Bentrok Para Pendekar Jilid 06

Baca Cersil Mandarin Online: Bentrok Para Pendekar Jilid 06
Jilid 6

"Yang pasti aku bukan perampok, kalau perampok merampas seluruhnya, aku hanya menarik tiga puluh persen."

"Kau tahu jual beli apa yang sedang kami bicarakan?" tanya Sim-sim.

Ong Ban-seng memanggut, "Tentang Hong Si-nio bukan?"

"Persoalan begini juga kau tarik pajak tiga puluh persen?"

"Ya, tiga puluh persen yang kumaksud adalah salah satu pahanya, setengah dada dan sebuah mata."

Sim-sim cekikikan, "Kau anggap Hong Si-nio seekor ayam?"

"Kalau betul dia seekor ayam, aku tidak mau mata, aku senang lehernya."

Bola mata Sim-sim berputar, mendadak ia berseru, "Baiklah, apa yang kau inginkan silakan ambil saja."

"Nah, kan begitu, yang kuminta tidak banyak."

"Eh, aku ingin bertanya," seru Sim-sim, "yang kau minta paha kiri atau paha kanan?"

"Kiri kanan tidak jadi soal."

"Umumnya daging paha kiri lebih kencang, kalau paha kiri yang kau pilih, aku boleh memheri bonus telinga kiri juga."

"Tidak, terima kasih."

"Kau membawa pisau," tanya Sim-sim

"Tidak."

"Siau Cap-it Long pasti bawa, boleh kau pinjam pisaunya."

Ong Ban-seng berpaling ke arah Siau Cap-it Long, dengan tertawa ia berkata, "Setelah kupakai pasti kukembalikan."

Siuw Cap-it Long diam mendengarkan, rona mukanya membeku sejak tadi, baru sekarang ia berkata tawar, "Siapa pun yang ingin pinjam golokku, harus ada anggunannya."

"Anggunan apa yang kau minta?" tanya Ong Ban-seng.

"Hanya sepasang tangan dan setengah kepalamu," jawab Siau Cap-it Long.

Ong Ban-seng tetap tenang, katanya tersenyum, "Kau juga harus menggunakan golok untuk memotongnya."

"Yang pasti golok milikku."

"Kenapa tidak kau potong saja,"

"Bagus," tangan Siau Cap-it Long sudah menggenggam gagang golok.

Pada saat itulah mendadak juragan Gu menorobos masuk seraya berteriak, "Nanti dulu tuan-tuan, kalau ingin potong memotong, jangan di hotelku ini, pindahlah ke tempat lain, kalau terjadi pembunuhan di sini, memangnya siapa mau datang dan menginap di hotelku?" Sembari bicara ia menghadang di depan Siau Cap-it Long sambil membungkuk badan seperti ingin menyembah layaknya, "Mohon tuan-tuan berbuatlah baik, jangan bentrok dengan senjata di tempatku ini."

Belum habis bicara, di saat badannya membungkuk ke depan, dari balik baju di punggungnya mendadak melesat tiga batang panah pendek, dari lengan baju kanan kiri juga meluncur tiga papah berbulu, menyusul pergelangan tangan membalik, tangan kiri manimpukkan tiga mata uang, tangan kanan meluncurkan tiga batang Hwi-hong-ciok.

Lima belas batang senjata rahasia serempak menyerang berbareng, yang diincar lima belas Hiat-to di tubuh Siau Cap-it Long.

Jarak mereka tidak lebih tiga kaki, serangan senjata rahasia yang telak dan kencang, untuk menghindari sergapan mematikan ini, rasanya sesukar memanjat ke langit.

Siau Cap-it Long tidak berusaha berkelit atau menghindar, hakikatnya memang tidak mungkin berkelit. Dimana sinar golok berkelebat, tiga batang panah, tiga Kim-ci-piau, tiga Hwi-hong-ciok, enam batang panah berbulu, sakaligus ditabasnya putus berhamburan. Dimana sinar golok menukik turun ke bawah, tahu-tahu tenggorokan juragan Gu sudah terancam di ujung goloknya, mukanya seketika membesi hijau ketakutan.

Terdengar seorang berkata dingin, "Golokku ini memang tidak sebanding Keh-lo-to, kalau hanya menggorok leher orang, gampangnya seperti membalik tangan."

Itulah suara juragan Lu, juragan Lu pemilik hotel Bok-tan-lau. Sebilah golok berada di tangannya, mengancam leher Pin-pin.

Pin-pin mematung pucat, berdiri kaku tak berani bergerak.

Sementara itu Ong Ban-seng sudah berada di belakang Hong Si-nio, katanya tersenyum lebar, "Tanpa pakai golok aku juga bisa membunuh orang, membunuh orang aku tidak biasa pakai golok."

Kelihatannya Siau Cap-it Long juga mematung kaku, badannya berkerut dingin, Sim-sim mengawasinya, katanya gegetun, "Kali ini kurasa kau benar-benar terjungkal."

"Dan kau?" tanya Siau Cap-it Long.

"Aku juga kalah, tapi aku kalah dengan rela."

"O?" dengus Siau Cap-it Long.

Sim-sim menghela napas, "Sudan lima hari aku berada di sini, sedikitpun tidak tahu kalau dua juragan ini ternyata orang kosen, biarpun terjungkal, aku mengaku kalah dengan tulus, ya, apa boleh buat."

Ong Ban-seng berkata, "Sekarang pihakku yang menang, hanya pemenang saja yang berhak bicara."

"Aku sedang mendengarkan," sahut Siau Cap-it Long.

"Kau ingin mereka hidup?" tanya Ong Ban-seng.

"Ya, ingin sekali," sahut Siau Cap-it Long.

"Nah, lepaskan dulu juragan Gu."

"Boleh”, hanya sepatah kata, kejap lain goloknya sudah kembali ke dalam sarung.

"Serahkan pula golokmu."

"Boleh," tanpa sangsi Siau Cap-it Long menanggalkan golok jagal rusanya terus diangsurkan ke depan, lekas sekali juragan Gu menerima golok itu, matanya bersinar membundar.

Golok inilah yang pernah membuat banyak orang gagah kabat-kebit, entah berapa banyak pula darah manusia pernah diisap golok itu.

Menggenggam golok sakti itu, perasaan juragan Gu bergolak, badan gemetar karena emosi, hampir tidak percaya akan kenyataan ini. Sorot matanya menampilkan perasaan rakus, setelah menelan ludah, dengan gemetar ia berkata, "Kalau ada orang demi diriku rela berkorban untuk golok sakti ini, umpama aku harus mati untuknya juga rela."

Ong Ban-seng bergelak tertawa, serunya, "Siapa nyana Siau Cap-it Long adalah orang yang banyak menanam cinta dan mengagungkan kebenaran." Sembari bicara, matanya menatap ke arah golok di tangan juragan Gu.

Sejenak ragu-ragu juragan Gu baru beringsut sambil memegang golok.

"Eh, tunggu sebentar," mendadak Siau Cap-it Long berseru.

Juragan Gu mana mau menunggu, gerak tubuhnya dipercepat melompat ke belakang, pada saat itulah sebuah tangan mendadak diulur datang, dengan enteng menyentil di siku tangannya. Tanpa kuasa badannya mencelat mumbul ke atas, waktu ia berjumpalitan turun dan berdiri kembali, golok di tangannya sudah lenyap.

Golok sakti itu ternyata sudah bergda di tangan Siau Cap-it Long kembali.

Seenaknya ia menyerahkan golok, seenteng capung terbang, serta dengan gerakan apa, tahu-tahu goloknya telah direbut kembali, seperti orang main sulap saja.

Ong Ban-seng mengerut kening, jengeknya, "Rasanya kau tidak rela?"

Siau Cap-it Long tertawa lebar, "Golok ini bukan milikku, kenapa tidak rela?"

"Kalau rela, kenapa direbut kembali?"

"Aku bisa memberi juga bisa merebut kembali, setelah kurebut kembali bisa kuserahkan kembali."

"Baiklah," seru Ong Ban-seng.

"Nanti dulu, ingin kutanya satu hal," ujar Siau Cap-it Long.

"Kau boleh bertanya."

"Konon belakangan ini di Kangouw muncul seorang yang menakutkan, bernama Hamwan Sam-seng."

Ong Ban-song diam mendengarkan.

"Jual beli dari golongan hitam atau putih, peduli siapa saja, bila ia mendengar kabar dan tahu tempatnya, dia pasti datang dan menarik keuntungan tiga puluh persen. Siapa berani menentang kehendaknya, dalam tiga hari, jiwa melayang jenazah pun lenyap tidak keruan parannya."

"Wah, hebat benar orang itu!" seru Ong Ban-seng.

"Konon bukan saja lihai, kepandaiannya banyak ragamnya, jejaknya sukar dilacak, hanya sedikit orang yang pernah tahu siapa dia sebenarnya."

"Jadi kau ingin bertemu dengan dia?"

"Konon dia paling senang bertamasya di Koh-soh, apalagi di musim rontok di waktu perayaan Tiong-ciu, tiap tahun dia pasti berada di tempat ini."

"Maka engkau juga berada di sini."

"Aku juga ingin kontrak dagang dengan dia."

"Kontrak dagang apa?"

"Betapa banyak kontrak dagang diteken di kalangan Kang-ouw, kalau setiap kontrak dagang ditarik pajak tiga puluh persen, hanya sehari saja, hasilnya bisa menjadi jaminan hidup sepanjang abad. Yang kutahu, dia sudah menarik pajak selama dua tahun."

"Maksudmu kau akan memaksanya memberimu tiga puiuh persen, begitu?"

"Bukan tiga puluh," tawa suara Siuw Cap-it Long, "aku minta tujuh puluh persen."

"Hah, tujuh puluh persen?"

"Kalau dia hanya minta tiga puluh persen, akan kusisakan tiga puluh persen untuknya."

"Apa dia setuju?"

"Kalau tidak setuju, aku juga akan membuatnya mampus tanpa bekas dalam waktu tiga hari."

Ong Ban-seng tertawa besar, "Untung aku bukan Ham wan Sam-seng, aku adalah Ong Ban-seng."

"Tapi aku yakin kau adalah orang kepercayaannya."

"Apa kau tidak keliru?”

"Tidak, karena kau juga hanya menarik tiga puluh persen."

Akhirnya Ong Ban-seng menghela napas, "Dalam segala hal rasanya sukar mengelabui dirimu."

"Ya, jangan harap."

"Maksudmu minta aku mengajakmu bertemu dengan dia?" tanya Ong Ban-seng.

Siau Cap-it Long manggut-manggut.

"Kau pikir aku akan mengajakmu ke sana?"

"Kalau menolak, sekarang juga aku bisa membuatmu mampus tanpa bekas."

Ong Ban-seng tertawa lebar, "Kau tidak kuatir aku membunuh mereka lebih dulu?"

"Aku tidak kuatir."

Ong Ban-seng menarik muka, "Potong dulu sebelah kuping nona Pin-pin. Coba dia bisa berbuat apa?"

Juragan Gu tertawa lebar, "Golokku ini memang tidak setajam jagal rusanya, tapi untuk mengiris kuping rasanya mudah sekali." Sembari bicara ia membalik golok terus mengiris kuping kiri Pin-pin.

Sejak tadi Pin-pin berdiri kaku tak bergerak, mirip itik yang sudah ditelikung akan disembelih. Pada saat yang menentukan itulah mendadak sebelah kakinya beringsut ke samping berbareng tangan kiri menyanggah siku juragan Gu. Tanpa kuasa mendadak juragan Lu terangkat badannya ke udara, tahu-tahu golok di tangannya sudah direbut Pin-pin. Dimana sinar golok berkelebat, sebuah kuping berdarah jatuh di lantai. Di kala badan juragan Lu melorot turun berdiri kembali di tempatnya, golok kembali diangsurkan Pin-pin ke tangannya, darah tampak berlepotan di ujung golok.

Kuping yang jatuh bukan kuping Pin-pin, tapi kuping juragan Lu. Baru sekarang ia merasa kepalanya perih, sementara darah segar meleleh membasahi pakaiannya sambil mengeluh kesakitan, mendadak ia jatuh pingsan.

Di sebelah sana muka juragan Gu mulai membesi hijau. Seorang kalau ketakutan, bukan lagi pucat pias, tapi menghijau kelam.

Muka Sim-sim juga berubah, "Sungguh tak nyana, gadis jelita yang kelihatan lemah lembut ternyata seorang kosen yang lihai, rasanya bola mataku harus dikorek."

Pin-pin mengawasinya, suaranya lembut, "Kau pun mau kukorek matamu?"

"Tidak," seru Sim-sim menggeleng kepala.

Pin-pin menarik muka, "Aku tidak suka mendengar orang berbohong."

Tanpa bicara mendadak Sim-sim berlari sipat kuping, seperti kelinci yang kena panah menerjang keluar.

Ong Ban-seng menggeleng kepala, "Selama ini aku beranggapan hanya Hong Si-nio seorang perempuan yang paling ganas di Kangouw, ternyata kau tidak kalah dibanding dia."

"Kau masih ingin menyuruh orang memotong telingaku?"

"Tidak, batal saja."

"Kau mau mengajak kami bertemu dengan Hamwan Sam-seng tidak?"

"Tidak mau."

"Lalu apa kehendakmu?"

"Masih ada satu taruhan, aku ingin bertaruh dengan kalian."

"Apa taruhanmu?"

"Hong Si-nio," kata Ong Ban-seng tertawa, "kalau kubunuh Hong Si-nio, kau tidak akan sedih, tapi Siau Cap-it Long ... kau kan tahu Siau Cap-it Long adalah perjaka yang romantis."

Pin-pin tidak menyangkal.

"Kalau kau membunuh Hong Si-nio, kau pun akan mampus di sini."

"Nah, itulah. Tidak akan kubunuh dia, tapi dia akan kupertaruhkan dengan kau."

"Baik, taruhan apa?"

”Taruhan golokmu."

"Bertaruh cara apa?"

"Dalam tiga jurus dia mampu mengalahkan Pek-tiong-siang-hiap, mestinya dalam tiga jurus bisa mengalahkan aku, aku kan hanya seorang keroco."

Seorang kalau mengaku dirinya keroco, pasti bukan orang sembarangan, Siau Cap-it Long maklum akan hal ini, tapi keadaan menyudutkan dirinya tiada pilihan lain.

"Kalau aku menang," demikian seru Ong Ban-seng. "Hong Si-nio dan golokmu itu akan kubawa pergi."

"Kalau kalah?"

"Hong Si-nio kubebaskan, lalu membawamu mencari Ham-wan Sam-seng."

"Omonganmu boleh dipercaya?"

Ong Ban-seng menghela napas, "Kalau aku kau kalahkan, memangnya ucapanku tidak kau percaya?" Lalu dengan senyum lebar menambahkan, "yang pasti aku percaya kau adalah orang yang dapat dipercaya."

"Tiga jurus?"

"Golok masih di tanganmu, kau boleh memakai golok."

"Kau pakai senjata apa?"

"Senjata apa di dunia ini yang mampu menandingi golok jagalmu itu, kenapa aku harus pakai senjata?"

"Bagus, sepatah kata, akur."

"Sepatah kata, akur"

"Siau Cap-it Long," mendadak sebuah suara menyeletuk, "kali ini kau pasti kalah." Yang bicara ternyata Hoa Ji-giok adanya.

Sambil menggendong tangan, dengan helaan napas panjang ia beranjak masuk, sikap dan mimiknya seperti amat yakin, Siau Cap-it Long pasti kalah dalam duel nanti.

"Berdasar apa kau bilang dia pasti kalah?" seru Pin-pin.

"Hanya satu," ujar Hoa Ji-giok.

"Satu apa?" seru Pin-pin.

"Belakangan ini di Kangouw beruntun muncul empat-lima tokoh yang sukar dilayani. Hamwan Sam-seng adalah satu di antaranya."

"Aku tahu" jengek Pin-pin.

Hoa Ji-giok mendelik, "Tahukah kau bahwa orang ini adalah Hamwan Sam-seng."

Orang yang dimaksud adalah Ong Ban-seng, Ong Ban-seng adalah Hamwan Sam-seng.

Pin-pin menghela napas, "Sebetulnya sudah kuduga hal ini."

"Sayang sekali, kelihatannya dia bukan tokoh yang menakutkan itu."

"Karena tidak mirip itulah, yakin dia betul adalah Hamwan Sam-seng."

Hoa Ji-giok bertepuk tangan, "Ya, masuk akal." Mendadak ia bertanya, "tahukah kau tadi aku berada dimana?

Pin-pin geleng-geleng.

”Tadi aku pergi mencarinya," ujar Hoa Ji-giok.

"Mencari Hamwan Sam-seng maksudmu?"

Hoa Ji-giok memanggut, "Dia mengundangku, sebab ada rezeki ingin dibicarakan denganku ."

"Rezeki apa?"

"Dia minta supaya Hong Si-nio dijual kepadanya."

"Dia mengundangmu membicarakan rezeki, tapi dia berada di sini, setelah kau kembali ke sini, Hong Si-nio sudah jatuh di tangannya, bukan mustahil nona cantikmu itu juga jatuh di tangannya, kau justru harus keluar uang untuk membelinya."

Hoa Ji-giok menghela napas, "Ya, baru sekarang aku paham, orang inilah manusia paling licik dan licin di dunia."

"Ya, wajah kelihatan jujur, padahal hati sejahat ular berbisa, wajah malaikat, tapi hati bangsat, sungguh orang yang paling menakutkan di dunia."

"Pernah kau dengar dahulu di Kangouw ada orang yang di-juluki Cap-toa-ok-jin?"

Pin-pin tahu, insan persilatan pasti tahu.

“Tahukah kau di antara sepuluh orang jahat itu, ada seorang bergelar Ok-to-kui Hamwan Sam-kong."

Pin-pin tahu. Dia juga tahu masih ada Put-ciak-jin-thau Li Toa-jui, Jio-li-cang-to Ha-ha-ji, Poan-jin-poan-kui Im Kiu-yu dan Put-lam-put-li To Kiau, kecuali itu masih ada Kian-jin-put-le-ki Pek Khay-sim, Bit-si-lang Siau Mi-mi, Hiat-jiu To Sat dan kakak beradik Ting-tong yang selamanya tidak mau dirugikan. Setiap insan parsilatan yang punya mata pasti pernah mendengar nama julukan mereka.

"Syukur mereka sudah mati semua. Aku tidak perlu kuatir bakal bertemu dengan mereka."

"Tapi kali ini kau akan bertemu dengan Hamwan Sam-seng."

"Apa hubungan Hamwan Sam-seng dengan Hamwan Sam kong?"

"Tiada hubungan apa-apa," sahut Hoa Ji-giok. "Dalam hal berjudi Hamwan Sam-seng jelas lebih ganas, lebih berani dibanding Hamwan Sam-kong."

"0, begitu?"

"Hamwan Sam-kong memang adalah Ok-tu-kui, tapi setiap kali berjudi pasti harus habis, orangnya habis dan uangnya habis. Maka setiap kali berjudi setelah kalah total baru berhenti."

"Benar," ucap Pin-pin, "kabarnya dia memang suka berjudi, padahal dia seorang yang lapang dada berjiwa terbuka."

"Tapi Hamwan Sam-seng bukan orang yang terbuka apalagi lapang dada, kalau tidak yakin sukses dia tidak akan sembarang berjudi."

Pin-pin tahu apa yang diucapkan Hoa Ji-giok bukan bualan belaka. Kalau Hamwan Sam-seng tidak memiliki kepandaian hebat, mana mungkin orang rela memberinya rabat tiga puluh persen.

Lebih jauh Hoa Ji-giok berkata, "Kalau dua orang ini berduel satu lawan satu, kepandaian Hamwan Sam-seng mungkin bukan tandingan Siau Cap-it ong. Tapi kalau hanya tiga jurus Siau Cap-it Long hendak mengalahkan dia ...."

"Maksudmu sesukar memanjat ke langit?" sindir Pin-pin.

"Sepuluh lipat lebih sukar dari memanjat ke langit," tegas jawaban Hoa Ji-giok.

"Bagus sekali," mendadak Siau Cap-it Long berseru lantang.

"Bagus sekali?" tanya Hoa Ji-giok.

"Selama hidup," demikian jawab Siau Cap-it Long tegas, "yang paling senang kukerjakan adalah perkara yang sepuluh lipat lebih sukar dari memanjat ke langit itu."

IX. BERSUA KEMBALI

Malam telah larut, pertengahan musim rontok.

Angin malam berhembus lembut, daun-daun pohon bergontai seperti seorang yang sedang meresapi hidup yang mengesankan.

Siau Cap-it Long berdiri tegak di bawah pohon. Perlahan-lahan akhirnya Hamwan Sam-seng muncul dan beranjak ke depan.

Orang awam yang paling biasa ini, dalam pandangan mata orang lain mendadak menjadi orang yang luar biasa, bukan sembarang orang. Karena, dia adalah Hamwan Sam-seng.

Dari dalam rumah ia memindahkan sebuah kursi, bergegas juragan Gu membimbing Hong Si-nio duduk di kursi itu.

Pandangan Hong Si-nio menampilkan rasa kuatir, prihatin dan takut.

Selama kenal Siau Cap-it Long, entah berapa kali dia membenci Siuw Cap-it Long, kenapa keadaannya sekarang berubah begitu rupa. Membencinya kenapa bersikap baik dan menurut terhadap Pin-pin? Kenapa ingkar terhadap Sim Bik-kun? Tapi di kala ia tahu Siau Cap-it Long menghadapi bahaya, entah kenapa sikapnya berubah menjadi kuatir dan prihatin.

Sejenak Hoa Ji-giok mengawasinya, lalu barpaling mengawasi Siau Cap-it Long, katanya setelah menghela napas, "Siau Cap-it Long oh Siau Cap-it Long. Kalau duel kali ini kau kalah, selama hidup Hong Si-nio akan membencimu sampai mati. Maka kau tidak boleh kalah, tapi keadaan jelas memutuskan kau bakal kalah total."

Malam nan gelap masih ada cahaya bintang, muka Hamwan Sam-seng nan biasa sepertinya mulai berubah menjadi luar biasa, nampak sekali perubahan rona mukanya. Terutama sorot matanya, pandangannya begitu tenang kukuh seperti batu cadas di pucuk gunung.

Siau Cap-it Long mengawasinya, "Kau dulu yang turun tangan? Atau aku dulu yang menyerang."

"Silakan kau dulu," sahut Hamwan Sam-seng.

"Berarti kau menunggu seranganku?" tanya Siau Cap-it Long.

"Aku tidak akan meniru pengalaman Auyang-hengte yang konyol itu."

"Kelihatannya kau lebih tabah dibanding mereka."

"Sebetulnya aku ingin menggunakan caraku sendiri untuk menghadapi mereka, mengobral omongan untuk mengganggu konsentrasimu."

"Kenapa tidak, silakan kau putar bacot."

Hamwan Sam-seng tertawa lebar, "Omongan yang ingin kubicarakan tadi sudah diucapkan Hoa Ji-giok." Sambil menggendong tangan ia berputar, "Yakin kau juga mengerti bahwasanya dia tidak prihatin akan dirimu, maksudnya jelas supaya hatimu gundah dan akulah yang menang."

"Aku mengharap kau menang?" tanya Hoa Ji-giok.

"Sebab untuk menghadapiku lebih gampang daripada kau manghadapi Siau Cap-it Long. Kalau aku menang kau masih ada kesempatan membawa Hong Si-nio dan golok jagal itu, namun sayang..."

"Sayang apa?" tanya Hoa Ji-giok

"Sayang keadaan Siau Cap-it Long sekarang hakikatnya tidak Seperti orang gundah, maka ku anjurkan lekaslah kau minggat saja," demikian ejek Hamwan Sam-seng.

"Kenapa aku harus minggat?" desak Hoa Ji-giok.

"Sebab kalau dia yang menang, seumur hidupmu jangan harap kau bisa keluar dari pekarangan ini."

"Yang pasti aku yakin dia tidak akan menang," jengek Hoa Ji-giok.

"Berdasar apa kau bilang begitu?"

"Jadi kau sendiri tidak yakin?"

"Ada, hanya tiga puluh persen."

Hoa Ji-giok berjingkat kaget, matanya terbelalak, mendadak berkata keras, "Ya, aku sudah mengerti, aku sudah mengerti, kau ...." Belum habis ia bicara, Hamwan Sam-seng yang tadi mempersilakan Siau Cap-it Long turun tangan lebih dulu justru mendahului menyerang dengan jurus yang amat ganas.

Hoa Ji-giok mengerti soal apa? Bahwasanya Hamwan Sam-seng akan bisa menghindari tiga jurus serangan Siau Cap-it Long dengan tipu daya tenang mengatasi gerakan. Kenapa sekarang justru menyerang lebih dulu?

Bahwasanya Hamwan Sam-seng adalah orang biasa yang bertabiat kalem, tapi sergapannya kali ini betul-betul ganas, dahsyat dan telengas, gerak tangannya mengandung banyak perubahan yang susah ditebak, bagitu bergerak, beruntun ia melancarkan empat jurus serangan. Sayang dia melupakan satu hal.

Serangan ganas lagi dahsyat kadang malah melupakan pertahanan, demikian halnya dalam serangan jurus tipu yang banyak mengandung perubahan, sering kali justru sukar menghindari kecerobohan, berarti memberi peluang lawan melihat sisi lubang pertahanan yang lemah itu. Apalagi kali ini ia menyerang hanya dengan sepasang tangan kosong, sementara Siau Cap-it Long memakai gaman golok sakti yang tajam luar biasa.

Hanya satu jurus, satu bacokan.

Hamwan Sam-seng menyurut mundur sambil memegang pundak, badannya gemetar menempel dinding, napasnya tersengal, desisnya lirih, "Bagus, golok kilat yang bagus."

Golok kembali ke sarung. Dengan tenang, tegar Siau Cap-it Long berdiri di tempatnya, mengawasinya, rona matanya membayangkan rasa heran.

Hamwan Sam-seng tertawa getir, "Aku mengaku kalah. Silakan kau bawa Hong Si-nio."

Wajah Hoa Ji-giok lebih pucat dibanding orang yang kalah dan terluka itu, mendadak ia berseru keras, "Kau sengaja dikalahkan olehnya. Sejak awal aku sudah mengerti, jangan harap kau bisa menipuku."

"Kenapa aku harus mengalah kepadanya? Memangnya aku ini edan? Sudah pikun?" jengek Hamwan Sam-seng.

"Sebab kau ingin Siau Cap-it Long menghadapiku, sebab kau takut aku membuat perhitungan terhadapmu."

"O, masakah begitu?"

"Obrolanmu tadi sengaja mengagulkan kemampuan Siau Cap-it Long, sengaja menyerang lebih dulu supaya kau dikalahkan. Sebab kau paham, jika dia kalah, kau malah akan menghadapi banyak perkara."

"Kau kira aku tidak menginginkan Hong Si-nio, tidak mau golok jagal itu," semprot Hamwan Sam-seng.

"Aku tahu kau ingin sekali. Tapi kau juga sadar setelah kau memiliki keduanya, mereka pasti tidak akan memberi peluang kepadamu, apalagi Hong Si-nio kan bukan milikmu. Walau duel kali ini kau dikalahkan, kau tidak menderita rugi sedikitpun."

Hamwan Sam-seng tertawa, "Bagaimanapun urusan sudah terjadi, yang pasti aku dikalahkannya."

Hal ini memang kenyataan, siapa pun tak bisa menyangkal. Hamwan Sam-seng berkata, "Hong Si-nio sudah kukembalikan, sekarang kalian juga sudah melihat dan berhadapan langsung dengan Hamwan Sam-seng." Lalu ia mengawasi Siau Cap-it Long dan menambahkan, "Setiap patah kata yang pernah kuucapkan pasti kutepati."

Siau Cap-it Long manggut-manggut.

"Sekarang aku sudah kalah dan terluka," kata Hamwan Sam-seng, "kau takkan mencari perkara lagi terhadapku, umpama ada persoalan penting, kau bisa bersabar menunggu lukaku ini sembuh. Aku yakin kau lelaki jantan yang boleh dipercaya, bukan orang yang biasa mengambil keuntungan." Setelah menarik napas panjang ia melanjutkan, "Maka sekarang lekas kalian memapahku pulang untuk istirahat." Kalian yang dimaksud jelas adalah juragan Gu dan juragan Lu. Bergegas kedua orang ini memapah Hamwan Sam-seng meninggalkan tempat itu.

Hoa Ji-giok hanya mendelong membiarkan mereka pergi. Tidak mengejar juga tidak merintangi, sebab ia maklum Siau Cap-it Long takkan membiarkan dirinya pergi. Sepasang bola mata nan tajam memang sedang menatap dirinya.

Hoa Ji-giok menghela napas, katanya dengan seringai kecut, "Hamwan Sam-seng yang lihai, hari ini kau membiarkan dia pergi. Akan datang satu hari kau pasti menyesal."

Siau Cap-it Long tetap diam tak memberi reaksi.

"Pernah aku menyaksikan kiprahnya menghadapi orang lain," demikian oceh Hoa Ji-giok.

"Ehm," Siau Cap-it Long bersuara dalam mulut.

"Dia adalah penggemar barang antik, terutama karamik kuno. Suatu hari Oh-samya yang tinggal di Po-khing tanpa sengaja mendapatkan botol kembang yang dinamakan 'Hi-kwe-thian-jing', botol ini termasuk salah satu barang antik buatan dinasti Tang yang mahal harganya. Dia minta Oh-samya menjual kepadanya, tapi Oh-samya menolak, sampai mati pun takkan menjual barang itu."

"Akhirnya Oh-samya mampus," kata Siau Cap-it Long. Hoa Ji-giok manggut-manggut, "Padahal Oh-samya adalah teman lamanya, karena keinginannya ditolak lima puluh tujuh anggota keluarga Oh-samya seluruhnya dibabat bersih, tiada satu pun yang ketinggalan hidup, semuanya dibakar jadi abu termasuk harta bendanya."

"Pernah aku mendengar cerita itu, tiap kali membunuh musuh, Hamwan tidak pernah segan, seluruh keluarga dibantai habis."

"Kecuali benda-benda antik, dia juga senang perempuan yang romantis, perempuan seksi," demikian tutur Hoa Ji-giok lebih jauh, "menurut apa yang aku tahu, Hong Si-nio adalah jenis perempuan yang paling disukainya."

"Kelihatnya dia ahli di bidang ini."

"Barang yang dia incar, dengan akal apa saja secara halal atau dengan kekerasan, harus menjadi miliknya," kata Hoa Ji-giok gegetun, "seperti halnya dia menginginkan Hong Si-nio." Siau Cap-it Long hanya menyeringai getir. "Maka ingat peringatanku ini. Hari ini kau melepasnya pergi, akan datang saatnya hari itu dia pasti tidak memberi ampun kepadamu."

Siau Cap-it Long menggeram dengan melotot.

"Kalau aku jadi kau, tadi sudah kubabat mampus dia." Siau Cap-it Long berkata dingin, "Kalau kau menjadi aku, mungkin tidak kubabat mampus Hoa Ji-giok?"

Hoa Ji-giok ternyata cukup tabah, tanpa bereaksi, sikapnya tetap tawar, katanya tersenyum, "Tidak pantas kau membunuh Hoa Ji-giok."

"Kenapa?"

"Karena Hong Si-nio adalah sahabat karibmu. Memangnya kau tega membuat temanmu menjadi janda?”

Siau Cap-it Long tidak mengerti, "Kalau aku membunuhmu, dia bakal jadi janda?"

Maka Hoa Ji-giok mengoceh lebih jauh, "Memangnya kau belum tahu bahwa dia sudah menjadi biniku?”

"Lelaki di dunia ini belum mampus seluruhnya, kenapa dia harus kawin dengan banci?"

Dengan tetap tersenyum lebar Hoa Ji-giok terus mengoceh, "Aku maklum kau tidak percaya, padahal pernikahanku dengan dia memang kenyataan."

"Kenyataan bagaimana?" desak Siau Cap-it Long.

"Orang-orang Kangouw sudah banyak yang tahu tentang perjodohan ini. Kau tidak percaya, boleh tanya lansung kepadanya, dia pasti tidak menyangkal."

Mau tidak mau Siau Cap-it Long harus percaya. Orang sepintar Hoa Ji-giok pasti tidak akan mengobral cerita bohong yang justru akan membongkar kedok sendiri. Tapi hal ini harus dibuktikan. Maka dia membebaskan tutukan Hiat-to di badan Hong Si-nio. Sekarang tiada orang yang bisa mencegah dia bicara.

"Apa benar kau sudah menikah dengan orang ini," tanyanya. Hong Si-nio tetap tidak bergerak, hanya menatapnya lekat, sorot matanya yang semula prihatin, kuatir dan takut kini berubah resah dan murka.

Demi dirimu entah betapa aku menderita, disalahkan dan dicerca, dianggap seongok barang dijejalkan ke kolong ranjang, kini aku disiksa begini, bertanya saja tidak, sepatah kata perhatian pun tiada.

Demi kepentinganmu, Sim Bik-kun banyak menderita dan sengsara, jejaknya pun sekarang tidak diketahui, kau pun tidak bertanya kepadaku, sepatah kata perhatian pun tidak kau ucapkan.

Dua tahun kita tidak bertemu, yang kau tanyakan hanya kentut belaka.

Memangnya kau tidak tahu isi hatiku? Kau percaya kalau aku telah menikah dengan dia?

Hong Si-nio mengertak gigi, sekuat tenaga berusaha mengendalikan emosi, menahan air mata.

Siau Cap-it Long malah bertanya lagi, "Betulkah kau sudah menikah dengan orang ini? Kenapa kau menikah dengannya?"

Hong Si-nio masih menatapnya, tak bersuara.

Kalau kau percaya padaku, seperti aku percaya kepadamu, kalau aku harus menikah dengan orang ini jelas karena terpaksa atau dipaksa.

Pantasnya kau merasa simpati pada nasibku, membelaku dan melampiaskan sakit hatiku.

Ternyata semua itu kau abaikan, malah mengobral pertanyaan menyebalkan.

Mendadak Hong Si-nio menggerakkan tangan, "Plang", dengan keras ia gampar muka Siau Cap-it Long.

Siau Cap-it Long melenggong. Sungguh tak pernah terpikjr olehnya, setelah dua tahun tak bertemu, perbuatan pertama yang dilakukan Hong Si-nio adalah menggampar mukanya.

Hong Si-nio berjingkrak berdiri, pekiknya keras, "Kenapa aku tidak boleh kawin dengannya? Senang kawin dengan siapa, aku kawin dengan dia, peduli amat dengan dirimu? Kau tidak perlu mengurus diriku."

Kembali Siau Cap-it Long dibuat menjublek di tempatnya.

"Aku kawin dengan dia, memangnya kau tidak terima?" damprat Hong Si-nio, "memangnya kau kira seumur hidupku ini tidak laku kawin?"

Siau Cap-it Long tertawa getir.

"Hoa Ji-giok," teriak Hong Si-nio pula, "beri tahu padanya ...." Suaranya tiba-tiba berhenti, baru sekarang ia sadar, secara diam-diam Hoa Ji-giok telah minggat.

Memangnya Hoa Ji-giok adalah manusia usil yang suka memanfaatkan setiap kesempatan.

Hong Si-nio berjingkrak pula, dengan sengit ia renggut baju dada Siau Cap-it Long.

"Kau ... kau ... kenapa kau biarkan dia pergi?"

"Bukan aku membiarkan dia pergi. Dia sendiri yang melarikan diri," sahut Siau Cap-it Long.

"Kenapa tidak kau bekuk dia? Kenapa tidak kau bunuh dia?" pekik Hong Si-nio.

"Membunuhnya? Bukankah dia suamimu, kau ingin aku membunuhnya?"

"Siapa bilang dia suamiku?"

”Barusan kau sendiri yang bilang."

Hong Si-nio berjingkrak pula, "Kapan aku pernah bilang demikian?"

"Barusan."

"Aku hanya bilang terserah aku senang menikah dengan siapa, lalu siapa yang pernah menikah dengan dia, itu pertanyaan kepadamu, kenapa aku tidak boleh menikah dengannya? Aku tidak bilang kalau dia suamiku?"

"Dua macam pertanyaanmu tadi apa ada bedanya?"

"Jelas berbeda, malah jauh bedanya."

Siau Cap-it Long bungkam dibuatnya, sungguh tak habis mengerti dan sukar membedakan dimana perbedaannya. Syukur lekas ia sudah paham tentang satu hal.

Kalau Hong Si-nio bilang antara dua persoalan itu ada bedanya, tentu dan pasti berbeda, kalau Hong Si-nio bilang mentari itu persegi, maka matahari itu betul adalah persegi.

Kalau kau terus berbantah dengan dia, ibaratnya kau menumbukkan batok kepala sendiri ke tembok.

Hong Si-nio masih melotot sekian lama, akhirnya bertanya, "Kenapa kau tidak bicara?"

Siau Cap-it Long menghela napas sambil mengelus pipi, "Aku hanya menutup mulut saja, bukan tidak bicara."

"Tutup mulut dan tidak mau bicara apa ada bedanya?"

”Tentu saja berbeda, malah besar bedanya."

Dengan gemas Hong Si-nio masih melotot sekian lama, akhirnya cekikikan geli malah.

Kecuali betul-betul keki, dongkol dan penasaran, Hong Si-nio bukan perempuan yang tidak tahu aturan. Bila dia marah juga tidak bertahan lama, hal ini sering terbentur dengan Siau Cap-it Long.

Siau Cap-it Long juga sedang mengawasinya dengan tertawa, lalu tanyanya, "Tadi pernah aku bilang sepatah kata, entah kau mendengar tidak?"

"Kau bilang apa?" tanya Hong Si-nio.

"Aku bilang bukan saja kau tidak kelihatan lebih tua, malah kelihatan makin cantik dan lebih muda."

Hong Si-nio menahan geli, katanya, "Aku tidak mendengar, aku hanya mendengar kau bilang aku ini siluman perempuan."

"Dua tahun kita tidak bertemu, tahu-tahu kau persen aku satu gamparan, ditambah satu tendangan, lima patah kata aku bilang kepadamu, sepatah kata pun kau tidak mendengar, memakimu sepatah kau mendengar jelas sekali." Sampai di sini ia menggeleng kepala sambil menarik napas panjang, "Hong Si-nio oh Hong Si-nio, ku-lihat kau memang tidak berubah."

Mendadak Hong Si-nio menarik muka, "Tapi kau justru berubah."

"O, dalam hal apa aku berubah."

"Kau memang seorang bergajul, bergajulnya bergajul."

"Itu dulu, sekarang bagaimana?"

"Sekarang kau malah terhitung bergajul bangkotan," amarahnya seperti berkobar pula, suaranya juga makin keras, "Kutanya kau, kenapa kau paksa Cia Thian-ciok mencukil mata sendiri. Begitu pula kau paksa Auyang bersaudara mencolok mata mereka?"

Siau Cap-it Long menghela napas, "Sudah kuduga, kau akan membela mereka."

"Sudah tentu aku harus membela mereka, kau sendiri pernah bilang lelaki punya mata, memangnya untuk memandang perempuan cantik, bahwa seorang perempuan cantik molek, apa salahnya buat tontonan kaum lelaki?"

Siau Cap-it Long mengangguk, dia memang pernah bilang begitu, dengan ujung mata Hong Si-nio mengerling kepada Pin-pin, jengeknya dingin, "Lha kenapa dia justru tidak boleh dipandang? Kenapa orang memandangnya lebih lama, lalu bola matanya harus dibikin buta?”

"Itu kan hanya alasan belaka."

"Alasan katamu?"

"Umpama mereka tidak mengawasinya, aku tetap akan paksa mereka mencukil bola mata sendiri."

"O, apa alasanmu?"

Mendadak sikap Siau Cap-it Long berubah serius, "Bahwa aku hanya menyuruh mereka mencukil bola matanya, terhitung hukuman ringan bagi mereka, karena hukuman yang setimpal adalah mati."

"Kenapa mereka harus mati?" tanya Hong Si-nio.

"Sudah tentu aku punya alasan."

"Alasan apa?"

"Apa alasannya, panjang ceritanya, kalau ingin mendengar penjelasanku, tenteramkan dulu hatimu, jangan marah-marah saja."

Mata Hong Si-nio melirik ke arah Pin-pin lagi, "Amarahku justru akan terus berkobar."

Siau Cap-it Long menarik napas, "Jika kau tahu sebab musababnya, kutanggung kau tidak akan marah."

Hong Si-nio menjengek dingin.

"Bukan saja kau tidak marah, malah akan membantuku mencukil mata mereka."

"Ah yang benar."

"Kapan aku pernah berbohong kepadamu?"

Sesaat Hong Si-nio menatapnya tajam, akhirnya berkata lembut, "Apa yang kau ucapkan hakikatnya aku tidak percaya, tapi entah kenapa begitu berhadapan dengan kau, tiap patah katamu aku percaya sekali."

"Maka legakan dulu hatimu, dengarkan penjelasanku."

"Betapapun hatiku tidak akan lega."

"Kenapa?"

"Perutku lapar sekali."

"Kau ingin makan apa?"

Sorot matanya makin lembut, dengan gayanya Hong Si-nio berkata, "Mi bakso atau mi pangsit, makanan yang paling mudah didapat."

* * * * *

Di kota-kota besar atau kecil, dimana saja bisa kita cari penjual bakmi, umumnya penjual bakmi tidak kenal waktu, tengah malam pun masih bisa menghidangkan keinginan pembeli. Maklum di kota mana pun pasti ada penduduk yang suka keluyuran malam, seperti kucing kelaparan yang memburu makanan.

Para penjual bakmi yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan, kebanyakan orang-orang tua yang berwatak aneh, lagi kolot.

Penjual bakmi di pinggir jalan inipun adalah lelaki tua pincang, sayur asin yang dijual mirip penjualnya, kaku dingin lagi keras. Tapi semangkuk bakmi pangsit yang disuguhkan masih panas.

Mengawasi bakmi di atas mejanya, mengawasi Siau Cap-it Long yang sedang menuang arak, timbul perasaan hangat dalam relung hati Hong Si-nio, sehangat kepulan asap bakmi dalam mangkuk. Tapi di samping Siau Cap-it Long masih ada cewek lain. Pin-pin, gadis ini kelihatan lembut cantik lagi anggun.

Tiap kali memandang gadis ini, perasaan Hong Si-nio selalu keki, katanya menyindir sambil menarik muka, "Makanan yang dijual seperti ini, memangnya nona ini juga bisa makan."

"Sudah biasa dia makanan seperti ini," yang menjawab malah Siau Cap-it Long.

"Darimana kau tahu dia biasa makan? Memangnya kau cacing dalam perutnya."

Siau Cap-it Long tidak berani berbantah lagi.

Pin-pin hanya menundukkan kepala, tidak berani bersuara. Jelas ia merasakan Hong Si-nio tidak simpati terhadap dirinya. Yang pasti dia masih bisa tertawa, tiada alasan Hong Si-nio meneruskan sindirannya.

Duduk bertiga mereka sibuk melalap bakmi, tiada pembicaraan, tanpa basa basi. Hong Si-nio menjadi sebal rasanya. Untung ada, arak, sekaligus Hong Si-nio menghabiskan dua cawan arak, sindirnya lagi, "Arak macam ini, nona juga biasa minum?"

"Bukannya tidak doyan arak, selama ini dia tidak pernah minum arak," Siau Cap-it Long pula yang menjawab.

"Ya, seorang nona yang agung cantik, mana mau minum arak murahan. Apalagi minum bersama perempuan liar macamku ini."

Tanpa bicara Pin-pin menuang secawan arak, diangkatnya baru berkata, "Sebetulnya aku tidak biasa minum, malam ini boleh kulanggar kebiasaan itu."

"Kenapa harus melanggar kebiasaan?"

"Sebab sejak lama kudenggar nama besar Toaci, dalam hati aku selalu berpikir, akan datang suatu hari aku bisa duduk bersama minum arak dengan Su-toaci yang gagah berani, betapa riang hatiku." Langsung ia tenggak habis secawan arak itu.

Hong Si-nio mengawasinya, entah kenapa perasaannya menjadi tawar, tidak segemas tadi. Berbeda dengan sorot mata Siau Cap-it Long, menampilkan rona aneh, seperti kasihan dan mengandung rasa pilu.

Setelah menghabiskan tiga cawan arak dan semangkuk bakmi, perasaan Hong Si-nio sudah wajar kembali, perlahan ia kunyah kuping babi di mulutnya sambil berkata, "Sekarang aku tidak marah lagi, kenapa tidak lekas kau bicara."

Siau Cap-it Long menghela napas, "Persoalan ini rumit dan ruwet, entah darimana aku harus mulai?"

Berputar bola mata Hong Si-nio, "Tentu dari duel kali itu."

"Duel yang mana?"

"Duel antara kau dengan Siau-yau-hou."

Duel itu sendiri sudah menggemparkan Kangouw, sayang tiada orang menyaksikan, tiada orang tahu bagaimana akhir duel itu.

Sejak zaman dahulu, duel antara dua tokoh Bulim tiada yang lebih seru, misterius, lebih aneh dari duel Siau Cap-it Long melawan Siau-yau-hou.

Siau Cap-it Long menghabiskan dua cawan arak lagi baru menarik napas panjang, katanya, "Hari itu aku sudah siap menerima kematian. Aku insaf, di dunia sekarang ini tiada tokoh besar mana pun yang mampu menghadapi lawan setangguh Siau-yau-hou."

”Tapi sekarang kau bisa hidup, tetap segar bugar."

"Ya, aku sendiri tidak tahu dan tidak menyangka."

"Bagaimana Siau-yau-hou?"

"Mungkin sudah mampus."

Bersinar bola mata Hong Si-nio, dengan keras ia menggebrak meja, "Memangnya sudah kuduga kau pasti bisa mengalahkan dia. Ilmu silatmu mungkin bukan tandingannya, tapi kau memiliki tekad dan keyakinan yang tidak dimiliki orang lain."

"Sayang sekali, umpama aku punya seribu tekad dan seribu keyakinan, tetapi aku bukan tandingannya."

"Benar kau bukan tandingannya?"

"Pasti bukan," ujar Siau Cap-it Long, "paling banyak aku hanya mampu melawan dua ratus jurus, dua ratus jurus kemudian aku sudah kehabisan tenaga, napasku sudah senin kamis, kalau dia tidak sengaja mau mempermainkan aku, aku sudah mampus."

"Tapi sekarang kau masih hidup dan dia telah mati."

"Itu karena di saat aku hampir mati, seseorang mendadak menolongku."

"Siapa penolongmu?" tanya Hong Si-nio mendelik.

"Dia," sahut Siau Cap-it Long. 'Dia' yang dimaksud jelas adalah Pin-pin.

Hong Si-nio terperangah, "Cara bagaimana dia menolongmu?"

"Ujung jalan di pinggir gunung itu adalah ngarai terjal, aku bertarung dengannya di atas ngarai itu."

Hong Si-nio diam, mendengar dengan penuh perhatian.

"Dua sisi ngarai itu tegak lurus, di bawahnya adalah jurang yang tak terukur dalamnya.

"Dia sudah menyiapkan kuburan buatmu."

"Ya, dia juga bilang begitu, dia bilang ngarai itu dinamakan Sat-jin-gai. Ngarai membunuh manusia sungguh menggiriskan namanya."

"Ngarai itu memang tempat dimana ia sering membunuh orang."

"Ya, setelah membunuh orang dia tidak perlu repot mengubur jenazahnya."

"Entah berapa banyak orang yang telah ia bunuh di sana, di bawah ngarai itu betapa banyak sukma gentayangan, arwah yang penasaran, maka begitu mendengar suara panggilan dari bawah ngarai, meski besar nyalinya membunuh orang, mengkirik juga dia."

"Panggilan? Panggilan apa?"

"Di saat ia hendak membunuhku, mendadak mendengar kumandang suara panggilan namanya dari bawah ngarai."

"Dia juga punya nama?”

"Dia bukan she Thian, tapi she Koso, namanya Koso Thian, asalnya keturunan Anso Koso. Dia bukan orang Han."

"Tak heran tiada orang di Kangouw yang tahu nama dan asal-usulnya. Tentunya dia sendiri malu kalau orang tahu dirinya adalah keturunan suku kerdil yang terbelakang."

Siau Cap-it Long berkata, "Karena selama ini tiada orang tahu nama dan asal-usulnya, saat mendengar suara panggilan namanya dari bawah ngarai, baru dia benar-benar kaget dan mengkeret nyalinya."

"Arwah-arwah penasaran di bawah ngarai itulah yang menuntut keadilan kepadanya."

"Begitu suara panggilan namanya berkumandang dari bawah ngarai, seketika ia berdiri kaku ketakutan."

"Jelas kau tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu."

"Waktu itu aku sudah kehabisan tenaga, umpama ada kesempatan juga tak mampu aku membunuhnya. Tapi waktu golokku membacok punggungnya, mendadak dia menjadi gila, sambil meraung kalap melompat ke dalam jurang."

"Seorang kalau tangannya penuh melakukan kejahatan, akan datang saatnya menjadi gila dan menerima nasibnya yang tragis," ujar Hong Si-nio dengan gemas, "lalu siapa yang memanggil namanya dari bawah ngarai?"

"Aku," sahut Pin-pin.

Hong Si-nio sudah menduga akan dirinya, "Bagaimana kau bisa berada di bawah ngarai? Darimana kau tahu nama aslinya?"

"Sudah tentu aku tahu, karena...." wajahnya nan ayu memutih mendadak menampilkan perasaan duka, perlahan lalu melanjutkan, "karena aku adalah adiknya."

X. SAUDARA KANDUNG

Ternyata Pin-pin adalah adik kandung Siau-yau-hou.

"Saudara kandung?" Hong Si-nio terbelalak.

"Ya, aku adik kandungnya," sahut Pin-pin.

"Lha, kenapa kau berada di bawah ngarai?"

Sikap Pin-pin tampak menderita, "Kakak kandungku itulah yang mendorongku jatuh."

Hong Si-nio terbelalak kaget, ia sudah menduga di balik peristiwa ini tentu ada rahasianya, rahasia yang memilukan, peristiwa yang menakutkan. Maka ia tidak ingin bertanya lagi, ia tidak ingin membuat orang sedih.

Tapi Pin-pin balas bertanya malah, "Kau tentu heran, kenapa dia mendorongku ke dalam jurang?"

Hong Si-nio mengangguk.

Maka Pin-pin mulai bercerita tentang rahasia yang menyedihkan lagi misterius itu.

"Aku adalah adiknya yang paling kecil. Waktu aku lahir dia sudah dewasa, sejak aku dilahirkan dia sudah mulai membenciku.”

"Sebab semua engkoh dan ciciku semuanya manusia cebol, kecuali dia seorang, seluruhnya sudah meninggal dunia.”

"Aku terkecil justru tumbuh dengan nornal seperti manusia umumnya, maka dia amat membenciku, iri dan cemburu, tentu kalian bisa membayangkan bagaimana perasaannya terhadapku.”

"Untungnya waktu itu ibuku masih hidup, hingga aku bisa bertahan hidup hingga dewasa.”

"Menjelang ajal, wanti-wanti ibuku berpesan kepadanya untuk menjaga dan melindungi aku. Ibu malah memberitahu dia kalau dia berani menganiaya atau menyakiti aku, di alam baka dia tidak akan memberi ampun kepadanya.

"Walau membenciku, hakikatnya dia memang tidak menyia-nyiakan hidupku, sebab terhadap siapa pun dia tidak takut, hanya setan yang amat ditakuti, sejak kecil dia percaya bahwa orang yang sudah mati bisa jadi setan iblis, ada arwah atau roh gentayangan.”

"Hal ini merupakan rahasia, kecuali aku, mungkin tiada orang kedua yang tahu."

Manusia siapa pun dia, bila sering melakukan perbuatan yang melanggar aturan, perbuatan yang merugikan orang lain, pasti dia seorang yang takut setan. Hong Si-nio mengerti betul akan hal ini.

Setelah menghabiskan dua cawan arak, Pin-pin melanjutkan ceritanya, "Hidupku serba berkecukupan, sandang pangan tidak pernah kekurangan, tapi dia melarang aku mencampuri atau mencari tahu urusannya. Biar aku ini adiknya, tentu aku tidak berani bertanya kepadanya.”

"Tapi aku tahu, setiap hari raya Toan-ngo, beberapa hari sebelum dan sesudah perayaan, selalu datang banyak orang mencari dia.”

"Tiap orang yang datang semuanya mengenakan tutup muka, gerak-geriknya mencurigakan dan serba tersembunyi, melihat diriku mereka acuh saja, mungkin disangka aku pelayan engkohku.”

"Engkohku sendiri juga tidak ingin orang lain tahu siapa diriku, apalagi punya adik perempuan ayu seperti diriku."

Sampai hari inipun Hong Si-nio juga belum pernah tahu.

Lebih jauh Pin-pin bercerita, "Engkohku juga tidak pernah menjelaskan siapa saja mereka, apalagi menjelaskan untuk keperluan apa mereka berkumpul di sini.”

"Tapi setelah sering melihat mereka berkumpul, lapat-lapat aku rasakan adanya intrik dan gerakan rahasia mereka. Orang-orang yang datang bertopeng itu tentu adalah kamrat-kamratnya yang sudah dia sogok menjadi kaki tangannya.”

"Aku tahu, selama ini ambisinya teramat besar, tujuannya jelas menguasai jago-jago silat di Kangouw.”

"Aku berpendapat gerakannya itu hanya angan-angan yang menggelikan. Tiada tokoh besar mana pun di Kangouw yang mampu berkuasa di Bulim, para Bengcu yang dahulu pernah terpilih, juga hanya memperoleh nama kosong belaka.”

”Tapi engkohku sangat serius dalam usahanya, malah seperti punya cara khusus yang lain daripada yang lain. Kanyataan orang-orang yang datang menghadiri pertemuan rahasia itu dari tahun ke tahun jumlahnya terus bertambah.”

"Dua tahun lalu waktu perayaan Toan-ngo, yang datang sungguh luar biasa banyaknya, sikap dan tindak-tanduknya kelihatan amat semangat, gairahnya memuncak, tanpa sengaja pernah kudengar dia menggumam, katanya sudah setengah orang-orang gagah di kolong langit ini yang sudah masuk dalam genggamannya.”

"Ketika malam tiba, mereka berkumpul di gua yang berada di belakang gunung, letak gua itu amat strategis dan tersembunyi, sudah menjadi ketentuan mereka, setalah masuk dan berada dalam gua, mereka pasti tinggal dua tiga hari di sana.”

"Mereka adalah manusia, tentu harus makan minum, maka setiap hari pada jam-jam tertentu akan datang orang-orang yang bertugas mengantar makanan dan minuman, para petugas kasar ini adalah orang-orang yang dibikin bisu dan tuli.”

"Tahun itu, tak tertahan rasa ingin tahuku, ingin aku masuk melihat keadaan di dalam, ingin tahu siapa saja kamrat-kamratnya yang sudah dibeli olehnya.”

"Di kala barisan pengantar makanan masuk ke dalam, aku mengenakan seragam mereka untuk berbaur dan ikut menyelundup masuk. Aku pernah belajar ilmu tata rias, tak nyana penyamaranku diketahui juga olehnya.”

"Syukur aku sempat melihat wajah orang-orang itu, sebab setelah berada dalam gua, mereka menanggalkan tutup kepala. Aku keluar masuk hanya sebentar, sekilas banyak wajah mereka yang kuingat betul, sejak kecil aku memang punya bakat yang tidak dimiliki orang lain. Bahwasanya Siau-yau-hou adalah orang yang cerdik pandai, sekali pandang takkan pernah dilupakan.”

Bersambung

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar