jilid 11
"Dan yang paling
kukuatirkan justru bukan ketujuh orang ini."
"Soal apa yang kau
kuatirkan."
Siau Cap-it Long mengawasi
kartu undangan, suaranya perlahan, "Yang kukuatirkan adalah orang yang
tidak mencantumkan namanya di undangan ini."
"Maksudmu bukan hanya
ketujuh orang itu saja yang akan berhadapan denganmu? Masih ada seorang yang
bergerak di belakang layar akan menyergapmu."
Siau Cap-it Long tertawa
lebar, "Aku seekor serigala, maka selalu aku bisa mencium bahaya yang
tidak mungkin bisa dicium orang lain."
Mimik tawanya amat aneh,
selama berkenalan beberapa tahun ini, belum pernah Hong Si-nio melihat mimik
tawa seaneh itu.
Siau Cap-it Long masih
tertawa, "Seekor serigala sebelum terperangkap, selalu akan mendapat
firasat jelek, tapi dia tetap maju ke depan, umpama tahu begitu masuk perangkap
jiwanya bisa melayang, dia tetap akan menerjang ke depan, karena dia sadar,
dalam posisi seperti itu dirinya tidak mungkin putar balik, sebab di belakang
sudah tiada jalan untuk meloloskan diri. Seorang kalau sudah kehilangan gairah
hidup, kehilangan semangat juang, kalau usaha bertahan hidup juga sudah tidak
dipikirnya lagi, maka siapa pun akan mudah membunuhnya."
Demikianlah gambaran kondisi
Siau Cap-it Long sekarang ini, dia sendiri merasa dirinya sudah tiada alasan
untuk mempertahankan hidupnya, hakikatnya pukulan lahir batin yang menimpa
dirinya memang teramat berat dan tragis.
Bahwa dalam duel tadi dia
mampu mengalahkan Ang-ing dan Lok-liu, karena pertarungan tadi bukan untuk
mempertahankan jiwa raga sendiri, tapi usaha untuk menyelamatkan Hong Si-nio.
Karena dia merasa dirinya banyak berhutang terhadap Hong Si-nio, umpama dirinya
harus mampus seketika, hutang ini harus berusaha dibayar lunas. Sekarang
setelah dia merasa hutangnya telah dibayar lunas, berarti dirinya sudah mampus
sekali demi Hong Si-nio.
Berbeda dengan hutangnya
kepada Sim Bik-kun, sejak dia menyaksikan Sim Bik-kun pergi mengikut Lian
Shia-pik, maka dia merasa hutangnya sudah lunas. Sekarang dia beranggapan, Sim
Bik-kun yang berhutang terhadap dirinya, bukan dia berhutang kepada Sim
Bik-kun.
Bahwa sekarang dia masih
hidup, tapi hatinya, pikirannya sudah mati. Mati di saat ia mengawasi Sim
Bik-kun pergi meninggalkan dirinya, ikut Lian Shia-pik.
Mendadak Hong Si-nio seperti berfirasat,
setelah dia pergi besok, dirinya takkan bisa bertemu lagi dengannya. Karena dia
sekarang sudah bertekad untuk mati, pergi menyongsong bahaya, bahwasanya dia
tidak berpikir untuk pulang kembali.
Mendadak Siau Cap-it Long
menggenggam tangannya, katanya dengan menatap tajam, "Kau tahu, soal apa
yang terpikir dalam benakku?"
Tanpa bersuara Hong Si-nio
mengangguk.
Tangan Siau Cap-it Long
menggenggam makin kencang, bola matanya dihiasi rona merah seperti ingin
menangis, "Mestinya aku tidak berpikir demikian, aku sendiri tahu, dia
adalah bini orang lain, hakikatnya tidak pantas aku ...."
"Mati untuknya", dua
patah kata ini tidak lepas dari mulutnya, tapi Hong Si-nio tahu apa yang ingin
dia katakan.
Gemetar tangan Siau Cap-it
Long yang menggenggam tangannya, "Aku tahu, aku harus melupakan dia,
supaya bisa hidup dengan wajar, aku belum tua, masih punya masa dapan, paling
tidak ada kau yang mendampingiku."
Hong Si-nio menggigit bibir,
sekuatnya ia mengendalikan perasaan, dia tahu Siau Cap-it Long sudah mabuk,
matanya mendelong lurus, kalau tidak mabuk, tak mungkin di hadapannya dia
melontarkan isi hatinya.
Lebih jauh Siau Cap-it Long
berkata, "Persoalan apapun aku tahu, duduk perkara apapun aku mengerti,
tapi aku justru tak mampu ... tak mampu melakukan tugas yang harus
kulakukan."
"Maka tak usah kau
menyalahkan diri sendiri, jangan memaksakan dirimu," bujuk Hong Si-nio.
"Tapi aku ...."
"Kalau segala persoalan
kau tahu, tentu kau maklum, tiada persoalan di dunia ini yang boleh dipaksakan,
hanya perasaan saja yang tidak dipaksakan oleh siapa pun."
Siau Cap-it Long menundukkan
kepala, "Aku ... aku mengharap ... kau memaafkan aku."
"Tentu aku
memaafkanmu," seru Hong Si-nio, "kapan aku pernah menyalahkan
engkau."
Siau Cap-it Long tidak bicara
lagi, kepalanya tetap menunduk dalam.
Tiba-tiba Hong Si-nio merasa
punggung tangannya dihiasi sebutir air kemilau nan dingin.
Itulah air mata Siau Cap-it
Long, ada kalanya Siau Cap-it Long juga mengucurkan air mata.
Sebutir air mata, bagi Hong
Si-nio laksana sebatang jarum yang menusuk hulu hatinya, tapi juga ibarat
sebutir mutiara yang paling bernilai di dunia ini. Ingin rasanya Hong Si-nio
menyimpan titik air mata yang dinilainya tak terbandingkan oleh benda paling
mahal sekalipun, sayang air mata itu akhirnya menetes dan lenyap meresap di
kulit daging Hong Si-nio.
Entah berapa lama kemudian,
Siau Cap-it Long menggumam, "Kau sendiri sering bilang, bahwa kau bukan
perempuan sembarang perempuan ...."
Hong Si-nio mengangguk sambil
menggigit bibir.
"Tapi kau salah,"
desis Siau Cap-it Long.
"Aku salah?" tanya
Hong Si-nio.
"Kau memang perempuan
tulen, malah perempuan agung, perempuan yang punya pambek, perempuan yang punya
pribadi maha suci, aku berani tanggung, tiada perempuan di dunia ini yang lebih
agung dibanding dirimu ...." Suaranya makin lirih, kepalanya juga menunduk
makin turun, akhinya jatuh di punggung tangan Hong Si-nio. Punggung tangan Hong
Si-nio sebagai bantal, dia tidur pulas sekali.
Hong Si-nio tidak bergerak,
tidak berani bergerak. Meski kepala Siau Cap-it Long makin terasa berat, lengan
tangannya tertindih makin kejang, tapi ia tidak berani bergeming.
Secara terbuka, umum tahu Hong
Si-nio adalah perempuan yang punya watak seperti angin, perempuan yang berwatak
membara. Tapi tiada orang tahu, perempuan mana pun di dunia ini, derita apapun
yang tidak bisa dihadapi perempuan, Hong Si-nio telah meresapinya dengan tabah.
Dia tahu dan mengakui apa yang diucapkan Siau Cap-it Long memang benar, mulut
bicara dengar di hati, entah bagaimana perasaan hatinya. Entah manis? Kecut?
Atau pahit getir?
Dia tahu Siau Cap-it Long
mengenal dirinya, seperti dirinya mengenal Siau Cap-it Long. Tapi perasaannya
terhadap dirinya, jelas berbeda dengan perasaan hatinya terhadap pujaannya ini.
Di sinilah letak derita paling
besar bagi kehidupan manusia, derita apa boleh buat. Tapi ia terima dan
mempertahankan hampir sepuluh tahun lamanya, sepanjang dirinya bertahan hidup,
derita itu akan terus diresapinya. Satu hari ia hidup, satu hari ia sengsara,
setahun ia hidup, ia harus bertahan setahun lamanya, ya, terus bertahan hingga
ajal. Hong Si-nio tidak tahu berapa lama ia harus bertahan, tak tahu sampai
kapan ia bisa bertahan hidup. Ia hanya tahu sekarang ia pantang mati, malah
harus terus hidup, sebab ia harus berusaha mencari akal supaya Siau Cap-it Long
tetap hidup. Hidupnya adalah demi Siau Cap-it Long, dia rela mati, rela
berkorban demi Siau Cap-it Long.
Lilin nyala hingga pangkalnya,
air mata juga belum kering, lengan Hong Si-nio sudah terasa kaku kesemutan,
namun ia tidak bergerak. Hatinya kecut, tubuhnya pun kaku, sedih lagi lelah.
Dalam kondisi seperti ini, ia ingin sampai mabuk, ingin tidur barang sejenak,
tapi ia tahu dirinya tidak boleh mabuk, tidak boleh tidur. Dia harus berjaga
melindungi Siau Cap-it Long hingga fajar menyingsing, menjaganya sampai dia
pergi.
Tiba-tiba lilin padam, cahaya
lilin makin redup, lalu menjadi gelap gulita. Kini ia tidak bisa melihat
keadaan Siau Cap-it Long. Di tengah gelap nan sunyi sepi, meski dirinya penat
dan sedih, kondisinya justru bertambah segar bugar. Mendadak banyak persoalan
berkecamuk dalam hatinya. Satu per satu persoalan terlintas di benaknya, lalu
satu per satu ia beri jawab pula.
Pertama ia bertanya pada diri
sendiri, "Orang macam apakah Hoa Ji-giok?"
Jelas Hoa Ji-giok adalah
seorang yang berpenampilan tenang, namun licik dan licin, orang lihai yang
cukup menakutkan.
"Orang selihai dia,
dengan jerih payah akhirnya berhasil menggondol pergi Sim Bik-kun, bagaimana
mungkin bisa membiarkan kusir kereta menolongnya pergi?"
Hal ini jelas tak mungkin
terjadi.
"Mungkinkah Hoa Ji-giok
mengaturnya demikian? Sengaja memberi peluang kepada kusir kereta untuk
menolong Sim Bik-kun?"
Penjelasan ini rada masuk
akal, dalam kondisi seperti sekarang, penjelasan ini paling masuk akal.
"Kenapa Hoa Ji-giok
berbuat demikian? Dengan akal muslihat, jerih payah berhasil mendapatkan Sim
Bik-kun, kenapa sengaja membiarkan orang menolongnya?"
"Sebab apa dia menyuruh
kusir kereta itu membawa Sim Bik-kun pergi ke Bu-kau-san-ceng."
"Lalu apa maksud
tujuannya?"
"Sebab ia tahu Lian
Shia-pik bakal pulang ke tempat itu, sengaja ia mengatur pertemuan Sim Bik-kun
dengan Lian Shia-pik, supaya Sim Bik-kun tahu dan melihat, kini suaminya telah
berubah rudin dan nestapa."
"Kenapa?" Hong
Si-nio bertanya pula kepada dirinya sendiri.
"Sebab dia tahu Sim
Bik-kun adalah perempuan bijak yang lemah, bila melihat kondisi Lian Shia-pik
begitu mengenaskan lantaran dirinya, hatinya pasti luluh lantak. Untuk
membangkitkan semangat hidup suaminya, ia pasti akan berusaha dan rela
berkorban segalanya."
"Apalagi kesannya
terhadap Siau Cap-it Long sekarang teramat jelek."
"Tapi manusia sepintar
Hoa Ji-giok, pasti takkan melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan diri
pribadi. Lalu keuntungan apa yang akan dia peroleh?" "Tiada
keuntungan."
Penjelasannya ialah seluruh
rencana kejadian ini pasti bukan Hoa Ji-giok yang mengaturnya, di belakang
layar pasti ada seorang pengendali yang menjadi dalang semua peristiwa ini.
"Manusia macam apa di
dunia ini yang mampu mengendalikan Hoa Ji-giok? Orang yang membuat Hoa Ji-giok
tunduk dan menerima perintahnya?"
"Tokoh yang satu ini
jelas lebih tabah, lebih lihai dan lebih menakutkan."
"Mungkinkah tokoh yang
menggantikan posisi Siau-yau-hou yang sudah mati itu? Atau mungkin orang yang
selalu mengirim uang sebanyak itu di bank untuk Siau Cap-it Long?"
"Ya, pasti dia."
"Hoa Ji-giok pasti salah
satu anak buahnya, maka Hoa Ji-giok tidak pernah memperhatikan 'harta karun'
yang katanya sudah berada di tangan Siau Cap-it Long. Karena hanya dia yang
tahu bahwasanya harta karun itu tidak pernah ada."
"Kenapa orang ini berbuat
demikian?"
"Karena ia ingin menjebak
dan mencelakai Siau Cap-it Long, supaya orang banyak memusuhinya, demikian pula
supaya Sim Bik-kun membencinya."
"Jelas Hoa Ji-giok sudah
tahu kalau Bu-kau-san-ceng belakangan ini sudah menjadi milik Siau Cap-it
Long."
"Juga sudah dalam
perhitungannya, bila Sim Bik-kun tahu akan hal ini, betapa hatinya takkan
sedih, takkan marah."
"Tapi kalau dia sudah
tahu Lian Shia-pik menjual Bu-kau-san-ceng, darimana ia bisa memastikan Lian
Shia-pik bakal dan pasti bertemu dengan Sim Bik-kun?"
"Apa tidak mungkin Lian
Shia-pik sendiri yang telah mengaturnya?"
"Setelah persoalan ini
berkembang sampai kondisi ini, satu-satunya orang yang akan memungut
keuntungan, siapa lagi kalau bukan Lian Shia-pik."
"Kecuali Lian Shia-pik,
tiada orang tahu keberadaan Siau Cap-it Long di tempat ini. Lalu bagaimana
mungkin kartu undangan itu dikirim ke sini?"
"Mungkinkah seluruh
rencana kerja ini diatur dan direncanakan oleh Lian Shia-pik? Berarti dialah
tokoh di belakang layar yang menggantikan posisi Siau-yau-hou."
Beruntun Hong Si-nio
mengajukan lima pertanyaan kepada dirinya sendiri.
Lima pertanyaan yang tidak
terjawab. Bukan karena tidak mampu menjawab, tapi karena ia sendiri tidak
percaya akan jawabannya sendiri. Bahwa Lian Shia-pik benar adalah tokoh itu.
Begitu membayangkan
kemungkinannya, sekujur badan Hong Si-nio menjadi basah oleh keringat dingin.
Kalau duduk persoalan betul sesuai kenyataan, betul-betul amat menakutkan.
Hong Si-nio menghelas napas
dari mulut, ia sadar sekarang perlu minum arak, dalam kondisinya sekarang,
jelas ia takkan kuat bertahan lama kalau tidak ditunjang kekuatan arak yang
pasti merangsang syarafnya.
Supaya tidak membuat berisik,
ia tidak berani menuang arak ke cawan, tapi poci langsung ia angkat terus
diangsurkan ke mulut serta ditenggaknya sisa arak seluruhnya. Setelah poci arak
ditaruh lagi di meja, perlahan ia mengendurkan badan, pelan-pelan menyenderkan
kepala di sandaran kursi.
Keadaan gelap pekat di luar
jendela, angin menghembus kencang, daun pohon bergoyang gontai seperti menari.
Dalam suasana yang hening, dengan penuh perhatian ia perhatikan deru napas Siau
Cap-it Long yang perlahan, panjang dan tenang. Perasaan hatinya menjadi ikut
tenang dan tenteram, setenang tabir malam yang menyelimuti jagat raya.
Akhirnya ia pun tertidur
pulas.
Senyenyak apapun manusia
tidur, akan datang saatnya siuman. Hong Si-nio terjaga kaget dari pulasnya,
cahaya mentari yang menguning menyorot di jendela. Perlahan ia menarik napas
panjang, pelan-pelan mengangkat tangan untuk mengucek mata. Mendadak
perasaannya seperti tenggelam, mengendap turun ke bawah menyentuh kaki,
perasaannya seperti terjeblos ke dalam jurang yang dalam.
Siau Cap-it Long yang selama
tidur dengan punggung tangannya sebagai bantal kini sudah tiada.
"Apakah dia pergi begitu
saja?"
Hong Si-nio berjingkrak
berdiri, ingin berteriak, ingin mengudak dan mencarinya. Untung ia sempat
melirik ke balik halaman belakang undangan yang tergeletak di meja, tergores
beberapa huruf yang belum kering seluruhnya, huruf-huruf yang ditulis dengan
sumpit dan kuah bakmi sebagai tinta, tulisannya samar dan gayanya kacau, namun
jelas bisa dibaca, "Aku pergi. Aku yakin tanganmu tentu kesemutan, tapi
begitu kau terjaga bangun, yakin tanganmu sudah tidak kesemutan lagi. Orang
yang mereka kehendaki hanya aku seorang, kau tak usah ikut dan tak perlu pergi.
Umpama selanjutnya kau takkan bertemu lagi dengan aku, berita tentang diriku yakin
akan segera kau dengar dari berita yang tersiar luas". Tulisan yang samar
makin buram karena dibasahi butiran air mata.
Hong Si-nio gegetun, gemas
lagi penasaran. Kenapa dalam detik-detik yang genting tadi dirinya bisa jatuh
pulas. Dengan sengit ia raih poci arak, lalu dibantingnya dengan keras. Rasanya
ia pun hancur berkeping seperti pecahan poci arak.
Karena sedikit keributan ini,
seorang beranjak masuk dengan langkah pelan dan lirih, dengan kaget dan
mendelong mengawasi Hong Si-nio.
Mendadak Hong Si-nio memburu
ke sana serta merenggut bajunya, suaranya meraung keras, "Mana Siau-cengcu
kalian?"
"Sudah ... sudah
pergi," sahutnya gemetar. Dia adalah kacung tua perkampungan yang bernama
Lo-hek, si hitam, kini selebar mukanya yang hitam pucat pias.
"Kapan dia pergi,"
tanya Hong Si-nio.
"Begitu terang tanah dia
berangkat, di luar datang sebuah kereta menjemputnya."
"Kereta macam apa?"
"Aku ... aku tidak
melihat jelas."
"Plak", belum habis
orang bicara, Hong Si-nio menggampar mukanya dengan keras, "kenapa tidak
kau periksa ... kenapa tidak kau lihat jelas...."
Tamparannya amat keras, tapi
Lo-hek seperti tidak merasa sakit. Saking takut dan kagetnya, ia berdiri
menjublek di tempat.
Untung Hong Si-nio segera
mendorongnya mundur terus berlari keluar. Muka Lo-hek seketika menyeringai
sinis lagi sadis. Ia tahu Hong Si-nio pasti takkan bisa menemukan Siau Cap-it
Long.
Kereta kuda yang menjemputnya
dicongklang ke arah timur terus menuju ke dermaga, Siau Cap-it Long turun dari
kereta lalu naik kapal. Hanya begitu keterangan yang diperoleh Hong Si-nio.
Kereta kuda macam apa? Kapal
jenis apa dan berapa besarnya? Dermaga mana yang dimaksud?
Bahwasanya ia tidak tahu, ia
hanya tahu bagaimanapun dengan cara apapun, harus mencari dan menemukan Siau
Cap-it Long.
Sekarang kalau ia bisa
memberitahu tentang persoalan dan jawaban yang semalam ia analisa kepada Siau
Cap-it Long, pasti dan yakin dapat menumbuhkan semangat hidup dan membakar
watak juangnya. Tak peduli apakah Lian Shia-pik yang menjadi biang semua intrik
dan muslihat ini, dia pasti dapat berusaha memperoleh jawabannya, ya, harus
dapat menemukan jawabannya.
Untuk bisa mencari jawabannya,
dia harus bertahan hidup.
Mungkin cara itulah
satu-satunya kekuatan yang dapat mendukung dirinya untuk terus hidup, atau
sebaliknya dia akan mampus, sebab hakikatnya dia sudah tidak memikirkan hidup
lagi, tiada harapan dan keberanian untuk bertahan hidup.
Kalau Siau Cap-it Long mati,
apakah Pin-pin masih bisa juga bertahan hidup? Apakah Sim Bik-kun juga masih
bisa tetap hidup? Demikian pula dirinya, apakah pantas mempertahankan hidup?
Jawabannya hampir mutlak, tidak bisa. Mati! Kalau Siau Cap-it Long mati, dapat
dipastikan kawan-kawannya juga akan mati.
Hong Si-nio tidak takut mati,
tapi kalau semua orang mati begitu saja, dirinya akan mati penasaran. Mati
bukan merupakan beban bagi dirinya, tapi kalau mati secara konyol, mati ini
sungguh penasaran. Begitulah wataknya, demi memperjuangan hak dan kewajiban
hidup, umpama harus mati seribu, selaksa kali tidak akan pernah membuatnya
jera.
* * * * *
Hari masih pagi, musim rontok
sudah menjelang lama. Daun kuning berhamburan dihembus angin berserakan,
terasakan oleh Hong Si-nio seperti banyak orang menghela napas, simpati atas
nasibnya ini.
Di tempatnya berdiri ia tidak
melihat bayangan kereta, bekas roda di jalan raya. Tanah di jalan raya kering
kerontang, umpama kereta kuda baru saja lewat di sini, bekasnya sudah hilang
terhembus angin kencang.
Angin musim rontok mulai
terasa dingin, pepohonan di hutan bergontai dengan alunan lembut dihembus
angin, rasa dingin timbul dari alas kakinya. Seorang diri, sebatangkara ia
diterpa angin kencang dengan daun-daun kering yang berjatuhan di bawah, hati
membeku, rasanya ingin bersedu sedan. Tapi ia masih sadar, apa gunanya
menangis? Kenapa harus sedih? Umpama menangis sesambatan, siapa yang akan
mendengar?
Siau Cap-it Long.
Kenapa kau minggat secara
diam-diam? Kenapa pergi naik kereta?
Kalau dia naik kuda atau jalan
kaki, lebih mudah ia mencari jejaknya dari orang-orang di jalan raya. Sebab
Siau Cap-it Long orang yang selalu menjadi perhatian orang banyak.
Kalau duduk dalam kereta,
orang tidak melihatnya, jelas takkan ada yang memperhatikan dirinya, memangnya
siapa mau memperhatikan sebuah kereta yang lewat di jalan raya? Apalagi bagaimana
bentuk, besar kecil, warna apa, ditarik berapa kuda, dirinya tidak tahu. Yang
ia tahu sekarang hanya sebuah kapal, kapal selalu berlabuh di pinggir sungai.
Pelabuhan di sini berada di tenggara kota.
Dengan mengertak gigi,
menghapus rasa sedih, memompa semangat, segera ia berlari kencang ke tenggara,
satu-satunya harapan yang bisa ditempuhnya sekarang, kalau tidak bisa menemukan
Siau Cap-it Long, maka jalan yang ditempuhnya ini adalah jalan kematian
baginya.
Air sungai besar itu mengalir
ke arah timur. Betapa banyak kapal besar kecil hilir mudik di sungai besar itu,
siapa tahu Siau Cap-it Long naik perahu yang mana? Umpama sudah sampai di
tempat tujuan sana, memangnya apa yang bisa ia lakukan?
Yang pasti Hong Si-nio
berjalan cepat seperti diburu setan, ingin rasanya tumbuh sayap dapat terbang
ke tempat tujuan, tapi makin jauh ia berjalan, makin lama ia menempuh
perjalanan, perasaannya makin resah, hatinya seperti tenggelam ke dasar air.
Mentari sudah terbit di ufuk
timur, cahayanya nan gemilang menerangi jagat raya. Ditimpa cahaya matahari,
wajah Hong Si-nio seperti menyala, padahal hatinya mendelu seperti diselimuti
mega mendung, betapapun benderang sinar mentari, hatinya tetap resah,
perasaannya terus mendelu. Makin jauh langkahnya makin lambat, hampir tak
berani meneruskan langkahnya, bahwasanya ia tidak yakin berhasil.
Saat itu ia beranjak di jalan
raya yang mulai ramai, warung makan dan kedai minum sudah mulai menggelar
dagangannya menyambut tamu-tamu yang siap berangkat kerja, entah warung nasi,
warung bakso, kedai tahu atau kios arak. Ya, minum tiga cawan arak tentu dapat
membangkitkan semangat di pagi yang cerah ini.
Masih puluhan langkah lagi
Hong Si-nio baru akan tiba di warung atau kedai itu, puluhan pasang mata
semuanya melotot mengawasi kedatangannya. Hong Si-nio memang perempuan yang
paling sering diperhatikan orang, kalau ada orang mau mencari jejaknya, siapa
saja pasti akan mudah menemukan dirinya.
Orang yang biasa menarik
perhatian khalayak di dunia ini tidak banyak, bukan hanya Siau Cap-it Long dan
Hong Si-nio saja, tapi kedua orang ini memang paling sering diperhatikan orang.
Paling tidak masih ada dua
orang, apalagi kalau kedua orang ini berjalan bersama, mereka adalah Lian
Shia-pik dan Sim Bik-kun. Seorang nyonya cantik yang mampu menggetarkan hati
lelaki, berjalan bersama laki-laki dekil, pemabukan lagi. Siapa pun dia pasti
akan menoleh mengawasi mereka. Kalau Lian Shia-pik betul adalah si dia seperti
yang diduganya, bukankah pagi hari ini juga pasti ke pelabuhan naik kapal itu?
Kalau dapat menemukan Lian Shia-pik dan Sim Bik-kun, bukankah sekaligus bisa
menemukan jejak Siau Cap-it Long?
Bercahaya bola mata Hong
Si-nio. Sepasang mata Hong Si-nio secara umum sering menarik perhatian banyak
lelaki, apalagi saat itu sedang menyala, siapa pun yang melihatnya pasti
tertarik dan terpesona.
Di ujung gang sana ada sebuah
pohon besar, dua pemuda menyoreng pedang berdiri santai di bawah pohon, bola
mata mereka melotot bundar mengawasi kedatangan Hong Si-nio, arak di cawan yang
mereka pegang sampai tumpah tanpa mereka sadari.
Pemuda yang berdiri di kiri
sepertinya lebih tabah, lebih pengalaman, waktu Hong Si-nio datang menghampiri,
ia berdiri menyambut.
"Hai," Hong Si-nio
menyapa lebih dulu.
Kedua pemuda itu kaget dan
gelagapan, yang berdiri segera melangkah maju, katanya sambil tersenyum lebar,
"Aku bernama Hou Ing, dia bernama Toh Lin. Nona siapa namamu?"
Dengan tersenyum mekar Hong
Si-nio mendekat, tidak menjawab pertanyaan malah balas bertanya,
"Kelihatannya kalian adalah pegawai Piaukiok?"
"Ya, aku pegawai
Piaukiok," sahut Hou Ing, "dia bukan."
"Sudah berapa lama kalian
berkelana di Kangouw?" tanya Hong Si-nio.
"Sudah lama," sahut
Hou Ing, "dia belum pernah."
"Kalian pernah mendengar
seorang yang bernama Hong Si-nio?"
"Tentu pernah mendengar,
dia ...."
"Aku juga pernah
mendengar," Toh Lin segera menimbrung, "konon dia adalah ... adalah
...."
"Adalah apa?" tanya
Hong Si-nio.
Merah jengah muka Toh Lin,
katanya gapap, "Adalah seorang perempuan, perempuan elok, malah ...."
"Kabarnya amat
galak," sela Hou Ing, "kabarnya para pendekar gagah di Kangouw bila
bertemu dia pasti sakit kepala."
Hong Si-nio tertawa,
"Sekarang kepala kalian sakit tidak?"
Kedua pemuda ini tampak kaget,
dengan terbeliak mengawasinya.
Ternyata nyali Hou Ing lebih
besar, katanya dengan suara gemetar, "Jadi kau adalah Hong Si-nio?"
"Seratus persen
betul," ujar Hong Si-nio. "Aku adalah siluman perempuan yang garang
dan tidak kenal aturan itu."
Hou Ing melenggong mematung,
akhirnya menarik napas panjang, "Tapi, kurasa kau tidak mirip."
“Tidak mirip Hong
Si-nio-nio?"
"Tidak mirip siluman
perempuan," seru Hou Ing.
"Ya, sedikitpun tidak
sama," timbrung Toh Lin.
Hong Si-nio tertawa lebar,
memang dia perempuan cantik tinggi semampai, bila sedang tertawa gaya dan
mimiknya jelas tidak garang.
Timbul rasa berani Hou Ing,
katanya memancing, "Konon kau suka minum arak, arak di sini lumayan, kau
...."
Hong Si-nio tersenyum manis,
"Memang aku ingin kalian mentraktirku minum tiga cawan."
Yang pasti arak yang dijual di
kedai ini bukan kwalitas yang patut diminum Hong Si-nio, tapi arak tetap arak.
Sekaligus Hong Si-nio menghabiskan tiga cawan, bola matanya langsung bersinar.
Di pinggir sana terikat dua
ekor kuda, Hong Si-nio bertanya, "Kalian menunggang kuda itu?"
"Betul," ucap Hou
Ing, "bila ingin ikut, kau boleh sekuda denganku."
"Kau tahu aku hendak
kemana?"
"Terserah kau, kemana pun
tak jadi soal," sahut Hou Ing.
"Kalian tidak punya tugas
lain?" tanya Hong Si-nio.
"Tidak ada," sahut
Hou Ing.
"Kalau dia ...."
"Aku bebas," seru
Toh Lin, "kemana pun jadi."
Hong Si-nio berjingkrak
berdiri, serunya, "Baiklah, segera berangkat."
Hou Ing melenggong, tanyanya,
"Berangkat? Kemana?"
"Mencari dua orang,"
sahut Hong Si-nio.
"Lho," seru Hou Ing,
"minum belum mabuk, kenapa pergi?"
"Yang penting mencari
orang, di jalan kita minum lagi," seru Hong Si-nio. "Setelah
kutemukan kedua orang itu, terserah kau kuat minum berapa banyak akan kuiringi
sampai mabuk."
"Baiklah," teriak
Hou Ing sambil berdiri, "bicara soal mencari orang akulah pakarnya. Orang
macam apa yang kau cari, jelaskan bentuk dan umurnya, dengan mudah aku bisa
temukan dia."
"Ah, yang benar,"
seru Hong Si-nio, "benar kau pandai mencari orang?"
"Kalau tidak percaya,
tanya kepada Siau Toh?"
Toh Lin memanggut, katanya
menjelaskan, "Matanya tajam, ingatannya juga baik, siapa pun yang pernah
dilihatnya sekali takkan dilupakan."
Hong Si-nio tertawa lebar,
"Dua orang yang kucari, siapa pun sekali pernah melihatnya, pasti takkan
melupakannya."
"Maksudmu kedua orang itu
istimewa?"
"Ya, amat istimewa."
"Laki-laki atau
perempuan?"
"Laki-laki dan perempuan.
Yang perempuan amat elok ...."
"Lebih cantik dibanding
kau?"
"Seratus persen lebih
cantik."
"Yang laki-laki
bagaimana?" tanya Hou Ing.
"Mestinya yang laki-laki
cakap, tapi saat ini hidupnya rudin dan dekil, cambang lebat tumbuh di selebar
mukanya."
Hou Ing menggeleng kepala,
"Belum pernah aku melihat kedua orang itu, sukar mencarinya."
Rona wajahnya sedikit berubah,
pada hakikatnya ia sudah tak mampu lagi untuk tertawa.
Berputar biji mata Hong
Si-nio, "Kau belum pernah melihatnya, tapi aku tahu ada seorang pasti
pernah melihat mereka."
"Siapa?" tanya Hou
Ing gugup.
"Siau Toh."
Hou Ing menjadi legang,
katanya dengan menyengir, "Selama ini aku seperjalanan dengan dia, kalau
aku tidak pernah melihat, mana mungkin dia melihatnya."
"Tapi dia orang jujur dan
tak mungkin berbohong," ujar Hong Si-nio, lalu berpaling ke arah Toh Lin
dan menatap wajahnya lekat-lekat, "Siau Toh, benar begitu?"
Merah jengah wajah Toh Lin,
dia memang tidak biasa berbohong, namun dia juga tidak berani bicara jujur,
agaknya takut terhadap Hou Ing. Dari perubahan wajahnya dapat diketahui memang
begitulah kejadiannya.
Hou Ing tidak mau kalah angin,
"Pagi tadi, waktu kami sedang sarapan, sepertinya pernah melihat kedua
orang itu."
"Bukankah yang perempuan
amat cantik?" tanya Hong Si-nio. Hou Ing hanya memanggut.
"Bukankah kau ingin
mengajaknya minum arak," desak Hong Si-nio.
Merah muka Hou Ing, untuk
menjawab pun terasa malu. "Sebetulnya dia tidak bermaksud jahat,"
tutur Toh Lin dengan kepala menunduk, "memang begitulah sifatnya, bila
melihat cewek sikapnya agak...."
"Agak romantis
begitu," desak Hong Si-nio pula. Muka Hou Ing makin jengah, ingin rasanya
meninggalkan tempat itu.
Hong Si-nio menepuk bahunya,
ujarnya sambil tertawa, "namanya juga pemuda romantis, melihat cewek
rupawan tentu timbul keinginan....."
Hou Ing memandangnya sekejap,
dalam hati ia merasa perempuan ini bukan saja tidak menakutkan, bahkan sangat
menarik.
Siapa pun juga bila bertemu
dengan Hong Si-nio, pasti akan mempunyai pikiran seperti itu. Bukan saja dia
pandai memahami perasaan orang, juga mudah memaafkan kesalahan orang lain.
"Tiada keinginan apa-apa,
cuma memandangnya agak lama, sabab Lian-hujin itu ...." Toh Lin sungkan
melanjutkan.
"Jadi kalian tahu kalau
dia Lian-hujin adanya?" tanya Hong Si-nio.
Toh Lin manggut-manggut.
"Darimana kalian tahu
kalau dia Lian-hujin?" tanya Hong Si-nio pula.
Hou Ing menghela napas,
"Melihat cewek cantik itu berjalan bersama laki-laki rudin, dekil dan bau
itu, tatapannya dirundung kesedihan ...."
"Kau kira Lian-hujin
digelandang oleh lelaki bau itu, lalu ingin membantunya. Begitu?"
Dengan menyengir Hou Ing
mengangguk.
"Tentu kau tidak mengira,
lelaki dekil kotor dan bau itu adalah Lian Shia-pik yang dikenal gagah ganteng,
perlente dan nomor satu."
"Ya, sedikitpun aku tidak
pernah menduganya."
"Maka kau berpendapat
rugi besar, sekarang kalau bertemu dengan mereka lagi?"
"Yang membuatku malu
sebetulnya bukan Lian-kongcu."
"Bukan dia?" seru
Hong Si-nio. "Memangnya siapa?"
"Seorang yang juga suka
ikut campur tangan urusan orang lain, dia she Ciu bernama Ci-kong."
"O, jadi Pek-ma
Kongcu?" tanya Hong Si-nio.
"Kelihatannya dia teman
baik Lian-kongcu, agaknya suami-istri itu diajak pulang olehnya."
"Kau dipermalukan
olehnya?" tanya Hong Si-nio.
Merah muka Hou Ing, kepalanya
tertunduk.
Berputar bola mata Hong
Si-nio, mendadak berjingkrak maju, "Hayolah kau ikut aku, aku akan
membelamu."
"Ah, yang benar,"
seru Hou Ing.
"Jangan lupa, aku ini
siluman perempuan yang selalu membawa sial dan penyebab sakit kepala. Kau
bertemu denganku terhitung bernasib baik, bertemu aku bagi dia akan sial tujuh
turunan."
Bangkit semangat Hou Ing,
katanya dengan tertawa lebar, "Kan tadi aku bilang, kemana kau pergi, aku
selalu ikut."
"Baiklah, sebentar kau
menjadi pengiringku, tanggung tiada orang berani mengusikmu."
"Tapi kami hanya punya
dua ekor kuda." kata Toh Lin.
"Tidak soal," ujar
Hou Ing, "dua pengiring menunggang seekor kuda."
"Betul, dua pengiring
naik satu ekor kuda sudah jamak, terhitung nasib kita mujur."
Berderai tawa Hong Si-nio,
"Bisa menjadi pengiringku, sungguh besar rezeki kalian."
Maka mereka pun meneruskan
perjalanan dengan bercanda dan berkelakar. Hong Si-nio sedang rudin, uang
sepeser pun tak punya, kini bisa menunggang kuda yang gagah besar, diikuti dua
pengiring yang masih muda dan gagah.
Itulah Hong Si-nio.
Selama hidup dia selalu banyak
tingkah, namun semuanya dilewatinya dengan penuh kegembiraan.
Betapapun rumitnya persoalan,
selalu mampu dihadapinya, bahkan kadang beres dalam waktu sekejap.
Menghadapi kaum lelaki pun dia
mempunyai satu cara khas, kecuali....
Siau Cap-it Long!
Menghadapi pemuda yang satu
ini, ia selalu mati kutu.
XVII. BURUNG HONG EMAS
"Sekarang kita mau
kemana?"
"Jelas ke Pek-ma-can-ceng
milik Ciu Ci-kong itu."
Namanya saja Pek-ma-san-ceng,
di sana memang ada seekor kuda putih. Putih sekujur badan, dari kepala sampai
ujung kaki tiada warna bulu lainnya, bentuknya mirip sekali dengan kuda buatan
dari batu jade. Kuda putih umumnya dipakai sebagai lambang keagungan, kuda
putih yang satu ini bukan saja indah dan gagah, dia memang kuda jempolan jenis
unggul dari Persia.
Pek-ma-san-ceng juga dihuni
seorang pemuda ganteng yang disebut Pek-ma Kongcu, ilmu silat yang dipelajari
dari turunan keluarga murni, ilmu sastra juga dikuasai dengan baik. Maka tiap
orang yang membicarakan kuda putih dari keluarga Ciu, insan persilatan di
daerah Kanglam tidak ada yang tidak mengenalnya.
Bahwa Pek-ma-san-ceng
terkenal, Pek-ma Kongcu ternama, kuda putih juga termasyur. Khalayak ramai jadi
susah menentukan mana yang lebih terkenal dari ketiga nama itu. Mungkin Ciu
Ci-kong sendiri juga susah membedakan. Pendek kata, kuda memang jempol,
orangnya memang terkenal, hal ini tidak bisa disangkal oleh siapa pun.
Maka siapa saja yang ingin
pergi ke Pek-ma-san-ceng, tidak ada alasan bilang tidak bisa ketemu.
* * * * *
Tengah hari.
Hutan di pergunungan itu
tampak menguning karena daun-daun di musim rontok mulai layu.
Hong Si-nio sedang gegetun,
hatinya resah. Wajahnya tampak berkeringat ditimpa sinar matahari, kelihatan
cemerlang lagi sehat. Tapi ia sendiri maklum, masa remaja sudah berlalu, tak
mungkin ditarik kembali.
Bukan dia gegetun karena ingin
mempertahankan masa remaja, yang diinginkannya hanya sedikit kenangan masa
lalu. Bukan kenangan masa remaja, tapi rasa rindu terhadap seseorang, biarlah
rasa rindu itu juga diresapi oleh si dia. Memangnya kalau daun mulai layu dan
berguguran, lalu siapa lagi yang akan tetap merindukan dirinya?
Hong Si-nio menggentak kaki
menghilangkan rasa rindu, waktu ia berpaling, dilihatnya Hou Ing dan Toh Lin
tengah mengawasinya dengan pandangan terpesona.
Paling tidak kedua pemuda ini
selama hidup akan selalu merindukan dirinya.
Hong Si-nio tertawa,
"Kamu berdua anak-anak baik, kalau usiaku lebih muda lagi, mungkin satu di
antara kalian kupilih jadi lakiku, sekarang...."
"Sekarang kami hanya
sebagai pengiringmu," kata Toh Lin. Hou Ing tampak menyengir kecut.
"Sebagai pengiring juga termasuk saudaraku." "Syukur kau tidak
ingin menikah dengan kami," ujar Toh Lin.
"Kenapa?" tanya Hong
Si-nio.
Toh Lin berkata jujur,
"Sekarang kita adalah teman, kalau betul kau harus memilih satu di antara
kami berdua, bukan mustahil aku bisa bertarung dengan dia memperebutkan
engkau."
Bingar tawa Hong Si-nio,
"Kalau aku harus memilih, pasti tidak memilihmu, karena kau terlalu
jujur."
Hou Ing tertawa senang,
"Sejak awal sudah kuberitahu padanya, lelaki yang terlalu jujur, perempuan
malah tidak suka."
Toh Lin jengah, katanya
malu-malu, "Sebetulnya, dalam hal tertentu aku juga tidak jujur."
Hong Si-nio tertawa besar,
"Kau pikir apa yang harus kulakukan untuk melampiaskan hatimu?"
"Tereserah
kepadamu," sahut Hou Ing.
"Kita terjang saja ke dalam,
lalu ringkus dia keluar, bagaimana?"
"Bagus!" seru Hou
Ing, "hayo lakukan."
Bukit itu tidak terlalu
terjal. Hong Si-nio mengeprak kudanya, dibedal lari menerjang ke dalam hutan.
Pintu gerbang Pek-ma-san-ceng
terbuka lebar, tanpa rintangan mereka mencongklang kudanya masuk ke
perkampungan. Penghuni rumah jelas kaget, terutama yang bertugas jaga, semuanya
memburu keluar sambil membentak, "He, siapa kalian? Untuk apa
kemari?"
"Kami datang untuk
mencari Ciu Ci-kong, aku adalah bibinya."
Kudanya terus dikeprak masuk
rumah menerjang ke ruang besar. Bukan hanya semua orang kaget, kuda
tunggangannya juga kaget sambil berjingkrak menumbuk meja kursi. Belasan orang
memburu maju menghadang, ada yang menarik tali kendali, ada juga yang hendak
menghajar orang, tapi belum mendekat mereka sudah dihajar cambuk di tangan Hong
Si-nio.
"Lekas panggil Ciu
Ci-kong keluar," seru Hong Si-nio, "memangnya aku harus menerjang
masuk ke dalam?"
Hou Ing tampak bergairah,
mukanya merah gembira, "Betul, terjang ke dalam saja."
Seorang tua berpakaian pelayan
melompat naik ke atas meja, teriaknya keras, "Kalian mau apa? Kawanan
perampok ya?"
Tahu-tahu Hong Si-nio juga
melompat ke atas meja, sekali raih ia renggut baju di depan dada si orang tua,
"Kan sudah kubilang aku ini bibi Ciu Ci-kong, mana dia?"
"Dia ... dia tidak
ada."
"Kenapa tidak ada?"
teriak Hong Si-nio.
"Jelas karena pergi maka
orangnya tidak di rumah."
Hong Si-nio bertanya lagi,
"Kapan dia pergi?"
"Baru saja."
"Pergi seorang diri?”
"Bukan, dia pergi bersama
Lian-kongcu."
"Lian-kongcu? Lian
Shia-pik maksudmu?"
“Sepertinya dia."
"Mereka pergi
kemana?"
”Tidak tahu, mereka tidak
memberitahu."
"Apakah Lian-kongcu
datang bersama isterinya?"
"Ya, ya, bersama
isterinya."
"Dimana Lian-hujin?"
"Di pekarangan belakang,
sedang makan dengan majikan perempuan."
Hong Si-nio menjengek,
"Sengaja dia melibatkan Ciu Ci-kong hanya untuk menitipkan isterinya di
sini, supaya dia leluasa pergi membunuh orang."
Pelayan tua itu tidak mengerti
apa maksud perkataannya, Hou Ing sendiri juga menjadi bingung, "Siapa akan
membunuh orang? Membunuh siapa?"
Hong Si-nio mengertak gigi,
tanyanya mendadak, "Ilmu silat kalian berdua bagaimana?"
"Belum termasuk kelas
tinggi, tapi untuk menghajar para gentong nasi ini kurasa cukup berlebihan."
"Bagus, kalian tunggu
saja di sini, sekarang suruh mereka menyediakan arak, hidangan yang paling
lezat, siapa membangkang, hajar saja habis perkara, bila perlu bongkar saja
rumah ini."
"Untuk kerja lain aku
tidak pandai," ujar Hou Ing tertawa lebar, "untuk membongkar rumah,
aku inilah ahlinya."
"Jika arak dan hidangan
tidak sesuai keinginan, hajar mereka."
"Apa kami harus
menunggumu pulang makan?"
"Tidak perlu, aku ke
belakang mencari orang."
"Mencari siapa?"
"Mencari setan yang tidak
tahu diri."
Pekarangan di bagian belakang
juga amat luas, suasana di sini amat sejuk, harum lagi. Berbagai macam bunga
yang ditanam dalam pot sedang berbunga, sepucuk pohon cemara besar tumbuh di
tengah sana.
Seorang ibu rumah tangga
berpakaian panjang tengah beranjak keluar dari perkarangan dalam, kebetulan
bersua Hong Si-nio.
Walau sudah berusia setengah
abad, nampaknya masih muda, sorot matanya berwibawa, siapa pun bila berhadapan
dengan perempuan ini, akan tahu kalau perempuan ini tidak boleh sembarang
diganggu. Hong Si-nio justru adalah perempuan yang suka mengganggu, dia memburu
maju dua langkah, segera ia berkata, "Kabarnya nyonya rumah di sini she
Kim, apa benar?"
"Tidak salah."
"Konon dia adalah
perempuan galak di Kangouw yang bernama Kim-hong-hong?"
"Betul sekali."
"Suruh dia keluar, aku
ingin mencarinya."
"Dia sudah keluar."
Hong Si-nio sengaja
membelalakkan mata mengawasinya, "Jadi kau inilah Kim-hong-hong?"
Wajah Kim-hong-hong merenggut
dingin, "Aku inilah."
Hong Si-nio tertawa lebar, dengan
mengedip mata ia berkata, "Maaf, maaf, kurang hormat, kurang hormat,
kukira kau ini adalah bunda Ciu Ci-kong."
Wajah Kim-hong-hong berubah
merah membesi, mendadak ia tertawa dingin, jengeknya, "Konon di Kangouw
dahulu pernah muncul seekor macan betina bernama Hong Si-nio, senang menggoda
lakiku, sayang begitu melihat dia, lakiku sering tumpah-tumpah."
"Lakimu bernama Ciu
Ci-kong?"
"Memangnya perlu
kujelaskan lagi?" jengek Kim-hong-hong sambil bertolak pinggang.
"Ah tidak benar. Justru
dia kepincut padaku, saking senangnya hanya kucium tangannya, dia berjingkrak
terus bergulingan di tanah, belum pernah kulihat dia tumpah-tumpah."
"O, jadi kaukah Hong
Si-nio?"
"Tidak keliru."
"Maaf, maaf, kurang
sopan, kurang sopan, sejak tadi aku kira kau ini anjing gila yang suka
menggigit orang."
Hong Si-nio justru tertawa
lebar, "Memang ingin aku menggigit pipimu sekali. Sayangnya aku pantang
menggigit nenek tua."
Wajah Kim-hong-hong seketika
berubah menghijau. Sesungguhnya usianya memang dua tahun lebih tua dari Ciu
Ci-kong.
Perempuan yang usianya lebih
tua, paling pantang dikata-katai "nenek".
Dia lebih rela dimaki anjing
gila daripada disebut nenek tua. Hong Si-nio seperti mengerti boroknya, maka
sengaja mengolok-olok.
Sejak tahu Lian Shia-pik
sebagai pewaris Siau-yau-hou, saat itu juga dia siap mencari gara-gara dan
berusaha mempersulit Lian Shia-pik. Kalau Lian Shia-pik bergaul rapat dengan
Ciu Ciu-kong, dapat disimpulkan bahwa Ciu Ci-kong pasti bukan manusia baik.
Karena tidak menemukan mereka,
terpaksa ia berhadapan dengan burung Hong betina emas ini. Kemampuan Hong
Si-nio mencari gara-gara, yakin jarang ada perempuan lihai manapun yang mampu
menandinginya.
Bahwa Kim-hong-hong atau
burung phoenix (Hong) emas ini belum ia bikin jengkel sampai mampus, Hong
Si-nio sendiri merasa belum puas, dengan senyum menggiurkan ia menambahkan,
"Yang pasti aku mengerti kau belum terlalu tua, usiamu sekarang paling dua
tiga puluh tahun lebih tua dibanding Ciu Ci-kong, pupur di wajahmu itu kalau
dipertebal, usiamu paling baru lima puluhan."
Mendadak Kim-hong-hong memekik
murka, dengan sengit menubruk maju.
Umumnya wanita suka berteriak,
memekik atau mengeluh panjang. Bila hati kegirangan sering memekik, jika marah
besar membentak-bentak, jika sedang bermesraan juga mengeluh aleman, apalagi
waktu berkelahi, jeritan dan pekik suaranya sungguh bisa membuat orang yang
mendengarnya merinding.
Kim-hong-hong adalah jenis
wanita seperti itu. Jerit pekiknya amat aneh, melengking tajam, mirip pisau
tajam menggorok leher ayam, mirip kucing yang ekornya terinjak. Yang pasti
serangan dua tangannya tidak mirip cakar kucing atau cakar ayam. sergapannya
bukan saja cepat, cekatan dan amat ganas mirip patukan ular berbisa.
Waktu Hong Si-nio belum
berkecimpung di dunia persilatan, Kim-hong-hong sudah terkenal sebagai
perempuan yang tidak boleh dilayani sembarangan. Ilmu silatnya jauh lebih
tinggi dari yang diperkirakan Hong Si-nio, hal ini disadari Hong Si-nio setelah
ia dicecar lima enam jurus serangan yang mematikan. Akan tetapi ilmu silat Hong
Si-nio ternyata jauh lebih tinggi dari perkiraan burung phoenix sendiri, tujuh
delapan belas jurus kemudian, secepat kilat mendadak ia berhasil mencengkeram
pergelangan tangan Kim-hong-hong.
Bukan hanya tangan saja,
sekujur badan Kim-hong-hong seketika lemas lunglai, bersuara pun tidak mampu.
Sekali gerak, Hong Si-nio
tidak kepalang tanggung, sekali pelintir ia telikung lengan orang ke belakang
punggung, sekarang baru ia merasa lega, katanya dengan nada ramah, "Ingin
aku tanya beberapa hal padamu, kuharap kau mau bekerja sama dan menjelaskan
kepadaku."
Kim-hong-hong meringis
kesakitan, desisnya dengan merigertak gigi, "Kau bunuh aku saja."
"Kalau tahu aku takkan
membunuhmu, bila jengkel paling kupapas hidungmu," lalu dengan tawa lebar
Hong Si-nio menambahkan, "perempuan yang lebih menakutkan dibanding
seorang nenek adalah perempuan yang tidak punya hidung."
Kim-hong-hong mengertak gigi,
air mata sudah berlinang di pelupuk matanya. Ia tahu perempuan seperti Hong
Si-nio tega melakukan ancamannya, ia tahu siapa Hong Si-nio tak ubah mengerti
siapa dirinya.
"Mau tidak kau jawab
pertanyaanku?" desak Hong Si-nio.
"Kau ... soal apa yang
ingin kau tanyakan?"
"Kemana lakimu pergi
bersama Lian Shia-pik?"
"Tidak tahu."
"Kalau aku potong hidungmu
apa kau lantas tahu?"
"Aku bilang tidak tahu,
ya tidak tahu!" pekik Kim-hong-hong, "kau bunuh aku pun tidak
tahu."
Hong Si-nio menghela napas
tanyanya, "Lalu Sim Bik-kun? Dimana kau sembunyikan dia?"
"Kenapa aku
menyembunyikan dia, dia sendiri bilang tidak ingin bertemu denganmu."
Sebelum Hong Si-nio meluruk ke
dalam tadi, mereka berdua sudah tahu yang datang adalah Hong Si-nio. Ada berapa
banyak perempuan yang berani menunggang kuda menerjang ke dalam rumah orang.
"Dia tidak mau bertemu
denganku, tapi aku harus menemuinya," seru Hong Si-nio, "maka
...." Kata-katanya terputus karena ia sudah melihat Sim Bik-kun.
Sim Bik-kun muncul dari balik
pintu lalu berdiri di emperan rumah, wajahnya kelihatan pucat, sorot mata dan
mimiknya kelihatan marah, bola matanya tampak merah. Merah karena menangis?
Kenapa harus menangis?
"Dengan susah payah aku
ke sini mencarimu, kenapa kau tidak mau bertemu denganku?"
Dingin suara Sim Bik-kun,
"Siapa suruh kau kemari? Tidak pantas kau datang kemari."
Hong Si-nio menyeringai
dingin, "Kalau kau anggap dia yang menyuruh aku kemari mencarimu. Kau
salah besar."
Dia? Siapa dia? Yakin Sim
Bik-kun tahu, mengingat orang ini, perasaannya seperti ditusuk jarum, diiris
dengan pisau tajam, diremas hancur oleh sepasang tangan yang tidak kelihatan.
Kakinya terasa lemas, badannya
bertopang di pagar bambu di depannya, dengan muka masam ia berkata,
"Peduli untuk apa dan suruhan siapa kau kemari, lebih baik kau pergi
saja."
"Kenapa?" seru Hong
Si-nio.
"Sebab aku sudah tiada
hubungan apapun dengan kalian, aku ... aku bukan Sim Bik-kun yang kalian kenal
itu ...." nada bicaranya terdengar garang, padahal air matanya bercucuran
membasahi pipi, wajah nan sayu, pucat mirip kembang yang sudah hampir layu.
Melihat betapa orang begitu
sedih, pilu dan sesenggukan, betapapun besar amarah Hong Si-nio, tak kuasa ia
mengumbar nafsu lagi. Betapa hatinya tidak sakit? Sesakit ditusuk sembilu?
Jelas ia tahu dan mengerti perasaan Sim Bik-kun sekarang.
Sim Bik-kun yang sejak awal ia
kenal, adalah perempuan yang rela mengorbankan segalanya demi mengejar cinta.
Sim Bik-kun yang sekarang, jelas dan gamblang sudah kembali menjadi bini Lian
Shia-pik.
"Apapun yang telah
terjadi, ada beberapa patah kata yang perlu kusampaikan kepadamu,"
mendadak ia memburu maju beberapa langkah menggenggam lengan Sim Bik-kun,
"Kau harus mendengar dulu ucapanku, setelah omong aku akan segera
pergi."
Dengan menggigit bibir, Sim
Bik-kun mengangguk, "Baik, kudengar, tapi setelah bicara kau harus lekas
pergi."
"Kalau kau mau mendengar
omonganku sampai habis, umpama kau menahanku juga aku akan segera pergi."
Air mata Sim Bik-kun membasahi
lengan bajunya. Siau Cap-it Long, dimanakah kau sekarang?
Kenapa tidak kau dengar apa
yang akan dibicarakan kedua cewek yang telah menderita, susah dan sengsara
karena dirimu? Tahukah kau betapa mereka bersedih, pilu dan tersiksa?
Sambil menutupi mukanya,
Kim-hong-hong berlari keluar pekarangan, pergi tanpa berpaling lagi.
Hong Si-nio tak kuasa membuka
suara. Persoalan memang amat ruwet, terlalu aneh dan misteri, sungguh ia tidak
tahu darimana harus mulai bicara. Sim Bik-kun malah mendesak, "Kenapa kau
belum lagi bicara?"
Akhirnya Hong Si-nio
mengangkat kepala, katanya, "Aku tahu kau membencinya karena kau anggap
dia sudah berubah, berubah menjadi raja iblis, iblis laknat yang banyak
membunuh manusia."
Sim Bik-kun menunduk,
jari-jari tangannya saling genggam, kuku jarinya menembus telapak tangannya,
bibir juga tergigit pecah, ia sedang menyiksa diri.
Dia berharap dengan derita
kesakitan badannya untuk melampiaskan, melupakan siksa derita batinnya.
"Kalau begitu jalan
pikiranmu, maka kau keliru menyalahkan dia. Kalau kau tahu duduk persoalan
sebenarnya, umpama dipecut cemeti dan mengusirmu pergi, kau takkan rela
meninggalkannya."
Sim Bik-kun mendesis dengan
nada tegas, "Umpama ada orang mengancam jiwaku dengan pisau melarangku
pergi, biar mati aku tetap akan pergi. Sebab apa yang terjadi kulihat dengan
mata kepalaku sendiri, melihat secara gamblang dan sejelas-jelasnya."
Bersambung