Bentrok Para Pendekar Jilid 02

Baca Cersil Mandarin Online: Bentrok Para Pendekar Jilid 2

Jilid 2

Wanita yang satu ini memang mirip angin, sepak terjangnya sukar diraba, bayangannya ternyata lenyap tak keruan peran.

Sumber air bagai rantai perak mengalir deras dari pucuk gunung.

Cahaya senja memancar benderang menguning emas.

Hong Si-nio duduk di atas batu besar, sepasang kakinya direndam dalam kubangan air sumber nan bening dingin. Sepasang kakinya dirawat baik, putih mulus tanpa cacad sedikit pun. Bila mengawasi sepasang kaki sendiri, Hong Si-nio sering merasa bangga, apalagi para lelaki, betapa senang hati mereka mengawasi kaki ini.

Waktu menyingkir tadi, tanpa sengaja kakinya tergores batu-batu runcing dan ranting pohon berduri. Begitu menyentuh air, luka-luka itu terasa perih, hati ikut terasa mendelu.

Le Jing-hong bukan lelaki yang menyebalkan, tidak bermaksud jahat terhadap dirinya, malah menolong jiwanya. Tapi juga tidak bermaksud baik. Gelagat menjelaskan bahwa kedatangannya jelas karena dirinya, mungkin akan membawanya pula. Umpama dia mampu memukul jatuh Jin-siang-jin menjadi Jin-he-jin (orang di-bawah orang), apa faedahnya bagi dirinya?

Yang pasti Hong Si-nio tidak ingin melihat si cacad itu bertelanjang.

"Bahwa dua orang berhantam itu bukan manusia baik, kenapa tidak kubiarkan mereka cakar-cakaran, gigit menggigit," demikian batin Hong Si-nio, begitu ada kesempatan diam-diam ia ngacir pergi.

Siapa yang kenal Hong Si-nio pasti yakin bahwa dia adalah perempuan pintar. Belum pernah salah menganalisa persoalan yang dihadapi, maka sampai usia setua itu, belum pernah ada pria yang mampu melepas pakaiannya.

Bagi Hong Si-nio hari ini memang serba salah, persoalan yang dihadapi hari ini sungguh menyebalkan, terasa semua persoalan itu amat aneh.

Dingin air sumber merembes naik lewat telapak kaki, membuat hati ikut menjadi dingin.

Kehadirannya di bukit batu jelas bukan kebetulan, dia juga belum pernah bercerita pada siapa pun bahwa dirinya akan ke tempat ini. Sepak terjangnya seperti angin lalu, tiada seorang pun dapat menerka pikirannya.

Kenyataan ada tiga pihak, katakan tiga orang yang datang mencari dirinya di sini. Seperti Hoa Ji-giok, Jin-siang-jin dan Le Jing-hong.

Darimana mereka tahu bahwa dirinya berada di tempat itu? Bagaimana bisa tahu kalau dirinya akan ke sini?

Selama ini Hong Si-nio pintar menikmati hidup, barang apa saja ia makan, hanya tidak kuat makan derita.

Orang yang tidak tahan derita, ilmu silatnya pasti tidak tinggi. Untung dia cerdik pandai, ada kalanya amat buas, namun sepanjang jalan hidupnya belum pernah menanam permusuhan besar dengan siapa pun.

Di situlah letak kemahirannya, di samping pintar ia cantik, maka ia banyak bersahabat dengan teman yang punya kekuatan. Bila sedang mengumbar marah, galaknya bukan main, mirip induk anjing beranak. Saat lembut, sejinak merpati. Kadang jenaka bagai si upik, lain kejap ia bisa selicin rase. Kalau tidak benar-benar perlu, siapa mau cari perkara kepadanya. Kenyataan ada tiga orang serempak mencari dirinya, tiga orang berbeda, namun ketiga orang ini amat kosen dan susah dilayani. Dia tahu seorang yang tega membuntungi kaki dan tangan, bila perlu mencari cewek, pasti bukan hanya ingin menelanjanginya saja.

Begal besar yang sudah tiga puluh tahun menyembunyikan diri, bersikap sontoloyo di hadapan cewek, pasti bukan lantaran perempuan itu berparas cantik.

Lalu untuk apa mereka serempak mencari dirinya? Setelah dipikir-pikir, Hong Si-nio menarik satu kesimpulan. Lantaran Siau Cap-it Long.

Ya Siau Cap-it Long yang romantis itu, kenapa selalu mencari gara-gara, mengundang banyak permusuhan? Melibatkan banyak tokoh persilatan, berseru bukan demi kepentingan pribadi, tidak jarang justru untuk membela kebenaran. Seolah-olah perjaka ini memang dilahirkan untuk mengundang setori bukan hanya orang lain mencari setori padanya, kadang ia sengaja mencari setori untuk dirinya sendiri.

Waktu pertama kali Hong Si-nio melihatnya, Siau Cap-it Long justru sedang mencari setori yang melibatkan diri sendiri. Waktu itu dia masih bocah yang baru tumbuh dewasa, ternyata berani melawan arus kencang, ingin naik ke atas air terjun, ia coba dan mencoba berulang kali tanpa kenal lelah, gagal berulang bukan masalah, kepala bocor tulang patah tidak jadi soal, yang pasti ia harus berhasil berenang melawan arus mencapai puncak. Apa sih yang ingin ia buktikan? Kecuali si dogol, siapa berani melakukan dan melakukan. Datang ketika Hong Si-nio menarik kesimpulan bahwa pemuda ini goblok, namun kenyataan ia tidak bodoh, malah pintar luar biasa. Hanya saja sering kali ia melakukan perbuatan yang orang bodoh tidak berani dan tidak mau melakukan. Jadi ia pintar atau bodoh, penuh kasih sayang atau kebencian. Hong Si-nio sendiri tidak bisa membedakan, tidak tahu. Ia hanya tahu selama hidup dirinya pasti takkan bisa melupakan pemuda yang satu ini.

Bila datang rasa rindu tak tertahankan, seakan hampir gila, pernah pula ia merasa sebal dan jenuh tak berani bertemu.

Sudah dua tahun ia tidak pernah melihat apalagi bertemu dengan Siau Cap it Long.

Sejak bersama Siau-yau-hou menempuh perjalanan kematian, hingga kini ia tidak pernah mendengar kabar beritanya. Putus asa membuat ia berkesimpulan, untuk selanjutnya ia tidak akan pernah bertemu lagi dengan Siau Cap-it Long.

Sebab banyak tokoh persilatan yang sekarang masih hidup, tiada satu pun yang pernah mengalahkan Siau-yau-hou. Tiada orang yang licin, telengas dan menakutkan dibanding tokoh yang satu ini. Siau Cap-it Long justru mencarinya dan ditantangnya duel.

Bagaimana akhir duel itu, tiada orang tahu. Orang hanya berkesimpulan Siau Cap-It Long takkan muncul kembali di Kang-ouw dalam keadaan hidup, Hong Si-nio sendiri juga sudah putus asa.

Di saat sudah pesimis itu, ia justru mendengar berita tentang Siau Cap-it Long. Maka hari itu ia berada di bukit berbatu itu, hingga kakinya sekarang tergores luka, maka ia mengalami kejadian yang menyebalkan tadi. Sekarang ia duduk termenung merindukan si perjaka sambil mengelus kaki yang terluka, seperti ingin mengobati sakit rindunya.

Kini Hong Si-nio terasa amat lapar. Bila sedang merindukan Siau Ca-it Long, biasanya ia tidak merasa lapar. Maka sekarang ia berkeputusan untuk tidak memikirkan hal ini.

Tempat apakah ini? Berapa jauh dari sarang penyamun? Sama sekali ia tidak tahu. Pakaian, perbekalan dan senjatanya masih tertinggal di losmen itu, dirinya justru sedang tersesat di hutan pegunungan ini.

Magrib telah datang, saatnya makan malam, sepertinya tempat ini jauh dari kota atau pemukiman penduduk desa. Umpama tahu jalan, Hong Si-nio tidak akan tolak balik, bukan takut orang-orang itu menggeruduk dirinya, buat apa mencari kesulitan, yang pasti ia lebih mementingkan sepasang kakinya yang mulus ini, menahan lapar juga bukan persoalan baginya. Tapi perut ini memang sudah keroncongan, berkerutukan seperti memprotes saja. Bagaimana cara menenteramkan pemberontakan perut lapar ini?

Hong Si-nio menghela napas, baru saja hendak berbangkit untuk mencari ayam hutan atau kelinci yang bisa dipanggang. Bukan kelinci yang ditemukan, tapi ia melihat enam orang.

Empat lelaki yang tegap dengan baju terbuka bagian dada memikul sebuah tandu, dua pemuda yang lebih muda dengan pakaian lebih mentereng mengikut di belakang, dari lereng gunung sana beranjak turun. Jalan pegunungan tidak rata dan berkelak-kelok, tapi enam orang ini berjalan lewat pegunungan memikul tandu lagi, sungguh luar biasa.

Siapa yang duduk di dalam tandu? Apakah dia juga gagah? Di tempat seperti ini, masih berani duduk dalam tandu?

Hong Si-nio jarang naik tandu, rasanya sumpek, ia lebih suka naik kuda, ngebut dengan kuda yang berlari kencang. Tapi ia pernah naik dan duduk dalam tandu pengantin.

Sekilas terbayang kejadian hari itu, saat duduk dalam tandu dengan pakaian pengantin, ia dijemput mempelai lelaki untuk melakukan upacara sembahyang, di tengah jalan mendadak melihat Siau Cap-it Long dan Sim Bik-kun, dengan pakaian dan topi pengantin yang serba lengkap melompat keluar dari tandu. Seluruh petugas dari keluarga Nyo yang ikut menyambut mempelai perempuan hampir mati lemas saking kagetnya. Sejak peristiwa itu julukannya bertambah satu. 'Mempelai perempuan yang bikin orang semaput'.

Bayangan Siau Cap-it Long terlintas dalam benaknya, teringat pula akan Sim Bik-kun yang cantik manis dan harus dikasihani, teringat pengalaman mereka yang serba pahit dan menyedihkan. Kalau bukan karena Sim Bik-kun, Siau Cap-it Long takkan bermusuhan dengan Siau-yau-hou, tidak akan terjadi duel tanding. Kalau bukan Siau Cap-it Long, Sim Bik-kun tidak akan punya pengalaman menyedihkan.

Seorang perempuan yang paling, dihormati, menjadi panutan kaum persilatan, ternyata mencintai seorang begal besar yang namanya sudah bejat. Sim Bik-kun lahir dari keluarga besar berpangkat dan punya kedudukan terhormat di kalangan pemerintah, hampir segala persoalan di dunia ini yang menjadi kebanggaan orang banyak sudah dimilikinya, apalagi bersanding di samping seorang suami yang gagah ganteng, serba bisa sastra maupun ilmu silat, sebentar lagi malah akan melahirkan.

Karena Siau Cap-it Long, ia tinggalkan segala dan segalanya, akibatnya banyak orang ikut menderita karenanya.

Siapa yang harus disalahkan?

Yang pasti Hong Si-nio tidak menyalahkan dia. Karena Hong Si-nio adalah juga jenis perempuan yang sama. Demi hubungan asmara ini, entah betapa pengorbanan mereka, melepas semua dan meninggalkan segalanya. Kalau bukan lantaran Siau Cap-it Long, apakah dirinya sekarang akan berubah begini?

Mestinya saat ini ia duduk dalam rumah keluarga Nyo berpakaian serba indah, makan serba kenyang dan puas, duduk di ruang besar keluarga Nyo, serta dilayani babu dan kacung waktu makan malam.

Hong Si-nio menarik napas panjang, dalam hati ia mengambil keputusan untuk tidak memikirkan persoalan masa lalu. Waktu mengangkat kepala baru ia lihat tandu itu sudah berhenti tak jauh di sebelahnya. Dua pemuda ganteng di kanan kiri sudah menyingkap kerai. Tandu itu ternyata kosong. Dari dalam tandu kedua orang itu menarik keluar segulung permadani terus dilemparkan di tanah pegunungan, dikembangkan ke arah Hong Si-nio.

Mata Hong Si-nio melebar, dengan kaget ia mengawasi kedua orang itu, tak tahan ia bertanya, "Kalian datang menjemputku?"

Dua pemuda manggut-manggut, tawanya jenaka.

Hong Si-nio bertanya lagi, "Siapa suruh kalian menjemputku?"

"Kim-pou-sat."

Hong Si-nio mengikik geli, mestinya ia dapat menduga hanya Kim-pou-sat seorang yang bisa menyuruh orang menjemput dirinya. Kecuali Kim-pou-sat siapa punya gaya yang sok begini. Setelah menghela napas, katanya dengan senang, "Kelihatannya nasibku lagi baik, hari ini aku betul-betul bertemu manusia."

Memangnya orang-orang yang bertempur dan bertengkar tadi bukan manusia?

Hari ini ia merasa seperti berhadapan dengan kawanan setan saja.

Lalu siapa dan macam apa pula Kim-pou-sat itu?

Orang ini gemuk pendek, sehari-hari selalu tersenyum dan tersenyum, mata yang sipit, mulut yang mungil mirip boneka. Maka orang memanggilnya 'Pou-sat'.

Tiada orang tahu berapa kekayaannya, harta apa saja miliknya, konon dia punya gunung emas, tergantung hatinya senang atau duka, bila ia mau, bergerobak emas bisa segera dikirim ke rumahmu. Maka orang memanggilnya pula 'Kim-pou-sat'.

Demi membantu keperluan orang lain, umpama seketika harus membuang ribuan laksa emas juga rela dan tidak pernah mengerut alis. Tapi di saat minatnya timbul, sekaligus membantai belasan orang juga tidak pernah berkedip mata.

Kim-pou-sat punya gundik jelita yang amat disayang, bernama Ang-ang, karena suka berpakaian serba merah. Pernah sekali saat menjamu kehadiran Pok-hay-liong-ong, waktu Ang-ang mengisi cawan arak sang tamu, entah kenapa, tanpa sebab ia tertawa, tawa yang genit lagi menantang, tawa yang tidak homat.

Dengan tawa yang lucu Kim-pou-sat segera menyuruhnya mundur. Satu jam kemudian, di saat Ang-ang kembali, pakaiannya masih serba merah, wajahnya masih cantik, tapi kali ini bercokol di atas baki perak yang amat besar dan dibanting, disuguhkan di atas meja. Ternyata cewek ini sudah matang direbus.

Masih dengan senyum lucu menawan Kim-pou-sat mengangkat pisau dan garpu, dari bagian yang empuk kenyal ia potong daging Ang-ang serta disuguhkan kepada Pok-hay-liong-ong.

Kedatangan Pok-hay-liong-ong sebetulnya ingin mengajaknya adu kekuatan, adu kekayaan, wibawa dan pamor. Setelah pesta makan ini berakhir, Pok-hay-liong-ong segera mohon diri, malam itu juga pulang ke laut timur. Begitulah sepak terjang Kim-pou-sat.

Sudah lama Hong Si-nio kenal Kim-pou-sat, kesannya lumayan, tidak jelek. Sebab selama ini Kim-pou-sat juga baik terhadapnya. "Kau baik padaku, aku lebih baik padamu". Itulah prinsip hidup Hong Si-nio.

Sebagai perempuan, umumnya punya prinsip yang menunjang kepentingan pribadi, prinsip yang kadang tidak bisa dimengerti oleh lelaki.

Lalu darimana Kim-pou-sat tahu kehadirannya di sini? Untuk apa pula mendadak ia datang ke tempat ini? Persoalan ini tidak dipikir Hong Si-nio. Yang dipikir sekarang adalah sepiring Hi-sit yang dimasak dengan kaldu ayam dengan paha babi.

* * * * *

Mata Kim-pou-sat memang sipit, waktu melihat Hong Si-nio turun dari tandu, ia menyambut dengan tawa lebar, matanya tinggal satu garis. Dengan mimik aneh ia mengawasi Hong Si-nio dari kepala turun ke kaki, akhirnya menghela napas, "Kelihatannya tidak pantas kuundang kau kemari."

"Kenapa?" tanya Hong Si-nio.

"Tiap kali bertemu, hatiku jadi mendelu."

"Wanita secantik aku juga bisa membuatmu mendelu?"

"Nah, itu sebabnya, karena kau terlalu cantik, makin memandang hatiku makin mendelu."

"Aku tidak mengerti."

"Kau harus mengerti... bukankah kau kelaparan?"

"Hampir gila aku karena lapar."

"Kalau sepiring babi panggang ada di depanmu, tapi tak bisa memakannya, apa kau tidak mendelu?"

Hong Si-nio tertawa. Di saat berhadapan dengan lelaki yang tidak menyebalkan, kala tertawa gayanya sungguh amat menawan, cekikik tawanya juga terdengar merdu.

Mendadak Kim-pou-sat bertanya, "Kau belum menikah?"

"Belum."

"Kenapa kau selalu menolak lamaranku?"

Berkedip mata Hong Si-nio, "Karena uangmu terlalu banyak."

"Apa salahnya aku beruang banyak?"

"Lelaki yang banyak uang, lelaki yang amat cakap, aku tidak mau menikah dengannya."

"Kenapa?"

"Karena lelaki jenis ini paling disukai kaum perempuan, aku takut suamiku direbut orang."

"Kalau kau tidak merebut suami orang saja mending, memangnya siapa bisa merebut suamimu?"

"Umpama tiada yang merebut, hidupku akan selalu tegang."

"Ah, aneh. Kenapa?"

"Kalau sedang menikmati sepiring babi panggang, duduk diantara kawanan setan kelaparan, kau tegang tidak?"

Kim-pou-sat terpingkal-pingkal, matanya menyipit.

Sambil berkedip-kedip Hong Si-nio melanjutkan, "Sebetulnya aku amat menyukaimu. Asal gunung emasmu rela kau berikan padaku, aku segera jadi binimu."

"Setelah punya gunung emas, aku tak bisa mengawinimu. Kalau gunung emas kuberikan pada orang lain, apakah aku tidak membuatnya celaka?" dengan keras ia menggeleng kepala, lalu menyambung, "Urusan yang merugikan orang lain, selamanya tidak pernah kulakukan."

Hong Si-nio terawa lebar, "Berapa tahun tidak bertemu, kau tetap jenaka seperti dulu, tak heran aku selalu ingin bertemu."

"Sayang uangku terlalu banyak."

"Ya, sungguh sayang."

"Baiklah , terpaksa kami jadi kawan saja."

"Bukankah selama ini kita jadi kawan baik?"

"Mendengar perkataanmu, hatiku puas dibanding makan sepiring babi panggang."

Berbutar biji mata Hong Si-nio, "Kita kawan lama bukan?, maka ada sebuah hal ingin kutanyakan kepadamu."

"Memang sedang kutunggu pertanyaanmu itu," sahut Kim-pou-sat.

"Kau sengaja mencari aku? Darimana kau tahu aku berada di sini?"

Kim-pou-sat memicingkan mata, "Kau ingin aku jujur atau berbohong?"

"Mestinya aku senang mendengar lelaki berbohong, sebab berbohong lebih enak didengar daripada omongan jujur."

Rona mata Kim-pou-sat seperti memuji, katanya menganggukkan kepala, "Kau ini memang wanita pintar, hanya perempuan paling goblok yang memaksa lelaki bicara jujur."

"Tapi kali ini aku ingin mendengar omongan jujur."

"Hanya saja untuk mendengar omongan jujur, biasanya harus memberi imbalan."

"O, aku tahu."

"Kau masih ingin mendengar?”

"Ya."

Kim-pou-sat menepekur sesaat, kali ini suaranya kalem, "Aku mencarimu lantaran seseorang."

"Lantaran siapa?"

"Siau Cap-it Long."

Lagi-lagi Siau Cap-it Long. Tiap kali mendengar nama yang satu ini, Hong Si-nio susah menjelaskan bagaimana perasaan hatinya, entah manis? Kecut? Atau getir? Namun rona mukanya malah menampilkan sikap dingin, suaranya juga dingin, "Jadi karena Siau Cap-it Long kau mencari aku?"

"Kan kau minta aku bicara jujur."

"Memangnya apa hubungannya dengan aku? Aku kan bukan ibunya."

"Kalian teman akrab bukan?"

Hong Si-nio tidak menyangkal, juga tidak bisa menyangkal. Musuh Siau Cap-it Long jauh lebih banyak dibanding temannya, insan persilatan pasti tahu hubungannya dengan Siau Cap-it Long.

"Dua tahun lalu, waktu dia mengajak Siau-yau-hou berduel, kau juga hadir di sana."

"Dia bukan berduel, tapi mengantar jiwa, mengantar kematian."

"Jadi sejak kejadian itu, orang-orang Kangouw menyangka dia sudah mati."

"Entah berapa banyak kaum persilatan yang menginginkan kematiannya?"

"Tapi justru dia tidak mati."

"Bagaimana kau tahu dia tidak mati? Kau pemah melihatnya?"

"Aku beium melihatnya, aku hanya mendengar beritanya saja."

"Berita apa?"

"Bukan saja belum mati, malah mendapat rezeki."

"Orang sesial dia kapan bisa mendapat rezeki?"

"Bila nasib lagi mujur, tembok kota pun takkan bisa menghalanginya."

"Dia mendapat rezeki apa? Mendapat cewek baru?"

”Teman ceweknya sudah terlalu banyak, maka sering dirundung sial, untung kali ini bukan mujur di bidang itu."

"O, bidang apa?"

"Yang pasti sekarang tidak mudah kau ingin menikah dengan dia."

Hong Si-nio menarik muka, "Biar lelaki di dunia mampus seluruhnya, aku tidak akan menikah dengan dia." Lahirnya bilang begitu, padahal hatinya seperti ditusuk jarum.

"Aku ngeri kau tidak akan kawin dengan lelaki seperti itu. Dia masih muda belia, cakap ganteng, konon belakangan ini mendadak dia menjadi orang paling punya duit di dunia ini."

"Lebih kaya darimu?"

"Ya, uangnya lebih banyak dari uangku."

"Memangnya uangnya dapat jatuh dari langit?"

"Uang tak mungkin jatuh dari langit, tapi bisa tumbuh dari bumi."

"Wah, komentar aneh."

"Kaum persilatan tahu, ada tiga harta karun yang amat besar jumlahnya di dunia ini, namun belum ada orang bisa menemukan."

"Maksudmu dia menemukan harta karun?"

"Kan sudah kubilang, kalau rezeki mau datang, tembok kota juga tidak bisa menghalangi."

"Beberapa tahun lalu, pernah orang bilang dia kaya raya, tapi uang untuk membayar semangkok bakmi saja tidak punya."

"Aku tahu berita yang menjelek-jelekkan dia memang banyak, tapi yakin berita kali ini memang benar."

"Darimana kau tahu kalau berita itu benar?"

"Seorang pernah menyaksikannya di Kay-hong, sekali bertaruh kalah puluhan laksa perak. Lantakan perak bercap bank terkenal, katanya dikirim ke sana berpeti-peti banyaknya."

"Memangnya dia setan judi."

"Ada pula yang menyaksikan dia membeli pelacur terkenal di Hangciu, dengan untaian mutiara seharga lima puluh laksa perak, membeli gedung besar untuk perempuan itu."

Hong Si-nio menggigit bibir, suaranya dingin tawar, "Dia juga mata keranjang."

"Tapi hanya tiga hari ia tinggal di gedung itu, perempuan itu juga dibuangnya."

Berubah pula rona muka Hong Si-nio, suaranya tetap dingin, "Bukan hal aneh, lelaki itu memang tidak berbudi dan tidak kenal kasihan."

"Orang yang menyaksikan kejadian ini, sebelum ini pernah kenal dia. Yakin tidak salah lihat, umpama salah lihat, orang lain kan tidak mungkin salah lihat."

"Orang lain, siapa mereka?"

Kim-pou-sat tidak menjawab, malah bertanya, "Bukankah tadi kau bertemu tujuh orang buta?"

Hong Si-nio memanggut.

"Kau tahu siapa mereka sebenarnya?" Hong Si-nio geleng kepala.

"Yang lain aku tidak kenal, aku hanya tahu dua di antaranya adalah orang nomor satu dan tiga dari Kun-lun-su-kiam. Satu lagi adalah Ciangbunjin baru dari Tiam-jong-pay, pa Thian-ciok."

Kembali Hong Si-nio mengerut alis.

Kemampuan Siau Cap-it Long mencari gara-gara kelihatannya bertambah lihai, urusannya juga makin gawat.

Kim-pou-sat berkata enteng, "Yang pasti, beberapa orang itu tidak salah mengenali orang, apalagi mereka adalah orang-orang yang dipaksa Siau Cap-it Long untuk menusuk buta mata sendiri, apalagi ...." Sampai di sini bola matanya seperti mendadak membesar dua kali lipat, suaranya makin lirih lagi lambat, "Umpama mereka salah mengenali orang, tak mungkin salah mengenali golok di tangannya. Siapa pun takkan salah mengenali golok itu. "

"Keh-lo-to maksudmu?"

Bercahaya bola mata Kim-pou-sat, "Benar, itulah Keh-lo-to."

"Sebelum ini mereka pernah melihat Keh-lo-to?"

"Belum pernah."

Insan persilatan yang betul-betul pernah melihat Keh-lo-to memang belum banyak.

"Tidak pernah melihat, bagaimana bisa mengenali," tanya Hong Si-nio heran.

"Bentuk Keh-lo-to tidak mirip dengan kebanyakan golok. Apalagi Siong-bun-kiam yang dipakai Cia Thian-ciok putus menjadi dua hanya dalam satu gebrakan."

Di kalangan Kangouw, golok yang mampu menabas kutung Siong-bun-kiam memang tidak banyak.

Giliran bola mata Hong Si-nio berputar, "Tapi Keh-lo-to bisa digunakan oleh siapa saja, kalau ada orang terbunuh dengan Keh-lo-to, apakah pelakunya pasti Siau Cap-it Long?"

"Kalau tampang Siau Cap-it Long sejelek rupaku, wanita tercantik di Bulim pasti tidak jatuh cinta padanya, berarti kesulitan yang melibatkan dirinya akan banyak berkurang."

Menyinggung Sim Bik-kun membuat perasaan Hong Si-nio sakit seperti ditusuk jarum.

"Apalagi Cia Thian-ciok dahulu pernah melihat Siau Cap-it Long, sebagai pimpinan suatu perguruan, aku yakin dia tidak membual."

"Karena apa Siau Cap-it Long memaksa dia membutakan mata sendiri?"

"Kabarnya tanpa sengaja Cia Thian-ciok melirik beberapa kali kepada Sim Bik-kun."

"Hanya karena melirik kepada Sim Bik-kun, Siau Cap-it Long lantas mengorek kedua biji matanya?"

"Ya, begitulah."

"Salah, pasti salah. Siau Cap-it Long bukan orang demikian."

"Begitu kenyataannya."

"Pasti bukan."

"Pasti benar."

Mata Hong Si-nio melotot besar, mimik mukanya juga berubah aneh, dengan kencang mengertak gigi, seperti memaksakan diri menahan rasa sakit, seperti sesak napas hingga tak mampu bicara.

"Duel antara Siau Cap-it Long dengan Siau-yau-hou, siapa menang siapa kalah, sampai sekarang orang Kangouw tiada yang tahu, tapi kenyataan Siau Cap-it Long tidak mati, hal itu tidak bisa diperdebatkan lagi”.

Hong Si-nio masih melotot, bola matanya yang biasa benderang lincah, kini kelihatan buram kaku seperti mata bangkai ikan.

"Sekarang dia masih hidup, akan datang saatnya dia pasti mampus."

Bibir Hong Si-nio bergerak, mulut terpentang seperti ingin bicara tapi suara tidak keluar dari tenggorokannya.

"Sebab di tubuhnya membawa rahasia tiga harta karun yang diincar setiap insan persilatan, kemana pun ia pergi, bahaya akan selalu mengancam jiwa."

Jari jemari Hong Si-nio mulai gemetar.

"Kalau aku jadi dia, kemana aku hendak pergi, jejakku tentu kurahasiakan, sungguh aku tidak mengerti, kenapa dia mengontak kau untuk bertemu di tempat ini? Kenapa berita pertemuan ini ia beritahukan kepada orang lain? Aku ...."

Belum habis Kim-pou-sat bicara, mendadak Hong Si-nio berjingkrak berdiri, kursi di depannya ia sambar terus dilempar keluar, lalu menjambak rambut sendiri dan berguling-guling di lantai.

Kim-pou-sat tertegun, sungguh di luar pikirannya bahwa Hong Si-nio bisa berbuat demikian.

Apakah Hong Si-nio menjadi gila?

Mendadak Hong Si-nio berjingkrak bangun, berdiri berkacak pinggang di depan Kim-pou-sat, lalu tertawa tergelak.

Kim-pou-sat ikut tertawa, "Kita kan kawan lama, sahabat baik, urusan apa saja boleh dibicarakan, kenapa harus marah begitu?" Ia yakin tak mungkin Hong Si-nio bisa mendadak gila, mungkin hanya pura-pura gila. Tak nyana Hong Si-nio berteriak aneh, mendadak tangannya terulur mencengkeram lehernya, kini Kim-pou-sat benar-benar terkejut.

Meski belakangan ini badannya makin tambun, syukur reaksinya masih cepat dan cekatan, sekali berkelebat, tahu-tahu badannya bergeser tujuh kaki. Tidak berhasil mencengkeram leher orang, Hong Si-nio malah mencengkeram leher sendiri, cengkeramannya kelihatan amat kuat, otot hijau menonjol di jidatnya, lidah juga melelet keluar, sungguh mirip setan hidup.

Kim-pou-sat mengawasi dengan kaget, baru sekarang ia sadar Hong Si-nio ternyata memang benar sudah gila. Wanita secantik Hong Si-nio yang suka kebersihan, senang menjaga gengsi, kalau bukan karena benar gila, mana mungkin mau bertingkah seburuk itu di depan orang lain. Kini muka sendiri ikut memucat ngeri, timbul hasrat ingin membujuk atau menghibur. Tak nyana mendadak Hong Si-nio mengejang kaku lalu roboh telentang tak bergerak lagi.

Tak tahan Kim-pou-sat berseru gugup, "Si-nio, Si-nio ...."

Hong Si-nio tetap rebah kaku tak bergerak, selebar mukanya berubah kelabu, bola matanya juga melotot keluar.

Kini Kim-pou-sat betul-betul kaget, perlahan ia mendekat, tangan diulur meraba hidung, ingin memastikan apakah masih bernapas atau sudah putus jiwa.

Hong Si-nio sudah gila, malah mati di tempat ini.

Kim-pou-sat melenggong sekian lama, sungguh tak percaya bahwa ini kejadian nyata, ia hanya mematung tak mampu bicara.

Pada saat itulah didengarnya suara pakaian melambai, tiba-tiba di depannya muncul seorang, rambut kepalanya terurai panjang memutih perak memegang gendewa emas, siapa lagi kalau bukan Kim-kiong-gin-hoan Le Jing-hong. Menyusul suara derap kaki yang berat, Jin-siang-jin juga tiba.

Begitu Hong Si-nio minggat, tiada alasan mereka terus berkelahi. Mereka bukan lagi pemuda yang berdarah panas, sedikit-sedikit berhantam serta mengadu jiwa, dalam usia mereka sekarang hal itu jelas takkan dilakukan.

Tujuan mereka mencari dan mengejar Hong Si-nio.

Kini mereka juga muncul di sini, bersama-sama mengawasi Hong Si-nio yang rebah telentang di lantai. "Apa yang terjadi?" tanya mereka.

Kim-pou-sat menjelaskan, "Tidak terjadi apa-apa, hanya mati seorang."

"Benar dia sudah mati?" Le Jing-hong menegas.

Kim-pou-sat menjawab, "Kelihatannya bukan pura-pura."

"Kau membunuhnya?" mendelik mata Le Jing-hong.

Kim-pou-sat menghela napas, "Apakah aku tega membunuhnya?"

Le Jing-hong mengerti, sebab ucapan orang memang benar. Hong Si-nio yang hidup jelas lebih berguna daripada mati.

"Baru sekarang aku tahu," ujar Kim-pou-sat, "seorang ternyata bisa mati lantaran amarahnya."

"Mati lantaran amarahnya?" Le Jing-hong menegas.

"Kecuali alasan itu, sukar kutemukan bukti lain."

"Kalau kau lepas pakaiannya, tentu dapat kau temukan buktinya," Jin-siang-jin menimbrung.

Le Jing-hong melotot, "Orangnya sudah mampus, kau masih mau menelanjanginya?"

"Kalau sejak awal kau biarkan aku melepas pakaiannya, mungkin dia tidak mati."

Le Jing-hong mengerut kening. Sementara Kim-pou-sat membungkuk menyingkap ujung baju Hong Si-nio, lalu menarik napas dalam, wajahnya seketika berubah, "Bajunya beracun."

"Baju itu memang bukan miliknya," kata Jin-siang-jin.

"Milik siapa?" tanya Le Jing-hong.

"Seorang yang bernama Hoa Ji-giok. Kau pernah mendengar namanya?" tanya Jin-siang-jin.

"Maksudmu baju ini pemberian Hoa Ji-giok?" tanya Le Jinghong.

Jin-siang-jin memanggut, suaranya dingin, "Sejak awal aku sudah tahu, setiap benda yang pernah disentuh Hoa Ji-giok pasti beracun."

"Tapi aku maklum, kalau tiada manfaatnya, Hoa Ji-giok takkan kerja percuma."

"Betul."

"Dia membunuh Hong Si-nio, apa pula manfaatnya?"

"Aku tidak tahu," Jin-siang-jin menggeleng kepala.

Le Jing-hong uring-uringan, "Kalau Hong Si-nio hidup pasti berguna bagi dia, apa alasannya turun tangan sekeji ini?"

"Ada Hong Si-nio pasti ada Siau Cap-it Long," Kim-pou-sat menimbrung, manfaatnya jelas tidak kecil." Kembali matanya memicing, "Untuk persoalan ini kalian datang kemari, sekarang silakan bawa dia pergi."

"Yang kuinginkan adalah Hong Si-nio hidup, bukan mayatnya," seru Jin-siang-jin.

"Bahwa Si-nio mati di tempatmu ini, selayaknya kau mengurus jenazahnya," Le Jing-hong menambahkan.

Kim-pou-sat menarik muka, "Waktu datang ia sudah keracunan, kalian juga mengikuti jejaknya, sekarang kalian melimpahkan tanggung jawab padaku, apa begini yang dibilang cengli?"

Mendadak seorang berkata lirih lembut, "Waktu masih hidup kalian memperebutkan dia, jenazahnya belum dingin, kalian lempar tanggung jawab, perbuatan dan sikap yang tidak kenal budi tidak tahu aturan begini, di alam baka kalau Hong Si-nio tahu, pasti tidak akan mengampuni kalian."

* * * * *

III. BELAS KASIH HOA JI-GIOK

Tabir malam mendatang.

Seorang muncul dari kegelapan di luar dengan langkah gontai, di kepalanya mengenakan mahkota bertahta jamrut manikam, mengenakan jubah kembang warna-warni, bagian luar ditutup mantel sutra jingga bersulam emas, pinggangnya dililit sabuk bertahta batu pualam, dihiasai dua puluh empat butir mutiara sebesar kelengkeng, bundar gemerdep. Wajah nan bulat memutih gilap mirip warna mutiara di sabuknya, hidung mancung, bola mata bening hitam, bibirnya merah merekah bagai delima matang, tidak tertawa tapi kelihatan selalu tersenyum. Ditingkah cahaya lampu, gadis cantik muda belia sungguh sangat anggun.

Melihat orang muncul dari kegelapan, semua yang hadir berubah air muka. Hoa Ji-giok biar belum pernah bertemu atau melihatnya, melihat dandanannya, orang akan lekas mengerti bahwa dialah Hoa Ji-giok. Orang ini memang bagai batu pualam mirip bunga berkembang, tapi dia bukan perempuan, tapi laki-laki tulen.

Hoa Ji-giok sendiri maklum, tiada lelaki macam dirinya di dunia ini, kalau ada ya cuma satu dua saja. Sikapnya kelihatan lemah lembut, tapi sorot mata dengan kerut keningnya seperti membayangkan keangkuhan hatinya.

Sambil tersenyum ia melangkah masuk, melirik pun tidak kepada Kim-pou-sat bertiga, perhatian ditujukan pada Hong Si-nio yang rebah di lantai, katanya lirih, "Sungguh kasihan, waktu hidup kau jadi rebutan, setelah mati tiada orang mau mengurus jenazahmu. Semoga dalam perjajanan ke nirwana selamat sampai tujuan. Mereka tidak kenal budi tidak tahu kasihan, aku Hoa Ji-giok akan mengurus jenazahmu."

"Kau akan mengurusnya?" tiba-tiba Jin-siang-jin menjengek.

"Aku bukan anak bukan kadangnya," kata Hoa Ji-giok, "tapi tak tega melihat jenazahnya telantar di sini."

"Sejak kapan berubah jadi baik hati?" jengek Jin-siang-jin.

"Aku kan menaruh belas kasih terhadap perempuan."

"Ocehanmu enak didengar," sindir Jin-sian-jin, "bukankah dia mati di tanganmu?"

Baru sekarang Hoa Ji-giok mengangkat kepala, tawanya mekar, "Kalau benar dia mati di tanganku, memangnya kau ingin menuntut balas baginya?"

Terkancing mulut Jin-siang-jin, jelas dia tidak akan bentrok apalagi mengadu jiwa dengan Hoa Ji-giok bagi orang yang sudah mati.

Hoa Ji-giok tertawa lebar, "Kim-pou-sat seyogianya berhati welas asih, apakah sudi mengurus jenazahnya?"

Kim-pou-sat diam saja.

Hoa Ji-giok menghela napas, "Kelihatannya kalian ogah mengurus jenazahnya, baiklah, biar aku yang menyelesaikan." Dia hanya mengulap sebelah tangan, dua orang gadis muda tahu-tahu berkelebat masuk, mengangkat jenazah Hong Si-nio, lekas sekali diangkat keluar dan lenyap ditelan kegelapan, Hoa Ji-giok menggumam perlahan, "Panas dingin perasaan manusia, sikap duniawi sungguh merana. Hari ini aku menyempurnakan janazahnya, kelak kalau giliran aku mati, entah siapa mau mengurus mayatku." Perlahan ia berjalan keluar, langkahnya kelihatan ringan, tapi kakinya bergerak di lantai meninggalkan tapak kaki yang dalam.

Le-jing-hong siap mengejar keluar, namun demi melihat tapak kaki orang, segera ia batalkan niatnya.

Kim-pou-sat menggeleng kepala, gumamnya pula, "Tampang orang ini secantik kembang semurni pualam, hatinya ternyata kejam melebihi binatang, sungguh aku tidak mengerti, kenapa dia mau datang mengambil jenazah Hong Si-nio?"

Jin-sian-jin menanggapi dingin, "Mungkin ingin ganti selera, gegares daging orang mati."

Betulkah Hoa Ji-giok makan daging orang yang sudah mati?

Sudah tentu Hong Si-nio tidak mati, waktu ia membuka mata, dilihatnya Sim-sim berdiri di depannya. Tangannya tidak putus, dua-duanya masih utuh, bekas luka juga tidak kelihatan. Hong Si-nio melotot kaget, "Tanganmu ...."

"Tanganku tidak secantik tangan Si-nio," kata Sim-sim dengan tersenyum.

"Tanganmu tetap dua?"

"Sejak lahir tanganku memang dua."

"Kukira kau punya tiga tangan."

"Manusia mana yang punya tiga tangan?"

"Lalu tanganmu yang keracunan tadi yang mana?"

"Kalau racun seringan itu aku tidak tahan, umpama aku punya tiga puluh tangan juga percuma, semua pasti buntung."

"Maksudmu hanya terkena sedikit racun?"

"Ya, sedikit sekali."

"Tapi kau tadi.... "

"Maksudku supaya Si-nio tahu, makhluk apa dia sebenarnya."

Si-nio mengawasi sekian lama, "Tadi sudah kubilang, kelak kau pasti akan mendapat jodoh yang sesuai sebagai pasanganmu."

"Ehm," Sim-sim bersuara dalam mulut.

Hong Si-nio menghela napas, "Tapi aku malah kuatir bagi pasanganmu kelak bila punya bini sepertimu, suamimu mana tahan?"

Rumah ini dipajang amat megah lagi mewah. Hong Si-nio menyapu pandang ke sekelilingnya, tak tahan ia bertanya, "Bagai-mana aku bisa berada di sini?"

"Kami yang menggotongmu ke sini," sahut Sim-sim.

"Menggotongku kemari?"

"Tadi kau sudah mati sekali."

Gemerdep mata Hong Si-nio, "Mati bagaimana?"

"Baju yang kuberikan kepadamu itu beracun."

"Hah, baju itu beracun?"

"Hoa-kongcu menaruh racun di baju itu."

"Kenapa dia meracunku mati?"

"Karena kuatir kau dibeset mampus jadi beberapa bagian."

"Ya, mereka memperebutkan diriku."

”Tapi begitu kau mati, jangan kan mengurus jenazahmu menyentuhmu saja tidak sudi."

"Lalu kalian menggotongku ke sini."

"Kau mati atau hidup, kami tetap akan merawatmu."

"Kalian bisa menolong orang mati kembali hidup?"

"Orang lain tidak bisa, Hoa-kongcu mampu."

"Sepertinya Hoa-kongcu kalian itu orang yang luar biasa."

”Terus terang saja," ujar Sim-sim gegetun, "belum pernah aku melihat seorang yang luar biasa seperti dia."

"Kenapa tidak biarkan aku melihatnya."

"Umpama kularang kau melihatnya, dia pasti tidak setuju."

Dari luar kerai seorang mendadak berkata, "Perintah dari Kongcu, bila Si-nio sudah siuman, dipersilakan ke ruang depan minum arak."

Ruang depan ini lebih luas, tinggi dan besar, pajangannya jauh lebih mempesona, persisnya seperti dunia sutra dan mutiara. Di meja penuh bertumpuk belasan macam hidangan.

Sim-sim berkata, "Hidangan hari ini semua aku yang menyiapkan, ada ayam dan angsa panggang, ayam tim sarang burung, dan lima belas hidangan lain yang dibikin berbahan dari gunung, laut dan tanah perkebunan yang susah dibeli di pasaran."

Hong Si-nio melenggong mengawasi bermacam hidangan sebanyak itu.

Sim-sim berkata lebih jauh, "Hidangan semeja ini kuatur menurut daftar menu yang diajukan koki istana, entah cukup tidak untuk disantap."

"Kau tahu hidangan ini cukup dimakan tidak?"

"Ya."

"Memangnya kau kira aku ini siapa? Kau anggap aku ini Bik-lik-hud yang gendut perutnya itu?"

"Yang pasti aku tahu sekarang kau sedang kelaparan."

"Aku memang kelaparan, tapi hidangan sebanyak ini, jangan kata makan, melihat saja perutku sudah kenyang."

Baru saja Hong Si-nio menaruh pantatnya di kursi, dilihatnya seorang menyingkap kerai dan berjalan masuk.

Hong Si-nio sudah malang melintang sekian tahun di Kang-ouw, pemuda-pemuda yang pernah dilihatnya tidak terhitung jumlahnya, tapi belum pernah melihat lelaki sebagus, seganteng ini.

Hoa-kongcu tersenyum sambil mengangguk, sekilas ia mengerut alis, lalu berkata, "Hidangan hari ini siapa yang menyiapkan?"

"Akulah," sahut Sim-sim.

"Kau memang terlalu, hidangan ayam, itik, udang dan ikan setumpuk, jangan kata makan, melihat saja sudah kenyang perut Si-nio."

Hong Si-nio menahan rasa geli, ”Ternyata Hoa-kongcu mengerti seleraku."

Hoa Ji-giok berkata, "Bisa berkenalan dengan Si-nio yang perkasa, tidak sia-sia hidup Hoa Ji-giok."

"Hidupmu takkan sia-sia. Orang mati dapat kau hidupkan kembali, mana mungkin kau hidup sia-sia."

"Kukira Sim-sim banyak mulut tadi."

"Tidak, dia tidak memberitahu apa-apa, aku juga tidak tahu sekarang aku di tempat apa."

"Bukankah tujuan Si-nio di tempat ini?"

"Bukit berbatu maksudmu?"

"Ya, di sinilah Loan-ciok-san."

Berputar bola mata Hong Si-nio, "Ada tempat sebagus ini di Loan-ciok-san?"

"Awalnya tidak seindah ini," sela Sim-sim tersenyum, "setelah Kongcu ada di sini, keadaan semua berubah."

"Aku ini tidak suka menyiksa diri sendiri."

"Kurasa Kongcu sudah kenal selera dan kegemaranku juga."

"Bila Si-nio tidak menganggap aku sekomplotan dengan Kim-pou-sat, aku senang bergaul dengan Si-nio."

Lama Hong Si-nio menatapnya, "Betul kau bukan komplotan mereka?"

Hoa Ji-giok tertawa manis, "Sepanjang hidupnya, Kim-pou-sat hanya memikirkan bagaimana memperkaya diri, Jin-sing-jin dan Le Jing-hong hanya ingin mencelakai jiwa orang. Menurut Si-nio apakah aku ini mirip orang yang suka merampok dan membunuh orang?"

"Tampangmu tidak mirip penjahat. Lalu mereka ingin merampok harta siapa? Membunuh jiwa siapa pula?"

"Siau Cap-it Long. Pasti Siau Cap-it Long."

"Bukankah kehadiranmu di sini juga ingin bertemu Siau Cap-it Long?"

"Bukan."

"Betul bukan?"

"Jangan kata hanya seorang Siau Cap-it Long, andai ada 10 Siau Cap-it Long, takkan menggerakkan hatiku, buat apa aku berada di pegunungan yang serba kurang ini?"

"Hasrat apa yang memaksamu ke sini?"

"Ya, memang karena seseorang."

"Siapa?"

"Kau."

Hong Si-nio mengikik tawa, "Aku senang mendengar lelaki berbohong, kalau bicara bisa membuat orang merasa nikmat."

"Sayang sekali apa yang kuucapkan kali ini bukan bohong."

"O, yang benar saja."

"Kecuali Si-nio, manusia mana di dunia ini yang dapat mendesakku datang ke tempat ini."

"Aku sendiri belum pernah menyuruh kau datang ke tempat seperti ini."

"Ya betul, tapi aku memang terpaksa harus ke sini."

"Datang terpaksa? Kenapa?"

"Seorang suami kalau tahu bininya menghadapi bahaya, pasti dipaksa menyusul dan menolong bininya itu."

"O, Hoa-toako kita ini menyusul ke tempat ini menyusul Hoa-toaso?"

"Ya, begitulah."

"Hoa-toaso kita tentu seorang wanita yang cantik rupawan,"

Hoa Ji-giok manggut-manggut, sepasang matanya mengawasinya tanpa berkedip, akhirnya menghela napas, "Hoa-toaso memang wanita cantik bagai kembang mekar, aku sendiri tidak tahu betapa besar rezekiku dapat memperisteri dia."

"Makanya kau harus berhati-hati."

"Hati-hati dalam hal apa?"

"Jagalah sepasang matamu, kalau melihat begitu cara kau menatapku, pasti dia akan cemburu padaku."

"Aku yakin dia tidak akan cemburu."

"Memangnya Hoa-toaso selamanya tidak pernah cemburu?"

"Yakin tidak."

"Betulkan selama hidupnya Hoa-toaso tak pernah cemburu?"

"Cemburu sih jelas, tapi tidak akan cemburu padamu."

"Kok bisa?"

"Karena Hoa-toaso adalah engkau dan engkau adalah Hoa-toaso."

Hong Si-nio tertegun.

"Sebenarnya sejak menikah dengan kau, aku tidak pernah melihat apalagi menyentuh wanita lain. Lelaki manapun kalau sudah punya bini secantik dan sebaik engkau, pasti dan yakin tidak akan memperhatikan wanita lain."

Akhirnya Hong Si-nio menarik napas panjang, "Jadi aku sendirilah Hoa-toaso itu."

"Memangnya siapa lagi kalau bukan engkau."

"Memangnya sejak kapan aku menjadi binimu?"

"Lho, masa engkau lupa?"

"Ya, aku lupa."

Hoa Ji-giok menghela napas gegetun, "Mestinya engkau tidak lupa, sebab hari pernikahan kita tepat pada tanggal lima bulan lima."

"Toan-ngo-coat?"

"Betul," sahut Hoa Ji-giok, "di hari Toan-ngo-coat itulah kita menikah."

Bagai dibenamkan dalam lumpur perasaan Hong Si-nio. Beberapa hari sebelum dan sesudah Toan-ngo-coat kondisinya sedang gundah, bingung lagi cemas.

Setiap datang hari Toan-ngo-coat, entah kenapa perasaannya selalu begitu, seperti tahun-tahun yang sudah, ia mencari tempat, menyembunyikan diri.

Beberapa hari itu jelas ia tidak bertemu dengan orang, juga pasti tiada orang pernah melihat dirinya. Hong Si-nio tahu bahwa dirinya pasti tidak pernah menikah dengan Hoa Ji-giok, tapi selain diri sendiri susah ia mencari orang lain untuk menjadi saksi dan membuktikan keberadaan dirinya.

Mengawasi kebingungan Hong Si-nio, Hoa Ji-giok tampak gembira, katanya pula, "Pernikahan kita diadakan tergesa-gesa, namun pestanya cukup meriah, ada bukti mak comblang, umpama kau ingkar tak mungkin bisa ingkar."

Mendadak Hong Si-nio tertawa lebar malah, "Dapat menikah dengan pemuda pujaan adalah idamanku, kenapa aku harus ingkar?"

"Kalau benar kau menyukai aku, kenapa di malam pertama yang semestinya penuh bahagia justru minggat dari kamar pengantin?"

"Sudah biasa, tiap kali kualami malam pertama pernikahan, selalu aku minggat."

”Tapi sekarang sudah kutemukan kau kembali, kuharap engkau tidak minggat lagi."

"Ya, aku tahu," Hong Si-nio menghela napas dengan tertawa getir.

Si-nio maklum, kali ini dirinya susah meloloskan diri. Tahu-tahu hari ini dirinya menjadi bini Hoa Ji-giok, betapa aneh dan ganjil kejadian ini.

Hoa Ji-giok memang pemuda bagus, ganteng dan enak dipandang, bukan saja muda banyak duit, lemah lembut sayang istri, perempuan mana yang bisa menikah dengan pemuda seperti ini, pasti akan merasa senang lagi bahagia. Tapi sekarang Hong Si-nio amat gundah, ingin menangis saja air mata tak bisa meleleh.

Pandangan Hoa Ji-giok manis mesra, rasanya seperti ingin membopong mempelai perempuan masuk ke kamar. Sebaliknya gemas Hong Si-nio bukan main, rasanya ingin mencekik lehernya biar mampus, tapi ia tahu untuk mencekik pemuda ini bukan urusan mudah.

Suara Hoa Ji-giok lembut namun penuh gairah, "Ayolah, kamar pengantin sudah kusiapkan."

"O?"

"Kalau hidangan ini tidak ingin kau makan, biarlah kita masuk kamar dulu."

Hong Si-nio lihat sana pandang sini sambil berkata, "Hidangan sebanyak dan seenak ini, kalau tidak dimakan apa tidak sayang?" Tanpa sungkan ia mengambil daging, mencomot udang, lalu dimakan dengan lahap, makannya lebih banyak dari biasanya. Ia insaf setelah makan kenyang kali ini, entah kapan baru ada kesempatan makan lagi.

Dengan senyum lebar Hoa Ji-giok menyaksikan dari seberang meja, menunggu dengan sabar.

Hong Si-nio mengerling mata, lalu katanya, "Kawin dengan bini yang suka gegares seperti aku, kau masih bisa tertawa?"

"Kenapa tidak bisa tertawa?"

"Kau tidak takut menjadi kere (jembel)?"

"Menikah dengan bini seperti engkau yang selalu mengundang rezeki, mana mungkin aku bisa kere?"

Gatal gigi Hong Si-nio, saking gemas, rasanya ingin ia menggigit sekerat daging di badannya. Kini ia sudah tak kuasa menelan makanan lagi.

"Sudah selesai kau makan?"

"Seleraku hari ini kurang baik, biarlah makan sedikit saja."

"Asyik, sekarang...."

"Sekarang aku ingin minum arak, ayo temani aku minum tiga cawan."

”Tentu kutemani kau minum."

"Berapa cawan aku minum, kau juga minum sebanyak itu?"

"Orang lain tiada yang mencekok aku minum, mempelai sendiri malah yang menganjurkan aku banyak minum?"

Hong Si-nio tersenyum lembut, "Malam pertama di kamar pengantin, bukankah sudah biasa kalau mempelai pria mabuk?"

Di luar tahunya, pemuda ini kelihatan lemah lembut, bila minum arak perutnya ternyata mirip gentong.

Wanita seperti Hong Si-nio kalau ingin membuat mabuk para lelaki, entah berapa kali mudah dilakukannya, ukuran minumnya juga cukup luar biasa, kalau tidak, entah sudah berapa kali ia ditelanjangi lelaki. Dalam hal minum ada kemampuan Hong Si-nio yang luar biasa, orang lain makin banyak minum pandangan bisa makin kabur, sebaliknya makin banyak minum, bola matanya malah cemerlang, orang jadi susah menebak apakah dia sudah mabuk atau belum, maka jarang ada orang berani mengadu kekuatan minum padanya.

Ternyata Hoa Ji-giok juga demikian, makin banyak minum makin sadar saja, bola mata Hong Si-nio sudah benderang mirip lampu, dengan melotot ia mengawasi lalu bertanya, "Kau pernah mabuk tidak?"

"Orang yang minum arak, siapa yang tidak mabuk?"

"Jadi kau pernah mabuk?"

"Aku sering mabuk."

"Kulihat sekarang tiada tanda-tanda kau akan mabuk."

"Siapa bilang. Tahun lalu aku pernah jatuh mabuk."

"Tahun lalu?"

"Lima tahun lalu juga pernah mabuk sekali."

"Selama hidupmu kau hanya pernah mabuk dua kali?"

"Dua kali sudah luar biasa bagiku."

"Ada juga orang yang sehari mabuk dua kali, toh merasa kurang banyak dan tidak pernah kapok."

"Aku sendiri ingin bisa mabuk beberapa kali, sayang araknya yang kurang."

"Berapa banyak yang kau butuhkan?"

"Aku sendiri tidak jelas, yang kuingat tahun lalu aku hanya menghabiskan dua belas guci Tiok-yap-cing, lalu roboh tak sadarkan diri."

Hong Si-nio melenggong. Dua belas guci Tiok-yap-cing, kalau harus dituang dalam baskom, mungkin harus dikerjakan selama setengah hari."

Bersambung ke 3
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar