Jilid 1
Tujuh Orang Buta
Awal musim rontok, cuaca
panas.
Sinar matahari menembus
lubang-lubang kertas jendela, menyorot masuk menyinari kulit badan nan putih
halus bagai sutra. Suhu air sedikit lebih hangat dari sinar matahari. Ia sedang
rebah santai dalam bak air, dua kaki yang jenjang mulus diangkat tinggi-tinggi
sambil menikmati hangatnya sinar matahari yang tepat menyorot telapak kakinya.
Cahaya nan lembut ibarat tangan kekasih yang mengelus badan.
Hong Si-nio sedang dirundung
susah, hatinya gundah.
Setengah bulan ia harus
pontang-panting, hari ini sempat mandi air panas, boleh dikata sebagai hari
yang paling bahagia, namun seseorang bila hatinya sedang gundah, banyak pikiran
seperti Hong Si-nio saat itu, rasanya tiada sesuatu persoalan apapun yang dapat
menggembirakan hatinya.
Hong Si-nio bukan perempuan
yang mau dikendalikan pera-saannya, kelihatannya hari ini ia benar-benar risau,
bimbang dan cemas.
Angin sepoi-sepoi di luar
jendela, semilir membawa bau kembang. Di luar sana adalah perbukitan berbatu,
batu-batu berse-rakan.
Dua tahun lalu ia pernah
berada di tempat ini.
Dua tahun lalu, seperti
sekarang dalam rumah papan yang reyot ini sedang mandi, masih segar dalam
ingatannya, wak.tu itu hatinya amat gembira. Jauh lebih gembira dibanding sekarang.
Keadaannya sekarang rasanya
tidak banyak beda dengan keadaan dirinya dua tahun lalu. Dadanya masih kencang
montok, pinggangnya masih ramping, perutnya masih rata mulus, sepasang paha
kakinya tetap mulus, kencang lagi mengkilap. Bola matanya juga masih terang
menarik, bila tertawa tetap menawan, begitu menggiurkan.
Dua tahun ia tetap merawat
tubuhnya dengan baik, tidak menyia-nyiakan keindahan tubuhnya, menikmati
kehidupan ini. Ia masih senang menunggang kuda yang dilarikan kencang, memanjat
gunung yang tinggi, makan hidangan yang amat pedas, minum arak yang paling
keras, memainkan golok yang tercepat, membunuh orang yang paling dibenci.
Pokoknya menikmati hidup, sepuas-puasnya menikmati kehidupan.
Namun sayang, ia sudah hidup
sesuai hasrat hatinya, memburu kesenangan apa saja yang bisa ia lakukan, namun
ia tidak mampu mengusir rasa ‘sepi’ hatinya, rasa sepi yang meresap sumsum,
ibarat kayu yang keropos digerogoti rayap, raga ini seperti menjadi kosong.
Kecuali sepi, lebih parah lagi
ia dijangkiti penyakit ‘rindu’. Rindu masa remaja, rindu masa lalu, dari segala
rindu nan rindu, semua bertumpu pada seseorang.
Walau ia tidak ingin mengakui,
namun tiada orang lain di dunia ini yang dapat mengisi posisi orang itu di
relung hatinya.
Termasuk Nyo Khay-thay, tiada
kesan sama sekali.
Ia sudah menikah dengan Nyo
Khay-thay. Tapi malam itu juga ia minggat dari kamar pengantin.
Terbayang muka Nyo Khay-thay
yang berbentuk kotak, sikap-nya yang sopan penuh aturan, cinta kasihnya yang
tulus, Hong Si-nio merasa bersalah, tidak semestinya ia mengingkari suami yang
baik hati lagi jujur itu, namun ia sendiri bingung kenapa semua itu ia lakukan.
Satu hal yang ia akui, ia
tidak bisa melupakan Siau Cap-it Long.
Tak peduli ia berada di ujung
langit, masih hidup atau sudah mati, ia tidak bisa melupakan perjaka itu,
selamanya takkan terlu-pakan.
Seorang perempuan kalau pujaan
hatinya tidak berada di sampingnya, umpama tiap hari ia hidup berbaur di tengah
ribuan orang, ia masih akan tetap merasa kesepian.
Apalagi Hong Si-nio sudah
berusia tiga puluh lima tahun, rasanya tiada rasa ‘sepi’ dan ‘rindu’ di dunia
ini yang bisa menyiksa hatinya, siksa yang tak tertahankan lagi.
Dengan terlongong ia mengawasi
pahanya nan indah mulus, kulit badannya yang halus lembut, tanpa terasa air
mata berkaca-kaca di pelupuk matanya ... “Blang”.
Dalam waktu yang sama,
jendela, pintu dan dinding papan jebol diterjang dari luar, berlubang tujuh
delapan bagian.
Bukannya kaget, Hong Si-nio
malah tertawa.
Dua tahun lalu, juga saat ia
sedang mandi, terjadi peristiwa yang sama.
Seperti dua tahun lalu, ia
sedang rebah menikmati air hangat dalam baskom besar, dengan handuk sedang
menggosok lengan.
Mendadak air mukanya berubah,
sungguh hatinya merasa aneh dan bingung. Karena orang-orang yang mengintip
dirinya mandi tenyata semuanya buta.
Dari tujuh lubang besar itu,
tujuh orang melangkah masuk. Rambut panjang menghitam gilap, pakaian serba
hitam pula, kelo-pak matanya juga berlubang gelap, tangan kiri mereka memegang
sebatang tongkat putih, tangan kanan memegang kipas.
Begitu melangkah masuk tujuh
orang buta berdiri mengelilingi Hong Si-nio yang sedang mandi dalam baskom
besar, wajah mereka tarnpak pucat, memutih tanpa perubahan air muka.
Hong Si-nio cekikikan geli,
“Wah, si buta juga menonton aku mandi, memangnya gaya mandiku ini menarik?”
Tujuh orang itu pasti buta,
mulut mereka juga bungkam, entah bisu atau tidak. Agak lama kemudian, barulah
seorang di antaranya buka suara, “Kau tidak berpakaian?”
Hong Si-nio masih cekikikan,
“Waktu kalian mandi apakah berpakaian?”
“Baik,” ujar si buta tadi,
“kami tunggu kau berpakaian!”
“Kalian buta, kan tidak bisa
melihat aku,” jengek Hong Si-nio, “buat apa aku berpakaian.” Matanya
mengerling, lalu menyambung, “Terus terang aku merasa sayang bagi kalian,
wanita cantik yang sedang mandi seperti diriku, kalian tidak bisa menyaksikan,
sungguh sayang, sungguh kasihan.”
“Tidak perlu dibuat sayang,”
dengus si buta.
“Tidak merasa sayang?” Hong
Si-nio menegas.
“Si buta juga orang,” kata si
buta. “Tidak bisa melihat, tapi bisa meraba, bisa berbuat macam-macam.” Si buta
bicara kotor, jelasnya porno, tapi wajahnya kaku, nadanya serius. Sebab dia
bicara jujur.
Mendadak Hong Si-nio menggigil
meski tidak kedinginan, ia tahu orang macam apa mereka, berani bicara berani
melakukan.
Si buta berkata lagi, “Makanya
jangan banyak bertingkah, kusuruh pakai baju, lekas kenakan pakaianmu.”
“Kalian mencari aku untuk
apa?” tanya Hong Si-nio.
“Kami datang menjemputmu.”
“Lho, mataku melek, memangnya
ikut orang buta malah?”
“Ya, benar.”
“Kemana pun kalian pergi, aku
harus ikut?”
“Betul.”
“Kalau kalian jatuh ke dalam
jumbleng (septic tank), aku juga harus ikut.”
“Betul.”
Melihat sikap si buta serius,
Hong Si-nio tertawa geli malah.
“Omonganku bukan untuk
ditertawakan,” nada si buta mulai mengancam.
“Tapi aku merasa geli.”
“Amat geli?”
“Berdasar apa kalian mengira
aku pasti patuh pada omongan-mu.”
“Tidak perlu dasar apa-apa.”
“Kalian buta tapi tidak tuli.
Memangnya kalian tidak pernah mendengar, bila Hong Si-nio sedang mandi, senjata
tajam selalu tersedia dan siap membunuh orang.”
“Kami memang pernah
mendengar.”
“Sepertinya kalian tidak
takut?”
“Bagi kami bertujuh, tiada
sesuatu di dunia ini yang menakut-kan.”
“Mati juga tidak takut?”
“Kami tidak takut mati.”
“Kenapa?”
Muka si buta menampilkan mimik
yang aneh, suaranya dingin, “Sebab kami pernah mati sekali.”
Tidak ada manusia mati dua
kali.
Omongan brutaldan ngawur. Tapi
kalau yang bicara si buta, pasti tiada orang bilang omongannya brutal, karena
dia bicara jujur, omongan nyata.
Kembali Hong Si-nio menggigil,
seperti kedinginan saat rebah dalam air es yang hampir membeku.
Tapi perasaannya berontak,
kalau takut digertak dan menurut perintah mengenakan pakaian, cewek ini bukan
Hong Si-nio.
Hong Si-nio menghela napas,
“Orang yang mengintip aku mandi, pasti kubuat buta matanya, sayang kalian sudah
buta.”
“Ya, sungguh sayang,” jengek
si buta.
“Untungnya aku tidak bisa
membuat kalian buta sekali lagi, tapi aku bisa mernbuat kalian mampus sekali
lagi.”
Entah bagaimana, jari-jari
tangannya menepuk air, di antara air yang muncrat, dari tengah jemari yang
lentik, beterbangan belasan sinar perak gemerdep.
Biasanya Hong Si-nio tidak
suka membunuh orang, kalau kepepet dan harus bertindak tegas, tidak segan ia membunuh
lawan.
Jarum peraknya memang tidak
selihai dan terkenal seperti jarum emas keluarga Sim, namun jarang gagal
menyerang musuh,
Sekali sambit empat belas
batang jarum perak menyebar ke tenggorokan tujuh orang buta yang
mengelilinginya.
Kipas lempit di tangan para
orang buta serempak dikem-bangkan, empat belas jarum perak mendadak lenyap tak
keruan parannya.
Di tengah kipas lempit ketujuh
buta itu semua bertulis “Siau Cap-it Long harus mampus”. Warna merah, merah
darah yang menjijikkan.
“Sungguh kasihan Siau Cap-it
Long,” kata Hong Si-nio, “kenapa banyak orang ingin kematianmu?”
“Memang dia pantas mati.”
“Kalian ada dendam dengannya?”
Muka si buta menampilkan rasa
benci dan dendam. Tidak perlu dijawab, di antara mereka jelas ada permusuhan
mendalam.
“Jadi kalian buta lantaran
perbuatannya?”
“Sudah kujelaskan, kami pernah
mati sekali.”
“Begitukah?”
“Sekarang kami sudah bukan
orang-orang yang dahulu, sekarang kami hanya orang-orang cacad yang buta.”
“Dahulu kalian siapa?”
“Paling tidak kami punya nama
yang disegani, sekarang orang-orang buta yang tidak berguna.”
“Jadi kalian berusaha
membunuhnya.”
“Harus mampus!”
Hong Si-nio masih bisa
tertawa, “Kalau begitu carilah dia, kenapa melurukku? Aku kan bukan bininya?”
“Kedatanganmu di sini untuk
apa?”
“Bukit berbatu di sini adalah
sarang penyamun. Kebetulan seorang temanku adalah berandal.”
“Kwi-to Hoa Ping maksudmu?”
“Kalian mengenalnya?”
“Pentolan utama dari kawanan
berandal di Kwan-tiong, tokoh mana di Kangouw yang tidak mengenalnya?”
Hong Si-nio menghela napas
lega, “Kalian tahu seluk-beluknya, nah, pergilah cari dia!”
“Tidak perlu!”
“Tidak perlu? Apa artinya
tidak perlu?”
“Maksudnya, kalau kau ingin
bertemu dengan dia, kapan saja aku bisa memanggilnya kemari.”
Hong Si-nio tertawa lebar,
“Apa dia patuh kepada kalian?”
“Sebab dia tahu si buta juga
bisa membunuh orang,” men-dadak ia mengulap tangan, suaranya kereng, “Antar Hoa
Ping masuk!”
Baru lenyap suaranya, dari
luar pintu terbang masuk satu benda, Hong Si-nio mengulur tangan, ternyata
sebuah kotak kayu.
“Kelihatannya hanya sebuah
kotak kayu?”
“Ya, sebuah kotak!”
“Kurasa Hoa Ping bukan sebuah
kotak?”
“Kenapa tidak kau buka kotak
itu!”
“Oh, Hoa Ping bersembunyi
dalam kotak ini?” suara Hong Si-nio berubah kecut, ia sudah membuka kotak kayu
itu, isinya bukan orang, tapi sebuah tangan, tangan kanan yang berlepotan
darah. Tangan Hoa Ping.
Tangan Hoa Ping buntung.
Gagang golok harus digenggam
oleh jari-jari tangan. Seorang yang terkenal karena ilmu goloknya, kalau
tangannya buntung, bagaimana ia mampu mempertahankan hidup.
“Selama hidup aku takkan bisa
bertemu orang ini lagi.”
“Sekarang kau harus mengerti,”
tukas si buta, “kalau kau sendiri ingin mati, tidak harus kupenggal kepalamu.”
Hong Si-nio manggut-manggut,
ia mengerti, cukup paham.
“Maka kalau kurusak wajahmu,
berarti kau juga sudah mati.”
“Maka aku harus patuh dan
lekas berpakaian, lalu ikut kalian.”
“Ya, memang demikian.”
Hong Si-nio tertawa, “Kalian
kawanan buta bajingan, apa tak salah lihat, kenapa tidak cari tahu dulu, Hong
Si-nio sudah hidup tiga puluh lima tahun, kapan pernah diperintah orang?”
Waktu memaki orang, wajahnya
masih tertawa, kawanan buta itu sepertinya tertegun kaku.
“Kalau kalian ingin
mengundangku ke suatu tempat, sedikit-nya harus tepuk-tepuk dan menjilat-jilat
pantat, lalu siapkan sebuah tandu, mungkin aku masih mau pikir-pikir.” Sampai
di sini ia tidak melanjutkan omongannya.
Karena pada saat itu, dari
lembah bukit arah selatan berkumandang suara sempritan bambu yang aneh. Disusul
suara “Ting” yang berkumandang di luar pintu.
Kawanan buta mengerut alis,
empat orang di antaranya mendadak menggerakkan tongkat putihnya, “Trap”, empat
tongkat itu menusuk amblas ke baskom yang terbikin dari kayu, secara silang
menyilang mereka mengangkat baskom gede itu.
Seperti memikul tandu
layaknya, empat orang buta ini me-mikul Hong Si-nio yang masih rebah dalam
baskom dan bertindak keluar. Gerak-gerik mereka serempak, kaki tangan berbareng
ter-ayun, mendadak mereka sudah berada di luar pintu.
Di luar pintu ada seorang
berdiri menghadap ke bukit dengan batu-batu yang berserakan, tangannya juga
memegang sebatang tongkat pendek. Tapi orang ini tidak buta, namun pincang
karena kakinya yang satu buntung. Tongkat pendek di tangan mengetuk sekali di
tanah berbatu, “Ting”, dibarengi lelatu api. Tongkat pendek itu terbuat dari
besi. Begitu tongkat menutul tanah., badannya melejit jauh ke sana delapan
kaki, dia tetap menghadap ke sana, seperti malu melihat Hong Si-nio.
Hong Si-nio menghela napas,
suaranya seperti mengigau, “Sungguh tak disangka, di sini aku bertemu seorang
Kuncu. Lelaki tulen yang tidak pernah melihat perempuan mandi.”
Di tengah semilir angin lalu,
pakaian si pincang tampak melambai-lambai. Hanya sekejap bayangannya sudah
meluncur jauh. Seorang cacad yang pincang dengan kaki satu, ternyata dapat
berjalan begitu cepat melebihi orang normal.
Dua orang buta di kanan, dua
yang lain di kiri memikul Hong Si-nio yang rebah dalam baskom kayu, mengikuti
si pincang dengan kecepatan tinggi, jalan pegunungan yang tidak rata tidak
menjadi halangan, air dalam baskom sedikit pun tiada yang muncrat keluar.
Tiap kali si pincang menutul
tongkat besi di tanah, “Ting”, sigap sekali empat orang buta melejit ke sana
tanpa halangan.
Akhirnya Hong Si-nio paham.
“Ternyata si pincang sebagai penunjuk jalan!”
Padahal ia tahu cewek cantik
yang berendam di air hangat dalam baskom dalam keadaan bugil, jangankan menoleh
dan memandang dirinya, melirik saja tidak. Lelaki macam ini boleh diagulkan
sebagai Kuncu yang susah dicari dalam mayapada. Atau mungkin demi gengsi, tidak
sudi melakukan perbuatan yang bisa mengundang celoteh orang banyak.
Memangnya si pincang tokoh
yang punya kedudukan? Mungkin juga dia pernah mati sekali?
Angin pegunungan di
pertengahan musim rontok mulai terasa dingin.
Hong Si-nio mulai menyesal
mestinya tadi ia berpakaian lebih dulu. Sekarang ia benar-benar kedinginan,
dalam kondisi seperti sekarang memangnya ia harus melompat keluar dari baskom
dalam keadaan bugil. Apalagi ia mulai tertarik dan ingin tahu orang-orang buta
yang aneh ini sebetulnya hendak membawa dirinya kemana? Apa yang akan dilakukan
di sana? Minat ingin tahu bergolak dalam sanubarinya. Memangnya Hong Si-nio
suka kejutan, senang me-nempuh mara bahaya.
Orang-orang buta itu berjalan
cepat cekatan tanpa bersuara.
Setelah hening sekian lama,
Hong Si-nio buka suara pula, “Hei, tuan kaki satu di depan itu, kalau kau
seorang Kuncu tulen, copotlah baju luarmu untuk kupakai!”
Si pincang tetap tidak
berpaling, bukan saja pincang, seperti-nya juga tuli. Umpama kepandaian Hong
Si-nio setinggi langit, menghadapi orang-orang buta lagi bisu, pincang lagi
tuli, apa boleh buat, tak bisa apa-apa. Jalan yang ditempuh menjurus turun ke
bawah, setelah membelok di tikungan tajam, jalan mulai berputar naik. Puluhan
langkah kemudian mereka tiba di depan sebuah hutan bambu.
Memangnya kewalahan menghadapi
orang-orang ini, Hong Si-nio malah tarik suara bersenandung, “Menghentikan
kereta di waktu malam, senang sekali duduk di luar hutan. Daun merah
berguguran, bulan mekar di bulan dua ....”
Mendadak terdengar
berkumandang suara tawa merdu dari dalam hutan, suara runcing semerdu
kelintingan berkata, “Hong Si-nio adalah Hong Si-nio, dalam kondisi seperti
ini, ternyata masih punya selera bersenandung segala.” Ditilik dari suaranya,
yang bicara pasti seorang gadis muda belia.
Si pincang sudah melangkah ke
dalam hutan, mendadak tu-buhnya melejit ke atas lalu bersalto balik. “Siapa di
sana?” suaranya berat.
Waktu kakinya menginjak bumi,
tubuhnya masih menghadap ke sana membelakangi Hong Si-nio. Entah tidak berani
melihat Hong Si-nio yang bugil atau takut Hong Si-nio mengenali dirinya.
Langkah para orang buta pun
ikut berhenti, sikap mereka se-perti tegang.
Diiringi cekikik tawa merdu,
dari dalam hutan muncul seorang gadis muda dengan dua kuncir rambut panjang,
langkahnya ringan.
Cahaya mentari menjelang
magrib menyoroti wajahnya, wajah putih bulat telur yang rupawan mirip bunga
mekar di musim semi.
“Halo nona cilik yang manis
....” seru Hong Si-nio.
Gadis cilik itu pandai bicara,
“Sayangnya dibanding Hong Si-nio, gadis cilik macamku ini menjadi jelek mirip
babi.”
Mekar senyuman Hong Si-nio,
“Gadis cilik yang ayu lagi pintar seperti kamu pasti tidak satu golongan dengan
makhluk-makhluk aneh ini bukan?”
Gadis itu maju ke depan
memberi hormat, “Aku bernama Sim-sim, sengaja mengantar pakaian untuk Hong
Si-nio.”
“Sim-sim, nama yang bagus,
seperti orangnya.”
Entah kenapa Hong Si-nio
mendadak menjadi senang. Sebab tak jauh di belakang Sim-sim muncul pula dua
gadis bersanggul, masing-masing membawa nampan emas, di atas nampan itulah
pakaian sutra dengan warna dan corak yang serba baru.
Sambil mendekat Sim-sim
tertawa pula, “Kami tidak tahu ukuran badan Hong Si-nio, namun dilihat potongan
yang semampai, pakaian model apapun rasanya tetap cocok dan pas.”
Makin mekar senyuman Hong
Si-nio, “Gadis cilik yang baik hati, kelak pasti dapat jodoh orang gagah lagi
ganteng.”
Merah jengah selebar muka
Sim-sim, katanya dengan meng-geleng kepala, “Yang baik hati bukan aku, tapi
Hoa-kongcu dari keluarga ....”
“Hoa-kongcu?” tukas Hong
Si-nio.
“Hoa-kongcu tahu, Hong Si-nio
datang tergesa-gesa, tidak sempat berpakaian, apalagi angin pegunungan kencang
lagi dingin, kuatir Si-nio masuk angin, aku sengaja disuruh mengantar pakaian.”
“Kelihatannya Hoa-kongcumu itu
pemuda yang pengertian.”
“Memang pengertian, lemah
lembut lagi.”
“Rasanya aku belum pernah
kenal Hoa-kongcumu itu.”
“Sekarang memang belum kenal,
sebentar lagi juga akan ber-tatap muka.”
Hong Si-nio menepuk paha,
“Betul, memangnya siapa bisa kenal kalau belum pernah bertemu. Bisa kenal
pemuda romantis seperti dia, perempuan macam apapun akan merasa senang.”
Tawa Sim-sim makin manis,
“Memang Hoa-kongcu berharap Si-nio tidak lupa di dunia ini ada pemuda
seromantis dia.”
“Pasti tidak akan kulupakan.”
Dua gadis pembawa nampan sudah
mendekat.
“Berhenti!” mendadak si
pincang membentak.
Dua gadis itu berhenti tanpa
bersuara, Hong Si-nio melotot ke arahnya, “Berdasar apa kau suruh mereka
berhenti?”
Si pincang tidak menghiraukan
ocehan Hong Si-nio, matanya mengawasi Sim-sim, “Hoa-kongcu yang kau sebut tadi,
apakah Hoa Ji-giok?” Suaranya serak lagi rendah, nadanya tidak enak didengar .
“Kecuali Hoa Ji-giok
Hoa-kongcu kita, di dunia ini mana ada lagi Hoa-kongcu yang lemah lembut lagi
pengertian?”
“Dia ada dimana?” tanya si
pincang.
“Untuk apa kau tanya?
Memangnya ingin mencarinya?”
Si pincang seperti kaget,
tanpa sadar menyurut mundur dua langkah.
“Cis, mana berani kau
mencarinya, buat apa aku memberitahu dimana beliau berada.”
Si pincang menarik napas
panjang, suaranya beringas, “Baju ini bawa pulang. Barang yang pernah disentuh
Hoa Ji-giok pasti beracun, kami tidak mau.”
“Kau tidak mau, aku mau,”
teriak Hong Si-nio.
“Nah, Si-nio sendiri mau,
tidak lekas kalian serahkan baju itu?”
Awalnya bimbang, akhirnya
kedua gadis itu tampak takut.
“Takut apa?” tawar suara
Sim-sim, “tampangnya saja galak, mereka takkan berani menghalangi ....”
Mendadak si pincang tertawa
dingin, tongkat pendek di tangannya mendadak menyodok ke leher Sim-sim. Jurus
serangan ini ganas lagi kencang, yang digunakan seperti jurus pedang yang galak
lagi telengas, kelihatan ilmu pedangnya tinggi, serangan ganas yang mematikan.
Bahwa si pincang menyerang
gadis cilik dengan jurus ganas mematikan, menimbulkan amarah Hong Si-nio, maka
si pincang pasti akan menerima akibatnya.
Saat itu si pincang tengah
menyodok dengan tongkat pen-deknya, entah bagaimana tahu-tahu Sim-sim
menyelinap turun, se-licin belut menerobos dari bawah ketiak orang,
gerak-geriknya gesit lagi lincah.
Hong Si-nio terkejut, sungguh
tak pernah terbayang olehnya, gadis belia ini ternyata mampu bergerak tangkas.
Tapi reaksi si pincang juga cepat, badan tidak bergeming, dengan jurus
Ta-bak-kim-ciong (memukul balik lonceng emas), tongkat pendek menyelinap ke
belakang lewat ketiak.
“Kau menyerang lebih dulu,”
jengek Sim-sim, “kalau celaka jangan salahkan aku.”
Selama gadis belia bicara, si
pincang sudah menyerang lima belas jurus, permainan tongkat berubah menjadi
jurus-jurus pedang, jurus pedang yang telengas, pasti si pincang termasuk jago
kelas wahid.
Dengan gaya enteng, mudah
sekali Sim-sim meluputkan diri dari serangan ganas lawan, mendadak tubuhnya
berputar-putar, en-tah kapan dan darimana, tahu-tahu tangannya memegang golok
pendek yang gemerdep.
Saat si pincang menyerang
jurus keenam belas, Sim-sim membalik tangan menangkis, “Tring”, tongkat pendek
terbuat dari baja itu tahu-tahu tertabas putus sebagian.
“Bukankah sudah kubilang kau
bakal celaka. Sekarang mau percaya tidak.”
Tawanya nyaring, gerak
goloknya ternyata menakutkan, tu-buhnya seperti dibungkus kilauan sinar golok
yang menari turun naik.
Secepat kilat Hong Si-nio
mengenakan jubah baru yang ber-sulam indah. Sementara tongkat si pincang yang
semula panjang tiga kaki, terpapas putus tinggal satu kaki lebih sedikit. Kini
sinar golok juga membungkus dirinya, tiap tusukan atau bacokan golok tajam
merupakan serangan mematikan
Awalnya Hong Si-nio
menguatirkan keselamatan Sim-sim, sekarang berbalik menguatirkan keselamatan
jiwa si pincang malah. Hong Si-nio tidak suka membunuh orang, juga tidak senang
melihat orang lain membunuh di depannya. Setelah diperhatikan ia merasa ilmu
pedang yang dimainkan si pincang seperti amat hapal, ia yakin dirinya pasti
kenal orang ini. Bahwa nona cilik berbaik hati meng-antar pakaian buat dirinya,
memangnya pantas sekarang ia membela si pincang?
Yang aneh, tujuh orang buta
itu kelihatan tidak gugup juga tidak tegang. Mereka berdiri mematung saja.
“Cret”, suaranya tidak keras
dibarengi hamburan darah, tahu-tahu pundak si pincang luka berdarah.
Sim-sim cekikikan, “Berlutut
dan panggil aku bibi tiga kali, kuampuni jiwamu!”
Serentak si pincang menyerang
tujuh jurus, “Trak”, tongkat pendeknya terpapas lagi. Padahal tingkat
kepandaiannya terhitung kelas satu di Kangouw, namun berhadapan dengan gadis
belia ini, permainan ilmu pedangnya jadi merosot turun ke kelas delapan.
Permainan golok pendek di
tangan Sim-sim cepat lagi keras, jurus permainannya juga aneh, tiap jurus
serangan membuat lawan merasa ngeri.
Hong Si-nio tidak habis pikir,
gadis ini masih semuda itu, ilmu golok itu entah sejak kapan dipelajari, begitu
mahir dan lihai.
“Kutanya lagi sekali, mau
tidak memanggilku bibi?” Sim-sim menegas.
Mendadak si pincang meraung
keras bagai hewan liar yang terluka, sekuat tenaga sisa tongkat di tangan ia
lontarkan ke depan, menyusul jari-jari tangan yang kurus panjang bagai cakar
garuda mencengkeram ke tenggorokan Sim-sim.
Sim-sim kaget dan tertegun
mematung, raung si pincang memang menakutkan, golok di tangan juga lupa dibuat
menusuk ke depan. Cepat sekali cakar tangan yang mengerikan sudah berada di
depan mukanya. Perubahan justru terjadi dalam sekilas itu, di saat jiwa
terancam elmaut, Sim-sim malah tertawa manis, katanya aleman, “Kau tega
membunuhku?”
Si pincang terpesona oleh
mimik tawa Sim-sim, gerak ta-ngannya sedikit merendek. Pada saat itulah mimik
tawa Sim-sim yang menarik berubah dingin bengis, golok kemilau di tangannya
tahu-tahu sudah mengancam tenggorokan lawan juga.
Bahwa si pincang tidak tega
membunuh gadis belia, tapi nona cilik ini tega membunuh dirinya, membunuh tanpa
berkedip.
Pada detik yang hampir
menentukan mati hidup, dari arah hutan tiba-tiba timbul angin kencang, sebatang
cambuk panjang lima tombak bagai ular ganasnya mendadak menggulung turun, ujung
cambuk tepat menahan pergelangan tangan Sim-sim, golok pendek di tangan Sim-sim
langsung terbang ke angkasa. Menyusul badannya juga digulung mumbul lalu
berjumpalitan lima kali baru meluncur turun di tanah, dengan bergulingan baru
bisa lompat ba-ngun, gerak-geriknya jelas amat susah, pergelangan tangan tampak
bengkak memerah.
Untuk permainan cambuk, Hong
Si-nio adalah ahlinya. Ia maklum, makin panjang cambuk makin sulit dimainkan,
makin sulit dipelajari. Selama ini belum pernah ia melihat cambuk sepanjang
ini, apalagi permainan cambuk panjang yang lincah, hidup lagi ganas.
Siapa pun orangnya, bahwa ilmu
cambuknya dapat dimainkan selihai itu, pasti ia seorang kosen yang menakutkan.
Mendadak Hong Si-nio mendapat
firasat jelek, segala urusan dan persoalan yang dihadapi hari ini seperti serba
konyol, orang-orang yang dihadapi satu lebih lihai lebih aneh dari yang lain,
semua menakutkan.
Setelah pemegang cambuk
panjang muncul, baru ia benar-benar tahu makhluk aneh lagi kosen itu bagaimana
tampangnya. Orang ini boleh dianggap makhluk aneh, makhluk aneh di antara yang
teraneh.
Bagi Sim-sim hari ini jelas
adalah hari yang menyebalkan. Dengan jari tangan yang lain ia menopang
pergelangan tangan yang membengkak besar, karena menahan sakit, wajahnya sudah
mewek-mewek hampir menangis. Begitu melihat orang ini, saking ngerinya ia lupa
untuk menangis.
Makhluk aneh ini muncul bukan
berjalan sendiri, bukan naik kereta atau menunggang kuda, jelas dan pasti bukan
merangkak keluar. Tapi duduk di atas kepala seorang, duduk di atas kepala
raksasa. Raksasa ini tinggi sembilan kaki, bertelanjang dada, me-ngenakan topi
besar lagi lebar, topi besar ini juga adalah sebuah meja, ia duduk anteng di
topi besar itu dengan jubah warna-warni yang disulam berbagai bentuk hewan
terbang, lengan kiri melambai turun dan ternyata kosong.
Tampang orang ini sebetulnya
tidak aneh, kulitnya yang putih pucat, menampilkan mimik yang berwibawa,
sepasang matanya me-nyorot terang, rambutnya yang gilap digelung ke atas diikat
mah-kota mutiara.
Kalau hanya menilai wajah,
sebetulnya orang ini terhitung cakap, laki-laki ganteng. Tapi sekilas pandang,
orang akan merasa dari tubuh orang ini seperti mengeluarkan hawa atau bau yang
menggidikkan, apalagi setelah diamati dari dekat, ternyata ia bukan duduk tapi
berdiri, sebab kedua kakinya buntung pas di pangkal pahanya. Jadi kaki tangan
orang ini tinggal satu, tangan kanan saja, cambuk lima tombak itu berada di
tangan kanan.
Hong Si-nio menarik napas
panjang, perasaannya makin ter-tekan bahwa hari ini memang hari yang jelek,
menyebalkan.
Wajah Sim-sim putih bagai
salju, seperti ingin membela diri, ia berteriak, “Dia menyerangku lebih dulu,
boleh kau tanya pada-nya!”
Dengan dingin orang itu
menoleh sekejap, pandangan beralih ke depan, agak lama kemudian baru
mengangguk, suaranya parau, “Aku tahu.” Suara keras jelas mengandung daya
tarik. Sebelum cacad, orang ini pasti lelaki yang pandai memikat perempuan.
“Sesuai perintah Hoa-kongcu,
aku kemari hanya mengantar pakaian untuk Hong Si-nio,” Sim-sim coba membela
diri.
“Ya, aku tahu,” kata orang
itu.
Sim-sim menghela napas lega,
sambil menahan sakit ia ter-tawa kecut, “Syukur kau mengerti, apa aku boleh
pergi.”
“Sudah tentu kau boleh pergi!”
sahut orang itu.
Tanpa bicara lagi Sim-sim hengkang
dari tempat itu.
Ternyata orang itu diam saja.
Hong Si-nio menarik kesim-pulan bahwa orang ini tidak begitu menakutkan seperti
dugaan semula.
Tak nyana baru belasan langkah
berlari, Sim-sim putar balik dengan wajah memelas, pergelangan yang bengkak
tadi kini men-jalar naik ke lengan, lengan kanan itu sebesar paha kaki sendiri,
selebar mukanya ditaburi keringat sebesar kacang, suaranya serak, “Cambukmu itu
juga beracun?”
“Ya, ada sedikit,” sahut orang
itu.
“Lalu ... lalu bagaimana?”
“Kau tahu bagaimana kedua paha
dan tangan kiriku menjadi buntung?”
Sim-sim menggeleng kepala.
“Aku sendiri membacoknya
buntung.”
“Hah, kenapa kau membacok
buntung kaki tangan sendiri?”
“Karena kaki tanganku terkena
racun orang lain.”
Seperti kena lecut tajam badan
Sim-sim berjingkat di tempat, badannya menjadi lemas, teriaknya terisak, “Kau
... kau juga ingin aku menjadi cacad?”
“Memangnya kenapa kalau
cacad?” dingin suaranya, “bukan-kah orang-orang yang ada di sini banyak yang
cacad?”
Sim-sim menuding si raksasa,
“Dia tinggi besar kan tidak cacad.”
Mendadak si raksasa tertawa
lebar sambil membuka lebar mulutnya.
Kembali Sim-sim tertegun.
Raksasa ini memang lengkap
kaki tangan, tidak buta bukan tuli, tapi mulutnya tanpa lidah.
Dengan menengadah Sim-sim mengawasi
orang itu, air mata bercucuran, katanya, “Kau ingin aku sendiri memotong
lenganku?”
“Tangan keracunan ya tangan
dipotong, kaki keracunan ya dikutungi saja.”
“Tapi ... tapi aku tidak
tega.”
“Kalau aku tidak tega,
sekarang aku sudah mati tiga kali.”
Hong Si-nio jadi simpati akan
nasib si gadis, mendadak ia menyeletuk, “Gadis cilik ini mana bisa dibanding
kau, dia gadis muda lagi cantik.”
“Memangnya kenapa kalau
perempuan, perempuan juga ma-nusia.”
Hong Si-nio naik pitam,
tangannya menuding, “Dia juga manusia, berdasar apa kau berduduk di kepala
orang?”
“Karena aku inilah
Jin-siang-jin.”
“Apa itu Jin-siang-jin?”
“Yang mampu hidup menderita
dalam derita, dialah Jin-siang-jin.”
“Kau pernah menderita?”
“Kalau kau potong dua kaki dan
satu lenganmu, akan kau rasakan apakah aku pernah menderita dalam penderitaan.”
Hong Si-nio tidak bisa
membantah, orang ini memang men-derita dalam penderitaan.
TERANEH DI ANTARA MAKHLUK
Maka sekarang dia adalah
Jin-siang-jin. Orang di atas orang.
Golok pendek yang kemilau tapi
kini tergeletak di tanah, persis di bawa kaki Sim-sim. Perlahan Sim-sim
membungkuk badan mengambil golok dengan air mata bercucuran. ia pandang Hong
Si-nio sambil berkata memelas, “Kini kau sudah jelas orang macam apa dia
sebenarnya.”
Hong Si-nio gemas, “Ya, aku
jadi curiga, apakah dia itu ma-nusia?”
“Karena dia cacad,” kata
Sim-sim, “maka dia ingin orang lain juga cacad seperti dia, tapi aku … umpama
harus kutabas lenganku, tidak akan kulakukan di depannya.” Mendadak ia putar
badan terus lari sipat kuping.
Hong Si-nio membanting kaki,
teriaknya, “Gadis belia secan-tik kau, umpama buntung sebelah lenganmu, orang
masih tetap akan menyukaimu, tidak perlu sedih.” Orang lain disuruh tidak
sedih, padahal mata sendiri sudah berkaca-kaca.
Jin-siang-jin mengawasinya,
suaranya dingin, “Sungguh tak nyana, Hong Si-nio adalah perempuan berhati
lemah.”
Hong Si-nio menengadah,
matanya melotot, “Umpama sisa tanganmu itu kau bacok buntung, aku tidak akan
sedih bagimu.”
“O, kau kasihan padanya?”
“Ya.”
“Kau tahu siapa dia?”
“Yang pasti dia gadis cantik,
aku juga perempuan.”
“Baju yang kau pakai sekarang
adalah pemberiannya?”
“Betul.”
“Lebih baik lekas kau lepas.”
“Lepas apanya?”
“Lepas pakaianmu.”
“Kau ingin melihat aku melepas
pakaian?” Hong Si-nio terse-nyum menggoda.
“Ya, sampai telanjang bulat.”
Mendadak Hong Si-nio
berjingkrak, “Kau bermimpi?” Suara-nya keras.
Jin-siang-jin menghela napas,
“Tidak mau lepas, memangnya perlu kubantu?”
“Coba saja kalau berani.”
Jin-siang-jin menarik napas
sambil menggeleng kepala, “Ka-lau hanya pakaian perempuan aku tidak berani
melepas, kerja apa yang berani kulakukan?”
Hanya sedikit mengangkat
pergelangan tangan, cambuk pan-jang itu mendadak melintir berputar ke arah Hong
Si-nio.
Sejak berkecimpung di Kangouw,
belum pernah Hong Si-nio melihat permainan cambuk yang begitu menakutkan,
seperti ber-mata saja, ujung cambuk tahu-tahu melilit bajunya. Bagai tangan
jahil saja, cambuk itu bisa melepas pakaian orang. Begitu pakaian Hong Si-nio
terlilit ujung cambuk, hanya sekali sendal dan tarik, jubah panjang bersulam
indah yang masih baru itu seketika koyak menjadi dua.
Umpama harus ganti pakaian,
selamanya Hong Si-nio melepas pakaiannya sendiri, sepanjang hidupnya belum
pernah ada lelaki di dunia ini yang pernah melepas pakaiannya. Kali ini mungkin
ter-kecuali. Untuk menangkap cambuk itu jelas tidak berani, berkelit juga sudah
terlambat.
Pengalaman Sim-sim membuatnya
takut melawan cambuk beracun itu. Walau tidak rela orang lain melepas bajunya,
ia pun tak ingin menabas lengan sendiri, “Bret”, ujung bajunya mulai koyak.
“Nanti dulu,” mendadak Hong
Si-nio berteriak, “biar aku sendiri yang melepas.”
“Kau mau melepas pakaian
sendiri?”
“Pakaian sebagus ini, sayang
kan kalau disobek.”
“Hong Si-nio juga menyayangi
sepotong baju?”
“Hong Si-nio kan juga
perempuan, pakaian seindah ini, pe-rempuan mana yang tidak merasa sayang?”
“Baik, sekarang lepas.”
Cambuk di tangannya seperti
ular yang hidup saja, mau ber-henti ya berhenti, ingin ditarik segera melingkar
balik ke tangan.
Hong Si-nio menghela napas,
“Aku ini sudah nenek-nenek, bila telanjang pasti tak enak dipandang, tapi kau
paksa aku, terpaksa aku melepas baju, salahku sendiri tak mampu melawanmu.”
Sambil bicara ia maju mendekat, sementara jari-jarinya seperti melepas kancing
baju. Mendadak kakinya menendang perut raksasa yang bertelanjang dada.
Merobohkan lawan, panah dulu
kudanya, bila raksasa ini ter-tendang roboh, Jin-siang-jin pasti terjungkal
dari kepalanya, um-pama kepala tidak bocor, paling tidak orang tak punya waktu
me-lepas pakaian orang lain.
Ilmu silat Hong Si-nio memang
tidak tinggi, tidak menakut-kan, kemampuannya yang menakutkan memang bukan ilmu
silat-nya. Selama ini ia malang melintang seorang diri, puluhan tahun
berkecimpung di Kangouw, kalau hanya mengandalkan ilmu silat, entah berapa kali
pakaiannya sudah disobek orang.
Kakinya memang mulus jenjang,
tapi kaki ini pernah mengin-jak mati tiga ekor serigala yang kelaparan, seekor
macan tutul. Begal besar Boan Thian-hun yang bercokol di Ki-lian-san juga
ditendangnya roboh terjungkal ke dalam jurang.
Dapat dibayangkan betapa besar
kekuatan tendangan ini, “Buk”, suaranya mirip tambur pecah, kakinya cepat
menendang perut orang, tapi si raksasa seperti tidak merasa apa-apa, bergeming
pun tidak.
Kaki Hong Si-nio justru
kesakitan. Meski terkejut, meminjam daya tolak tendangannya, ia melompat
jungkir balik ke belakang.
“Bukan tandingan ya lari”,
bagi insan persilatan yang sudah puluhan tahun berkecimpung di Bulim,
pengertian dangkal ini jelas dipahami. Tapi Hong Si-nio maklum, kali ini belum
tentu dirinya bisa lolos dari elmaut. Betapa cepat Ginkangnya pasti takkan
sece-pat cambuk lawan.
Pada saat genting itulah,
didengarnya suara gendewa men-jepret nyaring, dua lajur sinar kemilau meluncur
datang, tepat me-nerjang ujung cambuk. Bagai ular yang terpukul lehernya,
cambuk itu melambai lemas ke bawah.
Dari dalam hutan berkumandang
suara dingin, “Siang hari bo-long berani menelanjangi perempuan di depan umum,
memangnya kaum persilatan di Koan-tiong tidak kau pandang sebelah mata?”
Sementara itu Hong Si-nio
sudah bercokol di pucuk pohon, duduk berayun mengikuti dahan pohon yang
bergontai. Dari atas pohon ia melihat orang yang barusan menolong dirinya.
Orang ini tinggi kekar,
berwajah merah, rambut panjang yang memutih perak menjuntai di punggung,
mengenakan mantel merah, tangan menjinjing gendewa panjang warna kuning emas,
gemerdep ditingkah sinar matahari. Sekujur badan orang inipun seperti kemi-lau
bercahaya.
Waktu orang itu mengangkat
kepala, Hong Si-nio baru melihat jelas wajahnya penuh keriput, ternyata lelaki
ini sudah berusia lanjut. Tapi bila bicara, suaranya masih lantang bergema
bagai lonceng, badannya masih kekar tegap, sekujur badan penuh tenaga, semangat
menyala-nyala.
Seumur-umur Hong Si-nio belum
pernah melihat lelaki tua yang masih begini perkasa penuh gairah lagi. Dua
larik sinar perak tadi kini masih menggelinding di tanah, ternyata bola perak
sebesar kelengkeng.
Jin-siang-jin mengawasi bola
perak itu, alisnya berkerut, kata-nya, “Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to, gendewa
emas pelor perak golok penabas macan.”
Lelaki tua berambut perak
meneruskan, “Cui-hun-sui-gwat-cui-siang-biau, mengejar nyawa mengusir rembulan
melayang di atas air.”
“Le Jing-hong!” seru
Jin-siang-jin.
Lelaki tua rambut perak
bergelak tawa, “Tiga puluh tahun aku tidak berkelana di Kangouw, tak nyana
masih ada orang mengenal diriku.” Gema tawanya bertalu-talu, daun berguguran di
tengah hutan.
Hong Si-nio hampir terjungkal
dari pucuk pohon. Belum pernah bertemu, namun nama besarnya pernah mendengar.
Kim-kiong-gin-hoan-jan-hou-to,
Cui-hun-sui-gwat-cui-siang-biau, waktu Le Jing-hong malang melintang di
Kangouw, Hong Si-nio masih anak kecil.
Ketika ia berkecimpung di
Bulim, sudah lama Le Hing-hong mengundurkan diri, hampir tiga puluh tahun
jejaknya tidak diketa-hui, jarang orang bertemu dengarnya.
Hong Si-nio tahu adanya tokoh
yang satu ini. Juga tahu begal besar tunggal yang bersih dan paling disegani
kejujurannya di Bulim masa kini.
Belakangan muncul Siau Cap-it
Long, namun dalam jangka seratus tahun ke belakang, Le Jing-hong terhitung
begal tunggal yang amat disegani.
Konon pernah ia berada di
kotaraja, putra-putri para bangsa-wan di kota itu begitu getol ingin melihat
wajahnya, tak segan mereka menunggu semalam suntuk duduk di ambang jendela
menunggu kedatangannya.
Mungkin hanya kabar angin,
Hong Si-nio juga tidak percaya akan berita ini. Sekarang ia menjadi percaya.
Lelaki yang sudah berusia kepala enam, masih bersemangat dan gagah tegap, kalau
usianya tiga puluh tahun lebih muda, mungkin Hong Si-nio rela menunggu semalam
suntuk di jendela loteng menunggu kedatang-annya. Seperti yang sering ia
lakukan menunggu Siau Cap-it Long di jendela.
Le Jing-hong mendongak, “Kau
inikah Hong Si-nio?”
“Tiga puluh tahun tidak
berkecimpung di Kongouw, kau tahu adanya Hong Si-nio di Kangouw.”
“Bagus,” puji Le Jing-hong,
“Hong Si-nio memang jempol, kalau sejak dulu aku tahu di Kangouw ada Hong
Si-nio, mungkin sepuluh tahun lebih pagi aku keluar kandang.”
“Kalau tahu kau orang tua
masih segar bugar, mungkin sepuluh tahun lalu aku sudah mencarimu.”
Le Jing-hong tergelak-gelak,
“Sayang aku terlambat sepuluh tahun.”
“Siapa bilang kau datang
terlambat,” ucap Hong Si-nio tertawa, “kedatanganmu justru tepat pada
waktunya.”
Berkilat bola mata Le
Jing-hong, “Makhluk ini tadi meng-godamu, sekarang aku sudah ada di sini,
menurutmu apa yang harus kulakukan padanya, jelaskan saja.”
Berputar bola mata Hong
Si-nio, “Tadi dia suruh aku melepas baju, aku juga ingin melihat dia telanjang.”
“Bagus,” Le Jing-hong kembali
tergelak. “Kau tunggu saja di atas pohon.”
Di tengah gelak tawanya,
mendadak ia melolos golok penabas macan yang beratnya lima puluh tujuh kati,
sekali ayun ia bacok pohon di depannya. “Clap”, dahan pohon sebesar paha dibacoknya
roboh.
Untung jarak Hong Si-nio masih
jauh, tak tahan ia berseru, “Pohon ini tidak bersalah padamu kenapa kau tabas
sampai roboh?”
“Pohon ini menghadang di
depanku.”
“Benda apa saja yang
menghadang di depanmu, kau babat dengan golok?”
“Betul.”
Hong Si-nio menghela napas,
“Lelaki sepertimu ini kenapa sudah tiada sekarang ini. Kalau ada aku pasti
sudah menikah sejak sepuluh tahun lalu.” Suaranya tidak keras, tapi pasti untuk
didengar oleh Le Jing-hong.
Le Jing-hong menyengir aneh,
ia menarik napas panjang, sedikitnya seperti merasa sepuluh. tahun lebih muda,
selangkah ia maju ke depan.
Sejak kehadirannya
Jin-siang-jin hanya mengawasi saja, kini ia menyindir, “Lelaki setua ini masih
suka berlagak di depan wanita, dunia ini seperti bakal terbalik.”
“Kau cemburu?” bentak Le
Jing-hong.
“Aku sedang heran, lelaki
macammu ini kok masih bisa hidup sampai sekarang.”
“Untung baru hari ini kau
bertemu aku,” semprot Le Jing-hong murka. “Kalau terjadi tiga puluh tahun lalu,
kau sudah mampus di bawah golokku.”
“Sekarang kau ingin aku
melepas pakaian, lalu pergi bersama Hong Si-nio begitu bukan?”
“Mestinya ingin kutabas
buntung tanganmu, sayang tanganmu sudah buntung satu.”
“Ya, tangan yang satu ini
bukan untuk melepas baju.”
“Memangnya tanganmu itu bisa
membunuh orang,”
“Tidak banyak yang kubunuh,
tiap kali satu nyawa.” Begitu tangan menyendal, cambuk panjang itu menggulung
kencang ke arah Le Jing-hong.
Le Ji-hong menyambut serangan
orang dengan bacokan keras golok besarnya. Dua jenis senjata yang berbeda, satu
lemas yang lain keras. Begitu goloknya membacok, Le Jing-hong sudah tahu bahwa
pihaknya akan rugi. Cepat sekali ujung cambuk sudah mem-belit golok dengan
tujuh delapan lilitan, serempak lelaki raksasa telanjang dada ikut mendesak
maju, tinjunya menggenjot dada Le Jing-hong.
Kelihatannya lelaki gede ini
gerak-geriknya lamban, namun jotosan tangannya keras lagi kencang, jurus
serangannya sederhana tanpa pola kembangan, namun kuat dan amat berguna.
Karena golok dibelit cambuk,
Le Jing-hong menggunakan gendewa di tangan kiri untuk menahan jotosan si
raksasa. “Tang”, keras sekali, telapak tangan si raksasa sobek berdarah.
Gendewa emas itu ternyata tajam bagai pisau.
Sambil menggerung si raksasa
mengulur tangan merebut gen-dewa lawan, tak nyana Le Jing-hong memutar
pergelangan tangan-nya, pucuk gendewa menutul dada si raksasa.
Tubuh besar si raksasa yang
kekar tak kuat menahan tutulan ringan, kakinya sempoyongan mundur dan ambruk ke
belakang, sudah tentu Jin-siang-jin ikut ambruk, sigap sekali Jin-siang-jin
me-lejit tinggi berjumpalitan di udara melewati kepala Le Jing-hong.
Awalnya Le Jing-hong mengira
lawannya hanya satu, ke-nyataan ia harus melayani dua serangan bersama, yang
satu di depan yang lain di belakang. Di saat ia mengerut alis, ujung cambuk
sudah melilit lehernya. Sebagai jago kawakan ia tidak menjadi gugup meski
ancaman ini serius, goloknya malah diayun ke atas, cambuk panjang seketika
tertarik tegang seperti tali gendewa. Mestinya ujung cambuk membelit golok,
kini berbalik golok menarik cam-buk. Serang menyerang berlangsung cepat,
permainan mereka keli-hatannya tanpa kembangan, namun perubahannya amat ganjil,
cepat lagi ganas, tanggap menghadapi serangan. Bila tidak menyaksikan dari
pinggir, pasti susah membayangkan adu kekuatan dua lawan yang berbeda senjata
ini.
Sayang yang hadir hanyalah
tujuh orang buta yang berdiri kaku, si pincang berdiri di sana membelakangi
arena. Agaknya takut dilihat atau dikenali Hong Si-nio.
Bagaimana dengan Hong Si-nio?
Bersambung