Bentrok Para Pendekar Jilid 08

Baca Cersil Mandarin Online: Bentrok Para Pendekar Jilid 08
Jilid 8

Sebagai orang yang berlaku teliti, mungkin biasanya juragan Lu memberitahu sang isteri, bila suatu ketika dirinya tersangkut perkara yang gawat, dia harus menghubungi seseorang untuk menolong dirinya.

Siau Cap-it Long sadar, kedua perhitungannya tidak meleset. Baru saja da bilang akan melapor kepada opas, perempuan itu segera mencegah dirinya, lalu bersikap tenang, katanya dengan muka kaku, "Aku sudah tahu urusannya, akan kuurus sendiri, kau tak usah ikut campur, lekas pulang dan jaga hotel."

"Blang", tanpa menunggu reaksi dan komentar Siau Cap-it Long, ia menutup pintu.

Siau Cap-it Long pura-pura pamit. Jelas tidak pergi, tapi bersembunyi di ujung gang yang gelap, lalu melejit tinggi hinggap di wuwungan rumah tetangga.

Hanya menunggu sebentar, bini juragan Lu tadi membuka pintu rumah, dengan langkah gopoh keluar dari gang. Jelas akan pergi memberi kabar entah siapa. Apakah Hamwan Sam-seng?

Mendadak Siau Cap-it Long merasakan jantungnya berdebar kencang, jalur penyelidikannya ini adalah satu-satunya yang dapat dipercaya, satu-satunya yang ada harapan.

Setelah keluar dari gang tempat tinggalnya, nyonya Lu masuk ke gang lain di ujung jalan sana. Waktu Siau Cap-it Long membuntutinya ke sana, tampak dia sedang mengetuk pintu.

Dari dalam pintu berkumandang suara seorang perempuan dengan nada tinggi, "Siapa di luar, tengah malam buta menggedor rumah orang? Mau cari setan?"

"Eh, cepat buka, inilah aku, adik misanmu kena perkara, cepat buka pintu."

Rumah ini tempat tinggal keluarga juragan Gu, karena suaminya terlibat perkara, siapa lagi kalau tidak mencari bantuan kepada adik misannya?

Seorang perempuan tengah baya kurus tinggi bergegas membuka pintu, suaranya ikut kuatir, "Kena perkara apa? Bangkotanku juga tiada di rumah, wah bagaimana baiknya?"

Bahwa juragan Gu tidak di rumah, sudah dalam dugaan Siau Cap-it Long. Entah apa yang dibicarakan dua perempuan tengah baya itu, mereka kasak-kusuk sekian lama entah persoalan apa yang dibicarakan, akhirnya mereka menyuruh seorang kacung menyiapkan gerobak, mereka segera pergi naik gerobak. Karena terpaksa, akhirnya mereka seperti ingin mencari seseorang yang dipercaya dapat menyelesaikan persoalan ini.

Gerobak kuda itu cepat sekali dibedal ke arah timur, tujuannya jelas ke arah luar kota, saat itu tepat menjelang subuh, saat paling gelap waktu menjelang fajar, jalan sepi sekeliling senyap. Dengan enteng Siau Cap-it Long melompat tinggi, lalu hinggap di belakang gerobak yang bergontai.

Dua wanita dalam gerobak ternyata tiada yang bersuara, suami kena perkara jelas hati mereka gundah, mana ada minat berbincang, tapi Siau Cap-it Long makin heran dibuatnya karena keadaan yang sunyi lagi terasa aneh. Tengah ia pasang kuping, telinganya mendengar suara aneh, suara orang sedang makan sesuatu.

Perempuan Soh-ciu umumnya suka makanan serba manis, dari celah-celah jendela Siau Cap-it Long mengintip ke dalam, dilihatnya kedua perempuan tua ini lagi asyik menikmati permen jahe. Kalau minat bicara saja tiada, kenapa malah mengunyah permen jahe begitu lahap?

Jari jemari Siau Cap-it Long mendadak menjadi dingin. Sekilas ia memikirkan beberapa hal yang tidak masuk akal.

Tengah ia menggedor pintu orang, yang membuka bagaimana mungkin istri pemilik rumah?

Bukankah di rumah ada kacung atau pelayan, memangnya pergi kemana para pembantunya itu?

Seorang perempuan baya di hadapan adik misan sendiri, mengapa menyebut suami sendiri sebagai bangkotan tua? Dalam kondisi seperti ini rela mengayun langkah mencari orang, mana mungkin membawa permen segala?

Mendadak Siau Cap-it Long sadar, lima enam hal yang diperhitungkan tadi hakikatnya salah besar, jelas satu dengan yang lain tidak cocok dan pantas diragukan kebenarannya. Tujuan mereka memancing dirinya ke tempat ini jelas adalah memancing harimau meninggalkan sarang, sengaja membawa dirinya keluar kota. Bukan mustahil mereka sudah tahu siapa dirinya.

Jika demikian Hamwan Sam-seng pasti masih berada di kota, di suatu tempat yang tak terpikir dan diduga Siau Cap-it Long.

Hamwan Sam-seng sepertinya tahu benar titik kelemahan jiwa manusia umumnya.

Tiba-tiba Siau Cap-it Long melambung tinggi berjumpalitan mundur ke belakang, dengan kecepatan kilat memburu balik ke rumah juragan Lu. Rumah ini terang benderang, terdengar percakapan orang. "Entah juragan ada perkara apa, semoga sang junjungan melindungi dia pulang dengan selamat."

Perasaan Siau Cap-it Long kembali mengendap, hatinya mencelos, apakah dia salah perhitungan pula.

Dari dalam rumah berkumandang suara perempuan tua berkata, "Toanio keluar kota mencari orang, entah bisa ketemu tidak."

Apa benar mereka keluar pintu mencari orang?

Saking gemas dan gegetun, ingin rasanya Siau Cap-it Long menggampar pipi sendiri, titik terang kembali bercahaya dalam sanubarinya. Lu-toanio berdua naik gerobak langsung berangkat dari gang sebelah, menjelang berangkat juga tidak berpesan mau pergi kemana, dua orang perempuan di rumah ini darimana tahu mereka keluar kota?

Mungkinkah jebakan yang mengaburkan, supaya orang salah menduga bila seseorang datang kembali, sehingga bingung dan sukar mengambil keputusan. Hamwan Sam-seng memang seorang yang cermat lagi banyak tipu daya.

Di dapur ada dian menyala, saat seperti ini jelas takkan ada orang menyulut api untuk masak nasi. Apalagi keluarga yang memperhatikan keselamatan tak mungkin menyulut dian semalam suntuk mengingat bahaya kebakaran. Tanpa banyak pikir Siau Cap-it Long menerjang masuk.

Di dapur hanya ada dian, tiada orang. Di pojok sana ada seonggok kayu bakar yang siap digunakan untuk memasak. Tapi setelah diteliti, dalam tungku sudah penuh disiapkan batu bara. Kalau biasa memasak nasi pakai batu bara, lalu untuk apa seonggok kayu bakar? Siau Cap-it Long menarik napas panjang, hatinya lega dan bersyukur, akhirnya ia menemukan tempat yang dicarinya.

Setelah ia pindahkan onggokan kayu bakar itu, di bawahnya ternyata adalah lubang yang menjurus ke lorong bawah tanah. Terlebih dulu ia angkat sebuah ubin dan dipindahkan ke pinggir, baru kemudian beranjak turun menapak undakan batu. Dalam lorong ada dua pintu, pintu terdepan terbuka lebar.

Belasan langkah kemudian Siau Cap-it Long dihadang sebuah pintu kayu, tebal dan berat, jelas amat kokoh, pintu tertutup dan dikunci dari dalam.

Perlahan Siau Cap-it Long mencabut golok, sekali bacok disusul tendangan dahsyat, segera dilihatnya Hamwan Sam-seng berada di situ.

Di dunia ini yakin takkan ada orang pernah melihat Hamwan Sam-seng terkejut, amat kaget, malah dengan terbeliak ia mengawasi Siau Cap-it Long, lama sekali baru menarik napas panjang, "Akhirnya kau datang juga."

Kamar di bawah tanah ini dipajang mewah, indah lagi berseni, di ujung kanan masih ada sebuah ranjang besar yang empuk dengan seprei dan bantal guling yang bersulam indah. Hong Si-nio tampak lelap di dalam selimut tebal, wajahnya masih kelihatan kelabu, pipinya sudah bersemi merah.

Siau Cap-it Long menarik napas panjang, "Kau tidak menduga bukan?"

Akhirnya Hamwan Sam-seng menjadi tenang juga, katanya dengan tersenyum lebar, "Sungguh tak pernah kuduga. Sebab sepantasnya kau tidak datang kemari."

"O?" Siau Cap-it Long bersuara di hidung.

"Kau sudah berjanji padaku, pasti tidak ingkar dan tidak menguntitku."

"Aku tidak ingkar, juga tidak menguntitmu. Aku datang karena urusan lain."

"Urusan lain? Apa itu?"

"Akan kubunuh kau," desis Siau Cap-it Long. Jawabannya jelas tegas dan terus terang. Golok sudah berada di tangan.

Sorot mata Hamwan Sam-seng beralih dari mata ke goloknya.

Mendadak ia merasa dirinya sudah terkurung dalam cahaya kemilau golok sakti dan tatapan mata orang yang berkilat.

Dingin suara Siau Cap-it Long, "Kali ini jangan kau mengancam dengan jiwa dan raga Hong Si-nio. Sebab jika jarimu bergerak, golokku tidak akan memberi ampun kepadamu."

Hamwan Sam-seng tertawa, "Sekarang Hong Si-nio sudah menjadi milikku, buat apa kugunakan dia untuk mengancammu?"

"Kalau kau sudah mampus, dia sudah bukan milikmu lagi."

Hamwan Sam-seng manggut-manggut, ia mengerti, "Kalau demikian, kenapa tidak kau bunuh aku saja. Apa kau masih ingin keterangan Pin-pin?"

"Benar."

"Aku sudah akan mati, kenapa jejak Pin-pin harus kuberitahu kepadamu?"

"Waktu pertama aku melihat dirimu, aku tahu bahwa kau adalah musuh yang tidak mudah dihadapi, penglihatanku ternyata tidak salah."

"Aku toh pedagang, siapa saja kalau bicara jual beli dengan aku, urusan gampang diselesaikan."

"Maksudmu aku harus membebaskanmu baru kau akan menjelaskan jejak Pin-pin?"

"Kau tidak rugi dalam jual beli ini. Kan kau sendiri yang bilang, membunuh orang tidak menguntungkan untuk diri pribadi."

"Mana aku tahu kalau kau bicara jujur?"

"Modal utama seorang pedagang adalah kepercayaan, kalau aku tidak bisa dipercaya, siapa mau berdagang dengan aku?"

Memangnya Siau Cap-it Long tidak ingin membunuhnya. "Baik," katanya kemudian, "Barter ini jadilah,"

"Nah, betul kan? Tidak sukar bukan berdagang dengan aku?"

"Pin-pin dimana?"

"Aku sudah menjualnya kepada orang lain."

Berubah air muka Siau Cap-it Long.

"Aku ini pedagang, pedagang harus berdagang, apalagi kulihat dia keracunan cukup parah, kalau kupertahankan, salah-salah aku malah sibuk mengurus jenazahnya."

"Kau jual kepada siapa?"

"Kemarilah, kau pindah kemari, biar aku berdiri di ambang pintu, nanti kujelaskan."

Terpaksa Siau Cap-it Long harus mengendalikan diri, dalam posisinya sekarang memang tiada pilihan lain, terpaksa ia menyingkir.

Setelah beranjak ke pinggir pintu, barulah Hamwan Sam-seng berkata, "Aku menjualnya kepada Hoa Ji-giok."

Bergetar badan Siau Cap-it Long, "Hoa Ji-giok berada dimana?"

"Aku tidak tahu," sahut Hamwan Sam-seng, "tapi aku tahu dia juga seorang pedagang, barang yang dia tarik kembali dengan harga tinggi pasti takkan dikangkangi sendiri, bila harga penawaranmu benar, mungkin dia mau mengembalikan Pin-pin kepadamu dalam keadaan sempurna alias segelnya belum terbuka."

"Tadi dia berada dimana aku tidak tahu, cara bagaimana harus mencarinya?"

"Jangan kuatir, nanti akan datang kesempatan untukmu, karena dia juga tahu kau ini pembeli yang berani menawar dengan harga tinggi." Dia sudah berada di luar pintu, mendadak putar balik lalu berkata dengan tertawa lebar. "Ada satu hal perlu kuberitahu kepadamu."

"Hal apa?"

Tawa Hamwan Sam-seng penuh misteri, katanya serius, "Meski kau berhasi! merebut kembali Hong Si-nio, tapi kau akan menyesal sekali."

Siau Cap-it Long sudah menyingkap selimut, akhirnya ia turunkan kembali, dengan selimut tebal itulah ia membungkus badan Hong Si-nio dengan kecepatan tinggi. Dia takut Hamwan Sam-seng menutup pintu lorong bawah tanah.

Ternyata Hamwan Sam-seng tiada niat seperti dugaannya, sebab ia sadar perbuatannya itu akan sia-sia, mengingat Siau Cap-it Long membekal golok sakti yang tajam luar biasa.

Siau Cap-it Long malah tidak mengerti dan menjadi bingung dibuatnya.

Ia tidak habis mengerti dalam hal apa ia bisa dibuat menyesal sekali. Hong Si-nio yang dibungkus dalam selimut tebal itu mirip orok kecil yang telanjang bulat. Sejauh ini dia masih pingsan.

Siau Cap-it Long tidak ingin kembali ke tempat semula, tidak akan kembali ke Lian-hun-lau, tempat itu tidak aman lagi. Maklum kalau membawa seorang telanjang yang dibungkus selimut tebal, kemana saja pasti serba salah, apalagi saat akan mendekati fajar, memangnya dia harus membawa Hong Si-nio keluyuran di jalan raya? Maka terpaksa ia harus memilih tempat.

* * * * *

Hotel kecil itu berada di daerah sepi di pinggiran kota, rumah petak yang rendah, gelap dan lembab, jendela ditutup kertas yang sudah buram menguning.

Duduk di pinggir ranjang, Siau Cap-it Long mengawasi Hong Si-nio, terasa kelopak matanya makin berat seperti diganduli benda berat. Malam ini sungguh terasa amat panjang, hampir sepanjang malam dia tidak sempat bernapas lega, pengaruh arak juga sudah menjadi tawar.

Saat seperti ini memang waktu datangnya rasa penat dan kantuk.

Di rumah dan di kamar ini justru hanya terdapat sebuah ranjang, tidak besar, kotor dan lusuh, di pinggir ranjang ada bangku panjang, dia tidak mungkin tidur berdiri, tak bisa tidur di bangku panjang. Hong Si-nio tak mungkin dibiarkan sendiri dalam kamar. Entah kenapa rasa kantuk kali ini betul-betul susah ditahan, selama malang melintang di Kangouw, belum pernah ia merasa badan seletih kali ini, hal ini sungguh membuatnya tidak mengerti, kenapa dalam kondisi seperti ini dirinya justru berubah lemah tak berdaya, mungkin pengaruh luka di bawah ketiak yang banyak mengeluarkan banyak darah itu? Atau sisa racun di lukanya belum tuntas? Hal ini sudah tak dipikir lagi, akhirnya ia roboh, telentang di atas ranjang. Ia yakin Hong Si-nio kawan lama yang berjiwa besar dan luhur, bila siuman nanti, dirinya tentu tidak disalahkan, apalagi saat itu dia masih tidur nyenyak.

Begitu jatuh di ranjang, begitu mata terpejam, Siau Cap-it Long langsung tertidur, sayup-sayup ia seperti mendengar rintihan Hong Si-nio, keluhan aneh yang merangsang, sayang ia sudah tidak bisa membedakan suara apakah itu.

Waktu merebahkan Hong Si-nio di ranjang tadi, melihat muka Hong Si-nio tampak merah, semu merah yang aneh, sayang ia tidak sempat memperhatikan. Dalam kegelapan nan tenteram, asyik-masyuk, dirinya seperti jatuh dalam pelukan kekasih, dengan kencang mereka bergumul.

Mendadak suasana berubah menjadi dingin, di saat terasa dingin itulah, mendadak terasa adanya gumpalan halus yang membara jatuh dalam pelukannya, begitu halus, hangat berubah membara, bara yang tidak akan menghanguskan badan orang, hangat yang mengantar dirinya masuk surga dunia. Sekuatnya ia berusaha membuka mata, lapat-lapat ia melihat bola mata Hong Si-nio.

Bola mata Hong Si-nio juga memancarkan bara yang menyala, dengan kencang dia memeluk dan menggeluti dirinya, sekujur badan bergetar saking bernafsunya, getaran yang tak bisa dibayangkan dengan nyata. Badan yang telanjang nan montok serta seksi begitu membara bagai segumpal lahar yang berkobar. Mendadak ia dapati dirinya juga sudah telanjang bulat.

Dengus napas Hong Si-nio yang merangsang seperti memohon, meminta, mencurahkan isi dan keinginan hatinya. Selama ini belum pernah ia curahkan isi hatinya, belum pernah berani dinyatakan secara gamblang. Memangnya sekarang dia sedang mabuk?

Bukan mabuk, tapi lebih menakutkan daripada mabuk, Bahwasanya perawan yang sudah kelewat umur ini seperti tak mampu mengendalikan diri, kehilangan kesadaran, begitu ingin, perlu dan harus, membuatnya tak kuasa mengendalikan diri. Badannya halus, harum mirip gadis belasan yang masih ingusan, tapi gerak-geriknya, dengus napas dan rintihannya mirip perempuan jalang yang dirasuk nafsu birahi.

Obat penawar racun yang diberikan Hamwan Sam-seng pasti dicampur obat lain yang membangkitkan nafsu yang selama ini tertekan.

Hamwan Sam-seng pasti tidak menyangka bahwa Siau Cap-it Long menolongnya. Jelas semua persiapan ini diperuntukan kebutuhan Hamwan Sam-seng sendiri.

* * * * *

Tapi nasib memang mempermainkan orang. Takdir memang mempertemukan Hong Si-nio dengan Siau Cap-it Long.

Bahwasanya hubungan baik mereka selama ini terbatas dalam norma-norma santun, tak mungkin terjadi peristiwa tragis ini. Kejadian kali ini memang tak pernah diduga sebelumnya. Siau Cap-it Long bukan lagi mabuk arak, yang benar adalah mabuk asmara, bisakah mabuk asmara ia tolak, tidak bisa dan tidak ingin menolak, karena nafsu juga telah membakar birahinya, apakah ini dalam mimpi? Anggaplah benar dalam mimpi, memangnya kenapa kalau mimpi? Sayang sekali, seindah apapun mimpi akhirnya akan sadar, bila sudah tiba saatnya orang akan siuman.

Waktu Siau Cap-it Long terjaga dari tidurnya, sadar sesadar-sadarnya. Dalam kamar tinggal dia seorang diri. Apakah mimpi semalam memang kenyataan? Bau harum masih melekat di ranjang. Napas Siau Cap-it Long masih merasakan bau harum di selimut, tak bisa dibayangkan bagaimana perasaan Siau Cap-it Long kala itu.

Sampai detik ini, dia masih belum memahami Hong Si-nio. Ternyata ia orang pertama yang meniduri Hong Si-nio. Apakah selama ini Hong Si-nio memang menanti dirinya?

Kejadian yang tidak pantas terjadi, kenapa mendadak terjadi?

"Kalau kau membawanya pergi, kau akan menyesal sekali."

Ucapan Hamwan Sam-seng terngiang di telinganya. Baru sekarang ia paham arti perkataan ini, apa betul ia merasa menyesal?

Perempuan seperti Hong Si-nio, berkorban karena dirinya; menelantarkan masa remajanya, mengabaikan hidup bahagia, akhirnya dia serahkan juga segalanya kepada dirinya. Memangnya pantas dirinya menyesal?

Kejap lain terbayang olehnya Sim Bik-kun, wajah Pin-pin nan molek dan harus dikasihani, bukankah kedua nona itu juga telah berkorban banyak bagi dirinya? Apakah mereka harus dilupakan, dicampakkan, lalu berumah tangga dengan Hong Si-nio? Atau sebaliknya meninggalkan Hong Si-nio? Seperti diiris-iris perasaan Siao Cap-it Long. Persoalan ini jelas tak mungkin diselesaikan seadirian.

Kini dimanakah Hong Si-nio? Karena malu diam-diam dia minggat? Umpama benar minggat, ia tidak boleh mengabaikannya begitu saja, kejadian itu telah menjadi kenyataan, selama hidup akan selalu menjadi kenangan, kalau kenyataan ini ada, maka persoalan ini harus diselesaikan. Siau Cap-it Long berkeputusan untuk menghadapi persoalan ini secara jantan, ia tidak akan lari dari tanggung jawab.

Pada saat itulah pintu kamar mendadak didorong terbuka dari luar, sebuah benda melayang masuk dari luar pintu. Sebungkus pakaian. Pakaian lengkap untuk seorang lelaki, maksudnya lengkap jelas termasuk pakaian dalam, kaos kaki, sepatu rumput, celana dan baju, semua serba baru, dari kain sutra yang bermutu tinggi.

Baru sekarang Siau Cap-it Long sadar, pakaian yang dipakainya waktu kemari, yaitu pakaian pelayan hotel yang ia lucuti sudah tidak kelihatan, hilang, tentu dipakai Hong Si-nio untuk keluar. Sebungkus pakaian jelas tak mungkin melayang masuk sendiri, di luar jelas masih ada seseorang.

Dengan kecepatan yang paling cepat, Siau Cap-it Long mengenakan pakaian lengkap dengan kaos kaki dan sepatu, baru saja ia berdiri, Hong Si-nio sudah muncul di ambang pintu.

Cewek ini juga mengenakan pakaian serba baru, dengan bersolek, rambut disanggul serba rapi dan elok, mirip benar dengan seorang mempelai perempuan yang akan ke pelaminan. Mempelai perempuan!

Berdetak keras jantung Siau Cap-it Long, sikapnya menjadi kikuk, serba salah dan blingsatan, duduk salah berdiri juga tidak benar. Biasanya ia seorang lugas, lelaki bertemperamen keras dan tegas, tak malu-malu, sekarang mendadak berubah menjadi serba salah, seperti kehabisan akal bagaimana ia harus bersikap menghadapi cewek yang satu ini.

Tapi Hong Si-nio seperti tidak berubah, bukan abadi, tapi dia lebih bebas dan wajar, masih ada sebungkus besar barang dijinjing di tangannya, entah apa isinya, begitu masuk kamar ia tuang bungkusan itu ke atas ranjang, katanya dengan tersenyum lebar, "Sekarang aku baru mengerti, kenapa perempuan suka pergi belanja, ternyata berbelanja punya seni dan makna tersendiri, peduli barang yang kau beli berguna atau tidak, waktu kau membelinya, tindakanmu itu sudah merupakan kenikmatan, kepuasan tersendiri."

Siau Cap-it Long manggut-manggut.

Menghamburkan uang memang sebuah kepuasan, kenikmatan, hal ini sudah menjadi kebiasaan dan diresapi benar-benar oleh Siau Cap-it Long.

"Coba kau terka, aku beli apa saja? Kalau kau bisa menebak, terhitung kau memang jenius."

Siau Cap-it Long geleng-geleng, ia tak bisa menebak.

"Aku membeli sebuah cermin yang dipasang di atas pigura dengan ukiran kembang dan sepasang burung Hong, kubeli seperangkat kotak khusus untuk bahan-bahan kosmetik, kubeli sepasang patung orok kecil laki perempuan yang terbuat dari tanah liat buatan kota Bu-sik. Sebuah swan-lo yang biasa digunakan nenek untuk membakar kayu cendana, sebuah pipa cangklong yang biasa digunakan kakek untuk mengisap tembakau, kubeli juga lima pasang gambar hiasan kamar, sebuah topi bulu musang." Sampai di sini ia menghela napas panjang, lalu melanjutkan, "Padahal aku mengerti, barang-barang ini. semua tidak berguna buatku atau untukmu, tapi melihat barang-barang ini, tak tahan untuk tidak membelinya. Aku senang para pelayan waktu menjilat pantat membujukku untuk membelinya."

Siau Cap it Long hanya mendengarkan saja. Mendadak Hong Si-nio mengangkat kepala, melotot dan bertanya, "Sejak kapan kau berubah menjadi gagu?"

"Aku ...." Siau Cap-it Long menyengir tawa, "aku tidak ...."

Hong Si-nio tertawa geli, "Ternyata kau belum jadi gagu, tapi kulihat kau lebih mirip seorang pikun." Sikapnya terhadap Siau Cap-it Long tidak berubah, lagak dan tindak-tanduknya tidak berubah. Kejadian semalam hakikatnya seperti tidak dirasakan, tidak disinggung sama sekali.

"Kau ...." sudah tak tahan Siau Cap-it Long ingin bicara.

Seperti tahu apa yang hendak diucapkan orang, Hong Si-nio segera menyeletuk dengan mata mendelik, "Aku kenapa, memangnya kau mau bilang aku juga pikun? Kau tak takut kepalamu kubuat berlubang?"

Melihat keadaannya, kejadian semalam seperti tidak pernah terjadi. Hong Si-nio masih Hong Si-nio yang dulu. Waktu ia mengawasi, melirik ke arah Siau Cap-it Long, juga adalah Siau Cap-it Long yang dahulu.

Asyik masyuk di atas ranjang semalam, sepertinya merupakan sebuah mimpi belaka. Sepertinya ia berkeputusan untuk tidak mengungkap peristiwa yang memabukkan itu. Sebab dia amat memahami jiwa Siau Cap-it Long, ia mengerti watak dan perangai Siau Cap-it Long, tahu orang macam apa pemuda yang dipuja banyak wanita dan dianggap berandal oleh sementara pihak yang membencinya. Ia mengerti hubungan baik selama ini, dua pihak tidak menjadi kikuk, canggung dan merasa berdosa, kejadian itu harus dilupakan supaya tidak menambah risau, gundah dan menderita.

Mengawasinya, tak terperikan perasaan Siau Cap-it Long, ia kagum, memuji dan berterima kasih. Umpama kejadian itu bisa dilupakan, rasa terima kasih dan hutang itu jelas selama hidup tak mungkin dilupakannya.

Hong Si-nio membalik badan, mendorong jendela.

Seperti ingin menyembunyikan rona mukanya di depan Siau Cap-it Long, ia tidak ingin orang lain tahu bagaimana gejolak perasaannya saat itu. Ia rela menyembunyikan perasaan, mengendapkan gejolak hatinya ke tempat yang paling dalam, seperti para kolektor menyembunyikan benda antiknya yang paling berharga di tempat paling tersembunyi. Di kala malam sepi tiada orang lain, baru ditampilkan untuk dinikmatinya sendiri.

Ia tidak mau peduli apakah itu derita, sengsara atau manis mesra, hal yang menyedihkan, yang melegakan umpamanya, biarlah dirasakan dan hanya ia sendiri yang tahu.

Waktu ia membalik badan lagi, sorot matanya sudah memancarkan cahaya, wajahnya dihiasi senyum khas yang khusuk, katanya sambil mengawasi Siau Cap-it Long, "Apa kau masih ingin terus tinggal di tempat ini?"

"Tidak," sahut Siau Cap-it Long tertawa, "umpama sudah pikun, yang pasti aku bukan babi."

"Lalu kenapa kita tidak berangkat saja?"

Mengawasi barang-barang di atas ranjang, Siau Cap-it Long bertanya, "Barang-barang ini kau tidak ingin membawanya ?"

"Tadi sudah kubilang, waktu membeli barang, aku merasa senang dan puas, kuanggap aku sudah menarik balik nilai yang kugunakan untuk membeli, untuk apa aku membawa barang-barang ini?"

Cahaya mentari cemerlang menguning emas, senja telah menjelang.

Menyambut hembusan angin senja di awal musim rontok, Siau Cap-it Long menarik napas dalam, "Sekarang kemana kita akan pergi?"

"Makan dulu, baru mencari orang," sahut Hong Si-nio.

"Mencari siapa?"

"Yang pasti mencari Sim Bik-kun," kata Hong Si-nio tanpa menoleh, "memangnya kau lupa?"

Jelas Siau Cap-it Long tidak lupa, sahutnya, "Kau ingin mencarinya bersamaku?"

Hong Si-nio melotot, suaranya keras, "Kenapa tidak kutemani kau mencarinya? Aku sudah berjanji kepadamu, kenapa aku harus ingkar janji? Memangnya kau kira aku ini pembohong?"

Siau Cap-it Long hanya menyengir mengawasinya. Tawa yang tulus dari relung hati yang paling dalam. Tapi bukan tawa riang, tawa senang, kecuali gembira, di sana terselip rasa simpati, terima kasih, dimana terkandung pengertian yang mendalam, meski terasa kecut, ia tak berani banyak bicara lagi.

Bilamana kau seorang pria, bila kau menjadi Siau Cap-it Long, kalau kau berhadapan dengan cewek seperti Hong Si-nio, apa yang bisa kau katakan?

Tay-hong-lau.

Siau Cap-it Long kembali ke Tay-hong-lau.

Dari lantai satu, lantai dua, atas bawah, puluhan orang, tua muda, laki perempuan, semua mengawasinya dengan terbelalak kaget. Untunglah yang kaget tidak lupa tugas, dengan munduk-munduk mereka maju menyapa dan melayani.

Terutama pemilik restoran yang sedang berendam di bak air panas, bergegas ia merangkak berdiri seperti kedatangan kakek moyangnya yang ingin berpesta di rumah makannya.

Jantung Hong Si-nio juga berdebar-debar, setelah memilih tempat duduk ia berbisik tanya, "Kenapa kau ajak aku ke Tay-hong-Iau?"

Siau Cap-it Long tertawa, "Karena aku seorang Tay-heng (jutawan), malah jutawannya jutawan."

Suara Hong Si-nio lebih lirih, "Kau tahu barang-barang itu kubeli dengan apa?"

"Tahu, kau gunakan buah kancing batu Giok yang ada di kantong bajuku itu."

”Tapi sekarang aku tidak punya duit."

"Aku tahu."

"Kau akan berhutang dulu di sini?"

"Tidak."

Hong Si-nio tertawa getir, "Urusan apa tidak pernah kukerjakan, tapi suruh aku gegares makanan gratis, terus terang sukar kulakukan."

"Aku sendiri juga rikuh."

"Memangnya kita tidak perlu makan?"

"Lho, ya makan. Makan sepuasnya."

"Setelah makan?"

"Setelah makan, ya bayar."

"Mana uangnya?"

"Uang? Nanti ada orang mengantar kemari."

"Siapa yang akan mengantar kemari?"

"Aku sendiri tidak tahu."

Hong Si-nio hampir berteriak, "Kau tidak tahu? Kau sendiri tidak tahu?"

"Hm, ya, tidak tahu."

"Memangnya uang itu bakal jatuh dari langit?"

"Uang yang jatuh dari langit, aku harus membungkuk memungutnya, bisa berabe."

Dengan terbelalak Hong Si-nio mengawasinya, "Memangnya ada urusan segampang itu untuk mendapat uang?"

"Ya, ada."

"Kulihat kau ini belum bangun dari mimpi...."

Belum habis ia bicara, dari bawah loteng memburu datang seorang lelaki pendek gemuk, dengan wajah bundar, jenggot kambing pendek, berpakaian serba lengkap dengan topi bundar di atas kepalanya, dengan munduk-munduk memberi hormat kepada Siau Cap-it Long, katanya dengan tertawa lebar, "Apakah tuan adalah Siau Cap-it Long Siau-toaya?"

"Sudan jelas kalau aku, masih bertanya lagi," tawar suara Siau Cap-it Long.

Orang itu munduk-munduk dengan tawa lebar, katanya ramah, "Soalnya nominal rekening ini teramat besar jumlahnya, terpaksa Cayhe harus berlaku hati-hati."

"Apa kemarin kau sudah di sini?" tanya Siau Cap-it Long.

Orang itu memanggut, "Beberapa hari lalu sudah ada orang memberitahu ke bank kami, katanya dalam beberapa hari ini Siau-toaya membutuhkan uang, aku disuruh ke sini menunggu."

"Kau dari bank mana?"

"Kami dari bank Goan-po, dari kelompok Li-thong. Mohon petunjuk Siau-toaya."

"Bagaimana rekening koranku di bank kalian?"

"Mulai bulan dua tahun lalu, seluruhnya ada enam rekening koran Siau-toaya di bank kami, dari jumlah seluruhnya ada 66 laksa tiga ribu enam ratus tahil." Dari lengan bajunya ia keluarkan sebuah buku catatan, lalu diangsurkan dengan dua tangan, "Jumlah seluruhnya dicatat jelas di buku ini, mohon Siau-toaya memeriksa."

"Tak usah aku periksa," ujar Siau Cap-it Long, "tapi dua tiga hari ini aku memang perlu uang kontan."

"Sudah kami sediakan di bank, Siau-toaya butuh uang tunai atau cek kontan?"

"Cek kontan saja. Tentunya cek bank kalian bisa dipercaya bukan?"

"Mohon periksa Siau-toaya, bank kami banyak mendirikan cabang di berbagai kota, laporan yang diterima kantor pusat semua menyatakan selama seratus tahun lebih sejak bank kami berusaha, rekening koran Siau-toaya yang paling besar, langganan paling terpercaya."

Laki-laki ini seperti mengerti, lelaki senang diumpak di hadapan sang nyonya, dengan laku dibuat-buat ia membalik ke arah Hong Si-nio untuk menjelaskan, "Waktu Siau-toaya setor uang ke bank kami tidak memerlukan tanda terima, rabatnya juga paling kecil, selama tiga puluh tahun bekerja di bank, baru sekali ini aku bertemu dengan pelanggan sebaik Siau-toaya, belum pernah ada orang kedua."

Hong Si-nio hanya tersenyum saja, "Ya, dia memang jutawan, jutawannya jutawan."

"Ya, betul, memang tidak salah," kata lelaki itu, "entah Siau-toaya kali ini perlu pakai berapa duit?"

"Buatkan cek lima ratus tahil sebanyak dua ratus lembar."

"Jumlahnya tepat 10 laksa tahil."

"Buatkan pula lima laksa tahil 10 lembar."

Lelaki itu menarik napas, katanya gugup, "Cek kontan bank kami tak beda dengan uang tunai, di cabang mana saja bisa diuangkan segera. Untuk membawa uang sebanyak ini apakah Siau-toaya tidak berabe?"

"Tak perlu kau pikirkan cara bagaimana aku membawa uang. Yang pasti dengan cepat aku bisa menggunakan uang itu."

Laki-laki itu merinding dibuatnya, belum pernah ia bertemu dengan orang seroyal ini memakai uang, bukan saja tidak pernah melihat, mimpi pun tak pernah terbayang olehnya.

Siapa tahu persoalan yang tak pernah diimpikan masih terus berkembang.

"Sisanya yang enam laksa lebih itu," demikian ucap Siau Capit Long sambil lalu, "tak perlu dibukukan lagi, anggap saja kuberikan kepadamu."

Enam laksa tahil uang perak, secara umum uang sebanyak itu bisa digunakan keluarga biasa untuk biaya selama hidup, Siau Cap-it Long menganggap uang sebanyak itu sebagai persen diberikan dengan cuma-cuma kepada seorang pegawai bank. Tangan lelaki itu kelihatan gemetar, jantungnya seperti hampir melonjak keluar dari rongga dada, segera ia membungkuk badan seraya berseru, "Siaujin segera bukakan cek yang diperlukan dan segera mengantar kemari."

Bukan saja merubah panggilan, badannya yang buntak mirip bola waktu membungkuk hormat, selangkah demi selangkah mundur hingga anak tangga, hampir saja ia terpeleset di anak tangga saking gemetar lututnya.

"Nah, sudah kau lihat, lebih gampang bukan uang itu jatuh dari langit," seru Siau Cap-it Long tertawa.

Hong Si-nio mengawasinya tajam, "Ada pertanyaan yang belum pernah kutanyakan kepadamu, sebab aku tak ingin kau anggap kemaruk harta, tapi hal ini perlu kutanyakan kepadamu."

"Boleh, silakan tanya."

"Tiga tempat harta terpendam itu, berapa yang sudah kau dapatkan?"

"Harta terpendam apa maksudmu?"

"Kau tidak tahu harta terpendam apa?" pekik Hong Si-nio.

"Kecuali di waktu mimpi, harta terpendam macam apa yang kau maksud? Hakikatnya aku tidak pernah tahu dan tidak perlu tahu."

Kecuali dalam dongeng atau cerita dalam mimpi, apa benar di dunia ini ada harta terpendam, hal ini masih merupakan tanda tanya besar.

"Jadi uang sebanyak itu hasil curian?" damprat Hong Si-nio.

"Bukan," jawab Siau Cap-it Long.

"Merampok atau hasil rampasan?"

"Juga bukan."

Padahal Hong Si-nio maklum, umpama merampok atau merampas uang milik orang, jumlahnya pasti tidak akan sebanyak itu. Tak tahan ia bertanya lagi, "Lalu darimana saja uang sebanyak itu?"

"Tidak tahu."

Hong Si-nio berjingkrak berdiri, teriaknya, "Tidak tahu? Kau sendiri tidak tahu?"

Siau Cap-it Long menghela napas, "Bukan saja aku tidak tahu, sebetulnya apa yang telah terjadi ada kalanya aku sendiri tidak percaya bahwa urusan ini adalah kenyataan."

"Lalu bagaimana duduk perkara sebenarnya? Kau ...." mendadak ia tutup mulut, rona mukanya juga berubah.

Sebab mendadak ia melihat seorang beranjak naik ke loteng, orang yang bisa membuat muka Hong Si-nio berubah, bahwasanya bisa dihitung dengan jari tangan, bukan saja berubah mukanya, Hong Si-nio kontan menutup mulut, tiada orang kedua kecuali satu. Ya, hanya satu di kolong langit, orang ini sudah beranjak ke loteng dan langsung menghampiri mereka.

Dari pucat berubah merah, dari merah berubah pucat muka Hong Si-nio, sepertinya kalau bisa dia ingin bersembunyi ke bawah meja, seperti takut atau malu melihat orang ini. Ternyata Siau Cap-it Long juga berubah aneh mimik mukanya waktu melihat laki-laki ini menghampiri dirinya, sikapnya menjadi serba salah, apalagi saat itu ia berada bersama Hong Si-nio. Siapakah dia sebenarnya?

XIII. MUNCULNYA SANG PENAGIH HUTANG

Orang ini berwajah persegi, berpakaian hijau bersih dan rapi serta rajin, serba baru dan perlente mirip sebuah roti kering yang baru saja keluar dari panggangan. Nyo Khay-thay.

Orang ini ternyata adalah Nyo Khay-thay. Waktu berjalan, Nyo Khay-thay amat hati-hati seperti kuatir menginjak semut. Mata tidak pernah melirik ke kanan atau kiri, ia datang langsung menghampiri meja, seperti di tempat itu ia tidak pernah melihat Hong Si-nio atau Siau Cap-it Long.

Tapi dia langsung berhenti di depan Siau Cap-it Long. Hong Si-nio duduk mematung, sekujur badan seperti kaku dan kejang, sepatah kata pun tak mampu diucapkan.

Padahal cewek yang satu ini biasa malang melintang sendiri, semua serba aku dan sesuai dengan kemauanku. Bagaimana pandangan atau pendapat orang lain terhadap dirinya, persetan ia tidak peduli. Tapi terhadap lelaki yang satu ini, dari relung hatinya yang paling dalam, ia merasa menyesal, malu dan berhutang. Berhadapan dengan orang ini, dirinya ibarat berhadapan dengan seorang yang menagih hutang kepada dirinya. Dia memang hutang dan tak terbayar selama hidup.

Jangan kata melihat, melirik pun Nyo Khay-thay tidak melihatnya, seperti lupa bahwa di dunia ini ada cewek ayu jelita yang sekarang lagi bersikap lucu melihat dirinya.

Terpaksa Siau Cap-it Long berdiri menyambut. "Silakan duduk," sapanya.

Nyo Khay-thay tidak duduk, terpaksa Siau Cap-it Long tetap berdiri. Dari jarak dekat mendadak ia melihat lelaki berwajah persegi, bersih dan serba perlente ini mukanya mulai berkeriput tanda ketuaan, kelihatan lebih kurus dan pucat.

Umpama dia masih mirip roti kering yang baru dikeluarkan dari panggangan, kondisinya sudah bukan segagah, seganteng dan sesegar dahulu lagi.

Selama dua tahun ini, entah bagaimana ia melewatkan hari-hari kehidupannya.

Siau Cap-it Long sendiri amat mendelu, sukar dilukiskan bagaimana perasaannya sekarang. Terutama setelah adegan manis mesra semalam.

Mendadak Siau Cap-it Long menyadari dirinya sungguh mirip maling cilik yang kotor dan hina di hadapan orang ini, dirinya seperti tak mampu mengangkat kepala, hatinya merasa amat bersalah.

Nyo Khay-thay menatapnya sesaat, sorot matanya mirip ia mengawasi maling cilik, tiba-tiba ia berkata, "Apakah tuan Siau Cap-it Long Siau-toaya?"

Jelas dia mengenal Siau Cap-it Long, selama hidup takkan ia lupakan laki-laki yang satu ini, tapi sekarang pura-pura tidak kenal. Siau Cap-it Long hanya mengangguk. Dia maklum, mengerti kenapa Nyo Khay-thay berbuat demikian, dia merasakan getar perasaan Nyo Khay-thay saat itu.

Dengan wajah membesi Nyo Khay-thay berkata, "Cayhe she Nyo, sengaja datang mengantar cek kontan yang diperlukan Siau-toaya." Dari balik kantong bajunya ia keluarkan setumpuk lembaran cek yang utuh dan masih baru, dengan dua tangan ia angsurkan ke depan, "Di sini ada dua ratus lembar senilai lima ratusan tahil, sepuluh lembar senilai lima laksa tahil, seluruhnya berjumlah enam laksa tahil, mohon Siau-toaya menghitungnya."

Tak mungkin Siau Cap-it Long menghitungnya satu per satu, bahwasanya ia rikuh untuk mengulur tangan menerima cek itu, namun mulutnya saja yang menggumam, "Tak usah dihitung, yakin benar jumlahnya."

Nyo Khay-thay menarik muka, "Jumlah ini tidak kecil, Siau-toaya harus menghitung dan periksa." Sikapnya kukuh dan bertahan, menunggu reaksi Siau Cap-it Long.

Dengan tertawa getir Siau Cap-it Long terpaksa mengulur tangan menerima, lalu dibalik-balik sekenanya, bahwasanya ia tidak ingin bentrok atau cari perkara dengan orang yang satu ini.

"Ada yang kurang," tanya Nyo Khay-thay.

“Tidak," sahut Siau Cap-it Long.

"Setelah kau ambil dana sebesar ini," kata Nyo Khay-thay lebih jauh, "uang simpananmu yang masih ada di Li-thong dan Li-goan kedua bank itu masih ada seratus tujuh puluh dua laksa tahil." Dia keluarkan pula sejilid buku rekening dan satu buku cek blanko, "Inilah catatan jumlahnya dan cek yang masih kosong, bisa digunakan sewaktu-waktu. Silakan terima."

"Aku tidak ingin mengambil seluruhnya," kata Siau Cap it Long.

Membesi muka Nyo Khay-thay, "Kau tidak ingin mengambilnya, aku justru ingin mengeluarkan."

"Kau?" tanya Siau Cap-it Long.

Dingin sikap Nyo Khay-thay, "Kedua bank tadi adalah milikku, mulai detik ini, aku tidak sudi berhubungan dengan orang macam dirimu."

Siau Cap-it Long mematung.

Tak terpikir olehnya rangkaian kata apa yang harus diucapkan. Kalau Nyo Khay-thay mau segera pergi, ia tidak akan menahannya.

Tapi Nyo Khay-thay seperti belum mau pergi, dengan muka kaku, mata melotot, katanya dengan suara dingin, "Sejak duelmu dengan Siau-yau-hou, banyak orang bilang kau adalah jago paling kosen di kolong langit."

Siau Cap-it Long terpaksa tertawa getir, "Aku sendiri tidak pernah berpikir demikian."

"Tapi aku memikirkannya, aku tahu bukan tandinganmu." Muka persegi yang kaku itu mendadak menampilkan mimik yang aneh, perlahan ia melanjutkan ucapannya, "Sejak awal aku sudah tahu, dalam segala hal aku memang bukan tandinganmu."

Ibarat sebatang jarum, kata-katanya menusuk hulu hati Siau Cap-it Long, juga menusuk sanubari Hong Si-nio. Dan yang paling fatal adalah juga melukai dirinya sendiri.

Sejak tadi Hong Si-nio hanya menggigit bibir, mendadak ia mengangkat poci arak terus menuang arak ke dalam mulutnya.

Nyo Khay-thay tetap tidak meliriknya, suaranya lebih dingin, "Kabarnya kemarin di tempat ini hanya dalam tiga jurus kau mengalahkan Auyang-hengte, betapa gagah kau ini tiada jago manapun di dunia ini yang sebanding denganmu. Orang macamku yang bernama Nyo Khay-thay bila ingin bertanding denganmu, orang pasti bilang aku ini tidak tahu diri." Jari-jari tangannya terkepal, sepatah demi sepatah diucapkan dengan jelas, "Sayangnya, aku orang yang tidak tahu diri, maka aku ...."

Maka aku mencintai Hong Si-nio.

Ucapannya tidak ia lontarkan, tapi Siau Cap-it Long dan Hong Si-nio mengerti maksudnya.

"Kau ...." Siau Cap-it Long tertawa getir.

"Maka hari ini aku datang," Nyo Khay-thay mendahului bicara, "kecuali membuat perhitungan uang simpananmu, juga ingin bertanding melawan ilmu silatmu yang tiada taranya itu." Setiap patah kata diucapkan perlahan, tapi jelas. Padahal selama ini dia punya kebiasaan gagap kalau gugup atau bicara cepat. Hari ini ia tidak perlu terburu-buru, sepertinya sudah berkeputusan, berkeputusan membuat perhitungan menyeluruh dengan Siau Cap-it Long.

Siau Cap-it Long mengerti perasaannya, tapi hatinya lebih perih.

"Kita bertanding di luar atau di tempat ini saja," tantang Nyo Khay-thay.

Siau Cap-it Long menghela napas, "Aku tidak akan keluar, dan tidak akan melayanimu di sini."

"Apa maksudmu?" damprat Nyo Khay-thay murka.

"Maksudku adalah aku takkan bergebrak dangan kau."

Memang tak mungkin dia berkelahi dengan lelaki ini, sebab tak boleh menang tapi pantang kalah. Dia maklum karena murka, waktu menyerang Nyo Khay-thay pasti nekad dan mengeluarkan, jurus-jurus mematikan, kalau ia mengalah dan sampai terluka, tak lama pasti ada orang yang meluruk datang menuntut jiwanya. Dalam kondisi seperti sekarang, ia pun pantang kalah apalagi mati.

Mengawasinya dengan muka merah padam, Nyo Khay-thay berkata, "Kau tidak sudi berhantam dengan aku? Karena aku tidak setimpal?"

"Bukan begitu maksudku."

"Peduli apa maksudmu, sekarang aku serang kau, kalau tidak membalas, kubunuh kau."

Biasanya Nyo Khay-thay orang yang suka mengalah, pengampun dan berbelas kasihan, orang yang tidak suka atau tidak bisa memaksa orang lain. Tapi sekarang ia pojokkan posisi Siau Cap-it Long ke sudut yang tak mungkin menyingkir.

Hong Si-nio mengangkat kepala, selebar mukanya juga merah menyala, arak merangsang sifat garangnya, mendadak ia berjingkrak berdiri, pekiknya, "Nyo Khay-thay, kutanya kau, apa sih maksud tingkahmu ini?"

Nyo Khay-thay tidak peduli padanya, tapi mukanya pucat.

"Memangnya kau kira dia takut padamu? Umpama takut juga jangan kau mengancamnya," damprat Hong Si-nio.

Nyo Khay-thay tetap tidak mempedulikan dia.

"Kau ingin membunuhnya?" seru Hong Si-nio beranjak maju, "baik, bunuh aku lebih dulu."

Muka pucat Nyo Khay-thay berubah merah padam lagi, ia pun tak tahan lagi, serunya keras, "Dia ... dia ... dia ini apamu? Kau ingin mati karena dia."

"Peduli siapa dia dan apa hubungannya denganku, kau tak berhak mencampuri urusanku."

"Aku ... aku ... aku tak boleh mencampuri? Memangnya siapa ... siapa yang harus ikut campur?" Tampak otot besar menghijau menonjol di jidatnya. Saking murka sampai sukar bicara.

Hong Si-nio juga amat murka, air mata hampir bercucuran. Semua ini karena apa? Demi siapa? Sebetulnya mereka adalah sepasang suami isteri yang dapat menimbulkan iri orang lain, ya, mirip pasangan Lian Shia-pik dengan Sim Bik-kun. Tapi sekarang ....

Siau Cap-it Long tak kuasa menahan diri, tak tega melihat, tak tahan mendengar, posisinya memang mengharuskan mengambil satu jalan keluar.

"Baiklah, hayo kita keluar."

Tabir malam sudah menyelimuti alam semesta. Toko-toko atau rumah-rumah di sepanjang jalan sudah memasang lentera.

Perlahan Siau Cap-it Long menuruni anak tangga, perlahan menuju ke tengah jalan, langkahnya berat, perasaannya lebih berat, dia tidak menyalahkan Nyo Khay-thay. Bukan Nyo Khay-thay menyudutkan dirinya, Nyo Khay-thay sendiri juga disudutkan untuk menempuh jalan yang harus ditempuhnya ini. Tekanan yang menakutkan memaksa mereka menjurus ke tapak yang harus ditempuh bersama. Tekanan yang timbul akibat perang batin mereka sendiri. Itukah yang dinamakan cinta? Atau benci? Suatu tragedi? Atau angkara murka?

Siau Cap-it Long tak mau berpikir lagi, ia tahu, dipikir juga takkan menghasilkan penyelesaian. Yang pasti ia sadar dirinya sudah berada di tengah jalan raya, ia berhenti.

Mendadak ia sadar dan tahu seluruh suara dan kegiatan di sekelilingnya semua berhenti.

Nyo Khay-thay juga sedang keluar dari Bok-tan-lau.

Sepi lengang.

Semua orang yang berada di jalan raya menyingkir jauh, semua melotot mengawasi mereka, semua berdiri mematung seperti orang pikun. Siau Cap-it Long sadar, orang yang benar-benar pikun bukan para penonton itu, tapi adalah dia dan Nyo Khay-thay.

Dari atas loteng mendadak berkumandang suara barang-barang pecah berantakan, entah piring mangkuk atau poci cawan, semua dibanting luluh. Setelah habis barung-barang dibanting menyusul berkumandang lolong tangis yang menyedihkan seperti anak kecil yang kehilangan barang mainannya.

Biasanya Hong Si-nio suka tertawa dan tertawa keras, kalau sedih menangis sesenggukan. Dia tidak ikut turun, tak berani turun, tak berani menonton, tapi ia tak kuasa mencegah peristiwa ini.

Dengan kencang Nyo Khay-thay menggenggam tangan, mukanya yang persegi berkerut menahan gejolak perasaan.

Siau Cap-it Long menarik napas panjang, katanya mendelu, "Kau ... kenapa semua ini kau lakukan."

Nyo Khay-thay melotot, raungnya keras, "Kenapa tidak kau tanya pada dirimu sendiri." Belum habis bicara, orangnya sudah menyerbu ke depan, serentak menyerang tiga jurus, seperti cara ia berjalan, tiap jurus dilakukan dengan rajin dan sungguh-sungguh.

Siau Cap-it Long berkeputusan, duel ini dirinya tidak boleh kalah juga tidak boleh menang. Dia pikir bila Nyo Khay-thay sudah kehabisan tenaga dan tak mampu bergerak lagi, perkelahian ini harus segera dihentikan.

Tapi begitu menyerang Nyo Khay-thay sudah kesetanan, hal ini membuatnya mengerti urusan tidak semudah yang ia bayangkan semula, walau hatinya gundah, pikiran kalut, tapi jurus permainan Nyo Khay-thay amat rajin, tidak kacau, gerak-gerik dan gayanya memang tidak enak dipandang, tapi tiap jurus serangannya sangat bermanfaat, berguna untuk pertahanan dan lancarnya perubahan, yang pasti tiap jurus serangannya dilandasi kekuatan yang luar biasa, kekuatan yang menjadi landasan jurus permainannya banyak perubahan dan tidak boleh diremehkan.

Selama ini belum pernah Siau Cap-it Long berhadapan dengan lawan yang berlatih silat sedemikian kokoh dengan landasan kuat dan berakar.

Dua puluh jurus kemudian, permainannya makin lancar, tenaga yang dikembangkan sungguh amat dahsyat perbawanya, tiap langkah kakinya pasti meninggalkan bekas tapak dilantai jalan raya yang dilembari lempengan batu hijau.

Tapak kaki yang tidak banyak. karena tiap gerak, tiap jurus yang dilancarkan amat rajin menurut aturan permainan, tiap langkah kakinya dari awal hingga jurus berikutnya tidak banyak perubahan. Bekas tapak kaki tidak bertambah, tapi bekas tapak kaki itu makin dalam. Banyak papan nama toko-toko di pinggir jalan berdetak dengan bunyi yang ramai oleh damparan tenaga pukulan hingga bergoyang gontai hampir jatuh.

Jidat Siau Cap-it Long sudah bermandi keringat. Dengan jurus permainan ilmu silatnya, tidak sukar bagi Siau Cap-it Long untuk merobohkan atau mengalahkan lawannya ini, sebab gerak-gerik ilmu silat Nyo Khay-thay kalau mau dinilai ibarat permainan badut belaka. Tapi ia tidak boleh menang.

Sementara jotosan demi jotosan Nyo Khay-thay terus menyerbu dengan gencar, tanpa tipu daya juga tiada variasi, tiada muslihat, maka ia sendiri juga tidak perlu berkelit segala.

Betapapun runcing sebuah paku akhirnya akan dipukul tumpul juga. Demikianlah perasaan Siau Cap-it Long, dirinya seperti paku yang terus dipukul dan dipukul. Yang menakutkan, tiba-tiba ia menyadari pahanya mulai kaku kejang, gerak-geriknya juga menjadi terhambat dan lambat.

Selama bertempur dengan musuh, belum pernah kalah karena ia yakin dirinya pasti menang. Hari ini ia tidak punya tekad, karena ia tidak berniat menang, tapi ia juga tidak mau kalah. Satu hal yang ia lupakan, dua orang bila sedang bertempur, kalau tidak menang ya harus kalah. Menang atau kalah tidak bisa pilih-pilih lagi. Umpama ingin menang, dalam kondisinya sekarang juga sudah terlambat.

Permainan pukulan Nyo Khay-thay, tenaga yang dikerahkan dan kayakinannya mencapai puncak paling tinggi, waktu menyerang boleh dikata ia sudah mengerahkan setaker tenaganya, meski tahu bukan tandingan lawan, tapi ia yakin dapat mengalahkan musuh, maka waktu menyerang tidak memikirkan keselamatan sendiri, yang penting nekad. Bahwasanya ia sendiri tidak menyadari bahwa kemampuannya sudah mencapai tingkat yang sukar dicapai tokoh silat manapun. Dalam kondisi sekarang, mungkin sedikit saja tokoh silat yang mampu mengalahkan dia.

Siau Cap it Long tahu jika dirinya akan kalah. Ibarat sebatang paku yang dipukul amblas ke dalam tanah, ilmu silatnya sudah tidak mampu dikembangkan lagi. Apalagi lukanya mulai kambuh. Tapi faktor yang menentukan justru jalan pikirannya sendiri, hal yang tidak pernah terpikir olehnya sekarang bakal menjadi kenyataan. Sebab selama hayat dikandung badan, ratusan pertarungan besar kecil melawan tokoh lihai sekalipun, belum pernah ia dikalahkan.

Kalau jalan pikirannya benar dan merasuk jiwa, berarti kekalahan itu sendiri bakal menjadi kunci dasar tenaga dan kekuatannya yang makin luluh dan lumpuh.

Bersambung

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar