Bentrok Para Pendekar Jilid 17

Baca Cersil Mandarin Online: Bentrok Para Pendekar Jilid 17
Jilid 17

Dengan berlinang air mata ia mengawasi Siau Cap-it Long, hatinya manis dan kecut, senang juga berduka, akhirnya tak tahan menangis tergerung-gerung, serunya di tengah sedu sedannya, "Kau ini pikun, goblok. Kenapa selalu demi kepentingan orang lain, kau melakukan perbuatan sebodoh ini?"

Tawar namun tegas suara Siau Cap-it Long, "Aku tidak pikun, tapi kau adalah Hong Si-nio."

Hanya sembilan patah kata, diucapkan secara enteng dan jelas, tapi siapa tahu, betapa hangat perasaan yang terkandung dalam sembilan patah kata itu. Hancur luluh perasaan Hong Si-nio.

Perlahan Lian Shia-pik berdiri, lalu maju beberapa langkah
mengambil golok itu, secepat kilat mendadak mencabut golok. Gaya dan gerakannya mencabut golok ternyata juga cepat luar biasa. Sinar golok berkelebat, tahu-tahu sudah kembali ke sarungnya, tapi poci arak yang terbuat dari tembaga tahu-tahu sudah terbelah menjadi dua. Arak dalam poci meleleh keluar mirip darah.

Lian Shia-pik mengelus rangka golok, sorot matanya memancar terang, gumamnya, "Golok bagus, sungguh golok kilat."

Bola mata Hoa Ji-giok juga memancar terang, katanya "Kalau bukan golok kilat, mana mampu memenggal leher Siau Cap-it Long."

Lian Shia-pik menghela napas panjang, "Siapa duga, golok ini akhirnya jatuh di tanganku."

"Sejak awal sudah kuperhitungkan," ujar Hoa Ji-giok tertawa, "cepat atau lambat golok itu akhirnya menjadi milikmu."

Mendadak Lian Shia-pik berkata dengan tatapan tajam, "Lepaskan dia."

Mimik tawa Hoa Ji-giok seketika berubah beku, serunya, "Kau ... betul kau minta aku melepasnya?"

Dingin suara Lian Shia-pik, "Memangnya kau anggap aku ini orang yang tidak dapat dipercaya?"

"Tapi kau...."

"Apa yang pernah kukatakan tak pernah kujilat lagi," kata Lian Shia-pik tegas, "tadi aku bilang, bila dia menanggalkan golok, akan kubebaskan Hong Si-nio."

Benderang lagi bola mata Hoa Ji-giok, tanyanya, "Tapi kau tidak bilang, setelah membebaskan dia, lalu membiarkan dia pergi."

"Ya, memang tidak."

"Kau juga tidak bilang akan membunuhnya dengan golok itu."

"Juga tidak."

Hoa Ji-giok tertawa lagi, tawa lebar sambil melepas tangan, "Biar kulepas dulu baru kau membunuhnya, baik ...."

Gelak tawanya mendadak putus. Karena pada saat itulah sinar golok kembali berkelebat, sebuah lengan orang mendadak tertabas putus, lengan yang berlepotan darah. Gelak tawa itu berubah menjadi lolong kesakitan.

Bukan lengan Hong Si-nio yang tertabas buntung, tapi lengan Hoa Ji-giok.

Dingin suara Lian Shia-pik, "Tidak kubilang tidak akan membunuhmu bukan?"

Hoa Ji-giok beringas, pekiknya, "Bila membunuhku, kau akan menye ...." Belum habis ia bicara, sinar golok kembali berkelebat, tubuh Hoa Ji-giok langsung roboh terkapar.

Sampai mati ia tidak pernah menyangka Lian Shia-pik bakal membunuhnya, siapa pun yang menyaksikan peristiwa ini juga pasti tidak akan menyangka.

Cahaya rembulan tidak berubah, suasana malam tetap lengang. Angin yang berhembus mengandung bau amis.

Perut Hong Si-nio seperti dikocok-kocok, rasa mual hampir membuatnya tumpah.

Manusia macam apapun, peduli dia cantik, agung atau berkedudukan tinggi, kalau mampus dipenggal golok, keadaannya tentu amat mengerikan.

Selama ini Hong Si-nio tidak pernah melihat orang mati, tapi sekarang tak tahan untuk tidak melihatnya. Sebab sampai detik ini, ia masih belum percaya, bahwa Hoa Ji-giok benar sudah mampus.

Mengawasi mayat yang meringkuk di tengah genangan darah, hampir ia tidak percaya bahwa Hoa Ji-giok yang licik, licin mirip ular sanca beracun itu benar-benar sudah menjadi mayat.

Ternyata darahnya juga merah.

Waktu golok menyambar lehernya, kepalanya terpenggal, jiwanya pun melayang, matinya sungguh teramat cepat.

Hong Si-nio menarik napas panjang, mendadak ia sadar sekujur badannya basah kuyup oleh keringat dingin.

XXVIII. BERTINDAK JANGAN KEPALANG TANGGUNG

Cahaya rembulan menyinari golok di tangan Lian Shia-pik, sinarnya yang kemilau mirip bayangan cahaya rembulan di permukaan air danau, golok itu putih bersih, tiada noda darah. Wajah Lian Shia-pik pucat, perlahan ia mengelus mata golok, akhirnya menarik napas panjang, katanya, "Senjata tajam yang tiada bandingan di dunia, nama besar golok ini tidak perlu diragukan."

Siau Cap-it Long menatapnya tajam, sorot matanya menampilkan perasaan aneh, namun mulutnya tetap bungkam, orang lain jelas takkan ada yang mau bersuara, dalam keheningan, dalam kabin hanya terdengar deru napas orang yang berat. Long-ge-pang diturunkan, golok sabit itupun seperti menjadi guram. Dua orang ini diam-diam sudah siap minggat. Mendadak Lian Shia-pik melambaikan tangan, "Saudara Ho Ping, coba kemari, aku ingin bicara."

Golok sabit bimbang sejenak, akhirnya maju mendekat, dengan tawa dipaksakan bertanya, "Kongcu ada pesan apa?"

"Aku hanya ingin tanya satu hal."

"Tanya soal apa?" tanya Ho Ping.

"Tahukah kau kenapa aku membunuh Hoa Ji-giok?"

Ho Ping menggeleng kepala, ia tidak bodoh ‘orang yang tahu terlalu banyak, hidupnya selalu takkan panjang', tentu dia paham akan pengertian ini.

"Betul kau tidak tahu?" Lian Shia-pik menegas.

"Betul tidak tahu," sahut Ho Ping.

Lian Shia-pik menghela napas, "Urusan sepele tidak tahu, apa arti hidupmu ini?"

Berubah air muka Ho Ping, badannya langsung berjumpalitan ke belakang, di tengah udara, golok sabitnya mengiris turun ke bawah, ilmu golok sabitnya ini sebetulnya ajaran murni dari laut timur, jurusnya aneh, licik dan cepat sekali, termasuk ilmu golok kelas satu di kalangan Kangouw, gerak goloknya yang kemilau itu jelas memebendung serangan yang bakal datang menyergap dirinya.

Sayang aksinya tak mampu membendung serangan golok jagal rusa. "Ting", hanya sekali berdenting. golok sabit jatuh ke lantai, bila sinar golok berkelebat lagi, darah pun berhamburan di angkasa.

Badan Ho Ping yang tinggi besar itu mendadak terbanting jatuh tepat di antara genangan darahnya sendiri.

Sekali menggerakkan golok, Lian Shia-pik tidak memperhatikan korbannya, berpaling ke sana ia berkata, "Saudara The Kong, ada persoalan yang juga ingin minta penjelasanmu."

Jelas The Kong tidak berani mendekat, Lian Shia-pik malah yang maju beberapa langkah, The Kong menyurut mundur dua langkah, namun punggungnya sudah mepet dinding, tiada jalan mundur, mendadak ia berkata lantang, "Selama ini aku tidak pernah ada hubungan dengan orang she Hoa, umpama kau membacoknya sepuluh kali, aku tidak akan memberi komentar."

"Aku hanya ingin tanya," ujar Lian Shia-pik, "tahukah kau kenapa aku membunuhnya?"

The Kong mengangguk, ia bukan orang bodoh, jelas takkan mau mengatakan 'tidak tahu'.

"Tahukah kau apa alasanku?"

"Maksud awal kedatangan kita ke sini adalah untuk membunuh Siau Cap-it Long, tapi mendadak kau merubah tujuan semula."

"Jelaskan lebih lanjut."

Merah berganti hijau muka The Kong, akhirnya memberanikan diri melanjutkan, "Merubah haluan di medan perang, merupakan larangan besar bagi Thian Cong. Kau takut dia membocorkan rahasia, apa boleh buat, maka kau membungkam mulutnya."

Lian Shia-pik menghela napas, "Tahukah kau berapa kecepatan kilat menyambar."

Lian Shia-pik menghela napas lalu melanjutkan, "Urusan rumit ini juga kau ketahui, bagaimana mungkin aku membiarkan kau hidup?"

Berubah air muka The Kong, sambil menggerung keras Long-ge-pang di tangan kiri menyapu dengan jurus Hing-sau-jian-kun (menyapu bersih ribuan tentara), sementara Long-ge-pang atau pentung gigi serigala di tangan kanan mengepruk dengan tipu Thay-san-ap-ting (gunung Thay menindih kepala). Diselingi deru angin kencang keduanya menyerang, sepasang pentung besinya ini beratnya ada tiga puluh tujuh kati, jurusnya kencang tenaganya besar perbawanya keras sekali, sayang gerakannya masih terlambat, jelasnya kalah cepat, sinar golok yang tajam luar biasa mendahului membacok badannya secepat kilat.

Tahukah kau berapa kecepatan kilat menyambar, betapa besar kekuatannya?

Golok itu tetap bersih, tiada noktah darah. Lian Shia-pik mengelus mata golok, sorot matanya menampilkan pujian dan sayang, mulutnya menggumam, "Belul-betul golok tiada bandingan di dunia, senjata ampuh yang tidak bernama kosong."

Mendadak Hong Si-nio berkata, "Berpisah sekian tahun, permainanmu ternyata tidak pernah lambat."

"Golok inipun tidak pernah tumpul," ujar Lian Shia-pik.

"Aku hanya tahu ilmu pedangmu cukup tinggi, tak kunyana kau pun pandai main golok."

"Golok atau pedang, sama-sama senjata untuk membunuh orang, aku mahir membunuh orang."

"Orang yang pandai menggunakan pedang, bila mendapatkan golok sebagus itu, mungkin tidak mengembalikan kepada pemiliknya?"

"Jelas tidak," ujar Lian Shia-pik tetap mengelus mata golok, mendadak tangannya mengayun, golok di tangannya meluncur terbang, bagai bianglala golok itu meluncur terbang ke arah Siau Cap-it Long, tapi yang meluncur di bagian depan justru gagang golok bukan mata golok.

"Aku jelas takkan menyerahkan golok ini kepada orang lain, aku hanya mau menyerahkan kepadanya."

Bersinar mata Hong Si-nio, "Kenapa?"

"Karena dia adalah Siau Cap-it Long."

"Ya, hanya Siau Cap-it Long pantas menggunakan golok itu."

Ujung mulut Lian Shia-pik mengkeret sekilas, "Peduli dia ini orang baik atau orang jahat, di kolong langit, memangnya hanya dia seorang yang setimpal menggunakan golok ini."

"Kalau senjatanya bukan golok, tapi pedang?" tanya Hong Si-nio.

Ujung mulut Lian Shia-pik kembali mengunjuk senyum misterius, suaranya lebih kalem, "Kalau golok ini berubah pedang, maka pedang itu pasti adalah pedangku."

Meski dingin dan perlahan perkataannya, namun bernada bangga, penuh keyakinan.

Sejak beberapa tahun lalu ia sudah punya keyakinan itu, ia tahu dirinya bakal menjadi ahli pedang, jago pedang yang tiada bandingan di kolong langit.

Mengawasi orang, Hong Si-nio menghela napas, "Ternyata pribadimu tidak berubah."

Dengan ringan Siau Cap-it Long menyambut goloknya, lalu mengelus mata goloknya, katanya, "Ada sementara orang mirip golok ini, golok ini selamanya takkan jadi tumpul, orang seperti itu mana bisa berubah." Lalu ia berpaling mengawasi Lian Shia-pik, "Kuingat kau dahulu juga sering minum arak."

"Kau tidak salah ingat."

"Sekarang?"

Lian Shia-pik juga mengangkat kepala mengawasinya, mereka saling tatap, lama sekali, akhirnya berkata perlahan, "Kau pernah bilang, ada sementara orang selamanya takkan pernah berubah, orang yang sering minum arak, kebanyakan manusia jenis itu."

"Bukankah kau manusia jenis itu?" tanya Siau Cap-it Long.

Lian Shia-pik memanggut.

Seguci arak berada di atas meja, mereka bertiga duduk berhadapan mengitari meja.

Sekarang bertambah satu orang di antara mereka, bagi perasaan Hong Si-nio, hubungan dirinya dengan Siau Cap-it Long justru bertambah akrab, jaraknya makin dekat.

Kini mereka sama merasakan, dari badan orang ini seperti tumbuh tekanan aneh yang tak bisa dijelaskan dan tidak terlihat, tekanan berat mirip tajam pedang. Waktu menghadapi Ang Ing dan Lok Liu dahulu, mereka juga merasakan adanya tekanan dari badan mereka. Demikian pula dari badan Lian Shia-pik yang mengeluarkan tekanan, yakin lebih besar, lebih berat dibanding waktu itu.

Tanpa sadar tapi pasti Hong Si-nio mendekat di samping Siau Cap-it Long, sampai sekarang baru ia merasakan pribadi Lian Shia-pik ternyata jauh lebih aneh, khas dan susah diterka tindak-tanduknya. Tak tahan akhirnya ia bertanya, "Apa benar tujuanmu hendak membunuh kami?"

"Rencana ini sebetulnya cukup rapi, sudah lama kuatur rencana ini."

"Tapi mendadak kau berubah haluan?"

"Pribadiku takkan pernah berubah, tapi rencana bisa saja sewaktu-waktu berubah."

"Karena persoalan apa rencanamu kali ini berubah."

"Sebab aku mendengar percakapan kalian tadi di sini."

"Kau dengar seluruh percakapan kami?"

"Aku mendengar jelas sekali, maka aku mengerti orang macam apa dia sebenarnya."

"Benar kau memahaminya?"

"Paling tidak aku sudah mengerti, dia bukan orang yang dingin tak kenal budi seperti yang dikatakan orang, walau dia menghancurkan keluarga kami, tapi dalam sanubarinya yang paling dalam, mungkin jauh lebih sengsara dari kami."

"Sayangnya derita dan sengsara hatinya takkan pernah dipahami orang lain, tiada orang bersimpati kepadanya." Lama Lian Shia-pik menepekur, akhirnya berkata perlahan, "Riang atau gembira banyak macamnya, derita yang benar-benar derita semua sama, kalau orang pernah meresapi derita yang benar-benar derita, maka ia akan mengenal penderitaan orang lain."

"Hanya orang yang benar-benar merasakan siksa derita, baru akan memahami derita orang lain."

"Aku mengerti, sudah lama aku mengerti ...." Sorot matanya memandang jauh ke depan, tabir malam tampak remang, bola matanya seperti dilapisi halimun. Apakah cahaya rembulan mengaburkan pandangannya? Atau karena air mata yang berlinang?

Mengawasi sepasang bola mata orang, mendadak Hong Si-nio merasakan derita yang mengendap dalam sanubarinya mirip derita yang dirasakan Siau Cap-it Long, sama dalam sama keras.

Lian Shia-pik berkata lagi, "Karena aku mengerti betapa menakutkan rasa derita itu, maka aku tidak ingin melihat orang lain ikut menderita karena persoalan yang sama."

"Benarkah?" tanya Hong Si-nio.

Lian Shia-pik tertawa, mimik tawanya kelihatan betapa sedih dan pilu hatinya. Dengan suara lirih akhirnya ia berkata pula, "Yang harus pergi, cepat atau lambat memang harus pergi. Sekarang dia sudah pergi, pergi ke lempat dimana ia ingin pergi, membawa seluruh budi dan dendam. Kalau demikian maksudnya, kenapa kita tidak melupakan dendam yang bersemayam dalam sanubari kita?"

Hong Si-nio menghela napas, katanya sendu, "Betul, dia pergi membawa seluruh dendamnya, baru sekarang aku mengerti maksudnya, selama ini aku salah paham kepadanya."

Kepalanya menunduk, ia tidak berani memandang kepada Siau Cap-it Long, tidak tega memandangnya, karena air mata sudah bercucuran membasahi pipi.

"Yang harus pergi sudah pergi, urusan ini juga tiba saatnya berakhir, kenapa aku harus menciptakan kesalahan yang baru?"

"Maka, kau bisa merubah haluan?"

Lian Shia-pik tertawa-tawa, "Apalagi akhirnya aku sadar, tiap orang kapan saja bisa melakukan kesalahan, seorang kalau menderita karena sadar akan perbuatannya yang salah, bukankah dia harus mengeluarkan imbalan?"

Hong Si-nio mengawasinya, seperti belum pernah selama hidupnya bertemu dengan orang di hadapannya ini. Mungkin baru sekarang ia betul-betul melihat jelas orang di depannya ini. Mendadak ia bertanya, "Pernahkah kau berbuat salah?"

"Aku adalah orang biasa," sahut Lian Shia-pik.

"Kau sadar mestinya kau tidak menjadi anggota Thian Cong?"

"Dalam hal ini aku tidak salah."

"Tidak salah?"

"Aku masuk Thian Cong hanya dengan satu tujuan."

"Tujuan apa?"

“Membongkar rencana jahat mereka, menghancur-leburkan organisasi mereka," kata Lian Shia-pik dengan tangan tergenggam kencang, "sengaja aku berpura-pura patah semangat, luluh-lantak, bukan untuk menipu kalian, sekarang kuyakin kau sudah mengerti apa tujuanku?"

"Sedikitpun aku tidak mengerti," sahut Hong Si-nio geleng kepala.

Lian Shia-pik menenggak secawan arak, mendadak bertanya, "Kau mengerti orang macam apa sebenarnya Lian Shia-pik?"

Hong Si-nio juga mengangkat cawannya, setelah minum secawan baru menjawab, "Seorang yang tabah, cerdik, tapi juga terlalu membanggakan diri sendiri."

"Orang semacam itu mendadak masuk jadi anggota Thian Cong, lalu apa yang kau pikir?"

"Aku akan berpikir, dia pasti punya maksud tertentu."

"Maka kalau engkau sebagai Congcu dari Thian Cong, umpama membiarkan dia masuk ke Thian Cong, segala kegiatannya pasti selalu diperhatikan, tindak-tandukmu pasti diawasi."

"Ya, benar."

"Tapi bila seorang yang sudah luluh, patah arang, apalagi setan arak, jelas berbeda bobotnya."

"Tapi masih ada yang belum aku mengerti, kenapa kau cari permusuhan dengan Thian Cong? Kenapa harus merendahkan derajat dan susah payah lagi?"

Sorot mata Lian Shia-pik memandang lurus jauh ke depan, lama menepekur, akhirnya berkata lirih, "Sejak kakek moyangku Hun Jun-kong dengan sepasang tangannya membangun Bu-kau-san-ceng sampai sekarang sudah tiga ratusan tahun lamanya, selama tiga ratusan tahun, anak cucu Bu-kau-san-ceng, kapan dan dimana pun dia selalu disanjung, dihormati orang."

Diam-diam Hong Si-nio mengisi cawannya yang sudah kosong, lalu menunggu orang bercerita lebih lanjut.

"Kakek dari kakek moyangku Thian-hong-kong demi membela keadilan bagi kaum Bulim di Kanglam, seorang diri ia meluruk ke Thian-san, menantang Thian-san-jit-kiam yang pada waktu itu disegani dan ditakuti orang, mereka bertarung tiga hari tiga malam, dua puluh sembilan luka di tubuhnya tidak membuatnya binasa, akhirnya ia paksa Thian-san-jit-kiam ikut dia turun gunung ke Kanglam, mohon maaf dan mengaku dosa."

Sampai di sini ia angkat cawan araknya, mukanya yang pucat mulai bersemu merah, lalu melanjutkan, "Lima puluh tahun yang lalu, kawanan Mo-kau membuat onar di Kanglam, bersekongkol dengan tujuh puluh dua aliran hitam perairan, mendirikan serikat, mengagulkan diri sebagai organisasi yang paling kuasa di Kanglam. Kakek moyangku seorang diri meluruk ke markas besar mereka, delapan puluh kali pertempuran besar kecil dialaminya, tak pernah sebabak pun dikalahkan, syukur kaum persilatan di Kanglam akhirnya tidak tertindas atau diperas mereka. Masih banyak anggota keluarga mereka yang membuat kongpo, menghormati dan mengagungkan kebesarannya."

Hong Si-nio segera menghabiskan satu cawan arak sebagai rasa hormatnya. Mendengar kisah kepahlawanan para Cianpwe persilatan masa lalu, sikapnya berubah mirip anak-anak yang tekun dan gairah mendengar cerita lama.

Lian Shia-pik sendiri kelihatan amat terharu tapi berkobar semangatnya, suaranya lebih keras, "Aku adalah anak cucu marga Lian, aku pantang nama baik, kebesaran dan wibawa Bu-kau-san-ceng runtuh dan hancur di tanganku, tidak akan kubiarkan intrik dan rencana busuk Thian Cong terlaksana."

Hong Si-nio mengangkat cawannya lagi, menenggak habis. "Berdasar omonganmu ini, aku pantas menghormatimu tiga cawan."

Lian Shia-pik benar-benar menghabiskan tiga cawan, mendadak menarik napas panjang, "Sayangnya sampai sekarang aku belum tahu siapa sebenarnya ketua Thian Cong?"

Hong Si-nio melenggong, "Kau belum tahu?"

Lian Shia-pik geleng kepala.

"Jadi di hadapanmu dia belum pernah memperlihatkan wajah aslinya?"

"Tidak pernah."

"Jadi dia belum mempercayaimu?"

"Dia belum pernah mempercayai siapa pun. Kalau ada yang pernah melihat muka aslinya, mungkin anjing yang dia pelihara itu."

Hong Si-nio tertawa, tertawa getir, pada saat itulah mendadak dari kejauhan ia dengar tiga kali lolong anjing.

Berubah air muka Lian Shia-pik, tawanya dingin, "Sudah kuduga dia pasti datang."

"Dia memang memelihara anjing, tapi yang memelihara anjing belum tentu dia."

"Yang ini pasti dia."

"Bukankah kalian janji bertemu di malam bulan purnama?"

"Malam ini sudah bulan purnama."

Hong Si-nio menengadah, rembulan bundar tepat bercokol di cakrawala. Di tengah hambusan angin, berkumandang lagi dua kali lolong anjing, suaranya lebih keras, jelas jaraknya makin dekat, seperti sudah berada di luar jendela.

Hong Si-nio ikut tegang, dengan suara lirih ia bertanya, "Dia tahu kau berada di sini?"

"Tapi dia tidak tahu kalau aku sudah berubah pendirian."

"Sekarang dia tentu mengira Siau Cap-it Long sudah mampus di tanganmu."

"Maka dia pasti datang untuk menyaksikan."

"Menyaksikan apa?"

"Menyaksikan batok kepala Siau Cap-it Long."

"Maksudmu dia getol melihat kepala Siau Cap-it Long terpenggal dari badannya?"

"Dia sendiri pernah bilang, sepanjang Siau Cap-it Long masih hidup, hidupnya akan selalu dirundung ketakutan, susah makan tak bisa tidur."

Berputar bola mata Hong Si-nio, tanyanya pula, "Berapa lama kalian merencanakan muslihat ini?"

"Kira-kira setengah bulan,"

"Setengah bulan yang lalu, bagaimana kalian tahu Siau Cap-it Long bakal berada di Cui-gwat-lo?"

"Di samping siapa saja, pasti ada yang sudi membocorkan rahasia, tak perlu heran kalau jejaknya mudah diketahui orang."

"Menurut pendapatmu, siapa pembocor rahasia itu?"

"Tidak tahu."

"Setengah bulan yang lalu," Hong Si-nio coba menganalisa, "Siau Cap-it Long sendiri mungkin tidak tahu kalau hari ini ia bakal berada di Cui-gwat-lo."

"Pasti ada seorang tahu, kalau tidak, mana mungkin kita tentukan tempat pertemuan di sini?"

Hong Si-nio tidak bicara lagi, mendadak ia teringat sesuatu yang amat menakutkan.

Perjalanan Siau Cap-it Long ke Se-ouw bukankah diatur oleh Pin-pin?

Mungkinkah Pin-pin yang membocorkan perjalanan mereka kali ini?

Sebelum dia berencana datang ke Se-ouw, bukankah hanya Pin-pin saja yang tahu akan kedatangannya?

Sebab ia maklum kalau dirinya mau pergi kemana saja, Siau Cap-it Long pasti takkan pernah menentangnya.

Hong Si-nio merasakan kaki tangannya menjadi dingin, tak tahan diam-diam ia mencuri pandang ke arah Siau Cap-it Long.

Siau Cap-it Long duduk mematung, wajahnya kaku, seakan-akan tidak mendengar percakapan mereka.

Mendadak Lian Shia-pik berkata pula, "Betapa ketat, keras dan tinggi disiplin organisasi Thian Cong, tiada bandingannya di kolong langit. Akan tetapi tak mungkin dicegah di antara anggota Thian Cong pasti ada yang berkhianat."

Segera Hong Si-nio bertanya, "Kau tahu siapa saja para pengkhianat itu?"

"Semuanya sudah menjadi mayat."

"Sudah menjadi mayat?" tanya Hong Si-nio melenggong.

"Menurut apa yang kutahu, para pengkhianat itu sekarang sudah mampus semua."

"Siapa yang membunuh mereka?"

"Siau Cap-it Long."

Bahwa Siau Cap-it Long memberantas para pengkhianat Thian Cong, bukankah merupakan peristiwa yang menggelikan?

Hong Si-nio justru merasa ngeri, makin dipikir makin menakutkan, untung keadaan tidak memberi kesempatan untuknya berpikir lebih jauh.

Dari arah danau berkumandang salak anjing dua kali, sebuah perahu tampak meluncur datang di bawah pancaran cahaya rembulan.

Di perahu itu ada seekor anjing tiga sosok manusia, seorang nelayan tua mengenakan caping menggerakkan kayuh di tangannya, seorang anak kecil bcrpakaian hijau berdiri di haluan, tangannya menjinjing sebuah lampion kertas putih, di bawah lampion itu tampak duduk seorang berpakaian hitam, raut wajahnya tampak mengkilap ditimpa cahaya lampion, demikian pula sepasang tangannya juga memancarkan sinar gemerdep, tangannya memeluk seekor anjing kecil.

Congcu atau ketua Thian Cong akhirnya muncul. Kenapa mukanya kelihatan mengkilap?

Muka mengenakan kedok, tangan dibungkus sarung tangan, entah terbuat dari apa, begitu ditimpa cahaya kelihatan gemerdep.

"Apakah dia senang duduk di bawah cahaya lampu?"

"Benar."

Lian Shia-pik merendahkan suara, "Makanya cukup dua kali kau awasi mukanya, pandanganmu bisa kabur."

Hong Si-nio tidak berani bertanya lagi, jantungnya berdegup dua kali lebih kcncang.

Hatinya harap-harap cemas supaya orang ini lekas naik ke atas kapal, ia bersumpah akan menyingkap kedok orang dan membuktikan siapa dia sebenarnya?

Siapa nyana dalam jarak tcrtentu, perahu itu mendadak berhenti, anjing kecil dalam pelukan orang baju hitam mendadak melompat dan lari ke haluan lalu menyalak ke arah rembulan. Maka datang sambutan suara lolong anjing yang ramai dari tengah danau, lalu muncul lagi tiga perahu yang meluncur datang dari kejauhan.

Tiap perahu ada satu anjing tiga sosok manusia.

XXIX. PERJANJIAN SAAT TERANG BULAN

Perahu-perahu itu berayun mengikuti gelombang lembut di tengah danau, semua berhenti di kejauhan, bentuk dan warna bulu keempat anjing itu sama, demikian pula pakaian keempat orang itu mirip satu dengan yang lain.

Di bawah cahaya lampion kertas putih, muka keempat orang itu sama-sama gemerdep, kelihatannya betapa seram dan mengerikan.

Hong Si-nio tertegun di tempatnya.

Waktu berpaling ke arah Lian Shia-pik, mimik orang mirip dirinya, kelihatan heran, takjub dan kaget.

Anjing kecil yang berlari ke haluan itu sudah melompat kembali ke dalam pelukan orang baju hitam. Anak kecil baju hijau yang menenteng lampion mendadak tarik suara dengan nada tinggi, "Lian-kongcu ada dimana, silakan keluar untuk bicara."

Empat bocah buka mulut dan berteriak bersama, tutup mulut berbareng, nadanya sama iramanya juga mirip, sepatah kata pun tidak meleset.

Suara Hong Si-nio teramat lirih, "Kau mau keluar tidak?"

Lian Shia-pik geleng kepala.

"Kenapa?" tanya Hong Si-nio.

"Begitu keluar jiwaku pasti melayang," sahut Lian Shia-pik.

Hong Si-nio tidak mengerti.

"Satu dari keempat orang baju hitam itu adalah Congcu asli."

"Kau sendiri tidak mampu membedakan mana tulen siapa palsu?"

Lian Shia-pik menggeleng kepala, "Maka aku tidak boleh ke sana, bahwasanya aku tidak tahu harus naik ke perahu yang mana."

"Maksudmu jika naik ke perahu yang salah, kau bakal mati?"

"Janji pertemuan ini Hoa Ji-giok yang mengatur, dia yang menentukan, di antara mereka pasti sepakat menggunakan kode pertemuan yang sebelumnya sudah saling disetujui."

"Hoa Ji-giok tidak menjelaskan kepadamu?"

"Tidak."

Hong Si-nio menghela napas, katanya, "Makanya sebelum ajal dia bilang, kalau kau membunuhnya, kau pasti menyesal."

Tiba-tiba satu di antara empat perahu itu bergerak meluncur ke arah Cui-gwat-lo.

Bangkit semangat Hong Si-nio, katanya, "Begitu banyak urusan di dunia, kalau berkukuh tak mau ke sana, terpaksa dia yang datang kemari."

Lian Shia-pik bertanya, "Kau tahu yang datang palsu atau tulen?"

"Persetan dia palsu atau tulen, apa salahnya kita tunggu dia di bawah lampu."

Sampan itu meluncur perlahan, akhirnya berhenti di bawah pagar Cui-gwat-lo.

Baru saja si baju hitam berdiri, anjing cilik dalam pelukannya kembali menyalak tiga kali lalu berlari masuk kabin.

Suasana dalam kabin sunyi gelap, begitu menerobos masuk, anjing cilik itu langsung mendekati mayat Hoa Ji-giok. Suara salaknya mendadak berubah mirip ringkik sedih yang memelas hati.

Waktu masih hidup Hoa Ji-giok tidak pernah memberi rasa senang kepada sesamanya, maka setelah mati, hanya seekor anjing yang merasa sedih baginya.

Mendadak Hong Si-nio merasa ingin tumpah. Sekuatnya ia tahan, sementara langkah di luar kabin makin dekat, derap langkahnya mirip daun musim semi yang berguguran di tanah.

Mendadak dari luar pintu muncul seraut wajah yang mengeluarkan cahaya. Baru saja Hong Si-nio hendak maju ke sana, dua bayangan orang tahu-tahu sudah menerobos lewat di sampingnya. Selama ini belum pernah ia saksikan gerak orang yang begitu cepat, baru sekarang ia sadar, ternyata gerak-gerik Lian Shia-pik tidak kalah cepat dibanding Siau Cap-it Long.

Orang baju hitam yang baru saja melangkah masuk kabin kelihatan amat kaget, baru ada berniat mundur, tulang iganya mendadak kesakitan kena jotosan tinju orang, begitu keras dan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa hingga air kecut tumpah dari perutnya. Mulutnya yang terpentang baru saja ingin berteriak, sebuah jotosan tinju yang lain sudah menghajar mukanya lagi.

Kontan kunang-kunang bertaburan di depan matanya, badannya terjengkang miring ke belakang, akhirnya roboh di lantai, roboh di depan kaki Hong Si-nio.

Baru saja Hong Si-nio menghembuskan napas yang sejak tadi ditahannya, orang ini tahu-tahu roboh di depannya.

Langkah orang ini ringan, jelas Ginkangnya tidak lemah, gerak-gerik dan reaksinya cepat serta cekatan, terhitung tokoh kosen kelas satu di Bulim. Apalagi dalam melaksanakan aksinya kali ini, mereka yakin pasti berhasil, boleh dikata kedua orang ini sudah mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya.

Dalam kegelapan, sekilas kedua orang ini saling pandang, sorot matanya menampilkan reaksi yang aneh, entah saling memberi peringatan atau sayang menyayangi. Lian Shia-pik menghela napas, katanya, "Orang ini jelas bukan Thian Sun."

"Dia bukan?" Siau Cap-it Long balas bertanya.

"Aku pernah melihat dia turun tangan menghukum orang, menilai kemampuan ilmu silatnya, umpama kau dan aku bergabung menyerang dia, dalam tiga puluh jurus yakin takkan bisa mengalahkan dia."

Siau Cap-it Long bungkam.

Tak terpikir olehnya tokoh mana di dunia ini yang mampu mengalahkan mereka berdua dalam tiga puluh jurus.

Hong Si-nio berjongkok lalu meraba-raba badan orang yang menggeletak di lantai, mendadak ia berteriak kaget, "Orang ini sudah mati."

"Mana mungkin mati?" kata Lian Shia-pik. "Tenaga seranganku tidak berat."

"Aku juga ingin mengompes keterangan dari mulutnya," ujar Siau Cap-it Long.

"Kelihatannya, dia ... dia mati ketakutan," belum habis Hong Si-nio bicara, mulutnya menguak hampir tumpah.

Entah sejak kapan dalam kabin besar itu tercium bau busuk yang tak mungkin dijelaskan dengan kata-kata, bau busuk justru teruar dari badan orang yang sudah jadi mayat ini.

Anjing kecil itu melompat ke atas mayat sambil menyalak berulang-ulang. Dari luar kabin mendadak berkumandang dua jeritan yang menyayat hati, menyusul "byuurrr, byuurr" dua kali.

Waktu Hong Si-nio memburu ke depan sana, tukang perahu dan anak kecil di haluan itu sudah tidak kelihatan, riak air di pinggir sampan kelihatan masih bergelombang, lampion kertas putih tampak mengambang di permukaan air.

Di antara riak gelombang mendadak timbul riak air warna merah darah. Sementara tiga perahu yang lain di kejauhan sudah memutar haluan tengah meluncur ke tengah danau.

Hong Sinio membanting kaki, katanya, "Tentu mereka melihat gelagat yang tidak menguntungkan, bocah tidak berdosa itupun mereka bunuh."

Siau Cap-it Long menghela napas, "Bila mereka lolos kali ini, untuk mencari jejak mereka selanjutnya tentu tidak gampang."

"Maka kita harus mengejar," ujar Lian Shia-pik.

"Mengejar bagaimana?" tanya Hong Si-nio.

"Perahu yang berada di tengah itu lajunya agak lambat, duduklah di perahu di bawah ini serta membuntutinya."

"Betul, biar aku mengejar perahu di sebelah kiri," ujar Lian Shia-pik.

"Bila dapat mencari tahu jejak mereka, kita harus segera pulang, jangan sembarang bergerak, apalagi beraksi secara sembrono," kata Siau Cap-it Long kepada Hong Si-nio.

"Kau ... kau akan menungguku di sini?" tanya Hong Si-nio.

"Bagaimanapun hasilnya," kata Siau Cap-it Long lebih jauh, "besok menjelang tengah hari, aku pasti kembali ke tempat ini."

Hong Si-nio mengangkat kepala mengawasinya, seperti ingin bicara apa, mendadak ia membalik badan lalu melompat turun ke perahu yang terikat di bawah pagar, diraihnya galah bambu panjang lalu menutul pinggir kapal besar, setetres air mata mendadak jatuh di tangannya.

Dilihat dari kejauhan, tiga sampan di depan itu seperti hampir lenyap di telan tabir malam yang berkabut.

* * * * *

Permukaan air remang-remang.

Malam sudah larut, entah masih berapa lama datangnya fajar.

Gelombang air danau mengalun lembut, tabir malam juga terasa halus dan tenang, kecuali suara pengayuh menyentuh air di kejauhan, jagat raya seperti sunyi senyap tak ada suara apapun.

Perahu di depan sudah tidak kelihatan, perahu di kiri kanan itupun sudah meluncur jauh, perahu yang di tengah tinggal titik bayangan yang mulai samar.

Sekuat tenaga Hong Si-nio mengayuh, perahunya melaju dengan kecepatan tinggi, air mata terus bercucuran di pipinya.

Selama ini belum pernah ia mengucurkan air mata sebanyak ini, hati sendiri merasa heran dan tak mengerti, kenapa hari ini ia mengucurkan air mata. Ia merasa dirinya seperti amat terpencil, sebatangkara, tak terkatakan betapa rasa takut dalam sanubarinya.

Dunia ini seolah-olah menjadi kosong. Seakan tinggal dirinya seorang yang masih berada di mayapada.

Walau ia paham Siau Cap-it Long pasti akan menunggu dirinya di Cui-gwat-lo. Janji yang pernah diucapkan Siau Cap-it Long tidak pernah membuat orang kecewa.

Entah kenapa hatinya masih dirundung rasa takut, seolah-olah perpisahan ini akan berlangsung lama, takkan bisa berjumpa lagi selamanya.

Kenapa hatinya dirasuk pikiran semacam itu? Hong Si-nio tidak tahu dan tak mampu menjelaskan.

Kembali ia teringat kepada Sim Bik-kun, teringat omongan Sim Bik-kun yang diucapkan sebelum berpisah, ".... hanya engkau yang setimpal menjadi pendamping Siau Cap-it Long, dan hanya engkau yang benar-benar dapat memahaminya ...."

Setaker tenaga Hong Si-nio meluncurkan perahunya, dengan menghabiskan tenaga ia berusaha tidak menggunakan otak memikirkan urusan tetek-bengek, namun bayangan itu terus merasuk hatinya.

Dalam kondisi seperti ini, dia mengharap sukma Sim Bi-kun muncul di hadapannya, membantu dia menentukan arah.

Hembusan angin kencang membuatnya sadar, waktu ia mengangkat kepala, baru ia sadar perahu di depan yang ia kejar sudah tidak kelihatan lagi bayangannya.

Di tengah kegelapan, hembusan angin membawa suara galah menyentuh air, ada niat mengejar ke sana, mendadak ia rasakan air di bawah perahunya berpusar, pusaran air makin kencang seperti mengandung kekuatan yang menyedot perahunya meluncur yang diarahkan ke tujuan lain.

Perahu yang ia tumpangi ternyata meluncur tanpa mampu ia kendalikan lagi.

Hong Si-nio bukan jenis perempuan yang mudah ketakutan dan menjerit-jerit melihat tikus. Kini hampir saja ia menjerit keras, sayangnya umpama dia berteriak pun tidak akan ada orang mendengar.

Pusaran air terasa makin keras, makin kencang, sepertinya ada sebuah tangan tidak kelihatan yang menarik perahunya. Terpaksa ia berdiri mendelong mengawasi ke depan, membiarkan perahunya ditarik orang entah kemana.

Malam makin kelam, hitam pekat.

Entah kenapa tangannya mendadak menjadi lemas.

Sekonyong-konyong perahunya menabrak sebuah tonggak yang muncul di permukaan air.

Di depan tampak sebuah bangunan kecil berloteng, loteng itu muncul di permukaan air pinggir danau disanggah beberapa tonggak besar.

Di atas loteng terdapat tiga jendela yang mengarah ke tiga arah mata angin, di dalam jendela tampak cahaya lampu yang guram.

Ada lampu tentu ada orang. Siapa yang berada di loteng itu? Kekuatan misterius yang luar biasa itu, kenapa membawa perahu Hong Si-nio ke tempat ini?

Tanpa pikir galah panjang di tangan Hong Si-nio menutul di haluan perahunya, meminjam pantulan air, akhirnya perahunya merapat di tepian.

Besar hasrat Hong Si-nio meninggalkan perahu itu, maka tanpa pikir akibat dan apapun yang bakal terjadi, umpama di loteng kecil itu menunggu setan iblis, sudah tidak peduli lagi. Yang penting, kalau kedua kakinya bisa berpijak di tanah, hatinya baru akan merasa lega dan aman.

Rasa air dingin dituang ke dalam hidung sudah pernah dirasakan, mendadak ia sadari mati dengan cara apapun, lebih mending daripada mampus tenggelam di air.

Di belakang loteng kecil itu terdapat sebuah balkon sempit, pagar bambu di pinggir balkon ada beberapa pot bunga seruni yang lagi mekar.

Cahaya lampu menyorot lewat jendela, padahal ketiga jendela itu semuanya tertutup rapat.

Hong Si-nio melompati pagar bambu itu dan turun di balkon, setelah berdiri baru ia menarik napas lega.

Perahunya masih berputar di permukaan air, mendadak suara air beriak keras, kepala seorang muncul di permukaan, siapa lagi kalau bukan orang tergagah di Thay-ouw, yaitu Cui-pau Ciang Hing.

Ternyata bocah ini sehaluan dengan mereka. Setelah menggigit bibir, Hong Si-nio tertawa, katanya, "Ku kira setan air sedang cari mangsa, tak nyana engkau adanya."

Ciang Hing tertawa lebar, dua tangannya menahan pinggir perahu, badannya langsung melompat ke atas lalu berdiri di buritan, ia mendongak sambil tertawa, katanya, "Wah, tak kuduga, Hong Si-nio yang punya nama besar ternyata masih ingat dan kenal orang sepertiku."

"Kau tahu kalau aku ini Hong Si-nio yang terkenal itu?"

"Sudah tentu aku tahu."

Berputar bola mata Hong Si-nio, tanyanya, "Tempat inikah rumahmu?"

"Di sini Se-ouw, bukan Thay-ouw, hanya sementara kucari tempat ini untuk berteduh," sahut Ciang Hing.

"O, jadi tempat ini tempat tinggalmu sementara."

"Boleh, anggap saja demikian."

"Kau membawaku ke tempat tinggal sementaramu ini, apa ada minat menjadikan aku bini sementara?"

Ciang Hing tampak melenggong, mulutnya megap-megap tak mampu mengeluarkan suara. Sungguh tidak nyana, Hong Si-nio bisa mengajukan pertanyaan itu.

Dengan mengerling tajam Hong Si-nio bertanya, "Coba jelaskan, benar tidak?"

Ciang Hing membersihkan air di mukanya, akhirnya menjawab. "Bukan begitu maksudku."

Hong Si-nio tertawa lagi, tawa manis yang menggiurkan, "Peduli apa maksudmu, yang pasti tempat ini rumah tinggalmu, sebagai tuan rumah kenapa tidak kau sambut tamumu masuk ke rumah?"

"Baik, segera aku naik ke atas," ujar Ciang Hing.

Ia tarik ujung tali lalu diikat di tonggak sebelahnya, mirip cecak saja ia merambat naik ke atas. Hong Si-nio berdiri di belakang pagar menunggunya, wajahnya yang jelita dihiasi senyum lebar yang tak kalah mekar dibanding bunga seruni di pinggirnya.

Berhadapan dengan wanita jelita secantik ini, senyum nan menawan hati, kalau hatinya tidak terpincut atau terangsang, jelas dia bukan lelaki tulen, laki-laki jantan.

Ciang Hing jelas adalah lelaki tulen. Kalau tidak memandang ke atas, tak tahan untuk tidak melihat ke atas.

Hong Si-nio tertawa renyah, "Tak kuduga, bukan saja kau pandai berenang, Pia-hou-kangmu juga amat tinggi."

Ciang Hing seperti dibikin pusing, dengan mendongak ia tertawa, katanya, "Aku hanya ...." Belum habis ia bicara, mendadak sebuah benda hitam menghantam dari atas, tepat di wajahnya.

Kali ini Ciang Hing benar-benar semaput.

Batok kepala siapa pun, pasti tak lebih keras dibanding pot bunga, apalagi Hong Si-nio mengantam dengan seluruh tenaganya.

"Prak", benturan cukup keras, badan Ciang Hing tampak terjengkang, lalu "Byuurrr", pot bunga itu ikut tercebur di air.

Hong Si-nio menepuk-nepuk tangan, suaranya dingin, "Di air aku terhitung bebek yang tak pandai berenang, tapi di atas tanah, kapan saja aku mampu membuatmu menjadi itik yang mampus di air."

Lampu masih menyala di atas loteng, namun tiada suara.

Kalau tempat ini sudah disewa Ciang Hing, kini Ciang Hing sudah tenggelam dalam air, loteng ini jelas tidak berpenghuni. Kalau tiada orang lain dalam rumah ini, mungkin sekali di loteng ia dapat menemukan rahasia yang menyangkut rahasia Thian Cong.

Kalau Ciang Hing bukan anggota Thian Cong, buat apa ia menuntun perahu Hong Si-nio ke tempat ini, pengejaran Hong Si-nio atas ketiga perahu itu jadi batal.

Itulah keputusan Hong Si-nio dalam waktu sekilas dengan tebakannya yang jitu, Hong Si-nio amat puas akan keputusannya.

Pintu loteng ternyata sempit, dari luar pintu tidak terkunci. Baru saja Hong Si-nio hendak mendorong pintu, daun pintu tiba-tiba terbuka, seorang berdiri di ambang pintu, mengawasinya, bola matanya yang indah kelihatan sedih, capai, rambutnya yang mayang hitam semampai di pundak, sikapnya nan anggun mirip sekali dewi air yang tampak semampai di keremangan malam.

"Sim Bik-kun!" pekik Hong Si-nio. Mimpi pun tak pernah menyangka, di tempat ini ia bertemu dengan Sim Bik-kun.

Sim Bik-kun adalah manusia biasa, bukan dewi dari kahyangan, bukan roh gentayangan. Dia belum mati, sebagai manusia berdarah daging yang masih hidup dan punya perasaan.

"Kau ...!" pekik Hong Si-nio kaget, "bagaimana kau bisa berada di sini?"

Sim Bik-kun tidak menjawab pertanyaannya, ia membalik badan melangkah ke dalam. Di ruang itu ada ranjang, ada meja ada kursi, di atas meja ada lampu.

Dia memilih pojok dimana cahaya lampu paling guram, lalu menarik kursi duduk di sana, sepertinya ia tidak ingin Hong Si-nio melihat matanya yang benjol merah karena menangis.

Hong Si-nio juga melangkah masuk, dengan tajam mengawasinya, seperti ingin melihat jelas dan tegas apakah benar dia adanya? Atau roh gentayangan yang masih penasaran.

Dengan tawa dipaksakan, akhirnya Sim Bik-kun berkata, "Aku belum mati."

Hong Si-nio juga tertawa nyengir, "Sudah kulihat jelas."

"Bukankah kau merasa heran?"

"Aku ... aku teramat senang."

Hatinya memang amat senang, sesuai harapan dan doanya selama ini semoga muncul keajaiban menyelamatkan jiwa Sim Bik-kun. Semoga Siau Cap-it Long dan Sim bik-kun diberi kesempatan sekali lagi untuk bertemu.

Keajaiban itu sekarang benar-benar muncul.

Bagaimana bisa muncul? Sim Bik-kun berkata perlahan, "Sebetulnya aku sendiri tidak menduga, masih ada orang yang menolongku."

"Siapa menolongmu?"

"Ciang Hing."

Tentu Ciang Hing adanya, kemampuannya dalam air, seperti kemampuan Siau Cap-it Long di daratan, malah ada orang pernah bilang, kapan saja ia mampu mencari sebatang jarum di dasar laut.

Mencari orang jelas lebih mudah dibanding mencari jarum.

Tak heran kemana-mana kami tak berhasil menemukan dirimu, ternyata diseret pergi oleh setan air itu.

Itulah isi hati Hong Si-nio yang tidak sempat ia utarakan. Sebab Sim Bik-kun berkata lebih jauh, "Aku tahu kau pasti pernah melihatnya, kemarin malam dia juga berada di Cui-gwat-lo."

Hong Si-nio menyeringai getir, "Aku pernah melihatnya. Waktu si baju hijau pertama itu hilang, dia berteriak paling keras."

Sim Bik-kun berkata, "Dia memang orang yang simpatik, waktu masih hidup ayahku almarhum mengenalnya, malah pernah sekali menolong jiwanya, maka sepanjang hidupnya sekarang ia selalu mencari kesempatan untuk membalas budi."

"Apa betul dia menolongmu untuk balas budi?" tanya Hong Si-nio.

Sim Bik-kun memanggut, "dia merasa curiga akan peristiwa yang terjadi di Cui-gwat-lo hari itu, maka setelah orang banyak berlalu, dia masih ingin menyelidiki permasalahannya secara diam-diam."

"Dia kembali tepat pada saat kau menceburkan diri ke air?"

"Tidak, dia sudah agak lama bersembunyi di air, belakangan baru aku tahu, dalam sehari, ia sering berendam di air untuk beberapa jam lamanya, menurutnya dia merasa dalam air jauh lebih segar daripada berada di daratan."

Jelas dia lebih senang berendam dalam air, sebab sekali ia berada di daratan, kapan saja kemungkinan jiwanya melayang seperti bebek mampus.

Jelas Hong Si-nio tidak mengutarakan jalan pikirannya ini, sebab ia merasakan kesan Sim Bik-kun terhadap lelaki ini tidak jelek. Namun demikian ia toh bertanya, "Setelah dia menolong dirimu, kenapa tidak mengantarmu pulang?"

Sim Bik-kun tertawa, tawa getir lagi kecut, "Pulang? Pulang kemana? Cui-gwat-lo kan bukan rumahku."

"Tapi kau ... maksudmu kau tidak ingin bertemu dengan kami lagi?"

Tertunduk kepala Sim Bik-kun, agak lama baru bersuara, "Aku tahu kalian pasti menguatirkan diriku, sebab ...." Diam-diam ia mengusap air mata, "Sebab kalau di dunia ini kurang satu orang sepertiku ini, hidup kalian mungkin jauh lebih senang."

Hong Si-nio juga menundukkan kepala, tak tahu bagaimana perasaan hatinya.

Ia tidak ingin berdebat dengan Sim Bik-kkun, yang pasti saat ini bukan saatnya untuk beradu mulut dengannya. Kata Sim Bik-kun lebih jauh, "Tapi Ciang Hing kuatir kalian merasa sedih, maka diam-diam ia pergi mengawasi kalian, cukup lama dia pergi." Sampai di sini ia menghela napas panjang, lalu mengulang perkataannya tadi, "Ia memang seorang yang amat simpatik."

Mulut Hong Si-nio seperti dibungkam malah. Baru sekarang ia sadar dalam hal ini ia keliru menyalahkan Ciang Hing.

"Secara layap-layap tadi aku seperti tertidur sejenak, seperti kudengar sesuatu suara di luar."

"O, ya?" Hong Si-nio bersuara dalam mulut.

"Suara apakah itu?" tanya Sim Bik-kun.

Ternyata wajah Hong Si-nio menjadi merah, saat ia kesulitan omong, seorang dari luar berkata dengan tertawa, "Itu suara seekor bebek yang ditembak jatuh ke dalam air."

Biasanya muka Hong Si-nio jarang merah, tapi kali ini merah mukanya tidak kalah dibanding warna kepiting yang sudah direbus.

Sebab dengan badan basah kuyup dilihatnya Ciang Hing melangkah masuk, badannya tidak kurang suatu apa, malah bertambah satu. Satu benjolan besar yang merah di kepalanya.

Sim Bik-kun mengerut kening, tanyanya, "Kenapa jidatmu benjol sebesar itu?"

Ciang Hing tertawa getir, "Tidak apa-apa, hanya karena ingin dibuat perbandingan."

"Perbandingan apa?" tanya Sim Bik-kun.

"Perbandingan antara batok kepalaku dengan pot bunga di luar itu, entah mana lebih keras."

Mengawasi benjolan besar di kepala orang, lalu menoleh ke arah Hong Si-nio dan melihat mimik mukanya yang lucu, sorot matanya seketika menampilkan rasa geli. Memang sudah cukup lama ia tidak pernah tersenyum lagi.

Mendadak Hong Si-nio berkata, "Coba kau terka, yang keras pot bunga atau kepalanya lebih keras?"

"Jelas pot bunga lebih keras," sahut Sim Bik-kun.

"Kalau pot bunga lebih keras, kenapa pot bunganya kurang satu sudut sebaliknya kepalanya bertambah satu sudut?

Akhirnya Sim Bik-kun tersenyum lebar.

Hong Si-nio memang ingin memancingnya tertawa, melihat orang tertawa lebar, hati Hong Si-nio merasa senang lagi lega.

Ciang Hing menghela napas, katanya, "Sekarang baru aku sadar akan satu hal."

"Hal apa?" tanya Hong Si-nio.

"Baru sekarang aku mengerti, kenapa banyak orang di Kang-ouw menganggap kau ini siluman perempuan."

"Aku sebaliknya merasa ada satu hal yang tidak kumengerti."

"Satu hal apa?"

Hong Si-nio menarik muka, "Kenapa kau merintangi aku mengejar perahu itu?"

"Karena aku tidak ingin kau mampus di air."

"Maksudmu aku harus berterima kasih kepadamu malah?"

"Kau tahu cara kematian tukang perahu dan anak kecil itu?"

"Kau tahu?"

"Senjata rahasia ini kuperoleh dari badan mereka," kata Ciang HIng. Senjata rahasia yang ia maksud adalah paku segitiga, sedikit lebih panjang dari paku umumnya, lebih lencir, warnanya juga lebih legam, sepintas pandang memang tidak menarik perhatian.

Begitu melihat orang mengeluarkan paku itu dari saku bajunya, Hong Si-nio lantas berteriak kaget, "Sam-ling-toh-kut-ting?"

"Aku yakin kau kenal paku ini," ujar Ciang Hing.

"Umpama aku belum pernah makan daging babi, sedikitnya pernah melihat babi berjalan," jengek Hong Si-nio keki.

Bersambung

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar