Jilid 8
Sebagai orang yang berlaku
teliti, mungkin biasanya juragan Lu memberitahu sang isteri, bila suatu ketika
dirinya tersangkut perkara yang gawat, dia harus menghubungi seseorang untuk
menolong dirinya.
Siau Cap-it Long sadar, kedua
perhitungannya tidak meleset. Baru saja da bilang akan melapor kepada opas,
perempuan itu segera mencegah dirinya, lalu bersikap tenang, katanya dengan
muka kaku, "Aku sudah tahu urusannya, akan kuurus sendiri, kau tak usah
ikut campur, lekas pulang dan jaga hotel."
"Blang", tanpa
menunggu reaksi dan komentar Siau Cap-it Long, ia menutup pintu.
Siau Cap-it Long pura-pura
pamit. Jelas tidak pergi, tapi bersembunyi di ujung gang yang gelap, lalu
melejit tinggi hinggap di wuwungan rumah tetangga.
Hanya menunggu sebentar, bini
juragan Lu tadi membuka pintu rumah, dengan langkah gopoh keluar dari gang.
Jelas akan pergi memberi kabar entah siapa. Apakah Hamwan Sam-seng?
Mendadak Siau Cap-it Long
merasakan jantungnya berdebar kencang, jalur penyelidikannya ini adalah satu-satunya
yang dapat dipercaya, satu-satunya yang ada harapan.
Setelah keluar dari gang
tempat tinggalnya, nyonya Lu masuk ke gang lain di ujung jalan sana. Waktu Siau
Cap-it Long membuntutinya ke sana, tampak dia sedang mengetuk pintu.
Dari dalam pintu berkumandang
suara seorang perempuan dengan nada tinggi, "Siapa di luar, tengah malam
buta menggedor rumah orang? Mau cari setan?"
"Eh, cepat buka, inilah
aku, adik misanmu kena perkara, cepat buka pintu."
Rumah ini tempat tinggal
keluarga juragan Gu, karena suaminya terlibat perkara, siapa lagi kalau tidak
mencari bantuan kepada adik misannya?
Seorang perempuan tengah baya
kurus tinggi bergegas membuka pintu, suaranya ikut kuatir, "Kena perkara
apa? Bangkotanku juga tiada di rumah, wah bagaimana baiknya?"
Bahwa juragan Gu tidak di
rumah, sudah dalam dugaan Siau Cap-it Long. Entah apa yang dibicarakan dua
perempuan tengah baya itu, mereka kasak-kusuk sekian lama entah persoalan apa
yang dibicarakan, akhirnya mereka menyuruh seorang kacung menyiapkan gerobak,
mereka segera pergi naik gerobak. Karena terpaksa, akhirnya mereka seperti
ingin mencari seseorang yang dipercaya dapat menyelesaikan persoalan ini.
Gerobak kuda itu cepat sekali
dibedal ke arah timur, tujuannya jelas ke arah luar kota, saat itu tepat menjelang
subuh, saat paling gelap waktu menjelang fajar, jalan sepi sekeliling senyap.
Dengan enteng Siau Cap-it Long melompat tinggi, lalu hinggap di belakang
gerobak yang bergontai.
Dua wanita dalam gerobak
ternyata tiada yang bersuara, suami kena perkara jelas hati mereka gundah, mana
ada minat berbincang, tapi Siau Cap-it Long makin heran dibuatnya karena
keadaan yang sunyi lagi terasa aneh. Tengah ia pasang kuping, telinganya mendengar
suara aneh, suara orang sedang makan sesuatu.
Perempuan Soh-ciu umumnya suka
makanan serba manis, dari celah-celah jendela Siau Cap-it Long mengintip ke
dalam, dilihatnya kedua perempuan tua ini lagi asyik menikmati permen jahe.
Kalau minat bicara saja tiada, kenapa malah mengunyah permen jahe begitu lahap?
Jari jemari Siau Cap-it Long
mendadak menjadi dingin. Sekilas ia memikirkan beberapa hal yang tidak masuk
akal.
Tengah ia menggedor pintu
orang, yang membuka bagaimana mungkin istri pemilik rumah?
Bukankah di rumah ada kacung
atau pelayan, memangnya pergi kemana para pembantunya itu?
Seorang perempuan baya di
hadapan adik misan sendiri, mengapa menyebut suami sendiri sebagai bangkotan
tua? Dalam kondisi seperti ini rela mengayun langkah mencari orang, mana
mungkin membawa permen segala?
Mendadak Siau Cap-it Long
sadar, lima enam hal yang diperhitungkan tadi hakikatnya salah besar, jelas
satu dengan yang lain tidak cocok dan pantas diragukan kebenarannya. Tujuan
mereka memancing dirinya ke tempat ini jelas adalah memancing harimau
meninggalkan sarang, sengaja membawa dirinya keluar kota. Bukan mustahil mereka
sudah tahu siapa dirinya.
Jika demikian Hamwan Sam-seng
pasti masih berada di kota, di suatu tempat yang tak terpikir dan diduga Siau
Cap-it Long.
Hamwan Sam-seng sepertinya
tahu benar titik kelemahan jiwa manusia umumnya.
Tiba-tiba Siau Cap-it Long
melambung tinggi berjumpalitan mundur ke belakang, dengan kecepatan kilat
memburu balik ke rumah juragan Lu. Rumah ini terang benderang, terdengar
percakapan orang. "Entah juragan ada perkara apa, semoga sang junjungan
melindungi dia pulang dengan selamat."
Perasaan Siau Cap-it Long
kembali mengendap, hatinya mencelos, apakah dia salah perhitungan pula.
Dari dalam rumah berkumandang
suara perempuan tua berkata, "Toanio keluar kota mencari orang, entah bisa
ketemu tidak."
Apa benar mereka keluar pintu
mencari orang?
Saking gemas dan gegetun,
ingin rasanya Siau Cap-it Long menggampar pipi sendiri, titik terang kembali
bercahaya dalam sanubarinya. Lu-toanio berdua naik gerobak langsung berangkat
dari gang sebelah, menjelang berangkat juga tidak berpesan mau pergi kemana,
dua orang perempuan di rumah ini darimana tahu mereka keluar kota?
Mungkinkah jebakan yang
mengaburkan, supaya orang salah menduga bila seseorang datang kembali, sehingga
bingung dan sukar mengambil keputusan. Hamwan Sam-seng memang seorang yang
cermat lagi banyak tipu daya.
Di dapur ada dian menyala,
saat seperti ini jelas takkan ada orang menyulut api untuk masak nasi. Apalagi
keluarga yang memperhatikan keselamatan tak mungkin menyulut dian semalam
suntuk mengingat bahaya kebakaran. Tanpa banyak pikir Siau Cap-it Long
menerjang masuk.
Di dapur hanya ada dian, tiada
orang. Di pojok sana ada seonggok kayu bakar yang siap digunakan untuk memasak.
Tapi setelah diteliti, dalam tungku sudah penuh disiapkan batu bara. Kalau
biasa memasak nasi pakai batu bara, lalu untuk apa seonggok kayu bakar? Siau
Cap-it Long menarik napas panjang, hatinya lega dan bersyukur, akhirnya ia
menemukan tempat yang dicarinya.
Setelah ia pindahkan onggokan
kayu bakar itu, di bawahnya ternyata adalah lubang yang menjurus ke lorong
bawah tanah. Terlebih dulu ia angkat sebuah ubin dan dipindahkan ke pinggir,
baru kemudian beranjak turun menapak undakan batu. Dalam lorong ada dua pintu,
pintu terdepan terbuka lebar.
Belasan langkah kemudian Siau
Cap-it Long dihadang sebuah pintu kayu, tebal dan berat, jelas amat kokoh,
pintu tertutup dan dikunci dari dalam.
Perlahan Siau Cap-it Long
mencabut golok, sekali bacok disusul tendangan dahsyat, segera dilihatnya
Hamwan Sam-seng berada di situ.
Di dunia ini yakin takkan ada
orang pernah melihat Hamwan Sam-seng terkejut, amat kaget, malah dengan
terbeliak ia mengawasi Siau Cap-it Long, lama sekali baru menarik napas
panjang, "Akhirnya kau datang juga."
Kamar di bawah tanah ini
dipajang mewah, indah lagi berseni, di ujung kanan masih ada sebuah ranjang
besar yang empuk dengan seprei dan bantal guling yang bersulam indah. Hong
Si-nio tampak lelap di dalam selimut tebal, wajahnya masih kelihatan kelabu,
pipinya sudah bersemi merah.
Siau Cap-it Long menarik napas
panjang, "Kau tidak menduga bukan?"
Akhirnya Hamwan Sam-seng
menjadi tenang juga, katanya dengan tersenyum lebar, "Sungguh tak pernah
kuduga. Sebab sepantasnya kau tidak datang kemari."
"O?" Siau Cap-it
Long bersuara di hidung.
"Kau sudah berjanji
padaku, pasti tidak ingkar dan tidak menguntitku."
"Aku tidak ingkar, juga
tidak menguntitmu. Aku datang karena urusan lain."
"Urusan lain? Apa
itu?"
"Akan kubunuh kau,"
desis Siau Cap-it Long. Jawabannya jelas tegas dan terus terang. Golok sudah
berada di tangan.
Sorot mata Hamwan Sam-seng
beralih dari mata ke goloknya.
Mendadak ia merasa dirinya
sudah terkurung dalam cahaya kemilau golok sakti dan tatapan mata orang yang
berkilat.
Dingin suara Siau Cap-it Long,
"Kali ini jangan kau mengancam dengan jiwa dan raga Hong Si-nio. Sebab
jika jarimu bergerak, golokku tidak akan memberi ampun kepadamu."
Hamwan Sam-seng tertawa,
"Sekarang Hong Si-nio sudah menjadi milikku, buat apa kugunakan dia untuk
mengancammu?"
"Kalau kau sudah mampus,
dia sudah bukan milikmu lagi."
Hamwan Sam-seng
manggut-manggut, ia mengerti, "Kalau demikian, kenapa tidak kau bunuh aku
saja. Apa kau masih ingin keterangan Pin-pin?"
"Benar."
"Aku sudah akan mati,
kenapa jejak Pin-pin harus kuberitahu kepadamu?"
"Waktu pertama aku
melihat dirimu, aku tahu bahwa kau adalah musuh yang tidak mudah dihadapi,
penglihatanku ternyata tidak salah."
"Aku toh pedagang, siapa
saja kalau bicara jual beli dengan aku, urusan gampang diselesaikan."
"Maksudmu aku harus
membebaskanmu baru kau akan menjelaskan jejak Pin-pin?"
"Kau tidak rugi dalam
jual beli ini. Kan kau sendiri yang bilang, membunuh orang tidak menguntungkan
untuk diri pribadi."
"Mana aku tahu kalau kau
bicara jujur?"
"Modal utama seorang
pedagang adalah kepercayaan, kalau aku tidak bisa dipercaya, siapa mau
berdagang dengan aku?"
Memangnya Siau Cap-it Long
tidak ingin membunuhnya. "Baik," katanya kemudian, "Barter ini
jadilah,"
"Nah, betul kan? Tidak
sukar bukan berdagang dengan aku?"
"Pin-pin dimana?"
"Aku sudah menjualnya
kepada orang lain."
Berubah air muka Siau Cap-it
Long.
"Aku ini pedagang,
pedagang harus berdagang, apalagi kulihat dia keracunan cukup parah, kalau
kupertahankan, salah-salah aku malah sibuk mengurus jenazahnya."
"Kau jual kepada
siapa?"
"Kemarilah, kau pindah
kemari, biar aku berdiri di ambang pintu, nanti kujelaskan."
Terpaksa Siau Cap-it Long
harus mengendalikan diri, dalam posisinya sekarang memang tiada pilihan lain,
terpaksa ia menyingkir.
Setelah beranjak ke pinggir
pintu, barulah Hamwan Sam-seng berkata, "Aku menjualnya kepada Hoa
Ji-giok."
Bergetar badan Siau Cap-it
Long, "Hoa Ji-giok berada dimana?"
"Aku tidak tahu,"
sahut Hamwan Sam-seng, "tapi aku tahu dia juga seorang pedagang, barang
yang dia tarik kembali dengan harga tinggi pasti takkan dikangkangi sendiri,
bila harga penawaranmu benar, mungkin dia mau mengembalikan Pin-pin kepadamu
dalam keadaan sempurna alias segelnya belum terbuka."
"Tadi dia berada dimana
aku tidak tahu, cara bagaimana harus mencarinya?"
"Jangan kuatir, nanti
akan datang kesempatan untukmu, karena dia juga tahu kau ini pembeli yang
berani menawar dengan harga tinggi." Dia sudah berada di luar pintu,
mendadak putar balik lalu berkata dengan tertawa lebar. "Ada satu hal
perlu kuberitahu kepadamu."
"Hal apa?"
Tawa Hamwan Sam-seng penuh
misteri, katanya serius, "Meski kau berhasi! merebut kembali Hong Si-nio,
tapi kau akan menyesal sekali."
Siau Cap-it Long sudah
menyingkap selimut, akhirnya ia turunkan kembali, dengan selimut tebal itulah
ia membungkus badan Hong Si-nio dengan kecepatan tinggi. Dia takut Hamwan
Sam-seng menutup pintu lorong bawah tanah.
Ternyata Hamwan Sam-seng tiada
niat seperti dugaannya, sebab ia sadar perbuatannya itu akan sia-sia, mengingat
Siau Cap-it Long membekal golok sakti yang tajam luar biasa.
Siau Cap-it Long malah tidak
mengerti dan menjadi bingung dibuatnya.
Ia tidak habis mengerti dalam
hal apa ia bisa dibuat menyesal sekali. Hong Si-nio yang dibungkus dalam
selimut tebal itu mirip orok kecil yang telanjang bulat. Sejauh ini dia masih
pingsan.
Siau Cap-it Long tidak ingin
kembali ke tempat semula, tidak akan kembali ke Lian-hun-lau, tempat itu tidak
aman lagi. Maklum kalau membawa seorang telanjang yang dibungkus selimut tebal,
kemana saja pasti serba salah, apalagi saat akan mendekati fajar, memangnya dia
harus membawa Hong Si-nio keluyuran di jalan raya? Maka terpaksa ia harus
memilih tempat.
* * * * *
Hotel kecil itu berada di
daerah sepi di pinggiran kota, rumah petak yang rendah, gelap dan lembab,
jendela ditutup kertas yang sudah buram menguning.
Duduk di pinggir ranjang, Siau
Cap-it Long mengawasi Hong Si-nio, terasa kelopak matanya makin berat seperti
diganduli benda berat. Malam ini sungguh terasa amat panjang, hampir sepanjang
malam dia tidak sempat bernapas lega, pengaruh arak juga sudah menjadi tawar.
Saat seperti ini memang waktu
datangnya rasa penat dan kantuk.
Di rumah dan di kamar ini
justru hanya terdapat sebuah ranjang, tidak besar, kotor dan lusuh, di pinggir
ranjang ada bangku panjang, dia tidak mungkin tidur berdiri, tak bisa tidur di
bangku panjang. Hong Si-nio tak mungkin dibiarkan sendiri dalam kamar. Entah
kenapa rasa kantuk kali ini betul-betul susah ditahan, selama malang melintang
di Kangouw, belum pernah ia merasa badan seletih kali ini, hal ini sungguh
membuatnya tidak mengerti, kenapa dalam kondisi seperti ini dirinya justru
berubah lemah tak berdaya, mungkin pengaruh luka di bawah ketiak yang banyak
mengeluarkan banyak darah itu? Atau sisa racun di lukanya belum tuntas? Hal ini
sudah tak dipikir lagi, akhirnya ia roboh, telentang di atas ranjang. Ia yakin
Hong Si-nio kawan lama yang berjiwa besar dan luhur, bila siuman nanti, dirinya
tentu tidak disalahkan, apalagi saat itu dia masih tidur nyenyak.
Begitu jatuh di ranjang,
begitu mata terpejam, Siau Cap-it Long langsung tertidur, sayup-sayup ia
seperti mendengar rintihan Hong Si-nio, keluhan aneh yang merangsang, sayang ia
sudah tidak bisa membedakan suara apakah itu.
Waktu merebahkan Hong Si-nio
di ranjang tadi, melihat muka Hong Si-nio tampak merah, semu merah yang aneh,
sayang ia tidak sempat memperhatikan. Dalam kegelapan nan tenteram,
asyik-masyuk, dirinya seperti jatuh dalam pelukan kekasih, dengan kencang
mereka bergumul.
Mendadak suasana berubah
menjadi dingin, di saat terasa dingin itulah, mendadak terasa adanya gumpalan
halus yang membara jatuh dalam pelukannya, begitu halus, hangat berubah
membara, bara yang tidak akan menghanguskan badan orang, hangat yang mengantar
dirinya masuk surga dunia. Sekuatnya ia berusaha membuka mata, lapat-lapat ia
melihat bola mata Hong Si-nio.
Bola mata Hong Si-nio juga
memancarkan bara yang menyala, dengan kencang dia memeluk dan menggeluti
dirinya, sekujur badan bergetar saking bernafsunya, getaran yang tak bisa
dibayangkan dengan nyata. Badan yang telanjang nan montok serta seksi begitu
membara bagai segumpal lahar yang berkobar. Mendadak ia dapati dirinya juga
sudah telanjang bulat.
Dengus napas Hong Si-nio yang
merangsang seperti memohon, meminta, mencurahkan isi dan keinginan hatinya.
Selama ini belum pernah ia curahkan isi hatinya, belum pernah berani dinyatakan
secara gamblang. Memangnya sekarang dia sedang mabuk?
Bukan mabuk, tapi lebih
menakutkan daripada mabuk, Bahwasanya perawan yang sudah kelewat umur ini
seperti tak mampu mengendalikan diri, kehilangan kesadaran, begitu ingin, perlu
dan harus, membuatnya tak kuasa mengendalikan diri. Badannya halus, harum mirip
gadis belasan yang masih ingusan, tapi gerak-geriknya, dengus napas dan
rintihannya mirip perempuan jalang yang dirasuk nafsu birahi.
Obat penawar racun yang
diberikan Hamwan Sam-seng pasti dicampur obat lain yang membangkitkan nafsu
yang selama ini tertekan.
Hamwan Sam-seng pasti tidak
menyangka bahwa Siau Cap-it Long menolongnya. Jelas semua persiapan ini
diperuntukan kebutuhan Hamwan Sam-seng sendiri.
* * * * *
Tapi nasib memang
mempermainkan orang. Takdir memang mempertemukan Hong Si-nio dengan Siau Cap-it
Long.
Bahwasanya hubungan baik mereka
selama ini terbatas dalam norma-norma santun, tak mungkin terjadi peristiwa
tragis ini. Kejadian kali ini memang tak pernah diduga sebelumnya. Siau Cap-it
Long bukan lagi mabuk arak, yang benar adalah mabuk asmara, bisakah mabuk
asmara ia tolak, tidak bisa dan tidak ingin menolak, karena nafsu juga telah
membakar birahinya, apakah ini dalam mimpi? Anggaplah benar dalam mimpi,
memangnya kenapa kalau mimpi? Sayang sekali, seindah apapun mimpi akhirnya akan
sadar, bila sudah tiba saatnya orang akan siuman.
Waktu Siau Cap-it Long terjaga
dari tidurnya, sadar sesadar-sadarnya. Dalam kamar tinggal dia seorang diri.
Apakah mimpi semalam memang kenyataan? Bau harum masih melekat di ranjang.
Napas Siau Cap-it Long masih merasakan bau harum di selimut, tak bisa
dibayangkan bagaimana perasaan Siau Cap-it Long kala itu.
Sampai detik ini, dia masih
belum memahami Hong Si-nio. Ternyata ia orang pertama yang meniduri Hong
Si-nio. Apakah selama ini Hong Si-nio memang menanti dirinya?
Kejadian yang tidak pantas
terjadi, kenapa mendadak terjadi?
"Kalau kau membawanya
pergi, kau akan menyesal sekali."
Ucapan Hamwan Sam-seng
terngiang di telinganya. Baru sekarang ia paham arti perkataan ini, apa betul
ia merasa menyesal?
Perempuan seperti Hong Si-nio,
berkorban karena dirinya; menelantarkan masa remajanya, mengabaikan hidup
bahagia, akhirnya dia serahkan juga segalanya kepada dirinya. Memangnya pantas
dirinya menyesal?
Kejap lain terbayang olehnya
Sim Bik-kun, wajah Pin-pin nan molek dan harus dikasihani, bukankah kedua nona
itu juga telah berkorban banyak bagi dirinya? Apakah mereka harus dilupakan,
dicampakkan, lalu berumah tangga dengan Hong Si-nio? Atau sebaliknya
meninggalkan Hong Si-nio? Seperti diiris-iris perasaan Siao Cap-it Long.
Persoalan ini jelas tak mungkin diselesaikan seadirian.
Kini dimanakah Hong Si-nio?
Karena malu diam-diam dia minggat? Umpama benar minggat, ia tidak boleh
mengabaikannya begitu saja, kejadian itu telah menjadi kenyataan, selama hidup
akan selalu menjadi kenangan, kalau kenyataan ini ada, maka persoalan ini harus
diselesaikan. Siau Cap-it Long berkeputusan untuk menghadapi persoalan ini
secara jantan, ia tidak akan lari dari tanggung jawab.
Pada saat itulah pintu kamar
mendadak didorong terbuka dari luar, sebuah benda melayang masuk dari luar
pintu. Sebungkus pakaian. Pakaian lengkap untuk seorang lelaki, maksudnya
lengkap jelas termasuk pakaian dalam, kaos kaki, sepatu rumput, celana dan
baju, semua serba baru, dari kain sutra yang bermutu tinggi.
Baru sekarang Siau Cap-it Long
sadar, pakaian yang dipakainya waktu kemari, yaitu pakaian pelayan hotel yang
ia lucuti sudah tidak kelihatan, hilang, tentu dipakai Hong Si-nio untuk
keluar. Sebungkus pakaian jelas tak mungkin melayang masuk sendiri, di luar
jelas masih ada seseorang.
Dengan kecepatan yang paling
cepat, Siau Cap-it Long mengenakan pakaian lengkap dengan kaos kaki dan sepatu,
baru saja ia berdiri, Hong Si-nio sudah muncul di ambang pintu.
Cewek ini juga mengenakan
pakaian serba baru, dengan bersolek, rambut disanggul serba rapi dan elok,
mirip benar dengan seorang mempelai perempuan yang akan ke pelaminan. Mempelai
perempuan!
Berdetak keras jantung Siau
Cap-it Long, sikapnya menjadi kikuk, serba salah dan blingsatan, duduk salah
berdiri juga tidak benar. Biasanya ia seorang lugas, lelaki bertemperamen keras
dan tegas, tak malu-malu, sekarang mendadak berubah menjadi serba salah,
seperti kehabisan akal bagaimana ia harus bersikap menghadapi cewek yang satu
ini.
Tapi Hong Si-nio seperti tidak
berubah, bukan abadi, tapi dia lebih bebas dan wajar, masih ada sebungkus besar
barang dijinjing di tangannya, entah apa isinya, begitu masuk kamar ia tuang
bungkusan itu ke atas ranjang, katanya dengan tersenyum lebar, "Sekarang
aku baru mengerti, kenapa perempuan suka pergi belanja, ternyata berbelanja
punya seni dan makna tersendiri, peduli barang yang kau beli berguna atau
tidak, waktu kau membelinya, tindakanmu itu sudah merupakan kenikmatan,
kepuasan tersendiri."
Siau Cap-it Long
manggut-manggut.
Menghamburkan uang memang sebuah
kepuasan, kenikmatan, hal ini sudah menjadi kebiasaan dan diresapi benar-benar
oleh Siau Cap-it Long.
"Coba kau terka, aku beli
apa saja? Kalau kau bisa menebak, terhitung kau memang jenius."
Siau Cap-it Long
geleng-geleng, ia tak bisa menebak.
"Aku membeli sebuah
cermin yang dipasang di atas pigura dengan ukiran kembang dan sepasang burung
Hong, kubeli seperangkat kotak khusus untuk bahan-bahan kosmetik, kubeli
sepasang patung orok kecil laki perempuan yang terbuat dari tanah liat buatan
kota Bu-sik. Sebuah swan-lo yang biasa digunakan nenek untuk membakar kayu
cendana, sebuah pipa cangklong yang biasa digunakan kakek untuk mengisap
tembakau, kubeli juga lima pasang gambar hiasan kamar, sebuah topi bulu
musang." Sampai di sini ia menghela napas panjang, lalu melanjutkan,
"Padahal aku mengerti, barang-barang ini. semua tidak berguna buatku atau
untukmu, tapi melihat barang-barang ini, tak tahan untuk tidak membelinya. Aku
senang para pelayan waktu menjilat pantat membujukku untuk membelinya."
Siau Cap it Long hanya
mendengarkan saja. Mendadak Hong Si-nio mengangkat kepala, melotot dan
bertanya, "Sejak kapan kau berubah menjadi gagu?"
"Aku ...." Siau
Cap-it Long menyengir tawa, "aku tidak ...."
Hong Si-nio tertawa geli,
"Ternyata kau belum jadi gagu, tapi kulihat kau lebih mirip seorang
pikun." Sikapnya terhadap Siau Cap-it Long tidak berubah, lagak dan
tindak-tanduknya tidak berubah. Kejadian semalam hakikatnya seperti tidak
dirasakan, tidak disinggung sama sekali.
"Kau ...." sudah tak
tahan Siau Cap-it Long ingin bicara.
Seperti tahu apa yang hendak
diucapkan orang, Hong Si-nio segera menyeletuk dengan mata mendelik, "Aku
kenapa, memangnya kau mau bilang aku juga pikun? Kau tak takut kepalamu kubuat
berlubang?"
Melihat keadaannya, kejadian
semalam seperti tidak pernah terjadi. Hong Si-nio masih Hong Si-nio yang dulu.
Waktu ia mengawasi, melirik ke arah Siau Cap-it Long, juga adalah Siau Cap-it
Long yang dahulu.
Asyik masyuk di atas ranjang
semalam, sepertinya merupakan sebuah mimpi belaka. Sepertinya ia berkeputusan
untuk tidak mengungkap peristiwa yang memabukkan itu. Sebab dia amat memahami
jiwa Siau Cap-it Long, ia mengerti watak dan perangai Siau Cap-it Long, tahu
orang macam apa pemuda yang dipuja banyak wanita dan dianggap berandal oleh
sementara pihak yang membencinya. Ia mengerti hubungan baik selama ini, dua
pihak tidak menjadi kikuk, canggung dan merasa berdosa, kejadian itu harus
dilupakan supaya tidak menambah risau, gundah dan menderita.
Mengawasinya, tak terperikan
perasaan Siau Cap-it Long, ia kagum, memuji dan berterima kasih. Umpama
kejadian itu bisa dilupakan, rasa terima kasih dan hutang itu jelas selama
hidup tak mungkin dilupakannya.
Hong Si-nio membalik badan,
mendorong jendela.
Seperti ingin menyembunyikan
rona mukanya di depan Siau Cap-it Long, ia tidak ingin orang lain tahu
bagaimana gejolak perasaannya saat itu. Ia rela menyembunyikan perasaan,
mengendapkan gejolak hatinya ke tempat yang paling dalam, seperti para kolektor
menyembunyikan benda antiknya yang paling berharga di tempat paling
tersembunyi. Di kala malam sepi tiada orang lain, baru ditampilkan untuk
dinikmatinya sendiri.
Ia tidak mau peduli apakah itu
derita, sengsara atau manis mesra, hal yang menyedihkan, yang melegakan
umpamanya, biarlah dirasakan dan hanya ia sendiri yang tahu.
Waktu ia membalik badan lagi,
sorot matanya sudah memancarkan cahaya, wajahnya dihiasi senyum khas yang
khusuk, katanya sambil mengawasi Siau Cap-it Long, "Apa kau masih ingin
terus tinggal di tempat ini?"
"Tidak," sahut Siau
Cap-it Long tertawa, "umpama sudah pikun, yang pasti aku bukan babi."
"Lalu kenapa kita tidak
berangkat saja?"
Mengawasi barang-barang di
atas ranjang, Siau Cap-it Long bertanya, "Barang-barang ini kau tidak
ingin membawanya ?"
"Tadi sudah kubilang,
waktu membeli barang, aku merasa senang dan puas, kuanggap aku sudah menarik
balik nilai yang kugunakan untuk membeli, untuk apa aku membawa barang-barang
ini?"
Cahaya mentari cemerlang
menguning emas, senja telah menjelang.
Menyambut hembusan angin senja
di awal musim rontok, Siau Cap-it Long menarik napas dalam, "Sekarang
kemana kita akan pergi?"
"Makan dulu, baru mencari
orang," sahut Hong Si-nio.
"Mencari siapa?"
"Yang pasti mencari Sim
Bik-kun," kata Hong Si-nio tanpa menoleh, "memangnya kau lupa?"
Jelas Siau Cap-it Long tidak
lupa, sahutnya, "Kau ingin mencarinya bersamaku?"
Hong Si-nio melotot, suaranya
keras, "Kenapa tidak kutemani kau mencarinya? Aku sudah berjanji kepadamu,
kenapa aku harus ingkar janji? Memangnya kau kira aku ini pembohong?"
Siau Cap-it Long hanya
menyengir mengawasinya. Tawa yang tulus dari relung hati yang paling dalam.
Tapi bukan tawa riang, tawa senang, kecuali gembira, di sana terselip rasa
simpati, terima kasih, dimana terkandung pengertian yang mendalam, meski terasa
kecut, ia tak berani banyak bicara lagi.
Bilamana kau seorang pria,
bila kau menjadi Siau Cap-it Long, kalau kau berhadapan dengan cewek seperti
Hong Si-nio, apa yang bisa kau katakan?
Tay-hong-lau.
Siau Cap-it Long kembali ke
Tay-hong-lau.
Dari lantai satu, lantai dua,
atas bawah, puluhan orang, tua muda, laki perempuan, semua mengawasinya dengan
terbelalak kaget. Untunglah yang kaget tidak lupa tugas, dengan munduk-munduk
mereka maju menyapa dan melayani.
Terutama pemilik restoran yang
sedang berendam di bak air panas, bergegas ia merangkak berdiri seperti
kedatangan kakek moyangnya yang ingin berpesta di rumah makannya.
Jantung Hong Si-nio juga
berdebar-debar, setelah memilih tempat duduk ia berbisik tanya, "Kenapa
kau ajak aku ke Tay-hong-Iau?"
Siau Cap-it Long tertawa,
"Karena aku seorang Tay-heng (jutawan), malah jutawannya jutawan."
Suara Hong Si-nio lebih lirih,
"Kau tahu barang-barang itu kubeli dengan apa?"
"Tahu, kau gunakan buah
kancing batu Giok yang ada di kantong bajuku itu."
”Tapi sekarang aku tidak punya
duit."
"Aku tahu."
"Kau akan berhutang dulu
di sini?"
"Tidak."
Hong Si-nio tertawa getir,
"Urusan apa tidak pernah kukerjakan, tapi suruh aku gegares makanan
gratis, terus terang sukar kulakukan."
"Aku sendiri juga
rikuh."
"Memangnya kita tidak
perlu makan?"
"Lho, ya makan. Makan
sepuasnya."
"Setelah makan?"
"Setelah makan, ya
bayar."
"Mana uangnya?"
"Uang? Nanti ada orang
mengantar kemari."
"Siapa yang akan
mengantar kemari?"
"Aku sendiri tidak
tahu."
Hong Si-nio hampir berteriak,
"Kau tidak tahu? Kau sendiri tidak tahu?"
"Hm, ya, tidak
tahu."
"Memangnya uang itu bakal
jatuh dari langit?"
"Uang yang jatuh dari
langit, aku harus membungkuk memungutnya, bisa berabe."
Dengan terbelalak Hong Si-nio
mengawasinya, "Memangnya ada urusan segampang itu untuk mendapat
uang?"
"Ya, ada."
"Kulihat kau ini belum
bangun dari mimpi...."
Belum habis ia bicara, dari
bawah loteng memburu datang seorang lelaki pendek gemuk, dengan wajah bundar,
jenggot kambing pendek, berpakaian serba lengkap dengan topi bundar di atas
kepalanya, dengan munduk-munduk memberi hormat kepada Siau Cap-it Long, katanya
dengan tertawa lebar, "Apakah tuan adalah Siau Cap-it Long
Siau-toaya?"
"Sudan jelas kalau aku,
masih bertanya lagi," tawar suara Siau Cap-it Long.
Orang itu munduk-munduk dengan
tawa lebar, katanya ramah, "Soalnya nominal rekening ini teramat besar
jumlahnya, terpaksa Cayhe harus berlaku hati-hati."
"Apa kemarin kau sudah di
sini?" tanya Siau Cap-it Long.
Orang itu memanggut,
"Beberapa hari lalu sudah ada orang memberitahu ke bank kami, katanya
dalam beberapa hari ini Siau-toaya membutuhkan uang, aku disuruh ke sini
menunggu."
"Kau dari bank
mana?"
"Kami dari bank Goan-po,
dari kelompok Li-thong. Mohon petunjuk Siau-toaya."
"Bagaimana rekening
koranku di bank kalian?"
"Mulai bulan dua tahun
lalu, seluruhnya ada enam rekening koran Siau-toaya di bank kami, dari jumlah
seluruhnya ada 66 laksa tiga ribu enam ratus tahil." Dari lengan bajunya
ia keluarkan sebuah buku catatan, lalu diangsurkan dengan dua tangan,
"Jumlah seluruhnya dicatat jelas di buku ini, mohon Siau-toaya
memeriksa."
"Tak usah aku
periksa," ujar Siau Cap-it Long, "tapi dua tiga hari ini aku memang
perlu uang kontan."
"Sudah kami sediakan di
bank, Siau-toaya butuh uang tunai atau cek kontan?"
"Cek kontan saja.
Tentunya cek bank kalian bisa dipercaya bukan?"
"Mohon periksa
Siau-toaya, bank kami banyak mendirikan cabang di berbagai kota, laporan yang
diterima kantor pusat semua menyatakan selama seratus tahun lebih sejak bank
kami berusaha, rekening koran Siau-toaya yang paling besar, langganan paling
terpercaya."
Laki-laki ini seperti
mengerti, lelaki senang diumpak di hadapan sang nyonya, dengan laku dibuat-buat
ia membalik ke arah Hong Si-nio untuk menjelaskan, "Waktu Siau-toaya setor
uang ke bank kami tidak memerlukan tanda terima, rabatnya juga paling kecil,
selama tiga puluh tahun bekerja di bank, baru sekali ini aku bertemu dengan
pelanggan sebaik Siau-toaya, belum pernah ada orang kedua."
Hong Si-nio hanya tersenyum
saja, "Ya, dia memang jutawan, jutawannya jutawan."
"Ya, betul, memang tidak
salah," kata lelaki itu, "entah Siau-toaya kali ini perlu pakai
berapa duit?"
"Buatkan cek lima ratus
tahil sebanyak dua ratus lembar."
"Jumlahnya tepat 10 laksa
tahil."
"Buatkan pula lima laksa
tahil 10 lembar."
Lelaki itu menarik napas,
katanya gugup, "Cek kontan bank kami tak beda dengan uang tunai, di cabang
mana saja bisa diuangkan segera. Untuk membawa uang sebanyak ini apakah
Siau-toaya tidak berabe?"
"Tak perlu kau pikirkan
cara bagaimana aku membawa uang. Yang pasti dengan cepat aku bisa menggunakan
uang itu."
Laki-laki itu merinding
dibuatnya, belum pernah ia bertemu dengan orang seroyal ini memakai uang, bukan
saja tidak pernah melihat, mimpi pun tak pernah terbayang olehnya.
Siapa tahu persoalan yang tak
pernah diimpikan masih terus berkembang.
"Sisanya yang enam laksa
lebih itu," demikian ucap Siau Capit Long sambil lalu, "tak perlu
dibukukan lagi, anggap saja kuberikan kepadamu."
Enam laksa tahil uang perak,
secara umum uang sebanyak itu bisa digunakan keluarga biasa untuk biaya selama
hidup, Siau Cap-it Long menganggap uang sebanyak itu sebagai persen diberikan
dengan cuma-cuma kepada seorang pegawai bank. Tangan lelaki itu kelihatan
gemetar, jantungnya seperti hampir melonjak keluar dari rongga dada, segera ia
membungkuk badan seraya berseru, "Siaujin segera bukakan cek yang
diperlukan dan segera mengantar kemari."
Bukan saja merubah panggilan,
badannya yang buntak mirip bola waktu membungkuk hormat, selangkah demi
selangkah mundur hingga anak tangga, hampir saja ia terpeleset di anak tangga
saking gemetar lututnya.
"Nah, sudah kau lihat,
lebih gampang bukan uang itu jatuh dari langit," seru Siau Cap-it Long
tertawa.
Hong Si-nio mengawasinya
tajam, "Ada pertanyaan yang belum pernah kutanyakan kepadamu, sebab aku
tak ingin kau anggap kemaruk harta, tapi hal ini perlu kutanyakan
kepadamu."
"Boleh, silakan
tanya."
"Tiga tempat harta
terpendam itu, berapa yang sudah kau dapatkan?"
"Harta terpendam apa maksudmu?"
"Kau tidak tahu harta
terpendam apa?" pekik Hong Si-nio.
"Kecuali di waktu mimpi,
harta terpendam macam apa yang kau maksud? Hakikatnya aku tidak pernah tahu dan
tidak perlu tahu."
Kecuali dalam dongeng atau
cerita dalam mimpi, apa benar di dunia ini ada harta terpendam, hal ini masih
merupakan tanda tanya besar.
"Jadi uang sebanyak itu
hasil curian?" damprat Hong Si-nio.
"Bukan," jawab Siau
Cap-it Long.
"Merampok atau hasil
rampasan?"
"Juga bukan."
Padahal Hong Si-nio maklum,
umpama merampok atau merampas uang milik orang, jumlahnya pasti tidak akan
sebanyak itu. Tak tahan ia bertanya lagi, "Lalu darimana saja uang
sebanyak itu?"
"Tidak tahu."
Hong Si-nio berjingkrak
berdiri, teriaknya, "Tidak tahu? Kau sendiri tidak tahu?"
Siau Cap-it Long menghela
napas, "Bukan saja aku tidak tahu, sebetulnya apa yang telah terjadi ada
kalanya aku sendiri tidak percaya bahwa urusan ini adalah kenyataan."
"Lalu bagaimana duduk
perkara sebenarnya? Kau ...." mendadak ia tutup mulut, rona mukanya juga
berubah.
Sebab mendadak ia melihat
seorang beranjak naik ke loteng, orang yang bisa membuat muka Hong Si-nio
berubah, bahwasanya bisa dihitung dengan jari tangan, bukan saja berubah
mukanya, Hong Si-nio kontan menutup mulut, tiada orang kedua kecuali satu. Ya,
hanya satu di kolong langit, orang ini sudah beranjak ke loteng dan langsung
menghampiri mereka.
Dari pucat berubah merah, dari
merah berubah pucat muka Hong Si-nio, sepertinya kalau bisa dia ingin
bersembunyi ke bawah meja, seperti takut atau malu melihat orang ini. Ternyata
Siau Cap-it Long juga berubah aneh mimik mukanya waktu melihat laki-laki ini
menghampiri dirinya, sikapnya menjadi serba salah, apalagi saat itu ia berada
bersama Hong Si-nio. Siapakah dia sebenarnya?
XIII. MUNCULNYA SANG PENAGIH
HUTANG
Orang ini berwajah persegi,
berpakaian hijau bersih dan rapi serta rajin, serba baru dan perlente mirip
sebuah roti kering yang baru saja keluar dari panggangan. Nyo Khay-thay.
Orang ini ternyata adalah Nyo
Khay-thay. Waktu berjalan, Nyo Khay-thay amat hati-hati seperti kuatir
menginjak semut. Mata tidak pernah melirik ke kanan atau kiri, ia datang
langsung menghampiri meja, seperti di tempat itu ia tidak pernah melihat Hong
Si-nio atau Siau Cap-it Long.
Tapi dia langsung berhenti di
depan Siau Cap-it Long. Hong Si-nio duduk mematung, sekujur badan seperti kaku
dan kejang, sepatah kata pun tak mampu diucapkan.
Padahal cewek yang satu ini
biasa malang melintang sendiri, semua serba aku dan sesuai dengan kemauanku.
Bagaimana pandangan atau pendapat orang lain terhadap dirinya, persetan ia
tidak peduli. Tapi terhadap lelaki yang satu ini, dari relung hatinya yang
paling dalam, ia merasa menyesal, malu dan berhutang. Berhadapan dengan orang
ini, dirinya ibarat berhadapan dengan seorang yang menagih hutang kepada
dirinya. Dia memang hutang dan tak terbayar selama hidup.
Jangan kata melihat, melirik
pun Nyo Khay-thay tidak melihatnya, seperti lupa bahwa di dunia ini ada cewek
ayu jelita yang sekarang lagi bersikap lucu melihat dirinya.
Terpaksa Siau Cap-it Long
berdiri menyambut. "Silakan duduk," sapanya.
Nyo Khay-thay tidak duduk,
terpaksa Siau Cap-it Long tetap berdiri. Dari jarak dekat mendadak ia melihat
lelaki berwajah persegi, bersih dan serba perlente ini mukanya mulai berkeriput
tanda ketuaan, kelihatan lebih kurus dan pucat.
Umpama dia masih mirip roti
kering yang baru dikeluarkan dari panggangan, kondisinya sudah bukan segagah,
seganteng dan sesegar dahulu lagi.
Selama dua tahun ini, entah
bagaimana ia melewatkan hari-hari kehidupannya.
Siau Cap-it Long sendiri amat
mendelu, sukar dilukiskan bagaimana perasaannya sekarang. Terutama setelah
adegan manis mesra semalam.
Mendadak Siau Cap-it Long
menyadari dirinya sungguh mirip maling cilik yang kotor dan hina di hadapan
orang ini, dirinya seperti tak mampu mengangkat kepala, hatinya merasa amat
bersalah.
Nyo Khay-thay menatapnya
sesaat, sorot matanya mirip ia mengawasi maling cilik, tiba-tiba ia berkata,
"Apakah tuan Siau Cap-it Long Siau-toaya?"
Jelas dia mengenal Siau Cap-it
Long, selama hidup takkan ia lupakan laki-laki yang satu ini, tapi sekarang
pura-pura tidak kenal. Siau Cap-it Long hanya mengangguk. Dia maklum, mengerti
kenapa Nyo Khay-thay berbuat demikian, dia merasakan getar perasaan Nyo
Khay-thay saat itu.
Dengan wajah membesi Nyo
Khay-thay berkata, "Cayhe she Nyo, sengaja datang mengantar cek kontan
yang diperlukan Siau-toaya." Dari balik kantong bajunya ia keluarkan
setumpuk lembaran cek yang utuh dan masih baru, dengan dua tangan ia angsurkan
ke depan, "Di sini ada dua ratus lembar senilai lima ratusan tahil,
sepuluh lembar senilai lima laksa tahil, seluruhnya berjumlah enam laksa tahil,
mohon Siau-toaya menghitungnya."
Tak mungkin Siau Cap-it Long
menghitungnya satu per satu, bahwasanya ia rikuh untuk mengulur tangan menerima
cek itu, namun mulutnya saja yang menggumam, "Tak usah dihitung, yakin
benar jumlahnya."
Nyo Khay-thay menarik muka,
"Jumlah ini tidak kecil, Siau-toaya harus menghitung dan periksa."
Sikapnya kukuh dan bertahan, menunggu reaksi Siau Cap-it Long.
Dengan tertawa getir Siau
Cap-it Long terpaksa mengulur tangan menerima, lalu dibalik-balik sekenanya,
bahwasanya ia tidak ingin bentrok atau cari perkara dengan orang yang satu ini.
"Ada yang kurang,"
tanya Nyo Khay-thay.
“Tidak," sahut Siau
Cap-it Long.
"Setelah kau ambil dana
sebesar ini," kata Nyo Khay-thay lebih jauh, "uang simpananmu yang
masih ada di Li-thong dan Li-goan kedua bank itu masih ada seratus tujuh puluh
dua laksa tahil." Dia keluarkan pula sejilid buku rekening dan satu buku
cek blanko, "Inilah catatan jumlahnya dan cek yang masih kosong, bisa
digunakan sewaktu-waktu. Silakan terima."
"Aku tidak ingin
mengambil seluruhnya," kata Siau Cap it Long.
Membesi muka Nyo Khay-thay,
"Kau tidak ingin mengambilnya, aku justru ingin mengeluarkan."
"Kau?" tanya Siau
Cap-it Long.
Dingin sikap Nyo Khay-thay,
"Kedua bank tadi adalah milikku, mulai detik ini, aku tidak sudi
berhubungan dengan orang macam dirimu."
Siau Cap-it Long mematung.
Tak terpikir olehnya rangkaian
kata apa yang harus diucapkan. Kalau Nyo Khay-thay mau segera pergi, ia tidak
akan menahannya.
Tapi Nyo Khay-thay seperti
belum mau pergi, dengan muka kaku, mata melotot, katanya dengan suara dingin,
"Sejak duelmu dengan Siau-yau-hou, banyak orang bilang kau adalah jago
paling kosen di kolong langit."
Siau Cap-it Long terpaksa
tertawa getir, "Aku sendiri tidak pernah berpikir demikian."
"Tapi aku memikirkannya,
aku tahu bukan tandinganmu." Muka persegi yang kaku itu mendadak
menampilkan mimik yang aneh, perlahan ia melanjutkan ucapannya, "Sejak
awal aku sudah tahu, dalam segala hal aku memang bukan tandinganmu."
Ibarat sebatang jarum,
kata-katanya menusuk hulu hati Siau Cap-it Long, juga menusuk sanubari Hong
Si-nio. Dan yang paling fatal adalah juga melukai dirinya sendiri.
Sejak tadi Hong Si-nio hanya
menggigit bibir, mendadak ia mengangkat poci arak terus menuang arak ke dalam
mulutnya.
Nyo Khay-thay tetap tidak
meliriknya, suaranya lebih dingin, "Kabarnya kemarin di tempat ini hanya
dalam tiga jurus kau mengalahkan Auyang-hengte, betapa gagah kau ini tiada jago
manapun di dunia ini yang sebanding denganmu. Orang macamku yang bernama Nyo
Khay-thay bila ingin bertanding denganmu, orang pasti bilang aku ini tidak tahu
diri." Jari-jari tangannya terkepal, sepatah demi sepatah diucapkan dengan
jelas, "Sayangnya, aku orang yang tidak tahu diri, maka aku ...."
Maka aku mencintai Hong
Si-nio.
Ucapannya tidak ia lontarkan,
tapi Siau Cap-it Long dan Hong Si-nio mengerti maksudnya.
"Kau ...." Siau
Cap-it Long tertawa getir.
"Maka hari ini aku
datang," Nyo Khay-thay mendahului bicara, "kecuali membuat
perhitungan uang simpananmu, juga ingin bertanding melawan ilmu silatmu yang
tiada taranya itu." Setiap patah kata diucapkan perlahan, tapi jelas.
Padahal selama ini dia punya kebiasaan gagap kalau gugup atau bicara cepat.
Hari ini ia tidak perlu terburu-buru, sepertinya sudah berkeputusan,
berkeputusan membuat perhitungan menyeluruh dengan Siau Cap-it Long.
Siau Cap-it Long mengerti
perasaannya, tapi hatinya lebih perih.
"Kita bertanding di luar
atau di tempat ini saja," tantang Nyo Khay-thay.
Siau Cap-it Long menghela
napas, "Aku tidak akan keluar, dan tidak akan melayanimu di sini."
"Apa maksudmu?"
damprat Nyo Khay-thay murka.
"Maksudku adalah aku
takkan bergebrak dangan kau."
Memang tak mungkin dia
berkelahi dengan lelaki ini, sebab tak boleh menang tapi pantang kalah. Dia
maklum karena murka, waktu menyerang Nyo Khay-thay pasti nekad dan
mengeluarkan, jurus-jurus mematikan, kalau ia mengalah dan sampai terluka, tak
lama pasti ada orang yang meluruk datang menuntut jiwanya. Dalam kondisi
seperti sekarang, ia pun pantang kalah apalagi mati.
Mengawasinya dengan muka merah
padam, Nyo Khay-thay berkata, "Kau tidak sudi berhantam dengan aku? Karena
aku tidak setimpal?"
"Bukan begitu maksudku."
"Peduli apa maksudmu,
sekarang aku serang kau, kalau tidak membalas, kubunuh kau."
Biasanya Nyo Khay-thay orang
yang suka mengalah, pengampun dan berbelas kasihan, orang yang tidak suka atau
tidak bisa memaksa orang lain. Tapi sekarang ia pojokkan posisi Siau Cap-it
Long ke sudut yang tak mungkin menyingkir.
Hong Si-nio mengangkat kepala,
selebar mukanya juga merah menyala, arak merangsang sifat garangnya, mendadak
ia berjingkrak berdiri, pekiknya, "Nyo Khay-thay, kutanya kau, apa sih
maksud tingkahmu ini?"
Nyo Khay-thay tidak peduli
padanya, tapi mukanya pucat.
"Memangnya kau kira dia
takut padamu? Umpama takut juga jangan kau mengancamnya," damprat Hong
Si-nio.
Nyo Khay-thay tetap tidak
mempedulikan dia.
"Kau ingin
membunuhnya?" seru Hong Si-nio beranjak maju, "baik, bunuh aku lebih
dulu."
Muka pucat Nyo Khay-thay
berubah merah padam lagi, ia pun tak tahan lagi, serunya keras, "Dia ...
dia ... dia ini apamu? Kau ingin mati karena dia."
"Peduli siapa dia dan apa
hubungannya denganku, kau tak berhak mencampuri urusanku."
"Aku ... aku ... aku tak
boleh mencampuri? Memangnya siapa ... siapa yang harus ikut campur?"
Tampak otot besar menghijau menonjol di jidatnya. Saking murka sampai sukar
bicara.
Hong Si-nio juga amat murka,
air mata hampir bercucuran. Semua ini karena apa? Demi siapa? Sebetulnya mereka
adalah sepasang suami isteri yang dapat menimbulkan iri orang lain, ya, mirip
pasangan Lian Shia-pik dengan Sim Bik-kun. Tapi sekarang ....
Siau Cap-it Long tak kuasa
menahan diri, tak tega melihat, tak tahan mendengar, posisinya memang
mengharuskan mengambil satu jalan keluar.
"Baiklah, hayo kita
keluar."
Tabir malam sudah menyelimuti
alam semesta. Toko-toko atau rumah-rumah di sepanjang jalan sudah memasang
lentera.
Perlahan Siau Cap-it Long
menuruni anak tangga, perlahan menuju ke tengah jalan, langkahnya berat,
perasaannya lebih berat, dia tidak menyalahkan Nyo Khay-thay. Bukan Nyo
Khay-thay menyudutkan dirinya, Nyo Khay-thay sendiri juga disudutkan untuk
menempuh jalan yang harus ditempuhnya ini. Tekanan yang menakutkan memaksa
mereka menjurus ke tapak yang harus ditempuh bersama. Tekanan yang timbul
akibat perang batin mereka sendiri. Itukah yang dinamakan cinta? Atau benci?
Suatu tragedi? Atau angkara murka?
Siau Cap-it Long tak mau berpikir
lagi, ia tahu, dipikir juga takkan menghasilkan penyelesaian. Yang pasti ia
sadar dirinya sudah berada di tengah jalan raya, ia berhenti.
Mendadak ia sadar dan tahu
seluruh suara dan kegiatan di sekelilingnya semua berhenti.
Nyo Khay-thay juga sedang
keluar dari Bok-tan-lau.
Sepi lengang.
Semua orang yang berada di
jalan raya menyingkir jauh, semua melotot mengawasi mereka, semua berdiri
mematung seperti orang pikun. Siau Cap-it Long sadar, orang yang benar-benar
pikun bukan para penonton itu, tapi adalah dia dan Nyo Khay-thay.
Dari atas loteng mendadak
berkumandang suara barang-barang pecah berantakan, entah piring mangkuk atau
poci cawan, semua dibanting luluh. Setelah habis barung-barang dibanting
menyusul berkumandang lolong tangis yang menyedihkan seperti anak kecil yang
kehilangan barang mainannya.
Biasanya Hong Si-nio suka
tertawa dan tertawa keras, kalau sedih menangis sesenggukan. Dia tidak ikut
turun, tak berani turun, tak berani menonton, tapi ia tak kuasa mencegah
peristiwa ini.
Dengan kencang Nyo Khay-thay
menggenggam tangan, mukanya yang persegi berkerut menahan gejolak perasaan.
Siau Cap-it Long menarik napas
panjang, katanya mendelu, "Kau ... kenapa semua ini kau lakukan."
Nyo Khay-thay melotot,
raungnya keras, "Kenapa tidak kau tanya pada dirimu sendiri." Belum
habis bicara, orangnya sudah menyerbu ke depan, serentak menyerang tiga jurus,
seperti cara ia berjalan, tiap jurus dilakukan dengan rajin dan
sungguh-sungguh.
Siau Cap-it Long berkeputusan,
duel ini dirinya tidak boleh kalah juga tidak boleh menang. Dia pikir bila Nyo
Khay-thay sudah kehabisan tenaga dan tak mampu bergerak lagi, perkelahian ini
harus segera dihentikan.
Tapi begitu menyerang Nyo
Khay-thay sudah kesetanan, hal ini membuatnya mengerti urusan tidak semudah
yang ia bayangkan semula, walau hatinya gundah, pikiran kalut, tapi jurus
permainan Nyo Khay-thay amat rajin, tidak kacau, gerak-gerik dan gayanya memang
tidak enak dipandang, tapi tiap jurus serangannya sangat bermanfaat, berguna
untuk pertahanan dan lancarnya perubahan, yang pasti tiap jurus serangannya
dilandasi kekuatan yang luar biasa, kekuatan yang menjadi landasan jurus
permainannya banyak perubahan dan tidak boleh diremehkan.
Selama ini belum pernah Siau
Cap-it Long berhadapan dengan lawan yang berlatih silat sedemikian kokoh dengan
landasan kuat dan berakar.
Dua puluh jurus kemudian,
permainannya makin lancar, tenaga yang dikembangkan sungguh amat dahsyat
perbawanya, tiap langkah kakinya pasti meninggalkan bekas tapak dilantai jalan
raya yang dilembari lempengan batu hijau.
Tapak kaki yang tidak banyak.
karena tiap gerak, tiap jurus yang dilancarkan amat rajin menurut aturan
permainan, tiap langkah kakinya dari awal hingga jurus berikutnya tidak banyak
perubahan. Bekas tapak kaki tidak bertambah, tapi bekas tapak kaki itu makin
dalam. Banyak papan nama toko-toko di pinggir jalan berdetak dengan bunyi yang
ramai oleh damparan tenaga pukulan hingga bergoyang gontai hampir jatuh.
Jidat Siau Cap-it Long sudah
bermandi keringat. Dengan jurus permainan ilmu silatnya, tidak sukar bagi Siau
Cap-it Long untuk merobohkan atau mengalahkan lawannya ini, sebab gerak-gerik
ilmu silat Nyo Khay-thay kalau mau dinilai ibarat permainan badut belaka. Tapi
ia tidak boleh menang.
Sementara jotosan demi jotosan
Nyo Khay-thay terus menyerbu dengan gencar, tanpa tipu daya juga tiada variasi,
tiada muslihat, maka ia sendiri juga tidak perlu berkelit segala.
Betapapun runcing sebuah paku
akhirnya akan dipukul tumpul juga. Demikianlah perasaan Siau Cap-it Long,
dirinya seperti paku yang terus dipukul dan dipukul. Yang menakutkan, tiba-tiba
ia menyadari pahanya mulai kaku kejang, gerak-geriknya juga menjadi terhambat
dan lambat.
Selama bertempur dengan musuh,
belum pernah kalah karena ia yakin dirinya pasti menang. Hari ini ia tidak
punya tekad, karena ia tidak berniat menang, tapi ia juga tidak mau kalah. Satu
hal yang ia lupakan, dua orang bila sedang bertempur, kalau tidak menang ya
harus kalah. Menang atau kalah tidak bisa pilih-pilih lagi. Umpama ingin
menang, dalam kondisinya sekarang juga sudah terlambat.
Permainan pukulan Nyo
Khay-thay, tenaga yang dikerahkan dan kayakinannya mencapai puncak paling
tinggi, waktu menyerang boleh dikata ia sudah mengerahkan setaker tenaganya,
meski tahu bukan tandingan lawan, tapi ia yakin dapat mengalahkan musuh, maka
waktu menyerang tidak memikirkan keselamatan sendiri, yang penting nekad.
Bahwasanya ia sendiri tidak menyadari bahwa kemampuannya sudah mencapai tingkat
yang sukar dicapai tokoh silat manapun. Dalam kondisi sekarang, mungkin sedikit
saja tokoh silat yang mampu mengalahkan dia.
Siau Cap it Long tahu jika
dirinya akan kalah. Ibarat sebatang paku yang dipukul amblas ke dalam tanah,
ilmu silatnya sudah tidak mampu dikembangkan lagi. Apalagi lukanya mulai
kambuh. Tapi faktor yang menentukan justru jalan pikirannya sendiri, hal yang
tidak pernah terpikir olehnya sekarang bakal menjadi kenyataan. Sebab selama
hayat dikandung badan, ratusan pertarungan besar kecil melawan tokoh lihai
sekalipun, belum pernah ia dikalahkan.
Kalau jalan pikirannya benar
dan merasuk jiwa, berarti kekalahan itu sendiri bakal menjadi kunci dasar
tenaga dan kekuatannya yang makin luluh dan lumpuh.
Bersambung