Jilid 18
Insan persilatan jarang yang
tidak mengenal paku luar biasa ini.
Konon senjata rahasia di
seluruh kolong langit ada seratus tujuh puluhan jenis, yang paling menakutkan
hanya tujuh macam. Sam-Iing-toh-kut-ting atau paku segitiga penembus tulang adalah
salah satu dari tujuh senjata rahasia yang paling ditakuti itu.
Senjata rahasia jenis ini
umumnya digerakkan oleh pegas dengan daya sambit teramat keras, umpama berada
di bawah air juga dapat mencapai jarak tiga sampai lima tombak, di dalam air
yang paling ditakuti adalah senjata rahasia jenis ini.
"Kapan aku pernah berada
di bawah air, aku bukan setan air, juga bukan ikan yang hidup dalam air,"
omel Hong Si-nio.
"Di permukaan air,
senjata ini bisa mencapai jarak delapan tombak, jarak sejauh ini sasaran masih
bisa ditembak mampus."
"Maksudmu orang yang
membawa senjata rahasia ini berada di perahu yang kukejar itu?" tanya Hong
Si-nio. Ciang Hing menganggukkan kepala.
Hong Si-nio tertawa dingin,
"Jadi kau sangka aku gentar menghadapi senjatanya itu? Kalau sambitan paku
ini tak mampu aku hindari, memangnya aku masih terhitung siluman
perempuan?"
Lahirnya ia bersikap keras
kepala, padahal batinnya diam-diam berterima kasih.
Yang pasti Hong Si-nio tidak
yakin dapat meluputkan diri dari sambaran senjata rahasia ganas itu. Sementara
itu, Sim Bik-kun berdiri di sana sambil menundukkan kepala mengawasi jari-jari
kaki sendiri, entah persoalan apa yang masih mengganjal dalam hatinya. Senyum
tawanya tadi tersapu oleh datangnya kabut tebal.
Hong Si-nio mendekatinya,
menepuk pundaknya, "Kenapa tidak kau tanya kepadaku, dia ada dimana?"
Kepala Sim Bik-kun menunduk
lebih rendah.
"Tempat ini tidak jelek,
tapi tak mungkin kau diam di sini sepanjang hidupmu, kapan saja kau boleh
pergi, apa kau lupa siapa yang pernah bilang demikian?"
Terangkat kepala Sim Bik-kun,
memandang Ciang Hing sekilas lalu menunduk lagi, perasaan hati perempuan tak
enak diucapkan di hadapan lelaki. Syukur Ciang Hing bukan lelaki dogol yang
tidak kenal perasaan orang, dengan tertawa ia bertanya, "Kalian merasa
lapar belum?"
"Lapar sekali,"
sahut Hong Si-nio segera.
"Biar kucari makanan
untuk kalian sambil ganti pakaian, pulang pergi kira-kira setengah jam
cukuplah."
"Kau boleh pergi mencari
makanan, pergi ganti pakian tidak perlu buru-buru."
Ciang Hing tertawa lebar,
pergi sambil mengelus kepalanya, tak lupa ia menutup daun pintu.
Baru sekarang Sim Bik-kun
mengangkat kepalanya, suaranya lirih, "Dia ... dia dimana? Kenapa tidak
bersamamu?"
Hong Si-nio menarik napas
panjang, baru saja hendak buka mulut, "Blang", daun pintu yang baru
saja dirapatkan mendadak diterjang terbuka, seorang terbang masuk,
"Brak", jatuh di atas meja, meja itu hancur berkeping, badan orang
itu menggelinding jatuh di lantai, bola matanya melotot lurus, siapa lagi kalau
bukan Ciang Hing yang baru saja beranjak keluar.
Belum ada setengah jam, malah
baru beberapa menit, tapi dia sudah kembali secepat itu. Waktu keluar
gerak-geriknya segar bugar, kenapa mendadak kembali dengan jungkir balik
menumbuk meja malah? Memangnya badannya terbang dilempar orang?
Cui-pau (macan air) Ciang Hing
bukan seonggok karung, bukan barang yang mudah diangkat, dijinjing lalu
dilempar sesuka hati orang. Sigap sekali Hong Si-nio maju dua langkah
menghadang di depan Sim Bik-kun, padahal kalau diukur betulan kepandaian
silatnya tidak unggul banyak dibanding kemampuan Sim Bik-kun, tapi setiap kali
berada bersama Sim bik-kun, ia selalu menganggap dirinya lebih kuat, lebih
perkasa, ada kewajiban dirinya melindungi orang.
Mata Ciang Hing melotot lurut
mengawasinya, rona mukanya menambilkan mimik yang susah dilukiskan, dari ujung
mulutnya tiba-tiba merembes keluar dua jalur darah segar.
Darah segar tapi bukan warna
merah, warna hitam, warna hitam juga bermacam-macam, ada hitam yang kelihatan
cantik, tapi ada hitam yang menakutkan. Darah yang meleleh dari ujung mulut
Ciang Hing adalah darah hitam yang menakutkan.
Tak urung Hong Si-nio
berjingkat ngeri, ”Kenapa engkau?"
Mulut Ciang Hing terkancing,
giginya gemerutuk, darah terus membanjir makin deras dari mulutnya.
Belum pernah Hong Si-nio
saksikan darah segar hitam yang keluar dari mulut orang segelap itu warnanya.
Mendadak Sim Bik-kun berkata
pula, "Dapat kau membuka mulut?"
Ciang Hing meronta, sekuatnya
dia menggeleng kepala.
"Kenapa mulutnya saja
tidak bisa dibuka?" teriak Hong Si-nio gugup.
Ciang Hing seperti ingin
bicara tapi tak bisa bicara, mendadak ia menggerung keras, sebuah benda
menyembur keluar dari mulutnya, "Ting", jatuh di lantai, jelas adalah
sebatang paku segitiga penembus tulang.
Tenggelam perasaan Hong
Si-nio, perlahan ia mengangkat kepala, di keremangan malam di luar sana ia
lihat bayangan seorang di tengah tabir gelap dengan mukanya yang mengkilap
ditimpa cahaya rembulan.
Begitu keluar pintu Ciang Hing
lantas kepergok orang ini, baru saja mulut terpentang hendak bersuara, paku
segitiga itu sudah menyambar masuk ke mulutnya dan tepat mengenai lidahnya.
Hong Si-nio mengepal tinju,
terasa mulutnya kering lagi getir, derita yang dirasakan Ciang Hing seperti
dirasakan pula olehnya.
Orang baju hitam di luar itu
mendadak bersuara, "Kau ingin menolong jiwanya tidak?"
Hong Si-nio manggut-manggut.
"Baik, potong dulu
lidahnya, kalau terlambat tak tertolong lagi."
Tak urung Hong Si-nio bergidik
dibuatnya, ia tahu untuk menolong jiwa Ciang Hing memang harus memotong dulu
lidahnya supaya racun tidak merembes ke jantung.
Mendadak Sim Bik-kun mengertak
gigi, dari pinggir sepatu Ciang Hing ia mencabut sebilah belati, dimana
tangannya bergerak ia cekik leher di bawah dagunya, sehingga Ciang Hing membuka
mulut lebar. Dimana sinar belati berkelebat, lidahnya yang sudah membengkak
hitam besar terpotong jatuh ke lantai. "Klotak", ujung lidah itu
sudah mengeras kaku, Ciang Hing mengerang sekali lalu semaput.
Hong Si-nio mengawasinya dengan
terbelalak, serunya, "Kau... kau tega turun tangan?"
"Terpaksa harus turun
tangan, aku tak bisa melihat dia mati."
Hong Si-nio termenung,
mendadak ia sadar membandingkan antara mereka berdua, siapa lemah di antara
mereka berdua, kini ia mulai sadar, ternyata Sim Bik-kun bukan wanita lemah.
Ada sementara orang, secara lahir kelihatan lemah lembut, tapi pada detik-detik
genting, kadang bisa melakukan perbuatan yang tak pernah terduga oleh siapa
pun.
Berada di luar, orang baju
hitam mengawasi mereka, dengan dingin berkata, "Sekarang kalian boleh ikut
aku pergi."
"Ikut engkau? Siapa sih
engkau?" tanya Hong Si-nio.
"Aku yakin engkau tahu
siapa diriku."
"Memangnya kau ini Thian
Sun? Benar-benar Thian Sun?"
"Bu-siang-thian-sun,
sin-gwa-hoa-sin, cin-ce-si-ke, ke-ce-si-cin," si baju hitam berdendang.
Yang artinya Thian Sun tak berwujud, badan di luar bentuk badan, yang tulen
itulah palsu, yang palsu juga adalah tulen.
Berputar bola mata Hong
Si-nio, katanya, "Tahukah engkau siapa diriku?"
"Hong Si-nio bukan?"
ujar si baju hitam.
"Jadi kau tahu siapa
diriku, pernah melihat roman mukaku, apa salahnya kau beri kesempatan aku
melihat wajahmu?"
"Cepat atau lambat, entah
kapan kau akan bisa melihat mukaku."
"Sekarang biar kulihat
dulu mukamu, nanti kuikut kau pergi."
"Kalau tidak?"
"Permintaanku tidak
terkabul, kenapa aku harus mengabulkan permintaanmu?"
"Jadi kau tidak mau ikut
aku?"
"Kau ingin aku ikut, aku
justru ingin duduk santai di sini, memangnya apa yang bisa kau lakukan?"
Sembari bicara ia tarik sebuah
kursi lalu duduk dengan santai, seperti anak kecil yang aleman terhadap orang
tuanya.
Dengan caranya ini banyak ia
menghadapi lelaki, tiap kali praktek tak pernah gagal sekalipun. Jarang lelaki
yang cemberut muka menghadapi cewek ayu yang aleman di hadapannya.
Si baju hitam justru
terkecuali, dengan dingin ia menyeringai, "Kau ingin tahu aku bisa berbuat
apa terhadapmu, begitu?"
Hong Si-nio mengeluarkan suara
di tenggorokan.
"Baik, coba lihat,"
jengek si baju hitam, sambil menyeringai ia melangkah masuk, mukanya yang
mengkilap kelihatan menakutkan, ternyata sepasang tangannya juga amat
menakutkan.
Siapa pun yang mengawasi
mukanya pasti bergidik seram, sorot matamu menjadi guram, kalau mengawasinya
saja tidak begitu jelas, bagaimana mungkin kau bisa bergebrak dengannya?
Tak tahan Hong Si-nio
berjingkrak murka, teriaknya. "Berani kau kurang ajar terhadapku?"
"Bukan hanya kurang ajar,
malah sangat kurang ajar," jengek si baju hitam dingin.
"Di antara empat Thian
Sun yang tulen atau palsu tadi, bukankah satu di antaranya pernah naik ke
Cui-gwat-lo?"
"Hm," si baju hitam
mendengus hidung.
"Kau tahu bagaimana
nasibnya sekarang?"
"Mampus maksudmu?"
"Kau tahu bagaimana dia
mampus?"
Si baju hitam menggeleng
kepala. "Karena mimpi pun ia tidak menduga, sejurus saja tak mampu
melawan, begitu kami bergerak, jiwanya lantas melayang," tutur katanya
lincah, membuat orang yang mendengar percaya. Hong Si-nio memang ahli main
sandiwara, apalagi aleman di hadapan lelaki.
Sayang ia belum melihat apakah
si baju hitam sudah terbujuk oleh rayuannya, maka ia bertanya lagi,
"Bagaimana kepandaianmu dibanding dia?"
"Ya, setanding,"
sahut si baju hitam.
"Tempat ini bukan
Cui-gwat-lo, tapi kalau berani maju setindak lagi, biar kulumat jiwamu di
tanganku."
"Apa benar?" jengek
si baju hitam.
"Jelas benar," seru
Hong Si-nio.
"Satu langkah aku maju ke
depan, jiwaku pasti melayang?"
"Tidak akan salah."
Si baju hitam segera melangkah
maju satu tindak.
Perut Hong Si-nio seperti
mengkeret, ia insaf dalam kondisi seperti ini dirinya terpaksa harus turun
tangan, sekilas ia berpaling ke arah Sim Bik-kun, Sim Bik-kun juga tengah
mengawasinya, mereka berdua serempak turun tangan bersama, mereka menubruk ke
arah si baju hitam, maklum dua cewek ini bukan perempuan lemah yang gentar
diterpa angin.
Secara nyata ilmu silat mereka
mestinya terhitung kelas satu di kalangan Kangouw, kalau si baju hitam yang
satu ini setingkat dengan si baju hitam yang mampus di Cui-gwat-lo itu, padahal
secara nyata si baju hitam itu tak mampu menghadapi rangsekan bersama serangan
Siau Cap-it Long dengan Lian Shia-pik, berarti kesempatan menang dua cewek ini
jelas boleh diperhitungkan.
Hong Si-nio berharap hanya
dalam setengah jurus saja dirinya dapat merebut kesempatan, sepuluh jurus
kemudian berhasil merobohkan lawan yang satu ini.
Begitu menerkam ke depan,
sepasang telapak tangannya merangsek dengan serangan gencar, telapak tangannya
menari bagai kupu-kupu mengitari bunga, jurus awal menggunakan serangan
pancingan menunggu reaksi lawan menemukan lubang kelemahannya lalu menyergap.
Jurus permainan kungfu Hong Si-nio memang ajaran murni dari aliran Koan-im
cabang Lam-hay, jurusnya beraneka perubahannya ruwet, gayanya indah mempesona.
Jurus Hoa-hu-ping-hun,
Ou-tiap-siang-hwi atau hujan bunga dan air berhamburan, kupu-kupu terbang
berpasangan, merupakan ilmu pukulan murni dari kepandaiannya yang tulen,
kelihatannya kosong padahal berisi, serangannya berisi tapi kadang hanya
gertakan belaka, isi kosong, kosong isi tidak menentu dan susah diraba juntrungannya.
Siapa tahu, baru saja jurus permainan dilancarkan, mendadak ia rasakan di depan
matanya seperti terjadi hujan air dan bunga berhamburan, pergelangan tangannya
tahu-tahu tercengkeram oleh jari-jari yang dingin, keras bagai besi, jari yang
lain dengan tepat menutuk Giok-sim-hoat di belakang lehernya.
Hong Si-nio tidak langsung
roboh semaput, sekilas itu otaknya terbayang akan Siau Cap-it Long. Sekarang
baru ia insaf betapa jauh jarak kepandaian silatnya dibanding Siau Cap-it Long.
"Siau Cap-it Long, dimana
engkau," demikian pekik Hong Si-nio sekuatnya, sayang suaranya tidak
keluar dari tenggorokan.
Lekas sekali hujan air dan
bunga di depan matanya lenyap tak berbekas, pandangannya kini terasa gelap,
gelap yang tak berujung pangkal.
* * * * *
Di pantai utara Se-ouw
terdapat sebuah Po-ciok-san, di antara lamping gunung Po-ciok-san dibangun
sebuah pagoda yang dinamakan Po-siok-tha, di bawah Po-siok-tha, di pinggir
kanan terdapat sebuah Lay-hong-thing.
Saat itu Siau Cap-it Long
berada di sana.
XXX. SARANG NAGA GUA HARIMAU
Sebuah perahu panjang meluncur
di permukaan air, ditelan tabir malam, meluncur menyusuri tepian bagian utara.
melewati Se-ling-kio terus meluncur ke kiri berlabuh di bawah Po-ciok-san.
Perjalanan ini tidak dekat,
perahu itu dikayuh dengan kecepatan cukup tinggi, tapi sepanjang jalan Siau
Cap-it Long masih dapat mengejarnya dengan ketat hingga tiba di tempat ini.
Sebuah tandu kecil yang
dipikul dua orang sejak tadi sudah menunggu kedatangannya.
Begitu meninggalkan perahu,
melompat ke daratan, si baju hitam naik ke tandu, bocah pembawa lampion terus
membuntutinya di belakang tandu, sementara itu tukang perahu menggerakkan galah
panjangnya di air, perahu itu segera meluncur jauh ke tengah danau.
Pemikul tandu adalah lelaki
berperawakan tegar berpakaian hitam ketat dengan tali pinggang merah,
mengenakan sepatu laras tinggi warna hitam pula, kepalanya mengenakan caping
rumput lebar, baju di depan dadanya dibiarkan terbuka, menunjukkan kulit
dadanya yang keras mengkilap karena keringat. Jalan pegunungan jelas sukar
ditapak, tapi langkah mereka begitu enteng, cekatan seperti beranjak di tanah
datar layaknya.
Tandu itu pasti tidak ringan,
tapi di pundak kedua orang ini seperti memikul keranjang kosong.
Mengamati gerak-gerik kedua
orang ini, Siau Cap-it Long menyadari kekuatan kaki kedua orang ini pasti tidak
asor dibanding kepandaian jago Kangouw kelas satu zaman itu.
Thian Cong merupakan sarang
naga gua harimau, tidak sedikit jago-jago kelas wahid yang berkumpul di sini.
Menyusuri jalanan kecil yang
berlika-liku terus naik ke atas, kedua pemikul tandu terus beranjak ke atas
menuju ke Po-siok-tha yang ditimpa penerangan cahaya rembulan.
Siau Cap-it Long belum tidur,
belum makan, hampir satu setengah jam ia mengayuh perahunya membuntuti musuh
sampai di sini, semestinya juga merasa lelah. Umpama badannya dibangun dari
besi juga akan merasa penat, perlu istirahat.
Siau Cap-it Long tidak.
Dalam darahnya seperti
mengalir kekuatan yang mendukung segala aktivitasnya tanpa batas, kalau ia tidak
rela roboh, tiada seorang pun dapat merobohkan dirinya.
Di bawah penerangan cahaya
rembulan, Po-siok-tha kelihatan begitu indah mempesona, di depan pagoda berdiri
satu paseban, dalam paseban seperti ada bayangan orang, siapa dia tidak
terlihat jelas, karena cahaya rembulan teraling oleh bayangan pagoda, dilihat
dari kejauhan, bayangan orang dalam paseban jadi lamat-lamat, seperti ada juga
seperti tiada.
Sepanjang jalan kedua pemikul
tandu berlenggang tak kenal lelah, menyusuri jalan berbatu yang ditimpa sinar
bulan tanpa mengeluarkan suara.
Malam semakin larut.
Siau Cap-it Long terus
mengikuti ke depan, bocah yang menenteng lampion, meski cahayanya redup, tapi
cukup menuntunnya untuk menentukan arah.
Apakah di puncak Po-ciok-san
ini Thian Cong juga mendirikan cabang rahasianya?
Kalau kedua pemikul tandu
melangkah enteng bagai terbang, sementara bocah penenteng lampion terus
membuntuti tanpa ketinggalan.
Alam sekelilingnya sunyi
senyap, pada saat itulah, sinar api dalam lampion putih yang dibawa si bocah
tiba-tiba padam.
Pemikul tandu akhirnya
menghentikan langkah, dilihatnya si bocah tetap mengangkat tinggi lampion putih
yang apinya sudah padam, berdiri diam tak bergerak. Si baju hitam berkata,
"Coba periksa, apakah lilinnya habis?"
Suaranya runcing mirip suara
perempuan. Terdengar si baju hitam berkata pula, "Lekas ambilkan lilin dan
sulut lagi."
Dua kali si baju hitam
berbicara, tapi bocah penenteng lampion diam saja tanpa memberi reaksi, tetap
berdiri di tempatnya.
Pemikul di belakang tiba-tiba
menimbrung, "Memangnya bocah ini bisa tidur sambil berdiri? Biar
kuperiksa."
Serempak kedua orang
menurunkan tandu, pemikul di belakang lebih dekat, maka ia maju ke depan si
bocah penenteng lampion, tangannya diulur menepuk pundak orang sembari berkata,
"Kau...."
Baru sepatah kata, suaranya
mendadak putus, seperti mulutnya mendadak disumbat suatu benda. Penenteng
lampion mematung di sana, pemikul tandu juga mematung di sana
Pemikul di depan
geleng-geleng, segera ia datang menghampiri, begitu berada di depan mereka
berdua, mendadak badannya menjadi kaku dengan mata terbeliak dan badan kaku
mirip orang yang mendadak kena sihir.
Tiga orang itu seperti
terpengaruh sihir yang aneh luar biasa berubah menjadi manusia kayu, tingkah
dan gaya mereka sungguh membuat orang yang melihatnya ngeri dan seram.
Siau Cap-it Long menyaksikan
dari kejauhan, tak urung ikut merasa takjub, kaget lagi heran, tokoh selihai
dia pun tak tahu apa sebenarnya yang terjadi.
Memangnya badan Siau Cap-it
Long basah kuyup, menghadapi misteri yang menegangkan ini, tanpa sadar badannya
menggigil kedinginan.
Sementara itu si baju hitam
tetap duduk di tandu tanpa gerak.
Apakah dia juga kena sihir?
Hampir tak tahan, Siau Cap-it
Long ingin melompat maju memeriksa, si baju hitam mendadak menjengek dingin,
"Bagus, serangan bagus. Kik-khong-tiam-hiat (menutuk jalan darah dari
jarak jauh), Bi-liap-siang-jin (butir beras melukai orang), tokoh kosen seperti
ini, kenapa main sembunyi mirip panca-longok?"
Kali ini ia bicara cukup
panjang, terdengar jelas memang suara perempuan, hanya waktu bicara sengaja
suaranya diibikin serak saja. Apakah Cong-cu (ketua) Thian Cong seorang
perempuan?
Dia bicara dengan siapa?
Dari dalam Lay-hong-thing
seorang mendadak berkata, "Sejak tadi aku berada di sini, kau tidak
melihat?"
Seorang melangkah keluar dari
kegelapan, baju blaco celana putih, tangannya menenteng lembaran kain putih,
panji-panji yang menari ditiup angin, meski cahaya rembulan guram, delapan
huruf merah di kain putih panji itu masih terbaca jelas,
"Siang-tong-jong-im, He-sit-kiu-yu".
Orang ini ternyata bukan lain
adalah si buta peramal, ilmu silatnya tinggi, sepak terjangnya misterius.
Bagaimana mungkin si buta ini
mendadak muncul di tempat ini?
Apa betul dia adalah
Siau-yau-hou Thian-ci-cu yang mahir dan menguasai Kiu-coan-hoan-thong,
Bu-siang-sin-kang itu?
Kenapa dia berada di sini,
seperti sengaja menunggu kedatangan si baju hitam.
Melihat orang mendadak muncul,
si baju hitam kelihatan mengejang sekejap, agak lama kemudian baru menarik
napas dan berkata, "Kaukah?"
Dingin suara si buta,
"Kau masih mengenalku?"
Akhirnya si baju hitam turun
dari tandu, kedua tangan digendong di belakang punggung, beranjak masuk ke
dalam paseban, suaranya terdengar sember, "Kau juga mengenaliku?"
Si buta menyeringai,
"Kalau aku tidak mengenalimu, siapa sanggup mengenalimu?"
Si baju hitam menghela napas,
katanya, "Betul, kalau kau tidak mengenaliku, siapa bisa
mengenaliku."
"Sekarang aku sudah
datang, coba jelaskan, bagaimana membereskannya?"
"Kan milikmu, pantasnya
aku mengembalikan kepadamu."
"Jangan lupa. jiwa ragamu
pun menjadi milikku."
"Aku tidak lupa,"
ujar si baju hitam, "aku tidak mungkin lupa."
"Dengan sepasang tangan
ini aku membangun Thian Cong, kau...."
Mendadak si baju hitam memotong
perkataannya, "Darimana kau tahu aku berada di Thian Cong?"
"Kecuali dirimu, siapa
lagi orang di dunia ini yang tahu rahasia Thian Cong?"
Si baju hitam menundukkan
kepala, mulutnya bungkam.
Di tengah malam nan sunyi,
cukup panjang percakapan mereka, angin gunung menghembus kencang, hawa dingin
menembus tulang, Siau Cap-it Long mengikuti percakapan mereka dengan jelas.
Tiap patah kata yang
terucapkan mereka, jelas mengandung banyak rahasia yang susah dicerna orang
lain, rahasia yang menakutkan, rahasia yang mengerikan.
Makin mendengar bulu kuduk
Siau Cap-it Long mengkirik seram, bukan hanya kaki tangan dingin, hati dingin,
otaknya juga seperti menjadi beku.
Mendadak si baju hitam
berkata, "Kau ... betul kau ingin aku mati?"
Si buta menjawab, "Aku
sudah mati sekali, tentunya sekarang giliranmu."
"Memangnya aku belum
pernah mati sekali? Kenapa kau memaksaku ...." Sampai di sini mendadak ia
turun tangan, menebarkan cahaya kemilau dingin, sementara badannya secepat
kilat berputar mengitari paseban dua lingkaran, mendadak bayangannya menghilang
entah kemana.
Si buta menjejak bumi,
badannya melambung berjumpalitan di angkasa, menghindari sergapan senjata
rahasia orang, di tengah udara ia membentak, "Berani kau membokongku? Kau
...."
Dalam paseban tinggal satu
orang, tapi mulutnya masih mencaci maki, jelas tiada sambutan atau reaksi orang
lain. Begitu angin gunung berhembus, si buta mendadak berhenti sambil tutup
mulut, akhirnya ia sadar si baju hitam telah minggat.
Seorang diri ia berdiri di
tengah kegelapan, kelihatan betapa menyedihkan, sungguh kasihan, sungguh
kenakutkan, mendadak ia menengadah bergelak tawa, serunya, "Jangan lupa,
tiga ratus enam puluh cabang Thian Cong semua aku yang mendirikan, memangnya
kau bisa lari kemana?"
Loroh tawanya terdengar pilu,
dengan cepat ia bergerak mengitari paseban dua kali, mendadak bayangannya pun
menghilang entah kemana.
Angin berhembus kencang,
bintang-bintang sudah menghilang di angkasa.
Pemikul tandu dan bocah
penenteng lampion masih tetap berdiri mematung di tempatnya, di bawah cahaya
rembulan, tampak betapa mengerikan roman muka mereka, mata melotot, mulut
terbuka lebar, seperti sedang melolong kesakitan, seperti juga sedang minta
tolong.
Siau Cap-it Long mendekat,
tangan diulur, dengan enteng ia tepuk puncak si bocah, badan si bocah roboh
menyentuh pemikul pertama, pemikul pertama menyentuh pemikul kedua, tiga orang
sama-sama roboh kaku, sekujur badan sudah kaku dingin, sepertinya tertutuk
jalan darahnya dengan jarum berbisa, begitu racun bekerja jiwa pun melayang.
Betapa mengerikan senjata
rahasia itu, sungguh tak terbayangkan kehebatannya.
Bahwa si baju hitam dan si
buta dua-duanya bisa menghilang tanpa bekas, kejadian ini sungguh sukar
diterima dengan akal sehat.
Dengan langkah mantap Siau Cap-it
Long mendekati paseban, berdiri di tempat tadi si baju hitam berdiri, mendadak
mulut menghardik, tangan membalik mencabut golok.
Sinar golok meluncur seperti
lembayung, di tengah deru anginnya yang kencang, beruntun terdengar suara
"cras, cras, cras" enam kali, enam tiang paseban segi enam itu
tertabas putus seluruhnya. Di tengah suara gemuruh runtuhnya atap paseban, satu
di antara enam tiang itu ternyata berlubang bagian tengahnya, di bawah lubang
itu ditemukan sebuah lorong bawah tanah.
Lorong rahasia yang dibangun
di bawah tiang memang dibuat sedemikian rupa bagusnya, kalau bukan seorang ahli
teknik jelas takkan bisa menemukan letak rahasia kuncinya, tiga hari tiga malam
jangan harap bisa menemukan lorong bawah tanah itu. Bahwasanya Siau Cap-it Long
tidak perlu mencari, dengan cara yang gampang dan langsung ia bongkar semua
rahasia itu.
Siau Cap-it Long hanya
menggunakan golok, di dunia ini, kekuatan mana yang mampu menandingi ketajaman,
kehebatan tabasan golok Siau Cap-it Long.
Lorong bawah tanah itu lembab
dingin, cahaya sinar matahari takkan pernah bisa masuk ke tempat ini, angin pun
takan berhembus sampai di sini.
Dari puncak gunung yang
diterangi cahaya rembulan, turun sampai di sini, layaknya masuk ke sebuah
kuburan, lebih layak kalau diartikan masuk ke neraka.
Siau Cap-it Long tidak peduli,
dengan langkah lebar ia masuk ke dalam lorong.
Asal dapat membongkar rahasia
ini, dia rela terjeblos ke dalam neraka.
Menyusuri undakan yang
menjulur panjang ke bawah, makin rendah makin gelap, di sini tiada setitik
sinar, tak terlihat ada bayangan orang, di ujung undakan teraling dinding,
waktu ia meraba dengan jari tangan, terasa itulah sebuah patung Buddha dari
batu.
Dimana orangnya?
Si baju hitam dan si buta
apakah ditelan oleh setan iblis yang bersembunyi dalam kegelapan?
Siau Cap-it Long memejamkan
mata, perlahan ia menarik napas panjang, waktu membuka mata pula, lapat-lapat
ia dapat membedakan bentuk patung Buddha itu.
Sejak lahir Cap-it Long
memiliki sepasang mata tajam, apalagi sekarang Lwekangnya teramat tinggi, di
tengah gelap yang paling pekat sekalipun ia dapat melihat bayangan yang tidak
mungkin terlihat orang lain.
Patung Buddha yang teramat
besar seperti sedang mengawasi dirinya dari atas, kepala tertunduk, sikapnya
seperti dirundung masalah serius, entah sedang gusar karena terasing di tempat
nan dingin ini atau penasaran karena di tempat yang tidak terawat ini dirinya
terasing dari dunia ramai.
Kalau kehadiranmu di sini
benar-benar sakral, kenapa tidak memberi petunjuk menolong kesulitan orang?
Buat apa duduk menyepi tanpa peduli manusia umumnya berbuat jahat di depan
matamu?
Bukankah banyak orang di dunia
ini mirip dengan patung batu ini, selalu cuci tangan menonton saja, membisu
tuli tanpa mau mencampuri urusan manusia.
Menghadapi patung besar di
hadapannya, Siau Cap-it Long tertawa dingin, "Kulihat kau ini hanya
seonggok batu yang bodoh, berdasar apa aku harus menghormat kepadamu."
Patung batu tetap duduk diam,
anteng dan tenang. Entah sudah berapa lama duduk di sini, selama ini belum
pernah ada orang, untuk persoalan apapun tidak pernah mengganggu ketenanganmu.
Siau Cap-it Long menggenggam
gagang goloknya, "Selama hidup manusia di dunia ini selalu diliputi
bencana dan sengsara, tiap orang akan selalu merasakan siksa derita, kenapa
hanya kau terkecuali?"
Entah kenapa timbul angkara
murka dalam sanubarinya, amarah yang membakar relung sanubarinya, tanpa sadar
ia mencabut pula goloknya, dengan goloknya ia ingin membabat hancur seluruh
angkara di dunia fana ini.
Sinar golok berkelebat, bunga
api berpijar, bacokan goloknya tepat mengenai dada patung batu yang bidang itu.
Di tengah kegelapan, mendadak
berkumandang suara rintih yang lirih. Lorong panjang ini jelas tiada orang
lain, apakah suara rintihan itu datang dari patung batu ini?
Apakah patung batu yang bisu
tuli ini, akhirnya bisa merasakan sengsara orang lain?
Waktu Siau Cap-it Long
mencabut goloknya, jari-jemarinya terasa basah oleh keringat.
Begitu goloknya menusuk tembus
ke dalam batu, setelah dicabut tentu meninggalkan celah lubang. Demikian pula
dengan golok Siau Cap-it Long, di tempat mana pun golok itu membacok atau
menusuk, pasti akan meninggalkan lubang yang mematikan. Dari lubang luka bekas
tusukan goloknya, bukan darah yang mengalir keluar, tapi selarik sinar kemilau
yang guram.
Terdengar pula suara rintih.
Suara rintih keluar dari celah
lubang golok tusukan Siau Cap-it Long.
Mata Siau Cap-it Long menjadi
benderang, kembali ia mengayun golok berulang, pecahan batu berhamburan, cahaya
makin benderang, wajah patung batu itu makin kelihatan jelas, muka patung kini
mulai tampak tersenyum. Walau dadanya terbelah, justru memberi petunjuk
berharga bagi Siau Cap-it Long.
Dia berkorban diri menerangi
orang lain, umpama dia bukan seonggok batu keras, sekarang yakin sudah menjadi
patung dewa.
Sinar lampu yang gemerdep di
tengah kegelapan, kelihatan mirip cahaya emas yang kemilau di istana nan megah
cemerlang.
Cahaya cemerlang keemasan itu
menyorot keluar dari lubang yang dibuat Siau Cap-it Long di dada bidang patung
batu besar itu.
Dimana ada pelita, di situ
pasti ada orang.
Siau Cap-it Long menerobos
masuk lewat lubang yang dibuatnya, masuk ke lubang kubur dalam kuburan, masuk
neraka dalam neraka.
Pelita berada di dinding,
orang berada di bawah pelita emas itu.
Cahaya lampu lembut biarpun
redup, orangnya justru sudah kaku dingin. Mayat si buta tampak meringkuk,
sepertinya mengkeret jadi kecil, sebilan pisau perak menancap di hulu hatinya,
pisau itu sudah ia cabut keluar sendiri, darah masih menetes di ujung pisau.
Ternyata darahnya juga
berwarna merah.
Waktu jari-jari tangannya
dibuka, pisau perak itu diambilnya, darah segar berlepotan di telapak
tangannya, mengalir di antara jari-jari tangannya, membentuk sebuah huruf
Thian.
Si buta ternyata bukan lain,
betul adalah Siau-yau-hou Kosu Thian adanya.
Ternyata dia tidak mampus di
dasar Sat-jin-gay, jurang yang ribuan meter dalamnya itu, kini mampus di bawah
lorong gelap nan dingin.
Tangannya yang satu masih
menggenggam kencang sebelah tangan si baju hitam.
Tangan si baju hitam juga
sudah kaku dingin, tutup mukanya masih memancarkan cahaya kemilau.
Waktu topeng penutup mukanya
disingkap, yang tersembunyi di baliknya adalah seraut wajah memucat putih nan
cantik jelita, sepasang bola matanya yang melotot seperti mengawasi Siau Cap-it
Long, rona matanya seperti mengandung perasaan yang sukar diterima oleh akal
sehat, entah murka? Ketakutan? Atau sedih?
Ketua generasi kedua Thian
Cong, ternyata memang benar adalah Pin-pin.
Kedok yang mengkilap itu jatuh
di tanah, telapak tangan Siau Cap-it Long basah oleh keringat dingin. Keringat
dingin yang lebih dingin dibanding darah.
Setengah bulan yang lalu, Siau
Cap-it Long sendiri mungkin tidak tahu kalau dirinya bakal berada di
Cui-gwat-lo, bagaimana mungkin ada orang membocorkan jejaknya?
Sebab aktivitasnya selama ini,
seluruhnya diatur oleh Pin-pin.
Para pengkhianat Thian Cong,
bagaimana mungkin terbunuh seluruhnya di tangan Siau Cap-it Long?
Sebab Pin-pin menghendaki Siau
Cap-it Long membunuh mereka semua.
Kecuali Thian-ci-eu, memang
hanya Pin-pin seorang yang tahu rahasia Thian Cong.
Dengan memperalat Siau Cap-it
Long, ia membunuh mereka yang tidak tunduk dan patuh pada dirinya, dengan Siau
Cap-it Long sebagai umpan, ia menuntun perhatian orang lain, secara diam-diam
ia mengatur tipu daya.
Bila akhirnya ia merasa Siau
Cap-it Long sudah tidak bermanfaat lagi bagi dirinya, diam-diam ia menyingkir,
lalu mengatur tipu daya memperalat Lian Shia-pik untuk membunuhnya, membabat
rumput sampai ke akar-akarnya.
Rencananya memang rumit, rapi
dan ces-pleng. Betapapun rapi rencananya, tak pernah terpikir olehnya, bahwa
Siau-yau-hou ternyata masih hidup, mencari dan membuat perhitungan terhadapnya.
Kini kakak beradik sama-sama
mampus di tangan masing-masing, budi dendam di antara mereka sudah berakhir,
tamat mengikuti jiwa yang melayang, semua rahasia kini telah terbongkar dan
memperoleh jawabannya.
Kalau dicerna dan dirasakan
dengan cermat, hanya itulah jawaban yang patut dan pantas diterima.
Akhir kisah ini adalah akhir
satu-satunya yang bisa diterima secara umum, memangnya belum puas menerima
akhir kisah ini?
Mungkin hanya Siau Cap-it Long
seorang.
Dengan mendelong ia berdiri
menghadapi dua mayat orang, rona mukanya mengunjuk perasaan yang tidak bisa
dijelaskan dengan rangkaian kata nan panjang.
Apa yang sedang ia pikirkan
dalam hati?
Tangan orang mati, masih
saling genggam.
Apakah menjelang ajal kakak
beradik ini sadar dan saling mengerti, hakikatnya mereka adalah saudara sedarah
sedaging. Waktu tangan mereka dibuka, baru terlihat ternyata jari-jari mereka
sama menggenggam tongkat besi yang menjulur keluar dari celah-celah dinding
batu.
Begitu Siau Cap-it Long
melepas pegangan tangan mereka, tongkat besi itu mendadak menyendal naik, tanpa
mengeluarkan suara selembar besi baja besar melorot turun, "Blang",
berdentam keras menyentuh bumi, menutup jalan keluar, jalan satu-satunya untuk
keluar dari lorong bawah tanah ini.
Setelah mati, dua saudara
kakak beradik ini ternyata menginginkan pengiring seorang Siau Cap-it Long
dalam kuburnya.
Sesal, dendam permusuhan telah
berakhir, semua tipu muslihat telah terbongkar, cinta kasih dan persahabatan
sudah berubah kosong, masihkah ada yang berharga dalam kehidupan ini?
Siau Cap-it Long duduk
menggelendot di dinding batu, dinding batu nan dingin, cahaya api semakin
guram.
Pikiran Siau Cap-it Long
kosong, tiada rasa sedih, pilu atau amarah, tiada rasa takut.
Sekarang satu-satunya yang ia
tunggu hanya kematian. Bagi dirinya mati bukan hal yang menakutkan, tak perlu
dibuat sedih atau marah.
Entah berapa lama kemudian,
api akhirnya padam, alam semesta kembali menjadi gelap gulita.
Memangnya kenapa kalau gelap?
Kalau mati sudah bukan menjadi ganjalan, apa artinya kegelapan?
Siau Cap-it Long merasa ingin
tertawa, tertawa lebar, habis tertawa lalu menangis, habis menangis berteriak,
berteriak keras, melolong panjang, kenyataan ia tetap duduk mematung tanpa
bergerak.
Rasa penat merasuk sekujur
badan, lelah yang amat sangat.
Dia pernah mencintai orang,
juga dicintai orang.
Peduli mencintai atau
dicintai, cinta adalah perasaan nan agung dari lembar kehidupan manusia yang
paling suci dan bersih.
Dia pernah merasa terhina,
pernah merasa bangga, siapa pun dia kalau bisa hidup sepanjang hayat di kandung
badan seperti dirinya, patut merasa puas dan bangga.
Sayang sekali, sekarang belum
tiba saatnya ia harus ajal dengan percuma.
Sekonyong-konyong dari atas
berkumandang teriakan kaget seorang, menyusul selarik cahaya menyorot masuk
menyinari badannya.
Dia dapat merasakan hangatnya
cahaya mentari, juga jelas mendengar teriakan kaget dan senang seorang di atas,
"Siau Cap-it Long, Siau Cap-it Long masih hidup." Menyusul seorang
melompat turun, membimbing badannya berduduk, dia bukan lain adalah Lian
Shia-pik. dari gerak dan suaranya ia mengenal siapa dia.
Tapi kelopak matanya seperti
diganduli benda berat ribuan kati, tak kuasa ia membuka mata, tekanan yang
berat luar biasa melebihi tabir kegelapan seperti menindih sanubarinya,
menindih tepat di atas dadanya.
Ia merasa badannya amat penat,
amat lelah, lelah sekali....
Sayang kegelapan seperti
mendadak meninggalkan dirinya, tiba-tiba ia merasakan napasnya dapat menghirup
hawa segar yang berbau harum, mirip saat dirinya berada di hutan waktu muda
dulu, hawa segar di ladang liar yang belum pernah dijamah manusia.
Sekarang ia bukan lagi anak
muda seperti pengalamannya dahulu. Tempat ini bukan ladang atau hutan liar yang
luas.
Di sekitar dirinya ia merasa
banyak orang sedang berkerumun saling celoteh entah persoalan apa yang
diperbincangkan, ia tidak jelas mendengar percakapan mereka, namun yang jelas
ia mendengar setiap orang yang bicara tentu tak lepas menyebut nama Siau Cap-it
Long.
Sekonyong-konyong suara
seorang menekan pembicaraan banyak orang, ia tidak melihat siapa dia tapi ia
mengenal suara orang ini. Siapa lagi kalau bukan Lian Shia-pik.
Suaranya kalem jelas tapi
bertenaga, "Sekarang tentu kalian sudah tahu, Siau Cap-it Long juga
dijebak dan dicelakai orang, yang membuatnya celaka bukan lain adalah adik
sepupu Siau-yau-hou yang bernama Kosu Pin, yaitu ketua generasi, kedua dari
Thian Cong. Jadi persoalan Cayhe dengan Siau Cap-it Long, meski cukup lama tak
terselesaikan, tapi sekarang semua peristiwa itu telah berlalu, masa lalu
biarlah menjadi kenangan. Menaruh golok bersumpah menjadi umat Buddha yang
soleh, aku hanya mengharap...”
Siau Cap-it Long tidak
mendengar jelas perkataan selanjutnya, ia hanya berharap selekasnya
meninggalkan tempat ini, meninggalkan kehidupan, meninggalkan mereka, ia tidak
ingin berhadapan lagi dengan tokoh-tokoh kosen, orang-orang gagah ....
Mendadak ia melompat berdiri
menghampiri Lian Shia-pik, katanya, "Kau menolongku, aku berhutang nyawa
kepadamu." Habis bicara tanpa menoleh lagi ia beranjak pergi dengan
langkah cepat.
Untuk bertahan hidup memang
bukan hal yang mudah, tapi ia bersumpah akan terus mempertahankan jiwa raga.
Sebab ia berhutang nyawa
kepada orang.
Sepanjang jalan hidupnya, Siau
Cap-it Long belum pernah berhutang kepada orang lain, hutang macam apapun, ia
akan selalu berusaha untuk melunasinya.
Mentari sudah doyong ke barat,
senja telah menjelang.
Air yang mengalir di bawah
jembatan Se-ling-kio terasa makin dingin, rumput yang bertebaran di ladang
ilalang di musim rontok mulai menguning.
Rembulan sudah menongol dari
peraduannya..
Kapal besar Cui-gwat-lo entah
masih berlabuh di dermaga semula tidak?
Apakah Hong Si-nio masih
menunggu dirinya di sana?
Perahu kecil panjang itu
meluncur di permukaan air, cuaca di danau Se-ouw terasa sejuk, Siau Cap-it Long
berada di perahu kecil itu.
Peduli mati atau hidup, tetap
tinggal di sini atau mau pergi entah kemana, sekali-kali ia pantang
meninggalkan Hong Si-nio begitu saja.
Cuaca belum seluruhnya gelap,
cahaya lampu sudah menyala di Cui-gwat-lo, sayup-sayup seperti berkumandang
seorang bersenandung.
Perahu kecil itu terus
meluncur makin dekat, di buritan kapal besar seorang menghaidik dengan lantang,
"Siau-kongcu sedang menjamu para tamu di sini, orang-orang yang tidak
berkepentingan diharap menyingkir."
Siau Cap-it Long berkata,
"Muncul lagi Siau-kongcu yang menjamu para tamu di sini? Siau-kongcu yang
mana?"
Dengan pongah lelaki di
buritan itu berkata, "Siapa lagi, sudah tentu Siau Cap-ji Long yang
terkenal sebagai pendekar angkatan muda itu."
Siau Cap-it Long tertawa
lebar.
Ia sendiri heran kenapa
dirinya bisa tertawa geli, tapi kenyataan ia memang sedang tertawa, tertawa
lebar.
Gelak tawanya mengejutkan
orang-orang dalam kabin, seorang dengan menggendong tangan melangkah keluar,
sikapnya angkuh, pakaiannya perlente, masih muda, membusung dada, siapa lagi
kalau bukan Siau Cap-ji Long.
Begitu melihat Siau Cap-it
Long, senyum lebar seketika menghias wajahnya yang cakap, sikapnya berubah
hormat dan sungkan, serunya, "Kau telah datang."
"Kau tahu aku akan
datang?" tanya Siau Cap-it Long.
"Seorang meninggalkan
sepucuk surat untukmu, minta aku menyerahkan kepadamu," demikian kata Siau
Cap-ji Long.
"Surat dari siapa?"
tanya Siau Cap-it Long.
"Orang yang mengantar
surat ini." sahut Siau Cap-it Long. Jawabannya sungguh jenaka, namun
sikapnya serius, dengan laku hormat dengan kedua tangannya ia mengangsurkan
surat itu kepada Siau Cap-it Long.
Sampul suratnya masih baru,
namun kertas suratnya sudah lusuh, sepertinya pernah diremas, lalu digelar lagi
lalu ditekan merata.
"Aku sudah pergi. Lenganmu
tentu kesemutan tertindih kepalaku, tapi bila kau siuman, lenganmu pasti takkan
kesemutan lagi. Yang mereka cari hanya aku seorang, kau tidak perlu ikut dan
tak usah ikut. Kelak umpama takkan bisa bertemu lagi denganku, yakin kau akan
cepat memperoleh berita tentang diriku. " Perasaan Siau Cap-it Long
mengendap makin rendah. Ia kenal surat itu, sebab surat itulah yang ia
tinggalkan untuk Hong Si-nio. tak pernah terbayang dalam benaknya, Hong Si-nio
menyimpan surat itu, lebih tak disangka sekarang ia kembalikan surat itu kepada
dirinya.
Tapi ia paham, mengerti apa
maksudnya, waktu meninggalkan surat ini, bukankah ia sudah siap untuk
menghadapi kematian. Mati.
Itulah berita satu-satunya
yang ia tinggalkan untuk dirinya "Aku tidak boleh mati. Aku masih hutang
jiwa kepada orang lain.”
Angin kencang berhembus,
sampul surat di tangan Siau Cap-it Long tertiup lepas melayang-layang, lalu
jatuh ke danau, sampul surat itu hanyut mengikuti alunan gelombang halus di
permukaan danau, mirip sekali sekuntum bunga yang rontok.
Bunga telah berguguran, musim
semi dalam kehidupan ini juga telah menjelang, masih adakah yang tersisa?
Mengawasinya Siau Cap-ji Long
berkata, "Mestinya Wanpwe ingin mengajak Siau-tayhiap minum bersama."
"Kenapa tidak kau siapkan
saja," ujar Siau Cap-it Long tertawa.
Siau Cap-ji Long tertawa,
katanya, "Wanpwe tidak berani, rasanya kurang setimpal." Tawanya
begitu simpatik, begitu sopan sambil meitibungkuk, "Siau-tayhiap, kalau
tiada pesan lain, maaf Wanpwe mohon diri."
Mengawasi orang membalik badan
beranjak masuk ke kabin, Siau Cap-it Long ingin tertawa, namun tak bisa
tertawa.
Tukang perahu yang
mengendalikan perahu kecilnya mendadak menepuk bahunya, : "Orang tidak
ingin kau minum araknya, berdiri di sini apa gunanya, hayolah pergi saja.”
Siau Cap-it Long memanggut
perlahan, katanya menyengir, "Kalau harus pergi, ya harus pergi."
Tukang perahu mengawasinya,
tanyanya, "Apa kau ingin minum arak?"
Siau Cap-it Long mengiakan
sambil memanggut.
"Berapa banyak duit yang
kau bawa?" tanya tukang perahu.
Tangan Siau Cap-it Long
merogoh kantong, lalu ditarik keluar pula, tangannya kosong alias tongpes. Siau
Cap-it Long baru sadar kini dirinya tidak punya uang sepeser pun.
Tukang perahu malah tertawa
lebar, "Ternyata kau ini juga setan arak, mana ada setan arak yang punya
banyak duit, rasanya ongkos perahu kali ini juga harus kurelakan gratis."
Sembari bicara galah di tangannya menutul ke air, perahu itu meluncur ke tengah
danau, "Kalau kau mau menungguku setengah jam lagi, akan kuadakan jual beli
sebentar, nanti aku traktir kau minum sepuasnya."
"Baik, aku tunggu,"
ujar Siau Cap-it Long.
Lalu ia duduk di pinggir
perahu, matanya mendelong menatap ke temnat jauh, kabut tebal mendatangi
membuat pemandangan permukaan danau makin kabur, tabir malam pun makin gelap.
Pemandangan malam di Se-ouw
sebetulnya tak banyak berubah indahnya, sayang sekali malam ini bukan lagi
malam kemarin.
* * * * *
Pasar malam baru saja buka,
saat paling ramai di sepanjang jalan raya ini, toko-toko sepanjang jalan mulai
menyulut lampu, tampak betapa indah mempesona kain sutra, keramik, berbagai
makanan yang dijajakan di beberapa toko itu, para pembeli juga menghias wajah
dengan senyum lebar dan tawa senang.
Tukang perahu sudah berganti
pakaian bersih, dengan langkah lebar ia berjalan di depan, sikapnya kelihatan
bersemangat, senang dan bingar.
Duit di kantongnya mungkin
tidak cukup untuk membayar seguci arak, namun sikap dan polanya mirip orang
pongah, seolah-oleh dunia ini milik kita.
Sebab kemarin ia sudah
melampaui kehidupan sehari yang melelahkan, kini tiba saatnya ia menampakkan
diri sebagai lelaki sejati.
Dengan menepuk pundak Siau
Cap-it Long ia berkata, "Arak yang dijual di jalan ini paling mahal,
jangan kita minum di sini. Tapi tiap hari aku pasti melancong ke sini, berapa
lama pun tak jadi soal, kan tidak perlu bayar."
Tawanya memang riang gembira,
sebab di sini ia bebas mau melihat apa saja sesuka seleranya.
Cukup hanya melihat dan
melihat, hatinya amat puas.
Kalau seorang punya pandangan
hidup seperti tukang perahu ini, maka segala persoalan di dunia ini tak perlu
dibuat kapiran, tak usah sedih, tak perlu keluh gerutu.
Mendadak Siau Cap-it Long
merasa hidupnya ternyata tidak sebanding dengan tukang perahu ini.
Bahwasanya ia tidak punya jiwa
terbuka, hati yang lulus dan pikiran bajik.
Kebetulan terlihat oleh Siau
Cap-it Long di depan sana ada sebuah bank.
Setelah dekat, mendadak Siau
Cap-it Long berhenti dan berkata, "Kau tunggu aku sebentar."
"Kau mau apa?" tanya
tukang perahu.
"Aku ... aku akan masuk
sebentar."
Tukang perahu tertawa,
"Dalam bank ini tiada sesuatu yang pantas jadi tontonan, daging bakpao
bukan dibungkus kertas, uang yang ada dalam almari besi juga takkan bisa
kelihatan." Namun ia mengikuti langkah Siau Cap-it Long masuk ke dalam bank,
"Ikut masuk sambil melihat-lihat juga tak mengapa."
Kasir bank kira-kira berusia
pertengahan, namun rambut kepalanya sudah ubanan, melihat dua lelaki beranjak
masuk, sorot pandangnya menampilkan mimik kaget dan heran, namun sikapnya tetap
hormat, sapanya, "Tuan-tuan ada keperluan apa?"
"Sepertinya aku masih
punya rekening di bank ini," ucap Siau Cap-it Long. Dari atas lihat ke
bawah, lalu dari bawah pandang ke atas, beruntun dua kali kasir bank
memperhatikan Siau Cap-il Long, lalu katanya dengan tawa dipaksakan, "Apa
tuan tidak salah ingat?"
"Jelas tidak," sahut
Siau Cap-it Long.
"Tuan she apa?"
tanya kasir bank.
"She Siau, Siau Cap-it
Long."
Kasir bank langsung tertawa
lebar, "O, kiranya Siau-toaya, betul, Siau-toaya memang punya rekening di
bank kami."
"Bisa anda tolong periksa
masih berapa banyak tabungan uang dalam rekeningku, aku ingin
mengambilnya."
”Umumnya bank kami berdasar
cek atau buku rekening bank untuk mengambil uang, tapi untuk Siau-toaya kami
boleh memberi kemudahan," sampai di sini senyum tawanya berubah aneh,
suaranya menjadi perlahan, "sebab rekening Siau-toaya baru saja kami
tutup."
"Maksudku apakah ada uang
dalam rekeningku?"
"Ada, tentu ada,"
sahut kasir bank, dengan laku hati-hati ia menarik sebuah laci di balik
punggungnya, mengeluarkan sekeping uang tembaga, perlahan ia taruh di meja,
dengan senyum getir berkata, "Sisa rekening Siau-toaya. hanya sebanyak
ini."
Siau Cap-it Long tidak
bergerak, tidak bersuara, bagaimana pun uang tembaga ini kelihatan masih baru,
disorot sinar lampu kelihatan masih kemilau mirip emas.
"Apa Siau-toaya ingin
memeriksa pembukuan kami?" tanya kasir bank.
Siau Cap-it Long menggeleng
kepala.
Kasir bank berkata lebih jauh,
"Kalau Siau-toaya ingin menyimpan sisa uang ini dalam rekeing bank, dengan
senang hati akan kucatat dalam buku."
Mendadak Siau Cap-il Long
berpaling, "Satu sen duit dapat beli apa?"
Tukang perahu garuk-garuk
kepala, lalu berkedip mala, sahutnya, "Dapat membeli sebungkus besar
kacang goreng."
Dengan kedua jarinya, Siau
Cap-it Long jepit keping uang tembaga itu, dengan senyum lebar ia berkata,
"Kacang cocok untuk teman minum arak, satu sen duit ini jelas akan
kumanfaatkan."
"Betul sekali, satu sen
tidak banyak, mending daripada tidak ada."
Sambil bergelak tawa riang
mereka melangkah keluar dari bank, kasir bank mengawasi mereka sambil
menggeleng kepala.
Kasir bank jelas takkan
mengerti, kenapa satu sen duit dapat membuat mereka segembira itu, sebab ia
jelas mengetahui hanya dalam semalam lelaki yang semula memiliki harta berlimpah
ini, telah jatuh bangkrut habis-habisan, duitnya tinggal sisa satu sen.
Si kasir tahu karena tadi ia
sempat memeriksa buku rekening bank atas nama Siau Cap-it Long.
Sepanjang usianya melebihi
setengah abad, dan tiga puluh tahun menjadi kasir bank, belum pernah ia
saksikan orang yang mendadak kaya secepat itu, tapi belum pernah melihat orang
yang jatuh bangkrut secepat itu pula.
Bersambung