-nio terkejut, sungguh tak pernah terbayang olehnya, gadis belia ini ternyata mampu bergerak tangkas. Tapi reaksi si pincang juga cepat, badan tidak bergeming, dengan jurus Ta-bak-kim-ciong (memukul balik lonceng emas), tongkat pendek menyelinap ke belakang lewat ketiak.

“Kau menyerang lebih dulu,” jengek Sim-sim, “kalau celaka jangan salahkan aku.”

Selama gadis belia bicara, si pincang sudah menyerang lima belas jurus, permainan tongkat berubah menjadi jurus-jurus pedang, jurus pedang yang telengas, pasti si pincang termasuk jago kelas wahid.

Dengan gaya enteng, mudah sekali Sim-sim meluputkan diri dari serangan ganas lawan, mendadak tubuhnya berputar-putar, en-tah kapan dan darimana, tahu-tahu tangannya memegang golok pendek yang gemerdep.

Saat si pincang menyerang jurus keenam belas, Sim-sim membalik tangan menangkis, “Tring”, tongkat pendek terbuat dari baja itu tahu-tahu tertabas putus sebagian.

“Bukankah sudah kubilang kau bakal celaka. Sekarang mau percaya tidak.”

Tawanya nyaring, gerak goloknya ternyata menakutkan, tu-buhnya seperti dibungkus kilauan sinar golok yang menari turun naik.

Secepat kilat Hong Si-nio mengenakan jubah baru yang ber-sulam indah. Sementara tongkat si pincang yang semula panjang tiga kaki, terpapas putus tinggal satu kaki lebih sedikit. Kini sinar golok juga membungkus dirinya, tiap tusukan atau bacokan golok tajam merupakan serangan mematikan

Awalnya Hong Si-nio menguatirkan keselamatan Sim-sim, sekarang berbalik menguatirkan keselamatan jiwa si pincang malah. Hong Si-nio tidak suka membunuh orang, juga tidak senang melihat orang lain membunuh di depannya. Setelah diperhatikan ia merasa ilmu pedang yang dimainkan si pincang seperti amat hapal, ia yakin dirinya pasti kenal orang ini. Bahwa nona cilik berbaik hati meng-antar pakaian buat dirinya, memangnya pantas sekarang ia membela si pincang?

Yang aneh, tujuh orang buta itu kelihatan tidak gugup juga tidak tegang. Mereka berdiri mematung saja.

“Cret”, suaranya tidak keras dibarengi hamburan darah, tahu-tahu pundak si pincang luka berdarah.

Sim-sim cekikikan, “Berlutut dan panggil aku bibi tiga kali, kuampuni jiwamu!”

Serentak si pincang menyerang tujuh jurus, “Trak”, tongkat pendeknya terpapas lagi. Padahal tingkat kepandaiannya terhitung kelas satu di Kangouw, namun berhadapan dengan gadis belia ini, permainan ilmu pedangnya jadi merosot turun ke kelas delapan.

Permainan golok pendek di tangan Sim-sim cepat lagi keras, jurus permainannya juga aneh, tiap jurus serangan membuat lawan merasa ngeri.

Hong Si-nio tidak habis pikir, gadis ini masih semuda itu, ilmu golok itu entah sejak kapan dipelajari, begitu mahir dan lihai.

“Kutanya lagi sekali, mau tidak memanggilku bibi?” Sim-sim menegas.

Mendadak si pincang meraung keras bagai hewan liar yang terluka, sekuat tenaga sisa tongkat di tangan ia lontarkan ke depan, menyusul jari-jari tangan yang kurus panjang bagai cakar garuda mencengkeram ke tenggorokan Sim-sim.

Sim-sim kaget dan tertegun mematung, raung si pincang memang menakutkan, golok di tangan juga lupa dibuat menusuk ke depan. Cepat sekali cakar tangan yang mengerikan sudah berada di depan mukanya. Perubahan justru terjadi dalam sekilas itu, di saat jiwa terancam elmaut, Sim-sim malah tertawa manis, katanya aleman, “Kau tega membunuhku?”

Si pincang terpesona oleh mimik tawa Sim-sim, gerak ta-ngannya sedikit merendek. Pada saat itulah mimik tawa Sim-sim yang menarik berubah dingin bengis, golok kemilau di tangannya tahu-tahu sudah mengancam tenggorokan lawan juga.

Bahwa si pincang tidak tega membunuh gadis belia, tapi nona cilik ini tega membunuh dirinya, membunuh tanpa berkedip.

Pada detik yang hampir menentukan mati hidup, dari arah hutan tiba-tiba timbul angin kencang, sebatang cambuk panjang lima tombak bagai ular ganasnya mendadak menggulung turun, ujung cambuk tepat menahan pergelangan tangan Sim-sim, golok pendek di tangan Sim-sim langsung terbang ke angkasa. Menyusul badannya juga digulung mumbul lalu berjumpalitan lima kali baru meluncur turun di tanah, dengan bergulingan baru bisa lompat ba-ngun, gerak-geriknya jelas amat susah, pergelangan tangan tampak bengkak memerah.

Untuk permainan cambuk, Hong Si-nio adalah ahlinya. Ia maklum, makin panjang cambuk makin sulit dimainkan, makin sulit dipelajari. Selama ini belum pernah ia melihat cambuk sepanjang ini, apalagi permainan cambuk panjang yang lincah, hidup lagi ganas.

Siapa pun orangnya, bahwa ilmu cambuknya dapat dimainkan selihai itu, pasti ia seorang kosen yang menakutkan.

Mendadak Hong Si-nio mendapat firasat jelek, segala urusan dan persoalan yang dihadapi hari ini seperti serba konyol, orang-orang yang dihadapi satu lebih lihai lebih aneh dari yang lain, semua menakutkan.

Setelah pemegang cambuk panjang muncul, baru ia benar-benar tahu makhluk aneh lagi kosen itu bagaimana tampangnya. Orang ini boleh dianggap makhluk aneh, makhluk aneh di antara yang teraneh.

Bagi Sim-sim hari ini jelas adalah hari yang menyebalkan. Dengan jari tangan yang lain ia menopang pergelangan tangan yang membengkak besar, karena menahan sakit, wajahnya sudah mewek-mewek hampir menangis. Begitu melihat orang ini, saking ngerinya ia lupa untuk menangis.

Makhluk aneh ini muncul bukan berjalan sendiri, bukan naik kereta atau menunggang kuda, jelas dan pasti bukan merangkak keluar. Tapi duduk di atas kepala seorang, duduk di atas kepala raksasa. Raksasa ini tinggi sembilan kaki, bertelanjang dada, me-ngenakan topi besar lagi lebar, topi besar ini juga adalah sebuah meja, ia duduk anteng di topi besar itu dengan jubah warna-warni yang disulam berbagai bentuk hewan terbang, lengan kiri melambai turun dan ternyata kosong.

Tampang orang ini sebetulnya tidak aneh, kulitnya yang putih pucat, menampilkan mimik yang berwibawa, sepasang matanya me-nyorot terang, rambutnya yang gilap digelung ke atas diikat mah-kota mutiara.

Kalau hanya menilai wajah, sebetulnya orang ini terhitung cakap, laki-laki ganteng. Tapi sekilas pandang, orang akan merasa dari tubuh orang ini seperti mengeluarkan hawa atau bau yang menggidikkan, apalagi setelah diamati dari dekat, ternyata ia bukan duduk tapi berdiri, sebab kedua kakinya buntung pas di pangkal pahanya. Jadi kaki tangan orang ini tinggal satu, tangan kanan saja, cambuk lima tombak itu berada di tangan kanan.

Hong Si-nio menarik napas panjang, perasaannya makin ter-tekan bahwa hari ini memang hari yang jelek, menyebalkan.

Wajah Sim-sim putih bagai salju, seperti ingin membela diri, ia berteriak, “Dia menyerangku lebih dulu, boleh kau tanya pada-nya!”

Dengan dingin orang itu menoleh sekejap, pandangan beralih ke depan, agak lama kemudian baru mengangguk, suaranya parau, “Aku tahu.” Suara keras jelas mengandung daya tarik. Sebelum cacad, orang ini pasti lelaki yang pandai memikat perempuan.

“Sesuai perintah Hoa-kongcu, aku kemari hanya mengantar pakaian untuk Hong Si-nio,” Sim-sim coba membela diri.

“Ya, aku tahu,” kata orang itu.

Sim-sim menghela napas lega, sambil menahan sakit ia ter-tawa kecut, “Syukur kau mengerti, apa aku boleh pergi.”

“Sudah tentu kau boleh pergi!” sahut orang itu.

Tanpa bicara lagi Sim-sim hengkang dari tempat itu.

Ternyata orang itu diam saja. Hong Si-nio menarik kesim-pulan bahwa orang ini tidak begitu menakutkan seperti dugaan semula.

Tak nyana baru belasan langkah berlari, Sim-sim putar balik dengan wajah memelas, pergelangan yang bengkak tadi kini men-jalar naik ke lengan, lengan kanan itu sebesar paha kaki sendiri, selebar mukanya ditaburi keringat sebesar kacang, suaranya serak, “Cambukmu itu juga beracun?”

“Ya, ada sedikit,” sahut orang itu.

“Lalu ... lalu bagaimana?”

“Kau tahu bagaimana kedua paha dan tangan kiriku menjadi buntung?”

Sim-sim menggeleng kepala.

“Aku sendiri membacoknya buntung.”

“Hah, kenapa kau membacok buntung kaki tangan sendiri?”

“Karena kaki tanganku terkena racun orang lain.”

Seperti kena lecut tajam badan Sim-sim berjingkat di tempat, badannya menjadi lemas, teriaknya terisak, “Kau ... kau juga ingin aku menjadi cacad?”

“Memangnya kenapa kalau cacad?” dingin suaranya, “bukan-kah orang-orang yang ada di sini banyak yang cacad?”

Sim-sim menuding si raksasa, “Dia tinggi besar kan tidak cacad.”

Mendadak si raksasa tertawa lebar sambil membuka lebar mulutnya.

Kembali Sim-sim tertegun.

Raksasa ini memang lengkap kaki tangan, tidak buta bukan tuli, tapi mulutnya tanpa lidah.

Dengan menengadah Sim-sim mengawasi orang itu, air mata bercucuran, katanya, “Kau ingin aku sendiri memotong lenganku?”

“Tangan keracunan ya tangan dipotong, kaki keracunan ya dikutungi saja.”

“Tapi ... tapi aku tidak tega.”

“Kalau aku tidak tega, sekarang aku sudah mati tiga kali.”

Hong Si-nio jadi simpati akan nasib si gadis, mendadak ia menyeletuk, “Gadis cilik ini mana bisa dibanding kau, dia gadis muda lagi cantik.”

“Memangnya kenapa kalau perempuan, perempuan juga ma-nusia.”

Hong Si-nio naik pitam, tangannya menuding, “Dia juga manusia, berdasar apa kau berduduk di kepala orang?”

“Karena aku inilah Jin-siang-jin.”

“Apa itu Jin-siang-jin?”

“Yang mampu hidup menderita dalam derita, dialah Jin-siang-jin.”

“Kau pernah menderita?”

“Kalau kau potong dua kaki dan satu lenganmu, akan kau rasakan apakah aku pernah menderita dalam penderitaan.”

Hong Si-nio tidak bisa membantah, orang ini memang men-derita dalam penderitaan.

TERANEH DI ANTARA MAKHLUK

Maka sekarang dia adalah Jin-siang-jin. Orang di atas orang.

Golok pendek yang kemilau tapi kini tergeletak di tanah, persis di bawa kaki Sim-sim. Perlahan Sim-sim membungkuk badan mengambil golok dengan air mata bercucuran. ia pandang Hong Si-nio sambil berkata memelas, “Kini kau sudah jelas orang macam apa dia sebenarnya.”

Hong Si-nio gemas, “Ya, aku jadi curiga, apakah dia itu ma-nusia?”

“Karena dia cacad,” kata Sim-sim, “maka dia ingin orang lain juga cacad seperti dia, tapi aku … umpama harus kutabas lenganku, tidak akan kulakukan di depannya.” Mendadak ia putar badan terus lari sipat kuping.

Hong Si-nio membanting kaki, teriaknya, “Gadis belia secan-tik kau, umpama buntung sebelah lenganmu, orang masih tetap akan menyukaimu, tidak perlu sedih.” Orang lain disuruh tidak sedih, padahal mata sendiri sudah berkaca-kaca.

Jin-siang-jin mengawasinya, suaranya dingin, “Sungguh tak nyana, Hong Si-nio adalah perempuan berhati lemah.”

Hong Si-nio menengadah, matanya melotot, “Umpama sisa tanganmu itu kau bacok buntung, aku tidak akan sedih bagimu.”

“O, kau kasihan padanya?”

“Ya.”

“Kau tahu siapa dia?”

“Yang pasti dia gadis cantik, aku juga perempuan.”

“Baju yang kau pakai sekarang adalah pemberiannya?”

“Betul.”

“Lebih baik lekas kau lepas.”

“Lepas apanya?”

“Lepas pakaianmu.”

“Kau ingin melihat aku melepas pakaian?” Hong Si-nio terse-nyum menggoda.

“Ya, sampai telanjang bulat.”

Mendadak Hong Si-nio berjingkrak, “Kau bermimpi?” Suara-nya keras.

Jin-siang-jin menghela napas, “Tidak mau lepas, memangnya perlu kubantu?”

“Coba saja kalau berani.”

Jin-siang-jin menarik napas sambil menggeleng kepala, “Ka-lau hanya pakaian perempuan aku tidak berani melepas, kerja apa yang berani kulakukan?”

Hanya sedikit mengangkat pergelangan tangan, cambuk pan-jang itu mendadak melintir berputar ke arah Hong Si-nio.

Sejak berkecimpung di Kangouw, belum pernah Hong Si-nio melihat permainan cambuk yang begitu menakutkan, seperti ber-mata saja, ujung cambuk tahu-tahu melilit bajunya. Bagai tangan jahil saja, cambuk itu bisa melepas pakaian orang. Begitu pakaian Hong Si-nio terlilit ujung cambuk, hanya sekali sendal dan tarik, jubah panjang bersulam indah yang masih baru itu seketika koyak menjadi dua.

Umpama harus ganti pakaian, selamanya Hong Si-nio melepas pakaiannya sendiri, sepanjang hidupnya belum pernah ada lelaki di dunia ini yang pernah melepas pakaiannya. Kali ini mungkin ter-kecuali. Untuk menangkap cambuk itu jelas tidak berani, berkelit juga sudah terlambat.

Pengalaman Sim-sim membuatnya takut melawan cambuk beracun itu. Walau tidak rela orang lain melepas bajunya, ia pun tak ingin menabas lengan sendiri, “Bret”, ujung bajunya mulai koyak.

“Nanti dulu,” mendadak Hong Si-nio berteriak, “biar aku sendiri yang melepas.”

“Kau mau melepas pakaian sendiri?”

“Pakaian sebagus ini, sayang kan kalau disobek.”

“Hong Si-nio juga menyayangi sepotong baju?”

“Hong Si-nio kan juga perempuan, pakaian seindah ini, pe-rempuan mana yang tidak merasa sayang?”

“Baik, sekarang lepas.”

Cambuk di tangannya seperti ular yang hidup saja, mau ber-henti ya berhenti, ingin ditarik segera melingkar balik ke tangan.

Hong Si-nio menghela napas, “Aku ini sudah nenek-nenek, bila telanjang pasti tak enak dipandang, tapi kau paksa aku, terpaksa aku melepas baju, salahku sendiri tak mampu melawanmu.” Sambil bicara ia maju mendekat, sementara jari-jarinya seperti melepas kancing baju. Mendadak kakinya menendang perut raksasa yang bertelanjang dada.

Merobohkan lawan, panah dulu kudanya, bila raksasa ini ter-tendang roboh, Jin-siang-jin pasti terjungkal dari kepalanya, um-pama kepala tidak bocor, paling tidak orang tak punya waktu me-lepas pakaian orang lain.

Ilmu silat Hong Si-nio memang tidak tinggi, tidak menakut-kan, kemampuannya yang menakutkan memang bukan ilmu silat-nya. Selama ini ia malang melintang seorang diri, puluhan tahun berkecimpung di Kangouw, kalau hanya mengandalkan ilmu silat, entah berapa kali pakaiannya sudah disobek orang.

Kakinya memang mulus jenjang, tapi kaki ini pernah mengin-jak mati tiga ekor serigala yang kelaparan, seekor macan tutul. Begal besar Boan Thian-hun yang bercokol di Ki-lian-san juga ditendangnya roboh terjungkal ke dalam jurang.

Dapat dibayangkan betapa besar kekuatan tendangan ini, “Buk”, suaranya mirip tambur pecah, kakinya cepat menendang perut orang, tapi si raksasa seperti tidak merasa apa-apa, bergeming pun tidak.

Kaki Hong Si-nio justru kesakitan. Meski terkejut, meminjam daya tolak tendangannya, ia melompat jungkir balik ke belakang.

“Bukan tandingan ya lari”, bagi insan persilatan yang sudah puluhan tahun berkecimpung di Bulim, pengertian dangkal ini jelas dipahami. Tapi Hong Si-nio maklum, kali ini belum tentu dirinya bisa lolos dari elmaut. Betapa cepat Ginkangnya pasti takkan sece-pat cambuk lawan.

Pada saat genting itulah, didengarnya suara gendewa men-jepret nyaring, dua lajur sinar kemilau meluncur datang, tepat me-nerjang ujung cambuk. Bagai ular yang terpukul lehernya, cambuk itu melambai lemas ke bawah.

Dari dalam hutan berkumandang suara dingin, “Siang hari bo-long berani menelanjangi perempuan di depan umum, memangnya kaum persilatan di Koan-tiong tidak kau pandang sebelah mata?”

Sementara itu Hong Si-nio sudah bercokol di pucuk pohon, duduk berayun mengikuti dahan pohon yang bergontai. Dari atas pohon ia melihat orang yang barusan menolong dirinya.

Orang ini tinggi kekar, berwajah merah, rambut panjang yang memutih perak menjuntai di punggung, mengenakan mantel merah, tangan menjinjing gendewa panjang warna kuning emas, gemerdep ditingkah sinar matahari. Sekujur badan orang inipun seperti kemi-lau bercahaya.

Waktu orang itu mengangkat kepala, Hong Si-nio baru melihat jelas wajahnya penuh keriput, ternyata lelaki ini sudah berusia lanjut. Tapi bila bicara, suaranya masih lantang bergema bagai lonceng, badannya masih kekar tegap, sekujur badan penuh tenaga, semangat menyala-nyala.

Seumur-umur Hong Si-nio belum pernah melihat lelaki tua yang masih begini perkasa penuh gairah lagi. Dua larik sinar perak tadi kini masih menggelinding di tanah, ternyata bola perak sebesar kelengkeng.

Jin-siang-jin mengawasi bola perak itu, alisnya berkerut, kata-nya, “Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to, gendewa emas pelor perak golok penabas macan.”

Lelaki tua berambut perak meneruskan, “Cui-hun-sui-gwat-cui-siang-biau, mengejar nyawa mengusir rembulan melayang di atas air.”

“Le Jing-hong!” seru Jin-siang-jin.

Lelaki tua rambut perak bergelak tawa, “Tiga puluh tahun aku tidak berkelana di Kangouw, tak nyana masih ada orang mengenal diriku.” Gema tawanya bertalu-talu, daun berguguran di tengah hutan.

Hong Si-nio hampir terjungkal dari pucuk pohon. Belum pernah bertemu, namun nama besarnya pernah mendengar.

Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to, Cui-hun-sui-gwat-cui-siang-biau, waktu Le Jing-hong malang melintang di Kangouw, Hong Si-nio masih anak kecil.

Ketika ia berkecimpung di Bulim, sudah lama Le Hing-hong mengundurkan diri, hampir tiga puluh tahun jejaknya tidak diketa-hui, jarang orang bertemu dengarnya.

Hong Si-nio tahu adanya tokoh yang satu ini. Juga tahu begal besar tunggal yang bersih dan paling disegani kejujurannya di Bulim masa kini.

Belakangan muncul Siau Cap-it Long, namun dalam jangka seratus tahun ke belakang, Le Jing-hong terhitung begal tunggal yang amat disegani.

Konon pernah ia berada di kotaraja, putra-putri para bangsa-wan di kota itu begitu getol ingin melihat wajahnya, tak segan mereka menunggu semalam suntuk duduk di ambang jendela menunggu kedatangannya.

Mungkin hanya kabar angin, Hong Si-nio juga tidak percaya akan berita ini. Sekarang ia menjadi percaya. Lelaki yang sudah berusia kepala enam, masih bersemangat dan gagah tegap, kalau usianya tiga puluh tahun lebih muda, mungkin Hong Si-nio rela menunggu semalam suntuk di jendela loteng menunggu kedatang-annya. Seperti yang sering ia lakukan menunggu Siau Cap-it Long di jendela.

Le Jing-hong mendongak, “Kau inikah Hong Si-nio?”

“Tiga puluh tahun tidak berkecimpung di Kongouw, kau tahu adanya Hong Si-nio di Kangouw.”

“Bagus,” puji Le Jing-hong, “Hong Si-nio memang jempol, kalau sejak dulu aku tahu di Kangouw ada Hong Si-nio, mungkin sepuluh tahun lebih pagi aku keluar kandang.”

“Kalau tahu kau orang tua masih segar bugar, mungkin sepuluh tahun lalu aku sudah mencarimu.”

Le Jing-hong tergelak-gelak, “Sayang aku terlambat sepuluh tahun.”

“Siapa bilang kau datang terlambat,” ucap Hong Si-nio tertawa, “kedatanganmu justru tepat pada waktunya.”

Berkilat bola mata Le Jing-hong, “Makhluk ini tadi meng-godamu, sekarang aku sudah ada di sini, menurutmu apa yang harus kulakukan padanya, jelaskan saja.”

Berputar bola mata Hong Si-nio, “Tadi dia suruh aku melepas baju, aku juga ingin melihat dia telanjang.”

“Bagus,” Le Jing-hong kembali tergelak. “Kau tunggu saja di atas pohon.”

Di tengah gelak tawanya, mendadak ia melolos golok penabas macan yang beratnya lima puluh tujuh kati, sekali ayun ia bacok pohon di depannya. “Clap”, dahan pohon sebesar paha dibacoknya roboh.

Untung jarak Hong Si-nio masih jauh, tak tahan ia berseru, “Pohon ini tidak bersalah padamu kenapa kau tabas sampai roboh?”

“Pohon ini menghadang di depanku.”

“Benda apa saja yang menghadang di depanmu, kau babat dengan golok?”

“Betul.”

Hong Si-nio menghela napas, “Lelaki sepertimu ini kenapa sudah tiada sekarang ini. Kalau ada aku pasti sudah menikah sejak sepuluh tahun lalu.” Suaranya tidak keras, tapi pasti untuk didengar oleh Le Jing-hong.

Le Jing-hong menyengir aneh, ia menarik napas panjang, sedikitnya seperti merasa sepuluh. tahun lebih muda, selangkah ia maju ke depan.

Sejak kehadirannya Jin-siang-jin hanya mengawasi saja, kini ia menyindir, “Lelaki setua ini masih suka berlagak di depan wanita, dunia ini seperti bakal terbalik.”

“Kau cemburu?” bentak Le Jing-hong.

“Aku sedang heran, lelaki macammu ini kok masih bisa hidup sampai sekarang.”

“Untung baru hari ini kau bertemu aku,” semprot Le Jing-hong murka. “Kalau terjadi tiga puluh tahun lalu, kau sudah mampus di bawah golokku.”

“Sekarang kau ingin aku melepas pakaian, lalu pergi bersama Hong Si-nio begitu bukan?”

“Mestinya ingin kutabas buntung tanganmu, sayang tanganmu sudah buntung satu.”

“Ya, tangan yang satu ini bukan untuk melepas baju.”

“Memangnya tanganmu itu bisa membunuh orang,”

“Tidak banyak yang kubunuh, tiap kali satu nyawa.” Begitu tangan menyendal, cambuk panjang itu menggulung kencang ke arah Le Jing-hong.

Le Ji-hong menyambut serangan orang dengan bacokan keras golok besarnya. Dua jenis senjata yang berbeda, satu lemas yang lain keras. Begitu goloknya membacok, Le Jing-hong sudah tahu bahwa pihaknya akan rugi. Cepat sekali ujung cambuk sudah mem-belit golok dengan tujuh delapan lilitan, serempak lelaki raksasa telanjang dada ikut mendesak maju, tinjunya menggenjot dada Le Jing-hong.

Kelihatannya lelaki gede ini gerak-geriknya lamban, namun jotosan tangannya keras lagi kencang, jurus serangannya sederhana tanpa pola kembangan, namun kuat dan amat berguna.

Karena golok dibelit cambuk, Le Jing-hong menggunakan gendewa di tangan kiri untuk menahan jotosan si raksasa. “Tang”, keras sekali, telapak tangan si raksasa sobek berdarah. Gendewa emas itu ternyata tajam bagai pisau.

Sambil menggerung si raksasa mengulur tangan merebut gen-dewa lawan, tak nyana Le Jing-hong memutar pergelangan tangan-nya, pucuk gendewa menutul dada si raksasa.

Tubuh besar si raksasa yang kekar tak kuat menahan tutulan ringan, kakinya sempoyongan mundur dan ambruk ke belakang, sudah tentu Jin-siang-jin ikut ambruk, sigap sekali Jin-siang-jin me-lejit tinggi berjumpalitan di udara melewati kepala Le Jing-hong.

Awalnya Le Jing-hong mengira lawannya hanya satu, ke-nyataan ia harus melayani dua serangan bersama, yang satu di depan yang lain di belakang. Di saat ia mengerut alis, ujung cambuk sudah melilit lehernya. Sebagai jago kawakan ia tidak menjadi gugup meski ancaman ini serius, goloknya malah diayun ke atas, cambuk panjang seketika tertarik tegang seperti tali gendewa. Mestinya ujung cambuk membelit golok, kini berbalik golok menarik cam-buk. Serang menyerang berlangsung cepat, permainan mereka keli-hatannya tanpa kembangan, namun perubahannya amat ganjil, cepat lagi ganas, tanggap menghadapi serangan. Bila tidak menyaksikan dari pinggir, pasti susah membayangkan adu kekuatan dua lawan yang berbeda senjata ini.

Sayang yang hadir hanyalah tujuh orang buta yang berdiri kaku, si pincang berdiri di sana membelakangi arena. Agaknya takut dilihat atau dikenali Hong Si-nio.

Bagaimana dengan Hong Si-nio?

Bersambung
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar